penanganan nyeri pada ibd

22
PENANGANAN NYERI PADA INFLAMMATORY BOWEL DISEASE Michael J. Docherty, MD, R. Carter W. Jones III, MD, PhD, and Mark S. Wallace, MD Abstrak : Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD, dan memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Evaluasi lanjut dilakukan untuk menentukan sumber nyeri yang dirasakan pasien termasuk gejala klinis, laboratorium, radiologi, dan penanganan endoskopi sesuai indikasi. Membedakan nyeri akibat inflamasi aktif, komplikasi sekunder, dan nyeri fungsional dapat membingungkan. Meskipun ketika semua penyakit aktif telah diterapi secara adekuat, klinisi seringkali luput tentang cara penanganan nyeri kronik. Jurnal ini akan menggambarkan keuntungan-keuntungan dan batasan-batasan tentang cara terapi dan masa depan terapi yang menjanjikan. Alogaritme terapi yang disarankan akan menyediakan beberapa petunjuk pada penanganan IBD. Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD. Nyeri merupakan suatu komponen dari beberapa indeks penyakit aktif, dan merupakan salah satu keluhan yang diutarakan pasien. Nyeri merupakan alasan menurunnya kualitas hidup pasien (Quality of life [QOL]) yang sering terlihat pada pasien IBD. Aspek nyeri yang tidak terkontrol juga dihubungkan dengan kecemasan yang mendalam. Kecemasan ini dapat mengarah pada suatu mekanisme maladaptif yang mengakibatkan nyeri lebih sulit ditangani. Jurnal ini akan mendiskusikan bagaimana cara mengintervensi dengan 1

Upload: dian-utami

Post on 11-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Translate Jurnal Tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Penanganan Nyeri Pada IBD

PENANGANAN NYERI PADA INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Michael J. Docherty, MD, R. Carter W. Jones III, MD, PhD, and Mark S.

Wallace, MD

Abstrak : Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD, dan memiliki konsekuensi

yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Evaluasi lanjut dilakukan untuk

menentukan sumber nyeri yang dirasakan pasien termasuk gejala klinis,

laboratorium, radiologi, dan penanganan endoskopi sesuai indikasi.

Membedakan nyeri akibat inflamasi aktif, komplikasi sekunder, dan nyeri

fungsional dapat membingungkan. Meskipun ketika semua penyakit aktif telah

diterapi secara adekuat, klinisi seringkali luput tentang cara penanganan nyeri

kronik. Jurnal ini akan menggambarkan keuntungan-keuntungan dan batasan-

batasan tentang cara terapi dan masa depan terapi yang menjanjikan. Alogaritme

terapi yang disarankan akan menyediakan beberapa petunjuk pada penanganan

IBD.

Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD. Nyeri merupakan suatu

komponen dari beberapa indeks penyakit aktif, dan merupakan salah satu keluhan

yang diutarakan pasien. Nyeri merupakan alasan menurunnya kualitas hidup

pasien (Quality of life [QOL]) yang sering terlihat pada pasien IBD. Aspek nyeri

yang tidak terkontrol juga dihubungkan dengan kecemasan yang mendalam.

Kecemasan ini dapat mengarah pada suatu mekanisme maladaptif yang

mengakibatkan nyeri lebih sulit ditangani. Jurnal ini akan mendiskusikan

bagaimana cara mengintervensi dengan sebuah pendekatan multidisiplin pada

penanganan nyeri yang dapat menghentikan siklus nyeri.

Etiologi nyeri pada IBD

Nyeri adalah sebuah adaptasi evolusioner untuk memperingatkan adanya

kerusakan yang dapat mengarah pada cedera yang panjang. Pada IBD, nyeri

mungkin merupakan satu-satunya tanda bahwa penyakit sedang berlangsung dan

membutuhkan terapi yang lebih kuat. Inflamasi usus yang terus-menerus atau

komplikasi seperti abses atau striktur, merupakan penyebab yang sering pada

1

Page 2: Penanganan Nyeri Pada IBD

IBD. Obstruksi sebagian usus halus pada Crohn’s disease sering mengakibatkan

nyeri secara intermitten dan mengharuskan diet residu rendah. Malabsorbsi asam

empedu dapat memicu terjadinya diare dan kram yang akan sering merespon

penyerapan asam empedu. Manifestasi ekstraintestinal termasuk sendi-sendi,

kulit, dan mata sering dapat mengakibatkan nyeri. Beberapa penyebab umum

nyeri pada IBD terdaftar pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyebab Umum Nyeri pada Irritable Bowel Syndrome

Nyeri Akibat Inflamasi Nyeri Akibat NoninflamasiIntestinal Ekstraintestinal Intestinal Ekstraintestinal

GatritisEnteritisCollitisAbsesFistulaFisuraIrritable Bowel Syndrome

Artritis periferSacroiliitisSpondilitis ankilosisPrimary sclerosing cholangitisErythema nodosumPyoderma gangrenosumIritisUveitis

StrikturAdhesiObstruksi usus halusNarcotic bowel syndrome

NefrolithiasisCholelithiasis

Keluhan nyeri harus memicu investigasi lebih lanjut mengenai etiologi-

etiologi potensial. Investigasi ini termasuk penanganan untuk tanda-tanda

inflamasi, seperti peningkatan jumlah sel darah putih, tingkat sedimentasi, atau

level C-reactive protein. Adanya leukosit pada feses atau peningkatan level

calprotein dapat memberikan suatu informasi. Nyeri neuropati disarankan untuk

evaluasi kekurangan vitamin B12, khususnya pada pasien yang telah dilakukan

reseksi ileus yang besar. Colonoskopi atau endoskopi saluran pencernaan atas

sering dibutuhkan untuk mengkonfirmasi adanya penyakit. Pemeriksaan radiologi

(small-bowel, diikuti CT-scan enterografi, atau MRI enterografi) atau wireless

capsule endoscopy dapat membantu mengevaluasi penyakit yang tidak terdeteksi

dengan endoskopi. Pemeriksaan radiologi small-bowel sering dibutuhkan untuk

mengindentifikasi adanya striktur atau adhesi yang dapat menjadi penyebab nyeri.

Meskipun telah dilakukan verifikasi klinis dan remisi endoskopi, 20%

pasien akan tetap merasa nyeri. Pada trial SONIC, lebih dari sepertiga pasien

dengan diagnosis Crohn’s disease ringan sampai berat dalam studi tidak

ditemukan bukti adanya proses aktif pada pemeriksaan endoskopi. Satu alasan

2

Page 3: Penanganan Nyeri Pada IBD

untuk temuan ini mungkin tingginya tingkat kejadian irritable bowel syndrome

(IBS) pada pasien IBD. Pada satu studi, pasien-pasien IBD dengan remisi komplit

mengalami sekitar 2-3 kali gejala yang serupa IBS (IBS-like symptoms)

dibandingkan dengan populasi umum. Tingginya tingkat kejadian anxietas dan

depresi pada pasien IBD ikut memberi kontribusi terjadinya gejala-gejala

fungsional ini. Sesungguhnya, pasien-pasien IBD dengan anxietas tinggi dan

depresi lebih sering mengeluh adanya gejala-gejala IBS. Meskipun konsekuensi-

konsekuensi dari masalah psikologis ini, pada satu studi didapatkan hanya 40%

dari pasien-pasien IBD dengan depresi yang mendapatkan terapi medis.

Bukti yang mendukung hubungan langsung antara IBD dan IBS semakin

banyak. Inflamasi tingkat rendah dan interaksi neuroimun sepertinya ikut berperan

dalam perkembangan IBS. Demikian juga, inflamasi tersembunyi pada pasien-

pasien IBD yang dalam fase remisi dihubungkan gejala seperti IBS (IBS-like

symptoms). Temuan ini menunjukkan mekanisme dimana residu inflamasi dalam

IBD yang tenang memicu terjadinya gejala seperti IBS dimana hal serupa

didapatkan pada infeksi gastrointestinal dapat menyebabkan IBS post infeksi.

Kekaburan batasan antara IBD dan IBS menyebabkan beberapa peneliti dan

klinisi mempertanyakan model dari sebuah dichotomi organik fungsional.

Mekanisme Nyeri

Nyeri pada IBD dimulai ketika produksi nyeri, atau nosiseptif, stimulus-

stimulus terdeteksi oleh saraf-saraf aferen primer khusus disebut nosiseptor

(Gambar 1). Ikatan membran reseptor pada nosiseptor mampu merespon beragam

modalitas stimulus, termasuk stimulus kimia, suhu, dan atau mekanik. Aktivasi

nosiseptor diikuti stimulasi perintah neuron tingkat kedua di saraf spinal via

eksitasi sinaps glutamatergic. Sinyal neural kemudian ditransmisi ke saraf spinal

menuju batang otak dan thalamus, yang mana menghubungkan berbagai area

korteks serebral, termasuk korteks somatosensori, insula, dan korteks cingulatum

anterior. Ketika sinyal saraf ini mencapai pusat yang lebih tinggi dari batang otak

dan otak, sinyal tersebut mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri.

Jalur-jalur sensoris ini merupakan suatu sistem yang kuat dalam mengatur

informasi yang masuk. Beberapa nosiseptor dapat melepaskan substansi-subtansi

3

Page 4: Penanganan Nyeri Pada IBD

yang dapat mengubah fungsi keduanya baik fungsi sendiri maupun fungsi saraf

sekitarnya. Modulasi komunikasi sinaps antara nosiseptor dan neuron tingkat

kedua pada saraf spinal dapat juga mengarah pada hyperlagesia. Aktivasi

struktur-struktur dalam batang otak, secara spesifik pada periaquaductal grey

matter dan medulla rostroventromedial, dapat melakukan inhibisi atau

memfasilitasi transmisi masuk dari informasi sensoris. Pada akhirnya berbagai

pusat dalam otak dapat memodulasi persepsi dan berespon terhadap stimuli

nosiseptif yang mengarah pada sensari nyeri. Semua mekanisme modulasi ini

berhubungan dengan keadaan nyeri kronik.

Ada beberapa cara dimana nyeri organ viseral secara unik dibandingkan

dengan nyeri somatic. Mayoritas aferen viseral primer berupa polimodal 8 dapat

mensensor stimuli mekanik, termal, dan kimia 8 yang memungkinkan untuk

mengirim beragam sinyal dari lingkungan. Kebanyakan dari aferen-aferen

sensoris ini juga dapat merespon stimuli pada jarak noxius; sedikit banyak, hampir

semua aferen-aferen sensoris mampu menghasilkan nyeri.

Ketika di saraf spinal, aferen-aferen viseral menghasilkan berbagai

informasi ke dalam jaringan-jaringan yang tersebar ke saraf spinal dan saling

tumpang tindih dengan neuron aferen primer lain. Kontrasnya, aferen-aferen

cutaneus sensoris membuat koneksi berupa lingkaran pada saraf spinal yang

menghasilkan pola dermatom khas. Oleh karena itu, stimuli viseral 8 termasuk

nosiseptif stimuli 8 dapat melibatkan bagian-bagian besar dari sistem saraf pusat,

menghasilkan nyeri difuse, sulit dilokalisasi, dan sering mengarah pada nyeri

viseral.

Pilihan Terapi

Ketika nyeri dihubungkan dengan IBD aktif, terapi utama seringkali meningkat

pada terapi IBD. Bagaimanapun, nyeri dapat menetap meskipun terapi IBD

adekuat, atau nyeri dapat timbul dari penyebab non-IBD. Pada situasi ini,

penggunaan analgesik lain mungkin dibutuhkan (Tabel 2).

4

Page 5: Penanganan Nyeri Pada IBD

Gambar 1. Mekanisme Nyeri pada IBD. Stimulasi nosiseptif dapat dideteksi oleh

aferen somatik primer (merah) atau aferen viseral primer (biru)

Obat-Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid

Penggunaan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid pada IBD biasa juga

digunakan pada penanganan arthritis. Penggunaan OAINS sangat efektif pada

kasus inflamasi arthtopati lain dan sering direkomendasikan sebagai terapi lini

pertama. Acetaminofen dapat digunakan sebagai pengganti OAINS untuk

mengurangi efek samping, tetapi acetaminofen kurang efektif.

OAINS berperan sebagai analgesik anti-inflamasi dengan menghambat

produksi prostaglandin oleh enzim cyclooxygenase (COX). Pada kondisi

inflamasi, efek analgesik OAINS terjadi dengan penghambatan pembentukan

enzim, COX-2. Non-selektif OAINS juga menghambat pembetukan enzim COX-

1, yang mana berperan dalam mempertahankan integritas usus. Kombinasi

pengurangan produksi prostaglandin dan toksinitas langsung gastrointestinal

sebagai efek samping OAINS.

Beberapa laporan kasus-kasus terkini menimbulkan pertanyaan tentang

potensi OAINS dalam memperberat IBD. Studi case-control dari pasien-pasien

IBD tercatat tingginya tingkat penggunaan OAINS, meskipun hanya pasien

dalam perawatan rumah sakit yang lebih membutuhkan analgesik. Tidak ada

5

Page 6: Penanganan Nyeri Pada IBD

hubungan antara penggunaan OAINS dan penyakit ruam terlihat pada pasien

klinik. Studi terbesar untuk mengevaluasi hubungan ini memeriksa lebih dari 500

pasien IBD yang di follow up selama 1 tahun. Pada studi ini didapatkan tidak

adanya hubungan antara penggunaan OAINS dan ruam-ruam (odds ratio [OR],

0,99; 95% confidence interval [CI], 0,61-1,60), bahkan pada penggunaan OAINS

sehari-hari.

Kontrol trial OAINS pada IBD telah berkurang. Sebuah studi kecil

menunjukkan peningkatan resiko timbulnya ruam 20-30% pada pasien yang

memulai terapi dengan OAINS dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi

dengan acetaminofen. Semua pasien yang diterapi OAINS timbul ruam dalam 9

hari setelah terapi, tapi kebanyakan dapat mengalami remisi dengan penghentian

OAINS. Memiliki potensi dalam mengurangi resiko terjadinya toksisitas

gastrointestinal dengan penghambat COX-2 selektif, obat-obat ini dapat

digunakan sebagai terapi alternatif pada IBD. Grafik retrospektif menunjukkan

bahwa hanya 7% dari pasien IBD mengalami ruam setelah diterapi dengan

penghambat COX-2, dan lebih dari 80% pasien mengalami perbaikan dalam

nyeri. Berikutnya secara acak, trial kontrol-placebo pada lebih dari 200 pasien

dengan IBD didapatkan angka yang serupa dari pasien dengan eksaserbasi yang

diterapi dengan celecoxib atau placebo (3% vs 4%).

Klinisi harus mengingat bahwa OAINS tersedia dalam berbagai formulasi,

sudah banyak pasien IBD menggunakan obat ini untuk penanganan nyeri.

Beberapa studi telah menunjukkan penggunaan OAINS pada 50-75% pasien IBD,

dibandingkan dengan 10% diantara pasien rawat jalan gastroenterologi lain. Sejak

didapatkan adanya ruam pada kebanyakan pasien yang menggunakan OAINS dan

membaik dengan penghentian obat, maka disarankan untuk segera menghentikan

obat ini jika timbul ruam. Penghambat COX-2 selektif lebih aman, meskipun

didapatkan adanya resiko terhadap jantung yang membatasi penggunaan obat ini.

Dengan keterbatasan data, maka menghindari penggunaan OAINS pada sebagian

besar kasus merupakan hal yang bijaksana. Pasien dengan arthritis berat yang

tidak dapat dikontrol dengan obat lain, maka penghambat COX-2 diberikan

dengan hati-hati. Studi lanjutan kontrol acak akan membantu mengklarifikasi

aspek kontroversial pada penanganan nyeri.

6

Page 7: Penanganan Nyeri Pada IBD

Tabel 2. Medikasi yang Digunakan pada Nyeri Viseral

Golongan Medikasi Dosis Awal Dosis Maksimal Efek Samping

Anti spasmodikHyoscyamin XR

0,125-0,25 mg setiap 4-6 jam atau 0,375-0,75 mg dua kali sehari

1,5 mg/hari

Konstipasi, pusing, mulut kering, sedasi, retensi urin

Docyclomine20 mg empat kali sehari

160 mg/hari

Anti depresan trisiklik

Amitriptyline 25-50 mg sebelum tidur

150 mg/hari

Mulut kering, pusing, sedasi, peningkatan berat badan

Despiramine10-25 mg sebelum tidur

200 mg/hariMulut kering, konstipasi, hipotensi, sedasi, penigkatan berat badan

Nortriptyline10 mg sebelum tidur

150 mg/hari

SSRI

Escitalopram*,**10 mg dosis tunggal

20 mg/hariAnoreksia, diare, sakit kepala, insomnia, mual, sedasi, penurunan berat badan

Fluoxetine*,**20 mg dosis tunggal

80 mg/hari

Paroxetine*,**20 mg dosis tunggal

50 mg/hari

Sertraline*25-50 mg dosis tunggal

200 mg/hari

Citalopram**20 mg dosis tunggal

60 mg/hari

SNRIVenlafaxine*,**

37,5 mg dosis tunggal

150 mg/hariSakit kepala, insomnia, mual

Duloxetine*,**20-60 mg dosis tunggal

120 mg/hariPusing, insomnia, sedasi, mual

Anti depresan atipikal

Bupropion*,**100 mg dua kali sehari

450 mg/hariSakit kepala, insomnia, risiko kejang, penurunan berat badan

Bupropion XR*,**

150 mg dosis tunggal

400-450 mg/hari

Opiat atipikal Tramadol**,† 50 mg dosis tunggal

400 mg/hariKonstipasi, diaforesis, mual, risiko kejang

Anti konvulsan

Gabapentin300 mg sebelum tidur

3600 mg.hari

Sulit berkonsentrasi, mual, sedasi, peningkatan berat badan

Pregabalin**75 mg dua kali sehari

450 mg/hari

Kebingungan, pusing, sedasi, peningkatan berat badan

* Mungkin membutuhkan dosis adjustment pada penderita dengan insufisiensi hepatik** Mungkin membutuhkan dosis adjustment pada penderita dengan insufisiensi renal† Jangan berikan pada pasien yang sedang mengkonsumsi Monoamine Oxidase Inhibitor

7

Page 8: Penanganan Nyeri Pada IBD

Opiat

Opiat sering digunakan untuk terapi nyeri berat akut. Peran obat ini pada

kasus nyeri kronik non-kanker (CNCP) masih belum jelas, termasuk efek

samping, penyalahgunaan, dan penyimpangan pada individu lain. Meskipun hal

ini mengkhawatirkan, namun penggunaan jangka panjang terapi opiat pada CNCP

meningkat secara dramatis. Ketika terbukti nyeri membaik dalam demonstrasi

penggunaan jangka pendek opiat, keuntungan ini tidak berarti meningkat pada

penggunaan opiat jangka panjang. Beberapa studi tentang penggunaan opiat pada

CNCP menunjukkan keuntungan kecil sampai nihil, sehingga terapi jangka

panjang dengan opiat banyak mengecewakan.

Adapun sedikit informasi yang mengejutkan tentang prevalensi

penggunaan opiat pada IBD. Studi terkini melaporkan penggunaan kronik opiat

pada 30% pasien IBD, meskipun pada studi ini hanya termasuk pasien dengan

evaluasi psikiatrik. Pada semua pasien yang menunjukkan klinis IBD, frekuensi

penggunaan opiat berkisar 3-13%. Penggunaan opiat mungkin merupakan sebuah

marker untuk kasus IBD yang lebih berat, sebagaimana dalam studi didapatkan

pasien yang diterapi dengan opiat memiliki perjalanan penyakit yang lebih buruk

dan nyeri dan hampir dua kali lebih mungkin memerlukan intervensi bedah.

Namun, lebih dari setengah pasien IBD yang kembali untuk perawatan

follow up mampu menghentikan candu terhadap opiat. Pasien-pasien ini memilih

untuk melakukan terapi medis dan memiliki perjalanan penyakit dan nyeri yang

terkontrol. Temuan ini menyatakan bahwa kebanyakan pasien dengan IBD dapat

sukses menghentikan candu dari opiat jika penyakit mereka teratasi dan nyeri

mereka ditangani dengan strategi alternatif.

Komplikasi Penggunaan Opiat

Banyak efek samping opiat yang terjadi, seperti seperti mual, depresi

nafas, sedasi, dan euforia/disforia, namun akan berkurang seiring dengan

berjalannya waktu. Konstipasi merupakan suatu pengecualian pada pernyataan ini,

dan penggunaan bowel regimen secara rutin dianjurkan ketika memulai terapi

opiat. Ketika konstipasi mulai dialami pada kebanyakan pasien IBD, hal ini

8

Page 9: Penanganan Nyeri Pada IBD

menyebabkan pasien beresiko terkena toksik megacolon. Sindrom narkotik bowel

merupakan komplikasi lain yang dikhawatirkan pada penggunaan opiat jangka

panjang. Sindrom ini ditandai dengan nyeri abdominal kronik dengan penyebab

yang tidak jelas atau intensitas penyakit yang memburuk dengan peningkatan

dosis opiat. Sindrom ini dapat memicu siklus yang buruk dimana klinisi secara

terus-menerus meningkatkan dosis opiat dengan tujuan untuk mengontrol nyeri

pasien.

Hal yang penting saat ini mengenai penggunaan secara aman opiat pada

pasien IBD ditingkatkan dengan analisa data dari buku catatan TREAT,

prospektif, registrasi jangka panjang pasien dengan Crohn’s disease. Pada catatan

ini, penggunaan opiat dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas (OR,

1,84; P=0,44), meskipun demikian hubungan ini tidak signifikan ketika analisa

diatur untuk faktor resiko lain. Penggunaan opiat merupakan satu faktor resiko

untuk terjadinya infeksi serius (OR, 2,38; P<0,01), bahkan setelah pengaturan

untuk beratnya penyakit dan penggunaan agen imunosupresif. Penulis

memperkirakan temuan ini mungkin dikarenakan tanda dan gejala awal infeksi

akibat opiat. Kemungkinan lain adalah bahwa opiat memiliki efek langsung pada

infeksi akibat penurunan motilitas usus dan translokasi bakteri melewati mukosa

usus yang rusak yang mengalami inflamasi.

Poin penting lain menggambarkan adiksi dan penyalahgunaan opiat.

Ketika tidak ada penyelesaian yang tepat dalam masalah ini, ada berbagai cara

yang klinisi dapat lakukan dalam membantu mengidentifikasi individu yang

beresiko menyalahgunakan opiat. Metode yang kami terapkan dalam institusi

kami adalah alat risiko opiat. Alat skrining ini mudah digunakan dan merupakan

indikator primer kapan dilakukan pendekatan yang lebih hati-hati dan menentukan

penanganan selanjutnya. Sebagai tambahan, alat-alat yang dapat mendeteksi obat-

obat terlarang 8 seperti tertulis pada Controlled Substance Utilization Review And

Evaluation System, registrasi online Schedule II-IV prescriptions yang ditulis di

California 8 merupakan sumber yang berharga untuk dokumentasi tingkah laku

pasien.

Pasien dianggap berisiko tinggi menyalahgunakan opiat pada terapi opiat

jangka panjang dimana mungkin diperlukan evaluasi psikis secara hati-hati dan

9

Page 10: Penanganan Nyeri Pada IBD

pemantauan ketat dari klinisi. Pasien yang memiliki kesulitan terhadap terapi

opiat sering mengalami depresi. Kebanyakan program multidisiplin obat anti nyeri

diatur oleh ahli psikologi yang telah terlatih mengevaluasi nyeri kronik pasien.

Sebagai tambahan, semua klinisi harus berhati-hati adanya tanda yang

mengkhawatirkan pasien yang mendapat terapi opiat; tanda-tanda ini tercantum

dalam Tabel 3. Pada waktu yang bersamaan, klinisi harus dapat membedakan

tanda adiksi dari gejala dan tingkah laku dari analgesik yang inadekuat

(pseudoadiksi) atau anxietas nyeri. Konsultasi dengan ahli psikologi dapat

berguna pada situasi ini.

Tabel 3. Ciri-ciri Tipikal pada Penyalahgunaan Terapi Opioid

- Hasil yang tidak terduga pada skrining toksikologi- Permintaan rutin untuk peningkatan dosis- Penggunaan opiat secara bebas- Minum obat secara tidak teratur- Kehilangan resep atau obat- Mengunjungi IRD untuk mendapatkan terapi opioid- Absen saat visite follow-up- Resep obat diperoleh dari second provider- Menyogok untuk mendapatkan resep

Antidepresan

Antidepresan sering direkomendasikan sebagai analgesik tambahan untuk

mengurangi kebutuhan terapi opiat jangka panjang. Kebanyakan dasar

penggunaan antidepresan pada IBD berasal dari studi IBS. Dua trial meta-analisis

yang menonjol yang digunakan adalah antidepresan trisiklik (TCAs) untuk terapi

IBS menunjukkan hasil yang menguntungkan. Sementara studi lain menyatakan

tidak selalu menguntungkan, TCAs masih merupakan terapi utama pada IBS.

Studi tentang selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) pada IBS kurang

menjanjikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa SSRI tidak berefek pada nyeri

perut pasien IBS, meskipun sebuah meta-analisis sebelumnya menunjukkan

pengurangan resiko dari gejala-gejala dibandingkan dengan placebo (OR, 0,62;

95% CI, 0,45-0,87).

Sudah ada beberapa studi penggunaan antidepresan pada IBD. Uji klinis

sampai saat ini adalah non-randomize, studi open-label dari paroxetine (Paxil,

10

Page 11: Penanganan Nyeri Pada IBD

GlaxoSmithKline) yang menunjukkan peningkatan signifikan pada beberapa

komponen kualitas hidup, meskipun studi ini hanya termasuk pasien yang telah

didiagnosa dengan depresi. Studi terkini mereview 12 studi, kebanyakan dari studi

adalah laporan kasus, juga didapatkan peningkatan pada pasien dengan anxietas

dan depresi.

Ada hal penting pada laporan sebelumnya pada penggunaan bupropion

pada IBD. Laporan kasus melibatkan 6 pasien Crohn’s disease yang diterapi

untuk berhenti merokok atau depresi menunjukkan peningkatan pada perjalanan

penyakit bahkan ketika pasien tidak berhenti merokok. Satu mekanisme yang

mungkin untuk efek ini mungkin atenuasi dari level tumor necrosis faktor α oleh

bupropion via reseptor dopaminergic. Penelitian lebih lanjut temuan menarik ini

dibenarkan.

Antikonvulsan

Antikonvulsan, khususnya gabapentin dan pregabalin (Lyrica, Pfizer),

sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati, dan akhir-akhir ini telah digunakan

untuk terapi nyeri visceral. Beberapa studi kecil dari 2 obat ini menunjukkkan

efek benefit pada hipersensitivitas viseral pada pasien dengan IBS. Trial klinis

lanjutan untuk nyeri viseral dibutuhkan.

Psikoterapi

Tingkah laku dan psikoterapi kognitif dapat efektif sebagai terapi

komplementer untuk menolong pasien mengatasi nyeri yang tidak dapat

dieradikasi total. Beberapa bentuk intervensi psikoterapi direkomendasikan secara

rutin ketika menggunakan terapi opiat jangka panjang. Terapi kognitif behaviour

adalah satu dari teknik psikoterapi yang sering digunakan, dengan studi

menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan fungsional pada pasien dengan IBS.

Dua meta-analisis menunjukkan keuntungan sederhana tapi signifikan dengan

terapi kognitif behaviour, khususnya pada pasien-pasien yang tidak berespon

dengan terapi medis.

Ketika psikoterapi dianggap sebagai terapi primer untuk IBD telah berlalu,

adanya peningkatan psikologi dan bukti klinis bahwa stres dapat memicu

11

Page 12: Penanganan Nyeri Pada IBD

terjadinya ruam. Intervensi psikoterapi pada IBD meghasilkan peningkatan yang

tidak terlalu tinggi dalam anxietas, depresi, dan mekanisme coping; meskipun

peningkatan ini terjadi tanpa berefek pada perjalanan penyakit, mereka

menyebabkan penurunan dalam pelayanan kesehatan.

Terapi Masa Depan

Transient Receptor Potential Vanilloid Receptor Subtype 1 Antagonist

Transient Receptor Potential Vanilloid Receptor Subtype 1 Antagonist

(TRPV1) adalah sebuah ikatan membran ion chanel didapatkan sepanjang sistem

saraf yang telah terlibat dalam tingkat nyeri akut dan kronik. TRPV1 telah

menunjukkan kontribusi pada hipersensitivitas viseral dan mekanosensitiviti yang

dihasilkan oleh mediator radang. Ekspresi level TRPV1 intestinal telah

menunjukkan hubungan dengan nyeri kronik pada IBD. Dibandingkan dengan

kontrol yang tidak bergerak, pasien IBD dengan gejala IBS-like symptom

meningkat 5-fold dalam jumlah fiber TRPV1 dalam biopsi mukosa. Beberapa

antagonis TRPV1 telah dievaluasi sebagai terapi untuk nyeri kronik, dan studi

klinis terkini telah membuktikan.

Nerve Growth Factor Antagonist

Peningkatan ekspersi dari TRPV1 dan hipersensitivitas viseral dianggap

sebagian dikontrol oleh peningkatan sinyal nerve growth factor (NGF). NGF

adalah satu ligan reseptor tyrosine kinase A (TrkA) yang terdapat pada neuron

sensori. Akibat inflamasi pada peningkatan level NGF, yang mana menstimulasi

reseptor TrkA; stimulasi TrkA menyebabkan peningkatan mediator radang dan

sensitivitas nyeri. NGF diregulasi dari biopsi pasien dengan nyeri viseral kronis.

Sebuah antibodi monoklonal diarahkan melawan NGF terlihat efektif dalam

osteoartritis, dan trial klinik dari antagonis NGF dalam nyeri viseral masih

berlanjut.

Kappa Opioid Receptor Agonists

Kappa Opioid Receptor Agonists (KORAs) juga membuktikan bagaimana

KORAs hadir untuk memodulasi fungsi aferen viseral pada kedua tingkat naif dan

12

Page 13: Penanganan Nyeri Pada IBD

hipersensitivitas. Asimadoline, sebuah restriksi perifer KORA, telah menunjukkan

pengurangan gejala dari pasien IBS, tapi obat ini belum tersedia secara komersial.

Rekomendasi Terapi

Saat ini, tidak ada terapi spesifik untuk mengobati nyeri viseral. Oleh

karena itu, kami merekomendasikan satu pendekatan multidisiplin yang serupa

dengan yang digunakan pada pasien-pasien lain yang mengalami nyeri kronik.

Pendekatan ini melibatkan kombinasi non-invasif seperti latihan aerobik, terapi

psikis, medikasi, dan psikoterapi. Pendekatan ini telah tebukti efektif pada nyeri

abominal kronik. Algoritma terapi yang disarankan diilustrasikan dalam Gambar

2.

Gambar 2. Algoritma Penanganan Nyeri pada IBD

Langkah pertama dalam terapi nyeri pada IBD yaitu selalu mengevaluasi

pasien untuk penyakit aktif. Jika peningkatan terapi IBD tidak mengurangi gejala,

maka pemberian analgesik boleh dimulai. Perawatan diperlukan untuk

13

Page 14: Penanganan Nyeri Pada IBD

menghindari komplikasi seperti striktur atau adhesi yang hanya dapat diterapi

dengan operasi. Adanya anxietas dan depresi menigkatkan komorbiditas dari IBD,

evaluasi dan terapi psikiatrik formal dapat menolong. Penggunaan antidepresan,

khususnya TCA, dapat membantu mengurangi nyeri walaupun tidak disertai

diagnosis psikiatrik. Opiat dapat digunakan secara hati-hati pada pasien IBD,

sebaiknya dengan interval yang jelas seperti sewaktu induksi remisi atau selama

periode post operasi. Jika menggunakan opiat, pasien harus diberikan perjanjian

opiat yang menjelaskan semua harapan dan kebutuhan, dan seorang klinisi harus

mencatat semua obat nyeri.

Kesimpulan

Memvalidasi nyeri pasien dan memberi dukungan bahwa pasien dapat

berjalan jauh menghadapi sakit seringkali dapat membantu mengobati nyeri dan

kecemasan pasien. Menghilangkan penderitaan pasien merupakan salah satu tugas

penting dari seorang klinisi, dan merupakan salah satu hal yang paling menantang.

Mengetahui penyebab nyeri dan bagaimana penanganannya merupakan keahlian

yang dibutuhkan oleh seorang klinisi dalam merawat pasien dengan IBD. Jurnal

ini telah menjelaskan sumber dan mekanisme nyeri pada IBD dan telah

menyediakan petunjuk penatalaksaan dalam terapi nyeri secara aman dan efektif.

Diharapkan jurnal ini akan mengurangi penderitaan setiap orang yang terlibat

dalam hal ini khususnya masalah frustasi.

14