48 journal

Upload: farida-raudah

Post on 09-Mar-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ju

TRANSCRIPT

PENGARUH KOPING KELUARGA TERHADAP KEJADIAN RELAPS PADA SKIZOFRENIA REMISI SEMPURNA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA

PENGARUH KOPING KELUARGA TERHADAP KEJADIAN RELAPS PADA SKIZOFRENIA REMISI SEMPURNA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2006Asima Sirait

AbstractSchizophrenia is a chronic psychotic disorder and relapse indicated be serious personality confusion, disortion of reality, and disability to function in daily life. The chaos and dynamics in a family such as full of condition of hostility, too worried/emotional and too protective toward the victim, paly and important role in bringing about relapse and maintaining remission, for this purpose, a family needs to internally or externally implement the coping strategy to face and take care of the victim that there is no incident of relapse. The purpose of this observational analytical study with retrospective case control design is to examine the influence of an internal or external family coping on the incident of relapse in the patients with complete remission schizophrenia in the mental hospital of Sumatera Utara Province in 2006. The population for this study is the families of all of the patiens with complete remission schizophrenia being treated in the mental hospital of Sumatera Utara Province. Through purposive sampling technique, the families of 20 patients with complete remission schizophrenia who relapsed were selected for the samples of case group and the families of 20 patients with complete remission schizophrenia who did not relapse were selected for samples of control group. The result of this study shows that the external coping has significant influence on the incident of relapse, therefore, it is suggestedthat the hospital managemnet make of policy related to the prevention of the incident of relapse in the patients by providing the families of patients with complete remission schizophrenia with training and involving them during the patients treatment process in the hospital hat families can treat the patients with complete remission schizophrenia better.Key words: Family Coping, Incident of Relapse, Complete Remission SchizophreniaPendahuluanSkizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/ kambuh ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dapat kehilangan pekerjaan, teman dan minat, karena mereka tidak mampu berbuat sesuatu, bahkan ada pasien yang hidup menggelandang dijalan atau dipasung dirumah.

Menurut data American Psychiatric Association (APA) (1995), menyebutkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat, penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah.Menurut data hasil penelitian, di Indonesia terdapat sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia, itu berarti sekitar 2-4 juta jiwa, dari jumlah tersebut diperkirakan penderita yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Demikian juga dengan pendapat Irmansyah (2006), bahwa penderita yang dirawat di bagian psikiatri di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia.

Menurut Syamsulhadi, selaku Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dan sekaligus Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, mengatakan bahwa berdasarkan hasil survey tim kesehatan jiwa UNS Solo pada tahun 2000 sedikitnya 16% penduduk di Kota Solo mengalami gangguan kejiwaan dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan sampai yang berat seperti skizofrenia. Demikian juga dengan pernyataan Dadang Sukandar, Kepala Rumah Sakit Jiwa Cimahi bahwa 70% keluarga miskin di Kota Cimahi (Jawa Barat) mengalami gangguan jiwa, sayangnya dalam pernyataannya tidak disebutkan jenis gangguan jiwa yang dialami oleh warganya. Menurut Sukandar bahwa rata-rata setiap harinya, warga yang memeriksakan diri ke bagian gangguan jiwa mencapai angka 30-40 orang, angka ini bertambah terus setiap tahunnya sekitar 3-5%, dengan mayoritas adalah kalangan usia produktif.Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.387 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.183 orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.543 orang (91,09%). Dari 1543 orang penderita skizofrenia yang dirawat pada tahun 2005 sebanyak 1493 orang penderita remisi sempurna ( 96,76%), dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami relaps sebanyak 876 orang penderita (58,67%). Data diatas menunjukkan adanya peningkatan penderita skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya angka relaps pada penderita remisi sempurna. Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehinga penderita memerlukan terapi/ perawatan lama. Disamping itu semua etiologi, patofisiologi dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/ heterogen bagi setiap penderita, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh penderita dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negatif pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita.

Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi. Penderita yang dipulangkan ke rumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan penderita yang ditempatkan pada lingkungan residensial. Penderita yang paling beresiko untuk kambuh adalah penderita yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif terhadap penderita.Koping merupakan cara untuk menghadapi/menangani penderita skizofrenia remisi sempurna sehingga tidak terjadi relaps. Koping keluarga merupakan respons positif, afektif, persepsi dan respons perilaku yang digunakan oleh keluarga untuk memecahkan masalah dan mengurangi stress. Relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna yang berada ditengah keluarga merupakan suatu tanda bahwa keluarga gagal untuk melakukan koping dengan baik.

Di banyak negara, pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan mengikuti program-program intervensi keluarga yang menjadi satu dengan pengobatan skizofrenia seperti family psycho education program, cognitive behavior therapy for family, multifamily group therapy dan lain-lain. Sementara di Indonesia program penanganan keluarga ini belum mendapat perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu dilakukan mengingat bahwa: pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam perawatan, tetapi berada ditengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan mental membuat penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga penanganan oleh keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi pengetahuan dasar tentang skizofrenia, penanganan emosi dalam keluarga, keterampilan menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat yang baik bagi penderita.Demikian halnya dengan penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, mereka membutuhkan koping yang baik dari keluarga setelah remisi dari rumah sakit, sehingga relaps bisa dikendalikan atau dicegah. Kenyataan yang ada dilapangan tidak seperti yang diharapkan, pasien justru banyak yang mengalami relaps dan keluarga seolah pasrah dengan kondisi yang terjadi. Hal inilah yang membuat penulis merasa tertarik dan ingin melakukan penelitian tentang Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pada Penderita Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.Metodologi Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian analitik dengan rancangan studi Kasus-Kontrol yang bersifat Retrospektif, karena tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh koping keluarga terhadap kejadian relaps pada skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara, penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 10 Nopember 2006. Populasi dalam penelitian adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006, dengan jumlah sampel 20 kasus dan 20 kontrol yang diambil secara purposive sampling dengan kriteria: keluarga penderita skizofrenia yang relaps dan tidak relaps, penderita belum menikah, merupakan significant other dari penderita, tinggal serumah, berusia 18 tahun dan domisili di Medan.Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Teknik analisis data dilgunakan adalah Mann-Withney U-Test dan Regresi Logistik.

Hasil dan Pembahasan1. Analisis bivariat Koping Internal Terhadap Kejadian Relaps

1.1. Mengandalkan kelompok keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 15% keluarga penderita skizofrenia yang relaps mengandalkan kelompok keluarga dengan kategori baik dalam merawat penderita, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps 75% mengandalkan kelompok keluarga dengan kategori baik. Melihat hasil tersebut penulis beranggapan bahwa ada pengaruh mengandalkan kelompok keluarga dengan kejadian relaps. Hasil tes Mann Whitney menunjukkan bahwa koping internal mengandalkan kelompok keluarga yang tidak relaps lebih baik dibandingkan dengan koping internal mengandalkan kelompok keluarga yang relaps, dimana perbedaan jarak rata-rata koping internal mengandalkan kelompok keluarga yang tidak relaps lebih besar dibandingkan koping internal mengandalkan kelompok keluarga yang relaps. Selain itu koping internal mengandalkan kelompok keluarga lebih baik dibandingkan dengan sub variabel koping internal lainnya, hal ditunjukkan oleh perbedaan jarak rata-rata koping internal mengandalkan kelompok keluarga yang tidak relaps dengan yang relaps lebih besar dibandingkan dengan sub variabel koping internal lainnya.

Hal ini juga didukung hasil uji statistik Mann Whitney yang menunjukkan bahwa koping internal mengandalkan kelompok keluarga berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps dimana nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh koping internal mengandalkan kelompok keluarga dengan kejadian relaps.

Menurut Burgess (1979) dikutip Friedman (1998) dalam buku Keperawatan keluarga Teori dan Praktek mengatakan bahwa keluarga ketika menghadapi masalah akan lebih mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri, karena mereka menilai dan melihat bahwa kontrol diri dan kemandirian sangat penting selama mas-masa sulit. Selain itu anggota keluarga perlu menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai ketegangan dalam diri mereka sendiri. Menurut penulis hal inilah yang membuat kenapa koping internal mengandalkan kelompok keluarga ini berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps.

1.2. Penggunaan humor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan humor pada keluarga penderita yang relaps hanya 10% dalam ketori baik, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps penggunaan humor 75% dalam kategori baik. Hasil ini menunjukkan perbedaan yang sangat jauh antara keluarga penderita yang relaps dan tidak relaps dalam hal penggunaan humor sewaktu merawat penderita. Hal ini juga didukung oleh hasil tes Mann Whitney yang menunjukkan bahwa perbedaan jarak rata-rata penggunaan humor antara keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan keluarga penderita yang relaps. Selain itu hasil uji statistik Mann Whitney menunjukkan bahwa penggunaan humor berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps dimana nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh penggunaan humor dengan kejadian relaps.

Menurut Hot (1979) dikutip oleh Friedman (1998) mengatakan bahwa humor merupakan aset keluarga yang sangat penting, yang dapat memberikan sumbangan perbaikan bagi sikap-sikap keluarga terhadap masalah dan perawatan kesehatan anggota keluarganya. Grojhan juga mengatakan bahwa humor merupakan kekuatan, superioritas dalam menghadapi bahaya dan ketegangan serta menghilangkan rasa cemas. Jadi menurut penulis penggunaan humor sangat penting dalam merawat penderita skizofrenia remisi sempurna, karena hal dapat mengurangi kejadian relaps.

1.3. Memelihara ikatan keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 5% keluarga penderita skizofrenia yang relaps memelihara ikatan keluarga dengan baik, sedangkan keluarga penderita skizofrenia yang tidak relaps 65% memelihara ikatan kelaurga dengan baik. Hasil ini menunjukkan perbedaan koping internal memelihara ikatan keluarga antara yang relaps dan tidak relaps. Hasil ini juga didukung oleh hasil tes Mann Whitney yang menunjukkan bahwa perbedaan jarak rata-rata koping internal memelihara ikatan keluarga antara yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan yang relaps. Selain itu menurut hasil uji statistik Mann Whitney menunjukkan bahwa memelihara ikatan keluarga berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, hal ini terlihat dari nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh memelihara ikatan keluarga dengan kejadian relaps.

Menurut Tomsenz (1988) bahwa memelihara ikatan keluarga/keterbukaan perlu dibangun dalam setiap keluarga agar dapat membantu koping keluarga dalam menghadapi masalah keluarga. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya waktu untuk bersama keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, mengembangkan ritual dalam keluarga, bermain bersama, bercerita pada waktu hendak tidur dan mengungkapkan tentang pekerjaan atau kehidupan di sekolah.

Demikian juga menurut Figley (1989), bahwa ikatan keluarga yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena anggota keluarga yang sakit sangat membutuhkan dukungan. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Stinnet dan De Frain (1987), bahwa untuk membina keluarga yang sehat dan bahagia keluarga harus adakan waktu untuk bersama dalam keluarga, ikatannya harus erat dan kuat dan saling menghargai. Peneliti juga sependapat bahwa ikatan keluarga/keterbukaan perlu dibangun dalam setiap keluarga terutama dalam keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna, sehingga kemungkinan relaps dapat dicegah atau dikurangi.

1.4. Mengontrol kembali makna dari masalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 45% keluarga penderita skizofrenia yang relaps mengontrol makna dari masalah dengan kategori baik, sedangkan keluarga penderita skizofrenia yang tidak relaps 80% mengontrol makna dari masalah dengan kategori baik. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara keluarga penderita yang relaps dan tidak relaps dalam mengontrol makna dari masalah yang dihadapi.

Menurut hasil tes Mann Whitney bahwa perbedaan jarak rata-rata koping internal mengontrol kembali makna masalah dari keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan koping internal mengontrol kembali makna masalah dari keluarga penderita yang relaps.Selain itu menurut hasil uji statistik Mann Whitney bahwa mengontrol kembali makna dari masalah yang dihadapi berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, hal ini ditunjukkan dengan nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh mengontrol kembali makna dari masalah dengan kejadian relaps.

Menurut Pearlin dan Schooler (1978) mengatakan bahwa mengontrol kembali makna dari masalah dapat mengurangi stress atau menetralisir secara kognitif rangsang berbahaya yang dialami keluarga, juga menurut Folkman (1986) bahwa keluarga yang menggunakan koping ini cenderung melihat masalah dari segi posisitf dibandingkan dari segi negatif. Demikian juga menurut Olson (1983) bahwa perumusan kembali keluarga dan anggotanya, mendefinisikan kejadian stresor sebagai sebuah tantangan yang dapat diatasi, dimana koping ini tidak hanya untuk mengurangi keadaan yang penuh dengan masalah tetapi untuk mencegah timbulnya masalah-masalah potensial agar tidak terjadi.

1.5. Pemecahan masalah bersama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping internal pemecahan masalah bersama pada keluarga penderita yang relaps hanya 40% kategori baik, sedangkan koping internal pemecahan masalah bersama pada keluarga penderita yang tidak relaps 60% kategori baik. Hasil diaatas menunjukkan adanya perbedaan antara keluarga yang relaps dan tidak relaps dalam melakukan perawatan terhadap penderita.

Menurut hasil tes Mann Whitney bahwa jarak rata-rata koping internal pemecahan masalah bersama pada keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan koping internal pemecahan masalah bersama pada keluarga penderita yang relaps. Namun kalau dilihat dari hasil uji statistik Mann Whitney bahwa koping internal pemecahan masalah bersama tidak berpengaruh nyata dengan kejadian relaps, dimana nilai p >0.05, artinya tidak ada pengaruh antara koping internal pemecahan masalah dengan kejadian relaps.

Berdasarkan penelusuran teori yang dilakukan bahwa koping internal pemecahan masalah bersama ini dikalangan anggota keluarga merupakan sebuah strategi, dimana keluarga dapat mendiskusikan masalah yang ada secara bersama-sama, mengupayakan solusi atau jalan keluar dari masalah. Namun pendapat ini tidak sejalan dengan hasil uji statistik bahwa koping ini dapat mempengaruhi kepada kejadian relaps. Menurut Reis bahwa keluarga yang menggunakan koping ini dinamakan keluarga yang peka terhadap lingkungan dan tidak menunjukkan masalah sebagai masalah internal.

Perbedaan pendapat Reis dan teori yang ada dengan hasil uji statistik menurut peneliti jelas disebabkan karena keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna ini tidak menggunakan koping ini sebagai sebuah strategi untuk mendiskusikan masalah secara bersama-sama, dimana penderita tidak dilibatkan ketika mereka mendiskusikan masalah yang dihadapi penderita itu sendiri, sehingga keputusan yang dihasilkan sering bersifat sepihak, walaupun sebenarnya hasil keputusan adalah untuk menolong penderita keluar dari masalahnya. Hal inilah yang menyebabkan kenapa koping internal pemecahan masalah secara bersama ini tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps.

1.6. Fleksibilitas peran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping internal fleksibitas peran ini pada keluarga penderita yang relaps hanya 15% kategori baik, sedangkan pada keluarga penderita yang tidak relaps sebanyak 70% kategori baik. Dari hasil ini terlihat bahwa ada perbedaan penggunaan koping internal fleksibilitas peran antara keluarga penderita yang relaps dan tidak relaps dalam melakukan perawatan kepada penderita. Namun dalam uji statistik pengaruhnya tidak bisa dibuktikan karena diperoleh hasil bahwa koping internal fleksibilitas peran tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p > 0.05, artinya tidak ada pengaruh koping internal fleksibilitas peran dengan kejadian relaps.

Demikian juga dengan hasil tes Mann Whitney bahwa jarak rata-rata koping internal fleksibilitas peran pada keluarga yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan koping internal fleksibilitas peran pada keluarga penderita yang relaps. Namun dalam uji statistik pengaruhnya tidak bisa dibuktikan karena diperoleh hasil bahwa koping internal fleksibilitas peran tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p > 0.05, artinya tidak ada pengaruh koping internal fleksibilitas peran dengan kejadian relaps pada skizofrenia remisi sempurna.Hasil ini tidak sejalan dengan pendapat Olson (1979) yang mengatakan bahwa koping fleksibilitas peran merupakan salah satu cara utama adaptasi keluarga terhadap masalah yaitu dengan mengubah peran-peran keluarga ketika menghadapi masalah. Dalam hal ini diharapkan keluarga harus tetap bisa menerima penderita apa adanya dan siap untuk menggantikan peran penderita selama ia sakit. Demikian juga menurut Davis (1986) bahwa memperkuat fleksibilitas peran dalam keluarga merupakan suatu strategi koping fungsional, dengan menemukan bahwa peran keluarga bisa fleksibel atau kaku dapat membedakan tingkat berfungsinya keluarga. Menurut peneliti juga bahwa koping fleksibilitas peran ini tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps karena keluarga tidak mampu memodifikasi peran-peran keluarga dengan baik ketika dibutuhkan.

1.7. Normalisasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping internal normalisasi ini pada keluarga penderita yang relaps hanya 15% kategori baik, sedangkan pada keluarga penderita yang tidak relaps koping ini 55% kategori baik. Demikian juga dengan hasil tes Mann Whitney bahwa jarak rata koping internal normalisasi pada keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan koping internal normalisasi pada keluarga penderita yang relaps, itu artinya keluarga penderita yang tidak relaps masih lebih baik dalam menggunakan koping ini dibandingkan dengan keluarga penderita yang relaps.

Hasil uji statistik tentang koping ini juga menunjukkan bahwa koping internal normalisasi ini berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh koping internal normalisasi dengan kejadian relaps. Hal ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa normalisasi adalah satu strategi keluarga untuk menormalkan segala sesuatu ketika mereka melakukan koping terhadap stresor terutama jangka panjang yang cenderung merusak kehidupan keluarga. Seperti kita ketahui bersama bahwa skizofrenia adalah penyakit kronis, walaupun sudah dikatakan sembuh namun penyakit ini mempunyai kecenderungan untuk kambuh kembali apabila keluarga tidak mampu melakukan perawatan dengan baik.

Menurut Davis seorang peneliti pertama yang menggunakan istilah normalisasi menggambarkan respon keluarga terhadap sakit dan kecacatan pada anak yang menderita sakit polio. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa keluarga menormalkan situasi abnormalitas dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan biasa dan terus memelihara ikatan sosial. Demikian juga sebenarnya yang diharapkan dilakukan oleh keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna dalam merawat penderita, mereka harus dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari di rumah, melatih mereka dalam kegiatan mandiri serta memberikan penghargaan kepada mereka ketika mereka berhasil melakukan sesuatu dengan benar atau salah, maka oleh Friedman (1998) dan Schulman mengatakan bahwa strategi koping seperti ini sering digunakan dalam keluarga yang mengalami sakit kronis.

Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa koping internal yang paling signifikan berpengaruh terhadap kejadian relaps adalah mengandalkan kelompok keluarga, dimana nilai p = 0,01 atau < 0,05 dengan Odds Rasio (OR) = 100,83 pada 95% CI, artinya keluarga yang tidak mengandalkan kelompok keluarga dengan baik dapat meningkatkan resiko relaps 100,83 kali dibandingkan dengan keluarga yang mengandalkan kelompok keluarga dengan baik.

Hasil temuan ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa dukungan keluarga memang sangat penting dalam proses penyembuhan penderita. Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia belum divalidasi dalam penelitian, namun bagian fungsi keluarga yang diimplikasikan dalam peningkatan kekambuhan penderita skizofrenia adalah hubungan yang tidak harmonis, dingin dan penuh ketegangan, tidak ada waktu untuk bersama dan komunikasi yang tidak baik diantara keluarga.

2. Analisis Bivariat Koping Eksternal Terhadap

Kejadian Relaps.

2.1. Mencari informasi

Hasil penelitian mengenai koping ini menunjukkan bahwa hanya 5% keluarga penderita yang relaps melakukan pencarian informasi dengan baik tentang penyakit yang diderita oleh anggota keluarganya, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps 75% melakukan pencarian informasi tentang penyakit dengan baik. Hal ini memang didukung oleh hasil tes Mann Whitney bahwa jarak rata-rata koping eksternal mencari informasi pada keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan keluarga penderita yang relaps.

Hasil tersebut di atas diperkuat juga oleh hasil uji statistik bahwa koping eksternal mencari informasi berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh koping eksternal mencari informasi dengan kejadian relaps. Hal ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa keluarga-keluarga yang mengalami stress memberi respon kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Keluarga dapat melakukan pencarian informasi tentang penyakit, pengobatan dan pencegahan, bisa juga dilakukan dengan konsultasi kepada dokter atau psikiater, tukar menukar informasi dengan keluarga penderita yang lain serta mengikuti pelatihan/seminar tentang masalah yang dihadapi.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Chesler dan Barbarin (1987), juga mendokumentasikan penggunaan upaya mencari informasi sebagai suatu strategi koping keluarga. Dalam penelitian mereka terhadap koping keluarga dengan anak yang menderita kanker, ditemukan bahwa upaya orang tua mencari informasi adalah sebagai suatu koping yang membantu orang tua mengurangi ketidakpastian dan rasa takut akan prognosis anak mereka.

2.2. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas

Hasil penelitian tentang koping memelihara hubungan aktif dengan komunitas menunjukkan bahwa keluarga penderita yang relaps hanya 20% menggunakan koping ini dengan baik, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps 95% menggunakan koping ini dengan baik. Perbedaan yang sangat jauh antara koping keluarga penderita yang relaps dan tidak relaps terlihat dari hasil tersebut. Demikian juga dengan hasil tes Mann Whitney bahwa jarak rata-rata koping eksternal memelihara hubungan aktif dengan komunitas pada keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan dengan koping eksternal memelihara hubungan aktif dengan komunitas pada keluarga yang relaps.

Hasil uji statistik juga mendukung keadaan tersebut, dimana koping eksternal memelihara hubungan aktif dengan komunitas berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, hal ini ditunjukkan oleh nilai p < 0.05, artinya ada pengaruh koping eksternal memelihara hubungan aktif dengan komunitas terhadap kejadian relaps. Menurut teori yang ada bahwa koping ini merupakan koping yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, dimana keluarga merupakan partisipan-partisipan aktif dalam kelompok komunitas, karena keluarga tidak mampu melayani semua kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga tanpa bantuan sumber-sumber lain, maka tindakan untuk meningkatkan hubungan dengan komunitas yang lebih luas sangat penting dilakukan.

Menurut penulis pentingnya keluarga memelihara hubungan aktif dengan komunitas bukan tanpa alasan, karena dengan koping ini keluarga dapat membina hubungan baik dengan komunitas, mengikuti kegiatan sosial untuk mendapatkan dukungan moril dan materil serta yang paling penting adalah untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi. Penting adanya pengetahuan masyarakat untuk tidak mengecap penderita dengan kata-kata seperti gila atau kurang waras bahkan mengejek atau menghujatnya (Vijay, 2005).2.3. Mencari dukungan sosial

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping eksternal mencari dukungan sosial pada keluarga yang relaps sama sekali tidak ada dalam kategori baik, itu artinya tidak ada satupun dari keluarga penderita yang relaps yang melakukan koping ini dengan baik, sedangkan pada keluarga penderita yang tidak relaps hanya sekitar 10% yang menggunakan koping ini dengan baik. Dari hasil tersebut tidak ada menunjukkan perbedaan yang berarti, baik keluarga penderita yang relaps dan tidak relaps dalam melakukan koping ini.

Hasil tes Mann Whitney menunjukkan jarak rata-rata koping eksternal mencari dukungan sosial pada keluarga yang tidak relaps lebih besar bila dibandingkan dengan koping eksternal mencari dukungan sosial pada keluarga yang relaps. Namun hasil temuan ini tidak didukung oleh hasil uji statistik Mann Whitney dimana koping eksternal mencari dukungan sosial tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps dimana nilai p > 0,05, artinya tidak ada pengaruh koping eksternal mencari dukungan sosial terhadap kejadian relaps.

Hasil uji statistik di atas berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa mencari sistem pendukung sosial merupakan strategi koping keluarga yang utama dan seperti kata Mac Elveen (1978), setiap keluarga memiliki jaringan kerja sosial yang unik dan sangat penting bagi peningkatan citra diri, perasaan memiliki dan perasaan puas terhadap kelompok/keluarga. Friedman (1985) mengatakan bahwa tidak adanya dukungan sosial dikalangan keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sakit, sangat bersifat merusak keluarga.

Namun menurut teori, ada juga masalah dan bukti bahwa banyak keluarga yang tidak mencari bantuan sosial saat mereka membutuhkan, hal ini terjadi karena ada keyakinan bahwa mereka mampu mandiri dan menganggap bahwa meminta bantuan adalah tanda kelemahan. Itulah sebabnya ketika mereka gagal menangani masalahnya keluarga akan beralih kepada profesional untuk menangani masalahnya. Demikian halnya yang terjadi dengan hasil penelitian ini, dimana keluarga enggan mencari dukungan sosial, karena mereka merasa mampu menangani masalah yang dihadapi, pada kenyataannya tidak demikian.

2.4. Mencari dukungan spiritual

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga penderita skizofrenia yang relaps tidak ada satupun yang menggunakan koping ini dengan baik, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps 75% menggunakan koping ini dengan baik. Demikian juga dengan hasil tes Mann Whitney menunjukkan bahwa jarak rata-rata koping eksternal mencari dukungan spiritual pada keluarga penderita yang tidak relaps lebih besar dibandingkan pada keluarga penderita yang relaps.

Hasil temuan ini diperkuat oleh hasil uji statistik dimana koping eksternal mencari dukungan spiritual berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, hal ini ditunjukkan oleh nilai p < 0,05, artinya ada pengaruh koping mencari dukungan spiritual dengan kejadian relaps. Menurut Chesler dan Barbarin (1987) serta Friedman (1985) mengatakan meskipun banyak orang memikirkan upaya mencari dan mengandalkan dukungan spiritual sebagai suatu respon koping individual, beberapa studi mengatakan bahwa anggota keluarga menemukan dukungan spiritual ini sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalahnya. Sesungguhnya kepercayaan terhadap Tuhan dan berdoa merupakan cara yang paling penting bagi keluarga untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Pendapat di atas juga diperkuat oleh pendapat Olson (1983), bahwa untuk mengatasi masalah sehari-hari penggunaan agama merupakan hal yang penting dan menurut Friedman (1998) bahwa dukungan spiritual membantu keluarga mentoleransi ketegangan kronis dan lama. Koping eksternal yang paling signifikan berpengaruh terhadap kejadian relaps adalah memelihara hubungan aktif dengan komunitas, dimana nilai p = 0,00 atau < 0,05 dengan Odds Rasio (OR) = 38,13 pada 95% CI, artinya keluarga yang tidak memelihara hubungan aktif dengan komunitas secara baik dapat meningkatkan resiko relaps sebesar 38,13 kali dibandingkan dengan keluarga yang memelihara hubungan aktif secara baik dengan komunitas.

Penerimaan masyarakat terhadap penderita skizofrenia remisi sempurna memang tidak mudah, karena hal ini tidak terlepas dari adanya stigma atau anggapan masyarakat bahwa penderita skizofrenia remisi sempurna tidak mungkin disembuhkan. Penderita sering mendapatkan cacian, ejekan dengan kata-kata tidak waras atau gila. Itulah sebabnya keluarga perlu melakukan hubungan yang baik dengan komunitas/masyarakat agar stigma seperti ini dapat dihilangkan atau dicegah. Demikian juga menurut Vijay (2005), bahwa pengetahuan masyarakat tentang penyakit jiwa perlu dibekali dengan baik dan bahkan kalau perlu mereka dilibatkan dalam perawatan penderita.

3. Analisis Multivariat Koping Internal dan Koping Eksternal terhadap Kejadian RelapsHasil uji regresi logistik pengaruh antara koping internal dan eksternal terhadap kejadian relaps menunjukkan bahwa koping keluarga eksternal memberikan pengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p =0,04 atau kurang dari 0,05 dengan nilai OR = 19,00 pada 95% CI, artinya koping keluarga eksternal yang tidak baik dapat meningkatkan resiko relaps pada penderita skizofrenia 19 kali dibandingkan dengan koping keluarga eksternal yang baik.

Menurut Friedman (1998) bahwa sumber-sumber koping eksternal berhubungan dengan penggunaan sistem pendukung sosial oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Tanpa kemampuan yang memadai dari keluarga untuk beradaptasi dengan lingkungan akan membawa keluarga kepada keadaan penuh resiko. Fakta penelitian juga menunjukkan hal serupa, dimana koping keluarga eksternal yang tidak baik akan menimbulkan resiko relaps bagi penderita. Menurut Vijay (2005) bahwa edukasi kepada publik perlu dilakukan untuk menurunkan stigma dan diskriminasi kepada penderita dan keluarga.KesimpulanSetelah melakukan penelitian tentang pengaruh koping keluarga terhadap kejadian relaps pada skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.Koping keluarga internal seperti mengandalkan kelompok keluarga, penggunaan humor, memelihara ikatan keluarga, mengontrol kembali makna dari masalah, dan normalisasi terbukti berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p < 0,05, sedangkan koping keluarga internal pemecahan masalah, dan fleksibilitas peran tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p > 0,05 dan dari hasil analisis multivariat koping keluarga internal mengandalkan kelompok keluarga paling signifikan mempengaruhi kejadian relaps, dimana nilai p = 0,01 dengan OR = 100,83, artinya kejadian relaps dapat meningkat 100,83 bila keluarga tidak mengandalkan kelompoknya/sumber-sumber mereka sendiri secara baik.2. Koping keluarga eksternal seperti mencari informasi, memelihara hubungan aktif dengan komunitas dan mencari dukungan spiritual terbukti berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p < 0,05, sedangkan koping keluarga eksternal mencari dukungan sosial tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian relaps, dimana nilai p > 0,05 dan dari hasil analisis multivariat koping eksternal memelihara hubungan aktif dengan komunitas paling signifikan mempengaruhi kejadian relaps dimana nilai p = 0,00 dengan OR = 38,13, artinya kejadian relaps dapat meningkat 38,13 kali apabila keluarga tidak dapat memelihara hubungan aktif dnegan komunitas secara baik.

3. Koping berpengaruh terhadap kejadian relaps, koping eksternal lebih signifikan mempengaruhi kejadian relaps dibandingkan dengan koping internal, dimana nilai p = 0,04 dengan OR = 19, artinya kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna dapat meningkat 19 kali apabila keluarga tidak menggunakan koping eksternal dengan baik.Daftar Pustaka

1. Ahmadi, Abu, 2002. Psikologi Sosial, Ed Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.

2. Amir, Nurmiati, Mencegah Stigma Gila, http://www.RagamBerita.com, 15 Februari 2006.

3. Anastasi, A dan Urbina, S, 1997. Tes Psikologi, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Prenhallindo.

4. APA, 2004. Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-TR. Ed 4. American Psychiatric Association Arlington, VA.

5. Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Ed Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.

6. Azwar, Saifudin, 2000. Reliabilitas dan Validitas, Ed 3 Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

7. ______, 2005. Penyusunan Skala Psikologi, Ed 1, Cetakan V, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

8. Bachtiar dan Sylvia, 2005. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi, Jakarta: EGC.

9. Departemen Kesehatan, RI, 1993. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta: Departemen Kesehatan.

10. Dharmady, Agus, 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta dan Sanatorium Dharmawangsa dalam Pemilihan Jalur Pelayanan Kesehatan Pertama Kali dan Keterlambatan Kontak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa, Jakarta: FKUI.

11. Friedman, Marilyn M, 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, ed 3, Alih Bahasa: Ina Debora dan Yoakin Asy, Jakarta: EGC.

12. Hawari, Dadang, 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa, Ed 2, Jakarta: FKUI.

13. Hurlock, Elizabeth H, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan sepanjang Kehidupan, Ed 5, Alih Bahasa, Istidayanti dan Soejdarwo, Jakarta: Erlangga.

14. Ingram, dkk, 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6. Alih Bahasa: Petrus Adianto, Jakarta: EGC15.Irmansyah, 2005. Faktor Genetika pada Skizofrenia. http://www.schizophrenia.web.id.

16.Isaacs, Ann, 2005. Mental Health and Psychiatric Nursing. Alih Bahasa: Dian Praty Rahayuningsih,Jakarta: EGC.

17. Izzudin, dan Amino, Gondohutomo.2005. Konsultasi dan Integrasi Pelayanan Psikiatri:Membunuh Keluarga Sendiri, http://www.suaramerdeka.com. 5 September 2005.

18.Kaplan dan Sadock, 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Ed 7, Alih Bahasa: Dr Widjaja Kusuma, Jakarta: Binarupa Aksara.

19. _____,1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Alih Bahasa: Dr. WM. Roan, Jakarta: Widya Medika.

20. Kusuma, Widjaja, 1997. Kedaruratan Psikiatrik Dalam Praktek, Editor: Dr. Lyndon Saputra, Jakarta: Professional Books.

21.Lemeshoww, dkk, 1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Alih Bahasa:Dibyo Pramono, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

22. Maramis, WF, 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan 8, Jakarta: Airlangga.

23. Maslim, Rusdi, 1997. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta: TP.

24. Murti, Bhisma, 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

25. Residen Bagian Psikiatri UCLA, 1997. Buku Saku Psikiatri, Alih Bahasa: dr.R.F. Maulany, Jakarta: EGC.

26. Ridwan, 2003. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Bandung: Alfabeta.

27. Sabri,Luknis dan Sutanto, 2007. Statistik Kesehatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

28. Saifullah, 2005. Penanganan Penderita Skizofrenia Secara Holistik di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Nangroe Aceh Darussalam. Tesis. PPs USU. Medan.

29. Sastroasmoro, Sudigdo, 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Binarupa Aksara.

30. Shea, Shawn C, 1996. Wawancara Psikiatri, Alih Bahasa: Novi Helena Catherina, Elfi Syahreni, Aniek Maryunani,Jakarta:EGC.

31. Semi Jurnal Farmasi dan Kedokteran, Hati-Hati Skizofrenia, Ethical Digest, Ed 24, Hal: 31-40, Februari 2006.

32. Sunaryo, 2004. Psikologi Untuk Keperawatan, Jakarta: EGC.

33. Sundart, Siti, 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Jakarta: Rineka Cipta.

34. Tomb, David A, 2004. Buku Saku Psikiatri, Ed 6, Alih Bahasa: dr.Martina Wiwie N, Jakarta: EGC.