2. bab 1, 2, 3
DESCRIPTION
forensikTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya
benda bukti dan/atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang
diduga kejahatan menurut suatu kesaksian. Pemeriksaan Tempat Kejadian
Perkara (TKP) merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
investigasi. Berhasil atau tidaknya suatu penyelidikan sangat bergantung
pada pemeriksaan TKP. Pemeriksaan langsung di tempat terjadinya suatu
kasus memungkinkan seseorang untuk mencari sesuatu yang mungkin
tidak terpikirkan jika tidak datang secara langsung ke lokasi kejadian.
Penyelidikan ini bertujuan untuk menjelaskan kembali
(rekonstruksi) suatu kejadian yang melanggar hukum serta pola pikir yang
mengikutinya untuk menjelaskan siapa pelakunya. Berbagai upaya dari
kegiatan penyelidikan dilakukan secara retrograde dari apa yang diketahui
untuk mengungkapkan apa yang tidak diketahui, sehingga dari faktor yang
diketahui dapat ditegakkan suatu kebenaran.
Pada kasus kematian yang wajar, pemeriksaan TKP tidak perlu
dilakukan. Namun, dibutuhkan suatu kepekaan untuk mendeteksi suatu
tindak kriminal. Karena harus diingat juga bahwa kematian yang
nampaknya wajar bisa saja merupakan hasil dari suatu kriminalitas. Maka,
suatu kematian harus dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar sampai
bukti-bukti yang ada menyatakan sebaliknya.
Kira-kira 20 persen dari seluruh kematian membutuhkan
penyelidikan dari medikolegal untuk menentukan sebab dan cara
kematiannya, dan kira-kira separuhnya disebabkan oleh tindak kekerasan.
Dalam menentukan wajar atau tidaknya suatu kematian, peran dari seorang
dokter sangat diperlukan.
Dalam meminta pertolongan dokter dalam penyelidikan TKP,
penyidik dikuatkan oleh beberapa dasar hukum, karena itu, merupakan
1
kewajiban dokter untuk hadir di TKP apabila diminta. Karena itu, referat
ini membahas tentang peran dokter atau ilmu kedokteran dalam
penyelidikan suatu Tempat Kejadian Perkara, dimana hanya akan dibahas
TKP yang berhubungan dengan manusia sebagai korban.
B. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui peranan
pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara dalam mengusut suatu kasus dan
mencari penyebab dari suatu kematian.
C. Manfaat penulisan
Manfaat yang didapat dari penulisan referat ini adalah:
a. Sebagai bekal dalam menjalankan profesi sebagai dokter
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang
kedokteran khususnya di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TEMPAT KEJADIAN PERKARA
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda
bukti dan/atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga
kejahatan menurut suatu kesaksian. Tempat korban pertama kali ditemukan
disebut sebagai TKP pertama (primary scene), yang bukan selalu merupakan
tempat dimana sesungguhnya peristiwa tersebut telah terjadi. Jadi, dalam
kasus pembunuhan, kadang-kadang masih dapat ditemukan lokasi lain
dimana barang bukti penting lain dapat ditemukan. Lokasi-lokasi yang dapat
digolongkan sebagai TKP adalah (Dagnan G, 2005):
1. Tempat dimana korban ditemukan.
2. Tempat dimana tubuh korban dipindahkan.
3. Tempat dimana telah terjadi serangan yang mengakibatkan kematian
korban.
4. Tempat-tempat dimana ditemukan barang bukti yang ada hubungannya
dengan kejahatan (bagian dari tubuh manusia, kendaraan yang dipakai
untuk mengangkut korban, dan lain-lainnya).
Tempat lain yang perlu dan bahkan sering banyak memebrikan
informasi serta barang bukti adalah rumah kediaman tersangka (Ballou S,
2013).
2.2 TINDAKAN PERTAMA DI TKP
Penyelidikan Tempat Kejadian Perkara (TKP) merupakan integrasi
dari ilmu pengetahuan, logika, dan hukum, dimana proses ini biasanya
berlangsung lama dan sangat melelahkan. Penyelidikan ini melibatkan
dokumentasi dari tempat kejadian dan pengumpulan barang bukti yang
mungkin dapat memberikan petunjuk mengenai apa yang terjadi dan
tersangkanya. Tidak ada dua TKP yang sama persis, tidak ada barang bukti
3
yang sama persis, karena itu, tidak ada suatu pendekatan investigasi yang
sama persis untuk dua kasus yang berbeda (Miller MT, 2012).
Tindakan pertama yang dilakukan di TKP biasanya dikerjakan oleh
polisi yang datang pertama kali di TKP setelah mendengar, menjumpai,
menerima laporan, pengaduan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana.
Kegiatan yang dilakukan oleh petugas ini bertujuan untuk (Miller MT, 2012):
1. Memberikan perlindungan dan pertolongan pertama terhadap masyarakat
maupun korban.
2. Menutup dan mengamankan TKP (mempertahankan status quo) terhadap
barang bukti manusia maupun benda.
Dalam rangka mengamankan TKP, batas pengaman ditentukan
dengan perkiraan (Miller MT, 2012):
1. membuat batas TKP seluas mungkin, baru kemudian dipersempit kalau
perlu.
2. mengevaluasi TKP atas dasar lokasi dimana tubuh korban ditemukan,
adanya barang-barang bukti lain, keterangan saksi, dan batas-batas yang
sudah ada.
Upaya pengamanan perlu dilakukan sedini mungkin untuk mencegah
dan melindungi barang-barang bukti agar tidak hilang, berubah karena
pengaruh cuaca dan kontaminasi manusia. Umumnya, tanpa adanya
pengamanan, masalah kontaminasi ini baik berdiri sendiri atau bersama-sama
dapat mengakibatkn TKP berantakan dan tidak mungkin dibenahi kembali
(Miller MT, 2012).
Cuaca merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian
karena adanya barang bukti yang mudah berubah atau hilang, misalnya cairan
tubuh, residu, merupakan barang-barang bukti yang akan hilang oleh karena
hujan. Selain itu para penonton, atau bahkan anggota polisi sendiri
merupakan kontaminator yang perlu diwaspadai.
Tindakan pertama di TKP ini penting karena keberhasilan suatu
penyidikan sangat tergantung dengan tindakan pertama di TKP yang
dilakukan oleh petugas polisi pertama (Ballou S, 2013).
4
2.3 PENGOLAHAN TKP
Pengolahan TKP merupakan rangkaian penyelidikan dimana penyidik
besama dengan unsur dukungan beberapa pihak berupaya mengungkapkan
peristiwa yang telah terjadi dari bukti-bukti yang didapatkan di TKP. Ada
beberapa profesi yang biasanya dilibatkan dalam penyelidikan TKP, yaitu
polisi – yang biasanya datang pertama kali ke tempat kejadian. Polisi
bertanggung jawab mengamankan lokasi kejadian supaya tidak ada barang
bukti yang rusak. Pihak lain yang biasanya dilibatkan dalam penyelidikan
adalah tim penyelidik yang bertugas mendokumentasikan TKP dan
mengumpulkan bukti-bukti fisik. Dalam kasus-kasus tertentu, dapat pula
melibatkan specialist (entomologis, ahli forensic), detektif, dan seorang
medical examiner (Miller MT, 2012).
Pengolahan TKP ini terdiri dari pengamatan umum (general
observation), membuat sketsa dan pemotretan, penanganan korban, saksi dan
tersangka, serta pengumpulan barang bukti.
Pengamatan Umum
Pengamatan umum ini penting, karena pada tahap ini penyidik
mendapat kesempatan untuk berpikir dan tidak emosional. Pemeriksaan
dilakukan untuk meyakinkan bahwa teori dari kasus yang sedang dihadapi
sesuai dengan pengamatan penyidik. Pemeriksaan TKP dilakukan untuk
mengidentifikasi barang bukti yang menungkinkan, awal dan akhir dari kasus,
dan mendapatkan gambaran umum dari TKP (Ballou S, 2013).
Sketsa dan Foto
Sketsa merupakan gambaran sederhana yang menunjukkan letak dan
posisi tubuh diantara objek yang tidak bergerak terhadap objek-objek lain
yang ada di TKP. Dengan sketsa, penyidik dapat menggambarkan secara
singkat apa yang perlu dan menyingkirkan hal-hal yang tidak perlu tampak di
foto. Oleh karena itu sketsa merupakan diagram yang spesifik, selektif,
sederhana, dan jelas. Tanpa sketsa, foto tidak selalu dapat memberikan
gambaran yang pasti perbandingan letak suatu objek dengan yang lain. Hal
ini disebabkan oleh karena efek distorsi maupun perspektif dari kamera. Oleh
5
karena itu, sketsa selalu merupakan suplemen berita acara dan foto. Manfaat
dari sketsa adalah sangat berguna untuk menyegarkan daya ingat penyidik,
saksi, maupun tersangka yang kooperatif sehingga dapat memberikan
pengertian yang lebih jelas kepada penuntut umum maupun hakim tentang
sesuatu yang kelihatannya komplek, merekam gambaran dari keadan TKP
dan merekam barang-barang bukti (Ballou S, 2013).
Foto berfungsi mengabadikan setiap barang bukti relevan yang
diketemukan dan memperkuat ataupun menyingkirkan barang-barang bukti
yang tidak diperlukan. Selain itu dapat digunakan sebagai pengganti barang
bukti yang secara fisik tidak dapat dihadirkan di sidang. Fungsi lain dari foto
adalah sebagai penyegar daya ingat siapa saja yang berkepentingan terhadap
tindak pidana yang telah terjadi. Agar foto dapat dipergunakan di pengadilan,
diperlukan teknis pemotretan oleh petugas khusus yang terlatih. Fotografi
TKP secara umum dibagi menjadi dua, gambaran umum dan gambar masing-
masing barang bukti (Ballou S, 2013).
Penanganan Korban
Dalam menangani seorang korban perlu dibedakan apakah korban
hidup, diragukan hidup, atau mati. Pada setiap korban hidup atau diragukan
kehidupannya, prinsip tindakan pertolongan pertama harus diprioritaskan.
Sementara tindakan pertolongan pertama diberikan penyidik meminta
bantuan petugas kesehatan atau segera melarikannya ke Rumah Sakit.
Sewaktu evakuasi korban, perlu diperhatikan agar tidak terdapat barang bukti
yang tercecer, dan catat hal-hal yang diungkapkan korban. Setibanya dirumah
sakit berikan penjelasan secukupnya pada petugas rumah sakit. Dokter
sebaiknya melakukan koordinasi dengan dokter rumah sakit tentang hal-hal
yang dapat membantu pengumpulan barang bukti, terutama pada luka-tembak
dimana anak peluru merupakan suatu bukti, yang amat penting. Kalau
ditemukan anak peluru, perlu dijaga agar tidak sampai tergores, rusak atau
hilang (Newton M, 2008).
Sebaliknya, bila tanda-tanda kematian jelas, penyidik tidak akan
tergesa-gesa dan dapat mengadakan pemeriksaan dengan lebih tenang. Bila
6
dianggap perlu untuk memeriksa korban, penyidik dapat meminta bantuan
dokter untuk datang di TKP dengan tujuan untuk memperkirakan berapa lama
korban meninggal, sebab, cara, dan pola kematiannya ataupun hal-hal lain
yang dianggap perlu guna kepentingan penyidikan (Miller MT, 2012).
2.4 DASAR HUKUM MENDATANGKAN DOKTER PADA PENYIDIKAN
DI TKP
Diperlukan atau tidaknya kehadiran seorang dokter di TKP oleh
penyidik sangat bergantung pada kasusnya, yang pertimbangannya dapat
dilihat dari sudut korbannya, tempat kejadiannya, kejadiannya, atau tersangka
pelakunya. Peranan dokter di TKP adalah membantu penyidik dalam
mengungkap kasus dari sudut kedokteran forensik. Pada dasarnya, semua
dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun dengan
perkembangan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, adalah lebih baik jika
dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir (Miller MT, 2012).
Proses penyidikan membutuhkan kerjasama yang baik dan profesional
antara penyidik dan dokter. Selain itu, kunci keberhasilan penyidikan juga
terletak pada pemeriksaan di TKP. Penanganan yang baik, tepat, cermat, dan
dilaksanakan secara profesional merupakan pertanda akan tercapainya
keberhasilan penyidikan untuk membuat jelas perkara yang dihadapi. Oleh
karena itu, dokter dan penyidik perlu mengetahui bagaimana cara penanganan
yang semestinya, bila diharuskan melakukan pemeriksaan di TKP (Newton
M, 2008).
Pihak penyidik yang mendapatkan laporan telah terjadi suatu tindak
pidana, dapat meminta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di
tempat kejadian perkara sesuai dengan Pasal 120 KUHAP, yang bunyinya
sebagai berikut:
(1) Dalam hal penyidik mengangap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka
penyidik maka bahwa ia akan memberi keterngan menurut
7
pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan harkat dan
martabat, pekerjaan atau jabatan yang mewajibkan ia menyimpan rahasia
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Selain itu, terdapat juga Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.”
Bila dokter menolak untuk datang ke tempat kejadian perkara, sanksi
yang dikenakan padanya adalah dipidana sesuai dengan Pasal 224 KUHP,
yang berbunyi:
“Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan.”
Dokter harus selalu memperhatikan beberapa hal, mengingat akan
kepentingannya yaitu:
1. siapa yang meminta dokter datang ke TKP, bagaimana permintaan tersebut
sampai ke tangan dokter, dimana TKP, serta saat permintaan tersebut
diajukan,
2. minta informasi secara global tentang kasusnya, dengan demikian dokter
dapat membuat persiapan seperlunya,
3. dokter tidak boleh menambah atau mengurangi benda-benda yang ada di
TKP, seperti: membuang puntung rokok, membuang air kecil di kamar
mandi TKP, dan lain-lain,
4. dokter sebaiknya membuat foto atau sketsa dengan baik karena
kemungkinan ia akan diajukan sebagai saksi selalu ada. Foto atau sketsa
tersebut harus memenuhi standar sehingga antara dokter dan penyidik
tidak akan terjadi penafsiran yang berbeda atas objek yang sama,
8
5. dokter harus menilai dengan seksama gambaran umum tentang situasi di
TKP,
6. pemeriksaan atas tubuh korban hendaknya dilakukan secara sistematik dan
terarah sesuai ilmu kedokteran forensik (National Police Commision,
2011):
Bila ada permintaan penyidik ke TKP, maka seorang dokter akan
menghadapi dua aspek, yaitu aspek pertolongan pertama korban dan aspek
kedokteran forensik. Dengan demikian peralatan yang perlu dibawa adalah
(Miller MT, 2012):
a. Perangkat pertolongan pertama korban
1. Tensi
2. Stetoskop
3. Alat kesehatan termasuk obat – obatan untuk kedaruratan medis.
b. Perangkat TKP aspek kedokteran forensik
4. Pinset anatomi
5. Skalpel
6. Loupe
7. Sarung tangan karet bedah
8. Sarung tangan lapangan
9. Thermometer
10. Kertas saring
11. Pipet
12. Senter
13. Meteran
14. Penggaris
12. Botol plastik (untuk spesimen)
13. Kertas lakmus
14. Amplop
15. Lak
16. Tali rami
17. Buku catatan
9
18. Alat tulis
19. NaCl 0,9%
20. Formalin
21. Kamera
22. Kompas.
Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah meninggal
dunia adalah sebagai berikut :
a. Terhentinya denyut jantung.
Hal tersebut dapat diperiksa dengan menggunakan stetoskop atau dengan
menempelkan telinga ke dada sebelah kiri dari korban.
b. Terhentinya pergerakan pernapasan.
Hal tersebut dapat diperiksa dengan mengamati pergerakan dada korban,
atau dengan menempatkan cermin bersih dihadapan hidung dan mulut
korban. Kalau korban masih hidup terlihat adanya pergerakan dada atau
cermin menjadi keruh.
c. Kulit tampak pucat.
d. Melemasnya otot-otot tubuh.
Mentukan perkiraan saat kematian
Untuk memperkirakan saat kematian,hal-hal yang diperiksa adalah sebagai
berikut :
a. Lebam mayat (livor mortis, post mortem hypostasis).
1. Terdapat pada bagian-bagian tubuh yang terendah.
2. Lebam mayat akan mulai tampak sekitar 30 menit setelah kematian.
3. Sebelum 8-12 jam setelah kematian, lebam mayat menghilang pada
penekanan.
4. Setelah 8-12 jam, lebah mayat tidak menghilang pada penekanan.
b. Penurunan suhu mayat.
1. Cara pengukuran suhu mayat adalah dengan memasukkan termometer
air raksa kedalam rektum (anus, lubang dubur), sedalam 10 cm selama
3 menit.
10
2. Rata-rata penurunan suhu mayat adalah 1,5 F per jam (pada suhu
lingkungan 70 F).
3. Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat
adalah :
Saat Kematian = 98,6 F - Suhu rektal mayat
1,5
c. Kaku mayat (Rigor Mortis)
1. Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal (setelah mati), dan
mencapai puncaknya 10-12 jam post mortal. Kaku mayat dimulai dari
otot-otot wajah, leher, lengan, dada,perut dan tungkai.
2. Kaku mayat maksimal akan bertahan sampai 24 jam post mortal.
3. Setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan
terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot wajah,leher, lengan, dada, perut
dan tungkai.
4. Pada kematian karena infeksi, konvulsi (kejang-kejang), suhu keliling
yang tinggi serta keadaan gizinya jelek, akan mempercepat
terbentuknya kaku mayat.
d. Pembusukan.
1. Tanda awal dari pembusukan akan tampak sebagai pewarnaan
kehijauan pada daerah perut kanan bawah. Pembusukan akan menyebar
keseluruh perut dan kemudian kedaerah dada.
2. Pada akhir minggu pertama tubuh akan seluruhnya berwarna kehijauan
dan disana sini akan tampak merah ungu.
3. Pembentukan gas dalam tubuh akan dimulai pada awal minggu kedua.
Tanda-tandanya adalah perut akan tampak,menggelembung dan
dindingnya tegang. Gelembung pembusukan akan tampak jelas
biasanya pada daerah kantung zakar dan buah dada.
4. Setelah tiga atau empat minggu rambut akan mudah dicabut, kuku-kuku
akan terlepas, wajah akan tampak menggembung mata akan tertutup
erat oleh karena penggembungan pada kedua kelopak mata, bibir akan
11
menggembung dan mencucur, lidah akan menggembung dan terjulur
keluar.
5. Menurut Casper keadaan mayat setelah berada selama 1 minggu di
udara terbuka adalah sama dengan 2 minggu didalam air dan 8 minggu
didalam kuburan.
6. Mumifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan menyebabkan
pengeringan dengan cepat sehingga dapat menghentikan proses
pembusukan.
Praktek untuk memperkirakan saat kematian berdasarkan pada tiga
perubahan setelah kematian yang pokok, yaitu: lebam mayat, penurunan suhu
dan kaku mayat.Perlu diingat bahwa penentuan saat kematian yang tepat
adalah tak mungkin. Usaha maksimal dari ilmu kedokteran forensik adalah
memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan (National Police
Commision, 2011).
Menentukan identitas atau Jati diri korban
Dalam menentukan identitas korban, hal-hal yang dilakukan adalah
sebagai berikut (Newton M, 2008):
a. Mencatat nama, Jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, kalau diketahui
(dari kartu identitas, penyidik atau saksi-saksi).
b. Posisi korban saat ditemukan.
c. Pakaian yang melekat, termasuk perhiasan.
d. Tinggi badan, berat badan (atau taksiran kasar), habitue (atletis, pyknis,
kurus, gemuk, sedang), suku bangsa, warna kulit, warna rambut, gigi
geligi (gigi lengkap, gigi yang sudah dicabut, ada gigi palsu, gigi emas,
dsb.), ukuran sepatu.
e. Barang-barang atau cairan tubuh, obat-obatan atau peralatan yang ada di
sekitar korban.
Penanganan Saksi dan Tersangka
Baik dari tersangka maupun saksi diadakan interview ataupun
pemerisaan singkat untuk mengetahui keterlibatannya dalam tindak pidana
yang telah terjadi. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dapat dicari
12
petunjuk selanjutnya guna pengembangan penyidikan yang sedang berjalan
(Robinson MR, 2013).
Pemeriksaan terhadap tersangka meliputi identitas, kesehatan tubuh,
tanda kekerasan, kesehatan jiwa, adanya barang bukti lain yang masih
terdapat pada tubuh tersangka dan lain pemeriksaan yang dianggap perlu.
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terharap tersangka, dokter dapat
menyarankan apakah ia bisa ditahan atau perlu perawatan (Miller MT, 2012).
Penanganan Barang Bukti
Dalam kasus tertentu, penyidik akan meminta bantuan petugas
kesehatan untuk mendapatkan barang bukti yang masih melekat pada tubuh
korban: pakaian yang dikenakan dengan lumuran darah, lubang tembak atau
robekan akibat tusukan benda tajam. Untuk melepas baju korban, pakaian ini
seharusnya tidak disobek atau digunting begitu saja, melainkan sebaiknya
digunting pada bagian-bagian yang masih utuh.
Barang bukti lain seperti luka-luka pada tubuh sebaiknya dicatat, dan
dijelaskan dengan rinci tentang apa yang dilihat, bila mungkin dipotret
sebelum dilakukan tindakan terhadap luka-luka tersebut (Miller MT, 2012).
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka
akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat membe-
rikan kejelasan dari permasalahan sebagai berikut :
a. Jenis luka apakah yang terjadi ?
b. Jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka ?
c. Bagaimanakah kualifikasi luka itu ?
Dengan demikian pada pemeriksaan luka yang ditemukan pada mayat,
hal- hal yang perlu dicatat adalah (Robinson MR, 2013):
a. Jenis luka
b. Lokasi luka (contoh : di pipi kanan, 2 cm dibawah mata kanan, 1 cm diatas
bibir atas dsb)
c. Ukuran luka. Sebutkan panjang dan lebar serta dalamnya (cm)
d. Dasar luka ( misalnya : tulang, otot, dsb).
e. Penjelasan lain yang perlu.
13
Pada setiap kejahatan hampir selalu ada barang bukti yang tertinggal.
Barang bukti tersebut jika diteliti dengan memanfaatkan berbagai macam
disiplin ilmu kedokteran forensik (forensic science) maka tidak mustahil
kejahatan itu dapat terungkap. Dalam pengumpulan barang bukti dari TKP,
penyidik mempunyai beberapa tujuan utama yaitu untuk kepentingan
rekonstruksi tindak kejahatan, mengidentifikasi pelaku, menjaga barang bukti
untuk analisa lebih lanjut serta sebagai alat bukti di pengadilan. Oleh karena
itu pada kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan terhadap manusia perlu
dicari sebanyak mungkin barang bukti medik, baik yang berasal dari korban
maupun dari pelaku. Barang bukti medik yang berasal dari tubuh korban akan
lebih banyak memberikan informasi seputar proses terjadinya kejahatan,
sedangkan yang berasal dari tubuh pelaku akan menunjukkan informasi
identitasnya (Miller MT, 2012).
Salah satu tugas dokter di tempat kejadian perkara (TKP) adalah
mengumpulkan benda-benda bukti yang berkaitan dengan korban, terutama
sampel biologis untuk dikirim ke laboratorium. Sampel biologis yang
dimaksud meliputi darah, air mani, rambut, jaringan tubuh, air liur dll.
Sedangkan barang bukti medis adalah racun, obat-obatan, dll. Selalu gunakan
prosedur pencegahan bahaya atau infeksi dalam pengumpulan sampel
biologis. Pastikan untuk memakai sarung tangan, pakaian pelindung, masker
dan atau kacamata pelindung jika situasi mengharuskan (Robinson MR,
2013).
Pengambilan benda-benda bukti tersebut juga tetap harus mematuhi
prosedur pengambilan barang bukti secara umum. Perlu diingat moto “to
touch as little as possible and to displace nothing”, yaitu tidak boleh
menambah atau mengurangi benda-benda yang ada di TKP. Dokter tidak
boleh membuang barang sembarangan di TKP, meninggalkan
perlengkapannya, atau membuang air kecil di kamar mandi, karena semua itu
dikhawatirkan akan menghilangkan barang-barang bukti yang lain. Beberapa
tindakan lain yang dapat mempersulit penyidikan seperti memegang setiap
14
benda di TKP tanpa sarung tangan, mengganggu bercak darah, membuat jejak
baru serta melakukan pemeriksaan sambil merokok (Robinson MR, 2013).
Peralatan yang sebaiknya dibawa saat pemeriksaan di TKP adalah
sarung tangan, kamera, film berwarna dan hitam putih (untuk ruangan gelap),
lampu kilat, lampu senter, lampu ultraviolet, alat tulis, tempat menyimpan
barang bukti berupa amplop atau kantung plastik, pinset, skalpel, jarum, tang,
kaca pembesar, termometer rektal, termometer ruangan, sarung tangan, kapas,
kertas saring serta alat tulis (spidol) untuk memberikan label pada barang
bukti. Label pada barang bukti harus dituliskan tentang jenis barang bukti,
lokasi penemuan, saat penemuan, dan keterangan lain yang diperlukan.
Keterangan itu dapat berupa penjelasan lengkap mengenai barang bukti, jika
ada nomor serinya maka harus ditulis juga, tidak lupa inisial penyidik yang
mengumpulkan barang bukti serta nomor identitasnya (Robinson MR, 2013).
Sebelum dokter melakukan pemeriksaan maka TKP harus diamankan
atau dijaga keasliannya oleh petugas (dengan memasang garis polisi) serta
diabadikan dengan membuat foto dan sketsa keadaan di TKP. Sebelum
melakukan prosedur “trace evidence” atau pencarian barang bukti, dokter
harus membuat foto dan sketsa TKP serta barang bukti yang disimpan dengan
baik untuk keperluan ketika diajukan sebagai saksi di pengadilan. Foto dan
sketsa itu akan mempermudah dokter untuk mengingat kembali kasus yang
pernah diperiksanya. Pembuatan foto dan sketsa juga harus memenuhi standar
sehingga tidak akan terjadi penafsiran yang berbeda antara dokter dan
penyidik pada sebuah obyek yang sama (Robinson MR, 2013).
Setelah seluruh TKP terdokumentasikan, lokasi penemuan dari
masing-masing barang bukti sudah dicatat atau ditandai, maka proses
pengumpulan barang bukti bisa dimulai. Proses pengumpulan biasanya akan
dimulai dari barang bukti yang paling rapuh atau paling mudah hilang.
Pertimbangan khusus dapat diberikan pada barang bukti yang perlu untuk
segera dipindahkan. Pengumpulan barang bukti bisa berlangsung bersamaan
dengan prosedur penyidikan yang lain. Pengambilan gambar juga bisa terus
dilakukan jika penyidik menemukan barang-barang bukti baru yang belum
15
terdokumentasikan sebelumnya karena tersembunyi dari penglihatan
(Schollar J, 2008).
Sebagian besar barang bukti disimpan dalam wadah kertas seperti
paket, amplop dan kantung. Benda cair dapat dikirim dalam wadah yang tidak
mudah pecah dan tidak mudah bocor, seperti tabung reaksi kering. Barang
bukti bekas terbakar (arson) disimpan dalam kaleng logam bersih dan kedap
udara. Hanya barang bukti berupa serbuk dalam jumlah banyak yang
disimpan dalam kantung plastik. Barang bukti yang lembab dan basah (darah,
tanaman, dll) dapat disimpan dalam wadah plastik saat di tempat kejadian
untuk dikirim ke tempat pemeriksaan hanya jika waktu pengiriman kurang
dari dua jam. Hal ini untuk mencegah kontaminasi dari barang bukti yang
lain. Setelah tiba di lokasi yang aman, barang bukti tersebut harus dibuka dari
wadahnya dan dikeringkan di udara. Barang bukti dapat disimpan kembali
dalam wadah kertas yang kering. Barang bukti yang lembab tidak boleh
disimpan dalam wadah plastik atau kertas lebih dari dua jam. Keadaan
lembab memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme yang bisa
menghancurkan atau mengubah barang bukti (Schollar J, 2008).
Barang bukti yang berupa bercak kering di atas dasar keras harus
dikerok dan dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik. Bercak pada
kain harus diambil seluruhnya atau apabila bendanya besar digunting dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik. Benda-benda keras
diambil seluruhnya dan dimasukkan ke dalam kantung plastik. Mayat yang
ditemukan dibungkus dengan plastik atau kantong plastik khusus mayat
(kantong mayat) setelah sebelumnya diabadikan letak dan posisinya serta
pemeriksaan sidik jari oleh penyidik. Kedua tangan mayat juga harus
dibungkus plastik sebatas pergelangan tangan. Setiap barang yang bisa saling
mengontaminasi harus disimpan secara terpisah. Wadah harus ditutup dan
diamankan untuk mencegah percampuran dalam proses pengiriman (Dagnan
G, 2005).
Mayat dan barang bukti biologis atau medis, termasuk obat atau racun
dikirim ke Instalasi Kedokteran Forensik atau ke Rumah Sakit Umum
16
setempat untuk pemeriksaan lanjutan. Apabila tidak tersedia sarana
pemeriksaan laboratorium forensik, maka dikirimkan ke Laboratorium
Kepolisian atau ke Bagian Kedokteran Forensik. Barang bukti bukan biologis
dapat langsung dikirimkan ke Laboratorium Kriminal atau Forensik
Kepolisian daerah setempat (Dagnan G, 2005).
Setiap jenis barang bukti mempunyai nilai yang khusus dalam
penyidikan. Nilai ini harus selalu disimpan dalam ingatan penyidik ketika
melakukan penyidikan di TKP. Sebagi contoh, ketika melakukan penyidikan
di TKP penyidik harus lebih memprioritaskan untuk mencari sidik jari yang
bagus daripada mengumpulkan serat baju yang tertinggal. Karena sidik jari
dapat mengidentifikasi secara tepat orang yang pernah berada di TKP,
sedangkan serat baju bisa berasal dari siapa saja yang mengenakan baju yang
berbahan sama. Dalam kondisi khusus mungkin saja mengumpulkan serat
baju menjadi lebih penting karena ada dalam jumlah banyak pada tubuh
korban serta tidak ditemukan sidik jari di TKP. Lebih baik mengumpulkan
lebih banyak barang bukti daripada kurang. Penyidik seringkali hanya
mempunyai sekali kesempatan melakukan penyidikan di TKP, maka harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya (Schollar J, 2008).
2.5 BARANG BUKTI BIOLOGIS
A. DARAH
1. Bercak Darah
Bercak darah pada tindak pidana sering ditemukan pada tubuh korban,
lantai sekitar tubuh korban, dinding, perabot rumah tangga (almari atau meja),
senjata tajam, pakaian dan kendaraan bermotor (pada kecelakaan lalu lintas).
Apabila ditemukan bercak darah, maka perlu diperhatikan letak bercak darah
untuk mengetahui bagaimana posisi korban saat menerima luka dan untuk
mengetahui dari mana darah berasal. Kedua perlu diperhatikan bentuk atau
gambaran bercak darah untuk mengetahui bagaimana cara darah menempel
pada obyek dan dari mana darah berasal (National Police Commision, 2011).
17
Alat dan perlengkapan pengambilan sampel darah adalah (Travis. J,
2000):
a. Duk steril
b. Benang steril (threads)
c. Kaca obyek
d. Air bersih (distilled water)
e. Skalpel
f. Pisau skalpel sekali pakai
g. Gunting kecil
h. Penjepit kecil (tweezers)
Gambar 1. Alat dan perlengkapan pengambilan sampel darah.
Pemeriksaan laboratoris untuk bercak darah meliputi menentukan
bercak merah itu darah atau bukan, menentukan bercak darah manusia atau
bukan dan menentukan jenis golongan darah. Laboratorium Kriminal pada
masa kini telah menggunakan tiga kategori luas dalam analisa bercak darah.
Ketiga kategori itu adalah :
a. Pemeriksaan serologik konvensional.
Menganalisa protein, enzim dan antigen dalam darah. Substansi ini
sangat mudah terdegradasi daripada DNA dan jenis pemeriksaan ini
memerlukan sejumlah besar sampel dalam kondisi bagus untuk hasil
yang optimal. Jenis pemeriksaan ini jarang bisa mengidentifikasi
seseorang secara statistik.
18
b. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) DNA analysis.
Analisa langsung pada sekuensi DNA tertentu yang terdapat dalam sel
darah putih. DNA lebih sulit terdegradasi daripada protein, enzim dan
antigen. Tes RFLP DNA biasanya dapat mengidentifikasi personal secara
statistik (satu dari beberapa juta atau beberapa milyar) dan memiliki
kekuatan validitas di sidang pengadilan. Metode ini juga memerlukan
sejumlah besar sampel untuk memperoleh hasil yang signifikan.
c. Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA analysis.
Analisa pada sekuensi DNA tertentu yang telah disalin berkali-kali
sampai pada batas jumlah yang dapat dideteksi. PCR dapat bekerja baik
pada sampel yang terdegradasi maupun sampel yang berjumlah sedikit.
Teknologi PCR juga mempunyai kekuatan validitas di sidang pengadilan.
Saat ini, terdapat perhatian untuk kemungkinan adanya kontaminasi yang
bisa memberikan hasil pemeriksaan yang salah. Satu-satunya cara
munculnya hasil yang salah adalah karena kontaminasi silang langsung
dari sampel yang basah.
Pada masa sekarang, pengadilan tidak mengakui barang bukti darah
dapat berhubungan secara meyakinkan dengan individu. Pengadilan lebih
percaya pada sidik jari, jejas gigitan, patahan kuku dan tulisan tangan. Jika
hasil pemeriksaan DNA digunakan dalam pengadilan, maka bisa menjadi alat
bukti yang berhubungan dengan individu dengan derajat ketepatan yang
tinggi. Sebenarnya, analisa RFLP DNA dikenal dengan sebutan “sidik jari
DNA”. Pengadilan membuat peraturan bahwa hasil pemeriksaan DNA hanya
bisa diberikan dalam bahasa statistik. Seorang ilmuwan forensik tidak bisa
bersaksi bahwa bercak darah yang ditemukan berasal dari individu secara
spesifik. Dia dapat bersaksi berdasarkan studi populasi, hanya satu orang
dalam beberapa juta atau milyar yang mempunyai profil DNA yang khas. Dia
bisa bersaksi jika tersangka atau korban mempunyai profil DNA tersebut
(Schollar J, 2008).
19
1.1 Bercak Darah Kering
Jika benda yang terkena noda darah berukuran kecil dan mudah diangkut,
maka kemas dalam kantung kertas atau amplop. Keuntungannya adalah
interaksi yang minimal antara penyidik dengan bercak darah, memudahkan
ahli serologi untuk mengambil sampel dan kemungkinan kontaminasi serta
penipisan bisa diminimalkan dengan menghindari penggunaan air sebagi
media pengumpulan. Kerugiannya adalah pekerjaan lebih untuk ahli serologi
dan benda yang berukuran besar memerlukan ruang penyimpanan yang besar
pula.
Jika benda yang terkena noda darah terlalu besar dan sulit diangkut ke
laboratorium, maka teknik berikut bisa digunakan untuk mengumpulkan
bercak darah :
a. Memotong bagian benda yang terkena noda darah.
Daerah kontrol negatif (yang tidak terkena noda) juga harus dipotong jika
ada, kemudian dikemas dalam wadah terpisah. Keuntungannya adalah
menghindari penggunaan air sebagai media pengumpul, membutuhkan
sedikit interaksi antara penyidik dengan barang bercak darah, tidak
membutuhkan ruang penyimpanan yang besar. Kerugiannya penyidik
harus menentukan bagian mana yang harus diambil dan sebagian material
terlalu sulit atau keras untuk dipotong.
b. Selotip pada bercak darah.
Tempelkan selotip sidik jari (jangan sampai menyentuh sisi lengket selotip
dengan tangan telanjang) pada bercak darah dan daerah sekelilingnya.
Tekan sambil menggeser bagian selotip yang tidak lengket dengan ujung
tumpul pensil untuk memastikan penempelan yang sempurna. Angkat
noda darah seperti mengangkat sidik jari dan tempatkan pada penutup
vinyl acetate (jangan menggunakan penutup kertas karena membuat noda
sulit untuk dianalisa). Proses ini bisa diulang beberapa kali pada noda yang
sama jika diperlukan. Berikan label pada noda dan kemas dalam amplop
kertas. Keuntungannya adalah penghindaran penggunaan air sebagai
media pengumpulan, kontrol negatif bisa dikumpulkan, membutuhkan
20
sedikit ruang penyimpanan dan merupakan teknik yang mudah untuk
dikerjakan.
c. Mengerok bercak darah ke dalam wadah kertas.
Gunakan alat yang bersih dan tajam untuk mengerok bercak darah ke
dalam wadah kertas. Wadah tersebut diberi label dan dimasukkan dalam
amplop kertas. jangan gunakan wadah plastik karena listrik statis akan
menyebabkan kerokan bercak darah akan menempel pada pinggiran
wadah. Teknik ini bisa dikombinasikan dengan teknik selotip dengan
mengerok bercak di sisi lengket selotip. Keuntungannya karena tidak
menggunakan air, menggunakan sedikit ruang penyimpanan. Kerugiannya
penyidik harus menentukan bercak yang harus diambil, ketika dikerok
bercak darah cenderung untuk pecah menjadi bagian-bagian kecil, sangat
sulit untuk menampung kerokan, kerokan mudah sekali hilang kecuali
dengan teknik kombinasi, sebagian permukaan sulit dikerok.
d. Menyerap noda dengan setengah inci gulungan benang lembab.
Gunakan hanya air yang bersih untuk membasahi atau melembabkan
benang putih nomor 8. Jangan menyentuh benang dengan tangan
telanjang. Letakkan benang dengan sepasang lidi kapas bersih. Gulingkan
gulungan benang di atas bercak darah, hingga noda dapat terserap ke
dalam kapas. Ulangi sampai minimal empat gulungan benang terpakai.
Keringkan di udara lalu kemas dalam wadah kertas dan masukkan ke
dalam amplop. Keuntungan teknik ini adalah noda darah berkonsentrasi
pada area yang kecil dan membutuhkan sedikit ruang penyimpanan.
Kerugiannya adalah penggunaan air memungkinkan penipisan dan
kontaminasi pada noda darah. Untuk menguranginya gunakan etanol 70%
atau aseton.
e. Menyerap noda dengan setengah inci persegi duk katun.
Prosedurnya sama dengan di atas, kecuali bahannya yang berupa 100%
katun muslin (kain katun tipis). Duk harus dididihkan dengan air bersih
dan dikeringkan di udara sebelum digunakan. Langkah ini untuk
menghilangkan pengaruh muslin. Jangan menyentuh kain dengan tangan
21
telanjang. Keuntungannya adalah bercak terkumpul pada permukaan yang
relatif kecil, memudahkan penanganannya, dan hanya memerlukan sedikit
ruang penyimpanan. Kerugiannya sama dengan menggunakan gulungan
benang (Schollar J, 2008).
1.2 Bercak Darah Basah
a. Jika benda yang kena bercak darah kecil dan mudah dimuat, kemas dalam
kantung kertas atau dengan kantung plastik untuk menghindari
kontaminasi. Bawa ke tempat yang aman dan keringkan di udara. Kemas
kembali dalam wadah kertas yang baru. Keuntungannya adalah
memerlukan sedikit interaksi penyidik dengan barang bukti,
memungkinkan ahli serologi dalam pengambilan sampel. Kerugiannya
tambahan kerja bagi ahli serologi dan benda yang besar memerlukan
tempat penyimpanan yang besar pula.
b. Jika benda terlalu besar dan tidak mudah diangkut, serap bercak dengan
duk katun muslin seperti di atas. Kemas dalam wadah kertas dan langkah
selanjutnya sama dengan di atas. Keuntungan cara ini lebih mudah
dikerjakan, memerlukan sedikit tempat penyimpanan dan bercak
terkonsentrasi pada area yang kecil (Schollar J, 2008).
Langkah pertama setelah menemukan bercak yang diduga darah adalah
dengan melakukan tes penyaringan (presumptive test) untuk membedakan
apakah bercak merah itu benar-benar darah atau bukan. Pada kasus di mana
bercak darah tidak bisa terlihat dengan jelas, seperti pada kondisi ketika
pelaku kejahatan telah menghapus bercak darah atau senjata yang digunakan
telah dicuci, maka kita bisa menggunakan Luminol test8. Luminol adalah
cairan kimia yang jika dikenakan pada bercak darah, meskipun bercak itu
sudah sangat tipis akan menyebabkan bercak darah itu berpendar dalam
gelap. Teknik ini sudah lazim digunakan oleh ahli forensik, biasanya mereka
akan menyemprotkan cairan luminol pada benda yang dicurigai pernah
terkena darah dan dengan segera bisa dilihat luminesensi berwarna biru pucat.
22
Meskipun teknik ini sudah populer, tetapi memiliki beberapa kelemahan,
yaitu :
a. Pemeriksaan secara empirik untuk menentukan sebuah bercak adalah
darah adalah dengan penampakannya. Jika itu adalah bercak darah, maka
harus terlihat seperti darah pada umumnya. Bercak darah juga harus
terdapat dalam jumlah yang cukup untuk confirmatory test dan genetic
markers test. Ini memerlukan bercak darah yang terlihat dengan mata
telanjang. Reaksi luminol adalah tes yang paling baik untuk tes
penyaringan. Tetapi jika bercak sudah sangat tipis, sehingga hanya bisa
dilihat dengan luminol, maka selanjutnya tidak bisa lagi dilakukan tes
konfirmasi (meyakinkan) terhadap keberadaan bercak darah.
b. Luminol bisa memberikan hasil positif palsu. Luminol akan bereaksi
dengan ion tembaga, bahan dari tembaga, bahan dari besi, dan ion kobalt.
Senyawa ini juga akan bereaksi dengan potassium permanganate
(ditemukan pada beberapa pewarna pakaian atau rambut) dan hydrated
sodium hypochlorite (pemutih). Ferricyanide dan peroksidase tanaman
juga bisa memberikan reaksi palsu.
c. Penelitian menunjukkan luminol akan menyebabkan hilangnya beberapa
penanda genetik (genetic markers).
d. Karena luminol adalah water based (berbahan dasar cair), maka bisa
menyebabkan jejak darah semakin melebar secara pelan. Luminol juga
bisa menyebabkan bercak yang sudah tipis menjadi semakin tipis sehingga
menurunkan volume bercak darah kurang dari batasan minimal untuk
pemeriksaan penanda genetik.
Sayangnya, beberapa penyidik menggunakan luminol sebagai pilihan
pertama untuk mendeteksi darah. Dengan menggunakan luminol secara
ceroboh, dapat memungkinkan kehilangan informasi penting dalam bercak
darah. Ketika sedang mencari bercak darah di TKP, khususnya darah yang
sudah dibersihkan, penyidik harus menggunakan cahaya berintensitas tinggi
untuk mencari jejak darah. Bercak darah tidak mudah dihilangkan, bercak
darah seringkali meninggalkan noda kecokelatan setelah seseorang berusaha
23
menghilangkannya. Darah juga cenderung mengalir ke retakan lantai,
pinggiran karpet, dll. Dengan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh
terhadap TKP dengan cahaya yang terang biasanya penyidik dapat
menemukan bercak tersebut (Schollar J, 2008).
Metode lain yang digunakan pada tahap penyaringan adalah Tes
Benzidine (leuko-malachite green test). Tes ini berdasarkan reaksi pelepasan
oksigen oleh hemoglobin jika ditambahkan hidrogen peroksida. Oksigen yang
terlepas akan mengoksidasi senyawa benzidine yang telah tercampur dalam
cairan asam sehingga terbentuk warna biru cerah. Tes tersebut bisa dilakukan
pada bercak yang kecil dengan cara mengusap bercak menggunakan kertas
filter untuk kemudian dikerjakan pemeriksaan di kertas filter tersebut. Hanya
bercak yang memberikan hasil positif saja yang diperiksa lebih lanjut (Travis.
J, 2000).
Kelemahan senyawa benzidine adalah sifat karsinogeniknya, maka
penggunaannya harus sangat hati-hati. Pengganti senyawa benzidine yang
lebih aman kini sudah mulai digunakan secara bertahap. Di antara tes itu
adalah Tes Phnolphtalein atau castle-Meyer test (Robinson, M.R, 2013).
Tes meyakinkan (confirmatory test) adalah kelanjutan dari tes
penyaringan untuk meyakinkan bahwa darah yang diperiksa benar-benar
darah manusia dan bukan darah binatang. Metode pemeriksaan pada tahap ini
bisa menggunakan :
a. Tes Serologik
Disebut juga Tes Precipitin yaitu dengan menggunakan anti-human
immunoglobulin atau antisera lain.
b. Tes Kimiawi
Tes Takayama dan Tes Teichmann yang berdasarkan pembentukan kristal-
kristal hemoglobin sehingga bisa dilihat dengan mata telanjang maupun
menggunakan mikroskop.
24
c. Spektroskopik
Tes ini menggunakan berbagai reagensia untuk membentuk berbagai
produk dari hemoglobin sehingga tercipta suatu pola spektrum warna yang
khas, misalnya spektrum warna dari methemoglobin.
d. Mikroskopik
Terutama digunakan untuk memeriksa bercak darah yang masih baru atau
segar sehingga bisa dibedakan dengan melihat bentuk dan inti sel darah
yang ditemukan.
Langkah selanjutnya adalah menentukan golongan darah dari bercak
yang kita temukan. Ini penting untuk melihat kesesuaian apakah bercak yang
ditemukan berasal dari korban atau dari orang lain. Penentuan golongan darah
bisa menggunakan berbagai macam metode penggolongan darah, yang
terkenal adalah sistem ABO. Penentuan golongan darah bisa dilakukan pada
sampel darah segar maupun yang telah mengering, bahkan yang masih
menempel pada pakaian korban. Selain dari cairan darah bisa ditentukan juga
golongan darah seseorang dari cairan tubuhnya seperti air liur dan sperma,
pemeriksaan ini khusus untuk orang-orang bertipe sekretor (National Police
Commision, 2011).
2. Darah Orang Hidup
Tujuan pemeriksaan ini adalah :
a. Membuktikan adanya alkohol, morfin atau zat psikotropika lain pada
darah pelaku tindak pidana (pelanggaran lalu lintas, pemakai narkoba
dan lain-lain.)
b. Membuktikan hubungan paternitas pada tindak kejahatan bidang
imigrasi terutama dengan modus pemalsuan identitas keayahan.
c. Membuktikan tindak pidana perzinahan yang mengakibatkan lahirnya
anak dari hasil perzinahan itu (National Police Commision, 2011).
25
3. Darah Jenazah
Tujuan pemeriksaan ini adalah :
a. Menentukan golongan darah korban untuk dicocokkan dengan bercak
darah yang ditemukan di TKP.
b. Menentukan sebab kematian jika dicurigai ada unsur keracunan dalam
proses kematiannya (National Police Commision, 2011).
Mintalah ahli patologi untuk mengambil sampel darah langsung dari
jantung saat otopsi kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi asam
sitrat dan larutan dekstrosa (untuk pemeriksaan DNA). Dalam kasus
tertentu jika tidak didapatkan darah yang cair, mintalah ahli patologi untuk
mengambil potongan hati, tulang dan atau jaringan otot yang dalam untuk
diperiksa. Jika korban masih hidup dan akan dilakukan prosedur transfusi,
maka pastikan untuk mengambil sampel darah sebelum transfusi (biasanya
sudah menjadi prosedur tetap di rumah sakit) (Newton M, 2008).
Teknik pengambilan sampel darah pada penentuan golongan darah
tidak spesifik dari tempat-tempat tertentu. Tetapi untuk pengambilan
sampel untuk pemeriksaan alkohol perlu diambil dari pembuluh darah
balik tepi (vena perifer) terutama vena femoralis. Bila ada kecurigaan
keracunan zat-zat lain perlu diambil darah dari jantung dan vena perifer,
ini bermanfaat untuk mengukur kadar keracunannya. Metode penyimpanan
sampel darah sebaiknya disimpan dalam suhu 4oC di dalam refrigerator
dengan penambahan sedikit Sodium Florida untuk mencegah proses
enzimatik pembusukan (National Police Commision, 2011).
B. SPERMA
1. Pemeriksaan Spermatozoa (Sel Sperma)
Spesimen basah diambil langsung dari liang senggama dengan oese
platina atau pipet. Jika tidak bisa diambil menggunakan cara ini, maka
perlu penyemprotan cairan fisiologis ke fornix posterior untuk dipusingkan
(di-sentrifuge), diendapkan kemudian diperiksa di bawah mikroskop.
26
Sperma bisa dilihat langsung di bawah mikroskop atau dicat dulu dengan
Methylen Blue maupun Hematoxylin Eosin.
Spesimen kering perlu dilakukan skrining dulu dengan pemeriksaan
di bawah sinar ultraviolet. Bercak sperma akan mengalami fluoresensi jika
terkena sinar ultraviolet. Bercak yang ditemukan dikerok lalu ditetesi
dengan larutan fisiologis (HCl 1%) atau asam asetat glasial 0,3%.
Selanjutnya dapat diperiksa di bawah mikroskop secara langsung ataupun
dicat terlebih dahulu. Dalam pengemasan barang bukti sperma jangan
menggunakan kantung plastik, gunakan kantung kertas dan tunggu sampai
kering di udara dahulu, baru dikirim ke laboratorium (Newton M, 2008).
2. Pemeriksaan Cairan Sperma (Semen)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menghindari salah penafsiran
terhadap bercak sperma yang tidak dapat ditemukan spermatozoa (sel
sperma) sehingga dianggap bukan sperma. Untuk mengetahuinya perlu
diperiksa unsur-unsur yang ada di dalam cairan sperma seperti asam
fosfatase (acid phospatase), spermine dan kolin (choline). Metode
pemeriksaan untuk spermine adalah dengan Berberio test, sedangkan
untuk choline menggunakan Florens test (National Police Commision,
2011).
Pemeriksaan sperma sangat penting pada tindak pidana perkosaan
atau kejahatan seksual untuk menerangkan kasus tersebut dan mengungkap
identitas pelaku. Pengungkapan identitas pelaku dimungkinkan dengan
pemeriksaan golongan darah dan atau dengan pemeriksaan DNA dari sel-
sel yang ditemukan. Untuk setiap kejahatan seksual, korban harus
diperiksa oleh dokter. Tandai semua barang bukti pakaian dan kemas
dalam wadah yang terpisah. Usahakan seminimal mungkin memegang
barang bukti pakaian tersebut (Schollar J, 2008).
27
C. RAMBUT
Rambut baik rambut kepala maupun kelamin dapat memberikan banyak
informasi bagi kepentingan peradilan. Rambut bisa memberikan informasi
mengenai saat korban meninggal dunia, sebab kematian korban, jenis
kejahatan, identitas korban, identitas pelaku, dan benda/ senjata yang
digunakan dalam tindak kejahatan. Informasi itu dapat diperoleh dengan
meneliti sifat-sifat, gambaran mikroskopik serta perubahan-perubahan yang
terjadi akibat trauma atau keracunan. Pemeriksaan rambut yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui keaslian rambut, membedakan rambut manusia
dan rambut binatang, menentukan identitas pemilik rambut serta informasi-
informasi lain tentang kejahatan (National Police Commision, 2011).
Ambil semua rambut yang ditemukan, gunakan jari atau penjepit kecil
untuk mengambil rambut dan masukkan dalam kemasan kertas atau amplop.
Lipat dan masukkan ke dalam amplop yang lebih besar serta berikan label. Jika
rambut menancap pada suatu obyek, seperti darah kering, pecahan logam
maupun kaca, jangan berusaha untuk memisahkannya. Biarkan tetap menempel
dan kemas beserta bendanya dalam wadah kertas. Jangan memotong rambut,
diperlukan sejumlah 50-100 buah rambut atau 30-60 rambut kemaluan dalam
kasus perkosaan. Jika seseorang dicurigai sebagai tersangka kumpulkan contoh
rambut dari seluruh bagian tubuhnya (National Police Commision, 2011).
Untuk memeriksa keaslian rambut bisa dilakukan secara mikroskopik.
Rambut yang utuh biasanya terdiri dari akar, batang dan ujung. Akar rambut
terdiri dari jaringan ikat longgar, sedangkan batang rambut terdiri dari kutikula,
kortek dan medula. Serat bukan rambut seperti serat sintetis misalnya, akan
mempunyai gambaran yang homogen (National Police Commision, 2011).
Menentukan rambut yang ditemukan berasal dari manusia atau bukan
juga bisa dilakukan di bawah mikroskop, dan untuk lebih akurat lagi bisa
menggunakan tes presipitasi. Perbedaan rambut manusia dan binatang dapat
dilihat dalam tabel berikut ini :
28
Perbedaan Rambut manusia Rambut binatang
Morfologi Halus dan tipis Kasar dan tebal
Kutikula Bersisik kecil dan bergerigi Bersisik lebar dan polihidral
Medula Sempit, kadang-kadang tidak
ada
Lebar
Kortek Tebal Tipis
Index medula < 0,3 > 0,5
Pigmen Lebih ke arah perifer Di perifer maupun sentral
Tabel 1. Perbedaan rambut manusia dan binatang
(National Police Commision, 2011)
Identitas pemilik rambut meskipun tidak secara personal bisa ditentukan
secara umum dari pemeriksaan rambut. Rambut sebagai bahan yang tahan
terhadap pembusukan dan bahan-bahan kimia dapat dijadikan salah satu sarana
identifikasi mayat-mayat yang sudah tidak bisa dikenali karena membusuk.
Identitas umum tersebut adalah (National Police Commision, 2011):
a. Umur
Lanugo yaitu rambut yang bersifat halus, tidak berpigmen, tidak bermedula
dengan pola sisik yang lebih seragam dapat kita temui pada bayi baru lahir
(neonatus). Pola pertumbuhan kelamin sekunder juga bisa menjadi patokan
umur seseorang, karena rambut pubis dan ketiak akan mulai tumbuh pada
masa adolesen. Warna rambut yang memutih juga bisa diidentifikasi sebagai
milik orang-orang yang sudah tua/ lanjut usia.
b. Jenis kelamin
Rambut laki-laki biasanya lebih kaku dan kasar serta lebih gelap daripada
rambut wanita. Rambut wanita biasanya lebih halus, panjang dan meruncing
ke ujung. Rambut pada dagu (jenggot), bulu dada dan kumis khas pada laki-
laki. Pola penyebaran rambut pubis pada laki-laki dan wanita juga berbeda.
Jika sel-sel akar rambut masih ada, maka bisa dilakukan pemeriksaan sex-
chromatin.
29
c. Ras
Warna, panjang, bentuk dan susunan rambut bisa memberikan informasi ras
pemiliknya.
d. Golongan Darah
Dengan teknologi sekarang, golongan darah sudah dapat ditentukan dengan
pemeriksaan sehelai rambut dari bagian tubuh manapun.
Ciri-ciri khusus rambut juga dapat membantu proses identifikasi, lebih
baik lagi jika ada pembandingnya. Warna, bentuk, minyak, cat dan struktur
mikroskopis dari rambut dapat dijadikan bahan pembanding bagi kepentingan
identifikasi. Nilai pemeriksaan laboratorium pada spesimen rambut tergantung
jumlah rambut yang terkumpul dan adanya karakteristik yang ditemukan dalam
pemeriksaan (National Police Commision, 2011).
30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peran dokter sebagai medical agent yang mempunyai kewajiban
hadir di TKP apabila diminta penyidik untuk hadir. Sebagai legal agent,
dokter melakukan pemeriksaam TKP dalam mengusut suatu kasus dan
mencari penyebab dari suatu kematian.
B. Saran
Penulisan makalah ini adalah jauh dari sempurna, kami sebagai
penulis meminta masukan dan pendapat agar para pembaca dapat
memperbaharui isi dan penelitian dari bertambahnya ilmu pengetahuan di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai media
pengabdian masyarakat terutama kasus-kasus yang berkembang di
masyarakat khususnya dalam bidang Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ballou S, Stolorow M., et al (2013). The Biological Evidence Preservation Handbook: Best Practices for Evidence Handlers. USA: US Department of Commerence.
Dagnan G (2005). Crime Scene Investigation: Protecting, Processing and Reconstructing the Scene. USA : Journal of Forensic Identification Vol. 55 No.6.
Evans C (2009). Crime Scene Investigations. USA: Chelsea House.
Miller MT (2012). Crime Scene Investigation: Forensic Science: An Introduction to Scientific and Investigative Techniques. USA.
National Police Commision HQ Philippine National Police (2011). Conduct of Crime Scene Investigation. Philipine : Camp Frame.
Newton M (2008). The Encyclopedia of Crime Scene Investigation. USA: Infobase Publishing.
Robinson MR, Cina JS (2013). Forensic Scene Investigation. USA. Avaialble from http://emedicine.medscape.com/article/1680358-overview#showall [Updated 10 Mei 2013]
Schollar J, Harrison A (2008). Crime Scene investigation. Bioscience Vol. 4 No. 1. UK.
Travis J, Rau RM (2000). Crime Scene Investigation :A Guide for Law Enforcement. USA: Department of Justice.
32