bab 1, bab 2, bab 3

50
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam perspektif merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam psikologi perkembangan anak bahwa pemberian asuhan spiritual hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, Pendidikan Geografi Off L 2012 1

Upload: rangga-r-putra

Post on 09-Aug-2015

177 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia dalam perspektif merupakan individu, keluarga atau masyarakat

yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan bantuan untuk dapat

memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya dalam kondisi

optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran dan fungsi

seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.

Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai

mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis,

kultural dan spiritual.

Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di

atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi

tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan

kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari

individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian

tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan

dalam psikologi perkembangan anak bahwa pemberian asuhan spiritual

hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi

kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual

manusia. Sehingga, pada nantinya manusia akan dapat merasakan kesejahteraan

yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga

kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor

yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai

oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam

kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari psikologi

sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan psikologi

kepada manusia. 

Pendidikan Geografi Off L 2012 1

Page 2: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

B. Rumusan Masalah

1. Apakah makna moral itu ?

2. Bagaimana karakteristik moral ?

3. Teori – teori tentang perkembangan moral ?

4. Tahap – tahap perkembangan moral ?

5. Apakah pengertian spiritual itu ?

6. Dimensi – dimensi spiritual ?

7. Bagaimana proses perkembangan spiritual peserta didik ?

8. Karakteristik perkembangan spiritual peserta didik ?

9. Implikasi perkembangn moral spiritual terhadap pendidikan ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk memenuhi tugas mata kuliah perkembangan peserta didik yang

dibina oleh Drs. Yusuf Suharto.

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui makna tentang moral.

2. Untuk mengetahui karakteristik moral.

3. Untuk mengetahui teori tentang moral.

4. Untuk mengetahui tahap – tahap perkembangan moral.

5. Untuk mengetahui pengertian spiritual.

6. Untuk mengetahui dimensi – dimensi spiritual.

7. Untuk mengetahui proses perkembangan spiritual peserta didik.

8. Untuk mengetahui karakteristik perkembangan spiritual peserta didik.

9. Untuk mengetahui bagaimana implikasi perkembangan moral dan

spiritual terhadap pendidikan.

Pendidikan Geografi Off L 2012 2

Page 3: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Moral

Istilah moral berassal dari kata latin mores yang berarti tata cara dalam

kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa,1986). Moral pada dasarnya

merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi

(Shaffer, 1979). Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur

perilaku individu dalam hubungannya dalam kelompok social dan masyarakat.

Moral merupakan standart baik / buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai –

nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial (Rogers, 1985).

Dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara kronologis

mulai yang paling abstrak hingga yang lebih operasional.Nilai merupakan

perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai merupakan suatu perangkat

keyakinan atupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang

memberikan corak kusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan prilaku

(syahidin dkk.2009:239). Moral dapat berbentuk formula, peraturan, atau

ketentuan pelaksanaan, misalnya saja etika belajar, etika mengajar dan lain

sebagainya.Dilihat dari sumber nilai ataupun moral dapat diambil dari wahyu

ilahiataupun dari budaya. Dengan demikian dapat diartikanbahwa, moral sama

saja dengan akhlak manakala sumber atau produk budayasesuai dengan prinsip-

prinsip akhlak (syahidin dkk.2009:239).

B. Karakteristik Moral

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah

bahwa sesuai tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan

berpikir perasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu

memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja

Pendidikan Geografi Off L 2012 3

Page 4: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat dan

situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka

(Gunarsa,1989). Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai

tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang

ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu

mempertanggungjawabkannya secara pribadi(Monks, 1989).

Micheal mengemukakan 5 perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan

oleh remaja yaitu sebagai berikut :

a. Pandangan moral individu makin lama menjadi lebih abstrak.

b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa

yang salah.

c. Penilaian moral yang semakin kognitif mendorong remaja untuk berani

mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.

d. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa

penilaian moral menimbulkan ketegangan emosi.

C. Teori Psikoanalisa tentang perkembangan moral

Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikologi analalisa

dengan pembagian struktur kepribadian manusia atas 3, yaitu id, ego, superego. Id

adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis, yang irasional dan

tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas psikologi, yaitu

subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.

Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan

system nilai dan moral, yang benar – benar memperhitungkan benar dan salahnya

sesuatu.

Menurut teori psikoanalisa klasik Freud, semua orang mengalami konflik

Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang

dinamakan Freud sebagai superego. Ketika anak mengalami konflik Oedipus ini,

maka perkembangn moral mulai. Slah satu alas an mengapa anak mengatasi

konflik Oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih saying orang tua

dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat

diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk mengurangi

Pendidikan Geografi Off L 2012 4

Page 5: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih saying orang tua,

anak – anak membentuk suatu superego dengan mengidentifikasikan diri dengan

orang tua yang sama jenis kelamin, menginternalisasi standart – standart benar

dan salah orang tua.

Struktur superego ini mempunyai 2 komponen, yaitu ego ideal kata hati

(conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental

seseorang, peraturan – peraturan masyarakat, hokum, kode, etika, dan moral. Pada

usia kira – kira 5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi

sempurna ketika ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia

sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan perkembangan moralnya (Lerner &

Hultsc, 1983).

Teori Belajar Sosial tentang Perkembang Moral

Teori belajar social melihat tingkah laku moral sebagai respon atas

stimulus. Dalam hal ini, proses – proses penguatan, penghukuman, dan

peniruan, digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak – anak.

Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral

Menurut Piaget, remaja mengembangkan moralitas kerja sama, pada

usia 10 tahun atau lebih tua.Sebagai pemuda mengembangkan moralitas kerja

sama mereka menyadari bahwa untuk membuat orang masyarakat koperasi

harus bekerja sama untuk memutuskan apa yang dapat diterima, dan apa yang

tidak. Piaget percaya bahwa remaja pada usia ini mulai memahami bahwa

moral merupakan perjanjian sosial antara orang dan dimaksudkan untuk

mempromosikan kebaikan bersama. Selain itu, mereka mengenali orang

mungkin berbeda dalam cara mereka memahami dan mendekati situasi moral

atau masalah. Mereka juga mulai memahami bahwa perbedaan antara benar

dan salah tidak mutlak melainkan harus memperhitungkan variabel perubahan

seperti konteks, motivasi, kemampuan, dan niat. Kontras ini untuk remaja

muda yang percaya aturan dan hukum yang diciptakan oleh terbantahkan,

otoritas bijaksana dan percaya bahwa aturan-aturan yang ditetapkan oleh

otoritas ini tidak pernah bijaksana seharusnya ditantang atau diubah. Selain

itu, Piaget percaya muda pada usia ini mulai memahami bahwa moralitas

Pendidikan Geografi Off L 2012 5

Page 6: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

keputusan tidak beristirahat semata-mata pada hasil keputusan itu. Sebagai

contoh, remaja pada usia ini menyadari bahwa menjalankan tanda berhenti

yang salah, terlepas dari apakah atau tidak seseorang menerima tilang, atau

menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Selain itu, remaja mulai mengerti manfaat timbal balik pengambilan

keputusan moral, yaitu, suatu keputusan moral menciptakan solusi optimal

untuk semua orang yang terlibat, bahkan ketika hanya dua orang yang

terpengaruh. Pemuda mulai menyadari bahwa ketika situasi ditangani dengan

cara yang tampaknya adil, wajar, dan / atau bermanfaat bagi semua pihak,

menjadi lebih mudah bagi orang untuk menerima dan menghormati

keputusan. Konsep keadilan disebut timbal balik. Awalnya pemahaman

pemuda 'timbal balik bisa sangat literal dan sederhana. Sebagai contoh, pekan

lalu Terrell, usia 11, meminjamkan permainan merek video baru untuk teman

Randy baiknya. Minggu ini, itu adalah Randy yang memiliki permainan video

baru. Terrell cenderung bersikeras bahwa Randy harus memungkinkan dia

meminjam video game baru karena dari perspektif Terrell itu, "itu hanya adil"

karena ia anggun memungkinkan Randy untuk meminjam permainan barunya

minggu sebelumnya. Terrell percaya keadilan yang simplistically ditentukan

oleh timbal balik yang tepat.

Oleh pemula remaja tengah memperluas pemahaman mereka tentang

keadilan untuk memasukkan timbal balik yang ideal. Timbal balik yang ideal

mengacu pada jenis keadilan melampaui timbal balik sederhana dan

mencakup pertimbangan kepentingan orang lain terbaik. Hal ini digambarkan

oleh pepatah akrab, "Lakukan kepada orang lain seperti Anda ingin mereka

lakukan kepadamu" yang banyak orang tahu sebagai Golden Rule.Remaja

yang telah mencapai timbal balik yang ideal akan membayangkan masalah

dari perspektif orang lain dan mencoba untuk menempatkan dirinya dalam

orang lain "sepatu," sebelum membuat keputusan moral. Konsep ini

diilustrasikan dengan contoh berikut:

Pendidikan Geografi Off L 2012 6

Page 7: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Misalkan Maria, usia 14, sedang melihat ke luar jendela ruang satu

hari dan terjadi untuk melihat kakaknya, Ava, mendukung mobil keluarga

keluar dari jalan masuk. Saat ia sedang menonton, Maria melihat Ava sengaja

bertabrakan dengan kotak surat seperti dia menarik keluar ke

jalan. Selanjutnya, Maria melihat Ava keluar dari mobil dan memeriksa

kerusakan pada mobil dan kotak surat. Tapi, bukannya kembali ke rumah

untuk memberitahu orangtuanya, Ava hanya melaju pergi.

Pada usia yang lebih muda, Maria akan segera kabur untuk

memberitahu orangtuanya tentang kecelakaan Ava karena dia tahu itu salah

untuk Ava untuk mengusir tanpa memberitahu orang tuanya apa yang

terjadi. Sebaliknya, jika Maria telah mencapai timbal balik yang ideal dia

akan menahan diri dan membayangkan apa pengalaman pasti seperti untuk

Ava. Dia mungkin menyadari bahwa jika dia berada di sepatu Ava, dia

mungkin telah melakukan hal yang sama karena dia akan malu dan takut

untuk memberitahu orang tuanya tentang kecelakaan itu. Selain itu, dia

mungkin memutuskan bahwa Ava mungkin akan lebih suka untuk

memberitahu orang tuanya tentang kecelakaan sendiri, daripada harus

adiknya "mengadu" pada dirinya. Oleh karena itu, Maria akan menunggu

sampai Ava pulang sehingga ia dapat berbicara dengan Ava. Selama diskusi

ini Maria akan mendorong Ava pergi ke orang tuanya dengan kebenaran

dalam rangka untuk membuat hal yang benar. Dengan demikian, timbal balik

yang ideal akan memungkinkan Maria untuk memeriksa masalah dari

perspektif kakaknya dan untuk membuat keputusan moral yang didasarkan

pada "Golden Rule."

Menurut Piaget, timbal balik yang ideal sekali telah mencapai

perkembangan moral telah selesai. Namun, sekarang kita tahu bahwa banyak

pemuda akan terus menyempurnakan moral mereka proses pengambilan

keputusan baik ke awal masa dewasa. Jadi meskipun Piaget merintis

pemahaman awal kita tentang perkembangan moral, penelitian ini tidak selalu

dapat mengkonfirmasi bagian-bagian tertentu dari teorinya. Misalnya, tidak

hanya remaja terus memperbaiki kriteria mereka untuk keputusan moral

Pendidikan Geografi Off L 2012 7

Page 8: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

menjadi dewasa, tetapi mereka juga terus meningkatkan kemampuan mereka

bertindak sesuai dengan kriteria tersebut. Dengan kata lain, kompas moral

mereka beroperasi untuk memandu pilihan mereka dan untuk mengarahkan

perilaku mereka. Piaget juga di bawah-memperkirakan usia di mana anak-

anak dapat mempertimbangkan niat moral yang orang lain. Piaget percaya

bahwa kemampuan ini tidak berkembang sampai masa kanak-kanak akhir,

atau awal masa remaja. Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan

bahwa kemampuan ini berkembang cepat bahwa Piaget pernah

percaya. Anak-anak muda mampu mengenali pentingnya niat seseorang

ketika mengevaluasi moralitas keputusan, tetapi, anak-anak muda cenderung

sangat naif dalam keyakinan mereka bahwa niat orang terbaik akan

menentukan pilihan yang sebenarnya orang membuat. Meskipun kelemahan-

kelemahan, kontribusi Piaget yang sangat signifikan karena mereka sangat

dipengaruhi karya kemudian Lawrence Kohlberg yang mempublikasikan

teorinya tentang perkembangan moral selama 1950-an.

Teori Kohlberg tentang Perkembangn Moral

Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas,

modofikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas

analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga

16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral, dimana mereka harus

memilih antara tindakan mentaati peraturan atau memenuhi kebutuhan

hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.

Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis

yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan

moral atas tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam

tahap (stage). Kohlberg setuju dengan Piaget yang menelaskan bahwa

sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari

pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas

spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi

social, namun interaksi ini memiliki corak khusus, dimana faktor pribadi

yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan.

Pendidikan Geografi Off L 2012 8

Page 9: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah

orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran

dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral daalm arti perbuatan nyata.

Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin

terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari

perbuatan-perbuatannya.

Penalaran Moral

Apa yang disebut dengan moral menurut Kohlberg adalah bagian dari

penalaran (reasoning), sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral

(moral reasoning). Penalaran atau pertimbanganberkenaan dengan keluasan

wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi

diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain

sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain dapat

dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya adalah

penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban

(etiono, 1994)

Dengan demikian orang yang bertindak sesuai dengan moral adlah

orang yang mendasrkan tindakannya atas penilaian baik-buruknya sesuatu.

Karena leb ih bersifat penalaran, maka perkembangan moral menurut Kohlberg

sejalan denga perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget.

Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan

Piagettersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekanan pada

penalaran ini, berarti Kohlberg ingi melihat struktur proses kognitif yang

mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral.Sesuai dengan tahap-

tahap perkembangan moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran remaja berada

pada tingkat konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan dengan anak-

anak, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang. Mereka sudah mulai

mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan , kesopanan,

kedisiplinan dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak selalu mengikuti

prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri. Namun riset menyatakan bahwa prinsip-

Pendidikan Geografi Off L 2012 9

Page 10: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran

moral konvensional.

D. Tahap Tahap Perkembangan Moral

Dalam konteks perkembangan moral ini, ada sejumlah tahap – tahap

perkembangan moral yang sangat terkenal, yaitu yang dikemukakan oleh john

dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Peaget, dan Lawrence Kohlberg

(1995). Tahap – tahap perkembangan moral tersebut adalah :

1. Menurut John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Peaget

mengemukakan 3 tahap perkembangan moral.

a. Tahap Pramoral

Ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.

b. Tahap Konvensional

Ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada

kekuasaan.

c. Tahap Otonom

Ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang

didasarkan pada resiprositas.

2. Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg

terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap

diantaranya sebagai berikut :

Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.

Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam

teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak

memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral

dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan

kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku

yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk

mendapatkan hukuman.

Tahap I. Orientasi hukuman dan kepatuhan

Pendidikan Geografi Off L 2012 10

Page 11: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral

didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa

menuntut mereka untuk taat.

Tahap II. Orientasi relativis-instrumental

Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan

(hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin

taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah

taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang

dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat Dua : Penalaran Konvensional

Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi

individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-

stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar

orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.

Tahap III. Orientasi kesepakatan bersama antara pribadi atau

disebut orientas ”anak manis”

Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan

kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-

pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh

orang tuanya sebagai yang terbaik.

Tahap IV. Orientasi hukum dan ketertiban

Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman

atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional

Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar

diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.

Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki

pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.

Tahap V. Orientasi kontrak sosial legalitas

Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan

bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.

Pendidikan Geografi Off L 2012 11

Page 12: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Tahap VI. Orientasi prinsip dan etika universal

Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang

didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila

sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati,

seseorang akan mengikuti suara hati.

Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin

bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan

usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada

prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional

dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian

hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.

Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari

sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan

sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :

Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional

Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana

mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai

kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum

menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.

Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :

Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.

Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan

anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk

taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum.

Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan

keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan

tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan

penghindaran dari hukuman.

Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.

Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan

Pendidikan Geografi Off L 2012 12

Page 13: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan

kebutuhan orang lain.

Tingkat Dua: Moralitas Konvensional

Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase

perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap

moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.

Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :

Tahap 3.

Memperhatikan Citra Anak yang Baik

· Maksudnya: anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan

dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang

dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.

· Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan

tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya

aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.

Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma

Interpernasional ialah: dimana seseorang menghargai kebenaran,

keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan

pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering

mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil

mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak

yang baik.

Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.

· Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap

wewenang dan aturan.

· Hukum harus ditaati oleh semua orang.

Tingkat Tiga: Moralitas Pascakonvensional

Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan

pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral

lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini

Pendidikan Geografi Off L 2012 13

Page 14: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai

yang harus dipakai dalam segala situasi.

Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :

Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.

· Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah

remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak

pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial.

· Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika

ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.

· Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-

alasan tertentu.

Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika

· Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial

berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber

dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan

kepentingan orang lain.

· Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat

meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang

dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami

yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk

menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa

melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral

yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.

E. Makna Spirirtual

Kata Spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yaitu “Spirituality”, kata

dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (echols & shadily, 1997) Kata

Spirit sendiri berasal dari kata latin “Spiritus” yang berarti : luas atau dalam

(breath, keteguhan hati atau keyakinan (courage), energy atau semangat (vigor),

dan kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin

spiritualis yang berarti off the spirit (kerohanian).

Pendidikan Geografi Off L 2012 14

Page 15: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Ingersoll (1994) mengartikan spiritualitas sebagai wujud dari karakter

spiritual, kualitas atau sifat dasar. Belakangan, definisi tentang spirituallitas

meliputi komunikasi dengan tuhan (fox, 1983) dan upaya seseorang untuk bersatu

dengan tuhan (magill dan Mc.Greal, 1988). Tillich (1959) menulis bahwa

spiritualitas merupakan persoalan pokok manusia dan pemberi makna substansi

dari kebudayaan. Witmer (1989) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu

kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri

sendiri. Bollinjer (1969) menggambarkan kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan

terdalam dari diri seseorang yang apabila dipenuhi individu akan menemukan

identitas makna hidup yang penuh arti. Booth (1992) menjelaskan bahwa

spiritualitas adalah suatu sikap hidup yang member penekanan pada energi,

pilihan kreatif dan kekuatan penuh bagi kehidupan serta menekankan pada upaya

penyatuan diri dengan suatu kekuatan yang lebih besar dari individual, serta

cocreatorship dengan tuhan. May (1988) menyebutkan bahwa spirit manusia “is

the source of our yearning as well as our very live”. Schaef (1992 menyamakan

spiritualitas dengan ketenangan hati (Sobriety) dan hidup dalam proses (Living in

process), yang diartikan sebagai perjalanan, proses dan kelang sungan hidup kita.

1. Spiritualitas dan Religius

Menurut estimasi Naisbitt dan Arburdene, masyarakat masa depan akan

cenderung mengabaikan agama dan lebih mendalamispiritualitas.karena itu,

perbedaan keduanya akan semakin tajam, meskipun keduanya sama-sama

berkaitan dengan kebutuhanmnausia yang paling mendasar. Menurut kedua

futurolog tersebut,berdasarkan hasil-hasil pengumpulan pendapat, ada indikasi

menaiknyaspiritualitas di kalangan masyarakat Amerika, lebih tinggi dari masa-

masa sebelumnya. Sebagian besar mereka percaya bahwa “Tuhan adalah kekuatan

spiritual yang aktif dan positif” meskipun gejala itu disertaidengan menurunnya

peran agama-agama formal. Kalangan muda yang terpelajar di sekolah-sekolah

tinggi pertama-tama bersikap sangat kritis terhadap agama-agama formal. Mereka

menilai bahwa gereja dan sinagog”sibuk dalam masalah-masalah keorganisasian

dengan mengesampingkan isu-isu theologis dan spiritual”. Karena itu kata

Pendidikan Geografi Off L 2012 15

Page 16: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Naisbitt dan Aburdene, mereka kaum muda itu bukan manusia “beragama”

(religious), melainkan “berkerohanian” (spiritual).

Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena agama

mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di

dunia ini. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa Latin religio,

yang berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Istilah Latin ini

merupakan transformai dari kata religare, yang berarti to bind togheter

(menyatukan). Berdasarkan akar kata ini, Ingersoll (1994) mendefinisikan religion

sebagai: “an expression of beliefsin conduct and rituel, the basic for a medium of

organized worship becomes apparent”.

Berbeda dengan agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk

hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang

merupakan misteri, karena intimitas jua. Dalam hal ini, spiritualitas mencakup

citra rasa totalitas kedalaman pribadi manusia. berdasarkan pemahaman ini

spiritualitas tampak lebih ekstem, lrbih dalam dari agama yamg cenderung lebih

eksoterik formal dan kaku.

Untuk lebih memberi pemahaman tentang istilah spiritualitas dna religiusitas,

ad baiknya dikutip penjelasan Aliah B. Purwakania Hsan (2006), seorang ahli

psikologi dari UI:

Istilah spiritual dan religius seringkali dianggap sama, namun banyak pakar yang menyatakan keberatannya jika kedua istilah ini dipergunakan saling-silang. Spiritualitas kehidupan adalah inti dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang asal tujuan, dan nasib. Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di tas dunia. Agama merupakan serangkaian praktik perilaku tertentu yang dhubungkan dengan keprcayaan yang dinyatakan oleh intitusi tettentu dan dianut oleh anggota-anggotanya. Aagama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode eetik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama meberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan). Seseorang busa saja mengikuti agama tertentu namun tetap memiliki spiritualitas. Orang-orang juga dapat menganut agma yang sama, namun belum tentu memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama. Perbedaan juga harus dibuat antara spiritualita yang berbeda dengan agama dan spiritualitas dalam agama.

Pendidikan Geografi Off L 2012 16

Page 17: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Meskipun keduanya (agama dan spiritualitas) terlanjur dipisahkan, namun untuk pemenuhan makna hidupmanusia yang sejati, nampaknya harus ada upaya pemaduan antara spiritualitas dan agama. “Agama memang tidak sama dengan spiritaulitas, namun agama merupakan bentuk spiritualitas yang hidup dalam peradaban”, dengan pernyataan William Irwin Thompson (dalam Aliah B. Purwakania Hasan, 2006). Bahkan Micley et al (dalam Achir Yani S. Hamid, 2000), menyebutkan bahwa agama merupakan salah satu dimensi dari spiritaulitas, disamping dimensi eksistensial. Dimensi eksistensial dari spiritualitas berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama dari spiritualitas berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.

2. Wacana Spiritualitas dalam Psikologi Kontemporer

Wacana tentang spiritulitas semakin meningkat, terutama sejak John

Naisbitt dan patrisia Aburdene memandang zaman sekarang ini sebagai “New

Age” (zaman baru) yang dicirikan dengan pesatnya perhatian manusia modern

terhadap dunia spiritual.

Terjadinnya peningkatan penggunaan kata spiritualitas dalam disiplin

akademis dan literatur-literatur populer, telah menjelmakan suatu konsep

spiritualitas untuk menggambarkan bermacam-macam kapasitas. Meskipun

literatur dalam ilmu-ilmu sosial lainnya sepeti sosiologi (morberg,1979) dan

theologi kontempirer (Schneiders, 1989) telah meninjukan adanya perhatian

dalam menjelaskan konsep spiritualitas, namun dalam bidang psikologibelum

terlihat adanya riset yang mendalam yang bisa diterima sebagaai subjek teoritis

atau klinis yang penting. Bakan menurut Ingersoll (2004), dalam literatur

terapeutik maslah spirituakitas cenderung diabaikan. Setidaknya terdapat dua

alasan mengapa spirituakitas kurang mendapatkan perhatian dalam kajian-kajian

psikologi umumnya, yaitu: pertama, sebagaimana dinyatakan oleh Safranske dan

Gorsuch (19840, relatif kurangnya perhatian terhadap studi tentang spiritual

dalam psikologi mungkin dapat dilacak pda akar historis profesi tersebut yng

berusaha memisahkan diri dari disiplin filosofis non-empirik. Hal ini diperburuk

oleh fakta bahwa konsep spiritual sendiri bersifat dinamis dan secara historis telah

mengalami banyak perubahan bentuk dalam kaitannya dengan institusi religius,

struktur politik, dan prgerakan sosial.

Pendidikan Geografi Off L 2012 17

Page 18: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Kedua, dalam hubungan dengan praktik klinis, diskusi tentang spiritualitas

yang terjadi dalam konseling sering berhadapan dengan kenyataan bahwa

kerangka acuan yang digunakan therapist sering bertentangan dengan apa yang

dialami olek klien. Meskipun demikian, para profesional dalam bidang psikologi

mengambil secara serius Riset Bergin's(1990) mengenai dampak penilaian

konselor dalam psikoterapi, suatu usaha bertanggun jawab yang harus dilakukan

untuk menjelaskan bagaiamana pemahaman tentang spiritual mempengaruhi

penilaian tersebut. Seperti apa yang dikemukakan oleh Tjeltveit(1989) bahwa

kegagalan dalam memahami semua model manusia (termasuk model spiritual)

merupakam suatu bentuk pengabaian resiko aspek kunci dari pengalaman dan

perilaku manusia. Sayangnya, problem yang banyak muncul dari data-data yang

ada adalah di sekitar konsep yang telah dinyatakan dalam suatu konseptual, versus

kuantitatif, bentuk keragu-raguan ilmiah yang terus dipromosikan.

3. Spiritualitas dalam Psikologi Humanistik

Psikologi humanistic muncul pada pertengahan abad ke-20 sebagai reaksi

terhadap teori psikodinamik dan behavioristik. Keduanya dianggap telah

mereduksi manusia sebagai mesin atau makhluk rendah. Psikoanalisis

berkutat pada insting insting hewani dan memahami manusia dari perilaku

kasian. Para teoritikus humanistic, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan

Abraham Maslow (1908-1970) meyakini bahwa tingkah laku manusia

tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik – konflik yang tidak

disadari maupun sebagai hasil pengkondisian (Conditioning) yang

sederhana. Teori ini melihat manusia sebagai actor dalam drama

kehidupan, bukan reactor terhadap insting atau tekanan lingkungan.

Aliran Humanistik berhubungan erat dengan aliran filosofis Eropa yang

disebut sebagai “Eksistensialisme”. Para Ekstistensialis, seperti Filsuf

Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980),

memfokuskan perhatian pada pencarian arti dan pentingnya pilihan pada

eksistensi manusia.

Psikologi Humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki

potensi – potensi yang baik, minimal lebih banyak lebihnya dari pada

buruknya. Disamping itu, psikologi humanistic memandang manusia

Pendidikan Geografi Off L 2012 18

Page 19: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Ini

menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku

aktif yang dapat menentukan hamper segalanya.

Para teoritikus humanistik mempertahankan bahwa manusia memiliki

kecenderungan bawaan untuk melakukan selv-actualization untuk

berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Setiap manusia memiliki

serangkaian perangai dan bakat – bakat yang mendasari perasaan dan

kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dala hidup

kita.

Logoterapi merupakan aliran psikologi yang mengakui adanya dimensi

kerohanian atau spiritualitas disamping dimensi – dimensi ragawi,

kejiwaan, dan lingkungan social budaya. Frankl beranggapan bahwa

keinginan yang paling fundamental dari manusia adalah keinginan untuk

memperoleh makna bagi eksistensinya, yang dalam bahasa Frankl disebut

sebagai “Kehendak akan makna (The Will to Meaning)”.

Konsep dasar yang melandasi logoterapi adalah konsep tentang manusia

sebagai makhluk spiritual yang keberadaannya memiliki makna intrinsic.

Dimensi Spiritual, yang disebut Frankl sebagai Noos merupakan dimensi

yang menjadi sumber kekuatan dan kesehatan bagi manusia dalam

melakukan terapi secara baik. Di dalam dunia spirit, kita tidak dipandu,

tetapi kita adalah pemandu pengambil keputusan. Reservoir kesehatan ada

pada setiap orang, apapun agama dan keyakinanya. Kebanyakan dari

reservoir ini terdapat di alam tak sadar kita; adalah tugas seorang logo

terapis untuk menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual

ini (farby, 1950). Menurut Frankl, pengertian spiritual disini sama sekali

tidak mengandung konotasi agama, tetapi dimensi ini dianggap sebagai ini

kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup dan potensi dari

berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang sejauh

ini terabaikan dari telaah psikologi.

Pendidikan Geografi Off L 2012 19

Page 20: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

4. Spiritualitas dalam Psikologi Transpersonal

Psikologi Transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih

tepatnya pengembangan dari psikologi humanistic. Aliran Psikologi ini

disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro dan Denise H. Lajoie (1992)

menggambarkan psikologi transpersonal sebagai berikut : Transpersonal

psychology is concerned with the study of humanitys highest potential, and

with the recognition, understanding, and realization of unitive, spiritual,

and transcendent states of consciousness. Unsur penting dari rumusan

tersebut yaitu potensi – potensi luhur (the highest potentials) dan

fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Psikologi

transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan

pengalaman – pengalaman rohaniah manusia.

Psikologi transpersonal berawal dari penelitian penelitian psikologi

kesehatan yang dilakukan oleh Abraham maslow dalam tahun 1960-an.

Ditemukan bahwa orang – orang yang mengalami pengalaman –

pengalaman puncar merasa lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia,

lebih menjadi raja atas diri mereka sebdiri, lebih spontan, kurang

menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah menyerap sesuatu, dan

sebagainya. Maslow menyimpulkan bahwa pengalaman keagamaan adalah

peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh sebab

itu kata maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali

dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Psikologi transpersonal

menunjukkan bahwa diluar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi

lain yang luar biasa potensialnya serta mengajarkan praktik – praktik

untuk mengajarkan manusia pada kesadaran spiritual, diatas Id, Ego, dan

Superego-nya Freud.

Sejak tahun 1969, ketika Journal of transpersonal psychology terbit untuk

pertama kalinya psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi

spiritual manusia. Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi

humanistic menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia ternyata

mengandung berbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini

terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah ; psikologi

Pendidikan Geografi Off L 2012 20

Page 21: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

humanistic lebih memanfaatkan potensi – potensi ini untuk peningkatan

hubungn antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertari

untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar

biasa dari potensi spiritual ini (Bastaman, 1997). Psikologi transpersonal

menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajaki dan melakukan

telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap

sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan, agamawan, dan

mistukus.

F. Dimensi Spiritual

Meskipun para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual

harus dipahami dalam multi dimensional, namun Ingersoll (1994)

menggambarkan spiritualitas dalam tujuh dimensi.

1. Meaning atau Makna

Merupakan dimensi terpenting dari spiritualitas. Makna dapat

dipahami sebagai sesuatu yang dialami individu yang membuat

kehidupannya lebih bernilai atau berharga. Manusia memiliki perangkat

atau alat untuk mencapai makna ini, yang berkembang sesuai dengan

pengalaman yang mengasah dirinya.

2. Conception of Divinity atau Konsep Tentang Ketuhanan.

Fox (1983) mengategorikan konsep individu tentang Tuhan atas

teistik, atheistik, pantheistic, atau panetheistik. Secara teistikal individu

berhubungan dengan kekuatan atau wujud transenden yang utama. Secara

atheistic seseorang menyangkal atau menolak konsepsi tentang ketuhanan.

Secara pantheistic individu berhubungan dengan suatu kekuatan absolute

yang bersemayam dalam semua keberadaan. Dalam pantheistic, kekuatan

atau wujud ketuhanan meliputi (flows) seluruh yang ada dan secara

paradok melebihi semua yang ada

3. Relationship atau Hubungan

Hubungan ini mencangkup bagaimana individu berhubungan

dengan konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain. Burns (1989)

Pendidikan Geografi Off L 2012 21

Page 22: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

kemudian mengembangkan gagasan tentang hubungan dalam spiritualitas

dengan mendefinisikannya sebagai suatu perjuangan untuk dan penyatuan

dengan realitas dari interkoneksi antar diri, orang lain, dan dengan zat

yang maha kuasa (infine) atau yang bersifat ketuhanan (difine).

4. Mystery

Merupakan salah satu dimensi spiritualitas yang penting. Banks

(1950), mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi yang secara

tipikal dirassakan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami dan tidak bisa

dilukiskan. Misteri dan toleransi baginya merupakan bagian dari semua

dimensi spiritual.

5. Experience atau Pengalaman

Campbell (dalam cousineau, 1990) menekankan pentingnya

pengalaman spiritual, dimana orang menceritakan tentang pencarian

makna hidup; apa yang sesungguhnya mereka cari tidak lain adalah

pengalaman hidup. Maslow menyatakan bahwa elemen spiritual dari peak

experiences dipengaruhi oleh nilai – nilai yang berkembang di dunia

secular dan kerinduan akan makna (yearing of meaning).

6. Dimentional Integration atau Dimensi Integrasi

Dimensi – dimensi spiritual sebenarnya tidak berdiri sendiri

melainkan saling berintegrasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan. Dapat dipahami bahwa spiritualitas sesungguhnya merupakan

gabungn dari semua dimensi.

7. Play atau Permainan

G. Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik

Teori Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat

berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intlektual dan emosional yang

dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah :

Pendidikan Geografi Off L 2012 22

Page 23: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

1. Tahap prima faith.

Tahap keprcayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan

rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini

tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan

menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak  dan

pengasuhnya.

2. Tahap intuitive-projective.

Tahap ini berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini

kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang

dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-

contoh signivikan dari orang dewasa, anak kemudian berhasil

merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian

seponten serta gambaran intuitif  dan proyektifnya pafda ilahi.

3. Tahap mythic-literal faith

Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap

kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari

tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai

seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap

memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas. 

4. Tahap synthetic-conventional faith.

Tahap ini terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa

dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran

tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk

mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan

pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran

kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan

remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh

lembaga keagamaan resmi kepadanya.Pada tahap ini, remaja juga

mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui

symbol dan upacara keagamaan yang dianggap sacral.Symbol-simbol

identik kedalaman arti itu sendiri.Allah dipandang sebagai “pribadi

lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka.Lebih dari itu,

Pendidikan Geografi Off L 2012 23

Page 24: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.

Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya

sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa

komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik    

5. Tahap individuative- reflective faith,

Tahap ini terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada

tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab

individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada

tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan

seseorang.Menurut Fowler pada tahap ini ditandai dengan.

a.       Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang

diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-

asumsi sistem nilai terdahulu.

b.      Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan

munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih

antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk

identitas diri. 

6.      Tahap Conjunctive-faith

Tahap ini disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai

pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai

dengan perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan

keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka

terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang

berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.

7. Tahap universalizing faith,

Tahap berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa

ini ditandai dengan munculnya sisitem kepercayaan transcendental

untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri

dan pengosongan diri.Pristiwa-prisiwa konflik tidak selamanya

dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai

Pendidikan Geografi Off L 2012 24

Page 25: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian

kebenara ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak

titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan

perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam

jangkauan universal yang paling lua.

1. Karakteristik Perkembangan Spiritual Peserta Didik

1. Teori Perkembangan spiritual Fowler

Konsep tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan

fowler merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith,

bahwa kepercayaan eksistensional merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu

orientasi kepribadian seseorang yang menanggapi nilai dan kekuasaan

tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta yang

dilihat dan dipahami lewat bentuk – bentuk tradisi kumulatif. Fowler

(1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, cirri dari

seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka

menyatakan diri sebagai diri orang yang percaya dan orang yang

beragamaan atau sebagai orang yang tidak percaya pada apapun. Fowler

mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang dibangun

atas dasar teori – teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg,

Perry, Gilligan, dan Lefinson.

Tahap primal faith. Terjadi padsa usia 0-2 tahun yang ditandai

dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya.

Tahap intuitive-projective fait, berlangsung antara usia antara 2-7

tahun kepada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena

kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil

pengajaran dan contoh – contoh signifikan dari orang dewasa.

Tahap mythic-literal fait, Dimulai usia 7-11 tahun pada tahap ini,

sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak secara sistematis

mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya.

Tahap synthetic-conventional fait, terjadi pada usia 12-akhir masa

remaja atau awal masa dewasa ditandai dengan adanya kesadaran tentang

Pendidikan Geografi Off L 2012 25

Page 26: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

simbiolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui

kebenaran. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman

bersatu dengan Yang Transenden melalui symbol dan upacara keagamaan

yang dianggapnya sacral.

Tahap Individuative-reflective fait, terjadi pada usia 11 tahun atau

pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan

dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut.

Tahap cunjunctive fait, disebut juga paradoksical-consolidation

fait, dimulai usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Ditandai dengan

perasaan – perasaan terintegrasi deng symbol-simbol, ritual dan keyakinan

agama. Pada tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangn –

pandangan yang paradox dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran

dan keterbatasan dan pembatasan seseorang.

Tahap universalizing fait, Berkembang pada usia lanjut. Ditandai

dengan munculnya system kepercayaan transcendental untuk mencapai

perasaan ketuhanan, serta adanya desentrasasi diri dan pengosongan diri.

2. Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak usia Sekolah

Pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya,

anak mulai dapat berpikir logis dan mengatur dunia dengan kategori-

kategori baru. Fowler menjelaskan bahwa orientasi pada hal yang naratif

dan cerita menjadi orientasi pokok tahap ini. Anak – anak usia sekolah

dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi

secara konkret. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahamannya

mengenai konsep-konsep konkret anthropoforfis, yang mempunyai

perwujudan riil serta memiliki sifat – sifat pribadi seperti manusia. Namun

seiring perkembangan kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat

konkret ini mulai berubah menjadi abstrak.

3. Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak Remaja

Perkembangan yang cukup berarti. Mereka mungkin berusaha mencari

sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.

Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang

Pendidikan Geografi Off L 2012 26

Page 27: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar

belakang teori perkembangan kognitif piaget, ditemukan bahwa

perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3 yaitu,

formal operational religious thought, dimana remaja memperlihatkan

pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetif.

Mengacu pada teori perkembangan spiritualitas fowler, remaja berada dalam

tahap synthetic-conventional faith, tahap dimana remaja mulai bersifat konfornitis

dan melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan harapan-harapan social.

Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yang

Transenden melalui symbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sacral.

Disamping menunjukkan minat yang kuat terhadap hal – hal spiritual, fenomena

keberagamaan remaja juga sering ditandai dengan keraguan beragama (religious

doubt). Kegagalan individu untuk meraih kematangan dalam beragama

disebabkan kegagalan mengatasi krisis pada tahap sebelumnya. Pada setiap tahap

perkembangan kehidupan, seseorang akan dihadapkan pada 2 titik ekstrim

sebagaimana dipaparkan oleh erikson (1993) pada setiap tahap selalu terjadi krisis

antara 2 posisi ekstrim, positif dan negative dan indifidu akan melakukan

komitmen – komitmen tertentu dalam usaha menyelesaikan konfliknya.

Kegagalan mengenai krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan

eksternal yang tidak mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan

remaja terseret dalam pengaruh lingkungan. Faktor terakhir yang oleh fowler

(1988) diidentifikasikan berpengaruh terhadap perkembangan kepercayaan

eksistensial adalah keanggotaan dalam kelompok biasanya setiap individu akan

memiliki referencen group yang menjadi pusat aktivitas bagi dirinya. Begitu juga

dalam aktivitas beragamanya, kelompok akan mempengaruhi cara seseorang

beragama

Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama  remaja

telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-

anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan

dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka

mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan

Pendidikan Geografi Off L 2012 27

Page 28: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

dan eksistensi.Perkembangan pemahaman terhadap keyakinan agama sangat

dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan

agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka

mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Mungkin mereka

mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut

Muhammad Idrus, pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional,

sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai menyesuaikan diri dengan

orang lain yang berarti baginya (significant others) dan dengan mayoritas lainya.

H. Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan

Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik

dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat

menjadi manusia yang moralis dan religious. Berikut ini akan dikemukakan

beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membantu

perkembangan moral dan spiritual peserta didik.

1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum

tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer

moral dan agama secara keseluruhan. Tanpa adanya modal tingkah laku

yang baik dari guru maka pendidikan moral dan agama yang diberikan di

sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang yang

moralis dan religious.

2. Memberikan pendidikan formal langsung (direct moral education), yakni

pendidikan moral denga pendekatan pada nilai dan juga sifat selama

jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai – nilai dan sifat – sifat

tersebut kepada kurikulum.

3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values

clarification), yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang

berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan

mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.

Pendidikan Geografi Off L 2012 28

Page 29: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

4. Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk

menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi

penghayatan yang benar – benar dikontruksi dari pengalaman

keberagamaan.

5. Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui

pendekatan spiritual parenting, seperti:

1.      Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.

2.      Menanyakan kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya

sehari-hari.

3.      Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing

kita apabila kita meminta.

4.      Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka

dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri

mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu

bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak

melihat apapun (Desmita,2009:287).

Pendidikan Geografi Off L 2012 29

Page 30: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

BAB III

KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :

1.       Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan

mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya

dengan orang lain (Santroch, 1995).

2.       Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral

didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu:

Penalaran Prakonvesional, Penalaran Konvensional, Penalaran Pascakonvensional

3.       spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan

atau suatu yang lebih agung dari dirisendiri (Witmer 1989).

4.       Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi: Kepercayaan, Pemaafan, Cinta dan

hubungan, Keyakinan, kreativitas dan harapan, Maksud dan tujuan serta anugrah

dan harapan.

5.       Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan diantaranya

sebagai berikut : Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui

kerikulum, Memberikan pendidikan moral langsung, Memberikan pendekatan

moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, Menjadikan pendidikan sebagai

wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya,

Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan

spiritual parenting.

Pendidikan Geografi Off L 2012 30

Page 31: BAB 1, BAB 2, BAB 3

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik

RUJUKAN

http://faqihhunaini.blogspot.com/2012/01/perkembangan-moral-dan-spiritual.html

http://asasin-casas.blogspot.com/2011/12/proses-perkembangan-moral-dan-

spiritual.html

http://www.sevencounties.org/poc/view_doc.php?type=doc&id=41173&cn=1310

http://www.psikologizone.com/teori-perkembangan-moral-kohlberg/06511736

http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg

http://yuanitaresti.blogspot.com/2011/01/bab-i-pendahuluan.html

Ali,Mohammad.mohammad Asrori.2004.Psikologi Remaja Perkembangan

Peserta Didik.Jakarta:PT. Bumi Aksara

Danim,Sudarman.2010.Perkembangan Peserta Didik.Bandung:CV. Alfabeta.

Desmitha,2010.Psikologi perkembangan peserta didik.Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Fatimah,Enung.2008.Psikologi Perkembangan(Perkembangan Peserta

Didik).Bandung:CV. Pustaka Setia.

Pendidikan Geografi Off L 2012 31