bab 1, bab 2, bab 3
TRANSCRIPT
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam perspektif merupakan individu, keluarga atau masyarakat
yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan bantuan untuk dapat
memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya dalam kondisi
optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran dan fungsi
seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai
mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis,
kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di
atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi
tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan
kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari
individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian
tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan
dalam psikologi perkembangan anak bahwa pemberian asuhan spiritual
hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi
kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual
manusia. Sehingga, pada nantinya manusia akan dapat merasakan kesejahteraan
yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga
kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor
yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai
oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam
kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari psikologi
sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan psikologi
kepada manusia.
Pendidikan Geografi Off L 2012 1
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
B. Rumusan Masalah
1. Apakah makna moral itu ?
2. Bagaimana karakteristik moral ?
3. Teori – teori tentang perkembangan moral ?
4. Tahap – tahap perkembangan moral ?
5. Apakah pengertian spiritual itu ?
6. Dimensi – dimensi spiritual ?
7. Bagaimana proses perkembangan spiritual peserta didik ?
8. Karakteristik perkembangan spiritual peserta didik ?
9. Implikasi perkembangn moral spiritual terhadap pendidikan ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah perkembangan peserta didik yang
dibina oleh Drs. Yusuf Suharto.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui makna tentang moral.
2. Untuk mengetahui karakteristik moral.
3. Untuk mengetahui teori tentang moral.
4. Untuk mengetahui tahap – tahap perkembangan moral.
5. Untuk mengetahui pengertian spiritual.
6. Untuk mengetahui dimensi – dimensi spiritual.
7. Untuk mengetahui proses perkembangan spiritual peserta didik.
8. Untuk mengetahui karakteristik perkembangan spiritual peserta didik.
9. Untuk mengetahui bagaimana implikasi perkembangan moral dan
spiritual terhadap pendidikan.
Pendidikan Geografi Off L 2012 2
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Moral
Istilah moral berassal dari kata latin mores yang berarti tata cara dalam
kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa,1986). Moral pada dasarnya
merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi
(Shaffer, 1979). Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur
perilaku individu dalam hubungannya dalam kelompok social dan masyarakat.
Moral merupakan standart baik / buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai –
nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial (Rogers, 1985).
Dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara kronologis
mulai yang paling abstrak hingga yang lebih operasional.Nilai merupakan
perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai merupakan suatu perangkat
keyakinan atupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang
memberikan corak kusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan prilaku
(syahidin dkk.2009:239). Moral dapat berbentuk formula, peraturan, atau
ketentuan pelaksanaan, misalnya saja etika belajar, etika mengajar dan lain
sebagainya.Dilihat dari sumber nilai ataupun moral dapat diambil dari wahyu
ilahiataupun dari budaya. Dengan demikian dapat diartikanbahwa, moral sama
saja dengan akhlak manakala sumber atau produk budayasesuai dengan prinsip-
prinsip akhlak (syahidin dkk.2009:239).
B. Karakteristik Moral
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah
bahwa sesuai tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan
berpikir perasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu
memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja
Pendidikan Geografi Off L 2012 3
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat dan
situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka
(Gunarsa,1989). Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai
tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang
ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu
mempertanggungjawabkannya secara pribadi(Monks, 1989).
Micheal mengemukakan 5 perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan
oleh remaja yaitu sebagai berikut :
a. Pandangan moral individu makin lama menjadi lebih abstrak.
b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa
yang salah.
c. Penilaian moral yang semakin kognitif mendorong remaja untuk berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral menimbulkan ketegangan emosi.
C. Teori Psikoanalisa tentang perkembangan moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikologi analalisa
dengan pembagian struktur kepribadian manusia atas 3, yaitu id, ego, superego. Id
adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis, yang irasional dan
tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas psikologi, yaitu
subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.
Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan
system nilai dan moral, yang benar – benar memperhitungkan benar dan salahnya
sesuatu.
Menurut teori psikoanalisa klasik Freud, semua orang mengalami konflik
Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang
dinamakan Freud sebagai superego. Ketika anak mengalami konflik Oedipus ini,
maka perkembangn moral mulai. Slah satu alas an mengapa anak mengatasi
konflik Oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih saying orang tua
dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat
diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk mengurangi
Pendidikan Geografi Off L 2012 4
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih saying orang tua,
anak – anak membentuk suatu superego dengan mengidentifikasikan diri dengan
orang tua yang sama jenis kelamin, menginternalisasi standart – standart benar
dan salah orang tua.
Struktur superego ini mempunyai 2 komponen, yaitu ego ideal kata hati
(conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental
seseorang, peraturan – peraturan masyarakat, hokum, kode, etika, dan moral. Pada
usia kira – kira 5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi
sempurna ketika ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia
sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan perkembangan moralnya (Lerner &
Hultsc, 1983).
Teori Belajar Sosial tentang Perkembang Moral
Teori belajar social melihat tingkah laku moral sebagai respon atas
stimulus. Dalam hal ini, proses – proses penguatan, penghukuman, dan
peniruan, digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak – anak.
Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Menurut Piaget, remaja mengembangkan moralitas kerja sama, pada
usia 10 tahun atau lebih tua.Sebagai pemuda mengembangkan moralitas kerja
sama mereka menyadari bahwa untuk membuat orang masyarakat koperasi
harus bekerja sama untuk memutuskan apa yang dapat diterima, dan apa yang
tidak. Piaget percaya bahwa remaja pada usia ini mulai memahami bahwa
moral merupakan perjanjian sosial antara orang dan dimaksudkan untuk
mempromosikan kebaikan bersama. Selain itu, mereka mengenali orang
mungkin berbeda dalam cara mereka memahami dan mendekati situasi moral
atau masalah. Mereka juga mulai memahami bahwa perbedaan antara benar
dan salah tidak mutlak melainkan harus memperhitungkan variabel perubahan
seperti konteks, motivasi, kemampuan, dan niat. Kontras ini untuk remaja
muda yang percaya aturan dan hukum yang diciptakan oleh terbantahkan,
otoritas bijaksana dan percaya bahwa aturan-aturan yang ditetapkan oleh
otoritas ini tidak pernah bijaksana seharusnya ditantang atau diubah. Selain
itu, Piaget percaya muda pada usia ini mulai memahami bahwa moralitas
Pendidikan Geografi Off L 2012 5
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
keputusan tidak beristirahat semata-mata pada hasil keputusan itu. Sebagai
contoh, remaja pada usia ini menyadari bahwa menjalankan tanda berhenti
yang salah, terlepas dari apakah atau tidak seseorang menerima tilang, atau
menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Selain itu, remaja mulai mengerti manfaat timbal balik pengambilan
keputusan moral, yaitu, suatu keputusan moral menciptakan solusi optimal
untuk semua orang yang terlibat, bahkan ketika hanya dua orang yang
terpengaruh. Pemuda mulai menyadari bahwa ketika situasi ditangani dengan
cara yang tampaknya adil, wajar, dan / atau bermanfaat bagi semua pihak,
menjadi lebih mudah bagi orang untuk menerima dan menghormati
keputusan. Konsep keadilan disebut timbal balik. Awalnya pemahaman
pemuda 'timbal balik bisa sangat literal dan sederhana. Sebagai contoh, pekan
lalu Terrell, usia 11, meminjamkan permainan merek video baru untuk teman
Randy baiknya. Minggu ini, itu adalah Randy yang memiliki permainan video
baru. Terrell cenderung bersikeras bahwa Randy harus memungkinkan dia
meminjam video game baru karena dari perspektif Terrell itu, "itu hanya adil"
karena ia anggun memungkinkan Randy untuk meminjam permainan barunya
minggu sebelumnya. Terrell percaya keadilan yang simplistically ditentukan
oleh timbal balik yang tepat.
Oleh pemula remaja tengah memperluas pemahaman mereka tentang
keadilan untuk memasukkan timbal balik yang ideal. Timbal balik yang ideal
mengacu pada jenis keadilan melampaui timbal balik sederhana dan
mencakup pertimbangan kepentingan orang lain terbaik. Hal ini digambarkan
oleh pepatah akrab, "Lakukan kepada orang lain seperti Anda ingin mereka
lakukan kepadamu" yang banyak orang tahu sebagai Golden Rule.Remaja
yang telah mencapai timbal balik yang ideal akan membayangkan masalah
dari perspektif orang lain dan mencoba untuk menempatkan dirinya dalam
orang lain "sepatu," sebelum membuat keputusan moral. Konsep ini
diilustrasikan dengan contoh berikut:
Pendidikan Geografi Off L 2012 6
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Misalkan Maria, usia 14, sedang melihat ke luar jendela ruang satu
hari dan terjadi untuk melihat kakaknya, Ava, mendukung mobil keluarga
keluar dari jalan masuk. Saat ia sedang menonton, Maria melihat Ava sengaja
bertabrakan dengan kotak surat seperti dia menarik keluar ke
jalan. Selanjutnya, Maria melihat Ava keluar dari mobil dan memeriksa
kerusakan pada mobil dan kotak surat. Tapi, bukannya kembali ke rumah
untuk memberitahu orangtuanya, Ava hanya melaju pergi.
Pada usia yang lebih muda, Maria akan segera kabur untuk
memberitahu orangtuanya tentang kecelakaan Ava karena dia tahu itu salah
untuk Ava untuk mengusir tanpa memberitahu orang tuanya apa yang
terjadi. Sebaliknya, jika Maria telah mencapai timbal balik yang ideal dia
akan menahan diri dan membayangkan apa pengalaman pasti seperti untuk
Ava. Dia mungkin menyadari bahwa jika dia berada di sepatu Ava, dia
mungkin telah melakukan hal yang sama karena dia akan malu dan takut
untuk memberitahu orang tuanya tentang kecelakaan itu. Selain itu, dia
mungkin memutuskan bahwa Ava mungkin akan lebih suka untuk
memberitahu orang tuanya tentang kecelakaan sendiri, daripada harus
adiknya "mengadu" pada dirinya. Oleh karena itu, Maria akan menunggu
sampai Ava pulang sehingga ia dapat berbicara dengan Ava. Selama diskusi
ini Maria akan mendorong Ava pergi ke orang tuanya dengan kebenaran
dalam rangka untuk membuat hal yang benar. Dengan demikian, timbal balik
yang ideal akan memungkinkan Maria untuk memeriksa masalah dari
perspektif kakaknya dan untuk membuat keputusan moral yang didasarkan
pada "Golden Rule."
Menurut Piaget, timbal balik yang ideal sekali telah mencapai
perkembangan moral telah selesai. Namun, sekarang kita tahu bahwa banyak
pemuda akan terus menyempurnakan moral mereka proses pengambilan
keputusan baik ke awal masa dewasa. Jadi meskipun Piaget merintis
pemahaman awal kita tentang perkembangan moral, penelitian ini tidak selalu
dapat mengkonfirmasi bagian-bagian tertentu dari teorinya. Misalnya, tidak
hanya remaja terus memperbaiki kriteria mereka untuk keputusan moral
Pendidikan Geografi Off L 2012 7
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
menjadi dewasa, tetapi mereka juga terus meningkatkan kemampuan mereka
bertindak sesuai dengan kriteria tersebut. Dengan kata lain, kompas moral
mereka beroperasi untuk memandu pilihan mereka dan untuk mengarahkan
perilaku mereka. Piaget juga di bawah-memperkirakan usia di mana anak-
anak dapat mempertimbangkan niat moral yang orang lain. Piaget percaya
bahwa kemampuan ini tidak berkembang sampai masa kanak-kanak akhir,
atau awal masa remaja. Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan
bahwa kemampuan ini berkembang cepat bahwa Piaget pernah
percaya. Anak-anak muda mampu mengenali pentingnya niat seseorang
ketika mengevaluasi moralitas keputusan, tetapi, anak-anak muda cenderung
sangat naif dalam keyakinan mereka bahwa niat orang terbaik akan
menentukan pilihan yang sebenarnya orang membuat. Meskipun kelemahan-
kelemahan, kontribusi Piaget yang sangat signifikan karena mereka sangat
dipengaruhi karya kemudian Lawrence Kohlberg yang mempublikasikan
teorinya tentang perkembangan moral selama 1950-an.
Teori Kohlberg tentang Perkembangn Moral
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas,
modofikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas
analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga
16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral, dimana mereka harus
memilih antara tindakan mentaati peraturan atau memenuhi kebutuhan
hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis
yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan
moral atas tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam
tahap (stage). Kohlberg setuju dengan Piaget yang menelaskan bahwa
sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas
spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi
social, namun interaksi ini memiliki corak khusus, dimana faktor pribadi
yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan.
Pendidikan Geografi Off L 2012 8
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah
orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran
dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral daalm arti perbuatan nyata.
Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin
terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari
perbuatan-perbuatannya.
Penalaran Moral
Apa yang disebut dengan moral menurut Kohlberg adalah bagian dari
penalaran (reasoning), sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral
(moral reasoning). Penalaran atau pertimbanganberkenaan dengan keluasan
wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi
diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya orang lain
sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain dapat
dipertukarkan. Ini disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakikatnya adalah
penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban
(etiono, 1994)
Dengan demikian orang yang bertindak sesuai dengan moral adlah
orang yang mendasrkan tindakannya atas penilaian baik-buruknya sesuatu.
Karena leb ih bersifat penalaran, maka perkembangan moral menurut Kohlberg
sejalan denga perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget.
Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan
Piagettersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekanan pada
penalaran ini, berarti Kohlberg ingi melihat struktur proses kognitif yang
mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral.Sesuai dengan tahap-
tahap perkembangan moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran remaja berada
pada tingkat konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan dengan anak-
anak, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang. Mereka sudah mulai
mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan , kesopanan,
kedisiplinan dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak selalu mengikuti
prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri. Namun riset menyatakan bahwa prinsip-
Pendidikan Geografi Off L 2012 9
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran
moral konvensional.
D. Tahap Tahap Perkembangan Moral
Dalam konteks perkembangan moral ini, ada sejumlah tahap – tahap
perkembangan moral yang sangat terkenal, yaitu yang dikemukakan oleh john
dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Peaget, dan Lawrence Kohlberg
(1995). Tahap – tahap perkembangan moral tersebut adalah :
1. Menurut John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Peaget
mengemukakan 3 tahap perkembangan moral.
a. Tahap Pramoral
Ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
b. Tahap Konvensional
Ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada
kekuasaan.
c. Tahap Otonom
Ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang
didasarkan pada resiprositas.
2. Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg
terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap
diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan
kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku
yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk
mendapatkan hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pendidikan Geografi Off L 2012 10
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral
didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa
menuntut mereka untuk taat.
Tahap II. Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan
(hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin
taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah
taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang
dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi
individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-
stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar
orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Orientasi kesepakatan bersama antara pribadi atau
disebut orientas ”anak manis”
Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan
kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-
pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh
orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tahap IV. Orientasi hukum dan ketertiban
Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman
atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Orientasi kontrak sosial legalitas
Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan
bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Pendidikan Geografi Off L 2012 11
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Tahap VI. Orientasi prinsip dan etika universal
Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang
didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila
sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati,
seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin
bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan
usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada
prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional
dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian
hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari
sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan
sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana
mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan
anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk
taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum.
Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan
keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan
tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan
penghindaran dari hukuman.
Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan
Pendidikan Geografi Off L 2012 12
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan
kebutuhan orang lain.
Tingkat Dua: Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap
moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3.
Memperhatikan Citra Anak yang Baik
· Maksudnya: anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan
dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang
dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
· Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan
tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya
aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma
Interpernasional ialah: dimana seseorang menghargai kebenaran,
keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan
pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering
mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak
yang baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
· Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap
wewenang dan aturan.
· Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat Tiga: Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan
pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral
lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini
Pendidikan Geografi Off L 2012 13
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai
yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
· Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah
remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak
pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial.
· Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika
ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
· Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-
alasan tertentu.
Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika
· Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial
berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber
dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain.
· Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat
meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang
dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami
yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk
menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa
melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral
yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
E. Makna Spirirtual
Kata Spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yaitu “Spirituality”, kata
dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (echols & shadily, 1997) Kata
Spirit sendiri berasal dari kata latin “Spiritus” yang berarti : luas atau dalam
(breath, keteguhan hati atau keyakinan (courage), energy atau semangat (vigor),
dan kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin
spiritualis yang berarti off the spirit (kerohanian).
Pendidikan Geografi Off L 2012 14
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Ingersoll (1994) mengartikan spiritualitas sebagai wujud dari karakter
spiritual, kualitas atau sifat dasar. Belakangan, definisi tentang spirituallitas
meliputi komunikasi dengan tuhan (fox, 1983) dan upaya seseorang untuk bersatu
dengan tuhan (magill dan Mc.Greal, 1988). Tillich (1959) menulis bahwa
spiritualitas merupakan persoalan pokok manusia dan pemberi makna substansi
dari kebudayaan. Witmer (1989) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu
kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri
sendiri. Bollinjer (1969) menggambarkan kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan
terdalam dari diri seseorang yang apabila dipenuhi individu akan menemukan
identitas makna hidup yang penuh arti. Booth (1992) menjelaskan bahwa
spiritualitas adalah suatu sikap hidup yang member penekanan pada energi,
pilihan kreatif dan kekuatan penuh bagi kehidupan serta menekankan pada upaya
penyatuan diri dengan suatu kekuatan yang lebih besar dari individual, serta
cocreatorship dengan tuhan. May (1988) menyebutkan bahwa spirit manusia “is
the source of our yearning as well as our very live”. Schaef (1992 menyamakan
spiritualitas dengan ketenangan hati (Sobriety) dan hidup dalam proses (Living in
process), yang diartikan sebagai perjalanan, proses dan kelang sungan hidup kita.
1. Spiritualitas dan Religius
Menurut estimasi Naisbitt dan Arburdene, masyarakat masa depan akan
cenderung mengabaikan agama dan lebih mendalamispiritualitas.karena itu,
perbedaan keduanya akan semakin tajam, meskipun keduanya sama-sama
berkaitan dengan kebutuhanmnausia yang paling mendasar. Menurut kedua
futurolog tersebut,berdasarkan hasil-hasil pengumpulan pendapat, ada indikasi
menaiknyaspiritualitas di kalangan masyarakat Amerika, lebih tinggi dari masa-
masa sebelumnya. Sebagian besar mereka percaya bahwa “Tuhan adalah kekuatan
spiritual yang aktif dan positif” meskipun gejala itu disertaidengan menurunnya
peran agama-agama formal. Kalangan muda yang terpelajar di sekolah-sekolah
tinggi pertama-tama bersikap sangat kritis terhadap agama-agama formal. Mereka
menilai bahwa gereja dan sinagog”sibuk dalam masalah-masalah keorganisasian
dengan mengesampingkan isu-isu theologis dan spiritual”. Karena itu kata
Pendidikan Geografi Off L 2012 15
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Naisbitt dan Aburdene, mereka kaum muda itu bukan manusia “beragama”
(religious), melainkan “berkerohanian” (spiritual).
Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena agama
mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di
dunia ini. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa Latin religio,
yang berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Istilah Latin ini
merupakan transformai dari kata religare, yang berarti to bind togheter
(menyatukan). Berdasarkan akar kata ini, Ingersoll (1994) mendefinisikan religion
sebagai: “an expression of beliefsin conduct and rituel, the basic for a medium of
organized worship becomes apparent”.
Berbeda dengan agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk
hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang
merupakan misteri, karena intimitas jua. Dalam hal ini, spiritualitas mencakup
citra rasa totalitas kedalaman pribadi manusia. berdasarkan pemahaman ini
spiritualitas tampak lebih ekstem, lrbih dalam dari agama yamg cenderung lebih
eksoterik formal dan kaku.
Untuk lebih memberi pemahaman tentang istilah spiritualitas dna religiusitas,
ad baiknya dikutip penjelasan Aliah B. Purwakania Hsan (2006), seorang ahli
psikologi dari UI:
Istilah spiritual dan religius seringkali dianggap sama, namun banyak pakar yang menyatakan keberatannya jika kedua istilah ini dipergunakan saling-silang. Spiritualitas kehidupan adalah inti dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang asal tujuan, dan nasib. Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di tas dunia. Agama merupakan serangkaian praktik perilaku tertentu yang dhubungkan dengan keprcayaan yang dinyatakan oleh intitusi tettentu dan dianut oleh anggota-anggotanya. Aagama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode eetik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama meberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan). Seseorang busa saja mengikuti agama tertentu namun tetap memiliki spiritualitas. Orang-orang juga dapat menganut agma yang sama, namun belum tentu memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama. Perbedaan juga harus dibuat antara spiritualita yang berbeda dengan agama dan spiritualitas dalam agama.
Pendidikan Geografi Off L 2012 16
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Meskipun keduanya (agama dan spiritualitas) terlanjur dipisahkan, namun untuk pemenuhan makna hidupmanusia yang sejati, nampaknya harus ada upaya pemaduan antara spiritualitas dan agama. “Agama memang tidak sama dengan spiritaulitas, namun agama merupakan bentuk spiritualitas yang hidup dalam peradaban”, dengan pernyataan William Irwin Thompson (dalam Aliah B. Purwakania Hasan, 2006). Bahkan Micley et al (dalam Achir Yani S. Hamid, 2000), menyebutkan bahwa agama merupakan salah satu dimensi dari spiritaulitas, disamping dimensi eksistensial. Dimensi eksistensial dari spiritualitas berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama dari spiritualitas berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
2. Wacana Spiritualitas dalam Psikologi Kontemporer
Wacana tentang spiritulitas semakin meningkat, terutama sejak John
Naisbitt dan patrisia Aburdene memandang zaman sekarang ini sebagai “New
Age” (zaman baru) yang dicirikan dengan pesatnya perhatian manusia modern
terhadap dunia spiritual.
Terjadinnya peningkatan penggunaan kata spiritualitas dalam disiplin
akademis dan literatur-literatur populer, telah menjelmakan suatu konsep
spiritualitas untuk menggambarkan bermacam-macam kapasitas. Meskipun
literatur dalam ilmu-ilmu sosial lainnya sepeti sosiologi (morberg,1979) dan
theologi kontempirer (Schneiders, 1989) telah meninjukan adanya perhatian
dalam menjelaskan konsep spiritualitas, namun dalam bidang psikologibelum
terlihat adanya riset yang mendalam yang bisa diterima sebagaai subjek teoritis
atau klinis yang penting. Bakan menurut Ingersoll (2004), dalam literatur
terapeutik maslah spirituakitas cenderung diabaikan. Setidaknya terdapat dua
alasan mengapa spirituakitas kurang mendapatkan perhatian dalam kajian-kajian
psikologi umumnya, yaitu: pertama, sebagaimana dinyatakan oleh Safranske dan
Gorsuch (19840, relatif kurangnya perhatian terhadap studi tentang spiritual
dalam psikologi mungkin dapat dilacak pda akar historis profesi tersebut yng
berusaha memisahkan diri dari disiplin filosofis non-empirik. Hal ini diperburuk
oleh fakta bahwa konsep spiritual sendiri bersifat dinamis dan secara historis telah
mengalami banyak perubahan bentuk dalam kaitannya dengan institusi religius,
struktur politik, dan prgerakan sosial.
Pendidikan Geografi Off L 2012 17
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Kedua, dalam hubungan dengan praktik klinis, diskusi tentang spiritualitas
yang terjadi dalam konseling sering berhadapan dengan kenyataan bahwa
kerangka acuan yang digunakan therapist sering bertentangan dengan apa yang
dialami olek klien. Meskipun demikian, para profesional dalam bidang psikologi
mengambil secara serius Riset Bergin's(1990) mengenai dampak penilaian
konselor dalam psikoterapi, suatu usaha bertanggun jawab yang harus dilakukan
untuk menjelaskan bagaiamana pemahaman tentang spiritual mempengaruhi
penilaian tersebut. Seperti apa yang dikemukakan oleh Tjeltveit(1989) bahwa
kegagalan dalam memahami semua model manusia (termasuk model spiritual)
merupakam suatu bentuk pengabaian resiko aspek kunci dari pengalaman dan
perilaku manusia. Sayangnya, problem yang banyak muncul dari data-data yang
ada adalah di sekitar konsep yang telah dinyatakan dalam suatu konseptual, versus
kuantitatif, bentuk keragu-raguan ilmiah yang terus dipromosikan.
3. Spiritualitas dalam Psikologi Humanistik
Psikologi humanistic muncul pada pertengahan abad ke-20 sebagai reaksi
terhadap teori psikodinamik dan behavioristik. Keduanya dianggap telah
mereduksi manusia sebagai mesin atau makhluk rendah. Psikoanalisis
berkutat pada insting insting hewani dan memahami manusia dari perilaku
kasian. Para teoritikus humanistic, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan
Abraham Maslow (1908-1970) meyakini bahwa tingkah laku manusia
tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik – konflik yang tidak
disadari maupun sebagai hasil pengkondisian (Conditioning) yang
sederhana. Teori ini melihat manusia sebagai actor dalam drama
kehidupan, bukan reactor terhadap insting atau tekanan lingkungan.
Aliran Humanistik berhubungan erat dengan aliran filosofis Eropa yang
disebut sebagai “Eksistensialisme”. Para Ekstistensialis, seperti Filsuf
Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980),
memfokuskan perhatian pada pencarian arti dan pentingnya pilihan pada
eksistensi manusia.
Psikologi Humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi – potensi yang baik, minimal lebih banyak lebihnya dari pada
buruknya. Disamping itu, psikologi humanistic memandang manusia
Pendidikan Geografi Off L 2012 18
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Ini
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku
aktif yang dapat menentukan hamper segalanya.
Para teoritikus humanistik mempertahankan bahwa manusia memiliki
kecenderungan bawaan untuk melakukan selv-actualization untuk
berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Setiap manusia memiliki
serangkaian perangai dan bakat – bakat yang mendasari perasaan dan
kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dala hidup
kita.
Logoterapi merupakan aliran psikologi yang mengakui adanya dimensi
kerohanian atau spiritualitas disamping dimensi – dimensi ragawi,
kejiwaan, dan lingkungan social budaya. Frankl beranggapan bahwa
keinginan yang paling fundamental dari manusia adalah keinginan untuk
memperoleh makna bagi eksistensinya, yang dalam bahasa Frankl disebut
sebagai “Kehendak akan makna (The Will to Meaning)”.
Konsep dasar yang melandasi logoterapi adalah konsep tentang manusia
sebagai makhluk spiritual yang keberadaannya memiliki makna intrinsic.
Dimensi Spiritual, yang disebut Frankl sebagai Noos merupakan dimensi
yang menjadi sumber kekuatan dan kesehatan bagi manusia dalam
melakukan terapi secara baik. Di dalam dunia spirit, kita tidak dipandu,
tetapi kita adalah pemandu pengambil keputusan. Reservoir kesehatan ada
pada setiap orang, apapun agama dan keyakinanya. Kebanyakan dari
reservoir ini terdapat di alam tak sadar kita; adalah tugas seorang logo
terapis untuk menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual
ini (farby, 1950). Menurut Frankl, pengertian spiritual disini sama sekali
tidak mengandung konotasi agama, tetapi dimensi ini dianggap sebagai ini
kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup dan potensi dari
berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang sejauh
ini terabaikan dari telaah psikologi.
Pendidikan Geografi Off L 2012 19
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
4. Spiritualitas dalam Psikologi Transpersonal
Psikologi Transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih
tepatnya pengembangan dari psikologi humanistic. Aliran Psikologi ini
disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro dan Denise H. Lajoie (1992)
menggambarkan psikologi transpersonal sebagai berikut : Transpersonal
psychology is concerned with the study of humanitys highest potential, and
with the recognition, understanding, and realization of unitive, spiritual,
and transcendent states of consciousness. Unsur penting dari rumusan
tersebut yaitu potensi – potensi luhur (the highest potentials) dan
fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Psikologi
transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan
pengalaman – pengalaman rohaniah manusia.
Psikologi transpersonal berawal dari penelitian penelitian psikologi
kesehatan yang dilakukan oleh Abraham maslow dalam tahun 1960-an.
Ditemukan bahwa orang – orang yang mengalami pengalaman –
pengalaman puncar merasa lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia,
lebih menjadi raja atas diri mereka sebdiri, lebih spontan, kurang
menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah menyerap sesuatu, dan
sebagainya. Maslow menyimpulkan bahwa pengalaman keagamaan adalah
peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh sebab
itu kata maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali
dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Psikologi transpersonal
menunjukkan bahwa diluar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi
lain yang luar biasa potensialnya serta mengajarkan praktik – praktik
untuk mengajarkan manusia pada kesadaran spiritual, diatas Id, Ego, dan
Superego-nya Freud.
Sejak tahun 1969, ketika Journal of transpersonal psychology terbit untuk
pertama kalinya psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi
spiritual manusia. Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi
humanistic menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia ternyata
mengandung berbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini
terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah ; psikologi
Pendidikan Geografi Off L 2012 20
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
humanistic lebih memanfaatkan potensi – potensi ini untuk peningkatan
hubungn antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertari
untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar
biasa dari potensi spiritual ini (Bastaman, 1997). Psikologi transpersonal
menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajaki dan melakukan
telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap
sebagai bidang garapan kaum kebatinan, rohaniawan, agamawan, dan
mistukus.
F. Dimensi Spiritual
Meskipun para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual
harus dipahami dalam multi dimensional, namun Ingersoll (1994)
menggambarkan spiritualitas dalam tujuh dimensi.
1. Meaning atau Makna
Merupakan dimensi terpenting dari spiritualitas. Makna dapat
dipahami sebagai sesuatu yang dialami individu yang membuat
kehidupannya lebih bernilai atau berharga. Manusia memiliki perangkat
atau alat untuk mencapai makna ini, yang berkembang sesuai dengan
pengalaman yang mengasah dirinya.
2. Conception of Divinity atau Konsep Tentang Ketuhanan.
Fox (1983) mengategorikan konsep individu tentang Tuhan atas
teistik, atheistik, pantheistic, atau panetheistik. Secara teistikal individu
berhubungan dengan kekuatan atau wujud transenden yang utama. Secara
atheistic seseorang menyangkal atau menolak konsepsi tentang ketuhanan.
Secara pantheistic individu berhubungan dengan suatu kekuatan absolute
yang bersemayam dalam semua keberadaan. Dalam pantheistic, kekuatan
atau wujud ketuhanan meliputi (flows) seluruh yang ada dan secara
paradok melebihi semua yang ada
3. Relationship atau Hubungan
Hubungan ini mencangkup bagaimana individu berhubungan
dengan konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain. Burns (1989)
Pendidikan Geografi Off L 2012 21
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
kemudian mengembangkan gagasan tentang hubungan dalam spiritualitas
dengan mendefinisikannya sebagai suatu perjuangan untuk dan penyatuan
dengan realitas dari interkoneksi antar diri, orang lain, dan dengan zat
yang maha kuasa (infine) atau yang bersifat ketuhanan (difine).
4. Mystery
Merupakan salah satu dimensi spiritualitas yang penting. Banks
(1950), mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi yang secara
tipikal dirassakan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami dan tidak bisa
dilukiskan. Misteri dan toleransi baginya merupakan bagian dari semua
dimensi spiritual.
5. Experience atau Pengalaman
Campbell (dalam cousineau, 1990) menekankan pentingnya
pengalaman spiritual, dimana orang menceritakan tentang pencarian
makna hidup; apa yang sesungguhnya mereka cari tidak lain adalah
pengalaman hidup. Maslow menyatakan bahwa elemen spiritual dari peak
experiences dipengaruhi oleh nilai – nilai yang berkembang di dunia
secular dan kerinduan akan makna (yearing of meaning).
6. Dimentional Integration atau Dimensi Integrasi
Dimensi – dimensi spiritual sebenarnya tidak berdiri sendiri
melainkan saling berintegrasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Dapat dipahami bahwa spiritualitas sesungguhnya merupakan
gabungn dari semua dimensi.
7. Play atau Permainan
G. Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat
berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intlektual dan emosional yang
dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah :
Pendidikan Geografi Off L 2012 22
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
1. Tahap prima faith.
Tahap keprcayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan
rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini
tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan
menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan
pengasuhnya.
2. Tahap intuitive-projective.
Tahap ini berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini
kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang
dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-
contoh signivikan dari orang dewasa, anak kemudian berhasil
merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian
seponten serta gambaran intuitif dan proyektifnya pafda ilahi.
3. Tahap mythic-literal faith
Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap
kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari
tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai
seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap
memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
4. Tahap synthetic-conventional faith.
Tahap ini terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa
dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran
tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk
mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan
pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan
remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh
lembaga keagamaan resmi kepadanya.Pada tahap ini, remaja juga
mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui
symbol dan upacara keagamaan yang dianggap sacral.Symbol-simbol
identik kedalaman arti itu sendiri.Allah dipandang sebagai “pribadi
lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka.Lebih dari itu,
Pendidikan Geografi Off L 2012 23
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya
sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa
komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik
5. Tahap individuative- reflective faith,
Tahap ini terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada
tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab
individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada
tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan
seseorang.Menurut Fowler pada tahap ini ditandai dengan.
a. Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang
diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-
asumsi sistem nilai terdahulu.
b. Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan
munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih
antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk
identitas diri.
6. Tahap Conjunctive-faith
Tahap ini disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai
pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai
dengan perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan
keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka
terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang
berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
7. Tahap universalizing faith,
Tahap berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa
ini ditandai dengan munculnya sisitem kepercayaan transcendental
untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri
dan pengosongan diri.Pristiwa-prisiwa konflik tidak selamanya
dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai
Pendidikan Geografi Off L 2012 24
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian
kebenara ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak
titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam
jangkauan universal yang paling lua.
1. Karakteristik Perkembangan Spiritual Peserta Didik
1. Teori Perkembangan spiritual Fowler
Konsep tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan
fowler merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith,
bahwa kepercayaan eksistensional merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu
orientasi kepribadian seseorang yang menanggapi nilai dan kekuasaan
tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta yang
dilihat dan dipahami lewat bentuk – bentuk tradisi kumulatif. Fowler
(1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, cirri dari
seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka
menyatakan diri sebagai diri orang yang percaya dan orang yang
beragamaan atau sebagai orang yang tidak percaya pada apapun. Fowler
mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan yang dibangun
atas dasar teori – teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg,
Perry, Gilligan, dan Lefinson.
Tahap primal faith. Terjadi padsa usia 0-2 tahun yang ditandai
dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya.
Tahap intuitive-projective fait, berlangsung antara usia antara 2-7
tahun kepada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena
kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil
pengajaran dan contoh – contoh signifikan dari orang dewasa.
Tahap mythic-literal fait, Dimulai usia 7-11 tahun pada tahap ini,
sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak secara sistematis
mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya.
Tahap synthetic-conventional fait, terjadi pada usia 12-akhir masa
remaja atau awal masa dewasa ditandai dengan adanya kesadaran tentang
Pendidikan Geografi Off L 2012 25
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
simbiolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui
kebenaran. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman
bersatu dengan Yang Transenden melalui symbol dan upacara keagamaan
yang dianggapnya sacral.
Tahap Individuative-reflective fait, terjadi pada usia 11 tahun atau
pada masa dewasa awal. Pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan
dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut.
Tahap cunjunctive fait, disebut juga paradoksical-consolidation
fait, dimulai usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Ditandai dengan
perasaan – perasaan terintegrasi deng symbol-simbol, ritual dan keyakinan
agama. Pada tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangn –
pandangan yang paradox dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran
dan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
Tahap universalizing fait, Berkembang pada usia lanjut. Ditandai
dengan munculnya system kepercayaan transcendental untuk mencapai
perasaan ketuhanan, serta adanya desentrasasi diri dan pengosongan diri.
2. Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak usia Sekolah
Pada tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya,
anak mulai dapat berpikir logis dan mengatur dunia dengan kategori-
kategori baru. Fowler menjelaskan bahwa orientasi pada hal yang naratif
dan cerita menjadi orientasi pokok tahap ini. Anak – anak usia sekolah
dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi
secara konkret. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahamannya
mengenai konsep-konsep konkret anthropoforfis, yang mempunyai
perwujudan riil serta memiliki sifat – sifat pribadi seperti manusia. Namun
seiring perkembangan kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat
konkret ini mulai berubah menjadi abstrak.
3. Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak Remaja
Perkembangan yang cukup berarti. Mereka mungkin berusaha mencari
sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang
Pendidikan Geografi Off L 2012 26
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar
belakang teori perkembangan kognitif piaget, ditemukan bahwa
perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3 yaitu,
formal operational religious thought, dimana remaja memperlihatkan
pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetif.
Mengacu pada teori perkembangan spiritualitas fowler, remaja berada dalam
tahap synthetic-conventional faith, tahap dimana remaja mulai bersifat konfornitis
dan melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan harapan-harapan social.
Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan Yang
Transenden melalui symbol dan upacara keagamaan yang dianggapnya sacral.
Disamping menunjukkan minat yang kuat terhadap hal – hal spiritual, fenomena
keberagamaan remaja juga sering ditandai dengan keraguan beragama (religious
doubt). Kegagalan individu untuk meraih kematangan dalam beragama
disebabkan kegagalan mengatasi krisis pada tahap sebelumnya. Pada setiap tahap
perkembangan kehidupan, seseorang akan dihadapkan pada 2 titik ekstrim
sebagaimana dipaparkan oleh erikson (1993) pada setiap tahap selalu terjadi krisis
antara 2 posisi ekstrim, positif dan negative dan indifidu akan melakukan
komitmen – komitmen tertentu dalam usaha menyelesaikan konfliknya.
Kegagalan mengenai krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan
eksternal yang tidak mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan
remaja terseret dalam pengaruh lingkungan. Faktor terakhir yang oleh fowler
(1988) diidentifikasikan berpengaruh terhadap perkembangan kepercayaan
eksistensial adalah keanggotaan dalam kelompok biasanya setiap individu akan
memiliki referencen group yang menjadi pusat aktivitas bagi dirinya. Begitu juga
dalam aktivitas beragamanya, kelompok akan mempengaruhi cara seseorang
beragama
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama remaja
telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-
anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan
dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka
mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan
Pendidikan Geografi Off L 2012 27
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
dan eksistensi.Perkembangan pemahaman terhadap keyakinan agama sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan
agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka
mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Mungkin mereka
mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut
Muhammad Idrus, pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional,
sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai menyesuaikan diri dengan
orang lain yang berarti baginya (significant others) dan dengan mayoritas lainya.
H. Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik
dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat
menjadi manusia yang moralis dan religious. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membantu
perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer
moral dan agama secara keseluruhan. Tanpa adanya modal tingkah laku
yang baik dari guru maka pendidikan moral dan agama yang diberikan di
sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang yang
moralis dan religious.
2. Memberikan pendidikan formal langsung (direct moral education), yakni
pendidikan moral denga pendekatan pada nilai dan juga sifat selama
jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai – nilai dan sifat – sifat
tersebut kepada kurikulum.
3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification), yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang
berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan
mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
Pendidikan Geografi Off L 2012 28
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
4. Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk
menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi
penghayatan yang benar – benar dikontruksi dari pengalaman
keberagamaan.
5. Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui
pendekatan spiritual parenting, seperti:
1. Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
2. Menanyakan kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya
sehari-hari.
3. Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing
kita apabila kita meminta.
4. Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka
dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri
mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu
bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak
melihat apapun (Desmita,2009:287).
Pendidikan Geografi Off L 2012 29
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya
dengan orang lain (Santroch, 1995).
2. Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu:
Penalaran Prakonvesional, Penalaran Konvensional, Penalaran Pascakonvensional
3. spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan
atau suatu yang lebih agung dari dirisendiri (Witmer 1989).
4. Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi: Kepercayaan, Pemaafan, Cinta dan
hubungan, Keyakinan, kreativitas dan harapan, Maksud dan tujuan serta anugrah
dan harapan.
5. Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan diantaranya
sebagai berikut : Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui
kerikulum, Memberikan pendidikan moral langsung, Memberikan pendekatan
moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, Menjadikan pendidikan sebagai
wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya,
Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan
spiritual parenting.
Pendidikan Geografi Off L 2012 30
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
RUJUKAN
http://faqihhunaini.blogspot.com/2012/01/perkembangan-moral-dan-spiritual.html
http://asasin-casas.blogspot.com/2011/12/proses-perkembangan-moral-dan-
spiritual.html
http://www.sevencounties.org/poc/view_doc.php?type=doc&id=41173&cn=1310
http://www.psikologizone.com/teori-perkembangan-moral-kohlberg/06511736
http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg
http://yuanitaresti.blogspot.com/2011/01/bab-i-pendahuluan.html
Ali,Mohammad.mohammad Asrori.2004.Psikologi Remaja Perkembangan
Peserta Didik.Jakarta:PT. Bumi Aksara
Danim,Sudarman.2010.Perkembangan Peserta Didik.Bandung:CV. Alfabeta.
Desmitha,2010.Psikologi perkembangan peserta didik.Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Fatimah,Enung.2008.Psikologi Perkembangan(Perkembangan Peserta
Didik).Bandung:CV. Pustaka Setia.
Pendidikan Geografi Off L 2012 31