bab 2, 3 pak

38
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bersamaan dengan meningkatnya perkembangan industri dan perubahan secara global dibidang pembangunan secara umum di dunia, Indonesia juga melakukan perubahan- perubahan dalam pembangunan baik dalam bidang teknologi maupun industri. Dengan adanya perubahan tersebut, maka konsekuensinya adalah terjadinya perubahan pola penyakit/kasus penyakit karena akibat kerja. Penyakit akibat kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini timbul disebabkan oleh adanya pekerjaan. Kepadanya sering diberikan nama penyakit buatan manusia (manmade diseases). Berat ringannya penyakit dan cacat tergantung dari jenis dan tingkat sakit. Sering kali terjadi cacat yang berat sehingga pencegahannya lebih baik daripada pengobatan (Anies, 2005). Penyakit dermatitis, sejak 1982, telah menjadi salah satu dari sepuluh besar penyakit akibat kerja (PAK). Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dan Utomo, 2007). Health and Safety Exekutive (HSE) menyatakan bahwa 1

Upload: rizkyg

Post on 07-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

paj

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

I.1Latar Belakang

Bersamaan dengan meningkatnya perkembangan industri dan perubahan secara global dibidang pembangunan secara umum di dunia, Indonesia juga melakukan perubahan-perubahan dalam pembangunan baik dalam bidang teknologi maupun industri. Dengan adanya perubahan tersebut, maka konsekuensinya adalah terjadinya perubahan pola penyakit/kasus penyakit karena akibat kerja.Penyakit akibat kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini timbul disebabkan oleh adanya pekerjaan. Kepadanya sering diberikan nama penyakit buatan manusia (manmade diseases). Berat ringannya penyakit dan cacat tergantung dari jenis dan tingkat sakit. Sering kali terjadi cacat yang berat sehingga pencegahannya lebih baik daripada pengobatan (Anies, 2005). Penyakit dermatitis, sejak 1982, telah menjadi salah satu dari sepuluh besar penyakit akibat kerja (PAK). Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dan Utomo, 2007). Health and Safety Exekutive (HSE) menyatakan bahwa antara tahun 2001 sampai 2002 terdapat sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja (Health and Safety Executive, 2006).

Telah tercatat bahwa lebih dari 8.400 kasus baru dermatitis kontak akibat kerja terjadi setiap tahun di Inggris. Kasus-kasus tersebut tersebar di antara berbagai jenis pekerjaan, antara lain perawat, penata rambut, koki atau tukang memasak, pekerja percetakan, dan lain sebagainya. Pekerja percetakan telah diidentifikasi sebagai salah satu jenis pekerjaan dengan insiden dermatitis yang tinggi dibandingkan jenis pekerjaan yang lain. Pekerja percetakan juga memiliki risiko yang lebih besar untuk timbulnya dermatitis (Livesley dkk., 2002).Health and Safety Executive melaporkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja percetakan (Ingris) antara tahun 2002 sampai 2004 adalah 27 kasus dari 100.000 pekerja. Padahal, rata-rata kasus DK-AK pada jenis pekerjaan lain hanya 6 dari 100.000 pekerja (Health and Safety Executive,2006). Sedangkan, Organisasi Epiderm menyatakan bahwa insidens DK-AK pada pekerja percetakan sekitar 85,8 kasus per 100.000 pekerja (Livesley dkk., 2002). Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan urtikaria. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK (Penyakit Akibat Kerja), terbanyak bersifat nonalergi atau iritan.(Kosasih,2004) Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan yang merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.(Trihapsoro,2003) I.2Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang dilakukan penyakit akibat kerja pada kasus ini adalah dermatitis kontak iritan et causa cairan pembersih sablon. I.3Tujuan Laporan KasusI.3.1Tujuan Umum

Untuk mengetahui penatalaksanaan pada kasus penyakit akibat kerja

I.3.2Tujuan Khusus1.Mengetahui penyebab dermatitis kontak iritan pada penyakit akibat kerja 2. Memberikan pengetahuan kepada pasien pengobatan dan faktor risiko tentang penyakit tersebut

3. Memberikan pengetahuan tentang bahaya potensi lainnya yang timbul di lingkungan kerja dan cara pencegahan.BAB IILAPORAN KASUSII.1 Identitas Pasien

Nama

: Tn. MUmur

: 58 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-lakiAlamat : Kp Bojong RT 06 RW 20Pekerjaan

: Buruh SablonSuku

: JawaBangsa : Indonesia

Agama

: IslamStatus perkawinan : MenikahTanggal pemeriksaan : 27 Mei 2015

II.2 Anamnesis

Keluhan utama :Gatal dan perih pada kedua jari tanganRPS :Pasien laki-laki usia 58 tahun datang ke poli Lansia Puskesmas Sukmajaya dengan keluhan gatal dan perih pada jari-jari tangan selama 2 minggu. Keseharian pasien adalah buruh di tempat penyablonan baju. Pasien sudah bekerja ditempat penyablonan selama 5 tahun. Keluhan pertama yang timbul adalah bintik-bintik kemerahan yang terasa gatal, kemudian digaruk oleh pasien. Pasien mengatakan bahwa tiap hari pasien kontak dengan bahan-bahan pembersih sablon. Pasien mengatakan keluhan ini sudah sering berulang. Awalnya dirasakan sedikit gatal pada ujung-ujung jari kedua tangan diikuti munculnya perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kemudian sering digaruk. Gatal muncul hampir setiap saat, baik pagi maupun malam hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Dua hari sejak rasa gatal tersebut muncul gelembung-gelembung air dan menjadi luka akibat digaruk. Pasien Riwayat pengobatan :

Salep antibiotik Obat gatal

Riwayat penyakit terdahulu :

Pasien pernah mengalami keluhan ini sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam keluarga :

Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama.Riwayat atopi :

Pasien tidak mempunyai riwayat asthma pada dirinya maupun keluarganya.

Riwayat alergi :

Tidak ada riwayat alergi terhadap substansi atau obat-obatan tertentu pada pasien.

Riwayat sosial :

Pasien tidak mempunyai riwayat minum alkohol dan merokok. Salah satu pegawai salon pasien mengatakan juga mengalami keluhan yang sama.

III.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: baik

Kesadaran

: compos mentis

Tanda Vital

:

TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 76 x/menitRespirasi

: 16 x/menitTemperatur : 36,7 CStatus generalis

a. Pemeriksaan kepala

1) Kepala dan Wajah

Kepala mesocephal, simetris. Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata.

2) Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, pupil miosis, reaksi cahaya +/+3) Telinga

Discharge (-), deformitas (-)

4) Hidung

Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)

5) Mulut

Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

b. Pemeriksaan leher

Pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP dbn.

c. Pemeriksaan thoraks

Paru : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri, kelainan bentuk dada (-). Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor, suara dasar vesikuler, ronki (-) , Wheezing (-)

Jantung : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)d. Pemeriksaan abdomen

Tidak tampak kelainan pada abdomen, BU (+), NT (-), tidak tampak pembesaran hepar dan lien, perkusi abdomen timpani.

e. Pemeriksaan ekstremitas

Warna kulit kuning langsat, turgor kenyal, akral hangat, sianosis (-), capillary refill < 2 detik.Status Dermatologi :

Lokasi : Jari-jari tangan Effloresensi : Makula eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah multipel, batas tegas, distribusi terbatas pada jari-jari tangan. Di atas efloresensi primer terdapat efloresensi sekunder berupa erosi eritema akibat garukan pasien, disertai pus, krutsa, dan hiperkeratosis.II.4 Diagnosis Banding

Dermatitis kontak alergi

Dermatitis atopik

II.5 Resume

Pasien laki-laki usia 58 tahun datang ke poli Lansia Puskesmas Sukmajaya dengan keluhan gatal dan perih pada jari-jari tangan selama 2 minggu. Keseharian pasien adalah buruh di tempat penyablonan baju. Keluhan pertama yang timbul adalah bintik-bintik kemerahan yang terasa gatal, kemudian digaruk oleh pasien. Pasien mengatakan bahwa tiap hari pasien kontak dengan bahan-bahan pembersih sablon. Pasien mengatakan keluhan ini sudah sering berulang. Awalnya dirasakan sedikit gatal pada ujung-ujung jari kedua tangan diikuti munculnya perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kemudian sering digaruk. Gatal muncul hampir setiap saat, baik pagi maupun malam hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Dua hari sejak rasa gatal tersebut muncul gelembung-gelembung air dan menjadi luka akibat digaruk..Pemeriksaan fisik :Keadaan Umum : kesadaran compos mentis

Status generalis: dbn

Lokasi : Jari-jari tangan Effloresensi : Makula eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah multipel, batas tegas, distribusi terbatas pada jari-jari tangan. Di atas efloresensi primer terdapat efloresensi sekunder berupa erosi eritema akibat garukan pasien, disertai pus, krutsa, dan hiperkeratosis.II.6 Diagnosis Kerja

Dermatitis kontak iritan et causa bahan pembersih sablonBAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003).

3.1.1. Dermatitis Kontak iritan

3.1.1.1. Definisi

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).

3.1.1.2. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak dating berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2003). Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Hogan, 2009). Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada piata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena factor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009).

3.1.1.3. Etiologi

Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000). Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al., 2006). Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).

3.1.1.4. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001). Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003). DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLADR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003).

3.1.1.5. Gejala Klinis

Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis iritan kronik.3.1.1.5.1. Dermatitis kontak iritan akut

Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak (Fregret, 1998). Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada wajah. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Fregret, 1998). Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa kekeringan dan kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri pada bagian yang mengalami fissura. Meskipun efek kumulatif diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan, namun hilnganya dapat terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Fregret, 1998).

3.1.1.5.2. Dermatitis kontak iritan kronis

DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulangulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2003). Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2003).3.1.1.6. Histopatologis

Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI kronis dijumpai hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan perpanjangan rete ridges (Hogan, 2009).3.1.1.7. Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2003).

3.1.1.8. Pengobatan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topical dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2003). Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007).

3.1.1.9. Komplikasi

Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:

a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topical

b. Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya olehStafilokokus aureusc. Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik

d. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada area terkena DKI

e. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi.

3.1.1.10.Prognosis

Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI (Hogan, 2009). Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor (Djuanda, 2003).

3.1.2. Dermatitis Kontak Alergi

3.1.2.1. Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and Safety Commision, 2006).

3.1.2.2. Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat (Djuanda, 2003). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan (National Institute of Occupational Safety Hazards, 2006).

3.1.2.3. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003). Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).

Tabel 3.1. Alergen yang mengakibatkan dermatitis kontak pada pekerja

Sumber: Bock et al., 20033.1.2.4. Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hipersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003). Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009). Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu (Djuanda, 2003).

Gambar 3.1. Patogenesis dermatitis kontak alergiSumber: Health and Safety Executive, 2000Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).

3.1.2.5. Gejala Klinis

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003). Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).3.1.2.6. Diagnosis

Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji temple (Trihapsoro, 2003). Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik) (Djuanda, 2003). Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebabsebab endogen (Djuanda, 2003). Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis (Trihapsoro, 2003). Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi tipe crescendo) (Djuanda, 2003).

3.1.2.7. Diagnosis Banding

Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Djuanda, 2003).

3.1.2.8. Pengobatan

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003; Djuanda, 2003; Health and Safety Executive, 2009). Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal (Djuanda, 2003).

3.1.2.9. Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari (Djuanda, 2003).

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis klinis pada kasus ini adalah dermatitis kontak iritan et causa bahan pembersih sablon. Diagnosis tersebut ditegakkan pertama berdasarkan anamnesa, keluhan gatal dan perih pada kedua jari tangan selama 2 minggu. Keseharian pasien adalah buruh di tempat penyablonan baju. Keluhan pertama yang timbul adalah bintik-bintik kemerahan yang terasa gatal, kemudian digaruk oleh pasien. Pasien mengatakan bahwa tiap hari pasien kontak dengan bahan-bahan pembersih sablon. Pasien mengatakan keluhan ini sudah sering berulang. Awalnya dirasakan sedikit gatal pada ujung-ujung jari kedua tangan diikuti munculnya perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kemudian sering digaruk. Gatal muncul hampir setiap saat, baik pagi maupun malam hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Dua hari sejak rasa gatal tersebut muncul gelembung-gelembung air dan menjadi luka akibat digaruk. Dari anamnesa tersebut pasien terkena penyakit kulit dicurigai akibat karena iritasi akibat terpajan kontak dengan bahan pembersih sablon jika dilihat dari lokasi lesinya merupakan bagian tubuh yang terpajan oleh cairan pembersih sablon, akan tetapi perlu dilihat kembali keluhan tersebut berhubungan dengan adanya alergi yang sebelumnya pernah diderita pasien.Pengobatan diberikan salep antibiotik dan obat gatal akan tetapi keluhan tidak berkurang, hanya gatal yang berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan tersebut kurang tepat karena penyebab keluhan tersebut bukan disebabkan karena infeksi. Riwayat penyakit terdahulu, pasien pernah mengalami keluhan ini sebelumnya menandakan bahwa keluhan ini berulang yang diakibatkan karena pekerjaan pasien yang masih tetap terpajan bahan pencuci sablon.

Riwayat penyakit dalam keluarga tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama, menandakan bahwa keluhan tersebut bukan tertular dari keluarga yang tinggal serumah. Riwayat atopi pasien tidak mempunyai riwayat asthma pada dirinya maupun keluarganya, keluhan tersebut bukan disebabkan karena sebelumnya adanya pencetus alergi di dalam tubuh pasien sendiri.Riwayat alergi tidak ada riwayat alergi terhadap substansi atau obat-obatan tertentu pada pasien, menandakan bahwa keluhan pasien bukan diakibatkan karena riwayat alergi terhadap obat-obatan atau zat tertentu. Riwayat sosial, pasien tidak mempunyai riwayat minum alkohol dan merokok. Salah satu pegawai salon pasien mengatakan juga mengalami keluhan yang sama. Menandakan bahwa bukan hanya pasien yang mengalami keluhan serupa dan ini disebabkan karena sumber yang sama yaitu iritasi dari pajanan bahan pembersih sablon.Pemeriksaan Fisik dalam batas normal, menandakan keluhan tersebut tidak sampai mempengaruhi sistemik. Status generalis dalam batas normal, menandakan tidak ada penyakit penyerta selain keluhan tersebut. Status Dermatologi, lokasi : jari-jari tangan , efloresensi : Makula eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah multipel, batas tegas, distribusi terbatas pada jari-jari tangan. Di atas efloresensi primer terdapat efloresensi sekunder berupa erosi eritema akibat garukan pasien, disertai pus, krutsa, dan hiperkeratosis. Dari pemeriksaan status dermatologi menandakan adanya peradangan pada kulit dengan lokasi jarin-jari tangan yang merupakan lokasi sering terpajan terhadap bahan kimia.

Diagnosis Okupasi pada pasien ini berdasarkan 7 langkah diagnosis okupasi, adalah : 1. Diagnosis klinis

Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik klinis pada pasien di tegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan et causa bahan pembersih sablon.2.Pajanan yang dialami

-Pekerjaan yang dilakukan oleh pasien adalah setiap hari di perusahaan konveksi bagian penyablonan, setelah baju yang telah siap untuk disablon dengan cara manual menggunakan screen kemudian di sablon sesuai dengan cetakan design yang telah dibuat. Yang dimulai dengan persiapan alat dan mencuci screen sablon menggunakan air dan sabun kemudian di lap dengan menggunakan kain spon. setelah bersih, screen harus dikeringkan dengan menjemurnya di sinar matahari.-Pemberian obat, pembakaran screen, dan pencucian obat pada screen.Siapkan alat-alat antara lain screen, obat afduk,kipas angin/hairdryer,alat perata screen/penggaris ,campur obat afdruk cairan merah dan putih kemudian masukan sedikit demi sedikit pada screen dan ratakan setipis-tipisnya, kemudian screen dikeringkan dengan menggunakan kipas angin atau hairdryer. Proses pengeringan ini screen tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung.-

Proses selanjutnya siapkan materi seperti kaca, desain kaos yg telah diedit, screen, busa screen, papan. Ambil Papan , taruh busa di atas papan lalu ambil screen yang telah kita siapkan kemudian taruh screen lalu letakkan gambar yang telah diedit dan tempel diatas screen , sebelum desain kaos tersebut ditempel di screen terlebih dahulu olesi dengan minyak goreng, hal ini dilakukan agar kertas pada gambar akan tembus sinar. setelah itu taruh kaca diatas screen.

Kemudian sinari screen dengan sinar matahari. didalam penyinaran waktu yang dibutuhkan antara 15 sampai 20 detik (tergantung panas dan tidaknya terik matahari) karena jika terlalu lama dalam penyinaran, pemfilm-an screen akan gagal atau sulit untuk ditembus. setelah screen kita sinari, maka screen tersebut harus dicuci untuk membersihkan bekas obat. Dalam pencucian membutuhkan alat penyemprot, digunakan untuk membuka desain atau gambar yang terdapat pada screen.

Pada tahap ini, alat-alat yang dibutuhkan antara lain: screen (yang telah difilm),cat, meja sablon (jika diperlukan, rake l(alat penggesut), bahan (kaos). Ambil screen dan setelah itu taruh kain yang akan disablon diatas meja, tuang cat pada screen secukupnya kemudian gesut menggunakan rakel. maka jadilah hasil sablonan. Yang diproduksi adalah pakaian kaos sablon Bahan baku yang digunakan pada Industri percetakan banyak menggunakan bahan baku dan bahan tambahan yang berbahaya. Bahan tersebut ada yang bersifat iritan dan ada pula yang bersifat alergen (Health and Safety Executive, 2000). Bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan iritasi kulit pada industri percetakan, antara lain alkohol, alkali, bahan pengembang, tinta, lemak, lilin, soda api, kaporit dan lain-lain. Sedangkan bahan-bahan yang dapat menyebabkan kontak alergi, yaitu potasium dikromat, formaldehid, cat, lem hidroquinon, dan lem perekat (Health and Safety Executive, 2000).

3.Hubungan dengan pajanan penyakit

-Pajanan dengan bahan baku yaitu alkohol tina, alkali, soda api. Hal ini berdasarkan Health and Safety Executive, 2000. Bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan iritasi kulit pada industri percetakan, antara lain alkohol, alkali, bahan pengembang, tinta, lemak, lilin, soda api, kaporit.

- Hubungan gejala dengan waktu kerja yaitu pasien sejak bekerja di perusahaan setelah beberapa tahun baru mengalami keluhan dan sebelumnya sudah mengalami keluhan tersebut berulang.

- Menurut pasien keluhan tersebut diakibatkan karena pajanan di tempat kerja, karena saat itu pasien pernah dipindahkan ke bagian lain selama beberapa bulan tidak kontak dengan bahan kimia, pasien tidak mengalami keluhan tersebut.

4.Pajanan dialami cukup besar

- Pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri yaitu sarung tangan saat bekerja

- Masa kerja dengan sekitar 2.5 tahun

- Lama kerja per hari 12 jam per minggu 60 jam

5.Peranan faktor individu

- Tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga

- Pasien pernah mengalami keluhan serupa

- Tidak mempunyai riwayat atopi

- Teman pasien sesama pekerja dibagian sablon mengalami keluhan serupa 6.Faktor lain diluar pekerjaan

-Pasien tidak merokok dan tidak minum alcohol

-Tidak mempunyai pekerjaan sambilan

7.Diagnosis PAK yaitu dermatitis kontak iritan e.c Cairan Pembersih Sablon

Pengobatan yang diberikan pada pasien adalahMenghindari pajanan bahan iritan, serta menyingkirkan faktor yang memperberat, dengan upaya pencegahan menyarankan pasien untuk memakai sarung tangan dan minta dipindahkan di bagian produksi lain yang tidak terpajan bahan iritan. Diberikan kortikosteroid topikal. (Djuanda, 2003; Kampf, 2007)BAB V

PENUTUP

V.IKesimpulan Pekerja penyablonan mempunyai faktor risiko penyakit akibat kerja yaitu dermatitis kontak iritan akibat paparan bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi. Rendahnya pengetahuan pekerja terhadap penyakit akibat kerja, menyebabkan pasien datang untuk berobat dalam pajanan yang sudah lama, dan terjadi tidak hanya pada satu pekerja tetapi terjadi pada pekerja lainnya juga.V.2Saran

Setiap perusahan percetakan sebaiknya menerapkan prosedur keselamatan kerja dengan benar agar tidak membahayakan pekerja.

Seharusnya diwajibkan pemakaian alat pelindung diri berupa sarung tangan pada pekerja di bagian penyablonan yang sering terpapar bahan kimia

Perusahaan lebih memperhatikan kesehatan pegawai yang mempunyai faktor resiko tinggi terhadap penyakit akibat kerja dalam proses produksi sehingga tidak pelu sampai lebih dari satu orang di bagian produksi terkena sakit yang samaLAMPIRAN

Gambar 1. Tampak tangan bagian depan dengan pajanan bahan pembersih sablon

Gambar 2. Tampak tangan bagian belakang dengan pajanan pembersi sablonDAFTAR PUSTAKA

Health and Safety Executive. 2006. Preventing Dermatitis: Intervention in the Printing and Publishing Industries.

http://www.hse.gov.uk/foi/internalops/sectors/manuf/3_06_02.pdf(diakses 6 Juni 2014).

Kosasih A. Dermatitis Akibat Kerja. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 2004.

Lestari F. dan Utomo H.S., 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/03_FatmahLestari_Faktor%20Dermatitis.PDF(diakses 6 Juni 2015)Livesley E.J., Rushton L., English J.S., dan Williams H.C. 2002. The Prevalence of Occupational Dermatitis in the UK Printing Industry. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1740323/pdf/v059p00487.pdf (diakses 6 Juni 2015)

Trihapsoro I. Dermatitis Kontak Alergik pada pasien rawat jalan di RSUP Haji Adam Malik,

Medan. Universitas Sumatera Utara, Indonesia, 2003.

3