bab 1-2-3 pasti bgt 2 bab 1 bab 2

18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae) , istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala kulit secara umum. Kusta sering disebut lepra, lionthiasis, elephanthiasis graecorum, zaraath, hansenosis, lepra arabum dan morbus hansen. (Kosasih, 2008). Kusta menyerang saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. (James, 2006). Selain menyebabkan kelainan pada kulit dan merusak saraf tepi, kusta juga menyebabkan kecacatan sehingga menimbulkan masalah secara ekonomi, psikis dan sosial karena memberikan stigma yang sangat besar pada pasien dan masyarakat. (Wisnu, 2003). Data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan jumlah pasien baru kusta di dunia pada tahun 2006 adalah 259.017 orang. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (174.118) diikuti regional Amerika (47.612), regional Afrika (27.902), dan sisanya berada di regional lain di dunia. (Depkes, 2007) Pertengahan tahun 2000 jumlah pasien kusta di Indonesia sebanyak 20.724 kasus. Di 1

Upload: irni-madyartii

Post on 02-Jan-2016

116 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB 1BAB 2BAB 3BAB 4

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), istilah kusta

berasal dari bahasa India, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala kulit secara

umum. Kusta sering disebut lepra, lionthiasis, elephanthiasis graecorum, zaraath,

hansenosis, lepra arabum dan morbus hansen. (Kosasih, 2008). Kusta menyerang

saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem

retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat.

(James, 2006). Selain menyebabkan kelainan pada kulit dan merusak saraf tepi,

kusta juga menyebabkan kecacatan sehingga menimbulkan masalah secara

ekonomi, psikis dan sosial karena memberikan stigma yang sangat besar pada

pasien dan masyarakat. (Wisnu, 2003).

Data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan jumlah pasien

baru kusta di dunia pada tahun 2006 adalah 259.017 orang. Dari jumlah tersebut

paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (174.118) diikuti regional

Amerika (47.612), regional Afrika (27.902), dan sisanya berada di regional lain di

dunia. (Depkes, 2007)

Pertengahan tahun 2000 jumlah pasien kusta di Indonesia sebanyak 20.724

kasus. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan pasien baru

kusta yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 kasus pada tahun 2002.

Propinsi yang paling sedikit menemukan pasien baru kusta adalah Bengkulu, yaitu

8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. (Rachmat, 2003)

Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menduduki peringkat 17 nasional

sebagai propinsi yang memiliki pasien kusta terbanyak di Indonesia. Data Dinas

Kesehatan mencatat, jumlah kusta di Sumsel pada 2009 mencapai 220 kasus, dan

pada 2010 menjadi 225 kasus. Daerah endemik kusta di Sumsel adalah Kota

1

Page 2: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

2

Palembang, Kabupaten Banyuasin, Muaraenim, Pagaralam, Musi Banyuasin

(Muba) dan Kota Prabumulih. (Sagita, 2010)

Salah satu masalah pada kusta adalah kecacatan. Kecacatan terjadi akibat

gangguan fungsi saraf. Semakin lama kusta didiagnosis maka semakin besar

risiko kecacatan, oleh karena itu diagnosis dini, perawatan diri dan kepatuhan

pengobatan dapat mencegah kecacatan. Diduga kecacatan kusta dapat terjadi

melalui 2 proses, yaitu: infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan

melalui reaksi kusta. (Depkes, 2007)

Pada reaksi kusta terjadi proses inflamasi akut yang menyebabkan

kerusakan saraf. Apabila penanganan reaksi kusta terlambat atau tidak adekuat,

dapat mengakibatkan kecacatan. (Depkes, 2007). Pada penelitian Liendhardt

(1994), menemukan lebih dari sepertiga kecacatan terjadi karena reaksi tipe I.

Dalam penelitian Gunadi (2000), menyatakan bahwa reaksi kusta merupakan

salah satu faktor risiko kecacatan. Reaksi kusta diharapkan dapat ditangani dengan

cepat dan tepat sehingga dapat menghindari kecacatan.

Salah satu faktor penting untuk mencegah kecacatan kusta adalah

memonitor fungsi saraf. Kerusakan fungsi saraf hanya dapat dideteksi dengan

pemeriksaan fungsi saraf secara berkala karena itu perawatan diri yang baik

sangat diperlukan agar kecacatan tidak bertambah berat. (Estianingsih, 2006) .

Menurut hasil penelitian Kurnianto (2002), pasien kusta yang tidak melakukan

perawatan diri memiliki risiko kecacatan 4 kali lebih tinggi daripada pasien yang

melakukan perawatan diri.

Penelitian Smith (1992) menemukan bahwa terdapat beberapa faktor risiko

yang mempengaruhi kecacatan kusta yaitu: usia, jenis kelamin, tipe kusta, lama

menderita kusta, reaksi kusta, kepatuhan pengobatan, faktor sosial ekonomi,

pendidikan dan pekerjaan. Menurut Brakel dan Kaur (2002), Status pendidikan

dan pengetahuan yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi dalam

kepatuhan pengobatan dan perawatan diri. Menurut Kuniarto (2002), terdapat

beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kecacatan pasien kusta, yaitu:

pekerjaan, status ekonomi, lama sakit, kepatuhan pengobatan, reaksi kusta, lokasi

lesi dan perawatan diri.

Page 3: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

3

Angka kejadian kecacatan kusta masih tinggi, yaitu  sekitar 1.500 kasus

kecacatan tingkat 2 tiap tahun di Indonesia. Secara kumulatif sejak tahun 1990 -

2009, terdapat  sekitar 30.000 kasus kecacatan tingkat 2. Oleh karena itu, dengan

melihat besar beban akibat kecacatan kusta, WHO mencanangkan target  "Global

Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due to Leprosy 2011-2015"

yakni menurunkan 35% angka kecacatan tingkat 2 pada tahun 2015. (Zila, 2010)

Data dan fakta di atas menyebutkan bahwa angka kejadian kusta masih

sangat tinggi. Masalah semakin diperberat dengan peningkatan kecacatan kusta di

Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang penanganan yang

cepat dan tepat terhadap reaksi kusta dan perawatan diri.

Berdasarkan latar belakang maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai

berikut yaitu: apakah reaksi kusta dan perawatan diri berhubungan terhadap

kecacatan pasien kusta di RSK. Dr Rivai Abdullah Palembang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka permasalahan yang dapat diangkat

pada penelitian ini adalah :

1. Apakah ada hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta.

2. Apakah ada hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien

kusta.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan

pasien kusta di RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Page 4: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

4

1. Menentukan hubungan reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta di

RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012

2. Menentukan hubungan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di

RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, pengetahuan,

dan wawasan tentang tingkat kecacatan kusta dan hasil penelitian ini dapat

dijadikan sebagai salah satu sumber acuan untuk penelitian lebih lanjut.

1.4.2. Manfaat praktis

Dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan

kulit, khususnya dalam hal pencegahan kecacatan kusta yang dapat

dicegah dengan diagnosis dini reaksi kusta dan perawatan diri.

1.5. Keaslian penelitian

Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang dilakukan

Kurnianto (2002), Susanto (2006) dilihat dari tahun penelitian, tempat penelitian,

jumlah populasi dan sampel penelitian. Pada penelitian ini peneliti mengambil

judul hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta

di RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang tahun 2012. pada penelitian ini adalah

desain penelitian potong lintang dengan penelitian survei analitik. Penelitian ini

akan dilaksanakan di RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang.

Kurnianto (2002), rancangan penelitian yang digunakan adalah case control

yang berjudul faktor risiko yang berhubungan dengan kecacatan kusta di

kabupaten Tegal dan penulis menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara

beberapa faktor risiko karasteristik individu, aspek klinis kusta dan aspek

pengobatan terhadap kecacatan pada Penderita kusta di Kabupaten Tegal

Page 5: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

5

Susanto (2006) dalam tesis yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan

dengan tingkat kecacatan penderita kusta dengan memakai rancangan penelitian

potong lintang. Penulis menyimpulkan bahwa antara umur, pendidikan, tipe kusta,

reaksi kusta, pengetahuan, dignosis, dan perawatan diri dengan tingkat kecacatan

didapatkan hubungan yang bermakna pada α = 0,05 sedangkan diantara jenis

kelamin, lama sakit, dan lama kerja dengan tingkat kecacatan tidak mempunyai

hubungan yang bermakna pada α = 0,05.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Page 6: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

6

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Sejarah

Kusta sudah tercatat di Kitab Veda kira-kira 1400 SM di India dan Kitab

Hukum Nabi Musa di Timur Tengah. Sementara itu di Eropa kusta sudah terkenal

sejak zaman Hippocrates, dan di Cina sejak sekitar 600 SM (Sjamsuhidayat,

2004)

Danielssen & Boeck memberikan gambaran tentang kusta modern

pertama, dan tahun 1870-an Gerhard Henrik Hansen Armauer melakukan

penelitian mikrobiologi dan epidemiologi dari M. leprae dan pada tahun 1966,

Ridley & Jopling menunjukkan klasifikasi kusta. (James, 2006)

2.1.2. Epidemiologi

A. Distribusi kusta berdasarkan tempat

Kusta tersebar di dunia mulai dari Afrika, Amerika, Asia Tenggara,

Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Jumlah pasien kusta di dunia tahun 1997

sebanyak 888.340 orang. Pada tahun 2007 sekitar 296.499 orang. Menurut

regional WHO situasi kusta pada tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 2.1.

(Depkes, 2006)\

Tabel 2.1 Keadaan Kusta pada tahun 2007

Regional WHO Prevalensi awal 2007 Kasus baru dilaporkan selama tahun 2007

AfrikaAmerikaAsia TenggaraMediteran TimurPasifik Barat

40.830 (0,56)32.904 (0,39)133.422 (0,81)4.024 (0,09)8.646 (0,05)

42.814 (5,92)41.780 (4,98)201.635 (12,17)3.133 (0,67)7.137 (0,41)

Total 219.826 296.499

Sumber : Depkes, 2006

B. Distribusi kusta berdasarkan usia

Angka kejadian kusta meningkat pada usia 10-20 tahun. Kusta

dapat mengenai semua usia dan terbanyak pada usia 15-29 tahun. Kejadian

Page 7: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

7

kusta sering terjadi pada usia pasien saat ditemukan daripada saat

timbulnya kusta (Depkes, 2006).

C. Distribusi kusta berdasarkan jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki laki dan perempuan. Menurut

Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan bahwa kusta pada laki-

laki 2,3 kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Depkes, 2007).

2.1.3. Etiologi

Penyebab kusta adalah M. leprae, yang menular kepada manusia melalui

kontak langsung dengan pasien dan melalui pernapasan dengan masa inkubasi

antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun (Kosasih, 2008)

M.Leprae

Gambar 2.1. Bakteri M. leprae

Sumber : Depkes, 2006

2.1.4. Patogenesis

Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui,

beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering melalui kulit yang

lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh

M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas (Amirudin, 2003).

M. leprae terdapat pada sel magrofag di sekitar pembuluh darah superficial

pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke

dalam tubuh, maka tubuh akan mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit

darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Bila terjadi gangguan

imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat beraktivasi. Akibatnya akan

terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin, 2003).

2.1.5. Diagnosis

Page 8: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

8

Diagnosis kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal, yaitu :

a) Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi

(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa

raba, suhu dan nyeri.

b) Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan

fungsi saraf yang terkena, yaitu :

1. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

2. Gangguan motoris : paresis atau paralisis

3. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema.

c) Ditemukan basil tahan asam (BTA)

Untuk menegakkan diagnosis kusta, paling sedikit ditemukan satu tanda

normal, bila tidak ditemukan perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan

sampai diagnosis dapat ditegakkan (Amirudin, 2003).

2.1.6. Klasifikasi

Tujuan klasifikasi kusta dalam program pemberantasan adalah untuk

menentukan rejimen pengobatan, mengetahui prognosis, perencanaan operasional

serta mengidentifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita kecacatan

(Amirudin, 2003).

Adapun beberapa klasifikasi kusta yang biasa digunakan, antara lain:

A. Klasifikasi Madrid (1953)

Page 9: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

9

Klasifikasi Madrid disebut juga klasifikasi Internasional. Pada klasifikasi

ini terbagi menjadi 4, yaitu (Kosasih, 2008):

a) Intermediate (I)

b) Lepromatosa (L)

c) Borderline – Dimorphous (B)

d) Tuberkuloid (T)

B. Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)

Klasifikasi WHO (1997) diterapkan dalam program pemberantasan penyakit

kusta di Indonesia. Klasifikasi ini dibagi menjadi 2, yaitu (Kosasih, 2008):

a) Pausibasiler (PB) : kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan

BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T

menurut klasifikasi Madrid.

b) Multibasiler (MB) : kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian kecil BT

menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid

dan semua tipe kusta dengan BTA positif

C. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)

Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Jopling

membagi tipe kusta menjadi 5, yaitu (Tabel 2.2) (Kosasih, 2008):

a) Tuberkoloid (TT)

b) Borderline lepromatosa (BL)

c) Lepromatosa (LL)

d) Borderline tubercoloid (BT)

e) Mid borderline (BB)

a b

c d

e f

Page 10: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

10

Gambar 2.2. Manifestasi klinik kusta berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling. a. Kusta tipe TT,b. Kusta tipe TT, c. Kusta tipe BB, d. Kusta BT e. Kusta tipe BL, f. Kusta tipe LL Sumber: Amirudin, 2003 dan Wolff, 2009

Page 11: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2

Tabel. 2.2 Perbedaan Tipe Kusta berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling

Sifat TT BL LL BT BB

LesiBentuk Makula dbatasi

infiltratMakula, plak, papul Makula, infiltrat difus,

papul, nodusMakula dibatasi infiltrat

Plak, lesi berbntuk kubah, lesi punched-out

Jumlah Satu atau beberapa Susah, tapi ada kulit sehat Tidak terhitung, tidak ada kulit sehat

Satu dgn lesi satelit Bisa dihitung kulit sehat (+)

Distribusi Terlokalisasi, asimetris

Hampir simetris Simetris Asimetris Asimetris

Permukaan Kering, skuama Halus dan berkilap Halus dan berkilap Kering, skuama Agak kasar, agak berkilap

Batas Jelas Agak jelas Tidak jelas Jelas Agak jelasAneste sia Jelas Tidak jelas Biasanya tidak jelas Jelas Lebih jelasBTALesi kulit Negatif Banyak Banyak (globi) Negatif atau 1 + Agak banyak

Sekret hidung -- Biasanya tidak ada Banyak (globi) --- Tidak ada

Tes lepromin Positif kuat (3+) Negatif Negatif Positif(2 +) Biasanya negatif, bisa (±)

Sumber: Amirudin, 2003

11

Page 12: Bab 1-2-3 Pasti Bgt 2  BAB 1  BAB 2