tugas dr anita
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu masalah penting yang dihadapi negara-negara berkembang saat
ini adalah pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kota-kota besar yang pesat.
Saat ini hampir seluruh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Berdasarkan laporan
Divisi Kependudukan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (2006) penduduk
perkotaan rata-rata meningkat setiap tahunya sebesar 3,54%. Pada tahun 1950,
penduduk dunia yang tinggal di perkotaan hanya 29%, tahun 1970 sebesar 35,9%,
1990 sebesar 43% dan pada tahun 2000 sekitar 46,7% hingga tahun 2005 sekitar
49% atau 3,2 miliar penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan. Dengan asumsi
rata-rata pertumbuhan penduduk 1,8% per tahun, pada tahun 2030 jumlah
penduduk perkotaan di dunia diperkirakan akan mencapai 4,9 miliar atau sekitar
60% dari jumlah penduduk dunia. Hal ini disebabkan olehpertumbuhan penduduk
alami (natural growth) yang pesat dan juga karena urbanisasi (migration growth).
Pada saat yang sama keadaan ini tidak diikuti dengan kecepatan pertumbunhan
industrialisasi yang sebanding.
Keadaan Indonesia tidak jauh berbeda. Pada tahun 2005, penduduk
Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan telah mencapai 107 juta atau sebesar
48,1% dari seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup fantastis,
mengingat dalam waktu 55 tahun hampir separuh penduduk Indonesia menempati
wilayah perkotaan. Padahal pada tahun 1950 hanya seperdelapan atau sekitar 12,4
% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan.
Pertumbuhan penduduk perkotaan biasanya akan diikuti pertumbuhan
daerah padat kumuh. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 1, permukiman kumuh adalah
permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan
prasarana yang tidak memenuhi syarat dan perumahan kumuh adalah perumahan
yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian. Pemukiman
1
padat dan kumuh juga ditemui di kota-kota di Indonesia. Pada tahun 2001, UN-
Habitat memperkirakan proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah padat
kumuh sebesar 23%, yaitu sekitar 21 jiwa dari keseluruhan penduduk yang tinggal
di wilayah perkotaan. Pada tahun 2005, sekitar 21,25 juta penduduk atau 18% dari
120 juta jiwa di wilayah perkotaan, tinggal di kawasan padat kumuh.
Kecenderungan pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan, perlu
mendapatkan perhatian dari semua pihak. Ada hal-hal penting yang harus
diperhatikan; Pertama, kecenderungan pertumbuhan penduduk di perkotaan
dikhawatirkan menimbulkan the big bang of urban poverty, yaitu ledakan
kemiskinan di wilayah perkotaan. Kedua, kawasan kumuh-padat dan kemiskinan
di perkotaan dikhawatirkan dapat menyuburkan kriminalitas.
Dalam UU No 1 Tahun 2011 Pasal 96 disebutkan bahwa dalam upaya
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh,
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan kebijakan, strategi, serta
pola-pola penanganan yang manusiawi, berbudaya, berkeadilan, dan ekonomis.
Sehingga menjamurnya kawasan padat kumuh di wilayah perkotaan dapat
dikatakan sebagai dampak ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola
pemerintahanya. Karena pertumbuhan daerah kumuh di perkotaan dipicu oleh
kebijakan yang salah, banyak korupsi, buruknya pemerintahan, tidak tepatnya
regulasi, dan tidak adanya keinginan politik dari pemerintah.
Kota Palembang sebagai kota metropolitan di Indonesia mempunyai jumlah
penduduk sebanyak 1.452.840 jiwa pada tahun 2010. Dengan luas wilayah 358,57
kilo meter persegi, rata-rata tingkat kepadatan penduduk kota Palembang adalah
sebanyak 4.052 jiwa per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat
kepadatanya adalah kecamatan Bukit Kecil (18.223 jiwa per kilo meter persegi)
sedangkan yang paling rendah adalah kecamatan Gandus (1.132 jiwa per kilo
meter). Laju pertumbuhan penduduk kota Palembang per tahun dari tahun 2000-
2010 sebesar 1,76%. Bertambahnya jumlah penduduk per tahunnya dapat
dipastikan akan bertambah pula jumlah daerah kumuh di Palembang, sempitnya
lapangan pekerjaan juga membuan masyarakat daerah kumuh dilanda kemiskinan.
2
I.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui keadaan lingkungan dari kawasan dan permukiman
kumuh.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kawasan dan permukiman kumuh.
3. Untuk mengetahui dampak dari kawasan dan permukiman kumuh.
4. Untuk mengetahui cara dan solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
dampak dari kawasan dan permukiman kumuh.
5. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menentukan strategi, kebijakan
yang akan diambil dalam penanggulangan permukiman kumuh.
I.3 Rumusan Masalah
1. Apa itu kawasan dan permukiman kumuh dan bagaimana keadaan
lingkungannya?
2. Apa penyebab terjadinya kawasan dan permukiman kumuh?
3. Bagaimana dampak yang terjadi akibat kawasan dan permukiman kumuh?
4. Bagaimana cara dan solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak
dari kawasan dan permukiman kumuh?
5. Apa peran pemerintah dalam menentukan strategi, kebijakan yang akan
diambil dalam penanggulangan permukiman kumuh?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Perumahan
Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat
manusia serta mutu kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat yang adil dan
makmur. Perumahan dan permukiman juga merupakan bagian dari pembangunan
nasional yang perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah,
terencana, dan berkesinambungan.
Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal / lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan, dimaksudkan agar lingkungan tersebut menjadi lingkungan yang
sehat, aman, serasi, dan teratur dan berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung prikehidupan dan penghidupan (UU No 4/1992). Permukiman
dapat pula didefinisikan sebagai kawasan yang didominasi oleh lingkungan
hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan dan tempat kerja yang memberikan pelayanan
dan kesempatan kerja untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga
fungsi-fungsi perumahan tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Masalah perumahan dan permukiman merupakan masalah tanpa akhir (the
endless problems). Betapa tidak, masalah papan bagi manusia senantiasa menjadi
pembicaraan yang seolah tanpa akhir. Bukan hanya di kota-kota besar saja
masalah ini mengemuka, tetapi di kota kecil pun masalah perumahan dan
permukiman tersebut menjadi bahan pembicaraan. Masalah perumahan dan
permukiman berkaitan dengan proses pembangunan, serta kerap merupakan
4
cerminan dari dampak keterbelakangan pembangunan umumnya. Munculnya
masalah perumahan dan permukiman ini disebabkan, karena :
1. Kurang terkendalinya pembangunan perumahan dan permukiman sehingga
menyebabkan munculnya kawasan kumuh pada beberapa bagian kota yang
berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan.
2. Keterbatasan kemampuan dan kapasitas dalam penyediaan perumahan dan
permukiman yang layak huni baik oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat.
3. Pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagaan masyarakat yang masih
belum optimal khususnya menyangkut kesadaran akan pentingnya hidup sehat.
4. Kurang dipahaminya kriteria teknis pemanfaatan lahan permukiman dan
perumahan khususnya yang berbasis pada ambang batas daya dukung
lingkungan dan daya tampung ruang.
Pembangunan perumahan dan permukiman yang kurang terpadu, terarah,
terencana, dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar
seperti air bersih, sanitasi (jamban), sistem pengelolaan sampah, dan saluran
pembuangan air hujan, akan cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan
atau yang kemudian diterminologikan sebagai “Kawasan Kumuh”.
Kawasan kumuh meskipun tidak dikendaki namun harus diakui bahwa
keberadaannya dalam perkembangan wilayah dan kota tidak dapat dihindari. Oleh
karena itu, dalam rangka meminimalisir munculnya kawasan kumuh, maka perlu
dilakukan upaya-upaya secara komprehensif yang menyangkut berbagai aspek
yang mampu menghambat timbulnya kawasan kumuh tersebut.
II. 2 Pengertian Kawasan Kumuh
Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat mempunyai
dampak terhadap berbagai bidang antara lain di bidang fisik lingkungan, sosial,
maupun ekonomi yang memerlukan ketersediaan prasarana dan sarana dasar yang
secara umum akan bersifat susul menyusul dengan laju pertumbuhan penduduk.
Kurang tersedianya sarana dasar ini akan mengakibatkan tumbuhnya beberapa
5
bagian wilayah perkotaan menjadi kawasan kumuh. Kawasan yang kumuh sering
diidentikkan dengan kawasan yang jorok dengan masalah atau kemiskinan kota.
Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi
tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan
kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di Indonesia. Kawasan kumuh
umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran
tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti
kejahatan, obat-obat terlarang dan minuman keras. Di berbagai wilayah, kawasan
kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak
higienis.
Menurut CSU’s Urban Studies Department, kawasan kumuh merupakan
suatu wilayah yang memiliki kondisi lingkungan yang buruk, kotor, penduduk
yang padat serta keterbatasan ruang (untuk ventilasi cahaya, udara, sinitasi, dan
lapangan terbuka). Kondisi yang ada seringkali menimbulkan dampak yang
membahayakan kehidupan manusia (misalnya kebakaran dan kriminalitas)
sebagai akibat kombinasi berbagai faktor.
Beberapa karakteristik kawasan kumuh di Indonesia menggambarkan suatu
kawasan permukiman yang secara fisik memiliki kondisi lingkungan yang tidak
sehat, seperti kotor, tercemar, lembab, dan lain-lain. Kondisi tersebut secara
ekologis timbul sebagai akibat dari ketiakmampuan daya dukung lingkungan
mengatasi beban aktivitas yang berlangsung di kawasan tersebut. Di wilayah
perkotaan kondisi tersebut timbul sebagai akibat tingkat kepadatan penduduk
yang tinggi. Di wilayah pedesaan dengan kepadatan penduduk yang rendah,
kekumuhan wilayah ditimbulkan oleh kondisi sanitasi lingkungan yang buruk,
sebagai akibat keterbatasan sarana maupun kebiasaan masyarakat yang kurang
memperhatikan kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Di berbagai kawasan kumuh, penduduk tinggal di kawasan yang sangat
berdekatan sehingga sangat sulit untuk dilewati kendaraan seperti ambulans dan
pemadam kebakaran. Kurangnya pelayanan pembuangan sampah juga
mengakibatkan sampah yang bertumpuk-tumpuk. Dalam beberapa tahun terakhir
ini perkembangan kawasan kumuh terus meningkat, hal ini sejalan dengan
6
meningkatnya populasi penduduk. Pemerintah telah mencoba menangani masalah
kawasan kumuh dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggantikan
kawasan kumuh tersebut dengan perumahan modern yang memiliki sanitasi yang
baik (umumnya berupa rumah bertingkat / rumah susun).
Selain kawasan kumuh yang menepati lahan-lahan yang legal, yang disebut
“Slum Area”, kawasan kumuh seringkali juga muncul pada lahan-lahan tanpa hak
yang jelas, baik secara status kepemilikan maupun secara fungsi ruang kota yang
umumnya merupakan lahan bukan untuk tempat hunian. tanpa seijin pemiliknya,
yang karenanya, pada umumnya membawa konsekuensi terhadap tidak layaknya
kondisi hunian masyarakat tersebut, karena tidak tersedia fasilitas sarana dan
prasarana dasar bagi lingkungan huniannya.
Kawasan semacam ini menurut berbagai literatur termasuk ke dalam kriteria
kawasan squatter. Squatter adalah suatu area hunian yang dibangun di atas lahan
tanpa dilindungi hak kepemilikan atas tanahnya, dan masyarakat squatter adalah
suatu masyarakat yang mendiami (bertempat tinggal) di atas lahan yang bukan
haknya atau bukan diperuntukkan bagi permukiman; seringkali tumbuh
terkonsentrasi pada lokasi terlarang untuk dihuni (bantaran sungai, pinggir pantai,
dibawah jembatan, dll.) dan berkembang cepat sebagai hunian karena terlambat
diantisipasi; dan menempati lahan tanpa hak yang sah (tanah negara, tempat
pembuangan sampah, atau bahkan tanah milik orang/lembaga lain yang belum
ataupun tidak dimanfaatkan).
Kelompok squatter umumnya merupakan pendatang dari wilayah perdesaan
atau pinggiran kota yang bermigrasi ke perkotaan untuk mengadu nasib (mencari
nafkah) di perkotaan. Selain secara ekonomi umumnya mereka merupakan
komunitas yang berpenghasilan rendah, bekerja di sektor informal, dengan
penghasilan yang tidak tetap, juga secara sosial mereka berpendidikan rendah,
berketrampilan terbatas dengan tatanan sosial kemasyarakatan yang longgar,
menghadapi eksklusifisme dari masyarakat di sekitarnya, dan akses yang terbatas
terhadap pelayanan sosial dan administrasi publik.
Kemudian secara hukum mereka tidak memiliki kekuatan dan kepastian
terutama menyangkut lahan yang mereka tempati serta status administrasi, serta
7
secara fisik mereka tinggal dalam kondisi lingkungan yang sangat buruk, tidak
tersedia fasilitas sarana dan prasarana dasar lingkungan hunian, sering terkena
banjir dan polusi lingkungan lainnya.
Pertumbuhan permukiman kumuh (slum dan squatter) ini terasa makin
pesat, terutama sejak terjadinya krisis yang “menasional”, mulai dari krisis
moneter, disusul krisis ekonomi sampai dengan krisis multidimensi yang
mengakibatkan bertambah besarnya jumlah penduduk miskin baik di perdesaan
maupun di perkotaan. Kondisi ini telah menyebabkan semakin merebaklah
kawasan-kawasan slum dan squatter di wilayah perkotaan.
Hal itu terjadi karena banyak penduduk kota yang menurun tingkat
kesejahtera-annya, sementara pendatang dari perdesaan yang membawa banyak
penduduk miskin juga meningkat. Dari kondisi tersebut di atas jelas terlihat
bahwa permukiman kumuh (slum dan squatter) merupakan ”buah” dari berbagai
situasi rumit dari ketimpangan pembangunan yang perlu digali akar persoalannya
dan dicari kemungkinan pemecahannya yang realistik yang dapat disepakati oleh
berbagai pihak serta berdampak positif bagi peningkatan kualitas lingkungan
penduduk dan perkembangan ruang kota. Fenomena keberadaan masyarakat slum
dan squatter di perkotaan ini selain telah menjadi salah satu penyebab timbulnya
ketidakjelasan fungsi elemen-elemen lahan perkotaan, juga telah menimbulkan
penurunan kualitas lingkungan perkotaan, sehingga wajah kota menjadi tidak jelas
dan semerawut. Keberadaan kawasan-kawasan kumuh akan memberikan dampak
negatif, baik ditinjau dari sisi tingkat kalayakan kawasan maupun keterjaminan
kualitas hidup dan keberlanjutan fungsi lingkungan.
II. 3 Faktor Penyebab Munculnya Kawasan Kumuh
Sejalan dengan perkembangaan kota baik secara fisik, ekonomi, dan sosial
budaya, kota telah mengalami pergeseran peran, mulai dari paradigma bahwa kota
telah berkembang dengan berbagai konflik kepentingan, kemudian muncul
paradigma bahwa kota berkembang sebagai proses ekologi budaya, sampai
dengan munculnya pandangan bahwa kota merupakan tempat berkumpulnya
berbagai komunitas dan budaya dengan istilah “social world”, sebagaimana
8
diungkapkan oleh Howard Becker (1970an, dari Herbert Gans, 1962; Ernest
Burgess 1925, the Chicago School): yang memandang bahwa semua kehidupan di
kota merupakan produk dari kebudayaan-kebudayaan yang tercipta oleh “dunia
sosial” yang hidup di kota tersebut.
Semakin kuatnya daya tarik kota ditambah dengan adanya berbagai
keterbatasan secara ekonomi di perdesaan, telah mendorong sebagian besar warga
perdesaan untuk mengadu nasib di perkotaan. Perkembangan kota yang pesat
tersebut yang berfungsi sebagai pusat kegiatan serta menyediakan layanan primer
dan sekunder, telah mengundang penduduk dari daerah pedesaan untuk datang ke
perkotaan dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta
berbagai kemudahan lain termasuk lapangan kerja, sehingga mengakibatkan
kurang perhatiannya terhadap pertumbuhan kawasan perumahan dan permukiman
penduduk maupun kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut pada kenyataannya
mengakibatkan :
1. Terjadinya pertambahan penduduk yang lebih pesat dari pada kemampuan
pemerintah dalam menyediakan hunian serta layanan primer lainnya secara
layak/memadai;
2. Tumbuhnya kawasan perumahan dan permukiman yang kurang layak huni,
yang pada berbagai daerah cenderung berkembang menjadi kumuh, dan tidak
sesuai lagi dengan standar lingkungan permukiman yang sehat;
3. Kurangnya perhatian / partisipasi masyarakat akan pendayagunaan prasarana
dan sarana lingkungan permukiman guna kenyamanan dan kemudahan
dukungan kegiatan usaha ekonomi.
Dari penjelasan diatas maka dapat ditegaskan bahwa permasalahan perumahan
dan permukiman diperkotaan merupakan permasalahan yang komplek dan perlu
mendapatkan perhatian, hal ini disebabkan karena rumah merupakan kebutuhan
dasar manusia selain pangan dan sandang yang masih belum dapat dipenuhi oleh
seluruh masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah merupakan
aset dalam rangka pengembangan kehidupan sosial dan ekonomi bagi pemiliknya.
Sedangkan pengadaan perumahan yang dilakukan oleh semua pelaku
9
pembangunan pada hakekatnya dapat mendorong berkembangnya kegiatan
ekonomi nasional. Oleh karena itu bidang perumahan dan permukiman
merupakan program yang penting dan strategis dalam rangka pembangunan
nasional.
Pengadaan perumahan yang diselenggarakan secara formal oleh pemerintah
dan pengembang swasta ternyata setiap tahun hanya mampu memenuhi 15 % dari
kebutuhan perumahan nasional. Kekurangan sebesar 85 % dari kebutuhan
nasional dipenuhi oleh masyarakat secara swadaya tanpa menggunakan fasilitas
pendanaan formal. Pembangunan perumahan yang tidak terfasilitasi ini
berlangsung terus sesuai dengan kebutuhan sosial dan kemampuan ekonomi yang
dimiliki masing-masing individu yang mendorong masyarakat untuk
menyelenggarakan pengadaan perumahan dan permukimannya secara swadaya.
Dampak yang ditimbulkan dari kondisi yang demikian ini terutama
pembangunan perumahan yang dilaksanakan oleh masyarakat berpenghasilan
rendah adalah tumbuh dan berkembangnya permukiman-permukiman yang tidak
terkendali dan terintegrasi dalam suatu perencanaan permukiman yang sesuai
dengan arah pengembangan ruang kota. Pada akhirnya hal tersebut akan
mengakibatkan permasalahan fisik lingkungan serta kerawanan sosial.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan faktor penyebab munculnya
kawasan kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor
yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung.
1. Faktor yang Bersifat Langsung
Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya kawasan
kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan). Faktor
lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan meliputi kondisi rumah,
status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan (KDB),
dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan permasalahan
meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan sampah, pembuangan air limbah
rumah tangga, drainase, dan jalan.
10
Kondisi lingkungan perumahan yang menyebabkan timbulnya kekumuhan adalah
keadaan rumah yang mencerminkan nilai kesehatan yang rendah, kepadatan
bangunan yang tinggi, koefisien dasar bangunan (KDB) yang tinggi, serta status
lahan yang tidak jelas (keberadaan rumah di daerah marjinal) seperti rumah yang
berada di bantaran sungai, rel KA, dll. Rumah–rumah yang berada di daerah
marjinal berpotensi terkena banjir pada saat musim hujan. Dengan demikian nilai
kekumuhan tertinggi pada saat musim penghujan.
Sedangkan faktor sanitiasi lingkungan yang menyebabkan kekumuhan
seperti kurangnya sarana air bersih yang terlihat dari banyaknya masyarakat yang
memanfaatkan air dari sumber yang tidak bersih sehingga berpotensi
menimbulkan penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat, rendahnya
penggunaan MCK serta banyaknya masyarakat yang membuang hajat secara tidak
sehat, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran organik dan peningkatan
bakteri E. coli, yang akan menimbulkan dampak lanjutan berupa gangguan
kesehatan masyarakat.
Belum adanya pengelolaan sampah yang baik menjadi salah satu unsur
penentu timbulnya kekumuhan. Akibat tidak adanya sistem pengelolaan sampah
dan kurangnya sarana pembuangan sampah mengakibatkan terjadinya
penumpukan sampah di pekarangan. Tidak berfungsinya sistem jaringan drainase
juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh. Kondisi ini
menimbulkan tambahan prolematika lingkungan antara lain terjadinya banjir
(genangan) akibat penyumbatan sungai dan saluran air (drainase).
Faktor terakhir yang dinilai memiliki dampak langsung terhadap timbulnya
lingkungan kumuh adalah pembuangan limbah rumah tangga dan kondisi jaringan
jalan. Rendahnya kualitas sistem pembuangan air limbah rumah tangga dan
jaringan jalan juga menyebabkan suatu kawasan menjadi kumuh.
2. Faktor yang Bersifat Tidak Langsung
Faktor-faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara
langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor ini
berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan. Faktor-
11
faktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah faktor
ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat.
Faktor ekonomi yang berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi
masyarakat (pendapatan masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang
rendah menyebabkan masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi
rumah yang sehat, pengadaan MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait
dengan sarana lingkungan rumah yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga
mengakibatkan sebagian masyarakat membangun rumah tidak permanen di
bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian taraf ekonomi secara tidak
langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan. Demikian juga halnya
dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan masyarakat yang kurang layak
menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah, sehingga kemampuan untuk
membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi rendah.
Faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kekumuhan
adalah kondisi sosial kependudukan yang meliputi jumlah anggota keluarga,
tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Jumlah anggota keluarga yang besar
dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan rendahnya
kemampuan dan pengetahuan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang
akhirnya mendorong kesadaran yang rendah terhadap upaya menciptakan
lingkungan dan kehidupan yang sehat. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan lingkungan menyebabkan masyarakat melakukan aktivitas membuang
hajat dan sampah yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan dirinya.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya kawasan kumuh yaitu
faktor budaya yang berhubungan dengan masalah kebiasaan dan adat istiadat.
Selain faktor sosial seperti tingkat pendidikan, faktor kebiasaan juga menjadi
pendoroong munculnya kawasan kumuh. Faktor kebiasaan ini juga yang
menyebabkan masyarakat merasa lebih enak membuang hajat di saluran air dan
kebun sekalipun tidak sehat, dibanding membuang hajat di WC umum. Untuk itu
beberapa WC umum yang dibangun oleh pemerintah berada dalam kondisi
terlantar tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
12
Selain itu faktor adat istiadat seperti ”makan tidak makan yang penting
kumpul” juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh,
walaupun bersifat tidak langsung. Namun adat istiadat seperti ini mendorong
orang untuk tetap tinggal dalam suatu lingkungan perumahan walaupun tidak
layak huni yang penting dekat dengan saudara, tanpa mau berusaha mencari
lingkungan hunian yang lebih baik.
II. 4 Parameter Dan Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh
II. 4. 1 Parameter Penilaian Kawasan Kumuh
Dalam melakukan penilaian terhadap kawasan kumuh terdapat beberapa
parameter yang dapat digunakan yang didasarkan pada beberapa komponen yaitu
komponen fisik, komponen sanitasi lingkungan; komponen sosial kependudukan;
komponen sosial budaya, dan komponen ekonomi. Lebih jelasnya parameter
tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini :
Komponen Fisik
a. Penggunaan Lahan (Land Use), parameter yang diteliti : tata guna lahan untuk
berbagai peruntukan, mencakup penggunaan untuk fungsi lindung seperti
sempadan pantai, sempadan sungai, dan daerah konservasi; penggunaan untuk
fungsi budidaya seperti permukiman dan aktivitas lainnya.
b. Keadaan Permukiman, parameter yang diteliti : jumlah rumah, jenis rumah,
kondisi rumah, jumlah penghuni, kepadatan bangunan, KDB, dan status
kepemilikan lahan. Contoh : tata bangunan yang sangat tidak teratur, umumnya
bangunan-bangunan yang tidak permanen dan bangunan darurat; tidak adanya
suasana ”privacy (pribadi)” bagi pemilik rumah, karena jumlah ruang di rumah
tinggalnya terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penghuninya.
c. Kondisi Fisik Lingkungan, para meter yang diteliti kualitas udara dan
pencahayaan matahari. Kualitas udara yang tidak baik (kualitas udara
menurun) dan pencahayaan matahari yang kurang yang biasanya disebabkan
karena tidak adanya ruang-ruang terbuka (open space). kondisi seperti ini akan
13
menyebabkan udara di dalam rumah tak dapat mengalir dengan baik,
akibatnya akan menggangu kesehatan penghuni rumah tersebut;
Komponen Sanitasi Lingkungan
a. Kecukupan sumber air bersih, dasar penentuan nilai adalah persentase jumlah
keluarga yang memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih.
b. Pemanfaatan MCK oleh Warga, dasar penentuan nilainya adalah persentase
penduduk yang telah menanfaatkan jamban sebagai tempat membuang hajat
dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah desa).
c. Pembuangan air limbah, dasar penentuan nilai dalam kriteria ini adalah
keviasaan penduduk membuang air limbah yang diukur dalam persen
penduduk yang membuang limbah berupa air kotor rumah tangga
kepekarangan rumahnya dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah desa).
d. Kondisi saluran air, kondisi saluran air (drainase) diukur dalam persentase
saluran drainase dalam kondisi mengalir dalam satu satuan wilayah tertentu.
e. Penumpukan dan Upaya pengelolaan sampah, kondisi persampahan di hitung
dari banyaknya lokasi penumpukkan sampah dalam satu wilayah tertentu.
f. Frekuensi banjir, frekuensi banjir di ukur dari jumlah terjadinya banjir dalam
satu tahun pada satuan wilayah terntentu (satuan wilayah desa).
g. Kondisi jalan lingkungan, kondisi jalan lingkungan diukur dalam persentase
jalan lingkungan yang berada pada kondisi sedang dan buruk dalam satu
satuan wilayah tententu (satuan wilayah desa/kelurahan).
h. Kondisi penerangan dan komunikasi, kondisi penerangan dan komunikasi
diukur dalam persentase KK yang mendapatkan pelayanan penerangan dan
komunikasi.
Komponen Sosial Kependudukan
a. Jumlah penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang tinggal dalam
satu kawasan atau wilayah.
14
b. Komposisi penduduk, melihat jumlah penduduk berdasarkan struktur usia
(belum produktif, produktif, dan tidak produktif) dan mata status pekerjaan
(bekerja, setengah pengangguran atau pengangguran)
c. Kepadatan penduduk, melihat kepadatan penduduk yang diukur dari jumlah
penduduk dibagi dengan ketersediaan lahan (daya tampung).
d. Pendidikan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana tingkat pendidikan
penduduk dalam kawasan tersebut. Sehingga akan diketahui berapa besar
pengetahuan dan pemahaman penduduk terhadap lingkungan permukiman
yang sehat dan layak huni.
e. Kesehatan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana kekuatan yang
dimiliki penduduk dari tingkat kesehatannya yang dapat diukur dari jenis
penyakit yang pernah diderita, jumlah penduduk yang terkena penyakit, dll.
Komponen Sosial Budaya
a. Kebiasaan penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang dapat mendorong munculnya kawasan kumuh
seperti : kebiasaan membuang sampah disembarang tempat, kebiasaan
membuang hajat di sungai, pekarangan atau tempat terbuka lainnya, kebiasaan
penduduk mengkonsumsi air yang tidak bersih dan hieginis, dll
b. Adat istiadat, yaitu kultur budaya masyarakat yang dapat mendorong
terciptanya kawasan kumuh seperti : makan tidak makan yang penting
ngumpul, dll.
Komponen Ekonomi
a. Tingkat Pendapatan, diukur dari besarnya pendapatan yang diterima tiap KK
dalam setiap bulannya.
b. Aktivitas ekonomi atau mata pencaharian penduduk, diukur dari besarnya
jumlah penduduk yang bekerja dalam suatu bidang tertentu (PNS, buruh tani,
industri, dll).
15
c. Sarana atau fasilitas penunjang kegiatan ekonomi, bertujuan untuk melihat
berapa besar fasilitas ekonomi yang dapat melayani masyarakat dalam
kawasan tersebut.
II. 4. 2 Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh
Dari penjelasan-penjelasan diatas, kemudian dilakukan penentuan status
kawasan kumuh berdasarkan tingkat kekumuhan. Dalam hal ini, status kawasan
kumuh dibagi dalam 5 kelas, yaitu :
Ko = Tidak kumuh
K1 = Kurang kumuh
K2 = Cukup Kumuh
K3 = Kumuh
K4 = Sangat kumuh
Untuk jelasnya mengenai penetapan kriteri kawasan kumuh dapat dilihat pada
Tabel 1.
16
17
Gambar 1. Peta Sebaran Rumah Tangga Miskin Kota Palembang Tahun 2008
Penduduk miskin kota Palembang mencapai + 30%, kepadatan penduduk 3.342
jiwa per km2 sehingga memerlukan penanganan multisektorial dan multidimensi.
Tabel 2. Sebaran Rumah Tangga Miskin Kota Palembang Tahun 2006-2007
18
19
Gambar 2. Pemukiman Kumuh di Kota Palembang
Identifikasi penduduk pemukiman kumuh Palembang
Kepemilikan rumah 56,88% sewa
Lantai rumah 86,65% tanah/ kayu murahan
Tidak memiliki saluran limbah rumah tangga 86,13%
Dinding bangunan kayu
Tempat buang air besar sederhana di sungai 62,30%
Penerangan sudah dengan listrik 90%
Sumber air minum 76,70% dari sumur tidak terlindungi dan dari sungai
Tidak memakan daging dan telur per minggu 53,14%
Bahan bakar masak 84,29% dari minyak tanah
Tempat berobat ke puskesmas 90%; hanya 67,80% mengaku dapat berobat
gratis
Pekerjaan kepala keluarga buruh/supir angkutan
Pendidikan tertinggi rata-rata SD + 57%
II.5 Masalah-masalah yang Timbul Akibat Permukiman
Kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak.
Dari segi pemerintahan, pemerintah dianggap dan dipandang
tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan
terhadap masyarakat. Sementara pada dampak sosial, dimana
sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan
rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah
dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan
terhadap norma-norma sosial.
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut
sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial
menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat
merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang,
seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
20
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki
persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-
pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan
adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi
kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata
mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku
penduduk penghuninya. Hal ini dapat diketahui dari tatacara
kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi, mencopet dan
melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku
menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan
pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang
terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa
impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak
sesuai dan ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak memiliki kemampuan yang
cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan
kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak
menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola
kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan
semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang
tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang
tidak memenuhi syarat kesehatan.
Pemukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan,
seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar
bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini
cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang
sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada
penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah
atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap
21
bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang
menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap
disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan,
solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan
kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari
golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan
yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran,
gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya
perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar
penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan
sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan
antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi
sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya
perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni
pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku
menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola
kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau
kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral
dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada
permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan
norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku
sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat.
Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa
perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah
dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk
perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan
menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti
gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja
22
dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa
mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam,
bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan
berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi,
mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain.
Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah
kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian,
pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan,
pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan
liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-
masalah baru yang menyangkut:
(a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama
masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan
masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah
perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya
perilaku menyimpang,
(b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran
di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota,
(c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya
kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran
di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan
penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah
perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan
pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan
menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini,
khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan
menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan
23
sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering
melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa kehidupan
penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial
kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis
kemiskinan (Sri Soewasti Susanto, 1974)
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah
permukiman kumuh adalah:
1. Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi
standard untuk bangunan layak huni
2. Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah
permukiman rawan akan bahaya kebakaran
3. Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai
4. Tidak tersedianya jaringan drainase
5. Kurangnya suplai air bersih
6. Jaringan listrik yang semrawut
7. Fasilitas MCK yang tidak memadai
II.6 Upaya Mengatasi Permukiman Kumuh
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya
pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya
kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan
pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan
pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan
institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan
dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih,
sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan
lingkungan pemukiman pada umumnya.
Cara mengatasi pemukiman kumuh:
24
1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk
memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan sarana
lingkungan yang ada.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang
dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan
perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan
rumah susun yang memenuhi syarat.
Bentuk bentuk peremajaan kota di indonesia:
1. Perbaikan lingkungan permukiman.
Disini kekuatan pemerintah/public investment sangat dominan, atau sebagai
faktor tunggal pembangunan kota.
2. Pembangunan rumah susun sebagai pemecahan lingkungan kumuh.
3. Peremajaan yang bersifat progresif oleh kekuatan sektor swasta seperti
munculnya super blok (merupakan fenomena yang menimbulkan banyak
kritik dalam aspek sosial yaitu penggusuran, kurang adanya integrasi jaringan
dan aktifitas trafik yang sering menciptakan problem diluar super blok).
Faktor tunggalnya adalah pihak swasta besar.
Pemerintah juga telah membentuk suatu institusi yaitu Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tugas Pokok dan
Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan
Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam
struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan
pembangunan nasional, serta komposisi sumber daya manusia
dan latar belakang pendidikannya. Dalam melaksanakan
tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf
Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing
membidangi bidang-bidang tertentu.
25
Yang di usahakan adalah: perkembangan ekonomi makro,
pembangunan ekonomi, pembangunan prasarana, pembangunan
sumber daya manusia, pembangunan regional dan sumber daya
alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan
administrasi negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam
bidang pembangunan, pusat data dan informasi perencanaan
pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan
perencanaan pembangunan (pusbindiklatren), program
pembangunan nasional(propenas), badan koordinasi tata ruang
nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional,
hubungan eksternal.
II. 7 Analisis
Warga kumuh kerap digusur, tanpa adanya solusi bagi
mereka selanjutnya. Seharusnya, pemerintah bisa
mengakomodasi hal ini dengan melakukan relokasi ke kawasan
khusus. Dengan penyediaan lahan khusus tersebut, pemerintah
bisa membangun suatu kawasan tempat tinggal terpadu
berbentuk vertikal (rumah susun) yang ramah lingkungan untuk
disewakan kepada mereka. Namun, pembangunan rusun
tersebut juga harus dilengkapi sarana pendukung lainnya, seperti
sekolah, tempat ibadah, dan pasar yang bisa diakses hanya
dengan berjalan kaki, tanpa harus menggunakan kendaraan.
Bangunan harus berbentuk vertikal (rusun) agar tidak
menghabiskan banyak lahan. Sisanya, harus disediakan pula
lahan untuk ruang terbuka hijau, sehingga masyarakat tetap
menikmati lingkungan yang sehat. Dalam hal ini masyarakat
harus turut serta untuk menanam dan memelihara lingkungan
hijau tersebut.
26
Pemerintah dapat menerapkan program rekayasa sosial, di
mana tidak hanya menyediakan pembangunan secara fisik,
tetapi juga penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat,
sehingga mereka dapat belajar survive. Perlu dukungan
penciptaan pekerjaan yang bisa membantu mereka survive,
misalnya dengan pemberdayaan lingkungan setempat yang
membantu mereka untuk mendapatkan penghasilan, sehingga
mereka memiliki uang untuk kebutuhan hidup.
Masyarakat harus ikut dilibatkan dalam mengatasi
permukiman kumuh di perkotaan. Karena orang yang tinggal di
kawasan kumuhlah yang tahu benar apa yang menjadi masalah,
termasuk solusinya. Jika masyarakat dilibatkan, persoalan
mengenai permukiman kumuh bisa segera diselesaikan. Melalui
kontribusi masukan dari masyarakat maka akan diketahui secara
persis instrumen dan kebijakan yang paling tepat dan dibutuhkan
dalam mengatasi permukiman kumuh.
Dalam mengatasi permukiman kumuh tetap harus ada
intervensi dari negara, terutama untuk menilai program yang
disampaikan masyarakat sudah sesuai sasaran atau harus ada
perbaikan. Kerja sama Pemerintah dan Swara (KPS) dalam
membenahi kawasan kumuh, terutama dalam hal penyediaan
infrastruktur pendukung dibutuhkan.
Permukiman kumuh tidak dapat diatasi dengan
pembangunan fisik semata-mata tetapi yang lebih penting
mengubah prilaku dan budaya dari masyarakat di kawasan
kumuh. Jadi masyarakat juga harus menjaga lingkungannya agar
tetap bersih, rapi, tertur dan indah. Sehingga akan tercipta
lingkungan yang nyaman, tertip, dan asri.
27
BAB III
KESIMPULAN
III. 1 Kesimpulan
Tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan
penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun
karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini
mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan
penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan
permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan
mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk
mempertahankan kehidupan di kota.
28
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut
sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial
menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat
merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang,
seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Faktor yang menjadi penyebab munculnya kawasan kumuh (slum dan
squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor yang bersifat langsung dan
faktor yang bersifat tidak langsung. Faktor-faktor yang bersifat langsung adalah
faktor fisik lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan meliputi
kondisi rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, Koefisien Dasar
Bangunan (KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan
permasalahan meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan sampah, pembuangan
air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan. Faktor-faktor yang bersifat tidak
langsung adalah faktor-faktor yang secara langsung tidak berhubungan dengan
kekumuhan tetapi faktor-faktor ini berdampak terhadap faktor lain yang terbukti
menyebabkan kekumuhan, yaitu faktor ekonomi masyarakat, sosial dan budaya
masyarakat.
Dalam melakukan penilaian terhadap kawasan kumuh terdapat beberapa
parameter yang dapat digunakan yang didasarkan pada beberapa komponen yaitu
komponen fisik, komponen sanitasi lingkungan; komponen sosial kependudukan;
komponen sosial budaya, dan komponen ekonomi, kemudian dilakukan penentuan
status kawasan kumuh berdasarkan tingkat kekumuhan. Dalam hal ini, status
kawasan kumuh dibagi dalam 5 kelas, yaitu : Ko = Tidak kumuh; K1 = Kurang
kumuh; K2 = Cukup Kumuh; K3 = Kumuh; K4 = Sangat kumuh.
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman
kumuh adalah: ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard
untuk bangunan layak huni, rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat
wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran, sarana jalan yang
sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan drainase,
kurangnya suplai air bersih, jaringan listrik yang semrawut, dan
29
fasilitas MCK yang tidak memadai. Cara mengatasi permukiman
kumuh:
1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk
memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan sarana
lingkungan yang ada.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang
dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan
perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah
susun yang memenuhi syarat.
DAFTAR PUSTAKA
Ami-archuek. 2009. Permukiman Kota. (Online), (http://ami-
archuek06.blogspot.com, Diakses 3 Maret 2013).
30
Chyntiawati, deby. 2009. Masalah Sosial Permukiman Kumuh. (Online),
(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pemukiman-kumuh/, Diakses 3
Maret 2013).
Fitrilubis, Nurul. 2009. Pembangunan Dengan Sistem Partisipasi Masyarakat
Sebagai Salah Satu Usaha Untuk Meningkatkan Dan Memperbaiki Kehidupan
Masyarakat Permukiman Kumuh. (Online),
(http://nurulfitrilubis.wordpress.com/2009/04/18/pembangunan-dengan- sistem-
partisipasi-masyarakat-sebagai-salah-satu-usaha-untuk-meningkatkan-dan-
memperbaiki-kehidupan-masyarakat-permukiman- kumuh/ ,
Diakses 3 Maret 2013).
Qurow-yun. 2009. Fenomena Masyarakat Miskin Perkotaan. (Online),
(http://qurow-yun.blogspot.com/2009/05/fenomena-masyarakat-miskin-
perkotaan.html, Diakses 3 Maret 2013).
Rukmana, Deden.2008. Kemiskinan dan Permukiman Kumuh di Perkotaan.
(Online), (http://dedenrukmana.wordpress.com/, Diakses 3 Maret 2013).
Tribun-Timur. 8 oktober 2009. Kawasan Kumuh Perkotaan. (Online),
(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51720, Diakses 3 Maret 2013).
(http://journal.unair.ac.id/filerPDF/6.%20IKE%20A.%20KMP
%20V1%20N1%20Jan-April%202013.pdf). (Online). Diakses 3 Maret 2013
(www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/institusi/69-antarapendudukkota/
2012). (Online). Diakses 3 Maret 2013
(http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/1671.pdf). (Online). Diakses 3 Maret 2013
31
(http://inspektorat.palembang.go.id/tampung/dokumen/dokumen-13-4.pdf).
(Online). Diakses 3 Maret 2013
32