tinjauan pustaka peb, sc, dic

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklamsia Berat 2.1.1 Definisi Preeklampsi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah paling sedikit 140/90, proteinuria dengan atau tanpa edema. Edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam. Preeklampsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Dari gejala- gejala klinik preeklampsi dapat dibagi menjadi preeklampsi ringan dan preeklampsi berat (Haryono, 2006). Preeklampsi adalah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi (hipertensi), disertai protein dalam urine (proteinuria) dengan atau tanpa edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ketiga kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan. Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat terjadi preeklampsi berat bahkan dapat menjadi eklampsi yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan

Upload: ahmad-setyadi

Post on 11-Jan-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

..

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pre-eklamsia Berat

2.1.1 Definisi

Preeklampsi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah paling sedikit

140/90, proteinuria dengan atau tanpa edema. Edema tidak lagi dimasukkan dalam

kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.

Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam. Preeklampsi

merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi pada masa kehamilan,

persalinan dan masa nifas. Dari gejala-gejala klinik preeklampsi dapat dibagi

menjadi preeklampsi ringan dan preeklampsi berat (Haryono, 2006).

Preeklampsi adalah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi

(hipertensi), disertai protein dalam urine (proteinuria) dengan atau tanpa edema

yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester

ketiga kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan. Sering

tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga

tanpa disadari dalam waktu singkat terjadi preeklampsi berat bahkan dapat

menjadi eklampsi yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma.

Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan preeklampsi berat dan

eklampsi (Sarwono, 2008).

Preeklampsi merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya

perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan

Universitas Sumatera Utara peningkatan tekanan darah dan proteinuria.

Preeklampsi terjadi pada umur kehamilan di atas 20 minggu, paling banyak

terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada

pertengahan kehamilan. Preeklampsi dapat berkembang dari preeklampsi yang

ringan sampai preeklampsi yang berat (Cunningham et al, 2003).

Preeklampsi berat adalah suatu sindrom yang dijumpai pada ibu hamil di

atas 20 minggu yang ditandai dengan tekanan darah >160/110 mmHg, proteinuria

≥+2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,

gangguan penglihatan dan oliguria (Hariadi, 2004)

Page 2: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

Superimposed preeklamsi adalah preeklampsi yang terjadi pada wanita

menderita hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Hipertensi kronik yaitu hipertensi

oleh sebab apapun yang ditemukan atau timbul sebelum kehamilan 20 minggu

tanpa adanya molahidatidosa atau hipertensi yang menetap setelah 6 minggu

pasca persalinan (Chistopher, 2006).

Eklampsi disertai kejang yang terjadi pada kehamilan atau post partum yang

bukan disebabkan penyakit/gangguan lain yang terjadi pada otak. Sering terjadi

pada primigravida muda dan meningkat pada kehamilan kembar. Diagnosis

ditegakkan dengan adanya kejang, proteinuria dengan atau tanpa edema setelah

hamil 20 minggu atau 48 jam post partum. Lebih kurang 75% terjadi pada ante

partum dan 25% terjadi pada post partum. Faktor risiko terjadinya eklampsi antara

lain nullipara, hamil kembar, kehamilan mola, hipertensi dan penyakit ginjal

sebelum kehamilan, adanya preeklampsi berat dan eklampsi pada kehamilan

sebelumnya dan pada hidropsfetalis. Gejala-gejala yang sering timbul sebelum

kejang adalah sakit kepala dan gangguan visus (Sastrawinata, 2004).

2.1.2 Etiologi

Sampai saat ini penyebab preeklampsi/eklampsi belum diketahui secara

pasti. Beberapa teori tentang etiologi preeklampsi/eklampsi telah diajukan belum

ada yang memuaskan, sehingga penyakit ini disebut “the disease of theories”.

Setiap teori menunjukkan bahwa hipertensi yang ditimbulkan akan diperberat oleh

kehamilan yang terjadi pada ibu terpapar villi korialis untuk pertama kalinya

dengan jumlah besar, mempunyai riwayat penyakit vaskular atau mempunyai

kecenderungan genetik (Cunningham, 2003).

Ada 4 hipotesis sebagai konsep etiologi dan patogenesis preeklampsi berat

dan eklampsi (Dekker & Sibai, 1998):

1. Iskemia Plasenta

Pada preeklampsi berat perubahan arteri spiralis terbatas hanya pada lapisan

desidua dan arteri spiralis yang mengalami perubahan hanya lebih kurang 35-

50%. Akibatnya perfusi darah ke plasenta berkurang dan terjadi iskemia plasenta.

2. Maladaptasi Imun

Page 3: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

Maladaptasi imun menyebabkan dangkalnya invasi arteri spiralis oleh sel-

sel sitotrofoblast endovaskular dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh

peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim proteolitik dan radikal bebas.

3. Genetik Imprinting

Timbulnya preeklampsi berat/eklampsi didasarkan pada gen resesif tunggal

atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna.

4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing

Activity (TxPA)

Terjadi akibat kompensasi meningkatnya kebutuhan energi selama hamil

dengan memproses asam lemak non sterifikasi. Pada wanita dengan kadar

albumin yang rendah, pengangkutan kelebihan asam lemak nonsterifikasi dan

jaringan lemak ke dalam hepar menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai

pada titik dimana toksisitas VLDL menjadi terekspresikan. Jika kadar VLDL

melebihi TxPA maka efek toksik dan VLDL akan muncul dan menyebabkan

disfungsi endotel.

Keempat faktor etiologi preeklampsi berat/eklampsi ini saling berkaitan

dan akhirnya invasi sel-sel trofoblast abnormal, iskemia plasenta dan kerusakan

serta aktivasi sel-sel endotel merupakan titik temu dan fenomena preeklampsi

berat/eklampsi (Dekker & Sibai, 1998).

Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsi adalah teori

“iskemia plasenta”. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang

berkaitan dengan penyakit preeklampsi/eklampsi (Rustam, 1998). Adapun teori-

teori lain yang dipakai sebagai penyebab preeklampsi tersebut adalah :

a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsi dan eklampsi didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial

plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.

Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi

generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan

pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume

plasma.

b. Peran Faktor Imunologis

Page 4: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

Preeklampsi sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan

pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak

sempurna. Pada preeklampsi terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi

komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.

c. Peran Faktor Genetik

Preeklampsi hanya terjadi pada manusia. Preeklampsi meningkat pada anak

dari ibu yang menderita preeklampsi.

d. Iskemik dari uterus. Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus.

e. Defisiensi kalsium

Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan

vasodilatasi dari pembuluh darah.

f. Disfungsi dan Aktivasi dari Endotelial

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam

patogenesis terjadinya preeklampsi. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang

mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil

dengan preeklampsi. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester

pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan

kehamilan.

2.1.3 Patofisiologi

Sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum

diketahui.3,11,19,21) Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab –

musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang

memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: (1)

sebab bertambahnya frekuensi pada primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion

dan mola hidatidosa; (2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya

kehamilan; (3) sebab terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian

janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-

kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria,

kejang dan koma.3)

Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan

ischaemia rahim dan plascenta (ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan

Page 5: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion,

kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada

penyakit pembuluh darah ibu, diabetes , peredaran darah dalam dinding rahim

kurang, maka keluarlah zat-zat dari placenta atau decidua yang menyebabkan

vasospasmus dan hipertensi.19) Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan

semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu

faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia.3)

Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan

angiotensin, renin, dan aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah

dan metabolisme dapat berlangsung. Pada pre-eklampsia dan eklampsia, terjadi

penurunan angiotensin, renin, dan aldosteron, tetapi dijumpai edema,

hipertensi, dan proteinuria. Berdasarkan teori iskemia implantasi plasenta, bahan

trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi, yang dapat meningkatkan sensitivitas

terhadap angiotensin II, renin, dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol

dan tertahannya garam dan air.10) Teori iskemia daerah implantasi plasenta,

didukung kenyataan sebagai berikut:

1. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil

ganda, dan mola hidatidosa.

2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan

3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin.10)

Dampak terhadap janin, pada pre-eklapsia / eklampsia terjadi vasospasmus

yang menyeluruh termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat

menurunya aliran darah ke placenta. Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi

fetoplacentair yang berfungsi baik sebagai nutritive maupun oksigenasi. Pada

gangguan yang kronis akan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin didalam

kandungan disebabkan oleh mengurangnya pemberian karbohidrat, protein, dan

faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang seharusnya diterima oleh janin.22)

2.1.4 Manifestasi Klinis

Preeklampsi ringan ditandai dengan gejala meningkatnya tekanan darah

yang mendadak (sebelum hamil tekanan darah normal) ≥140/90 mmHg dan

Page 6: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

adanya protein urine (diketahui dari pemeriksaan laboratorium urine) +1/+2 dan

terjadi pada usia kehamilan di atas 20 minggu (Wibisono dan Dewi, 2009).

Tanda dan gejala preeklampsi ringan dalam kehamilan, antara lain edema

(pembengkakan) terutama tampak pada tungkai, muka disebabkan ada

penumpukan cairan yang berlebihan di sela-sela jaringan tubuh, tekanan darah

tinggi dan dalam air seni terdapat zat putih telur (pemeriksaan urine dari

laboratorium). Preeklampsi berat terjadi bila ibu dengan preeklampsi ringan tidak

dirawat, ditangani dan diobati dengan benar. Preeklampsi berat bila tidak

ditangani dengan benar akan terjadi kejang-kejang menjadi eklampsi (Bandiyah,

2009).

Preeklampsi terjadinya karena adanya mekanisme imunolog yang kompleks

dan aliran darah ke plasenta berkurang. Akibatnya suplai zat makanan yang

dibutuhkan janin berkurang. Makanya, preeklampsi semakin parah atau

berlangsung lama bisa menghambat pertumbuhan janin. Preeklampsi dapat

menyebabkan bahaya pada ibu dan janin. Gejalanya adalah pembengkakan pada

beberapa bagian tubuh, terutama muka dan tangan. Lebih gawat lagi apabila

disertai peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba serta kadar protein yang tinggi

pada urin (Indiarti, 2009).

Preeklampsi harus segera diatasi, bila tidak akan berlanjut menjadi eklampsi

yang ditandai dengan kejang, bahkan sampai koma, karena dalam darah ibu hamil

yang mengalami preeklampsi ditemukan adanya zat yang bisa menghancurkan sel

endotel yang melapisi pembuluh darah. Kondisi ini sangat berbahaya bagi ibu

hamil dan janin, jika tidak segera ditangani akan terjadi kerusakan menetap pada

syaraf, pembuluh darah atau ginjal ibu. Sementara itu, bayi akan mengalami

keterbelakangan mental sebab kurangnya aliran darah melalui plasenta dan

oksigen di otak (Indiarti, 2009).

Menurut Bandiyah (2009), bahaya preeklampsi dalam kehamilan antara

lain preeklampsi berat, timbul serangan kejang-kejang (eklampsi). Sedangkan

bahaya pada janin antara lain memberikan gangguan pertumbuhan janin dalam

rahim ibu dan bayi lahir lebih kecil, mati dalam kandungan. Bahaya preeklampsi

berat dalam kehamilan antara lain bahaya bagi ibu dapat tidak sadar dan bahaya

Page 7: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

bagi janin dalam kehamilan antara lain gangguan pertumbuhan janin dan bayi

lahir kecil, mati dalam kandungan.

2.1.6 Penatalaksanaan

Eklampsia merupakan komplikasi obstetri kedua yang menyebabkan 20 –

30% kematian ibu. Komplikasi ini sesungguhnya dapat dikenali dan dicegah sejak

masa kehamilan (preeklampsia). Preeklampsia yang tidak mendapatkan tindak

lanjut yang adekuat ( dirujuk ke dokter, pemantauan yang ketat, konseling dan

persalinan di rumah sakit ) dapat menyebabkan terjadinya eklampsia pada

trimester ketiga yang dapat berakhit dengan kematian ibu dan janin.

Penanganan pre-eklampsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi

eklampsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan

optimal dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal. Pengobatan hanya

dilakukan secara simtomatis karena etiologi pre-eklampsia, dan faktor-faktor apa

dalam kahamilan yang menyebabkannya, belum diketahui. Tujuan utama

penanganan ialah (1) mencegah terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia; (2)

melahirkan janin hidup; (3) melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medik dan

penanganan obtetrik.3)

Pada pre-eklampsia ringan ( tekanan darah 140/90 mmHg samoai 160/100

mmHg ) penanganan simtomatis dan berobat jalan masih mungkin ditangani di

puskesmas dan dibawah pengawasan dokter, dengan tindakan yang diberikan:

1. Menganjurkan ibu untuk istirahat ( bila bekerja diharuskan cuti ), dan

menjelaskan kemungkinan adanya bahaya. )

2. Sedativa ringan.

a. Phenobarbital 3 x 30 mg

b. Valium 3 x 10 mg

3. Obat penunjang

a. Vitamin B kompleks

b. Vitamin C atau vitamin E

c. Zat besi

4. Nasehat

Page 8: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

a. Garam dalam makan dukurangi

b. Lebih banyak istirahat baring kearah punggung janin

c. Segera datang memeriksakan diri, bila terdapat gejala sakit kepala, mata kabur,

edema mendadak atau berat badan naik, pernafasan semakin sesak, nyeri

epigastrium, kesadaran makin berkurang, gerak janin melemah-berkurang,

pengeluaran urin berkurang.10)

5. Jadwal pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketat.

Petunjuk untuk segera memasukkan penderita ke rumah sakit atau merujuk

penderita perlu memperhatikan hal berikut:

a) Bila tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih

b) Protein dalam urin 1 plus atau lebih

c) Kenaikan berat badan 11/2 kg atau lebih dalam seminggu

d) Edema bertambah dengan mendadak

e) Terdapat gejala dan keluhan subyektif.

Seorang bidan diperkenankan merawat penderita preeklampsia berat bersifat

sementara, sampai menunggu kesempatan melakukan rujukan.10) Penanganan

abstetri ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum

janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar

uterus. Setelah persalinan berakhir, jarang terjadi eklampsia, dan janin yang sudah

cukup matur lebih baik hidup diluar kandungan dari pada dalam uterus.

2.2 Seksio Cesarea

2.2.1 Definisi

Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya

“memotong”. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia

atau lex caesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur

tersebut dilakukan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan

sekarat demi menyelamatkan calon bayinya (Cunningham et al, 2005). Seksio

sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk

mengeluarkan janin (Dorland, 2002).

Seksio sesarea merupakan prosedur operasi yang dilakukan pada fetus pada

akhir minggu ke-28 melalui penyayatan atau pengirisan pada dinding perut dan

Page 9: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

dinding rahim (Dutta, 2004). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan,

dimana janin yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut

dan dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin

diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2005).

2.2.3 Jenis Seksio Cesarea

2.2.4 Indikasi operasi

Menurut Scott (2002) dalam Sinaga (2009), melahirkan dengan seksio sesarea

sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan

ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam kadaan gawat

darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan seksio sesarea

dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu maupun bayinya.

Menurut Cunningham, et al (2005), lebih dari 85 % persalinan seksio sesarea

disebabkan oleh:

1. Riwayat seksio sesarea

2. Distosia persalinan dan kemacetan persalinan

3. Gawat janin

4. Letak sungsang

Menurut Ricci (2001) indikasi persalinan seksio sesarea dibedakan berdasarkan

beberapa faktor yaitu :

a. Faktor ibu

Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-pelvik yang

merupakan ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dengan ukuran panggul

ibu (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007). Selain itu dapat juga

disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptura uteri, partus tak maju yang merupakan,

persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18

jam pada multipara yang terjadi meskipun terdapat kontraksi uterus yang kuat,

janin tidak dapat turun karena faktor mekanis (Mochtar,1998).

b. Faktor janin

b.1. Gawat janin

Keadaan gawat janin yang disertai dengan kondisi ibu yang kurang baik

dianjurkan untuk dilakukan persalinan seksio sesarea. Jika ibu mengalami tekanan

Page 10: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

darah tinggi, kejang ataupun gangguan pada ari- ari maupun tali pusar dapat

mengakibatkan gangguan aliran oksigen kepada bayi sehingga dapat

menyebabkan kerusakan otak yang bahkan dapat menimbulkan kematian janin

dalam rahim (Oxorn, 2003).

b.2. Prolaps tali pusat

Kejadian ini lebih sering terjadi jika tali pusar panjang dan jika plasenta letaknya

rendah. Keadaan ini tidak mempengaruhi keadaan ibu secara langsung tetapi dapat

sangat membahayakan janin karena tali pusat dapat tertekan antara bagian depan

anak dan dinding panggul yang akan timbul asfiksia (Bratakoesuma, 2004).

b.3. Malpresentasi janin

i. Letak sungsang

Bayi letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang

letaknya paling rendah (Bratakoesuma, 2004). Sekarang ini banyak kelainan letak

bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea. Hal ini karena risiko

kematian dan kecacatan yang timbul karena persalinan pervaginam jauh lebih

tinggi. Secara teori penyebab kelainan ini dapat terjadi karena faktor ibu seperti

kelainan bentuk rahim, letak plasenta yang rendah ataupun tumor jinak yang

terdapat dalam rahim (Dewi, 2007).

ii. Letak Lintang

Bayi letak lintang yaitu apabila sumbu memanjang janin menyilang sumbu

memanjang ibu secara tegak lurus atau mendekati 90 derajat. Dalam kedaan

normal yang cukup bulan bayi letak lintang tidak mungkin untuk dilahirkan secara

spontan. Janin hanya dapat dilahirkan secara spontan jika janin prematur, sudah

mati serta bila panggul ibu lebar (Bratakoesuma, 1998).

c. Faktor plasenta

c.1. Plasenta previa

Letak plasenta yang ada di depan jalan lahir atau implantasi plasenta yang tidak

normal yang dapat menutupi seluruhnya ataupun sebagian dari ostium internum

sehingga dapat menghambat keluarnya bayi melalui jalan lahir (Chalik, 2008).

c.2. Solusio plasenta

Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta

yang letaknya normal dari perlekatannya diatas 22 minggu dan sebelum anak lahir

Page 11: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

(Mose, 2004). Pelepasan plasenta ini biasanya ditandai dengan perdarahan yang

keluar melalui vagina, tetapi juga dapat menetap di dalam rahim, yang dapat

menimbulkan bahaya pada ibu maupun janin. Biasanya dilakukan persalinan

seksio sesarea untuk menolong agar janin segera lahir sebelum mengalami

kekurangan oksigen ataupun keracunan oleh air ketuban, serta dapat

menghentikan perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu (Mochtar,

1998).

Menurut Dutta (2004), indikasi persalinan seksio sesarea dibagi atas dua kategori

yaitu:

a. Indikasi absolut

Apabila terjadi plasenta previa sentral, adanya Cephalopelvic Disproportion/

CPD, adanya massa pada pelvis sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan,

adanya kanker serviks, dan adanya obstruksi pada vaginal ( atresia, stenosis).

b. Indikasi relatif

Apabila ibu telah mengalami persalinan seksio sesarea sebelumnya, dijumpai

adanya fetal distress, distosia, perdarahan antepartum, malpresentasi, gangguan

tekanan darah ibu, serta adanya penyakit yang menyertai ibunya.

2.2.5 Kontraindikasi

2.2.6 Prognosis

2.2.7 Perawatan Pascaoperasi

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan seksio sesarea menurut Mochtar

(1998) yaitu:

a. Infeksi puerperal (nifas)

Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja

Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan perut

sedikit kembung.

Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai

pada partus yang terlantar, dimana sebelumnya telah timbul infeksi intrapartum

karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.

Page 12: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

b. Perdarahan yang dapat disebabkan oleh:

Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

Atonia uteri

Perdarahan pada placental bed.

c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila

reperitonialisasi terlalu tinggi.

d. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang.

2.3 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

2.3.1 Definisi

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindrom klinik

yang disebabkan oleh deposisi fibrin sistemik dan pada saat yang sama terjadi

perdarahan. Keadaan ini mengakibatkan penggunaan berlebihan faktor

pembekuan darah dan trombosit sehingga menimbulkan defisiensi faktor

pembekuan dan trombositopenia serta fibrinolisis sekunder yang menghasilkan

FDP (fibrin/fibrinogen degradation product) yang bekerja sebagai antikoagulan.

Adanya deposisi fibrin dan kedua hal di atas menyebabkan terjadinya perdarahan

dan thrombosis pada saat bersamaan.

DIC merupakan kelainan trombohemoragik akut atau kronik, yang terjadi

sebagai komplikasi sekunder berbagai penyakit dan meningkatkan risiko

kematian yang terkait dengan penyakit utama. Keadaan DIC ditandai oleh

aktifnya rangkaian proses pembekuan yang menimbulkan endapan fibrin di

seluruh sirkulasi mikro. Akibat meluasnya trombosis tersebut, terdapat

penggunaan trombosit dan faktor pembekuan secara berlebihan, lalu secara

sekunder terjadi pengaktifan fibrinolisis. Jadi, DIC dapat menyebabkan hipoksia

jaringan dan infark mikro sebagai akibat mikrotrombi yang sangat banyak

maupun kelainan perdarahan yang berkaitan dengan kekurangan unsur-unsur yang

diperlukan untuk hemostasis (Corrigan James, 1999).

2.3.2 Etiologi

DIC dapat diklasifikasikan atas keadaan akut atau kronis. Pada DIC akut,

proses koagulasi normal lokal tidak dapat mengkompensasi dan kelainan pun

menjadi sistemik dan maladaptive. Sedangkan pada DIC kronik,proses yang

Page 13: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

terjadi sama dengan DIC akut namun aktivasi dari sistem koagulasi cenderung

ringan, berkepanjangan dan lebih terkontrol. Biasanya respon kompensasi masih

mampu bekerja dengan baik. Risiko perdarahan cenderung lebih rendah, tetapi di

sisi lain meningkatkan kondisi hiperkoagulasi yang dapat menimbulkan

thrombosis vena atau arteri.

Beberapa kondisi penyakit yang sering menyebabkan DIC adalah :

Infeksi : - bakteri (gram negatif, gram positif,

ricketsia)

- virus (HIV, varicella, CMV, hepatitis,

virus dengue)

- fungal (histoplasma)

- parasit (malaria)

Keganasan : - Hematologi (AML)

- Metastase(mucin secreting

adenocarcinoma)

Trauma kepala berat : aktivasi tromboplastin jaringan.

Kebakaran

Reaksi transfusi

Gigitan ular  

Penyakit hati : gagal hati akut

Keganasan : tumor solid, leukemia 

Obstetri : intrauterin fetal death, ablasio plasenta 

Hematologi : sindrom mieloproliferatif 

Vaskular : rematoid artritis, penyakit Raynaud

Cardiovascular : infark miokard 

Inflamasi : ulcerative colitis, penyakit crohn,

sarcoidosis

2.3.3 Patofisiologi

Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya :

1. Consumptive Coagulopathy

Page 14: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi

sistem pembekuan darah secara sistemik.Trombosit yang menurun terus-menerus,

komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan

merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena

dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk

fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan thrombus

mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan

fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan

terjadi komplikasi perdarahan.

 Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi

sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam

sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin)

juga justru dapat menyebabkan perdarahan.Karenanya, pasien dengan DIC

dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan,

keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.

  Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup

kompleks.Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan

thrombin dengan perantara faktor pembekuan darah.Kedua, terdapat disfungsi

fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C,

yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus.Sebenarnya ada juga

jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan

gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah.

Sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya

kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa

kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang

menyebabkan perdarahan

2. Depresi Prokoagulan

Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur

aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipat gandakan pembentukan

trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin,

antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini

Page 15: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh

enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi

serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien

DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III

yang rendah juga diduga berperan menyebabkan terjadinya DIC hingga

mencapai gagal organ.

Gangguan pada sistem protein C dapat menganggu regulasi aktivitas

koagulasi. Penurunan aktivitas protein C disebabkan oleh gabungan sintesis

protein, penurunan aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin

dan kurangnya kadar protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah

menjadi protease aktif oleh thrombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue

factor yang merupakan pencetus DIC dihambat oleh tissue factor-pathway

inhibitor (TFPI).

3. Defek Fibrinolisis

Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis

akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh

darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan

menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC

yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein

C,dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin

akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang

jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa

tipe adenokarsinoma (mis. kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis,

meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap

berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada

pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks

trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan

organ, bahkan kematian.

Page 16: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

Gambar 1. 7 Patofisiologi DIC Menurut Porth

2.3.4 Manifestasi Klinis

DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis

kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit

yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli,

disfungsi organ, dan perdarahan.

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:

a. Sirkulasi

Dapat terjadi syok hemoragik 

b. Susunan saraf pusat

Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma

Perdarahan Intrakranial

c. Sistem Kardiovaskular 

Hipotensi

Takikardi

Kolapsnya pembuluh darah perifer 

d. Sistem Respirasi

Page 17: Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic

Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang

dapat menyebabkan kematian.

e. Sistem Gastrointestinal

Hematemesis

Hematochezia

f. Sistem Genitourinaria

Hematuria

Oliguria

Metrorrhagia

Perdarahan uterus

g. Sistem Dermatologi

Petechiae

Jaundice (akibat disfungsi hati atau hemolysis)

Purpura

Bulae hemoragik 

Acral sianosis

Nekrosis kulit pada ekstrimitas bawah (purpura fulminans)

Infark lokal / gangren

Hematom dan mudah terjadinya perdarahan pada tempat luka

Thrombosis

2.3.5 Diagnosis

2.3.6 Penatalaksanaan

2.3.7 Prognosis