Download - Tinjauan Pustaka Peb, Sc, Dic
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pre-eklamsia Berat
2.1.1 Definisi
Preeklampsi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah paling sedikit
140/90, proteinuria dengan atau tanpa edema. Edema tidak lagi dimasukkan dalam
kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.
Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam. Preeklampsi
merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi pada masa kehamilan,
persalinan dan masa nifas. Dari gejala-gejala klinik preeklampsi dapat dibagi
menjadi preeklampsi ringan dan preeklampsi berat (Haryono, 2006).
Preeklampsi adalah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi
(hipertensi), disertai protein dalam urine (proteinuria) dengan atau tanpa edema
yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester
ketiga kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan. Sering
tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga
tanpa disadari dalam waktu singkat terjadi preeklampsi berat bahkan dapat
menjadi eklampsi yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma.
Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan preeklampsi berat dan
eklampsi (Sarwono, 2008).
Preeklampsi merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
Universitas Sumatera Utara peningkatan tekanan darah dan proteinuria.
Preeklampsi terjadi pada umur kehamilan di atas 20 minggu, paling banyak
terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada
pertengahan kehamilan. Preeklampsi dapat berkembang dari preeklampsi yang
ringan sampai preeklampsi yang berat (Cunningham et al, 2003).
Preeklampsi berat adalah suatu sindrom yang dijumpai pada ibu hamil di
atas 20 minggu yang ditandai dengan tekanan darah >160/110 mmHg, proteinuria
≥+2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,
gangguan penglihatan dan oliguria (Hariadi, 2004)
Superimposed preeklamsi adalah preeklampsi yang terjadi pada wanita
menderita hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Hipertensi kronik yaitu hipertensi
oleh sebab apapun yang ditemukan atau timbul sebelum kehamilan 20 minggu
tanpa adanya molahidatidosa atau hipertensi yang menetap setelah 6 minggu
pasca persalinan (Chistopher, 2006).
Eklampsi disertai kejang yang terjadi pada kehamilan atau post partum yang
bukan disebabkan penyakit/gangguan lain yang terjadi pada otak. Sering terjadi
pada primigravida muda dan meningkat pada kehamilan kembar. Diagnosis
ditegakkan dengan adanya kejang, proteinuria dengan atau tanpa edema setelah
hamil 20 minggu atau 48 jam post partum. Lebih kurang 75% terjadi pada ante
partum dan 25% terjadi pada post partum. Faktor risiko terjadinya eklampsi antara
lain nullipara, hamil kembar, kehamilan mola, hipertensi dan penyakit ginjal
sebelum kehamilan, adanya preeklampsi berat dan eklampsi pada kehamilan
sebelumnya dan pada hidropsfetalis. Gejala-gejala yang sering timbul sebelum
kejang adalah sakit kepala dan gangguan visus (Sastrawinata, 2004).
2.1.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab preeklampsi/eklampsi belum diketahui secara
pasti. Beberapa teori tentang etiologi preeklampsi/eklampsi telah diajukan belum
ada yang memuaskan, sehingga penyakit ini disebut “the disease of theories”.
Setiap teori menunjukkan bahwa hipertensi yang ditimbulkan akan diperberat oleh
kehamilan yang terjadi pada ibu terpapar villi korialis untuk pertama kalinya
dengan jumlah besar, mempunyai riwayat penyakit vaskular atau mempunyai
kecenderungan genetik (Cunningham, 2003).
Ada 4 hipotesis sebagai konsep etiologi dan patogenesis preeklampsi berat
dan eklampsi (Dekker & Sibai, 1998):
1. Iskemia Plasenta
Pada preeklampsi berat perubahan arteri spiralis terbatas hanya pada lapisan
desidua dan arteri spiralis yang mengalami perubahan hanya lebih kurang 35-
50%. Akibatnya perfusi darah ke plasenta berkurang dan terjadi iskemia plasenta.
2. Maladaptasi Imun
Maladaptasi imun menyebabkan dangkalnya invasi arteri spiralis oleh sel-
sel sitotrofoblast endovaskular dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh
peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim proteolitik dan radikal bebas.
3. Genetik Imprinting
Timbulnya preeklampsi berat/eklampsi didasarkan pada gen resesif tunggal
atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna.
4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing
Activity (TxPA)
Terjadi akibat kompensasi meningkatnya kebutuhan energi selama hamil
dengan memproses asam lemak non sterifikasi. Pada wanita dengan kadar
albumin yang rendah, pengangkutan kelebihan asam lemak nonsterifikasi dan
jaringan lemak ke dalam hepar menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai
pada titik dimana toksisitas VLDL menjadi terekspresikan. Jika kadar VLDL
melebihi TxPA maka efek toksik dan VLDL akan muncul dan menyebabkan
disfungsi endotel.
Keempat faktor etiologi preeklampsi berat/eklampsi ini saling berkaitan
dan akhirnya invasi sel-sel trofoblast abnormal, iskemia plasenta dan kerusakan
serta aktivasi sel-sel endotel merupakan titik temu dan fenomena preeklampsi
berat/eklampsi (Dekker & Sibai, 1998).
Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsi adalah teori
“iskemia plasenta”. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang
berkaitan dengan penyakit preeklampsi/eklampsi (Rustam, 1998). Adapun teori-
teori lain yang dipakai sebagai penyebab preeklampsi tersebut adalah :
a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsi dan eklampsi didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume
plasma.
b. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsi sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna. Pada preeklampsi terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
c. Peran Faktor Genetik
Preeklampsi hanya terjadi pada manusia. Preeklampsi meningkat pada anak
dari ibu yang menderita preeklampsi.
d. Iskemik dari uterus. Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus.
e. Defisiensi kalsium
Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan
vasodilatasi dari pembuluh darah.
f. Disfungsi dan Aktivasi dari Endotelial
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
patogenesis terjadinya preeklampsi. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang
mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil
dengan preeklampsi. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester
pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan
kehamilan.
2.1.3 Patofisiologi
Sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum
diketahui.3,11,19,21) Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab –
musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang
memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: (1)
sebab bertambahnya frekuensi pada primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion
dan mola hidatidosa; (2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya
kehamilan; (3) sebab terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian
janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-
kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria,
kejang dan koma.3)
Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan
ischaemia rahim dan plascenta (ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan
uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion,
kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada
penyakit pembuluh darah ibu, diabetes , peredaran darah dalam dinding rahim
kurang, maka keluarlah zat-zat dari placenta atau decidua yang menyebabkan
vasospasmus dan hipertensi.19) Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan
semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu
faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia.3)
Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan
angiotensin, renin, dan aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah
dan metabolisme dapat berlangsung. Pada pre-eklampsia dan eklampsia, terjadi
penurunan angiotensin, renin, dan aldosteron, tetapi dijumpai edema,
hipertensi, dan proteinuria. Berdasarkan teori iskemia implantasi plasenta, bahan
trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi, yang dapat meningkatkan sensitivitas
terhadap angiotensin II, renin, dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol
dan tertahannya garam dan air.10) Teori iskemia daerah implantasi plasenta,
didukung kenyataan sebagai berikut:
1. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil
ganda, dan mola hidatidosa.
2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan
3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin.10)
Dampak terhadap janin, pada pre-eklapsia / eklampsia terjadi vasospasmus
yang menyeluruh termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat
menurunya aliran darah ke placenta. Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi
fetoplacentair yang berfungsi baik sebagai nutritive maupun oksigenasi. Pada
gangguan yang kronis akan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin didalam
kandungan disebabkan oleh mengurangnya pemberian karbohidrat, protein, dan
faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang seharusnya diterima oleh janin.22)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Preeklampsi ringan ditandai dengan gejala meningkatnya tekanan darah
yang mendadak (sebelum hamil tekanan darah normal) ≥140/90 mmHg dan
adanya protein urine (diketahui dari pemeriksaan laboratorium urine) +1/+2 dan
terjadi pada usia kehamilan di atas 20 minggu (Wibisono dan Dewi, 2009).
Tanda dan gejala preeklampsi ringan dalam kehamilan, antara lain edema
(pembengkakan) terutama tampak pada tungkai, muka disebabkan ada
penumpukan cairan yang berlebihan di sela-sela jaringan tubuh, tekanan darah
tinggi dan dalam air seni terdapat zat putih telur (pemeriksaan urine dari
laboratorium). Preeklampsi berat terjadi bila ibu dengan preeklampsi ringan tidak
dirawat, ditangani dan diobati dengan benar. Preeklampsi berat bila tidak
ditangani dengan benar akan terjadi kejang-kejang menjadi eklampsi (Bandiyah,
2009).
Preeklampsi terjadinya karena adanya mekanisme imunolog yang kompleks
dan aliran darah ke plasenta berkurang. Akibatnya suplai zat makanan yang
dibutuhkan janin berkurang. Makanya, preeklampsi semakin parah atau
berlangsung lama bisa menghambat pertumbuhan janin. Preeklampsi dapat
menyebabkan bahaya pada ibu dan janin. Gejalanya adalah pembengkakan pada
beberapa bagian tubuh, terutama muka dan tangan. Lebih gawat lagi apabila
disertai peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba serta kadar protein yang tinggi
pada urin (Indiarti, 2009).
Preeklampsi harus segera diatasi, bila tidak akan berlanjut menjadi eklampsi
yang ditandai dengan kejang, bahkan sampai koma, karena dalam darah ibu hamil
yang mengalami preeklampsi ditemukan adanya zat yang bisa menghancurkan sel
endotel yang melapisi pembuluh darah. Kondisi ini sangat berbahaya bagi ibu
hamil dan janin, jika tidak segera ditangani akan terjadi kerusakan menetap pada
syaraf, pembuluh darah atau ginjal ibu. Sementara itu, bayi akan mengalami
keterbelakangan mental sebab kurangnya aliran darah melalui plasenta dan
oksigen di otak (Indiarti, 2009).
Menurut Bandiyah (2009), bahaya preeklampsi dalam kehamilan antara
lain preeklampsi berat, timbul serangan kejang-kejang (eklampsi). Sedangkan
bahaya pada janin antara lain memberikan gangguan pertumbuhan janin dalam
rahim ibu dan bayi lahir lebih kecil, mati dalam kandungan. Bahaya preeklampsi
berat dalam kehamilan antara lain bahaya bagi ibu dapat tidak sadar dan bahaya
bagi janin dalam kehamilan antara lain gangguan pertumbuhan janin dan bayi
lahir kecil, mati dalam kandungan.
2.1.6 Penatalaksanaan
Eklampsia merupakan komplikasi obstetri kedua yang menyebabkan 20 –
30% kematian ibu. Komplikasi ini sesungguhnya dapat dikenali dan dicegah sejak
masa kehamilan (preeklampsia). Preeklampsia yang tidak mendapatkan tindak
lanjut yang adekuat ( dirujuk ke dokter, pemantauan yang ketat, konseling dan
persalinan di rumah sakit ) dapat menyebabkan terjadinya eklampsia pada
trimester ketiga yang dapat berakhit dengan kematian ibu dan janin.
Penanganan pre-eklampsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi
eklampsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan
optimal dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal. Pengobatan hanya
dilakukan secara simtomatis karena etiologi pre-eklampsia, dan faktor-faktor apa
dalam kahamilan yang menyebabkannya, belum diketahui. Tujuan utama
penanganan ialah (1) mencegah terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia; (2)
melahirkan janin hidup; (3) melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.
Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medik dan
penanganan obtetrik.3)
Pada pre-eklampsia ringan ( tekanan darah 140/90 mmHg samoai 160/100
mmHg ) penanganan simtomatis dan berobat jalan masih mungkin ditangani di
puskesmas dan dibawah pengawasan dokter, dengan tindakan yang diberikan:
1. Menganjurkan ibu untuk istirahat ( bila bekerja diharuskan cuti ), dan
menjelaskan kemungkinan adanya bahaya. )
2. Sedativa ringan.
a. Phenobarbital 3 x 30 mg
b. Valium 3 x 10 mg
3. Obat penunjang
a. Vitamin B kompleks
b. Vitamin C atau vitamin E
c. Zat besi
4. Nasehat
a. Garam dalam makan dukurangi
b. Lebih banyak istirahat baring kearah punggung janin
c. Segera datang memeriksakan diri, bila terdapat gejala sakit kepala, mata kabur,
edema mendadak atau berat badan naik, pernafasan semakin sesak, nyeri
epigastrium, kesadaran makin berkurang, gerak janin melemah-berkurang,
pengeluaran urin berkurang.10)
5. Jadwal pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketat.
Petunjuk untuk segera memasukkan penderita ke rumah sakit atau merujuk
penderita perlu memperhatikan hal berikut:
a) Bila tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
b) Protein dalam urin 1 plus atau lebih
c) Kenaikan berat badan 11/2 kg atau lebih dalam seminggu
d) Edema bertambah dengan mendadak
e) Terdapat gejala dan keluhan subyektif.
Seorang bidan diperkenankan merawat penderita preeklampsia berat bersifat
sementara, sampai menunggu kesempatan melakukan rujukan.10) Penanganan
abstetri ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum
janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar
uterus. Setelah persalinan berakhir, jarang terjadi eklampsia, dan janin yang sudah
cukup matur lebih baik hidup diluar kandungan dari pada dalam uterus.
2.2 Seksio Cesarea
2.2.1 Definisi
Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya
“memotong”. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia
atau lex caesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur
tersebut dilakukan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan
sekarat demi menyelamatkan calon bayinya (Cunningham et al, 2005). Seksio
sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk
mengeluarkan janin (Dorland, 2002).
Seksio sesarea merupakan prosedur operasi yang dilakukan pada fetus pada
akhir minggu ke-28 melalui penyayatan atau pengirisan pada dinding perut dan
dinding rahim (Dutta, 2004). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan,
dimana janin yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut
dan dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin
diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2005).
2.2.3 Jenis Seksio Cesarea
2.2.4 Indikasi operasi
Menurut Scott (2002) dalam Sinaga (2009), melahirkan dengan seksio sesarea
sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan
ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam kadaan gawat
darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan seksio sesarea
dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu maupun bayinya.
Menurut Cunningham, et al (2005), lebih dari 85 % persalinan seksio sesarea
disebabkan oleh:
1. Riwayat seksio sesarea
2. Distosia persalinan dan kemacetan persalinan
3. Gawat janin
4. Letak sungsang
Menurut Ricci (2001) indikasi persalinan seksio sesarea dibedakan berdasarkan
beberapa faktor yaitu :
a. Faktor ibu
Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-pelvik yang
merupakan ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dengan ukuran panggul
ibu (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007). Selain itu dapat juga
disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptura uteri, partus tak maju yang merupakan,
persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18
jam pada multipara yang terjadi meskipun terdapat kontraksi uterus yang kuat,
janin tidak dapat turun karena faktor mekanis (Mochtar,1998).
b. Faktor janin
b.1. Gawat janin
Keadaan gawat janin yang disertai dengan kondisi ibu yang kurang baik
dianjurkan untuk dilakukan persalinan seksio sesarea. Jika ibu mengalami tekanan
darah tinggi, kejang ataupun gangguan pada ari- ari maupun tali pusar dapat
mengakibatkan gangguan aliran oksigen kepada bayi sehingga dapat
menyebabkan kerusakan otak yang bahkan dapat menimbulkan kematian janin
dalam rahim (Oxorn, 2003).
b.2. Prolaps tali pusat
Kejadian ini lebih sering terjadi jika tali pusar panjang dan jika plasenta letaknya
rendah. Keadaan ini tidak mempengaruhi keadaan ibu secara langsung tetapi dapat
sangat membahayakan janin karena tali pusat dapat tertekan antara bagian depan
anak dan dinding panggul yang akan timbul asfiksia (Bratakoesuma, 2004).
b.3. Malpresentasi janin
i. Letak sungsang
Bayi letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang
letaknya paling rendah (Bratakoesuma, 2004). Sekarang ini banyak kelainan letak
bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea. Hal ini karena risiko
kematian dan kecacatan yang timbul karena persalinan pervaginam jauh lebih
tinggi. Secara teori penyebab kelainan ini dapat terjadi karena faktor ibu seperti
kelainan bentuk rahim, letak plasenta yang rendah ataupun tumor jinak yang
terdapat dalam rahim (Dewi, 2007).
ii. Letak Lintang
Bayi letak lintang yaitu apabila sumbu memanjang janin menyilang sumbu
memanjang ibu secara tegak lurus atau mendekati 90 derajat. Dalam kedaan
normal yang cukup bulan bayi letak lintang tidak mungkin untuk dilahirkan secara
spontan. Janin hanya dapat dilahirkan secara spontan jika janin prematur, sudah
mati serta bila panggul ibu lebar (Bratakoesuma, 1998).
c. Faktor plasenta
c.1. Plasenta previa
Letak plasenta yang ada di depan jalan lahir atau implantasi plasenta yang tidak
normal yang dapat menutupi seluruhnya ataupun sebagian dari ostium internum
sehingga dapat menghambat keluarnya bayi melalui jalan lahir (Chalik, 2008).
c.2. Solusio plasenta
Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta
yang letaknya normal dari perlekatannya diatas 22 minggu dan sebelum anak lahir
(Mose, 2004). Pelepasan plasenta ini biasanya ditandai dengan perdarahan yang
keluar melalui vagina, tetapi juga dapat menetap di dalam rahim, yang dapat
menimbulkan bahaya pada ibu maupun janin. Biasanya dilakukan persalinan
seksio sesarea untuk menolong agar janin segera lahir sebelum mengalami
kekurangan oksigen ataupun keracunan oleh air ketuban, serta dapat
menghentikan perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu (Mochtar,
1998).
Menurut Dutta (2004), indikasi persalinan seksio sesarea dibagi atas dua kategori
yaitu:
a. Indikasi absolut
Apabila terjadi plasenta previa sentral, adanya Cephalopelvic Disproportion/
CPD, adanya massa pada pelvis sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan,
adanya kanker serviks, dan adanya obstruksi pada vaginal ( atresia, stenosis).
b. Indikasi relatif
Apabila ibu telah mengalami persalinan seksio sesarea sebelumnya, dijumpai
adanya fetal distress, distosia, perdarahan antepartum, malpresentasi, gangguan
tekanan darah ibu, serta adanya penyakit yang menyertai ibunya.
2.2.5 Kontraindikasi
2.2.6 Prognosis
2.2.7 Perawatan Pascaoperasi
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan seksio sesarea menurut Mochtar
(1998) yaitu:
a. Infeksi puerperal (nifas)
Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan perut
sedikit kembung.
Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai
pada partus yang terlantar, dimana sebelumnya telah timbul infeksi intrapartum
karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b. Perdarahan yang dapat disebabkan oleh:
Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
Atonia uteri
Perdarahan pada placental bed.
c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonialisasi terlalu tinggi.
d. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang.
2.3 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
2.3.1 Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindrom klinik
yang disebabkan oleh deposisi fibrin sistemik dan pada saat yang sama terjadi
perdarahan. Keadaan ini mengakibatkan penggunaan berlebihan faktor
pembekuan darah dan trombosit sehingga menimbulkan defisiensi faktor
pembekuan dan trombositopenia serta fibrinolisis sekunder yang menghasilkan
FDP (fibrin/fibrinogen degradation product) yang bekerja sebagai antikoagulan.
Adanya deposisi fibrin dan kedua hal di atas menyebabkan terjadinya perdarahan
dan thrombosis pada saat bersamaan.
DIC merupakan kelainan trombohemoragik akut atau kronik, yang terjadi
sebagai komplikasi sekunder berbagai penyakit dan meningkatkan risiko
kematian yang terkait dengan penyakit utama. Keadaan DIC ditandai oleh
aktifnya rangkaian proses pembekuan yang menimbulkan endapan fibrin di
seluruh sirkulasi mikro. Akibat meluasnya trombosis tersebut, terdapat
penggunaan trombosit dan faktor pembekuan secara berlebihan, lalu secara
sekunder terjadi pengaktifan fibrinolisis. Jadi, DIC dapat menyebabkan hipoksia
jaringan dan infark mikro sebagai akibat mikrotrombi yang sangat banyak
maupun kelainan perdarahan yang berkaitan dengan kekurangan unsur-unsur yang
diperlukan untuk hemostasis (Corrigan James, 1999).
2.3.2 Etiologi
DIC dapat diklasifikasikan atas keadaan akut atau kronis. Pada DIC akut,
proses koagulasi normal lokal tidak dapat mengkompensasi dan kelainan pun
menjadi sistemik dan maladaptive. Sedangkan pada DIC kronik,proses yang
terjadi sama dengan DIC akut namun aktivasi dari sistem koagulasi cenderung
ringan, berkepanjangan dan lebih terkontrol. Biasanya respon kompensasi masih
mampu bekerja dengan baik. Risiko perdarahan cenderung lebih rendah, tetapi di
sisi lain meningkatkan kondisi hiperkoagulasi yang dapat menimbulkan
thrombosis vena atau arteri.
Beberapa kondisi penyakit yang sering menyebabkan DIC adalah :
Infeksi : - bakteri (gram negatif, gram positif,
ricketsia)
- virus (HIV, varicella, CMV, hepatitis,
virus dengue)
- fungal (histoplasma)
- parasit (malaria)
Keganasan : - Hematologi (AML)
- Metastase(mucin secreting
adenocarcinoma)
Trauma kepala berat : aktivasi tromboplastin jaringan.
Kebakaran
Reaksi transfusi
Gigitan ular
Penyakit hati : gagal hati akut
Keganasan : tumor solid, leukemia
Obstetri : intrauterin fetal death, ablasio plasenta
Hematologi : sindrom mieloproliferatif
Vaskular : rematoid artritis, penyakit Raynaud
Cardiovascular : infark miokard
Inflamasi : ulcerative colitis, penyakit crohn,
sarcoidosis
2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya :
1. Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi
sistem pembekuan darah secara sistemik.Trombosit yang menurun terus-menerus,
komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan
merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena
dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk
fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan thrombus
mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan
fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan
terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi
sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam
sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin)
juga justru dapat menyebabkan perdarahan.Karenanya, pasien dengan DIC
dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan,
keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup
kompleks.Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan
thrombin dengan perantara faktor pembekuan darah.Kedua, terdapat disfungsi
fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C,
yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus.Sebenarnya ada juga
jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan
gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah.
Sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya
kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa
kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang
menyebabkan perdarahan
2. Depresi Prokoagulan
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur
aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipat gandakan pembentukan
trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin,
antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini
disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh
enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi
serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien
DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III
yang rendah juga diduga berperan menyebabkan terjadinya DIC hingga
mencapai gagal organ.
Gangguan pada sistem protein C dapat menganggu regulasi aktivitas
koagulasi. Penurunan aktivitas protein C disebabkan oleh gabungan sintesis
protein, penurunan aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin
dan kurangnya kadar protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah
menjadi protease aktif oleh thrombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue
factor yang merupakan pencetus DIC dihambat oleh tissue factor-pathway
inhibitor (TFPI).
3. Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis
akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh
darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan
menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC
yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein
C,dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin
akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang
jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa
tipe adenokarsinoma (mis. kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis,
meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap
berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada
pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks
trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan
organ, bahkan kematian.
Gambar 1. 7 Patofisiologi DIC Menurut Porth
2.3.4 Manifestasi Klinis
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis
kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit
yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli,
disfungsi organ, dan perdarahan.
Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:
a. Sirkulasi
Dapat terjadi syok hemoragik
b. Susunan saraf pusat
Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma
Perdarahan Intrakranial
c. Sistem Kardiovaskular
Hipotensi
Takikardi
Kolapsnya pembuluh darah perifer
d. Sistem Respirasi
Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang
dapat menyebabkan kematian.
e. Sistem Gastrointestinal
Hematemesis
Hematochezia
f. Sistem Genitourinaria
Hematuria
Oliguria
Metrorrhagia
Perdarahan uterus
g. Sistem Dermatologi
Petechiae
Jaundice (akibat disfungsi hati atau hemolysis)
Purpura
Bulae hemoragik
Acral sianosis
Nekrosis kulit pada ekstrimitas bawah (purpura fulminans)
Infark lokal / gangren
Hematom dan mudah terjadinya perdarahan pada tempat luka
Thrombosis
2.3.5 Diagnosis
2.3.6 Penatalaksanaan
2.3.7 Prognosis