peb sessya.doc

56
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator utama status kesehatan di suatu masyarakat. Umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik-buruknya keadaan pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara. AKI didasarkan pada risiko kematian ibu berkaitan dengan proses melahirkan, persalinan, perawatan obstetrik, komplikasi kehamilan dan masa nifas. Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang sedang hamil atau dalam periode 42 hari setelah akhir kehamilannya, tanpa memandang lama dan lokasi kehamilan. Kematian tersebut disebabkan oleh berbagai penyebab yang berhubungan dengan kehamilan atau diperburuk oleh kehamilan atau penatalaksanaannya, tetapi bukan akibat kecelakaan atau trauma langsung.(Saifuddin, 2011) Di negara-negara miskin dan sedang berkembang, kematian maternal merupakan masalah besar namun sejumlah kematian yang cukup besar tidak dilaporkan dan tidak tercatat dalam statistik resmi. Tingkat kematian maternal di negara-negara maju berkisar antara 5 – 10 per 100.000 kelahiran penduduk, sedangkan di Negara berkembang salah satunya, Indonesia, diperkirakan terjadi kematian maternal sekitar 450 per 100.000 kelahiran hidup dalam 10 tahun terakhir (1990-2000). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan bahwa AKI pada tahun 2007 1

Upload: roro

Post on 06-Sep-2015

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator utama status kesehatan di suatu masyarakat. Umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik-buruknya keadaan pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara. AKI didasarkan pada risiko kematian ibu berkaitan dengan proses melahirkan, persalinan, perawatan obstetrik, komplikasi kehamilan dan masa nifas. Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang sedang hamil atau dalam periode 42 hari setelah akhir kehamilannya, tanpa memandang lama dan lokasi kehamilan. Kematian tersebut disebabkan oleh berbagai penyebab yang berhubungan dengan kehamilan atau diperburuk oleh kehamilan atau penatalaksanaannya, tetapi bukan akibat kecelakaan atau trauma langsung.(Saifuddin, 2011)Di negara-negara miskin dan sedang berkembang, kematian maternal merupakan masalah besar namun sejumlah kematian yang cukup besar tidak dilaporkan dan tidak tercatat dalam statistik resmi. Tingkat kematian maternal di negara-negara maju berkisar antara 5 10 per 100.000 kelahiran penduduk, sedangkan di Negara berkembang salah satunya, Indonesia, diperkirakan terjadi kematian maternal sekitar 450 per 100.000 kelahiran hidup dalam 10 tahun terakhir (1990-2000). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan bahwa AKI pada tahun 2007 sebesar 226 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu ini turun bila dibandingkan pada tahun 2002 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup.(Depkes, 2009)Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu yang tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS dan penyakit kardiovaskuler. Secara global 80% kematian ibu tergolong pada kematian ibu langsung. Pola penyebab langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan (25%, biasanya perdarahan pada persalinan), sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%), komplikasi abortus yang tidak aman (13%) dan sebab-sebab lain (8%).(Saifuddin, 2002)Tiga penyebab utama kematian maternal adalah perdarahan, infeksi dan preeklampsia/hipertensi dalam kehamilan. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu dan teknologi di bidang kesehatan, perdarahan dapat diturunkan prevalensinya asalkan penolong dapat bertindak cepat dan tepat dan dapat diberikan resusitasi cairan beserta transfuse yang adekuat. Sedangkan sepsis / infeksi yang mungkin terjadi, juga bisa dicegah kejadiannya dengan pemberian antibiotik yang sampai saat ini juga perkembangannya terus berkembang pesat, seiring dengan meningkatnya tingkat resistensi. Penyebab ketiga terbesar terakhir adalah preeklampsia, yang penyebabnya sampai saat ini masih belum jelas dan kemunculannya pun biasanya pada trimester akhir kehamilan. Hal inilah yang membuat preeklampsia secara tidak langsung dinilai jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan perdarahan dan infeksi/sepsis. Berdasarkan hasil penelitian terbaru, preeklampsia menempati posisi sebagai penyebab tersering kematian maternal, khususnya di Indonesia. Eklampsia secara global terjadi pada 0,5 % kelahiran hidup dan 4,5 % hipertensi dalam kehamilan. Preeklampsia mempengaruhi banyak organ vital. Pasca konvulsi pada eklampsia dapat menyebabkan kerusakan ginjal, hati, edema paru, perdarahan serebral dan ablasio retina. Selain memiliki dampak yang buruk untuk sang ibu, preeklampsia juga dapat berakibat buruk bagi janin yang dikandung.(Saifuddin, 2011)Karena banyaknya penyebab kematian maternal dan perniatal beserta dengan komplikasinya maka diharapkan terdapat peningkatan pelayanan kesehatan untuk dapat menurunkan AKI dan AKB. Pelayanan kesehatan primer diperkirakan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu sampai 20 %, namun dengan sistem rujukan yang efektif, angka kematian dapat ditekan sampai 80%. Menurut UNICEF, 80 % kematian ibu dan perinatal terjadi di rumah sakit rujukan. Walaupun kualitas pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dipengaruhi oleh banyak faktor, namun kemampuan tenaga kesehatan (bidan, dokter, dokter spesialis) merupakan salah satu faktor utama. Maka dari itu sebagi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan di masyarakat, klinisi harus benar-benar menjalankan upaya Safe Motherhood yang terdiri dari empat pilar : (1) Keluarga Berencana, (2) Asuhan Antenatal, (3) Pelayanan persalinan bersih dan aman, (4) Pelayanan Obstetri Esensial. Khusus untuk pelayanan obstetri esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetri untuk risiko tinggi seperti ibu hamil dengan preeclampsia.(Saifuddin,2002)BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut Report on The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183, 5. July 2000), hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan sebagai berikut (Roeshandi, 2004) :

a. Hipertensi Gestasional

Hipertensi pada kehamilan > 20 minggu , dengan tekanan darah 140/90 mmHg, tanpa disertai proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum 12 minggu pasca-persalinan .

b. Preeklampsia

Apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu disertai proteinuria 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick 1 + .

c. Eklampsia

Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai dengan koma .

d. Hipertensi Kronik

Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20 minggu ditemukan tekanan darah 140/90 mmHg dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca-persalinan .

e. Hipertensi Kronis dengan Super Imposed Preeklampsia

Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria 300mg/24 jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai tanda dan gejala preeklampsia lainnya.

Hipertensi Gestasional jika tidak tertangani dengan baik dapat berkembang menjadi preeklampsia / eklampsia atau menetap sampai pasca persalinan menjadi hipertensi kronis. Preeklampsia / eklampsia merupakan suatu keadaan yang sangat merugikan baik untuk ibu maupun untuk janin, khususnya untuk preeklampsia berat yang dewasa ini lebih sering terjadi merupakan resiko yang membahayakan ibu dan juga janin yang dikandungnya.(Roesandi, 2004)Preeklampsia dan eklampsia merupakan kelainan progresif yang hanya ditemukan pada kehamilan serta menjadi salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin (Shah, 2009). Preeklampsia merupakan suatu sindroma spesifik pada kehamilan yang diakibatkan oleh kerusakan luas pada vaskular endotel dan vasospasme dan biasanya terjadi setelah minggu ke-20 gestasi dan bisa juga muncul pada minggu ke 4-6 postpartum. Secara klinis biasa ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria, dengan atau tanpa edema patologik.(Rozikhan, 2007)Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan. Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari secara cepat dapat terjadi perkembangan secara cepat menjadi preeklampsia berat bahkan dapat menjadi eklampsia.(Roeshandi, 2007)Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg dengan menggunakan fase V Korotkoff untuk menentukan tekanan diastolik. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan dua kali selang empat jam. Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak digunakan lagi

Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema yang dahulu digunakan sebagai tanda-tanda preeklampsia adalah edema tungkai, tetapi sekarang sudah tidak digunakan lagi kecuali edema generalisata (anasarka) yang biasanya disertai dengan kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu. Bagi primigravida yang mempunyai kenaikan berat badan rendah, yaitu < 0,34 kg/mg akan menurunkan resiko terjadinya hipertensi, tetapi menaikkan risiko berat badan bayi rendah.Proteinuria merupakan tanda penting dari preeklampsia, tanpa proteinuria belum dapat dikatakan preeklampsia (Rozikhan, 2007). Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 g/liter dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2+ atau 1g/liter dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat daripada hipertensi dan kenaikan berat badan. Proteinuria sering ditemukan pada preeklampsia, rupa-rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darah ginjal, karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2009).B. Insidensi

Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia berbeda-beda diberbagai belahan dunia, terutama angka prevalensinya akan tinggi pada negara berkembang dibandingkan dengan negara maju (Crayonpedia, 2009). Di Afrika sub-Sahara, angka kematian ibu rata-rata 600 per 100.000 kelahiran hidup, di Asia Selatan 500 per 100.000 kelahiran; di Asia Tenggara dan Amerika Latin 300 per 100.000 kelahiran hidup.(Roeshandi, 2007)Berdasarkan hasil penelitian dibeberapa rumah sakit di Indonesia, angka kejadian preeklampsia sangat bervariasi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.(Roeshandi, 2004)Tabel 3. Angka Kejadian Preeklampsia dan Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia (Girsang, 2004)

TahunRumah SakitPersent (%)Penulis

1993-1997RSPM5,75Simanjuntak J.

1996-199712 Rumah Sakit0,8-14Tribawono A.

1995-1998RSHS13,0Maizia

2000-2002RSHAM-RSPM7,0Girsang E.

2002RSCM9,17Priyatini

C. Etiologi

Sampai saat ini penyebab pasti preeklampsia dan eklampsia masih belum diketahui secara pasti. Maka dari itu penyakit ini disebut disease of theory (Roeshadi, 2007). Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa, sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; sebab terjadinya perbaikan keadaan dengan kematian janin dalam uterus; sebab jarangnya terjadinya eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya, sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.

Beberapa faktor resiko pada penyakit ini antara lain adalah (Roeshadi, 2007) :

a. Nullipara, terutama usia < 20 tahun, dan kehamilan yang langsung terjadi setelah perkawinan

b. Primipaternitas

c. Sejarah pernah menderita preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan terdahulu

d. Sejarah pernah menderita preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga

e. Hiperplasentosis, misalnya: kehamilan ganda, diabetes mellitus, hydrops fetalis, mola hidatidosa, bayi besar

f. Riwayat penderita hipertensi dan penyakit ginjal

g. Obesitas

h. Umur yang ekstrim (umur < 18 tahun dan > 35 tahun)

Untuk penyakit dengan etiologi pasti yang belum dapat ditentukan, maka tentunya faktor resiko merupakan hal yang berperan penting untuk seseorang terhadap penyakit tersebut. Yang dimaksud faktor risiko tinggi adalah keadaan pada ibu, baik berupa faktor biologis maupun non-biologis, yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan lain (Depkes RI, 1999). Faktor itu bisa digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor medis dan faktor non medis. Faktor medis meliputi, usia, paritas, graviditas, jarak kehamilan, riwayat kehamilan dan persalinan, dan penyakit-penyakit ibu dan janin, kelainan obstetrik, gangguan plasenta, gangguan tali pusat, komplikasi persalinan. Sedangkan faktor non medis adalah pengawasan antenatal, status gizi buruk, sosial ekonomi yang rendah, kemiskinan, ketidaktahuan, adat, tradisi, kepercayaan, kebersihan lingkungan, kesadaran untuk memeriksakan kehamilan secara teratur, fasilitator dan sarana kesehatan yang serba kekurangan merupakan faktor non medis yang banyak terjadi terutama di negara-negara berkembang yang berdasarkan penelitian ternyata sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas (Martaadisoebrata, 2005). Sebagian dari faktor resiko ini dapat dikenali bahkan diukur, sehingga kita dapat menggunakannya dalam upaya pelayanan kesehatan preventif atau yang sering dikenal sebagai strategi pendekatan faktor risiko D. Patofisiologi Preeklampsia/eklampsia

Pengetahuan mengenai etiologi dan patogenesis preeklampsia sangat diperlukan dalam rangka menurunkan angka mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal pada preeklampsia, walaupun hingga saat ini kedua hal tersebut masih kontroversi. Disfungsi sel endotel memainkan peranan penting dalam patogenesis preeklampsia. Penyebab dari disfungsi endotel adalah multifaktorial dan akibat dari disfungsi endotel adalah berkurangnya perfusi darah di plasenta, hal ini merupakan faktor penting pada preeklampsia

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis kemudian menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas ini juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi arteri spiralis ini memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi ke jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis.

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan terjadinya vasodilatasi dan distensi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodelling arteri spiralis, sehingga aliran darah utero plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak dari iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK atau preeklampsia selanjutnya.b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

1. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Plasenta yang mengalami iskemia akan menghasilkan oksidan atau disebut juga radikal bebas. Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Dahulu hal inilah yang menyebabkan hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia. Lebih lanjut lagi radikal hidroksil ini akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel.

2. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan terdapat ketidakseimbangan kadar oksidan dan antioksidan tubuh. Dimana terjadi peningkatan kadar oksidan berupa peroksida lemak dan penurunan kadar antioksidan tubuh misalnya vitamin E. Selain itu asam lemak tidak jenuh menjadi sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.

3. Disfungsi sel endotel

Endotel itu sendiri, adalah lapisan sel yang melapisi dinding vaskular yang menghadap ke lumen dan melekat pada jaringan subendotel yang terdiri atas kolagen dan berbagai glikosaminoglikan termasuk fibronektin. Dahulu dianggap bahwa fungsi endotel adalah sebagai barier struktural antara sirkulasi dengan jaringan disekitarnya, tetapi sekarang telah diketahui bahwa endotel memiliki banyak fungsi lain yaitu mengatur tonus vaskular, mencegah thrombosis, mengatur aktivitas sistem fibrinolisis, mencegah perlekatan leukosit dan mengatur pertumbuhan vaskular (Dharma, 2005).

Substansi vasoaktif yang dikeluarkan endotel antara lain nitric oxide (NO) yang juga disebut endothelial-derived relaxing factor (EDRF), endothelial-derived hyperpolarizing factor(EDHF), prostasiklin (PGI2), bradikinin, asetilkolin, serotonin dan histamin. Substansi vasokonstriktor antara lain endotelin, platelet activating factor (PAF), angiotensin II, prostaglandin H2, trombin dan nikotin. Endotel juga berperan pada hemostastis dengan mempertahankan permukaan yang bersifat antitrombotik. Melalui ekspresi trombomodulin, endotel membantu trombin dalam mengaktifkan protein C menjadi protein C aktif. Selain itu endotel juga merangsang sintesis protein S yang bekerja sebagai kofaktor protein C dalam mengaktivasi faktor Va dan faktor VIIIa. Endotel juga mensintesis faktor von williebrand yang berfungsi dalam proses adhesi trombosit dan sebagai pembawa faktor VIII. Endotel juga berperan dalam sistem fibrinolisis melalui pelepasan tissue plasminogen activator (tPA) yang akan melepaskan plasminogen menjadi plasmin. Namun endotel juga mensintesis plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang berfungsi menghambat tPA (Dharma, 2005).

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang tentu saja kerusakannya berawal dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel akan menyebabkan gangguan fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel maka akan terjadi(Roeshandi, 2004)a) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2); suatu vasodilator kuat.

b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.

Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat.

c) Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis)

d) Peningkatan permeabilitas kapilar

e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.

Kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.

f) Peningkatan faktor koagulasi

Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema dan proteinuria. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga akan terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus.c. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin

Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :

1. Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.

2. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami sebelumnya.

3. Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya resiko hipertensi dalam kehamilan. Hubungan lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu. Selain itu, dengan keberadaan HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta pasien preeklampsia, terdapat penurunan ekspresi HLA-G dan dipercayai bahwa pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata memiliki proporsi Helper Sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif.d. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopresor yang merupakan suatu perlindungan dari prostaglandin yang disintesis oleh sel endotel pembuluh darah. Pada hipertensi dalam kehamilan, tubuh kehilangan daya refrakter terhadap bahan-bahan vasopersor, dan hal ini sudah terjadi sejak trimester I (pertama) kehamilan.e. Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia. 26 % anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.f. Teori Defisiensi Gizi

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan dapat menurunkan risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.g. Teori Stimulus Inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misal pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif akan meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi yang lebih besar. Respons inflamasi ini adalah mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

Dalam perjalanannya ketujuh faktor diatas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi trofoblas dan terjadinya iskemia plasenta).

Gambar 5. Implantasi plasenta normal dan preeklampsia

Gambar 6. Arteri spiralis pada preeclampsiaE. Manifestasi Klinis Preeklampsia/Eklampsia

Pada preeklampsia/eklampsia, setelah terjadi vasokonstriksi dan disfungsi endotel, jika prosesnya terus berlanjut maka dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ sehingga dapat mengganggu banyak sistem organ. Gangguan organ pada preeklampsia/eklampsia meliputi (Soekimin, 2006)a. Perubahan pada plasenta dan uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta dapat mengakibatkan solutio plasenta. Pada hipertensi yang lama akan terjadi gangguan pertumbuhan janin. Pada hipertensi yang terjadi lebih pendek bisa menimbulkan gawat janin sampai kematian janin, dikarenakan kurang oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan tanpa perangsangan sering didapatkan pada preeklamsia/eklamsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus.

b. Perubahan pada ginjal

Perubahan ini disebabkan oleh karena aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga filtrasi glomerulus berkurang. Penurunan filtrasi akibat spasme arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium menurun yang menyebabkan retensi garam dan juga terjadi retensi air. Filtrasi glomerulus pada preeklampsia dapat menurun sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis turun. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi oliguria sampai anuria. Selain itu kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Dapat pula terjadi gagal ginjal akut akibat dari nekrosis tubulus ginjal.

c. Perubahan pada retina

Tampak edema retina, spasme setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri. Jarang terjadi perdarahan atau eksudat atau spasme. Retinopati arteriosklerotika pada preeklampsia akan terlihat bilamana didasari penyakit hipertensi yang menahun. Spasmus arteri retina yang nyata menunjukkan adanya preeklampsia berat. Pada preeklampsia pelepasan retina oleh karena edema intraokuler merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera. Biasanya retina akan melekat kembali dalam dua hari sampai dua bulan setelah persalinan. Gangguan penglihatan secara tetap jarang ditemui. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada preeklampsia merupakan gejala yang menjurus akan terjadinya eklamspia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah didalam pusat penglihatan di kortex cerebri atau dalam retina.

d. Perubahan pada paru-paru

Penderita preeklampsia berat mempunyai resiko besar terjadinya edema paru dan biasanya merupakan penyebab utama kematian pada pasien preeklampsi/eklampsia. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler paru dan menurunnya diuresis.e. Perubahan pada sistem neurologik

Perubahan neurologik dapat berupa nyeri kepala yang disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema. Resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi, terutama pada preeklampsia. Sehingga salah satu akibatnya dapat menimbulkan edema serebri,kejang eklamptik, dan perdarahan intrakranial.f. Metabolisme air dan elektrolit

Hemokonsentrasi yang menyertai preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui sebabnya. Terjadi pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial, diikuti oleh kenaikan hematokrit, protein serum meningkat dan bertambahnya edema menyebabkan volume darah berkurang, viskositas darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama. Aliran darah di berbagai aliran tubuh mengurang dan berakibat hipoksia. Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai ukuran tentang perbaikan keadaan penyakit dan tentang berhasilnya pengobatan. Jumlah air dan natrium pada penderita preeklampsia lebih banyak daripada wanita hamil biasa. Kadar kreatinin dan ureum pada preeklampsia tidak meningkat kecuali jika terjadi oliguria atau anuria. Protein serum total, perbandingan albumin globulin dan tekanan osmotik plasma menurun pada preeklampsia, kecuali pada penyakit berat dengan hemokonsentrasi.

g. Perubahan pada sistem kardiovaskular

Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.

h. Perubahan pada hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga dibawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen disebabkan oleh teregangnya kapsula Glisone. Nyeri dapat sebagai gejala awal ruptur hepar dan pada keadaan seperti ini membutuhkan pembedahan.i. Perubahan hematologik

Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematokrit, peningkatan viskositas darah, trombositopenia ( 37 minggu) persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan.b. Preeklampsia berat

1. Definisi

Adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 g/ jumlah urin selama 24 jam. Atau dipstick 4+

2. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum dibawah ini :

a) Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

b) Proteinuria > 5 g/24 jam atau 4 + pada pemeriksaan kualitatif

c) Oliguria (jumlah urin kurang dari 500 cc/ 24 jam )

d) Kenaikan kadar kreatinin plasma

e) Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, penglihatan kabur.

f) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium (akibat teregangnya kapsula Glisson)

g) Edema paru dan sianosis

h) Hemolisis mikroangiopatik

i) Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat

j) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat

k) Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)l) Gangguan fungsi hepar (gangguan hepatoselular) : peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.

3. Pembagian preeklampsia berat

Preeklampsia berat dibagi menjadi :

a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia

b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia

Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

4. Perawatan dan pengobatan preeklampsia berat

Pengelolaan mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.

5. Monitoring selama di rumah sakit

Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG.6. Sikap terhadap penyakit : pengobatan medikamentosa

a) Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk

rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).

Perawatan yang penting adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral atau infus) dan output cairan (melalui urin) sangat penting.

Cairan yang dapat diberikan berupa : 5 % Ringer-dekstrose atau cairan garam faali dengan jumlah tetesan < 125 cc/jam atau infus Dekstrose 5 % yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

b) Pemberian obat anti kejang

Antikonvulsan mencegah kambuhnya kejang dan mengakhiri aktivitas klinik dan elektrik kejang. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa magnesium sulfat merupakan drug of choice untuk mengobati kejang eklamptik (dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin).

Merupakan antikonvulsan yang efektif (mengontrol kejang eklamptik pada > 95% kasus) dan membantu mencegah kejang kambuh dan mempertahankan aliran darah ke uterus dan aliran darah ke fetus, serta mempunyai efek antihipertensi (Hutomo, 2008).

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga rangsangan tidak terjadi (Wiknjosastro, 2009). Dapat diberikan dengan cara I V maupun IM. Rute IV lebih disukai karena dapat dikontrol lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar terapetik lebih singkat. Sedangkan rute intramuskular cenderung nyeri dan kurang nyaman (Hutomo, 2008). Pemberian MgSO4 harus memenuhi syarat yaitu refleks patella normal, respirasi > 16 kali per menit, produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc (0,5 cc/kgBB/jam), siapkan ampul Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc. Selain itu dosis pemberian juga harus sesuai dengan protap : yaitu terdiri dari loading dose/initial dose injeksi 4gr (10ml) MgSO4 40% + 10 ml akuades bolus iv dalam 15 menit dilanjutkan dengan maintenance dose injeksi 6gr (15ml) MgSO4 40%+500 ml RL drip 20 tpm.

c) Pemberian diuretikum

Tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang digunakan adalah Furosemida. Namun pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin (Wiknjosastro, 2009).

d) Pemberian antihipertensi

Antihipertensi digunakan bila tekanan diastolik > 110 mmHg, untuk mempertahankan tekanan diastolik pada kisaran 90-110 mmHg (Hutomo, 2008). Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik (Wiknjosastro, 2009). Bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat akan berbahaya karena akan menyebabkan hipoperfusi uteroplasenta (Hutomo, 2008).

Antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak adalah diazokside, ketanserin, nimodipin, dan magnesium sulfat. Sedangkan antihipertensi lini pertama yang digunakan di Indonesia saat ini adalah Nifedipin, dengan dosis 10 - 20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam (Wiknjosastro, 2009).

Antihipertensi lini kedua adalah Sodium nitroprusside dan Diazokside. Obat antihipertensi lini pertama yang digunakan di Amerika adalah hidralazin injeksi, di Indonesia tidak tersedia. Merupakan suatu vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan refleks takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki sirkulasi uteroplasenta

e) Pemberian glukokortikoid

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.

7. Sikap terhadap kehamilannya

Berdasarkan Williams Obstetrics (Cunningham, 2005), ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi :

a) Perawatan aktif (aggressive management)

Berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Cara mengakhiri kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum (Wiknjosastro, 2009). Tindakan terminasi sebaiknya dilakukan setelah keadaan ibu stabil dan apabila diperlukan dilakukan tindakan seksio sesarea (Karkata, 2007).

Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini :

1) Ibu

(a) Umur kehamilan > 37 minggu

(b) Adanya tanda-tanda Impending Eclampsia

(c) Kegagalan terapi konservatif : keadaan klinik dan

laboratorik memburuk(d) Diduga terjadi solusio plasenta(e) Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan2) Janin

a) Adanya tanda-tanda fetal distressb) Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)

c) Terjadinya oligohidramnion

3) Laboratorik

a) Adanya tanda-tanda Sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cepat

b) Perawatan konservatif (ekspektatif)

Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baiK.c. Eklampsia

Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.

K. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia adalah melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, disamping juga mencegah komplikasi yang dapat terjadi dengan ibu. Tujuan lainnya adalah mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu hamil. Morbiditas dan mortalitas penderita preeklampsia sangat ditentukan umur kehamilan saat ditemukan, beratnya penyakit, kualitas penanganan dan adanya penyakit penyerta lainnya. Preeklampsia ringan yang ditemukan pada kehamilan > 36 minggu biasanya tidak bermasalah dan prognosenya baik, sebaliknya preeklampsia berat yang ditemukan pada kehamilan < 34 minggu akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu, apalagi jika dijumpai penyakit penyerta lainnya (Roeshadi, 2007).

Berikut ini adalah Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi dalam penanganan kasus hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia, dan preeklampsia berat (POGI, 2006):a. Hipertensi dalam kehamilan

1. Pemeliharaan kehamilan sesuai dengan kehamilan normal, kecuali pemberian obat antihipertensi seperti pemberian calcium chanel blocker

2. Monitor proteinuria

3. Persalinan dan kelahiran sesuai indikasi obstetrik kecuali terjadi krisis hipertensi

4. Prognosis pada umumnya baik

b. Preeklampsia ringan

1. Pemeliharaan kehamilan sesuai kehamilan normal

2. Banyak istirahat/tirah baring

3. Monitor proteinuria

4. Persalinan dan kelahiran diupayakan pada 37 minggu penuh

5. Prognosis pada umumnya baik

c. Preeklampsia berat

1. Rawat rumah sakit

2. Periksa laboratorium sesuai kemampuan rumah sakit

3. Berikan MgSO4

4. Berikan obat anti hipertensi, nifedipin sebagai obat terpilih

5. Terminasi kehamilan adalah : terapi definitif, variasi usia gestasi pada saat pengakhiran kehamilan bergantung dari kemampuan masing-masing rumah sakit

6. Prognosis sangat bervariasi tergantung kondisi pasien

Penyulit Preeklampsia

a. Penyulit ibu

1. Sistem saraf pusat : perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, retina detachment.

2. Gastrointestinal-hepatik : subkapsular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar.

3. Ginjal : gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.

4. Hematologik : DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.

5. Kardiopulmonar : edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium.

6. Lain-lain : asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan

b. Penyulit janin

1. Intrauterine fetal growth restriction

2. Solusio plasenta

3. Prematuritas

4. Sindroma distress napas

5. Kematian janin intrauterin

6. Necrotizing enterocolitis

7. Sepsis

8. Cerebral palsy

Pencegahan Preeklampsia

Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada perempuan hamil yang mempunyai resiko terjadinya preeklampsia. Preeklampsia adalah suatu sindroma dari proses implantasi sehingga tidak secara keseluruhan dapat dicegah (Wiknjosastro, 2009).

Pencegahan dapat dilakukan dengan nonmedikal dan medikal :

a. Pencegahan dengan nonmedikal

Pencegahan nonmedikal adalah dengan tidak memberikan obat. Cara yang paling sederhana ialah melakukan tirah baring. Selain itu dapat pula melakukan restriksi garam (Wiknjosastro, 2009), walaupun tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeklampsia. Pencegahan lainnya adalah berupa manipulasi diet seperti pemberian suplemen yang mengandung minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh dan antioksidan

b. Pencegahan dengan medikal

Pencegahan secara farmakologis dapat dilakukan dengan pemberian obat, baik anti hipertensi maupun diuretik walaupun hingga saat ini belum ada bukti yang kuat dan sahih tentang hasil dari pemberian tersebut. Untuk pemberian diuretik tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia bahkan memperberat keadaan hipovolemia

BAB III

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien :

Nama

: Ny. TUmur

: 37 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Jln. Kebon jeruk timur Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Tanggal masuk RS: 15 juli 2013 pkl. 18.27 WIB

No. Rekam Medik : 206.41.51

Anamnesis

Keluhan Utama

Rujukan bidan dengan PEB (tensi tinggi 150/100 mmHg)

Riwayat Kehamilan Sekarang

Pasien G5P4A0 mengaku hamil 8 bulan, HPHT pasien lupa. Namun, pasien pernah USG tanggal 31 maret 2013 ( 21 minggu, dan USG 1 hari yang lalu ( 36 minggu. Pasien melakukan ANC teratur setiap bulan di PKM jatinegara, dan tidak ada riwayat darah tinggi sebelumnya.

Keluhan mulas - mulas (-), keluar lendir darah (-), keluar air-air (-), Gerak janin aktif (+). Pasien menyangkal adanya pusing, mual muntah, demam, nyeri ulu hati maupun pandangan kabur. Riwayat keputihan (-). Riwayat gigi berlubang (-). Riwayat HT sebelum hamil atau sebelum usia kehamilan 20 minggu disangkal.

Riwayat Penyakit DahuluHipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkalRiwayat Menstruasi

Menarche usia 13 tahun, siklus teratur tiap bulan, lama menstruasi 7 hari, ganti pembalut 3x/hari, nyeri haid (-).

Riwayat Pernikahan

Menikah 1x lamanya pernikahan 18 tahun.Riwayat Obstetri

G5P4A0 :

1. Laki-laki, 17 thn, 3200 gram, lahir spontan di dukun beranak

2. Perempuan, 13 thn, 3200 gram, lahir spontan di dukun beranak

3. Laki-laki, 4 thn 7 bln, 3000 gram, lahir spontan di dukun beranak

4. Perempuan, 3 thn, 3200 gram, lahir spontan di dukun beranak

5. Hamil saat ini.Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Baik, Compos Mentis

Tanda vital : TD 160/100 mmHg, Nadi 89 x/menit, Suhu 36,7oC, Pernapasan

21x/menit

Mata

: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

Jantung

: BJ I-II normal, Murmur (-), Gallop (-)

Paru

: BN veskuler, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen

: buncit sesuai usia kehamilan

Ekstremitas

: akral hangat, perfusi perifer cukup, edema -/-

Status ObstetrikInspeksi :

Membuncit, arah memanjang.Palpasi:

LI : TFU 30 cm, TBJ 2.790 gram, teraba 1(satu) bagian besar janin, tidak keras, tidakmelenting, yang merupakan bokong janinLII : Kiri : teraba bagian- bagian kecil janin; Kanan : teraba 1(satu) bagian keras seperti

papan yang merupkan punggung janin

LIII : Teraba 1(satu) bagian besar, bulat, keras, melenting, yang merupakan kepala janin

LIV : Kepala janin belum masuk PAP 5/5

Auskultasi :

DJJ 145 dpm, teratur, kwalitas kuatKesan : TFU 30 cm, letak janin memanjang, punggung berada di sisi kanan, bagian terbawah kepala, belum memasuki pintu atas panggul 5/5, TBJ 2.790 gr, gerak janin (+), DJJ 145 dpm

Inpeksi : vulva - uretra tenang

Io : portio livid, ostium terbuka, Fluor (-), Fluksus (+)

VT : Portio kenyal, posterior, t=3cm, 1cm, Ketuban (+), Kepala HI

Pemeriksaan penunjang

A. Laboratorium

( 15 juli 2013)

Darah Lengkap

Eritrosit 4.91 juta/UL; Hb 13.4 g/dl; Ht 40%; Leukosit 9.22 ribu/ul; Hitung Jenis 72.0/21.9/5.2/0.7/0,2; Trombosit 268.000/mm3;

Hemostasis

Masa perdarahan 3 menit. Masa pembekuan 7 menit.

Kimia Klinik : GDS 91 gr/dL; Albumin 3.7 g/dL; SGOT/SGPT 20/23 U/L; Ur/Cr 16/0.6 mg/dl; As. Urat 5.1 mg/ dL; LDH 309 U/LUrin

Warna Kuning jernih; BJ 1025; PH 6,0; Protein positif (++) 75 mg/dl; Glukosa (-); Keton (-); Bilirubin (-); Sel epitel (+); Leukosit 2-4/LPB; Eritrosit 8-10/LPB; Bakteri (-).B. CTG Frekuensi dasar 140 dpm; variabilitas 5-20 dpm; akselerasi (+); deselerasi (-); Gerak janin (+); His 1x/10/40Kesan: Reasuring

Diagnosis

G5P4 Hamil 36 minggu + PEB, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala

Penatalaksanaan

Rencana Diagnostik

Observasi Tanda vital, His, DJJ / jam

Observasi perburukan PEB

Cek DPL, UL, GDS, BT/CT, Ur/Cr

USG & CTG

Rencana Terapi

Rencana awal partus pervaginan

Akselerasi persalinan dengan Oksitosin 5 IU

Tatalaksana PEB( MgSO4 4 gram bolus

Nifedipin 4 x 10 mg

NAC 3 x 600 mg

Vit. C 2 x 400 mg

Elevasi kepala 300

Follow Up

(05.50)

S : mules (+) sering, keinginan untuk meneran, gerak janin (+)

O : Ku/kes : sedang / CM

VS( TD : 140/90N : 85x/RR : 20x/T : Afebris

St. Generalis : dbn

St. Obstetri : His 4x/10/40

DJJ 142 dpm

I : v/u tenang

VT : lengkap, Ketuban (-), Kepala H III-IV A : G5P4 Hamil 36 minggu JPKTH

PEB

P : Dx/ Observasi TTV, DJJ, His

Th/ Asuhan PK II

Pimpin meneran

(06.00)

Lahir spontan bayi perempuan, 2600 gram, 45 cm, AS 9/10, Air ketuban jernih jumlah cukup, ibu disuntikan oksitosin 10 IU, Tali pusat dijepit dilakukan PTT

(06.05)

Lahir spontan plasenta lengkap, dipasang IUD PP, intak, Perdarahan kala III-IV 100cc

(08.10)

S : Mules (-), kontraksi (+), perdarahan (-), BAK (+), Pusing (-), pandangan kabur (-), mual muntah (-)

O : KU / Kes : sedang / CM

VS ( TD: 140/90N: 81x/RR: 18x/T: afebris

St. Gen : dbn

St. Obs : TFU 2 JBPST, kontraksi (+)

V/U tenang, perdarahan (-)

A : Post Partum spontan 2 jam yang lalu

PEB TD terkontrol

P : Dx/ Observasi TTV, kontraksi, perdarahan

Observasi perburukan PEB

Th/ Mobilisasi aktif

Diet TKTP

Motivasi ASI

Higiene V/P

Medikamentosa : Co amoxiklav 3 x 625 mg

As. Mefenamat 3 x 500 mg

Nonemi 1x1 tab

Tatalaksanan PEB : MgSO4 1 gr/ jam selama 24 jam

NAC 3 x 600mg

Vit. C 2x 400 mg

Nifedipine 4 x 10 mg

Elevasi kepala 30 derajat

Cairan 80cc/KgBBBAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus Ny. T, 33 tahun didapat diagnosa G5P4 Hamil 36 minggj + PEB, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hal-hal yang mendukung diagnosa PEB adalah sebagai berikut:

Anamnesa:

Pasien datang rujukan dari bidan dengan tekanan darah tinggi 150/100 mmHg. Pusing (-), mual muntah (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-). Riwayat HT sebelum hamil atau sebelum usia kehamilan 20 minggu disangkal.

Pemeriksaan fisik & pemeriksaan penunjang:

TD 160/100 mmHg

Proteinuria +1 ( proteinuria +3

Penatalaksanaan

Rencana Diagnostik

Observasi Tanda vital, His, DJJ / jam

Observasi perburukan PEB

Cek DPL, UL, GDS, BT/CT, Ur/Cr

USG & CTG

Rencana Terapi

Rencana awal partus pervaginan

Akselerasi persalinan dengan Oksitosin 5 IU

Tatalaksana PEB( MgSO4 4 gram bolus

Nifedipin 4 x 10 mg po

NAC 3 x 600 mg

Vit. C 2 x 400 mg

Elevasi kepala 300

Cairan 80cc/Kg BBPerencanaan partus pervaginan dengan pemberian akselerasi oksitosin 5 IU adalah untuk mempercepat proses persalinan untuk mencegah terjadinya perburukan PEB.

Pemberian MgSO4 bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang atau berlanjut menjadi eklamsia. Pemberian pertama loading dose yaitu 4 gr MgSO4 40% dalam 10 cc. MgSO4 yang tersedia adalah Sediaan MgSO4 40% dalam 25 cc = 10 gram ( 1 gram = 2,5 cc. Maka 4 gr MgSO4 40% = 10 cc, diencerkan hingga 20cc ( diberikan iv perlahan dalam 15 menit. Kemudian dilanjutan dosis maintenace 1gr/jam dalam 24 jam.

Antihipertensi yang diberikan adalah nifedipine 4 x 10 mg per oral, tidak diberikan sublingual karena karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makan.

Pemberian NAC dan Vitamin C adalah sebagai antioksidan dan anti radikal bebas untuk mencegah kerusakan yang berlebihan akibat radikal bebas berbahaya akibat efek dari stres oksidatif pada preeklampsia.

Pada pasien ini juga dilakukan elevasi kepala dan pemberian cairan yang cukup.BAB VKESIMPULAN

1. Kehamilan risiko tinggi adalah ibu hamil yang mempunyai resiko atau bahaya dan komplikasi yang lebih besar pada kehamilan / persalinannnya baik terhadap ibu maupun terhadap janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas dibandingkan dengan ibu hamil dengan kehamilan / persalinan normal. Kehamilan risiko tinggi juga merupakan keadaan yang dapat mempengaruhi optimalisasi ibu maupun janin pada kehamilan yang dihadapi.2. Berdasarkan hasil penelitian terbaru, preeklampsia menempati posisi sebagai penyebab tersering kematian maternal, khususnya di Indonesia. Preeklampsia ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang biasanya terjadi pada trimester ke-III dan proteinuria serta edema (anasarka).3. Dapat disimpulkan bahwa usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyulit pada kehamilan dan persalinan adalah : asuhan antenatal yang baik dan bermutu bagi setiap wanita hamil, peningkatan pelayanan/jaringan pelayanan dan sistem rujukan kesehatan, peningkatan pelayanan gawat darurat sampai ke lini terdepan, peningkatan status wanita baik dalam pendidikan/gizi/masalah kesehatan wanita dan reproduksi dan peningkatan status sosial ekonominya, serta menurunkan tingkat fertilitas yang tinggi melalui program keluargaberencana.DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin Abdul Bari, Rachimhadhi, Wiknjosastro Gulardi. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2011

2. Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat

3. Saifuddin Abdul Bari, Wiknjosastro Gulardi, Waspodo Djoko. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 20024. Roeshadi RH. 2004. Gangguan Dan Penyulit Pada Masa Kehamilan. Avaliable in: http://repository.usu.ac.id/. Diakses pada tanggal 15 Juli 2013.5. Roeshadi RH. 2007. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu Pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia. Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology: 31(3). pp.123-133

6. Rozikhan. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat Di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal Semarang, Tesis, Program Studi Magister Epidemiologi, Universitas Diponegoro.

7. Soekimin, Tambunan Gani W, Wibisono AH, Sufida. 2006. Gambaran Histopatologi Plasenta pada Kehamilan Normotensif dan Kehamilan dengan Klinis Preeklampsia. Majalah Kedokteran Nusantara : 39(1). pp. 42-478. Wiknjosastro H, Saifuddin B, Rachimhadhi T. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp.530-5619. Cunningham, F.G et al. 2005. Breech Presentation and Delivery In: Williams Obstetrics.22st edition. New York: Mc Graw Hill Medical Publising Division, 509-536.10. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2006. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.28