tinjauan pustaka - artritis reumatoid

18
Tinjauan Pustaka -Artritis Reumatoid- Oleh : Yolanda Satriani Putri PENDAHULUAN Artritis reumatoid (AR) adalah penyaakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. 1 Manifestasi klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi- sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. 3 Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskuler, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. 3 Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang diterapkan saat ini adalah pendekatan piramida terbalik, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi dekstruksi sendi, deformitasm dan disabilitas. 4 Morbiditas dan mortalitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu dalam tinjuan pustaka ini akan membahas mengenai artritis reumatoid lanjut baik dari epidemiologi, faktor risiko,

Upload: yolanda

Post on 08-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penungasan Blok Hematologi dan Limforetikuler

TRANSCRIPT

Tinjauan Pustaka-Artritis Reumatoid-Oleh : Yolanda Satriani PutriPENDAHULUANArtritis reumatoid (AR) adalah penyaakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama.1 Manifestasi klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata.3 Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskuler, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas.3 Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang diterapkan saat ini adalah pendekatan piramida terbalik, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi dekstruksi sendi, deformitasm dan disabilitas.4 Morbiditas dan mortalitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu dalam tinjuan pustaka ini akan membahas mengenai artritis reumatoid lanjut baik dari epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, manifestasi klinis, penegakan diagnosis dan penetalaksaan hingga prognosisnya.EPIDEMIOLOGIPada kebanyakan populasi di dunia prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5%-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima India dan Chippewa India masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Sedangkan di China, Indonesia dan Philipina prepalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah dengan kejaidan AR telah diketahi dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti 18q21 dari gen TNFRS11A yang mengkode aktivator nuclear faktor kappa B. Gen ini penting dalam proses resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperan penting dari terjadinya AR. Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30 % dan pada orang yang kulit putih dengan AR yang mengekpresian HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%.4Prevalensi AR lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki, sehingga diduga hormon seks berperan dalam perkembangan penyakit ini. yang Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1). Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hamabatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2). Adanya perubahan profil hormon yaitu adrogen utama yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Adrogen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. Sedang kan Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humral dan menghamat respon imun seluler. Penggunaan kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.4Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebabpenyakit. Seperti pada tabel dibawah ini4Agen infeksi yang diduga sebagai penyebab AR

Agen infeksiusMekanisme patogenik

MycoplasmaInfeksi sinovial langsung, superantigen

Parvovirus B19Infeksi sinovial langsung

RetrovirusInfeksi sinovial langsung

Enteric bacteriaKemiripan molekul

MycobacteriaKemiripan molekul

Epstein barr-virusKemiripana molekul

Bacterial cell wallsAktivasi makrofag

Organisme diatas diduga menginfeksi sel induk host dan merubah reaktivitas atau repons sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.Protein heat shock adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobacterium mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molekuler mimikri).FAKTOR RESIKOFaktor resiko yang behubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain : jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Komsumsi kopi lebih dari 3 cangkir sehari, khususnya kopi yang decaffeinated mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi the, dan penggunaan kontraksepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.4PATOGENESISKerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas dalam sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskuler dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang irreguler pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, IL, protease dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan dekstruksi sendi dan komplikasi sistemik.3,5Induksi respon sel T pada AR diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitop dari MHC II dan peptida pada APC sinovium atau sistemik. Molekul tambahan yang dipresentasikan oleh APC antara lain CD54, CD252, CD275, CD80, dan CD86 bepartisipasi dalam aktivasi sel T melalui ikatann dengan CD18, CD134.CD278 dan CD28 , Fibroblas like synoviocytes yang aktif mungkin juga berpartispasi dalam presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan seperti CD58 dan CD166 yang berintaksi dengan sel T yang mengekpresikan CD2 dan CD6. IL-6 dan TGF kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17 menginduksi pengeluaran II-17.5IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik monosit/makrofag sinovial, FLS, dan sel B. walaupun pada kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T regulator CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol inflamasi dan mungkin di nonaktifkan oleh TNF- sinovial, IL-10 banyak didapatkan pada cairan sinovial tetapi efeknya pada regulasi Th17 belum diketahui. Ekspresi molekul tambahan pada sel Th17 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang ditemukan pada populasi sel T hewan coba. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan struktur tersebut pada subset sel Th17 pada sinovium manusia.5Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B. keterlaibatan sel B dalam patogenessis AR diduga melalui mekanisme berikut:5 Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4. Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF- dan kemokin. Membran sinovial AR juga mengandung banyak sel B yang memproduksi fokrot reumatoid. AR dengan faktor reumatoid positif berhubungan dengan penyakit artikular yang lebih tinggi dan angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Faktor reumatoid juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan memproduksi faktor reumatoisd. Selian itu kompleks imun faktor reumatoid juga memperantai akivasi komplemen, kemudian secara bersama-sama begabung dengan reseptor Fcg, sehingga mencetuskan kaskade inflamasi. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B berperanan penting dalam penyakit AR, sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.Sel B Mature yang terterpapar oleh antigen dan stimulasi TLR akan berdiferensiasi menjadi short-lived plasma sel atau masuk ke dalam reaksi Germinal Center sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-lived plasma cells yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi membentuk komples imun yang selanjutnya akan mengakitvasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada sel T sehingga menginduksi differensiasi sel T efektor untuk memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam dekstruksi tulang dan tulang rawan. Sel B mature juga dapat berdifferensiasi menjadi sel B yang memproduksi IL-10 yang dapat menignduksi respon autoreaktif sel T.5MANIFESTASI KLINISOnset. Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan/onset terjadi secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempuyai awitan fulminan berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala muncul beberapa penderita juga mempunyai gejala mempunyai gejala konstituonal berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.3,4Manifestasi artikular. Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan, teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangang yang, kaki, dan vertebra sevikal, tapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (dekstruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan, bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu telibat, demikian juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat. 3,4Manifestasi ekstraartikular. Walaupun atritis merupakan manifestasi utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. Manifestasi ekstraartrikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid serum tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achiles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada pasein dengan titer faktor reumatoid serum positif dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma, atau nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra, MCTD. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi ekstraartikular seperti vaskulitis dan felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik.3,4DIAGNOSISSelama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivita 77-95% dan spesifisitas 85-98%. Namun kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru yang tingkat keshahihannya labih baik. Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American Collage of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010. Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih.4Kriteria klasifikasi AR ACR/EULAR 2010

Skor

A. Kriteria Sendi

1 sendi besar0

2 10 sendi besar1

1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)2

4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)3

Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil)5

B. Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)

Faktor reumatoid dan ACPA negatif0

Faktor reumatoid dan ACPA postif rendah 2

Faktor reumatoid dan ACPA positif tinggi3

C. Reaktan Fase Akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)

LED dan CRP normal0

LED atau CRP abnormal1

D. Lamanya sakit

Kurang dari 6 minggu0

6 minggu atau lebih 1

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Disamping itu, pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR. Pasien dengan penykait tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap diklasifikan sebagai AR. Pada pasien skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai AR, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring berjalannya waktu. Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sivovitis secara pencitraan. Sendi DIP,CMC I, dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terkena, dengan penempatan kedalam kategori yang tertinggi yang dapat dimungkinkan.4Sendi besar adalah siku, bahu, lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki. Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan. Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas ambang batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut, positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika faktor reumatoid hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai positif rendah. Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri, bengkak, kemerahan, teraba hangat)4DIAGNOSIS BANDINGArtritis Reumatoid harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artopati reaktif yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya seperti lupus eritematosus sistemik, yang mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan AR, bila dicurigai ada arttitis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.2,4PENATALAKSAANDekstruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs. Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologi dan farmakologi.4Tujuan terapi pada penderita AR adalah :1. Mengurangi nyeri2. Mempertahankan status fungsional3. Mengurangi inflamasi4. Mengendalikan keterlibatan sistemik5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular6. Mengendalikan progresivitas penyakit7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapiTerapi non-FarmakologiBeberapa terapi non-farmakologi telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agent pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupunture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan. Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1) terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, 2) keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, 3) ada ruptur tendon. 4Terapi FarmakologiTerapi farmakologi untuk penderita AR pada umumnya meliputi pemberian obat anti-inflamasi non-steroid untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualon dan lidokain topikal. Saat ini pendekatan piramid terbalik lebih disukai yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.4Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi hidrosikloroquin/klorokuin fosfat, sulfaselazin atau minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi methotrexate. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi kombinasi (MTX ditambah 1 DMARD yang terbaru) bisa dipertimbangkan.4OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh karena itu obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal. Glukortikoid merupakan streroid dengan dosis equivalen dengan prednison kurang 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping seperti osteoporosis, katarak, dan diabetes.4Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter, dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum adalah MTX, hidroklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etanecept.4Terapi KombinasiBanyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi terapi kombinasi lebih superior dibandingkan dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas. Regimen terapi kombinasi yang eftik dan aman digunakan untuk penderita AR akif yang tidak terkontrol adalah salah satu dari kombinasi berikut : 4 MTX + hidroksiklorokuin MTX + infliximab, MTX+etanecept

MTX + hidroksiklorokuin+ sulfasalazine MTX + anakinra

MTX + sulfasalazine + prenisolone MTX + adalimumab

MTX + leflunomide MTX + rituximab

Penderia AR yang memberikan respons suboptimal dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi. Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi, terutama untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi harganya jauh lebih mahal dari pada kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau sulfasalazine.4PROGNOSISPrediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain: skor fungsional yang rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, status sosial rkonomi yang rendah, tingkat pendidikan rendah, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti-CCP positif ada peubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraseluler lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang biak dengan terapi. Penelitian yang lakukan oleh Lindqvist dkk pada pasien AR yang mulai tahun 1980an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah didiagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada pasein AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.3,4KESIMPULANArtritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi kinis AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. Diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American Collage of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010. Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih. Tatalaksana AR ada terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi. Terapi farmakologinya adalah dengan pendekatan piramida terbalik, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit.

PERUJUKAN 1. Dorland, Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC, 2006 : 1199 2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Edisi 7 , Vol. 2. Jakarta : EGC, 2007 : 481 4843. Price, Sylvia A.; Wilson, Lorraine M.. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-prosesPenyakit . Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC, 2006 : 286 2884. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 2. Jakarta: Interna Publishing; 2014 5. McInnes, I.B and Sechett, G. the pathohenesis of rheumatoid artritis. New England Journal of Medicine. 2011