take home exam plb - ghofar ismail (p052137614)
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ujian lanskapTRANSCRIPT

0
PENGELOLAAN LANSKAP BERKELANJUTAN Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin
UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) – TAKEHOME EXAM
Oleh :
Ghofar Ismail
(P052137614)
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
2014

1
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan izin dan kekuatan
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan soal Take Home Exam sebagai pengganti Ujian
Tengah Semester mata kuliah “Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan” sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Hadi Susilo Arifin, Ph.D dan Dr
Regan Leonardus Kaswanto,SP, M.Si, selaku dosen pembimbing mata kuliah Pengelolaan Lanskap
Berkelanjutan.
Saya menyadari bahwa jawaban yang disampaikan ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
wawasan saya. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini.
Akhirnya, Saya mengharapkan semoga jawaban ujian tengah semester ini dapat memberikan
manfaat, khususnya bagi saya dan siapa saja yang kelak membaca tulisan ini.
Jakarta, April 2014

2
Daftar Isi
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Daftar Tabel 3
Daftar Gambar 4
PEMBAHASAN SOAL 5
Soal 1 5
JAWABAN SOAL 1.a. 5
JAWABAN SOAL 1.b. 9
JAWABAN SOAL 1.c. 11
Soal 2 13
JAWABAN SOAL 2.a. 13
JAWABAN SOAL 2.b. 14
Soal 3 16
JAWABAN SOAL 3.a. 16
JAWABAN SOAL 3.b. 17
Soal 4 21
JAWABAN SOAL 4 21
Soal 5 25
JAWABAN SOAL 5.a. 25
JAWABAN SOAL 5.b. 27
Soal 6 28
JAWABAN SOAL 6.a. 28
JAWABAN SOAL 6.b. 30
Soal 7 31
JAWABAN SOAL 7 31
Soal 8 33
JAWABAN SOAL 8 33
Daftar Pustaka 36

3
Daftar Tabel
Tabel 1. Klasifikasi Kepekaan Vegetasi 23
Tabel 2. Peringkat Daya Dukung Biofisik pada Studi Daya Dukung Biofisik di Area Rekreasi
Kebun Raya Bogor
24

4
Daftar Gambar
Gambar 1. Diagram Cincin on Thunen 6
Gambar 2. Penggunaan Lahan Model von Thunen 7
Gambar 3. Empat tipe permukiman di sepanjang Sungai Mendalam (Sub-DAS Kapuas Hulu) 9
Gambar 4. Settlements along Mendalam River, Kapuas Watershed 11
Gambar 5. Gunung Merapi 17
Gambar 6. Beberapa contoh rumah di Lereng Merapi 18
Gambar 7. Contoh rumah di Lereng Merapi 19
Gambar 8. Model Konstruksi Rumah Jawa di Lereng Merapi 19
Gambar 9. Skema Imbal Jasa Lingkungan DAS Cidanau 35

5
PEMBAHASAN SOAL
SOAL 1
1. (a) Jelaskan tentang ”Strip Development” berdasarkan teori pola tata-ruang Von Thunen?
(b) Berdasarkan penelitian Arifin et al. (2008) terdapat 4 (empat) tipe permukiman di sepanjang
Sungai Mendalam (Sub-DAS Kapuas Hulu). Bahas tentang kaitannya dengan strip
development?
(c) Bahas faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pada keempat type permukiman tersebut
dari hulu sampai dengan hilir pada DAS Mendalam (Sub-DAS Kapuas Hulu)?
JAWABAN SOAL 1.a.
Analisis lokasional pada awalnya merupakan pertanyaan inti dari ilmu ekonomi wilayah. Analisis-
analisis yang dikembangkan oleh von Thunen, Weber, Losch dan Christaller di awal abad 19 dan awal
abad 20 pada dasarnya berupaya mencari jawaban-jawaban tentang “di mana” dan “mengapa”
aktivitas ekonomi memilih lokasi.
Pada awalnya (hingga 1950-an) teori lokasi hanya didominasi oleh pendekatan-pendekatan
geografis-lokasional atau karya-karya teori lokasi klasik (von Thunen, Weber, Palander, Hotelling,
dan lain-lain). Sejak 1950-an teori lokasi berkembang dengan analogi-analogi ilmu ekonomi umum,
dan diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi, khususnya ekonometrika,
dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya cabang ilmu sosial baru regional
science. Sejak akhir 1980-an mulai tumbuh pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif yang
mempertimbangkan aspek-aspek spasial, khususnya akibat dipertimbangkan otokorelasi spasial
(spacial outocorrelation) dan heterogenitas spasial (spacial heterogeneity). Pada tahapan yang paling
mutakhir, model-model spatio-temporal semakin dikembangkan khususnya dengan berkembangnya
metode-metode statistik spasial, ekonometrika spasial (spacial econometrics) dan SIG.
Teori Lokasi dari von Thunen
Johann Heinrich von Thunen (1783-1850) adalah seorang ahli ekonomi, filsafat, matematik dan tuan
tanah dari Jerman, yang tahun 1826 menulis buku berjudul “Der Isolierte Staat” (The Isolated State
atau Negara yang Terisolasi). Karya ini merupakan tonggak penting mengenai konsep tata ruang
wilayah. Von Thunen mengasumsikan suatu negara yang terisolasi dengan satu pusat kota dengan
tipe permukiman perdesaan, sehingga tidak ada pengaruh dari luar negara. Di dalam deskripsi
konsepnya von Thunen membayangkan suatu kota yang berada di pusat dataran yang subur, yang
dipotong oleh sungai. Pada dataran tersebut kondisi tanahnya dapat ditanami dan mempunyai
kesamaan kesuburan. Semakin jauh dari kota, dataran tersebut berubah menjadi hutan belantara
yang memutus hubungan antara negara ini dengan dunia luar. Tidak ada kota lain di daerah
tersebut. Pusat kota dengan sendirinya harus mensuplai daerah perdesaan dengan semua hasil
produksi industri, dan sebagai penggantinya akan mendapatkan perbekalan dari desa-desa di
sekitarnya. Pertambangan yang menyediakan garam dan logam berada dekat dengan pusat kota,
dan hanya satu, yang nantinya disebut “kota”.
Asumsi yang dikembangkan von Thunen secara garis besar asumsi-asumsi yang dibuat adalah
sebagai berikut :

6
� Pusat kota sebagai kota pemasaran, lokasi di pusat suatu wilayah homogen secara geografis.
Bagian pusat dilukiskan sebagai pusat permukiman, pusat industri yang sekaligus merupakan
pusat pasar.
� Biaya transportasi (untuk mengangkut hasil dari tempat produksi ke kota) berbanding lurus
dengan jarak. Setiap petani di kawasan sekeliling kota akan menjual kelebihan hasil
pertaniannya ke kota tersebut, dan biaya transportasi ditanggung sendiri.
Di sekitar kota akan ditanam produk-produk yang kuat hubungannya dengan nilai (value), dan
karenanya biaya transportasinya yang mahal, sehingga distrik di sekitarnya yang berlokasi lebih jauh
tidak dapat mensuplainya. Ditemukan juga produsk-produk yang mudah rusak, sehingga harus
digunakan secara cepat. Semakin jauh dari kota, lahan akan secara progresif memproduksi barang
dengan biaya transpor murah dibandingkan dengan nilainya. Dengan alasan tersebut, terbentuk
lingkaran-lingkaran konsentrik di sekeliling kota, dengan produk pertanian utama tertentu. Setiap
lingkaran produk pertanian, sistem pertaniannya akan berubah, dan pada berbagai lingkaran akan
ditemukan sistem pertanian yang berbeda.
Gambar 1. Diagram Cincin on Thunen
Penggunaan tanah saat ini tidak lagi berkelompok persis seperti cincin dan isi masing-masing cincin
juga tidak lagi sama seperti dalam lingkaran von Thunen. Namun demikian, konsep von Thunen
bahwa sewa tanah sangat mempengaruhi jenis kegiatan yang mengambil tempat pada lokasi
tertentu masih tetap berlaku dan ini mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada
lokasi tertentu. Von Thunen menggunakan contoh sewa tanah untuk produksi pertanian, tetapi
banyak para ahli studi ruang berpendapat bahwa teori itu juga relevan untuk sewa/penggunaan
tanah di perkotaan dengan menambah aspek tertentu, misalnya perkotaan tidak lagi berbentuk
cincin tetapi tetap terlihat adanya kecenderungan pengelompokan untuk penggunaan yang sama
berupa kantong-kantong, di samping adanya penggunaan berupa campuran antara berbagai
kegiatan.
Von Thunen menggambarkan suatu kecenderungan pola ruang dengan bentuk wilayah yang
melingkar seputar kota. Von Thunen memberi gambaran pola penggunaan lahan seperti terlihat

7
pada Gambar 3.1. dan 3.2, yang didasarkan pada “economic rent”, di mana setiap tipe penggunaan
lahan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda, sehingga modelnya disusun
berupa seri zone-zone konsentrik.
Gambar 2. Penggunaan Lahan Model von Thunen
Gambar 2 tersebut dibagi menjadi dua bagian, bagian A yaitu setengah lingkaran di atas, merupakan
zona-zona konsentris yang memenuhi asumsi-asumsi ideal menurut model von Thunen, sedangkan
setengah lingkaran di bawah (bagian B), mdrupakan zona-zona nyata di mana terdapat sungai yang
memotong bentang lahan pertanian, dan terdapat sebuah kota kecil yang memiliki wilayah pasaran
sendiri.
STRIP DEVELOPMENT
Strip Development merupakan pola pembangunan permukiman penduduk yang berbentuk seperti
garis biasanya mengikuti jalur transportasi. Jalur transportasi dalam hal ini bisa berupa jalan raya,
sungai, dan garis pantai yang digunakan untuk sarana transportasi. Pola permukiman penduduk
linier ini biasanya terjadi di daerah dataran rendah. Jika pola permukiman ini suatu saat mengalami
pemekaran, maka tanah-tanah pertanian di sepanjang jalur transportasi tersebut akan menjadi
permukiman baru. Pembangunan permukiman secara linear mengikuti koridor tersebut yang
nampak pada pemukiman-pemukiman yang berkembang di Indonesia seperti permukinan suku-suku
Dayak di tepi-tepi sungai, permukiman di kawasan transisi antara kawasan kota dan desa yang
banyak berkembang di samping kanan kiri jalan penghubung kawasan kota dan kawasan desa.
Mengacu pada teorinya, von Thunen menggunakan tanah pertanian sebagai contoh kasusnya. Dia
menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat
produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah. Model
von Thunen mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang memiliki asumsi
dasar sebagai berikut : Kota terletak di tengah antara "daerah terisolasi" (isolated state). Isolated
State dikelilingi oleh hutan belantara. Tanahnya datar. Tidak terdapat sungai dan pegunungan.

8
Kualitas tanah dan iklim tetap. Kondisi tersebut akhirnya mengakibatkan perkembangan
permukiman disepanjang jalur transportasi baik transportasi darat maupun air.

9
JAWABAN SOAL 1.b.
Gambar 3. Empat tipe permukiman di sepanjang Sungai Mendalam (Sub-DAS Kapuas Hulu).
Corak yang terlihat dari pola permukiman suku dayak sangatlah kental sesuai dengan struktur atau
keadaan geografis keberadaanya. Biasanya pemukiman suku dayak berada di pinggir sungai
mengikuti alur sungai. Rumah yang berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu bulat biasanya
menghadap ke sungai dan menghadap ke arah timur. Keduanya bermakna sebagai sumber
kehidupan yang bisa memberikan kekuatan, nafas, dan kehidupan bagi manusia.Sungai memiliki
multi-fungsi bagi orang Dayak. Disamping dipercaya sebagai satu-satunya jalan yang ditempuh oleh
roh-roh orang yang sudah mati menuju ke surga baka, sungai juga berfungsi sebagai prasarana
transportasi, sumber lauk pauk(ikan), sumber air minum dan sarana MCK.
Berdasarkan sejarah perkembangan dayak, pada zaman dahulu masyarakat dayak tinggal dengan
permukiman bertipe konsentrik dan linear dalam pola permukiman tepi sungai . Hal tersebut turut
dipengaruhi oleh peran besar sungai, dalam hal ini sungai arut, dalam kehidupan masyarakat dayak.
Pola memanjang sebagai pola pembangunan mengikuti sungai merupakan dampak atas pentingnya
sungai sebagai sumber mata pencaharian maupun sumber kebutuhan hidup sehari-hari seperti
mandi, mencuci, masak, dan lain-lain.
Permukiman Tipe A : merupakan tipe pemukiman yang bisa disamakan dengan area cincin 1 dan 2
pada teori von Thunen. Area ini dapat berupa pusat industri/kerajinan dan area pertanian intensif
(produksi susu dan sayuran). Merupakan area yang masuk kategory very intensive sehingga
kemungkinan besar harga lahan ataupun land rent-nya mahal. Ciri lain yang dapat dijumpai adalah

10
adanya struktur jalan diantara permukiman, akses ini memungkinkan berhubungan dengan area
pusat atau area lain melalui darat walaupun area permukiman ini kemungkinan awal
berkembangnya melalui jalur trasnport sungai.
Permukiman Tipe B : merupakan tipe pemukiman yang bisa disamakan dengan area cincin 3 pada
teori von Thunen. Jika melihat dengan teori von Thunen maka daerah ini merupakan area penyedia
kayu bakar yang diambil dari hutan/kebun terdekat. Hal itu bisa dilihat dari kondisi permukiman
yang berada dibelakang kebun dimana masih nampak pohon-pohon ukuran besar di tepi sunga.
Aksesibilitas perkampungan ini mengandalkan transportasi melalui sungai.
Permukiman Tipe C : merupakan tipe pemukiman yang bisa disamakan dengan area cincin 4 pada
teori von Thunen. Merupakan area pertanian ekstensif dimana permukiman menjadi satu dengan
kebun yang diusahakan. Menurut von Thunen area pertanian ekstensif ini mengalami rotasi pada
rentang wakti 6-7 tahun. Aksesibilitas permukiman ini adalah transportasi melalui badan sungai.
Permukiman Tipe D : merupakan tipe pemukiman yang bisa disamakan dengan area cincin 5 pada
teori von Thunen. Daerah yang sangat datar karena telah mendekati hilir sungai sehingga model
rumahnya adalah rumah panjang untuk satu keluarga besar. Ada kemungkinan pengembangan
peternakan pada area ini. Aksebilitas utama melalui jalus sungai.

11
JAWABAN SOAL 1.c.
Gambar 4. Settlements along Mendalam River, Kapuas Watershed
Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tipe pemukiman dari Hulu hingga Hilir pada Sub DAS
Mendalam:
1. Topografi
Kondisi topografi pemukiman pada bagian hulu tentunya lebih terjal dibandingkan dengan
daerah hilir. Oleh karena itu area yang memiliki kemiringan landai hingga datar lebih sedikit
dibandingkan dengan pada daerah hilir. Hal ini menyebabkan lahan pertanian yang
diusahakan pada pemukiman bagian hulu terpisah jauh dengan kawasan perumahan.
Kawasaan perumahan yang ada pada bagian hulu benar-benar mengelompok sehingga perlu
dibangun jaringan jalan antar perumahan.
2. Tingkat kesuburan tanah dan kestabilan tanah
Pada pemukiman kawasan hulu tingkat kesuburan tanahnya kurang karena kemungkinan
solum tanah tipis sehingga lahan pertanian berbeda agak jauh dari permukiman. Lahan
tersebut hanya cocok untuk dibangun permukiman. Sedangkan pada kawasan hilir tingkat
kesuburan tinggi sehingga permukiman cenderung menyatu dengan lahan pertanian .
3. Aksesibilitas terhadap pusat pertumbuhan
Semakin dekat dengan pusat pertumbuhan maka tipe permukiman akan berbeda. Pada
permukiman yang jaraknya lebih dekat dengan pusat pertumbuhan ada alternatif
aksesibilitas selain sungai. Bisa dilihat pada tipe permukiman A yang dekat dengan pusat
pertumbuhan memiliki jaringan jalan untuk aksesibilitasnya.
4. Keamanan terhadap bencana alam
Potensi bencana juga mempengaruhi pola permukiman yang berkembang. Jika
memperhatikan permukiman tipe A dimana permukiman mengelompok dapat diartikan
sebagai lokasi tersebut merupakan lokasi yang paling aman terhadap potensi bencana.

12
Sementara pada tipe lain potensi bencananya kecil sehingga permukiman bisa terpisah-
pisah.
5. Ketersediaan Air Bersih
Ketersediaan air bersih merupakan faktor utama yang menjadi pertimbangan dibangunnya
sebuah permukiman. Jika memperhatikan anggapan suku Dayak bahwa sungai sebagai
sarana perjalanan roh-roh leluhur menuju surga dan tentunya sebagai sumber air bersih
maka perkembangan permukiman cenderung mengikuti alur sungai.
6. Ketersediaan Bahan Bangunan
Bahan bangunan utama untuk mendirikan rumah bagi suku-suku pedalaman adalah kayu
dari hutan. Pada tipe permukiman A dapat dipastikan bahwa potensi bangunan besar dan
mengelompok sehingga pembangunan permukiman terfokus pada satu area. Sedangkan
pada tipe permukiman lain sumber bahan bangunan menyebar sehingga memunkinkan
untuk pengembangan permukiman yang menyebar.
7. Ketersediaan sumber Energi
Akses terhadap sumber energi seperti kayu bakar juga menentukan perkembangan
permukiman. Selain untuk bahan bangunan kayu juga dijadikan sebagai bahan bakar untuk
memasak atau untuk proses produksi.
8. Iklim Mikro
Iklim mikro yang lembab cenderung basah mendorong permukiman untuk berkumpul.
Sedangkan pada area yang memiliki iklim mikro lebih panas maka pola permukiman akan
menyebar.
9. Kesesuian untuk areal pertanian
Permukiman pada daerah pedalaman identik dengan pengembangan pertanian budidaya
oleh karena itu semakin subur area tersebut maka permukiman akan berkembang lebih
cepat.

13
SOAL 2
Kota yang baik adalah kota yang dapat dimukimi oleh penduduknya dengan rasa aman dan nyaman
serta memiliki daya dukung untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya secara lahir dan
batin. Kota yang baik juga harus dikelola dan dibangun secara berkelanjutan. Pembangunan kota
yang berkelanjutan harus memenuhi empat prinsip utama, yakni 1) sustainability, 2) security/safety,
3) comfortability, dan 4) productivity. Berdasarkan pemahaman Saudara mengenai keempat prinsip
ini, silakan dibahas dua pernyataan di bawah ini!
a. Bahas urutan terbaik keempat prinsip di atas berdasarkan yang lebih dahulu harus dicapai
dengan memberikan alasan-alasan yang ilmiah.
b. Bahas dan berikan contoh implementasinya dari masing-masing prinsip tersebut dalam
kaitannya dengan pengelolaan lanskap menuju kota yang berkelanjutan (eco-city).
JAWABAN SOAL 2.a.
Urutan terbaik dari keempat prinsip tersebut adalah Security/safety, Comfortability, Productivity,
Sustainability.
1. Security/safety: masyarakat dapat menjalankan kegiatannya tanpa takut terhadap gangguan
baik gangguan buatan manusia /alami.
2. Comfortability: menyediakan kesempatan setiap elemen masyarakat mengartikulasikan nilai
sosial budaya dalam keadaan damai
3. Productivity:Menyediakan infrstruktur yang efektif –efisien, memfasilitasi proses ekonomi
produksi & distribusi dalam meningkatkan nilai tambah, untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat/ meningkatkan daya saing.
4. Sustainability: Menyediakan kualitas lingkungan yang lebih baik bagi generasi saat ini tetapi
untuk generasi yang akan datang.

14
JAWABAN SOAL 2.b.
1. Prinsip Security/safety,
Pengelolaan landskap perkotaan yang baik harus menjamin rasa aman masyarakat dari ancaman
bencana alam serta aman dari kejahatan.
Contoh: perkotaan yang dikembangkan seharusnya terlebih dahulu ada studi kelayaknnya sehingga
area yang dibangun merupakan area yang bebas dari ancaman bencana banjir dan tanah longsor
atau jika memiliki data yang cukup akurat harusnya area tersebut merupakan area yang aman dari
potensi gempa bumi. Pengembang seharusnya memiliki prosedur yang jelas jika terjadi bencana
(early warning system) yang dipahami oleh seluruh masyarakat. Faktor keamanan yang lain adalah
keamanan dari potensi tindak kejahatan. Pengembang harus memiliki sitem keamanan yang
diterapkan secara tegas sehingga potensi kejahatan kriminal dapat dikurangi.
2. Prinsip Comfortability,
Perkotaan yang baik tentunga menjamin kenyamanan dalam kehidupan sosial seperti
bermasyarakat, menyediakan kesempatan setiap elemen masyarakat mengartikulasikan nilai sosial
budaya dalam keadaan damai. Kenyamanan fisik lainnya adalah ketersediaan jaringan jalan yang
memadai sehingga masyarkat nyaman dalam berkendara (tidak macet).
Contoh: pada wilayah permukiman yang dikembangkan disediakan area untuk berkegiatan sosial
antar warga seperti lapangan, taman, dan balai warga untuk pertemuan. Dengan adanya berbagai
sarana sosial tersebut maka warga akan merasa nyaman untuk berkegiatan sosial. Jaringan jalan
yang ada seharusnya mempertimbangkan potensi kepemilikan kendaraan pribadi masing-masing
rumah tangga sehingga daya tampungnya mampu mengakomodir kendaraan warga baik pada saat
pagi maupun sore hari.
3. Prinsip Productivity,
Konsep tata ruang kota membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya bisa produktif (efektif
efisien). Pengembang atau pemerintah menyediakan infrastruktur yang efektif–efisien, memfasilitasi
proses ekonomi produksi & distribusi dalam meningkatkan nilai tambah, untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat/meningkatkan daya saing.
Contoh: tata ruang perkotaan seharusnya sudah membagi dengan jelas kawasan pemerintahan,
kawasan bisnis, kawasan pemukiman, kawasan industri dan lain sebagainya. Dengan adanya
pembagian kawasan yang jelas maka jalur transportasi juga bisa dikembangkan dengan
mempertimbangkan potensi lalu lintas manusia dan barang sehingga tata ruang mampu mendukung
produktifitas semua aktifitas yang ada.
4. Prinsip Sustainability.
Perkotaan yang menggunakan prinsip berkelanjutan seharusnya mampu menyediakan kualitas
lingkungan yang lebih baik bagi generasi saat ini dan untuk generasi yang akan datang. Ada 3 prinsip
yang harus diterapkan antara lain saving land, saving material, saving evergy.

15
Contoh: pengembangan perkotaan yang berbasis ekosistem/habitat asli pada kawasan tersebut.
Kondisi vegetasi yang masih baik dipertahankan dan permukiman dibangun mengikuti pola
ekosistem yang ada. Penghijauan yang dilaksanakan juga memperhatikan tanaman asli/lokal yang
sesuai dengan ekosistem yang dipertahankan.

16
SOAL 3
Dalam pengelolaan lanskap berkelanjutan sangat diperlukan pemahaman tiga pilar keberlanjutan.
Tiga pilar penting tersebut wajib ada dalam konsep sustainable development, yakni lingkungan,
ekonomi dan budaya (kultural). Pilar kultural berkaitan dengan budaya masyarakat yang memiliki
suatu etika yang berbasis pada pengetahuan lokal yang telah menjadi kearifan-kearifan lokal (local
wisdoms). Berkaitan dengan pengetahuan Saudara mengenai kearifan lokal, bahaslah dua
pernyataan di bawah ini!
a. manfaat kearifan lokal dalam kaitannya dengan pengelolaan lanskap berkelanjutan!
b. bahas satu kearifan lokal (sebutkan nama kearifan local tersebut apakah sebagai system
aturan/adat-istiadat/pengetahuan/tindakan), yang dimiliki daerah asal Saudara (sebutkan daerah
asal: kota/kabupaten, provinsi) dan kaitannya dengan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan.
JAWABAN SOAL 3.a.
1. Menimbulkan rasa hormat yang mendorong terciptanya keselarasan (harmoni) Hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang
dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri. Oleh karena itu perencana dan pengelola lanskap harus
bisa merasakan harmoni antara manusia dengan tempat tersebut.
2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam
tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini
mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
Seharusnya pemahaman ini juga dimiliki oleh perencana agar memiliki rasa tanggung jawab yang
besar terkait dengan area yang akan dikembangkan.
3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan
kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam
memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas. Terkadang sistem pengetahuan yang berkembang
tersebut lebih baik untuk diterapkan dalam pengelolaan lanskap yang ada dibandingkan dengan ilmu
dan teknologi baru yang dipahami oleh para perencana.
4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi
sesuai dengan kondisi alam setempat
5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik
bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar
(pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang
mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.
6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat
mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya
kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di
luar aturan adat yang berlaku.

17
JAWABAN SOAL 3.b.
BUDAYA ARSITEKTUR DI LERENG MERAPI
(Ghofar Ismail, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta)
TENTANG MERAPI
Gambar 5. Gunung Merapi
Fisik gunung, tapi keberadaanya sangat berpengaruh besar untuk warga sekitar. Orang
kampung sangat menghormati dan menjaga kelestarian Merapi. Mereka percaya merapi
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menunjang kehidupan mereka. Erupsi kemarin
tidak membuat mereka menjadi kecewa dengan Merapi. Mereka malah bersyukur terjadi
erupsi. Dengan begitu mereka dapat mendapat berkat yakni berupa bantuan sana sini.
Mereka yakin Merapi tidak akan menghancurkan mereka bila mereka selalu berbuat baik
terhadap sesama dan tidak menghancurkan alam sekitar (pertambangan pasir liar). Hal ini
membuat mereka semakin menghargai Merapi.
BUDAYA
Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang harus kita pelihara dan lestarikan. Zaman
semakin modern, banyak budaya luar yang kita adopsi tanpa seleksi yang matang. Sebagai
warga negara yang cinta akan budaya lokal, sebaiknya kita pintar dalam mengadopsi budaya
luar. Karena tanpa kita sadari pengaruh budaya luar sangat besar pada perkembangan
kebudayaan lokal kita.
Disisi lain ada berbagai macam budaya di Indonesia yang sangat menarik bila di kupas.
Berbeda dengan masyarakat kota pada umumnya yang lebih individual, maunya serba
instant, dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kita bisa mengambil sisi positif dari
kehidupan warga di lereng Merapi.
Pembangunan rumah warga dilakukan secara gotong royong. Dan itu terjadi bergilir. Setiap
warga akan dengan senang hati mambantu tetangganya yang sedang membangun, karena

18
menurut mereka hal yang sama akan mereka alami. Jadi apa salahnya kalau membantu.
Gambar 6. Beberapa contoh rumah di Lereng Merapi
Ternyata harta yang paling berharga buat warga di lereng Merapi adalah sapi. Mengapa?
Karena sapi kalau dijual lumayan besar pendapatannya. Gambar di samping menunjukkan
betapa berharganya sapi untuk mereka(samping kiri atas: Kandang sapi, kiri bawah: Rumah
tinggal).
Sehari-hari mata pencaharian warga lereng Merapi adalah bercocok tanam (petani).
Sebelum terjadi erupsi pencaharian mereka mencari kayu bakar kemudian di jual di pasar.
Tapi sekarang kayu bakar sudah tidak laku di pasar.
ARSITEKTUR MASYARAKAT LERENG MERAPI
Arsitektur masyarakat lereng Merapi tidak terlepas dari Arsitektur jawa pada umumnya.
Bentuk rumah kampung, berdinding gedhek (anyaman bambu) dengan bagian dalamnya
menggunakan anyaman bambu yang lebih rapat (disebut Kepang). Di bagian tengahnya
terdapat sakaguru yang menurut kepercayaan warga sana bahwa sakaguru sebagai pengikat
yang merupakan pemberi keselamatan pada penghuni rumah (penangkal gempa bumi). Saat
membangun rumah biasanya dilakukan pemberkatan atau syukuran bersama memohon izin
kepada Dewa Bumi agar rumahnya kokoh. Mereka juga sangat menghindari hari Nas (hari
meninggalnya salah satu dari penghuni rumah). Tambahan yang dibangun di luar rumah
disebut Gombak, sedangkan tambahan bagian belakang disebut Kuncung.
Dalam membangun sakaguru sebagai tiang pertama pada rumah, masyarakat memiliki
aturan-aturan tersendiri. Diantaranya adalah, tinggi rendahnya sakaguru tergantung
panjang telapak kaki pemilik rumah dikalikan 13 pecah (langka kaki), Itulah panjang tiang
sakaguru. Menggunakan pondasi umpak,yang hanya di tumpangi oleh sakaguru dan di
selipin uang sen (misalnya 5 sen dst). Penebangan kayu dilakukan pada hari pasaran kliwon
Selain itu kayu yang di gunakan adalah kayu jati dan nangka.

19
Untuk penebangan bambu dilakukan setelah bulan purnama tanggal tua pada bulan itu (dari
tanggal 20 keatas merupakan tanggal tua) . Penebangan dilakukan pada pagi hari, dan
dibiarkan setahun agar bambunya lebih kuat dan tidak di makan hewan kecil.
Pemakaian dinding gedhek pada rumah penduduk lereng Merapi disebabkan karena gedhek
lebih ringan sehingga saat gempa atau terjadi bencana, kerusakan yang terjadi tidak
membuat pergantian bahan bangunan yang terlalu signifikan. Selain rumah berdinding
gedek, warga juga memanfaatkan batu-batuan yang berasal dari letusan gunung merapi
sebagai bahan untuk dinding. Biasanya ketebalan dinding batu mencapai 17-18 cm.
Gambar 7. Contoh rumah di Lereng Merapi
Selain itu jika membangun rumah baru, maka pemahatan pertama harus jam 12 atau jam 6
pagi sampai jam 2 malam harus sudah selesai. Struktur bangunan tidak menggunakan paku
sebagai pengikat tapi menggunakan system pasak. Dan itu sangat baik karena ketika terjadi
gempa, rumah hanya bergoyang(fleksibel). Menurut kepercayaan warga sana, kuda-kuda
rumah memberi rejeki(ngeret). mereka juga menggunakan serang (bracing) sebagai
pengukat dan penahan gaya lateral.
Gambar 8. Model Konstruksi Rumah Jawa di Lereng Merapi
Masyarakat di sekitar Gunung Merapi mempunyai kepercayaan bahwa arah hadap suatu
bangunan tempat tinggal membawa pengaruh terhadap keselamatan dan kesejahteraan

20
pemiliknya dan keluarganya. Di Dusun Pelemsari, rumah tinggal kebanyakan didirikan
menghadap kearah selatan atau ke arah jalan desa, menghindari arah hadap Gunung
Merapi dan Merbabu. Penghindaran arah hadap ke arah gunung-gunung itu dimaksudkan
untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan bagi pemiliknya dan keluarganya.
Rumah tempat tinggal yang menghadap Gunung Merapi merupakan "rumah sangar" karena
pemiliknya dianggap tidak menghormati, menantang dan menyediakan rumahnya sebagai
tempat tinggal makhluk halus yang menghuni Keraton Merapi. Begitu pula dengan rumah
yang menghadap ke arah Merbabu.

21
SOAL 4
Dalam pengelolaan lanskap yang berkelanjutan perlu dipahami konsep dasar mengenai daya dukung
(carrying capacity). Daya dukung (DD) dibatasi pada penggunaan suatu area yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor alami untuk daya tahan terhadap lingkungan, misalnya makanan, tempat berlindung
atau air. Kelak, ketika Saudara diminta untuk menganalisis DD suatu lanskap, ada baiknya untuk
terlebih dahulu menjawab pertanyaan di bawah ini.
Bahas definisi DD dalam kaitannya dengan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan (setiap
mahasiswa hanya membahas satu kasus saja, tidak boleh sama): Daya Dukung Kebun Raya (Ghofar
Ismail):
JAWABAN SOAL 4
Definisi Daya Dukung
Konsep daya dukung merupakan konsep dalam mengelola sumber daya yang merupakan
pembatasan penggunaaan dari suatu area yang menyimpan beberapa faktor alam dan lingkungan
yang ada (Odum,1971). Hendee, Stankey dan Lucas (1978) menyatakan bahwa daya dukung adalah
konsep dasar dalam pengelolaaan sumber daya alam yang merupakan batas penggunaan suatu area
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami untuk daya tahan terhadap lingkungan, misalnya
makanan, tempat berlindung, atau air. Knudson (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan
penggunaan secara lestari dan produktif sumber daya yang dapat diperbaharui.
Batasan daya dukung untuk populasi manusia menurut Soerianegara (1977) adalah jumlah individu
yang dapat didukung oleh satuan luas sumber daya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Jadi
daya dukung mempunyai dua komponen yaitu besarnya populasi manusia dan luasnya sumber daya
dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia.
Lime dan Stankey (1971) menyebutkan bahwa daya dukung rekreasi adalah sifat pemakaian yang
dapat ditopang oleh tingkat perkembangan area tertentu tanpa menyebabkan kerusakan yang
berlebihan baik pada lingkungan fisik maupun pada pengalaman pengunjung . Sedangkan Basuni dan
Soedargo (1988) mengemukakan bahwa daya dukung rekreasi merupakan sumber daya rekreasi
untuk mempertahankan fungsi dan kualitasnya guna memberikan pengalaman rekreasi yang
diinginkan.
Menurut Chubb dan Ashton dalam Hendee et al (1978) dalam pengelolaaan rekreasi istilah daya
dukung menjadi sederhana. Secara umum, daya dukung digunakan dalam dua cara yang berbeda.
Pertama, daya dukung digunakan untuk menggambarkan kemampuan fisik bioligis lingkungan untuk
menahan penggunaan rekreasi. Berbagai penelitian telah dibuat dampak penggunaan rekreasi
terhadap vegetasi dan tanah, terhadap air dan satwa liar. Kedua, daya dukung telah digunakan untuk
memperlihatkan jumlah penggunaan yang konsisten dengan beberapa ukuran secara kualitatif
dalam pengalaman rekreasional (Wagar dalam Hendee et al,1978). Penelitian daya dukung sosial
diarahkan pada suatu dampak akibat peningkatan penggunaan terhadap pengalaman rekreasional
dan dampak konflik antara kelompok pengguna rekreasi.
Kemampuan lingkungan Sumber daya alam, selain itu tingkah laku pengunjung atau pengguna
rekreasi juga menentukan besar kecilnya daya dukung dari suatu area rekreasi wisata alam. Menurut

22
Christiansen (1977) area rekreasi harus dicegah dari berbagai bentuk pencemaran yang ditimbulkan
terutama oleh para pengunjung itu sendiri. Hal itu akan berpengaruh terhadap kenyamanan
pengunjung, serta memelihara sumber daya alam, seperti satwa liar dan vegetasi serta berbagai
bentuk sampah sisa makanan, minuman, dan lain sebagainya.
Tiga hal yang dapat mempengaruhi daya dukung kawasan rekreasi menurut Knudson (1980) dan
Douglas (1975) adalah: (1) karakteristik sumber daya (geologis dan tanah, topografi, vegetasi, iklim,
air dan hewan), (2) karakteristik pengelolaan (kebijaksanaan dan metode pengelolaaan), (3)
karakteristik pemakai (psikologi, perlengkapan dan pemakaian).
Knudson (1980) menyatakan bahwa perubahan rancangan fasilitas pada tapak, tipe penggunaan,
atau teknik pengelolaan dapat meningkatkan daya dukung.
Daya dukung Biofisik
Soemarwoto (1983) mengemukakan bahwa daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah
pengunjung persatuan luas per satuan waktu. Lebih lanjut dikemukakan bahwa baik luas maupun
waktu tidak dapat dirata-ratakan, karena penyebaran pengunjung dalam ruang dan waktu tidak
merata. Karena itu daya dukung lingkungan daerah rekreasi tidak dapat dihitung berdasarkan
ratarata luas daerah dan rata-rata setiap bulan atau tahun, tetapi harus memperhatikan setiap lokasi
dan waktu yang penting. Daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
tujuan wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata.
Faktor biofisik, baik yang alami maupun buatan manusia mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu
ekosistem yang akan menentukan besar kecilnya daya dukung suatu kawasan atau tempat wisata
lainnya. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan
atau pengunjung yang datang dalam jumlah yang besar, karena tidak mudah rusak dengan cepat dan
pulih dari kerusakan (Soemarwoto, 1983).
La Page dalam Lime dan Stankey (1971) menunjukan akibat penggunan tempat rekreasi pada tanah,
vegetasi dan komponen fisik yang lain dari sumber daya yang ada. Kerusakan pada penutup tanah
terjadi bukan hanya diakibatkan penginjakan vegetasi, tetapi juga karena pemadatan tanah akibat
injakan oleh pengunjung, pertumbuhan akan rusak dan stabillitas pohon terganggu. Vegetasi yang
rentan harus diganti dengan spesies yang lebih tahan.
Faktor-faktor biofisik yang mempengaruhi daya dukung suatu area rekreasi adalah (1) kepekaan
vegetasi, (2) kemiringan lereng, dan (3) kelangkaan satwa (Knudson, 1980 dan Douglas, 1975):
1. Kepekaan vegetasi merupakan ukuran kualitatif ketahanan vegetasi terhadap gangguan
pengunjung, dinyatakan dengan klasifikasi tidak peka, agak peka, cukup peka, peka, dan sangat peka.
2. Kemiringan lereng adalah ukuran kecuraman lereng pada suatu area, dinyatakan dengan
klasifikasi kelas lereng A, B, C, D, E dan F.
3. Kelangkaan satwa adalah status kelangkaan satwa, dinyatakan dengan klasifikasi kategori 1, 2, 3, 4
dan 5.

23
1. Kepekaan vegetasi.
Kepekaan vegetasi merupakan ukuran kualitatif ketahanan vegetasi terhadap gangguan, dan
diklasifikasikan seperti pada table 1.
2. Kemiringan Lereng
Nilai kemiringan lereng diperoleh dari perhitungan kelas lereng dari peta topografi. Kriteria kelas
lereng yang digunakan adalah klasifikasi kelas lereng menurut USDA (Abdullah, 1998) yaitu: kelas A
(datar, 0-3%), kelas B (sedikit miring, 3-8%), kelas C (miring, 8-16% ), kelas D (moderat curam, 16-
30%), kelas E (curam 30-65% ), dan kelas F (sangat curam 65%). Berdasarkan direktorat Tata Guna
Lahan (1983) kelas lereng dapat dihitung dengan rumus berikut:

24
3. Klasifikasi Kelangkaan Satwa
Klasifikasi kelangkaan satwa dibagi dalam lima katagori, yaitu katagori (1) satwa yang telah
mendekati kepunahan (endangered), katagori (2) satwa yang populasinya jarang atau terbatas dan
mempunyai resiko untuk punah (restricked/rare), katagori (3) satwa yang mengalami penurunan
pesat di alam (depleted/vulnerable), katagori (4) satwa yang belum dapat ditetapkan tingkat
kelangkaannya karena karena kekurangan data (undeterminate) (Dephut, 1978) dan katagori 5)
satwa tidak langka.
Daya dukung biofisik secara kualitatif ditentukan dengan cara “overlay” peta kepekaan vegetasi,
kemiringan lereng, dan kelangkaan satwa. Setelah daya dukung untuk setiap area diketahui maka
daya dukung kebun raya dapat dinyatakan dalam bentuk peringkat daya dukung (Tabel 2).

25
SOAL 5
Urbanisasi adalah proses perubahan wilayah menjadi suatu bentuk kota.
(a) bahas paling tidak 5 ”Driven Factors” dalam proses urbanisasi tersebut dan terangkan alasan-
alasannya;
(b) Urbanisasi yang tidak terkendali dapat mengakibatkan antara lain timbulnya kekumuhan lanskap
kota dan meningkatnya pengangguran. Sebagai seorang perencana/pengelola lanskap coba
kemukakan ide Saudara untuk mengatasi
JAWABAN SOAL 5.a
Lima driven factors dalam urbanisasi adalah :
1. Kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasi di kota.
Perkotaan memiliki daya tarik yang sangat besar terutama dikaitkan dengan istilah kesempatan
kerja. Secara umum memang perkotaan merupakan pusat bisnis/perniagaan atau bahkan pusat
produksi barang maupun jasa. Dengan melihat infrastrukturnya sangat memungkinkan sekali
untuk mengembangkan pabrik-pabrik. Saat ini di Indoensia masih menggunakan paham industri
padat karya yang memanfaatkan teknologinya terbatas. Hal ini tentunya menarik minat tenaga
kerja baik disekitar industri maupun daerah sekitarnya dan bahkan daerah yang jauh dari kota
tersebut. Motif mencari lapangan pekerjaan ini yang dijadikan alasan tenaga kerja dari daerah
untuk mengadu nasib ke kota. Hal ini juga diperparah dengan minat tenaga kerja usia produktif
ke bidang usaha tani yang semakin hilang. Dengan semakin besarnya tenaga kerja yang harus
ditampung oleh suatu kota, mau tidak mau maka proses urbanisasi di sekitar kota semakin cepat.
2. Tingkat upah yang lebih tinggi.
Standar upah yang lebih tinggi tentunya menjadi mimpi para tenaga kerja daerah untuk mencari
peruntungan ke kota. Saat ini perlu disadari bahwa jurang nilai UMR antar daerah dengan kota
tentu sangat lebar. Selain itu pengupahan di daerah yang terkadang tidak mengacu pada standar
UMR. Dengan kondisi tersebut sudah pasti tenaga kerja akan memilih pekerjaan yang dianggap
mampu memberikan upah yang lebih tinggi terutama di perkotaan.
Efektifitas produksi yang diperoleh perusahaan terkait lokasi pabrik memicu proses urbanisasi
yang lebih masif. Para pengusaha tentunya lebih suka membangun pabrik pada lokasi yang
memiliki aksesibilitas lebih baik walaupun harus meningkatkan upah tenaga kerja.
3. Fasilitas perkotaan yang lebih baik.
Jika dibandingkan antara kota dan daerah, fasilitas pendukung yang ada tentu lebih komplit di
kota. Di kota menyediakan kemudahan untuk mencari berbagai kebutuhan barang dan jasa yang
tentunya kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan fasilitas daerah. Budaya instant yang saat
ini sangat mewarnai kaum pekerja juga mendorong perkotaan untuk bisa menyediakan fasilitas
yang lebih baik.

26
4. Lembaga pendidikan yang jauh lebih baik.
Mutu pendidikan menjadi alasan untuk penambahan lembaga pendidikan. Hal ini juga
dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang tinggi untuk sekolah hingga level yang lebih tinggi.
Keberadaan lembaga pendidikan tentunya mengundang siswa atau terutama mahasiwa untuk
bersekolah pada lembaga tersebut. Imbas secara langsung dari penambahan jumlah mahasiswa
dari luar kota tentunya harus diimbangi dengan penyediaan permukiman sebagai tempat tinggal
mahasiswa selama mereka sekolah. Saat ini juga ada trend untuk menggeser pusat perkuliahan
ke daerah agar tidak terganggu masalah transportasi. Hal tersebut tentunya memicu terjadinya
urbanisasi di suatu daerah.Banya
5. Lahan pertanian yang semakin sempit.
Pembangunan disetiap daerah meningkatkan laju konversi lahan pertanian. Hal tersebut
berimbas kepada kesempatan tenaga kerja untuk tetap bekerja di sektor pertanian menjadi lebih
sulit. Tenaga kerja akhirnya lebih memilih kerja di pabrik-pabrik sementara itu penambahan
tenaga kerja di kota akan memunculkan permintaan tempat bermukim. Proses tersebut akhirnya
mengakibatkan proses urbanisasi di sekitar pusat pertumbuhan berlangsung. Tidak tertutup
kemungkinan juga lahan pertanian semakin sempit karena digunakan sebagai lahan industri.
Kondisi tersebut akhirnya memunculkan berbagai infrastruktur pendukung untuk menunjang
kelangsungan industri tersebut seperti kost-kostan, warung makan, dan segala hal yang
mendukung aktifitas para tenaga kerja yang bermukim di sekitar pabrik.

27
JAWABAN SOAL 5.b.
Tindakan penanganan kawasan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan pendekatan enanganan
pada Property Development, Community Based Development, Guided Land Development.
Pendekatan penanganan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan hasil-hasil penilaian kriteria
pembentuk kawasan permukiman kumuh.
Pendekatan Property Development
Pendekatan ini berangkat dari pemahaman bahwa kawasan permukiman kumuh akan dikelola
secara komersial agar ekonomi lokasi yang tinggi dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi
kepentingan kawasan dan daerah. Dalam hal ini masyarakat penghuni kawasan berkedudukan
sebagai kelompok sasaran perumahan, pemerintah sebagai pemilik aset (tanah) dan swasta sebagai
investor.
Community Based Development
Kawasan kurang bahkan tidak mempunyai nilai ekonomis komersial. Dalam hal ini kemampuan
masyarakat penghuni sebagai perhatian utama. Masyarakat didudukan sebagai pemeran utama
penanganan.
Guided Land Development
Kawasan kurang bahkan tidak mempunyai nilai ekonomis komersial. Dalam hal ini penekanan lebih
mengarah dan melindungi hak penduduk asal untuk tetap tinggal pada lokasi semula.

28
SOAL 6
Tiga permasalahan utama pada lanskap/lingkungan perkotaan adalah transportasi, sampah domestik
dan banjir.
(a) Bahas strategi manajemen lanskap yang tepat menurut Saudara, yang dapat menjadi solusi bagi 3
permasalahan tersebut;
(b) Sebutkan perundang-undangan atau regulasi atau peraturan pemerintah atau etika yang terkait
dengan masalah transportasi, masalah sampah, dan masalah air
JAWABAN SOAL 6.a
Banjir, kemacetan dan masalah sampah merupakan masalah-masalah yang tidak dapat dihindari di
suatu perkotaan. Masalah tersebut bukan merupakan masalah dan tanggung jawab satu individu,
satu kelompok maupun satu institusi, masalah tersebut bukan untuk dihindari tetapi perlu dihadapi
bersama baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Permasalahan tersebut tidak mudah dan
tidak cepat diselesaikan.
Kota merupakan tempat bermukim, tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang perekonomian,
pemerintah dan lain-lain yang ditandai dengan kepadatan yang tinggi dengan heterogenitas
penduduk. Artinya bahwa ada banyak komponen disana, mulai dari masyarakat, swasta dan
pemerintah. Ketika kita memandang bahwa masalah tersebut bukan pada 1 individu atau kelompok
sinergitas dari 3 pihak komponen tersebut harus didorong. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan,
aturan, fasilitas, swasta dan masyarakat sebagai pelaku utama harus memberikan kontribusi dalam
penaatan kebijakan dan atauran yang telah dibuat.
Sering kali kebijakan/aturan yang dibuat pemerintah misalkan, 3 R (reuse, reduce, recycle), landfill
sanitary dengan penyelesaian masalah sampahnya, pembuatan waduk, embung, biopori,
terowongan bawah tanah untuk masalah bajirnya dan penggunaan sistem three in one, jalan tol,
kenaikan tarif parkir, hingga pembatasan kendaraan dengan penyelesaian masalah transportasinya
dan segala upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan 3 masalah diatas (macet, banjir, dan
kemacetan) namun kenyataannya apa, masalah-maslah tersebut semakin meluas dan tambah parah.
Beberapa Strategi yang menurut saya dapat mengurangi permasalahan tersebut diantaranya:
1. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus membuat kebijakan yang tegas terkait
penyusunan tata ruang baik Kabupaten maupun Kota. Tata Ruang harus disusun berdasarkan
daya dukung dan daya tampung serta memperhatikan keberlanjutan kota tersebut selanjutnya
dengan melihat aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Urutan penyusunan RTRW sebaiknya diawali
dengan penyusunan KLHS sebagai dokumen acuan penyusunan RTRW. Dalam dokumen RTRW
seharusnya juga dibahas strategi penyediaan trasportasi, pengelolaan sampah dan antisipasi
bencana agar implementasi menjadi lebih jelas.
2. Implementasi pembangunan sesuai RTRW yang mengacu pada pola ruang dan struktur ruang
yang telah disusun agar berbagai permasalahan yang mungkin timbul dapat terantisipasi.
3. Penegakan hukum terkait pelanggaran implementasi RTRW harus mulai direalisasikan karena
saat ini seolah-olah pemerintah melakukan pembiaran terhadap fenomena pelanggaran RTRW.

29
lingkungan maupun masalah transportasi harus dilakukan dengan tegas agar ada efek jera bagi
para pelaku.
4. Melakukan edukasi kepada masyarakat secara menyeluruh dan intensif terkait permasalahan
transportasi, sampah dan bencana banjir agar terbangun kesadaran masyarakat. Dengan
timbulnya kesadaran masyarkat maka pemerintah akan lebih ringan dalam mengatasi
permasalahan yang timbul. Peningkatan pemahaman masyarakat terkait permasalahan
lingkungan akan mendorong partisipasi aktif dari masyarakat untuk menghindari dan
menanggulangi permasalahan lingkungan yang terjadi.
5. Pelibatan swasta melalui program CSR-nya untuk mengembangkan community development
agar tercipta sinergi antar pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mengatasi berbagai
permasalahan lingkungan yang terjadi.

30
JAWABAN SOAL 6.b
Undang-undang terkait Transportasi
� UU No 27 tahun 2007 tentang Perkeretaapian
� UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
� UU No 01 tahun 2009 tentang Penerbangan
� UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
� PP No 62 tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi
Undang-undang terkait Masalah Sampah
� UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
� UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
� PP No 81 tahun 2012 tentang Sampah Rumah Tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga
Undang-undang terkait masalah Air
� UU No 07 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

31
SOAL 7
Silakan bahas ”masalah dan potensi ruang terbuka hijau” dan pengelolaan lanskapnya pada kasus
objek lanskap di bawah ini. Satu mahasiswa hanya satu kasus (tidak boleh sama): RTH Lanskap
Koridor Sempadan Sungai (Ghofar Ismail)
JAWABAN SOAL 7
Ruang terbuka hijau (Green Open spaces) merupakan kawasan permukaan tanah yang didominasi
oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana
lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain
untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang terbuka hijau
(Green Open spaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan
kualitas lansekap kota.
Ruang terbuka hijau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan
fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang terbuka hijau
dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota dimana
ruang terbuka hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi,
berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu wilayah kota. Salah satu contohnya adalah
ruang terbuka hijau yang difungsikan untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan
manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. Sedangkan ruang terbuka hijau untuk
fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung
Daerah Sempadan Sungai, khususnya diperkotaan yaitu sungai yang membelah kota, dimana
pemenuhan 20% RTH untuk publik, 2% diharapkan berasal dari RTH sempadan sungai, sekaligus
sebagai kawasan yang berfungsi sebagai penyangga erosi yang terjadi pada pinggiran sungai,
sehingga sungai dapat terjaga dari perluasan atau penyempitan aliran sungai yang diakibatkan lonsor
atau erosi.
Namun kenyataannya sempadan sungai hanya sebahagian yang ditanami pepohonan yaitu daerah
pinggiran tanggul, sehingga sempadan sungai diharapkan bisa dimanfaatkan secara optimal dalam
penataan RTH.
Hal tersebut diatas dikarenakan tidak memiliki konsep yang jelas, melihat potensi sempadan sungai
, sebaiknya konsep RTH yang berorentasi, pada pengembangan wisata dan rekreasi. Dengan konsep
ini Sungai yang merupakan salah satu trasportasi air bagi pemerintah dan masyarakat yang
berfungsi sebagi tempat penghubung terhadap wilayah sekitarnya, dapat mengundang pariwisata
lokal maupun manca negara sebagai tujuan persinggahan untuk rekreasi sehingga kawasan
sempadan sungai bukan saja hanya sebagai wilayah transpotasi air semata tetapi juga sebagai
wilayah tujuan wisata, juga sangat perlu dijaga kelestarian dan kebersihan lingkungan baik dari
pencemaran air, udara atau kerusakan daripada sempadan sungai.
Daerah sepanjang sempadan pada kenyataannya tidak didukung oleh adanya ruang terbuka hijau
yang mampu berfungsi secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, hal
tersebut terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau
pada daerah sempadan sungai, sehingga diperlukan adanya konsep ruang terbuka hijau yang
mampu memenuhi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu memenuhi

32
fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, serta sosial budaya dan ekonomi dari
kawasan .
Dalam kaitannya dengan lansekap kota, ruang terbuka hijau pada daerah sempadan sungai
merupakan suatu bagian penting dari keseluruhan lansekap ruang, dimana ruang terbuka hijau
berfungsi sebagai penunjang kualitas ekologis lansekap . Jika dilihat kondisi ruang terbua hijau
sepanjang daerah sempadan sungai yang tersebar belum merata dan keberadaan ruang terbuka
hijau yang ada belum menujukkan fungsi yang maksimal dalam interaksi terhadap lingkungan
sekitarnya, sehingga ruang terbuka hijau yang ada pada sepanjang sungai, terkesan masih gersang,
yang membuat masyarakat enggan berinteraksi, dalam melakukan aktivitas, seperti olah raga
jogging di sepanjang koridor jalan inpeksi yang ada, atau melakukan rekreasi. Sebagaimana dalam
suatu wilayah perkotaan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau Kota sesuai dengan kebutuhan
kota terutama kebutuhan masyarakat, maka kualitas ekologis lansekap kota akan terpenuhi dan
kualitas hidup masyarakat kota akan semakin meningkat. Molnar, menyatakan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau bagi masyarakat perkotaan ada beberapa aspek
utama yang harus dipertimbangkan yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan
lingkungan sekitar, ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang
tetap memperhatikan aspek estetika dan fungsional, mengembangakan pengalaman substansial
dari ruang terbuka hijau (efek dari garis, bentuk, tekstur dan warna), disesuaikan dengan karakter
lahan dan karakter pengguna, memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan yang
mudah. Melalui penjabaran referensi tentang ruang terbuka hijau tersebut untuk dapat
mewujudkan ruang terbuka hijau didalam suatu wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara
ekologis, estetis dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi maka dibutuhkan adanya proporsi
dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal terhadap suatu wilayah perkotaan, akan tetapi tetap
memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna serta kebutuhan kota tersebut.
Ruang terbuka hijau (RTH) kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi
sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan
kota, kawasan hijau Daerah Aliran Sungai, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan
olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status kawasan,
bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya .
Permasalahan yang sering dijumpai:
1. Adanya pemanfaatan kawasan sempadan sungai di beberapa lokasi baik area hulu maupun hilir
yang mengakibatkan perubahan bentuk alamiah sungai sehingga area sempadan sungai telah
habis dipergunakan untuk bangunan
2. Pengendalian penggunaan lahan dikawasan sempadan sungai tidak ketat sehingga yang
seharusnya berfungsi sebagai RTH berubah fungsi
3. Penyediaan lahan terbuka hijau belum terintegrasi dengan pendirian bangunan dan kurangnya
pemahaman masyarakat tentang fungsi ekologi kawasan sempadan sungai
4. Jenis dan jumlah tegakan/vegetasi yang belum memadai untuk menjaga fungsi ekologi
lingkungan sekitar sempadan sungai

33
SOAL 8
Bahas salah satu jasa lanskap atau jasa lingkungan atau jasa ekosistem yang Saudara ketahui dan
kaitkan dengan pengelolaannya.
JAWABAN SOAL 8
Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa manfaat
langsung (tangible) dan/atau manfaat tidak langsung (intangible), yang meliputi antara lain: jasa
wisata alam, jasa perlindungan tata air (hidrologi), kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir,
keindahan dan keunikan alam, penyerapan dan penyimpanan karbon (carbon offset). Jasa
lingkungan dihasilkan dari berbagai jenis penggunaan lahan (hutan atau pertanian), juga perairan
baik air tawar (sungai, danau, rawa) maupun laut. Jasa lingkungan dihasilkan dari perpaduan aset
alami, kualitas manusia, kondisi sosial yang kondusif, serta modifikasi teknik. Empat jenis jasa
lingkungan yang sudah dikenal oleh masyarakat global saat ini adalah:
(1) jasa lingkungan tata air,
(2) jasa lingkungan keanekaragaman hayati,
(3) jasa lingkungan penyerapan karbon, dan
(4) jasa lingkungan keindahan lanskap.
Contoh : Program Jasa Lingkungan PT. Krakatau Tirta Industri
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau merupakan salah satu DAS penting di Provinsi Banten dengan
luas 22.620 hektar (ha) yang berada di wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang.
Dengan debit air rerata mencapai 2.000 liter/detik, DAS Cidanau memegang peranan penting dalam
penyediaan sumber air baku untuk masyarakat dan industri Kota Cilegon, satu kawasan industri
strategis tidak saja untuk Provinsi Banten tetapi juga untuk skala nasional. Dalam kawasan ini
terdapat pula Cagar Alam Rawa Danau seluas 2.500 ha yang juga berfungsi sebagai reservoir DAS
Cidanau dan merupakan hulu dari Sungai Cidanau, sungai utama DAS Cidanau yang bermuara di
Selat Sunda.
Dalam dua puluh tahun terakhir DAS Cidanau mengalami degradasi lingkungan yang tidak saja
mengancam eksistensi Cagar Alam Rawa Danau, tetapi juga pada keberlanjutan ketersediaan dan
kualitas air. Untuk mengatasi hal tersebut para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan DAS Cidanau mencoba mengantisipasi berbagai permasalahan secara terintegrasi
(integrated management) didasarkan pada konsep One river, one plan and one management. Prinsip
pengelolaan didasarkan pada prinsip save it, study it and use it. Upaya para pihak dimulai dengan
menyepakati pembentukan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) dengan legalitas Surat
Keputusan Gubernur Banten Nomor 124.3/Kep.64-HUK/2002, tertanggal 24 Mei 2002. Perencanaan
pengelolaan DAS Cidanau oleh para pihak selalu didasarkan pada hasil rembug warga, rencana
teknik lapangan (RTL) dan Master Plan DAS Cidanau. Prioritas perencanaan pengelolaan didasarkan
pada prioritas yang diputuskan dalam rapat pleno FKDC. Hasil pleno kemudian didistribusikan
kepada para pihak, untuk diusulkan melalui mekanisme perencanaan keuangan masing-masing.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh FKDC untuk menahan laju deforestasi yang dilakukan oleh

34
masyarakat di hulu DAS adalah dengan membangun hubungan hulu-hilir dengan mekanisme jasa
lingkungan. Fasilitasi pembangunan dan pengembangan konsep hubungan hulu-hilir dengan
mekanisme jasa lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bhumi
bekerjasama dengan PSDAL-LP3ES dan dengan dukungan dana dari International Institut for
Environment and Development (IIED). Konsep dasar dari jasa lingkungan yang sedang dibangun dan
dikembangkan adalah pengguna jasa lingkungan (buyer) membayar kepada produsen jasa
lingkungan (seller/provider) atas jasa lingkungan yang digunakannya. Jenis jasa lingkungan DAS
Cidanau yang dijadikan dasar hubungan hulu-hilir adalah sumber daya air (water resources), dimana
pemanfaat air membayar kepada masyarakat yang memiliki peran dalam menjaga tata air DAS
Cidanau. Transaksi jasa lingkungan itulah yang diharapkan dapat menahan deforestasi di lahan-lahan
milik masyarakat (hutan rakyat), yang merupakan tutupan lahan dominan di DAS Cidanau, dengan
tanpa menghilangkan penghasilan masyarakat hulu.
Dalam implementasi konsep hubungan hulu-hilir dengan mekanisme jasa lingkungan, PT. Krakatau
Tirta Industri (KTI) merupakan pioneer buyer jasa lingkungan DAS Cidanau, yang dengan sukarela
(voluntary) membayar Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) per tahun dengan
masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun. Lokasi model masyarakat yang
menerima pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman Kecamatan Ciomas dan Desa Cibojong
Kecamatan Padarincang Kabupaten Serang, dengan jumlah pembayaran sebesar Rp. 1.200.000,-/ha
dengan masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun, sedangkan kawasan
yang mendapat pembayaran jasa lingkungan masing-masing seluas 25 ha. Lahan milik masyarakat
yang berhak atas pembayaran jasa lingkungan adalah lahan yang ditanami pohon jenis kayu dan
buah-buahan, dengan jumlah tidak kurang dari 500 batang. Selama dalam masa perjanjian
masyarakat tidak boleh menebang tanaman yang masuk dalam skema jasa lingkungan. Apabila ada
anggota kelompok yang melanggar ketentuan tersebut, maka seluruh anggota kelompok tidak akan
menerima pembayaran jasa lingkungan yang sudah jatuh tempo. Seluruh proses implementasi
dilakukan melalui negosiasi, baik dengan KTI maupun anggota kelompok di Desa Citaman dan Desa
Cibojong. Hasil dari negosiasi tersebut dituangkan menjadi klausul-klausul dalam perjanjian
pembayaran jasa lingkungan masing-masing pihak.
Pengelola dari jasa lingkungan adalah Tim Adhoc yang merupakan independent body yang
ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Harian FKDC dengan SK No. 990/Kep.03-FKDC/I/2005, sedangkan
mekanisme pengelolaan diatur oleh SK Ketua Pelaksana Harian FKDC No. 990/Kep.05-FKDC/I/2005.
Pembentukan Tim Adhoc dan ketetapan-ketetapan yang dituangkan dalam SK Ketua Pelaksana
Harian FKDC, merupakan hasil diskusi dan rumusan dari Focus Group Discussion (FGD), yang
prosesnya memakan waktu selama kurang lebih 3 (tiga) tahun. Anggota Tim Adhoc dan FGD terdiri
dari unsur pemerintah (provinsi dan kabupaten di wilayah DAS Cidanau), swasta dan lembaga
swadaya masyarakat.

35
Skema imbalan jasa lingkungan yang dilakukan oleh PT. Krakatau Tirta Industri (PT. KTI) dapat dilihat
pada Gambar 9 di bawah ini.
Gambar 9. Skema Imbal Jasa Lingkungan DAS Cidanau
Pengelola Jasa Lingkungan
Pengelola dari jasa lingkungan adalah Tim Adhoc yang merupakan independent body yang
ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Harian FKDC dengan SK No. 990/Kep.03-FKDC/I/2005, sedangkan
mekanisme pengelolaan diatur oleh SK Ketua Pelaksana Harian FKDC No. 990/Kep.05-FKDC/I/2005.

36
Daftar Pustaka
Bambang S, 2010, Modul Kuliah, Ilmu Kewilayahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri,
Kemendagri.
BLH Kota Cilegon, 2013, Analisis Pengelolaan Kawasan Sempadan Sungai Kota Cilegon
Fatkhan M., 2006, KEARIFAN LINGKUNGAN MASY ARARAT LERENG GUNUNG MERAPI, Jurusan
Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aplikasia, Jurnal
Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. VII, No 2 Desember 2006: 107-121
Heryati, 2010, Identifikasi Dan Penanganan Kawasan Kumuh Kota Gorontalo, Fakultas Teknik
Universitas Negeri Gorontalo
Ruhiyat Y, 2008, Studi Daya Dukung Biofisik Kawasan Rekreasi Kebun Raya Bogor, Program Studi
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Soenarno SM, 2012, Jasa Lingkungan, Makalah Diklat “Pendidikan Konservasi Alam Bagi Guru
SLTP” Angkatan 29 yang diselenggarakan oleh The Indonesian Wildlife Conservation
Foundation (IWF) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta
Suhartini, 2009, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Lingkungan, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas
MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Tato S, 2013, Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Sempadan Sungai
(http://syahriartato.wordpress.com/2013/08/11/ruang-terbuka-hijau-kawasan-sempadan-sungai)
http://alprmagz.wordpress.com/2013/07/02/keunikan-pola-permukiman-suku-suku-di-indonesia
http://hsarifin.staff.ipb.ac.id/academic/course-subject/rural-landscape
http://melynb.blogspot.com/2011/06/budaya-arsitektur-di-lereng-merapi_25.html