step 1 7

Upload: hilman-fachri

Post on 15-Jul-2015

1.028 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Skenario Malar Rash

Gita, 24 tahun seorang mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani masa pendidikan klinik di RS, sudah 6 bulan merasakan arthralgia. Ketika sedang shift jaga di RS tiba-tiba dia merasa lemas dan nyeri sendi yang hebat sampai tidak bisa berdiri, kemudian dia berobat ke dokter dan disarankan dirawat. Dari pemeriksaan fisik didapatkan malar rash di wajahnya. Karena dokter mencurigai dia menderita kelainan imun, dokter yang merawat memeriksa tes ANA dan didapatkan hasil positif. Kemudian dilakukan terapi kortikosteroid dan obat-obatan lainnya.

1Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Step 1 1. Malar rush eritema yang menetap bias menonjol dan mendatar yang

letaknya biasa pada nasoladial, seperti bentuk kupu-kupu . 2. Tes ANA suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody antinuclear yang

digunakan untuk mendiagnosa SLE dan penyakit imun lainnya. 3. Atralgia Step 2 1. Bagaimana factor fisiologi dari gejala-gejala di kasus ? 2. Peerbedaan penyakit imun dengan penyakit non-imun ? 3. Diagnosis dan DD dari kasus adalah ? 4. Penyebab/ etiologi penyakit ? 5. Gejala lain yang mungkin pada kasus ! 6. Pemeriksaan penunjang pada kasus ! 7. Peatalaksanaan pada pasien ! 8. Komplikasi penyakit ! 9. Prognosis penyakit ! nyeri sendi.

Step 3 1. Patofisiologi gejala-gejala pada kasus : y Lemas adanya gangguan pada eritropoesis yang menyebabkan sel

darah merah menurun jumlahnya yang berefek pada kurangnya O2 pada jaringan. y Artralgia disebabkan oleh adanya pengendapan kompleks imun di

sendi yang mengundang mediator-mediator inflamasi sehingga menyebabkan nyeri sendi. y Malar rash adanya efek fotosensitivitas yang menyebabkan

kelainan pada kulit. 2. Perbedaan penyakit imun dan non-imun ialah : Dilihat dari gejalanya. Biasanya penyakit imun ditandai oleh adanya: 2Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y

Peran antara autoantibodi, antibodi dan sel T, kompleks antigenantibodi, dan komplemen

y

Spektrum sangat luas ; organ spesifik spesifik)

sistemik (non-organ

y

Organ spesifik : organ tunggal, respons langsung thd antigen didalam organ tsbt

y

Non-organ spesifik : organ multipel, respons autoimun terhadap molekul yang tersebar diseluruh tubuh terutama, terutama molekul intra seluler

3. Diagnosis kasus adalah Systemic Lupus Eritematosus (SLE) Diagnosis banding adalah Rheumatoid Arthritis dan Scleroderma

4. Etiologi penyakit: Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin.

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk 3Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE.

5. Gejala penyakit: Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : y Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi. y Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi

jaringan parut. y Fotosensitivitas terhadap y : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas

cahaya matahari.

Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.

y

Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.

y y

Serositis Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.

y

Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.

y

Kelainan ginjal 4Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+ b.Ditemukan campuran. y y Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3 ), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3 ) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut. y Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid y Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus. Jika ditemukan 4 dari 11 kriteria di atas. Maka hal tersebut sudah dapat menunjukkan bahwa penderita mengalami SLE karena 11 kriteria di atas merupakan gejala khas penderita SLE. 6. Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya SLE: y Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini y Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. y Ruam kulit atau lesi yang khas 5Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

eritrosit,

hemoglobin

granular,

tubular,

atau

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y y

Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung

y y

Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah

y y

Biopsi ginjal Pemeriksaan saraf.

7. Penatalaksanaan: Prinsip penatalaksanaan Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.

y

Lupus diskoid Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.

y

Serositis lupus (pleuritis, perikarditis) Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.

6Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y

Arthritis lupus Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin).

y

Miositis lupus Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.

y

Fenomena Raynaud Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

y

Lupus nefritis Tidak ada terapi khusus pada klas I dari klasifikasi WHO. Lupus nefritis kelas II (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis kelas III (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing. Pada Lupus nefritis kelas IV (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison. Siklofosfamid intravena telah digunakan secara 7Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan.

Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid

selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkn tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml). Pada Lupus nefritis kelas V regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan

siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.

y

Gangguan hematologis Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.

y

Pneumonitis interstitialis lupus Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.

y

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena. 8Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y

Penurunan densitas mineral berhubungan dengan dosis dan lamanya pengobatan steroid. Penggunaan dosis rendah harian

kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis

tinggi dan jangka panjang. Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES Antimalaria Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari) Kortiko-steroid Prednison Dosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu Obat imuno-supresif Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. 9Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3 ) Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs) Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari Diclofenac < 12 tahun : tak dianjurkan > 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6-12 1-10 6 bulan bulan bulan : : : 360 540 800 mg/hari mg/hari mg/hari

11-18 bulan : 1200 mg/hari Calcifediol

10Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu Anti-hipertensi Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam. Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

8. Komplikasi penyakit: Komplikasi mungkin termasuk kerusakan serius organ vital seperti paruparu, jantung, otak, atau ginjal. Infeksi yang terjadi karena sistem kekebalan (infeksi oportunistik) adalah penyebab utama kematian. Pengobatan dengan obat antimalaria dapat merusak jaringan peka cahaya dari bagian belakang bagian dalam mata (retina). Pengobatan kortikosteroid dapat menyebabkan pembengkakan wajah dan tekanan darah tinggi (hipertensi). Infeksi lain seperti pilek, influenza, atau meningitis mungkin memperburuk gejala. Beberapa pasien lupus dapat mengembangkan penyakit lain seperti skleroderma atau fenomena Raynaud (Hahn).

11Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

9. Prognosis penyakit: LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

12Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

STEP 4 1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit otoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.

2. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti.

Penyebab dari lupus tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: y y y y y y Infeksi Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin Sinar ultraviolet Stres yang berlebihan Obat-obatan tertentu Hormon.

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom. 13Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. 3. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.

Kadang-kadang obat jantung tertentu (hidralazin, prokainamid dan beta-bloker) dapat menyebabkan sindroma mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan. Faktor penyebab terserangnya seseorang terhadap penyakit Lupus hingga kini belum diketahui, tetapi pengaruh lingkungan dan faktor genetik, hormon diduga sebagai penyebabnya. Faktor Genetik : Tidak diketahui gen atau gen gen apa yang menjadi penyebab penyakit tersebut, 10% dalam keluarga Lupus mempunyai keluarga dekat ( orang tua atau kaka adik ) yang juga menderita lupus, 5% bayi yang dilahirkan dari penderita lupus terkena lupus juga, bila kembar identik, kemungkinan yang terkena Lupus hanya salah satu dari kembar tersebut. 14Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya : infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra violet (matahari) dan penggunaan obat obat tertentu. Faktor hormon, dapat menjelaskan mengapa kaum perempuan lebih sering terkena penyakit lupus dibandingkan dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit Lupus sebelum periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon, khususnya ekstrogen menjadi penyebab pencetus penyakit Lupus. Akan tetapi hingga kini belum diketahui jenis hormon apa yang menjadi penyebab besarnya prevalensi lupus pada perempuan pada periode tertentu yang menyebabkan meningkatnya gejala Lupus masih belum diketahui. Lupus sering kali disebut sebagai penyakit perempuan, meskipun faktanya ada juga laki-laki yang terkena Lupus. Lupus dapat terjadi pada semua usia anak, dewasa. Walaupun terjadinya penyakit Lupus 10-15 kali lebih banyak terjadi pada perempuan usia produktif dibandingkan dengan laki-laki. Gejala penyakit Lupus pada perempuan dan laki-laki pada umumnya adalah sama. Tetapi risiko timbulnya Lupus pada perempuan dewasa usia subur 8 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan laki-laki dewasa. Beberapa data menunjukkan insiden penyakit Lupus ras Asia lebih tinggi dibandingkan ras Kaukasia. Faktor sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmune. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak

15Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari. Empat puluh hingga 60% pasien SLE adalah rentan terhadap photosensitive. Terkena cahaya matahari secara berlebihan diperkirakan sebagai faktor pemicu serangan dari penyakit SLE dan memperburuk cutaneous (discoid) lupus. Pasien Lupus, harus menyadari bahwa sinar matahari adalah musuh bagi mereka. Gaya hidup yang sensitif akan memperkecil tekena dari sengatan sinar UV yang berlebihan. Aktivitas di luar gedung sebaiknya diselesaikan sebelum jam 10 pagi dan setelah jam 2 siang saat cahaya UV kurang begitu menyengat. Pasien Lupus sebaiknya tidak berjemur atau berpanas-panas dan tidak membuat kulitnya menjadi coklat terbakar sinar matahari. Karena itu gunakan pelindungmatahari yang dapat menghambat cahaya matahari (sunblock) dan yang menahancahaya matahari (sunscreens). Penghambatcahaya matahari (sunblock) .

Patofisiologi: Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,

hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara

16Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4. Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003). Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme 17Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan. Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor Fc RIIA dan Fc RIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator

inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya. Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang

menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor 18Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

V 3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Fc R yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2.

3. Gejala penyakit: Gejala / Simptom Presentase Rasa sakit pada sendi (arthralgia) Demam hampir - lebih dari 38 derajat celcius. Bengkak pada sendi ( Arthritis) Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatique) berkepanjangan Ruam pada kulit Anemia (kekurangan darah) Gangguan ginjal . Sakit di dada jika menghirup nafas dalam ( pleurisy) Ruam berbentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30% 74% 71% 50% 45% 42% 95% 90% 90% 81%

(photosensitivity). Kerontokan rambut. Gangguan abnormal clotting darah Fenomena Raynauds (jari menjadi putih/biru saat dingin) Stroke Sariawan (ulcers) pada rongga mulut dan hidung. 19Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

27% 20% 17%

15% 12 %

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Kehilangan selera makan. Gejala dan Tanda yang biasa terjadi pada Lupus y y y y y y y y y y y y y y y Sakit pada tulang dan sendi Nyeri sendi, sendi membengkak Demam atau panas tinggi bukan karena infeksi Cepat lelah, lesu, lemah

>60%

Ruam kulit, bercak merah pada kulit bersisik dan gatal, rambut rontok Anemia ( kurang darah ) Penurunan berat badan Nyeri waktu nafas Ujung jari berwarna kebiruan / pucat Sariawan Kejang Sakit kepala Sensitif terhadap sinar matahari Gangguan daya ingatan Kulit

Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. y Serositis (pleuritis dan perikarditis). Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. y Ginjal Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun 20Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%. y Hematologi Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan lekopenia. y Pneumonitis interstitialis Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut. y Susunan Saraf Pusat (SSP) Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan

metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. y Arthritis Dapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. y Fenomena Raynaud

21Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.

4. Lupus sistemik adalah penyakit yang sukar didiagnosa, alasannya karena : y merupakan penyakit yang bersifat multi sistem karena sebelum seseorang didiagnosa menderita lupus. y gejala penyakit ini tidak berkembang dengan cepat. Gejala-gejalanya muncul - hilang dan berkembang seiring perjalanan waktu. y y merupakan peniru ulung berbagai macam penyakit. tidak ada tes khusus untuk mendiagnosa penyakit ini. Umumnya seseorang dideteksi terkena penyakit ini berdasarkan hasil tes laboratorium ANA. Meskipun hasil tes ANA positip, tetapi belum tentu ia terkena penyakit lupus.

Kriteria Yang Digunakan untuk mendiagnosa Lupus Berdasarkan hasil penelitian dari ACR (American College of Rheumatology), yaitu perkumpulan ahli rematik di Amerika menemukan 11 kriteria yang harus dipenuhi bagi penderita Lupus . Apakah saya terkena Lupus?? YA, apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ada : Kriteria pada kulit : 1 Kemerahan pada bagian pipi kanan dan pipi kiri termasuk hidung membentuk seperti kupu-kupu (Butterfly rash). 2 Ruam berwarna kemerahan yang terus meningkat jumlahnya (Discoid rash). 22Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

3

Tidak tahan terhadap Sensitivity)

sengatan

sinar

matahari (Sun

4

Sariawan tanpa rasa nyeri yang sering hilang dan muncul secara berulang-ulang- terjadi di bagian dalam hidung atau mulut (Oral ulcerations) Kriteria pada Sistemik (bagian dalam organ tubuh) :

5

Sakit pada persendian- ngilu pada bagian tulang sendi bisa terjadi pada beberapa bulan (Arthritis).

6

terjadi penimbunan pada cairan di selaput dada/paru- pleuritis (Serositis) atau Penimbunan cairan di selaput jantung (Pericardium).

7

Kebocoran protein di air seni pada kadar tertentu (Kidney disorder).

8

Terjadi kejang-kejang atau gangguan kejiwaan- psikosis (Neurologic disorder). Kriteria pada hasil pemeriksaan Laboratorium :

9

Kurangnya jumlah sel darah putih atau trombosit atau kurangnya sel darah merah (Blood abnormalities).

10

Ditemukannya antibodi terhadap DNA atau ditemukannya sel bentuk khusus (sel LE) atau ditemukannya hasil tes positif palsu pada sifilis (Immunologic disorder) (sebenarnya

penderita tidak mengalami sakit sifilis, tetapi hasil tes darah positif). 11 Hasil tes ANA positif terhadap inti sel tubuh manusia. Positif antibodi ANA (anti nuclear antibody). Pemeriksaan Laboratorium Karena banyaknya gejala dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang mirip dengan penyakit lain membuat penyakit Lupus sulit untuk didiagnosa. Pelaksanaan diagnosa dilakukan karena faktor :

23Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y y y

Sejarah kesehatan pasien secara keseluruhan. Gejala-gejala yang dialami pasien. Analisis terhadap hasil yang diperoleh dari pemeriksaan rutin laboratorium dan beberapa pemeriksaan khusus yang berkaitan dengan status kekebalan.

Sebelum membuat diagnosa SLE pada pasien harus melihat riwayat klinis dari gejala-gejala penyakit lain yang mengarah pada kecurigaan terhadap SLE. Jika seseorang memiliki beberapa gejala seperti disebut diatas, maka dokter akan mencari bukti-bukti keberadaan auto-antibodi pada tubuh pasien. Pemeriksaan laboratorium yang dapat membuktikan secara tepat : apakah seseorang terkena penyakit Lupus atau tidak. Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosa SLE, antara lain : y Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA) yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah. y Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ) yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam sel. y Pemeriksaan anti-Sm antibodi yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan dalam sel protein inti). y Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam darah y Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifik dari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini

24Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y

Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi

membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep. y y y y y y Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit Urine Rutin Antibodi Antiphospholipid Biopsy Kulit Biopsy Ginjal Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).

5. Terapi nonfarmakologi Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE. Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar 25Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

antibodi anti-DNA. Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). Terapi farmakologi Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. NSAID Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya.

Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu 26Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (6080 mg sehari selama kehamilan minggu ke-1326) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).

y y y y y y

Enzim fosfolipase Dihambat kortikosteroid Asam arakidonat Enzim siklooksigenase Enzim lipoksigenase Hidroperoksid

27Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

y y

Leukotrien Endoperoksida

NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. Antimalaria Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1dan tumor necrosing factor (TNF- ). dan

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi

kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum

pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan

28Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat.

Obat malaria yang sering digunakan adalah : Klorokuin Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat sel-sel

yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan mata, 50% 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002). Hidroksiklorokuin Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002). Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi 29Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

seperti

leukotrien,

prostasiklin, sel

prostaglandin, pada endotelial

dan

tromboksan-A2 inflamasi

serta dan

menghambat

melekatnya

terjadinya

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari

kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF- , metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu. Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai

3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari. Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya 30Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan

penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamuspituitari-adrenal (HPA). Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu

dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000). Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001). Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis 31Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas endstage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid. Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 22% dari dosis oral. Siklofosfamid

dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-function oxidase menjadi bahan yang aktif. Obat ini mempunyai ikatan dengan protein plasma sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar 6,5 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 4 jam.

Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000). Obat lain Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi. Azatioprin Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 3 32Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 merkaptopurin 0,9 4,2 menit, sedangkan

0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek

samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000). Metotreksat Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan

33Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995). Intravena gamma globulin Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002). Terapi hormon Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and

Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNFserta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat

digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001). Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus 34Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002). Mikofenolat mofetil Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif proliferasi limfosit T dan B,

pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman, 2001).

6. Komplikasi mungkin termasuk kerusakan serius organ vital seperti paruparu, jantung, otak, atau ginjal. Infeksi yang terjadi karena sistem 35Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

kekebalan (infeksi oportunistik) adalah penyebab utama kematian. Pengobatan dengan obat antimalaria dapat merusak jaringan peka cahaya dari bagian belakang bagian dalam mata (retina). Pengobatan kortikosteroid dapat menyebabkan pembengkakan wajah dan tekanan darah tinggi (hipertensi). Infeksi lain seperti pilek, influenza, atau meningitis mungkin memperburuk gejala. Beberapa pasien lupus dapat mengembangkan penyakit lain seperti skleroderma atau fenomena Raynaud (Hahn).

7. Prognosis penyakit: LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

36Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Step 5 1. Klasifikasi penyakit autoimun 2. DD kasus ( rheumatoid artrisis, scleroderma ) 3. Pemeriksaan penunjang pada SLE 4. Terapi SLE 5. Prognosis SLE

37Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Step 7 1. Klasifikasi Penyakit Autoimun Penyakit autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organspesifik atau lokal, tergantung pada patologi utama dari masing-masing penyakit.y

Penyakit

autoimun

sistemik

termasuk

lupus,

sindrom

Sjgren,

skleroderma, rheumatoid arthritis, dan dermatomiositis. Kondisi ini cenderung berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen yang tidak spesifik jaringan. Jadi meskipun polimiositis lebih atau kurang jaringan tertentu dalam presentasi, mungkin termasuk dalam kelompok ini karena autoantigens sering di mana-mana t-RNA sintetase.y

Sindrom lokal mungkin endocrinologic (diabetes mellitus tipe 1, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison dll), dermatologi (pemphigus vulgaris), atau hematologi (anemia hemolitik autoimun), dan melibatkan jaringan tertentu.

Menggunakan istilah lama "organ tertentu" dan "non-organ tertentu" skema klasifikasi, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung penyakit autoimun. Namun, banyak gangguan manusia inflamasi kronis kurangnya asosiasi tanda B dan sel T didorong immunopathology. Dalam dekade terakhir ini telah tegas ditetapkan bahwa jaringan "autoimun" tidak selalu bergantung pada T abnormal dan respon sel B.

2. Diagnosis Banding dari Kasus Reumatoid Artritis Reumatoid artritis termasuk penyakit autoimun yang menyerang persendian tulang. Sendi yang terjangkit biasanya sendi kecil seperti tangan dan kaki secara simetris (kiri dan kanan) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan kemudian sendi mengalami kerusakan. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada 6

38Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

bulan pertama terserang penyakit ini, dan cacat bisa terjadi setelah 2-3 tahun bila penyakit tidak diobati.

Penyakit autoimun terjadi karena adanya gangguan pada fungsi normal dari sistem imun yang menyebabkan sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri atau dikarenakan adanya kegagalan antibodi dan sel T untuk mengenali sel tubuhnya sendiri sehingga merusak sel tubuh sendiri karena menganggap sel tubuh merupakan benda asing.

Reumatoid artritis menyerang lapisan dalam bungkus sendi (sinovium) yang mengakibatkan radang pada pembungkus sendi. Akibat sinovitis (radang pada sinovium) yang menahun, akan terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi, tulang, tendon dan ligamen dalam sendi.

Peradangan sinovium menyebabkan keluarnya beberapa zat yang menggerogoti tulang rawan sel sehingga menimbulkan kerusakan tulang dan dapat berakibat menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Dalam seminar yang diadakan Wyeth Indonesia 20 Mei 2009 lalu juga mengungkap bahwa artritis reumatoid dapat menyerang semua usia, dari anak sampai usia lanjut dan perbandingan wanita : pria adalah 3 : 1.

Gejala Reumatoid Artritis: Terjadi peradangan pada sendi, terasa hangat di bagian sendi, bengkak, kemerahan dan sangat sakit. Biasanya pada banyak sendi, simetris, sendi terasa kaku di pagi hari. Selain itu, gejala lainnya adalah demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, dan anemia.

Pengobatan Rheumatoid Artritis

39Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Bertindak sebagai nara sumber, Prof. Dr. dr. Harry Issbagio, SpPD-KR, K Ger menyatakan bahwa belum ada obat yang menyembuhkan reumatoid artritis, dalam artian bila obat sihentikan, maka penyakit tidak kambuh lagi. Pengobatan reumatoid artritis ditujukan untuk: 1. Mengurangi nyeri 2. Mengurangi inflamasi 3. Menghentikan kerusakan sendi 4. Mencegah cacat 5. Memperbaiki fungsi sendi 6. Memperbaiki kualitas hidup 7. Mencegah kematian dini Dahulu, pengobatan reumatoid artritis hanya untuk menghilangkan gejalanya saja, seperti mengurangi bengkak,nyeri (pengobatan simptomatik). Dengan pengobatan untuk mengurangi gejala saja, cacat tetap terjadi.

Sekarang, pengobatan reumatoid artritis dimaksudkan untuk menghentikan penyakit agar tidak berlanjut, mencegah hilangnya fungsi sendi, dan mencegah cacat, sehingga dapat mencegah kematian prematur.

Di masa depan, pengobatan diarahkan untuk mengurangi penyakit meskipun pengobatan dihentikan.

Pengobatan RA dibagi dua, yaitu terapi menggunakan obat, dan terapi non obat seperti fisioterapi, psikologik, dan pembedahan. Pengobatan dengan menggunakan obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying anti rheumatic drug/DMARD) seperti metroteksat, sulfasalasin, kloroquin dapat digunakan. Namun kekurangan dari penggunaan obat tersebut

40Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

adalah efek samping yang ditimbulkan cukup besar, prosedur penggunaan cukup rumit, efek lambat, dan angka kegagalan yang cukup besar. Penggunaan agen biologi yang mekanisme kerjanya menginaktivasi sel T memiliki keuntungan bekerja lebih cepat, efek samping yang sedikit, dan angka keberhasilan yang cukup tinggi. Namun kekurangan penggunaan agen biologi dalam pengobatan RA adalah harganya yang cukup mahal bagi kebanyakan masyarakat. Yang perlu diingat adalah bahwa kunci keberhasilan pengobatan RA yaitu diagnosa dini dan pengobatan awal yang prograsif, yaitu sesegera mungkin menggunakan obat pengubah perjalanan penyakit (DMARD) bila diagnosa telah ditegakkan. reumatoid artritis belum dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol sampai tercapainya tingkat remisi (sembuh sementara), di mana gejala penyakit terutama kerusakan sendi dapat dihentikan.

SklerodermaScleroderma adalah penyakit autoimun dari jaringan ikat yang menampilkan penebalan kulit, spontan luka, penyakit pembuluh darah, berbagai derajat peradangan, yang terkait dengan sistem kekebalan terlalu aktif. Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi ketika jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistim imunnya sendiri. Scleroderma ditandai oleh pembentukan jaringan parut (fibrosis) pada kulit dan organ tubuh. Hal ini menyebabkan ketebalan dan keteguhan daerah yang terlibat. Skleroderma, ketika itu menyebar atau meluas di seluruh tubuh, juga disebut sebagai sclerosis sistemik. Penyebab scleroderma tidak diketahui. Para peneliti telah menemukan beberapa bukti bahwa gen tertentu merupakan faktor penting, namun lingkungan tampaknya juga memainkan peran. Hasilnya adalah pengaktifan sistem kekebalan tubuh dalam individu yang rentan, menyebabkan cedera pada jaringan yang menghasilkan cedera serupa dengan parut -pembentukan jaringan. Fakta bahwa gen tampaknya menyebabkan kecenderungan untuk mengembangkan scleroderma yang berarti warisan setidaknya memainkan sebagian peran. Hal ini tidak biasa untuk 41Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

menemukan penyakit autoimun lainnya dalam keluarga pasien skleroderma. Beberapa bukti untuk peran gen dapat bermain dalam mengarah ke pengembangan dari scleroderma datang dari studi tentang Amerika Choctaw asli yang merupakan kelompok dengan prevalensi tertinggi penyakit ini. Penyakit ini lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria.

Klasifikasi SklerodermaScleroderma dapat diklasifikasikan dalam hal derajat dan lokasi keterlibatan kulit. Dengan demikian, skleroderma telah dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, menyebar dan terbatas. Namun, istilah dalam literatur bervariasi, misalnya, beberapa peneliti istilah dua kelompok utama lokal dan sistemik. Bentuk difus skleroderma (sklerosis sistemik) melibatkan penebalan simetris dari kulit ekstremitas, wajah, dan batang (dada, punggung, perut, atau panggul) yang dapat dengan cepat berkembang menjadi pengerasan setelah fase inflamasi awal. Penyakit organ dapat terjadi sejak awal dan serius. Organ yang terkena dampak meliputi kerongkongan, perut, dan paru-paru dengan jaringan parut (fibrosis), jantung, dan ginjal. Tekanan darah tinggi dapat menjadi efek samping merepotkan. Bentuk terbatas dari scleroderma cenderung memiliki keterlibatan kulit jauh lebih sedikit dengan penebalan kulit terbatas pada kulit jari tangan dan wajah. Perubahan kulit dan fitur lain dari penyakit cenderung terjadi lebih lambat dibandingkan dalam bentuk menyebar. Karena karakteristik pola klinis dapat terjadi pada pasien dengan bentuk terbatas dari skleroderma, formulir ini telah mengambil nama lain yang terdiri dari inisial pertama dari komponen umum. Jadi, bentuk ini juga disebut "CREST" varian dari skleroderma. CREST merupakan fitur berikut: C ... Calcinosis mengacu pada pembentukan deposit kecil kalsium di kulit. Ini terlihat keras, daerah keputihan di kulit dangkal, umumnya atasnya siku, lutut, atau jari. Deposito ini perusahaan dapat bersikap lembut, dapat menjadi terinfeksi, dan

42Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

dapat jatuh dari spontan atau memerlukan operasi pengangkatan. Ini adalah yang paling umum dari fitur varian CREST scleroderma. R ... Fenomena Raynaud mengacu pada spasme pembuluh arteri kecil memasok darah ke jari, jari kaki, hidung, lidah, atau telinga. Daerah ini berubah biru, putih, kemudian merah setelah paparan ekstrem dingin, atau bahkan kadang-kadang dengan ekstrem panas atau gangguan emosi. Hal ini dapat menyebabkan daerah kecil kerusakan pada ujung jari (ulkus digital) atau daerah yang lebih besar dari kulit mati di ujung jari. E ... Kerongkongan penyakit pada skleroderma ditandai dengan buruknya fungsi otot dua pertiga lebih rendah dari kerongkongan. Hal ini dapat mengarah pada kerongkongan abnormal lebar yang memungkinkan aliran balik asam lambung ke ke kerongkongan menyebabkan mulas, peradangan, dan berpotensi jaringan parut yang menyempit kerongkongan. Hal ini akhirnya dapat menimbulkan kesulitan dalam melewati makanan dari mulut melalui kerongkongan ke perut. Gejala sakit maag diperlakukan secara agresif pada pasien dengan skleroderma dalam rangka untuk mencegah cedera pada kerongkongan. S ... Sclerodactyly mengacu pada penebalan lokal dan keketatan dari kulit jari tangan atau kaki. Hal ini dapat memberi mereka penampilan "mengkilap" dan sedikit bengkak. Sesak dapat menyebabkan pembatasan parah gerak dari jari tangan dan kaki. Perubahan kulit ini umumnya kemajuan jauh lebih lambat bahwa mereka pasien dengan bentuk difus skleroderma. T ... Telangiectasias adalah daerah merah kecil, sering pada wajah, tangan, dan di mulut belakang bibir. Daerah-daerah pucat ketika mereka menekankan kepada dan mewakili melebar (dilatasi) pembuluh kapiler. Pasien dapat memiliki variasi CREST, misalnya, CRST, REST, ST, dll Pasien juga dapat memiliki "tumpang tindih" penyakit dengan fitur dari kedua CREST dan bentuk difus skleroderma. Beberapa pasien memiliki tumpang tindih dari scleroderma dan penyakit jaringan ikat lainnya, seperti rematoid artritis , lupus eritematosus sistemik , dan polymyositis . Ketika fitur dari skleroderma yang hadir 43Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

bersama dengan fitur polymyositis dan sistemik lupus eritematosus, kondisi ini disebut sebagai penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Akhirnya, perubahan kulit skleroderma bisa dilokalisasi. Morphea adalah kulit scleroderma yang dilokalisasi ke daerah merata dari kulit yang menjadi mengeras dan sedikit berpigmen. Kadang-kadang morphea dapat menyebabkan lesi multipel pada kulit. Morphea tidak terkait dengan penyakit lain dalam tubuh. Linear scleroderma adalah scleroderma yang biasanya terlokalisir pada ekstremitas bawah, sering menyajikan sebagai strip dari kulit pengerasan bawah kaki anak. Linear scleroderma pada anak dapat aksi pertumbuhan tulang dari anggota badan yang terkena. Kadang-kadang skleroderma linier dikaitkan dengan area "satelit" dari sebuah patch dari kulit scleroderma lokal, seperti pada perut.

3. Pemeriksaan Penunjang SLE Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya: a. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.

Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.

b. Ruam kulit atau lesi yang khas c. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis 44Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

d. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung e. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein f. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah g. Biopsi ginjal h. Pemeriksaan saraf. i. Pemeriksaan AutoantibodiTabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Antibo dy Pre val ens i, % 98 Antige n yang Dikena li Multipl e nuclear Clinical Utility

Antinuc lear antibodi es

Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis. Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia. Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE. Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut,

AntidsDNA

70

DNA (double strande d)

AntiSm

25

Kompl eks protein pada 6 jenis U1 RNA

AntiRNP

40

Kompl eks protein pada U1 RNA

Anti-Ro (SS-A)

30

Kompl eks Protein pada hY RNA,

45Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologiterutam a 60 kDa dan 52 kDa dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis. Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

Anti-La (SS-B)

10

47-kDa protein pada hY RNA Histone s terkait dengan DNA (pada nucleos ome, chroma tin) Phosph olipids,2

Antihist one

70

Antipho spholipi d

50

glycopr otein 1 cofacto r, prothro mbin

Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2 G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antieryt hrocyte

60

Membr an eritrosit

Diukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis. Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antiplat elet

30

Permuk aan dan peruba han antigen sitoplas mik pada platelet . Neuron al dan permuk aan antigen limfosit

Antineu ronal (termas uk antiglutama te receptor ) Antirib osomal P

60

Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

20

Protein pada riboso me

Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis

46Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay. Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis 4. Terapi pada SLE Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.52 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.51 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi (4060 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna (Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus 47Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV, berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid (infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)

Agen

immunosupresif/sitotoksik

yang

diberikan

dengan

glukokortikoid

direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian

siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama 48Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

masa 5-7 tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6 bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau myciophenolate. Pada umumnya,

siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus nephritis terhadap

siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis.

Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan

mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.

49Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK HematoimunologiTable 4. Medications for the Management of SLE Medication NSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Joseph's aspirina approved by FDA for use in SLE) Dose Range Doses toward upper limit of recommended range usually required Drug Interactions A2R/ACE inhibitors, glucocorticoids, fluconazole, methotrexate, thiazides Serious or Common Adverse Effects NSAIDs: Higher incidence of aseptic meningitis, transaminitis, decreased renal function, vasculitis of skin; entire class, especially COX-2-specific inhibitors, may increase risk for myocardial infarction Salicylates: ototoxicity, tinnitus Both: GI events and symptoms, allergic reactions, dermatitis, dizziness, acute renal failure, edema, hypertension Topical glucocorticoids Mid-potency None known for face; mid to high potency other areas SPF 15 at least; None known 30+ preferred 200400 mg None known qd (100 mg qd) Atrophy of skin, contact dermatitis, folliculitis, hypopigmentation, infection Contact dermatitis Retinal damage, agranulocytosis, aplastic anemia, ataxia, cardiomyopathy, dizziness, myopathy, ototoxicity, peripheral neuropathy, pigmentation of skin, seizures, thrombocytopenia Quinacrine usually causes diffuse yellow skin coloration DHEA (dehydroepiandrosterone) Methotrexate b (for dermatitis, arthritis) 200 mg qd Unclear Acne, menstrual irregularities, high serum levels of testosterone Anemia, bone marrow suppression, leucopenia, thrombocytopenia, hepatotoxicity, nephrotoxicity, infections, neurotoxicity, pulmonary fibrosis, pneumonitis, severe dermatitis, seizures

Topical sunscreens Hydroxychloroquinea

(quinacrine can be added or substituted)

1025 mg once a week, PO or SC, with folic acid; decrease dose if CrCl

Acitretin, leflunomide, NSAIDs and salicylates, penicillins, probenecid, sulfonamides, trimethoprim

50Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK HematoimunologiGlucocorticoids, orala Prednisone, prednisolone: 0.51 mg/kg per day for severe SLE 0.070.3 mg/kg per day or qod for milder disease A2R/ACE antagonists, antiarrhythmics class III, 2, cyclosporine, NSAIDs and salicylates, phenothiazines, phenytoins, quinolones, rifampin, risperidone, thiazides, sulfonylureas, warfarin Infection, VZV infection, hypertension, hyperglycemia, hypokalemia, acne, allergic reactions, anxiety, aseptic necrosis of bone, cushingoid changes, CHF, fragile skin, insomnia, menstrual irregularities, mood swings, osteoporosis, psychosis

(several specific brands are approved by FDA for use in SLE)

Methylprednisolone sodium succinate, IVa

(approved for lupus nephritis)Cyclophosphamideb IV

For severe As for oral disease, 1 g IV glucocorticoids qd x 3 days 725 mg/kg q month x 6; consider mesna administration with dose 1.53 mg/kg per day Decrease dose for CrCl Allopurinol, bone marrow suppressants, colonystimulating factors, doxorubicin, rituximab, succinylcholine, zidovudine Acyclovir, antacids, azathioprine, bile acidbinding resins, ganciclovir, iron, salts, probenecid, oral contraceptives

As for oral glucocorticoids (if used repeatedly); anaphylaxis Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, hemorrhagic cystitis (less with IV), carcinoma of the bladder, alopecia, nausea, diarrhea, malaise, malignancy, ovarian and testicular failure Infection, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, lymphoma, lymphoproliferative disorders, malignancy, alopecia, cough, diarrhea, fever, GI symptoms, headache, hypertension, hypercholesterolemia, hypokalemia, insomnia, peripheral edema, transaminitis, tremor, rash Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, pancreatitis, hepatotoxicity, malignancy, alopecia, fever, flulike illness, GI symptoms

Oral

Mycophenolate mofetilb

23 g/d PO; decrease dose if CrCl

Azathioprineb

23 mg/kg per day PO; decrease frequency of dose if CrCl

ACE inhibitors, allopurinol, bone marrow suppressants, interferons, mycophenolate mofetil, rituximab, warfarin, zidovudine

51Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

5. Prognosis SLE Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

52Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi

Kelompok Tutorial XI Tahun ajaran 2011-2012 BLOK Hematoimunologi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim .2002. Kamus kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta : EGC

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi. Jakarta: EGC

.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

Karen Garna. B.2009. Imunologi Dasar. Jakarta : FKUI

Mycek, dkk. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : EGC

Prie&Wilson. 2009. Patofisiologi Penyakit. Jakarta : EGC

http://cetrione.blogspot.com/2008/07/systemic-lupus-erithematosus.html http://childrenallergyclinic.wordpress.com http://medicastore.com

53Kasus 4 MALAR RASH Blok Hematoimunologi