step 1-7 sken 3 blok 6 daru

Upload: dewandaru-i-a-b

Post on 09-Jan-2016

239 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fk ump

TRANSCRIPT

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1. Diabetes Militus

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014).

1.2. KomplikasiKomplikasi adalah konkurensi (persaingan) beberapa penyakit (dua atau lebih) pada seorang pasien (Dorland, 2012).1.3. InsulinInsulin merupakan hormon protein yang disekresi oleh sel beta pulau-pulau pankreas, berfungsi sebagai sinyal hormonal pada keadaan telah makan, disekresi sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa dan asam amino dalam darah serta memacu penyimpanan yang efisien serta penggunaan molekul bahan bakar ini melalui pengendalian transfer metabolit dan ion melewati membran sel dan mengatur jalur biosintesis intraselular (Dorland, 2012).

1.4. Hipoglikemia

Hipoglikemia didefinisikan sebagai konsentrasi glukosa dalam darah yang berkurang secara abnormal, yang dapat menimbulkan gemetar, keringat dingin, piloereksi, hipotermia, dan sakit kepala (Dorland, 2012). BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Dengan umur 22 tahun, BB 85 Kg, tinggi badan 162 cm, apakah berat badannya ideal?2. Mengapa pasien sering kencing > 14 kali/hari?

3. All about DM?4. Mengapa tangan dan kaki kiri ayahnya yang menderita DM lumpuh?5. Jelaskan terapi insulin?

6. Mengapa dengan obat sebelumnya sering mengalami hipoglikemia?

7. Bagaimana DD dan penatalaksanaan kasus ini?8. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis kasus ini? BAB III

ANALISIS MASALAH

3.1. Berat badan ideal pasien

Berdasarkan rumus Indeks Broca berat badan ideal pasien adalah sebagai berikut : Berat pria ideal = (Tinggi badan 100) (10% x (Tinggi badan 100))Berat badan ideal pasien = (162-100) (10% x (162-100)Berat badan ideal pasien = 62 6,2 Kg = 55,8 Kg

Jadi seharusnya berat badan ideal pasien adalah 55,8 Kg

Adapun kalau berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) :IMT = BB/(TB)2 x 100% = 80/(16)2 x 100% = 31,25Ket : BB dalam Kg, TB dalam dmTabel 1. Klasifikasi IMT

Nilai IMTKlasifikasi

< 18,5

18,5-22,9

23,0

23,0-24,9

25,0-29,9

> 30BB kurang

BB normal

BB lebih

Dengan risiko

Obesitas I

Obesitas II

Sumber : Tjokroprawiro & murtiwi (2014)

Berdasarkan klasifikasi IMT, nilai 31,25 termasuk klasifikasi Obesitas II (Tjokroprawiro & Murtiwi, 2014), sehingga obesitas pasien merupakan faktor risiko untuk terjangkit DM (Maulana, 2008), disamping itu pasien juga mempunyai risiko faktor keturunan DM, mengingat ayah maupun ibu pasien menderita DM. Walaupun demikian tidak semua anak yang orang tuanya memiliki riwayat sebagai penderita DM, anaknya juga akan menderita DM di kemudian hari. Mengingat bahwa faktor lingkungan juga turut andil dalam keterjangkitan DM, faktor lingkungan tersebut adalah obesitas, pola makan yang tidak sehat, kurang berolahraga, banyak mengonsumsi kalori, lemak, dan minim mengonsumsi makanan berserat seperti buah, sayuran, dan terlalu banyak duduk (Maulana, 2008).3.2. Sering berkemihMaulana (2008) dan Schteingart (2014) menyatakan bahwa sering kencing/berkemih adalah merupakan gejala DM paling utama yang merupakan gejala penyakit DM tipe 1 maupun tipe 2. Timbulnya sering berkemih tersebut diakibatkan terjadinya kondisi hiperglikemia dalam darah, sehingga melebihi ambang ginjal untuk glukosa (ambang ginjal untuk glukosa adalah 300mg/ml), maka timbullah glukosuria yaitu ekreksi glukosa ke dalam urin (poliuria) dalam rangka membuang sebagian gula tersebut melalui urin. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuretis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliurea), sehingga membuat terjadinya sering berkemih dan timbulnya rasa haus (polidipsia). 3.3. Diabetes Militus1) Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014). Sedangkan menurut Schteingart (2014) DM didefinisikan sebagai gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.2) Etiologi

Diabetes melitus dapat terjadi akibat dari defisiensi insulin, gangguan produksi insulin atau "resistansi insulin dimana sel tidak mampu untuk menggunakan insulin dengan benar dan efisien sehingga menyebabkan hiperglikemia. Hal ini mempengaruhi metabolisme sel-sel otot dan jaringan lemak. Ini adalah masalah utama pada diabetes tipe 2. Kekurangan insulin absolut, biasanya sekunder untuk proses destruktif sel beta penghasil insulin pada pankreas. Dalam diabetes tipe 2, juga ada penurunan yang stabil sel beta yang menambah proses peningkatan kadar gula darah.3.4. Tangan dan kaki kiri ayah pasien lumpuh

Ayah pasien menderita penyakit DM, saat ini tangan dan kaki kirinya lumpuh. Menurut Foster (2014) dan Steingart (2014) penderita penyakit DM rentan terhadap serangkaian komplikasi, komplikasi vaskular jangka panjang dari DM melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Dimana makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa ateroskeloris (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah).Aterosklerosis.yang terjadi pada pembuluh darah yang menuju jantung (arteri koroner) merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler khususnya Ischaemic Heart Disease (penyakit jantung koroner/PJK), dan jika aterosklerosis terjadi pada pembuluh darah yang menuju otak maka dapat mengakibatkan terjadinya stroke (Sitepoe, 1999). Caplan & Gijn (2012) menyatakan bahwa stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak berupa kematian sel-sel saraf neorologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak, dimana pada serangan stroke yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan total maupun sebelah.Stroke terjadi bila salah satu cabang dari pembuluh darah di otak mengalami penyumbatan (emboli). Bagian otak yang seharusnya mendapat suplai darah dari cabang tadi akan iskemik (mati karena tidak mendapat oksigen dan aliran darah). Otak mendapat suplai darah (dari jantung) melalui dua pasang arteri, yakni sepasang arteri karotis yang terdapat di depan kepala, serta sepasang arteri vertebralis yang ada di belakang kepala, di dalam otak, kedua pasang pembuluh darah tersebut saling bertemu dan berhubungan (Caplan & Gijn, 2012).3.5. Terapi insulin

Menurut FK UI (2012) insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2. Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : (1) intravena; (2) intramuskuler; (3) subkutan, yang umumnya lebih disukai pada penggunaan jangka panjang.

Gambar 1. Daerah penyuntikan insulinIndikasi dan tujuan terapiInsulin subkutan terutama diberikan kepada :

DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel beta pada kalenjar pankreas tidak ada ataupun hampir tidak ada. DM tipe 2 mungkin membutuhkan insulin eksogen apabila terapi jenis lain seperti diet dan atau antidiabetik oral tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Pasien DM pascapankreatektomi DM dengan kehamil, bila pengaturan makan saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis atau komplikasi lain Sebelum tindakan operasi pada pasien DM tipe 1 dan 2 Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah, tetapi juga untuk memperbaiki semua aspek metabolisme. Insulin umumnya disuntikan IV atau IM 30-45 menit sebelum makan, dimana setelah pemberian insulin glukosa darah akan cepat menurun mencapai nadir dalam waktu 20-30 menit.Dosis insulin Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dengan unit (U), dimana hampir semua preparat komersial insulin dipasarkan dalam bentuk solusia atau suspensi dengan kadar 100 U/ml atau sekitar 3,6 mg insulin/ml

Pasien DM tipe 1 rata-rata dosis yang dibutuhkan berkisar 0,6-0,7 U/Kg berat badan per hari

Pasien DM tipe 1 yang obesitas membutuhkan dosis 2 U/Kg berat badan per hari karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin

Kebutuhan insulin pasien DM umumnya berkisar antara 5-150 U/hari tergantung dari keadaan pasien. 3.6. Obat DM sebelumnya menimbulkan hipoglikemia

FK UI (2012) dan Schteingart (2014) menyatakan bahwa hipoglikemia merupakan efek samping ataupun komplikasi metabolik yang sering terjadi akibat dosis insulin yang terlalu besar, tidak tepatnya waktu makan dengan waktu tercapainya kadar puncak insulin atau adanya faktor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin misal insufiensi adrenal atau pituitari ataupun kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di hati ataupun akibat kerja fisik yang berlebihan.

Menurut FK UI (2012) dan Foster (2014) obat DM selain insulin yang dapat menyebabkan efek samping hipoglikemia adalah obat golongan Sulfonilurea, dimana dikenal 2 generasi sulfonilurea yaitu : (1) generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid; (2) generasi 2 yang mempunyai potensi hipoglikemia lebih besar antara lain gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimeprid.

3.7. DD dan panatalaksanaan kasus Menurut Purnamasari (2014) diagnosis banding dari DM adalah : Hiperglikemia reaktif Toleransi glukosa terganggu (TGT) Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)Adapun untuk penatalaksanaan kasus agar pasien tidak menderita DM seperti kedua orang tuanya, walaupun gejala khas DM sudah muncul seperti poliuria (sering berkemih) maka menurut Maulana (2008) pencegahan DM pada orang-orang yang berisiko pada prinsipnya pasien harus : Mengubah gaya hidup yang meliputi olah raga, penurunan berat badan, dan pengaturan pola makan. Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan gaya hidup intensif, pencegahan diabetes paling berhubungan dengan penurunan berat badan. Menurut penelitian, penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2. Dianjurkan pula melakukan pola makan yang sehat, yakni terdiri dari karbohidrat kompleks, mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut. Asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolah raga rutin, minimal 150 menit perminggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olah raga dapat memperbaiki resistensi insulin yang terjadi pada pasien prediabetes (yakni mereka yang mengalami intoleransi glukosa seperti GDPT dan TGT dan berisiko tinggi mederita DM), meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik), dan membantu mencapai berat badan ideal.

Selain olah raga, dianjurkan juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-hari, misalnya dengan memilih menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke pasar daripada menggunakan mobil.

Merokok, walaupun tidak secara langsung menimbulkan intoleransi glukosa, dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa. Oleh karena itu, pasien juga dianjurkan berhenti merokok.

Adapun menurut FK UI (2012) untuk pasien DM muda atau prediabet dapat diberikan dosis awal insulin 0,7-1,5 U/berat badan perhari yang diberikan 2 kali sehari yaitu 20-30 menit sebelum makan pagi dan sebelum makan malam. 3.8. Pemeriksaan penunjang penegakkan diagnosis

Menurut Purnamasari (2014) pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis adalah :

Dilakukan uji diagnostik DM pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, dimana diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena.PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM yaitu : (1) Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas; (2) Gejala tidak khas DM diantaranya adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritis pulva (wanita) (Purnamasari, 2014)

Apabila ditemukan gejala khas DM, maka :

Pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS) 1 kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosisApabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka :

Diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS dan TTGO).Adapun kriteria diagnosis DM adalah seperti pada Tabel 2 berikut :Tabel 2. Kriteria diagnosis DM1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu (GDS) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2.AtauGejala klasik DM + glukosa plasma puasa (GDP) > 126 mg/dl (7,0mmol/l)

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalorim tambahan sedikitnya 8 jam

3.Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air

Sumber : Purnamasari (2014)

Keterangan : Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan TTGO : < 140 mg/dl = normal 140-< 200 mg/dl = toleransi glukosa terganggu

> 200 mg/dl = DMHal tersebut diatas sesuai dengan American Diabetes Association (2014) yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan menderita DM jika memiliki kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl dan pada tes sewaktu >200 mg/dl.DAFTAR PUSTAKA (step 1-3)American Diabetes Association. (2014) Cheking Your Blood Glucose. Diabetes Forecast Magazine, July Edition.Caplan, L.R & Gijn, J.V. (2012). Stroke Syndromes. 3rd Edition. Cambridge, UK : Cambridge University Press.Dorland, W.A.N. (2012). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FK. Universitas Indonesia.

Foster, D.W. (2014). Diabetes Melitus. In. Isselbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S.,. & Kasper, D.L. (Eds.). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Maulana, M. (2008). Mengenal Diabetes Melitus Panduan Praktis Menangani Penyakit kencing Manis. Yogyakarta : Penerbit KatahatiPurnamasari, D.. (2014). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Militus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2323-2327). Jakarta : Interna Publishing.

Schteingart, D.E. (20140. Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In. Price, S.A. & Wilson, L.M. (Eds.). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Poses Penyakit Volume 2. Edisi 6. (pp. 1259-1274). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sitepoe, M. (1999). Kolesterol Fobia : Keterkaitannya dengan penyakit jantung. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.Tjokroprawiro & Murtiwi. (2014). Terapi Nonfarmakologi pada Diabetes Melitus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2336-2346). Jakarta : Interna Publishing.

BAB V

OBYEK PEMBELAJARAN

9. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi pankreas?10. Fisiologi dan regulasi hormon insulin, serta efek insulin pada metabolisme karbohidrat, lemak dan peotein?

11. All about dari komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati!12. All about komplikasi akut (kegawat daruratan) (ketoasik diabetik, asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik)!

13. Obat hipoglikemia oral!

14. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulun!

15. Kriteria diagnosis menurut ADA dan PERKENI?

16. HbA1c dan penatalaksanaan DM non farmakologi?

17. All about DM!

18. Bagaimana penatalaksanaan mikroangiopati dan makroangiopati serta ketoasik diabetik, asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik ?BAB VII

BERBAGI INFORMASI

7.1. Anatomi, histologi dan pankreas

1) Anatomi pankreasPankreas berasal dari bahasa Yunani yang berarti seluruhnya daging. Menurut Sherwood (2014) pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang terletak di belakang dan di bawah lambung, diatas lengkung pertama duodenum (Gambar 1.). Selanjutnya Pearce (2009) menjelaskan bahwa pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang sekitar 12,5 cm dan tebal sekitar 2,5 cm, dimana pankreas terbentang dari atas sampai ke lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum. Adapun Eroschenko (2012) menyatakan bahwa pankreas adalah organ lunak memanjang yang terletak di belakang lambung, caput pancreatis terletak di lengkung duodenum dan cauda pancreatis meluas dari rongga abdomen ke limpa.Menurut Paulsen & Waschke (2014) pankreas terdiri dari 4 bagian yaitu : (1) Caput pancreatis; (2) Colum pancreatis; (3) Corpus pancreatis; dan (4) Cauda pancreatis

Gambar 1. Anatomi pankreas2) Histologi pankreasEroschenko (2012) dan Sherwood (2014) menyatakan bahwa kelenjar campuran ini mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin yang predominan terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur yang membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan dengan duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Adapun bagian endokrin yang lebih kecil terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin yang terisolir disebut pulau-pulau Langerhans (insula pancreatica) yang tersebar diseluruh pankreas.

Gambar 2. Histologi pankreas eksokrin dan endokrin3) Fisiologi pankreas

Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri dari 2 komponen : (1) enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus (asini) yang membentuk asinus; dan (2) larutan cair basa yang secara aktif disekresikan oleh sel duktus yang melapisi duktus pankreatikus. Sel-sel asinus mengeluarkan 3 jenis enzim pankreas yang mampu mencerna ke-3 kategori makanan : (1) enzim proteolitik untuk pencernaan protein, (2) amilase pankreas untuk pencernaan karbohidrat; dan (3) lipase pankreas untuk mencerna lemak (Eroschenko, 2012; Sherwood, 2014).

Guyton & Hall (2014) menjelaskan bahwa enzim proteolitik terpenting untuk mencerna protein adalah tripsin dan kimotripsin, dimana enzim ini memecah seluruh dan sebagian protein yang dicerna menjadi peptida berbagai ukuran tetapi tidak menyebabkan pelepasan asam-asam amino, sehingga menyelesaikan pencernaan beberapa protein menjadi bentuk asam amino. Enzim amilase pankreas mencerna karbohidrat dengan menghidrolisis pati, glikogen dan sebagian besar karbohidrat lain (kecuali selulosa) untuk membentuk sebagian besar disakarida dan trisakarida. Adapun enzim utama pencerna lemak adalah : (1) lipase pankreas, yang mampu menghidrolisis lemak netral menjadi asam lemak dan monogliserida; (2) kolesterol esterase, yang menghidrolisis ester kolesterol; dan (3) fosfolipase, yang memecah asam lemak dari fosfolipid.

Sel endokrin pankreas terbanyak adalah sel tempat sintesis dan sekresi insulin dan sel yang menghasilkan glukagon, serta sel D yang lebih jarang yang menghasilkan somatostatin, juga sel PP yang paling jarang mengeluarkan polipeptida pankreas (Sherwood, 2014).

7.2. Fisiologi dan regulasi insulin serta efeknya terhadap metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

1) Fisiologi dan regulasi insulin

Menurut Sherwood (2014) dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel , insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon glukagon yang disekresikan oleh sel kelenjar pankreas.

Pengontrol utama sekresi insulin adalah sistem umpan balik negatif langsung antara sel pankreas dan konsentarsi glukosa dalam darah. Peningkatan kadar glukosa darah, seperti selama penyerapan makanan, secara langsung merangsang sel untuk membentuk dan mengeluarkan insulin. Peningkatan insulin menurunkan kadar glukosa darah ke normal dan mendorong pemakaian serta penyimpanan nutrien ini. Sebaliknya penurunan glukosa darah di bawah normal, misalnya sewaktu puasa, secara langsung menghambat sekresi insulin. Penurunan laju sekresi insulin menggeser metabolisme dari pola absorptif ke pasca absorptif. Karena itu, sistem umpan balik negatif sederhana sudah dapat mempertahankan pasokan glukosa yang relatif konstan ke jaringan tanpa memerlukan partisipasi saraf atau hormon lain.

Selain konsentrasi glukosa darah, masukan lain yang mengatur sekresi insulin adalah sebagai berikut (Gambar 1.) :

Peningkatan kadar asam amino darah, misalnya setelah makan makanan tinggi protein, secara langsung merangsang sel untuk meningkatkan sekresi insulin. Melalui mekanisme umpan balik negatif, peningkatan insulin meningkatkan masuknya asam-asam amino ke dalam sel sehingga kadar asam amino darah berkurang sementara sintesis protein meningkat.

Hormon saluran cerna yang dikeluarkan sebagai respons terhadap adanya makanan, khususnya glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP), merangsang pankreas mengeluarkan insulin selain memiliki efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan. Melalui kontrol ini, sekresi insulin ditingkatkan melalui mekanisme umpan, atau antisipatorik, bahkan sebelum penyerapan nutrien meningkatkan konsentrasi glukosa dan asam amino darah.

Sistem saraf otonom juga secara langsung mempengaruhi sekresi insulin. Pulau-pulau Langerhans memiliki banyak persarafan parasimpatis dan simpatis. Peningkatan aktifitas parasimpatis yang terjadi sebagai respons terhadap makanan di saluran cerna merangsang pengeluaran insulin. Hal ini juga merupakan respons feedforward sebagai antisipasi penyerapan nutrien. Sebaliknya, stimulai simpatis dan peningkatan epinefrin yang menyertainya menghambat sekresi insulin. Penurunan kadar insulin memungkinkan kadar glukosa naik, suatu respon yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang biasanya menyebabkan pengaktifan simpatis generalisata yaitu stres (lawan atau lari) dan olahraga. Pada kedua situasi ini diperlukan bahan bakar tambahan untuk aktivitas otot yang meningkat.

2) Efek insulin pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

Menurut Sherwood (2014) efek insulin tersebut adalah sebagai berikut :

Efek pada karbohidrat

Insulin memiliki 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong penyimpanan karbohidrat :

Insulin mempermudah transpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.

Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di otot rangka dan hati.

Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan menghambat penguraian tersebut maka insulin cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.

Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino daam darah yang tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi glukosa.

Efek pada lemak

Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserida : Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke sel jaringan lemak.

Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak melalui rekrutmen GLUT-4. Glukosa berfunhgsi sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk membentuk trigliserida.

Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.

Insulin menghambat lipopisis (penguraian lemak), mengurangi pembebasan asam lemak dari jaringan lemak ke dalam darah.

Secara kolektif efek-efek ini cenderung mengeluarkan asam lemak dan glukosa dari darah dan mendorong penyimpanan keduanya sebagai trigliserida.

Efek pada protein

Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein melalui beberapa efek :

Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel.

Insulinmeningkatkan laju inkorporasi asamamino menjadi protein oleh perangkat pembentuk protein yang ada di sel.

Insulin menghambat penguraian protein.

7.3. Komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati

Menurut Wijono (2004) Foster (2014) Schteingart (2014) komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati merupakan komplikasi vaskular jangka panjang dari DM, dimana yang melibatkan pembuluh-pembuluh kecil disebut mikroangiopati dan yang melibatkan pembuluh sedang dan besar disebut makroangiopati.

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesip-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein.

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa ateroskerosis, dimana gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufiensi insulin ini dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular. Gangguan-gangguan ini berupa : (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular; (2) hiperlipoproteinemia; dan (3) kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini dapat menyebabkan penyumbatan vaskular aterosklerosis. Aterosklerosis.yang terjadi pada pembuluh darah yang menuju jantung (arteri koroner) merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler khususnya Ischaemic Heart Disease (penyakit jantung koroner/PJK), dan jika aterosklerosis terjadi pada pembuluh darah yang menuju otak maka dapat mengakibatkan terjadinya stroke (Sitepoe, 1999). Caplan & Gijn (2012) menyatakan bahwa stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak berupa kematian sel-sel saraf neorologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak, dimana pada serangan stroke yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan total maupun sebelah.7.5. Obat hipoglikemia oralObat Hipoglikemik Oral (OHO) merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah yang diresepkan oleh dokter khusus bagi penderita DM. Obat Penurun Glukosa Darah bukanlah hormon insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja melalui beberapa cara untuk menurunkan kadar glukosa darah. Obat-obatan ini dapat membantu penyandang diabetes melitus untuk menggunakan insulinnya sendiri dengan lebih baik dan menurunkan pelepasan glukosa oleh hati. Terdapat beberapa macam OHO untuk mengendalikan glukosa darah penyandang diabetes.

Berdasarkan cara kerja, OHO dibagai menjadi 3 golongan :

A. Memicu produksi insulin

1. Sulfonilurea

Obat ini telah digunakan dalam menangani hipoglikemia pada penyandang diabetes melitus tipe 2 selama lebih dari 40 tahun. Mekanisme kerja obat ini cukup rumit. Ia bekerja terutama pada sel beta pankreas untuk meningkatkan produksi insulin sebelum maupun setelah makan. Sel beta pankreas merupakan sel yang memproduksi insulin dalam tubuh.Sulfonilurea sering digunakan pada penyandang diabetes yang tidak gemuk di mana kerusakan utama diduga adalah terganggunya produksi insulin. Penyandang yang tepat untuk diberikan obat ini adalah penyandang diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kekurangan insulin tapi masih memiliki sel beta yang dapat berfungsi dengan baik. Penyandang yang biasanya menunjukkan respon yang baik dengan obat golongan sulfoniurea adalah usia saat diketahui menyandang diabetes melitus lebih dari 30 tahun, menyandang diabetes diabetes melitus lebih dari 5 tahun, berat badan normal atau gemuk, gagal dengan pengobatan melalui pengaturan gaya hidup, perubahan pengobatan dengan insulin dengan dosis yang relatif kecil.2. Golongan Glinid

Meglitinide merupakan bagaian dari kelompok yan gmeningkatkan produksi insulin (selain sulfonilurea). Maka dari itu ia membutuhkan sel beta yang masih berfungsi baik. Repaglinid dan Nateglinid termasuk dalam kelompok ini, mempunyai efek kerja cepat, lama kerja sebentar, dan digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah setelah makan. Repaglinid diserap secara cepat segera setelah dimakan, mencapai kadar puncak di dalam darah dalam 1 jam.

B. Meningkatkan kerja insulin (sensitivitas terhadap insulin)

1. Biguanid

Metformin adalah satu-satunya biguanid yang tersedia saat ini. Metformin berguna untuk penyandang diabetes gemuk yang mengalami penurunan kerja insulin. Alasan penggunaan metformin pada penyandang diabetes gemuk adalah karena obat ini menurunkan nafsu makan dan menyebabkan penurunan berat badan.Sebanyak 25% dari penyandang diabetes yang diberikan metformin dapt mengalami efek samping pada saluran pencernaan, yaitu rasa tak nyaman di perut, diare dan rasa seperti logam di lidah. Pemberian obat ini bersama makanan dan dimulai dengan dosis terkecil dan meningkatkannya secar perlahan dapat meminimalkan kemungkinan timbulnya efek samping. Obat ini tidak seharusnya diberikan pada penyandang dengan gagal ginjal, hati, jantung dan pernafasan.

Metformin dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi. Obat-obatan oral mungkin gagal untuk mengontrol gula darah setelah beberapa saat sebelumnya berhasil (kegagagalan sekunder) akibat kurangnya kepatuhan penyandang atau fungsi sel beta yang memburuk dan / atau terjadinya gangguan kerja insulin (resistansi insulin). Pada kasus-kasus ini, terapi kombinasi metformin dengan sulfonilurea atau penambahan penghamba-glucosidase biasanya dapat dicoba. Kebanyakan penyandang pada akhirnya membutuhkan insulin.2. Tiazolidinedion

Saat ini terdapat 2 tiazolinedion di Indonesia yaitu rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini memperbaiki kadar glukosa darah dan menurunkan hiperinsulinaemia (tingginya kadar insulin) dengan meningkatkan kerja insulin (menurunkan resistensi insulin) pada penyandang diabetes melitus tipe 2. Obat golongan ini juga menurunkan kadar trigliserida da asam lemak bebas.

Rosiglitazone (Avandia), Dapat pula digunakan kombinasi dengan metformin pada penyandang yang gagal mencapai target kontrol glukosa darah dengan pengaturan makan dan olahraga. Pioglitazone (Actos), juga diberikan untuk meningkatkan kerja (sensitivitas) insulin.Efek samping dari obat golongan ini dapat berupa bengkak di daerah perifer (misalnya kaki), yang disebabkan oleh peningkatkan volume cairan dalam tubuh. Oleh karena itu maka obat goolongan ini tidak boleh diberikan pada penyandang dengan gagal jantung berat. Selain itu, pada penggunaan obat ini pemeriksaan fungsi hati secara berkala harus dilakukan.

C.Penghambat enzim alfa glukosidase

Penghambat kerja enzim alfa-glukosidase seperti akarbose, menghambat penyerepan karbohidrat dengan menghambat enzim disakarida di usus (enzim ini bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat). Obat ini terutama menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Efek sampingnya yaitu kembung, buang angin dan diare. Supaya lebih efektif obat ini harus dikonsumsi bersama dengan makanan.

Obat ini sangat efektif sebagai obat tunggal pada penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan kadar glukosa darah puasanya kurang dari 200 mg/dL (11.1 mmol/l) dan kadar glukosa darah setelah makin tinggi. Obat ini tidak mengakibatkan hipoglikemia, dan boleh diberikan baik pada penyandang diabetes gemuk maupun tidak, serta dapat diberikan bersama dengan sulfonilurea, metformin atau insulin.

Dosis pemberian OHOSetelah obat tertentu dipilih untuk penyandang diabetes, biasanya pemberian obat dimulai dari dosis terendah. Dosis kemudian dinaikkan secara bertahap setiap 1-2 minggu, hingga mencapai kadar glukosa darah yang memuaskan atau dosis hampir maksimal. Jika dosis hampir maksimal namun tidak menghasilkan kontrol kadar glukosa darah yang memadai, maka dipertimbangkan untuk diberikan obat kombinasi atau insulin. Tidak ada keuntungan menggunakan dua OHO dari golongan yang sama secara bersamaan.

7.7. Kriteria diagnosis DM menurut ADA dan PERKENI

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM yaitu : (1) Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas; (2) Gejala tidak khas DM diantaranya adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritis pulva (wanita) (Purnamasari, 2014)

Apabila ditemukan gejala khas DM, maka :

Pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS) 1 kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosisApabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka :

Diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS dan TTGO).Kriteria diagnosis DM dari PERKENI adalah seperti pada Tabel 2 berikut :Tabel 2. Kriteria diagnosis DM1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu (GDS) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2.Atau

Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa (GDP) > 126 mg/dl (7,0mmol/l)

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalorim tambahan sedikitnya 8 jam

3.Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)

TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air

Sumber : Purnamasari (2014)

Keterangan : Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan TTGO :

< 140 mg/dl = normal

140-< 200 mg/dl = toleransi glukosa terganggu

> 200 mg/dl = DMAdapun kriteria diagnosis DM dari American Diabetes Association (2014) adalah sebagai berikut :

Seseorang dikatakan menderita DM jika memiliki kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl dan pada tes sewaktu >200 mg/dl.

7.9. All about Diabetes Melitus (DM)1) Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014). Sedangkan menurut Schteingart (2014) DM didefinisikan sebagai gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

2) Klasifikasi DM

American Diabetes Association (2009 cit Purnamasari, 2014) mengklasifikasikan DM seperti berikut :

Tabel 1. Klasifikasi DM (ADA, 2009)

1.Diabetes Melitus Tipe 1

(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)

a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

2.Diabetes Melitus Tipe 2

(bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang pedominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

3.Diabetes Melitus Tipe lain

4.Diabetes Kehamilan (Gestasional)

2) Etiologi

Diabetes melitus dapat terjadi akibat dari defisiensi insulin, gangguan produksi insulin atau "resistansi insulin dimana sel tidak mampu untuk menggunakan insulin dengan benar dan efisien sehingga menyebabkan hiperglikemia. Hal ini mempengaruhi metabolisme sel-sel otot dan jaringan lemak. DM Tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gajala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang pekaa secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis DM tipe 1 terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada DM dalam bentuk yang yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Kejadian pemicu yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara genetik dapat berupa infeksi virus coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain (Schteingart, 2014).

DM Tipe 2

DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Pada penderita DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrisik. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan ueglikemia. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM tipe 2. (Schteingart, 2014).

3) Patogenesis

DM Tipe 1

Pada saat DM tipe 2 muncul sebagian besar sel beta pankreas sudah rusak, proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun. Adapun urutan patogenesis adalah sebagai berikut :

Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini.

Kondisi lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksi juga dapat terlibat.

Terjadi respons peradangan pankreas yang disebut insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi.

Perubahan sel beta sehingga tidak lagi dikenali sebagai sel sendiri tetapi dilihat oleh sistem imun sebagai sel asing.

Perkembangan respons imun, karena sel pulau dianggap sel asing terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan DM (Foster, 2014).

DM Tipe 2

Patogenesis DM tipe 2 meliputi 2 kelainan yaitu gangguan sekresi insulin dan gangguan aksi insulin.

Sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang dipacu oleh glukosa terdiri dari 2 fase . Fase pertama atau fase akut berlangsung cepat hanya 3-10 menit, dan fase kedua berlangsung lambat dimana sekresi insulin terus berlangsung selama masih ada pacuan glukosa. Sekresi insulin fase pertama yang hanya sebentar berguna sebagai pancingan agar organ-organ atau jaringan yang tergantung insulin dapat mempersiapkan diri terhadap sekresi insulin fase kedua yang berlangsung lama. Pada DM tipe 2 sekresi insulin fase pertama ini hilang, akibatnya jaringan yang tergantung insulin tidak siap untuk menerima insulin fase kedua sehingga terjadi hiperglikemia postprandial.

Gangguan aksi insulin atau resistensi insulin terutama terjadi pada reseptor insulin yang terdapat pada membran sel. Akibatnya terjadilah hiperinsulinemia. Pada awal DM tipe 2 terjadi peningkatan kadar insulin dan kadar glukosa darah masih dapat terkendali dan DM belum muncul. Jika sel beta pankreas yang terpacu terus mengalami kelelahan akhirnya tidak mampu lagi mengeluarkan insulin yang cukup mengatasi resistensi insulin, maka glukosa darah akan meningjat dan terjadilah DM tipe 2 (Wijono, 2004).4) Patofisiologi

DM Tipe 1

Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Perusakan imunologik langsung sel beta mungkin melibatkan mekanisme selular dan humoral. Sejumlah sel muncul untuk membawa sel beta yang telah diserang oleh sel pembunuh alami, limfosit T sitotoksik teraktivasi dan makrofag masing-masing mempunyai bagian. Jalur akhir penghancuran sel yang lazim adalah karena pelepasan sitokin seperti interleukin 1 (IL1) dan faktor nekrosis tumor alfa (TNF) dan makrofag teraktivasi. Jadi pada saat DM tersembunyi muncul, sebagian besar sel penghasil insulin sudah menghilang. Oleh karena itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Foster, 2014).

DM Tipe 2

Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2 (Wijono, 2014).5) Manifestasi Klinis

Menurut Foster (2014) dan Schteingart (2014) manifestasi dan gambaran klinis dari DM tipe 1 dan 2 adalah sebagi berikut :

Tabel 2. Manifestase dan gambaran klinis DM tipe 1 dan 2ParameterDM tipe 1DM tipe 2

Lokus genetik

Umur awitan

Awitan gejala

Bentuk tubuh

Insulin plasma

Glukosa plasma

Penyulit akut

Terapi insulin

Terapi sufonilureaKromosom 6

< 40 tahun

Polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen

Normal hingga kurus

Rendah hingga tidak ada

Tinggi, dpt ditekan

Ketoasidosis

Responsif

Tidak responsifTidak diketahui

>40 tahun

Tidak memperlihatkan gejala

Obesitas

Normal hingga tinggi

Tinggi, resisten

Koma hiperosmolar

Responsif hingga resisten

Responsif

6) Komplikasi

Menurut Wijono (2004), Foster (2014) dan Schteingart (2014) komplikasi yang mungkin timbul adalah :

Tabel 3. Komplikasi yang mungkin timbul

DM tipe 1DM tipe 2

1,

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.Ketoasidosis diabetik

Hipoglikemia

Retinopati diabetik (kerusakan retina)

Nefropati diabetik (kerusakan ginjal)

Neuropati diabetik (kerusakan saraf)

Ateroskeloris (PJK, Stroke)

Ulkus kaki diabetik

Katarak

Hipertensi

Dislipidemia

Hemoreologi darah

Homosistein

Disfungsi endotel

Mikroalbuminuria

Koma hiperosmolar

Hiperglikemia

Koma nonketotik

Retinipati diabetik

Nefropati diabetik

Neuropati diabetik

Ateroskeloris

Ulkus kaki diabetik

Katarak

Hipertensi

Dislipidemia

Hemoreologi darah

Homosistein

Disfungsi endotel

Mikroalbuminuria

7) Diagnosis DM

Purnamasari (2014) menyatakan bahwa diagnostik DM dapat dilaksanakan sebagaimana tercantum pada Gambar 3 berikut

Gambar 3. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu

8) Penatalaksanaan

Tjokroprawiro & Murtiwi (2014), Foster (2014) dan Schteingart (2014) menyatakan bahwa penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :

1) Terapi Nonfarmakologi Terapi nutrisi medis (TNM)

TNM pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau komplikasi yang telah ada. Contoh TNM adalah Diet DM-B, Diet DM-B1, Diet DM-B2, Diet DM-B3, Diet DM-BE, Diet DM-M, Diet DM-G, Diet DM-KV, Diet DM-GL dan Diet DM-H (Tjokroprawiro & Murtiwi, 2014)

Mengatur gaya hidup (diet, olahraga, istirahat, stress).

Menurunkan berat badan. Diet hanya dapat menghambat asupan gula dari luar, bukan menurunkan berat badan. Yang dapat menurunkan berat badan adalah bila reseptor insulin kembali berfungsi dengan cara olah raga, apa lagi bila olah raga bisa sampai mengurangi jumlah lemak tubuh. Olah raga yang dilakukan harus 2 jenis yaitu aerobik low impact dan latihan beban untuk tangan.

Bila kencing manis dimulai pada kondisi BMI yang normal, maka olah raga tetap dilakukan dan menurunkan berat badan hingga mencapai 18,5 dengan catatan yang diturunkan adalah lemak tubuh.

Berhenti merokok dan menghindari minuman beralkohol.2) Terapi Farmakologi

a. Obat hipoglikemia oral (OHO)

b. Terapi insulin

Menurut FK UI (2012) insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2. Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : (1) intravena; (2) intramuskuler; (3) subkutan, yang umumnya lebih disukai pada penggunaan jangka panjang.

Indikasi dan tujuan terapi

Insulin subkutan terutama diberikan kepada :

DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel beta pada kalenjar pankreas tidak ada ataupun hampir tidak ada. DM tipe 2 mungkin membutuhkan insulin eksogen apabila terapi jenis lain seperti diet dan atau antidiabetik oral tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Pasien DM pascapankreatektomi

DM dengan kehamil, bila pengaturan makan saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis atau komplikasi lain Sebelum tindakan operasi pada pasien DM tipe 1 dan 2 Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah, tetapi juga untuk memperbaiki semua aspek metabolisme. Insulin umumnya disuntikan IV atau IM 30-45 menit sebelum makan, dimana setelah pemberian insulin glukosa darah akan cepat menurun mencapai nadir dalam waktu 20-30 menit.Dosis insulin Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dengan unit (U), dimana hampir semua preparat komersial insulin dipasarkan dalam bentuk solusia atau suspensi dengan kadar 100 U/ml atau sekitar 3,6 mg insulin/ml

Pasien DM tipe 1 rata-rata dosis yang dibutuhkan berkisar 0,6-0,7 U/Kg berat badan per hari

Pasien DM tipe 1 yang obesitas membutuhkan dosis 2 U/Kg berat badan per hari karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin

Kebutuhan insulin pasien DM umumnya berkisar antara 5-150 U/hari tergantung dari keadaan pasien.

Gambar 4. Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolik

3) Pencangkokan seluruh atau sebagian pankreas

9) Prognosis

Harapan hidup orang yang terkena diabetes pada usia 40 tahun, 5-10 tahun kurang dari rata-rata populasi.

Serangan jantung adalah komplikasi paling bahaya yang sering menjadi pembunuh pasien diabetes.

Dengan kontrol gula yang teratur dan menjaga gaya hidup serta menjaga kadar lemak dalam darah secara ketat dapat meningkatkan harapan hidup lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA (step 7)

American Diabetes Association. (2014) Cheking Your Blood Glucose. Diabetes Forecast Magazine, July Edition.FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FK. Universitas Indonesia.

Eroschenko, V,P. (2012). Atlas Histologi Difiore. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Foster, D.W. (2014). Diabetes Melitus. In. Isselbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S.,. & Kasper, D.L. (Eds.). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Singapore : Elsevier Pte. Ltd.Paulsen, F. & Wasschke, J. (2014). Sabotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Edisi 23. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Purnamasari, D.. (2014). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Militus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2323-2327). Jakarta : Interna Publishing.

Schteingart, D.E. (20140. Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In. Price, S.A. & Wilson, L.M. (Eds.). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Poses Penyakit Volume 2. Edisi 6. (pp. 1259-1274). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia, Dari Sel ke Sistem. Edisi 6 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Tjokroprawiro & Murtiwi. (2014). Terapi Nonfarmakologi pada Diabetes Melitus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2336-2346). Jakarta : Interna Publishing.

Wijono, P. (2004). Pencegahan DM Tipe 2 sebagai Usaha Menghambat Peningkatan Prevalensi dan Komplikasinya. Yogyakarta : FK Universitas Gajah Mada..