asma step 1-7 kelompok 8
TRANSCRIPT
SKENARIO 3
Sesak Napas yang Berbunyi
Laila 18 tahun datang ke praktek dokter keluarga dengan keluhan sesak napas yang
berbunyi dan disertai dengan batuk berdahak. Batuk dirasakan sejak 3 hari yang lalu ketika
Laila membersihkan gudang di belakang rumahnya. Laila sudah sering mengalami batuk-
batuk dengan ataupun tanpa sesak ketika dia berolahraga pagi atau membersihkan
rumahnya, terakhir sesak dirasakan 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan didapatkan TD
110/70 mmHg, nadi 104x/menit, RR 32x/menit. Pada pemeriksaan auskultasi thorak
terdapat wheezing ekspirasi. Selanjutnya dojter tersebut melakukan nebulisasi pada laila.
Setelah kondisi Laila stabil lalu diberikan resep berupa obat semprot dan pil.
Step 1
Nebulisasi : Pemberian terapi inhalasi menggunakan alat nebulizer
Step 2
1. Patofisiologi dan patogenesis asma bronkial ?
2. Faktor resiko asma bronkial ?
3. Klasifikasi asma bronkial ?
4. Interpretasi pemeriksaan fisik ?
5. Tatalaksana ?
6. Komplikasi ?
7. DD ?
1
Step 3
1. Patofisiologi dan patogenesis asma bronkial ?
Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan
mucus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi
karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan
pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancer. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP1
(Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) dan APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan
penurunan KVP (Kapasita Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang,
maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar,
sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding
mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-
daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah
tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma
sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar
kebutuhan tubuh terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan
2
sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada
serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mucus
sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukuran gas.
Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta
terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan
penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis
respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis
metabolic dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk
hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan
hal-hal sebagai berikut:
1) Gangguan ventilasi berupa hiperventilasi,
2) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan
sirkulasi darah paru,
3) Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik
pada tahap yang sangat lanjut.
Patogenesis
Dahulu diakui yang berperan pada patogenesis asma adalah spasme otot polos bronkus
yang disebabkan lepasnya mediator-mediator sel mast. Doktrin ini kemudian direvisi
setelah diketahui bahwa inflamasi saluran nafas merupakan mekanisme utama yang
bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas, dan ternyata berbagai sel
inflamasi terlibat pada patogenesis ini terutama limfosit dan eosinofil. Sel-sel inflamasi
tersebut menghasilkan bermacam-macam mediator yang saling berinteraksi menimbulkan
berbagai efek patologik yang bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas dan
gejala klinik asma. Inflamasi saluran nafas pada asma dibuktikan dari gambaran
histopatologik mukosa bronkus dan gambaran sel pada kurasan bronkoalveolar.
3
Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan serangan asma perlu diketahui dan
sedapatnya dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Alergen utama debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan
2. iritan seperti asap, bau-bauan, polutan
3. infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
4. Perubahan cuaca yang ekstrim
5. Kegiatan jasmani yang berlebihan
6. Lingkungan kerja
7. Obat-obatan
8. Emosi
9. Lain-lain, seperti refluks gastro esophagus
2. Faktor resiko asma bronkial ?
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial.
a. Faktor predisposisi
• Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Menurut Mengatas dkk, terdapat berbagai kelainan kromosom pada patogenesis , antara
lain pada:
4
a. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang mengkode human
leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-DQ, HLA-DP dan HLA-DR,
yang berfungsi mempermudah pengenalan dan presentasi antigen.
b. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis
asma, yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33 mengatur produksi
interleukin (IL) 4, yang berperan penting dalam terjadinya asma. Kromosom 1, 12,
13, 14, 19 juga berperan dalam produksi berbagai sitokin pada asma.
c. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T yaitu kromosom 14q.
b. Faktor presipitasi
• Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
• Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
• Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
5
• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
3. Klasifikasi asma bronkial ?
1. .Berdasarkan Etiologi
a. Ekstrinsik (alergik)
b. Intrinsik/idiopatik (non alergik)
c. Asma gabungan
2. Berdasarkan Keparahan Penyakit
a. Asma intermiten
b. Asma ringan
c. Asma sedang (moderate)
d. Asma parah (severe)
3.Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma
Dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Asma terkontrol
b. Asma terkontrol sebagian (partial)
c. Asma tak terkontrol
4. Interpretasi pemeriksaan fisik ?
TD 110/70 : Normal
Nadi 104X/menit : Asma sedang (100 -120 kali/menit)
Asma ringan <100 kali/menit
Asma berat >120 kali/menit
RR 32 kali/menit : cepat, pada asma >30 kali/menit
6
5. Tatalaksana ?
Pengobatan
1. Pengobatan Simptomatik
2. Pengobatan Profilaksis
Tatalaksana
a. Tatalaksana Asma Akut Intermiten
b. Tatalaksana Asma Berat Dan Status Asmatikus
6. Komplikasi ?
1. Infeksi saluran nafas
2. Atelektasis
3. Pneumotoraks, pneumomediastinum. Emfisema kutis
4. Gagal nafas
5. Aritmia ( terutama, bila sebelumnya ada kelainan jantung )
7. DD ?
[LO]
7
Step 4
1. Patofisiologi dan patogenesis asma bronkial ?
Patofisiologi
Tanda patofisiologis asma adalah pengurangan diameter jalan napas yang disebabkan
kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental
yang lengket. Hasil akhirnya adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan volume
ekspirasi paksa (Forced Expiratory Volume) dan kecepatan aliran, hiperinflasi paru dan
toraks, peningkatan kerja pernapasan, perubahan fungsi otot pernapasan, perubahan rekoil
elastik (Elastic Recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal serta
perubahan gas darah arteri. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali pada
elektrokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru. Kapasitas vital
paksa (Forced Vital Capacity) cenderung ≤ 50 % dari nilai normal. Volume ekspirasi
paksa satu detik (1-S Forced Expiratory Volume, FEV1) rata-rata 30 % atau kurang dari
yang diperkirakan. Sementara rata-rata aliran midekspiratori maksimum dan minimum
(Maximum and Minimum Midexpiratory Flow Rates) berkurang sampai 20 %. Untuk
mnegimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap dalam paru-paru (Air
Trapping) ditemukan berjumlah besar. Pada pasien yang sakit berat, volume residual (RV)
sering mendekati 400 % nilai normal, sementara kapasitas residual fungsional menjadi
berlipat ganda. Serangan berakhir secara klinis bila RV turun sampai 200 % dari nilai yang
diperkirakan dan bila FEV1 naik sampai 50 %.
Hipoksia merupakan temuan umum sewaktu eksaserabsi akut tetapi gagal ventilasi relatif
tidak biasa ditemukan. Sebagian besar pasien asma mengalami hipokapnia dan alkalosis
respiratorik. Bila ditemukan asidosis metabolik pada asma akut, hal ini merupakan
petunjuk obstruksi berat. Biasanya tidak ada gejala klinis yang menyertai perubahan gas
darah. Sehingga tingkat hipoksia tidak dapat ditentukan. Sianosis merupakan tanda akhir.
Jadi kita tidak boleh menilai status ventilasi seorang pasien berdasarkan gejala klinis saja.
Sehingga tekanan gas darah arteri harus diukur.
8
Patogenesis
Asma terjadi akibat status inflamasi subakut yang persisten pada saluran pernapasan.
Bahkan pada pasien yang asimptomatik, saluran pernapasan dapat menjadi edematus dan
diinfiltrasi oleh eosinofil, neutrofil, dan limfosit, dengan atau tanpa peningkatan komposisi
kolagen pada membran basalis epitelial. Secara keseluruhan, terdapat peningkatan
selularitas berhubungan dengan meningkatnya kepadatan kapiler. Mungkin juga terdapat
hipertrofi kelenjar dan penggundulan epitel. Perubahan ini dapat bersifat persisten
tergantung dari penanggulangan dan seringkali tidak berhubungan dengan derajat penyakit
ini.
Tampilan fisiologis dan klinis asma berasal dari interaksi antara jaringan dengan sel
radang yang berinfiltrasi pada epitel permukaan saluran napas, mediator radang, dan
sitokin. Sel yang memiliki peranan yang penting dalam respon radang adalah sel mast,
eosinofil, limfosit, dan sel epitel saluran napas. Setiap jenis sel tersebut dapat
mengeluarkan mediator dan sitokin untuk menginisiasi dan mengamplifikasi inflamasi akut
dan juga perubahan patologis dalam jangka panjang. Mediator yang dilepaskan
menghasilkan reaksi radang yang cepat dan hebat melibatkan konstriksi bronkus, kongesti
vaskular, pembentukan edema, meningkatkan produksi mukus, dan menghambat transport
mukosiliaris. Reaksi cepat tersebut dapat diikuti dengan reaksi yang kronis. Gabungan lain
dari faktor-faktor kemotaktik (faktor anafilaksis eosinofil dan neutrofil dan leukotrien B4)
juga membawa eosinofil, platelet, dan leukosit polimorfonuklear ke lokasi reaksi. Epitel
saluran napas merupakan target dan kontributor dalam rangkaian proses radang. Jaringan
ini mengamplifikasi konstriksi bronkus dan meningkatkan vasodilatasi dengan melepaskan
nitrogen oksida, prostaglandin E2, faktor stimulasi granulosit-koloni makrofag, interleukin
1, faktor pertumbuhan epidermal, IGF (insulin-like growth factor), PDGF (platelet derived
drowth factor).
9
Eosinofil memiliki peran yang penting dalam komponen infiltratif. Interleukin (IL) 5
menstimulasi pelepasan sel-sel ini ke dalam sirkulasi dan bertahan. Jika telah teraktivasi,
sel-sel ini menjadi sumber kaya leukotrien, dan melepaskan protein granuler dan radikal
bebas derivat oksigen mampu merusak epitel saluran napas, kemudian masuk ke lumen
bronkial dalam bentuk badan Creola. Disamping menghilangkan fungsi sawar dan
sekretori, kerusakan tersebut merangsang pengeluaranan sitokin kemotaktik, yang
menimbulkan peradangan lebih lanjut.
Limfosit T juga memiliki peran penting dalam respon radang. TH2 teraktifasi ditemukan
meningkat pada saluran napas dan menghasilkan sitokin seperti IL1-4 yang menginisiasi
respon imun humoral (IgE). Menurut data yang telah dikumpulkan, asma mungkin
memiliki hubungan dengan ketidakseimbangan antara respon imun TH1 dengan TH2,
tetapi kesimpulan yang pasti belum ditetapkan.
Pertimbangan Genetik
Pemindaian terhadap keluarga untuk kandidat gen telah mengidentifikasi beberapa bagian
kromosom yang berhubungan dengan atopi, peningkatan kadar IgE, dan saluran napas
yang hiperresponsif. Kromosom 5q mengandung klaster sitokin (IL1-4, IL-5, IL-9, dan IL-
13). Bagian lain dari kromosom 5q mengandung reseptor ß-adrenergik dan glukokortikoid.
Kromosom 6p memiliki bagian yang penting dalam penyajian antigen dan mediasi respon
radang. Kromosom 12q mengandung dua gen yang berpengaruh pada atopi dan
hiperresponsi saluran napas, termasuk nitrit oksida sintase
Stimulus Pencetus Asma
Rangsangan yang dapat mencetus serangan asma dapat dikelompokkan dalam tujuh
kategori besar: alergenik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi, berhubungan
dengan olahraga, dan emosional.
Alergen
Alergen pada asma alergik bergantung pada respon IgE yang dikontrol oleh limfosit T
dan B dan diaktivasi oleh interaksi antigen dengan ikatan sel mast – IgE. Setelah menerima
10
imunogen, interaksinya dengan sel T membentuk TH2. Proses ini bukan hanya membentu
memfasilitasi radang pada asma, tetapi juga menyebabkan pengalihan produksi IgG dan
IgM oleh limfosit B menjadi produksi IgE.
Sebagian besar alergen asma tersawa oleh udara, dan untuk menghasilkan status
sensitivitas membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah terjadi sensitisasi, pasien dapat
menampakkan respon yang hebat, bahkan kontak dalam hitungan menit dapat
menghasilkan eksaserbasi signifikan pada penyakit ini. Asma alergik biasanya musiman,
paling banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Sedangkan yang bukan
musiman dapat ditimbulkan dari alergi terhadap bulu, serpihan kulit binatang, kutu debu,
jamur, dan antigen lingkungan lain yang ada secara kontinyu.
Rangsangan Farmakologis
Obat yang paling sering berhubungan dengan fase akut asma adalah aspirin (NSAIDs),
zat warna seperti tartazin, antagonis ß-adrenergik, dan senyawa sulfit. Tipe yang
sensitif aspirin terutama pada orang dewasa, walaupun terdapat juga pada anak-anak.
Terdapat reaktivitas silang antara aspirin dengan NSAIDs yang menginhibisi prostaglandin
G/H sintase 1. Pasien dengan sensitivitas terhadap aspirin dapat didesensitisasi dengan
pemberian aspirin harian, sehingga terjadi toleransi silang dengan NSAIDs lainnya.
Antagonis ß-adrenergik pada individ dengan asma dapat menghambat saluran napas
dengan meningkatkan reaktivitas saluran napas dan harus dihindari. Bahkan antagonis ß-
adrenergik selektif beta 1 memiliki kecenderungan tersebut dalam dosis yang lebih tinggi.
Terdapat fakta bahwa penggunaan lokal penghambat beta 1 pada mata untuk mengobati
glaukoma berhubungan dengan memburuknya asma.
Senyawa sulfit, yang digunakan secara luas pada makanan dan industri farmasi sebagai
zat untuk sanitasi dan pengawet, dapat menimbulkan penyumbatan saluran napas bagi
orang yang sensitif. Paparan terjadi karena memakan makanan dan obat-obatan yang
mengandung zat-zat tersebut.
Lingkungan dan Polusi Udara
11
Penyebab asma dari lingkungan biasanya berkaitan dengan kondisi iklim yang
meningkatkan konsentrasi polutan dan antigen atmosfir. Kondisi ini terdapat pada wilayah
indutri berat dan perkotaan padat dan seringkali nerhubungan dengan perubahan suhu atau
siluasi lain yang menimbulkan udara tidak mengalir. Dalam keadaan ini, walaupun
populasi secara umum dapat mengalami gangguan pernapasan, pasien dengan asma dan
penyakit pernapasan yang lain dapat terpengaruh lebih buruk.
Faktor pekerjaan
Obstruksi saluran parnapasan akut dan kronis telah dilaporkan berkaitan dengan paparan
sejumlah besar senyawa yang digunakan dalam berbagai macam industri (umumnya
senyawa dengan berat molekul tinggi). Senyawa dengan berat molekul tinggi menimbulkan
asma dengan menghasilkan reaksi imunologis, sedangkan senyawa dengan berat molekul
rendah merupakan senyawa yang memiliki efek konstriktor bronkus.
Infeksi
Infeksi saluran napas merupakan rangsangan yang paling sering menimbulkan
eksaserbasi akut pada asma. Virus saluran napas dan bukan bakteri atau alergi terhadap
mikroorganisme adalah faktor etiologi yang paling utama. Pada anak yang masih kecil,
penyebab infeksi yang paling penting adalah virus pernapasan sinsisial dan virus
parainfluenza. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, Rhinovirus dan virus
influenza merupakan patogen yang dominan. Mekanisme induksi eksaserbasi asma oleh
virus berhubungan dengan produksi sitokin oleh sel T yang membantu infiltrasi sel radang
pada saluran napas.
Olahraga
Biasanya serangan timbul setelahnya, dan tidak timbul selama olahraga.
Semakin tinggi tingkat ventilasi dan semakin dingin udara menentukan parahnya obstruksi
saluran napas. Mekanisme yang ditimbulkan oleh olahraga dalam menimbulkan obstruksi
berhubungan dengan hiperemia yang dipengaruhi suhu dan kebocoran kapiler pada dinding
saluran napas.
12
Stres Emosional
Faktor psikologis yang dapat memperburuk atau meringankan asma. Perubahan pada
diameter saluran napas berhubungan dengan aktivitas eferen n. vagus, tetapi mungkin juga
endorfin memiliki peran. Peran faktor psikologis mungkin bervariasi antara satu pasien
dengan yang lain dan antara satu serangan dengan serangan yang lain.
2. Faktor resiko asma bronkial ?
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial.
a. Faktor predisposisi
• Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor
pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Menurut Mengatas dkk, terdapat berbagai kelainan kromosom pada patogenesis , antara
lain pada:
a. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang mengkode human
leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-DQ, HLA-DP dan HLA-DR, yang
berfungsi mempermudah pengenalan dan presentasi antigen.
b. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma,
yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33 mengatur produksi interleukin (IL) 4,
yang berperan penting dalam terjadinya asma. Kromosom 1, 12, 13, 14, 19 juga berperan
dalam produksi berbagai sitokin pada asma.
c. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T yaitu kromosom 14q.
13
b. Faktor presipitasi
• Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
• Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
• Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.
• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan
asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
3. Klasifikasi asma bronkial ?
1. Berdasarkan Etiologi
14
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan
spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti
yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :
1. Asma ekstrinsik atopik
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
- Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan
dengan reaksi kulit tipe 1
- Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85% kasus timbul
sebelum usia 30 tahun
- Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber, dengan
serangan asma yang berbeda-beda
2. Asma ekstrinsik non atopik
Memiliki sifat-sifat antara lain
- Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacam-macam alergen yang
spesifik
- Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap alergi yang
tersensitasi dapat menjadi positif
- Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
- Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau di kemudian hari
b. Intrinsik/idiopatik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
15
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
Sifat dari asma intrinsik :
o Alergen pencetus sukar ditentukan
o Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil negatif
o Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan oleh
penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda- beda
o Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun dan
disebut juga late onset asma
o Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid.
o Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat
dibuktikan dengan keterlibatan IgE
o Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik
o Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya sel LE
o Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12-48%
o Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.
2. Berdasarkan Keparahan Penyakit
a. Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam
atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan
asimtomatik di antara waktu serangan, Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory
Value in 1 second (PEV1) > 80%
b. Asma ringan
16
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi
mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1 bulan,
PEF dan PEV1 > 80%
c. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma
malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja
cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 >60% dan < 80%
d. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari
sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60%
3.Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma
Dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Asma terkontrol
b. Asma terkontrol sebagian (partial)
c. Asma tak terkontrol
4. Interpretasi pemeriksaan fisik ?
TD 110/70 : Normal
Nadi 104X/menit : Asma sedang (100 -120 kali/menit)
Asma ringan <100 kali/menit
Asma berat >120 kali/menit
RR 32 kali/menit : cepat, pada asma >30 kali/menit
5. Tatalaksana ?
1. Pengobatan Simptomatik
17
TujuanPengobatan Simpatomimetik adalah :
a.Mengatasi serangan asma dengan segera.
b.Mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin.
c. Mencegah serangan berikutnya.
Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik adalah :
a. Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta)
–Adrenalin (Epinefrin) injeksi. Obat ini tersedia di Puskesmas dalam
kemasan ampul 2 cc. Dosis dewasa : 0,2-0,5 cc dalam larutan 1 : 1.000 injeksi subcutan.
Dosis bayi dan anak : 0,01 cc/kg BB, dosis maksimal 0,25 cc. Bila belum ada perbaikan,
bisa diulangi sampai 3 X tiap15-30 menit.
– Efedrin. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 25 mg. Aktif dan
efektif diberikan peroral.
–Salbutamol. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet kemasan 2 mg dan
4 mg. Salbutamol merupakan bronkodilator yang sangat poten bekerja cepat dengan efek
samping minimal. Dosis : 3-4 X 0,05-0,1 mg/kg BB
b. Bronkodilator golongan teofilin
– Teofilin. Obat ini tidak tersedia di Puskesmas. Dosis : 16-20 mg/kg BB/hari
oral atau IV.
–Aminofilin. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200 mg dan injeksi
240 mg/ampul. Dosis intravena : 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan.
Dapat diulang 6-8 jam kemudian , bila tidak ada perbaikan. Dosis : 3-4 X 3-
5 mg/kg BB
c. Kortikosteroid. Obat ini tersedia di Puskesmas tetapi sebaiknya hanya dipakai
Dalam keadaan pengobatan dengan bronkodilator baik pada asma akut maupun kronis
tidak memberikan hasil yang memuaskan dan keadaan asma yang membahayakan jiwa
penderita (contoh : status asmatikus). Dalam pemakaian jangka pendek (2-5 hari)
18
kortikosteroid dapat diberikan dalam dosis besar baik oral maupun parenteral, tanpa perlu
tapering off. Obat pilihan hidrocortison dan dexamethason
d. Ekspektoran.
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan
menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan
dikeluarkan. Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin,
sedian yang ada di Puskesmas adalah Obat Batuk Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP),
Glicseril guaiakolat (GG)
e. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi
saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
2. Pengobatan Profilaksis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional,
karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan
bronkospasme. Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang,
dengan cara kerja obat sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan
meringankan beratnya serangan.
19
Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :
a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast.
Tatalaksana
a. Tatalaksana Asma Akut Intermiten
1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau
2. Salbutamol : 3 X 0,05-0,1 mg/kg BB
3. Bila ada batuk berikan ekspectoran
4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika
b. Tatalaksana Asma Berat Dan Status Asmatikus
1. Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau
Aminofilin bolus 5-6 mg/kg BB IV pelan-pelan. Catatan : pemberian
Adrenalin pada orang tua harus hati-hati, dan tidak boleh diberikan pada
Penderita hipertensidan penyakit jantung.
2. Dexametason 5 mg IV.
3. Bila ada berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.
4. Bila tidak ada respon dianggap sebagai Status Asmatikus :
- Pasang infus Glukosa 5% atau NaCl 0,9% : 2-3 lt/24 jam.
- Rujuk segera ke Rumah Sakit
20
6. Komplikasi ?
1. Status asmatikus
Serangan asma berat, tidak memberikan respon adrenalin. Apabila terjadi serangan
yang lebih berat sebaiknya dirawat dengan terapi intensif.
2. Atelektasis
Pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara atau
akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia
Tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks
Terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolaps paru.
5. Emfisema
Penyakit yang gejala utamanya penyempitan saluran nafas karena kantung udara
diparu menggelembung secara berlebihandan mengalami kerusakan yang luas.
7. DD ?
[LO]
21
S TEP 5
1. Sebutkan dan jelaskan Komplikasi asma!
2. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding dari asma!
3. Jelaskan penatalaksanaan asma!
4. Jelaskan edukasi pada pasien asma!
22
S TEP 6
Belajar Mandiri
• Sudoyo, W. Aru, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK UI.
• Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FK
UI.
• Tjay, Tan Hoan Drs. dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta:
Gramedia.
• Barbara, C.L., 1996, Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan),
Bandung
Smeltzer and Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
• - Doengoes, M.E, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
• Depkes, RI. 1997. Pedoman penyakit asthma dan penanggulangannya. Dirjen P2M dan
PLP, Jakarta.
• Arifin, N.1990. Diagnostik tuberkulosis asthma dan penanggulangannya , Universitas
Indonesia , Jakarta
• Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan asthma. Cetakan 8,
Departemen Kesehatan; 2003.
• Price, Sylvia Anderson. Edisi 6 : 2006. Patofisiologi, EGC. Jakarta.
23
STEP 7
1. Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
Status asmatikus
Atelektasis
Asidosis respiratorik
Hipoksemia
Pneumothoraks
Emfisema
a. Status asmatikus adalah merupakan serangan asma berat yang tidak dapat diatasi
dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik, bila tidak
diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan.
Stadium awal :
• Batuk berkala dan batuk kering
• Stadium ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul.
• Terjadi pembengkakan mukosa
Stadium kedua :
• Batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa
• Sesak nafas
• Bunyi mengi (Wheezing)
• Gelisah, pucat, bibir, dan ekstremitas biru
Stadium ketiga :
24
Semua gejala stadium dua ditambah suara nafas tidak terdengar, tidak ada batuk,
pernafasan dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi.
Pengobatan selama status asmatikus :
o Infus RL : D5 = 3 :1 tiap 24 jam
o Pemberian oksigen 4 liter/menit
o Aminophilin bolus 5 mg/kgBB diberikan secara pelan-pelan selama 20 menit
dilanjutkan dengan drip D5 % 20 tetes/menit dengan dosis 20 mg/kgBB/24 jam
o Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub cutan
o Dexametason 10-20 mg/6 jam IV
o Antibiotika spektruk luas.
b. ATELEKTASIS
definisi
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
Sindroma lobus medialis
Sindroma lobus medialis merupakan atelektasis jangka panjang, dimana lobus media
(tengah) dari paru-paru kanan mengkerut. Penyebabnya biasanya adalah penekanan
bronkus oleh suatu tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Paru-paru yang
tersumbat dan mengkerut, dapat berkembang menjadi pneumonia yang tidak dapat sembuh
total dan peradangan kronis, jaringan parut dan bronkiektasis.
Atelektasis percepatan
25
Atlektasis percepatan biasanya terjadi pada pilot pesawat tempur. Penerbangan dengan
kecepatan tinggi akan menutup saluran pernafasan yang kecil, menyebabkan alveoli
(kantong udara kecil di paru-paru) menciut.
Mikroatelektasis tersebar atau terlokalisasi
Pada keadaan ini, sistem surfaktan paru-paru terganggu. Surfaktan adalah zat yang
melapisi alveoli dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan, sehingga mencegah
pengkerutan. Bila bayi prematur kekurangan surfaktan, mereka akan mengalami sindroma
gawat pernafasan.
Orang dewasa juga bisa mengalami mikroatelektsis karena:
- terapi oksigen yang berlebihan
- infeksi berat dan luas (sepsis)
- faktor lainnya yang merusak lapisan alveoli.
Penyebab
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Bronkus adalah 2
cabang utama dari trakea yang langsung menuju ke paru-paru. Penyumbatan juga bisa
terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil.
Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang
terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari
luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan
tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli
akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel
darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi.
Faktor resiko terjadinya atelektasis:
o Pembiusan (anestesia)/pembedahan
o Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
26
o Pernafasan dangkal
o Penyakit paru-paru.
Gejala
Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang ringan.
Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali, walaupun
banyak yang menderita batuk-batuk pendek.
Gejalanya bisa berupa:
- gangguan pernafasan
- nyeri dada
- batuk.
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang
sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Rontgen dada akan
menunjukkan adanya daerah bebas udara di paru-paru. Untuk menentukan penyebab
terjadinya penyumbatan mungkin perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau bronkoskopi
serat optik.
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang terkena.
Tindakan yang biasa dilakukan:
o Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali
bisa mengembang
o Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya
27
o Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
o Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
o Postural drainase
o Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
o Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
o Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan
atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena
mungkin perlu diangkat
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis
akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun
kerusakan lainnya.
Pencegahan
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis:
o Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam,
batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin.
Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan
dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan.
o Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan
pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila menggunakan
alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan menghasilkan
tekanan terus menerus ke paru-paru sehingga meskipun pada akhir dari suatu
pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.
c. Asidosis respiratorik
- Emfisema
- Bronkitis kronis28
- Pneumonia berat
- Edema pulmoner
- Asma.
Penyebab asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama:
Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau suatu
bahan yang diubah menjadi asam. Sebagian besar bahan yang menyebabkan asidosis bila
dimakan dianggap beracun. Contohnya adalah metanol (alkohol kayu) dan zat anti beku
(etilen glikol). Overdosis aspirin pun dapat menyebabkan asidosis metabolik.
Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme. Tubuh dapat
menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari beberapa penyakit; salah satu
di antaranya adalah diabetes melitus tipe I. Jika diabetes tidak terkendali dengan baik,
tubuh akan memecah lemak dan menghasilkan asam yang disebut keton.
Asam yang berlebihan juga ditemukan pada syok stadium lanjut, dimana asam laktat
dibentuk dari metabolisme gula.
Asidosis metabolik bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam dalam
jumlah yang semestinya. Bahkan jumlah asam yang normal pun bisa menyebabkan
asidosis jika ginjal tidak berfungsi secara normal. Kelainan fungsi ginjal ini dikenal
sebagai asidosis tubulus renalis (ATR) atau rhenal tubular acidosis (RTA), yang bisa
terjadi pada penderita gagal ginjal atau penderita kelainan yang mempengaruhi
kemampuan ginjal untuk membuang asam.
Penyebab utama dari asidosis metabolik:
o Gagal ginjal
o Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal)
o Ketoasidosis diabetikum
o Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat)
o Bahan beracun seperti etilen glikol, overdosis salisilat, metanol, paraldehid,
asetazolamid atau amonium klorida
29
o Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan karena
diare, ileostomi atau kolostomi.
Penyebab :
Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu
banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Penyebab
hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan.
Penyebab lain dari alkalosis respiratorik adalah:
- rasa nyeri
- sirosis hati
- kadar oksigen darah yang rendah
- demam
- overdosis aspirin.
d. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah penimbunan udara atau gas di dalam rongga pleura.
Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan
rongga dada.
Penyebab
30
GEJALA
Gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk ke dalam
rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps (mengempis).
Gejalanya bisa berupa:
Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika penderita menarik
31
Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan berdasarkan penyebabnya:
1. Pneumotoraks spontan
Terjadi tanpa penyebab yang jelas. Pneumotoraks spontan primer terjadi jika pada
penderita tidak ditemukan penyakit paru-paru. Pneumotoraks ini diduga disebabkan
oleh pecahnya kantung kecil berisi udara di dalam paru-paru yang disebut bleb atau
bulla. Penyakit ini paling sering menyerang pria berpostur tinggi-kurus, usia 20-40
tahun. Faktor predisposisinya adalah merokok sigaret dan riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama.
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru-paru
(misalnya penyakit paru obstruktif menahun, asma, fibrosis kistik, tuberkulosis, batuk
rejan).
2. Pneumotoraks traumatik
Terjadi akibat cedera traumatik pada dada. Traumanya bisa bersifat menembus (luka
tusuk, peluru) atau tumpul (benturan pada kecelakaan kendaraan bermotor).
Pneumotoraks juga bisa merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu (misalnya
torakosentesis).
3. Pneumotoraks karena tekanan
Terjadi jika paru-paru mendapatkan tekanan berlebihan sehingga paru-paru mengalami
kolaps. Tekanan yang berlebihan juga bisa menghalangi pemompaan darah oleh
jantung secara efektif sehingga terjadi syok.
nafas dalam atau terbatuk
-
- Sesak nafas
- Dada terasa sempit
- Mudah lelah
- Denyut jantung yang cepat
- Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.
Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat atau tidur.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
- Hidung tampak kemerahan
- Cemas, stres, tegang
- Tekanan darah rendah (hipotensi).
DIAGNOSA
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan udara dari rongga pleura, sehingga paru-paru
bisa kembali mengembang. Pada pneumotoraks yang kecil biasanya tidak perlu dilakukan
pengobatan, karena tidak menyebabkan masalah pernafasan yang serius dan dalam
32
Pemeriksaan fisik dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya penurunan suara
pernafasan pada sisi yang terkena. Trakea (saluran udara besar yang melewati bagian
depan leher) bisa terdorong ke salah satu sisi karena terjadinya pengempisan paru-paru.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
- Rontgen dada (untuk menunjukkan adanya udara diluar paru-paru)
- Gas darah arteri.
PENGOBATAN
beberapa hari udara akan diserap. Penyerapan total dari pneumotoraks yang besar
memerlukan waktu sekitar 2-4minggu. Jika pneumotoraksnya sangat besar sehingga
menggangu pernafasan, maka dilakukan pemasangan sebuah selang kecil pada sela iga
yang memungkinkan pengeluaran udara dari rongga pleura. Selang dipasang selama
beberapa hari agar paru-paru bisa kembali mengembang. Untuk menjamin perawatan
selang tersebut, sebaiknya penderita dirawat di rumahsakit.
Untuk mencegah serangan ulang, mungkin perlu dilakukan pembedahan. Hampir 50%
penderita mengalami kekambuhan, tetapi jika pengobatannya berhasil, maka tidak akan
terjadi komplikasi jangka panjang. Pada orang dengan resiko tinggi (misalnya penyelam
dan pilot pesawat terbang), setelah mengalami serangan pneumotoraks yang pertama,
dianjurkan untuk menjalani pemedahan Pada penderita yang pneumotoraksnya tidak
sembuh atau terjadi 2 kali pada sisi yang sama, dilakukan pembedahan untuk
menghilangkan penyebabnya.
Pembedahan sangat berbahaya jika dilakukan pada penderita pneumotoraks spontan
dengan komplikasi atau penderita pneumotoraks berulang. Oleh karena itu seringkali
dilakukan penutupan rongga pleura dengan memasukkan doxycycline melalui selang yang
digunakan untuk mengalirkan udara keluar.
Untuk mencegah kematian pada pneumotoraks karena tekanan, dilakukan pengeluaran
udara sesegera mungkin dengan menggunakan alat suntik besar yang dimasukkan melalui
dada dan pemasangan selang untuk mengalirkan udara.
e. Emfisema
Pengertian Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus
terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)
33
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran
ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).
Patofisiologi Emfisema
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan
pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan
napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang
rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada
tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan
peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan
asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal
berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian,
gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema.
Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar
menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk
membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis
dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar
udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara
kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan
positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi.
34
Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter,
ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus
meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti
tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena
adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Emfisema
Tanda dan Gejala Emfisema
Dispnea
Takipnea
Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
35
Hipoksemia
Hiperkapnia
Anoreksia
Penurunan BB
Kelemahan
Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan jantung
normal
2. Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV, penurunan VC
dan FEV
2. Diagnosis banding dari asma bronkial
Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia (1). Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan
pesatnya kemajuan industri (2)
Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok
tetapi telah pula menimbulkan pencemaraan lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan
masalah merokok yang dapat menyebabkan penyakit bronkitis kronik dan emfisema .
36
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.Emfisema menduduki
peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas
Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita Data epidemiologis di Indonesia
sangat kurang. Nawas dkk melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan
Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah
tuberkulosis paru (65 %). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru.
A. Emfisema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran secara
abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis, disertai dengan kerusakan
dinding alveolus yang ireversibel
Berdasarkan tempat terjadinya proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi tiga
1.Sentri-asinar (sentrilobular/CLE)
37
Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
dan daerah sekitar asinus.
2.Pan-asinar (panlobular)
Kerusakan terjadi merata di seluruh asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khas
nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung
terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti
tripsin.
3.Iregular
Kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.
Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obstruktif (4).
1.Emfisema kompensatorik
Terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak atau
kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks.
2.Emfisema obstruktif
Terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh, hingga
terjadi mekanisme ventil.
b. Patogenesis Emfisema
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi,
infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.
1.Rokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada jalan napas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar 38
mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya
perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus
dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah
dan alveoli pecah .Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear
melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti
tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya .
2.Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Insidensi dan
angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi
udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia, menghambat
fungsi makrofag alveolar .
3.Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi
saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkiale, dapat mengarah pada
obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema .
4.Faktor genetik
Defisiensi Alfa-1 anti tripsin
Allergen-allergen atau benda asing ketika memasuki jaringan paru-paru merangsang
kedatangan leukosit dan makrofag. Leukosit dan makrofag menghasilkan enzim proteolitik
(elastase, collagenase) untuk mencerna benda asing atau bakteri tersebut. Untuk membatasi
reaksi berlebihan dari enzim proteolitik yang dihasilkan lekosit dan makrofag, normalnya
paru mengeluarkan enzim alfa-1antitripsin atau kini disebut alfa-1antiprotease. Jika
terdapat defisiensi enzim alfa-1antiprotease, enzim proteolitik dapat merusak jaringan paru
seperti bronkus, alveolus dan parenkim paru dan terbentuk emfisema.
5.Obstruksi jalan napas
39
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi
mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi
tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah benda asing di dalam lumen
dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di mediastinum, kongenital. Pada jenis yang
terakhir, obstruksi dapat disebabkan oleh defek tulang rawan bronkus .
c. Patofisiologi emfisema
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-
alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai
sebagian atau seluruh paru . Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari
obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran
udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan
demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena adalah
belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian.
Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di dalam bronkus-bronkus
yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan. Selain itu
dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh darah
yang menyimpang.
Mekanisme katup penghentian : Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi
akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana
pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya
penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah distal dari paru.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang
berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik
jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada
dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru. Bila terpapar
40
iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan
sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding
alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga
timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikel asap rokok dan polusi udara
mengenap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat
aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada
sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini
ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus
berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi
pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan
stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran
alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli .
d. Cara diagnosis Emfisema
1.Anamnesis :
o Riwayat menghirup rokok.
o Riwayat terpajan zat kimia.
o Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
o Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran nafas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
o Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk dalam
beberapa tahun .
o Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak
terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya .
2. Pemeriksaan Fisik :41
Inspeksi :
o Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).
o Dada berbentuk barrel-chest.
o Sela iga melebar.
o Sternum menonjol.
o Retraksi intercostal saat inspirasi.
o Penggunaan otot bantu pernapasan.
Palpasi : vokal fremitus melemah.
Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah.
Auskultasi :
o Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
o Terdapat ronki samar-samar.
o Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.
o Ekspirasi memanjang.
o Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan terdengar
suara P2 mengeras pada LSB II-III .
3.Pemeriksan Penunjang :
a.Faal Paru
42
Spinometri (VEP, KVP). Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF
dan VR meningkat. VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya dan perjalanan penyakit.
Uji bronkodilator
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP 1.
b.Darah Rutin
Hb, Ht, Leukosit (1).
c.Gambaran Radiologis
o Pada emfisema terlihat gambaran :
o Diafragma letak rendah dan datar.
o Ruang retrosternal melebar.
o Gambaran vaskuler berkurang.
o Jantung tampak sempit memanjang.
o Pembuluh darah perifer mengecil
d. Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli (6).
e. Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
43
f. Pemeriksaan Enzimatik
Kadar alfa-1-antitripsin rendah.
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :
o Penatalaksanaan umum.
o Pemberian obat-obatan.
o Terapi oksigen.
o Latihan fisik.
o Rehabilitasi.
o Fisioterapi.
1.Penatalaksanaan umum
Yang termasuk di sini adalah :
a.Pendidikan terhadap keluarga dan penderita
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor
yang bisa memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha
pencegahan .
b.Menghindari rokok dan zat inhalasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita
harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus
dihindari. Karena zat itu menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit .
44
c.Menghindari infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan suatu
eksaserbasi akut penyakit.
2.Pemberian obat-obatan.
a.Bronkodilator
1.Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini
menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator
dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin .
2.Gol Agonis β2
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil
siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi.
Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah :
terbutalin, metaproterenol dan albuterol.
3.Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim
guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat
ex : Ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi .
4.Kortikosteroid
45
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada emfisema masih
diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan
dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason,
prednison dan prednisolon .
b.Ekspectoran dan Mucolitik
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting
pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah
bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.
Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi
saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans .
c.Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan
eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk.
Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit.
Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang
bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan
selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan
pemeriksaan mikroorganisme .
3.Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg. Pemberian oksigen
konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja .
4.Latihan fisik
46
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada pasien
yang sesak nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini
membutuhkan staf dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan
pernapasan sendiri tidak menunjukkan manfaat .
Latihan fisik yang biasa dilakukan :
o Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri
o Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan membungkuk ke depan lalu ke
belakang
o Memutar bahu ke depan dan ke belakang
o Mengayun tangan ke depan dan ke belakang dan membungkuk
o Gerakan tangan melingkar dan gerakan menekuk tangan
o Latihan dilakukan 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu
o Dapat juga dilakukan olah raga ringan naik turun tangga
o Walking – joging ringan.
5.Rehabilitasi
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa
tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi
penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Misalnya bila
istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus lambat
tapi teratur .
6.Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
47
o Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
o Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
o Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
o Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
o Mengurangi spasme otot leher .
Penerapan fisioterapi :
1.Postural Drainase :
Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara
penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya
gravitasi.
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi
gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk .
2.Breathing Exercises :
Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian
menghembuskan napas melalui bibir dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan
adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk di kursi
atau di tempat tidur dan berdiri.
Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan,
meningkatkan efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi
otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada.
3.Latihan Batuk :
48
Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkioli dari
sekret dan benda asing.
4.Latihan Relaksasi :
Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas dan
kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan
usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.
Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.
Contohnya :
Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian penderita
ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal
sebagai penyangga (10).
f. Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis
waktu berobat.
Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :
Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal
B. Bronkitis kronis
1. Pengertian bronchitis
49
Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis dapat bersifat
akut maupun kronis. Bronchitis akut adlah peradangan bronki dan kadang-kadang
mengenai trakea yang timbul secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh perluasan
infeksi saluran napas atas seperti common cold atau dapat juga disebabkan oleh agen fisik
atau kimia seperti: asap, debu, atau kabut yang menguap. Sedangkan bronchitis kronis
adalah gangguan klinis yang ditandi dengan pembentukan mucus yang berlebihan pada
bronkus dan bermanifestasi sebagai batu kronik dan pembentukan sputum selam sedikitnya
tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam du tahun berturut-turut pembahasan
selajutnya akan mmenekankan pada kasus bronchitis kronik
2. Etiologi
Terdapat 3 faktor utama yang mengpengaruhi timbilnya bronchitis yaitu rokok, infeksi, dan
polusi. Selain itu terdapat pula hubungannya dengan factor keturunan dan status social.
a. Rokok
Menurut buku REPORT OF THE WHO EXPERT COMITE ON SMOKING CONTROL,
rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis.terdapat hubungn yang antara merokok
dan penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan
50
dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran
pernapasan juga dapat menyebabkan bronchitis akut.
b. Infeksi
Eksasebasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi vius yang kemudian
menyebakan infeksi sekundr bakteri. Bakteri yang isolasi paling banyak adalah hemophilus
influenza dan sterptococus pnemoniae.
c. Polusi
Polusi tidak begitu pengaruhnya sebagai factor penyebab tetapi bila di tambah merokok
resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia dapat juga adalah zat-zat pereduksi 02, zat-zat
pengoksidasi seperti N20, hidrokarbon, aldehid, ozon.
d. Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak , kecuali pada
penderita defisiensi alfa -1 antitripsin yang merupakan suatu problem, dimana kelainan ini
diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang
sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru.
e. Faktor social ekonomi
Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan social ekonomi rendah,
mungkin disebabkan factor linkungan dan ekonomi yang lebih baik.
Asap mengiritasi jalan napas mengakibatkan hipersekresi lender dan imflamasi. Adanya
iritasi yang terus menerus menyebabkan kelenjar.kelenjar mensekresi lender sehinga lender
yang diproduksi semakin banyak peningkatanjumlah sel goblet dan penurunan fungsi
silia.hal ini menyebabkan terjadinya penyempitan dan penyumbatan pada
bronkiolus.alveoli yang terletak dengan bronkiolus dapat mengalami kerusakan dan
membentuk fibrosis sehinga terjadi perubahan fungsi bakteri . proses ini menyebabkan
klien menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan.penyempitan bronchial lebih lanjut
51
dapat terjadi perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas.pada waktunya dapat terjadi
perubahan paru yang irreversible.hal tersebut kemungkinan mengakibatkan emfisema dan
bronkiektatis.
Tanda dan Gejala
oHipertrofi kelenjar mukosa bronkus
oPeningkatan jumlah sel goblet dengan infiltrasi sel-sel radang
oEdema mucus
oBatuk produktif ,kronis pada bulan-bulan musim dingin merupakan tanda dini bronchitis
kronik.
3. Test Diagnostik
Tes diagnostic yang dilakukan pada klien bronchitis kronik adalah meliputi rotagen
thoraks,analisa sputum,tes fungsi paru dan pemeriksaan kadar gas darah arteri.
4. Komplikasi
Komplikasi bronchitis dapat berupa terjadinya korpulmonale,gagal jantung kanan dan
gagal pernapasan.
5. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan umum pada bronchitis kronik bertujuan untuk memperbaiki kondisi
tubuh penderita ,mencegah perburukan penyakit,menghindari factor resiko dan mengenali
sifat penyakit secara lebih baik.di samping itu tujuan utama pengobatan adalah untuk
menjaga agar bronkiolus terbuka dan berfungsi sehingga memudahkan pembuangan
sekresi bronchial,mencegah infeksi dan kecacatan.perubahan pola sputum(Sifat
warna ,jumlah dan ketebalan)dan pola bentuk merupakan hal yang perlu
52
diperhatikan .infeksi bakteri kambuh diobati dengan terapi antibiotika berdasarkan hasil
pemeriksaan kultur dan sensitivitas.
Terapi bronkodilator berguna untuk menghilangkan bronkospasme dan mengurangi
obstruksi jalan napas sehingga oksigen lebih banyak didistribusikan keseluruh bagian paru
dan ventilasi alveolar diperbaiki.drainase postular dan perkusi dada setelah pengobatan
biasanya sangat membantu terutama jika terdapat bronkiektasis.
Pemberian cairan peroral maupun parenteral jika terjadi bronkospasme berat merupakan
tindakan yang sangat penting.pemberian terapi cairan sangat membantu dalam
mengencerkan sekresi sehingga mudah dikeluarkan dengan membatukkan pemberian
kortikostreoid diberikan jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukan keberhasilan terhadap
pengobatan konservatif.klien harus berhenti merokok,karena rokok dapat menyebabkan
bronkontriksi,melumpuhkan silia yang berperan dalam membuang partikel yang
mengiritasi untuk mengembangkan paru.perokok juga lebih rentan trhadap infeksi
bronchial.
3. Penatalaksanaan dan edukasi pasien asthma
Bagan 1.
53
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH
Penilaian berat serangan
Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi
Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004
Bagan 2 . Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit
54
Pulang
Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2
Membutuhkan kortikosteroid oralEdukasi pasien
Memakai obat yang benarIkuti rencana pengobatan selanjutnya
Dirawat di RS
Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergikKortikosteroid sistemikAminofilin dripTerapi Oksigen pertimbangkan kanul nasal
atau masker venturiPantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin
Dirawat di ICU
Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta-2 injeksi
SC/IM/IVAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik
Penilaian Awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik
(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi
Penilaian Ulang setelah 1 jam
Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi
Respons baik
Respons baik dan stabil dalam 60 menit
Pem.fisi normalAPE >70% prediksi/nilai terbaik
Respons Tidak Sempurna
Resiko tinggi distressPem.fisis : gejala ringan – sedangAPE > 50% terapi < 70%Saturasi O2 tidak perbaikan
Respons buruk dalam 1 jam
Resiko tinggi distressPem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
menurunAPE < 30%PaCO2 < 45 mmHgPaCO2 < 60 mmHg
Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa
Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasalInhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)Kortikosteroid sistemik : - serangan asma berat
- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator
- dalam kortikosterois oral
Perbaikan Tidak Perbaikan
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap
berikan pengobatan oral atau inhalasi
Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
-
Bagan 3. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Klinik / IGD
55
Nilai derajat serangan(1)
(sesuai tabel 3)
Tatalaksana awalnebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)
Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,
respons parsial)
berikan oksigen (3)
nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasipasang jalur parenteral
Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)
observasi 2 jamjika efek bertahan, boleh pulangjika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang
Serangan berat
(nebulisasi 3x,
respons buruk)
sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasipasang jalur parenteralnilai ulang klinisnya, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inapfoto Rontgen toraks
Boleh pulangbekali obat -agonis (hirupan / oral)jika sudah ada obat pengendali, teruskanjika infeksi virus sbg. pencetus, dapat diberi steroid oral dalam 24-48 jam kon-trol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasi
Ruang Rawat Sehari/observasioksigen teruskanberikan steroid oralnebulisasi tiap 2 jambila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap
Ruang Rawat Inapoksigen teruskanatasi dehidrasi dan asidosis jika adasteroid IV tiap 6-8 jamnebulisasi tiap 1-2 jamaminofilin IV awal, lanjutkan rumatanjika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jamjika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulangjika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat IntensifCatatan:
Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergikBila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat IntensifJika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kaliUntuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi
Bagan 4.
Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang
Asma episodik jarang
56
Obat pereda: -agonis atau teofilin
(hirupan atau oral) bila perlu
PE
NGHINDARAN
3-4 minggu, obat dosis / minggu > 3x < 3x
Asma episodik sering
6-8 minggu, respons: (-) (+)
Asma persisten
6-8 minggu, respons: (-) (+)
6-8 minggu, respons: (-) (+)
*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis
57
Tambahkan obat pengendali:
Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)
Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:
-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)
Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:
-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)
Obat diganti kortikoteroid oral
Bagan 5.
STRATEGI PRIMARY HEALTH CARE
DALAM PENGENDALIAN ASMA
MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
KONSELING
KUNJUNGAN
RUMAH
PENGORGANISASIAN
MASYARAKAT/LS/LP/LSM (YAI, YAPNAS, dll)
58
PUSKESMAS
KLINIK SWASTA
PASIEN ASMA &
KELUARGA (KLIEN)
KELOMPOK
MASYARAKAT
BERISIKO
TINGGI
ASMA
STRATEGI PRIMARY HEALTH CARE
DALAM PENGENDALIAN ASMA
MELALUI PEMBERDAYAAN HARUS DIDUKUNG OLEH
BINA SUASANA & ADVOKASI
ADVOKASI
KOORD
BINA SUASANA
59
Org.Profesi
LSM
Dinkes Kab/Kota
PKM
TOMA
Puskesmas
Pengambil keputusan
/pemilik dana
Tenaga PKM
Individu
Kelmp.Masy
Dokter
Perawat
Bidan
Individu
Keluarga
Dukungan/Bantuan
Suasana Kondusif
Bagan 6.
PELANGI ASMA
Pelangi asma, monitoring asma secara mandiri
Hijau
Kondisi baik, asma terkontrol
Tidak ada / minimal gejala
APE : 80-100 % nilai dugaan / terbaik
Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap
berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi.
Kuning
Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut / eksaserbasi
Dengan gejala asma (asma malam, aktivitas terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat,
baik saat aktivitas maupun istirahat) dan atau APE 60-80 % dengan prediksi / nilai
terbaik.
Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi
Merah
Berbahaya
Gejala asma terus- menerus dan membatasi aktivitas sehari-hari.
APE < 60% nilai dugaan / terbaik.
Pasien membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati
dokter-pasien secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke
rumah sakit terdekat.
Sumber : PDPI, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia,2004
60
PENGOBATAN ASMA
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti
sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis ß2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
61
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan
kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif
dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma
dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat,
aman dan dari segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan:
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
B. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas, menjaga penderita agar
tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena berkurangnya
serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan
rumah sakit.
Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu penderita agar dapat
melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Komunikasi yang jelas antara dokter
dan penderita dalam memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan dalam
penatalaksanaan, adalah kunci peningkatan compliance/kepatuhan penderita dalam
melakukan penatalaksanaan tersebut. Edukasi penderita sebagai mitra dalam pengelolaan
asma mandiri, dengan memberikan penderita kemampuan untuk mengontrol asma melalui 62
monitor dan menilai keadaan asma serta melakukan penanganan mandiri dengan arahan
dokter, terbukti menurunkan morbiditi . Untuk memudahkan hal tersebut digunakan alat
bantu peak flow meter dan kartu catatan harian.
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan maupun
berkelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya edukasi diberikan pada :
Kunjungan awal (I)
Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan pertama
Kunjungan berikut (III)
Kunjungan-kunjungan berikutnya
C. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan berbagai faktor
antara lain :
Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi
Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada asmanya
Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga membantu
penanganan asma terutama asma mandiri. Frekuensi kunjungan bergantung kepada berat
penyakit dan kesanggupan penderita dalam memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut
(follow-up) pertama dilakukan < 1 bulan (1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap
kunjungan layak ditanyakan kepada penderita; apakah keadaan asmanya membaik atau
memburuk dibandingkan kunjungan terakhir.
Kemudian dilakukan penilaian pada keadaan terakhir atau 2 minggu terakhir sebelum
berkunjung dengan berbagai pertanyaan.
D. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi sebagian lagi
tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga identifikasi faktor pencetus
63
layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan mengenai beberapa hal yang dapat sebagai
pencetus serangan.
E. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
64
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (asma
terkontrol, lihat program penatalaksanaan)
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3 faktor yang perlu
dipertimbangkan :
Medikasi (obat-obatan)
Tahapan pengobatan
Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup . Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma
65
persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada
dosis yang direkomendasikan.
Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah inhalasi, pada tabel
11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glukokortikosteroid berdasarkan
perbedaan tersebut.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis
steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru,
hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga,
apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah
sesuai dengan derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol
lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut .
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat
dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan
membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui
absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan
potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati
(first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga
masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek
sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek
sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon. Risiko
efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan spacer dapat menurunkan
bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk semua
glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi tuberkulosis paru
pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme
kalsium dan densiti tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
66
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya
terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek
samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang
sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten
berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan
pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu.
Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang
terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk
membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal
di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
Bentuk oral, bukan parenteral
Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang
adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus,
katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan
supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan
penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes,
depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko
infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka
glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum sepenuhnya
dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan
67
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis
dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi.
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan
pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan
hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi . Dibutuhkan
waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan
inhalasi.
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang
dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui
mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang
sangat rendah efek antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan studi
menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan
sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega,
teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat,
sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai
studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan
untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Studi
menunjukkan metilsantiin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah atau tinggi adalah efektif mengontrol asma , walau disadari peran sebagai terapi
tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama inhalasi , tetapi merupakan suatu pilihan
karena harga yang jauh lebih murah.
68
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( ≥10 mg/kgBB/ hari atau lebih); hal itu
dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala
gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi.
Efek
kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas.
Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering
digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik
tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi
teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar
teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek
toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi
individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15
ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping. Perhatikan berbagai
keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil, penyakit
hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian
teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang
mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan
makrolid.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai
efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil.
Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif
terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
69
Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid inhalasi
dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan
ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum
meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi tersebut . Karena pengobatan jangka lama
dengan agonis beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka
sebaiknya selalu dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi . Penambahan agonis
beta-2 kerja lama inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi,
memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan
kebutuhan agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma .
Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi
(salmeterol atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan gejala serta mengontrol
asma lebih baik daripada meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat .
Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa memberikan glukokortikosteroid kombinasi
dengan agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama efektifnya
dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi yang terpisah ; hanya kombinasi
dalam satu kemasan (fixed combination) inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis yang
diberikan masing-masing lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih murah
daripada diberikan dosis yang ditentukan masing-masing lebih kecil dalam 2 kemasan obat
yang terpisah.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang
daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di
70
Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja
dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular,
ansieti dan tremor otot rangka.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme
kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target
(contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan
efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek
antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat
menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang
sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau
dengan glukokortikosteroid inhalasi . Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut,
leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama . Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita dengan aspirin
induced asma menunjukkan respons yang baik dengan pengobatan leukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien
sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati,
sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk pelega adalah :
Agonis beta-2 kerja singkat
71
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah
beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak
ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise-induced asma . Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila
diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari
adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi.
Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan
agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya
glukokortikosteroid oral.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral.
Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin
menggunakan terapi inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan
agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat .
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat
dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot
pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara
pemberian satu dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat
dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat
72
sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat
kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang
disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya
lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi
reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek
meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma,
memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna .
Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-
2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada
serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek
bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai
alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2
kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa
kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara
subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan
kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan
pengawasan ketat (bedside monitoring).
Rute pemberian medikasi
73
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan
napas (inhalasi) adalah :
Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
Efek sistemik minimal atau dihindarkan
Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih
cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi
Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
IDT dengan alat Bantu (spacer)
Breath-actuated MDI
Dry powder inhaler (DPI)
Turbuhaler
Nebuliser
Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan
menarik napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar
penderita trampil. Penggunaan alat Bantu (spacer) mengatasi kesulitan tersebut dan
memperbaiki penghantaran obat melalui IDT . Selain spacer juga mengurangi deposit obat
di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan
kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid ; serta mengurangi bioavailibiliti sistemik
dan risiko efek samping sistemik.. Berbagai studi di luar maupun di Indonesia
menunjukkan inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dengan IDT dan spacer `memberikan
efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui
IDT dan spacer terbukti memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui
DPI .
Kelebihan dry powder inhalation/DPI adalah tidak menggunakan campuran yaitu propelan
freon, dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi hanya
74
dibutuhkan kecepatan aliran udara inspirasi minimal, oleh sebab itu DPI sulit digunakan
saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni,
dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung
klorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan
kelembaban tinggi. Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT, sekarang telah diganti
hidrofluoroalkan (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah ekivalen;
tetapi pada kortikosteroid, HFA menghantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke
paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan juga efek samping sistemiknya. Dengan DPI
obat lebih banyak terdeposit dalam saluran napas dibanding IDT, tetapi studi menunjukkan
inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama melalui DPI .
Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka
perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.
Tahapan Penanganan Asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti telah dijelaskan
sebelumnya (lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan
medikasi seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang
harus melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma
termasuk glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh
ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk segera mengontrol asma ; setelah asma
terkontrol dosis diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap
mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut stepdown therapy. Pendekatan
lain adalah step-up therapy yaitu memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan
terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy untuk
penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya menekan inflamasi jalan napas
dan mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi sampai
seminimal mungkin dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan asma yang tetap
tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah 1 bulan terapi),
75
maka pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan
pengobatan asma sesuai beratnya gejala.
PENGOBATAN BERDASARKAN DERAJAT BERAT ASMA
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen, asmanya
kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula penderita
exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan
pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal.
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila
terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma
persisten sedang. Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan , atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif
kromolin atau leukotriene modifiers ; atau setelah pajanan alergen dengan alternatif
kromolin . Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif
agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja
singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali
seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten
ringan.
76
Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat sehingga terapi
utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari dengan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau
100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari . 77
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan
sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan
pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma
meningkat menjadi tahapan berikutnya.
Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau
ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari . Jika
penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau
ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi
dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk
IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah.
78
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan,
tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin
kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak
digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan
mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai
terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin.
Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak
cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid
dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali
sehari . Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi
terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari.
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat
sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi
dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain
kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi) . Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan
dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi
efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk
mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping
sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan
untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau
sebagai penatalaksanaan jangka panjang.
Indikator asma tidak terkontrol
Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
79
Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau exercise-
induced asthma)
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda (indikator) tersebut
di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka tetapkan langkah terapi, apakah
perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol :
Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obat-obatan
asma
Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan penderita atau
lingkungan tidak terkontrol
Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis, bronkitis dan
lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain.
F. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari
yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan
jangka panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala
dengan memberikan pengobatan yang tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut (lihat
tabel 6). Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai
respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan
pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan
lain-lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang
dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya
penanganan serangan asma. 80
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di darurat gawat
yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan
penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak
tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya
menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma
yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh
dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal.
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan,
apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada
obat tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan
dengan dokternya (lihat bagan penatalaksanaan asma di rumah). Bila sampai membutuhkan
pertolongan dokter dan atau fasilitas rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat
81
serangan dan memberikan penanganan yang tepat (lihat bagan penatalaksanaan asma akut
di rumah sakit). Pemeriksaan analisis gas darah arteri (AGDA) sebaiknya dilakukan pada :
Serangan asma akut berat
Membutuhkan perawatan rumah sakit
Tidak respons dengan pengobatan / memburuk
Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneumotoraks, dll
Pada keadaan fasilitas tidak memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah tidak perlu
dilakukan. Pada keadaan di bawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan yaitu :
Mengancam jiwa
Tidak respons dengan pengobatan/ memburuk
Gagal napas
Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah
82
83
PENATALAKSANAAN DI RUMAH
Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting
dalam keberhasilan penanganan serangan akut. Bila penderita dapat mengobati dirinya
sendiri saat serangan di rumah, maka ia tidak hanya mencegah keterlambatan pengobatan
tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk mengontrol asmanya sendiri. Idealnya
penderita mencatat gejala, kebutuhan bronkodilator dan faal paru (APE) setiap harinya
dalam kartu harian (pelangi asma), sehingga paham mengenai bagaimana dan kapan:
o mengenal perburukan asmanya
o memodifikasi atau menambah pengobatan
o menilai berat serangan
o mendapatkan bantuan medis/ dokter
84
85
Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi dapat
berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau nebulisasi. IDT dengan spacer
menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih cepat, efek
samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah
dikerjakan di rumah maupun di darurat gawat/ rumah sakit . Walaupun pada beberapa
keadaan pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di
rumah tidak tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat oral, atau
86
kombinasi oral agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi
2-4 semprot setiap 3-4 jam, atau oral setiap 6-8 jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika
pengobatan tersebut di atas menghasilkan respons komplet (APE > 80% nilai terbaik/
prediksi) dan respons tersebut bertahan minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut
selama 24-48 jam. Pada penderita dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 ,
tingkatkan dosis steroid inhalasi, maksimal sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya.
Anjurkan penderita untuk mengunjungi dokter. Bila memberikan respons komplet,
pertahankan terapi tersebut sampai dengan 5-7 hari bebas serangan, kemudian kembali
kepada terapi sebelumnya. Pada serangan asma sedang -berat, bronkodilator saja tidak
cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya terjadi bronkospasme tetapi juga
peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena itu mutlak dibutuhkan kortikosteroid.
Dengan kata lain pada keadaan tidak ada respons dengan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat dianjurkan menggunakan glukokortikosteroid oral
0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama, dan segera ke dokter.
PENATALAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Serangan akut berat adalah darurat gawat dan membutuhkan bantuan medis segera,
penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/ gawat darurat.
Penilaian
Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan termasuk gejala, pemeriksaan
fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru; untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang
tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium
menjadikan keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan.
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah digunakan, respons
pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada
tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu:
Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanis
87
Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam satu tahun
terakhir
Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja menghentikan
salbutamol atau ekivalennya
Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk penggunaan
sedasi
Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas), bergantung
kepada fasiliti yang tersedia :
Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam
Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi)
Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU sebelumnya
Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)
Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan pertolongan saat
itu
Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit
Kriteria pulang atau rawat inap
Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap) pada penderita
di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respons pengobatan baik klinis maupun faal
paru. Berdasarkan penilaian fungsi,pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah:
o Penderita dirawat inap bila VEP1 atau APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai
terbaik/ prediksi; atau VEP1 /APE < 40% nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan
awal diberikan
o Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60% nilai
terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut adekuat
dan kepatuhan berobat.
88
o Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE > 60% nilai
terbaik/ prediksi, umumnya dapat dipulangkan
Kriteria perawatan intensif/ ICU :
o Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan adekuat
o Penurunan kesadaran, gelisah
o Gagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2 < 60 mmHg dan atau
PaCO2 > 45 mmHg, saturasi O2 90% pada penderita anak. Gagal napas dapat
terjadi dengan PaCO2 rendah atau meningkat.
Intubasi dan Ventilasi mekanis
Intubasi dibutuhkan bila terjadi perburukan klinis walau dengan pengobatan optimal,
penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2 meningkat terus. Tidak ada kriteria absolut
untuk intubasi, tetapi dianjurkan sesuai pengalaman dan ketrampilan dokter dalam
penanganan masalah pernapasan. Penanganan umum penderita dalam ventilasi mekanis
secara umum adalah sama dengan penderita tanpa ventilasi mekanis, yaitu pemberian
adekuat oksigenasi, bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik.
G. Kontrol secara teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan oleh dokter
yaitu :
1. Tindak lanjut (follow-up) teratur
2. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila diperlukan
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya bila terjadi serangan
akut, tetapi kontrol teratur terjadual, interval berkisar 1- 6 bulan bergantung kepada
keadaan asma. Hal tersebut untuk meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan
mengupayakan penurunan terapi seminimal mungkin.
89
Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :
o Tidak respons dengan pengobatan
o Pada serangan akut yang mengancam jiwa
o Tanda dan gejala tidak jelas(atipik), atau masalah dalam diagnosis banding, atau
komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis, polip hidung,
aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks gastroesofagus dan
PPOK
o Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji kulit
(uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih
(kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.
H. Pola hidup sehat
a. Meningkatkan kebugaran fisis
Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum, menambah rasa percaya diri dan
meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun terdapat salah satu bentuk asma yang timbul
serangan sesudah exercise (exercise-induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak berarti
penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan asma
akibat olahraga, maka dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan
olahraga.
Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena
melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga
umumnya. Senam asma Indonesia dikenalkan oleh Yayasan Asma Indonesia dan dilakukan
di setiap klub asma di wilayah yayasan asma di seluruh Indonesia. Manfaat senam asma
telah diteliti baik manfaat subjektif (kuesioner) maupun objektif (faal paru); didapatkan
manfaat yang bermakna setelah melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3 – 6
bulan, terutama manfaat subjektif dan peningkatan VO2max.
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan menyebabkan ketidak
seimbangan protease antiprotease. Penderita asma yang merokok akan mempercepat
perburukan fungsi paru dan mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau
90
emfisema sebagaimana perokok lainnya dengan gambaran perburukan gejala klinis,
berisiko mendapatkan kecacatan, semakin tidak produktif dan menurunkan kualiti hidup.
Oleh karena itu penderita asma dianjurkan untuk tidak merokok. Penderita asma yang
sudah merokok diperingatkan agar menghentikan kebiasaan tersebut karena dapat
memperberat penyakitnya.
c. Lingkungan Kerja
Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor pencetus serangan asma, terutama
pada penderita asma kerja. Penderita asma dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang
tidak mengandung bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan asma. Apabila serangan
asma sering terjadi di tempat kerja perlu dipertimbangkan untuk pindah pekerjaan.
Lingkungan kerja diusahakan bebas dari polusi udara dan asap rokok serta bahan-bahan
iritan lainnya.
PENCEGAHAN ASMA
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang
menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi
untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal
merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer penyakit
asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen
pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan
usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau
penelitian ke arah itu terus berlangsung dan menjanjikan.
a. Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen (antigen
presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan
rute yang paling mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat 91
penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin
menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu
pajanan sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi
imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu hamil
dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan makanan
tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini,
belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.
b. Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama difokuskan pada
makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan.
Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang
inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling
lama menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan
dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir
tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya
menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan
perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan gangguan tumbuh
kembang.
Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis
atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi lanjutan . Menghindari aeroelergen pada bayi
dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir
menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah
alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya
mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama
dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin
menurunkan penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran
92
bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel
Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen.
Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada kesakitan
saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk
membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi
menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan
paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi
dalam tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan
bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga
disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru,
meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran
kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap
rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi
timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi .
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian
antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik.
Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik
untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini
mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma,
adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan
terus berlangsung.
Pencegahan Tersier
93
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma
dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
DAFTAR PUSTAKA
• Sudoyo, W. Aru, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK UI.
• Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FK
UI.
• Tjay, Tan Hoan Drs. dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta:
Gramedia.
• Barbara, C.L., 1996, Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan),
Bandung
Smeltzer and Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
• - Doengoes, M.E, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
• Depkes, RI. 1997. Pedoman penyakit asthma dan penanggulangannya. Dirjen P2M dan
PLP, Jakarta.
• Arifin, N.1990. Diagnostik tuberkulosis asthma dan penanggulangannya , Universitas
Indonesia , Jakarta
• Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan asthma. Cetakan 8,
Departemen Kesehatan; 2003.
• Price, Sylvia Anderson. Edisi 6 : 2006. Patofisiologi, EGC. Jakarta.
94