step 5 asma (1)
DESCRIPTION
laporan tutorial asma bronkialTRANSCRIPT
Step 5
1. Sebutkan dan jelaskan Komplikasi asma!2. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding dari asma!3. Jelaskan penatalaksanaan asma!4. Jelaskan edukasi pada pasien asma!
Step 6
Belajar Mandiri
• Sudoyo, W. Aru, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK
UI.
• Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius FK UI.
• Tjay, Tan Hoan Drs. dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting.
Jakarta: Gramedia.
• Barbara, C.L., 1996, Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses
keperawatan), Bandung
Smeltzer and Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta
• - Doengoes, M.E, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
• Depkes, RI. 1997. Pedoman penyakit asthma dan penanggulangannya.
Dirjen P2M dan PLP, Jakarta.
• Arifin, N.1990. Diagnostik tuberkulosis asthma dan penanggulangannya ,
Universitas Indonesia , Jakarta
• Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan asthma.
Cetakan 8, Departemen Kesehatan; 2003.
• Price, Sylvia Anderson. Edisi 6 : 2006. Patofisiologi, EGC. Jakarta.
1. Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
Status asmatikus
Atelektasis
Asidosis respiratorik
Hipoksemia
Pneumothoraks
Emfisema
Status asmatikus adalah merupakan serangan asma berat yang tidak dapat
diatasi dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat
medik, bila tidak diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan.
Stadium awal :
• Batuk berkala dan batuk kering
• Stadium ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan
mengumpul.
• Terjadi pembengkakan mukosa
Stadium kedua :
• Batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa
• Sesak nafas
• Bunyi mengi (Wheezing)
• Gelisah, pucat, bibir, dan ekstremitas biru
Stadium ketiga :
• Semua gejala stadium dua ditambah suara nafas tidak terdengar,
tidak ada batuk, pernafasan dangkal dan tidak teratur, irama
pernafasan tinggi.
Pengobatan selama status asmatikus :
• Infus RL : D5 = 3 :1 tiap 24 jam
• Pemberian oksigen 4 liter/menit
• Aminophilin bolus 5 mg/kgBB diberikan secara pelan-pelan
selama 20 menit dilanjutkan dengan drip D5 % 20 tetes/menit
dengan dosis 20 mg/kgBB/24 jam
• Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub cutan
• Dexametason 10-20 mg/6 jam IV
• Antibiotika spektruk luas.
ATELEKTASIS
definisi
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
Sindroma lobus medialis
Sindroma lobus medialis merupakan atelektasis jangka panjang, dimana lobus media (tengah) dari paru-paru kanan mengkerut.
Penyebabnya biasanya adalah penekanan bronkus oleh suatu tumor atau pembesaran kelenjar getah bening.
Paru-paru yang tersumbat dan mengkerut, dapat berkembang menjadi pneumonia yang tidak dapat sembuh total dan peradangan kronis, jaringan parut dan bronkiektasis.
Atelektasis percepatan
Atlektasis percepatan biasanya terjadi pada pilot pesawat tempur. Penerbangan dengan kecepatan tinggi akan menutup saluran pernafasan yang kecil, menyebabkan alveoli (kantong udara kecil di paru-paru) menciut.
Mikroatelektasis tersebar atau terlokalisasi
Pada keadaan ini, sistem surfaktan paru-paru terganggu.
Surfaktan adalah zat yang melapisi alveoli dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan, sehingga mencegah pengkerutan.
Bila bayi prematur kekurangan surfaktan, mereka akan mengalami sindroma gawat pernafasan.
Orang dewasa juga bisa mengalami mikroatelektsis karena:
- terapi oksigen yang berlebihan
- infeksi berat dan luas (sepsis)
- faktor lainnya yang merusak lapisan alveoli.
Penyebab
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Bronkus adalah 2 cabang utama dari trakea yang langsung menuju ke paru-paru. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil.
Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening.
Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat.
Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi.
Faktor resiko terjadinya atelektasis:
• Pembiusan (anestesia)/pembedahan
• Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
• Pernafasan dangkal
• Penyakit paru-paru.
GEJALA
Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang ringan.
Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali, walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek.
Gejalanya bisa berupa:
- gangguan pernafasan
- nyeri dada
- batuk.
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Rontgen dada akan menunjukkan adanya daerah bebas udara di paru-paru.
Untuk menentukan penyebab terjadinya penyumbatan mungkin perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau bronkoskopi serat optik.
PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena.
Tindakan yang biasa dilakukan:
• Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang
• Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya
• Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
• Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
• Postural drainase
• Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
• Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
• Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.
PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis:
• Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin.
Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan.
• Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan menghasilkan tekanan terus menerus ke paru-paru sehingga meskipun pada akhir dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.
Asidosis respiratorik- Emfisema- Bronkitis kronis- Pneumonia berat- Edema pulmoner- Asma.
Penyebab asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama:Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau suatu bahan yang diubah menjadi asam.Sebagian besar bahan yang menyebabkan asidosis bila dimakan dianggap beracun.Contohnya adalah metanol (alkohol kayu) dan zat anti beku (etilen glikol).Overdosis aspirin pun dapat menyebabkan asidosis metabolik.Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme.
Tubuh dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari beberapa penyakit; salah satu di antaranya adalah diabetes melitus tipe I.Jika diabetes tidak terkendali dengan baik, tubuh akan memecah lemak dan menghasilkan asam yang disebut keton.Asam yang berlebihan juga ditemukan pada syok stadium lanjut, dimana asam laktat dibentuk dari metabolisme gula.Asidosis metabolik bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam dalam jumlah yang semestinya.Bahkan jumlah asam yang normal pun bisa menyebabkan asidosis jika ginjal tidak berfungsi secara normal.Kelainan fungsi ginjal ini dikenal sebagai asidosis tubulus renalis (ATR) atau rhenal tubular acidosis (RTA), yang bisa terjadi pada penderita gagal ginjal atau penderita kelainan yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk membuang asam.
Penyebab utama dari asidois metabolik:· Gagal ginjal · Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal) · Ketoasidosis diabetikum · Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat) · Bahan beracun seperti etilen glikol, overdosis salisilat, metanol, paraldehid, asetazolamid atau amonium klorida · Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan karena diare, ileostomi atau kolostomi.Penyebab :
Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah.
Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan.
Penyebab lain dari alkalosis respiratorik adalah:- rasa nyeri- sirosis hati- kadar oksigen darah yang rendah- demam- overdosis aspirin.
Pneumotoraks
DEFINISI
Pneumotoraks adalah penimbunan udara atau gas di dalam rongga pleura.Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada.
PENYEBAB
Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan berdasarkan penyebabnya:
1. Pneumotoraks spontanTerjadi tanpa penyebab yang jelas. Pneumotoraks spontan primer terjadi jika pada penderita tidak ditemukan penyakit paru-paru. Pneumotoraks ini diduga disebabkan oleh pecahnya kantung kecil berisi udara di dalam paru-paru yang disebut bleb atau bulla. Penyakit ini paling sering menyerang pria berpostur tinggi-kurus, usia 20-40 tahun. Faktor predisposisinya adalah merokok sigaret dan riwayat keluarga dengan penyakit yang sama. Pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru-paru (misalnya penyakit paru obstruktif menahun, asma, fibrosis kistik, tuberkulosis, batuk rejan).
2. Pneumotoraks traumatikTerjadi akibat cedera traumatik pada dada. Traumanya bisa bersifat menembus (luka tusuk, peluru) atau tumpul (benturan pada kecelakaan kendaraan bermotor). Pneumotoraks juga bisa merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu (misalnya torakosentesis).
3. Pneumotoraks karena tekananTerjadi jika paru-paru mendapatkan tekanan berlebihan sehingga paru-paru mengalami kolaps. Tekanan yang berlebihan juga bisa menghalangi pemompaan darah oleh jantung secara efektif sehingga terjadi syok.
GEJALA
Gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps
(mengempis).Gejalanya bisa berupa: Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk - Sesak nafas - Dada terasa sempit - Mudah lelah - Denyut jantung yang cepat - Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen. Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat atau tidur.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - Hidung tampak kemerahan - Cemas, stres, tegang - Tekanan darah rendah (hipotensi).
DIAGNOSA
Pemeriksaan fisik dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya penurunan suara pernafasan pada sisi yang terkena.Trakea (saluran udara besar yang melewati bagian depan leher) bisa terdorong ke salah satu sisi karena terjadinya pengempisan paru-paru.Pemeriksaan yang biasa dilakukan: Rontgen dada (untuk menunjukkan adanya udara diluar paru-paru) Gas darah arteri.
PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan udara dari rongga pleura, sehingga paru-paru bisa kembali mengembang.Pada pneumotoraks yang kecil biasanya tidak perlu dilakukan pengobatan, karena tidak menyebabkan masalah pernafasan yang serius dan dalam beberapa hari udara akan diserap. Penyerapan total dari pneumotoraks yang besar memerlukan waktu sekitar 2-4minggu. Jika pneumotoraksnya sangat besar sehingga menggangu pernafasan, maka dilakukan pemasangan sebuah selang kecil pada sela iga yang memungkinkan pengeluaran udara dari rongga pleura. Selang dipasang selama beberapa hari agar paru-paru bisa kembali mengembang. Untuk menjamin perawatan selang tersebut, sebaiknya penderita dirawat di rumahsakit.
Untuk mencegah serangan ulang, mungkin perlu dilakukan pembedahan. Hampir 50% penderita mengalami kekambuhan, tetapi jika pengobatannya berhasil, maka tidak akan terjadi komplikasi jangka panjang.Pada orang dengan resiko tinggi (misalnya penyelam dan pilot pesawat terbang), setelah mengalami serangan pneumotoraks yang pertama, dianjurkan untuk menjalani pemedahan. Pada penderita yang pneumotoraksnya tidak sembuh atau terjadi 2 kali pada sisi yang sama, dilakukan pembedahan untuk menghilangkan penyebabnya.Pembedahan sangat berbahaya jika dilakukan pada penderita pneumotoraks spontan dengan komplikasi atau penderita pneumotoraks berulang. Oleh karena itu seringkali dilakukan penutupan rongga pleura dengan memasukkan doxycycline melalui selang yang digunakan untuk mengalirkan udara keluar.Untuk mencegah kematian pada pneumotoraks karena tekanan, dilakukan pengeluaran udara sesegera mungkin dengan menggunakan alat suntik besar yang dimasukkan melalui dada dan pemasangan selang untuk mengalirkan udara.
Emfisema
Pengertian Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).
Patofisiologi Emfisema
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Emfisema
Tanda dan Gejala Emfisema
Dispnea Takipnea Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi Hipoksemia Hiperkapnia Anoreksia Penurunan BB Kelemahan
Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan jantung normal
2. Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV, penurunan VC dan FEV
2. Diagnosis banding dari asma bronkial
Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (1). Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan industri (2)
Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok tetapi telah pula menimbulkan pencemaraan lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabkan penyakit bronkitis kronik dan emfisema .
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita
Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran secara abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis, disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang ireversibel
Berdasarkan tempat terjadinya proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi tiga
1.Sentri-asinar (sentrilobular/CLE)
Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan daerah sekitar asinus.
2.Pan-asinar (panlobular)
Kerusakan terjadi merata di seluruh asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin.
3.Iregular
Kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.
Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obstruktif (4).
1.Emfisema kompensatorik
Terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks.
2.Emfisema obstruktif
Terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh, hingga terjadi mekanisme ventil.
B.Patogenesis
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi, infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.
1.Rokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah (2,3,7,9).
Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya (7,8).
2.Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolar (2,6,7,9,10,11).
3.Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema (2,4,6,7,8).
4.Faktor genetik
1.Defisiensi Alfa-1 anti tripsin
Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.
5.Obstruksi jalan napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di mediastinum, kongenital. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan oleh defek tulang rawan bronkus (4).
PATOFISIOLOGI
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru (12).
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus (12).
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena adalah belahan paru kiri atas.
Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian.
Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan.
Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh darah yang menyimpang.
Mekanisme katup penghentian : Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah distal dari paru. (12)
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan
yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli (2).
A.DIAGNOSIS
1.Anamnesa :
Riwayat menghirup rokok.
Riwayat terpajan zat kimia.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk dalam beberapa tahun (1,2).
Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya (12).
2.Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi :
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).
Dada berbentuk barrel-chest.
Sela iga melebar.
Sternum menonjol.
Retraksi intercostal saat inspirasi.
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Palpasi : vokal fremitus melemah.
Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah.
Auskultasi :
Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
Terdapat ronki samar-samar.
Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III (1,2).
3.Pemeriksan Penunjang :
a.Faal Paru
Spinometri (VEP, KVP).
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF dan VR meningkat.
VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.
Uji bronkodilator
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1 (1,2,6).
b.Darah Rutin
Hb, Ht, Leukosit (1).
c.Gambaran Radiologis
Pada emfisema terlihat gambaran :
Diafragma letak rendah dan datar.
Ruang retrosternal melebar.
Gambaran vaskuler berkurang.
Jantung tampak sempit memanjang.
Pembuluh darah perifer mengecil (1,2,5,6).
d.Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli (6).
e.Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f.Pemeriksaan Enzimatik
Kadar alfa-1-antitripsin rendah.
B.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :
1.Penatalaksanaan umum.
2.Pemberian obat-obatan.
3.Terapi oksigen.
4.Latihan fisik.
5.Rehabilitasi.
6.Fisioterapi.
1.Penatalaksanaan umum
Yang termasuk di sini adalah :
a.Pendidikan terhadap keluarga dan penderita
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan (9).
b.Menghindari rokok dan zat inhalasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari. Karena zat itu menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit (1,2,3,4,5,6,7,8,9,11).
c.Menghindari infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit. (1,8,9)
2.Pemberian obat-obatan.
a.Bronkodilator
1.Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin (1,2,4,5,6,11).
2.Gol Agonis 2
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.
Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol.
3.Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat ex : Ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi (8).
4.Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan prednisolon (1,2,4,5,6,9,11).
b.Ekspectoran dan Mucolitik
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.
Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans (2,9).
c.Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme (1,2,4,5,9,11).
3.Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja (1,2,5,9).
4.Latihan fisik
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada pasien yang sesak nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini membutuhkan staf dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan pernapasan sendiri tidak menunjukkan manfaat (5).
Latihan fisik yang biasa dilakukan :
Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri
Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan membungkuk ke depan lalu ke belakang
Memutar bahu ke depan dan ke belakang
Mengayun tangan ke depan dan ke belakang dan membungkuk
Gerakan tangan melingkar dan gerakan menekuk tangan
Latihan dilakukan 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu
Dapat juga dilakukan olah raga ringan naik turun tangga
Walking – joging ringan. (9)
5.Rehabilitasi
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur (2,8,9).
6.Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
Mengurangi spasme otot leher (10).
Penerapan fisioterapi :
1.Postural Drainase :
Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk (10).
2.Breathing Exercises :
Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian menghembuskan napas melalui bibir dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri.
Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada.
3.Latihan Batuk :
Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkioli dari sekret dan benda asing.
4.Latihan Relaksasi :
Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.
Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.
Contohnya :
Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal sebagai penyangga (10).
C.PROGNOSIS
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat.
Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :
Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal
Bronkitis kronis
1. Pengertian bronchitis
Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis
dapat bersifat akut maupun kronis. Bronchitis akut adlah peradangan bronki
dan kadang-kadang mengenai trakea yang timbul secara mendadak. Hal ini
dapat disebabkan oleh perluasan infeksi saluran napas atas seperti common
cold atau dapat juga disebabkan oleh agen fisik atau kimia seperti: asap, debu,
atau kabut yang menguap. Sedangkan bronchitis kronis adalah gangguan
klinis yang ditandi dengan pembentukan mucus yang berlebihan pada bronkus
dan bermanifestasi sebagai batu kronik dan pembentukan sputum selam
sedikitnya tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam du tahun
berturut-turut pembahasan selajutnya akan mmenekankan pada kasus
bronchitis kronik
2. Etiologi
Terdapat 3 faktor utama yang mengpengaruhi timbilnya bronchitis yaitu
rokok, infeksi, dan polusi. Selain itu terdapat pula hubungannya dengan factor
keturunan dan status social.
a. Rokok
Menurut buku REPORT OF THE WHO EXPERT COMITE ON
SMOKING CONTROL, rokok adalah penyebab utama timbulnya
bronchitis.terdapat hubungn yang antara merokok dan penurunan VEP
(volume ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan
hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran
pernapasan juga dapat menyebabkan bronchitis akut.
b. Infeksi
Eksasebasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi vius
yang kemudian menyebakan infeksi sekundr bakteri. Bakteri yang isolasi
paling banyak adalah hemophilus influenza dan sterptococus pnemoniae.
c. Polusi
Polusi tidak begitu pengaruhnya sebagai factor penyebab tetapi bila di
tambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia dapat juga adalah zat-
zat pereduksi 02, zat-zat pengoksidasi seperti N20, hidrokarbon, aldehid,
ozon.
d. Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak ,
kecuali pada penderita defisiensi alfa -1 antitripsin yang merupakan suatu
problem, dimana kelainan ini diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim
ini menetralisir enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan
dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru.
e. Faktor social ekonomi
Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan social
ekonomi rendah, mungkin disebabkan factor linkungan dan ekonomi yang
lebih baik.
Asap mengiritasi jalan napas mengakibatkan hipersekresi lender dan
imflamasi. Adanya iritasi yang terus menerus menyebabkan kelenjar.kelenjar
mensekresi lender sehinga lender yang diproduksi semakin banyak
peningkatanjumlah sel goblet dan penurunan fungsi silia.hal ini menyebabkan
terjadinya penyempitan dan penyumbatan pada bronkiolus.alveoli yang terletak
dengan bronkiolus dapat mengalami kerusakan dan membentuk fibrosis sehinga
terjadi perubahan fungsi bakteri . proses ini menyebabkan klien menjadi lebih
rentan terhadap infeksi pernapasan.penyempitan bronchial lebih lanjut dapat
terjadi perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas.pada waktunya dapat
terjadi perubahan paru yang irreversible.hal tersebut kemungkinan
mengakibatkan emfisema dan bronkiektatis.
Tanda dan Gejala
o Hipertrofi kelenjar mukosa bronkus
o Peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltrasi sel-sel radang
o Edema mucus
o Batuk produktif ,kronis pada bulan-bulan musim dingin merupakan tanda
dini bronchitis kronik.
3. Test Diagnostik
Tes diagnostic yang dilakukan pada klien bronchitis kronik adalah
meliputi rotagen thoraks,analisa sputum,tes fungsi paru dan pemeriksaan
kadar gas darah arteri.
4. Komplikasi
Komplikasi bronchitis dapat berupa terjadinya korpulmonale,gagal jantung
kanan dan gagal pernapasan.
5. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan umum pada bronchitis kronik bertujuan untuk
memperbaiki kondisi tubuh penderita ,mencegah perburukan
penyakit,menghindari factor resiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih
baik.di samping itu tujuan utama pengobatan adalah untuk menjaga agar
bronkiolus terbuka dan berfungsi sehingga memudahkan pembuangan sekresi
bronchial,mencegah infeksi dan kecacatan.perubahan pola sputum(Sifat warna
,jumlah dan ketebalan)dan pola bentuk merupakan hal yang perlu diperhatikan
.infeksi bakteri kambuh diobati dengan terapi antibiotika berdasarkan hasil
pemeriksaan kultur dan sensitivitas.
Terapi bronkodilator berguna untuk menghilangkan bronkospasme dan
mengurangi obstruksi jalan napas sehingga oksigen lebih banyak
didistribusikan keseluruh bagian paru dan ventilasi alveolar
diperbaiki.drainase postular dan perkusi dada setelah pengobatan biasanya
sangat membantu terutama jika terdapat bronkiektasis.
Pemberian cairan peroral maupun parenteral jika terjadi bronkospasme
berat merupakan tindakan yang sangat penting.pemberian terapi cairan sangat
membantu dalam mengencerkan sekresi sehingga mudah dikeluarkan dengan
membatukkan pemberian kortikostreoid diberikan jika tidak ada tanda-tanda
yang menunjukan keberhasilan terhadap pengobatan konservatif.klien harus
berhenti merokok,karena rokok dapat menyebabkan
bronkontriksi,melumpuhkan silia yang berperan dalam membuang partikel
yang mengiritasi untuk mengembangkan paru.perokok juga lebih rentan
trhadap infeksi bronchial.
3. Penatalaksanaan dan edukasi pasien asthmaBagan 1.
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH
Penilaian berat seranganKlinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi
Terapi awalInhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
4.
Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004
Bagan 2.
Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit
-
Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap
berikan pengobatan oral atau inhalasi
Tidak PerbaikanPerbaikan
Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2
injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan) Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
Serangan Asma Mengancam JiwaSerangan Asma Sedang/BeratSerangan Asma Ringan
Respons buruk dalam 1 jam
Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
menurun APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg
Respons Tidak Sempurna
Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringan – sedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan
Respons baik
Respons baik dan stabil dalam 60 menit
Pem.fisi normal APE >70% prediksi/nilai
terbaik
Penilaian Ulang setelah 1 jam
Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi
Penilaian Awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik
(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau
Dirawat di ICU
Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta-2 injeksi
SC/IM/IVAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik
Dirawat di RS
Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergik Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi Oksigen pertimbangkan kanul
nasal atau masker venturi Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin
Pulang
Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2
Membutuhkan kortikosteroid oral
Edukasi pasien- Memakai obat yang
benar- Ikuti rencana pengobatan
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.
Bagan 3.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Klinik / IGD
Catatan:
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan
0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan
asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,
lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-
6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif
Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam perbaikan
klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap
Boleh pulang bekali obat -agonis
(hirupan / oral) jika sudah ada obat
pengendali, teruskan jika infeksi virus sbg.
pencetus, dapat diberi steroid oral
dalam 24-48 jam kon-
Serangan berat
(nebulisasi 3x,
respons buruk)
sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi
pasang jalur parenteral nilai ulang klinisnya, jika
sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang
Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)
observasi 2 jam jika efek bertahan, boleh
pulang jika gejala timbul lagi,
perlakukan sebagai
Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,
respons parsial)
berikan oksigen (3)
nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn
Tatalaksana awal nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik
Nilai derajat serangan(1)
(sesuai tabel 3)
Bagan 4.
Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang
Asma episodik jarang
3-4 minggu, obat dosis / minggu > 3x < 3x
Asma episodik sering
6-8 minggu, respons: (-) (+)
Asma persisten
6-8 minggu, respons: (-) (+)
6-8 minggu, respons: (-) (+)
*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis
Obat pereda: -agonis atau teofilin
(hirupan atau oral) bila perlu
Tambahkan obat pengendali:Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)
Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:
-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)
Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:
-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)
Obat diganti kortikoteroid oral
PE
NGHINDARAN
Bagan 5.
STRATEGI PRIMARY HEALTH CAREDALAM PENGENDALIAN ASMA
MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
KONSELING
KUNJUNGAN RUMAH
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT/LS/LP/LSM (YAI, YAPNAS, dll)
STRATEGI PRIMARY HEALTH CAREDALAM PENGENDALIAN ASMA
MELALUI PEMBERDAYAAN HARUS DIDUKUNG OLEH BINA SUASANA & ADVOKASI
ADVOKASI
KOORD
BINA SUASANA
PUSKESMAS
KLINIK SWASTA
PASIEN
ASMA
&
KELOMPOK
MASYARAKAT
BERISIKO
TINGGI
Org.Profesi
LSM
Dinkes Kab/Kota
PKM
TOMA
LSM
Puskesmas
Pengambil keputusan
/pemilik dana
Tenaga PKM
Individu
Kelmp.Masy
Dokter
Perawat
Bidan
Individu
Keluarga
Dukungan/Bantuan
Suasana Kondusif
Bagan 6.
PELANGI ASMA
Pelangi asma, monitoring asma secara mandiri
Hijau Kondisi baik, asma terkontrol Tidak ada / minimal gejala APE : 80-100 % nilai dugaan / terbaikPengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi.
Kuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut /
eksaserbasi Dengan gejala asma (asma malam, aktivitas terhambat, batuk, mengi,
dada terasa berat, baik saat aktivitas maupun istirahat) dan atau APE 60-80 % dengan prediksi / nilai terbaik.
Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi
Merah Berbahaya Gejala asma terus- menerus dan membatasi aktivitas sehari-hari. APE < 60% nilai dugaan / terbaik.Pasien membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokter-pasien secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit terdekat.
Sumber : PDPI, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia,2004
PENGOBATAN ASMA
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis ß2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma
adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.
Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau.
Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan:
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas,
menjaga penderita agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya
pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan
kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit.
Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu
penderita agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma.
Komunikasi yang jelas antara dokter dan penderita dalam memenuhi
kebutuhan informasi yang diperlukan dalam penatalaksanaan, adalah kunci
peningkatan compliance/kepatuhan penderita dalam melakukan
penatalaksanaan tersebut. Edukasi penderita sebagai mitra dalam pengelolaan
asma mandiri, dengan memberikan penderita kemampuan untuk mengontrol
asma melalui monitor dan menilai keadaan asma serta melakukan penanganan
mandiri dengan arahan dokter, terbukti menurunkan morbiditi . Untuk
memudahkan hal tersebut digunakan alat bantu peak flow meter dan kartu
catatan harian.
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara
perorangan maupun berkelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya
edukasi diberikan pada :
Kunjungan awal (I)
Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari
kunjungan pertama
Kunjungan berikut (III)
Kunjungan-kunjungan berikutnya
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut
disebabkan berbagai faktor antara lain :
Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan
terapi
Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan
pada asmanya
Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview,
sehingga membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
Frekuensi kunjungan bergantung kepada berat penyakit dan
kesanggupan penderita dalam memonitor asmanya. Umumnya
tindak lanjut (follow-up) pertama dilakukan < 1 bulan (1-2 minggu)
setelah kunjungan awal. Pada setiap kunjungan layak ditanyakan
kepada penderita; apakah keadaan asmanya membaik atau
memburuk dibandingkan kunjungan terakhir.
Kemudian dilakukan penilaian pada keadaan terakhir atau 2
minggu terakhir sebelum berkunjung dengan berbagai pertanyaan.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan
mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan.
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam
waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan)
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat
3 faktor yang perlu dipertimbangkan :
Medikasi (obat-obatan)
Tahapan pengobatan
Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualiti hidup . Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik
dan aman pada dosis yang direkomendasikan.
Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah
inhalasi, pada tabel 11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa
glukokortikosteroid berdasarkan perbedaan tersebut.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti
meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk
mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan
meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi
tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan
derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol
lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut .
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas.
Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau
mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah
inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi
obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis
dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus,
metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan
absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi
berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian
menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik
yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon.
Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan
spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek
samping sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data
yang menunjukkan terjadi tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi
dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
densiti tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang
sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus
selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih
efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika
steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten
berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau telah
menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan
steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid
dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan
apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk
membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan
berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa
hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan
efek striae pada otot minimal
Bentuk oral, bukan parenteral
Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/
parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi
aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan
kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada
pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti
tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi
berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko
infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka
glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil
sodium belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast
melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan
seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit);
selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan
napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi . Dibutuhkan waktu
4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau
tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak
enak saat melakukan inhalasi.
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan
dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi
(>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum
jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat
rendah efek antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan
studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin
juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asma berat.
Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan
agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat
mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk
mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.
Studi menunjukkan metilsantiin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah atau tinggi adalah efektif mengontrol asma , walau
disadari peran sebagai terapi tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja
lama inhalasi , tetapi merupakan suatu pilihan karena harga yang jauh lebih
murah.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( ≥10 mg/kgBB/
hari atau lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat
dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek
kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala
merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang
bahkan kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral
teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator;
maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal
ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam
terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Dianjurkan
memonitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan
jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam
serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi umumnya dalam
pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah
efektif dan tidak menimbulkan efek samping. Perhatikan berbagai keadaan
yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil,
penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis
pemberian teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi
dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut
misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam).
Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh
darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi
walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama
mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian
inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih
baik dibandingkan preparat oral.
Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan
glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi
agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan ketika dosis standar
glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum meningkatkan
dosis glukokortikosteroid inhalasi tersebut . Karena pengobatan jangka lama
dengan agonis beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada,
maka sebaiknya selalu dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi .
Penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi pada pengobatan harian
dengan glukokortikosteroid inhalasi, memperbaiki gejala, menurunkan asma
malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis beta-2 kerja
singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma . Berbagai studi
menunjukkan bahwa penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi
(salmeterol atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal
paru dan gejala serta mengontrol asma lebih baik daripada meningkatkan
dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat . Berbagai penelitian juga
menunjukkan bahwa memberikan glukokortikosteroid kombinasi dengan
agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama efektifnya
dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi yang terpisah ; hanya
kombinasi dalam satu kemasan (fixed combination) inhaler lebih nyaman
untuk penderita, dosis yang diberikan masing-masing lebih kecil,
meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih murah daripada diberikan dosis
yang ditentukan masing-masing lebih kecil dalam 2 kemasan obat yang
terpisah.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping
sistemik (rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia)
yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga
dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas
lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam
terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek
sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular,
ansieti dan tremor otot rangka.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga
memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok
reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas,
pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai
efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan
leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid
inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada
penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan
glukokortikosteroid inhalasi . Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut,
leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama . Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah
diberikan. Penderita dengan aspirin induced asma menunjukkan respons yang
baik dengan pengobatan leukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton
dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan
apabila diberikan terapi zileuton.
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk
pelega adalah :
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja
(onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama.
Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai
onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme
kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah
dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asma . Penggunaan agonis beta-2
kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala.
Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda
perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian
pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan
dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah petanda
dibutuhkannya glukokortikosteroid oral.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot
rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi,
kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi
inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih
lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat
dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih
lama daripada agonis beta-2 kerja singkat . Teofilin kerja singkat tidak
menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat,
tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot
pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja
singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana
metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan
pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita
yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau
ketat kadar teofilin dalam serum .
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu
juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek
bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak
mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak
berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium
bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja
singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko
perawatan rumah sakit secara bermakna . Oleh karena disarankan
menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja
singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada
serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga
dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka
panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang
menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila
tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja
singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita
usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat
diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside
monitoring).
Rute pemberian medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
Efek sistemik minimal atau dihindarkan
Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu
kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi
Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
IDT dengan alat Bantu (spacer)
Breath-actuated MDI
Dry powder inhaler (DPI)
Turbuhaler
Nebuliser
Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan
inhaler dan menarik napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan
latihan berulang-ulang agar penderita trampil. Penggunaan alat Bantu (spacer)
mengatasi kesulitan tersebut dan memperbaiki penghantaran obat melalui
IDT . Selain spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring,
mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila
dalam inhalasi kortikosteroid ; serta mengurangi bioavailibiliti sistemik dan
risiko efek samping sistemik.. Berbagai studi di luar maupun di Indonesia
menunjukkan inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dengan IDT dan spacer
`memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara
nebulisasi dan pemberian melalui IDT dan spacer terbukti memberikan efek
bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui DPI .
Kelebihan dry powder inhalation/DPI adalah tidak menggunakan
campuran yaitu propelan freon, dan relatif lebih mudah digunakan
dibandingkan IDT. Saat inhalasi hanya dibutuhkan kecepatan aliran udara
inspirasi minimal, oleh sebab itu DPI sulit digunakan saat eksaserbasi,
sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan
sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung
klorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada
udara dengan kelembaban tinggi. Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT,
sekarang telah diganti hidrofluoroalkan (HFA). Pada obat bronkodilator dosis
dari CFC ke HFA adalah ekivalen; tetapi pada kortikosteroid, HFA
menghantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru sehingga lebih
tinggi efikasi obat dan juga efek samping sistemiknya. Dengan DPI obat lebih
banyak terdeposit dalam saluran napas dibanding IDT, tetapi studi
menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan
efek yang sama melalui DPI . Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik
penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat
saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.
Tahapan Penanganan Asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti
telah dijelaskan sebelumnya (lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan
pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Pendekatan
dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi
maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk
glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh
ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk segera mengontrol asma ;
setelah asma terkontrol dosis diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin
dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut
stepdown therapy. Pendekatan lain adalah step-up therapy yaitu memulai
terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi secara bertahap jika
dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown
therapy untuk penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya
menekan inflamasi jalan napas dan mencapai keadaan asma terkontrol
sesegera mungkin, dan menurunkan terapi sampai seminimal mungkin
dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan asma yang tetap tidak
terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah 1 bulan
terapi), maka pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap
memberikan pengobatan asma sesuai beratnya gejala.
PENGOBATAN BERDASARKAN DERAJAT BERAT ASMA
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.
Demikian pula penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca
buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru
normal.
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin
terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita
diobati sebagai asma persisten sedang. Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-
2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan , atau sebelum exercise pada exercise-
induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene modifiers ; atau
setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin . Bila terjadi serangan, obat
pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat
oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau
antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu
selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten
ringan.
Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat
sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari
dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400
ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau
terbagi 2 kali sehari .
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya.
Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol
setiap hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya
pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari
atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-
2 kerja lama 2 kali sehari . Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka
harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih
belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan
menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi
dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah.
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat
oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat.
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya
membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol.
Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800
ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari .
Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi
terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari.
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene
modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga
dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim
(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi) . Jika sangat
dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis
seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi
efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka
lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah
menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal
harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit
tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan
glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai
penatalaksanaan jangka panjang.
Indikator asma tidak terkontrol
Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau
exercise-induced asthma)
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda
(indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka
tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan /
kemungkinan asma tidak terkontrol :
Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan asma
Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan
penderita atau lingkungan tidak terkontrol
Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat
bersifat fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan
penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain
penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan
memberikan pengobatan yang tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan
serangan akut (lihat tabel 6). Langkah berikutnya adalah memberikan
pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya
memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang,
observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain)
Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang
dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan
bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat
serangan di darurat gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan
yang tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari darurat gawat,
pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat, penilaian respons
pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya menjadi
tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan
asma yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat
sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal.
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat
terjadi serangan, apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-
hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah
sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan dokternya (lihat bagan
penatalaksanaan asma di rumah). Bila sampai membutuhkan pertolongan
dokter dan atau fasilitas rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat
serangan dan memberikan penanganan yang tepat (lihat bagan
penatalaksanaan asma akut di rumah sakit). Pemeriksaan analisis gas darah
arteri (AGDA) sebaiknya dilakukan pada :
Serangan asma akut berat
Membutuhkan perawatan rumah sakit
Tidak respons dengan pengobatan / memburuk
Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneumotoraks, dll
Pada keadaan fasilitas tidak memungkinkan pemeriksaan analisis gas
darah tidak perlu dilakukan. Pada keadaan di bawah ini analisis gas darah
mutlak dilakukan yaitu :
Mengancam jiwa
Tidak respons dengan pengobatan/ memburuk
Gagal napas
Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah
PENATALAKSANAAN DI RUMAH
Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan asmanya
adalah penting dalam keberhasilan penanganan serangan akut. Bila penderita
dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah, maka ia tidak hanya
mencegah keterlambatan pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk
mengontrol asmanya sendiri. Idealnya penderita mencatat gejala, kebutuhan
bronkodilator dan faal paru (APE) setiap harinya dalam kartu harian (pelangi
asma), sehingga paham mengenai bagaimana dan kapan:
mengenal perburukan asmanya
memodifikasi atau menambah pengobatan
menilai berat serangan
mendapatkan bantuan medis/ dokter
Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi dapat berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau
nebulisasi. IDT dengan spacer menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi,
mempunyai onset yang lebih cepat, efek samping lebih minimal dan
membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah dikerjakan di rumah
maupun di darurat gawat/ rumah sakit . Walaupun pada beberapa keadaan
pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di
rumah tidak tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat
oral, atau kombinasi oral agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2
kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot setiap 3-4 jam, atau oral setiap 6-8 jam. Terapi
tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan tersebut di atas menghasilkan respons
komplet (APE > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan respons tersebut bertahan
minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48 jam. Pada
penderita dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 , tingkatkan dosis
steroid inhalasi, maksimal sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya. Anjurkan
penderita untuk mengunjungi dokter. Bila memberikan respons komplet,
pertahankan terapi tersebut sampai dengan 5-7 hari bebas serangan, kemudian
kembali kepada terapi sebelumnya. Pada serangan asma sedang -berat,
bronkodilator saja tidak cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya
terjadi bronkospasme tetapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena
itu mutlak dibutuhkan kortikosteroid. Dengan kata lain pada keadaan tidak ada
respons dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, atau bahkan perburukan,
dapat dianjurkan menggunakan glukokortikosteroid oral 0,5-1 mg/kgBB dalam 24
jam pertama, dan segera ke dokter.
PENATALAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Serangan akut berat adalah darurat gawat dan membutuhkan bantuan
medis segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/
gawat darurat.
Penilaian
Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan termasuk
gejala, pemeriksaan fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru; untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan
pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan keterlambatan dalam
pengobatan/ tindakan.
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah
digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus
serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/
kematian yaitu:
Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanis
Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam
satu tahun terakhir
Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja
menghentikan salbutamol atau ekivalennya
Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk
penggunaan sedasi
Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas),
bergantung kepada fasiliti yang tersedia :
Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam
Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi)
Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU sebelumnya
Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)
Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan
pertolongan saat itu
Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit
Kriteria pulang atau rawat inap
Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap) pada
penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respons pengobatan baik
klinis maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi,pertimbangan pulang atau
rawat inap, adalah:
Penderita dirawat inap bila VEP1 atau APE sebelum pengobatan awal <
25% nilai terbaik/ prediksi; atau VEP1 /APE < 40% nilai terbaik/ prediksi
setelah pengobatan awal diberikan
Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60%
nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak
lanjut adekuat dan kepatuhan berobat.
Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE >
60% nilai terbaik/ prediksi, umumnya dapat dipulangkan
Kriteria perawatan intensif/ ICU :
Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan
adekuat
Penurunan kesadaran, gelisah
Gagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2 < 60 mmHg
dan atau PaCO2 > 45 mmHg, saturasi O2 90% pada penderita anak.
Gagal napas dapat terjadi dengan PaCO2 rendah atau meningkat.
Intubasi dan Ventilasi mekanis
Intubasi dibutuhkan bila terjadi perburukan klinis walau dengan pengobatan
optimal, penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2 meningkat terus. Tidak ada
kriteria absolut untuk intubasi, tetapi dianjurkan sesuai pengalaman dan
ketrampilan dokter dalam penanganan masalah pernapasan. Penanganan umum
penderita dalam ventilasi mekanis secara umum adalah sama dengan penderita
tanpa ventilasi mekanis, yaitu pemberian adekuat oksigenasi, bronkodilator dan
glukokortikosteroid sistemik.
6. Kontrol secara teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting
diperhatikan oleh dokter yaitu :
1. Tindak lanjut (follow-up) teratur
2. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila
diperlukan
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya bila
terjadi serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadual, interval berkisar 1- 6
bulan bergantung kepada keadaan asma. Hal tersebut untuk meyakinkan
bahwa asma tetap terkontrol dengan mengupayakan penurunan terapi
seminimal mungkin.
Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :
Tidak respons dengan pengobatan
Pada serangan akut yang mengancam jiwa
Tanda dan gejala tidak jelas(atipik), atau masalah dalam diagnosis
banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis,
polip hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks
gastroesofagus dan PPOK
Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar,
seperti uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi
bronkus, uji latih (kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan
sebagainya.
7. Pola hidup sehat a. Meningkatkan kebugaran fisis
Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum, menambah
rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun terdapat
salah satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah exercise (exercise-
induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak berarti penderita EIA dilarang
melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan asma akibat
olahraga, maka dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum
melakukan olahraga.
Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga
yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan
khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya. Senam asma
Indonesia dikenalkan oleh Yayasan Asma Indonesia dan dilakukan di
setiap klub asma di wilayah yayasan asma di seluruh Indonesia. Manfaat
senam asma telah diteliti baik manfaat subjektif (kuesioner) maupun
objektif (faal paru); didapatkan manfaat yang bermakna setelah
melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3 – 6 bulan, terutama
manfaat subjektif dan peningkatan VO2max.
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan
menyebabkan ketidak seimbangan protease antiprotease. Penderita asma
yang merokok akan mempercepat perburukan fungsi paru dan
mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau emfisema
sebagaimana perokok lainnya dengan gambaran perburukan gejala klinis,
berisiko mendapatkan kecacatan, semakin tidak produktif dan
menurunkan kualiti hidup. Oleh karena itu penderita asma dianjurkan
untuk tidak merokok. Penderita asma yang sudah merokok diperingatkan
agar menghentikan kebiasaan tersebut karena dapat memperberat
penyakitnya.
c. Lingkungan Kerja
Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor pencetus
serangan asma, terutama pada penderita asma kerja. Penderita asma
dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang tidak mengandung
bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan asma. Apabila serangan
asma sering terjadi di tempat kerja perlu dipertimbangkan untuk pindah
pekerjaan. Lingkungan kerja diusahakan bebas dari polusi udara dan asap
rokok serta bahan-bahan iritan lainnya.
PENCEGAHAN ASMA
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan
bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan
tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma
pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau
menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut
sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer
waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung
dan menjanjikan.
a. Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji
antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat
fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah
melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion
adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin
menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi
alergen dan waktu pajanan sangat mungkin berhubungan dengan
terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen
pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan
bayi atopi, bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak
diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan
primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.
b. Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan
terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu
sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan
mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat
ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama
menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen
dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan
berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik
saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen
makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan
perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan
gangguan tumbuh kembang.
Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi,
menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi
lanjutan . Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya
menghindari sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan
bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak
mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing
dan anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari
binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang
menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan
penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan
pikiran bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat
menilai keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang
berfusi dengan alergen.
Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak
pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3
tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode
prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok
selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi
dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam
tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang
mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada
sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan
berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan
mengi nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya
asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok
lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif)
mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi .
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder
mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam
menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen
spesifik untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan
pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur
tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan
pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus
berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan
pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan
medikasi/ obat.
DAFTAR PUSTAKA
• Sudoyo, W. Aru, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK
UI.
• Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius FK UI.
• Tjay, Tan Hoan Drs. dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting.
Jakarta: Gramedia.
• Barbara, C.L., 1996, Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses
keperawatan), Bandung
Smeltzer and Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta
• - Doengoes, M.E, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
• Depkes, RI. 1997. Pedoman penyakit asthma dan penanggulangannya.
Dirjen P2M dan PLP, Jakarta.
• Arifin, N.1990. Diagnostik tuberkulosis asthma dan penanggulangannya ,
Universitas Indonesia , Jakarta
• Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan asthma.
Cetakan 8, Departemen Kesehatan; 2003.
• Price, Sylvia Anderson. Edisi 6 : 2006. Patofisiologi, EGC. Jakarta.