step 7 sken 1 otitis media
TRANSCRIPT
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
1. Otitis Media
a. Definisi
Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Ballenger, 2010;
FK UI, 2012).
b. Etiologi
1) Bakteri. Bakteri piogenik merupakan penyebab otitis media akut (OMA) yang
tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi
telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak
ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis
media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-
kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus
pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme
gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit.
Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007; Ballenger, 2010; FK UI, 2012).
2) Virus. Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai
pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau
adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,
rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi
tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya. Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction
(PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-
virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA
pada 75% kasus (Kerschner, 2007; Ballenger, 2010; FK UI, 2012).
c. Klasifikasi
Menurut Kerschner (2007) otitis media dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan kejadiannya
Gambar 2. Klasifikasi berdasarkan gejala
d. Epidemiologi
Pada umumnya OMA merupakan komplikasi dari infeksi atau radang
saluran nafas atas, misalnya common cold, influenza, sinusitis, morbili, dan
sebagainya. Infeksi kebanyakan melaui tuba Eustachii, selanjutnya masuk ke
telinga tengah atau cavum timpani. Menurut Kerschner (2007) frekuwensi
tertinggi di OMA terdapat pada bayi dan anak berumur 0-2 tahun. Sedangkan
menurut Ballenger (2010) melaporkan bahwa 50% dari kasus OMA ditemukan
pada anak berumur 0 – 5 tahun dan frekwensi tertinggi pada umur 0-1 tahun.
e. Patofisiologi
Menurut Ballenger (2010) dan FK UI (2012) otitis media sering diawali
dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang
menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran
Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga
terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-
sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh
bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah
nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran
Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45db (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga
akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut
akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
f. Stadium Otitis Media Akut
Menurut Kerschner (2007) OMA memiliki beberapa stadium klinis yang
meliputi :
1. Stadium oklusi tuba eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani.
Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat.
Sukar dibedakan dengan otitis media serosa virus.
2. Stadium hiperemis
Pembuluh darah tampak lebar dan edema pada membran timpani.
Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sukar terlihat.
3. Stadium supurasi
Membran timpani menonjol ke arah luar.
Sel epitel superfisila hancur.
Terbentuk eksudat purulen di kavum timpani.
Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
tambah hebat.
4. Stadium perforasi
Membran timpani ruptur.
Keluar nanah dari telinga tengah.
Pasien lebih tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal
kembali.
Bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering.
Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan daya tahan
tubuh baik.
e. Manifestasi Klinis
Menurut Kerschner (2007) dan Ballenger (2010) manifestasi klinis OMA
bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat
berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak
yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi
dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C
(pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit
waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga
yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang
telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang.
Penilaian klinis OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan
orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging,
serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Penilaian
derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 2, berarti
OMA ringan dan bila 3 berarti OMA berat (Titisari, 2005).
Tabel 1. Skor otitis media akut (Titisari, 2005)
Skor Suhu (°C) Gelisah TarikTelinga
Keemerahan pada
membran timpani
Bengkak pada
membran timpani
(bulging)0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang3 >39,0 Berat Berat Berat Berat
f. Komplikasi
Menurut Depkes (2005) komplikasi yang timbul pada otitis media meliputi :
Mastoiditis
Paralisis syaraf ke-7
Thrombosis sinus lateral
Meningitis
Abses otak
Labyrinthitis.
g. Faktor Resiko
Menurut Kerschner (2007) dan Harmes et al. (2013) faktor resiko otitis
media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta
lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok,
kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius,
inmatur tuba Eustachius dan lain-lain
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada
anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras
Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status
sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,
fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan
terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat
membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan ASI dan sering memakai dot banyak menderita OMA. Lingkungan
merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering
dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga
meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah
terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner,
2007)
Tabel 1. Faktor resiko otitis media (Harmes et al., 2013)
h. Pencegahan kekambuhan
Menurut Hermes et al. (2013) untuk memcegah kekambuhan harus
dilakukan :
1. Periksa alergi terdiagnosis mengarah ke rhinorrhea kronis
2. Meminimalkan penggunaan botol susu dan dot
3. Meminimalkan paparan asap rokok
4. Rutin imunisasi dengan konjugasi pneumokokus dan vaccines influenza
5. Gunakan gum xylitol pada anak-anak yang sesuai (dua potong, lima kali
hari setelah makan dan mengunyah selama setidaknya lima menit)
Tabel Strategi pencegahan kekambuhan OMA (Hermes et al., 2013)
i. Penegakkan Diagnosis
Menurut Depkes (2005) penegakkan diagnosis otitis media dilakukan
dengan :
1) Anamnesis, meliputi riwayat kesehatan maupun manifestasi klinis yang
dirasakan.
2) Pemeriksaan Fisik yang meliputi :
Pemeriksaan membrana timpani menggunakan otoscope.
Mengukur kelenturan membrana timpani dengan Tympanometer, dari tes
ini akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian
tengah.
3) Pemeriksaan penunjang
X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis
dan nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik.
j. Penatalaksanaan
Menurut Depkes RI (2005) dan Kerschner (2007) penatalaksanaan otitis
media akut dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12
tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas
12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pember ian
antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10
hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis. Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa
pemberian antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala
tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata
pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya
komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya
bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy
of Pediatrics (2004) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang
harus segera diterapi dengan antibiotik.
Tabel. 3. Antibiotik yang direkomendasikan untuk otitis media akut (Hermes et al., 2013)
Tabel 4. Treatment untuk otitis media akut (NSW Health, 2014).
2) Terapi Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi.
Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya
adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang
sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi
ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah.
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan
infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada
pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada
satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis
dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap
terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
Timpanosintesis
timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia
lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi
timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia,
efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding
dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah
dijalankan.
Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan
efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi
dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada
anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi
tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan
napas dan rinosinusitis rekuren.
2. Otitis Eksterna
a. Definisi
Otitis eksterna adalah suatu peradangan pada liang telinga luar, baik akut
maupun kronis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi sekunder oleh bakteri
dan atau jamur yang menyertai maserasi kulit dan jaringan subkutan (Ballenger,
2010; FK UI, 2012).
b. Etiologi
Pada awalnya jamur ditemukan sebagai penyebab utama otitis eksterna akut,
tetapi penelitian militer Amerika Serikat di Pasifik Selatan mengkonfirmasi
bahwa penyebab utama adalah bakteri. Sekitar 50% kasus infeksi bakteri
melibatkan Pseudomonas aeruginosa, diikuti oleh Staphylococcus aureus, dan
variasi bakteri aerobik dan anaerobik lain. Insidensi infeksi jamur hanya sekitar
10%, dimana 5% bisa disebabkan herpes zooster atau kondisi non-spesifik lainnya
(Ballenger, 2010; FK UI, 2012).
c. Klasifikasi
Menurut Ballenger (2010) dan FK UI (2012) otitis eksterna dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Otitis eksterna akut :
Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel / bisul)
Otitis eksterna difus
Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel / bisul) adalah otitis eksterna lokal yang
bermula dari infeksi folikel rambut dan menimbulkan furunkel (bisul) pada
sepertiga luar dari liang telinga luar (meatus akustikus eksterna). Adapun Otitis
eksterna difus adalah otitis eksterna yang dapat disebabkan bakteri
(pseudomonas, stafilokokus, proteus) atau jamur pada dua per tiga dalam dari
liang telinga luar (meatus akustikus eksterna).
2) Otitis eksterna kronik
Otitis eksterna kronik adalah otitis eksterna yang berlangsung lama dan
ditandai oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Adanya sikatriks
menyebabkan liang telinga menyempit.
Tanda dan gejala bertahan sekitar 3 bulan atau lebih mengindikasikan
otitis eksterna kronis meskipun hal tersebut bisa juga disebabkan terapi yang tidak
adekuat pada otitis eksterna akut. Penyebab tersering otitis eksterna kronis adalah
dermatitis kontak alergi dari bahan kimia dari kosmetik atau sampo, alat bantu
dengar atau alat perlindungan, dan sensitivitas pada makanan. Kondisi kulit
seperti dermatitis atopik atau psoriasis akan sulit untuk ditangani. Otitis eksterna
kronis adalah hipersensitivitas tipe IV. Jamur dapat menyebar luas melalui jalur
hematogen.
d. Epidemiologi
Otitis eksterna terdiri dari akut dan kronis. Bentuk akut biasanya
merupakan infeksi bakteri dan menyerang 4 dari 1.000 orang di Amerika Serikat.
Bentuk kronis biasanya berupa infeksi jamur, alergi atau manifestasi dari
dermatitis yang menyerang 3-5% dari populasi. Bentuk akut biasanya hasil dari
infeksi bakteri (90% kasus) atau jamur (10%) yang tumbuh berlebihan di liang
telinga karena kelembaban yang berlebihan atau trauma local. Bentuk kronisnya
sering merupakan bagian dari masalah alergi dan dermatologi . Otitis eksterna
akut unilateral pada 90% pasien, dan memuncak pada orang dengan usia 7-12
tahun, menurun setelah usia 50 tahun, dan biasanya berhubungan dengan
kelembaban yang tinggi, penghangat ruangan, berenang, trauma lokal, dan
penggunaan alat bantu pendengaran dan pelindung pendengaran.
e. Patofisiologi
Menurut Ballenger (2010) dan FK UI (2012) patofisiologi otitis media adalah
sebagai berikut :
Secara alami, sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan dan
dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. Cotton bud (pembersih kapas
telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan tersebut sehingga sel-sel kulit mati
dan serumen akan menumpuk di sekitar gendang telinga. Masalah ini juga diperberat oleh
adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang telinga. Keadaan diatas dapat
menimbulkan timbunan air yang masuk ke dalam liang telinga ketika mandi atau
berenang. Kulit yang basah, lembab, hangat, dan gelap pada liang telinga merupakan
tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur.
Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan berkurangnya
lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan
trauma lokal yang memudahkan bakteri masuk melalui kulit, terjadi inflamasi dan cairan
eksudat Rasa gatal memicu terjadinya iritasi, berikutnya infeksi lalu terjadi
pembengkakan dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Proses infeksi
menyebabkan peningkatan suhu lalu menimbulkan perubahan rasa nyaman dalam
telinga. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan cairan/nanah yang bisa
menumpuk dalam liang telinga (meatus akustikus eksterna) sehingga hantaran
suara akan terhalang dan terjadilah penurunan pendengaran.
Onset otitis eksterna mulai beberapa hari sampai beberapa minggu.
Awalnya diawali dengan sekret yang berbau, rasa ketidaknyamanan, dan gatal
disertai dengan eritem. Jika penyakit berlanjut ke tingkat sedang, eritem
meningkat dan disertai edema, sekret mukopurulen, dan nyeri yang disebabkan
tekanan tragal atau pergerakan aurikel. Pada tingkat parah nyeri dirasakan lebih
berat, liang telinga terobstruksi, dan muncul tanda-tanda ekstrakanal seperti
selulitis aurikular, parotitis, dan adenopati.
f. Manifestasi Klinis
Ballenger (2010) dan FK UI (2012) menyatakan bahwa manifestasi klinis
otitis eksterna pada umumnya adalah rasa gatal dan otalgia, adapun gejala dan
tanda pasien otitis eksterna selengkapnya :
1. Otalgia
2. Gatal-gatal (pruritus)
3. Rasa penuh (fullness) di liang telinga. Keluhan ini biasa terjadi pada tahap
awal otitis eksterna difus dan sering mendahului otalgia dan nyeri tekan daun
telinga.
4. Pendengaran berkurang atau hilang.
5. Deskuamasi.
6. Tinnitus.
7. Discharge dan otore. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang telinga
(otore). Kadang-kadang pada otitis eksterna difus ditemukan sekret/cairan
berwarna putih atau kuning, atau nanah. Cairan tersebut berbau yang tidak
menyenangkan. Tidak bercampur dengan lendir (musin)
8. Demam.
9. Nyeri tekan pada tragus dan nyeri saat membuka mulut.
10. Infiltrat dan abses (bisul). Keduanya tampak pada otitis eksterna
sirkumskripta. Bisul menyebabkan rasa sakit berat. Ketika pecah, darah dan
nanah dalam jumlah kecil bisa bocor dari telinga.
11. Hiperemis dan udem (bengkak) pada liang telinga. Kulit liang telinga pada
otitis eksterna difus tampak hiperemis dan udem dengan batas yang tidak
jelas. Bisa tidak terjadi, pembengkakan ringan, atau pada kasus yang berat
menjadi bengkak yang benar-benar menutup liang telinga.
Keterangan :
Otalgia adalah keluhan nyeri pada telinga. Nama lainnya earache atau ear pain.
Otalgia yang sangat nyeri dapat terjadi pada keadaan imunocompromise,
diabetes, atau otitis eksterna maligna.
Gatal-gatal (pruritus) terutama akibat infeksi jamur atau pada otitis eksterna
kronik.
Deskuamasi adalah pelepasan elemen epitel terutama kulit dalam bentuk sisik
atau lembaran halus.
Tinnitus (telinga mendenging) adalah suara gaduh (berdering, berdesir, dll.)
yang berasal dari dalam telinga atau kepala melebihi suara lingkungan sekitar.
Lendir (musin) merupakan sekret yang berasal dari kavum timpani dan biasa
ditemukan pada otitis media.
Tragus adalah bagian yang menonjol dari daun telinga yang berhadapan
dengan liang telinga (meatus akustikus eksterna)
g. Faktor Risiko
Menurut Ballenger (2010) dan FK UI (2012) faktor predisposisi otitis eksterna
meliputi :
1. Udara. Udara hangat /panas dan lembab memudahkan kuman bertambah
banyak.
2. Derajat keasaman (pH) liang telinga. PH basa mempermudah terjadinya otitis
eksterna. PH asam memproteksi terhadap kuman infeksi.
3. Trauma mekanik. Trauma lokal dan ringan pada epitel liang telinga luar
(meatus akustikus eksterna), misalnya setelah mengorek telinga
menggunakan lidi kapas atau benda lainnya.
4. Berenang dan terpapar air. Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi
setelah terkena air. Hal ini disebabkan adanya bentuk lekukan pada liang
telinga sehingga menjadi media yang bagus buat pertumbuhan bakteri. Otitis
eksterna sering disebut sebagai swimmer's ear.
5. Benda asing. Benda asing menyebabkan sumbatan liang telinga, misalnya
manik-manik, biji-bijian, serangga, dan tertinggal kapas.
6. Bahan iritan (misalnya hair spray dan cat rambut).
7. Alergi. Alergi obat (antibiotik topikal dan antihistamin) dan metal (nikel).
8. Penyakit psoriasis
9. Penyakit eksim atau dermatitis pada kulit kepala.
10. Penyakit diabetes, otitis eksterna sirkumskripta sering timbul pada pasien
diabetes.
h. Pencegahan
Faktor pencetus otitis eksterna biasanya adalah kelembaban dan trauma.
Penelitian menunjukan anak dengan otitis eksterna akut biasanya memiliki
riwayat membersihkan telinga dengan cotton bud, cairan pembersih telinga, dan
berenang. Otitis eksterna akut dapat dicegah dengan larutan yang bersifat asam
atau alkohol selama masa paparan faktor resiko. Hal lain yang dapat digunakan
sebagai pencegahan adalah penggunaan pengering rambut untuk membersihkan
udara yang terjebak ditelinga karena berenang atau mandi, dan menghindari
penggunaan cotton bud. Pencegahan sifatnya penting terutama untuk orang
dengan immunocompromise, orang dengan dermatologi sistemik, sensitif pada
ototopikal, dan orang dengan keringat berlebihan (Ballenger, 2010; FK UI, 2012).
i. Penegakkan Diagnosis
Menurut Ballenger (2010) dan FK UI (2012) penegakkan diagnosis
glaukoma sudut terbuka dilakukan dengan :
1) Anamnesis, meliputi riwayat kesehatan maupun manifestasi klinis yang
dirasakan. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat onset, perjalanan dari
gejala, adakah kelainan kulit atau trauma lokal. Pasien dengan diabetes yang
memiliki kelainan sistem kekebalan, dan pasien dengan insufisiensi sirkulasi
darah memiliki resiko percepatan perkembangan penyakit dari ringan ke
tingkat yang parah.
2) Pemeriksaan Fisik, pemeriksaan yang diperlukan antara lain liang telinga,
membran timpani, aurikel, nodul cervikalis, dan kulit untuk menilai ada
tidaknya manifestasi dermatologi. Seruman dan debris yang menyumbat
kanal dibersihkan untuk melihat integritas membran timpani. Sering
diagnosis salah terjadi pada otitis eksterna akut dan otitis media karena
membran timpani pada otitis eksterna akut biasanya eritem.
Otoskopi pneumatik membantu menyingkirkan penyakit pada telinga tengah.
Debris biasanya dapat dikeluarkan dengan sunction frazier ukuran kecil atau
dengan kuret dan sendok telinga. Pencucian ditunda sampai integritas
membran timpani dipastikan. Serumen pada otitis eksterna akut biasanya
akan terhidrasi oleh otorea jadi lebih mudah dikeluarkan.
j. Penatalaksanaan
Menurut Ballenger (2010), FK UI (2012) dan NSW Health (2014)
penatalaksanaan otitis eksterna dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Terapi Farmakologis
Asam asetat 2% kadang dilarutkan pada 90-95% alkohol efektif untuk
profilaksis otitis eksterna akut. Namun larutan ini dapat menyebabkan kulit terasa
pedas dan iritasi jika digunakan pada kulit dengan tingkat inflamasi yang berat.
Penyakit yang lebih lanjut membutuhkan penggunaan ototopikal yang berisi agen
antimikroba. Obstruksi harus dibersihkan sehingga penetrasi ototopikal bisa
bagus. Hangatkan ototopikal pada suhu tubuh sebelum penggunaan membantu
pasien terhindar dari dizziness dari stimulasi kalorik yang dapat disebabkan cairan
dingin. Perintahkan pasien untuk tiduran miring dengan posisi telinga sakit diatas
beberapa menit setelah penetesan obat supaya obat benar-benar menyebar.
Perintahkan pasien untuk mendorong-dorong tragus supaya penyebaran obat lebih
maksimal.
Kapas dapat dimasukan ke telinga untuk menyerap cairan yang berlebihan.
Jika kanal menyempit sampai 50% karena edem, bisa menggunakan sumbu untuk
memastikan ototopikal mencapai kanal bagian medial. Kontrol untuk melepas
sumbu dapat dilakukan 3 hari setelah dipasang. Terapi ototopikal harus
dilanjutkan selama 5 sampai 10 hari tergantung tingkat keparahan atau dilanjutkan
sampai 3 hari setelah gejala terakhir.
Selain otitis eksterna akut, analgesik diperlukan untuk terapi dan dapat
diberikan mulai obat NSAID sampai narkotik ringan. Ototopikal harus
mengandung agen antimikroba, tidak hanya asam asetat. Tidak ada penelitian
RCT yang secara langsung yang membandingkan terapi antibiotic oral dan
topical, hanya sedikit yang membandingkan ototopikal.
Topikal lain adalah aminoglikosida (neomisin, gentamisin) sampai
flourokuinolon dengan atau tanpa steroid. Ototoksisitas dari aminoglikosida
berhubungan dengan terbukanya ruang di telinga tengah atau pada penggunaan
yang berkepanjangan. Oleh karena itu obat tersebut dihindari jika gendang telinga
tidak intak. Neomisin diketahui sensitive pada 5-18% pasien dan dapat memicu
dermatitis kontak.
Sekitar 10% dari otitis eksterna akut berasal dari jamur. Infeksi jamur yang
tidak komplikasi bermanifestasi sebagai kapas keputihan (candida) atau dengan
putih dengan bintik hitam (aspergilus). Infeksi campuran bakteri dan jamur sering
terjadi setelah terapi ototopikal yang tidak adekuat. Kebanyakan infeksi jamur
sifatnya ringan dan dapat diobati dengan 2% asam asetat dan atau dengan 90-95%
alkohol. Pada kondisi yang lebih berat dapat menggunakan agen topical 1%
klotrimazol atau tolnaftate.
Mengingat bahwa penyakit ini dapat menyebar sampai ke luar liang dan
menyebabkan auricular selulitis, servikal adenopati, atau parotitis, maka
penambahan antibakteri oral adalah pilihan yang tepat. Antibiotik oral harus
dipertimbangkan pada kasus otitis eksterna tingkat sedang pada pasien usia tua,
pada pasien dengan imunokompromise, pasien dengan diabetes, dan otitis
eksterna maligna. Otitis eksterna maligna adalah osteomielitis pada kanal telinga.
Biasanya melibatkan mastoid dan harus diwaspadai ketika kulit kanal nekrosis
atau bergranulasi, nyeri, suhu mencapai lebih dari 39°C, paralisis fasial, vertigo,
atau tanda meningeal dapat muncul. Furunkel dapat terjadi pada liang telinga
sebagai hasil inflamasi akut atau kronis. Kultur dapat diambil dari insisi dan
drainasi dan ototopikal dan antibiotik oral harus diberikan.
3. Tes Rinne
Menurut Widyawati (2012) dan Suprihati, Santoso, Rahmi &
Prihatningtias (2015) prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang (BC)
dengan hantaran udara (AC) pada telinga yang diperiksa. Pada telinga normal
hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural
hantaran udara sama dengan hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif
hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
Cara pemeriksaan :
Ujung garpu tala 256 Hz atau 512 Hz digetarkan pada telapak tangan
kemudian pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum telinga yang akan
diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar suara garpu tala, dan
diinstruksikan agar mengangkat tangan bila suara sudah tidak terdengar. Segera
setelah penderita mengangkat tangan garpu tala dipindahkan hingga ujung
bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga
yang diperiksa. Bila penderita masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak
mendengar dikatakan Rinne (-)
Rinne (-) Palsu
Dalam melakukan tes rinne harus selalu hati-hati dengan apa yang
dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli sensorineural yang
unilateral dan berat. Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum
getarannya di tangkap oleh telinga yang baik dari sisi yang tidak di tes (cross
hearing). Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan meatus acusticus
externus getaran tidak terdengar lagi sehingga dikatakan Rinne negative.
Hasil Tes Rinne dan Interpretasinya :
Hasil Interpretasi Positif (AC>BC) Positif (AC=BC) Negatif (AC<BC)
Normal Tuli sensorineural Tuli konduktif
4. Tes Weber
Menurut Widyawati (2012) dan Suprihati et al. (2015) prinsip tes Weber
adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Telinga
normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
Cara pemeriksaan :
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah digetarkan diletakkan
pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanya apakah mendengar suara
dengung garpu tala atau tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga
mana suara didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di telinga kanan
disebut Weber lateralisasi ke kanan. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Hasil tes Weber dan Interpretasinya :
Hasil Interpretasi Bila terdengar lebih keras ke salah
satu telinga Bila tdk dapat dibedakan ke arah
mana yg lebih keras atau sama keras Tidak ada lateralisasi Lateralisasi ke telinga yang sakit Lateralisasi ke telinga yang sehat
Laterisasi ke telingan tersebut
Tidak ada lateralisasi
Normal Tuli konduktif Tuli sensorineural
5. Tes Schwabach
Menurut Widyawati (2012) dan Suprihati et al. (2015) prinsip tes Schwabach
adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan hantaran tulang
pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah digetarkan pada telapak tangan,
kemudian pangkalnya diletakkan pada planum mastoiedum penderita. Kemudian
kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dengan garpu tala, sesudah itu
diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar
dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum pemeriksa. Ada 2 kemungkinan, jika pemeriksa masih
mendengar dikatakan Schwabach memendek atau pemeriksa sudah tidak
mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross check,
yaitu garpu tala digetarkan lagi, mula-mula diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengar, garpu tala segera dipindahkan
ke planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan. Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan
bila masih mendengar dikatakan schwabach memanjang.
Interpretasi hasil tes Schwabach :
Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural.
Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif.
Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak
mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga
penderita normal juga.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics (2004). Diagnosis and management of acute otitis media. Pediatrics, 113(5), 1451-1465.
Ballenger, J.J. (2010). Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid 1. Jakarta : Binarupa Aksara.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
FK UI. (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Hermes, K.M., Blackwood, A., Burrows, H., Cooke, J.M., VanHarisson & Passamani, P. (2013). Otitis Media : Diagnosis and treatment. American Family Physicians, 88(7), 434-440.
Kerschner, J.E. (2007). Otitis Media. In. Kliegman, R.M. (Ed.). Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Edition. (pp. 2632-2646). New York, USA: Saunders Elsevier.
NSW Health. (2014). Infants and Children, Otitis Media : Acute Management of Sore Ear. 2nd Edition. North Sydney, NSW: Ministry of Health NSW.
Suprihati, Santosa, Y.I., Rahmi, F.L. & Prihatningtias, R. (2015). Pandual Skill Lab/Keterampilan Klinis Dsar Modul 5.2 Indra. Semarang : Fakultas Kedokteran Univ. Diponegoro.
Titisari, H. (2005). Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Widyawati, I.Y. (2012). Manual Prosedur Pemeriksaan Fisik Pada Telinga. Surabaya : Fakultas Keperawatan Univ. Airlangga.
.