sken 1 sp 14

103
ENSEFALITIS BAKTERI DEFINISI Ensefalitisadalahradangjaringanotak.yangdisebabkanolehbakteria ETIOLOGI Salah satu etiologi Ensefalitis bacterial adalah Bakteri treponema pallidu mengakibatkan ENSEFAL!S S"#YLS PATOGENESIS nfeksi terjadi melalui permukaan tubuh umumnya se$aktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka% kuman tiba di sistim limfatik% melalui kelenjarlimfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. #al ini berlangsung beberapa $aktu hingga mengin&asi susunan saraf pusat. !reponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian'bagian lain s saraf pusat. MANIFESTASI KLINIS (ejala ensefalitis si)lis terdiri dari dua bagian * +. (ejala'gejala neurologist Kejang-kejang yang datangdalamserangan-serangan afasia, apraksia, hemianopsia kesadaranmungkinmenurun,seringdijumpai pupil Agryll-Robertson nervusopticusdapatmengalamiatrofi. Pada stadium akhirtimbulgangguanan-gangguanmotorik yang progresif. ,. (ejala'gejala mental Timbulnya proses dimensia yang progresif intelgensia yang mundurperlahan-lahan yang mula mula tampak pada kurang efekt kerja, daya konsentrasi mundur daya ingat berkurang daya pengkajian terganggu. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Upload: farmitalia-n-tristianti

Post on 05-Oct-2015

266 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

SKEN 1 SP 14

TRANSCRIPT

ENSEFALITIS BAKTERI

DEFINISIEnsefalitisadalahradangjaringanotak.yangdisebabkanolehbakteria

ETIOLOGISalah satu etiologi Ensefalitis bacterial adalah Bakteri treponema pallidum. Yang mengakibatkan ENSEFALITIS SIPHYLIS

PATOGENESISInfeksi terjadi melalui permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat. Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian-bagian lain susunan saraf pusat.

MANIFESTASI KLINISGejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :1. Gejala-gejala neurologist Kejang-kejang yang datangdalamserangan-serangan afasia, apraksia, hemianopsia kesadaranmungkinmenurun,seringdijumpai pupil Agryll-Robertson nervusopticusdapatmengalamiatrofi. Pada stadium akhirtimbulgangguanan-gangguanmotorik yang progresif.2. Gejala-gejala mental Timbulnya proses dimensia yang progresif intelgensia yang mundurperlahan-lahan yang mula mula tampak pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur daya ingat berkurang daya pengkajian terganggu.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan cairan serobrospinal Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan feses Pemeriksaan serologic darah (VDRL, TPHA) Pemeriksaan titer antibody EEG Foto thorax Foto roentgen kepala CT-Scan Arteriografi

DIAGNOSA BANDINGPada kasus ensefalitis supurativa diagnose bandingnya adalah : Neoplasma Hematoma subdural kronik Tuberkuloma Hematoma intraserebri

PENATALAKSANAAN Penisillin G 12-24 juta unit/haridibagi 6 dosisselama 14 hari Penisillinprokain G 2,4 juta unit/hari intra muskular + probenesid4 x 500mg oral selama 14 hari. Bila alergi penicillin : Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.(4,5)

PROGNOSISBila sifilis ditangani dengan baik, maka encephalitis akan mulai membaik dan sembuh pula

TETANUS

DEFINISITetanus adalah suatu onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general yang diakibatkan oleh neurotoksin C. tetani

EPIDEMIOLOGIBakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama ditemukan pada negara-negara berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat dan lembab dan tanah yang kaya dengan material organik. Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di India.Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung

ETIOLOGITetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus.Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat:a. terdapat jaringan mati dan benda asing,b. crushed injury,c. infeksi supuratif

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat badan.

PATOGENESISSpora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri.Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak dan diensefalon. Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin.Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan.Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai.

MANIFESTASI KLINIS1.Tetanus lokalTetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1%.

2.Tetanus sefalikTetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30%.

3.Tetanus generalSekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan. Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung.Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction yang baru.

4.Tetanus neonatorumTetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus neonatorum.Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus.

DIAGNOSISDiagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas.Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi.Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.

Skor PhillipsParameterNilai

Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Status imunisasi

Faktor pemberat< 48 jam2-5 hari6-10 hari11-14 hari> 14 hari

Internal dan umbilikalLeher, kepala, dinding tubuhEkstremitas atasEkstremitas bawahTidak diketahui

Tidak adaMungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus)> 10 tahun yang lalu< 10 tahun yang laluImunisasi lengkap

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawaKeadaan yang tidak langsung mengancam nyawaKeadaan yang tidak mengancam nyawaTrauma atau penyakit ringanASA derajat I54321

54321

108420

108421

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut AblettGrade I (ringan)Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang)Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III A (berat)Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.

Grade III B (sangat berat)Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan. Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia.

Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut UdwadiaGrade I (ringan)Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang)Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III (berat)Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.

Grade IV (sangat berat)Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanusFaktor prognostikSkor 1Skor 0

Masa inkubasi< 7 hari 7 hari atau tidak diketahui

Periode onset< 2 hari 2 hari

Tempat masukUmbilikus, luka bakar, uterus, fraktur terbuka, luka operasi, injeksi intramuskularPenyebab lain dan penyebab yang tidak diketahui

SpasmeAdaTidak ada

Demam> 38.4oC< 38.4oC

TakikardiaDewasa > 120 kali/menitNeonatus > 150 kali/menitDewasa < 120 kali/menitNeonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut: Skor 0-1: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10% Skor 2-3: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20% Skor 4: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40% Skor 5-6: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

PENATALAKSANAANPrioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi.Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme. Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus immunoglobulin (HTIG). Dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU. Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf.Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani. Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin. Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis.Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi utama.Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan.

KOMPLIKASISistem organKomplikasi

Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.

RespirasiApneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi.

KardiovaskularTakikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia, asistol, gagal jantung.

RenalGagal ginjal, infeksi dan stasis urin.

GastrointestinalStasis, ileus, perdarahan.

MuskuloskeletalRabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme.

Lain-lainPenurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi multiorgan.

PROGNOSISFaktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.

PENCEGAHANTindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.

Bayi dan anak normal.Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak normal sampai usia 7 tahun yang tidak diimunisasi pada masa bayi awal.DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama.Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang belum pernah diimunisasi.Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah injeksi kedua.Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang belum pernah diimunisasi.Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir).Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.

TETANUS NEONATORUM

DEFINISITetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus yang menyerang pada bayi yang disebabkan oleh Clostridium Tetani yaitu bakteri yang bekerja mengeluarkan racun yang menyerang sistem saraf pusat.ETIOLOGIClostridium Tetani adalah bakteri gram positiv yang menghasilkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin.FAKTOR RESIKOA. Pencemaran lingkunganB. Penggunaan alat2 yang tidak steril pada saat kehamilanC. Faktor kekebalan tubuh

PATOGENESISPertolongan persalinan dengan alat tidak steril=>spora Clostridium tetani masuk=>mengeluarkan tetanospamin=>tetanospasmin berikatan dengan memranm pra sinaps motor neuron =>kemudian bergerak melalui melalui sistem transpor aksonal=>mencapai med spinalis dan batang otak=> gguan SSP dan SSTGangguan dapat berupa gangguan inhibisi presinaptik trhadap GABA dan glisin ,,sehingga terjadi muatan listrik yang berlebihan.

GEJALA KLINISA. Kekakuan otot rahangB. Kekakuan otot mukaC. Kekakuan yang berat menyebabkan tubuh melengkung,,bisa menyebabkan fraktur tulang belakangD. Terjadi kejang terus-menerus

TERAPI A. Diberikan Tetanus Imunoglobulin intramuskular untuk menetralisasi racunB. Antikonvulsan untuk merelaksasi otot dan menurunkan kepekaan jaringan saraf thd rangsangC. Antibiotik untuk membunuh bakteri clostridium tetani D. Oksigen bila terjadi asfiksia atau sianosis

SPONDILITIS TB

DEFINISISpondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa yg bersifat kronisdestruktif olehMycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pottds disease of the spine atau tuberculousvertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebraT8 L3dan paling jarang pada vertebraC1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

ETIOLOGIMycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifatacid-fastnon-motile ( tahanterhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA))dan tidakdapat diwarnai dengan baik melalui cara yg konvensional. Dipergunakanteknik Ziehl-Nielsonuntuk memvisualisasikannya.Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.Produksi niasinmerupakankarakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lainSpondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 5 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga didugaadanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yg penyebarannyamelalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertularflu.Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensifdengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatanfisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehariselama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi.Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaituwaktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapidalam tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidupselama beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selamabeberapa tahun

PATOGENESIS/KLASIFIKASISpondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di dalamtubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dariinfeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulangprogresif tetapi lambat di bagian depan (anteriorvertebral body).Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuanakan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi TBCakan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewatligamentum longitudinal anterior dan posterior.Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapiakan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagiananterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007).Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:1. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasimembentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus danpada anak-anak pada daerah sentral vertebra.2. Stadium destruksi awalSelanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsungselama 3-6 minggu.3. Stadium destruksi lanjutPada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yangberbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuksekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedginganterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.4. Stadium gangguan neurologisGangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudahterjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu:i. Derajat IKelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadigangguan saraf sensoris.ii. Derajat IIKelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.iii. Derajat IIIKelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita disertai denganhipoestesia atau anestesia.iv. Derajat IVGangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi.TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral ataukerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidakaktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosisyang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadidestruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.5. Stadium deformitas residua, Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karenakerusakan vertebra yang massif di depan (Savant, 2007)

MANIFESTASI KLINISGambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-anak sering disertai denganmenangis pada malam hari.c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melaluiruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinale. Deformitas pada punggung (gibbus)e. Pembengkakan setempat (abses)f. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa: Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang menyebabkan kekakuan padagerakan berjalan dan nyeri. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempatgibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).

DIAGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSADiagnosis pada spondilitis tuberkulosa meliputi:1. AnamnesisAnamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi keluhan utama, keluhan sistem badan,riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.2. Pemeriksaan fisikaa. Inspeksi Pada klien dengan spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentukkiposis.b. PalpasiSesuai dengan yang terlihat pada inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya gibbus pada area tulangyang mengalami infeksi.c. PerkusiPada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.d. AuskultasiPada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan kelainan.3. Pemeriksaan medis dan laboratorium (Lauerman, 2006).

PEMERIKSAAN PENUNJANG SPONDILITIS TUBERKULOSAPemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:Pemeriksaan laboratoriuma.a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.b. Uji mantoux positif tuberkulosis.c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderitadengan alergi.Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkannukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantaiDNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.

Pemeriksaan radiologisa.a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin tampak sebagai suatubayangan yang berbentuk spindle.b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra, penyempitan diskusintervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral.d. Pemeriksaan mielografi.e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesiirreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta menunjukkan adanyapenekanan saraf (Lauerman, 2006).

DIAGNOSIS BANDING SPONDILITIS TUBERKULOSA1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.2. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat karsinoma prostat.3. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.4. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.5. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.6. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.7. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.8. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).9. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier, 2004).

PROGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSASpondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat sembuh secara spontan akan memberikancacat pembengkokan pada tulang punggung. Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktusingkat sekitar 6 bulan (Tachdjian, 2005).Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasineurologis.Diagnosis sedini mungkin dan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik walaupun tanpa operasi.Penyakitdapat kambuh apabila pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat karena terjadi resistensiterhadap pengobatan (Lindsay, 2008).Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf lebih baik sedangkan spondilitis denganparaplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Apabila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa prognosisnyaad functionam juga buruk (Lindsay, 2008)..

KOMPLIKASI SPONDILITIS TUBERKULOSAKomplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:1. Pottds paraplegiaa.a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringangranulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulaspinalis dan saraf.b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatantulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.2. Ruptur abses paravertebraa.a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberculosisb. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan coldabsces (Lindsay, 2008).3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pustuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pottds paraplegia prognosabaik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis padatumor).MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dancorda spinalis.

PENATALAKSANAAN SPONDILITIS TUBERKULOSAPada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitaspenyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pottds paraplegia yaitu:1. Pemberian obat antituberkulosis.2. Dekompresi medula spinalis.3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:1. Terapi konservatifa.a. Tirah baring (bed rest).b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.c. Memperbaiki keadaan umum penderita.d. Pengobatan antituberkulosa.Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mgsetiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4 bulan (54 kali).ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderitayang kambuh.1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnyaselama 3 bulan (90 kali).2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5bulan (66 kali).Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun danmenetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukanadanya union pada vertebra.3. Terapi operatifa.a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik.b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft.c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan padamedula spinalis (Ombregt, 2005).Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapioperasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin),lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.a. Cold abscesCold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberiantuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.b. Lesi tuberkulosa1) Debrideman fokal.2) Kosto-transveresektomi.3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.c. Kifosis1) Pengobatan dengan kemoterapi.2) Laminektomi.3) Kosto-transveresektomi.4) Operasi radikal.5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat,terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007)

DIFTERI

DEFINISIDifteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.

FAKTOR RESIKOKerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dankekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.

PATOGENESIS Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membran mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik. Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu :a. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.b. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi hambatan sintesa protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering disebut dengan simple tonsilar exudate. Kerusakan jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal. Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf. Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udem, dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan peradangan setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik. Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul dalam 10 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 7 minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak udim, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik denganm degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan menimbulkan bengkak pada laring.c. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9

Difteri hidungDifteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.

Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan waktu yang lebih lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.8,11

Difteri tonsil faringGejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udim ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.13

Difteri laringDifteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring (gambar 8), jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk kering.2,14 Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

DIAGNOSIS Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih keabuabuan disertai lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat terjadi perdarahan. Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :a. Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah membranb. Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (ECG) Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan penderita, diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.4,8 Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro dengan tes Elek.

PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAANTujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.

Pengobatan umumPasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.2,4

Pengobatan Khususa. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

b. Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.c. Kortikosteroid Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

TB PARU TANPA KOMPLIKASI

DEFINISIInfeksi paru yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada orang dewasa merupakan tuberkulosis paru pasca primer yang berarti infeksi tuberkulosis pada penderita yang telah mempunyai imunitas spesifik terhadap tuberkulosis.

PATOGENESISProses penularan melalui inhalasi droplet nuclei yang berisi kuman Mycobacterium tuberculosis.Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme:1. Perkembangan langsung penyakit primer2. Reaktivasi penyakit primer yang tenang3. Penyebaran hematogen ke paru4. Reinfeksi eksogen

PATOLOGILesi tuberkulosis dapat dalam bentuk empat lesi dasar:1. Lesi eksudatif:Merupakan reaksi hipersensitif2. Lesi proliferatif:Merupakan kelanjutan lesi eksudatif yaitu timbul nekrosis pengejuan yang dikelilingi oleh jaringan granulasi tuberkulosis.3. Kaviti:Bila jaringan keju dari proses proliferasi mencair, dan menembus bronkus, maka jaringan keju cair akan dikeluarkan, sehingga meninggalkan sisa kaviti. Kaviti ini lebih penting daripada proses tuberkulosis sendiri, karena merupakan sumber kuman dan sumber batuk darah profus. 4. Tuberkuloma:Bila lesi proliferatif dibungkus kapsul jaringan ikat, maka proses menjadi tidak aktif.Pada tuberkulosis paru pasca primer selalu terjadi remisi dan eksaserbasi, maka pada tempat proses selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah dengan proses fibrotik (penyembuhan). Lokasi proses tuberkulosis paru pasca primer adalah:Apikal atau segmen posterior lobus superior atau segmen superior lobus inferior dan jarang dijumpai di tempat lain.Pada penderita diabetes melitus seringdijumpai tuberkulosis pada paru lobus inferior (lower lung field).Penyebaran/perluasan proses tuberkulosis:1. Ke parenkim paru sekitar2. Ke pleura: menyebabkan pleuritis atau efusi pleura dan empiema3. Kesaluran nafas: menimbulkan endobronkial tuberkulosis4. Melalui pembuluh darah dan saluran limfe: menimbulkan penyebaran hematogen dan limfogen.

GEJALA KLINISKeluhan:Umum (sistemik):Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat malam, mual, muntah.Lokal paru:Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak nafas bila lesi luas

Pemeriksaanfisik:Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal atau sedang, pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai tanda-tanda konsolidasi, deviasi trakea/mediastinum ke sisi paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup, suara napas menurun).

PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratorium:Darah lengkap: LED meningkat, dapat anemia, lekosit normal atau sedikit meningkat, hitung jenis bergeser ke kanan (peningkatan mononuklear).Sputum:1. Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan ZN, atau fluoresens.2. Kultur: untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat anti tuberkulosis.Radiologis:Gambaran radiologis dapat berupa: III define air space shadowing Kaviti dengan dinding tebal dikelilingi konsolidasi Millet seed like appearance/granuler pada tuberkulosis milierLokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi tuberkulosis pasca primer.Namun demikian kadang penampakan lesi pada foto toraks tidak spesifik (seperti tumor), sehingga sering dikatakan bahwa tuberkulosis merupakanthe great imitator.Untuk kepentingan klinis maka lesi tuberkulosis berdasarkan fototoraks dibagi menjadi 2 kategori:1. Lesi minimal (minimal lesion):bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kaviti.2. Lesi luas (far advanced lesion):bila proses lebih luas dari lesi minimal.

DIAGNOSIS1. Diagnosis klinisDiagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.2. Diagnosis bakteriologikDitemukan basil tahan asam dalam sputum.Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short course) WHO, maka diagnosis bakteriologik merupakan komponen penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis, dengan cara 3 kali pemeriksaan hapusan basil tahan asam dari sputum (SPS= sewaktu, pagi, sewaktu).3. Diagnosis radiologisGambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif.

DIAGNOSIS BANDING1. Pneumonia2. Abses paru3. Kanker paru4. Bronkiektasis5. Pneumonia aspirasi

PENYULUT1. Pleuritissika2. Efusi pleura3. Empiema4. Laryngitis tuberkulosis5. Tuberkulosispada organ lain6. Korpulmonale

PENATALAKSANAAN1. Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan2. Strategi penatalaksanaan menurut DOTS WHO meliputi: Komitmen pemerintah dalam mengontrol TB Deteksi kasus dengan pemeriksaan hapusan BTA sputum Kemoterapi standar jangka pendek (6-8 bulan) dengan pengawasan minum obat Kesinambungan ketersediaan obat anti tuberkulosis Sistem pancatatan dan pelaporan standar

Rekomendasi regimen terapiKategoriTerapiTBPenderita TBAlternatif regimen terapi TB

Fase inisial(setiap hari atau 3x/minggu)Fase lanjutan(setiap hari atau 3x/minggu)

I Kasus baru BTA positip Kasus baru BTA negatip dengan lesi paru luas Konkomintan HIV berat atau TB ekstrapulmonerberat2 RHZE (RHZS)4 RH6 HE

IISputum hapusan positip: Kambuh Gagal terapi Putus berobat2 RHZES + 1 RHZE5 R3H3E3

III Kasus baru BTA negatip selain kategori I TB ekstrapulmoner tidak berat2 RHZE*4 RH

6 HE

IVKasus kronisMerujuk panduan WHO menggunakan second line drug

*Ethambutol dapat dihilangkan pada fase inisial pada penderita nonkavitas, TB paru BTA negatif dengan HIV negatif, penderita dengan basil suseptibelobat, anak muda dengan TB primer.

Obat anti tuberkulosis esensialObat esensialRekomendasi Dosis (dose range) mg/kgBB

Setiap hariSeminggu 3 kali

Isoniazid (H)Rifampicin (R)Pyrazinamide (Z)Streptomycin (S)Ethambutol (E)Thioacetazone (T)5 (4-6)10 (8-12)25 (20-30)15 (12-18)15 (15-20)2,510 (8-12)10 (8-12)35 (30-40)15 (12-18)30 (20-35)not applicable

PROGNOSISTergantung pada luas proses, saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita mengikuti aturan penggunaan dan cara pengobatan yang digunakan.

ASPIRASI PNEUMONIADEFINISIAspirasi adalah inhalasi dari isi orofaringeal atau gaster ke laring dan saluran napas bawah. Pneumonia aspirasi adalah suatu akibat pada paru yang disebabkan oleh inhalasi dari cairan ataupun sekresi endogen ke saluran napas bagian bawah.5,6 Pneumonia aspirasi mengacu kepada sekuele paru akibat masuknya sekresi endogen atau zat eksogen ke dalam saluran pernafasan bawah.7Pneumonia aspirasi diklasifikasikan ke tiga sindrom klinis:6a. Pneumonitis kimia;b. Infeksi bakteric. Obstruksi saluran napas.Berdasarkan hasil penelitian, perkembangan dari pneumonitis kimia jika teraspirasi cairan 1-4 mL/kgBB cairan inokulum dengan pH 2,5 akan menginisiasi reaksi inflamasi yang bisa menjadi fibrosis paru. Bakteri, yang terjadi pada aspirasi sekresi orofaringeal dan gaster, bisa berakibat menjadi pneumonia. Pneumonia aspirasi yang melibatkan benda asing, yang akan mengakibatkan obstruksi saluran napas atau penutupan refluks saluran napas akan bersinergi mengakibatkan trauma paru.62.3. Epidemiologi5-15% kasus dari Community Acquired Pneumonia adalah pneumonia aspirasi. Ini sering menyebabkan kematian pada pasien dengan disfagia dan yang mempunyai masalah neurologis. 300000-600000 orang mengalami pneumonia aspirasi di Amerika Serikat.5Beberapa studi menunjukkan bahwa 5-15% dari 4,5 juta kasus pneumonia yang diperoleh masyarakat merupakan pneumonia aspirasi. Pneumonia aspirasi dianggap sebagai penyakit yang umum, tetapi tidak ada statistik yang tersedia. Angka kematian/kesakitan dihubungkan dengan pneumonia aspirasi yang mirip dengan community-acquired Pneumonia pada kira-kira 1% pasien yang rawat jalan dan meningkat hingga 25% pada pasien yang diopname. Angka kematian ini cakupannya tergantung pada hadirnya faktor penyulit atau komplikasi.Di Amerika, pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia aspirasi nosokomial sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutama usia anak atau usia lanjut.6,7

ETIOLOGIPneumonia aspirasi biasanya disebabkan oleh: 5,6a. Aspirasi cairan toksik-pneumonitis kimia, seperti: asam, hidrokarbon, mineral oil, dll.b. Aspirasi bakteri patogenBakteri terutama bakteri anaerob yang merupakan flora normal yang rentan teraspirasi pada pasien dengan berbaring. Bakteri yang menyebabkan pneumonia aspirasi adalah: 1,6 Bakteri anaerob Bakteri gram positif, seperti: Clostridium, Eubacterium, Actinomyces, Lactobaciluus, dan Propionibacterium) Bakteri gram negatif, seperti: Bacteroides fragilis, Fusobacterium nucleatum, Peptostreptococcus, dan Prevotella). Bakteri aerob Bakteri gram positif, seperti: Staphylococci Bakteri gram negatif, seperti: Pseudomonas aeruginosaBerdasarkan hasil penelitian oleh David Smith yang mencatat tentang bakteri yang menginfeksi pada pneumonia aspirasi adalah:Tabel 1. Bakteri Pneumonia Aspirasi5Community AcquiredHospital AcquiredTotal

Kasus383270

Bakteri anaerob25732

Bakteri aerob369

Bakteri aerob dan anaerob101929

Bakteri anaerob

Bacteriodes melaninogenicus161127

B. fragilis5510

B. oralis459

Fusobacterium nucleatum11819

Peptostreptococci211132

Peptococci 7411

Bakteri aerob

Diplociccus pneumonia7411

Staoh aureus3811

Klebsiella358

Pseudomonas aeruginosa257

Escherichia coli246

Enterobacter cloacae134

c. Subtansi yang tidak bereaksi (bisa menyebabkan obstruksi), seperti: cairan2.4. Faktor RisikoBeberapa kondisi dapat meningkatkan volume atau bakteri dari sekresi orofaringeal, yaitu:5a. Penurunan kesadaran, seperti: Kejang Intoksikasi Anestesi Trauma kepalab. Disrupsi mekanisme dari pertahanan Penggunaan NGT Intubasi endotrakeal Trakeostomi Endoskopi saluran cerna bagian atas Bronkoskopic. Penyakit neuromuskular Miastenia Gravisd. Masalah gastro-esofagea Keganasan Sfingter kardiak yang inkompeten Obstruksi gastere. Dan lain-lain Posisi tidur

Grafik 1. Faktor Presdiposisi Pneumonia Aspirasi6

Grafik 2. Materi yang Teraspirasi pada Pneumonia Aspirasi6

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIPatofisiologi dari aspirasi pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber material asing yang teraspirasi. Pada manusia, aspirasi materi dengan pH 2,5 dianggap asam (acid). Seperti materi penyebab pneumonitis kimia berat dengan trauma langsung pada membran kapiler alveolar. Reaksi perdarahan, granulositik, dan nekrotisasi biasanya akan mengikuti. Efek dari inisiasi trauma dapat terjadi dalam hitungan menit sampai jam, dan mungkin berhubungan dengan penutupan refleks saluran napas, kerusakan dari surfaktan akan mengakibatkan atelektasis, eksudasi dari cairan dan protein akan merusak membran interstisial dan edema alveolar, perdarahan alveolar, dan konsolidasi.1Aspirasi dengan pH 2,5 disebut non-acid. Ini mungkin berasal dari orofaring atau dari gaster pasien dengan H2 blocker atau proton-pump inhibitor. Respon awal sama dengan trauma asam, tanpa penurunan infiltrasi netrofil alveolar dan nekrosis. Perluasan kerusakan paru pada aspirasi non-acid bervariasi tergantung kepada komposisi yang teraspirasi. Aspirasi cairan bersih akan lebih cepat sembuh daripada aspirasi partikel makanan yang akan menghasilkan respon patologi. Aspirasi berulang akan menghasilkan gambaran radiografi formasi granuloma yang mirip dengan tuberkulosis milier.1Banyak peneliti setuju bahwa infeksi mengambil sebagian kecil inisiasi komplikasi paru yang dihasilkan dari aspirasi. Bakteri patogen dari orofaring mungkin bersamaan masuk dengan materi asing akan menghasilkan inokulasi langsung pada jaringan paru. Aspirasi materi asam, yang melukai paru sangat menguntungkan dan memungkinkan terjadinya infeksi sekunder bakteri yang akan terjadi lebih dari setengah kasus. 1Pada kasus yang berkembang menjadi infeksi, ada dua pola yang mungkin terjadi. Nekrotisasi lokal bakteri pneumonia, abses, atauu empiema mungkin menjadi infeksi inokulum yang berat. Meskipun beberapa pendapat, organisme anaerob, baik infeksi tunggal ataupun berkolaborasi edngan bakteri aeroba lainnya adalah penyebab pada sebagian kasus. Pola kedua dari infeksi adalah yang mengikuti aspirasi dalam jumlah besar, seperti tipe acid. Baketeri aerob lebih sering menginfeksi pada kasus ini. 1Aspirasi menurut inokulum dapat diklasifikasikan menjadi: 1a. Aspirasi cairan toksik-pneumonitis kimia, seperti: asam, hidrokarbon, mineral oil, dll.b. Aspirasi bakteri patogenc. Subtansi yang tidak bereaksi (bisa menyebabkan obstruksi), seperti: cairan2.7.1. Aspirasi Cairan ToksikCairan yang masuk ke saluran napas bawah dapat menginisiasi reaksi inflamasi yang tidak tergantungkepada infeksi bakteri, contoh: aspirasi cairan asam, hidrokarbon, dll. Aspirasi asam lambung adalah yang paling sering terjadi dan diteliti. Ini juga biasa dikenal dengan Mendelson Syndrome. Pada pasien yang teraspirasi cairan lambung akan tiba-tiba mengalami acute respiratory distress. Pasien yang teraspirasi partikel makanan akan mengalami reaksi obstruksi akut. Pada pasien ini dapat terjadi bronkospasme yang akan mirip dengan serangan asma. 6,7Pada Mendelson Syndrome akan menyebabkan reaksi inflamasi pada parenkim. Ini terjadi pada pasien dengan masalah sistem saraf pusat, trauma kepala, intoksikasi obat. Aspirasi cairan dengan pH 2,5 lebih besar 0,3mL/kgBB akan mempunyai potensi yang besar menybabkan pnemonia kimia. Ini akan melepaskan sitokin, terutama Tumor Necrosis Factor (TNF)- dan interleukin (IL)-8. 4,72.7.2. Aspirasi Bakteri PatogenPneumonia aspirasi berkembang sesudah inhalasi dari materi kolonisasi orofaringeal. Mekanisme pertama yang terjadi adalah aspirasi dari sekresi orofaring yang membuat bakteri dapat masuk ke dalam paru. Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae berkolonisasi di nasofaring atau orofaring sebelum teraspirasi dan menyebabkan Community Acquired Pneumonia. Istilah Pneumonia aspirasi mengacu secara khusus kepada perkembangan dari bukti infiltrat secara radiografik pada pasien yang berisiko aspirasi orofaringeal. Kurang lebih sebagian dari orang sehat mengaspirasi dalam jumah sedikit sekresi dari orofarinegeal selama tidur. Risiko virulensi bakteri yang rendah pada sekresi faring normal, bekerja sama dengan batuk, transportasi siliar yang aktif, dan mekanisme imun selular dan humoral, menghasilkan pembersihan dari materi infeksi tanpa menyebabkan gejala. Jika mekanisme ini, mekanisme humoral, mekanisme seluler rusak atau jika teraspirasi dalam jumlah yang banyak, dapat menyebabkan pneumonia. 5Pasien dengan pneumonia aspirasi biasanya akan dimulai dengan demam dan sputum yang purulen. Infeksi pada hari ke-8 sampai ke-14 pada kasus ini akan mengakibatkan nekrosis jaringan dengan pembentukan abses atau perlebaran ruang pleura. 5,6Aspirasi pada kasus ini bisa berasal dari sekeresi orofaringeal, terutama saliva yang berisi bakteri yang berasal dari lidah, gingiva, mukosa bukal, dan faring. Kadang aspirasi gaster yang diikuti dengan bakteri juga bisa mengakibatkan pneumonia aspirasi. Pada pasien dengan kebersihan oral yang buruk sering menyebabkan infeksi oleh bakteri anaerob. 5,62.7.3. Aspirasi dari Substansi InertPasien bisa teraspirasi material yang tidak toksik untuk paru tetapi dapat menyebabkan komplikasi oleh obstruksi mekanik akibat mekanisme refleks. 5,6 CairanCairan tidak akan menghasilkan lesi paru yang khusus, seperti: air, isi gaster yang ternetralisasi. Aspirasi dalam jumlah besar pada cairan nontoksik akan membuat sufokasi tiba-tiba melalui mekanisme obstruksi. 5,6 Partikel PadatIni sering terjadi pada anak-anak 1-3 tahun. Objek yang kecil akan menyebabkan obstruksi parsial. Ketika bronkusutama yang terobstruksi, maka akan terjadi obstruksi total.6,7

MANIFESTASI KLINISGejala yang tampak pada Pneumonia aspirasi adalah:6a. Dispneab. Sianosisc. Demam d. Batuk yang produktif, e. Wheezing, disebabkan oleh trauma langsung pada saluran napas atas yang diikuti dengan tertelannya partikel-partikelf. Nyeri dada

DIAGNOSIS1. AnamnesisPenulusuran awal pneumonia aspirasi dapat dilakukan dengan anamnesis yang detail dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik. harus ditanyakan tentang waktu dari gejalanya, yang berhubungan dengan makanan, perubahan posisi, hipersalivasi, tersedak, muntah, atau rasa tidak nyaman pada ulu hati (epigastium), dan gejala batuk malam ataupun wheezing. Batuk ataupun tersedak minimal atau pun tidak ada pada anak dengan refleks batuk dan tersedak yang menurun. Perhatian khusus harus diberikan terhadap reflux nasopharygeal. Kesulitan terhadap menghisap atau menelan, dan berhubungan dengan batuk dan tersedak. Lakukan pula inspeksi terhadap kavum oral untuk kelainan yang mencolok atau tampak jelas pada mulut dan menstimulasi untuk mengeluarkan gag reflex. Hipersalivasi atau akumulasi yang banyak dari sekresi di mulut kemungkinan sugestif disfagia. Dan pada auskultasi pada paru akan trdapat wheezing transien atau crackles setelah makan, khususnya tergantung pada segmen paru.92. Pemeriksaan fisikPada aspirasi karena benda asing, pemeriksaan fisik yang dapat mengidentifikasi aspirasi adalah bervariasi dan tergantung pada lokasi dan derajat lumen obstruksi dari benda asing tersebut. Pasien mungkin akan diam dan merasa nyaman atau menunjukkan tanda-tanda respiratory distress syndrome yang bervariasi mulai dari takipnea ringan sampai ke stridor berat dengan retraksi dan sianosis. Penemuan klasik dari aspirasi benda asing terdiri dari suara nafas menurun pada unilateral sebagai akibat dari kurangnya aliran udara yang masuk ke paru dan ronki unilateral yang dikarenakan sumbatan parsial pada bronkus. Trias klinis mulai dari wheezing, batuk, dan berkurangnya atau bahkan tidak ada suara nafas terdapat pada hanya + 40% dari pasien. Meskipun 75 % hanya terdapat satu atau lebih dari temuan fisik tersebut. Perubahan yang cepat pada saluran pernafasan dapat terjadi akibat terjadinya edema atau perubahan lokasi dari benda asing. Benda asing pada trakea khususnya dalam hal ini berbahaya, dengan berubahnya periode antara normal dan obstruksi berat akibat efek ball-valving.9Penemuan pada pemeriksaan fisik akan membantu untuk mengetahui lokasi dari letak aspirasi benda asing tersebut. Jika terdapat obstruksi yang signifikan ke aliran udara dimana tempat benda asing berada di laring atau trekea bagian atas maka menghasilkan avonia atau hoarsenes with inspiratory atau bifasik stridor. Wheezing yang memanjang pada fase expirasi adalah sugestif dari intratorak trakea atau obstrusksi bronkus.9

Diagnosis dari pasien ini adalah adanya bukti radiografik. Pada gambaran ditemukan infiltrat khas bronkopulmoner segmen. Pada pasien yang teraspirasi saat posisiberbaring , bagian yang terkena adala segmen posterior dari lobus atas dan segmen apeks dari lobus bawah. Pada pasien yang teraspirasi pada posisi tegak atau setengah berbaring, segmen basal dari lobus bawah yang biasa terkena.3. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang pada pasien pneumonia aspirasi9:a. Darah lengkapPada pasien dengan aspirasi bakteri anaerob patogen mungkin ditemukan peningkatan leukosit, netrofilia, anemia, dan trombositosis. Pada pasien dengan pneumonia aspirasi kimia mungkin ditemukan peningkatan leukosit dan netrofilia.b. Analisis gas darahAnalisis gas darah digunakan untuk mengetahui status oksigenasi dan pH dan sebagai informasi tambahan untuk menuntun berapa oksigen yang diberikan. Pada pasien pneumonia aspirasi didapatkan hipoksemia akut dan tekanan karbon dioksida yang normal atau rendah dengan alkalosis respiratori. Tingkat laktat (sering dihubungkan dengan gas darah) dapat diguc. Elektrolit darah, ureum, dan kreatiniIni diperlukan untuk menilai status cairan dan kebutuhan intravena hidrasi. Ini terutama pada pasien dengan edma, muntah, atau diare yang bisa mengakibatkan kehilangan cairan. ini juga dapat menilai dampak organ pada pasien dengan sepsis dan syok sepsis d. Kultur darahIni dilakukan untuk men-screening dari bakteremia. Pada keadaan pneumonia uncomplicated (tidak ada tanda dari sepsis atau syok sepsis). Kultur darah dianjurkan dilakukan saat terapi awal.e. Kultur sputumIni digunakan untuk menentukan bakteri patogen yang menginfeksi dan terapi yang akan diberikan.f. Rontgen toraksPemeriksaan yang penting untuk pneumonia pada keadaan yang tidak jelas adalah foto polos dada. Foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan interstitial dengan atau tanpa disertai gambaran kaviti pada segmen paru yang terinfeksi. Gambaran lusen disertai dengan infiltrat menunjukkan nekrotik pneumonia. Air fluid level mengindikasikan abses paru atau fistula bronkopleura.Sudut costofrenicus yang blunting dan meniscus yang positif menunjukkan para pneumonic pleural effusion.2,3g. USGUSG dilakukan untuk mengkonfirmasi dan mengetahui lokasi dari pleural efusi sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi. 2,3h. CT ScanCT scan toraks tidak dibutuhkan pada semua kasus pneumonia aspirasi. Ini dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik dari efusi pleura atau empiema, seperti mendeteksi nekrosis dengan infiltrate, cavitas, dan lokasi dari efusi pleura. CT scan memberikan keterangan yang lebih baik tentang daerah yang terkena dan digunakan untuk melihat abnormalitas dari paru karena abnormalitas pleura. 2,3i. BronkoskopiBronkoskopi diindikasikan kepada pasien pneumonia aspirasi ketika teraspirasi makanan atau benda dari luaar. Bronkoskopi dengan sikat pelindung dan kateter pelindung digunakan untuk mendapatkan bakteri patogen dari infeksi pneumonia dan membantu untuk menentukan terapi antibiotic. j. TorakosintesisTorakosintesis adalah tindakan diagnostik dan terapi diaman cairan (atau udara) dikeluarkan dari pleura dan dinding dada. Analisis dari specimen dapat membantu menentukan penyebab yang mendasari dari efusi pleura. Sebelum dan sesudahnya perlu dilakukan rontgen toraks untuk melihat kemungkinan komplikasi dari torakosintesis. 2,3

2.8. Diagnosis BandingTabel 2. Perbedaan Pneumonia aspirasitis dan Pneumonia aspirasi5PembedaPneumonitis aspirasiPneumonia aspirasi

MekanismeAspirasi dari isi gaster sterilAspirasi dari kolonisasi materi orofaringeal

Proses patofisiologiTrauma akut paru karena asam dan terutama materi gasterRespon inflamasi akut paru terhadap bakteri dan produk dari bakteri tersebut

Temuan bakteriPada awalnya steril, disusul dengan kemungkinan infeksi bakteriBakteri gram positif, bakteri gram negatif, dan kadang-kadang bakteri anaerob

Faktor risiko utamaPenurunan kesadaranDisfagia dan dismotilitas gaster

UsiaSering pada usia mudaSering pada usia tua

Kejadian aspirasiDisadariTidak disadari

Tipe presntasiPasien dengan riwayat penurunan kesadaran dengan infiltrat paru dengan gejala respirasi yang berkembangPasien dengan disfagia yang memiliki manifestasi klinis dari pneumonia dan infiltrat segment bronkopulmoner yang berkembang

Manifestasi klinisTidak ada gejala atau gejala tidak tampak dari batuk yang nonproduktif sampai ke takipnea, bronkospasme, sputum berdarah atau berbuih, dan respiratory distress 2-5 jam setelah aspirasiTakipnea, batuk, dan tanda dari pneumoni

KOMPLIKASI1.Gagal nafas dan sirkulasiEfek pneumonia terhadap paru-paru pada orang yang menderita pneumonia sering kesulitan bernafas,dan itu tidak mungkin bagi mereka untuk tetap cukup bernafas tanpa bantuan agar tetap hidup. Bantuan pernapasan non-invasiv yang dapat membantu seperti mesin untuk jalan nafas dengan bilevel tekanan positif,dalam kasus lain pemasangan endotracheal tube kalau perlu dan ventilator dapat digunakan untuk membantu pernafasan. Pneumonia dapat menyebabkan gagal nafas oleh pencetus akut respiratory distress syndrome(ARDS). Hasil dari gabungan infeksi dan respon inflamasi dalam paru-paru segera diisi cairan dan menjadi sangat kental, kekentalan ini menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan penyaringan udara untuk cairan alveoli,harus membuat ventilasi mekanik yang dibutuhkan.2

2.Syok sepsis dan septicMerupakan komplikasi potensial dari pneumonia. Sepsis terjadi karena mikroorganisme masuk ke aliran darah dan respon sistem imun melalui sekresi sitokin. Sepsis seringkali terjadi pada pneumonia karena bakteri; streptoccocus pneumonia merupakan salah satu penyebabnya. Individu dengan sepsis atau septik membutuhkan unit perawatan intensif di rumah sakit. Mereka membutuhkan cairan infus dan obat-obatan untuk membantu mempertahankan tekanan darah agar tidak turun sampai rendah. Sepsis dapat menyebabkan kerusakan hati,ginjal,dan jantung diantara masalah lain dan sering menyebabkan kematian.2

3.Effusi pleura,empyema dan abcesAda kalanya,infeksi mikroorganisme pada paru-paru akan menyebabkan bertambahnya (effusi pleura) cairan dalam ruang yang mengelilingi paru (cavum pleura). Jika mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura, kumpulan cairan ini disebut empyema. Bila cairan pleura ada pada orang dengan pneumonia, cairan ini sering diambil dengan jarum (toracentesis) dan diperiksa, tergantung dari hasil pemeriksaan ini. Pada kasus empyema berat perlu tindakan pembedahan. Jika cairan tidak dapat dikeluarkan,mungkin infeksi berlangsung lama, karena antibiotik tiak menembus dengan baik ke dalam rongga pleura. Abses pada paru biasanya dapat dilihat dengan foto thorax dengan sinar x atau CT scan. Abses-abses khas terjadi pada pneumonia aspirasi dan sering mengandung beberapa tipe bakteri. Biasanya antibiotik cukup untuk pengobatan abses pada paru,tetapi kadang abses harus dikeluarkan oleh ahli bedah atau ahli radiologi.2

TATALAKSANAPasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien dengan disfagi dan atau gangguan reflex menelan perlu dipasang selang nasogastrik. Bila cairan teraspirasi, trakea harus segera diisap untuk menghilangkan obstruksinya. Lakukan maneuver Heimlich untuk mengeluarkan aspirasi bahan padat, bila bahan yang teraspirasi tidak dapat dikeluarkan segera lakukan trakeotomi (krikotirotomi). Pengeluaran bahan yang tersangkut, biasanya dilakukan dengan bronkoskopi. Berikan oksigen nasal atau masker bila ada tanda gagal napas berikan bantuan ventilasi mekanik. Lakukan postural drainage untuk membantu pengeluaran mukus dari paru.1,2,3Pada PAK terapi empirik haruslah mencakup patogen anaerob, sedangkan pada PAN harus pula mencakup pathogen Gram negatif dan S. aureus sampai hasil kultur sputum memberikan hasil untuk penentuan terapi antibiotika.8,9Pneumonia aspirasi (PA) dengan tipe yang didapat di masyarakat diberikan penisilin atau sefalosporin generasi ke 3, ataupun klindamisin 600 mg iv/ 8 jam bila penisilin tidak mempan atau alergi terhadap penisilin. Bila PA didapatkan di rumah sakit diberikan antibiotika spectrum luas terhadap kuman aerob dan anaerob, misalnya aminoglikosida dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke 3 atau 4, atau klindamisin. Perlu dipertimbangkan pola dan resistensi kuman di rumah sakit bersangkutan. Dilakukan evaluasi hasil terapi dan resolusi terhadap terapi berdasarkan gambaran klinis bakteriologis untuk memutuskan penggantian atau penyesuaian antibiotik (AB).8,9Tidak ada patokan pasti lamanya terapi. Antibiotik perlu diteruskan hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil selama 2 minggu. Biasanya diperlukan terapi 3-6 minggu. 4,5

PROGNOSIS

Angka mortalitas PAK adalah sebesar 5% yang meningkat menjadi 20% pada PAN. Angka mortalitas pneumonia aspirasi yang tidak disertai komplikasi adalah sebesar 5%, sedangkan pada aspirsai masif dengan atau tanpa disertai sindrom Mendelson mencapai 70%. Angka mortalitas aspirasi pneumonia disertai empyema sebesar 20%.1,35

GASTROENTERITIS DEFINISIBuang air besar dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari, disertai perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darahKLASIFIKASI Berdasarkan waktu Diare akut: Pengeluaran tinja yang lunak atau cair 3 kali per hari atau lebih tanpa darah yang berlangsung kurang dari 14 hari Diare Persisten: merupakan istilah yang digunakan di luar negri yang menyatakan diare berlangsung selama 15-30 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut Diare Kronik : Pengeluaran tinja yang lunak atau cair 3 kali per hari atau lebih tanpa darah yang berlangsung lebih dari 15 hari

Berdasarkan Patofisiologi Diare osmoticDiare osmotic terjadi akibat terdapatnya zat atau makanan yang tidak dapat diserap sehingga tekanan osmotic dalam lumen usus terus meningkat dan terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam lumen. Meningkatnya tekanan osmotic intra lumen ini disebabkan oleh obat-obatan atau zat kimia hiperosmotik seperti magnesium sulfat atau magnesium hidroksia, malabsorbsi umum dan defek dalam absorbs mukosa usus, malabsorsi glukosa/galaktosa, serta malabsorbsi lemak. Isi lumen yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga terjadilah diare. Diare sekretorikAkibat rangsangan tertentu, missal toksin, pada dinding usus sehingga akan terjadi penigkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam lumen dan menurunnya absorbs yang selanjutnya terjadilah diare. Diare motilitasGangguan motilitas pada usus dibagi menjadi dua, yaitu peningkatan motilitas dan penurunan motilitas. Peningkatan motilitas mengakibatkan kurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan ke dalam tubuh sehingga terjadi diare. Sedangkan menurunnya motilitas dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan yang selanjutnya juga akan mengakibatkan diare.

ETIOLOGIA. MalabsorpsiB. Diare PsikogenikC. Diare etiologi imunodefisinsiD. Diare etiologi infeksiPenyebab Diare/Gastroenteritis1. Virus: Adenovirus, Rotavirus, Norwalk virus2. Bakteri: Campylobacter jejuni, Vibrio cholera, Salmonella spp, Shigella spp, Yersinia enterocolitica, Clostridium perfringens, E. coli, dll.3. Parasit: Balantidium coli, Cryptosporidium, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia

KOLERADEFINISISalah satu penyakit akut gastroenteritis disebabkan oleh bakter Vibrio cholera melal