sken 5 yola
TRANSCRIPT
Penanganan Pasien Kanker Kolon Stadium Terminal dengan Terapi Minimal
Yolanda Yesica – 10 2009 104 – C3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta 11510
Email : [email protected]
BAB 1
Pendahuluan
Ilmu Kedokteran Forensik juga dikenal dengan nama Legal Medicine adalah salah satu
cabang spesialistik dari Ilmu Kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran
untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan.
Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan
nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah hukum ini di
tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan
berbagai ahli di bidang terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta ketertaitan antara
tindakan yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut. Dalam hal terdapat
korban, baik yang masih hidup maupun yang meninggal akibat peristiwa tersebut, diperlukan
seorang ahli dalam bidang kedokteran untuk memberikan penjelasan bagi para pihak yang
menangani kasus tersebut. Dokter yang diharapkan membantu dalam proses peradilan ini
akan berbekal pengetahuan kedokteran yang dimilikinya yang terhimpun dalam Ilmu
Kedokteran Forensik.
Skenario : Seorang pasien berumur 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon
yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami
benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga
1
memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan
peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya
hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu, ia meminta kepada dokter
apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika,
tanpa peralatan ICU, dan lain-lain), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun, ia
tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.
2
BAB 2
Isi
ASPEK HUKUM
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/MenKes/per/IX/1989 tentang persetujuan Tindakan
Medik .1
Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
a. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien beruapa
diagnostik atau terapeutik.
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh.
d. Doker adalah dokter umum/ dokter spesialis dan dokter gigi / dokter gigi spesialis
yang bekerja di rumah sakit, Puskesmas, klinik atau praktek perorangan/ bersama.
Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat
ditimbulkan.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan denga tingkat pendidikan serta
kondisi dan situasi pasien.
Pasal 3. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak
diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan.
3
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh
seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.2
Pasal 4 Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya kecuali bila dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak diberikan informasi.2
(3) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat(2) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh
seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.
Pasal 5 Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik
yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan.
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa
hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuamn pasien
dapat memberikan informasi tersebut kepada kerlaurga terdekat pasien.
Pasal 6 Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.
(2) Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat (1),
informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter
yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tndakan yang tidakinvasif
lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan pengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
4
Pasal 7. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan , dokter harus
memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.
Pasal 8. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yag berada dalam keadaan sadar dan sehat
mental.
(2) Pasien dewasa dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur
21tahun atau telah menikah.
Pasal 9. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampunan (cura tele) persetujuan
diberikan oleh wali/curator.
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh
orang tua/wali/curator.
Pasal 10. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
Bagi pasien di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua/ wali berhalangan,
persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).
Pasal 11. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara
medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlkan tindakan medik segera
untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
Pasal 12. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
(1)dokterbertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medik.
Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilakukan di rumah sakit/klinik, maka rumah
sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
5
Pasal 13. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya perstujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratid berupa cantan surat ijin prakteknya.
Pasal 14. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989dalam hal tindakan medik yang harus
dilaksankaan sesuai dngan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk
kepentingan masyarakat anyak, maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.2
Pasal 15. Permenkes No 585/MenKes/per/IX/1989
Hal-hal yang berfiat teknis yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pelayanan Medik.
EUTANASIA
Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang
dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.3
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah
seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau
tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara
lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan
prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. 3
Menurut istilah Kedokteran :
Eutahanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan. Mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya. 3
Jenis Euthanasia ada 2 :
1. Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti :
6
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang
termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien,
berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan
hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu
dilakukan. 3
2. Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah
seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat
tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinyajantung. 3
Alasan Euthanisia
Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang
mempunyai hak memilih cara kematiannya
Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama
adalah tindakan kebajikan
Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien
Mengurangi beban ekonomi
Dampak Euthanisia
• Sudut pandang Pasien
mudah putus asa karena tidak ingin dan tidak memiliki semangat untuk berjuang
melawan penyakitnya.
• Sudut pandang Keluarga Pasien
aspek kemanusiaan dan ekonomi
7
Aspek Euthanisia
1. Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa
sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi
tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru
dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek
hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia.
Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk
menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala
penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan. Segala upaya yang dilakukan akan sia
sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak
membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan
dana.
4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di
dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya
8
sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan
melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki
euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan
dihadapan Tuhan.3
INFORM CONSENT
Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik hingga ke
sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap
sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan
dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik untuk
kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien
untuk turut menentukan keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah
sifat hubungan kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak
otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian
sifat hubungan dokter - pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi
hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang
menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap
meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja,
dan disebut sebagai bottom line ethicts.4
Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination);
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien;
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau
"do no harm";
9
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights, dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan Johns S Mills berkata bahwa kontrol sosial atas
seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang
lain. Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical
Association (WM A) adalah "the rights to accept or to refuse treatment after receiving
adequate information". Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga
menyebutnya demikian "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ...dst".
Selanjutnya UU No 23 / 1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk
memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini
kemudian diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis. Suatu
tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan
melanggar hukum (tort). Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin
informed consent. Tindakan medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi)
dari pasien tersebut, setelah ia menerima dan memahami informasi yang diperlukan.
Informed consent dapat dianggap sebagai apatient with substantial understanding and in
substantial absence of control by others, intentionally authorizes a professional to do
something. 4
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak
akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain : 4
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu :
Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk
10
membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah
dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa
diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan
keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga
kemampuan membuat keputusannya terganggu. 4
Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian "berdasarkan pemahaman yang adekuat" membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa "baik" informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu : 4
Standar Praktek profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi
ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary
practices of a professional community-Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini
terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran, tanpa
memperhatikan keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan
menerima informasi tersebut. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan
tersebut diatas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya : risiko yang
"tidak bermakna" (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna
dari sisi sosial / pasien.
Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara
pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut
dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat
sulit dilaksanakan atau hampir mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
11
Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu
dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada
umumnya orang awam. Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh
penyakitnya, irrasionalis dan imaturitas. Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila
elemen ini tidak dilakukan maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya
memberi informasi yang adekuat.
Consent Elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan,
misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari "tekanan" yang dilakukan
tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan "dibiarkan" apabila tidak menyetujui
tawarannya. Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang "tidak
berlebihan" masih dapat dibenarkan secara moral. 4
Consent dapat diberikan :
Dinyatakan (expressed)
Dinyatakan secara lisan
Dinyatakan secara tertulis.
Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya
pada tindakan yang invasif atau yang berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara
bermakna. Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua
jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis. 4
Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini
tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya. 4
12
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya,
tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter
dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan
tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya. Proxy-consent adalah
consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa
pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus
mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya
(baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang dapat
memberikan proxy-consent adalah suami/isteri, anak, orang tua, saudara kandung, dll. Proxy-
consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat. Suatu kasus
telah membuka mata orang Indonesia betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu ketika
seorang kakek-kakek menurut dokter yang telah mengoperasinya hanya berdasarkan
persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak kompeten.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui
terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolut, artinya
masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini karena dokter akan mengalami
konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah
perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted, kewajiban melindungi pihak ketiga, dan
integritas etis profesi dokter. 4
Doktrin informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan, yaitu :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver),
4. Clinical privilege
5. Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.
PROSEDUR TINDAKAN MEDIS
Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika
kedokteran saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai perawatan kesehatan
13
mereka telah diabdikan dalam aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Deklarasi hak-hak
pasien dari World Medical Association menyatakan :2
“Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan yang
menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasinen konsekuensi dari
keputusan yang diambil. Pasien dewasa yang sehat mentalnya memiliki hak untuk memberi
ijin atau tidak memberi ijin terhadap prosedur diagnosa maupun terapi. Pasien mempunyai
hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya. Pasien
harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa yang akan
diperoleh dan apa dampaknya jika menunda keputusan”.
Kondisi yang diperlukan agar tercapai persetujuan yang benar adalah komunikasi yang baik
antara dokter dengan pasien. Jika dokter berhasil mengkomunikasikan semua informasi yang
diperlukan oleh pasien dan jika pasien tersebut ingin mengetahui diagnosa, prognosis, dan
pilihan terapi yang dijalani, maka kemudian pasien akan berada dalam posisi dapat membuat
keputusan berdasarkan pemahamannya tentang bagaimana menindak lanjutinya. Walaupun
istilah ijin mengandung pengertian menerima perlakuan yang diberikan, namun konsep ijin
berdasarkan pengetahuan dan pemahaman juga bermakna sama dengan penolakan terhadap
terapi atau memilih diantara beberapa alternatif terapi. Pasien yang kompeten mempunyai
hak untuk menolak perawatan, walaupun penolakan tersebut dapat menyebabkan kecacatan
atau kematian.2
Euthanasia adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas dimaksudkan
untuk mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemen berikut: subjek
tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yangtidak dapat
disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri; agen mengetahui tentang
kondisi pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama
mengakhiri hidup orang tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan
pribadi. Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebgai akibat dari rasa sakit
atau penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap
mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati. Dokter
dianggap sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai
pengetahuan medis dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian
yang cepat dan tanpa rasa sakit. 2
Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan
tindakan yang ilegal di sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar kode etik
14
kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telah
dinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia:2
“Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera,
tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya”.
Hal ini tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien
untuk membiarkan proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal. Pada tahun-
tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi
rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup. Semua dokter yang merawat
pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup ketrampilan dalam masalah ini,
dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli pengobatan
paliatif. Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap
memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.
Kemungkinan memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi,
prosedur radiologi, dan perawatan intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai
tindakan tersebut dan kapan menghentikannya jika tidak berhasil. pasien yang kompeten
mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu
dapatmenyebabkan kematian. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian; beberapa
akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli seberapapun sakit
dan menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan
yang sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia
bakteri. Jika dokter telah melakukan setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien
semua informasi tentang perawatan yang ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter
harus tetap menghormati keputusan pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu
terapi.2
PROSEDUR TERAPI
Kanker yang memasuki saat-saat terminal adalah kanker yang sudah dalam tahap stadium
lanjut yang artinya kondisi fisiknya sudah sangat buruk. 5
Perkembangan pemberian kemoterapi pada kanker kolorektal mengalami kemajuan yang
amat pesar dalam dua dasawarsa ini. Tanpa pemberian kemoterapi pasien-pasien kanker
kolon dan rektum stadium III hanya mempunyai masa bebas penyaki (DFS = disease free
survival) 3 tahun sebesar52%. Angka ini membaik dengan telah ditemukannya 5-FU bolus
(dengan atau tanpa levamizole) dengan lama pemberian 6 hingga 12 bulan. Kemudian
15
pemberian kemoterapi pada stadium II secara bermakna meningkatkan harapan hidup pasien
dari 77,4% tanpa kemoterapi menjadi 80,3% dengan kemoterapi. Sejak dekade 60-an hingga
tahun 1998, 5 FU+LV (leucovorin = asam folinat) yang diberikan 5 hari berutrut-turut
dinyatakan sebagai protokol terbaik yang diberikan selama 12 bulan. Pada tahun 2002
pemberian 5-FU secara infus dikatakan lebih aman daripada bolus dan menjadi dasar
pemberian protokol de Gramont.6
Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan kriteria :
Derajat keganasan 3 dan 4
Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah
Adanya obstruksi usus
Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah
Stadiun T4, No, Mo atau T2 dengan perforasi terlokalisasi
Tepi sayatan dengan positif untuk tumor
Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor atau
sulit ditentukan
ETIKA KEDOKTERAN
Prinsip –prinsip Etika kedokteran
Etika kedokteran merupakan cabang etik yang digunakan dalam bidang kedokteran. Etika
kedokteran digunakan dalam menentukan tindakan dalam bidang kesehatan atau kedokteran,
selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar manusia, dengan mempertimbangkan
juga hak-hak asasi pasien. 4
Dikenali empat kaedah dasar moral untuk mencapai keputusan etik. Keempat kaedah dasar
moral tersebut adalah: 4
Prinsip benificience
Merupakan prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke baikan pasien.
Dalam beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga
perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat)
Prinsip non-maleficience
16
Merupakan prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.
Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”.
Prinsip otonomi
Merupakan prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien
(the rights to self determination). Prinsip moral ini kemudian melahirkan doktrin informed
consent.
Prinsip justice
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Dari prinsip moral yang dinyatakan, didapat rules derivatnya yaitu:
Veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka)
Privacy (menghormati hak privasi pasien)
Confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
Fidelity (loyalitas dan promise keeping)
Etika Klinik
Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik
yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu :4
Medical Indication
Dalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang
sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis
ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmaleficence.
Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.
Patient Preferences
Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.
17
Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan
keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak
kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll.
Quality of Life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki,
menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa dan bagaimana melakukan
penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan
beneficence, nonmaleficence dan autonomy.
Contextual Features
Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan,
alokasi sumber daya dan faktor hukum.
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Secara khusus profesi dokter mempunyai dasar – dasar etika yang harus diamalkan dan
dijalankan setiap dokter. Maka dari itu secara khusus disebut KODE ETIK KEDOKTERAN
INDONESIA (KODEKI) , yang isinya sebagai berikut :4
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA ( KODEKI )
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi .
Pasal 3
18
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter dan kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani
pasien.
Pasal 7c
19
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kese-hatan yang menyeluruh
(promotif, prenentif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban dokter terhadap pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan semua ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mam-pu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada
dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
20
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan.
Kewajiban dokter terhadap teman sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran / kesehatan.
REKAM MEDIS
Berikut adalah acuan secara umum untuk menentukan bentuk dan isi rekam kesehatan:
Rekam medis hendaknya disusun secara sistematik untuk memudahkan pencarian dan
kompilasi data
Hanya orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh kebijakan rumah sakit saja yang
dipernolehkan mendokumentasikan dan menyimpan rekam medis
Kebijakan rumah sakit dan atau peraturan internal staf medis hendaknya
menspesifikasi siapa yang berhak menerima dan menulis perintah verbal dokter dan
tata caranya
Masukan pada rekam medis hendaknya dicatat pada saat perawatan yang diuraikan
diberikan (tidak retrospektif)
21
Penulis semua masukan harus tertera dengan jelas
Singkatan dan simbol sebaiknya hanya digunakan dalam rekam medis bila sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
Semua masukan dalam rekam medis hendaknya permanen
Untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam rekam medis, hendaknya digunakan
tata cara sebagaimana diatur dalam Permenkes no 749a tahun 1989
Bila pasien ingin mengubah isi rekam medisnya, perubahan hendaknya dibuat sebagai
addedum. Sebaiknya tidak ada perubahan pada masukan yang asli, dan perubahan
harus secara jelas merupakan dokumen tambahan yang disertakan dalam rekam medis
yang asli atas permintaan pasien, yang selanjutnya akan bertanggung jawab untuk
menjelaskan perubahan tersebut
Petugas rumah sakit harus mengembangkan, mengimplementasikan, dan
mengevaluasi kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan analisis kuantitatif
maupun kualitatif dari rekam medis
Permenkes no 749a tahun 1989 mengatur tentang lamanya retensi rekam medis hingga
setidaknya 5 tahun sejak kunjungan pasien terakhir, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat
khusus dapat ditetapkan sendiri. Selain hukum, peraturan, dan standar akreditasi, retensi
rekam medis bergantung juga kepada penggunaannya dalam suatu institusi kesehatan.
Sebagai contoh, sebuah fasilitas yang menyediakan layanan khusus untuk anak-anak
mungkin memiliki kebijakan retensi yang berbeda dengan sebuah klinik dokter keluarga.
Komite Medis dari setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menganalisis kebutuhan medis
dan administratif untuk memastikan bahwa rekam medis pasien-pasiennya selalu siap untuk
dilihat kembali, dinilai kualitasnya, dan lain-lain. Maka pada banyak kasus, institusi layanan
kesehatan meretensi rekam medis lebih lama dan ditetapkan oleh hukum. 1,7
Kerahasiaan rekam medis diatur dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “ rekam medis harus disimpan dan diajaga kerahasiannya oleh dokter atau
dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan”, hal yang sama dikemukakan pada pasal 11
Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasian Kedokteran.
Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa “ yang dimaksud dengan rahasia
22
kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang dalam oasal 3 pada waktu
atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”.
Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan
secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2): 1,7
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakkan
hukum
c. Permintaan pasien senditi
d. Berdasarkan ketentuan undang-undang
Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa :
(1) Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh doter yang merawat pasien
dengan ijin tertulis pasien
(2) Pimpianan sarana pelayanan kesehatan dapat memparkan isi rekam medis tanpa seijin
pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan
Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes N 749 a/MENKES/PER/XII/1989 menyatakan
dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas : (a) hilangnya
atau rusaknya atau pemalsuan rekam medis (b) penggunaan oleh orang atau badan yang tidak
berhak.1,7
23
Kesimpulan
Seorang dokter harus selalu menerapkan prinsip-prinsip etika kedokteran yaitu beneficient,
non malaficient, justice dan otonomi. Ini semua harus berjalan dengan baik agar dapat
menguntungkan semua pihak yang ada. Etika profesi merupakan bagian dari etika sosial yang
menyangkut bagaimana mereka harus menjalankan profesinya secara profesional agar
diterima oleh masyarakat. Dengan etika profesi diharapkan kaum profesional dapat bekerja
sebaik mungkin, serta dapat mempertanggungjawabkan tugas yang dilakukannya dari segi
tuntutan pekerjaan.
Pada kasus kita, sebagai seorang dokter maka harus membuat hubungan yang baik dengan
pasien lewat komukasi empati. Disini kita harus memberikan penjelasan yang pasien
butuhkan mengenai keadaan, prosedur pengobatan dan prosedur terapi yang seharusnya
dilakukan agar pasien lebih mengerti serta kemungkinan untuk bertahan hidup. Kita harus
memberikan semangat dan dorongan kepada pasien ini. Hal ini juga dapat dibicarakan lebih
dahulu dengan pihak keluarga pasien supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Tetapi pasien juga
memiliki hak dalam mengambil setiap keputusan, maka dari itu, sebagai seorang dokter kita
harus selalu menghargai keputusan tersebut.
24
Daftar Pustaka
1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peraturan
Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta. 1994.h 11-25.
2. Univeritas Muhamadiyah Yogyakarta. World Medical Association Medical Ethics
Manual. Diunduh tanggal 7 Januari 2014.
3. Karo-Karo, Andre. 1987. Euthanasia. Penerbit Erlangga. Jakarta.
4. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. h.30-1; 49-51.
5. Angga Suryaga. Pekerja sosial, perawatan paliatif dan stadium terminal. Diunduh dari
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123650-SK%20006%2009%20Yus%20p%20-
%20Peran%20pekerja-Literatur.pdf. 7 Januari 2014.
6. Universitas Andalas. Deteksi dini, diagnosa dan penatalaksanaan kanker kolon dan
rektum. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/12202/1/Deteksi_Dini,_Diagnosa_dan_Penatalaksanaan_Ka
nker_Kolon_dan_Kerektum.pdf. 7 Januari 2014.
7. Basbeth F. Rekam medis. Diunduh dari
http://www.freewebs.com/medicalrecord/definisirekammedis.htm. 7 Januari 2014.
25