repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48073/1/ahmad sauqi... ·...
TRANSCRIPT
v
ABSTRAK
AHMAD SYAUQI ROBBI, NIM 11140480000069, “KEABSAHAN
TRANSAKSI JUAL BELI PROPERTI MENGGUNAKAN SISTEM PRE
PROJECT SELLING DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN (Studi
Kasus Proyek Meikarta Cikarang Kabupaten Bekasi)”, Konsentrasi Hukum
Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441H/2019M, ix + 77 halaman + 4 halaman daftar pustaka .
Studi ini bertujun untuk mengetahui pemasaran apartemen Meikarta
yang dilakukan dengan cara pre project selling dimana penjualan dilakukan
ketika bangunan belum jadi dengan menandatangani Perjanjian Pengikatan
Jual Beli. Skripsi ini membahas mengenai keabsahan transaksi jual beli properti
menggunakan sistem pre project selling ditinjau dari hukum perjanjian dan
tanggung jawab hukum pengembang (developer) bagi para pembeli satuan unit
properti Meikarta secara Pre Project Selling.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode
penelitian normatif. Data penelitian dikumpulkan dengan cara studi
kepustakaan melalui metode pendeketan terhadap undang-undang yang berkaitan
dengan studi ini yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Rumah Susun.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) satuan unit apartemen Meikarta yang melibatkan para pihak antara
pengembang (developer) dan pembeli adalah tidak sah dan batal demi hukum
karena terdapat persyaratan yang belum terpenuhi yaitu suatu hal tertentu dan
kausa yang halal sebagaimana persyaratan tersebut ditentukan dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta pihak pengembang (developer)
dapat dimintai pertanggungjawaban atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh
pembeli sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengingat segala aspek legalitas (perizinan) yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, pengembang
(developer) sebelum membangun apartemen Meikarta seperti Izin Analisis
Dampak Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan belum dipenuhi oleh
pihak pengembang (developer) apartemen Meikarta.
Kata Kunci : Tanggung Jawab, Pengembang (developer), Pre Project Selling.
Pembimbing Skripsi : M. Yasir, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1992 – Tahun 2015
vi
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن هللا بسم
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,
hidayat, dan juga anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI PROPERTI MENGGUNAKAN
SISTEM PRE PROJECT SELLING DITINJAU DARI HUKUM
PERJANJIAN (Studi Kasus Proyek Meikarta Cikarang Kabupaten Bekasi)”.
Sholawat serta salam tidak lupa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman
islamiyah pada saat ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung
atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. M. Yasir, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi, atas kesempatan waktu, arahan, dan
kritik, serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... . i
HALAMAN PERSETUJUAN PEEMBIMBING ........................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. iii
LEMBAR PENYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I: PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .................... 5
1. Identifikasi Masalah ............................................................... 5
2. Pembatasan Masalah ............................................................. 6
3. Perumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
D. Metode Penelitian ...................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II: PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH SUSUN ........................... 11
A. Kerangka Konseptual ................................................................. 11
1. Perjanjian Pada Umumnya ..................................................... 11
2. Rumah Susun ......................................................................... 19
B. Kerangka Teori ........................................................................... 26
1. Teori Kepastian Hukum ......................................................... 26
2. Teori Tanggung Jawab ........................................................... 27
C. Tinjauan(Review) Kajian terdahulu ............................................ 30
BAB III: HUBUNGAN HUKUM DALAM TRANSAKSI JUAL BELI
PROPERTI MENGGUNAKAN SISTEM PRE PROJECT
SELLING ....................................................................................... 33
A. Penjualan Satuan Rumah Susun Menggunakan Sistem Pre
Project Selling ............................................................................. 33
B. Proses Transaksi Jual Beli Satuan rumah Susun ........................ 35
ix
C. Aspek Legalitas Yang Harus Diperhatikan Sebelum Melakukan
Proses Transaksi Jual Beli Satuan rumah Susun ........................ 42
BAB IV: KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI DAN
TANGGUNG JAWAB PENGEMBANG (DEVELOPER)
DALAM PENJUALAN SATUAN UNIT PROPERTI
MEIKARTA MENGGUNAKAN SISTEM PRE PROJECT
SELLING ........................................................................................ 48
A. Keabsahan Perjanjian Jual Beli dalam Penjualan Satuan
Unit Apartemen Meikarta Secara Pre Project Selling ................... 48
B. Tanggung Jawab Pengembang (Developer) dalam
Penjualan Satuan Unit Apartemen Meikarta Secara Pre
Project Selling ............................................................................. 62
BAB V: PENUTUP ...................................................................................... 75
A. Kesimpulan ................................................................................. 75
B. Rekomendasi ............................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat
dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin
secara adil dan merata.1 Sebagaimana diketahui, Negara Indonesia merupakan
suatu negara yang sedang membangun (developing country), dimana pada saat
ini sedang giat melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik
pembangunan di bidang fisik antara lain seperti jalan raya, jembatan
penyebrangan, pasar, pertanian dan irigasi maupun di bidang non fisik yang
diantaranya meliputi pembangunan manusia, ekonomi, kesehatan, pendidikan.
Beberapa tahun terakhir ini perkembangan pembangunan perumahan yang
terdapat di kota-kota besar dalam bentuk rumah susun komersial seperti
apartemen dan kondominium memang terjadi peningkatan yang cepat dan
persaingan yang sangat ketat dalam menarik konsumen. Hal tersebut
dikarenakan rumah susun memiliki konsep hunian bertingkat yang dianggap
lebih praktis dan efisien di kota besar yang memiliki jumlah penduduk tinggi
namun dengan lahan yang sangat terbatas,2 Maka dengan adanya peningkatan
yang sangat cepat akan kebutuhan masyarakat akan papan tersebut
menimbulkan cara yang praktis dan cepat dalam menjual properti baik yang
berbentuk perkantoran, perumahan maupun apartemen yang dilakukan oleh
para pengembang (developer) terutama oleh divisi marketing (pemasaran)
yang dikenal dengan sistem Pre Project Selling.
Pre Project Selling ini merupakan konsep pemasaran yang menjadi tren
pada saat ini di Indonesia terutama bagi para pengembang proyek pemukiman
1Djumialdji, Hukum Bangunan: Ctk. Pertama, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h. 1 2Vinna Khairunissa, Tanggung Jawab Pengembang (Developer) dalam Penjualan Satuan
Unit Apartemen Meikarta Secara Pre Project Selling.(Program Studi (S1) Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2018),
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/6663/Cover%20Skripsi.pdf%20new.pdf?sequ
ence=1 diakses 19 Februari 2019 Pukul 15.00 WIB
2
(developer). Walaupun sebenarnya sejak tahun 1967, hukum Perancis telah
berurusan dengan penjualan unit dari suatu rencana pembangunan
menggunakan tipe perjanjian khusus, yang dikenal sebagai penjualan sebuah
bangunan yang akan dibangun (a sale of a building to be constructed / vente
d‟immeuble a‟construire).3
Berbicara dasar hukum pada konsep Pre Project Selling tidak lepas dari
beberapa peraturan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman,
serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Undang-
undang tersebut seringkali digunakan sebagai acuan untuk proses Pre Project
Selling yang mengatur secara umum tentang pembangunan rumah susun baik
secara vertikal atau horizontal. Dalam pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 menggunakan Perjanjian Pendahuluan untuk Proses Pre
Project Selling sedangkan dalam pasal 42 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 mengguunakan Perjanjian bersyarat.4
Ketentuan kunci dalam konsep Pre Project Selling terdapat dalam pasal 42
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang syarat pemasaran
sebelum pembangunan yang harus memenuhi 5 ketentuan yakni Kepastian
peruntukan ruang, Kepastian hak atas tanah, Kepastian penggunaan rumah
susun, Perizinan pembangunan rumah susun, dan Jaminan dari lembaga
penjamin. Kelima syarat tersebut bersifat komulatif artinya kelimanya harus
terpenuhi semua ketika developer ingin melakukan Pre Project Selling. Prof.
Sogar menambahkan jika 5 ketentuan tersebut tidaklah terpenuhi maka
pengembang (developer) dapat dikenakan sanksi.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 mengenal sanksi administrasi dan sanksi pidana,
sedangkan sanksi perdata pada dasarnya dapat saja ditempuh dengan dalih
wanprestasi. Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian antara penjual
3Cornelius Van Der Merwe, European Condominium Law, (Cambridge University Press,
2015), h. 98 4http : // mkn.fh.unair.ac.id / penegakan – hukum – pada – bisnis – properti -dengan-pola-
pre-project-selling/?lang=id diakses 19 Februari 2019
3
dan pembeli sebelum dilaksanakan jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut, antara lain sertifikat belum ada
karena masih dalam proses belum terjadinya pelunasan harga,5Atau Perjanjian
Pengikatan Jual Beli inilah yang digunakan sebagai pedoman dalam
melaksanakan transaksi sampai selesai proses kepemilikan. Proses transaksi
ini merupakan konsekuensi dari strategi pemasaran pre project selling.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam sistem ini merupakan cara
pengembang untuk mendapatkan dana/modal dengan mudah untuk
menjalankan bisnis karena pengembang akan melakukan pembangunan
setelah mendapat dana dari uang muka pembeli dan tanpa membayar bunga.
Di sisi lain dengan adanya proses Perjanjian Pengikatan Jual Beli juga
memberikan kemudahan bagi calon pembeli untuk mendapatkan rumah
dengan biaya yang terjangkau karena hanya perlu membayar uang muka
terlebih dahulu.
Pada 11 September 2017,6 Chief Executive Officer (CEO) Lippo Group,
James Riady meminta maaf sehubungan dengan pemasaran Meikarta yang
dilakukan sebelum proses perizinan selesai. Meikarta adalah pembangunan
kota baru dengan daya tampung mencapai dua juta penghuni melalui
pembangunan 400.000 perumahan serta terdapat 200 gedung berlantai 35-46
lantai dengan total luasan mencapai 500.000 meter persegi di Cikarang
Selatan, Bekasi, Jawa Barat. Sejak pembangunan Meikarta diwacanakan telah
berkembang isu ketidaklengkapan perizinan proyek ini. Bahkan pada 31 Juli
2017, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengeluarkan surat
peringatan yang meminta proses pembangunan dan pemasaran Meikarta untuk
sementara dihentikan sampai proses perizinan selesai. Namun, permintaan
tersebut tidak diindahkan, proses pembangunan dan pemasaran tetap berjalan
bahkan bertepatan dengan hari kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2017, Grand
5 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi&Implementasi,
(Jakarta: Buku Kompas, 2005), h. 161 6 Suhendra, Dimana Hak Konsumen dalam Polemik Perizinan Meikarta, terdapat dalam
https://tirto.id/di-mana-hak-konsumen-dalam-polemik-perizinan-meikarta-ctLE diakses tanggal 19
Februari 2019 pukul 14.30 WIB
4
Launching produk ini tetap dilakukan dan 99.300 unit telah dipesan
konsumen.
Kasus seperti Meikarta bukanlah yang pertama, sebelumnya ada kasus
Apartemen Kalibata City. Pengembang Apartemen Kalibata City telah
melakukan pemasaran apartemen untuk 25 lantai pada saat izin belum
sepenuhnya didapatkan. Dengan alasan keselamatan penerbangan, Pemda DKI
hanya mengeluarkan izin untuk 20 lantai. Akhirnya pengembang tidak bisa
memenuhi janji untuk melakukan pembangunan terhadap lantai 21-25
sehingga timbulah sengketa antara pengembang dengan konsumen yang telah
terlanjur memesan. Kemudian pada tahun 2016, Apartemen Bintaro Icon juga
sempat disegel Satpol PP Kota Tangsel karena tidak memiliki izin mendirikan
bangunan (IMB) padahal launching penjualan telah dilakukan semenjak Juli
2013. Akibat penyegelan, konsumen resah dan menunda pembayaran
angsuran sampai proses perizinan diselesaikan. Maraknya masalah terkait
pemasaran apartemen membuat penulis tertarik untuk mengetahui
permasalahan hukum dalam praktik pemasaran apartemen khususnya terkait
pre-project selling.7
Pada praktiknya pre-project selling sering dilakukan sebelum izin
diterbitkan. Hal ini tidak saja melanggar undang-undang tapi juga berpotensi
menempatkan konsumen dalam situasi penuh risiko akan terjadinya
wanprestasi (prestasi buruk), yang berupa:
1. Tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan
2. Terlaksana tetapi tidak tepat waktu (terlambat)
3. Terlaksana tetapi tidak seperti yang diperjanjikan
4. Dilaksakan akan tetapi menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Kenyataan yang sering terjadi, bahwa dalam prakteknya sering terjadi
permasalahan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan sistem pesan
bangun ini adalah baik dari segi pembeli ataupun dari penjual sendiri yang
tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut.
7https : // tirto.id / di-mana-hak-konsumen-dalam-polemik-perizinan-meikarta-ctL diakses
tanggal 19 Februari 2019 pukul 15.20 WIB
5
Tidak jarang juga harga jual rumah yang tinggi tidak diimbangi dengan
pelayanan yang baik kepada konsumen perumahan, misalnya kualitas
bangunan, pelayanan pra jual ataupun purna jual, dan sebagainya yang
menimbulkan kekecewaan pada konsumen.
Dengan melihat latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian mengenai penjualan Meikarta secara Pre Project Selling antara
pihak pengembang (developer) dengan konsumen. Untuk selanjutnya dari
penelitian itu akan peneliti tuangkan kedalam bentuk skripsi dengan judul:
“Keabsahan Transaksi Jual Beli Properti Menggunakan Sistem Pre
Project Selling Ditinjau Dari Hukum Perjanjian (Studi Kasus Proyek
Meikarta Cikarang Kabupaten Bekasi).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Maraknya praktik pre project selling yang menyimpang dari aturan
perundang-undangan terjadi akibat adanya kelemahan dari aturan hukum
yang mengatur, yaitu:
a. Adanya ketidakjelasan aturan terkait pemasaran dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 maupun Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
b. Tidak adanya harmonisasi antara Pasal 42 dengan Pasal 45 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman sehingga menimbulkan celah hukum bagi pengembang
untuk tetap melakukan pemasaran meski izin belum dikantongi.
c. Tidak ada ketentuan sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran baik terhadap Pasal 42 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 Tentang Rumah Susun dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
d. Kurangnya pengawasan pemerintah terhadap sistem pre project selling
ini sendiri.
6
2. Pembatasan Masalah
Mengingat cakupan identifikasi masalah di atas cukup luas dan
nantinya akan ada keterbatasan dari peneliti secara keseluruhan maka
penelitian hanya akan dibatasi pada keabsahan perjanjian pengikat jual
beli serta tanggungjawab pihak pengembang (developer) terhadap
transaksi jual beli satuan unit properti Meikarta dengan menggunakan
metode Pre Project Selling sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
3. Perumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka peneliti
merumuskan masalah terhadap keabsahan transaksi jual beli properti
menggunakan sistem Pre Project Selling (Studi kasus proyek Meikarta
Cikarang Kabupaten Bekasi). Untuk mempertegas arah dari masalah
utama yang telah diuraikan di atas maka penulis menjabarkan perumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan perundang-undangan mengatur jual beli
apartemen secara Pre Project Selling ?
b. Bagaimana Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam
penjualan satuan unit apartemen Meikarta secara Pre Project Selling ?
c. Bagaimana tanggung jawab hukum pengembang (developer) bagi para
pembeli satuan unit properti Meikarta secara Pre Project Selling ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang akan penulis laksanakan adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan
yang mengatur jual beli atas apartemen secara pre project selling.
7
b. Untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab pengembang
(developer) bagi para pembeli yang diatur dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli secara pre project selling.
c. Untuk mengetahui keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
dalam penjualan satuan unit apartemen Meikarta secara pre project
selling.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam tujuan penelitian, maka
manfaat yang dapat diberikan adalah :
a. Manfaat Teoritis
1) Memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan
mengenai keabsahan perjanjian pengikatan jual beli satuan unit
apartemen secara Pre Project Selling.
2) Memberikan kontribusi pengembangan pengetahuan mengenai
tanggung jawab bagi pengembang (developer) dalam penjualan
satuan unit apartemen secara Pre Project Selling, sesuai dengan
peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Manfaat Praktis
1) Agar masyarakat khususnya pengembang (developer) mengetahui
akan tanggung jawabnya dalam melakukan penjualan satuan unit
properti secara Pre Project Selling sehingga dikemudian hari
dapat mengantisipasi dan terhindar dari kerugian yang akan
terjadi.
D. Metode Penelitian
Agar dapat memenuhi tujuan dan mewujudkan penelitian ini,
penulismenggunakan metode sebagai berikut :
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif. Pendekatan
hukum normatif yaitu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
8
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, yang dibangun
berdasarkan objek hukum itu sendiri. 8 Penelitian hukum normatif
merupakan objek kajian yang meliputi keputusan pengadilan, serta
literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok bahasan. Tipe
penelitian hukumnya adalah analisis yuridis dari norma-norma hukum
yang berkaitan dengan pokok bahasan terutama dalam proses penyelesaian
perkara perdata.
2. Sifat Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perbandingan dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dan dianalisis dengan
menggunakan metode yuridis kuantitatif, yang hasilnya ditampilkan dalam
bentuk uraian secara deskriptif.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Sumber Data
Berdasarkan pendekatan masalah yang digunakan, maka sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Penelitian perpustakaan (Library Research), yakni bersumber dari
bahan pustaka, buku, literatur yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.9
2) Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan kasus (Case Approach), dimana penelitian ini
dilakukan dengan menelaah Undang-undang dan regulasi yang
bersangkut-paut dengan isu hukum.
b. Jenis Data
Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Data primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum (perundang-undangan) Peraturan
perundang-undangan yangberkaitan dengan masalah yang dikaji.
8 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya :
Bayumedia Publishing, 2005), h. 57 9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Pers, 2008), h. 11
9
2) Data sekunder adalah data yang sudah dioleh dan dapat langsung
dipergunakan, data sekunder berupa:
a) Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan pokok pembahasan,
berbentuk peraturan perundang-undangan.10 Dalam penelitian
ini, sesuai dengan isu yang diangkat bahwa peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah :
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah
Susun.
(3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011Tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang
Rumah Susun.
(5) SK Menteri Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995
Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.
b) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan dan penafsiran tentang hukum melalui literatur-
literatur, hasil penelitian, jurnal dan data-data serupa yang
ditulis oleh para sarjana hukum. Atau dengan kata lain data ini
adalah data yang digunakan untuk melengkapi data primer.
c) Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang membantu dalam penjelasan istilah-
istilah yang akan timbul dalam bahan hukum primer dan
sekunder. Bahan hukum tersier dapat berupa kamus-kamus dan
ensiklopedia.11
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, … h. 11 11Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum Pengantar, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h.
134
10
4. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan yang sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar memudahkan
dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan diuraikan menjadi
5 (lima) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I : Pada bab ini menyajikan Pendahuluan memuat secara
keseluruhan mengenai latar belakang masalah, identifikasi
masalah, rumusan, dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian.
BAB II : Pada bab ini menyajikan kajian pustaka, yaitu kajian teoritis
dan review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu. Pertama
pembahsan bab diawali dengan pemaparan kerangka konsep,
kedua menjelaskan teori yang digunakan untuk menganalisis
dan menginperpretasi data penelitian.
BAB III : Pada bab ini menyajikan data penelitian. Penyediaan data
berupa deskripsi data yang berkenaan dengan variabel yang
diteliti secara objektif.
BAB IV : Pada bab ini menyajikan Tentang Analisis dan Interpretasi
Temuan. Analisis data penelitian mencakup empat aspek, yaitu:
mendeskripsikan, mengelompokan atau mengkategorisasi,
menghubungkan bagian tertentu dari data dengan data lainnya.
BAB V : Pada bab ini menyajikan penutup. Berisikan rekomendasi yang
diambil dari uraian/deskripsi yang menjawab masalah
berdasarkan data yang diperoleh, serta rekomendasi.
11
BAB II
PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH SUSUN
A. Kerangka Konseptual
Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini, disamping adanya
kerangka teoritis juga diperlukan kerangka konseptual yang merumuskan
defenisi-defenisi yang berhubungan dengan judul penulis yaitu:
1. Meikarta adalah sebuah nama apartemen yang dibangun di kawasan
Cikarang, Kabupaten Bekasi.
2. Pre project selling adalah strategi penjualan rumah susun dengan cara
memasarkan rumah susun yang belum selesai dibangun atau bahkan
belum dibangun.
3. Perjanjian jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas
4. Apartemen adalah bangunan gedung yang bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dimiliki dan
digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi bagian-bagian bersama dan tanah bersama.
1. Perjanjian Pada Umumnya
a. Pengertian Perjanjian
Teori perjanjian digunakan dalam penelitian ini untuk membahas
rumusan masalah pertama. Pencetus teori perjanjian menurut Salim
H.S adalah Van Dunne. Menurut Van Dunne sebagaimana dikutip
Salim H.S mengatakan perjanjian yang selama ini dikenal memandang
perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum. Namun dalam teorinya Van
Dunne seperti dikutip Salim H.S menegaskan perjanjian bukan suatu
perbuatan hukum melainkan hubungan hukum. Perjanjian menurut
teori Van Dunne ini ditafsirkan sebagai suatu hubungan hukum
12
penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum penerimaan dari pihak
lain. Mengingat disini ada penawaran dan penerimaan oleh para pihak,
maka tentunya dalam perjanjian menurut Van Dunne juga melibatkan
kata sepakat yang dapat menimbulkan akibat hukum.1
Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada
orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dalam perjanjian ini timbul suatu hubungan hukum antara
dua orang tersebut atau perikatan.2
Pengertian perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian
adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak,
dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melaksanakan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.3
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari
pengertian perjanjian pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dapat diuraikan bahwa unsur-unsur perjanjian adalah :
1) Suatu perbuatan
2) Ada dua orang/lebih
3) Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang
melakukan perjanjian tersebut.
R. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu
timbulah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan
perikatan.4
1Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2011), h.2 2Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, (Jakarta : Cakrawala, 2012), h. 8 3 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : CV Mandar Maju,
2000), h. 4 4 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Jakarta : Alfabeta, 2004), h. 74
13
b. Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga
unsur dalam perjanjian :5
1) Unsur Esensialia dalam Perjanjian
Unsur Esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-
ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah
satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian
tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian
lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam
memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu
perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli dibedakan dari perjanjian
tukar menukar, jual beli menurut ketentual Pasal 1457 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah :
“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang dijanjikan.”
Tukar menukar menurut Pasal 1541 Kitab Undang-Undang
Hukum perdata adalah :
“Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak
mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara
timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.”
Dengan rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1541 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dapat kita ketahui bahwa jual beli
dibedakan dari tukar menukar dalam wujud pembayaran harga.
Jadi jelas bahwa unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada
dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut,
maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan
diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan
karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para
pihak.6
5 Kartini Muljadi et.al., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 84 6 Kartini Muljadi et.al., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, ... h. 84
14
2) Unsur Naturalia dalam Perjanjian
Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh hukum
diatur tetapi dapat dikesampingkan oleh para pihak. Bagian ini
merupakan sifat alami (nature) perjanjian secara diam-diam
melekat pada perjanjian, seperti penjual wajib menjamin bahwa
barang tidak ada cacat (vrijwaring).7 Contoh lainnya, berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penjual wajib
menanggung biaya penyerahan. Ketentuan ini berdasar
kesepakatan dapat dikesampingkan para pihak.
3) Unsur Accidentalia dalam Perjanjian
Unsur Accidentalia adalah unsur yang merupakan sifat pada
perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.
Misalnya, di dalam suatu perjanjian jual beli tanah, ditentukan
bahwa jual beli ini tidak meliputi pohon atau tanaman yang berada
di atasnya
c. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
meliputi ruang lingkup sebagai berikut :8
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian.
c) Kebebasan menentukan atau memilih klausa dari perjanjian yang
akan dibuatnya.
d) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
7 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian
Pertama),(Yogyakarta : FH UII Press, 2014), h. 67 8 Hasanuddin Rahman, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis Contract Drafting,
(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 15-16
15
e) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f) Kebebasan menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional.
2) Asas Konsensualisme
Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak
(concencus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat
bebas, tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup
melalui konsensus belaka.9
Asas konsensualisme tidak mensyaratkan suatu kontrak harus
dibuat dalam bentuk yang tertulis, kecuali beberapa bentuk dari
kontrak yang harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebagai contohnya
adalah kontrak perdamaian, kontrak pertanggungan dan kontrak hibah.
3) Asas Kepastian Hukum
Ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, selain mencerminkan
asas kebebasan berkontrak juga mencerminkan asas pacta sunt
servanda. Asas ini mempunyai maksud bahwa perjanjian mengikat
kedua belah pihak dan perjanjian merupakan undang-undang bagi
pihak yang melakukan perjanjian. Asas pacta sunt servanda dapat
dikatakan sebagai asas mengikatnya perjanjian. Jadi para pihak yang
terkait diharuskan menghormati perjanjian tersebut sebagaimana
menghormati undang-undang. Seandainya para pihak tidak
melaksanakan perjanjian seperti apa yang telah disepakati dan
diperjanjikan, maka akan mempunyai akibat seperti halnya jika para
pihak tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan, yaitu
dengan suatu sanksi tertentu.10
4) Asas Itikad Baik
9Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta : Penerbit Ombat, 2013), h. 12 10 Hasanuddin Rahman, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis Contract Drafting,
(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 15-16
16
Tercantum dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi
: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
Isi dari perjanjian turut ditentukan oleh itikad baik, kepatutan dan
kepantasan. Bukannya itikad baik dan kepatutan yang mengubah
perjanjian, tetapi justru menetapkan apa sebenarnya isi dari perjanjian
itu.11
Pembatasan terhadap asas itikad baik yaitu cara melaksanakan
suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan
keadilan. Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan yang terlalu
menyinggung rasa keadilan. Asas itikad baik ini diartikan dalam dua
pengertian :
a) Asas itikad baik dalam pengertian subjektif, itikad baik pada waktu
membuat perjanjian yang berarti kejujuran dan keadilan dari para
pihak.
b) Asas itikad baik dalam pengertian objektif, yaitu itikad baik dalam
tahap pelaksanaan yang berarti kepatutan yaitu suatu penilaian baik
terhadap tindak tanduk salah satu pihak dalam hal melaksanakan
perjanjian.
d. Syarat-Syarat Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah (1)
Sepakat mereka yang mengikatkan diri; (2) kecakapan untuk membuat
suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; (4) Suatu sebab
yang tidak terlarang.
11 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1992), h. 374
17
Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum
yang berkembang, digolongkan ke dalam : (1) Dua unsur pokok yang
menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur
subjektif), dan (2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan
langsung dengan obyek perjanjian (unsur objektif).12
Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas
dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi
keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang
diperjanjikan, dan klausa dari objek yang berupa prestasi yang
disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum.
1) Syarat Subjektif
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah
pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di
dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan
persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati.13
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan
bahwa ia mengehendaki timbulnya hubungan hukum.
Kesesuaian kehendak antara dua saja belum melahirkan
perjanjian, karena kehendak tersebut harus dinyatakan, harus
nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti
olehpihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah
menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbulah kata
sepakat.14
12 Kartini Muljadi et.al., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 93-94 13 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang timbul dari Perjanjian, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1995), h. 164 14 R.M. Panggabean, “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”, Jurnal Hukum, Edisi
No. 4 Vol. 17, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 2010), h. 5
18
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau
kata sepakat tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut, yaitu
adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan
(dwaling), dan adanya penipuan (bedrog), dan dalam
perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat kehendak yang
lain, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden).15
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Untuk membuat suatu perjanjian para pihak harus cakap.
Cakap disini menurut hukum adalah seseorang yang memiliki
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menentukan siapa
saja pihak yang tidak cakap, yaitu :
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada di bawah pengampuan
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu.
2) Syarat Objektif
a) Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu atau adanya obyek perjanjian yaitu
prestasi pokok perjanjian. Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi
dapat berupa perbuatan positif atau perbuatan yang negatif,
artinya prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Prestasi harus dapat
ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan
uang. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1332 KUH
15 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang timbul dari Perjanjian (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1995), h. 268
19
Perdata yaitu bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian.
Pasal 1333 KUH Perdata bahwa barang yang diperjanjikan
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1334 KUH
Perdata menetapkan bahwa barang-barang yang baru akan ada
dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Yang
tidak diperbolehkan adalah memperjanjikan untuk melepaskan
suatu warisan yang belum terbuka.
b) Suatu sebab yang halal.
Menurut Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu klausa
dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu klausa dikatakan
bertentangan dengan undang-undang, jika klausa di dalam
perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku.
Klausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila
bertentangan dengan ketertiban umum. J. Satrio memaknai
ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan
dalam masyarakat, dan karenanya dapat dikatakan berkaitan
masalah ketatanegaraan.
2. Rumah Susun
a. Pengertian Rumah Susun
Rumah Susun Di Barat, seperti Amerika Serikat rumah susun
ini biasa disebut apartement, tetapi di Belanda biasa disebut flat.
Mereka umumnya menggunakan istilah yang sama, baik untuk
rumah susun yang dihuni oleh lapisan masyarakat kelas atas,
menengah, maupun bawah.16 Di Indonesia ada kecenderungan
16Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h.
156
20
bahwa istilah rumah susun digunakan oleh penghuni lapisan
masyarakat bahwa dengan sarana dan perlengkapan rumah yang
sederhana. Sedangkan rumah susun bagi penghuni lapisan
masyarakat atas, dengan sarana yang mewah dan modern sering
disebut apartement.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 Tentang Rumah Susun menyatakan bahwa rumah susun
adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.
Pengertian bagian bersama dalam Pasal 1 angka 5 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, adalah
bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan rumah
susun. Pengertian benda bersama, dalam Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, adalah
benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, melainkan
bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama. Tentang tanah bersama dalam Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
adalah sebidang tanah atau tanah sewa untuk bangunan yang
digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di
atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam
persyaratan izin mendirikan bangunan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah
Susun menetapkan empat jenis rumah susun, yaitu :
21
1) Rumah Susun Umum
Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.17
2) Rumah Susun Khusus
Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan khusus.
3) Rumah Susun Negara
Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana
pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat
dan/atau pegawai negeri.
4) Rumah Susun Komersial
Rumah susun komersial adalah rumah susun yang
diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan khususnya
bagi developer atau pengembang. Pendanaan untuk rumah
susun komersial sendiri berasal dari para investor.18
b. Asas-asas Pembangunan Rumah Susun
Pembangunan rumah susun di Indonesia berlandaskan pada:19
1. Asas Kesejahteraan Umum
Dipergunakan sebagai landasan pembangunan rumah susun
dengan maksud bahwa pembangunan rumah susun dilakukan
untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh
rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pemenuhan
17 Urip Santoso, Hukum Perumahan ,(Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
409 18Falah Meydiandra dan Indri Fogar Susilowati,“Problematika Pembentukan
Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun di Apartemen Metropolis Surabaya”, Jurnal
Novum, Edisi No. 2 Vol. 3, (Universitas Negeri Surabaya, 2017), h. 2 19Urip Santoso, Hukum Perumahan,(Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
157
22
kebutuhan akan perumahan sebagai kebutuhan dasar bagi
setiap Warga Negara Indonesia dan keluarganya.
2. Asas Keadilan dan Pemerataan
Asas ini memberikan landasan agar pembangunan rumah
susun dapat dinikmati secara merata, dan tiap-tiap warga
negara dapat menikmati hasil-hasil pembangunan perumahan
yang layak.
3. Asas Keserasian dan Keseimbangan dalam Peri Kehidupan
Asas ini mewajibkan adanya keserasian dan keseimbangan
antara kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan rumah
susun, untuk mencegah timbulnya kesenjangan-kesenjangan
sosial.
c. Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun
Pelaku pembangunan rumah susun adalah setiap orang dan/atau
Pemerintah yang melakukan pembangunan perumahan dan
pemukiman. Yang dimaksud orang adalah orang perorangan atau
badan hukum. Badan hukum adalah badan hukum yang didirikan oleh
warga negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan
perumahan dan pemukiman.20 Pelaku pembangunan rumah susun
dapat berupa perorangan atau badan hukum, yaitu:
1) Perorangan Warga Negara Indonesia
2) Perorangan Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia
3) Badan Usaha Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
4) Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum
Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas)
5) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
6) Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, Badan
Otorita.
20Urip Santoso, Hukum Perumahan, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
411
23
Hendaknya perlu diingat ketentuan Permendagri No. 5 tahun 1974
Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian
Tanah untuk Keperluan Perusahaan bahwa :21
“Badan penyelenggara pembangunan perumahan harus berbentuk
badan hukum yang didirikan di Indonesia, berkedudukan di Indonesia.
Jika badan tersebut bermodal asing, harus berbentuk suatu perusahaan
campuran atau patungan (joint venture) dengan modal nasional, sesuai
dengan kebijaksanaan penanaman modal”.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
menetapkan pelaksanaan pembangunan rumah susun, yaitu :
1) Pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan
rumah susun negara merupakan tanggung jawab Pemerintah.
2) Pembangunan rumah susun umum yang dilaksanakan oleh setiap
orang mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan pemerintah.
3) Pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus dapat
dilaksanakan oleh badan nirlaba dan badan usaha.
4) Pembangunan rumah susun komersial dapat dilaksanakan oleh
setiap orang.
d. Kewajiban Penyelenggara Pembangunan dalam Pembangunan
Rumah Susun
Penyelenggara pembangunan bangunan sistem rumah susun
menurut ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 Tentang Rumah Susun mempunyai kewajiban sebagai
berikut “Memisahkan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun
yang meliputi bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama
dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-
batasnya dalam arah vertikal dan horizontal dengan akta pemisahan.
Dengan demikian, akta pemisahan rumah susun menjadi tanda bukti
21Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman,
(Malang : Bayumedia, 2004), h. 23
24
pemisahan rumah susun menjadi satuan-satuan rumah susun, bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama”.22
Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Rumah Susun ditetapkan bahwa pelaku pembangunan rumah susun
wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada
Bupati/Walikota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian
pembangunan rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB).23
Yang dimaksud dengan laik fungsi adalah berfungsinya seluruh
atau sebagian bangunan rumah susun yang dapat menjamin
dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan rumah
susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam Izin Mendirikan
Bangunan (IMB).24
Pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan
rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai
rumah susun komersial yang dibangun. Kewajiban tersebut dapat
dilakukan di luar lokasi kawasan rumah susun komersial pada
kabupaten/kota yang sama.
e. Tanah Tempat Pembangunan Rumah Susun
Menurut Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang rumah Susun, rumah susun hanya dapat dibangun di atas
tanah:
1) Hak Milik
Pelaku pembangunan rumah susun yang membangun rumah susun
di atas tanah Hak Milik adalah warga negara Indonesia, bank
pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial.
22 Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, (Malan
g : Bayumedia, 2004), h. 38 23Urip Santoso, Hukum Perumahan,(Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
416 24Urip Santoso, Hukum Perumahan,(Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
417
25
2) Hak Guna Bangunan atas tanah negara
Pelaku pembangunan rumah susun yang membangun rumah susun
di atas tanah Hak Guna Bangunan atas tanah negara adalah warga
negara Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, misalnya badan usaha
swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).25
3) Hak Pakai atas tanah negara
Pelaku pembangunan rumah susun yang membangun rumah susun
di atas tanah Hak Pakai atas tanah negara adalah warga negara
Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
Kementerian, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Otorita,
badan keagamaan, badan sosial, badan usaha swasta yang
berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
4) Hak Pakai atas tanah
Hak Pengelolaan Pelaku pembangunan rumah susun yang
membangun rumah susun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan adalah Badan Usaha Miliki Negara yang berbentuk
Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum
Perumnas). Sebagai ketentuan lain yang secara khusus menentukan
untuk melindungi kepentingan para pembeli satuan rumah susun
(SRS), maka pengembang (developer) harus menyelesaikan status
hak guna bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL) itu.
Sebelum itu tidak boleh menjual satuan rumah susun yang telah
selesai dibangun. Artinya pengembang (developer) harus
menyelesaikan status tanah dari HPL menjadi HGB, baru dapat
menjual satuan rumah susun.
25Urip Santoso, Hukum Perumahan, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
412
26
B. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka konsep, landasan teori, atau
paradigma yang disusun untuk menganalisis dan memecahkan masalah
penelitian atau untuk merumuskan hipotesis. Penyajian landasan teoritik
disajikan dengan pemilihan satu atau sejumlah teori yang relevan untuk
kemudian dipadukan dalam satu bangunan teori yang utuh. Dalam hal ini
penulis akan menggunakan beberapa teori diantaranya :
1. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-
Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman
bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.26
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian
hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis Mengutamakan kemanfaatan
hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras
dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan
demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-
satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.27
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
26Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 158 27Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum, (Yogya
karta : Laksbang Pressindo, 2010), h.59
27
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu.28
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan
aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu
diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu
aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan
atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian hukum.29
2. Teori Tanggung Jawab
Tanggung jawab (Product Liability) dapat didefinisikan sebagai
suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk, dari orang atau badan yang bergerak dalam
suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau mendistribusikan
produk tersebut. Tanggung jawab (Product Liability) tidak lepas dari
prinsip-prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tanggung jawab
merupakan perihal yang sangat penting bagi pengembang dalam penjualan
satuan unit apartemen secara Pre Project Selling terhadap pembeli. Secara
umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan,
yaitu :
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, yaitu prinsip yang
menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta
28Riduan Syahrani, rangkuman intisari ilmu hukum,(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999)
, h. 23 29Achmad Ali, Menguak tabir hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), (Jakarta : to
ko gunung agung, 2002), h. 82-83
28
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of
Liabiity), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (Presump of
nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip
praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu
dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia
bersalah.
d. Prinsip tanggung jawab mutlak (StrictLiability), dalam prinsip ini
menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun
ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan
dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur.
e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan, dengan adanya prinsip
tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi
maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus
berdasarkan pada perundangundangan yang berlaku.30
a. Bentuk Pertanggungjawaban dalam Hukum Perdata
Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati disebut
wanprestasi dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan
wanprestasi. Sedangkan pelanggaran terhadap suatu ketentuan
undangundang dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain disebut
Perbuatan Melawan Hukum (PMH), pihak yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.31
Karenanya bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pertama, pertanggung
30 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2000), h. 58 31Rosa Agustina et.al., Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Denpasar : Pustaka
Larasan, 2012), h. 3
29
jawaban kontraktual, kedua adalah pertanggung jawaban perbuatan
melawan hukum, dan tanggung gugat. Perbedaan antara tanggung
jawab kontraktual, tanggung jawab perbuatan melawan hukum, dan
tanggung gugat adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut
terdapat perjanjian atau tidak.32
1. Tanggung Jawab Kontraktual
Tanggung jawab kontraktual didasarkan adanya hubungan
kontraktual. Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang
dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu
menimbulkan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam
perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi pihak
lain, pihak yang dirugikan tersebut dapat menggugat dengan dalil
wanprestasi.
2. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum
Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk
melindungi hak-hak seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan
hukum menggariskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat
seseorang melakukan perbuatan baik kesalahan atau kelalaian atau
melukai orang lain dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
bagi orang lain.33
3. Tanggung Gugat
Istilah tanggung gugat (liability) dan tanggung jawab
(responsibility) seringkali kurang dipertegas makna perbedaannya
dalam masyarakat. Untuk membedakan penggunaan responsibility
dengan liability, Goldie menyatakan bahwa istilah responsibility
digunakan untuk menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran
sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu. Untuk istilah
32Rosa Agustina et.al., Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Denpasar : Pustaka
Larasan, 2012), h. 4 33Rosa Agustina et.al., Hukum Perikatan (Law of Obligations), ( Denpasar : Pustaka Lar
asan, 2012), h. 6
30
liability digunakan untuk menunjuk pada konsekuensi dari suatu
kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban
atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah
ditetapkan.34
Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa, tanggung jawab
dalam arti liability diartikan sebagai tanggung gugat yang berasal dari
terjemahan liability/aansprakelijkheid yang merupakan bentuk spesifik
dari tanggung jawab. Tanggung gugat merujuk kepada posisi seseorang
atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk
kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan
hukum. Dalam contoh, ia harus membayar ganti kerugian kepada orang
atau badan hukum lain karena telah melakukan perbuatan melawan hukum
(PMH) sehingga menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum
lain. Istilah tanggung gugat berada dalam ruang lingkup hukum privat.35
C. Tinjauan(Review) Kajian terdahulu
Penelitian hukum dengan judul “Keabsahan Transaksi Jual Beli
Properti Menggunakan Sistem Pre Project Selling Ditinjau Dari Segi
Hukum Perjanjian (Studi Kasus Proyek Meikarta Cikarang Kabupaten
Bekasi)” ini bukanlah plagiasi dari hasil karya peneliti lain, karena hasil dari
penelitian hukum ini diperoleh melalui suatu penelitian hukum yang dilakukan
sendiri oleh peneliti. Ada beberapa penelitian hukum tentang tanggung jawab
pengembang dalam penjualan satuan unit apartemen secara pre project selling,
yaitu:
1) Penelitian ini juga dilakukan oleh Ganita Kumalasari36, Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlindungan hukum para pihak dalam kontrak jual
34http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/532/gdlhub-gdl-s3-2013-sudiarto-26584-9.-bab-ia.
pdf diakses pada tanggal 15 September Pkl. 10:40 WIB 35 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2008), h. 258 36Ganita Kumalasari, Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Pre Project Selling
Perumahan (Studi Kasus di PT Menara Santosa). (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surkarta, 2018). http://eprints.ums.ac.id/67131/9/NASKAH%20PUBLIKASI-18.pdf
31
beli dengan sistem perumahan pra penjualan di PT Menara Santosa bila
dilihat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Permukiman, yang diketahui bahwa pada PT. Menara
Santosa menempatkan terlalu banyak penekanan pada risiko kepada
pembeli atau hal-hal terkait dengan memberikan perlindungan hukum
kepada para pihak. Konsep penjualan pra-proyek sebenarnya
menguntungkan kedua belah pihak, yang pengembang melakukan bisnis
tanpa modal dan pembeli dapat memiliki rumah hanya dengan membayar
biaya pemesanan.
2) Purbandari37, Sistem Pre Project Selling yang banyak digunakan dalam
pemasaran properti di Indonesia, membuka banyak peluang bagi
pengembang berspekulasi, bahkan sampai etika berbisnis tidak dihiraukan
sama sekali, termasuk juga hal-hal yang menyangkut pemberian
perlindungan hukum pada konsumen. Perjanjian pengikatan jual beli yang
dibuat oleh pengembang yang memasarkan propertinya berdasarkan
konsep pre project selling terhadap pengembang dengan konsumen, dan
surat perjanjian pengikatan jual beli yang dimaksud merupakan undang-
undang bagi pengembang dan konsumen dengan segala akibat hukumnya.
3) Lintang Yudhantaka,38 Hasil penelitianya menunjukkan bahwa dewasa ini,
sebagian besar pengembang menggunakan sistem Pre Project Selling
dalam menjual rumah susun. Sistem Pre Project Selling adalah penjualan
sebelum bangunan selesai dibangun dimana bangunan ini masih berupa
gambar atau konsep. Sistem ini selalu identik dengan adanya Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB), untuk membuat PPJB, harus memenuhi
persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Jika dalam persyaratan tersebut tidak
terpenuhi, tentunya akan berpotensi menimbulkan sebuah kerugian bagi
37Purbandari, Kepastian Dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Dengan
Sistem Pre Project Selling. (Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular.Tahun 29 Nomor 320 Mei
2012). 38 Lintang Yudhantaka, 2017. Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun Dengan Sistem
Pre Project Selling. Yuridika: Volume 32 No. 1, Januari 2017
32
para pihak, khususnya pembeli. Biasanya, PPJB merupakan kontrak baku
yang dibuat secara sepihak oleh pengembang dan cenderung akan
mengabaikan kepentingan pembeli. Dimana tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memberikan gambaran tentang sebuah keabsahan dari PPJB.
Yang khususnya menjual rumah susun. Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif analisis, Sehingga memperlihatkan bahwa akibat
hukumnya PPJB dikatakan sah ketika memenuhi persyaratan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah
Susun.
33
BAB III
HUBUNGAN HUKUM DALAM TRANSAKSI JUAL BELI PROPERTI
MENGGUNAKAN SISTEM PRE PROJECT SELLING
A. Penjualan Satuan Rumah Susun Menggunakan Sistem Pre Project Selling
Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun di
mana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep. Dalam
pelaksanaannya di Indonesia dilakukan penyesuaian sehingga ada
pengembang proyek yang melaksanakan pre project selling sebelum prasarana
dan sarana dibangun, tetapi ada juga yang memasarkan setelah sarana dan
prasarana tersebut telah dibangun.
Konsep pemasaran ini memang sangat menguntungkan pengembang
karena relatif menolong perputaran uang pengembang. Beban investasi yang
harus ditanggungnya untuk pembangunan konstruksi proyek tersebut terbantu
dana pesanan dari konsumen, yang besarnya berkisar antara dua puluh persen
sampai dengan tiga puluh persen. Uang indent bank untuk memberikan kredit
konstruksi kepada pengembang. Dengan adanya pesanan ini juga dapat
mempermudah perusahaan, karena pengembang tidak perlu menyediakan
modal pengembangan didepan untuk biaya pembangunan yang cukup besar.
Dalam penjualan satuan rumah susun secara pre project selling
dengan menggunakan perjanjian pengikatan jual beli yang harus
diperhatikan bahwa masalah pengikatan jual beli tersebut termasuk lingkup
hukum perjanjian sedangkan jual belinya termasuk lingkup hukum tanah
nasional yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan nama Undang-
undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya
khususnya dalam rangka jual beli adalah diatur dalam Pasal 44 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Pedoman
Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun oleh Surat Keputusan Menteri
Perumahan Negara Nomor 11/KPTS/1994 adalah untuk melindungi kedua
belah pihak yang mengadakan pengikatan tersebut.
34
Secara umum setelah menelaah pedoman pengikatan jual beli satuan
rumah susun tersebut terdapat beberapa permasalahan diantaranya:1
1. Pedoman pengikatan jual beli satuan rumah susun dimuat dalam bentuk
Lampiran dari Surat Keputusan Menteri Perumahan Negara Nomor
11/KPTS/1994 dan wajib dipatuhi oleh para pihak yang mengadakan
perikatan jual beli satuan rumah susun. Pertanyaan pertama yang perlu
diajukan adalah apakah mungkin kewajiban-kewajiban para pihak tersebut
diatur dalam suatu lampiran SK Menteri mengingat adanya asas kebebasan
berkontrak menurut ketentuan perundang-undangan (Pasal 1338 KUH
Perdata) atau sejauh manakah SK Menteri dapat membatasi adanya asas
kebebasan berkontrak tersebut.
2. Hal kedua yang perlu dikemukakan apakah pedoman ini dapat berfungsi
sebagai “dwingen recht” karena tidak ada pengaturan mengenai sanksi dari
tidak dilaksanakannya pedoman ini oleh para pihak. Sedangkan
mekanisme kontrol dari pedoman inipun tidak diciptakan olehSurat
Keputusan Menteri Perumahan Negara Nomor 11/KPTS/1994, seperti
misalnya kewajiban mendaftar perikatan jual beli satuan rumah susun ke
instansi yang berwenang. Lain halnya dengan akta jual beli atau ata
hipotik mekanisme kontrol dilakukan dengan adanya kewajiban
pendaftaran. Sehingga pihak instansi yang berwenang dapat melakukan
kontrol atau anggaran dasar suatu perseroan terbatas apabila dibuat tidak
sesuai dengan pedoman/kebijaksanaan yang digariskan Departemen
Kehakiman, tidak akan mendapatkan pengesahan.
Hal lain yang perlu dicermati dari konsep pemasaran pre project selling
adalah kenaikan harga properti terhadap perekonomian nasional. Pasar semu
yang mewarnai fenomena pre project selling di sektor properti ini seharusnya
diwaspadai oleh lembaga-lembaga yang mendukung pendanaan proyek
tersebut yaitu lembaga-lembaga keuangan. Apabila terjadi kemacetan baik
sumbernya yang berasal dari pengembang maupun konsumen, lembaga-
1Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi(Suatu
kumpulan karangan), (Jakarta : Penerbit FH UI, 2002), h.196
35
lembaga keuangan yang bertindak sebagai pendukung dana itulah yang akan
menanggungnya.2
B. Proses Transaksi Jual Beli Satuan Rumah Susun
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 Tentang Rumah Susun bahwa satuan rumah susun yang telah
dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin layak huni
dari pemerintah daerah yang bersangkutan, selain itu semua satuan-satuan
rumah susun sudah harus bersertifikat untuk pertama kali semua Sertifikat
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) diterbitkan oleh kantor
pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat atas nama penyelenggara
pembangunan yang diterbitkan berdasarkan akta pemisahan atas satuan-
satuan rumah susun yang telah disahkan oleh pemerintah daerah. Sertifikat
tersebut harus sudah ada sebelum satuan rumah susun dijual, sebab sertifikat
HMSRS merupakan syarat untuk dapat menjual satuan rumah susun yang
bersangkutan.
Dengan demikian, jual beli yang terjadi antara penyelenggara
pembangunan dan pembeli adalah perbuatan hukum pemindahan HMSRS
dari penyelenggara pembangunan kepada pembeli. Pemindahan haknya
harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
daerah kerjanya meliputi letak rumah susun yang bersangkutan. Akta yang
dibuat oleh PPAT itu merupakan surat tanda bukti telah dilakukannya jual
beli satuan rumah susun yang bersangkutan. Setelah akta tersebut selesai
ditandatangani maka HMSRS yang dijual itu berpindah kepada pembeli
yang menjadi pemiliknya yang baru, berikut hak atas bagian bersama,benda
bersama dan tanah bersama yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari satuan rumah susun yang bersangkutan.
Jual beli yang telah dilakukan di hadapan PPAT tersebut, agar perbuatan
hukumnya mengikat pihak ketiga dan memenuhi syarat publisitas, maka
2Majalah Properti Indonesia, Mewaspadai Pre Project Selling, (Volume 8, September 199
4), h. 21
36
akta PPAT tersebut wajib didaftarkan pada kantor pertanahan
kabupaten/kotamadya setempat. Pendaftaran dilaksanakan dengan
membubuhkan catatan mengenai jual beli yang telah dilakukan itu pada
buku tanah dan salinan buku tanah yang merupakan bagian dari sertifikat
HMSRS yang bersangkutan. Sertifikat yang telah dibubuhi catatan
pendaftaran diserahkan kepada pembeli selaku pemilik baru satuan rumah
susun yang bersangkutan sebagai tanda bukti pemilikannya.
Berdasarkan ketentuan yang telah disyaratkan dalam Pasal 44 Ayat (2)
Undang-Undang diatas, bahwa satuan rumah susun baru dapat
diperjualbelikan kalau sudah memperoleh izin layak huni dari Pemerintah
Daerah dan sertifikat satuan-satuan rumah susun tersebut sudah selesai,
namun dalam kenyataannya, telah berkembang kebiasaan penjualan dan
pemilikan atas satuan rumah susun sebelum rumah-rumah susun yang
dipasarkan tersebut selesai dibangun dan bahkan tidak jarang terjadi pada
saat masih direncanakan dan pematangan perolehan tanah. Untuk
mengantisipasi hal- hal tersebut, maka oleh Menteri Negara Perumahan
Rakyat dikeluarkan Surat Keputusan Nomorll/KPTS/1994 tanggal 17
November 1994 Tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah
Susun, yang dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan para
penyelenggara pembangunan perumahan dan pemukiman serta para calon
pembeli rumah susun dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para
pihak yang terkait, sehingga diperlukan adanya pedoman perikatan jual beli
satuan rumah susun tersebut. Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka dimungkinkan
pemasaran/penjualan satuan-satuan rumah susun sebelum rumah susun
yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapatdilakukan
dengan pengikatan jual beli yang dilakukan antara penyelenggara
pembangunan rumah susun dengan calon pembeli.
Dalam latar belakang Keputusan MENPERA tersebut, dinyatakan
bahwa berkembangnyapemasaran rumah susun sebelum memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011
37
Tentang Rumah Susun adalah atas pertimbangan ekonomi, baik bagi
penyelenggara pembangunan rumah susun itu sendiri guna memperlancar
perolehan dana murah dan kepastian pasar, sedangkan untuk pembeli atau
konsumen, agar harga jual rumah lebih rendah karena calon pembeli
membayar sebagian dimuka. Langkah-langkah yang ditempuh perusahaan
pembangunan perumahan dan pemukiman konsumen tersebut di atas
menimbulkan adanya jual beli secara pesan lebih dahulu, sehingga
menyebabkan adanya perjanjian jual beli pendahuluan (preliminary
purchase), yang selanjutnya dituangkan dalam akta perikatan jual beli
satuan rumah susun3.
Dalam keputusan MENPERA tersebut diberikan petunjuk mengenai
pengikatan jual beli satuan rumah susun. Inti dari perikatan jual beli tersebut
adalah:
1. Satuan rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan
dapat dipasarkan melalui sistem pemesanan dengan cara jual beli satuan
rumah susun.
2. Pada hari pemesanan yang berminat memesan dapat menerima dan
menandatangani surat pesanan yang disiapkan oleh perusahaan
pembangunan perumahan dan pemukiman yang berisi sekurang-
kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a. Nama dan/atau nomor bangunan dan satuan rumah susun yang dipesan
b. Nomor lantai dan tipe satuan rumah susun
c. Luas satuan rumah susun
d. Harga jual satuan rumah susun
e. Ketentuan pembayaran uang muka
f. Spesifikasi bangunan
g. Tanggal selesainya pembangunan rumah susun
h. Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima
persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan serta
3Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya (edisi revisi), (Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum UI, 2007), h. 54-66
38
menandatanganidokumen-dokumen yang dipersiapkan oleh
perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman.
3. Surat pesanan dilampiri dengan gambar yang menunjukkan letak pasti
satuan rumah susun yang dipesan disertai ketentuan tentang tahap
pembayaran.
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender
setelah menandatangani surat pemesanan, pemesan dan perusahaan
pembangunan perumahan dan pemukiman harus menandatangani akta
perjanjian jual beli dan selanjutnya kedua belah pihak harus memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian perikatan jual beli
hak milik atas satuan rumah susun. Apabila pemesan lalai menandatangani
perjanjian pengikatan jual beli dalam jangka waktu tersebut, maka
perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman berhak untuk tidak
mengembalikan uang pesanan, kecuali jika kelalaian tersebut berada di
pihak perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman, pemesan
dapat memperlihatkan surat penolakan dari bank bahwa permohonan KPR
tidak disetujui atau hal-hal lain yang dapat disetujui bersama antara
perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman serta calon pembeli
dan uang pesanan akan dikembalikan 100%.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli, antara lain memuat hal-hal
sebagaiberikut:
a. Obyek yang diperjual belikan, yaitu hak milik atas satuan rumah
susun, yang meliputi pula bagian bersama, tanah bersama, dan benda
bersama berikut fasilitasnya sesuai dengan nilai perbandingan
proporsionalnya. Rumah susun yang akan dijual wajib memiliki
izin-izin yang diperlukan seperti izin lokasi, bukti penguasaan dan
pembayaran tanah serta izin mendirikan bangunan.
b. Pengelolaan dan pemeliharaan bagian bersama, benda bersama
dan tanah bersama merupakan kewajiban seluruh penghuni,
sehingga calon pembeli harus bersedia menjadi anggota
39
perhimpunan penghuni yang akan dibentuk dan didirikan dengan
bantuan perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman.
c. Kewajiban Pengusaha Pembangunan Perumahan dan Pemukiman,
yang terdiri dari:
1) Sebelum melakukan pemasaran perdana yaitu wajib melaporkan
kepada Bupati/Walikotamadya Tingkat II dengan tembusan
kepada MENPERA, dengan melampirkan salinan surat
persetujuan izin prinsip, salinan surat keputusan pemberian izin
lokasi, bukti pengadaan dan pelunasan tanah, salinan surat izin
mendirikan bangunan dan gambar denah pertelaan yang telah
mendapat pengesahan dari Pemerintah Daerah setempat.
2) Menyediakan dokumen pembangunan perumahan seperti
sertifikat hak atas tanah, rencana tapak, gambar rencana
arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta
pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batas secara
vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun, gambar
rencana struktur beserta perhitungannya dan gambar rencana
jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.
3) Menyelesaikan bangunan sesuai dengan standar yang telah
diperjanjikan.
4) Memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam jangka waktu
100 (seratus) hari setelah tanggal ditandatangani berita acara
penyerahan satuan rumah susun, dari pengusaha kepada
pemesan dengan ketentuan.
- tanggung jawab pengusaha tersebut dibatasi oleh desain
dan spesifikasi satuan rumah susun.
- kerusakan-kerusakan yang terjadi bukan disebabkan
kesalahan pembeli.
5) Bertanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi yang
baru dapat diketahui di kemudian hari.
40
6) Menjadi pengelola sementara rumah susun sebelum
terbentuk perhimpunan penghuni dan membantu menunjuk
pengelola setelah perhimpunan penghuni terbentuk.
7) Mengasuransikan pekerjaan pembangunan tersebut selama
berlangsungnya pembangunan.
8) Jika selama berlangsungnya pembangunan terjadi force
majeur yang diluar kemampuan para pihak, Pengusaha dan
Pembeli akan mempertimbangkan penyelesaian sebaik-baiknya
dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikannya
pembangunan satuan rumah susun.
9) Menyiapkan Akta Jual Beli satuan rumah susun yang
kemudian bersama-sama dengan pembeli menandatangani akta
jual belinya dihadapan Notaris/PPAT pada tanggal yang
ditetapkan kemudian perusahaan pembangunan perumahan
dan pemukiman dan/atau Notaris/PPAT yang ditunjuk akan
mengurus agar pembeli memperoleh sertifikat hak milik atas
satuan rumah susun atas nama pembeli dan biayanya
ditanggung oleh pembeli. Menyerahkan satuan rumah susun
termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial secara sempurna
pada tanggal yang ditetapkan dan jika pengusaha belum dapat
menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan
menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu
120 (seratus dua puluh) hari kalender, dihitung sejak tanggal
rencana penyerahan rumah susun tersebut.
d. Kewajiban-kewajiban Pemesan, yaitu:
1) Menyatakan bahwa pemesan (calon pembeli) telah membaca,
memahami dan menerima syarat-syarat dan ketentuan dari
surat pesanan dan pengikatan jual beli serta akan tunduk
kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan anggaran dasar
perhimpunan penghuni dan dokumen-dokumen lain terkait
41
serta bahwa ketentuan dari peijanjian-peijanjian dan
dokumen-dokumen tersebut mengikat pembeli.
2) Setiap pemesan setelah menjadi pembeli satuan rumah susun
wajib membayar biaya pengelolaan (management fee) dan
biaya utilitas (utility charge) dan jika terlambat
pembayarannya dikenakan denda yang besarnya disesuaikan
dengan keputusan perhimpunan penghuni.
3) Yang menjadi tanggung jawab pemesan meliputi : biaya
pembayaran akta-akta yang diperlukan; biaya jasa PPAT
untuk pembuatan akta jual beli satuan rumah susun; biaya
untuk memperoleh Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, biaya
pendaftaran jual beli atas satuan rumah susun (biaya
pengalihan hak milik atas nama) di Kantor Badan Pertanahan
Nasional setempat.
4) Setelah Akta Jual Beli ditandatangani tetapi sebelum sertifikat
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan setempat, jika satuan rumah susun tersebut
dialihkan kepada pihak ketiga dikenakan biaya adminstrasi
yang ditetapkan oleh perusahaan pembangunan perumahan
dan pemukiman yang besarnya tidak lebih dari 1% (satu
persen) dari harga jual jika satuan rumah susun tersebut
dialihkan kepada pihak anggota keluarga karena sebab apapun
juga termasuk karena pewarisan menurut hukum dikenakan
biaya adminstrasi untuk Notaris/PPAT yang besarnya sesuai
dengan ketentuannya.
5) Sebelum lunasnya pembayaran atas harga jual satuan rumah
susun yang dibelinya, pemesan tidak dapat mengalihkan atau
menjadikan satuan rumah susun tersebut sebagai jaminan
utang tanpa persetujuan tertulis dari perusahaan pembangunan
perumahan dan pemukiman.
42
6) Mengenai penyelesaian perselisihan, jika terjadi perselisihan
sehubungan dengan perjanjian jual beli pendahuluan satuan
rumah susun dilakukan melalui arbitrase yang ditetapkan
sesuai dengan aturan-aturan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dengan biaya ditanggung oleh para pihak.
C. Aspek Legalitas Yang Harus Diperhatikan Sebelum Melakukan Proses
Transaksi Jual Beli Satuan Rumah Susun
1. Sertifikat Induk (HGB)
Sebagai calon pembeli, perlu memperhatikan kredibilitas
pengembang yang memasarkan unit hunian rumah susun. Bagaimanapun,
ini akan menjadi salah satu barometer sejauh mana keseriusan
pengembang nantinya dalam membangun dan menjual unit hunian kepada
konsumen. Konsumen perlu memperhatikan hal ini agar tidak “membeli
kucing dalam karung”. Jadi prinsip “teliti sebelum membeli” harus tetap
dipegang.
Sebelum membeli produk rumah susun, ada baiknya terlebih dahulu
memeriksa aspek legalitas atas lokasi proyek rumah susun yang akan
dibangunnya. Kepada pengembang, kita bisa meminta copy Sertifikat
Induk tanahnya, guna memberikan kepastian mengenai keabsahan
kepemilikan tanah yang akan dikembangkan menjadi area rumahsusun.
Bagaimanapun, upaya seperti ini merupakan salah satu langkah aman
sebelum konsumen memutuskan membeli unit rumah susun.
Langkah awal adalah memeriksa Hak Guna Bangunan (HGB) dari
proyek rumah susun tersebut. Apakah HGB-nya sudah ada dan mengapa
harus ada HGB, karena pengembang biasanya berbadan hukum PT
diperbolehkan mendapatkan HGB atas tanahnya walaupun rumah susun
itu bisa pula dibangun di atas tanah dengan status Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
(Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah
Susun).
43
Dalam hal pengecekan HGB ini, kita bisa datang ke Badan
Pertanahan Nasional (BPN) di mana rumah susun tersebut akan
dibangun, sekaligus tanyakan hal-hal yang ingin bisa dipahami
mengenai HGB ini. Di BPN, juga bisa ditanyakan dari mana HGB itu
diperoleh pengembang. Apakah tanah tersebut merupakan tanah hak
milik penduduk, atau tanah hak pengelolaan dan mungkin sebelumnya
adalah tanah negara. Perlu diketahui, apakah HGB rumah susun tersebut
sedang dalam penguasaan bank atau tidak. Siapa tahu, pengembangnya
mengagunkan HGB tersebut ke pihaklain.
Dengan mengetahui latar belakang status awal kepemilikan tanah
proyek pembangunan, kita bisa menetapkan hati apakah layak atau tidak
membeli unit rumah susun di lokasi tersebut, sekaligus bisa menilai
kredibilitas pengembangnya.
2. Surat Izin Penunjukkan dan Penggunaan Tanah (SIPPT)
Setelah melihat Sertifikat Induk lokasi dan HGB-nya selanjutnya
perlu juga memeriksa Surat Izin Penunjukkan dan Penggunaan Tanah
(SIPPT) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini
Gubernur DKI Jakarta, atau Walikota/Bupati untuk wilayah di luar DKI
Jakarta untuk pembangunan rumah susun tersebut. Bagaimanapun,
SIPPT ini menjadi langkah awal bagi pengembang untuk bisa
menawarkan dan menjual produk properti yang dibangunnya.
Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor ll/KPTS/1994 Tentang Pedoman Perikatan
Jual Beli Rumah Susun, telah diatur bahwa sebelum pengembang
melaksanakan kegiatan pemasaran perdana kepada konsumen, dia
berkewajiban melaporkan kepada Bupati/Walikota setempat dengan
tembusan kepada Menpera di mana laporannya dilampiri dengan izin
prinsip, keputusan pemberian izin lokasi, bukti pengadaan dan
pelunasan tanah, izin mendirikan bangunan, serta gambar denah
pertelaan yang telah mendapat pengesahan dari pemerintah daerah
44
setempat. Dengan adanya pemberian laporan kepada pihak berwenang,
maka secara administrasi pengembang juga sudah melakukan upaya
yang cukup meyakinkan. Oleh sebab itu, SK Menpera ini juga
memberikan keleluasaan kepada pengembang bila dalam jangka waktu
30 hari kalender terhitung sejak tanggal yang tercantum dalam surat
tanda terima laporan belum mendapat jawaban dari kepala daerah
setempat, maka penawaran perdana dianggap sudah dapat dilaksanakan.
Dalam beberapa kasus, tak sedikit pengembang “nakal” yang
seolah-olah sudah memegang kelengkapan SIPPT padahal belum, namun
mereka sudah melakukan launching bahkan penjualan unit properti.
Memang, para pengembang yang sudah terlanjur launching atau menjual
unit propertibiasanya mengelak teguran dari instansi terkait soal belum
dimilikinya SIPPT ini, dengan alasan apa yang dilakukannya sekadar uji
pasar (test market) semata.
Dalam kasus penjualan produk properti seperti hunian rumah susun,
apa yang dilakukan developer nakal seperti ini (tidak memiliki SIPPT)
bisa mengakibatkan permasalahan fatal di kemudian hari yang harus
ditanggung konsumen dan juga pengembang sendiri. Alasan sekadar test
market, bisa menjadi rancu dan bahkan merugikan konsumen. Terbuka
kemungkinan bagi pengembang seperti ini melakukan cidera janji
(wanprestasi), karena umumnya mereka hanya bermain untung-
untungan. Maksudnya, bila saja produk properti ini diminati banyak
konsumen, pengembang bisa melanjutkan rencana pembangunan fisik
rumah susun. Proyek pembangunan rumah susun bisa tidak jadi. Bila
sudah demikian, maka bisa merugikan konsumen sendiri, utamanya
mereka yang sudah melakukan pembayaran booking fee uang muka
(DP) maupun akad kredit. Pasalnya, pengembang seperti ini tidak
mengakui sudah ada pembelian, pembayaran di muka (DP), atau
akadkredit tadi.
Oleh karenanya, calon konsumen yang akan melakukan transaksi
pembelian atau pembayaran booking fee dan uang muka, alangkah baiknya
45
mengecek SIPPT dari proyek properti yang ditawarkan pengembang.
Pengecekan bisa dilakukan dengan menghubungi Dinas Tata Kota,
Pemerintah Kota/Kabupaten, maupun ke Pemerintah Propinsi. Hal ini
penting jangan sampai sudah membayar uang muka lalu izinnya tidak
diterbitkan atau tidak sesuai dengan perencanaan pengembangan
sehingga proyek batal dibangun, sedangkan meminta uang kembali
adalah pekerjaan tidak mudah karena ada istilah disebagian
pengembang “untuk uang masuk jangan dicegah uang keluar wajib
dicegah”.
Bagi pengembang sendiri, memiliki SIPPT sudah seharusnya menjadi
sebuah kewajiban. Sebab, meski dalam beberapa kasus pelanggaran SIPPT
ini belum diakomodir mengenai sanksi tegas bagi pelanggarnya di dalam
beberapa Peraturan Daerah (Perda), keberadaan SIPPT yang dipegang
pengembang merupakan wujud komitmen pengembang tersebut dalam
membangun rencana hunian yang dibutuhkan masyarakat.
Jadi, pengembang juga harus konsisten untuk tidak melalaikan
pemasaran atau penjualan sebelum memiliki SIPPT ini. Apalagi bila
tanah yang akan menjadi lahan pembangunan proyek hunian rumah
susun belum dibebaskan, sementara pemasaran dan penjualan sudah
dilakukan, maka tindakan demikian dapat menjerat pengembang ke
dalam hukum pidana “penipuan” karena dinilai memasarkan atau
menjual sesuatu yang belum menjadi haknya.
Dengan memeriksa ada tidaknya SIPPT yang dipegang
pengembang, bukan hanya menjamin proses transaksi secara aman dan
nyamanbagi konsumen. Hal penting lainnya ialah, konsumen juga bisa
mencermati sejauh mana pengembang nantinya menyediakan fasilitas
sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) bagi penghuni rumah susun.
SIPPT biasanya memuat kewajiban pengembang untuk tak hanya
menyediakan fasos dan fasum ini bagi komunitas penghuni rumah susun
dan rumah susun semata, tapi juga kewajiban-kewajibannya kepada
pihak pemerintah daerah setempat.
46
3. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Selain SIPPT, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari proyek rumah
susun yang akan dibangun pengembang harus diperiksa terlebih dahulu.
IMB dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat yang berfungsi
sebagai pengendali keandalan bangunan. Jangka waktu berlakunya IMB
adalah selama bangunan itu berdiri dan tidak ada perubahan bentuk.
Salinan IMB ini bisa anda minta dari pengembang. Dengan bisa
melihat salinan IMB, kita bisa melihat kesesuaian struktur bangunan
beserta peruntukkannya. Apakah peletakan bangunannya sudah sesuai
dengan ketentuan teknis, mulai dari garis sempadan bangunan, Koefisien
Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan
Ketinggian Bangunan. Oleh karena itu, setiap bangunan rumah susun
yang bakal dibangun harus direncanakan peletakannya pada lokasi sesuai
site plan. Tentu saja site plan bangunan yang akan dibangun ini harus
mendapatkan pengesahan site plan terlebih dahulu dari instansi terkait.
Jika ada penyimpangan rencana struktur pembangunan proyek dari
IMB yang telah ada, maka pengembang dinilai telah beritikad buruk dan
telah mengabaikan keamanan dan kenyamanan penghuni rumah susun di
kemudian hari. Bangunan rumah susun/rusun yang didirikan pada lokasi
yang tidak sesuai dengan peruntukkan tata ruang memiliki potensi besar
yang bisa mengancam keselamatan jiwa maupun benda milik
penghuninya. Maka dari itulah, konsumen perlu mencermati sejauh
mana penyelenggaraan bangunan gedung rumah susun/rusun memenuhi
persyaratan, baik secara administratif maupun teknis, sehingga nantinya
mampu menjamin kelaikan fungsi dan keselamatan penghuninya selaku
pengguna atau pemilik unit hunian rumah susun.
Dengan mencermati IMB, para penghuni rumah susun/rusun
memiliki kesempatan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan risiko
yang bakal terjadi sebagai akibat kedudukan konstruksi atau rancang
bangun dari rumah susun. Entah itu gempa, kebakaran, kebocoran gas,
47
banjir, hingga kemungkinan adanya ancaman bom, bagaimana pun
menjadi sesuatu yang bisa ancaman terhadap konstruksi bangunan.
Apabila ternyata pengembang belum memiliki IMB, maka harus
terlebih dahulu ditunda keinginan untuk mengambil keputusan
melakukan transaksi lebih lanjut dengan pengembang tersebut.
Pasalnya, tanpa aspek legal yang disebutkan diatas, pembangunan
proyek rumah susun/rusun tidak boleh dilanjutkan atau bahkan tidak
boleh sama sekali.
48
BAB IV
KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI DAN TANGGUNG JAWAB
PENGEMBANG (DEVELOPER) DALAM PENJUALAN SATUAN UNIT
PROPERTI MEIKARTA MENGGUNAKAN SISTEM PRE PROJECT
SELLING
A. Keabsahan Perjanjian Jual Beli dalam Penjualan Satuan Unit Apartemen
Meikarta Secara Pre Project Selling
Landasan hukum penyelenggaraan pembangunan rumah susun di
Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
Tentang Rumah Susun. Seiring dengan perkembangan zaman dimana tentunya
membawa perubahan pada aspek perkembangan hukum maka Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1985 dinilai tidak relevan lagi sehingga pada
tanggal 10 November 2011 Undang-Undang tersebut dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang baru yang mengatur Tentang rumah susun yaitu
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UURS).
kehadiran UURS memberikan jawaban atas permasalahan padatnya
penduduk serta terbatasnya lahan di daerah perkotaan. Maraknya
pembangunan rumah susun saat ini tidak hanya diperuntukkan bagi golongan
masyarakat kelas atas akan tetapi juga mengarah kepada kelas menengah dan
kelas bawah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung guna
menciptakan pemukiman yang lengkap dan fungsional, yang didalamnya tetap
menggunakan sistem pemilikan perorangan yang terpisah pada unit unitnya
yang diikuti dengan pemilikan bersama atas bagian-bagian dan benda-benda
dari bangunan tersebut dan hak bersama atas tanah yang menjadi alas hak
didirikannya bangunan-bangunan tersebut yang semuanya merupakan satu
kesatuan yang secara fungsional tidak terpisahkan. Hal ini lebih dikenal
dengan istilah strata title, yaitu sistem kepemilikan pada objek yang terletak
pada strata-strata yang berbeda-beda.1
1 Ahmad Chairudin, “Beberapa Catatan Mengenai Pelaksanaan Sistem Strata Title Pada
B angunan Gedung Bertingkat”, disampaikan pada Program Khusus Pelatihan Professional Proper
49
UURS disusun untuk menciptakan sebuah kepastian hukum yang lebih
tegas berkaitan dengan penyelenggaraan rumah susun dengan berdasarkan
asas kesejahteraan, keadilan dan pemerataan, kenasionalan, keterjangkauan
dan kemudahan, keefisienan dan kemanfaatan, kemandirian dan kebersamaan,
kemitraan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, kesehatan, kelestarian
dan berkelanjutan, keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan, serta
keamanan, ketertiban, dan keteraturan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, bentuk perjanjian
jual beli satuan rumah susun dengan sistem Pre Project Selling yang dibuat
dan lazim dipergunakan dalam dunia bisnis properti oleh pengembang
(developer) dilakukan dengan cara menuangkannya dalam bentuk perjanjian
baku yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Hal ini semata-mata dibuat
untuk memudahkan transaksi perdagangan yang dilakukan oleh para pihak
yang membuat perjanjian sepanjang isinya tidak merugikan kedua belah
pihak.
Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Rumah Susun Pertama, pelaku pembangunan rumah susun atau pengembang
(developer) harus memenuhi ketentuan administratif terlebih dahulu sebelum
melakukan pembangunan rumah susun, yaitu meliputi:
1. Status hak atas tanah
Pembangunan kota baru Meikarta milik Lippo Group masih menuai
polemik. Mega proyek hunian senilai Rp 278 triliun ini kerap menjadi
pembahasan mulai dari perizinan hingga status kepemilikan lahan di
Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Menurut Direktur Jenderal
Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian
Agraria dan Tata Ruang (ATR), Budi Situmorang, dari 500 hektar (ha)
yang menjadi kawasan Meikarta belum sepenuhnya dimiliki Lippo Group.
"Faktanya dari data, di sana ada perkampungan, ada sawah juga di
sana, saya enggak tahu juga. Faktanya masih banyak hak atas tanah di
sana. Cukup banyak mungkin 30%," tuturnya di Gedung Ombudsman,
Jakarta, Selasa (22/8/2017).”
ty-Executive Short Course, Jakarta, 6 Juli 2007.
50
Menurut Budi, pengembang Meikarta harus menyelesaikan akuisisi
seluruh lahan tersebut sebelum melakukan pembangunan dan pemasaran.
Jika tidak, tentu akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
"Jadi harus diselesaikan dulu, bahkan teman-teman kami sudah
panggil teman-teman Meikarta. Mana master plan-nya, di mana batas
tanahnya, itu yang belum putus," imbuhnya.”
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi,
Daryanto, meyakini seluruh lahan di Meikarta memang sudah dimiliki
oleh Lippo Group. Kepemilikannya memang terpecah-pecah atas nama
beberapa pihak, namun masih dalam lingkup Lippo Group.
"Walaupun belum semuanya atas nama Lippo, tapi ada nama
beberapa PT. Faktanya Lippo menyampaikan ke kami dia memiliki itu,
walaupun HGB-nya belum atas nama Lippo. Mungkin anak perusahaan
tapi Lippo juga," tegasnya.
Daryanto juga menegaskan bahwa tidak ada peristiwa penggusuran
tanah di wilayah tersebut. Sebab lahan Meikarta juga memang masuk
dalam kawasan Lippo Cikarang.2
2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Pada bulan Agustus tahun 2017, Kepala Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Bekasi, Carwinda
menjelaskan bahwa proyek Meikarta baru mendapatkan Izin Peruntukkan
Penggunaan Tanah (IPPT) untuk lahan seluas 84,6 Ha (delapan
puluh empat koma enam hektar) saja sedangkan proses perizinan yang
lainnya, seperti Izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) belum
didapatkan oleh pihak pengembang (developer) dalam membangun proyek
tersebut. Di tempat yang sama, Asisten II Bidang Pembangunan dan
Perekonomian Pemprov Jabar, Eddy Nasution menegaskan, perizinan
proyek Meikarta memang merupakan kewenangan Pemkab Bekasi yang
juga telah memberikan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) namun
hanya untuk lahan seluas 84,6 hektar (ha). Namun pemberian IPPT
2https: // finance.detik.com/properti / d-3609693/benarkah-grup-lippo-belum-sepenuhnya-
kuasai-lahan-meikarta diakses pada tanggal 8 Juli 2019 Pukul 19.30 WIB
51
tersebut diakuinya atas nama beberapa pihak. Dengan mengantongi IPPT,
pengembang juga seharusnya belum bisa melakukan pembangunan. Sebab
setelah IPPT pengembang harus memiliki Amdal, lalu Izin Lingkungan
dan IMB. Jika itu semua sudah beres, baru pembangunan bisa dilakukan.
Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun, maka dapat diketahui bahwa pengembang
(developer) dari proyek Meikarta ini belum memenuhi ketentuan
administratif dikarenakan status hak atas tanah yang dimiliki bukan atas
nama pengembang (developer), serta Izin Mendirikan Bangunan juga
belum dikantongi karena Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) belum didapat oleh pihak Lippo. Selanjutnya, dalam hal
pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan
(Pre Project Selling), pelaku pembangunan atau pengembang
(developer) sekurang-kurangnya harus memiliki :
a. Kepastian peruntukkan ruang
Pada bulan Agustus tahun 2017, Kepala Badan Penanaman Modal
dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Bekasi,
Carwinda menjelaskan bahwa proyek Meikarta baru mendapatkan Izin
Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT) untuk lahan seluas 84,6
Ha (delapan puluh empat koma enam hektar) saja bukan 500 Ha
(lima ratus hektar) dari pihak pengembang (developer) Meikarta
yang mereka rencanakan.
b. Kepastian hak atas tanah
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang
dan Penguasaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang
(ATR), Budi Situmorang menjelaskan bahwa dari lahan 500 Ha
(lima ratus hektare) yang menjadi kawasan Meikarta belum
sepenuhnya dimiliki oleh pengembang (developer) karena di sana
masih terdapat perkampungan, sawah dan hak-hak atas tanah lainnya
sehingga pengembang (developer) Meikarta harus menyelesaikan
akuisisi seluruh lahan tersebut sebelum melakukan pembangunan
52
dan pemasaran.
Di sisi lain, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Bekasi, Daryanto, meyakini bahwa seluruh lahan di Meikarta
memang sudah dimiliki oleh Lippo Group, namun kepemilikannya
tersebut terpecah-pecah dengan atas nama yang berbeda-beda
tetapi masih dalam lingkup Lippo Group dan Hak Guna
Bangunan (HGB) yang dimiliki belum atas nama pengembang
(developer).3
c. Kepastian status penguasaan rumah susun
Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun menetapkan penguasaan satuan rumah susun,
yaitu :
1) Penguasaan satuan rumah susun pada rumah susun umum
dapat dilakukan dengan cara dimiliki atau disewa.
2) Penguasaan satuan rumah susun pada rumah susun khusus
dapat dilakukan dengan cara pinjam pakai atau disewa.
3) Penguasaan satuan rumah susun pada rumah susun negara
dapat dilakukan dengan cara pinjam pakai, sewa, atau sewa beli.
4) Penguasaan satuan rumah susun pada rumah susun komersial
dapat dilakukan dengan cara dimiliki atau disewa.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Meikarta dalam melakukan
proyek pembangunan apartemen ini masih memiliki kontra yang
berkaitan dengan belum dikantonginya izin, baik Izin Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Mendirikan Bangunan dan
kepastian status hak atas tanahnya pun belum terpenuhi dan tanah
yang diberi Izin Penggunaan Peruntukkan Tanah (IPPT) oleh
Pemerintah setempat untuk membangun proyek tersebut hanya seluas
84,6 Ha (delapan puluh koma enam hektar) dari yang direncanakan dan
dipasarkan yaitu seluas 500 Ha (lima ratus hektar) sehingga secara
3https: // finance.detik.com/properti / d-3609693/benarkah-grup-lippo-belum-sepenuhnya-
kuasai-lahan-meikartadiakses pada tanggal 9 Juli 2019 Pukul 18:49 WIB
53
otomatis pengembang (developer) dari pembangunan apartemen
Meikarta ini belum memiliki kepastian terhadap penguasaan apartemen
yang akan dibangunnya karena Izin Mendirikan Bangunan pun belum
dimiliki oleh pihak pengembang (developer).
d. Perizinan pembangunan rumah susun
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Pemerintah Kabupaten Bekasi
dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru memberikan Izin
Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) untuk lahan seluas 84,6 Ha
(delapan puluh empat koma enam hektar) saja terhadap proyek Meikarta
ini. Dengan mengantongi Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT),
seharunsya pengembang (developer) belum bisa melakukan pembangunan.
Sebab setelah Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT),
pengembang harus membuat dan memiliki Izin Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu, lalu Izin Lingkungan
kemudian Izin Mendirikan Bangunan. Jika perizinan tersebut sudah
beres, maka pembangunan dapat dilakukan oleh pihak pengembang
(developer).
e. Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
Seperti yang diketahui, adapun pihak perbankan yang turut membiayai
dalam proses pembangunan rumah susun yaitu melalui Kredit
Pemilikan Apartemen (KPA) yang dijelaskan oleh ketua Sub Comm 3
Mortgage Bankers, Indrastomo Nugroho mengatakan bahwa pada
dasarnya setiap bank dalam melakukan kerjasama dengan pihak
(developer) hal yang pertama dilihat adalah aspek legalitas yang dimiliki
oleh pihak pengembang (developer) karena apabila tidak ada aspek
legalitas yang dimiliki oleh pihak pengembang (developer) dikhawatirkan
akan menyebabkan kredit macet.4 Saat dikonfirmasi ke Direktur
Komunikasi Lippo Karawaci Tbk, Danang Kemayan Jati, dirinya pun
mengakui, pihaknya sedang mengurus izin ke Pemerintah Kabupaten
4http:/ infobanknews.com/ bahaya–kredit–macet-proyek – meikarta - mengintai / diakses
p ada tanggal 8Juli 2019 Pukul 22:13WIB
54
Bekasi. Bahkan ia optimis perolehan izin bisa didapat dengan cepat.
“Lebih cepat lebih baik. Pemerintah Kabupaten Bekasi cepat kok,”
saat ditanya seberapa optimis perusahaan bisa dapat izin tersebut kepada
Infobank.”
Seperti diketahui, proyek Meikarta menuai polemik setelah diketahui
baru memiliki izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT). Izin ini diketahui
untuk lahan seluas 84,6 hektar di wilayah Lippo Cikarang. Perizinan lain
seperti izin lingkungan maupun izin mendirikan bangunan belum ada. Saat
ini, pengembang Meikarta sedang mengajukan izin Amdal ke pemerintah
Kabupaten Bekasi dan mencoba mendapatkan rekomendasi dari
pemerintah Provinsi Jawa Barat. 5
Dalam kasus Meikarta ini ditengah segala perizinan yang belum
dikantongi oleh pengembang (developer) ditemui adanya pihak
perbankan yaitu PT Bank Negara Indonesia yang mengakui bahwa
akan tetap memproses penyaluran Kredit Pemilikan Apartemen (KPA)
untuk megaproyek properti Meikarta dengan memegang prinsip kehati-
hatian (developer) dan calon pembeli dalam penjualan (Pre Project
Seliing) satuan unit apartemen Meikarta ini dilakukan dengan cara
mengambil Nomor Urut Pemesanan (NUP) dengan berlaku ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat umum dengan biaya tertentu sehingga
memiliki esensi yang sama dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB). Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang melibatkan pihak
pengembang (developer) dan calon pembeli dikatakan dapat melindungi
proses hubungan hukum para pihak apabila dibuat secara sah dan
memenuhi syarat-syarat mengenai sahnya perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri (Kesepakatan/toestemming)
Kesepakatan dalam perjanjian menyatakan bahwa perjanjian pada
5http: // infobanknews.com / berpotensi – rugikan – konsumen – proyek - meikarta -perlu-
diawasi / 3 / diakses pada tanggal 11 Juli 2019 Pukul 20.00WIB
55
umumnya tidak diadakan dengan cara yang formal saja, melainkan cukup
dengan adanya kesepakatan melalui persesuaian kehendak dan pernyataan
antara kedua belah pihak atau lebih mengenai apa yang akan mereka
kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakan dan
kapan akan dilaksanakan serta siapa yang harus melaksanakan.
Di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), sepakat dinyatakan
dan dibuktikan oleh para pihak melalui ditandatanganinya perjanjian
tersebut. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut merupakan
dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan
kontraktual) antara pengembang (developer) dan pembeli, di mana
pengembang (developer) mengikatkan diri untuk menjual rumah atau
atuan unit rumah susun dan tanah kepada pembeli, sedangkan
pembeli membeli rumah atau satuan unit rumah susun dari
pengembang (developer) dengan kewajiban membayar harga jualnya.
Jadi, kesepakatan yang terjadi di antara para pihak dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) ini lahir saat ditandatanganinya perjanjian
tersebut oleh pihak pengembang (developer) dan pembeli. Para pihak
dianggap mengerti isi dari perjanjian yang dibuat dan pembeli dianggap
menerima penawaran (acceptatie) dari penawaran (offerte) dari
pengembang (developer) atas objek perjanjian yang dalam hal ini
tanah beserta bangunannya serta harga yang harus dibayarkan dan
akan melaksanakan jual beli manakala barang yang disepakati tersebut
telah selesai yang tentunya beserta persyaratan lain yang melekat
atasnya serta membayar harga yang telah disepakati.6
2) Cakap dalam melakukan perbuatan hukum (Kecakapan/bekwaamheid)
Di dalam membuat suatu perjanjian, para pihak haruslah cakap
menurut hukum dan pada umumnya kecakapan tersebut diukur dari
standar kedewasaan untuk manusia kodrati dan kewenangan untuk badan
hukum kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh Undang-Undang
6Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 78
56
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
a) Orang-orang yang belum dewasa, dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan ketentuan
seseorang dikatakan dewasa ketika telah berumur 18 (delapan belas)
tahun atau sudah pernah kawin.
b) Mereka yang berada di bawah pengampuan (orang dungu, orang gila,
orang yang mata gelap, orang yang boros). Meskipun, mereka
dapat bertindak seperti orang yang cakap berbuat, namun tetap
mereka adalah orang-orang yang termasuk berada di bawah
pengampuan.
Syarat cakap dalam hukum di atas tentunya haruslah dipenuhi
oleh para pihak dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB),
karena apabila kontrak yang dibuat oleh para pihak itu dilakukan oleh
orang yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum maka
kontrak tersebut berakibat dapat dibatalkan, artinya satu atau dua
pihak dapat melakukan pembatalan atau tidak melakukan pembatalan.
Dalam pembangunan rumah susun, diatur pula mengenai siapa
saja yang cakap dan dapat dikatakan sebagai pengembang (developer)
atau pelaku pembangunan, yaitu :
(a) Perorangan Warga Negara Indonesia
(b) Perorangan orang asing yang berkedudukan di Indonesia
(c) Badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
(d) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk
Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum
Perumnas)
(e) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
(f) Lembaga Negara, Kementerian, Lembaga Pemerintah Non-
Kementerian, Badan Otoritas.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseoran Terbatas (UUPT), yang memiliki kewenangan
bertindak dalam Perseroan Terbatas (PT) adalah direksi yang
57
merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar.
3) Suatu hal tertentu (Objek Tertentu/een bapaald onderwerp)
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah suatu hal tertentu
yang merupakan objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat
ditentukan, artinya dalam membuat sebuah kontrak, apa yang
diperjanjikan harus jelas, sehingga hak dan kewajiban para pihak
dapat diterapkan atau disesuaikan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit
dapat ditentukan jenisnya. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti
barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi,
yakni pokok persoalan.7 Benda disini bukan merupakan objek
sengketa, apabila terbukti merupakan objek sengketa, maka benda
tersebut tidak dapat diperjual-belikan.
4) Suatu sebab yang diperbolehkan (Klausa Halal/oorzaak)
Syarat kausa yang halal dalam suatu perjanjian yaitu berkaitan dengan
tujuan dari dibuatnya perjanjian tersebut. Syarat bahwa sebab
perjanjian harus bersifat diperbolehkan hendaknya dipahami melalui
kerangka prinsip kebebasan dalam menentukan isi hubungan perikatan
yang mereka inginkan. Jika yang diinginkan para pihak merupakan hal
yang terlarang, yaitu bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan, maka perjanjian yang ingin dicapai oleh para
pihak tentunya batal.8
Untuk dapat menentukan adanya kausa halal atau tidak di dalam kasus
7 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandungan (Bagian
Pertama), (Yogyakarta : FH UII Press, 2014), h. 186 8Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2000),
h. 7
58
Meikarta ini, dapat dilihat dari ketentuan mengenai syarat keabsahan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang tidak hanya diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melainkan ada beberapa
syarat yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 Tentang Rumah Susun, yaitu pengembang harus memenuhi
persyaratan terlebih dahulu terkait:
a) Kepastian atas status kepemilikan tanah.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa luas lahan yang
dipasarkan seluas 500 Ha (lima ratus hektar) belum seluruhnya
dimiliki oleh pihak pengembang (developer), dikarenakan di kawasan
Kota Baru Meikarta tersebut masih terdapat area perkampungan,
sawah dan hak-hak atas tanah lainnya sehingga pengembang
(developer) Meikarta harus menyelesaiakan akuisisi seluruh lahan
tersebut sebelum melakukan pembangunan dan pemasaran.
b) Kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Mengenai pengembangan, Eddy juga menegaskan bahwa Meikarta
sudah mengirimkan surat untuk meminta rekomendasi terkait izin
AMDAL untuk area pembangunan, namun mereka belum meraih
rekomendasi tersebut sehingga pihaknya menerbitkan surat untuk
menghentikan operasi pembangunan sementara dikarenakan izin
AMDAL yang belum ada sehingga secara otomatis Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) pun belum ada.
c) Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar fisik
lingkungan hunia rumah susun yang memenuhi standar tertentu untuk
memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak dihuni meliputi
jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih, dan tempat sampah. Dalam
hal prasarana, Kota Baru Meikarta terletak secara strategis yaitu di
jantung koridor Jakarta-Bandung yang dikelilingi dengan kota industri.
Selain lokasi yang strategis, Kota Baru Meikarta juga memiliki
prospek cerah dan menguntungkan mengingat lokasi Meikarta
59
berada di antara mega proyek infrastruktur Indonesia di bidang
transporasi, meliputi :9
(1) Pelabuhan Laut Patimban (Patimban Deep Seaport)
Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dalam, dimana kapal
besar dapat langsung merapat sehingga tak perlu lagi melewati
Pelabuhan Tanjung Priok.
(2) Bandara Internasional Kertajati
Dengan adanya Bandara Internasional Kertajati, askes
tranportasi di Meikarta akan lebih mudah untuk bepergian ke
luar kota maupun luar negeri dikarenakan mereka tak perlu
pergi jauh ke Cengkareng atau Bandara Internasional Soekarno-
Hatta untuk menggunakan pesawat. Bandara yang terletak di
kabupaten Majalengka ini dibangun untuk mengurangi
kepadatan arus penumpang di Bandara Internasional Soekarno-
Hatta.
(3) Kereta Api Cepat (Light Rail Transport)
Jalur kereta api cepat ini sedang dipersiapkan pembangunan yaitu
jalur koridor 1 dengan tujuan Cawang-Bekasi Timur, dan koridor 2
dengan tujuan Stasiun Cikarang.
(4) Automated People Mover (APM) Monorail
Monorail ini juga akan dibangun di tengah Meikarta yang menjadi
penghubung daerah-daerah industri di kawasan Cikarang serta
terhubung dengan infrastruktur tranportasi lainnya.
(5) Jalan Tol Layang (Elevated Toll)
Jalan tol layang yang menghubungkan Jakarta-Cikampek
diperkirakan akan selesai dibangun dua hingga tiga tahun
mendatang sehingga dapat digunakan oleh Meikarta ketika
sudah siap dihuni nantinya.
(6) Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung
9https://www.liputan6.com/news/read/3070564/kota-baru-meikarta-diantara-mega-proyek-
infrastruktur-indonesia ? utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer diakses pada
tanggal 10 Juli 2019 pukul 4:22 WIB
60
Kereta ini yang nantinya akan membuat perjalanan Jakarta
Bandung hanya dalam waktu 39 menit saja yang artinya,
perjalanan dari Meikarta menuju Jakarta atau Bandung
diperkirakan hanya memakan waktu sekitar 20 menit.
Sarana, yang dimaksud dengan sarana adalah fasilitas dalam
lingkungan hunian rumah susun yang berfungsi untuk mendukung
penyelenggaran dan pengembangan kehidupan sosial, budaya dan
ekonomi yang meliputi sarana sosial ekonomi yaitu pendidikan,
kesehatan, peribatan dan perniagaan serta sarana umum seperti ruang
terbuka hijau, tempat rekreasi, sarana olahraga, tempat pemakaman
umum, sarana pemerintahan, dan lain-lain.
d) Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari volume
konstruksi bangunan rumah susun yang sedang dipasarkan.
Pada 29 Oktober 2017, Lippo Group melaksanakan penutupan atap
(topping off) dua tower pertama yang masing-masing terdiri dari 32
lantai dengan total 900 unit apartemen dari lebih dua ratus tower di
Meikarta yang sedang dan akan dibangun dalam beberapa tahun ke
depan, maka dapat dikatakan pembangunan Meikarta ini belum
mencapai 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi bangunan
rumah susun yang sedang dipasarkan.
e) Hal-hal lain yang diperjanjikan seperti kondisi satuan rumah susun
yang dibangun dan dijual kepada calon pembeli yang sedang
dipasarkan baik melaui media, promosi berupa lokasi dan bentuk
satuan rumah susun, spesifikasi bangunan, harga satuan rumah susun,
prasarana, sarana, dan utilitas umum rumah susun, fasilitas lain, dan
waktu serah terima satuan rumah susun.
Dalam proyek Meikarta, terdapat objek atau benda yang
diperjualbelikan yaitu hak milik atas satuan rumah susun yang berdiri di atas
tanah Hak Guna Bangunan. Rumah susun yang akan dijual pun wajib
memiliki izin-izin yang diperlukan seperti izin lokasi, bukti penguasaaan
61
dan pembayaran tanah, dan izin mendirikan bangunan serta terdapat
pokok persoalan tertentu yaitu dalam hal pembayaran calon pembeli
harus membayar booking fee sebagai tanda jadi dalam pembelian satuan
unit apartemen Meikarta serta waktu serah-terima satuan unit apartemen
itu sendiri.
Namun, berdasarkan hasil analisis bahwa pihak pengembang
(developer) sebelum membangun rumah susun belum memenuhi syarat
administratif sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 Tentang Rumah Susun salah satunya adalah status hak atas
tanah. Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan
Penguasaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Budi
Situmorang menjelaskan bahwa dari lahan 500 Ha (lima ratus hektar)
yang menjadi kawasan Meikarta belum sepenuhnya dimiliki oleh
pengembang (developer) karena di sana masih terdapat perkampungan,
sawah dan hak-hak atas tanah lainnya sehingga pengembang Meikarta
harus menyelesaikan akuisisi seluruh lahan tersebut sebelum melakukan
pembangunan dan pemasaran. Sehingga dengan adanya hal tersebut, maka
tanah yang diatasnya akan dibangun apartemen Meikarta tersebut masih
berupa tanah sengketa atau objek sengketa dikarenakan masih belum
memperoleh kepastian status hak atas tanah sehingga objek tersebut tidak
dapat diperjualbelikan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1335 jo. 1337 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang intinya adalah bahwa suatu perjanjian tanpa sebab
atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan dan suatu sebab adalah terlarang, apabila undang-
undang melarang atau berlawanan dengan kesusilaan maupun ketertiban
umum.
Selanjutnya, sebagai akibat hukum dari tidak dipenuhinya persyaratan
yang disebutkan dalam Pasal 42 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yang bersifat
kumulatif maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) batal demi hukum
62
dan menjadi sebuah kepastian hukum dikarenakan persyaratan-persyaratan
tersebut merupakan sebab atau tujuan utama agar Perjanjian Pengikatan
Jual Beli (PPJB) dapat dibuat.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keabsahan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dituangkan dalam bentuk Nomor
Urut Pemesanan (NUP) oleh pihak pengembang (developer) apartemen
Meikarta terhadap calon pembeli adalah tidak sah dikarenakan sejumlah
syarat sahnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) berdasarkan Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berupa syarat objektif tidak
terpenuhi yaitu suatu hal tertentu dan kausa yang halal maupun dalam Pasal 43
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yaitu
dalam proses pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pengembang
(developer) tidak memenuhi syarat, sebagai berikut :
a. Kepastian status hak atas tanah
b. Kepastian Izin Mendirikan Bangunan
c. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
d. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari volume
konstruksi bangunan rumah susun yang sedang dipasarkan
e. Hal-hal lain yang diperjanjikan.
B. Tanggung Jawab Pengembang (Developer) dalam Penjualan Satuan
Unit Apartemen Meikarta Secara Pre Project Selling
Tanggung jawab dapat didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab secara
hukum dari orang atau badan yang mengahsilkan suatu produk dari orang atau
badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu
produk atau mendistribusikan produk tersebut.
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut :
1. Kesalahan (liability based on fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
63
dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuaatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:10
a. Adanya perbuatan
b. Adanya unsur kesalahan
c. Adanya kerugian yang diderita
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
e. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability).
2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, bebaan
pembuktian ada pada pihak tergugat.
3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non liability);
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak
bertanggung jawab sampai dibuktikan bahwa ia bersalah.
4. Tanggung jawab mutlak (strict liability).
Prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.
Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan memaksa (force
majeur).
5. Pembatasan tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).
Prinsip tanggung dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha
untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini biasanya
dikombinasikan dengan prinsip–prinsip tanggung jawab lainnya.
Berbicara mengenai tanggung jawab, tanggung jawab pihak
pengembang (developer) dalam penjualan satuan unit rumah susun dalam
bentuk apartemen kepada pembeli secara umum sudah ada sejak
10 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h. 92
64
pengembang (developer) yang bersangkutan ingin membangun
apartemen. Salah satu bentuk tanggung jawabnya adalah mengurus
segala persyaratan dan perizinan yang diperlukan sebelum membangun
apartemen tersebut sebagaimana persyaratan tersebut telah diatur dalam
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
yang menetapkan persyaratan pembangunan rumah susun, meliputi :
a. Persyaratan administratif
Yang dimaksud persyaratan administratif adalah perizinan yang
diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah
susun yang meliputi :
1) Status hak atas tanah
2) Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
b. Persyaratan teknis
Persyaratan teknis dalam pembangunan rumah susun terdiri dari :
1) Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukkan lokasi
serta intensitas dan arsitektur bangunan
2) Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
c. Pesyaratan ekologis.
Pesyaratan ekologis adalah persyaratan yang memenuhi analisis
dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun.
Arie S. Hutagalung menyatakan bahwa dalam pembangunan rumah
susun memerlukan persyaratan administratif dan teknis, karena rumah
susun memiliki bentuk dan keadaan khusus yang berbeda dengan
perumahan biasa. Rumah susun merupakan gedung bertingkat yang
akan dihuni oleh banyak orang sehingga perlu dijamin keamanan,
keselamatan, dan kenikmatan dalam penghuniannya.
Terkait dengan skripsi ini, maka secara hukum pengembang
(developer) harus memberikan jaminan kepada calon pembeli atas
kenikmatan dan tidak adanya gangguan pihak ketiga yang merasa
65
memiliki ataupun bentuk lain yang dapat mengganggu kenyamanan
calon pembeli atas kepemilikan barang atau satuan unit apartemen yang
dimiliki. Jaminan yang dimaksud adalah jaminan atas legalitas
(perizinan) atas satuan unit apartemen yang dipesan tersebut dan
jaminan tidak ada gangguan pihak ketiga untuk membongkar
apartemen tersebut.
Pada kasus pembangunan megaproyek Kota Baru Meikarta yang
membangun hunian berbentuk apartemen, PT Lippo Cikarang Tbk
selaku pengembang (developer) tetap menguasai dan membangun
apartemen tersebut sedangkan pihaknya belum memenuhi ketentuan
persyaratan administratif yang berbentuk perizinan yang diperlukan
sebelum melakukan pembangunan rumah susun, yaitu :
1. Status hak atas tanah
PT Lippo Cikarang selaku pengembang (developer) apartemen
Meikarta belum sepenuhnya mengantongi izin pembangunan
proyek pemukiman. Saat ini lahan yang dimiliki oleh PT Lippo
Cikarang Tbk itu hanya berstatus izin kawasan industri.
Kawasan Meikarta belum sepenuhnya dimiliki oleh
pengembang (developer) karena disana masih masih terdapat
perkampungan, sawah, dan hak-hak atas tanah lainnya sehingga
pengembang Meikarta harus melakukan akuisisi seluruh lahan
tersebut sebelum melakukan pembangunan dan pemasaran.
Di sisin lain, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Bekasi, Daryanto, meyakini bahwa seluruh lahan di Meikarta
memang sudah dimilki oleh Lippo Group, namun kepemilikannya
tersebut terpecah-pecah dengan atas nama yang berbeda-beda tetapi
masih dalam lingkup Lippo Group dan Hak Guna Bangunan
(HGB) yang dimiliki belum atas nama pengembang (developer)
dari proyek apartemen Meikarta.
2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Izin Terpadu
66
(BPMPPT) Kabupaten Bekasi, Carwinda, menjelaskan bahwa
proyek Meikarta baru mendapatkan Izin Peruntukkan Penggunaan
Tanah (IPPT) untuk lahan seluas 84,6 Ha (delapan puluh koma
enam hektar) saja sedangkan proses perizinan lainnya, seperti Izin
Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) belum didapattkan oleh
pihak pengembang (developer) dalam membangun proyek tersebut
sehingga secara otomatis Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pun
belum ada.
Ditengah segala perizinan yang belum dipenuhi dan didapat dari
pemerintah setempat seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bahwa pihak
pengembang (developer) juga secara terang-terangan telah membuat iklan di
beberapa stasiun televisi dan memasarkan proyeknya tersebut kepada
masyarakat umum. Menurut Ombudsman yang diwakili oleh
komisionernya, Alamsyah Saragih, iklan tersebut tak sesuai kenyataan
karena Lippo menyebutkan akan membangun Kota Baru Meikarta seluas 500
Ha (lima ratus hektar) namun, rancangan RDTR Kabupaten Bekasi hanya
memberikan rekomendasi untuk kawasan Lippo Cikarang seluas 84,6 Ha
(delapan puluh koma enak hektar) hal ini bisa menjadi pemicu dalam hal
penipuan yang dapat merugikan para pihak yang terlibat khususnya pembeli
dan masyarakat umum dan menyalahi aturan iklan pada Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimana iklan harus
disajikan dengan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/ata jasa.
Dalam hal pengembang (developer) memasarkan rumah yang tidak
memiliki izin mendirikan bangunan kepada calon pembeli sudah tentu
pengembang (developer) tidak memiliki itikad baik dari semula. Dikatakan
demikian karena memiliki surat izin mendirikan bangunan merupakan
kewajiban dari pengembang (developer) sebelum melakukan
pembangunan dan sebelum melakukan pemasaran. Kewajiban tersebut
harus dipenuhi terlebih dahulu dan sudah tentu pengembang (developer)
67
mengetahui kewajibannya sebagai penjual sebagaimana diatur dalam
Pasal 42 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Rumah Susun yang menyatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh pelaku pembangunan rumah susun sebelum rumah tersebut
dipasarkan, yaitu :
a. Kepastian peruntukkan ruang
b. Kepastian hak atas tanah
c. Kepastian status penguasaan rumah susun
d. Perizinan pembangunan rumah susun
e. Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
Selain itu pihak pengembang (developer) pun menyebut pemasaran
Meikarta tersebut dengan sistem Pre Project Selling. Sistem Pre Project
Selling sendiri merupakan strategi penjualan rumah susun dengan cara
memasarkan rumah susun yang belum selesai dibangun atau bahkan
belum dibangun yang dapat dituangkan ke dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli (PPJB) dan hal ini sering digunakan oleh para pengembang
(developer). Dalam kasus Meikarta, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
ini dituangkan ke dalam bentuk Nomor Urut Pesanan (NUP) yang
didalamnya berlaku ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang
esensinya sama dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Adapun
ketentuan yang mengatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 bahwa pelaku pembangunan sebelum pembangunan rumah
susun selesai dapat membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli setelah
memenuhi persyaratan kepastian atas :
a. Status kepemilikan tanah
b. Kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
c. Ketersediaan prasarana, saran, dan utilitas umum
d. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen)
e. Hal yang diperjanjikan.
Bila melihat dari analisis mengenai persyaratan administratif yang belum
68
dipenuhi oleh pihak pengembang (developer), sedangkan pembangunan
rumah susun dalam bentuk apartemen yaitu apartemen Meikarta tetap
dilakukan dan berdiri tanpa memiliki Izin Mendirikan Bangunan sudah tentu
melanggar peraturan apalagi pihak pengembang (developer) sampai menjual
satuan unit apartemen Meikarta tersebut yang belum memiliki Izin
Mendirikan Bangunan kepada calon pembeli. Sehingga pengembang
(developer) telah melakukan 2 (dua) kesalahan yaitu membangun rumah
tanpa izin mendirikan bangunan dan memasarkan rumah yang tidak memiliki
izin mendirikan bangunan yang artinya perbuatan tersebut merupakan sebuah
Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, agar perbuatan tersebut dapat
dikatakan suatu perbuatan melawan hukum maka harus mengandung unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Adanya Perbuatan
Seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum ketika
dirinya melakukan perbuatan yang melanggar hukum, namun, ia juga
dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ketika ia
mengabaikan kewajiban hukumnya dengan tidak berbuat sesuatu.
Perbuatan dalam hal ini bermakna cukup luas yang dapat mencakup
perbuatan positif maupun perbuatan negatif.
Perbuatan positif yang melawan hukum berwujud melakukan sesuatu.
Misalnya A memiliki sebuah lahan kemudian B dengan tanpa izin lalu
memanfaatkan bahkan menduduki lahan tersebut. Perbuatan negatif adalah
perbuatan yang berwujud tidak melakukan sesuatu. Misalnya A
mengetahui kecelakaan lalu lintas dan mengetahui ada beberapa korban
69
yang sekarat dan segera memerlukan pertolongan tetapi ia tidak segera
memberikan pertolongan.11
Pada kasus Meikarta, tergolong perbuatan yang negatif dimana PT
Lippo Cikarang Tbk selaku pengembang (developer) mengetahui segala
persyaratan dan mengetahui beberapa perizinan yang harus dipenuhi
terlebih dahulu sebelum membangun rumah susun namun pihaknya tidak
segera mengurus segala persyaratan dan perizinan tersebut melainkan tetap
melakukan pembangunan dan memasarkan bangunan yang sedang
dibangunnya.
2. Perbuatan tersebut harus melawanhukum
Sebuah perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum
apabila meliputi hal-hal sebagai berikut :12
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yangberlaku
Perbuatan PT Lippo Cikarang Tbk selaku pengembang
(developer) dalam membangun sebuah apartemen Meikarta tidak
patuh terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 merupakan perbuatan yang
melanggar undang-undang yang berlaku. Dimana pihak
pengembang (developer) melanggar ketentuan dalam Pasal 24
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yang
mengatur bahwa pelaku pembangunan sebelum membangun rumah
susun harus memenuhi segala ketentuan administratif, yaitu:
1) Status hak atas tanah
2) Izin MendirikanBangunan.
Sedangkan PT Lippo Cikarang Tbk selaku pengembang
(developer) tidak memenuhi segala ketentuan tersebut seperti yang
telah dijelaskan di atas.Selain itu, pihak pengembang (developer)
juga melakukan pemasaran pendahuluan terhadap pembangunan
11 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandungan
(Bagian Pertama), (Yogyakarta : FH UII Press, 2014), h. 303 12 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung : Citra
Aditya Bakkti, 2013), h. 11
70
hunian dalam bentuk apartemen yang sedang dibangunnya melalui
iklan-iklan yang ditayangkan di televisipadahal pihaknya belum
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalamPasal 42 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun seperti yang
telah penulis jelaskan di atas.
b. Melanggar hak orang lain yang dijamin olehhukum
Adapun hak pembeli yang dilanggar oleh pihak pengembang
(developer) khusunya dalam hal pemasaran, yaitu seperti yang telah
penulis jelaskan di atas bahwa pengembang (developer) secara
terang-terangan telah mempromosikan serta membuat iklan di
televisi-televisi di tengah segala perizinan yang belum dikantongi. Di
dalam iklan tersebut menyebutkan bahwa luas lahan yang akan
dibangun adalah seluas 500 Ha (lima ratus hektar), namun pada
kenyataannya Pemerintah Provinsi hanya memberikan rekomendari
terkait Izin Penggunaan Peruntukkan Tanah (IPPT) hanya seluas
84,6 Ha (delapan puluh koma enam hektar). Dengan adanya
infomasi yang tidak sesuai, maka hal tersebut tentunya melanggar
hak pembeli sebagai konsumen atas barang dan/atau jasa yang
dihasilkan oleh pihak pengembang yang diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yaitu mengenai hak untuk mendapatkan informasi yang
jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.
c. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
Bila mengacu pada Pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 Tentang Rumah Susun yang menyatakan bahwa pelaku
pembangunan rumah susun sebelum melakukan pembangunan
rumah susun harus memenuhi persyaratan, meliputi :
1) Status hak atas tanah; dan
2) Izin Mendirikan Bangunan.
Artinya hal tersebut merupakan kewajiban dari pengembang
71
(developer) untuk memenuhi segala persyaratan.
d. Perbuatan yang bertentangan dengankesusilaan
Bertentangan dengan kaidah kesusilaan bermakna bertentangan
dengan nilai-nilai moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat
diakui sebagai norma hukum. Moral hanya menunjukkan norma-
normanya kepada manusia sebagai makhluk. Adapun susila
mengajarkan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang
baik.
e. Bertentangan dengan Kepatutan
Bertentangan dengan kepatutan adalah bertentangan dengan
kepatutan yan berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Dalam hal ini
harus diperhatikan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain
danmengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan layak.
Pembangunan proyek Meikarta bisa disebut tidak
memperhatikan lingkungan sekitar, karena masih terdapat rumah-
rumah warga yang berdekatan dengan lokasi proyek pembangunan
tersebut yang mengakibatkan warga merasa bising dan infrastruktur
yang biasa dipakai oleh warga mengalami kerusakan.
3. Kesalahan
Menurut J. Satrio kesalahan yang tercantum dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merupakan sesuatu yang tercela, yang
dapat dipersalahkan, yang berkaitan dengan perilaku dan akibat perilaku
si pelaku, yaitu kerugian. Perilaku dan kerugian dapat dipersalahkan dan
karenanya dapatdipertanggungjawabkan.13 Unsur kesalahan di dalam
kasus Meikarta ini terdapat pada perilaku pengembang (developer) yang
mana dalam hal sebelum melakukan pembangunan rumah susun,
pengembang (developer) tidak memenuhi :
a. Persyaratan administratif yang ditentukan dalam Pasal 28 Undang-
13J. Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang: Bagian Pertama, (Bandu
ng : Citra Aditya Bakti, 2001), h. 221
72
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yang
meliputi:
1) Status hak atas tanah
2) Izin Mendirikan Bangunan
b. Persyaratan yang harus dimiliki oleh pelaku pembangunan sebelum
melakukan pemasarang yang ditentukan dalam Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah susun, yaitu:
1) Kepastian peruntukkan ruang
2) Kepastian hak atas tanah
3) Kepastian status penguasaan rumah susun
4) Perizinan pembangunan rumah susun
5) Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembagapenjamin.
c. Persyaratan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun yang mengatur bahwa sebelum membuat
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pelaku pembangunan
sekurang-kurangnya harus memiliki:
1) Kepastian peruntukkan ruang
2) Kepastian hak atas tanah
3) Kepastian status penguasaan rumah susun
4) Perizinan pembangunan rumah susun
5) Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
4. Kerugian
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan
bahwa kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar
ganti kerugian. Kerugian yang timbul dari perbuatan melawan hukum
meliputi kerugian harta kekayaan atau material dan ideal atau
immaterial.
Kerugian material pada umumnya mencakup kerugian yang diderita
penderita dan keuntungan yang diharapkan. Sedangkan kerugian ideal
meliputi ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup.
Dengan adanya kerugian-kerugian yang diderita, maka pertanggung
73
jawaban secara perbuatan melawan hukum adalah tanggung gugat.
Gugatan yang dapat digugat oleh pembeli yang merasa dirugikan dapat
berupa:
a. Uang
b. Pemulihan ke keadaan semula
c. Larangan untuk mengulangi perbuatan itu kembali
d. Putusan hakim bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kerugian dalam kasus Meikarta ini terjadi ketika dalam hal apabila
timbul pemutusan penegasan pemesanan oleh pihak pengembang akibat
kelalaian pembeli maka uang yang telah dibayar oleh pembeli kepada
pengembang seperti booking fee, seluruh DP serta pajak-pajak antara
lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah disetorkan ke Kas
Negara tidak dapat dikembalikan kepada pembeli.
5. Hubungan Sebab-Akibat antara Perbuatan dan Kerugian
Dalam hukum perdata ajaran kausalitas digunakan untuk
menemukan hubungan klausa antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian yang ditimbulkan untuk membebankan tanggung jawab kepada
pelaku.
Berdasarkan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut dalam perjanjian
pengikatan jual beli apartemen antara developer dengan konsumen, maka
tanggung jawab developer merupakan prinsip tanggung jawab dengan
pembatasan, seharusnya tidak hanya terbatas pada apa yang tercantum
dalam perjanjian tersebut, tetapi lebih dari itu developer juga harus
bertanggung jawab terhadap cacat tersembunyi pada produk
apartemennya. Hal ini sangat penting mengingat tanggung jawab
pemeliharaan apartemen oleh developer sangat pendek jangka waktunya.
Konsumen tidak mungkin dapat mengetahui kondisi fisik dari apartemen
yang telah dibangun oleh developer dalam jangka waktu 3 (tiga) atau 4
(empat) bulan. Produk apartemen/tempat hunian tidaklah sama dengan
produk barang lainya yang mungkin dapat diketahui adanya cacat
74
tersembunyi seketika pada saat barang tersebut dipergunakan. Lain halnya
dengan produk bangunan seperti apartemen, untuk mengetahui kekuatan
konstruksi bangunan apartemen perlu dilakukan pemeriksaan oleh para
pakar, sehingga bagi konsumen sangat mustahil dapat mengajukan klaim
dalam jangka waktu tersebut.
Kualitas bangunan biasanya baru diketahui ketika terjadinya
pergantian musim. Misalkan saja penyerahan dilakukan pada musim
kemarau. Pada saat musim penghujan ternyata ada dinding yang retak dan
rembes. Hal tersebut baru diketahui setelah jangka waktu pemeliharaan
telah selesai, sebagai akibatnya konsumen tidak dapat melakukan klaim
kepada developer dengan alasan sudah bukan menjadi tanggung jawab
developer.
Oleh karena itu dalam rangka memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
mengajukan gugatan atas cacat tersembunyi. Konsumen juga dapat
menggunakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen sebagai pedoman untuk mengajukan gugatan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar
konsumen yang membeli apartemen, tidak merasa dirugikan atas isi
perjanjian pengikatan jual beli apartemen maupun pelaksanaan dari
perjanjian tersebut. Menurut salah seorang konsumen yang tinggal di
Apartemen Bellagio, developer telah melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya sesuai dengan isi perjanjian pengikatan jual beli
apartemen dan iklan atau brosur yang disebarkan. Konsumen tidak
mengalami hambatan dengan fasilitas apartemen seperti PDAM dan PLN
maupun fasilitas umum. Kondisi fisik apartemen pada saat diserahkan juga
dalam keadaan baik sesuai janji.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Dasar hukum pada konsep Pre Project Selling tidak lepas dari beberapa
peraturan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, serta
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Undang-
undang tersebut seringkali digunakan sebagai acuan untuk proses Pre
Project Selling yang mengatur secara umum tentang pembangunan rumah
susun baik secara vertikal atau horizontal. Dalam pasal 42 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menggunakan Perjanjian
Pendahuluan untuk Proses Pre Project Selling sedangkan dalam pasal 42
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mengguunakan
Perjanjian bersyarat.
2. Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam penjualan
satuan unit apartemen Meikarta secara Pre Project Selling yang
dituangkan dalam bentuk Nomor Urut Pemesanan (NUP) oleh PT
Mahkota Sentosa Utama selaku pengembang (developer) terhadap
calon pembeli adalah tidak sah dan batal demi hukum dikarenakan
perjanjian tersebut melanggar syarat objektif dari syarat sahnya
perjanjian pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yaitu mengenai suatu hal tertentu dan klausa yang halal. Lalu, dalam
hal pengembang (developer) sebelum membuat Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) dalam penjualan satuan unit apartemen Meikarta ini juga
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yang
bersifat kumulatif maka perjanjian tersebut batal demi hukum
76
dikarenakan persyaratan-persyaratan tersebut merupakan sebab atau
tujuan utama agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat dibuat.
3. Tanggungjawab hukum pengembang apabila salah satu pihak melakukan
kesalahan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam kredit pemilikan
satuan rumah susun dapat didasarkan pada Wanprestasi diatur dalam Pasal
1338 KUH Perdata kesalahannya yang dilakukan berupa apabila
konsumen tidak mampu lagi membayar kewajibannya yang berakibat
kerugian bagi pihak bank maupun developer. Tanggung jawab hukum
didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUH Perdata
berupa kesalahan yang dilakukan oleh pihak bank dan developer dalam hal
ini konsumen tidak menerima rumah susun sesuai dengan yang
diperjanjikan pada awal perjanjian kredit kepemilikan. Apabila ada
kerusakan saat rumah susun itu ditempati berupa kerusakan pada slot
pintu, plavon, saluran air, menjadi tanggung jawab developer. Akan tetapi,
apabila di luar rincian tersebut semisal kerusakan pada furniture maka
tanggung jawab pihak konsumen. Dengan demikian pihak yang
melakukan kesalahan harus mengganti kerugian.
B. Rekomendasi
Berdasarkan simpulan yang telah didapatkan dari analisis di atas,
maka rekomendasi yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah :
1. Pengembang (developer) sebaiknya apabila ingin membangun sebuah
perumahan baik perumahan umum maupun rumah susun dalam bentuk
apartemen hendaknya mengurus dan menyelesaikan segala perizinan
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai syarat untuk membangun kawasan perumahan tanpa
terkecuali. Setelah segala persyaratan untuk membangun rumah susun
terpenuhi, maka pengembang (developer) diperbolehkan untuk
membangun dan memasarkan produknya kepada masyarakat.
2. Bagi masyarakat khususnya calon pembeli harus meningkatkan
kesadarannya untuk memahami hak dan kewajiban sebagai pembeli
77
serta menggali informasi yang jelas agar terhindar dari masalah yang
timbul di kemudian hari khususnya dalam jual beli apartemen.
3. Adanya upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dalam
menuntut hak-haknya belum sepenuhnya dipahami oleh konsumen, oleh
karena itu perlu ada upaya dari pemerintah maupun lembaga konsumen
untuk memberikan kesadaran kepada konsumen agar lebih cermat dalam
mengadakan hubungan hukum dengan developer terutama dalam
perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) apartemen.
78
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Agustina, Rosa et.al, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Denpasar, Pustaka
Larasan, 2012.
Ali, Achmad, Menguak tabir hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis),
Jakarta, toko gunung agung, 2002.
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum Pengantar, Jakarta, Sinar Grafika, 2012.
Ariyani, Evi, Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Penerbit Ombat, 2013.
Djumialdji, Hukum Bangunan: Ctk. Pertama, Jakarta, Rineka Cipta, 1996.
Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung,
Citra Aditya Bakkti, 2013.
H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII,
Jakarta, Sinar Grafika, 2011.
Hutagalung, Arie S, Kondominium dan Permasalahannya (edisi revisi), Jakarta,
Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2007.
Hutagalung, Arie S, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi
(Suatu kumpulan karangan), Jakarta, Penerbit FH UI, 2002.
J, Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang timbul dari Perjanjian, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1995.
J, Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang: Bagian Pertama,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.
J, Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1992.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya,
Bayumedia Publishing, 2005.
Khairandy, Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan
(Bagian Pertama), Yogyakarta, FH UII Press, 2014.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Sinar
Grafika, 2009.
Kuswahyono, Imam, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman,
Malang, Bayumedia, 2004.
79
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008.
Merwe, Cornelius Van Der, European Condominium Law, Cambridge University
Press, 2015.
Muljadi, Kartini et.al, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Panggabean, R.M, “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”, Jurnal Hukum,
Edisi No. 4 Vol. 17, Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung, CV Mandar
Maju, 2000.
Rahman, Hasanuddin, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis Contract
Drafting, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Rato, Dominikus, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum,
Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2010.
Santoso, Lukman, Hukum Perjanjian Kontrak, Jakarta, Cakrawala, 2012.
Santoso, Urip, Hukum Perumahan, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2000.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta, Rajawali, 2003.
Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Pers, 2008.
Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi,
Jakarta, Buku Kompas, 2005.
Susanto, Urip, Hukum Perumahan, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Jakarta, Alfabeta, 2004.
Sutedi, Adrian, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Syahrani, Riduan, rangkuman intisari ilmu hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1999.
80
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
SK Menteri Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pedoman
Pengikatan Jual Beli Rumah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
C. Jurnal
Ganita Kumalasari, Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Pre Project Selling
Perumahan (Studi Kasus di PT Menara Santosa). (Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surkarta, 2018).
http://eprints.ums.ac.id/67131/9/NASKAH%20PUBLIKASI-18.pdf
Lintang Yudhantaka, 2017. Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun Dengan
Sistem Pre Project Selling. Yuridika: Volume 32 No. 1, Januari 2017
Majalah Properti Indonesia, Mewaspadai Pre Project Selling, Volume 8,
September,1994.
Meydiandra, Falah dan Indri Fogar Susilowati,“Problematika Pembentukan
Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun di Apartemen
Metropolis Surabaya”, Jurnal Novum, Edisi No. 2 Vol. 3, Universitas
Negeri Surabaya, 2017.
Purbandari, Kepastian Dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti
Dengan Sistem Pre Project Selling. Fakultas Hukum Universitas MPU
Tantular. Tahun 29 Nomor 320 Mei 2012.
81
D. Internet
Ganita Kumalasari, Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Pre Project Selling
Perumahan (Studi Kasus di PT Menara Santosa). Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surkarta, 2018.
http://eprints.ums.ac.id/67131/9/NASKAH%20PUBLIKASI-18.pdf .
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/532/gdlhub-gdl-s3-2013-sudiarto-26584-9.-
bab-ia.pdf diakses pada tanggal 15 September Pkl. 10:40 WIB
http://infobanknews.com/berpotensi-rugikan-konsumen-proyek-meikarta-perlu-
diawasi/3/ diakses pada tanggal 11 Juli 2019 Pukul 20.00 WIB.
http://mkn.fh.unair.ac.id/penegakan-hukum-pada-bisnis-properti-dengan-pola-pre-
project-selling/?lang=id diakses 19 Februari 2019.
https://finance.detik.com/properti/d-3609693/benarkah-grup-lippo-belum-
sepenuhnya-kuasai-lahan-meikarta diakses pada tanggal 8 Juli 2019
Pukul 19.30 WIB.
https://tirto.id/di-mana-hak-konsumen-dalam-polemik-perizinan-meikarta-ctL
https://www.liputan6.com/news/read/3070564/kota-baru-meikarta-diantara-mega-
proyek-infrastruktur
indonesia?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrerdi
akses pada tanggal 10 Juli 2019 pukul 4:22 WIB.
Suhendra, Dimana Hak Konsumen dalam Polemik Perizinan Meikarta, terdapat
dalam https://tirto.id/di-mana-hak-konsumen-dalam-polemik-perizinan-
meikarta-ctLE diakses tanggal 19 Februari 2019 pukul 14.30 WIB.
Vinna Khairunisa, Tanggung Jawab Pengembang (Developer) dalam Penjualan
Satuan Unit Apartemen Meikarta Secara Pre Project Selling. Fakultas
Hukum, Univeristas Islam Indonesia, Yogyakarta. 2018.
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/6663/Cover%20Skr
ipsi.pdf%20new.pdf?sequence=1.diakses 19 Februari 2019 Pukul 15.00
WIB.