repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/dicka...

74
TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH) TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Dicka Nanda Dermawan NIM : 1111043200029 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M

Upload: ledien

Post on 17-Aug-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH)

TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS

(NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Dicka Nanda Dermawan

NIM : 1111043200029

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

i

TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH)

TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS

(NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Dicka Nanda Dermawan

NIM : 1111043200029

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

ii

TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH)

TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS

(NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Dicka Nanda Dermawan

NIM : 1111043200029

Pembimbing I Pembimbing II

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Mara Sutan Rambe, M.H

NIP. 197412132003121002

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

iii

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dicka Nanda Dermawan

NIM : 1111043200029

Prodi : Perbandingan Mazhab

Fakultas : Syariah dan Hukum

Alamat : Jl. Raya Muchtar Rt 01 Rw 07 Sawangan Baru Depok

Email : [email protected]

HP : 083819867561

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Mengenai sumber-sumber yang saya cantumkan dalam skripsi ini, telah

disesuaikan menurut ketentuan dan aturan yang berlaku Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa dalam karya ini bukan hasil karya sendiri

atau plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 1 Juni 2018

materai

Dicka Nanda Dermawan

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

v

ABSTRAK

DICKA NANDA DERMAWAN. 1111043200029. TINJAUAN KONSEP

HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH) TERHADAP PEMBELAAN

TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.

Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. 1 x

63 halaman.

Skripsi ini mengkaji tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam mengambil

keputusan pada kasus tindak pidana pembunuhan yang berkaitan dengan pembelaan

terpaksa melampaui batas (noodweer exces) dalam tinjauan hifdzu al-nafs (maqasid

al-syariah). Dan bagaimana korelasi antara noodweer exces dengan maqasid al-

syariah.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan melihat kasus-kasus

empiris yang tejadi dalam masyarakat dengan menggunakan penelitian kepustakaan

(library research) yaitu dengan memahami objek penelitian serta mengkaji buku-

buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Dengan menganalisa putusan

hakim dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka-

angka.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam Islam pun sangat memperhatikan

terhadap keselamatan jiwa kita ataupun orang lain. Sama halnya dengan pembelaan

terpaksa melampaui batas (noodweer exces) yang diatur dalam KUHP Pasal 49 ayat 2.

Kata Kunci: Noodweer Exces, Maqasid Al-Syariah dan Hifdzu Al-Nafs

Pembimbing: Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.

: Mara SutanRambe, M.H.

DaftarPustaka: 1970 – 2014

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

vi

بسم هللا الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

Ungkapan puji syukur kehadirat Allah SWTatas limpahan rahmat dan nikmat-

Nya, sehingga kita semua tetap dalam kondisi sehat beserta Islam dan iman yang

melekat. Shalawat beserta salam dihaturkan kepada suri tauladan dan junjungan Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Ungkapan Alhamdulillah, atas selesainya tulisan skripsi yang berjudul

“Tinjauan Konsep Hifdzu Al-nafs (Maqasid Al-Syariah) Terhadap Pembelaan

Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana

Pembunuhan” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)

Konsentrasi Perbandingan Hukum Progrram Studi Perbandingan Mazhab Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai manusia biasa, penyusunan skripsi ini jauh dari kata sempurna. Namun

dengan harapan, semoga hasil penelitian dalam skripsi ini bermanfaat terutama bagi

penulis dan bagi khalayak secara umum. Penulis juga menyadari, atas bantuan banyak

pihak skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, ucapan banyak terimakasih

penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., sebagai Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kepada Bapak Drs. Noryamin, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

telah mengarahkan banyak hal dalam perkuliahan sampai proses akhir

penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Bapak Mara SutanRambe, M.H.

selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan serta

bimbingan sampai skripsi ini selesai.

5. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., dan Bapak Indra Rahmatullah, SH. I, MH.

selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan kepada

penulis.

6. Jajaran struktural kepengurusan program studi Perbandingan Mazhab dalam masa

jabatan sebelumnya.

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

vii

7. Para Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmunya di berbagai disiplin keilmuan. Baik dalam perkuliahan

atau di luar, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT dan bermanfaat bagi

penulis.

8. Tak lupa dan teristimewa, ungkapan terimakasih untuk Ayahanda dan Ibunda

tercinta, Bapak M. Yusuf dan Ibu Hernawati, S.Pd serta semua anggota keluarga

yang selalu memberikan dukungan dan doa setiap waktu.

9. Tidak lupa untuk yang teristimewa adinda Putri Chaziah yang selalu memberikan

support serta doa yang tiada henti dalam perjuangan selama masa perkuliahan.

10. Kepada seluruh teman seperjuangan Perbandingan Hukum angkatan 2011,dan

organisasi/komunitas lainnya yang telah meluangkan waktu bersama dalam

mendewasakan diri, berbagi ilmu dan kebersamaan.

11. Kepada teman-teman semangat skripsi yang penulis banggakan Abdul Gopur SH.,

Moh. Basri, SH., Nur Moh. Maftuh, SH., Alan Novandi, SH., Ahmad MujabZaini,

S.H, Heru, S.H, dan Jualian Pranata, S.H, Afrita Rizky Nurul Afti S.H. Serta adik-

adik di Program Studi Perbandingan Mazhab yang setiap saat bersama

memberikan dukungan, saran dan masukan kepada penulis.

12. Kepadateman-teman kostan pesanggrahan Habibillah Pratama, Syaiful Anwar,

Ridwan, Mizhfar Alawiy, Rizky Akbari, dan Rian Syahrizal yang selalu

memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Hanya ungkapan terimakasih dan doa yang dapat penulis berikan. Dengan harapan

semoga amal ibadah mereka semua diterima oleh Allah SWT dan mendapatkan

balasan dengan sebaik-baiknya balasan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak.

Amin.

Jakarta : 23 Juni 2018 M

14 Jumadil Akhir 1439H

Penulis

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................... viii

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. ................................................................................... Latar

Belakang Masalah ............................................................. 1

B. ................................................................................... Batasan

dan Rumusan Masalah ....................................................... 7

C. ................................................................................... Tujuan

dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7

D. ................................................................................... Review

Studi terdahulu .................................................................. 8

E. ................................................................................... Kerangka

Teori .................................................................................. 9

F. .................................................................................... Metodelog

i Penelitian ......................................................................... 10

G. ................................................................................... Sistematik

a Penulisan ......................................................................... 12

BAB II : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

ix

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM ..............13

A. ................................................................................... Tindak

Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Indonesia ............................................................................ 13

B. ................................................................................... Tindak

Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Islam .................................................................................. 22

BAB III : NOODWEER EXCES DAN KONSEP HIFDZU

AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH) ................................ 31

A. ................................................................................... Pengertian

Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

(Noodweer Exces) dalam Hukum Pidana .. ....................... 31

B. ................................................................................... Pertanggu

ng Jawaban Pidana ............................................ 40

C. ................................................................................... Konsep

Maqasid al-Syariah ............................................................ 44

BAB IV : PEMBELAAN TERPKASA MELAMPAUI BATAS DALAM

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ................................. 48

A. ................................................................................... Pembelaan

Terpaksa Melampaui Batas dalam

Tindak Pidana Pembunuhan .............................................. 48

B. ................................................................................... Tinjauan

Maqasid Al-Syariah Terhadap Pembelaan Terpaksa Melamapui

Batas .............................................................. 53

C. ................................................................................... Analisis

Penulis ................................................................. 55

BAB V : PENUTUP ............................................................................. 59

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

x

A. ................................................................................... Kesimpula

n ......................................................................................... 59

B. ................................................................................... Saran-

saran ................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 61

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Berlakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat maka kita tidak terlepas dari apa yang

dinamakan dengan hukum. Sudah kita ketahui bahwa secara umum hukum

diciptakan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, dan berguna memberikan

argumentasi yang kuat bahwa bila hukum diterapkan dalam masyarakat maka

mereka akan dapat merasakan keamanan, keadilan dan kemaslahatan dalam

kehidupan bermasyarakat. Seperti hukum positif kita yang dihasilkan dari

interpretasi manusia terhadap peraturan dan perbuatan sesama manusia (hablu

minannas), sedangkan hukum Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat

(hablu minallah). Sehingga seimbang antara kebutuhan rohani dan kebutuhan

jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi perintah Allah dan

menjauhi larangan-Nya, semua itu akan kembali kepada pelakunya sendiri.1

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mengatur

setiap tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. hukum itu sendiri salah satunya

bertujuan untuk menciptakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam

masyarakat.2 Oleh karena itu bukan berarti tidak ada potensi bagi seseorang untuk

melakukan suatu kejahatan bagi orang lain.

Dalam Islam setiap kejahatan atau tindak pidana merupakan larangan-

larangan syariat yang dikategorikan dengan istilah jarimah dan jinayah. Para Ahli

Fikih telah mejelaskan jarimah yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila

dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had atau takzir. Adapun

mengenai istilah jinayah para Fuqoha memaknai kata tersebut hanya untuk

perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan seperti melukai,

memukul dan membunuh.3

1Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),

h. 89

2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Eresco, 1486),

h. 14

3 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 2

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

2

Dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran pada dasarnya bukan berarti

suatu pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk

mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut dengan maqasid

al-syariah yaitu yang terdiri dari hifdzu al-nafs (menjaga jiwa), hifdzu al-aql

(menjaga akal), hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu al-mal (menjaga harta) dan

hifdzu al-nasl (menjaga keturunan). Dalam Islam lima hal pokok ini, wajib

diwujudkan dan dipelihara. Jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia

di dunia dan akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima

pokok tadi merupakan amalan shaleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.4

Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dimasyarakat seperti hukum adat,

peraturan perundang-undangan seperti hukum barat, konsepsi hukum Islam yaitu

dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia

dengan Tuhannya (hablu minallah), manusia dengan dirinya, atau manusia dengan

makhluk lain dan manusia dengan lingkungannya.5

Maqashid al-Syariah dipahami sebagai tujuan disyariatkan hukum Islam,

yang dalam terminolginya identik dengan istilah filsafat hukum Islam. Wahbah al-

Zuhaili, memahami Maqasid Al-Syariah sebagai nilai-nilai dan sasaran syara’

yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-

nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang

ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum.6 Dalam konteks tujuan

syariah inilah, erat kaitannya dengan kemaslahatan yang terkandung dalam

syariah.

Sebagai upaya mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi

Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid

hâjiyat, dan Maqashid tahsînât. Kemudian Al-Syatibi, merinci masalah

Dharuriyat mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2)

4 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 107.

5 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam Wacana dan

Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) h. 71-72.

6 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-fiqih al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986) h. 1017

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

3

menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga

keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal).7

Umat Islam bekewajiban untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Sehingga

tidak melukai atau melakukan pembunuhan antar sesama manusia. Intinya, jiwa

manusia harus selalu dihormati. Manusia diharapkan saling menyayangi dan

berbagi kasih sayang dalam bingkai ajaran agama Islam serta yang dicontohkan

oleh Nabi Muhammad SAW.

Hifdzu Al-nafs artinya menjaga dan mempertahankan jiwa. Setiap manusia

diberikan kebebasan dan diberi hak untuk melindungi diri dari berbagai macam

bentuk usaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi

tanggungannya ataupun orang lain. Untuk itu dalam Islam dibuat aturan seperti

Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau

membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu).

Hukum Islam, memiliki aturan tersendiri terhadap pembelaan yang

melampaui batas seperti di atas, sebagaimana dalam hukum pidana Indonesia.

Meskipun dalam bentuk terapan hukum berbeda, seperti sanksi dll. sebagaimana

disampaikan di atas, bahwa menjaga jiwa merupakan kebutuhan primer yang

harus dilindungi, yang tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pembunuhan

tidak sengaja (al-qatl al-khatha’) yang diakibatkan karena pembelaan diri.

Akan tetapi, Maqashid dharûriyât berbentuk hifzh al-nafs yang mengkibatkan

pembunuhan, ketika berada di Indonesia akan menjadi dilematis. Karena

Indonesia menerapkan hukum yang tidak sama, dengan pidana Islam, yang dalam

hal ini sistem hukum pidana Indonesia menitik beratkan pada analisa dan tafsiran

hakim dalam pemutusan perkara pembunuhan tidak sengaja karena alasan

menjaga jiwa saat keadaan jiwa terancam.

Berkaitan dengan ini, dalam hukum pidana disebut kan dengan istilah

Pembelaan Terpaksa yang melampaui batas dalam rangka melindungi jiwa.

Pembelaan terpaksa ini, termaktub dalam KUHP Pasal 49 ayat 28. Bahwasannya

7 Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.) h.

5. Pendapat serupa dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yang membagi tujuan pensyariatan

hukum islam pada tiga tingkatan Wahbah Al-Zuhaili, Ushul, h. 1020-1023

8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 156

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

4

ketika seseorang terpaksa melakukan perbuatan untuk melakukan suatu

pembelaan karena ada serangan atau ancaman saat itu yang melawan hukum

terhadap diri sendiri maupun orang lain, maka tidak dipidana. Maka dalam hal ini

juga terdapat syarat dan unsur yang harus terpenuhi, perbuatan yang dianggap

pembelaan terpaksa, yang dapat menjadi pemaafan tindak pidana yang dilakukan

oleh seseorang. Oleh karena itu, di satu sisi Islam mengharuskan ummatnya untuk

menjaga saja dengan perbuatan tidak sengaja dapat membunuh orang lain yang

memaksa pihak pembunuh untuk melakukan pembunuhan karena menjaga jiwa

dari ancaman tersebut, dapatkah menjadi alasan peniadaan pidana dalam hukum

pidana Indonesia, dan atau tergolong kedalam perbuatan Noodweer Axces yang

menjadi salah satu unsur penghapusan pidana.

Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi

hakim untuk menjatuhakan hukuman atau pidana kepada pelaku atau terdakwa

yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-

alasan tersebut dinamakan alasan penghapusan pidana. Alasan penghapus pidana

adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini

menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik

sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang seharusnya dipidana,

akan tetapi tidak dijatuhi pidana. Dalam hal ini hakim menempatkan wewenang

dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu

apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan

dalam alasan penghapus pidana.9

Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan

khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa),

meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak

dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP,

doktrin maupun yurisprudensi. Dalam KUHP tidak disebutkan istilah-istilah

alasan pembenar dan alasan pemaaf. Titel ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya

9 Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2014) h. 27

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

5

menyebutkan: alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Adapun alasan-alasan

yang mengahapuskan pidana dapat dibedakan menjadi:

a. Alasan Pembenar: yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya

perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan

yang patut dan benar.

b. Alasan Pemaaf: yaitu alasan yang mengahapuskan kesalahan terdakwa.

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi

tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada

kesalahan.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan penulis tertarik untuk membahas kasus

tersebut, pertama karena belum banyaknya yang membahas tentang noodweer

exces yang dalam prakteknya justru banyak sekali terjadi dalam kehidupan kita,

dan jarang yang membahas noodweer exces dari konsep maqasid al-syariah.

kedua adalah karena sering terjadinya tindak kekerasan yang banyak

menimbulkan berbagai akibat. Bahkan tidak sedikit yang berujung pada kematian.

Seperti yang dikemukakan dalam penelitian ini pada kasus tindak pidana

pembunuhan yang dilakukan Bintang Badrin Glr.Raja Pulitan Bin Zakaria

terhadap Aminudin Bin Bahirun dengan dengan putusan

Nomor:79/Pid./2013/PT.TK dimana saat itu pada hari Senin tanggal 19 November

2012 sekira pukul 10.00 wib bermula pada saat saksi Paimin Bin Joyo yang saat

itu sedang membajak tanah seluas setengah hektar milik saudara Zubir yang

beralamatkan di Kampung Komering Agung Kec Gunung Sugih Kabupaten

Lampung Tengah tepatnya didepan SDN Komering Agung atas perintah dari

korban Aminudin Bin Bahirun, saat itu saksi Pimin dihampiri oleh terdakwa dan

kemudian terdakwa memerintahkan kepada saksi Pimin untuk menghentikan

kegiatan membajak tanah perladangan yang saat itu dilakukan oleh saksi Paimin.

Saat itu juga saksi Paimin menghentikan pekerjaannya dan langsung

mendatangi rumah korban Aminudin Bin Bahirun untuk melaporkan kepada

korban Aminudin mengenai perintah yang dilakukan oleh terdakwa tersebut, dan

kemudian setelah korban Aminudin mendengar laporan dari saksi Paimin tersebut

saat itu korban Aminudin berkata kepada saksi Paimin dengan nada emosi “APA

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

6

MAU DIA” dengan tujuan berkata kepada terdakwa pada hari yang sama sekitar

pukul 02.00 wib korban Aminudin mendatangi rumah terdakwa dengan tujuan

untuk menemui terdakwa namun saat itu korban tidak berhasil menemui terdakwa

melainkan hanya bertemu dengan saksi Karyati.

Saat itu korban Aminudin berkata kepada saksi Karyati bahwa korban

Aminudin akan menemui terdakwa kembali. Beberapa menit kemudian saat

terdakwa kembali kerumah, terdakwa saat itu bertemu dengan korban Aminudin

didepan rumah terdakwa, dan korban Aminudin berkata kepada terdakwa dengan

nada emosi “Saya Bunuh kamu, saya nyari kamu kemana-mana tidak ketemu”

dengan disertai mengeluarkan senjata tajam jenis laduk yang saat itu diselipkan di

punggung bagian belakang tubuh korban Aminudin dengan menggunakan tangan

sebelah kanannya, kemudian langsung membacokan senjata tajam tersebut ke arah

tubuh terdakwa, saat itu terdakwa berusaha untuk menghindari bacokan dari

korban Aminudin dengan cara mundur kebelakang sehingga bacokan pertama

tersebut tidak berhasil mengenai tubuh dari terdakwa.

Kemudian korban Aminudin berusaha membacokan kembali senjata tajam

tersebut ke tubuh terdakwa untuk kesekian kalinya pada akhirnya bacokan dari

korban Aminudin mengenai leher bagian kiri dan lengan bagian kiri terdakwa

akibat bacokan tersebut terdakwa berusaha dan berhasil memegang bagian

punggung senjata yang saat itu dipegang oleh korban dan kemudian terdakwa

mendorong tubuh korban Aminudin hingga terjatuh dikarenkan dibelakang korban

Aminudin saat itu terdapat batang kayu yang sudah kering, lalu selanjutnya

dengan seketika terdakwa yang saat itu sudah memegang senjata tajam tersebut

yang sebelumnya dibawa korban Aminudin langsung mengarahkan senjata tajam

tersebut ke arah perut korban Aminudin hingga mengakibatkan senjata tersebut

berhasil menancap.

Selanjutnya korban Aminudin melepaskan senjata tersebut dari perutnya dan

kemudian terdakwa menginjak tangan korban Aminudin yang saat itu masih

memegang senjata tajam dan langsung merebut senjata tajam tersebut yang saat

itu masih di pegang oleh korban Aminudin, dan kemudian dengan seketika

terdakwa berhasil memegang senjata tajam tersebut dan selanjutnya terdakwa

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

7

membacokan senjata tajam tersebut ke arah korban Aminudin dengan cara

berkali-kali, dan akibat perbuatan terdakwa korban Aminudin meninggal dunia

akibat luka yang dialaminya.

Dari paparan di atas, penulis melihat ini penting dilakukan kajian hukum

untuk mendudukkan hukum pidana indonesia secara berkepastian. Oleh karena

itu, penulis mengangkat judul tulisan penelitian ini dengan judul “Tinjauan

Konsep Hifdzu Al-nafs (Maqasid Al-Syariah) Terhadap Pembelaan Terpaksa

Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan”.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Agar penulisan dalam pembahasan ini dapat fokus. Maka penulis akan

membatasi pembahasan ini pada salah satu bagian dari Maqasid Al-Syariah yaitu

Hifdzu Al-nafs sebagai alasan berlakunya Noodweer Exces dalam hukum pidana.

Disini penulis akan menganalisis pada Putusan No:79/Pid./2013/PT.TK. Tentang

tindak pidana pembunuhan.

Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas adalah sebagai berikut :

1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No:79/Pid./2013/PT.TK sudah

sesuai dengan noodweer exces?

2. Bagaimana tinjauan Maqasid Al-syariah terhadap Noodweer Exces sebagai alasan

peniadaan pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim pada Putusan

No:79/Pid./2013/PT.TK.

2. Untuk mengetahui tinjauan konsep Maqasid Al-syariah (Hifdzu Al-nafs) terhadap

Noodweer Exces sebagai alasan peniadaan pidana.

Adapaun maanfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini bisa memperkaya referensi yang ada,

memberikan sumbangan pemikiran yang positif dalam pengembangan kajian

hukum Islam dan hukum Positif,

2. Manfaat Praktis

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

8

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagi masyarakat umum.

b. Bagi praktisi hukum, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau sebagai

panduan dalam mengembangkan kajian hukum (pidana).

c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan atau batu

loncatan untuk penelitian selanjutnya (open problem).

d. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadika sebagai referensi dalam

kajian hukum (pidana)dan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian yang

sama.

D. Review (Kajian) Studi Terdahulu

Dalam skripsi ini penulis menggunakan kajian terdahulu yang membahas tentang

pembelaan terpaksa melampaui batas, yaitu untuk menjadi acuan dan pedoman

bagi penulis dalam penelitian ini, diantaranya :

1. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pembelaan terpaksa yang melampaui batas

(noodweer exces) dalam tindak pidana penganiayaan, (studi kasus : Analisis

Putusan Mahkamah Agung No. 416K/Pid/2009), oleh Rudi Yana, Program Studi

Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2015, yang menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam

terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan.

Perbedaan dengan skripsi Rudi Yana adalah dalam tindak pidananya. Dalam

skripsi ini penulis membahas tentang pembelaan terpaksa melampaui batas dalam

tindak pidana pembunuhan, sedangkan Rudi Yana membahas tentang pembelaan

terpaksa melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan.

2. Relevansi Maqasid Syariah dengan sanksi tindak pidana korupsi dalam undang-

uandang pemberantasan korupsi: Studi pandangan ulama NU dan ulama

Muhammadiyyah, oleh Mohammad Fahdun Najib, Fakultas Syariah dan Hukum,

Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjelaskan tinjauan Maqasid al-Syariah

terhadap tindak pidana korupsi.

Perbedaan dengan skripsi penulis adalah, skripsi Mohammad Fahdun Najib

menerangkan tindak pidana korupsi ditinjau menurut konsep Maqasid al-Syariah.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

9

Adapun yang penulis bahas adalah tinjauan Maqasid al-Syariah terhadap tindak

pidana pembunuhan. Jadi jelas berbeda dari tindak pidana yang dibahas.

3. Pemidanaan terhadap suatu perbuatan karena kealpaan yang menyebabkan

matinya orang lain menurut hukum positif dan hukum Islam: Analisa Putusan No.

2836/PID.B/2008/PN.TNG, oleh Lulu Indra Ramadhan, Fakultas Syariah dan

Hukum, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjelaskan bagaimana pemidaan

terhadap suatu perbuatan karena suatu kealpaan yang mengakibatkan kematian

seseorang menurut hukum positif dan hukum Islam.

Perbedaan skripsi Lulu Indra Ramadhan dengan penulis adalah, saudari Lulu

Indra Ramadhan membahas pemidanaan terhadap suatu kealpaan sedangkan

penulis membahas tentang pemidaan terhadap pembelaan terpaksa melampaui

batas, meskipun sama-sama ditinjau menurut hukum positif dan hukum Islam.

E. Kerangka Teori

1. Teori Theory Of Necessary Defense

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini

adalah Theory of necessary defense. Theory of necessary defense ini dapat

diartikan sebagai “teori mengenai pembelaan yang diperlukan”. Dalam hal

melakukan pembelaan, Fletcher didalamnya adalah teori pembelaan diri (theory of

self defense) dan kehormatan pribadi atau orang lain. Pembelaan ini dapat

dilakukan atas dasar penggunaan kekuatan yang benar dan tepat sehingga tidak

ada pilihan yang lain, yang dapat digunakan selain melakukan perbuatan yang

melanggar hukum tersebut. Dengan demikian jika masih ada pilihan lain yang

dapat digunakan untuk melindungi diri dari ancaman yang membahayakan

tersebut, maka pembelaan dengan cara melanggar hukum tidak dibenarkan.

Pada teori ini Fletcher mempertanyakan apakah pembelaan ini termasuk ke

dalam alasan pembenar atau termasuk kedalam alasan pemaaf. Jika pembelaan itu

termasuk didalam atau sebagai bagian dari pendekatan atau pilihan atas dasar

pertimbangan tingkat kejahatan (seperti dalam theory lesser evil), maka

pembelaan ini termasuk dalam alasan pembenar. Hal ini sejalan dengan pendapat

dari beberapa sarjana yang mempertanyakan, khususnya dalam hal melakukan

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

10

tindak pidana dalam keadaan terpaksa; apakah termasuk dalam alasan pemaaf atau

termasuk kedalam alasan pembenar.

Satochid Kertanegara misalnya, yang menguraikan perbedaan pendapat antara

van Hamel dengan Simons. Van Hamel berpendapat, bahwa tindak pidana yang

dilakukan dalam keadaan terpaksa merupakan alasan pembenar, yaitu yang

mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan

(rechtsvaardingingsgronden). Menurut Van Hamel, dari seorang yang dipaksa,

menurut perhitungan yang layak, tidak dapat diharapkan bahwa ia akan

mengorbankan kepentingan hukumnya sendiri, semata-mata untuk

menyelamatkan kepentingan hukum orang lain. Oleh karena itu perbuatannya

dapat dimaafkan dan tidak dapat dihukum. Sementara Simons berpendapat hal itu

merupakan alasan pemaaf, alasan yang menghapuskan kesalahan

(schulduitsluitingsgronden). Menurutnya bahwa seseorang yang dipaksa oleh

orang lain untuk melakukan sesuatu delik (tindak pidana) tidak mempunyai

kehendak yang bebas.

Pada sisi lain teori pembelaan ini juga ada hubungannya dengan asas

proporsionalitas, dalam hal melakukan pembelaan tersebut. Apabila pembelaan itu

tidak pantas atau dengan menggunakan alat yang tidak proporsional, maka hal itu

tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapusan pidana.

F. Metode Penelitian

1. Metode pendekatan

Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan kajian ilmu hukum normatif,

yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum

Syariat, dengan memuat deskripsi masalah yang diteliti berdasarkan tinjauan

pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendalam.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan yang digunakan untuk bahan hukum bersifat

Library Research guna memperoleh landasan teoritsi yang diperoleh dari

literatur dan referensi yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.

Adapun data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah:

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

11

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan

permasalahan yang dibahas, meliputi : Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dan salinan putusan No:79/Pid./2013/PT.TK.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukuman yang sifatnya menjelaskan

bahan hukum primer, dimana bahan buku primer berupa buku/ literatur,

hasil karya sarjana yang berhubungan dengan penulis skripsi.

Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap

dari kedua bahan hiukum sebelumnya, berupa : kamus hukum dan kamus

besar bahasa indonesia.

3. Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan Nomor: 79/Pid./2013/PT.TK. tentang tindak pidana

pembunuhan. Sehingga penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian

kualitatif, yaitu data dinyatakan dengan pernyataan dan tidak bisa dinyatakan

dengan angka.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kajian kepustakaan, yaitu upaya pengidentifikasian secara sistematis dan

melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi

yang berkaitan dengan tema, objek, dan masalah penelitian yang akan

dilakukan.10

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Tahun 2017.

10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

12

G. Sistematika Penulisan

Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis,

sehingga penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu

sebagai berikut :

Bab I penulis menempatkan pendahuluan yang didalamnya terdapat latar

belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Penjabaran urutan diatas dalam bab satu karena dari urutan tersebut berawalnya

penelitian ini.

Bab II penulis dalam bab ini akan membahas tentang ketentuan tindak pidana

menurut hukum pidana islam, macam-macam pembunuhan dalam hukum pidana

islam dan ketentuan tindak pidana pembunuhan dalam hukum pidana.

Bab III dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian pembelaan terpaksa

melampaui batas (noodweer exces) dalam hukum pidana, pertanggungjawaban

pidana serta menjelaskan konsep maqasid al-syariah.

Bab IV pada bab ini penulis akan memaparkan kronologis kasus pada

putusan No:79/Pid./2013/PT.TK beserta pertimbangan hakim dalam pengambilan

keputusan dan tinjuan maqasid al-syariah terhadap pembelaan terpaksa

melampaui batas serta analisis terhadap putusan hakim.

Bab V pada bab ini penulis akan menempatkann penutup sebagai akhir dari

penelitian ini. Dalam bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan yang

diperoleh dari hasil kajian yang penulis lakukan. Selain itu dalam bab ini, penulis

juga menyertakan saran-saran dan rekomendasi dari penulis untuk pembaca dan

peneliti yang lain.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

13

BAB II

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA

INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana di Indonesia

a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Sudah kita ketahui bersama bahwa hukum pidana adalah salah satu bagian

dari sistem hukum yang ada pada setiap negara. Dalam hal ini ada dua istilah yaitu

hukum dan pidana. Menurut Prof. Dr. Van Kan bahwa hukum adalah keseluruhan

peraturan hidup yang sifatnya memaksa yang bertujuan untuk melindungi

kepentingan manusia.

Sedangkan pidana juga memiliki pengertian menurut para pakar. Menurut Prof

Van Hamel pidana atau straf adalah: “suatu penderitaan yang bersifat khusus,

yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana

atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi

seseorang yang melanggar.1

Adapun pengertian yang diberikan oleh Prodesor Simons, bahwa pidana

adalah: “suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan

dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim

telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.2 Ketika menjatuhkan pidana

terhadap pelaku tentu perlu ditetapkan perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam

kategori tindak pidana, sesuai dengan prinsip atau asas legalitas: “tidak ada suatu

perbuatan yang dapat dipidana melainkan karena sudah ada aturan pidana

sebelumnya”.3

Pengertian Tindak Pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(selanjutnya disingkat KUHPidana) dikenal dengan isilah Strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum Pidana sering mempergunakan istilah delik,

1 P.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung : 2002, h. 47

2 P.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia...... h. 48.

3 Pasal 1 ayat 1 KUHP

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

14

sedangkan pembuat Undang-Undang mempergunakan istilah peristiwa pidana

atau perbuatan pidana.4

Adapun dalam perundang-undangan, dipakai istilah perbuatan pidana,

peristiwa pidana dan tindak pidana yang juga sering disebut delict.5 Apa yang

dimaksud dengan istilah tindak pidana itu atau dalam bahasa Belanda Strafbaar

feit sebenarnya emrupakan peristiwa resmi yang terdapat dalam straf weitboek

atau dalam kitab undang-undang hukum pidana yang sekarang berlaku di

Indonesia. Adapun dalam istilah asing adalah delict. Adapun menurut Wirjono

Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya ini dapat

dikenakan pidana, dan dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.6

Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa : "Delik sebagai suatu perbuatan atau

pengabaian yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan".7 Delik yang dalam bahasa

Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang

masing-masing memiliki arti:

1. Straf diartikan sebagai Pidana dan Hukum

2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh

3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan

Jadi istilah Strafbarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan

yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing (latin) disebut delict

yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (Pidana).8

Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan

tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaarfeit atau dalam bahasa Asing

disebut delict berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman

pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.

4 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas hukum Pidana, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, h. 18

5 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit. Pustaka Setia, Bandung : 2000, h. 51

6 Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco, Jakarta-

Bandung : 1981, h. 50

7 Andi Zainal Abidin Farid.1987. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung, h.33

8 Amir Ilyas, Asas-Asas hukum Pidana. h. 19

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

15

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan atau pengabaian yang melawan hukum yang telah dirumuskan dalam

suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang dilakukan secara

sengaja atau kelalaian oleh seseorang atau -bisa disebut pelaku atau subjek tindak

pidana dan dapat di pertanggungjawabkan.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam perbuatan pidana haruslah terdapat unsur-unsur lahiriah yang terdapat

sehingga dia dapat di katakan sebagai perbuatan pidana yang membedakannya

dengan perbuatan biasa. Perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana bila

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:9

1) Harus ada perbuatan manusia;

2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari

undang-undang yang bersangkutan;

3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);

4) Dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa unsur

tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.10

Unsur subjektif

adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan

dengan diri si pelaku atau, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang

ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak Pidana itu adalah:11

1) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP;

9 P.A.F Lamintang.1984. Delik-Delik Khusus. Bandung: Bina Cipta h. 184

10

Leden Marpaung.2005. Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika h. 10

11

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, h. 193-194

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

16

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan

dan lain-lain;

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat

dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHPidana; dan

5) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindakan Pidana

menurut pasal 308 KUHPidana.

Sedangkan unsur-unsur objektif dari suatu tindak Pidana itu adalah:

1) Sifat melawan Hukum atau wederrechtelicjkheid;

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri

di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHPidana atau keadaan

sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam

kejahatan menurut Pasal 398 KUHPidana; dan

3) Kaualitas yakni hubungan antara suatu tindak Pidana sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum

Islam

a. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Indonesia

Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh. Sedangkan dalam

istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.

Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut

selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau

yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.

Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan

terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13

pasal, yakni pasal 338 sampai pasal 350. Bentuk kesalahan tindak pidana

menghilangkan nyawa orang lain ini dapat berupa sengaja (alpa). Kesengajaan

adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

17

atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari peristiwa itu adalah adanya niat

yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembunuhan adalah suatu tindakan untuk

menghilangkan nyawa seseorang dengan cara melanggar hukum, maupun yang

tidak melawan hukum.

c. Jenis-Jenis dan Sanksi Pidana Pembunuhan

Berdasarkan unsur kesalahan, pembunuhan dikelompokkan menjadi 2 (dua),

yaitu:

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven)

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dibagi menjadi 3

(tiga), yaitu:

a. Pembunuhan Biasa dalam bentuk pokok / doodslag (Pasal 338 KUHP)

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana

dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah

dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan Pasal

338 KUHP adalah:

“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena

pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.12

Unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur obyektif dan subyektif, yaitu:

a) Unsur obyektif yaitu perbuatan yang menghilangkan nyawa dan obyeknya

berupa nyawa orang lain.

Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :

“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus

menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut,

dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk

menghilangkan nyawa orang lain.13

12 R. Sugandi, SH, KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 357

13

Fakhrul Rozi, Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP. http://s-

hukum.blogspot.co.id/2014/05/tindak-pidana-pembunuhan-dalam-kuhp.html. di akses

pada hari 12/01/2018

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

18

Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain

dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal,

meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak / ibu sendiri, termasuk juga

pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.

b) unsur subyektif yaitu unsur dengan sengaja.

“Dengan sengaja” (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja

dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)

yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk

tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam

Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa

orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte

rade).14

Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain harus memenuhi syarat antara

lain adanya suatu perbuatan, adanya suatu kematian, dan adanya hubungan sebab

dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).15

Antara unsur subyektif sengaja dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat

syarat yang harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa

(orang lain) harus tidak lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk

menghilangkan nyawa orang lain itu.16

Oleh karena apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama sejak

timbulnya atau terbentuknya kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya,

dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu petindak dapat memikirkan

tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah kehendaknya itu akan

diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah tidak, dengan cara apa kehendak itu akan

14 Fakhrul Rozi, Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP, di akses pada hari

12/01/2018

15

Aprian Wibowo, Kejahatan Terhadap Nyawa, http://aprian-

wibowo.blog.ugm.ac.id/2012/06/17/kejahatan-terhadap-nyawa/. diakses pada 14/01/2018

16

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004, h. 55

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

19

diwujudkan dan sebagainya, maka pembunuhan itu telah masuk ke dalam

pembunuhan berencana (psl 340), dan bukan lagi pembunuhan biasa.

b. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau diahului oleh tindak pidana lain /

Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) (Pasal 339

KUHP).

Sebagaimana rumusan dalam pasal 339 KUHP :

“Pembunuhan yang diikuti, disertai atua didahului oleh suatu tindak pidana

lain, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pelaksanannya, atau untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya

dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan

benda yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau sementara waktu, paling lama 20 tahun”.17

Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai,

atau didahului oleh kejahatan”. Kata “diikuti” (gevold) dimaksudkan diikuti

kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya

kejahatan lain.18

Kata “disertai” (vergezeld) dimaksudkan, disertai kejahatan lain;

pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain

itu. Misalnya : Seorang pencuri ingin melakukan kejahatan dengan cara

membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka pencuri

tersebut lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata “didahului” (voorafgegaan)

dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan

tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan.

Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan

dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :19

1) Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) pasal 338

2) Yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain ;

17 R. Sugandi, SH, KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 358

18

Fakhrul Rozi, Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP, di akses pada hari

12/01/2018

19

Aprian Wibowo, Kejahatan Terhadap Nyawa, diakses pada 14/01/2018

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

20

3) Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan tindak

pidana lain, untuk mempermudah tindak pidana lain, dalam hal tertangkap

tangan ditujukan untuk menghindarkan diri sendiri maupun perserta lain

dari pidana atau untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya

secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu)

c. Pembunuhan berencana (moord)

Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338

KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih

dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh

dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang

memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.

Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau

pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pasal 338 itu dilakukan seketika pada

waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanan itu ditangguhkan

setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu

akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan

pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat

berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencana

dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.

Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi didalam diri sipelaku sebelum

pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan

direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam

pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang

dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan

direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang

diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk

memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih

dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil

putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya

dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

21

Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung

tiga unsur / syarat :

a) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;

b) Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan

pelaksanaan kehendak;

c) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.

Pembunuhan berencana merupakan pembunuhan yang paling berat ancaman

pidananya, rumusan yang diatur pada pasal 340 yaitu :

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana aterlebih dahulu

menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan

rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama

waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.

Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti Pasal 338 KUHP

ditambah dengan adanya unsur rencana terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP

dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam Pasal 338,

kemudian ditambah dengan suatu unsur lagi yakni dengan rencana terlebih

dahulu. Oleh karena dalam Pasal 340 mengulang lagi seluruh unsur-unsur Pasal

338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang

berdiri sendiri.

Adanya pendapat yang mengatakan bahwa unsur dengan rencana terlebih

dahulu adalah bukan bentuk kesengajaan tetapi berupa cara membentuk

kesengajaan / opzet yang mana mempunyai 3 syarat yaitu :

a) Opzet‟nya itu dibentuk setelah direncanakan terlebih dahlu;

b) Dan setelah orang merencanakan (opzetnya) itu terlebih dahulu, maka

yang penting adalah cara “Opzet” itu dibentuk yaitu harus dalam keadaan

yang tenang;

c) Dan pada umunya, merencanakan pelaksanaan “opzet” itu memerlukan

jangka waktu yang agak lama.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

22

Memperhatikan pengertian dan syarat dari unsur yang direncanakan terlebih

dahulu di atas, tampak proses terbentuknya direncanakan terlebih dahulu

(berencana) memang lain dengan terbentuknya kesengajaan (kehendak).

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose misdrijven)

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan

yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, dipidana kurungan paling lama 1 tahun”.

Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah:

a) adanya unsur kelalaian (culpa);

b) adanya wujud perbuatan tertentu;

c) adanya akibat kematian orang lain;

d) adanya hubungan kausa antara wujud perbuatan dengan akibat

kematian orang lain.

Perbedaan antara Pasal 359 KUHP dengan Pasal 338 KUHP yakni pada

pembunuhan pasal 359 KUHP ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati

(culpa), sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kengajaan (dolus).

b. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam

a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Islam

Dalam Hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah) diartikan sebagai

perbuatan-perbuatan yang dilarang Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan

hukuman hudud, kisas-diyat, atau ta‟zir. Larangan-larangan Syara‟ tersebut

adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan

perbuatan yang diperintahkan. Kata Syara‟ pada pengertian tersebut dimaksudkan

bahwa suatu perbuatan baru dianggap tindak pidana apabila dilarang oleh Syara‟.

Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak

pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai pengertian, seperti yang

diungkapkan Imam al- Mawardi "Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

23

dilarang oleh Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta‟zir".

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir

Audah pengertian jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh

syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya.20

Dalam hukum Islam istilah tindak pidana di kenal dengan istilah jinayat dan

jarimah. Jinayat (tindak pidana) secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata

jinayah yang artinya dosa dan kesalahan. Adapun pengertiannya menurut istilah

syari‟at, adalah setiap tindak kejahatan terhadap jiwa atau harta. Tapi, dalam

tradisi ahli fiqhi, jinayat lebih dikhususkan pada sesuatu yang bisa menyakiti fisik.

Adapun kejahatan terhadap harta disebut perampasan, penjambretan, pencurian,

pengkhianatan dan pengerusakan.21

Sedangkan istilah kedua adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah

mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian jarimah secara

harfiah sama dengan pengertian jinayah, yaitu larangan-larangan syara‟ (yang

apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta‟zir.22

Konsep

jinayah dan jarimah mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau

meninggalkan, aktif atau pasif. Oleh Karena itu, perbuatan jarimah tidak hanya

mengerjakan yang dilarang oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah

apabila seseorang meninggalkan perbuatan yang menurut peraturan harus

dikerjakan.

Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa mahdhurat (larangan) adalah

melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang

diperintahkan.23

Kata mahdhurat artinya larangan berbuat atau dilarang

mengerjakan perbuatan atau larangan tidak berbuat atau larangan untuk diam,

artinya meninggalkan (diam) terhadap perbuatan yang menurut peraturan harus

dikerjakan. Jarimah biasanya diterapkan pada perbuatan dosa, misalnya pencurian,

20 http://www.islamcendekia.com/2014/04/pengertian-jinayah-dan-jarimah.html, diakses pada

Pukul 09.00 WITA, 30 Maret 2018.

21

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqhi Sunnah (Kairo-Mesir: Maktabah at-Taufiqiyah, 1424

H/2003), h. 279

22

Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), h.

19

23

Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

24

pembunuhan, perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik, dan

sebagainya. Semua itu disebut dengan istilah jarimah kemudian dirangkaikan

dengan satuan atau sifat perbuatan tersebut, seperti jarimah pencurian, jarimah

pembunuhan, jarimah perkosaan. Sebaliknya tidak digunakan istilah jinayah

pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan, dan jinayah politik.24

Kata jarimah identik dengan hukum positif sebagai tindak pidana atau

pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari pelanggaran hukum. dalam

hukum positif, contoh-contoh jarimah diistilahkan dengan tindak pidana

pencurian, tindak pidana pembunuhan, dan sebagainya. Jadi, dalam hukum positif,

jarimah diistilahkan dengan delik atau tindakl pidana. Dalam hukum positif

dikenal istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan

yang boleh dihukum, yang artinya sama dengan delik. Semua itu merupakan

pengalihan dari bahasa Belanda, strafhaarfeit.

Pemakaian istilah delik lebih sering digunakan dalam ilmu hukum secara

umum, sedangkan istilah tindak pidana sering dikaitkan terhadap korupsi, dalam

undang-undang biasa dipakai istilah perbuatan pidana.25

Pemakaian kata jinayah

mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang

bersangkut paut dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan

perbuatan dosa tertentu.

Oleh karena itu, pembahasan fiqhi yang memuat masalah kejahatan,

pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada

pelaku perbuatan disebut fiqhi jinayah dan bukan istilh fiqhi jarimah.26

Sebagai

kesimpulannya, dari kedua istilah tersebut (jinayah dan jarimah) memiliki

kesamaan dan perbedaan secara etimologis. Kedua istilah tersebut bermakna

tunggal, mempunyai arti yang sama, serta ditujukan bagi perbuatan yang

berkonotasi negatif, salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada

pemakaian, arah pembicaraan, serta dalam penerapannya.27

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Islam

24 Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20.

25

Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20.

26

Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20-21

27

Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 21

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

25

Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian

fiqhi jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil

2) Al-rukn al-madi atau unsur materiil

3) Al-rukn al-adabi atau unsur moril.28

Adapun yang dimaksud dengan al-rukn syar‟i atau unsur formil ialah unsur

yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika

ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada

pelaku tindak pidana. Sedangkan al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur

yang menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar

terbukti melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam

melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan

sesuatu).

Adapun yang dimaksud dengan al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur

yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila,

anak dibawah umur, atau sedang berada di bawah ancaman.29

Menurut Zainuddin

Ali, didalam bukunya menjelaskan bahwa untuk menentukan suatu hukuman

terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan

moral sebagai berikut:

1) Secara yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang

menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan

hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil,

yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu

yang perintahkan oleh Allah swt., (pencipta manusia).

2) Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang

secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.

28 M. Nurul Irfan, Fiqhi Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 2.

29

M. Nurul Irfan, Fiqhi Jinayah, h. 2-3.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

26

Dalam hal ini disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang

sudah baligh dan berakal sehat.30

Selain unsur-unsur hukum pidana yang telah

disebutkan, perlu diungkapkan bahwa hukum pidana Islam dapat dilihat dari

beberapa segi, yaitu sebagai berikut:

1) Dari segi berat atau ringannya hukuman, maka hukum pidana Islam dapat

dibedakan yaitu:

a) Jarimah hudud;

b) Jarimah kisas;

c) Jarimah ta‟zir

2) Dari segi unsur niat, ada dua jarimah yaitu:

a) Disengaja;

b) Tidak disengaja

3) Dari segi mengerjakan, ada dua jarimah yaitu:

a) Positif

b) Negatif

4) Dari segi si korban, jarimah itu ada dua, yaitu:

a) Perorangan

b) Kelompok

c. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam

Pembunahan dalam kaidah tata bahasa indonesia memiliki arti proses,

perbuatan, atau cara membunuh.31

Karena kata pembunuhan berasal dari kata

bunuh yang memiliki makna dasar yaitu mencabut nyawa. Kemudian

mendapatkan imbuhan berupa awalan dan akhiran (pe-an) sehingga membentuk

kata “pembunuhan”.

30 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sianr Grafika, 2012), h. 22

31

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),

h.138

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

27

Sedangkan dalam bahasa Arab pembunuhan disebut dengan istilah al-qatl dari

shigat masdar lafadz qtlan, yang kalimat fiil mahinya lafadz qotala artinya

membunuh32

Menurut Abdul Qodir Audah pembunuhan didefinisikan sebagai suatu

tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa

orang lain. sedangkan menurut Syarbini Khatib, yaang dikutip oleh Wahbah

zuhaili mengatakan bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan

atau mencabut nyawa seseorang.33

Akan tetapi secara sederhana Wojowasito

berpendapat bahwa pembunuhan adalah perampasan nyawa seseorang.34

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi pembunuhan adalah

upaya untuk menghilangkan nyawa seseorang yang dilakukan oleh manusia

lainnya dengan adanya suatu perbuatan.

Pada dasarnya tindak pidana pembunuhan terbagi menjadi dua golongan,

yaitu:35

a. Pembunuhan yang diharamkan, setiap pembunuhan karena ada unsur

permusuhan dan penganiayaan

b. Pembunuhan yang dibenarkan, setiap pembunuhan yang tidak lakukan

karena permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan seorang algojo

dalam melaksanakan hukuman qishas

Adapun secara rinci jumhur ulama berpendapat bahwa tindak pembunuhan

dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:

1. Pembunuhan Sengaja (qatl al-amd)

Yaitu suatu pembunuhan yang sengaja dilakukan karena adanya permusuhan

terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan,

melukai atau benda-benda yang berat, secara tidak langsung (sebagai akibat dari

suatu perbuatan), seperti mengunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada

organ tubuh yang vital amaupun tidak vital yang jika terkena jarum menjadi

32 Ahmad Warson, Al-Munawir, Cet ke-1 (yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992), h. 172.

33

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989, h.

217

34

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Cet ke-2 (Bandung Pustaka Setia, 2010), h. 113

35

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu......, 220.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

28

bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau memotong jari-jari seseorang

sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian. Atau perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang

dengan menggunakan alat yang dipandang bisa untuk membunuh. Jadi matinya

korban, merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.36

Al-Qur‟an dan Al-Sunnah menharamkan pembunuhan sengaja ini secara

tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah berfirman dalam Al-

Qur‟an

وال تقتلواالفس التي حرم هللا إال بالحق

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.

Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan yang sengaja yaitu :

a. Korban adalah orang yang hidup.

b. Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.

c. Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.37

Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja

adalah pembunuhan yang dilakukan oleh sesorang mukallaf pada orang lain yang

darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat

menyebabkan kematian.38

Sedangkan menurut Abdul Qodir „Audah, pembunuhan

sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan

niat membunuh, artinya bahwa untuk melakukan pembunuhan.

2. Pembunuhan Menyerupai Sengaja (qatl syibhu al-„amd)

Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 hal dalam pembunuhan seperti disengaja

yaitu :

a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.

b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.

36 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika), 2012, h. 24.

37

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000) h. 131

38

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980) h. 435

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

29

c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian

korban.39

3. Pembunuhan Kesalahan (qatl al-khata‟)

Menurut Sayyid Sabiq, pembunuhan karena kesalahan adalah apabila

seseorang mukallaf melakukan perbuatan yang boelh dikerjakan, seperti

menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, akan tetapi kemudian

mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan membunuhnya.40

Menurut Wahbah Zuhaili, pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan

yang terjadi tanpa maksud melawan hukum baik dalam perbuatannya maupun

objeknya.41

Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu :

a. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian

b. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan

c. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan

kemataian korban.42

Sanksi-Sanksi

a. Sanksi pembunuhan sengaja

Pelaku pembunuhan sengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah

satu dari tiga pilihan, yaitu :43

1) Kisas, yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korban.

2) Diat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau

200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang

senilai harganya. Diat tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban.

3) Pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa

syarat.

b. Sanksi pembunuhan semi sengaja

39 H.A. Djazulli, Fikih Jinayah....., h. 132

40

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah....., h. 132

41 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu....., h. 223.

42

H.A Djazulli, Fikih Jinayah....., h. 134-135.

43

Prof. Dr. Zainuddin Ali, M.A, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2009) h. 35

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

30

Hukuman pokok pada pembunuhan sengaja adalah diat dan kafarat,

sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir dan hukuman

tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat.44

Adapun jenis –

jenis diat untuk pembunuhan semi sengaja sama dengan jenis diat dam

pembunuhan sengaja, yaitu menurut Imam syafi‟i adalah unta, menurut Imam

Abu Hanifah dan Imam Malik adalah unta, emas, dan perak, sebagaimana

dijelaskan didepan.

Adapun waktu pembayaran diat pembunuhan semi sengaja adalah tiga tahun

sejak meninggalnya korban menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad. Sedangkan

menurut Imam Abu Hanifah adalah mulai jatuh vonis atas pembunuhan. Kafarat

merupakan hukuman pokok dalam pembunuhan semi sengaja.

c. Sanksi pembunuhan kesalahan

Hukuman pokok dalam pembunuhan kesalahan adalah diat dan kafarat. Hukuman

penggantinya adalah puasa dan takzir dan hukuman tambahannya adalah

hilangnya hak waris dan hak mendapat wasiat.45

44 H.A. Djazulli, Fikih Jinayah...., h. 145

45

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah,... h. 146

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

31

BAB III

NOODWEER EXCES DAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS

(MAQASID AL-SYARIAH)

A. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam

Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Pembelaan terpaksa (noodweer) atau pembelaan darurat bersumber dari pasal

49 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada

serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap

diri sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Kalimat ini kiranya masih

dapat disingkat sebagai berikut: Barang siapa terpaksa melakukan pembelaan

karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum

terhadap diri, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda, baik

kepunyaan sendiri ataupun orang lain, tidak dipidana”1

Sedangakan definisi dari pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat yang

dalam bahasa belandanya noodweer terdiri dari kata “nood” yang berarti

(keadaan) darurat dan “weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela,

menolong, melepaskan dari bahaya.2 Penggabungan dari dua kata tersebut dapat

diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong dalam

keadaan sukar (sulit). Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat

mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan

melawan hukum.3 Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat

melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka alasan

menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan

membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan

tindak pidana (rechtvaardigingsgrond) disebut fait justificatief.4

1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, h 156

2Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka,

1989, h.156.

3Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 200.

4Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, h. 78.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

32

Menurut Marteen Luther, bahwa noodweer ini merupakan fenomena yang

dianggap sama usianya dengan usia dunia.5 Di dalam KUHP tidak menyatakan

secara tegas apa yang dimaksud dengan noodweer, tetapi hanya memberikan

syarat-syarat bilamana seseorang itu tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya

yang bersifat melawan hukum. Oleh karena itu, noodweer masih tetap di

pertahankan hingga sekarang sebagai salah satu alasan peniadaan pidana.

Noodweer itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah perkataan yang telah

dipergunakan orang untuk menyebut “pembelaan yang perlu dilakukan terhadap

serangan yang bersifat seketika dan yang bersifat melawan hukum”,6 sebagai

dasar pembenaran, noodweer itu bukan merupakan suatu yang baru di dalam

hukum pidana, oleh karena pembelaan tersebut telah lama dikenal orang yaitu

pada zaman pembalasan dendam secara pribadi dahulu kala, dalam bentuk

tindakan peperangan yang bersifat defesip yangdi dalam sejarah perkembangan

hukum pidana atelah tetap dipertahankan orang hingga dewasa ini.

Menurut ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 49

ayat 1 KUHP itu, apabila kepentingan-kepentingan hukum tertentu dari seseorang

itu mendapat serangan secara melawan hukum dari oranglain, maka pada dasarnya

orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terhadap serangan

tersebut, walaupun dengan cara yang merugikan kepentingan hukum dari

penyerangannya, yang di dalam keadaan biasa cara tersebut merupakan, suatu

tindakan yang terlarang di mana pelakunya terancam dengan sesuatu hukuman.

Noodweer digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi bukan alasan yang

membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseorang yang terpaksa

melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang

mendahului perbuatan itu.7 Pandangan ini telah diakui oleh hukum pidana bahwa

seseorang itu memang dianggap berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu

sebagai bentuk pembelaan terpaksa. Oleh karena itu, noodweer merupakan

5P.A.F. Lumintang, Dasar-Dasar Hukum PidanaIndonesia, Sinar Baru, Bandung 1984, h. 232

6 P.A.F. Lumintang, Dasar-Dasar Hukum PidanaIndonesia..., h. 442

7Roy Roland Tabalunya, Pembelaan Terpaksa yang melaui Batas MenurutPasal 49 KUHP,

Artikel Skripsi, dalam Jurnal Lex Crimen Vol. IV No. 6 Agustus 2015 Universitas Sam Ratulangi

Manado Sulawesu Utara.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

33

pembelaan hak terhadap ketidakadilan, sehingga seseorang yang melakukan

perbuatan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana oleh undang-undang

dimaafkan karena pembelaan terpaksa.

Van Hamel mengatakan bahwa pembelaan terpaksa itu dapat dilakukan

terhadap serangan yang seketika itu bilamana serangan tersebut telah dimulai dan

selama serangan tersebut masih berlangsung, maka orang tersebut dapat

dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terpaksa, akan tetapi pembelaaan

terpaksa itu tidak boleh lagi dilakukan yaitu segera setelah serangan tersebut

berakhir.8

2. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces)

Pasal 49 ayat 2 KUHP yang menjadi dasar hukum keberadaan Pembelaan

Terpaksa Melampaui Batas berbunyi:

“Pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan oleh

keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak

dipidana”

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas sebagaimana disebutkan pada

pasal tersebut adalah pembelaan yang disebabkan adanya kegoncangan jiwa yang

hebat, yang dalam bahasa belanda menjelaskan pembelaan terpaksa yang

melampaui batas sebagai noodweer excess yang sifat perbuatan terdakwa tersebut

tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum. Salah terka atau salah sangka

tidak ada dalam noodweer excess, harus ada serangan yang bersifat melawan

hukum tetapi reaksi yang ditimbulkan keterlaluan atau tidak seimbang lagi dengan

sifatnya serangan. Peristiwa yang seperti ini terdakwa hanya dapat dihindarkan

dari pidana, apabila hakim menerima bahwa perbuatannya tadi “langsung

disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat” sehingga fungsi batinnya menjadi

tidak normal karena serangan atau ancaman serangan yang ia alami maka hal ini

menyebabkan adanya alasan pemaaf.9

Menurut Van Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau tidak

tercela. Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu

8Van Hamel dalamP.A.F. Lumintang,Dasar.., h. 481

9Moeljatno, Asas-Asas.., h. 160

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

34

tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam.

Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggungjawaban pidana terhapus.10

Van Hamel mengatakan bahwa Perbuatan yang dilampaui itu bukanlah

noodweer “in ieder opzicht, slecht de grenzen van noodzakelijke verdediging”

atau bukanlah noodweer“ didalam segala seginya, melainkan hanyalah batas-batas

dari pembelaan seperlunya”.11

Dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan

seperlunya itu haruslah disebabkan karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa

yang demikian hebat, yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya suatu

“vrees”, “angst” yang keduanya dapat diartikan sebagai “perasaan takut” atau

“ketakutan” dan “radeloosheid” yang dapat diartikan sebagai “ketidak tahuan

tentang apa yang harus dilakukan”, melainkan juga yang disebabkan oleh lain-lain

hal seperti “toorn” atau kemarahan dan “medelijden” atau perasaan kasihan.

Pompe berpandangan bahwa pasal 49 (2) harus ditafsirkan secara harfiyah,

sebagaimanau ngkapan beliau:

“sesuai dengan bunyinya rumusan Pasal 49 ayat (2) KUHP, perbuatan

melampaui batas ini dapat berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari

pembelaan itu sendiri. Batas-batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik

apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah

dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan cara membunuh si penyerang

padahal dengan sebuah pukulan saja orang sudah dapat membuat penyerang

tersebut menjadi tidak berdaya, maupun apabila orang sebenarnya tidak perlu

melakukan suatu pembelaan, misalnya karena ia dapat menyelamatkan diri

dengan cara melarikan diri. Batas-batas dari suatu pembelaan itu telah dilampaui,

yaitu apabila setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang masih

tetap menyerang si penyerang, walaupun serangan dari si penyerang itu sendiri

sebenarnya telah berakhir. Perbuatan memukuli si penyerang, walaupun perbuatan

tersebut tidak dapat lagi dikatakan sebagai suatu pembelaan, sesuai dengan

ketentuan pidana didalam pasal 49 ayat (2) KUHP, tidak dapat membuat

pelakunya menjadi dapat dihukum”.

Doktrin ini mengatakan bahwa sebuah perbuatan bisa disebut sebagai

pembelaan terpaksa yang melampaui batas apabila batas-batas dari keperluan itu

telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk

melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan. Ada syarat yang

10Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,h. 200

11

Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia.

Penerbit Sinar Grafika: Jakarta, 2014. H. 508

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

35

harus dipenuhi sebelum seseorang melakukan pembelaan yakni tidak ada cara lain

untuk menyelamatkan seperti melarikan diri. Beliau menyatakan bahwa dalam

perbuatan pembelaan itu dapat juga diliputi unsur schuld atau unsur kesalahan,

karena itu gejolak hati atau kegoncangan jiwa tidak begitu saja menghapuskan

schuld atau kesalahan.

Menurut Hoge Raad ”Hebatnya keguncangan hati itu hanya membuat

seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui batas yang diizinkan

untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap suatu serangan yang

melawan hukum yang telah terjadi seketika itu juga”.12

Simons berpendapat tidak secara pasti memeberikan definisi terhadap

pembelaan terpaksa melampaui batas, melainkan lebih kepada syarat sebagaimana

berikut:

“juga dalam hal ini, syarat-syarat dari suatu noodweer itu perlu adanya suatu

serangan yang bersifat melawan hukum. Hanya saja orang yag melakukan

pembelaan itu dapat menjadi tidak dihukum, yaitu baik apabila perbuatan

melakukan suatu pembelaan itu sebenarnya adalah tidak perlu, maupun apabila

batas-batas dari cara-cara yang dapat dibenarkan itu telah ia langgar.”13

“perbuatan yang telah dilakukan dengan melampaui batas-batas dari suatu

noodweer itu sifatnya melawan hukum, akan tetapi tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan karena itulah maka terhadap suatu

noodweer exces, orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu noodweer”.14

Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, pendapat diatas memberikan

penjelasan secara singkat, tetapi dari pendapatnya bisa diambil benang merah

yakni ia lebih menekankan bahwa pembelaan terpaksa tetap bersifat melanggar

hukum, akan tetapi ada faktor lain yang menjadi titik berat untuk dipertimbangkan

yakni unsur kesalahan atau schuld dalam diri pelaku. Kesalahan memang bagian

dari pertanggungjawaban pidana, seseorang dapat tidak dikenai pidana apabila ia

terbukti tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada pasal 49 ayat (2)

ini terkandung sebuah alasan pemaaf yang menghilangkan sifat melanggar pidana

dari diri si pelaku, sehingga ia tak bisa dimintai pertanggungjawaban.

12Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 80-81

13

Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang, Dasar, h. 510

14

Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang,......., h. 511

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

36

Kesimpulan dari pendapatnya mengatakan syarat pembelaan perlu adanya

suatu serangan yang sifatnya melawan hukum, sehingga apabila serangan yang

diterima tidak memenuhi unsur-unsur melawan hukum maka tidak diperkenankan

untuk melakukan pembelaan atas serangan tersebut. Seseorang dapat tidak

dihukum apabila batas-batas dari cara-cara yang telah dilanggar berdasarkan

keadaan jiwa yang terguncang hebat. Dalam keadaan pembelaan terpaksa yang

melampaui batas seperti ini seseorang diperbolehkan atau dibenarkan untuk

melakukan suatu pembelaan.

3. Syarat-Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa

Secara umum dalam pidana islam (fiqh Jinayah) tidak ditemukan ketentuan

dan dasar terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas. Secara definitive, fiqh

jinayah mengartikan pembelaan terpaksa melampaui batas dengan istilah dif‟a

asy-syar‟I al-khass sebuah istilah yang dikenal dengan pembelaan syar‟i khusus

atau pembelaan yang diperbolehkan atau sah, atau daf‟u as-sail yang berarti

menolak menyerang.

Dalam pidana Indonesia, pembelaan terpaksa melampai batas sebagai salah

satu alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau

onrechtmatigheid), maka alasan tersebut atau alasan menghilangkan sifat tindak

pidana (strafuitsluitings-grond) dapat juga dikatakan sebagai alasan pembenaran

atau membenarkan atau menghalalkan suatu perbuatana yang menurut kaidah

umumnya temasuk dalam katagori tindak pidana (rechtvaardigings-grond)

disebut fait justificatief.

Dalam pidana islam, pembelaan terbagi ke dalam dua bagian yaitu pembelaan

khusus (daf‟u us-sha‟il) dan pembelaan umum (daf‟u asy-syar‟i al-am), yang

dikenal dengan istilah amar ma‟ruf nahi mungkar.15

Jumhur ulama‟ (ulama

sepakat) bahwa individu wajib membela diri atau orang lain dari serangan atau

ancaman terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda dan pembelaan

diri dari kelima komponen tersebut menurut fiqih adalah sah hukumnya.

15 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 138.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

37

Perbedaan pendapat yang muncul kemudian, ialah seputar pembelaan diri

yang dimaksudkan apakah termasuk dalam kontek pembelaan sebagai hak yang

seseorang dapat memilih antara meninggalkan dan mengerjakan, akan tetapi

tidaklah berdosa, atau justru sebagai kewajiban bagi setiap individu muslim, yang

tidak ada toleransi meninggalkannya, yang artinya tidak ada hak kepada seseorang

untuk memilih diantara meniggalkan atau mengerjakan.16

Dalam kontek pembelaan diri, al-qur‟an secara eksplisit menjelaskan

keharusan pembelaan diri bagi siapapun yang melakukan penyerangan,

sebagaimana yang termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 194

و ي ه وا ع د ت اع ى ف ك ي ه ي ع د ت اع ف اص ص ات ق ي ر ح ن ا و و ا ر ح ن ر ا ه انش او ب ر ح ن ر ا ه انش

ي ق ت ن ع ا ي للا أ ىا ه ع ا و ىا للا ق ات و ى ك ي ه ي ع د ت ع ا ا م ي ث ب

Artinya: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut

dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang

kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang

yang bertakwa”.

Meskipun kontek yang dibicarakan dalam ayat tersebut, berupa ketentuan

dalam peperangan, bahwa Nabi dan ummat Islam tidak diperbolehkan melakukan

peperangan pada bulan-bulan yang diharamkan, yang menurut Ibnu Katsir, tafsir

dari ayat tersebut berkenaan dengan hadits nabi bahwa:

ج بير، ع أبي انز سعد، ع ثنا نيث ب عيس، حد ثنا إسحاق ب د: حد ياو أح ، قال: وقال ال عبد للا ابر ب

عهي صه للا رسىل للا يغزي ويغزوا فإذا حضره أقاو حت نى يك هر انحراو إل أ و وسهى يغزو في انش

ينسهخ

Artinya: “Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq

ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, dari Abuz Zubair, dari

Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan: Rasulullah Saw. belum pernah

berperang dalam bulan haram kecuali bila diserang dan dipaksa untuk

berperang. Apabila datang bulan haram, maka beliau menunggunya hingga ia

lewat”.17

16 Ahmad hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 211.

17http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-194.html diakses pada

hari Rabu Tanggal 2 Mei 2018, 22:20 WIB

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

38

Dua landasan tersebut menjelasakan bawah hokum pembelaan diri karena

diserang pihak lain, ialah diperbolehkan dengan memperhatikan ketentuan, berupa

syarat yang termaktub dalam Surat Al-Baqarah dengan kalimat “ و ي ه وا ع د ت اع ف

ى ك ي ه ي ع د ت ا اع م ي ث kata “Bimitsli” atau “seimbang” penulis anggap sebagai ”ب

syarat mutlak kebolehan mempertahankan atau membela diri dari serangan.

Apabila melebihi dari konteks “Mitsli” tersebut, ada kecendrungan jatuh terhadap

tindak pidana lain, seperti penganiayaan.

Istilah yang digunakan di dalam KUHP Pasal 49 ayat 1 ialah menggunakan

Noodweer yang berarti “Pembelaan Darurat”.Yang berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada

serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri

sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Kalimat ini kiranya masih dapat

disingkat sebagai berikut: Barang siapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada

serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri,

kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda, baik kepunyaan sendiri

ataupun orang lain, tidak dipidana”

Dari isi pasal tersebut, ada enam unsur kapan pembelaan darurat dapat

dibernarkan menurut peraturan yang berlaku, yaitu:

1. Suatu serangan;

2. Serangan itu diadakan dengan tiba-tiba (ogenblikkelijk) atau suatu

ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding);

3. Serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk);

4. Serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan

diri sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang

lain;

5. Pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk)

yakni pembelaan itu bersifat “darurat”; dan

6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.

Pada ketentuan ayat 2 dijelaskan Noodweer exces atau “Pembelaan terpaksa

melampaui batas”, yang sebetulnya memiliki kesamaan dengan pembelaan

terpaksa yang terdapat dalam ketentuan pasal 49 ayat 1, pasal 49 ayat 2 berbunyi:

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

39

“Pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan oleh

keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak

dipidana”

Maka berbeda dengan dengan ketentuan unsur yang terdapat dalam pasal 49

ayat 1, unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan pasal 49 ayat 2 ini justru

mengarah kepada unsur psikologis pihak yang diserang. Maka unsur yang harus

dipenuhi dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas ialah adanya

guncangan kejiwaan yang hebat karena suatu serangan dan atau ancaman.

Dapat disimpulkan, bahwa syarat dari keberlakuan pembelaan terpaksa

melampaui batas (Noodweer exces) sebagai berikut:

1. Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat:

a. Serangan itu harus datang mengancam dengan tiba-tiba

b. Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

2. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri18

harus memenuhi

syarat:

a. Harus merupakan pembelaan yang terpaksa

b. Pembelaan itu dengan serangan setimpal

3. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain,

peri kesopanan (kehormtan) diri atau orang lain, benda kepunyaan sendiri

atau orang lain, yang secara limitative jenis pembelaan tersebut telah

tercantum dalam pasal 49 ayat 1 KUHP

4. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan

seketika.

Selain syarat yang disebutkan, salah satu syarat yang terkandung dalam

perbuatan pembelaan terpaksa melampaui batas ialah tindak pidana dilakukan

dengan tidak sengaja, atau dalam kasus pembunuhan, tindak pidana yang

dilakukan tidak memenuhi unsur dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain.

Sebagaimana dalam pertimbangan hukum oleh hakim dalam Putusan Hakim

Nomor 201/PID.B/2013/PN-JTH.Putusan ini menolak dan menyatakan pembelaan

diri secara terpaksa membunuh pihak yang menyerangnya sebagai tindak pidana

18 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik …, h. 73

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

40

yang sah. Karena dalam persidangan, tersangka terbukti melakukan pembunuhan

dengan unsur kesengajaan.19

B. Pertanggungjawaban Pidana

1. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Islam

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Islam sering disebut

dengan istilahal-mas‟uliyah al-jinaiyyah yaitu pembebanan seseorang dengan

hasil (akibat) perbuatan (atautidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan

kemauan sendiri, di mana ia mengetahuimaksud-maksud dan akibat dari

perbuatannya itu.20

Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum pidana Islam hanya

membebankan hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukallaf. Karenaitu,

apabila seseorang telah meninggal dunia, ia tidak dibebani hukum dan tidak

dianggap sebagai objek pertanggungjawaban pidana.

Nash hukum yang mengharamkan atau mewajibkan sesuatu perkara atau

perbuatan, menurut hukum pidana Islam ditetapkan oleh allah SWT dan

disampaikan kepada manusia melalui Rasul-Nya. Nash-nash hukum itu ada dalam

bentuk yang jelas dan langsung (eksplisit) atau secara tidak langsung (implisit)

terkandung dalam prinsip-prinsip umum. Apabila kedua kaidah ini dipakai dalam

Undang-undang jinayah Islam, ini berarti setiap perbuatan dianggap sebagai

kesalahan selagi tidak ada nash hukum yang melarangnya. Bila ada, barulah

perbuatan itu dianggap sebagai kesalahan dan pelakunya boleh dihukum.21

Pertanggungjawaban pidana dalam Islam (syari‟at) adalah pembebanan

seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang

dikerjakannya (Unsur Obyektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut

mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subyektif) .22

Pembebanan tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah telah

19Direktori putusana Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan.mahkamah agung.go.id.

diakses pada hari kamis, tanggal 3 Mei 2018 jam 18:56 WIB, dengan nomor putusan

201/Pid.B/2013/PN-JTH, h. 23-27

20

Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 154.

21

Alwi Abdul Rahman, Jenayah Kanak-kanak Menurut Undang-Undang Islam, (Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 35.

22Ahmad Hanafi, Azas-Azas.., h. 154

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

41

menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan

yang dilarang secara syar‟i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan.

Pembebanan juga dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan

keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang

ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan).

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam syari‟at (hukum) Islam

pertanggungjawaban itu didasarkan pada tiga hal :

a. Adanya perbuatan yang dilarang

b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri

c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu.

Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka pertanggungjawaban itu ada

pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana (kejahatan), jika sebaliknya

maka tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak

dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak yang

belum mencapai umur balig atau orang yang dipaksakan untuk melakukan

perbuatan kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan

hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga

mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi

orangdewasa kecuali jika ia telah baligh. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur„an

surat an-Nur, ayat 59 yang berbunyi :

ك ل ذ ك مأ ه ل بأ ق نأ م ن ي لذ ا ن ذ أأ ت سأ ا ا م وا ك ن ذ أأ ت سأ ي لأ ف م لأل ا م ك نأ م ل ا ف طأ لأ ا غ ل ب ا ذ إ و

م ي ك ح م ي ل ع ه ل ل وا ه ت ا ي آ مأ ك ل ه ل ل ا ين ب ي

Artinya: “Dihapuskan ketentuan dari tiga hal; dari orang tidur sampai ia

bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh dan dari anak kecil sampai ia

dewasa”. (QS. Al-Nur: 59)

Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan manakala perbuatan yang

dilakukan adalah perbuatan terlarang (criminal conduct) yang mencakup unsur-

unsur secara fisik dari kejahatan tersebut. Tanpa unsur tersebut

pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan karena pertanggungjawaban

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

42

mensyaratkan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang Undang-undang.

Perbuatan tersebut bisa dihasilkan dari perbuatan aktif (delik komisi) maupun

perbuatan pasif (delik omisi). Hukum Islam mensyaratkan keadaan si pelaku harus

memiliki pengetahuan dan pilihan, karenanya sangat alamiah manakala seseorang

memang menjadi objek dari pertanggungjawaban pidana, karena pada seseorang

memiliki kedua hal tersebut. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam hukum

Islam, bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya seseorang

tidak mempertanggungjawabkan selain apa yang dilakukannya. Oleh karenanya

ada suatu faktor yang semestinya menjadi alasan untuk dapat

dipertanggungjawabkan. 23

2. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Indonesia pada

dasarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian pertanggungjawaban pidana dalam

hukum pidana Islam. Sebelum revolusi Prancis, pengertian pertanggungjawaban

pidana mempunyai pengertian sendiri karena setiap orang bagaimanapun

keadaannya dibebani pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatannya, tanpa

membedakan apakah ia berkemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau

belum.24

Van Hamel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan

kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk :

a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.

b. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang

oleh masyarakat.

c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga

dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarheid)

mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.25

23Elfa Murdiana, Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Al-Mawarid, Vol. XII, No

1 Februari 2012, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. h. 24

24

Ahmad Hanafi, Azas-Azas .., h. 178

25

P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 108

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

43

Menurut Satochit Kartanegara, pertanggungjawaban pidana merupakan

kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana yang merupakan kelanjutan dari

pengertian perbuatan pidana yang merupakan suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan hukuman pidana.26

Ia juga berpendapat bahwa seseorang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika;

a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikaian rupa, sehingga dapat

mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatan dan akibatnya.

b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat

menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

c. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan

merupakan perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut

hukum masyarakat maupun tata susila.27

Moeljatno menyatakan pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan

dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada

kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum

yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder

schuld, ohne schuld keine strafe).28

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan

bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif

pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.29

Secara subjektif

kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam Undang-undang (pidana)

untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk

adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus

ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana

adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum

26Satochit Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,

tt), h. 243.

27

Satochit Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I...., h. 244

28

Moeljatno, Asas-asas…, h. 73

29

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,

Jakarta:Raja Grafindo, 1996, h 11

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

44

yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat

undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.30

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa pelaku dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Ada pelaku tindak pidana (baik orang maupun badan hukum).

b. Ada perbuatan (baik aktif maupun pasif ).

c. Ada kesalahan (baik sengaja maupun culpa).

d. Mampu bertanggung jawab (tidak ada alasan pemaaf dan tidak ada

alasan pembenar).

e. Bersifat melawan hukum (sesuai dengan azas legalitas).

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan konsep sentral

yang dikenal dengan ajaran kesalahan (mens rea). Doktrin mens rea dilandaskan

pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang merasa bersalah kecuali jika

pikiran orang itu jahat. KUHP Indonesia mengatur mengenai bentuk negatif dari

pertanggungjawaban pidana, yang terdapat pada pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP

menyebutkan bahwa orang yang sakit jiwanya serta orang yang mengalami cacat

dalam pertumbuhannya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

C. Konsep Maqasid Al-Syariah

1. Pengertian Maqasid Al-Syariah

Maqashid Al-Syariah sebagai teori hukum Islam banyak digunakan sebagai

salah satu alternative yang paling efektif dalam upaya menemukan sebuah hokum

yang belum secara pasti diatur dalam sumber hukum pokok, yaitu al-qur‟an dan

al-hadits. Secara etimologi (bahasa) Maqashid al-syari‟ah terdiri dari dua kata,

yakni Maqashid, sebagai bentuk jamak dari maqsủd, yang berarti “kesengajaan

atau tujuan.”31

Syari‟ah, secara bahasa berarti “jalan menuju air.”32

30Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987.

h. 75

31

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac Donald &Evan Ltd.,

1980), h. 767.

32

Ibn Manzur, Lisan al-„Arab, Juz VIII (Bayrut: Dar al-Sadr, [t.th.]), h. 175.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

45

Secara istilah, syari‟ah merupakan al-nusus al-muqaddasah, dari al-Qur‟an

dan hadis yang mutawatir yang sama seklai belum dicampuri oleh

pemikiranmanusia. Dalam wujud seperti ini syari‟ah disebut al-tariqah

almustaqimah.33

Muatan syari‟ah dalam arti ini mencakup „amaliyah, khuluqiyah.

Dalam perkembangan sekarang terjadi reduksi muatan arti syariah, dimana aqidah

tidak masuk lagi dalam pengertian syariah.34

Ulama sepakat, dalam maqashid al-syariah terdapat lima prinsip dasar yang

diakui sebagai tolok-ukur pengkajian dalam istinbath hukum. Kemudian, kelima

prinsip tersebut terbagi kedalam aspek pembagian maqasid al-syari‟ah yang

berupa aspek pertama sebagai aspek inti menjadi sentral analisis, sebab aspek

pertama berkaitan dengan hakikat pemberlakuan syariat oleh Tuhan, yaitu untuk

mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima

unsur pokok (usulal-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsure

pokok itu menurut al-Syatibi, adalah din (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan),

mal (harta), dan aql (akal).

2. Pengertian Hifdzu Al-Nafs Dalam Konsep Maqasid Al-Syariah

Salah satu dari tujuan pensyariatan hukum Islam (maqasid al-syariah) ialah

Hifdzu Al-Nafs atau dalam bahasa Indonesia nya Menjaga Jiwa. Secara definitive,

pengertian Hifdzu Al-Nafs disandarkan kepada pemahaman kebahasaan dan juga

disandarkan kepada pengertian yang dimunculkan dalam al-Qur‟an ataupun

sumber hukum. Pemahaman secara terpisah Hifdzu Al-Nafs kata Nafs dalam

khasanah Islam banyak dipahami. Nafs dalam arti jiwa (Soul, Psyche), nyawa

dan lain-lain. Potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat

aktual jika manusia mengupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya-

daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs

membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal

33Fazlurrahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Islam (Bandung:Pustaka,

1984), h. 140.

34

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut al-Syatibi (Cet. I; Jakarta:PT Raja

Grafindo Persada, 1996), h. 61-62.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

46

dan eksternal.35

Melihat pengertian tersebut, lebih mengarah kepada pemahaman

tasawuf, oleh sebab itu, jiwa dalam standar fikih yakni dzahir yang berupa badan

yang bergerak.

Kata“nafs” dalam bahasa Inggris: soul/spirit diartikan sebagai jiwa atau

diri.36

Namun, nafs dalam istilah Indonesia lebih tepatnya diartikan „diri‟ (self).

Karena kata “diri” merangkum makna bagi dua unsur utama pada manusia, yaitu

jasad dan jiwa.37

Menurut Ibnu Sina, nafs adalah kesempurnaan awal bagi jasad

(kamal al-awwal li jism).38

Ia merupakan unsur pertama sehingga manusia mampu

bergerak.39

Sedangkan jasad adalah kesempurnaan kedua sebagai alat yang

memiliki fungsi menjalankan aktivitas.40

Maka keduanya (jasad dan nafs)

merupakan dua substansi yang berbeda yang saling membutuhkan. Definisi yang

dikemukakan Ibnu Sina tersebut sama dengan definisi dari Aristoteles, al-Kindi,

al-Farabi, dan beberapa filsuf Muslim sesudahnya.41

Syahrin Rusman misalnya, dalam skripsinya Analisi Maqashid Syariah

Terhadap Fatwa MUI Mengenai Halal Haramnya Bisnis MLM :42

“…Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama‟nya nufus dan anfus)

berarti ruh (roh) dan „ain (diri sendiri). Sedangkan dalam kamus al-Munawir

disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa,

juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri

orang), al-dzat atau al‟ain (diri sendiri). Sedangkan menurut Dawan Raharjo

dalam Ensiklopedia al-Qur‟an disebutkan bahwa dalam al-Qur‟an nafs yang

jama‟nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau

sielves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), di samping juga dipakai

35Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003, h. 46

36

A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab,

(Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. I, 2007), 366; John M. Echols, Kamus Indonesia-Inggris,

(Jakarta: Gramedia, Cet. III, 1997), h. 245.

37

Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (KualaLumpur:

University of Malay Press, 1970), h. 173.

38

Ibnu Sina, Al-Syifa‟; al-Tabi‟iyyah, (Kairo: Haiah Misr iyyah al-„Am mah li al-Kitab

ah,1975), h. 11-12.

39

Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulamaal-Muslimin,

(Kairo: Dar al-Syuruq, 1993), h. 117.

40

Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulamaal-Muslimin., h.

118.

41

Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulamaal-Muslimin., h. 25.

42

Syahrin Rusman, Analisi Maqashid Syariah Terhadap Fatwa MUI Mengenai Halal

Haramnya Bisnis MLM, Skripsi Fakultras Syariah dan Hukum UIN Alaudin Makassar, 2016, h.

52

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

47

untuk beberapa arti lainnya. Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan

bahwa kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs

dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari

sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi.”

Maka memelihara jiwa dapat dipahami menjaga atau memelihara diri dari

segala ancaman kematian, yang mengakibatkan diri tidak bergerak, mati, tersakiti,

dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Artinya, nafs dapat secara nyata

dipahami sebagai nyawa. Artinya melindungai dan memelihara dari segala

ancaman dan yang menyakitkan.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

48

BAB IV

PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN

A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan

1. Kronologis Kasus

Kasus pembunuhan yang terdapat dalam putusan hakim tingkat banding

dengan nomor putusan 79/Pid/2013/PT.TK. melibatkan Aminudin Bin Bahirun

sebagai korban dan Bintang Badrin Glr. Raja Pulitan bin Zakaria sebagai

terdakwa. Kejadian berawal dari Pada hari Senin tanggal 19 November 2012

sekira pukul 10.00 wib bermulapada saat saksi Paimin Bin Joyo Dali yang saat itu

sedang membajak Tanah seluas± ½ (setengah) Hektar milik saudara Zubir yang

beralamatkan di KampungKomering Agung Kec Gunung Sugih Kabupaten

Lampung Tengah atas perintah dari Korban Aminudin Bin Bahirun.

Saat itu saksi Paimin Bin Joyo Dali dihampiri oleh Bintang Badrin Glr. Raja

Pulitan bin Zakariadan memerintahkan Paimin Bin Joyo Dali untuk menghentikan

kegiatan membajak tanah perladangan yang saat itu dilakukan oleh saksi Paimin

Bin Joyo Dali.Setelah Paimin menghentikan pekerjaannya, mendatangi Aminudin

Bin Bahirun, dengan tujuan melaporkan kejadian tersebut.

Kemudian setelah Aminudin laporan dari Paimin tersebut, saat itu Aminudin

berkata kepada Paimin dengan nada emosi “Apa MauDia”.Padahari itu juga sekira

± pukul 14.00 wib,Aminudin mendatangi Rumah Bintang Badrin dengan tujuan

untuk menemui Terdakwa,namun saat itu tidak berhasil menemui, melainkan

hanya bertemu dengan istri dari Bintang Badrin, dan saat itu juga Aminudin

berkata kepada Karyati (istri Bintang Badrin) bahwa Aminudin akan menemui

suaminya kembali.

Lalu sekira ± beberapa menit kemudian padasaat Bintang Badrin

sekembalinya ke Rumah, saat itu bertemu dengan Aminudin di depan Rumah

Bintang Badrin, dan Aminudin berkata kepada Terdakwa dengan nada emosi

“Saya Bunuh kamu, saya nyarikamu kemana-mana tidak ketemu” sambil

mengeluarkan senjata tajam jenis Laduk yang ada sarungnya, dengan

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

49

menggunakan tangan sebelah kanannya, dan kemudian langsung membacokan

senjata tersebut ke arah tubuh Bintang Badrin, namunsaat itu juga Bintang Badrin

berusaha untuk menghindari serangan Aminudin tersebut dengan cara mundur

kebelakang sehingga bacokan pertama tersebut tidak berhasil mengenai tubuhnya.

Kemudian Aminudin kembali membacokan senjata tajamnya untuk kesekian

kalinya, yang pada akhirnya bacokan dari Aminudin Bin Bahirun tersebut

mengenai leher bagian kiri dan lengan tangan bagian kiri dari Bintang Badrin.

Selanjutnya akibat bacokan tersebut Bintang Badrin berusaha dan berhasil

memegang bagian Punggung senjata tajam jenis Laduk yang saat itu dipegang

oleh Aminudin, dan tubuh Aminudin berhasil didorong hingga terjatuh,

dikarenakan dibelakang Aminudin saat itu terdapat batang kayunyang sudah

kering, dengan seketika Bintang Badrin yang saat itu sudah memegang bagian

punggung senjata tajam jenis laduk yang sebelumnya dibawa oleh Aminudin

langsung mengarahkan senjata tajam tersebut ke arah perut Aminudin hingga

mengakibatkan perut Aminudin tertusuk.

Kemudian setelah senjata tersebut tertancap diperut,Aminudin berusaha

melepaskan senjata tersebut dariperutnya, dan kemudian Bintang Badrin

menginjak tangan bagian kanan Aminudin yang saat itu masih memegang senjata

tajam jenis laduk dan langsung merebut senjata tajam jenis laduk yang saat itu

masih dipegang oleh Aminudin, dan kemudian dengan seketika Bintang Badrin

berhasil memegang senjata tajam tersebut dan selanjutnya Bintang Badrin

membacokan senjata tajam jenis Laduk tersebut ke arah Tubuh Aminudin dengan

cara berkali-kali, dan akibat dari perbuatan Bintang Badrin tersebut, Aminudin

meninggal dunia akibat luka yang dialaminya.

Sebagaimana hasil Visum EtRepertum dari Rumah Sakit Harapan Bunda

dengan Nomor : 019/RSHB/A2-01/ EXT/XI/2012, tertanggal 29 November 2012

yang dibuat dan ditanda tangani oleh dokter Junjungan sebagai dokter Umum

pada Rumah Sakit Harapan Bunda denganhasil pemeriksaan sbb :Pasien datang

dalam keadaan Meninggal Dunia, Kepala Tidak ada cedera, Leher Luka robek

pada leher bagian belakang Panjangx lebar x dalam, 20 cm x 5 cm x 2 cm., Dada /

punggung, Luka Robek pada punggung sebelah kanan,Panjang x lebar x dalam

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

50

kurang lebih 30 cm x 2 cm x 3 cm., Perut : Terdapat luka tusuk pada daerah ulu

hati,panjang x lebar x dalam 7 cm x 5 cm x 10 cm., Anggota gerak Pada

pergelangan tangan kanan luka robekbagian depan Panjang x lebar x dalam 2 cm

x 3 cm x 2 cm,bagian belakang panjang x lebar x dalam 6 cm x 3 cm x 2 cm.,

Kesimpulan: Pasien datang dalam keadaan meninggal, luka-lukarobek dan tusuk

pada bagian tubuh.1

2. Pertimbangan Hakim

Hakim tingkat banding dalam upaya pengambilan putusan pada nomor

putusan 79/Pid/2013/PT.TK. tidak mencapai kata sepakat, sebagaimana ketetapan

sebagai berikut:

Hakim Ketua:

Mengatakan sepakat atau membenarkan putusan hakim pada pengadilan

tingkat pertama, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan Bintang

Badrin sebagai tindak pidana pembunuhan sebagaimana tertuang dalam pasal 338

KUHP, karena tidak ditemukan bukti dan alasan pemaaf atau alasan

pembenaran/pengahapusan pemidanaa pada perbuatan Bintang Badrin.2 Dengan

pertimbangan lain hakim ketua pada tingkat banding berpendapat bahwa

sesungguhnya terdakwa dalam melakukan perbuatannya tersebut tidak dalam

keadaan terpaksa melakukan pembelaan diri, dengan pertimbangan pada saat

terdakwa telah berhasil merebut senjata tajam laduk dari tangan korban, terdakwa

telah mempunyai kesempatan untuk melarikan diri dengan membawa senjata itu.

Akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh terdakwa, malahan kesempatan itu

digunakan untuk membacok korban berkali-kali dengan tujuan membunuhnya dan

tujuan tersebut telah tercapai dengan matinya korban. Ini pertimbangan yang

dijadikan hakim ketua pada tingkat banding memutuskan bahwa terdakwa secara

sah melakukan tindak pidana. Serta menguatkan putusan pada pengadilan tingkat

pertama.

1Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan

79/Pid/2013/PT.TK, h. 2-5 diakses pada hari Kamis, 29 Maret 2018 jam 11:32 WIB

2 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan

79/Pid/2013/PT.TK......, h. 12

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

51

Hakim Anggota I:

Hakim tingkat banding dalam upaya pengambilan putusan pada nomor

putusan 79/Pid/2013/PT.TK. bahwa hakim anggota I sependapat dengan

pertimbangan hakim ketua, sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.

Hakim Anggota II:

Hakim II berpendapat tidak demikian, sehingga terdapat dissenting opinion

dengan pertimbangan bahwa membenarkan telah terjadinya pembunuhan yang

dilakukan oleh Bintang Badrin, akan tetapi terkait alasan pembenaran/pemaafan

yang dianggap oleh hakim I tidak ditemukan, dianggap keliru dan kurang tepat.

Karena hakim II merujuk kepada pasal 48 dan 49 KUHP sebagai alasan pemaafan

dan pembenaran tindakan yang dilakukan oleh Bintang Badrin, sehingga

perbuatan Bintang Badrin tidak dapat dijatuhi hukuman sebagaimana disebutkan

oleh hakim I.3

Majelis hakim II kemudian menjelaskan, bahwa pembunuhan yang dilakukan

oleh Bintang Badrin telah memenuhi syarat pemaafan dan pengahpusan

sebagaimana tertuang dalam pasal 49 KUHP dengan memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:4

a. Karena sifat terpaksanya: perebutan senjata tajam sebagaiman dimaksud

dalam rangkaian peristiwa yang dilakukan Bintang Badrin adalah dapat

dibenarkan oleh hukum dikarenakan posisi jiwa pelaku dalam terdesak

dan terpaksa membunuh.

b. Pembunuhan dilakukan setelah adanya ancaman berupa serangan dan

berlangsung ketika serangan terjadi.

c. Pembelaan diri pembunuh untuk mengatasi adanya acaman serangan

atau serangan yang bersifat melawan hokum,

d. Pembelaan diri yang dilakukan oleh Bintang Badrin termasuk seimbang

dengan serangan yang mengancam, setelah korban berupaya berulang

kali ingin membacok Bintang Badrin.

3 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan

79/Pid/2013/PT.TK......, h.12-14

4 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan

79/Pid/2013/PT.TK......, h.15 - 19

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

52

e. Pembelaan terpaksa yang dilakukan oleh Bintang Badrin terbatas dalam

hal mempertahankan 3 kepentingan hukum yaitu: serangan mengancam

keselamatan jiwa seseorang; penyerangan membacok berkali-kali kearah

badan Bintang Badrin;

Akan tetapi dalam amar putusan pengadilan tingkat banding, putusan hakim

menguatkan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dengan menyatakan

bahwa Bintang Badrin dinyatakan dengan secara sah melawan hukum dengan

membunuh korban. Terkait dengan pertimbangan hakim II dinyatakatan ditolak,

dikarenakan ada upaya tindakan berupa perlawanan berlebihan yang dilakukan

Bintang Badrin ketika Bintang Badrin dapat merebut senjata tajam laduk dari

tangan korban, terdakwa telah dapat melukai korban dengan menusukkan laduk

ke dada korban yang telah seimbang dengan luka yang diderita oleh terdakwa

sebelumnya dan setelah itu terdakwa seharusnya dapat melarikan diri dengan

membawa senjata tajam itu. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan, malah

membacokkan senjata tajam itu berkali-kali kebadan korban hingga korban tidak

berdaya dan meninggal dunia.5

3. Putusan Hakim

Sebagaimana yang telah diputuskan oleh Direktori Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia, putusan nomor:97/Pid./2013/PT.TK., Pengadilan

Tinggi Tanjung Karang, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana

pada pengadilan tingkat banding telah menjatuhkan putusan kepada terdakwa,

yang mana pengadilan tinggi Tanjung Karang menimbang, bahwa berdasarkan

fakta hukum pada kasus tersebut, pelaku terbukti secara sah telah melakukan

tindak pidana pembunuhan, oleh karenanya pengadilan pada tingkat banding

hanya menguatkan putusan pada pengadilan tingkat pertama pada putusan

Nomor:30/Pid.B/2013/PN.GS. menyatakan bahwa terdakwa BINTANG BADRIN

Glr RAJA PULITAN BIN ZAKARIA terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan perbuatan pidana “PEMBUNUHAN” menjatuhkan pidana

5 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan

79/Pid/2013/PT.TK......, h. 20-21

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

53

kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh)

tahun.

B. Tinjaun Maqasid Al-Syariah Terhadap Pembelaan Terpaksa Melampaui

Batas Sebagai Alasan Peniadaan Pidana

Dalam menetapkan hukum Islam, metode penemuan hukum dapat dilihat dari

dua segi pendekatan kebahasaan dan pendekatan tujuan hukum. Di kalangan

ulama ushul fiqh, tujuan hukum itu biasa disebut dengan maqasid al-syariah,

yaitu tujuan ash-shari dalam menetapkan hukum. Tujuan hukum tersebut dapat

dipahami melalui penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah

Rasulullah. Penelusuran yang dilakukan ulama ushul fiqh tersebut menghasilkan

kesimpulan, bahwa tujuan ash-shari’ menetapkan hukum adalah untuk

kemaslahatan manusia (al-mashlahah), baik didunia maupun diakhirat.6

Menurut al-Syatibi, kemaslahatan dapat diwujudkan apabila terpeliharanya

lima unsur, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan utama syariat

Islam terletak pada perlindungan terhadap lima unsur tersebut, yaitu perlindungan

terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal,

perlindungan terhadap keturunan, dan perlindungan terhadap harta. Kelima poko

tersebut merupakan suatu hal yang harus selalu dijaga dalam kehidupan ini untuk

mencapai sebuah kemaslahatan yang merupakan tujuan dari konsep maqasid al-

syariah itu sendiri.7 Adapun tujuan dari maqasid al-syariah ada tiga, yaitu

membina setiap individu agar menjadi sumber kebaikan bagi orang lain,

menegakan keadilan dalam masyarakat baik sesama muslim maupun non muslim,

dan merealisasikan kemaslahatan.

Mengenai pembelaan terpaksa melampaui batas yang diatur dalam KUHP

pasal 49 ayat 2 adalah pembelaan yang disebabkan adanya kegoncangan jiwa

yang sangat hebat, yang dalam bahasa Belanda menjelaskan pembelaan terpaksa

melampaui batas sebagai noodweer exces yang sifat perbuatan terdakwa tersebut

6 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet 2, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 303-304

7 Abdul Kadir dan Ika Yunia, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqasid Al-Syariah

(Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 89

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

54

tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi perbuatan

terdakwa tidak dapat dipidana karena adanya alasan pemaaf.

Oleh karena itu kaitannya dengan pembahasan pembunuhan pada skripsi ini,

maka Islam dalam konsep maqasid al-syariah dan konsep noodweer exces dalam

KUHP sama-sama memberikan perhatian terhadap upaya pembelaan diri ketika

dalam keadaan terancam.

Dalam hal ini ialah masuk pada memelihara jiwa (hifdzu al-nas) karena Islam

sangatla menjunjung tinggi hak manusia untuk hidup, hak yang disucikan dan

tidak boleh dihancurkan kemuliaannya, kesemuanya adalah untuk menghindarkan

kemudharatan yang mengancam jiwa. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-

Qur’an surat an-Nisa: 29

وال تقتلواالفس التي حرم هللا إال بالحق

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),

melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa tujuan syari’at diturunkan Allah untuk

memelihara jiwa manusia. Mereka memberikan contoh terhadap aturan-aturan

syari’at yang diturunkan Allah dengan hal dimaksud, yaitu: dilarangnya

membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, diwajibkannya hukuman qishas

dengan hukuman yang setimpal. 8

Berkaitan dengan prinsip melindungi jiwa, hukum Islam menyebutnya

sebagai Hifdzu al-Nafs. Pada prinsipnya Syari’at Islam sangat mementingkan

memelihara jiwa.Yang dimaksud dengan jiwa disini adalah jiwa yang terpelihara,

adapun jiwa yang lain seperti nyawa orang yang diperangi, maka ia bukanlah jiwa

yang dipelihara oleh syari’at, karena ia adalah musuh dari Islam.9 Maka konsep

awal yang dikembangkan dalam Hifdzu al-Nafs ialah diantara hukum menetapkan

itu sebagai kemaslahatan yang penting dan menolak hal yang mafsadat.

Kemaslahatan dengan upaya menghindari dari kemafsadatan dalam kaitan ini,

ialah menghindari dan menyalamatkan jiwa dari segala ancama berupaya

8 Yusuf al- Qardawi, Madkhal li Dirasat al- Syari’at al- Islamiah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

2001), h. 73

9 Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud Alyubi, Maqashid al- Syari’ah al- Islamiyyah wa

‘Alaqatuhi bi al- Adillati al- Syar’iyyati, (Jami’ al- Huququ Mahfuzhat, 1998), h. 211

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

55

pembunuhan. Yang ketentuannya, tidak dapat keluar dari prinsip “bimitsli” atau

“seimbangan”.

Apa yang dijelaskan tentang hifdzu al-nafs sama dengan pengaturan

noodweer exces yang ada dalam KUHP pasal 49 ayat 2. Bahwasannya kedua nya

sama-sama mengatur tentang cara manusia menjaga jiwa nya masing-masing

ketika berada dalam sebuah ancaman. Dalam KUHP sudah dijelaskan tentang

pengaturan terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas meskipun tidak secara

rinci mengatur atau menjelaskan batasan-batasan yang termasuk kedalam

pembelaan terpaksa melampaui batas. Begitupun dalam hifdzu al-nafs, juga

mengatur tentang bagaimana seseorang mempertahankan diri nya ketika dalam

keadaan yang mengancam.

C. Analisis Penulis

Berdasarkan urain di atas penulis melihat, putusan hakim tingkat banding

dengan nomor putusan 79/Pid/2013/PT.TK. dengan menguatkan putusan hakim

tingkat pertama putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor

30/Pid.B/2013/PN.GS. tanggal 22 Mei 2013 sangat tidak tepat, oleh karena itu

penulis tidak sependapat dengan keputusan hakim ketua yang memutuskan bahwa

suadara Bintang Badrin secara sah terbukti bersalah.

Menariknya, ketika dissenting opinion terjadi antar dua hakim di pengadilan

tingkat banding. Artinya, disatu sisi sebelum putusan tersebut ditetapkan, ada

kemungkinan bahwa terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan,

sebagaimana argumentasi yang disampaikan majelis Hakim II.

Artinya, secara yuridis sebagaimana argumentasi hukum hakim II, tindakan

pembunuhan yang dilakukan terdakwa dalam kondisi tertentu dapat dibenarkan

sebagaiamana pasal 49 KUHP. Ketentuan berupa syarat-syarat yang melekat

kepada ketentuan pasal 49 tersebut, harus dirumuskan secara eksplisit. Sehingga,

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

56

tidak terjadi multi tafsir terhadap alasan-alasan apa saja yang dapat diterima

sebagai alasan pemaafan kepada pelaku tindak pidana.10

Dalam pertimbangan hakim II pengadilan tingkat banding di atas, dengan

jelas menggunakan alasan pemaafan yang terdapat dalam pasal 49 KUHP

mengenai Noodweer dan noodweer exces. Sebagaimana penulis jelaskan di atas,

bahwa ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, kapan suatu perbuatan termasuk

pembelaan terpaksa melampaui batas.

Secara keseluruhan dari fakta-fakta persidangan, perbuatan terdakwa

membunuh korban karena posisi terdakwa dalam kondisi terancam, apa bila

dihubungkan dengan pasal 49 KUHP, maka perlu melihat dua unsur kepidanaan

yang melekat kepada tindak pidana ataupun kepada pelaku, yaitu unsur subjektif

dan objektif. Unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya. Sedang yang di maksud dengan unsur-unsur

obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,

yaitu didalam keadaan ketika tindakan-tindakan si pelaku harus dilakukan.

Secara umum dapat termasuk dalam pasal tersebut atau dapat dikatakan

noodweer exces, artinya perbuatan terdakwa memenuhi unsur pidana objektif.

Tetapi dalam sudut pandang unsur subjektif, maka perlu melihat apakah tindakan

terdakwa telah memenuhi syarat-syarat noodweer exces. sebagaimana dijelaskan

oleh Hakim II dalam tingkat banding, bahwa dalam terdakwa melakukan tindakan

pembunuhan, karena ada serangan (aanranding), dan serangan tersebut

mengancam dengan tiba-tiba terhadap terdakwa, serta serangan tersebut melawan

hukum (wederrechtelijk) yang berupa upaya pembunuhan yang dilakukan oleh

korban.

Namun, syarat pembelaan yang dilakukan harus yang bersifat perlu atau

seimbang dengan serangan. Artinya, Seseorang yang melakukan pembelaan

terpaksa tidak serta merta dapat dengan mudah melakukan perbuatan tersebut.

Pembelaan yang dilakukan seseorang haruslah pembelaan yang bersifat perlu

10 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012,

h.126.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

57

artinya dalam kasus di atas, terdakwa mendapat serangan seketika oleh korban.

Pada waktu tertentu ketika pada saat terdakwa dapat merebut senjata tajam yang

dipegang korban, terdakwa telah dapat melukai korban degan menusukkan senjata

tersebut kepada korban.11

Dari uraian diatas makanya penulis berpandangan bahwa apa yang menjadi

pertimbangan hakim anggota II sudah sangat tepat. Mengingat apa yang dilakukan

oleh pelaku sudah sesuai dengan isi pasal 49 ayat 2 KUHP yang menjadi dasar

hukum keberadaan pembelaan terpaksa melampaui batas yang pada intinya isi

dari pasal itu adalah ketika seorang melakukan pembelaan terpaksa melampaui

batas dikarenakan oleh suatu goncangan jiwa yang hebat karena suatu serangan

atau ancaman, maka ketika dia melakukan suatu tindak pidana semata-mata hanya

untuk membela dirinya, karena tidak ada niat sebelumnya maka orang ini tidak

dapat dipidana.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Hoge Raad ”Hebatnya keguncangan hati

itu hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui

batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap

suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi seketika itu juga”.12

Simons berpendapat tidak secara pasti memeberikan definisi terhadap

pembelaan terpaksa melampaui batas, melainkan lebih kepada syarat sebagaimana

berikut:

“juga dalam hal ini, syarat-syarat dari suatu noodweer itu perlu adanya suatu

serangan yang bersifat melawan hukum. Hanya saja orang yag melakukan

pembelaan itu dapat menjadi tidak dihukum, yaitu baik apabila perbuatan

melakukan suatu pembelaan itu sebenarnya adalah tidak perlu, maupun apabila

batas-batas dari cara-cara yang dapat dibenarkan itu telah ia langgar.”13

“perbuatan yang telah dilakukan dengan melampaui batas-batas dari suatu

noodweer itu sifatnya melawan hukum, akan tetapi tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan karena itulah maka terhadap suatu

noodweer exces, orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu noodweer”.14

11Direktori putusan mahkamah agung RI Nomor 79/..., h. 21

12

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 80-81

13

Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang, Dasar, h. 510

14

Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang,......., h. 511

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

58

Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, pendapat diatas memberikan

penjelasan secara singkat, tetapi dari pendapatnya bisa diambil benang merah

yakni ia lebih menekankan bahwa pembelaan terpaksa tetap bersifat melanggar

hukum, akan tetapi ada faktor lain yang menjadi titik berat untuk dipertimbangkan

yakni unsur kesalahan atau schuld dalam diri pelaku. Kesalahan memang bagian

dari pertanggungjawaban pidana, seseorang dapat tidak dikenai pidana apabila ia

terbukti tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada pasal 49 ayat (2)

ini terkandung sebuah alasan pemaaf yang menghilangkan sifat melanggar pidana

dari diri si pelaku, sehingga ia tak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Begitupun dalam sudut pandang kaca mata hukum pidana Islam, pada kasus

di atas tergolong sebagai alasan pembelaan yang dapat dibenarkan. Karena,

prinsip pembelaan karena ada serangan yang dapat dibenarkan, harus memenuhi

prinsip “bimitsli” atau “seimbang”. Menurut penulis apa yang dilakukan oleh

pelaku sudah seimbang jika dibandingkan dengan ancaman yang ia dapat dari si

korban. Bahwa perbuatan pembelaan diri yang dilakukan terdakwa terhadap

serangan korban Aminudin bin Bahirun yang berakibat terbunuhnya si penyerang

utama adalah sangat seimbang jika dibandingan dengan serangan yang dilakukan

oleh penyerang korban Aminudin bin Bahirun yang hendak membunuh terdakwa.

Tujuan penyerang Aminudin bin Bahirun untuk membunuh terdakwa tersebut

dapat dilihat dari ucapannya yang mengancam terdakwa dengan kalimat “saya

bunuh kamu, saya nyari kemana-mana tidak ketemu” sambil mengeluarkan

senjata tajamnya.

Jika dilihat dari pernyataan tersebut maka sudah seharusnya pelaku Bintang

Badrin tidak dapat dijatuhi hukuman, karena yang dilakukannya sudah sesuai

dengan aturan dalam KUHP maupun ditinjau dari hukum Islam dan ditinjau dari

konsep maqasid al-syariah.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

59

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sedangkan Noodweer exces pembelaan terpaksa melampaui batas dalam

KUHP pasal 49 (2) berbeda dengan noodweer pembelaan darurat yang termaktub

dalam pasal 49 (1). Andi Hamzah, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang

melampaui batas (noodweer exces) ada persamaan antara pembelaan terpaksa

(noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces),

yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela

juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri

maupun orang lain.

Sedangkan perbedaannya, pembelaan terpaksa yang melampau batas

(noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang

hebat. Oleh karena itu, perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap

melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena guncangan jiwa yang

hebat. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas

menjadi dasar pemaaf.Pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar

pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.

Tetapi, pada posisi tertentu peraturan yang terdapat dalam Pasal 49 (2) KUHP

tersebut, memiliki kekaburan makna yang tidak jelas ukuran kegoncangan jiwa

yang menjadi penyebab alasan pemaafan suatu tindak pidana oleh hakim. Oleh

karena itu, penulis perlu memasukkan peraturan lain selain KUHP seperti Pasal 1

ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa

menyebutkan kata-kata “dapat mengatasi tekanan”, hal ini dapat sedikit dikaitkan

dengan makna kegoncangan jiwa yang hebat yakni didalam kegoncangan jiwa

yang hebat pelaku dalam melakukan pembelaan karena ia tidak dapat “dapat

mengatasi tekanan” dari serangan atau ancaman serangan yang ia terima, sehingga

kondisi kesehatan jiwanya agak terganggu.

Hal ini menurut penulis belum memberikan sebuah definisi yang jelas dan

rinci tentang makna “kegoncangan jiwa yang hebat”. Kesimpulan yang bisa

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

60

didapat dari analisis terkait pengaturan atau penjelasan lebih lanjut terhadap

makna “kegoncangan jiwa yang hebat” didalam pasal 49 ayat (2) KUHP maupun

dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tidak diatur

secara jelas didalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.

B. SARAN

Setelah penulis melalui proses pembahasan pada kajian yang telah dibahas,

maka penulus perlu memberikan saran-saran untuk kelanjutan dan

keberlangsungan penelitian yang bersifat kajian akademik terhadap persoalan-

persoalan empiris yang terjadi didalam masyarakat. Dan disini penulis merasa

perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pembelaan terpaksa

melampaui batas. Dalam penelitian ini peenulis bermaksud : pertama, kepada

pembaca untuk dapat menginterpretasikan dan merenungkan kembali konsepsi

pembelaan diri dalam rangka menjaga jiwa dari bahaya serangan orang lain

seperti pembunuhan. Kedua dalam tindak pidana pembunuhan memang perlu

dipertimbangkan tujuan dan mashlahah, demi terciptanya sebuah kepastian

hukum. Seperti perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan

dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam

pembentukan hukum. Ketiga perlu ada batasan atau standarisasi kegoncangan

jiwa secara tepat agar seorang mendapatkan alasan pemaaf sebagai dasar

penghapusan pidana.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

61

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma

Ilmu.

Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Abdul Qadir Audah , at-Tasyr’i al-Jina’i al-Islmi, Bairut Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2010

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi (Cet. I;

Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996).

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

Ahmad Warson, Al-Munawir, Cet ke-1 (yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992).

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-

Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. I, 2007), 366; John M. Echols,

Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: Gramedia, Cet. III, 1997).

Departemen Agama RI, , Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta, 1984.

Direktori putusana Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan.mahkamah

agung.go.id. nomor putusan 201/Pid.B/2013/PN-JTH.

Dalam P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior, Dasar-Dasar Hukum

Pidana Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

Fazlurrahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Islam

(Bandung:Pustaka, 1984).

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000).

HP.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung :

2002.

Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT.

Refika Aditama, 2014).

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac Donald

&Evan Ltd., 1980).

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

62

Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz VIII (Bayrut: Dar al-Sadr, [t.th.]).

Ibnu Sina, Al-Syifa’; al-Tabi’iyyah, (Kairo: Haiah Misr iyyah al-‘Am mah li al-

Kitab ah,1975).

http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-194.html

Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap

Nyawa, Tubuh danKesehatan Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan

Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).

Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah ‘Inda al-‘Ulamaal-

Muslimin, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1993).

Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud Alyubi, Maqashid al- Syari’ah al-

Islamiyyah wa ‘Alaqatuhi bi al- Adillati al- Syar’iyyati, (Jami’ al- Huququ

Mahfuzhat, 1998).

Moh. Nazir, Ph. D, Metode Penelitian, Bogor, Oktober 2005.

P.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung :

2002.

Pasal 1 ayat 1 KUHP

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit. Pustaka Setia, Bandung :

2000.

Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, Cetakan-4, (Jakarta Kencana. 2008).

Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,

Jakarta: 2012.

Roni Hantijo Soemitro, Metode PenelitianHukum Dan Jurimetri, Cetakan-4,

(Jakarta, Ghana Indonesia, 1990).

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Cet ke-2 (Bandung Pustaka Setia, 2010).

R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor : Politeia.

Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1997)

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/DICKA NANDA...repository.uinjkt.ac.id

62

Syahrin Rusman, Analisi Maqashid Syariah Terhadap Fatwa MUI Mengenai

Halal Haramnya Bisnis MLM, Skripsi Fakultras Syariah dan Hukum UIN

Alaudin Makassar, 2016

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980).

Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad,

t.th.).

Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri,

(KualaLumpur: University of Malay Press, 1970).

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam

Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-fiqih al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT

Eresco, 1486).

Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco,

Jakarta-Bandung : 1981.

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,

1989).

Yusuf al- Qardawi, Madkhal li Dirasat al- Syari’at al- Islamiah, (Kairo:

Maktabah Wahbah, 2001).

Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika), 2012.

63