laporan kp nanda

Upload: nandaastuti

Post on 17-Jul-2015

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kota Tarempa merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas yang terdiri dari Kelurahan Tarempa dan Desa Tarempa Barat. Adanya arahan pengembangan kawasan waterfront city di Kota Tarempa membuat perlu adanya sejumlah analisis untuk menentukan kelayakan pengembangan kawasan tersebut (feasibility study). Hal ini dilakukan untuk mewujudkan pembangunan Kota Tarempa yang terencana, memperhatikan kondisi sosial dan geografis serta berkelanjutan. Salah satu analisis yang dilakukan adalah analisis fisik bangunan. Untuk mengembangkan kawasan waterfront city yang berkelanjutan dibutuhkan kondisi fisik bangunan yang prima dan juga tertata rapi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Analisis ini dilakukan untuk melihat kelayakan dan kondisi fisik bangunan-bangunan yang ada di Kota Tarempa saat ini dalam konstelasi pengembangan kawasan waterfront city. Dengan dilakukannya analisis ini, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisik Kota Tarempa saat ini serta potensi dan permasalahan yang ada. Diharapkan hasil analisis ini memberikan masukan untuk penataan ruang di kawasan waterfront city Kota Tarempa di masa yang akan datang yang diharapkan menjadi lebih baik serta dapat mengoptimalkan potensi kawasan pesisir baik sebagai kawasan rekreasi pantai, perdagangan dan jasa, permukiman ataupun fungsi kegiatan lainnya.

1.2 MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN 1.2.1 Maksud

Maksud dari pekerjaan ini adalah melakukan Analisis Kelayakan Pengembangan Kawasan Waterfront city dan secara khusus difokuskan dalam analisis fisik bangunan. 1.2.2 Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah :

Hasil analisis ini menjadi masukan dalam studi kelayakan (feasibility study) pengembangan koawasan waterfront city Kota Tarempa

1

1.2.3

Sasaran

Sasaran kegiatan Analisis Kondisi Fisik Bangunan Waterfront city Kota Tarempa adalah sebagai berikut : Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari kondisi fisik bangunan eksisting di Kota Tarempa Mengetahui hal apa saja yang harus diperbaiki terkait fisik bangunan di kawasan waterfront

1.3 Ruang Lingkup Pelaksanaan KegiatanRuang lingkup pekerjaan Studi Kelayakan Waterfront city Kota Tarempa ini terdiri atas : 1. Ruang lingkup wilayah perencanaan: Wilayah Teluk Tarempa Kecamatan Siantan, yang secara geografis berbatasan dengan : Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Palmatak Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siantan Timur Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Siantan Selatan Sebelah barat berbatasan dengan Laut Cina Selatan

2. Ruang Lingkup Substansi AnalisisRuang lingkup materi/substansi Studi Kelayakan Waterfrontcity Tarempa Kepulauan Anambas merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk laporan kali ini memfokuskan kepada analisis kelayakan pengembangan kawasan waterfront city Tarempa pada aspek analisis kondisi fisik bangunan yang meliputi Analisis Kondisi Eksisting perletakan dan tata masa bangunan, Analisis orientasi bangunan, KDB dan KLB Tinggi Bangunan, GSB, Langgam bangunan dan Analisis fungsi kegiatan bangunan.

2

BAB 2 DASAR TEORI

Air adalah sumber kehidupan, mengendalikan, sekaligus melengkapi kehidupan manusia dan seluruh flora-fauna di bumi. Hal utama dari air, yaitu selain menopang kehidupan secara berkelanjutan juga dapat membentuk suatu lingkungan dan cara hidup yang unik, yang biasanya terjadi di Kawasan tepi. Hal ini dapat dilihat pada kota-kota pelabuhan di dunia yang kaya dan beraneka ragam, yang menjadikan manusia untuk hidup di tepi air. Kawasan tepi air (Waterfront) sesungguhnya merupakan Kawasan yang bisa memberikan citra baik bagi sebuah kota, apabila dikelola secara bijaksana dan benar. Sesuai dengan karakteristik alamnya maka pengembangan Kota Tarempa harus dilakukan dengan konsep "Waterfront / Seaside, dengan prinsip :

1. Orientasi kegiatan yang berada di Kawasan Waterfront harus menghadap ke arahpantai

2. Karakter air dan lingkungannya menjadi ciri khas dari pengolahan ruang-ruangKota Tarempa, dan harus dimanfaatkan keberadaannya melalui pengolahan ruang kota sehingga memberikan nilai tambah yang tinggi bagi kesejahteraan warga kota.

3. Konsep Penataan Kawasan Waterfront harus dilakukan dengan memadukanunsur-unsur pembentuk ruang kota yang relevan, seperti Urban Landmark/ City Orientation, Linkage System (jalan, jalur pedestrian), 2.1 Konsep Pengembangan Waterfront city

Waterfront city adalah pengembangan kawasan yang berorientasi ke perairan. Konsep waterfront city merupakan konsep penataan kawasan tepi air yang unik karena berhubungan dengan budaya setempat, dimana sangat potensial sebagai pembangunan ekonomi, tempat publik, dan juga sebagai identitas kota (Wreen, 1983). Pengembangan kawasan tepi air juga bertujuan untuk menciptakan dan mengembalikan ruang-ruang kota untuk publik, antara lain sebagai pengembangan kegiatan ekonomi, sosial budaya, rekreasi, dan pariwisata. Kawasan tepi air yang dikembangkan di Indonesia umumnya kawasan tepi pantai dan sungai. Dalam melakukan pengembangan, kawasan tepi pantai dan sungai selain dianggap sebagai satu kesatuan dan kontinyuitas sistem pantai dan sungai (hulu ke hilir), juga harus dilihat sebagai daerah yang berada diantara lingkungan darat dan lingkungan

3

air dimana sebagai daerah peralihan kawasan ini menuntut pengakuan khusus dari aspek lingkungan alamnya, aspek pengelolaan potensi, aspek kegiatan yang direncanakan, dan pilihan teknologi yang akan dipakai. Pengembangan kawasan tepian sungai dan pantai menuntut keterpaduan dalam berbagai tingkatan, mulai dari yang bersifat makro (kebijaksanaan dan program) hingga keterpaduan yang bersifat mikro (fisik). Keterpaduan ini juga mencakup keterpaduan berbagai aspek, antara lain adalah aspek fungsi kegiatan-kegiatan yang akan ada (tata-ruang), intensitas pembangunan (tata bangunan), serta arahan arsitektur ruang luar dan fasade bangunan (urban desain dan landscaping). Konsep Waterfront city diharapkan dapat memberikan acuan pembangunan kawasan pesisir dengan berorientasi bahari, bukan sekedar pembangunan fisik semata akan tetapi juga pola pikir semua stake holder sehingga terciptanya sense of belonging yang tinggi. Melalui konsep ini diharapkan akan mendukung penguatan kelembagaan masyarakat lokal, meningkatkan ekonomi kerakyatan, dan pada muaranya akan menciptakan sinergisitas pembangunan di daratan dan di lautan untuk kepentingan bersama. 2.2 Pendekatan Pembangunan Waterfront city

Indonesia adalah negara kepulauan sehingga Pembangunan kawasan kota pantai (Waterfront city) tak terlepas dari pembangunan pencitraan kawasan ini sebagai kebanggaan sebuah kota, yang merupakan kekuatan daya tarik kota tersebut. Dipihak lain pembangunan karakter kawasan ini tak terlepas dari tujuan mengantisipasi persaingan kota bagi tujuan merebut pasar, melalui pembangunan dengan mengangkat kekuatan keunggulan citra sedemikian rupa sehingga membangkitkan daya tarik yang kompetitif bagi tujuan kepariwisataan, bisnis dan investasi. Karakter kota-kota Bandar di Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad sepanjang era kolonialisme. Transformasi budaya bahari yang berkesinambungan merupakan fenomena (meminjam istilah Alvin Toffler) gegar budaya yang dapat kita lihat dengan kasat mata sekalipun pada karakter kota Bandar Nusantara yang seolah kehilangan roh kejayaan masa lalu. Citra bandar lama warisan era kolonial terasa sebagai cerminan grand scenario semangat kolonialisme. Pembangunan kawasan kota pantai dalam konteks revitalisasi bandar lama warisan kebesaran kejayaan sejarah Nusantara, menggugah kita untuk membangkitkan kembali karakter kejayaan bandar lama tersebut, yang membutuhkan sentuhan kesejarahan bagi merumuskan strategi masa depan kota bandar tersebut.

4

Pengembangan waterfront city dapat merupakan salah satu upaya untuk mengatasi banjir yang diakibatkan oleh pembangunan permukiman di bantaran kali maupun pasang air laut. Pada pengembangannya Waterfront city bisa dilengkapi dengan pusat rekreasi dan bisnis (waterfront city). Dalam pengembangannya Waterfront city perlu ada sebuah badan otoritas untuk mengelola waterfront city ini guna mengantisipasi permasalahan yang akan terjadi keuntungan personal. Saat ini beberapa kota di Indonesia telah mulai membangun Waterfront city, seperti :Kota Balikpapan, Kota Pontianak, Kota Tarakan, Siak, Makassar (Pantai losari) Permasalahan serius Kawasan Tepian Pantai berkaitan dengan kawasan tepi sungai terutama disebabkan oleh tidak adanya pedoman operasional bagi pengendalian pertumbuhan di sepanjang tepian pantai/sungai ini. Beberapa pedoman yang ada (RTRW KOTA/RDTRK) dirasakan masih terlalu umum dan belum secara konseptual meletakkan landasan pemanfaatan dan pengembangan kawasan tepian pantai/sungai. Akibatnya adalah pengembangan kegiatan di atas pantai dan sungai, serta darat tidak terintegrasi secara baik, sehingga Pemerintah Kota harus menghadapai berbagai permasalahan seperti:

a. Pemanfaatan lahan yang tidak efisien (tidak sesuai dengan potensi yangdimilikinya) ditinjau dari kontribusinya terhadap ekonomi kota. Inefisiensi penggunaan lahan ini terutama terjadi pada daerah pusat kota

b. Penguasaan lahan tepi pantai dan sungai oleh perorangan yang membatasiakses warga kota ke pantai dan sungai, sehingga terjadi penguasaan sumber daya strategis (pantai & sungai) oleh sebagian kecil kelompok masyarakat Pembangunan kawasan waterfront city berkembang sebagai trend pembangunan yang paling bergengsi yang populer. Pendekatan perkotaan

pembangunan waterfront city memiliki jangkauan yang luas, mulai dari konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut. Di tinjau dari tipe proyeknya waterfront city dibagi menjadi 3 yaitu konservasi,

pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development).

1. KonservasiAdalah penataan waterfront city kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat.

2. RedevelopmentAdalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang

5

sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas - fasilitas yang ada.

3. DevelopmentAdalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai. Berdasarkan fungsinya, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu: 1. Mixed Used Waterfront Adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan. 2. Recreational Waterfront Adalah adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Dengan kondisi air yang baik dan tidak berbau maka kawasan tersebut terjamin akan banyak di singgahi pengunjung. Selain itu pula dapat juga dibanguna area terbuka (plaza) di kawasan tersebut. Waterfront dengan konsep sebagai kawasan hiburan ini pastinya akan sanagat digemarai oleh masyarakat perkotaan 3. Residential Waterfront Dalam fungsi resindential waterfront dapat diterapkan pengembangan kawasan hunian di tepi air. Pengembangan hunian di tepi air tentunya harus melihat kondisi airnya tersebut pastinya airnya tidak berbau dan kotor karena jika terbangun hunian di lokasi tersebut dengan kondisi air yang buruk maka produk huniannya akan sulit terjual ataupun terhuni. Dalam pengembangan hunian di tepi air dapat di bangun produk rumah ataupun kondominium. Penerapan kawasan huian di tepi air dapat dilihat di daerah Port Grimoud - Prancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak terbangun hunian bertingkat. 4. Working Waterfront Adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan. Contoh working waterfront di Canary Wharf salah satu bagian kawasan London Docklands. Di daerah tersebut terlihat di tepian air banyak gedung - gedung perkantoran serta kondominum. Kawasan tersebut dapat menjadi pusat bisnis Dalam menentukan suatu lokasi terebut waterfront atau tidak maka ada beberapa

6

kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk dalam waterfront atau tidak. Berikut kriteria yang ditetapkan :

1. Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau,sungai, dan sebagainya).

2. Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, ataupariwisata.

3. Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri,atau pelabuhan.

4. Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan. 5. Pembangunannya dilakukan ke arah vertical horisontal

Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).

a. Faktor GeografisMerupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah

Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dankonfigurasi, pasang-surut, serta kualitas airnya.

Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, sertakepemilikannya.

b. Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.Konteks perkotaan (Urban Context) Adalah merupakan faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah:

Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik.

Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang

7

perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.

Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.

Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya

2.3

Kebijakan Terkait Waterfront city

Beberapa kebijakan di daerah yang telah melakukan metode pengembangan wilayah menggunakan waterfront city adalah Keppres no.52 tahun 1995 tentang reklamasi pantai utara, perda no.8 tahun 1995 tentang penyelenggaraan reklamasi dan rencana tata Ruang Kawasan pantai Utara Jakarta dan perda No 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Keppres Nomor 52 Tahun 1995 memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menyelenggarakan reklamasi kawasan Pantura Jakarta, yang ditindaklanjuti oleh Perda DKI No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. Sementara itu Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW Jakarta 2010 juga ikut memberikan panduan kebijakan terhadap penyelenggaraan reklamasi Kawasan Pantura Jakarta. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta Dalam Keepres 52 Penyelenggaraan Reklamasi Pantura wajib memperhatikan kepentingan lingkungan, kepentingan pelabuhan, kepentingan kawasan pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsifungsi lain yang ada di Kawasan Pantura. Perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan Reklamasi Pantura sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penataan Kawasan Pantura. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta Kawasan Pantura Jakarta yang terletak di Kotamadya Jakarta Utara, direncanakan sebagian merupakan kawasan hasil reklamasi dan sebagian lagi merupakan kawasan daratan pantai lama. Rencana pengembangan reklamasi pantai di kawasan Pantai utara Jakarta seluas

8

2.700 Ha merupakan upaya Pemerintah DKI Jakarta untuk meningkatkan kualitas lingkungan Pantai Utara Jakarta dan mewujudkan kota pantai (waterfront city) yang dapat berdiri sejajar dengan kota-kota pantai di Asia Pasifik seperti Sidney, Singapura dan Hongkong serta dapat mewujudkan Jakarta sebagai kota pantai yang berkelanjutan (sustainable) serta dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia. Kawasan reklamasi yang dikembangkan harus dapat menjadi tempat tinggal dan tempat bekerja yang nyaman dan berkualitas, yang tidak hanya dicirikan dengan pertumbuhan investasi yang tinggi, tetapi juga kualitas lingkungan yang baik dan manusiawi, dengan dukungan partisipasi masyarakat dalam pembangunannya. Visi dari pengembangan Pantura Jakarta adalah :

1. Terwujudnya kota Jakarta sejajar dengan kota besar lainnya di dunia denganbercirikan kota pantai.

2. Terwujudnya kota pantai Jakarta siap menghadapi persaingan global. 3. Sedangkan Misi dari pengembangan Pantura Jakarta adalah : 4. Terciptanya model mamanjemen pembangunan pantai yang baru dan handal(intregrated coastal management).

5. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkankeseimbangan kepentingan mkesejahteraaan dan keamanan.

6. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan denganmemperhatikan kawasan lindung dan kawasan budidaya serta kelestarian bangunan dan lingkungan bersejarah.

7. Mengendalikan pertumbuhan kota jakarta kearah selatan untuk melindungaiwilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air. Perda No 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Dalam perda DKI Jakarta pemanfaatan tepi pantai dilakukan melalui reklamasi pantai. Di dalam RTRW disebut, Kawasan Reklamasi Pantura meliputi area seluas lebih kurang 2.700 hektar. Kawasan reklamasi sebagai kawasan prioritas arahan pengembangan. Intensitas Ruang kawasan ini pun sangat tinggi. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) diarahkan mencapai 5 hingga 10 dengan ketinggian 97 lantai. Sebagai usaha menciptakan wilayah dengan pengembangan waterfront city salah

9

satunya dilakukan dengan:

Untuk kawasan pantai baru pada wilayah pengembnagan utara melaluipengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik daripantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata.

Menata

kembali

kawasan

pantai

lama

secara

terpadu

dengan

pengembangan reklamasi;

Mendorong revitalisasi kawasan kota tua sebagai objek wisata denganmeningkatkan sarana dan prasarana pendukungnya guna mendorong pengembangan pusat niaga baru bertaraf internasional di kawasan reklamasi;

Mengembangkan pemukiman masyarakat menengah-atas pada arealreklamasipantai utara;

Penjajagan pengembangan teknik sanitary landfill di laut yang terpadudengan reklamasi untuk melayani wilayah bagian utara;

10

BAB 3 ANALISIS FISIK BANGUNAN

Berdasarkan teori yang dikemukakan Hamid Shirvani (The Urban Design Process, New York, Van Nostrand Reinhold Co. 1985) , elemen rancang kota terdiri atas:

1) Tata guna lahan/peruntukan lahan (land use), 2) Bentuk dan massa bangunan (building form and massing), 3) Sirkulasi dan parkir (circulation and parking), 4) Ruang terbuka (open space), 5) Jalur pejalan kaki (pedestrian ways) 6) Kegiatan penunjang (activity support), 7) Penanda kawasan (signage), dan 8) Bangunan atau obyek-obyek yang dilindungi atau bernilai historis(preservation) Poin kedua yaitu bentuk dan massa bangunan menjadi salah satu elemen dalam perancangan kota yang diperlukan untuk menciptakan kota yang nyaman, memiliki nilai estetika yang baik serta berkelanjutan dan meningkatkan kulitas hidup warganya. Untuk menuju kota berkelanjutan tersebut diperlukan berbagai analisis dari kondisi eksisting kota agar tercipta pengembangan kota yang lebih baik di masa yang akan datang. Salah satu analisis yang dibutuhkan adalah analisis kondisi fisik bangunan untuk mempertimbangkan kelayakan pengembangan kawasan waterfront city di Kota Tarempa. Poin-poin yang akan dibahas dalam analisis ini antara lain:o

Analisis Kondisi Eksisting perletakan dan tata masa bangunan Analisis orientasi bangunan KDB dan KLB Tinggi Bangunan, GSB Langgam bangunan

o Analisis fungsi kegiatan bangunanDengan adanya analisis fisik bangunan ini, diharapkan dapat memberikan pertimbangan kepada feasibility study dalam pengembangan kawasan waterfront city di Kota Tarempa. 3.1 Analisis Kondisi Eksisting Peletakan Dan Tata Masa Bangunan Saat ini kondisi eksisting peletakan bangunan di kawasan waterfront di Tarempa

11

dapat dikatakan belum cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari struktur ruang kota yang belum membentuk blok-blok tertentu dan pembangunan dilakukan secara sprawl dimana tidak ada batasan-batasan dalam penggunaan lahan seperti pembangunan diatas sungai ataupun lautan. Selain itu tata massa bangunan juga tidak memiliki keteraturan ataupun keseragaman bentuk.

3.1.1 Orientasi Bangunan Jika dilihat secara visual kawasan waterfront Tarempa yang berbatasan langsung dengan air di dominasi oleh kawasan jasa perdagangan dan pemukiman. Terdapat restoran, hotel, dan juga pasar/pertokoan di sepanjang tepian air. Terdapat juga fasilitas umum yaitu dermaga yang menjadi prasarana transportasi utama bagi Kota Tarempa. Sedangkan waterfront. kawasan pemukiman terletak di sebelah barat kawasan

Orientasi bangunan fasilias umum yaitu dermaga menghadap ke lautan karena dermaga ini merupakan satu-satunya akses masuk dan keluar Kota Tarempa. Saat ini fasilitas-fasilitas yang ada di dermaga masih sangat minim. Belum ada bangunan lain selain bangunan dermaga, seperti ruang tunggu, loket ataupun toilet sehingga dermaga ini tidak memenuhi standar kelayakan dermaga penumpang. Diperlukan perbaikan dan penambahan fasilitas dermaga, untuk menunjang fungsinya sebagai prasarana transportasi utama di Tarempa dan juga menambah nilai estetika di kawasan waterfront.

Gambar 1 Dermaga Tarempa

Sumber: Hasil Observasi, 2011

12

Kawasan jasa perdagangan yang terdapat di kawasan waterfront memiliki orientasi bangunan yang tidak seragam. Ada bangunan yang menghadap ke lautan namun ada juga yang membelakangi lautan. Orientasi bangunan yang tidak seragam ini kemungkinan disebabkan tidak adanya peraturan atau standar mengenai pembangunan di kawasan tepi air. Karena sebagian besar pembangunan dilakukan secara individu oleh masyarakat maka bangunan dibuat sesuai dengan keinginan pemilik tanpa memikirkan peraturan ataupun pelestarian kawasan tepian air. Hal yang sama juga terjadi di kawasan permukiman. Sebagian besar bangunan justru membelakangi lautan dan menghadap ke jalan. Bahkan ada yang membangun rumah jauh dari garis pantai dan tidak memiliki orientasi bangunan yang jelas.

Gambar 2 Kondisi Orientasi Bangunan

Sumber: Hasil Observasi, 2011

Ketidakteraturan pembangunan ini sangat disayangkan karena merusak estetika kawasan waterfront sebagai gerbang depan yang menyambut orang-orang yang datang ke Kota Tarempa dan menimbulkan kesan kumuh. Selain itu pembangunan yang padat di kawasan waterfront ini juga menyebabkan kerusakan lingkungan yaitu terumbu karang yang mati karena terlalu banyak pondasi bangunan yang ditancapkan ke dasar laut dengan tidak beraturan

Setiap bangunan di kawasan pemukiman memiliki batasan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) dan KLB (Koefisien Luas Bangunan) yang berbeda-beda tergantung dari peruntukkan lahannya. Batasan KDB dan KLB harus diterapkan agar menciptakan kawasan yang teratur dengan kepadatan dan ketinggian bangunan yang sesuai dan

13

dapat menciptakan kenyamanan dan estetika kota.

3.1.2 KDB, KLB, GSB dan Tinggi Bangunan

1. Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah garis batas dalam mendirikan bangunandalam suatu persil atau petak yang tidak boleh dilewatinya, garis ini bisa membatasi fisik bangunan ke arah depan, belakang ataupun samping Lebar GSB biasanya dihitung seperempat dari lebar Daerah Milik Jalan (DMJ) dan ditarik dari batas Garis Sempadan Pagar (GSP). Khusus untuk kawasan perdagangan dan jasa komersial, GSB minimum adalah 5 (tiga) meter dari batas GSP. Garis Sempadan Samping/Belakang Bangunan (GspS/GSpB), yaitu sempadan yang membatasi jarak terdekat bangunan terhadap garis batas samping atau belakang kapling, yang dihitung dari garis batas kapling terhadap batas terluar samping/belakang bangunan yang berfungsi sebagai ruang, untuk pertimbangan faktor keselamatan antar bangunan.

Bangunan-bangunan di Kota Tarempa dapat dikatakan tidak memiliki

sempadan

bangunan yang sesuai hampir di setiap bangunan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pembagian blok yang benar dan memadai maka masyarakat dapat membangun bangunan apa saja tanpa mengindahkan standar-standar yang berlaku. Dilihat dari foto udara, Kota Tarempa merupakan kota kecil yang jumlah bangunannya sangat padat namun tidak tertata dengan baik sehingga menimbulkan kesan kumuh. Pada umumnya bangunan yang ada di daratan dibangun berdempetan dengan bangunan lainnya dan tidak ada jarak antar bangunan sama sekali.

Sedangkan untuk bangunan yang dibangun diatas air, rata-rata masih memiliki sedikit jarak antar bangunan karena berbentuk seperti rumah panggung sehingga masih ada sedikit jarak antar bangunan. Namun sempadan bangunan yang ada tidak diatur dengan baik dan rapi sehingga menimbulkan kesan estetika yang kurang indah, juga berbahaya apabila terjadi bencana seperti kebakaran maka api akan mudah merambat ke bangunan di sekitarnya. Selain itu apabila terjadi gempa bumi,

14

akan berbahaya karena apabila ada satu bangunan yang runtuh maka dengan mudah dapat menimpa bangunan yang ada disekitarnya.

Gambar 3 Kondisi Bangunan yang Tidak Memiliki Sempadan

Sumber: Hasil Observasi, 2011

Jarak bangunan ke jalan pada umumnya sangat berdempetan sehingga tidak ada sempadan bangunan, bahu jalan ataupun trotoar. Pejalan kaki umumnya berjalan di badan jalan, begitu juga dengan kendaraan milik masyarakat banyak yang diparkir di badan jalan. Namun karena jumlah kendaraan tidak banyak dan arus lalu lintas cukup sepi, maka adanya bangunan-bangunan yang berdempet dengan jalan ini tidak terlalu mengganggu. Namun beberapa tahun yang akan datang, apabila jumlah penduduk dan kendaraan semakin bertambah, maka tentu akan menimbulkan permasalahan seperti kemacetan ataupun kecelakaan. Dari segi estetika tentu sangat tidak indah dipandang mata dan menimbulkan kesan kumuh juga menyalahi standar dalam pembangunan. Seharusnya setiap bangunan memiliki sempadan bangunan yang berhadapan dengan jalan.

a. Koefisiensi Dasar Bangunan (KDB) adalah angka prosentase berdasarkanperbandingan jumlah luas lantai dasar bangunan terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang kota. Rencana pengaturan KDB ditujukan untuk mengatur proporsi antara daerah terbangun dengan tidak terbangun serta untuk mengatur intensitas kepadatan bangunan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau disebut juga Buliding Coverage Ratio (BCR) merupakan satu ukuran yang mengatur proporsi luas penggunaan lahan terbangun dan tidak terbangun pada satu kapling. Maksud luas lahan terbangun ini adalah luas total lantai dasar dimana pada suatu struktur bangunan yang kompleks memiliki aturan perhitungan tersendiri.

15

Ketentuan pengaturan KDB bertujuan untuk: a. lingkungan b. Menciptakan keserasian antara lingkungan baru dengan lingkungan lama yang sudah terbentuk c. Menjaga keseimbangan antara bangkitan Menjaga keseimbangan dan kelestarian

kendaraan yang ditimbulkan oleh bangunan dengan rencana jaringan jalan b.Koefisiensi Lantai Bangunan (KLB) adalah besaran ruang yang dihitung dari angka perbandingan jumlah luas seluruh lantai bangunan terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana teknis ruang kota. KLB atau disebut juga Floor Area Ratio (FAR) merupakan ukuran yang menunjukkan proporsi total luas lantai suatu bangunan dengan luas kapling dimana bangunan tersebut berdiri. persamaan : Secara matematis KLB dapat dinyatakan dalam

KLB =

TotalLuasLantaiBangunan X 100% LuasKapling

Dalam perhitungan KLB ini, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan: Luas lantai adalah jumlah total luas lantai sampai dinding terluar Luas lantai ruangan yang beratap dan berdinding > 1,2 m di atas lantai ruang

tersebut, dihitung penuh Luas lantai ruang yang bersifat terbuka dan berdinding < 1,2 meter di atas

lantai ruang tersebut, dihitung setengahnya (50%) selama tidak melebihi 10% dari luas denah dasar yang diperkenankan sesuai dengan KDB yang berlaku Luas overstek < 1,2 meter tidak dimasukkan dalam perhitungan sebagaimana

yang dimaksud di atas Luas ruang berdinding > 1,2 meter di atas lantai ruang tersebut, tetapi tidak

beratap dihitung setengahnya (50%) selama tidak melebihi 10% dari luas denah dasar yang diperkenankan sesuai KDB yang berlaku. Luas lantai bangunan yang dipergunakan untuk parkir diperkenankan hingga

150% dari KLB yang ditetapkan Ramp dan tangga terbuka dihitung setengahnya (50%) selama tidak melebihi

16

10% dari luas denah dasar yang diperkenankan. c. Ketinggian Bangunan (TB) adalah jumlah lantai penuh dalam satu bangunan dihitung mulai lantai dasar sampai puncak atap suatu bangunan, yang dinyatakan dalam meter, atau ketinggian bangunan (TB) adalah suatu angka yang membatasi ketinggian suatu bangunan yang dapat berupa lapis/tingkat bangunan, atau dalam satuan ketinggian (m). Pengaturan ketinggian bangunan selain dapat membentuk terciptanya kesan klimaks dan anti klimaks. juga bertujuan untuk menciptakan skyline kawasan, agar tercipta kesan dinamis. Kecenderungannya adalah makin dekat dengan pusat kota atau pusat kegiatan, maka bangunan akan semakin rapat dan tinggi yang mencerminkan intensitas kegiatan yang semakin tinggi pula. Pada prinsipnya bangunan bertingkat hanya diizinkan pada penggunaan lahan yang menuntut intensitas penggunaan ruang yang tinggi seperti lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa komersial. Sedangkan pertimbangan pengaturan ketinggian bangunan antara lain adalah: Daya dukung lahan, dalam hal ini ditinjau dari kemampuan lahan di wilayah perencanaan dalam mendukung konstruksi bangunan-bangunan diatasnya. Daya tampung lahan, dalam hal ini ditinjau mengenai ketersediaan lahan yang terbatas di wilayah perencanaan, yang menuntut pembangunan fisik secara vertikal. Pertimbangan faktor keselamatan terhadap bangunan dan pemakai bangunan itu sendiri Tinjauan terhadap estetika kawasan dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan ketinggian bangunan berdasarkan jumlah lantai bangunan, dihitung tanpa mengikutkan ruang basement. Berkaitan dengan aturan KDB dan KLB, jumlah lantai bangunan dapat ditentukan berdasarkan persamaan: Melalui pengaturan ketinggian bangunan tersebut, diharapkan:

Pemanfaatan lahan secara optimal ketersediaan ruang parkir sehingga dapat tercipta keamanan dan kenyamanan lingkungan

Pembangunan yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lahan. Landmark kawasan dapat menonjol Menciptakan keserasian bangunan dan lingkungan.

17

Gambar 4 Hubungan Antara Tinggi Bangunan, GSB, KDB, KLB Bagi Bangunan RenggangBA N G U N AN TU N GGA L 4 LAN TAI2 L u a s P ersil = A m L u a s L a n ta i D a sa r = a m 2 L u a s L a n ta i T ota l = (a + b + c + d ) m

2

U n tu k K D B = 70% K D B = a /A = 7 0 % K L B = (a + b + c + d )/A = 2 ,8

d c b a

JA R A K B E B A S (G S B ) D E P A N J A R A K B E B A S ( G S B ) S A M P IN G J A R A K B E B A S (G S B ) B E L A K A N G

Kondisi kawasan waterfront di Kota Tarempa saat ini memiliki ketinggian bangunan yang tidak teratur dan tidak tertata dengan baik. Banyak sekali bangunan yang memiliki ketinggian berbeda padahal berada dalam satu deret ataupun dalam satu blok. Ada kecenderungan membangun rumah bertingkat selain dikarenakan luas lahan yang sangat terbatas juga untuk menunjukkan strata sosial dan penghasilan yang lebih tinggi. Bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah keatas, dapat dilihat bangunan rumah mereka terdiri dari 2-3 lantai dengan bahan bangunan yang lebih baik daripada bangunan lain di sekitarnya. Karena adanya kecenderungan ini maka menimbulkan perbedaan tinggi bangunan yang sangat kontras apabila dilihat dari kejauhan. Bangunan-bangunan milik pemerintah juga memiliki ketinggian yang berbeda dengan bangunan disekitarnya sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial dengan masyarakat disekitarnya. Diperlukan arahan pengaturan ketinggian bangunan di kawasan waterfront Kota Tarempa dengan tujuan (a) Menciptakan keamanan dan kenyamanan lingkungan serta ritme kesan visual yang indah (b) Efektifitas dan efisiensi pemanfaatan lahan 3.1.3 Langgam bangunan Langgam atau gaya bangunan yang ada di kawasan waterfront Kota Tarempa pada umumnya berupa rumah panggung sederhana yang pondasinya berada di dalam air dan terbuat dari material semi permanen seperti kayu, triplek ataupun seng. Bangunan lama memiliki langgam rumah-rumah di daerah tropis dengan banyak jendela dan langit-langit yang tinggi. Namun adanya bangunan-bangunan baru memiliki langgam yang berbeda yaitu modern-minimalis dengan warna-warna yang

18

cerah dan material yang lebih bagus dan lebih permanen yaitu beton, batu bata ataupun batako. Penggunaan pondasi yang terbuat dari beton menyebabkan terumbu karang yang ada di sekitar pantai menjadi mati dan merusak ekosistem, hal ini tentunya sangat disayangkan karena pembangunan tidak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan. Gambar 5 Langgam dan Ketinggian Bangunan yang Beragam

Sumber: Hasil Observasi, 2011

Adanya perbedaan langgam bangunan yang cukup mencolok, maka tidak tercipta keserasian langgam bangunan di kawasan waterfront. Perbedaan langgam bangunan juga mengindikasikan perbedaan fungsi bangunan dan strata ekonomi pemilik bangunan. Bangunan yang memiliki fungsi komersial seperti pasar, hotel, restoran, toko memiliki langgam bangunan yang lebih modern dan material bangunan permanen. Sedangkan permukiman penduduk pada umumnya berupa bangunan lama yang terbuat dari material semi permanen.

3.2 Analisis Kondisi Fisik Berdasarkan Fungsi Bangunan Sebagai ibukota kabupaten, Kota Tarempa memiliki banyak fungsi perkotaan antara lain, sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis dan perdagangan, serta pusat pendidikan. Banyaknya fungsi perkotaan yang dimiliki Kota Tarempa harus didukung dengan kondisi fisik bangunan yang memadai sehingga fungsi-fungsi yang ada dapat berjalan dengan optimal. Secara umum, kondisi fisik bangunan yang ada di Kota Tarempa belum cukup baik. Hal ini dilihat dari masih cukup banyak bangunan semi-permanen yang ada di Kota Tarempa. Bangunan semi-permanen ini pada umumnya berada di kawasan perkotaan

19

pemukiman penduduk yang dipengaruhi oleh gaya arsitektur setempat yaitu berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Namun terkadang pembangunan rumahrumah ini menggunakan material seadanya seperti kayu dengan kualitas rendah, seng, ataupun triplek yang membuat kondisi fisik bangunan menjadi kurang baik dan tidak memberikan nilai estetika terhadap kawasan waterfront. Banyaknya bangunan semi-permanen juga berpengaruh terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan karena masih banyak bangunan-bangunan yang tidak memenuhi standar rumah sehat yaitu tidak memiliki saluran pembuangan air kotor dan WC sendiri sehingga pembuangan black water dan grey water langsung dibuang ke sungai dan laut tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pencemaran air juga berdampak terhadap kerusakan terumbu karang di dalam laut. Selain itu ventilasi dan sirkulasi udara kurang memadai karena padatnya bangunan yang ada, serta konstruksi bangunan yang kurang kokoh dapat membahayakan penghuninya apabila sewaktu-waktu terjadi gempa bumi atau bencana alam lainnya. Namun di beberapa bagian wilayah kota terdapat juga bangunan-bangunan permanen dengan konstruksi dan bahan bangunan yang lebih baik. Pada umumnya bangunan ini merupakan kantor pemerintahan dan juga kawasan jasa perdagangan. Bangunan-bangunan permanen ini memiliki konstruksi bangunan yang lebih baik yaitu terbuat dari beton. Material bangunan juga terbuat dari bahan yang lebih kokoh yaitu batu bata atau batako, semen dan kayu dengan kualitas yang baik. Bangunanbangunan ini memiliki fungsi yang vital bagi Kota Tarempa sehingga perlu didukung dengan fisik bangunan yang baik agar dapat berfungsi melayani masyarakat secara optimal.

20

BAB 4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis diatas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Kelebihan / potensi yang ada dari kondisi fisik bangunan di Kota Tarempa: sebagian bangunan sudah memiliki orientasi bangunan yang benar bangunan-bangunan baru memiliki konstruksi bahan bangunan yang bangunan di kawasan waterfront memiliki ciri khas langgam bangunan

sesuai dengan kaidah yang berlaku lebih bagus dan kokoh di kawasan pesisir yaitu rumah panggung.

Kekurangan dari fisik bangunan di Kota Tarempa: belum adanya keteraturan pembagian blok di kawasan waterfront pembangunan dilakukan secara sprawl dimana tidak ada batasanbatasan dalam penggunaan lahan seperti pembangunan diatas sungai ataupun lautan masih ada bangunan yang memiliki orientasi bangunan yang tidak sesuai dengan kaidah tidak adanya batasan persil dan sempadan bangunan di hampir setiap bangunan Pembangunan tidak berdasarkan standar KDB, KLB dan tinggi bangunan banyak bangunan yang tidak memiliki material dan konstruksi yang baik sehingga menimbulkan kesan kumuh pada kawasan waterfront

Pada umumnya kondisi fisik bangunan di Kota Tarempa Kabupaten Kepulauan Anambas dapat menunjukkan kelas perekonomian masyarakat dan/atau strata sosial pemilik bangunan. Melihat kondisi fisik bangunan di Kota Tarempa saat ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan belum cukup baik dan masih banyak yang berpenghasilan menengah kebawah. Oleh karena itu diperlukan upgrade bangunanbangunan di kawasan waterfront agar menciptakan kawasan yang nyaman, teratur dan berkelanjutan.

21

4.2 RekomendasiMelihat adanya kelebihan dan kekuranan dari kondisi fisik bangunan di kawasan waterfront city Tarempa, maka beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai rekomendasi untuk perbaikan kawasan waterfront city: Penetapan regulasi/peraturan dalam pembangunan perumahan dan fasilitas di kawasan waterfront Pemberian bantuan pembangunan perumahan kepada rakyat yang kurang mampu Penertiban bangunan-bangunan yang melebihi batas sungai/laut Penataan ulang kawasan dengan pembangunan jalan yang lebih teratur sehingga membentuk blok-blok bangunan Adanya penetapan batas terluar di garis pantai agar tidak ada bangunan yang terlalu menjorok ke laut

Sedangkan rekomendasi terhadap penelitian adalah: kurangnya peta dan data sekunder lainnya membuat analisis dilakukan dengan data yang seadanya dikarenakan penulis tidak mengikuti survei langsung ke lokasi, maka pandangan dan pengetahuan mengenai kondisi fisik bangunan di Kota Tarempa sangat terbatas diperlukan lebih banyak kajian literature mengenai analisis fisik bangunan

22

DAFTAR PUSTAKA Hendrojogi, Windriarti dkk. Laporan Pendahuluan Kajian Kelayakan Waterfront city Tarempa. Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi. 2011 Hendrojogi, Windriarti. Kebijakan Dan Arahan Pengaturan Dan Pengendalian Bangunan Di Wilayah Kecamatan Pinang Kota Tangerang. Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi. 2009 Talking Up the Waterfront city Center Summary of Comments. Waterfront Futures Group. 2003 Western Waterfront Master Plan. Toronto Planning Alliance. 2009 http://sustainablecitiescollective.com/ http://cityroom.blogs.nytimes.com/tag/waterfront/ http://www.cityofnewburyport.com/boardwalk.html

23