repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/adib...

100
KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Ponpes Daarul Rahman dan Masjid Hidayatul Musyawaroh) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syriah dam Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar (S.H) Diajukan oleh : Adib Mubaroki NIM : 1113043000019 KONSESNTRAS PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIEF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018/1439 H

Upload: lamhuong

Post on 17-Jul-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA MENURUT HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF

(Studi Kasus Ponpes Daarul Rahman dan Masjid Hidayatul

Musyawaroh)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syriah dam Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar (S.H)

Diajukan oleh :

Adib Mubaroki

NIM : 1113043000019

KONSESNTRAS PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIEF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018/1439 H

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

v

ABSTRAK

ADIB MUBAROKI. NIM 1113043000019. Konversi Wakaf di DKI Jakarta Menurut

Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Kasus di Pondok Pesantren Daarul Rahman dan Masjid

Hidayatul Musyawaroh). Skripsi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439H/2018M. (x halaman

dan 72 halaman).

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang konversi wakaf menurut hukum Islam

dibandingkan menurut pelaksanaan dalam hukum positif di Indonesia berikut juga mengenai

dampak sosial yang terjadi setelah terjadinya konversi wakaf.

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian metode deskriptif dengan pendekatan

kualitatif, yaitu merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pada pencarian makna,

pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena.

Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini, penulis menggunakan

jenis penelitian normative dan sosiologis, dengan metode field research (kajian lapangan).

Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan., yang dalam hal ini penulis

membandingkan antara hukum Islam dengan hukum positif di Indonesia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konversi wakaf menurut moyoritas ulama fiqih

diperbolehkan, karena lebih memilih keabadian fungsi wakafnya yang jadi prioritas,

dibandingkan dengan keabadian bentuk wakafnya. Dan pada prakteknya di Indonnesia konversi/

istibdal/ ruislagh wakaf ini diperbolehkan dan dilindungi oleh Undang-Undang No.41 Tahun

2004 tentang perwakafan dengan beberapa prosedur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

No.42 tahun 2006 tentang aturan pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang perwakafan. Dari

segi dampak sosialnyapun lebih dirasakan mashlahatnya oleh masyarakat jika terjadinya

konversi wakaf itu untuk pengelolaan dan pengembangan wakaf yang membuat lebih produktif

lagi.

Kata Kunci : konversi, istibdal, wakaf.

Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan, SH, MA, MH.

Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag

Daftar Pustaka :

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan limpahan

rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis,

terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin. Sesungguhnya hanya dengan

pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat

beriringan salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan

para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan haasil dan upaya yang maksimal dari

penulis. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai

pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik

moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan

III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab

beserta Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., Sekertaris Program Studi Perbandingan

Mazhab yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi

kepada penulis dalam kepentingan akademik maupun sosial.

vi

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3. Bapak Dr. Yayan Sopyan, S.H, MH, beserta Dr. Abdurrahman Dahlan M.A, sebagai

dosen pembimbing skripsi penulis yang telah sabar dan terus memberikan arahan,

saran dan ilmunya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini

dengan sungguh-sungguh dan penuh kecintaan.

4. Bapak H. Ahmad Bisyri Abd Shomad, LC., MA. Sebagai dosen penasehat akademik

penulis yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu

penulis dalam merumuskan desain judul skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam

disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan

pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

6. Ibu Nanik selaku divisi bidang pengembangan penelitian di Badan Wakaf Indonesia,

yang selalu sabar memberikan arahan dan data yang berkaitan dengan penbulisan

skripsi ini.

7. Ustadz M. Faiz (Perwakilan Nazhir Pondok Pesantren Daarul Rahman) dan KH. M.

Nuruddin Munawwar (Pimpinan Nazhir masjid Hidayatul Musyawarah) yang telah

meluangkan waktunya kepada penulis unntuk melakukan wawancara guna

menambah data penulisan skripsi.

8. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Widji

Musta’in dan Hj. Khairiyah yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya,

memberikan dukungan secara formil dan materil dengan tak pernah jenuh dan tanpa

menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis

dalam menempuh pendidikan, serta saudara kandung penulis yang telah memberikan

vii

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

dukungan baik dukungan spiritual maupun moril dengan segenap hati yang tulus dan

ikhlas.

9. Bella Sartika Maulida, terimakasih banyak telah menjadi inspirasi dan partner yang

telah memberikan partisipasi dan motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini

dengan penuh suka dan kesabaran.

10. Sahabat-sahabat seperjuangan Ivan Dimas Pratama, Fahmi Dzakky, Arya

Chairunnisa, Al-Ahsan Sakino, Izzat Muttaqin, Syamazka Dzakirni, Ismah Nur

Afiati. Yang telah memmberikan support selama berproses selama jadi mahasiswa di

UIN Syarief Hidayatullah.

11. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terimakasih telah

memberikan pengalaman berorganisasi.

Semog skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya

serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin.

Jakarta, 7 Februari 2018

21 Jumadil Awwal 1439 H

ADIB MUBAROKI

viii

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………....…..… xii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 3

C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 4

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 4

E. Riview Kajian Terdahulu ............................................................... 5

F. Metode Penelitian........................................................................... 7

G. Sistematika Penulisan..................................................................... 9

BAB II : WAKAF DAN PERPINDAHAN HARTA WAKAF

A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf ................................................... 11

1. Pengertian …………………………………………. ............. 11

2. Dasar Hukum Wakaf………....…………………………....... 14

3. Rukun dan Syarat Wakaf …………………………………... 15

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

x

4. Perubahan Harta Wakaf……………………………………... 25

B. Teori Keabadian Harta dan Fungsi Wakaf Dalam Istibdal Wakaf

1. Pengertian……………………………………………………. 27

2. Menurut Ulama Fikih………………………………………... 29

3. Menurut Perundang-undangan………………………………. 31

BAB III : PRAKTIK KONVERSI WAKAF DI PROVINSI DKI JAKARTA

A. Gambaran Umum Praktik Konversi Wakaf DI Indonesia dan

DKI Jakarta ................................................................................... 34

B. Faktor Penyebab Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta ...... 36

C. Proses Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta.................... .. 37

BAB IV : ANALISIS KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA

A. Hukum Menukar dan Merubah Fungsi Tanah Wakaf Dalam

Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif ............................... 42

B. Analisis Ketentuan Hukum Islam Terhadap Konversi Wakaf

yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta .…………………………. .. 56

C. Analisis Ketentuan Hukum Positif Terhadap Konversi Wakaf

yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta ............................................. . 62

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................... 66

B. Saran .............................................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68

LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………....…………………. 72

1. Surat Penunjukkan Dosen Skripsi........................................................ 72

2. Surat Permohonan Wawancara............................................................ 74

3. Surat Pernyataan Wawancara………………………………………... 76

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xi

4. Data Konversi Wakaf di DKI Jakarta.................................................... 78

5. Hasil Wawancara …………………………………………………….. 80

6. Dokumentasi wawancara……………………………………………... 84

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan

terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan

beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia

atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam

aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

بb

be

تt

te

ثts

te dan es

جj

Je

حh

ha dengan garis bawah

خkh

ka dan ha

دd

de

ذdz

de dan zet

رr

Er

زz

zet

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xiii

سs

es

شsy

es dan ye

صs

es dengan garis bawah

ضd

de dengan garis bawah

طt

te dengan garis bawah

ظz

zet dengan garis bawah

ع

koma terbalik di atas hadap

kanan

غgh

ge dan ha

فf

ef

قq

Qo

كk

ka

لl

el

مm

em

نn

en

وw

we

هh

ha

ء

apostrop

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xiv

يy

Ya

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,

memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai

berikut:

Tanda Vokal

Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah ــــــــــ

i kasrah ــــــــــ

u dammah ــــــــــ

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih

aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي___ ai

a dan i

و___ au

a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal

Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xv

â ـــــاa dengan topi diatas

î ـــــىi dengan topi atas

û ـــــوu dengan topi diatas

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan

huruf alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti

huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:

اإلجثهاد = al-ijtihâd

الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.

Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu

terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.

Misalnya:

al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat

contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta

marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta

marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xvi

No Kata Arab Alih Aksara

syarî ‘ah شزيعة 1

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسالمية 2

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,

namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu

diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka

huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-

Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak

tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar

kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-

Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf

(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara

dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح احملظورات 1

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xvii

al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2

usûl al-fiqh أصول الفقه 3

al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah األصل يف األشياء اإلباحة 4

al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wakaf merupakan salah satu ibadah yang dapat mencakup habl min Allâh

dan habl min al-nâs, yaitu ibadah yang selain berhubungan dengan Tuhan juga

berhubungan dengan sesama manusia, disamping sebagai salah satu aspek ajaran

Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan

pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Sepanjang sejarah Islam,

wakaf merupakan sarana dan modal yang sangat penting dalam memajukan

perkembangan agama. Menurut Rahmat Djatnika, tanah wakaf mempunyai fungsi

yang multidimensional dalam membantu kesejahteraan, perkembangan, dan

kemajuan masyarakat.1

Berkaitan dengan harta benda, tanah merupakan hal primer bagi sebagian

besar orang termasuk bagi masyarakat Indonesia. Tanah menempati kedudukan

penting dalam kehidupan mereka sehari-hari, terlebih bagi rakyat pedesaan yang

pekerjaan pokoknya bertani, berkebun atau berladang. Tanah merupakan tempat

bergantung hidup mereka. Sedangkan bagi masyarakat moderen, tanah merupakan

faktor produksi terpenting yang menjadi topik kajian serius para ahli ekonomi.2

Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia,

pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan Undang-Undang tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No. 5 Tahun 1960 yang disahkan

tanggal 24 September 1960. Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 14 ayat (1)

huruf “b” UUPA menentukan bahwa pemerintah Indonesia dalam rangka

sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,

peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya. Dalam peruntukan seperti dimaksud di atas,

1 Rahmat Djatnika, Tanah Wakaf, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 31

2 Irfan Rafana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattâb,(Jakarta: Pustaka

Firdaus,1990),h.17.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2

termasuk untuk keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan

Yang Maha Esa.3

Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pada Pasal 215 ayat (1) dijelaskan

sebagai berikut: ”Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang

atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan

melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.4

Wakaf maknanya berhenti dari kepemilikan diri sendiri dan berpindah

kepada pemilik jagat raya, yaitu Allah SWT. Harta wakaf tidak boleh dijual,

dihibahkan dan diwariskan. Sebagaimana dalam pasal 40 Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 tentang perubahan status harta benda wakaf disebutkan bahwa :

“Harta benda yang sudah diwakafkan dilarang untuk : (a) dijadikan jaminan, (b)

disita, (c) dihibahkan, (d) dijual, (e) diwariskan, (f) ditukar, (g) dialihkan dalam

bentuk pengalihan hak lainnya.”

Fenomena masyarakat sekarang banyak kasus harta wakaf dipindah

tangankan, dengan alasan demi kepentingan umum (al-maslahah al-„âmmah),

sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hanbal bahwa wakaf

tidak boleh melakuan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan

pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada orang lan, baik

dengan tukar menukar ataupun tidak. Sedangkan menurut imam Malik bahwa

pemilik harta wakaf menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan, tapi

membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, sedang harta itu tetap

milik wakif. 5

3 Ahmad Djunaedi dkk, Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan Perwakafan Tanah

Milik, (Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf Depag. RI, 1984/1985), h. 1

4 Pasal 215 angka 1 Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam

(Yogyakarta: Graha Pustaka,), h. 205.

5 Tulus dkk, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pengembangan

Zakat dan Wakaf, Depag RI), h. 3

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3

Banyak persoalan-persoalan yang timbul akibat dari dimensi sosial ini.

Salah satunya adalah masalah tukar guling tanah wakaf yang dalam istilah fikih

disebut al-istibdâl atau dalam hukum positif disebut ruilslag.6Al-Istibdâl diartikan

sebagai penukaran barang wakaf untuk ditukar barang lain sebagai wakaf

penggantinya. Ada yang mengartikan, bahwa al-Istibdâl adalah mengeluarkan

suatu barang dari status wakaf dan menggantikannya dengan barang lain.

Sedangkan menurut M. Abid Abdullah al-Kabisi, yang dimaksud dengan al-

Istibdâl adalah menjadikan barang lain sebagai pengganti barang wakaf asli yang

telah dijual.7

Oleh karena itu, dengan banyaknya polemik di masyarakat dalam praketek

perpindahan harta wakaf, penilitian ini peneliti akan menganalisis mengenai

hukum perpindahan harta wakaf, tentang kesesuaian pelaksanaan yang ada di

masyarakat dengan ketentuan hukum Islam dan undang-undang yang berlaku di

Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Potensi wakaf yang begitu besar saat ini, apa yang melatarbelakangi

terjadinya praktik tukar guling berdasarkan data di BWI ?

2. Kenapa pengelolaan dan pemberdayaan wakaf masih belum maksimal

sehingga masih jauh dari harapan untuk mensejahterakan umat ?

3. Bagaimana sebenarnya model pengelolaan wakaf produktif dengan

kerangka kerja yang profesional ? yang tidak bertentangan dengan konsep

hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

4. Bagaimana sebenarnya hukum konversi harta wakaf menurut jumhur

ulama ?

5. Apa dampak dari terjadinya koversi wakaf ?

6 Kata tukar guling dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut tukar lalu,

yang berarti bertukar barang dengan tidak menambah uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH.Per), tukar guling disebut dengan ruilslag yang berarti tukar guling yang didasarkan

atas persetujuan pemerintah. Dalam istilah fiqih disebut al-Istibdâl.

7 M. Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Jakarta: IIman Press, 2003), h. 349.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

4

6. Bagaimana prosedur konversi wakaf yang sesuai dengan undang-undang

yang berlaku di Indonesia.

7. Di mana letak persamaan, perbedaan dan keterkaitan antara hukum Islam,

dengan hukum positif mengenai konversi wakaf?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Adanya batasan masalah dalam suatu penelitian sangatlah diperlukan agar

penelitian yang dilakukan lebih terfokus pada substansi persoalan yang akan

diteliti sehingga tujuan dari penelitian dapat terarah dengan baik. Oleh karena itu

batasan dalam penelitian ini ialah meneliti mengenai hukum Praktek Pertukaran

Harta Wakaf dalam presepektif fiqih jumhur dengan kesesuaian prosedur

keperdataan yang berlaku di Indonesia.

Mengingat kasus praktek ruislag yang ada di Indonesia ini banyak sekali,

karena itu peneliti mengambil sampel kasus yang berada di provinsi DKI Jakarta,

berdasrkan data yang ada di BWI dan Bimas Islam Kementerian Agama dari

tahun 2007 – 2016.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus dalam skripsi ini

adalah:

a. Apa faktor yang menyebabkan timbulnya konversi wakaf di DKI

Jakarta?

b. Bagaimana proses terjadinya konversi wakaf di DKI Jakarta?

c. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif dalam praktik

konversi wakaf di DKI Jakarta?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh

penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui permasalahan terjadinya koversi wakaf.

b. Untuk mengetahui tujuan dari terjadinya konversi wakaf.

c. Untuk mengetahui ketetentuan hukum yang terjadi pada konversi

tersebut.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

5

2. Manfaat Penulisan

a. Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada penulis agar dapat

lebih memahami tentang permasalahan perpindahan wakaf.

b. Sebagai acuan pedoman mengelola wakaf, karena banyak terjadi di

masyarakat tentang konversi wakaf.

c. Hasi penelitian ini setidaknya bisa ikut andil dalam memperkaya kajian

keislaman tentang perpindahan wakaf.

E. Review Kajian Terdahulu

Review terhadap studi terahulu digunakan oleh penulis agar dapat

mengetahui tentang hal yang akan diteliti oleh penulis apakah sudah dibahas atau

belum dibahas sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelilitian

ini, penulis melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa

penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan

yang diteliti oleh penulis jika diteliti secara umum, namun jika ditelusuri

mendalam tentu ada perbedaan dari sudut pembahasan maupun substansi dalam

penelitan ini tentang Konvesri Wakaf Di DKI Jakarta (Perspektif Hukum Islam

dan Hukum Positif). Adapun penelitian terdahulu tersebut diantaranya :

1. Skripsi berjudul Pola Penyelesaian Sengketa di KUA Kecamatan

Cimanggis Kota Depok yang ditulis oleh Reynaldi Dzulkaidt.8 Dalam

penelitiannya, ia menjelaskan tentang pola dalam menyelesaikan

sengketa pada praktek pelaksanaan wakaf di KUA Kecamatan

Cimanggis Kota Depok.

2. Skripsi berjudul Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah

Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kabupaten Bekasi-Jawa

Barat) yang ditulis oleh Mochamad Awaludin Romdoni.9 Dalam

skripsi ini, awaludin menjelaskan tentang keabsahan praktik wakaf

yang terjadi di daerah Kertasari Kec.Pebayuran Kab. Bekasi.Yang

mana ada beberapa kendala praktik wakaf di daerah itu, hingga kini

8 Reynaldi Dzulkaidt, Pola Penyelesaian Senketa di KUA Kecamatan Cimanggis Kota

Depok, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Jakarta 2017.

9 Achmad Awaludin Romdoni, Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah

Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kabupaten Bekasi-Jawa Barat), Skripsi Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta 2014.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6

belum bisa tersertifikasi tanah wakaf. Padahal menurut UU No. 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal 68 diwajibkan

untuk didaftarkan kepada pihak yang berwenang setelah dilakukan

ikrar wakaf didepan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf).

Masalah lain dari praktik wakaf di daerah Kertasari yaitu wakif dalam

hal ini H. M. Yasin juga turut serta menjadi nadzir (pengelola wakaf)

dalam yayasan Hidayatunnajah. Untuk itu dia menganalisis

kedudukan kedua masalah tersebut jika dilihat dari segi hukum Islam

(fiqh) dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

3. Skripsi berjudul “Pertukaran Tanah Wakaf Masjid Baiturrahim

Jerakah Kecamatan Tugu Semarang (Analisis Hukum Islam)” yang

ditulis oleh Sulistiyowati.10

Dalam penelitiannya, ia membahas

mengenai pertukaran tanah wakaf milik Masjid Baiturrahim Jerakah

kecamatan Tugu Kabupaten Semarang yang belum bersertifikat. Jadi,

penelitian ini hanya membahas mengenai pertukaran tanah wakaf

Masjid yang tidak bersertifikat ditinjau dan dianalisis menggunakan

Hukum Islam dan penelitian yang dilakukannya menggunakan metode

penelitian secara normatif.

4. Jurnal AL-AWQAF (Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam) Badan Wakaf

Indonesia. Dalam jurnal ini memaparkan beberapa tulisan tentang

wakaf dan Istibdâl wakaf. Prof. Dr. Suparman Ibrahim dalam

tulisannya yang berjudul Praktik Istibdal Harta Benda Wakaf Di

Indonesia, ia menguraikan sesuatu yang polemic dalam Istibdâl di

Indonesia. Tulisan ini juga diperkuat oleh Bey Sapta Utama yang

berjudul Optimalisasi Manfaat Wakaf dengan Istibdâl.Lebih Detil Bey

mengulas persoalan Istibdâl berdasarkan kasus-kasus yang pernah

masuk di Badan Wakaf Indonesia. Topik Istibdâl istibdal ini juga

dikupas berdasarkan sudut pandang fiqih dan perundang-udangan.

Pokok pembahasan ini dikemukakan oleh Dr. Anwar Ibrahim dan KH.

Hafidz Utsman keduanya menyoroti Istibdâl wakaf berdasarkan

logika hukum. Dan yang terakhir Istibdâl perspektif sosiologis yang

10

Sulistyowati, “Pertukaran Tanah Wakaf Masjid Baiturrahim Jerakah Kecamatan Tugu

Semarang (Analisis Hukum Islam)” IAIN Walisongo, Semarang 2006.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

7

dikemukakan oleh Dr. Amelia Fauzia, mengupas persoalan ini dengan

merefleksikan beberapa kasus yang berujung kontoversi dan konflik.

Dari beberapa penelitian di atas, penulis belum melihat ada yang

membahas secara signifikan tentang tinjauan hukum Islam dan hukum positif

mengenai perpindahan harta wakaf, dengan menggunakan penelitian lapangan.

Karena itu penulis anggap penting terhadap penelitian tersebut sebagai barometer

dalam penerapan hukum tentang praktek perpindahan harta wakaf di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Untuk mengetahui penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang

berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian

yang disebut metodelogi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan

menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan

penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa

sampai dengan menyusun laporan.11

Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam

penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Dalam penelitia ini penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu

suatu pendekatan yang dimaksud untuk menjelaskan masalah yang diteliti dengan

hasil penelitian yang diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukum dan

melihat kehidupan kenyataan yang berkembang di masyarakat.12

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu

untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala

lainnya.13

Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang

baik, jelas dan dapat memberikan data yang seteliti mungkin tentang obyek yang

diteliti. Dalam hal ini untuk mendekripsikan tentang konversi wakaf yang terjadi

di DKI Jakarta. Dari keterangan tersebut peneliti menggunakan field reaserch

yaitu penelitian lapangan.

11

Cholid Narbuko, Metode Penelitian, (Bumi Pustaka, Jakarta, 1997), h. 60.

12

Hilman Hadi Kusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

(Mandar Maju, Bandung, 1995), Cet. Pertama, h. 63

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Pres, Jakarta, 1998), h. 58

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

8

3. Lokasi Penelitian

Berdasarkan Sesuai data yang dilansir di Badan Wakaf Indonnesia, bahwa Di

DKI Jakarta banyak dan beragam praktik konversi atau perpindahan harta benda

wakaf. Oleh karena itu penulis mengambil dua sampel, yang pertama berdasarkan

pembahasan yang di perdebatkan, yaitu tentang konversi harta benda wakaf secara

umum, dan konversi wakaf masjid. Kedua, berdasarkan yang paling besar

terhadap dampak sosial atau perkembangan harta benda wakaf tersebut setelah di

ruislag, diantaranya:

a. Pondok Pesantren Daarul Rahman yang asal wakaf bertempat di Jl.

Senopati Dalam II No. 35 A, Keb. Baru, Jakarta Selatan. Kemudian

dikonversi ke Jl. Purwaraya RT 006 RW 03 Kel. Cipedak Kec. Jagakarsa

Kota Administrasi Jaakarta Selatan

b. Masjid Hidayatul Musyawaroh beralamat di Jl. Kayumanis Gg. AMD 28,

RT 003/RW 005, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramatjati,

Condet, Jakarta Timur. yang merupakan perpaduan dana wakaf masjid Al-

Hidayah yang beralamat di daerah tersebut, dan masjid Al- Musyawaroh

yang beralamat di daerah Mangga Dua Jakarta Pusat, yang kemudian di

pindah ke Condet Jakarta Timur sehingga menjadi masjid Hidayatul

Musyawaroh.

4. Sumber Data

Sumber data yang terkait dengan skripsi ini yakni :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti.14

Data primer ini diperoleh melalui wawancara kepada wakif, nazir, dan tokoh

masyarakat setempat.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka

yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori. Dalam hal ini data yang

diambil yakni dari buku-buku literatur dan karya ilmiah yang sesuai dengan

hukum menukar dan merubah fungsi tanah wakaf.

5. Metode Pengumpulan Data

14

Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, Cet Ke-I 2004),

h. 57

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

9

a. Penelitian Lapangan

Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke lokasi

penelitian dengan cara wawancara. Adalah suatu bentuk komunikasi

verbal merupakan percakapan untuk memperoleh informasi.15

Disini penulis mengumpulkan data dengan cara mengadakan Wawancara

secara langsung dengan nazhir pondok pesantren Daarul Rahman, dan

Masjid Hidayatul Musyawarah.

b. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara mencari,

menghimpun, dan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang ada relevansinya dengan obyek yang diteliti, dengan cara

menelaah atau memmbaca buku-buku literature fikih, perundang-

undangan, Al-Quran, Al- Hadits, maupun kumpulan yang ada

hubungannya dengan masalah yang dibahas.

6. Metode Analisis Data

Analisis data adalah upaya mencari dan menata secara sistematis atau hasil

wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus

yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.16

Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul, tahap selanjutnya yang

dilakukan adalah proses analisis data, yang dalam hal ini menggunakan metode

Analisis Deskriptif Kualitatif yaitu peneletian yang bermaksud untuk membuat

pemaparan atau deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam

hal ini penulis bermaksud memaparkan fenonema-fenomena dan fakta-fakta yang

ada dari kasus yang akan diteliti, lalu disandingkann dengan teori untuk kemudian

diambil kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline

dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas teurai dalam penjelasan berikut:

15 S. Nasution, Metode Research, (Bumi Aksara, Jakarta, 2001), h. 71.

16

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi 3, (Yogyakarta: Rake

Sarasin,1996), Cet. ke-7, h. 142

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

10

BAB I Penulisan memaparkan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, review studi terdahulu,

metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II Dalam bab ini, agar faham terlebih dahulu terhadap teori, penulis

menguraikan dan menjelaskan tinjauan umum tentang wakaf , yang di dalamnya

berisi tentang pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, ketentuan-ketentuan syarat

dan rukun wakaf, serta mengenai teori keabadian harta dan fungsi wakaf dalam

istibdal wakaf menurut fikih, dan perundang-undangan yang ada di Indonesia

yang menjadi dasar sebab terjadinya berbeda pendapat.

BAB III Pada bab ketiga ini, merupakan pokok inti permasalahan yang

membahas tentang metode penelitian ilmiah dengan langkah-langkah tertentu

mulai dari pengumpulan data sampai menarik kesimpulan terhadap data-data yang

sudah ada, meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber

data, metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data yang akan

digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis penelitian terkait dengan

konversi wakaf yang terjadi di DKI Jakarta.

BAB IV berisikan analisis tentang praktik pertukaran wakaf di DKI Jakarta

dengan ketentuan hukum Islam, pendapat ulama yang rojih dan hukum positif

agar cocok untuk di praktekan di Indonesia.

BAB V merupakan penutup dari penelitian, yang berisi kesimpulan, saran-saran

dan penutup. Dalam Bab ini penulis hendak menyimpulkan hasil-hasil penelitian

yang diperoleh sebagai jawaban atas rumusan pokok masalah.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

11

BAB II

WAKAF DAN PERPINDAHAN HARTA WAKAF

A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf

Wakaf merupakan sebuah pranata yang berasal dari hukum Islam. Oleh

karena itu apabila berbicara tentang masalah perwakafan, tidak mungkin lepas

dari pembicaraan wakaf dalam konsepsi hukum Islam. Akan tetapi, dala hukum

islam tidak hanya mempunyai konsep tunggal tentang wakaf, karena apabila

mendalami tentang wakaf, akan dihadapkan pada pendapat yang beragam.1 Untuk

itu sebagian pendapat akan penulis angkat dalam skripsi ini, dengan mengawali

dengan pengertian wakaf.

1. Pengertian Wakaf

Secara bahasa Kata wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa dari kata: يقف - وقفا

.yang artinya ialah berhenti atau menahan الحبس bersinonim dengan kata وقف –2

Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang

pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal (tahbis al-

ashli) lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbis al-ashli

adalah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual,

dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan sejenisnya.

Istilah wakaf ini mempunyai mempunyai beragam pengertian. Berikut ini

uraian perbedaan-perbedaan itu :

a. Hanafiyah

Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanafiyah mempunyai definisi

wakaf adalah :

1 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di

Negara Kita, Cet, Ke-4, (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1994), h, 15.

2 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Cet. Ke-14,

(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1576

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

نع ال س ب ح و ل و ةنع ف ن م ال بنقند ص الت و فناقنو ال كنل منال منك ىح ل ع ي فن ةنل م ا3

Artinya : menahan „ain (suatu harta) dengan hukum tetap sebagai milik pemberi

wakaf, dengan menyedekahkan manfaatnya walau hanya sebagian.

Dengan arti mudahnya yaitu menahan benda yang statusnya tetap milik

wakif (orang yang mewakafkan), sedangkan yang disedekahkan yaitu manfaatnya.

Definisi versi Abu Hanifah ini terkenal kontroversial di tengah jumhur ulama,

karena menurutnya harta yang sah di wakafkan itu tetap masih menjadi milik yang

memberi wakaf.

b. Malikiyah

Menurutnya wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik

berupa sewa atau hasilnya, untuk diserahkan orang yang berhak, dengan

penyerahan berjangka waktu sesuai dengan kehendak wakif.4

c. Syafi‟iyah

Para ulama Syafi‟iyah mendefinisikan wakaf sebagai :

فنر ص الت عنط ق بنوننني ع اءنق ب ع م ونبناع ف تنن النن كني ال م س ب ح د و ج و م اح ب م ف رنص ىم ل ع و تنب ق ر فن5

Artinya : Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian „ain-

nya (suatu hartanya), untuk di salurkan pada hal-hal yang mubah dan

ada.

d. Hanabilah

Menurutnya wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta dalam

membelanjakan hartanya yang bermanfaat disertai dengan kekalan dzat benda

3 Muhammad Azam Abdul Aziz, Al-Fiqh al-Mu‟amalat, Juz 1 (Kairo: Maktabah al-

Risalah al-Dauliyah, 1997),h. 209.

4 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,

Hambali. (Terj), (Jakarta: PT Lentera Basritama. 2001), h. 51

5 Muhammad Azam Abdul Aziz, Al-Fiqh al-Mu‟amalat, h. 208.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

13

serta memutus semua hak wewenang atas benda itu, sedangkan manfaatnya

dipergunakan dalam hal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.6

e. UU Nomor 41 Tahun 2004

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum

wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagia harta benda miliknya

untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut

syariah.7

f. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif yang memisahkan sebagian dari

harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya selama-

lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya yang sesuai

dengan ajaran Islam.8

g. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) wakaf adalah perbuatan hukum

seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian

harta bendanya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan

ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.9

Dari beberapa definisi wakaf di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf

adalah memberikan harta milik pribadi bertujuan untuk memberikan manfaat atau

faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai

6 Ali Fikri, al-Mu‟amalah al-madiyah wa al-Adabiyah, vol.2 (Mesir: Mustafa al-

Halabi,1938), h. 312

7 Pasal 1 Ayat (1) UU RI Nomor 41 Tahun 2004. Tentang wakaf

8 Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006. Tentang

pelaksanaan UU Nomor 41 tentang wakaf.

9 Pasal 215 angka 1 Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam

(Yogyakarta: Graha Pustaka,), h. 205.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

14

dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan

pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk

mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan

ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

2. Dasar Hukum Wakaf

Secara umum, ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf tidak

terlihat secara jelas. Adapun dasar utama disyariatkannya wakaf lebih dipahami

berdasarkan pemahaman konteks ayat al-Quran itu sendiri, yaitu wakaf

merupakan sebuah amal kebajikan.10

Para ulama dalam menerangkan konsep

wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan

tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain :

ت ي و ل ال ر ضن منن ن ال ك م ر ج و من اأ خ ب ت م ك س م ا ط يب اتن آم ن واأ ن فنق وامنن منن و ي اأ ي ه اال ذنين بني م م واا

ح نيد ت غ منض وافنيونو اع ل م واأ ن الل و غ نن أ ن ذنيونإنل ت م بنآخن ت ن فنق ون و ل س

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian

dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami

keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang

buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri

tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata

terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha

Terpuji.” (QS. Al-Baqarah:267)

ش ت ن فنق وامن ات نب ون و م ات ن فنق وامنن ت ن ال واال بن ح ت ء ف إنن الل و بنونع لنيم ل ن ي

Artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),

sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa

saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah

mengetahuinya”.(QS.Ali Imran:92)

Ayat-ayat Al-quran diatas di atas mengandung perintah secara umum agar

kaum muslim tidak hanya menjalin hubungan baik dengan Allah melalui kegiatan

10

Achmad Djunaidi dan Thobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz

Publishing, 2008), cet. Ke- 5, h. 66

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

15

ibadah mahdah saja, akan tetapi diperintahkan juga untuk dapat menjalin

hubungan baik dengan Allah melalui kegiatan sosial seperti menjalin hubungan

baik dengan sesama. Menurut ulama ahli fiqih ayat-ayat tersebut dijadikan

landasan hukum wakaf karena perintah untuk berbuat kebaikan mengandung

petunjuk umum, termasuk didalamnya melaksanakan amal wakaf.

Adapun hadits yang menjadi dasar hukum wakaf yaitu hadits yang

mencereitakan tentang kisah Umar bin Khattab menerima tanah di Khaibar, yaitu:

ف أ ت ىالن بن أ ر ضابن ي ب ر أ ص اب ط ابن ا ب ن ع م ر الل و ع ن ه م اأ ن ي ر ضن ع م ر اب نن ص ل ىالل و ع ل ي ونع ن

أ ن ف م الق ط ل أ صنب أ ر ضابن ي ب ر أ ص ب ت إنن الل ون ي ار س ول ت أ منر ه فنيه اف ق ال ي س ن و و س ل م عنن دن من س

ف ت ص بن اق ال ل ه او ت ص د ق ت أ ص ح ب س ت ئ ت شن إنن بنونق ال ف م ات أ م ر ي وى ب ي ب اع و ل أ ن و ل بن اع م ر د ق

و الس بنيلن و اب نن الل ون بنيلن س و فن الرق ابن و فن ال ق ر ب و فن ال ف ق ر اءن بن افن و ت ص د ق ي ور ث )رواه الض ي فنو ل 11البخار (

Artinya: Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki

sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk

konsultasi tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya

mempunyai sebidang tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum

pernah saya miliki selama hidup saya. Lantas, bagaimana menurut

Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu berkenan, silakan dirawat pokok

(bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon tersebut.” Kemudian Ibn

Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan sebagaiman saran

Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya, bibitnya tidak dijual,

tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya

ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para budak, para pejuang di

jalan Allah, para ibn sabil, serta tamu. (HR. Bukhari).

3. Rukun dan Syarat Wakaf

Wakaf dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya.

Hal ini sangat penting, karena tanpa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, maka

wakaf tidak akan terwujud. Dengan perkataan lain wakaf sebagai suatu lembaga

pasti memiliki unsur-unsur pembentuknya. Tanpa unsur itu wakaf tidak dapat

11

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-

Najah, 1422 H.), juz 3, h. 199

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

16

berdiri. Unsur-unsur pembentuk wakaf sekaligus merupakan rukun dan syarat

wakaf.

Agar tidak terhindar salah pengertian serta memperjelas pemahaman

syarat dan rukun wakaf, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan pengertian

syarat dan rukun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah sesuatu

yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,12

sedangkan syarat adalah

ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dilakukan.13

Dengan kata lain Rukun

adalah unsur/ bagian dari ibadah tersebut yang harus di kerjakan didalamnya,

sedangkan Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi sebelum melakukan ibadah.

a. Rukun Wakaf

Dalam Islam, wakaf dianggap sah jika wakaf itu telah dilaksanakan

dengan memenuhi syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

ada dalam hukum Islam. Adapun rukun wakaf menurut fuqoha ada 4, yaitu:

1) Wakif (orang yang berwakaf)

2) Mauquf bih (harta yang diwakafkan)

3) Mauquf alaih (peruntukan wakaf)

4) Sighat (ikrar wakaf)14

Namun, UU Nomor 41/2004 pada pasal 6 menambahi rukun wakaf dengan:15

5) Nadzir (Pengelola Wakaf); dan

6) Jangka waktu wakaf

b. Syarat Wakaf

Rukun-rukun wakaf yang dikemukakan di atas masing-masing harus

memenuhi syarat. Adapun syarat-syaratnya dari tiap-tiap rukun wakaf adalah

sebagai berikut:

12

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2004), h. 966.

13

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2004), h. 1114

14

Muhammad Salam Madkur, al-waqf (Beirut : Dar Al-Nahdah al-'Arabiyyah,1961),

h.187 15

Hadi Setya Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf, h. 2

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

17

1) Wakif (Orang yang berwakaf)

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Suatu

perwakafan dapat dikatakan sah dan dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai

kecakapan untuk melakukan tabarru‟ yaitu melepaskan hak milik dari hartanya

tanpa mengharapkan imbalan.

Para fuqaha berbeda pendapat dalam memberikan syarat bagi wakif.

Perbedaan tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut;

a) Menurut Hanafiyah wakif disyaratkan harus memiliki kecakapan tabarru‟,

yaitu merdeka, dewasa, dan berakal. Oleh karena itu, wakaf yang

dilakukan anak kecil, orrang gila, dan orang idiot batal (tidak sah). Sebab

mereka termasuk dalam kategori orang tidak cakap tabarru‟.16

b) Menurut Malikiyah wakif disyaratkan harus dewasa, berakal, rela, sehat,

tidak berada dibawah pengampuan, dan sebagai pemilik dari harta yang

diwakafkan.

c) Menurut Syafi‟iyah wakif harus orang yang cakap tabarru‟. Karena itu

tidak sah wakaf anak kecil, orang gila, orang bodoh dan budak mukatabah.

d) Menurut Hanabilah syarat wakif ada tiga.Pertama, pemilik harta. Karena

itu tidak sah wakaf orang yang mewakafkan hak milik orang lain. Kedua,

diperbolehkan membelanjakan hartanya. Karenanya, tidak sah wakafnya

orang yang berada di bawah pengampuan dan orang gila. Ketiga, orang

yang mengatasnamakan orang lain, seperti jadi wakil orang lain.17

Dari beberapa pendapat fuqaha di atas dapat disumpulkan bahwa wakif harus

mukallaf, dan harta yang diwakafkan milik sendiri,

Adapun menurut UU No. 41 Tahun 2004, syarat-syarat wakif adalah:

a) Dewasa

b) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

c) Berakal sehat

16

Ali Fikri, Al-Mu‟amalah al-Madiyah wa al-„Adabiyah, vol. 2 (Mesir: Mustasfa Al-Babi

al-Halabi, 1938), h. 301

17

Ali Fikri, Al-Mu‟amalah al-Madiyah wa al-„Adabiyah, vol. 2, h. 313

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

18

d) Pemilik sah harta benda wakaf.18

Wakaf tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila, idiot (lemah mental),

berubah akal karena usia, sakit atau kecelakaan.

2) Mauquf bih (harta yang diwakafkan)

Benda wakaf adalah segala benda baik itu benda bergerak atau benda tidak

bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai

menurut ajaran Islam.19

Harta benda wakaf terdiri dari: benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Benda tidak bergerak meliputi:

a) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar

b) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana

dimaksud pada huruf a

c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah

d) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

e) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda yang tidak

bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

a) Uang

b) Logam mulia

c) Surat berharga

d) Kendaraan

e) Hak atas kekayaan intelektual

f) Hak sewa

g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

18

Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004, Pasal 8. Tentang Wakaf.

19

Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam, h. 305

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

19

Adapun syarat harta wakaf yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

a) Harta wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak habis sekali

pakai ;

Mayoritas ulama berpendapat, harta yang diwakafkan itu sifat zatnya

kekal, atau tahan lama, tidak cepat habis seperti perlengkapan atau makanan.

Jika diperhatikan, barangkali itu sebaabnya contoh contoh yang terjadi pada

masa rasul, umumnya benda yang tahan lama, dan kekal zatnya.20

Jadi, semua barang yang dapat diperjualbelikan dapat diwakafkan

tanpa menghabiskan barangnya. Artinya, tidak sah wakaf jika benda itu tidak

dapat diambil manfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti emas, perak,

dan makanan. Oleh sebab itu mafhum mukholafahnya, benda yang dilarang

untuk diperjualbelikan seperti barang haram. Dan barang yang cepat habis

kalau dimanfaatkan atau cepat rusak, maka tidak sah benda tersebut dijadikan

wakaf.21

b) Harta wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum22

c) Harta wakaf merupakan harta dengan kepemilikan sempurna. Ia terbebas

dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa; Sebagaimana

dikatakan Wahbah Zuhaili;

حنفناقنو ل النكو ل م ف و ق و م ال ن و ك ي ن أ 23 اام ات كل منونفنق و ي

Artinya: “Hendaknya harta wakaf itu milik wakif secara sempurna

(tanpa ada pembebanan pada saat mewakafkannya)”.

d) Harta yang sudah diwakafkan itu tidak dapat diperjual belikan,

dihibahkan, atau dipergunakan selain wakaf. Sebagaimana dikatan Sayyid

Sabiq :

ي ش أ بنوني فنف ر ص الت ل و و ت ب ىنل و و ع ي ب ز و ي ل و ن إنف ف ق و ال م زنال ذ إنو و ت ي فنق و ل ي زني ء

24

20

Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: (Ciputat Press,2005) h.20

21

Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 20

22

Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 21

23 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatu, Juz VIII, (Beirut: Dar-Alfikr) h. 185

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

20

Artinya : “Aabila wakaf telah tetap (mempunyai kekuatan hukum)

maka tidak boleh menjualnya, menghibahkannya, dan tindakan tindakan lain

yang menghilangkan sifat wakafnya”.

3) Mauquf „Alaih (Tujuan Wakaf)

Yang dimaksud mauquf alaih adalah tujuan wakaf atau peruntukan wakaf

yang harus digunakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran

Islam. Karena itu benda-benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf harus benda-

benda yang tujuannya mendekatkan diri kepada Allah SWT.25

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 pasal 22 menyebutkan

bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya

diperuntukkan bagi:

a) Sarana dan kegiatan ibadah

b) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

c) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa

d) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat

e) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syariah dan peraturan perundang-undangan.26

4) Shigat (Ikrar)

Ikrar wakaf ialah pernyataan kehendak wakif yang dinyatakan secara lisan

dan/ atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda miliknya.27

Ikrar

wakaf cukup di ucapkan saja dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf

„alaih, sebagaimana dinyatakan oleh Zakariyya Al-Anshori, dalam kitab fath Al-

Wahhab.

24 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Jakarta: Pena Pundi Perkasa, 2006), h. 552

25

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2006), h. 241

26

Undang-undang Repiblik Indonesia No. 41 Tahun 2004, Pasal 22 Tentang Wakaf.

27

Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual dari Normative ke Pemahaman Sosial, (Semarang:

Pustaka Pelajar, 2004), h. 323.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

21

ع م ن منو ل )و ط ر ت ش ي ل (ف ل و ب ق )ل ة ب ر ق و ن أ ل أ ر ظ ن (ي 28

Artinya : “Maka tidak disyaratkan adanya qobul, walaupun dari

sesuatu yang nyata jelasnya, karena sesungguhnya wakaf adalah

ibadah untuk mendekatkan diri kepda Allah”.

Pernyataan tersebut menunjukkan, bahwa ikrar wakaf tindakan hukum

yang bersifat deklaratif (sepihak). Untuk itu, tidaka diperlukan adanya qobul dari

orang yang menerima harta wakaf. Karena fungsi dari wakaf adalah ibadah

kepada Allah SWT.

Para fuqaha telah menyaratkan shighat (ikrar) sebagai berikut :

a. Shighat harus mengandung pernyataan bahwa wakaf itu bersifat kekal

(ta`bid). Untuk itu wakaf yang dibatasi waktunya tidak sah. Lain

halnya mazhab maliki yang tidak mensyaratkan ta‟bid sebagai syarat

sah wakaf.29

b. Shighat harus mengandung kepastian, dalam arti suatu wakaf tidak

boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih.

c. Shighat tidak boleh dibarengi dengan syarat yang meambatalkan,

seperti mensyaratkan barang terebut untuk keperluan maksiat.

5) Nazhir (orang yang mengelola benda wakaf)

Nazhir adalah orang yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf. Dalam

undang-undang R.I. No. 41 tahun 2004 pasal 1 nadzir adalah pihak yang

menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai

dengan peruntukannya.

Pada umumnya nazhir wakaf tidak disebutkan sebagai salah satu rukun

wakaf dalam kitab-kitab fiqih. Namun setelah memperhatikan tujuan wakaf

adalah ingin melestarikan manfaat dari hasil wakaf, maka keberadaan nadzir

diperlukan, karena membutuhkan peran untuk mengembangkan, mengelola dan

memelihara harta wakaf.

28 Abu Yahya Zakariya Al-Anshori, Fath Al-Wahhab, Juz 1, (Semarang: Toha Putra.

T.th), h. 257.

29 Wahbah Zuhaili, Al- Fiqh Al- Islami Wa Adillatuh, h. 196.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

22

Nazhir terdiri atas nazhir perorangan, nazhir organisasi, dan nazhir badan

hukum. Adapun syarat nadzir perorangan adalah adalah:30

a) Warga Negara Indonesia

b) Beragama Islam

c) Dewasa

d) Amanah

e) Mampu secara jasmani dan rokhani

f) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Syarat nazhir organisasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan dalam nadzir

perseorangan

b) Organisasi bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan

keagamaan islam

c) Salah seorang pengurusnya harus berdomisili di Kabupaten / Kota

letak benda wakaf berada.

d) Memiliki:

(1) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasarnya

(2) Daftar susunan pengurus

(3) Anggaran Rumah Tangga

(4) Program kerja dalam pengembangan wakaf

(5) Daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari

kekayaan lain atau merupakan kekayaan organisasi

(6) Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.

Persyaratan nazhir badan hukum harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a) Memenuhi persyaratan nazhir perseorangan

b) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

c) Badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan,dan keagamaan islam

d) Terdaftar pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia

30

Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 10

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

23

e) Salah seorang pengurus harus berdomisili di Kabupaten / Kota letak

benda wakaf berada

f) Memiliki:

(1) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan

hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang

(2) Daftar susunan pengurus

(3) Anggaran Rumah Tangga

(4) Program kerja dalam pengembangan wakaf

(5) Daftar terpisah kekayaan yang berasa dari harta wakaf atau yang

merupakan kekayaan badan hukum

(6) Surat pernyataan bersedia diaudit.

Selanjutnya jika nazhir berbentuk badan hukum, maka harus badan hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta mempunyai perwakilan di

kecamatan tempat letak tanahnya yang diwakafkan. Nazhir harus didaftar pada

KUA setempat untuk mendapatkan pengesahan.31

Baik nazhir perorangan maupun badan hukum, sama-sama harus

didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar

saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

Dan harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi. Baik nadzir

perorangan maupun badan hukum, sama-sama harus didaftarkan pada Kantor

Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan

Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan. Dan harus

mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan

disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.32

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 200 nazhir mempunyai

kewajiban, yaitu:

31

Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 353-354

32

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

68

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

24

a) Mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya,

dan pelaksaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

b) Membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi

tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud di atas kepada Kepala

Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Camat setempat sesuai dengan

tata cara yang ditetapkan dalam Menteri Agama.

Dengan demikian nazhir merupakan hal yang pokok dalam mengelola dan

mengembangkan harta wakaf di Indonesia berdasarkan ketentuan undang-undang

dan peraturan pemerintah yang berlaku.

6) Jangka Waktu

Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam syarat keabadian waktu

dalam wakaf. Pada satu sisi mencantumkan sebagai syarat, dan pada sisi lain tidak

mencantumkan sebagai syarat. Artinya diantara ulama mazhab ada yang

memperbolehkan wakaf muaqqot (wakaf untuk jangka waktu) dan ada juga yang

tidak membolehkan wakaf muaqqot.

Satu sisi para ulama mazhab kecuali Maliki berpendapat, bahwa wakaf

tidak terwujud kecuali bila orang yang mewakafkan barangnya untuk selama-

lamanya dan terus menerus. Itu pula sebabnya maka wakaf disebut shodaqah

jariyah.33

Pada sisi lain mazhab maliki mengatakan, wakaf tidak disyaratkan

berlaku untuk selamanya, akan tetapi sah jika berlaku untuk satu tahun misalnya

sesudah itu harta wakaf kembali kepada wakif.34

Di Indonesia, syarat permanent (kekal) sempat dicantumkan dalam KHI

pasal 215, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang

atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan

melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan

umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.35

33

Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala Mal-Madzahib al-Khamsah, Terj.

Masykur, et al., “Fiqih Lima Mazhab”, Cet. Ke-5. (Jakarta: Lentera, 2000), h. 635-636.

34

Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala Mal-Madzahib al-Khamsah, h. 636.

35

Depag, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1999), h. 99.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

25

Namun syarat itu berubah seiring dengan ditetapkan nya UU Nomor

41/2004 pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum

Wakif untuk memisahkan dan/ atau memisahkan sebagian harta benda miliknya,

untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

kepentingan nya guna keperluan ibadah dan/ kesejahteraan umum menurut

syariah.36

Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan teori keabadian harta

wakaf dan teori keabadian fungsi wakaf pada sub bab berikutnya.

4. Perubahan Harta Wakaf

Perubahan yang dimaksud disini mempunnyai tiga jenis perubahan, yaitu

perubaha dzat harta wakaf, perubahan status harta wakaf, dan perubahan fungsi

harta wakaf. Sebagaimana telah dikemukakan bagian sebelumnya bahwa

perwakafan bertujuan untuk memanfaatkan sesuatu baik untuk kepentingan

ibadah maupun sosial. Dan disyaratkan agar harta yang diwakafkan haruslah

benda yang mempunyai nilai manfaat dan sifatnya kekal. Akan tetapi jika melihat

realita yang ada bahwa tidak semua dari benda yang diwakafkan itu kekal

dzatnya, contohnya saja kayu untuk bangunan masjid, jendela, atau perlengkapan

bangunan lainnya yang dimungkinkan akan kerusakannya suatu saat yang akan

datang. Ataupun status dan fungsi harta wakaf itu sangat dimungkinkan akan

mengalami perubahan, sehingga manfaat harta wakaf itu tidak dapat dirasakan dan

tidak dapat berkembang.

Jika harta wakaf mengalami perubahan dzat, status atau fungsinya, maka

Rasulullah SAW membatasi dalam mengatasi masalah tersebut. Sebagaimana

yang disebut dalam hadits Ibnu Umar, bahwa wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh

dihibahkan dan tidak boleh didiwariskan.37

ص ل ى ف أ ت ىالن بن أ ر ضابن ي ب ر أ ص اب ط ابن ا ب ن ع م ر الل و ع ن ه م اأ ن ي ر ضن ع م ر اب نن الل و ع ل ي ونع ن ل أ صن أ ر ضابن ي ب ر أ ص ب ت إنن الل ون ي ار س ول ت أ منر ه فنيه اف ق ال ي س ن و و س ل م عنن دن من أ ن ف س م الق ط ب

36

Hadi Setya Tunggal, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004

tentang wakaf, h. 6

37

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

55

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

26

ي ب ا أ ن و ل بن اع م ر ف ت ص د ق بن اق ال ل ه او ت ص د ق ت أ ص ح ب س ت ئ ت شن إنن بنونق ال ف م ات أ م ر ي وى ب ع و ل ال و فن ال ق ر ب و فن ال ف ق ر اءن بن افن و ت ص د ق ي ور ث الل ونو ل بنيلن س و فن و الض ي فنرق ابن الس بنيلن )رواه و اب نن

38البخار (

Artinya: “Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki

sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk

konsultasi tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya

mempunyai sebidang tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum pernah saya miliki selama hidup saya. Lantas, bagaimana

menurut Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu berkenan, silakan

dirawat pokok (bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon tersebut.”

Kemudian Ibn Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan

sebagaiman saran Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya,

bibitnya tidak dijual, tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan.

Ia menyedekahkannya ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para

budak, para pejuang di jalan Allah, para ibn sabil, serta tamu.” (HR.

Bukhari).

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa benda asal atau pokoknya tidak

boleh dijual, tidak boleh diberikan dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Akan

tetapi, apabila suatu saat benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya, atau sudah

berkurang manfaatnya, kecuali dengan ada perubahan pada benda wakaf tersebut,

seperti menjual, merubah bentuk atau sifat, memindahkan ke tempat lain, atau

menukar dengan benda lain, bolehkah perubahan itu dilakukan terhadap benda

wakaf tersebut, mengingat pentingnya menjaga amanat wakif dan sisi manfaat

harta wakaf tersebut.

Dalam pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004. Harta benda wakaf yang sudah

diwakafkan dilarang:

a. Dijadikan jaminan

b. Disita

c. Dihibahkan

d. Dijual

e. Diwariskan

f. Ditukar, atau 38

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-Najah,

1422 H.), juz 3, h. 199

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

27

g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Namun apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk

kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan

dengan syariah dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari

Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah

diubah statusnya karena adanya pengecualian tersebut, maka wajib ditukar dengan

harta benda yang mempunyai manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama

dengan harta benda wakaf semula.39

Perubahan status dan penggunaan tanah wakaf terebut harus segera

dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati atau Walikota sebagaimana dimaksud

dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 pasal 11.

Dalam PP No. 42 tahun 2006 juga menyatakan bahwa pada dasarnya tidak

dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan tanah wakaf. Tetapi

sebagai pengecualian, dalam keadaan kasus tertentu dapat dilakukan dengan

persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yang alasannya meliputi:

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh

wakif.

b. Karena untuk kepentingan umum.40

Dengan demikian jika harta wakaf yang mengalami perubahan dzat, status,

dan fungsi maka harus diselesaikan dengan baik dan benar sesuai ketentuan fikih

dan peraturan yang ada di Indonesia.

B. Teori Keabadian Harta dan Fungsi Dalam Istibdal Wakaf

1. Pengertian

Keabadian berasal dari kata “Abadi” yang berarti kekal atau tidak

berkesudahan, sedangkan kata “Harta” diartikan sebagai barang atau sesuatu yang

39

Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 386

40

Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:

CV Rajawali, 1989), h. 25

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

28

berwujud. Dan kata “Fungsi” disini berati kegunaan suatu hal.41

Jadi yang

dimaksud keabadian harta adalah dzat harta yang kekal, sedangkan keabadian

fungsi adalah kegunaan terhadap harta yang kekal.

Istibdal dalam bahasa Indonesia disebut Tukar Guling. Kata tukar guling

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut tukar lalu, yang berarti

bertukar barang dengan tidak menambah uang.42

Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH.Per), tukar guling disebut dengan ruilslag yang berarti

tukar guling yang didasarkan atas persetujuan pemerintah.

Dalam KUH.Per. sebagaimana pasal 1541 kata tukar guling mempunyai

arti suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk

saling memberi suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya atas suatu

barang.

Tukar guling wakaf biasa disebut juga tukar menukar harta wakaf atau

konversi harta wakaf. Dalam istilah fikih disebut “istibdal” atau “ibdal”. Al-

istibdal diartikan sebagai penjualan barang wakaf, untuk dibelikan barang lain

sebagai wakaf penggantinya. Ada yang mengartikan bahwa, al-istibdal adalah

mengeluarkan suatu barang dari status wakaf dan menggantikannya dengan

barang lain. Sedangkan al-ibdal diartikan sebagai penggantian barang wakaf

dengan barang wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya ataupun tidak, seperti

menukar tanah pertanian dengan tanah untuk bangunan. Ada juga yang

mengatakan sama anatara al-istibdal dengan al-ibdal.43

Prinsip wakaf sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW ketika

memberikan arahan kepada Umar bin Khattab RA, yang ingin menyerahkan

sebidang tanahnya di Khaibar untuk kepentingan sabilillah, beliau bersabda yang

artinya tahanlah barang pokoknya dan sedekahkan hasilnya. Dari kutipan

pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut, ada dua prinsip yang membingkai

tasyri‟ wakaf, yakni:

41

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi ketiga h. 175

42

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi ketiga h. 1217

43

Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, (Cairo: Matba‟ah Ali Mukhaymir,

1959), h. 150

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

29

a. Prinsip keabadian (ta`bid al-Ashli)

b. Memelihara kemanfaatan (tahbis al-Manfa‟ah)

Kedua prinsip tersebut yang menjadikan alasan dasar perbedaan pendapat ulama

fikih dalam menyikapi hukum istibdal harta wakaf.

2. Menurut Ulama Fikih

Dalam masalah istibdal harta benda wakaf, sebenarnya para ulama fiqih

dari empat mazhab telah membahasnya, Mereka mereka memang berbeda

pendapat dalam menghukumi boleh atau tidaknya. Diantara mereka ada yang

memperbolehkannya karena saran dari wakif, atau karena alasan hasil dari istibdal

ini lebih banyak manfaatnya.44

Berikut secara ringkas uraian mazhab fikih tentang

teori keabadian harta dan fungsi dalam istibdal harta benda wakaf;

a) Mazhab Hanafi

Dalam mazhab Hanafi istibdal harta benda wakaf dibolehkan

asalkan bukan masjid.45

Mereka membagi istibdal harta benda wakaf

menjadi tiga kategori: Pertama, wakif mensyaratkan istibdal harta benda

wakaf ketika mewakafkannya sehingga kewenangan untuk melakukannya

berada dalam kekuasaan wakif atau orang yang ditunjuk wakif. Kedua,

wakif tidak mensyaratkan istibdal namun kondisi harta benda wakaf tidak

dapat dimanfaatkan lagi, tidak memberikan hasil atau ada hasilnya, tapi

tidak sebanding dengan biaya pengelolaannya. Mayoritas ulama Hanafiyah

membolehkan istibdal harta benda wakaf dalam kasus ini dengan syarat

harus ada izin dari hakim berdasarkan kemaslahatan. Ketiga, harta benda

wakaf tidak disyaratkan olehh wakif, sedangkan kondisi harta benda wakaf

masih masih bermanfaat dan menghasilkan, tetapi ada harta benda

pengganti yang kondisinya lebih baik. Dalam kasus ini, ulama Hanafiyah

berbeda pendapat. Abu Yusuf membolehkan dilakukan istibdal karena

lebih bermanfaat untuk wakaf dan tidak bertentangan dari tujuan wakaf.46

44

Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 183

45

Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 9

46

Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 183

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

30

b) Mazhab Maliki

Mazhab Maliki pada dasarnya melarang keras istibdal harta benda

wakaf, meskipun pada kasus tertentu mereka membolehkannya. Istibdal

harta benda wakaf menurut mereka dibedakan menjadi harta bergerakn

dan harta tidak bergerak. Untuk harta benda wakaf bergerak, mayoritas

ulama Malikiyah membolehkan istibdal wakaf demi kemaslahatan dengan

syarat harta benda wakaf tersebut adalah telah rusak atau tidak dapat

berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Adapun untuk harta benda wakaf

tidak bergerak, mereka melarangnya kecuali dalam keadaan darurat dan ini

sangat jarang sekali teradi. Khusus masjid, mazhab Maliki melarang

mutlaq istibdal,47

sedangkan selain masjid diperbolehkan apabila tidak

dapat dimanfaatkan lagi.48

c) Mazhab Syafi‟i

Mazhab Syafi‟i terkesan mutlak melarang istibdal harta benda

wakaf karena diindikasikan membuka praktik penipuan atau

penyalahgunaan harta benda wakaf tersebut. Namun demikian, apabia

merujuk kitab-kitab mazhab Syafi‟i akan ditemukan pembahasan istibdal

haerta benda wakaf hanya berkisar seputar hewan yang sakit, pohon kurma

yang telah kering, atau batang pohon yang patah dan menimpa masjid

sampai hancur sehingga manfaat semua barang tersebut hilang sama

sekali. Dalam menghukumi persoalan ini, kalangan ulama Syafi‟iyah

terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama secara mutlak

melarang istibdal harta wakaf karena harta benda wakaf harus diambil

manfaatnya hingga betul-betul tidak berfungsi lagi. Kelompok kedua tidak

melarang istibdal harta benda wakaf asalkan harta benda wakaf tersebut

tidak dapat dimanfaatkan sesuai kehendak wakif.49

47

Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 10

48

Muhammad Abid al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah, (Baghdad:

Matba‟ah al-Irshad 1977), J. II, h. 30

49

Muhammad Abid al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah, (Baghdad:

Matba‟ah al-Irshad 1977), J. II, h. 39

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

31

d) Mazhab Hanbali

Dalam mazhab Hanbali. Dalam mazhab Hanbali istibdal harta

benda wakaf dibolehkan baik terhadap harta benda bergerak maupun harta

benda tidak bergerak. Bahkan sebagian ulama hanabilah membolehkan

istibdal masjid manakala kondisinya mengharuskan untuk diganti dengan

masjid lain yang baru.50

Dalam membolehkan istibdal harta benda wkaf,

yang harus dijadikan pertimbangan adalah kondisi darurat dengan tetap

memperhatikan kemaslahatan dan demi menjaga tujuan wakaf itu

sendiri.51

Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya bertolak dari adanya

perbedaan pandangan dalam memahami keabadian wakaf. Bagi mereka

yang memahami bahwa keabadian wakaf terletak pada bentuk fisik harta

benda wakaf mengatakan bahwa kelestarian atau keberadaan harta benda

wakaf merupakan keniscayaan kapan dan dimana saja, tidak boleh ditukar

atau dijual dengan alasan apapun. Sementara itu, bagi mereka yang

memahami bahwa keabadian wakaf terletak pada keabadian manfaatnya

mengatakan bahwa istibdal harta benda wakaf boleh dilakukan dengan

alasan-alasan tertentu, misalnya apabila hartabenda wakaf tersebut sudah

tidak dapat memberikan manfaat sebagaimana yang dimaksud oleh wakif

atau karena darurat, seperti hawatir rusak atau karena kepentingan umum,

seperti untuk jalan umum atu tujuan-tujuan lain yang lebih besar maslahat

dan manfaatnya bagi masyarakat luas.52

3. Menurut Undang-Undang

Pendapat yang membolehkan istibdal harta wakaf berdasarkan

pertimbangan kemanfaatan harta benda wakaf tersebut diakomodir oleh Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang membolehkan penukaran

harta benda wakaf demi menjaga manfaat harta benda wakaf. Hanya saja

50

Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 11

51

Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 183

52

Tholhah Hasan, Istibdal Harta Benda Wakaf , Juranal Al- Awqaf, Volume II, Nomor

03 (Agustus 2009) h. 5

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

32

penukaran harta benda wakaf dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 2004

tentang wakaf diberi batasan, yaitu apabila digunakan untuk kepentingan umum

sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan

syariah serta telah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan

Badan Wakaf Indonesia.53

Selain alasan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf menambahkan alasan lain dibolehkannya penukaran harta benda wakaf,

yaitu harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf dan

pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan

mendesak.54

Jika memperhatikan ketentuan tentang penukaran harta benda wakaf dalam

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan Peraturan-

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 tentang Wakaf, semangat yang ditekankan adalah kehati-hatian

dlam melakukan istibdal atau penukaran harta benda wakaf . Kehati-hatian ini

dimaksudkan agar jangan sampai penukaran harta benda wakaf menimnbulkan

dampak negatif yang merugikan wakaf.55

Dalam rangka kehati-hatian itu, penukaran harta benda wakaf yang

diusulkan oleh nazhir harus disertai dengan alasan yang kuat sesuai peraturan

perundang-undangan. Penyebutan alasan ini menjadi sebuah keharusan untuk

menghadiri adanya kepentingan atau keuntungan pribadi nazhir atau pihak

penukar dalam pengajuan penukaran harta benda wakaf. Hal ini sebagaimana

disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu Nazhir

mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalu Kantor Urusan

53

Tholhah Hasan, Istibdal Harta Benda Wakaf , h. 12

54

Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41

Th. 2004 tentang wakaf, pasal 49 huruf b dan huruf c.

55

Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 13

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

33

Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan-alasan perubahan status/

tukar menukar tersebut.56

Alasan yang tepat saja dalam melakukan penukaran tanah wakaf belum

dianggap cukup untuk keluarnya izin dari Menteri Agama, masih ada syarat

lainnya yang harus dipenuhi terkait dengan tanah penukar :

a) Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b) Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang kurangnya sama

dengan harta benda wakaf semula dengan perhitungan bahwa harta

benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-

kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf dan harta benda

penukar yang berada diwilayah yang strategis dan mudah untuk

dikembangkan.57

Dengan terpenuhunya alasan dan syarat tersebut, penukaran harta benda

wakaf dapat diandalkan sebagai jalan keluar atau alternatif bagi perkembangan

harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejhteraan

umum.58

Namun jika ketentuan-ketentuan mengenai penukaran harta benda wakaf

itu diabaikan, penukaran harta benda wakaf akan menimbulkan dampak negatif,

yang merugikan wakaf, seperti hilangnya harta benda wakaf, atau menurunnya

nilai dan manfaat harta benda wakaf tersebut.

56

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 51 huruf a.

57

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 49 ayat (3) dan Pasal 50.

58

Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 14

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

34

BAB III

PRAKTIK KONVERSI WAKAF DI PROVINSI DKI

A. Gambaran Umum Masyarakat

Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak

agama Islam masuk di Indonesia. Data yang dilansir oleh Kementerian Agama

menunjukkan tingkat kesadaran umat Islam Indonesia untuk berwakaf sangat

tinggi. Menurut data yang tercatat di Kementerian Agama Republik Indonesia

sampai tahun 2016 dan di perkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of

Religion and Reaserch) bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia adalah 435.768

lokasi, dengan luas 4.359.443.170 m2.1 Selanjutnya berdasarkan data penelitian

yang dilakukan oleh CSRC (Centre for the Study of Religion and Reaserch)

bahwa 79 persen asset wakaf di Indonesia digunakan untuk pembangunan sarana

ibadah (keagamaan) dalam bentuk musholla atau masjid. Sementara untuk

kegiatan sosial dan kemaslahatan serta kesejahteraan masyarakat (pelayanan

kesejahteraan, panti asuhan dan sarana-sarana umum) masih relatif rendah.

Terbukti dengan masing-masing hanya sekitar 3% dari total asset wakaf secara

keseluruhan.2

Dapat dipahami mengapa wakaf produktif sulit dikembangkan di

Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa faktor:

a. Banyak tanah wakaf yang tidak strategis secara ekonomi, misalnya terletak

didaerah pegunungan yang jauh dari pusat kota dan tidak ada alat transportasi

yang memadai.

b. Berkaitan daengan kondisi tanah yang tidak subur (gersang) sehingga sulit

untuk dijadikan tanah pertanian yang menghasilkan.

1 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Kemenag RI, 2017.

2 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Kemenag RI, 2017.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

35

c. Kemampuan SDM pengelola wakaf masih sangat minim. Mereka biasanya

bekerja paruh waktu dan bukan profesional yang memahami pengelolaan

wakaf secara produktif.

d. Kendala berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang kebanyakan

menganut pandangan yang melarang penjualan harta wakaf dan

penukarannya dengan aset lain yang lebih produktif. Dan istibdal wakaf

perspektif berbagai mazhab istibdal wakaf merupakan istilah penggantian

barang wakaf yang telah dijual maupun penggantian dalam hal peruntukan

wakaf.3

Dengan melihat realita umat muslim Indonesia notabene masih dibawah

sejahtera, istibdal wakaf sangat relevan dengan kebutuhan umat apalagi kalau

melihat data yang ada, bahwa sebagian besar wakaf yang ada di Indonesia adalah

berbentuk asset khususnya tanah. Sampai abad ke 19 saja, menurut Rahmat

Djatnika, dari semua luas tanah wakaf yang ada hampir semuanya berupa tanah

wakaf yang kering. Jika tidak diberdayakan dengan baik, maka maqasid syariah

wakaf akan sulit tercapai. Maqasid syariah dari istibdal wakaf adalah manfaatnya

terus mengalis dan memberikan kesejahteraan umat. Maka istibdal wakaf sebagai

solusi, jelaslah sudah bahwa salah satu cara bagaimana wakaf bisa produktif

adalah dengan melakukan praktik istibdal wakaf. Tidak perlu ragu lagi, bahwa

istibdal wakaf bukan lah hal yang bertentangan dengan syariah. Karena ulama

berbagai mazhab pun sudah membahas dan sampai membolehkan praktek

tersebut, walaupun salah satu yang menjadi kendala pengembangan wakaf

produktif di Indonesia adalah sebagian besar masyarakat Indonesia masih

memegang teguh pendapat Syafi’iyah dan mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah

melarang praktek istibdal wakaf.

3 Antonio, Muhammad Syafi’i, 2007, “Pengantar Pengelolaan Wakaf Secara Produktif”

dalam bukunya Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta:

Mumtaz Publishing, h. 1

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

36

B. Faktor Penyebab Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta

Sesuai data yang tercatat di Badan Wakaf Indonesia bahwa Di DKI Jakarta

banyak dan beragam praktik konversi atau perpindahan harta benda wakaf. Oleh

karena itu penulis mengambil dua sampel, yang pertama berdasarkan pembahasan

yang di perdebatkan, yaitu tentang konversi harta benda wakaf secara umum, dan

konversi wakaf masjid. Kedua, berdasarkan yang paling besar terhadap dampak

sosial atau perkembangan harta benda wakaf tersebut setelah di ruislag :

1. Pondok Pesantren Daarul Rahman yang asal wakaf bertempat di Jl.

Senopati Dalam II No. 35 A, Keb. Baru, Jakarta Selatan. Kemudian

dikonversi ke Jl. Purwaraya RT 006 RW 03 Kel. Cipedak Kec.

Jagakarsa Kota Administrasi Jaakarta Selatan

2. Masjid Hidayatul Musyawaroh beralamat di Jl. Kayumanis Gg. AMD

28, RT 003/RW 005, Kelurahan Balekambang, Kecamatan

Kramatjati, Condet, Jakarta Timur. yang merupakan perpaduan dana

wakaf masjid Al-Hidayah yang beralamat di daerah tersebut, dan

masjid Al- Musyawaroh yang beralamat di daerah Mangga Dua

Jakarta Pusat, yang kemudian di pindah ke Condet Jakarta Timur

sehingga menjadi masjid Hidayatul Musyawaroh.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nazhir dan tokoh agama setempat,

berikut beberapa faktor penyebab terjadinya konversi wakaf di DKI Jakarta,

diantaranya:

1. Untuk mengembangkan harta wakaf supaya lebih produktif lagi

2. Karena berdasarkan program pemerintah yaitu Rencana Umum Tata

Ruang (RUTR)

3. Karena ketidaknyamanan masyarakat pengguna harta wakaf

4. Nazhir yang sadar akan hukum dari esensi wakaf adalah keabadian

manfaatnya, bukan keabadian dzatnya. Sehingga memberikan

kebijakan berupa konversi atau istibdal.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

37

Setelah terjadinya konversi wakaf, tentu adanya dampak setelahnya.

Adapun dampak setelah terjadinya konversi wakaf yaitu :

1. Produktifitas harta wakaf meningkat

2. Memberikan kenyamanan terhadap masyarakat pengguna harta wakaf

3. Terkelola dengan baik menejemen tata kotanya

4. Memberikan kebahagiaan kepada wakif, karena harta yang

diwakafkan dikelola dengan baik dan produktif.

Akan tetapi ada sebagian nazhir yang tidak memberikan kebijakan berupa

konversi atau istibdal terhadap harta wakaf yang dikelolanya dengan alasan:

1. Tidak mengertinya cara mengkonversi wakaf berdasarkan perundang-

undangan wakaf diIndonesia

2. Memahami hadits Rasulullah bahwa wakaf tidak boleh dikonversi

atau di istibdalkan. Karena menganggap yang harus diabadikan adalah

dzat harta wakafnya, bukan fungsi dari harta wakaf tersebut.

Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan memberikan solusi kepada para

pengelola wakaf (Nazhir) agar harta wakaf yang dikelola, dapat diberdayakan

dengan baik dan benar, berdasarkan ketentuan hukum Islam yang rajih dan sesuai

dengan Perundang-undangan di Indonesia

C. Proses Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta

Untuk mengetahui proses terjadinya konversi wakaf yang di DKI Jakarta,

peneliti melakukan wawancara dengan nazhir, dan tokoh agama setempat.

1. Yang pertama wawancara dengan Ustadz M. Faiz Syukron Makmun

anak dari KH. Syukron Makmun selaku perwakilan tim nazhir pondok

pesantren Daarul Rahman.

Beliau mengatakan bahwa wakaf pondok pesantren Daarul

Rahaman awalnya berupa amanah tanah wakaf dari H. Abdurrahman

diperuntukkan kegiatan pendidikanIslam. Dan pembangunannya hasil dari

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

38

kumpulan sumbangan jamaah pengajian ayahnya (KH. Syukron

Makmun). Ditahun 1990 tata kota menjadi berubah, yang membuat

banyak gedung-gedung tinggi perkantoran di sekitar pondok pesantren.

Yang menjadi alasan melakukan ruislagh adalah keadaan pondok

pesantren di tengah kepadatan penduduk kota, dan banjir yang

menyebabkan sulitnya pondok pesantren untuk berkembang. Karena

dengan kapasitas santri yang kurang lebih seribu orang, ditumpuk dengan

lokasi yang hanya seluas 4.601 m2, sehingga tidak punya lapangan yang

luas, dan sarana prasarana tidak dapat dikembangkan. Kemudian seorang

pengusaha bernama Maftuh Basuni menawarkan untuk ruislagh dengan

perusahaan PT. Ambal Akor.4

Ustadz Faiz berpandangan mengenai hadits Rasulullah tentang

pelarangan ruislagh wakaf, lâ yuba‟, walâ yurots. Tapi yang beliau ketahui

di kajian BWI seminar wakaf sedunia, bahwa ruislagh itu bukan kepada

„ainul waqfi (zat wakaf) nya tapi lebih kepada sabil al-manfa‟at

(keberlangsungan manfaat) nya. Dan ketika beliau melakukan ruislagh

wakaf melihat regulasi dan aturannya, ternyata Indonesia sudah

mengadopsi pemahaman itu, bahwa melihat kemanfaatan wakafnya bukan

kepada dzat wakafnya. Karena hadits tersebut di sesuaikan dengan

zamannya. Mungkin zaman dulu kualitas tanah sama saja, Tapi sekarang

berbeda.

Jadi ruislagh harta benda wakaf itu boleh, mengingat bahwa

sahabat Umar RA, pernah mengganti masjid di Irak. Ini pembahasan fikih

yang notabene adalah zhonny, dan menurut peraturan pemerintahpun

diperbolehkan ruislagh karena “hukmu al-hakim yarfa‟ul khilaf ”

(keputusan hakim/ pemerintah memghilangkan perbedaan). Karena beliau

yakin akan membawa maslahat yang lebih besar untuk produktifitas

4 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal

11 November 2017, pukul: 12.54 WIB

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

39

wakaf, maka dari itu beliau bersama ayahandanya KH. Syukron Makmun

melakukan ruislagh wakaf.5

Lalu ustadz Faiz menambahkan ceritanya bahwa setelah pondok

pesantren ini di ruislagh, alhamdulillah menambah luas tanah dan

bangunan, santri lebih nyaman. Dulu di pesantren ini, yang daftar masuk

sektar 700 orang, Karena kondisi sekitar pondok pesantren ini adalah

apartemen, sehingga berikisik, debu, polusi udara tidak enak, bissing dan

banyak kuli proyek yang menyebabkan santri yang daftar turun dari 1.750

orang hingga 400 orang yang daftar.

Begitu diruislagh dan di pindah di Jagakarsa, tahun kemarin yang

daftar 1.800 orang, berhubung sember daya manusia yang mengurus santri

terbatas, jadi yang diterima 750 orang. Dulu di senopati santri yang keluar

dari pesantren setiap tahunnya sekitar 200 orang dari yang daftar sekitar

400 orang santri. Dan sekarang santri yang keluar hanya sekitar 20 orang

dari yang daftar 750 orang. Dan itu terbilang wajar, karena santri yang

masuk di jagakarsa lebih banyak dibanding santri di senopati. Karena

mungkin dulu tidak nyaman belajar, sehingga prestasi merosot. Sekarang

santri lebih nyaman, lebih sehat, dan lebih banyak kegiatan karena lokasi

yang sekarang lebih nyaman dan luas sehingga fasilitas memadai.6

2. Yang kedua wawancara dengan KH. M. Nuruddin Munawwar, selaku

pimpinan nazhir masjid Hidayatul Musyawaroh.

Pada tahun 1980 an asal tanah wakaf yang ada itu untuk musholla

Al-Hidayah, luas 150 m2 kurang lebih, wakafnya H. Yahya dan H. Thohir.

Waktu itu surat wakafnya tidak ada, pemberiannya pemberian langsung

saja berdasarkan kepercayaan. Lalu beliau sebagai nazhir, H. Yahya dan

5 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal

11 November 2017, pukul: 13.00 WIB

6 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal

11 November 2017, pukul: 13.15 WIB

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

40

H. Thohir sebagai wakif sepakat wakaf itu di buat masjid. Dan disamping

musholla itu ada tanah untuk anak yatim, terus di tukar dengan tanahnya

jamaah kyai Nuruddin bernama pak Prapto sehingga wakafnya menjadi

650 m2.

Pada waktu itu di tempat kyai Nuruddin mengajar di masjid

Musyawaroh daerah mangga dua Jakarta Pusat, ingin di bongkar karena

alasan program pemerintah RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Singkat

cerita semua penduduk yang ada di daerah tersebut digusur termasuk

wakaf masjid itu. Ketika itu nazhir masjid Musyawaroh tersebut tidak tahu

ingin dipindahkan kemana. Kebetulan beliau sedang bangun masjid di

condet, kemudian wakaf masjid Musyawaroh itu dibeli oleh developer

perusahaan, beerdasarkan kesepakatan nazhir dipindahkan wakafnya untuk

mengembangkan pembangunan masjid yang ada di condet, sehingga

masjid tersebut diberi nama Hidayatul Musyawaroh.7

Jika tidak dipindahkan masjid Musyawaroh tersebut, akan

terbengkalai dan hilang kemanfaatannya, oleh sebab itu menjaga

kemanfaatan harta wakaf adalah perbuatan baik, karena wakaf itu untuk

kemashlahatan ummat. Wakaf itu yang diambil manfaatnya bukan

Syai‟un Yuqof nya, sekarang kalau Syai‟un Yuqof nya sudah hilang dan

manfaatnya bisa diambil, yasudah diambil, karena Syai‟un Yuqof itu

hanyalah sarana, yang terpentinng manfaatnya.

Kyai Nuruddin berpendapat adda kitab yang menjelaskan, bahwa

dzatnya wakaf itu bisa di jual. Seperti suatu bangunan masjid, ada benda-

benda yang sudah tidak bisa dipakai, tapi masih bisa dimanfaatkan untuk

hal yang lain, boleh di jual, yang terpenting untuk kepentingan dan

kemanfaatan masjid itu juga.8

7 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul

Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB

8 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul

Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.45 WIB

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

41

Setelah terjadinya ruislagh, warga di sekitar masjid Hidayatul

Musyawaroh Condet Jakarta Timur senang karena dibantu untuk

pembangunan masjid, dan pengurus masjid Musyawaroh di mangga dua

juga senang, karena msjidnya selamat, tetap dimanfaatkan untuk ibadah

umat Islam. Alhamdulillah jamaah masjidnya menjadi banyak, nyaman,

dan banyak kegiatan keagamaan di masjid, seperti pengajian rutin,

santunan yatim dan lain sebagainya. Sampai Kyai Nuruddin bisa bangun

pondok pesantren di sebelah masjid ini, salah satunya berkat syiar melalui

masjid Hidayatul Musyawaroh setelah di ruislagh.9

9 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul

Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

42

BAB IV

ANALISIS HUKUM MENUKAR DAN MERUBAH FUNGSI TANAH

WAKAF DI DKI JAKARTA

A. Hukum Menukar dan Merubah Fungsi Harta Wakaf Dalam Pandangan

Hukum Islam dan Hukum Positif.

1. Istibdal dalam Hukum Islam

Pada dasarnya tidak ada nash yang sharih yang melarang dan

memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf, sehingga

menimbulkan berbagai perspektif hukum dari para mujtahid fiqh yang berbeda.

Walaupun pada dasarnya membolehkan namun harus dengan berbagai ketentuan.1

Makna wakaf adalah berhenti, berhenti dari kepemilikan dari diri sendiri

berpindah kepada milik Allah SWT. Maka harta wakaf tidak boleh dijual,

dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Prinsip wakaf adalah keabadian harta dan

prinsip kemanfaatan.2

هما أن عمر بن الطاب أصاب أرضا بيب ر فأتى النب صلى اللو عليو عن ابن عمر رضي اللو عن منو وسلم يستأمره فيها ف قال يا رسول اللو إني أصبت أرضا بيب ر ل أصب مال قط أن ف س عن

ق با عمر أنو ل ي باع ول يوىب فما تأمر بو قت با قال ف تص قال إن شئت حبست أصلها وتصق با ف الفقراء وف القرب وف الريقاب وف سبيل اللو )رواه وابن السبيل والضيف ول يورث وتص

البخار (

“Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki

sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk konsultasi

tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya mempunyai sebidang

tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum pernah saya miliki selama

hidup saya. Lantas, bagaimana menurut Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu

berkenan, silakan dirawat pokok (bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon

tersebut.” Kemudian Ibn Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan

1 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, (Beirut, Libanon, 1971), h. 161-170

2 Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih 3, cet II, (Jakarta: Depag, 1986), h. 57

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

43

sebagaiman saran Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya, bibitnya tidak

dijual, tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya

ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para budak, para pejuang di jalan Allah,

para ibn sabil, serta tamu.” (HR. Bukhari).3

Majelis Ulama Indonesia mengatakan penukaran harta benda wakaf

diperbolehkan sepanjang untuk merealisasikan kemaslahatan karena untuk

mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf dan diganti dengan nilai yang

sepadan atau lebih baik. Dengan ketentuan, adanya hajah dalam rangka menjaga

maksud wakif. Hasil wakaf harus digunakan untuk membeli harta wakaf lain

sebagai wakaf pengganti. Serta kemanfaatan wakaf pengganti sama dengan benda

wakaf sebelumnya atau lebih baik.4

Pendapat imam mazhab tentang penukaran harta wakaf sebagai berikut:

a. Madzhab Malikiyah

Imam Malik berpendapat tidak boleh menukar harta benda wakaf yang

terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak

menghasilkan sesuatu. Tetapi ada sebagian yang berpendapat golongan Imam

Maliki membolehkan penukaran harta benda tidak bergerak lainnya supaya tidak

sia-sia.5

Madzhab Malikiyah juga membedakan jenis benda wakaf kaitannya

dengan menjual benda wakaf tersebut:

1) Apabila harta wakaf berwujud masjid. Dalam hal melarang Istibdal masjid

ini terjadi kesamaan antara imam imam mazhab: Imam Abu Hanifah bin

Nu‟man, Imam Malik bin Anas, dan Imam Muhammad bin Idris As-

3 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-

Najah, 1422 H.), juz 3, h. 199

4 Majelis Ulama Indonesia, Ijma‟ Ulama‟ Keputusan Ijtima‟ Ulama‟ Komisi Fatwa Se

Indonesia III, (Jakarta : MUI, 2009). Dalam Komisi B Ijma‟ Ulama‟ Komisi fatwa Se Indonesia

III Tentang Masa‟il Fiqhiyah Mu‟ashirah, h. 44

5 Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h. 67

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

44

Syafi‟i, kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang membolehkan menukar

masjid dengan tanah lain yang dipakai untuk membangun masjid.

2) Apabila berbentuk harta tidak bergerak, maka tidak boleh dijual sekalipun

hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama, tetapi boleh dijual

dengan syarat dibelikan lagi sesuai kebutuhan untuk memperluas masjid

atau jalan umum, hal tersebut merupakan mashalih al-„aammah

(Kemaslahatan Umum). Karena apabila barang tersebut tidak dapat ditukar

atau dijual untuk memenuhi untuk memenuhi kemaslahatan umum tadi,

maka masyarakat akan mengalami kesulitan, padahal mempermudah

ibadah bagi masyarakat, lalu lintas, atau mengubur mayat adalah seuatu

hal yang wajib.

3) Dalam bentuk benda lain dan hewan, apabila sudah tidak ada manfaatnya

maka boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan

sejenis.

Dalam pelaksanaan Istibdal, ulama Malikiyah juga berpendapat bahwa

syarat wakif menjadi pertimbangan. Apabila wakif mensyaratkan istibdal maka

nazhir harus melaksanaka syarat wakif itu. Sebalknya, apabila wakif tidak

mensyaratkan istibdal, maka nazhir tidak boleh melakukan istibdal.6

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ulama Malikiyah

sepakat melarang istibdal harta benda wakaf tidak bergerak yang masih

bermanfaat, kecuali dalam keadaan darurat untuk kepentingan umum. Sementara

itu, untuk benda wakaf tidak bergerak yang telah rusak, sebagian ulama

Malikiyah membolehkan istibdal dan sebagiannya lagi melarangnya.

b. Madzhab Hanafiyah

Menurut madzhab Hanafi, istibdal harta benda wakaf kecuali masjid7

dibolehkan selama membawa kemaslahatan.8 Adapun pelaksanaannya boleh

6 Sami Muhammad al-Salahat, “Wasa‟il I‟mar A‟yan al-Waqf”, 228-229.

7 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, (Cairo: Matba‟ah Ali Mukhaymir,

1959), h. 183

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

45

dilakukan oleh wakif, nazhir, atau hakim, baik harta benda wakaf yang masih

bermanfaat ataupun yang sudah tidak bermanfaat, harta benda bergerak ataupun

yang tidak bergerak. Hanya saja dalam praktiknya, masih ditemukan perbedaan

pendapat dikalangan mereka.9

Menurut ulama Hanafiyah, istibdal harta benda wakaf selain masjid dibagi

menjadi tiga kategori10

:

1) Istibdal harta benda wakaf disyaratkan oleh wakif.

2) Istibdal tidak disyaratkan oleh wakif, sedangkan kondisi harta benda

wakaf tidak dapat dimanfaatkan lagi.

3) Istibdal harta benda wakaf tidak disyaratkan oleh wakif, sedangkan

kondisi harta benda wakaf masih bermanfaat dan menghasilkan, tetapi ada

harta benda pengganti yang lebih baik.

Kategori pertama, wakif mensyaratkan istibdal harta benda wakaf untuk

dirinya sendiri, atau untuk nazhir. Contohnya, ketika ia mewakafkan harta

bendanya, ia berkata “tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa dikemudian

hari aku bisa menggantinya dengan harta benda yang lain, atau aku berhak

menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya”. Persyaratan yang

diungkapkan oleh wakif sebagaimana contoh diatas, dapat dibenarkan dan berlaku

khusus untuk diri wakif, tidak untuk nazhir kecuali apabila ia memberlakukan

syarat itu untuk nazhir juga. Dalam permasalahan ini, ulama hanafiyah berbeda

pendapat mengenai keabsahan wakaf dan syaratnya. Pendapat pertama,

Muhammad Ibnu Hasan berpendapat bahwa wakafnya sah, sementara syaratnya

batal. Alasannya adalah syarat tersenut menafikan maksud sebenarnya dari wakaf,

karena syarat wakaf adalah memberikan harta secara kekal. Pendapat kedua Abu

Yusuf Hilal berpendapat bahwa wakaf dan syaratnya sama-sama sah. Alasannya

8 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 190.

9 Muhammad Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah,

(Baghdad: Matba‟ah al-Irshad 1977), J. II, h. 9

10

Muhammad Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah, h. 10

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

46

adalah bahwa yang dia maksud bukanlah kekal harta bendanya, tetapi pelaksanaan

(manfaat) wakaf tersebut secara terus menerus.11

Pendapat ketiga, sebagian ulama

Hanafiyah berpendapat bahwa syarat maupun wakafnya sama sama batal, dan

sebagian ulama yang lain mengatakan syaratnya sah, asal ada persetujjuan dari

hakim.12

Menurut Muhammad „Abid „Abdallah Al-Kabisi pendapat yang kuat

adalah pendapat Abu Yusuf dan Hilal yang menyatakan bahwa baik wakaf

maupun syaratnya sama-sama sah. Dengan pertimbangan bahwa syarat istibdal

harta benda wakaf tidak menghilangkan wakaf dan keabadiannya. Hal ini

disebabkan karena wakaf dan keabadiannya tidak ditentukan oleh suatu harta

benda tertentu, tetapi ditentukan oleh manfaat atau hasil yang didapat dari harta

benda wakaf. Oleh karena itu, yang menjadi faktor utama dari keberadaan wakaf

yang sebenarnya adalah manfaat yang diperoleh dari harta benda wakaf itu

sendiri. Selama harta benda wkaf bermanfaat untuk mauquf „alaih maka selama

itu pula wakaf tetap abadi, dan syarat istibdal harta benda wakaf tidak untuk

menghilangkan manfaat harta benda wakaf itu. Padahal pada kasus tertentu,

dengan istibdal maka manfaat harta benda wakaf makin berlipat.13

Termasuk dalam kategori ini bahwa wakaf dan syarat sama-sama sah,

ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa beberapa permasalahan, antara lain:

Pertama, setelah pelaksanaan istibdal harta benda wakaf yang pertama, wakif

tidak diperbolehkan untuk melakukan kedua kalinya karena masa berlaku syarat

istibdal harta benda wakaf yang ditentukannya sudah habis. Kecuali jika ia

11

Afiffudin Muhammed Noor dan Ridzuan Awang, “The Implementation of istibdal

Endowment in The State Of Kedah Darul Aman”, Islamiyyat The International Journal of Islamic

Studies, Vol. 35, No. 1 (2013) h. 50

12

Sami Muhammad al-Salahat, “Wasa‟il I‟mar A‟yan al-Waqf” h. 224

13

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h.12-14

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

47

menyatakan bahwa haknya melakukan istibdal harta benda wakaf bida dilakukan

berulang-ulang.14

Kedua, jika wakif berkata: “Saya mewakafkan tanh ini dengan syarat suatu

hari saya berhak menjualnya guna membeli tanah yang lain”, kemudian ia tidak

berkata apa-apa lagi maka menurut qiyas wakafnya dianggap batal. Hal ini

disebabkan wakif tidak menyatakan maksudnya untuk menjadikan tanah yang lain

sebagai penggantinya. Berbeda denan qiyas, istihsan menganggap praktik itu

boleh dan dengan dasar bahwa selama tanah yang pertama adalah wakaf uang

yang didapatkan dari penjualan itu kedudukannya sebagai wakaf. Jadi apabila

uang tersebut dibelikan tanah lain maka secara otomatis tanah itu menjadi tanah

wakaf dengan syarat-syaratnya seperti pada tanah sebelumnya.15

Ketiga, jika wakif mensyaratkan istibdal dengan tanah, ia tidak berhak

menukarnya atau meggantinya dengan rumah. Demikian juga sebaliknya karena ia

tidak memiliki hak untuk mengganti syarat. Jika ia memberi batasan bahwa

istibdal hanya berlaku dengan tanah di Bashrah, batasan itu dapat diterima an

diberlakukan sebab tanah di suatu wilayah dengan wilayah yang lain bisa saja

berbeda kualitas kesuburannya dan biaya pengelolaannya. Jika wakif

mensyaratkan hal itu, ia tidak boleh menggantikan dengan tanah lainnya.16

Begitu

juga, jika wakif mensyaratkan istibdal tapi tidak menyebutkan apakah

penggantinya beruo tanah atau rumah, kemudian ia menjual harta benda wakaf,

maka ia berhak meenggantinya denganharta benda tidak bergerak baik tanah,

ataupun rumah. Demikian juga jika dalam syarat istibdal ia tidak membatasinya

14

Kamal al-Din Muhammad bin „Abd al-Wahid al-Siwasi bin al-Hammam, Fath al-

Qadir (t.k. Mustafa Muhammad, 1356) h. 58

15

Sami Muhammad al-Salahat, “Wasa‟il I‟mar A‟yan al-Waqf” h. 224

16

Ibnu Najim, al-Bahr al-Ra‟iq Sharh Kanz al-Daqaiq (Mesir: „Ilmiyah, 1311), J. V,

h.240

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

48

dengan wilayah tertentu, ia boleh melakukan istibdal di wilayh manapun secara

mutlak tanpa ada batasan.17

Kategori kedua, wakif tidak mensyaratkan istibdal, namun kondisi harta

benda wakaf tidak dapat dimanfaatkan lagi, tidak memberikan hasil atau ada

hasilnya tapi tidak sebanding dengan biaya pengelolanya. Mayoritas ulama

Hanafiyah membolehkan praktik istibdal dalam kasus ini dengan syarat harus ada

izin dari hakim berdasarkan kemaslahatan.18

Hakim berhak membuat keputusan

untuk menggantikan harta benda wakaf yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi

karena terdapat mashlahat yang lebih esar bagi masyarakat muslim. Apabila

masalah yang terjadi ini tidak diatasi, maka masyarakat muslim yang akan

menanggung kerugiannya disebabkan harta benda wakaf yang tidak dapat

dimanfaatkan lagi dan di biarkan begitu saja.

Kategori ketiga, istibdal harta benda wakaf tidak disyaratkan oleh wakif,

sedangkan kondisi harta benda wakaf masih bermafaat dan menghasilkan, tetapi

tidak ada harta benda yang kondisinya lebih baik. Ulama Hanafiyah berbeda

pendapat dalam menghukumi kasus ini. Pertama, menurut Ibnu Abidin dan Imam

Al-Hlawani, istibdal harta benda wakaf dalam kasus ini tidak diperbolehkan.

Pendapat ini dipilih oleh al-Kamal bin al- Hammam, ia berkata istibdal baik

disyaratkan oleh wakif atau wakif tidak mensyaratkannya, namun harta benda

wakaf tidak lagi bermanfaat bagi mauquf „alaih dalam masalah ini semua sepakat

bolehnya istibdal. Tetapi jika wakif tidak mensyaratkan istibdal tapi sementara

harta benda wakaf masih bermanfaat, istibdal atau penggantinya dengan harta

benda lain yang lebi baik tidak dibolehkan, karena yang wajib adalah

mengabdikan harta benda wakaf bukan istibdal. Selain itu, dalam kasus ini tidak

ditemukan alasan yang membolehkan dilaksanakannya sebagaimana

dibolehkannya istibdal pada kategori pertama dengan alasan karena adanya syarat

dari wakif, sedangkan dalam katwgori kedua dengan alasan darurat. Kedua

17

Hasan bin Mansur Al-Awzundi, al- Fatawa al-Kaniyah, (Mesir: Dar al-Fikr, 1310),

J.III, h. 307

18

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h. 19

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

49

menurut Abu Yusuf, istibdal harta benda wakaf pada kasus ini dibolehkan karena

lebih bermanfaat untuk wakaf dan tidak bertentangan dengan tujuan wakaf.19

Sejumlah ulama Hanafiyah yang membolehkan istibdal harta benda

wakaf, menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Apabila harta benda wakaf sudah tidak bermanfaat

2) Tidak ada hasil dari wakaf yang dapat digunakan untuk biaya

pembangunan.

3) Penjualan tidak boleh mengandung unsur penipuan karena hal itu sama

saja dengan menyumbangkan sebagian harta benda wakaf.

4) Pengelola wakaf tidak boleh menjual harta benda wakaf kepada orang

yang tidak diterima kesaksiannya dan orang yang memberinya pijaman

hutang. Sebab menjualnya kepada orang yang tidak diterima

persaksiannya mengandung kemungkinan terjadinya penipuan dan

penjualan kepada orang yang memberinya pinjaman utang, dikhawatirkan

akan menghabiskan uang hasil penjualan sebagai akibat ketidakmampuan

pengelola wakaf melunasi hutangnya.

5) Harta benda pengganti harus berupa harta benda yang tidak bergerak

bukan berpa uang, karena jka dengan uang dikhawatirkan uang itu akan

habis atau tidak digunakan untuk membeli harta benda pengganti.

6) Penukaran rumah wakaf dengan rumah lainnya dibolehkan apabila berada

di satu wilayah atau rumah pengganti lebih baik dari rumah wakaf.

7) Harta pengganti sejenis dengan hrta benda wakaf supaya tidak terjadi

penyalahgunaan. Namun demikian, sebagian ulama Hanafiyah

berpendapat syarat ini tidak diperlukan salama istibdal memberikan hasil.

8) Pelaksanaan istibdal hars berdasarkan izin hakim berdasarkan

kemaslahatan.20

19

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h. 22-23 20

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h. 26-30

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

50

Menurut „Abid „Abdallah al-Kabisi, syarat-syarat tersebut bisa berubah

seiring perubahan yang terjadi dimasyarakat dengan tetap mempertimbangkan

keabadian harta benda wakaf dan kemaslahatan mauquf „alaih.21

c. Madzhab Syafi‟i

Dalam masalah istibdal harta benda wakaf, Madzhab Syafi‟i mempunyai

sikap yang sangat tegas dibandingkan mazhab lainnya sehingga terkesan melarang

secara mutlak. Hal itu dilakukan demi menjaga kelestarian harta benda wakaf atau

terjadinya penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. Ketegasan hukum dalam

madzhab Syafi‟i ini berdasarkan kepada prinsip wakaf yang menjadi pegangan

dalam mazhab Syafi‟i bahwa harta benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan

dan diwariskan berdasarkan hadits dari Umar bin Khattab yang mewakafkan tanah

di Khaibar dan mensyaratkan tanah tersebut tidak boleh dijual, dihbahkan, dan

diwariskan. Tujuan wakaf yang telah dibuat, tidak boleh diubah selain apa yang

diniatkan oleh wakif. Madzhab ini melarang pelaksanaan istibdal wakaf secara

mutlak, karen penjualan atau penggantian akan membawa kepada hilangnya harta

benda yang diwakafkan. Namun demikian, sebagian ulama Madzhab Syafi‟i yang

membolehkan istibdal dengan syarat tanah wakaf pengganti mendatangkan

manfaat yang lebih bermanfaat dari sebelumnya.22

Jika seseorang mewakafkan masjid, lalu masjid itu rusak atau roboh,

sehingga tidak bisa digunakan untuk sholat, masjid itu tidak boleh dijual, atau

ditukar, sebab mesjid itu telah milik Allah.23

Menurut ulama Syafi‟iyah puing-

puing runtuhan mesjid tersebut tetap harus dijaga dan disimpan untuk digunakan

dalam membangun kembali masjid itu. Akan tetapi, apabila masjid itu tidak

21

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h. 30

22

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h. 39 23

Mohd Afendi Mat Rani, “ Mekanisme Istibdal dalam Pembangunan Tanah Wakaf:

Kajian Terhadap Isu Pengambilan Tanah Wakaf oleh Pihak Berkuasa di Negeri Malaysia”, Jurnal

Pengurusan Jawhar, Vol. IV, No.1 (2010), h. 8\

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

51

dibangun kembali, puing puing runtuhan tersebut digunakan untuk pembangunan

masjid lain yang lokasinya berdekatan berdasarkan keputusan Hakim.24

Dalam kitab al-Muhadhdhab disebutkan bahwa:25

Apabila seseorang

mewakafkan pohon kurma, kemudian pohon kurma itu kering, atau mewakafkan

hewan ternak kemudian sakit-sakitan karena umurnya sudah tua, atau batang

kurma untuk tiang masjid kemudian lapuk, dalam kasus ini terdapat dua pendapat

yang berbeda di kalangan ulama Syafi‟iyah. Pendapat pertama, harta benda wakaf

tersebut tidak boleh diual, seperti yang sudah dijelaskan tentang masalah masjid.

Pendapat kedua, harta benda wakaf tersebut boleh dijual karena sudah tidak dapat

diharapkan lagi manfaatnya maka menjualnya lebih baik daripada membiarkannya

rusak tanpa ada gunanya. Hukum ini tidak berlaku dalam masjid yang rusak

sebagian, karena meskipun masjid itu telah rusak masih bisa digunakan kembali

untuk shalat. Apabila dijual, uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli

harta benda lain sebagai penggantinya.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ulama Syafi‟iyah

melarang penjualan atau istibdal harta benda wakaf selama masih mendatangkan

hasil sedikit apapun, meskipun pengadilan mengizinkannya. Bahkan beberapa

kitab madzhab Syafi‟i melarang secara mutlak istibdal harta benda wakaf.

Tentunya banyak menghambat pengembangan harta benda wakaf dan membawa

dampak negatif karena menyebabkan banyaknya harta benda wkaf yang rusak

dan tidak bermanfaat lagi. Hal ini mengakibatkan banyak tanah wakaf yang tidak

terurus, terbengkalai dan tida menghasilkan apa-apa. Keadaan ini sangat

bertentangan dengan kemaslahatan mauquf „alaih dan kemaslahatan umat.26

Oleh

24

Ahmad bin Salamah al-Qalyubi, Hashiyatan (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), J.III, h. 108

25

Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhadhdhab, J.I, h.445

26

Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,

h. 43

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

52

karena itu, pelaksanaan istibdal wakaf perlu mengambil semua pendapat ulama

fikih tanpa terikat dengan satu madzhab.27

d. Madzhab Hanbali

Menurut madzhab Hanabilah istibdal dibolehkan selama ada kondisi

darurat yakni harta benda wakaf tersebut tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan

sesuai dengan tujuan diwakafkannya. Mereka berpendapat bahwa hukum asal

penjualan harta benda wakaf adalah haram, namun tidak dilarang penjualannya

jika dalam kondisi darurat demi menjaga tujuan wakaf.28

Apabila terjadi istibdal

harta benda wakaf karena ada kondisi darurat, uang hasil harta benda wakaf

tersebut boleh digunakan untuk membeli harta benda apa saja yang memberikan

hasil untuk mauquf „alaih meskipun harta benda tersebut tidak sama jenisnya

dengan harta benda wakaf. Menurut mereka hal ini diperbolehkan karena yang

terpenting adalah hasilnya yang banyak bukan pada kesamaan jenis harta benda

wakaf. Namun demikian, untuk hasilnya tetap harus digunakan untuk kemaslahatn

yang menjadi tujuan wakaf.

Mereka juga membolehkan istibdal tanpa membedakan antara harta benda

wakaf bergerak maupun tidak bergerak. Bahkan mereka mengambil dalil hukum

istibdal harta benda wakaf tidak bergerak dari dalil yang mereka gunakan untuk

menentukan hukum istibdal harta benda wakaf bergerak. Sebagai contoh, mereka

membolehkan istibdal harta benda wakaf bergerak dan harta benda wakaf tidak

bergerak dengan mendasarkan pada ijma‟ yang memperbolehkan penjualan kuda

yang diwakafkan untuk tujuan perang jika sudah tua dan lemah serta tidak bisa

digunakan untuk keperluan lain, seperti mengangkut barang dan sejenisnya. Jika

27

Mohd Afendi Mat Rani, “ Mekanisme Istibdal dalam Pembangunan Tanah Wakaf:

Kajian Terhadap Isu Pengambilan Tanah Wakaf oleh Pihak Berkuasa di Negeri Malaysia”, Jurnal

Pengurusan Jawhar, Vol. IV, No.1 (2010), h. 30

28

Ibrahim „Abd al-Latif Ibrahim al-„ubaydi, Istibdal al-Waqf Ru‟yah Shar‟iyah

Iqtisadiyah Qonuniyah, h. 80-81.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

53

menjual kuda wakaf tersebut dibolehkan, menjual harta benda wakaf yang

bergerak maupun yang tidak bergerak juga dibolehkan.29

Khusus harta benda berupa masjid, ulama Hanabilah membolehkan

penjualannya jika masjid tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, seperti

terasa sempit atau mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan lagi. Setelah

masjid itu dijual, uang hasil penjualannya dipakai untuk membangun masjid lain

sebagai penggantinya.30

Ibnu Qudamah berkata “ jika harta benda wakaf rusak,

seperti rumah roboh, tanah yang gersang atau tidak subur, masjid di suatu

kampung yang penduduknya telah pindah sehingga tidak dipergunakan lagi atau

terlalu sempit untuk menampung jamaah serta tidak mungkin diperluas maka

harta benda wakaf tersebut boleh dijual/ istibdal.31

Tentang bolehnya istibdal

masjid ini, mereka berdalil bahwa Umar bin Khattab pernah memindahkan masjid

di kufah ke tempat lain dan menjadikannya sebagai pasar. Selain itu, menurut

mereka istibdal harta benda wakaf dengan pertimbangan kemaslahatan adalah

untuk mempertahankan manfaat wakaf ketika hara benda wakaf yang asli tidak

dapat dipertahankan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama

hanafiyah memperbolehkan istibdal harta benda wakaf baik yang masih

bermanfaat ataupun sudah tidak bermanfaat, disyaratkan oleh wakif ataupun tidak

disyaratkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Begitu juga dengan ulama

Hanabilah, yang memperbolehkan istibdal harta benda wakaf selama ada kondisi

darurat yakni harta benda wakaf tersebut tidak dapat digunakan atau

dimanfaatkan sesuai dengan tujuan diwakafkannya. Bahkan ulama Hanabilah juga

membolehkan istibdal wakaf masjid, jika masjid tersebut tidak berfungsi

sebagaimana mestinya, seperti terasa sempit atau mengalami kerusakan dan tidak

29

Muhammad „Abid „Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shariah al-Islamiyah, J.II,

h. 44

30

Muhammad „Abid „Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shariah al-Islamiyah, J.II,

h. 45

31

„Abdallah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni ma‟a Sharh al-Kabir

(Mesir: al-Manar, 1348), J. VI, h. 225

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

54

dapat digunakan lagi. Pendapat ulama Hanabilah mengenai bolehnya istibdal

masjid ini, berbeda dengan ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i yang

sepakat melarang istibdal harta benda wakaf berupa masjid. Sementara itu ulama

Malikiyah melarang istibdal harta benda wakaf tidak bergerak kecuali untuk

kepentingan umum. Namun demikian, untuk istibdal harta benda wakaf bergerak,

mereka tidak melarangnya dengan syarat tidak dimanfaatkan lagi sesuai dengan

peruntukannya. Adapun ulama Syafi‟iyah cenderung melarang istibdal wakaf.

2. Istibdal Dalam Hukum Positif ( UU. No. 41 Th.2004 dan PP No.42

Th.2006)

Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, Tentang Wakaf ini, masalah Istibdal

dimasukkan dalam "hukum pengecualian” (al-hukmu al-istitsna‟i) seperti dalam

BAB IV Pasal 40 dan 41 ayat (1). Dalam pasal 40 dinyatakan:

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:

a. Dijadikan jaminan;

b. Disita;

c. Dihibahkan;

d. Dijual;

e. Diwariskan;

f. Ditukar; atau

g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Dalam Pasal 41 dinyatakan:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan

apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk

kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

tidak bertentangan dengansyariah.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas

persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan

pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar

dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya

sama dengan harta benda wakaf semula.

(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

55

Dari ketentuan-ketentuan yang tercantum mulai pasal 40 dan 41 diatas,

terlihat adanya sikap kehati-hatian dalam tukar menukar barang wakaf, dan masih

menekankan upaya menjaga keabadian wakaf selama keadaannya masih normal-

normal saja. Tapi disisi lain juga sudah membuka pintu istibdal meskipun tasahul

(mempermudah masalah). Hal ini lebih jelas lagi dengan melihat aturan yang

terdapat pada Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006. Dalam BAB VI, Pasal 49

dinyatakan:

(1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang

kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.

(2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan

umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan

dengan prinsip syariah;

b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf;

atau

c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan

mendesak.

(3) Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin

pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:

a. harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah

sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan

b. nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama

dengan harta benda wakaf semula.

(4) Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim

penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:

a. pemerintah daerah kabupaten/kota;

b. kantor pertanahan kabupaten/kota;

c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota;

d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan

e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.

Pasal 50 dan 51 PP Nomor 42 tersebut, selanjutnya dinyatakan :

Pasal 50

Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49

ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut:

a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-

kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

56

b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk

dikembangkan.

Pasal 51

Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan

sebagai berikut:

a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor

Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan

status/tukar menukar tersebut;

b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor

Departemen Agama kabupaten/kota;

c. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah menerima

permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti

dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat

Surat Keputusan;

d. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan permohonan

tersebut dengan dilampiri basil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor

Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya meneruskan

permohonan tersebut kepada Menteri;

e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat

dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan

dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.

B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Konversi Wakaf yang terjadi

di Provinsi DKI Jakarta

Pada bab sebelumnya telah disebutkan bahwa menukar dan merubah

fungsi harta benda wakaf yang terjadi di pondok pesanrtren Darul Rahman

Jagakarsa Jakarta Selatan, karena keadaan pondok pesantren berada di tengah

kepadatan penduduk kota, dan banjir yang menyebabkan sulitnya pondok

pesantren untuk berkembang. dan masjid Hidayatul Musyawaroh Condet

Balekambang Jakarta Timur, karena penduduk sekitar dipindahkan berikut

masjidnya berdasarkan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) yang diusung oleh

pemerintah untuk dijadikan gedung Mangga Dua Square, sehingga masjid tidak

akan produktif lagi jika dibiarkan berada didaerah tersebut.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

57

Berdasarkan kesepakatan antara pengurus pondok pesantren Darul

Rahman dengan perusahaan swasta PT. Ambal Akor, sepakat untuk menukar

harta benda wakaf dengan mengambil nilai tengah-tengah dari NJOP wakaf yang

berada di Senopati Jakarta Selatan dipindah Ke Jagakarsa Jakarta Selatan agar

harta wakaf pondok pesantren Darul Rahman berkembang dan produktif.

Begitu juga dengan Masjid Hidayatul Musyawaroh, berdasarkan

kesepakatan antar kedua pengurus masjid, mereka sepakat untuk memindahkan

masjid berada di daerah Mangga Dua untuk memperluas memperbesar

pembangunan wakaf milik masjid yang berada di Condet Balekambang Jakarta

Timur kala itu. Agar manfaat dari wakaf tersebut masjid tetap abadi.

Dari beberapa data yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa

dengan adanya istilah perubahan harta wakaf dalam ilmu perwakafan, pengurus

masjid, nadzir dan tokoh agama di pondok pesantren Darul Rahman dan masjid

Hhidayatul Musyawaroh memandang perpindahan dan penukaran itu sebagai

suatu jalan keluar untuk mempertahankan harta wakaf. Sehingga menukar dan

memindahkan terhadap harta wakaf harus dilakukan pada setiap praktek

perwakafan. Perubahan harta wakaf sendiri menurut pemaparan mereka hanya

dapat dilakukan apabila benar-benar diperlukan dengan tujuan untuk melestarikan

nilai manfaat yang terkandung pada setiap harta wakaf dan untuk kemaslahatan

masyarakat. Bentuk dari perubahan harta wakaf sendiri bisa berupa perubahan

dalam bentuk wujud atau fisiknya maupun perubahan fungsi pemakaiannya.

Tindakan menukar dan merubah harta benda wakaf merupakan sesuai

dengan keinginan masyarakat tersebut, dengan memindahkan pondok pesantren

Darul Rahman dari Senopati ke Jagarsa Jakarta Selatan memberikan keamanan

dan kenyamanan dalam menjalankan kegiatan aktifitas keagamaan kepada

penghuni pondok pesantren, yakni santri dan Ustadz. Begitu juga yang terjadi di

Masjid Hidayatul Musyawaroh, berkat dipindahkan nilai masjid Musyawaroh dari

Mangga Dua Jakarta Pusat, untuk pembangunan masjid Hidayatul Musyawaroh

Condet Jakarta Timur. Kedua belah pihak merasa diuntungkan, yang di Mangga

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

58

Dua senang karena masjid yang di urus terselamatkan manfaatnya, dan yang di

Condet Jakarta Timur senang karena dibantu dalam pengembangan pembangunan

masjid, sehingga sampai saat ini Jamaah merasa nyaman beribadah dengan

kondisi masid yang lebih luas.

Apabila kita cermati peristiwa di atas, maka dapat kita pahami bahwa

penukaran dan perubahan fungsi tanah wakaf masjid atau non masjid tersebut

memang harus dilakukan karena kalau tidak, akan terbatas dalam pengembangan

harta benda wakaf.

Sebagaimana dijelaskan dalam bab III, bahwa dalam hukum menukar dan

merubah harta atau fungsi tanah wakaf masjid ataupun non masjid terjadi

beberapa pendapat antara para ulama madzhab. Yang menjadi sebab perbedaan

pendapat adalah mengenai dzat dan kemanfaatan wakaf, Semuanya berdasarkan

perbedaan pandangan dalam menyikapi dalil dari hadits Rasulullah SAW:

ه صلهى جر فأتى الىهج عىمب أن عمر ثه الخطهبة أصبة أرضب ثخ للاه سلهم عه اثه عمر رض عل للاه

جر لم أصت مبل قط أوفس عىد إو أصجت أرضب ثخ قبل ستأمري فب فقبل ب رسل للاه ي مى فمب تأمر ث

قت ثب قبل فتصدهق تصده ق ثب ف إن شئت حجست أصلب تصده ل رث ل ت ل جبع ثب عمر أوه

ف الضه جل اثه السه ف سجل للاه قبة ف الر ف القرثى )راي الجخبري( الفقراء 32

“Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki

sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk konsultasi

tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya mempunyai sebidang

tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum pernah saya miliki selama

hidup saya. Lantas, bagaimana menurut Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu

berkenan, silakan dirawat pokok (bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon

tersebut.” Kemudian Ibn Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan

sebagaiman saran Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya, bibitnya tidak

dijual, tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya

ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para budak, para pejuang di jalan Allah,

para ibn sabil, serta tamu.” (HR. Bukhari).

Ulama Syafi‟iyah sangat ketat sekali dalam hal perubahan harta benda

wakaf, karena wakaf itu sifatnya mengikat, abadi, dan tidak bisa ditarik kembali

32

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-

Najah, 1422 H.), juz 3, h. 199

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

59

atau diperjual belikan, digadaikan, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif

sekalipun wakaf itu telah rusak dan hilang manfaatnya. Baik itu wakaf berupa

masjid ataupun bukan masjid. Karena wakaf itu bersifat abadi, sehingga kondisi

apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak boleh merubah harta benda

wakaf yang berbentuk benda-benda tidak bergerak, walaupun benda tersebut akan

rusak dan tidak menghasilkan sesuatu. Sedangkan untuk benda bergerak

membolehkan, karena dengan adanya penukaran maka benda itu tidak sia-sia

Ulama Hanafiyah mengajukan tiga syarat, yaitu apabila wakif memberi

isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar, apabila benda wakaf itu

tidak dapat dipertahankan lagi, jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih

besar dan lebih bermanfaat.

Ulama Hanabilah tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk

masjid atau bukan masjid. Menurut Hambali wakaf yang sudah hilang manfaatnya

boleh dijual dan uangnya dibelikan seperti semula. Ibnu Taimiyah misalnya,

mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini

benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak dapat lagi

digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas,

atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, sementara di tempat yang

baru mereka tidak mampu membangun masjid yang baru.33

Dasar yang meraka gunakan adalah tindakan sahabat Umar bin Khattab

RA yang memindahkan masjid Kufah yang lama dijadikan pasar bagi para penjual

kurma. Ini adalah penggantian tanah masjid, adapun penggantian bangunannya

dengan bangunan lain, maka sahabat Umar dan Utsman pernah membangun

33

Muhammad Jawad al-Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah ‘ala Mazahib al-Khamsah,

Beirut: Dar al-„Ilm al-Malayin, 1964, h. 333

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

60

masjid Nabawi tanpa mengikuti konstruksi pertama dan melakukan tambahan

serta perluasan.34

Dengan ini penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa

wakaf boleh ditukar, dipindahkan atau dijual asalkan untuk kepentingan umum

dan menambahnya kemanfaatan terhadap produktifitas barang wakaf tersebut.

Sesuai dengan peristiwa yang ada pada pondok pesantren Darul Rahman, yang

jika tidak dipindahkan, maka tidak bisa berkembang harta benda wakafnya dan

tidak memberikan kenyamanan sebab banjir dan kebisingan di tengah tengah

kepadatan penduduk kota. Begitu juga dengan masjid Hidayatul Musyawarah,

apabila tidak di pindahkan nilai kemanfaatan masjid di Mangga Dua ke masjid di

Daerah Condet Jakarta Timur, maka akan hilang kemanfaatannya. Karena itu

peneliti cenderung sepakat boleh menukar harta benda wakaf, masjid ataupun

bukan masjid untuk memberdayakan harta benda wakaf agar supaya lebih

produktif lagi.

Perubahan harta wakaf menurut ahli fiqih dari kalangan Hanafi dan

Hanbali ini diantaranya adalah Imam Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Taimiyah

berpendapat boleh menjual harta wakaf, atau menukarnya, menggantinya,

memindahkannya harta wakaf yang sudah tidak berfungsi atau kurang berfungsi

(seperti karena rusak atau sebab lain) dan menggunakan hasil penjualan tersebut

untuk kemudian digunakan lagi bagi kepentingan wakaf, kebolehan itu, baik

dengan alasan supaya tetap maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk

mendapatkan maslahat yang lebih besar/ lebih baik bagi kepentingan manusia

pada umumnya.

Amalan wakaf akan bernilai ibadah, bila harta wakaf dapat memenuhi

fungsinya. Apabila harta wakaf mengalami penyusutan, rusak, atau tidak dapat

memenuhi fungsinya sebagaimana tujuan semula, maka harus dicarikan solusi

supaya harta wakaf itu tetap berfungsi.

34

Depag RI, Fiqh Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan

Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006, h. 81

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

61

Harta wakaf itu abadi dan harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis

barang dan cara pemeliharaan yang disyaratkan wakif. Wakaf tersebut boleh

dijual, dipindahkan, dirubah atau diganti untuk kemudian untuk diatur kembali

pemanfaatannya bagi kepentingan umum, sesuai dengan tujuan wakaf. Landasan

utama dari kebolehan tersebut adalah agar benda wakaf itu tetap memberikan

kemaslahatan bagi umat manusia.

Dalam Fiqh dikenal dengan prinsip maslahat, yaitu memelihara

maksudnya, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang

merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan

perubahan status harta benda wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana

dinyatakan oleh wakif, dari pada dipertahankan tetapi berakibat tidak

berfungsinya aset wakaf tersebut.

Kondisi suatu barang sudah tidak berguna karena rusak, maka benda itu

tidak dapat di ambil manfaatnya, penukaran benda menjadi suatu kebutuhan untuk

mengembalikan manfaat yang ada.

Apabila benda masih bisa dijual, dan apabila taksiran dari penjualan benda

tersebut bisa digunakan untuk membeli barang yang kemanfaatannya minimal

sama dengan benda terdahulu, maka hal ini justru lebih baik. Sebab tidak

menghilangkan segi kemanfaatan dari benda tersebut walaupun jika dilihat dari

segi bentuk benda sudah berubah namun tidak menghilangkan substansi dari

benda itu sendiri. Berbeda dengan benda yang sudah rusak, benda tersebut tidak

dapat memberi manfaat. Mempertahankan benda yang sudah rusak sama halnya

mempertahankan hilangnya tujuan dari benda itu sendiri.

Menjaga nilai manfaat yang terkandung di dalam harta wakaf itu sangatlah

penting, agar manfaat dari harta wakaf tersebut tetap bisa dinikmati, untuk

menghindari terjadinya kemubadziran atas harta wakaf kedepannya, dan

merupakan tanggung jawab seorang nadzir terhadap harta wakaf dan kepada

wakif yang telah mengamanatkan harta wakaf tersebut.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

62

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 225 dan Peraturan Pemerintah No.

28 tahun 1977 pasal 11 dijelaskan bahwa pertukaran wakaf pada dasarnya tidak

dapat dilakukan perubahan. Tetapi sebagai pengecualian, dalam keadaan khusus

perubahan hanya dapat dilakukan ketika telah mendapat persetujuan tertulis dari

Menteri Agama, yang alasannya meliputi:

1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh

wakif,

2. Karena kepentingan umum

Menurut penulis bahwa menjaga nilai manfaat dalam harta wakaf

sangatlah penting, karena mengingat tanggung jawab kepada wakif dan berkaitan

juga dengan tujuan wakaf itu sendiri. Akan tetapi apabila terdapat harta wakaf

yang sudah tidak digunakan lagi atau sudah kurang berfungsi atau bahkan tidak

berfungsi, maka demi kepentingan dan prinsip kemaslahatan serta tercapai dan

terpenuhinya tujuan wakaf itu sendiri, maka benda tersebut sebaiknya dilakukan

suatu perubahan sehingga manfaat yang dirasakan terus bersambung sebagai amal

jariyah bagi si wakif.

C. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Konversi Wakaf yang

terjadi di Provinsi DKI Jakarta

Seperti yang dijelaskan dalam bab III, bahwa status tanah pondok

pesantren Darul Rahman Jagakarsa Jakarta Selatan dan Masjid Hidayatul

Musyawaroh Condet Jakarta Timur telah memiliki status hukum yang sah baik

menurut hukum fiqh Islam maupun menurut Undang-Undang yang berlaku di

Indonesia. Karena memiliki sertifikat tanah yang sah dan sudah didaftarkan

kepada PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf).

Di dalam Undang-undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf, pasal 17

disebutkan bahwa:

1. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan

PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

63

2. Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara

lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh

PPAIW.

Dalam pasal 18 menyebutkan:

Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau

tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang

dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat

kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

Dalam pasal 19 menyebutkan:

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan

surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.

Pasal di atas, menjelaskan bahwa Nazhir berkewajiban mendaftarkan tanah

wakaf kepada PPAIW setelah dilakukan Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh dua

orang saksi. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa

dalam pembuatan wakaf dikatakan sah apabila telah didaftarkan kepada PPAIW,

setelah pembuatan Akta Ikrar Wakaf yang disaksikan oleh dua orang saksi.

Dalam KHI pasal 223 menyebutkan:

1. Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di

hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar

wakaf.

2. Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

3. Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf,

dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2

(dua) orang saksi.

4. Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang

mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut

dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:

a. Tanda bukti pemilikan harta benda

b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka

harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat

oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak

bergerak dimaksud.

c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari

benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Dalam KHI pasal 224 menyebutkan:

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

64

Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam

Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan

permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang

bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

Dalam hal menukar dan merubah fungsi tanah wakaf juga di atur dalam Undang-

undang No. 41 tahun 2004, dalam pasal 36 menyebutkan:

Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui

PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf

Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu

sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda

wakaf.

Mengenai perubahan status harta benda wakaf, dalam pasal 40

menyebutkan:

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:

1. Dijadikan jaminan

2. Disita

3. Dihibahkan

4. Dijual

5. Diwariskan

6. Ditukar

7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Dalam Pasal 41 dinyatakan:

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan

apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk

kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

tidak bertentangan dengansyariah.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas

persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

(7) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan

pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar

dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya

sama dengan harta benda wakaf semula.

(8) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

65

Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nadzir dilarang

melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin

tertulis dari Badan Wakaf Indonesia, dan Izin hanya dapat diberikan apabila harta

benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang

dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Undang-undang tentang perwakafan yang dikeluarkan oleh pemerintah,

tidak lain adalah untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah, tentang

perwakafan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat betul-betul memahami dan

menjalankan undang-undang yang telah ditetapkan itu.

Dalam perubahan harta wakaf itu sendiri tidak terlepas dari pentingnya

menjaga nilai manfaat, sebelum harta wakaf tersebut rusak seorang nadzir

mempunyai kewajiban untuk mengelola dan memelihara, akan tetapi apabila harta

wakaf memerlukan adanya perubahan, seorang nadzir juga mempunyai hak untuk

melakukan perubahan baik keadaan ataupun bentuk harta wakaf sehingga menjadi

lebih baik dan bermanfaat, apabila nadzir menghendakinya. Dalam perubahan

harta wakaf itu sendiri tidak terlepas dari pentingnya menjaga nilai manfaat,

sebelum harta wakaf tersebut rusak seorang nadzir mempunyai kewajiban untuk

mengelola dan memelihara, akan tetapi apabila harta wakaf memerlukan adanya

perubahan, seorang nadzir juga mempunyai hak untuk melakukan perubahan baik

keadaan ataupun bentuk harta wakaf sehingga menjadi lebih baik dan bermanfaat,

apabila nadzir menghendakinya.

Berdasarkan penelitian para nadzir dan tokoh agama di pondok pesantren

Darul Rahman di Jagakarsa Jakarta Selatan dan masjid Hidayatul Musyawaroh di

Condet Jakarta Timut telah memahami betapa pentingnya menjaga manfaat yang

ada pada harta wakaf yaitu dengan cara pengelolaan yang benar dimana hal

tersebut merupakan kewajiban dari nadzir dan sangat penting untuk dijaga karena

berdampak dengan kelangsungan nilai manfaat daripada harta wakaf tersebut,

yang pada akhirnya berkaitan dengan tanggung jawabnya kepada wakif, dan

kepada Allah sebagai amanah dalam amal jariyah.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Dampak Sosial

Keagamaan Terhadap Istibdal Wakaf, dengan ini penulis menyimpulkan beberapa

point penting yang menjadi inti dari pembahsan hasil penelitian ini:

1. Dalam prakteknya perwakafan yang terjadi di DKI Jakarta tidak jauh

berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Bahwa harta benda wakaf lambat

laun akan mengalami perubahan, dan membutuhkan pengelolaan wakaf

agar tetap produktif dengan cara melalui ruislag. Ada yang disebabkan

karena faktor harta wakaf tersebut tidak layak pakai, atau tidak produktif

lagi dalam penggunaannya, dan ada sebab terjadinya istibdal wakaf karena

untuk Rencana Umum Tata Ruang yang di programkan pemerintah. Oleh

sebab itu mereka menjadikan ruislag. wakaf sebagai solusi untuk

memproduktifkan harta benda wakaf.

2. Mengenai proses terjadinya konversi wakaf di DKI Jakarta, dalam hal

yang diteliti ini yang menjadi representatif adalah pondok pesantren

Daarul Rahman dan masjid Hidayatul Musyawarah, yaitu prosesnya

berdasarkan keresahan pengelola wakaf, agar bisa terus berkembang tanpa

menyalahi aturan dalam hukum islam dan sesuai dengan prosedur

peraturan ruislag yang diatur dalam PP No.42 tahun 2006 tentang aturan

pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang perwakafan.

3. Mengenai tinjauan hukum islam terhadap konversi harta benda wakaf, atau

disebut juga istibdal wakaf. Bahwa secara umum dalam hal ini ulama

madzhab berbeda pendapat. Ada yang berpendapat harta benda secara

fisiknya yang harus dipertahankan, sehingga tidak boleh diruislag attau

keberlangsungan manfaatnya yang harus dipertahankan sehingga boleh

diruislag untuk kepentingan ummat. Dalam hal ini penulis menganalisis

dan mengambil kesimpulan, bahwa pendapat yang rojih (unggul) adalah

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

67

boleh mengkonversikan harta benda wakaf hukumnya adalah

diperbolehkan, dengan catatan barang di tukar dengan barang dan nilai

harta wakaf yang ada tidak lebih kecil dibandingkan nilai harta benda

wakaf yang akan digantikan.

Begitu juga tinjauan dalam hukum posiitif tentang ruislag harta

benda wakaf, sudah diatur didalam UU No.41 Tahun 2004 tentang

perwakafan. Kemudian dalam pelaksanaannya diatur dalam PP No.42

tahun 2006 tentang aturan pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang

perwakafan, selanjutnya dengan adanya aturan tersebut, ruislag wakaf

diperbolehkan dengan catatan mengikuti prosedur aturan tersebut.

B. Saran

Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil dalam penelitian

ini, yaitu:

1. Untuk mensukseskan program-program wakaf dikalangan umat Islam

diperlukan berbaagai langkah strategis, cerdas, dan inovatif yaitu

sosialisasi tentang pemahaman wakaf dan pengelolaan wakaf yang lebih

transparansi agar lebih produktif lagi dalam meningkatkan kesejahteraan

ummat melalui wakaf. Maka BWI dan Depag yang menjadi tugas dan

wewenang dalam menangani permasalahan wakaf di Indonesia.

2. Pembinaan nazhir yang lebih intens, karena merupakan salah satu upaya

pengawasan atas pengelolaan harta benda wakaf, maka dalam

pelaksanaannya harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundangan

yang berlaku dengan tetap mempertimbangkan kepentingan umum.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

68

DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Buku

Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di

Negara Kita, Cet, Ke-4, Bandung: PT. Aditya Bakti, 1994.

Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual dari Normative ke Pemahaman Sosial,

Semarang: Pustaka Pelajar, 2004.

Al- Anshori, Abu Yahya Zakariya. Fath Al-Wahhab. Juz 1. Semarang: Toha

Putra. T.th

Al-Abiji, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia, Dalam Teori dan Praktek,

Jakarta: CV Rajawali, 1989.

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih al-Bukhari, Juz 3, T.tp.:

Dar Tauq al-Najah, 1422 H.

Al-Kabisi Muhammad Abid Abdallah, Ahkam al-Waqf al-Shari’ah al-Islamiyah,

J. II Baghdad: Matba’ah al-Irshad 1977.

al-Kabisi, M. Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Jakarta: IIman Press, 2003.

Asikin, Amirudin, Zainal , Penghantar Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-1

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,

Azam, Abdul Aziz Muhammad, Al-Fiqhul Mu’amalat, Juz 1 Kairo: Maktabah al-

risalah al-dauliyah, 1997.

Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Bimas Islam,

1999.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2004

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

69

Djunaidi, Achmad dan Thobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, Cet. Ke-5 Depok:

Mumtaz Publishing, 2008.

Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-

Undang,Tangerang: Pustaka Mandiri, 2016.

Fikri, Ali, Al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-‘Adabiyah, Vol. 2, Mesir: Mustasfa

Al-Babi al-Halabi, 1938.

Hadi, Sutrisno Metodologi Research, Cet. Ke 30 Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset,

2000.

Hakim, Abdul, Hukkum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press,2005.

Hasan bin Mansur Al-Awzundi, al- Fatawa al-Kaniyah, Juz , Mesir: Dar al-Fikr,

1310 H

Hasan, Tholhah. “Istibdal Harta Benda Wakaf”, Jurnal Al-Awqaf, Volume II,

Nomor 03 Agustus 2009.

Madkur, Muhammad Salam, al-waqf Beirut : Dar Al-Nahdah al-'Arabiyyah,1961.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006

Mughniyyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala Mal-Madzahib al-Khamsah. Terj.

Masykur, et al., “Fiqih Lima Mazhab”, Cet. Ke-5. Jakarta: Lentera, 2000.

Muhadjir, Noeng Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi ke-3, Yogyakarta: Rake

Sarasin,1996.

Muhammad Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari’ah al-Islamiyah,

Juz II. Baghdad: Matba’ah al-Irshad 1977

Muzarie Mukhlisin. Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap

Kesejahteraan Masyarakat (Implementasi Wakaf di Pondok Modern

Darussalam Gontor), Jakarta: Kementerian Agama RI.

Narbuko, Cholid, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1997.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

70

Nawawi, Hasan, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Cet. Ke-2, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1995.

Ra'ana, Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattâb, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1990.

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Rianto, Adi Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Cet. Ke-1 Jakarta: Granit

2004,

Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Perkasa, 2006.

Shomad, Abdul. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum

Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.

Tulus dkk, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat

Pengembangan Zakat dan Wakaf, Depag RI.

Tunggal, Hadi Setya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005.

Zaheah, Muhammad Abu. Muhadarat fi al-Waqf, Cairo: Matba’ah Ali

Mukhaymir, 1959

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatu, Juz VIII, Beirut: Dar-Alfikr.

B. Skripsi

Dzulkaidt, Reynaldi. Pola Penyelesaian Senketa di KUA Kecamatan Cimanggis

Kota Depok, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Jakarta 2017.

Romdhoni, Achmad Awaludin. Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah

Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kabupaten Bekasi-Jawa Barat),

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta

2014.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

78

NO ALAMAT

TANAH

WAKAF

ALAMAT

TANAH

PENUKAR

LUAS/NILAI

TANAH

WAKAF

LUAS/ NILAI

TANAH

PENUKAR

PERUNTUKA

N TANAH

WAKAF

PEMANFAATAN

TANAH WAKAF

SETELAH

DITUKAR

PEMANFA

ATAN

TANAH

PENUKAR

WAKAF

ALASAN

PENUKARA

N

1 Gang Masjid Al

falah RT 07/02

Pasar Minggu

Jakarta selatan.

Pasar Minggu

RT 08/02 Jakarta

Selatan

47m2/

Rp.43.052.000

86m2/Rp.78.776.0

00

Plus bangunan

musholla

Rp.101.500.000

Majelis Taklim

Al-Ikhlas

Musholla Al-Ikhlas Musholla

Al-Ikhlas

Musholla

sempit, tidak

dapatmenam

pung jamaah

2 Jl. Pejompongan

V Benhil, Tanah

Abang Jakarta

Pusat.

Meruya Utara,

Kemanggisan

Jakarta Barat.

123m2/

Rp.381.300.0000

243 m2/

Rp.753.300.000

Musholla Perluasan Komplek

BPK

Dibangun

masjid

Berada

ditengah-

tengah

komplek

BPK.

3 Pondok

Pesantren

Daarul Rahman,

Jl. Senopati

DalamII No. 35

A, Keb. Baru,

Jakarta Selatan

Jl.Purwaraya RT

006 RW 03 Kel.

Cipedak Kec.

Jagakarsa Jakarta

Selatan

4.601 m2

30.535 m2 Pondok

Pesantren

Pembangunan

Perusahaan

Pondok

Pesantren

4 Yayasan

Pendidikan Al-

Quran, Kel.

Smper, Kec.

Cilincing

Jakarta Utara

Kel. Rorotan,

Kec. Cilincing,

Jakrta Utara.

12.176 m2/

Rp.1.147.000,

permeter.

27.037 m2/

Rp.614.000,

permeter.

Untuk

Pembangunan

Madrasaah Al-

Quran.

Peti Kemas Akses yang

tidak

memungkink

an, karena di

kelilingi oleh

peti kemas.

TABEL I

DATA KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

79

5 Jl. AMD 28

Condet Kel.

Balekambang,

Kec. Kramatjati.

Jakarta Tmur

Mangga Dua,

Jakarta Pusat

Untuk Masjid

Hidayatul

Musyawaroh

Perluasan

pembangunan Mall

Mangga dua

Masjid

Hidayatul

Musyawaro

h

RUTR

(Remcana

Umum Tata

Ruang)

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

80

HASIL WAWANCARA

Dalam hal ini penulis melakukan wawancara kepada Ust. M. Faiz Syukron

Makmun dan KH. M. Nuruddin Munawwar selaku tokoh agama dan nazhir.

1. Apa alasan dan Bagaimana latarbelakang terjadinya konversi harta benda

wakaf ?

Untuk menggali informasi tentang apa alasan dan bagaimana

latarbelakang terjadinya konversi harta benda wakaf yang terjadi di pondok

pesantren Daarul Rahman dan masjid Hidayatul Musyawaroh.

Peneliti melakukan wawancara yang pertama adalah dengan ustadz

Muhammad Faiz selaku tokoh agama dan sekaligus selaku wakil nazhir pondok

pesantren Daarul Rahman, berikut pendapat beliau:

Wakaf pondok pesantren Daarul Rahaman ini awalnya amanah tanah

wakaf dari H. Abdurrahman diperuntukkan kegiatan pendidikanIslam. Dan

pembangunannya hasil dari kumpulan sumbangan jamaah pengajian ayah saya

(KH. Syukron Makmun). Ditahun 1990 tata kota menjadi berubah, yang

membuat banyak gedung-gedung tinggi perkantoran di sekitar pondok pesantren.

Nah, yang menjadi alasan melakukan ruislagh adalah keadaan pondok pesantren

di tengah kepadatan penduduk kota, dan banjir yang menyebabkan sulitnya

pondok pesantren untuk berkembang. Karena dengan kapasitas santri yang

kurang lebih seribu orang, ditumpuk dengan lokasi yang hanya seluas 4.601 m2,

sehingga tidak punya lapangan yang luas, dan sarana prasarana tidak dapat

dikembangkan. Kemudian seorang pengusaha bernama Maftuh Basuni

menawarkan untuk ruislagh dengan perusahaan PT. Ambal Akor.1

Selanjutnya peneliti melakukan wawancara yang kedua adalah dengan

Drs. KH.M. Nuruddin Munawwar selaku pimpinan nazir di masjid Hidayatul

Musyawaroh, berikut pendapat beliau:

1 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal

11 November 2017, pukul: 12.54 WIB

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

81

Pada tahun 1980 an asal tanah wakaf yang ada itu untuk musholla Al-

Hidayah, luas 150 m2 kurang lebih, wakafnya H. Yahya dan H. Thohir. Waktu

itu surat wakafnya tidak ada, pemberiannya pemberian langsung saja

berdasarkan kepercayaan. Lalu saya sebagai nazhir, H. Yahya dan H. Thohir

sebagai wakif sepakat wakaf itu di buat masjid. Dan disamping musholla itu ada

tanah untuk anak yatim, terus di tukar dengan tanahnya jamaah saya bernama

pak prapto sehingga wakafnya menjadi 650 m2.

Pada waktu itu di tempat saya mengajar di masjid Musyawaroh daerah

mangga dua Jakarta Pusat, ingin di bongkar karena alasan program pemerintah

RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Singkat cerita semua penduduk yang ada

di daerah tersebut digusur termasuk wakaf masjid itu. Ketika itu nazhir masjid

Musyawaroh tersebut tidak tahu ingin dipindahkan kemana. Kebetulan saya

sedang bangun masjid di condet, kemudian wakaf masjid Musyawaroh itu dibeli

oleh developer perusahaan, beerdasarkan kesepakatan nazhir dipindahkan

wakafnya untuk mengembangkan pembangunan masjid yang ada di condet,

sehingga masjid tersebut diberi nama Hidayatul Musyawaroh.2

2. Apa Hukum menukar harta benda wakaf dan merubah fungsi tanah wakaf?

Untuk mengetahui informasi tentang Hukum menukar harta benda wakaf

dan merubah fungsi tanah wakaf di pondok pesantren Daarul Rahman dan masjid

Hidayatul Musyawaroh.

Berikut pendapat ustadz Muhammad Faiz:

Hadits tentang pelarangan ruislagh wakaf saya tau, lâ yuba’, walâ yurots.

Tapi yang saya ketahui di kajian BWI seminar wakaf sedunia, bahwa ruislagh itu

bukan kepada ‘ainul waqfi (zat wakaf) nya tapi lebih kepada sabil al-manfa’at

(keberlangsungan manfaat) nya. Dan ketika kami melakukan ruislagh wakaf

melihat regulasi dan aturannya, ternyata Indonesia sudah mengadopsi pemahaman

itu, bahwa melihat kemanfaatan wakafnya bukan kepada dzat wakafnya. Karena

2 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul

Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

82

hadits tersebut di sesuaikan dengan zamannya. Mungkin zaman dulu kualitas

tanah sama saja, Tapi sekarang berbeda.

Jadi ruislagh harta benda wakaf itu boleh, mengingat bahwa sahabat Umar

RA, pernah mengganti masjid di Irak. Ini pembahasan fikih yang notabene adalah

zhonny, dan menurut peraturan pemerintahpun diperbolehkan ruislagh karena

“hukmu al-hakim yarfa’ul khilaf ” (keputusan hakim/ pemerintah memghilangkan

perbedaan). Karena kami yakin akan membawa maslahat yang lebih besar untuk

produktifitas wakaf, maka dari itu kami melakukan ruislagh wakaf.3

Dan selanjutnya pendapat kyai Nuruddin Munawwar:

Jika tidak dipindahkan masjid Musyawaroh tersebut, akan terbengkalai

dan hilang kemanfaatannya, oleh sebab itu menjaga kemanfaatan harta wakaf

adalah perbuatan baik, karena wakaf itu untuk kemashlahatan ummat.

Wakaf itu yang diambil manfaatnya bukan Syai’un Yuqof nya, sekarang

kalau Syai’un Yuqof nya sudah hilang dan manfaatnya bisa diambil, yasudah

diambil, karena Syai’un Yuqof itu hanyalah sarana, yang terpentinng manfaatnya.

Ada kitab yang menjelaskan, bahwa dzatnya wakaf itu bisa di jual. Seperti

suatu bangunan masjid, ada benda benda yang sudah tidak bisa dipakai, tapi masih

bisa dimanfaatkan untuk hal yang lain, boleh di jual, yang terpenting untuk

kepentingan dan kemanfaatan masjid itu juga.4

3. Apa dampak sosial yang terjadi setelah dilakukan konversi wakaf?

Untuk mengetahui informasi tentang dampak sosial setelah dilakukan

koversi wakaf di pondok pesantren Daarul Rahman dan masjid Hidayatul

Musyawaroh.

Berikut pendapat ustadz M. Faiz:

Setalah pondok pesantren ini di ruislagh, alhamdulillah menambah luas

tanah dan bangunan, santri lebih nyaman. Dulu di pesantren ini, yang daftar

masuk sektar 700 orang, Karena kondisi sekitar pondok pesantren ini adalah

3 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal

11 November 2017, pukul: 13.00 WIB

4 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul

Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.45 WIB

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

83

apartemen, sehingga berikisik, debu, polusi udara tidak enak, bissing dan banyak

kuli proyek yang menyebabkan santri yang daftar turun dari 1.750 orang hingga

400 orang yang daftar.

Begitu di ruislagh dan di pindah di Jagakarsa, tahun kemarin yang daftar

1.800 orang, berhubung sember daya manusia yang mengurus santri terbatas, jadi

yang diterima 750 orang. Dulu di senopati santri yang keluar dari pesantren setiap

tahunnya sekitar 200 orang dari yang daftar sekitar 400 orang santri. Dan

sekarang santri yang keluar hanya sekitar 20 orang dari yang daftar 750 orang.

Dan itu terbilang wajar, karena santri yang masuk di jagakarsa lebih banyak

dibanding santri di senopati. Karena mungkin dulu tidak nyaman belajar, sehingga

prestasi merosot. Sekarang santri lebih nyaman, lebih sehat, dan lebih banyak

kegiatan karena lokasi yang sekarang lebih nyaman dan luas sehingga fasilitas

memadai.5

Selanjutnya pendapat kyai Nuruddin:

Setelah terjadinya ruislagh, warga sini senang karena dibantu untuk

pembangunan masjid, dan pengurus masjid Musyawaroh di mangga dua juga

senang, karena msjidnya selamat, tetap dimanfaatkan untuk ibadah umat Islam.

Alhamdulillah jamaah masjid ini banyak, nyaman, dan banyak kegiatan

keagamaan di masjid ini, seperti pengajian rutin, santunan yatim Dll. Sampai saya

bisa bangun pondok pesantren di sebelah masjid ini, salah satunya berkat syiar

melalui masjid ini.6

5 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal

11 November 2017, pukul: 13.15 WIB

6 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul

Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42146/1/ADIB MUBAROKI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

84

Dokumentasi Wawancara

Wawancara dengan Ustadz M. Faiz.

Nazhir Pondok Pesantren Daarul Rahman

Wawancara dengan KH. M. Nuruddin Munawwar

Nazhir Masjid Hidayatul Musyawaroh