repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/arinda...

134
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI BUMN DI INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Arinda Diah Permata Sari NIM : 11140480000063 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2018 M

Upload: dinhthuy

Post on 12-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

ANALISIS YURIDIS

TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN

YANG BAIK DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI

BUMN DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Arinda Diah Permata Sari

NIM : 11140480000063

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2018 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

i

ANALISIS YURIDIS

TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN

YANG BAIK DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI

BUMN DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Arinda Diah Permata Sari

NIM : 11140480000063

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2018 M

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id
Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

v

ABSTRAK

Arinda Diah Permata Sari. NIM 11140480000063. “Analisis Yuridis

terhadap Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dalam

Pembentukan Holdingisasi BUMN di Indonesia. Program Studi Ilmu Hukum,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1439 H/2018 M. xi + 124 halaman.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana isu Holdingisasi yang

sedang hangat dan di terapkan kedalam perusahaan BUMN terutama di sektor-

sektor penting. Serta bagaimana Holdingisasi BUMN tersebut apabila diterapkan

prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) yang diyakini dapat

meningkatkan kinerja perusahaan dan laju perekonomian negara sesuai dengan

Undang-Undang yang berlaku.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode Penelitian

Hukum Normatif. Penelitian Hukum Normatif bersifat kepustakaan yakni

disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat

sekunder yang ada di perpustakaan. Bahan-bahan yang diperoleh berdasarkan

pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu inventarisasi peraturan-

peraturan yang berkaitan dengan proses pembentukan holdingisasi BUMN dalam

dunia perekonomian di Indonesia. Penelitian ini pun merujuk pada Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah

No. 43 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penggabungan, Peleburan, dan

Pengambilalihan BUMN, Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:

PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good

Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara, serta PP no. 72 Tahun

2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan

Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas yang digunakan sebagai dasar

pembentukan holding BUMN yang mana PP ini pula menyantumkan beberapa

Pasal yang dalam penerapannya masih menuai pro dan kontra.

Kata Kunci : Holdingisasi BUMN, holding company, Tata Kelola

Perusahaan Yang Baik, BUMN

Pembimbing : Hidayatulloh., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1989 sampai Tahun 2018

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala Puji dan Syukur, peneliti haturkan

kepada Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya peneliti dapat

menyelesaikan Skripsi yang berjudul : ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI BUMN DI INDONESIA.

Shalawat serta salam peneliti sampaikan kepada baginda penutup dari segala Nabi

dan Rasul, Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa agama Islam, yang juga

telah memberi teladan atas berpikir, dan bertindak, sehingga membawa

pencerahan terhadap manusia dari zaman Jahiliyyah menuju zaman yang penuh

akan pencerahan.

Didalam proses awal hingga penyelesaian skripsi ini, peneliti juga

berterima kasih, kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, semangat,

motivasi, nasehat serta do’a, kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Thamrin, S.H.,

M.Hum. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

memberikan bimbingan dan motivasi terhadap peneliti.

3. Hidayatulloh., M.H. Pembimbing skripsi, yang penuh dengan rasa sabar, yang

tidak hanya membimbing peneliti didalam skripsi namun juga diajang

kompetisi debat hukum, yang selalu memberi arahan, ilmu, serta do’a.

4. Kepada Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, serta kepada Perpustakaan Pusat Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

vii

untuk mengadakan studi kepustakaan, dan memberi data guna menyelesaikan

skripsi ini.

Peneliti menyadari terdapat ketidaksempurnaan di dalam skripsi ini,

maka dari itu, kritik serta saran yang membangun dibutuhkan, dalam

penyempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat

dalam khazanah pengetahuan bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 01 Oktober 2018

Peneliti,

Arinda Diah Permata Sari

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 7

D. Metode Penelitian .............................................................. 8

E. Pedoman Penulisan ............................................................ 11

F. Sistematika Penulisan ........................................................ 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual ........................................................... 13

1. Pengertian dan Ketentuan Hukum

Badan Usaha Milik Negara ........................................... 13

1.1. Pengertian Badan Usaha Milik Negara ............... 13

1.2. Sejarah Badan Usaha Milik Negara .................... 14

1.3. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara..... 17

1.4. Bentuk Badan Usaha Milik Negara ..................... 18

a. Perusahaan Perseroan (Persero) ..................... 18

b. Perusahaan Umum (perum) ............................ 19

1.5. Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara ...... 20

a. Privatisasi ................................................... 22

b. Rightsizing ................................................. 23

2. Pengertian dan Konsep Holding Company ................... 26

2.1. Latar Belakang Pendirian Holding Company ........ 29

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

ix

2.2. Tujuan Pendirian Holding Company ..................... 32

2.3. Syarat Pendirian Holding Company ...................... 34

2.4. Hubungan Hukum Holding Company

dengan Anak Perusahaan ....................................... 35

2.5. Prosedur Pembentukan Holding Company ............ 42

3. Pengaturan Holding Company

dalam Hukum Perusahaan ............................................ 43

4. Proses Pembentukan Holding BUMN .......................... 45

B. Kerangka Teori .................................................................... 59

1. Teori Kepastian Hukum ................................................ 59

2. Teori Stufenbau (Teori Piramida Hukum) .................... 62

3. Teori Efektivitas Hukum .............................................. 63

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 67

BAB III TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

PADA HOLDINGISASI BUMN

A. Profil BUMN

yang Tergabung dalam Sektor Tambang ........................... 68

B. Teori dan Prinsip

Tata Kelola Perusahaan yang Baik

Menurut Undang-Undang yang Berlaku ........................... 78

C. Tujuan dan Manfaat

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik .................. 80

D. Sumber Hukum

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance) ......................................... 83

E. Tata Kelola Perusahaan yang Baik

dalam Perundang-undangan di Indonesia .......................... 85

1. Tata Kelola Perusahaan yang Baik

pada BUMN ............................................................... 85

2. Tata Kelola Perusahaan yang Baik

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

x

pada Perbankan .......................................................... 87

3. Tata Kelola Perusahaan yang Baik

pada Perseroan Terbatas ............................................. 88

4. Tata Kelola Perusahaan yang Baik

pada Pasar Modal ....................................................... 89

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERAPAN

PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

PADA HOLDINGISASI BUMN

A. Kewajiban Penerapan Prinsip Tata Kelola

Perusahaan yang Baik pada BUMN .................................... 92

B. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik

pada Holdingisasi BUMN ditinjau dari

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara

Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan

Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance)

pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).......................... 95

C. Kewenangan Pemerintah dalam Pengelolaan

dan Pengawasan holding BUMN ......................................... 109

D. Urgensi Holding BUMN Sektor Pertambangan

bagi Perekonomian Indonesia .............................................. 114

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 118

B. Rekomendasi ........................................................................ 121

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 122

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem ekonomi merupakan salah satu alat guna mencapai tujuan

kehidupan bersama suatu bangsa atau negara.1 Perekonomian juga merupakan

hal yang sangat mendasar bagi suatu negara, karena perekonomian pun

dijadikan sebagai tolak ukur kesejahteraan rakyatnya dalam suatu negara.

Dalam hal mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui perekonomian, maka

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat, menjadi hal yang

sangat penting dalam pengaturannya:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadnung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

Pasal 33 di atas mengemukakan pentingnya sebuah peranan negara dalam

pengaturan ekonomi nasional. Sehingga dibentuknya suatu badan usaha

dengan nama Badan Usaha Milik Negara.2

Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini lebih sering disebut dengan

BUMN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003

dijelaskan bahwa pengertian dari Badan Usaha Milik Negara, yang

selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian

besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan kegiatan utamanya adalah

1Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (mikroekonomi

dan makro ekonomi),(Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2017),

ed. III, h. 477

2Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (mikroekonomi

dan makro ekonomi), (Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2017),

ed. III,h. 483

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

2

untuk mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan

digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.

BUMN berperan penting dalam penguasaan cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan orang banyak. Keberadaan BUMN diharapkan akan

mengimbangi keberadaan perusahaan-perusahaan swasta sehingga dapat

dihindari terjadinya monopoli atau penguasaan cabang-cabang produksi

tersebut oleh swasta. Namun nyatanya hingga pada saat ini BUMN masih

saja belum mencapai titik maksimal, dalam pengelolaannya masih menuai

kerugian yang cukup signifikan di beberapa bidang. Rini Soemarno, Menteri

BUMN mengatakan bahwa dalam semester I di tahun 2017 terdapat 24

BUMN yang merugi, sehingga ditargetkan sekitar 13 hingga 14 perusahaan

yang merugi di akhir tahun 2017 ini.

Menteri Rini memprediksi sampai akhir tahun masih terdapat BUMN yang

rugi seperti PT Garuda Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Kertas Leces, PT

Dirgantara Indonesia dan PT Merpati Nusantara Airlines dengan tingkat

kerugian yang berbeda.3 Beliau memprediksi pula bahwa kerugian yang

terjadi pada tahun 2017 ini sekitar 4 triliun dengan kerugian terbesar terjadi

pada PT Garuda Indonesia dan PT Krakatau Steel. Khusus untuk Garuda,

kerugian dikarenakan perusahaan ini terjebak dalam perang tarif dan rute

penerbangan internasional yang tidak efisien, sedangkan Krakatau Steel

kerugiannya membengkak disebabkan antara lain adanya dumping baja dari

China.

Merujuk pada uraian di atas dapat terlihat bahwa kesejahteraan bagi

Rakyat yang seharusnya dapat diwujudkan oleh BUMN masih belum dapat

terpenuhi secara optimal dan tertinggal jauh dengan perkembangan yang di

hasilkan oleh Badan Umum Milik Swasta yang sekarang ini kesejahteraan

rakyat sudah mulai terpengaruh oleh kegiatan produksi swasta. Sehingga di

perlukan upaya restrukturisasi untuk menyehatkan BUMN sebagai salah satu

langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna

3http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/12/22/p1bqo7354-rini-13-bumn-

masih-rugi-pada-2017

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

3

memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan agar perusahaan

tersebut dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan professional sesuai

dengan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara.

Adapun cara yang dominan dilakukan oleh Kementerian BUMN dalam

resrtukturisasi BUMN ialah Privatisasi dan Rightzing.4 Rightzing merupakan

cara yang lebih sering digunakan oleh kementrian BUMN, dalam

penerapannya Rightzing dibagi dengan beberapa metode lagi, yaitu

Merger/Konsolidasi, Stand Alone, Divestasi, Likuidasi, dan Holding, dalam

hal ini bentuk yang menarik untuk dikaji ialah bentuk holding. Karena

Holding company merupakan suatu bentuk usaha dimana terdapat satu induk

perusahaan yang mengendalikan anak-anak perusahaan yang memiliki jenis

bidang usaha yang sama.

Perusahaan holding sering disebut juga holding company atau controlling

company. Yang dimaksud dengan perusahaan holding adalah suatu

perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih

perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut

biasanya (walaupun tidak selamanya) suatu perusahaan holding memiliki

banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang bisnis yang sangat

berbeda beda.5

Melalui pengelompokkan BUMN kedalam holding dimungkinkan

terjadinya peningkatan penciptaan nilai pasar perusahaan (market value

creation) yakni usaha untuk melipat gandakan nilai perusahaan yang ada saat

ini. Disamping itu melalui holding diharapkan pula akan dapat meningkatkan

keunggulan kompetitif. Karena akan memberikan fokus dan skala usaha yang

4 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN 2004-2014, h. 80

5 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2002), h. 83.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

4

lebih ekonomis, mampu menciptakan corporate leverage6 sehingga dapat

meningkatkan keunggulan kompetitif.

Pada saat ini isu yang sangat santer dibicarakan ialah dibentuknya holding

BUMN dalam sektor tambang dimana PT Indonesia Asahan Aluminium

(Inalum) resmi ditunjuk jadi induk perusahaan (holding) BUMN industri

pertambangan. Sebagai anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT

Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Hal yang jadi perdebatan ialah

mengapa Inalum yang jadi induk dari perusahaan gabungan ini? Dimana

Inalum ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang alumunium dan

juga bagaimana status kepemilikan saham negara dalam perusahaan yang jadi

anggota holding atau anak perusahaan dari holding BUMN tersebut? Adapun

pengertian dari anak perusahaan BUMN diatur dalam Peraturan Menteri

Negara BUMN Nomor PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman

Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak

Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permeneg BUMN 3/2012”). Di

dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012 dijelaskan bahwa Anak

Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya

dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.

Kaitannya dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (good

corporate governance) disini merupakan hal yang sangat diperlukan. Prinsip

Tata Kelola Perusahaan yang Baik diperlukan untuk mendorong terciptanya

pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan

perundangundangan. Tujuan utama dari Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang

Baik adalah untuk menciptakan sistem pengendalian dan keseimbangan

(check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya

perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.

6 Corporate Leverage adalah penggunaan aset dan sumber dana (source of funds) oleh

perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan maksud agar meningkatkan

keuntungan potensial pemegang saham. Leverage adalah suatu tingkat kemampuan perusahaan

dalam menggunakan aktiva dan atau dana yang mempunyai beban tetap (hutang dan atau saham

istimewa) dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan untuk memaksimisasi kekayaan pemilik

perusahaan.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

5

Tata Kelola Perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek.

Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut

masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi

pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan

melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi

ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus

ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat

pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan

subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku

kepentingan, yang menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap

pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau

lingkungan.7

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-

01/MBU/20011 tentang Penerapan Tata Kelola Peusahaan Yang Baik (Good

Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara, dalam Pasal 2 Ayat

1 peraturan menteri ini memutuskan untuk mewajibkan BUMN di Indonesia

untuk menerapkan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik secara konsisten

dan atau menjadikan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagai

landasan operasional.8 Secara teoritis praktik prinsip Tata Kelola Perusahaan

yang Baik pada holding BUMN dapat meningkatkan nilai (valuation)

perusahaan dengan meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan tersebut agar

dapat bermanfaat bagi pendapatan negara berupa deviden, pajak, penyerapan

tenaga kerja, dan produk serta layanan yang kompetitif kepada konsumen.

Dari berbagai uraian di atas maka peneliti tertarik untuk

menganalisis bagaimana isu Holdingisasi yang sedang hangat dan di terapkan

kedalam perusahaan BUMN terutama di sektor-sektor penting, serta

bagaimana Holdingisasi BUMN tersebut apabila diterapkan prinsip tata

kelola perusahaan yang baik (GCG), yang diyakini dapat meningkatkan

7Susana Iriyani, Penerapan Tata Kelola Perusahaan, www.elearning.comunity.blog.com,

2008

8Susana Iriyani, Penerapan Tata Kelola Perusahaan, www.elearning.comunity.blog.com,

2008

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

6

kinerja perusahaan dan laju perekonomian negara sesuai dengan Undang-

Undang yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti

mengangkat judul “Analisis Yuridis terhadap Penerapan Prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang Baik dalam Pembentukan Holdingisasi BUMN

di Indonesia”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan

sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Sistem hukum yang digunakan dalam pembentukan holding BUMN

b. Dampak pembentukan holding BUMN pada perusahaan-perusahaan

lainnya, baik swasta maupun BUMN itu sendiri

c. Posisi kepemilikan saham oleh negara apabila sebuah BUMN di

bentuk menjadi holding BUMN

d. Status hukum anak perusahaan (subsidiary) dalam holding BUMN

e. Kesesuaian pembentukan holding BUMN dalam sektor tambang

dengan regulasi hukum di Indonesia

f. Kesesuaian pembentukan holding BUMN dengan prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang Baik (GCG).

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan peneliti jabarkan tidak terlalu meluas

sehingga menciptakan ketidakjelasan, maka peneliti membuat

pembatasan masalah yakni, membahas mengenai sudah sesuai atau

belum penerapan holdingisasi BUMN dengan aspek hukum yang berlaku

serta bagaimana urgensi penerapan holdingisasi BUMN sehingga harus

diterapkan di Indonesia, serta sudahkah sesuai dengan prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dalam regulasi serta

pelaksanaannya.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

7

3. Perumusan Masalah

Masalah utama yang jadi fokus pembahasan dalam penelitian ini

terkait dengan pembahasan pembentukan holdingisasi BUMN di Indonesia

khususnya dalam sektor pertambangan yang kemudian akan dikaji kembali

apakah pembentukan holdingisasi BUMN tersebut sudah sesusai atau

belum dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dalam

regulasi serta penerapannya.

Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang

telah diuraikan di atas, maka dibuat rincian perumusan masalah dalam

bentuk pertanyaan:

a. Bagaimana pembentukan holding company pada BUMN ditinjau dari

perspektif hukum?

b. Bagaimana penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik

pada holdingisasi BUMN?

c. Bagaimana kewenangan pemerintah dalam pengelolaan dan

pengawasan holding BUMN, serta Urgensi Holding BUMN Sektor

Pertambangan bagi perekonomian Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan di

atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan

penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui proses dan alur pembentukan holding pada

BUMN ditinjau dari perspektif hukum yang berlaku.

b. Untuk mengetahui selaras atau tidaknya sebuah holding BUMN

dengan regulasi yang ada apabila di terapkan prinsip Tata Kelola

Perusahaan yang Baik (GCG).

c. Untuk mengetahui apa saja kewenangan pemerintah dalam

pengelolaan dan pengawasan holding BUMN, serta Urgensi

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

8

Holding BUMN Sektor Pertambangan bagi perekonomian

Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi ini sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkaya ilmu

pengetahuan dalam hukum bisnis dalam bidang keperdataan

khususnya, utamanya segala sesuatu yang menyangkut tentang

pembentukan holding BUMN. Diharapkan penelitian ini juga dapat

memberikan kontribusinya dalam dunia perkembangan hukum bisnis

di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka

acuan dan landasan bagi peneliti lanjutan, serta diharapkan dapat

menjadi masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum

khususnya yang diharapkan dapat melengkapi pengaturan mengenai

isu terhangat dalam dunia hukum bisnis khususnya dalam

pembentukan hoding BUMN pada sektor-sektor perusahaan BUMN

yang penting, dikarenakan memang diharuskan adanya

pengembangan dari Undang-Undang tersebut yang hingga saat ini

masih dipergunakan.

D. Metode Penelitian

Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini

antara lain :

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang

bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang

akan diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan

perundang-undangan yang meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-

sumber hukum, atau peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

9

dan dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan di

bahas secara benar.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-

undangan (statue approach) yang mengacu kepada Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

2. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk

memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh

hasil penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang

dapat dipertanggung jawabkan.

Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini

sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.9

Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian jenis

ini di konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang di anggap pantas.

3. Data Penelitian dan Bahan Penelitian.

Data penelitian dan bahan penelitian yang digunakan dalam

penelitan ini, dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis bahan hukum,

diantaranya:

a. Bahan hukum primer

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum utama dalam

penelitian hukum normatif yang berupa perturan perundang-

undangan. Bahan hukum primer yang digunakan ialah Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan BUMN, Peraturan

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet 2, h. 35.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

10

Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Peusahaan Yang Baik (Good

Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara dan PP

Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan

Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan

Perseroan Terbatas.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai

kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait

dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam

majalah/media elektronik, laporan penelitian/jurnal hukum, makalah

yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah.

c. Bahan non- Hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis

normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research)

yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari dari penelusuran

literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel dan jurnal

hukum yang relevan dengan penelitian agar dapat dipakai untuk

menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecah suatu masalah.

5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis

kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut kategori masing-

masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam

usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

11

E. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun

skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif HidAyatullah Jakarta Tahun 2017”.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-

masing terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang

menjadi objek penelitian. Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai

berikut:

BAB -I : Merupakan Pendahuluan pada bab ini akan diuraikan

mengenai: Latar Belakang Masalah, Identifikasi,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka

Teoritis dan Konsepsional, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB -II : Merupakan Kajian Pustaka yang dalam bab ini akan

diuraikan mengenai kajian teoritis yang terdiri dari

pemaparan kerangka konsep yakni pengertian dan tinjauan

mengenai badan usaha milik negara, pengertian dan konsep

holding company, pengaturan holding company dalam

hukum perusahaan dan pembentukan holding bumn dalam

perspektif hukum perusahaan dan review (tinjauan ulang)

sebagai pembeda.

BAB –III : Merupakan Bab yang menguraikan tentang data penelitian,

berupa deskripsi data berkenaan dengan objek terkait

dengan tata kelola perusahaan yang baik dalam perundang-

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

12

undangan di Indonesia khususnya dalam penerapan

holdingisasi BUMN sektor tambang.

BAB -IV : Merupakan Bab yang membahas tentang analisis terhadap

penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik pada

holdingisasi bumn yang terdiri dari kewajiban penerapan

Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik Pada BUMN,

proses pembentukan Holding BUMN dan penerapan

Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada

Holdingisasi BUMN di tinjau dari Peraturan Menteri Badan

Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola yang Baik (Good Corporate

Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Serta analisis mengenai urgensi holding BUMN terhadap

perekonomian Indonesia.

BAB -V : Merupakan Penutup Bab ini merupakan bagian akhir dari

seluruh kegiatan penulisan, yang berisi kesimpulan dan

rekomendasi yang didapatkan berdasarkan paparan dari

bab-bab sebelumnya.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Pengertian dan Ketentuan Hukum Badan Usaha Milik Negara

1.1. Pengertian Badan Usaha Milik Negara

Badan Usaha Milik Negara, yang kemudian disebut dengan

BUMN telah lama dikenal dari masa sebelum proklamasi

kemerdekaan, dimana pada saat itu ditandai salah satunya dengan

didirikannya perusahaan kereta api (Spoorwagen-SS) oleh

pemerintahan Belanda.1 Hingga setelah proklamasi kemerdekaan,

setelah Belanda meninggalkan Indonesia, pemerintah

mengembangkan BUMN kembali untuk mengisi kekosongan yang

Belanda tinggalkan yang kemudian mengalami berbagai

perubahan-perubahan serta perkembangan hingga saat ini.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa peranan BUMN sangatlah

penting dalam perekonomian dan pembangunan nasional (agent of

development).2 Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor

740/KMK 00/1989 yang dimaksud dengan BUMN ialah:

“Badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara, badan usaha

yang tidak seluruh sahamnya dimiliki negara tetapi statusnya

disamakan dengan BUMN yaitu, BUMN yang merupakan

patungan antara pemerintah dengan pemerintah, BUMN yang

merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya,

dan BUMN yang merupakan badan usaha patungan dengan swasta

nasional atau asing dimana negara memiliki saham mayoritas

minimal 51%.”

BUMN diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2003 tentang BUMN ini telah mencabut tiga peraturan

1Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia (Privatisasi atau Korporatisasi),

(Jakarta:Literata Lintas Media, 2003), h. 182

2Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. xxxi

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

14

sebelumnya yaitu staatsblad 1827 Nomor 419, Perpu Nomor 19

Tahun 1960 dan mencabut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969.

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

BUMN, yang dimaksud dengan BUMN tertuang dalam Pasal 1

huruf 1, sebagai berikut:

“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN,

adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”

1.2. Sejarah Badan Usaha Milik Negara

BUMN memiliki posisi strategis dalam perekonomian dan

pembangunan ekonomi di tanah air. Hal ini terlihat dari masa awal

kemerdekaan dimana perekonomian di Indonesia belum tertata

pasca perjuangan kemerdekaan, sehingga BUMN menjadi tumpuan

pemerintah untuk pembangunan perekonomian. Hingga pada masa

berikutnya pun BUMN masih signifikan dalam pengembangan

serta pembangunan dalam perekonomian nasional, terlihat dari

perannya yang mengambil alih pembangunan di sektor-sektor yang

belum berkembang serta belum tersentuh oleh pihak swasta dan

itulah awal dari terbentuknya pembinaan dan pengaturan mengenai

BUMN disertai dengan pro kontra yang ada.3

Pada masa orde lama,4 yang terjadi ialah proses

pembentukan perusahaan negara atau BUMN baik yang terkait

dengan proses nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda maupun

proses pembentukan perangkat hukum dan kelembagaan BUMN.

Sehubungan dengan proses nasionalisasi terhadap

perusahaan Belanda, terbentuklah Undang-Undang Nomor 86

Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda

3 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 61

4 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya…, h. 62

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

15

di Indonesia. Undang-Undang tersebut merupakan dasar hukum

mengenai proses nasionalisasi perusahaan ex-Belanda di

Indonesia.5

Penataan BUMN pada masa peralihan antara akhir

pemerintahan orde lama dengan awal pemerintahan orde baru

ditandai dengan adanya penerbitan Ketetapan (Tap) MPRS nomor

XXIII/MPRS/1996, dimana pembentukan Tap MPRS tersebut

dijadikan sebagai landasan hukum bagi sektor swasta dan BUMN

dalam perekonomian nasional, terkhusus pada zaman orde baru.6

Seiring dengan berjalannya waktu serta semakin

kompetitifnya perusahaan-perusahaan yang bersaing. Maka, di

terbitkannya Instruksi Presiden oleh Presiden Soeharto, Nomor 17

Tahun 1967 yang bertujuan untuk memisahkan lembaga hukum

BUMN dengan membaginya menjadi tiga bagian, yaitu Perusahaan

Negara Jawatan (Perjan), Perusahaan Negara Umum (Perum) dan

Perusahaan Negara Perdagangan (Persero).7 Yang kemudian

landasan hukumnya lebih diperkuat dengan penerbitan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang mengatur mengenai bentuk-

bentuk usaha negara.

Dengan adanya perkembangan secara pesat di sektor

minyak pada zaman itu, maka pemerintah ikut mengambil andil

untuk lebih mendorong perekonomian nasional (yang tentu tak

lepas dari peran sektor swasta dan koperasi nasional). Langkah

yang pemerintah ambil yaitu dengan enerbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan

5 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012),, h. 64

6 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya…, h. 72

7 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya…, h. 74

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

16

dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum

(Perum) dan Perusahaan Perseroan (persero).

Pemisahan BUMN menjadi tiga kategori dengan penjelasan

bahwa perusahaan yang murni melakukan bisnis untuk

mendapatkan keuntungan yaitu Persero, perusahaan yang semi

bisnis yang memiliki sifat untuk mendapatkan keuntungan namun

juga menjalankan penugasan pemerintah yaitu Perusahaan Umum

(Perum) dan yang terakhir perusahaan yang dibentuk untuk

menjalankan penugasan-penugasan pemerintah yaitu Perusahaan

Jawatan (Perjan).

Selanjutnya penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1995 tentang Perseroan Terbatas, membuat pengelolaan BUMN

jenis persero akan tunduk dan taat dalam peraturan yang tertuang

di dalam Undang-Undang tersebut.

Penataan terhadap penerapan BUMN di Indonesia semakin

berkembang sehingga terciptalah sebuah misi penyelamatan

ekonomi nasional dengan mengadakan reformasi BUMN.8 Dimana

misi pertama yaitu melakukan pembenahan secara umum untk

meningkatkan profesionalitas pengelolaan BUMN dan peningkatan

kinerja usahanya yang akan dilaksanakan melalui tiga cara yaitu

Restrukturisasi BUMN9, Privatisasi BUMN

10 dan Profitisasi

BUMN.11

8 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012),, h. 87

9 Restrukturisasi BUMN atau peningkatan posisi kompetitif perusahaan melalui

penajaman fokus bisnis, perbaikan skala usaha dan penciptaan core competence (keunggulan yang

tidak dimiliki perusahaan lain)

10

Privatisasi BUMN (swastanisasi) atau usaha peningkatan penyebaran kepemilikan

kepada masyarakat umum dan swasta baik asing maupun domestic untuk mendapatkan akses

pendanaan, pasar, teknologi, serta kapabilitas untuk bersaing di tingkat dunia.

11 Profitisasi BUMN (kemampuan memperoleh laba) yaitu peningkatan secara agresif

efisiensi perusahaan sehigga mencapai profitabilitas dan perusahaan yang optimum.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

17

Misi kedua yaitu memberdayakan BUMN secara struktural

dan mendasar dengan cara membentuk holding BUMN dengan

tujuan untuk menciptakan BUMN yang efisien sebelum

pelaksanaan program privatisasi dan juga untuk meningkatkan

pendapatan pemerintah secara memadai, signifikan dan

berkelanjutan.

1.3. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara

Adapun tujuan didirikannya BUMN, sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha

Milik Negara yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1), yaitu:

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian

nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada

khususnya;

b. Mengejar keuntungan;

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan

barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi

pemenuhan hajat hidup orang banyak;

d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat

dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada

pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

Adapun tujuan pendirian BUMN menurut Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik negara ini

lebih lengkap apabila dibandingkan dengan yang diatur oleh

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor

19 Tahun 1960.

Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 1960 Pasal 4 Ayat (2) menyebutkan bahwa

tujuan pendirian dari BUMN ialah untuk turut membangun

ekonomi nasional sesuai dengan mengutamakan kebutuhan rakyat

dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju

masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual.

Sedang dalam pasar 5 disebutkan bahwa dalam

melaksanakan tujuannya termaksud pada Pasal 4 Ayat (2)

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

18

perusahaan negara bekerja sama dengan perusahaan daerah

swatantra dan swasta.

Dari kedua peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa

tujuan didirikannya BUMN ini tidak semata-mata untuk

mendapatkan keuntungan serta memenuhi penyediaan barang

dan/atau jasa, tetapi juga bertujuan untuk menyokong

perekonomian dan pembangunan nasional.

1.4. Bentuk Badan Usaha Milik Negara

Berawal dari Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1967

yang membagi BUMN kedalam tiga bentuk, yaitu Perusahaan

Negara Jawatan (Perjan), Perusahaan Negara Umum (Perum) dan

Perusahaan Negara Perdagangan (Persero) yang kemudian

Instruksi Presiden tersebut diperkuat dengan penerbitan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang mengatur mengenai Bentuk-

bentuk Usaha Negara.12

Kemudian disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2003 Tentang BUMN terdapat pada Pasal 9, bahwa BUMN

terdiri dari Persero dan Perum.

a. Perusahaan Perseroan (Persero)

Persero di bagi menjadi 2, yaitu Perusahaan Perseroan dan

Perusahaan Perseroan Terbuka. Sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2)

yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan ialah:

“BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya

terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%

(lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara

Republik Indonesia yang tujuannya untuk mengejar

keuntungan”.

Sedang yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan

Terbuka dijelaskan di dalam Ayat (3) yakni:

12

Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 74

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

19

“Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya

memenuhi kriteria tertentu atau persero yang melakukan

penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-

undangan di bidang pasar modal”.

Perseroan diharapkan dapat membantu pemasukan

negara dengan menyediakan barang dan/atau jasa yang

bermutu tinggi dan berdaya saing kuat guna meningkatkan

nilai perusahaan. Perseroan pun memiliki organ-organ

didalamnya yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Persero, direksi

dan dewan komisaris.

Mengingat bahwa Persero pada dasarnya merupakan

Perseroan Terbatas, maka semua ketentuan-ketentuan terhadap

Persero berlaku pula ketentuan dan prinsip-prinsip yang

berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas. Antara lain contoh Persero yakni, PT PLN (Persero),

PT Jasamarga (Persero) dan PT Telkom (Persero).13

b. Perusahaan Umum (Perum)

Pengertian Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut

Perum termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2003 Tentang BUMN Pasal 1 Ayat (4), yaitu:

“BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak

terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum

berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi

dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan”.

Perum merupakan hasil dari usulan Menteri pada Presiden

yang disertai pula oleh dasar pertimbangan setelah dikaji

bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.

Begitu pula dengan status badan hukum Perum itu sendiri

13

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya

Bakti, 2010), h. 179.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

20

diperoleh sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang

pendiriannya, sehingga ketentuan mengenai pendirian,

pembinaan, pengurusan serta pengawasan Perum diatur oleh

Perturan Pemerintah. Adapun maksud dan tujuan didirikannya

Perum termaktub dalam Pasal 36 Undang-Undang BUMN,

yaitu:

“(1) Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan

usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa

penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan

harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan yang sehat.

(2) Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai

maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1),

dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan

penyertaan modal dalam badan usaha lain”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perum memiliki

keistimewaan dalam tujuan pendiriannya dibandingkan

Persero, perbedaannya terletak pada sifat usahanya yang lebih

menitikberatkan pada pelayanan demi kemanfaatan umum,

baik pelayanan maupun penyediaan barang dan jasa. Adapun

organ Perum terdiri dari Menteri, Direksi dan Dewan

Pengawas. Berikut contoh dari perum ialah Perum Pegadaian

dan Perum Perhutani.

1.5. Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara

Istilah Restrukturisasi menurut Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2003 Tentang BUMN Pasal 1 Ayat (11), ialah:

“upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN

yang merupakan salah satu langkah strategis untuk

memperbaiki kondisi internal perusahaan guna

memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan”

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 Tentang Perseroan Terbatas di dalam penjelasan Pasal 43

huruf c, yang dimaksud dengan reorganisasi dan/atau

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

21

restrukturisasi antara lain penggabungan, peleburan,

pengambilalihan, kompensasi piutang atau pemisahan.

Menurut Djohanputro, restrukturisasi ialah upaya

menyusun ulang perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan

dengan lebih baik. Dengan melakukan restrukturisasi, perusahaan

diharapkan dapat melepaskan pendorong nilai kekayaan (value

drivers) yang selama ini tidak berfungsi dan dapat berperan dengan

baik untuk mendorong kinerja perusahaan yang pada gilirannya

meningkatkan kekayaan. Restrukturisasi dibagi menjadi tiga jenis.

Pertama, restrukturisasi portofolio atau restrukturisasi asset.

Kedua, restrukturisasi finansial atau restrukturisasi modal. Ketiga,

restrukturisasi manajemen atau organisasi.14

Namun pembagian restrukturisasi dalam pola pengelolaan

BUMN dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu restrukturisasi

sektoral, restrukturisasi korporasi dan restrukturisasi internal. Yang

dimaksud dengan restrukturisasi sektoral merupakan restrukturisasi

yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor dan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan

restrukturisasi korporasi dapat berupa peningkatan intensitas

persaingan usaha, terutama pada sektor-sektor yang terdapat

monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah serta

penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator

dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan

prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan

arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik.

Sementara itu yang dimaksud dengan restrukturisasi internal

perusahaan mencakup keuangan, organisasi/manajemen,

operasional, sistem dan prosedur.15

14

Bramantyo Djohanputro, Manajemen Keuangan Korporasi, (Jakarta:PPM,2008), h. 402

15

Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 48.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

22

Maksud dan tujuan utama dari diberlakukannya

restrukturisasi merupakan upaya pemerintah untuk menyehatkan

serta meningkatkan kinerja dan efisiensi BUMN agar dapat

beroperasi secara efisien, transparan dan profesional. Adapun

tujuan restrukturisasi dituangkan di dalam UU BUMN Pasal 72

Ayat (2):

a. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;

b. memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada negara;

c. menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang

kompetitif kepada konsumen dan;

d. memudahkan pelaksanaan privatisasi.

Adapun cara yang dominan dilakukan oleh Kementerian

BUMN dalam resrtukturisasi BUMN ialah Privatisasi dan

Rightsizing.16

a. Privatisasi

Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

pada Pasal 1 Ayat (12) memberikan definisi mengenai

privatisasi. Bahwa yang dimaksud dengan privatisasi ialah:

“penjualan saham Persero, baik sebagian maupun

seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan

kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi

negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham

oleh masyarakat.”

Privatisasi merupakan upaya untuk meningkatkan peran

persero, sehingga diharapkan dapat terjadi peningkatan pada

kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan rakyat

atas persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian

nasional.

Menurut Nugroho dan Wrihatnolo, manfaat privatisasi

dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat skala makro ekonomi

dan manfaat skala mikro BUMN. Dari sisi makro ekonomi,

privatisasi bermanfaat untuk membantu pemerintah

16

Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2004-2014, h. 80

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

23

mendapatkan dana pembangunan, sebagai pengganti kewajiban

setoran tambahan pemerintah, mendorong pasar modal dalam

negeri. Sedangkan dari sisi skala mikro BUMN bermanfaat

untuk restrtukturisasi modal, keterbukaan pengelolaan

perusahaan, peningkatan efisiensi dan produktivitas, perubahan

budaya perusahaan.17

b. Rightsizing

Rightsizing BUMN merupakan jumlah dan skala usaha

BUMN dalam komposisi yang tepat (right).18

Hal ini dilakukan

dalam rangka upaya pembinaan lebih lanjut untuk lebih

meningkatkan kinerja dan nilai BUMN.

Rightsizing merupakan cara yang lebih sering digunakan

oleh kementrian BUMN, dalam penerapannya Rightsizing

dibagi dengan beberapa metode lagi, yaitu Merger/Konsolidasi,

Stand Alone, Divestasi, Likuidasi, dan Holding.

a. Merger/Konsolidasi

Merger merupakan upaya penggabungan secara

hukum atas satu atau lebih perseroan, yang kemudian

diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 Ayat (9), yakni:

“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang

dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk

menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah

ada dan mengakibatkan aktiva dan pasiva dari

perseroan yang menggabungkan diri beralih karena

hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan

dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang

menggabungkan diri berakhir karena hukum.”

17

Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN,

(Jakarta:ELex Media Kompetindo, 2008), h. 73-74

18Sekhar Chandra Pawana, Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) dalam kebijakan Rightsizing BUMN, Naskah Publikasi , Universitas Atma

Jaya Yogyakarta, h. 9

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

24

Dalam konteks bisnis, merger merupakan suatu

transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi

menjadi satu unit ekonomi yang baru, sedangkan dalam

konsolidasi, dua perusahaan atau lebih bergabung untuk

membentuk suatu perusahaan yang benar-benar baru.19

Dan secara garis besar, kriteria yang menjadi acuan

bagi BUMN yang akan melakukan merger atau

konsolidasi yaitu:20

a) Jenis usaha dan segmen pasar sama;

b) Kompetisi tinggi;

c) Mayoritas saham dimiliki pemerintah;

d) Going Concern diragukan, namun masih

memiliki potensi untuk digabung dengan

BUMN lain.

b. Stand Alone

Kebijakan stand alone (BUMN seperti sediakala)

atau membiarkan BUMN tidak dilakukan

penggabungan maupun kosolidasi. Hal tersebut

diterapkan untuk mempertahankan keberadaan BUMN-

BUMN tertentu utamanya yang memiliki salah satu

kriteria sebagai berikut:21

a) Market share cukup signifikan dan mengandung

unsur keamanan;

b) Single player atau masuk sebagai pemain utama;

c) Belum memiliki potensi untuk di-merger

ataupun holding;

19

Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 11

20

Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 53

21 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 52

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

25

d) Keberadaannya berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku dan umumnya

captive market.

c. Divestasi

Divestasi merupakan proses pengurangan asset baik

dalam bentuk finansial maupun barang, dapat juga

dikatakan sebagai penjualan dari bisnis yang dimiliki

oleh perusahaan (kebalikan dari investasi terhadap asset

yang baru). Dan kebijakan ini merupakan kebijakan

yang diutamakan bagi investor dalam negeri atau

melalui proses akuisisi dan/atau merger/konsolidasi

oleh BUMN lain dengan kriteria sebagai berikut:22

a) Berbentuk persero;

b) Berada pada sektor usaha atau industry yang

kompetitif atau unsur teknologinya cepat

berubah:

c) Bidang usahanya menurut Undang-Undang

tidak secara khusus harus dikelola oleh BUMN;

d) Tidak bergerak disektor pertahanan dan

keamanan.

e) Tidak mengelola sumber daya alam yang

menurut ketentuan peraturan perundangan tidak

boleh diprivatisasi;

f) Tidak bergerak disektor tertentu yang oleh

pemerintah diberikan tugas khusus untuk

melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan

dengan kepentingan masyarakat;

g) Memenuhi ketentuan/peraturan pasar modal

apabila privatisasi dilakukan melalui pasar

modal.

22 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 54

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

26

d. Likuidasi

Dalam masterplan BUMN 2010-2014 di jelaskan

bahwa Kebijakan likuidasi dilakukan untuk BUMN-

BUMN yang tidak memiliki kewajiban Public Service

Obligation (PSO), berada dalam sektor yang kompetitif,

skala usaha kecil, mengalami kerugian selama beberapa

tahun dan mempunyai ekuitas yang negatif.23

e. Holding Company

Pembentukan holding dilakukan terhadap BUMN

yang berada di dalam sektor yang sama, memiliki

tingkat kompetisi yang tinggi, memiliki prospek bisnis

yang bagus, serta kepemilikan yang dimiliki masih

dominan.

Pembentukan holding ini pun memiliki kriteria dimana

BUMN-BUMN yang akan di bentuk menjadi holding berada pada

sektor usaha yang sama, jenis usaha yang berbeda, segmen pasar

yang berbeda, kompetisi yang tinggi, memiliki prospek bisnis yang

baik, dan pemerintah merupakan pemilik mayoritas.24

2. Pengertian dan Konsep Holding Company

Perusahaan holding sering juga disebut dengan holding company,

parent company, atau controlling company. Holding Company

merupakan suatu bentuk dari perkembangan yang timbul di perseroan

terbatas di Indonesia. Akan tetapi hukum perusahaan di Indonesia belum

mengatur secara yuridis mengenai holding company. Oleh karenanya

belum ada pengertian resmi mengenai holding company. Adapun

beberapa pengertian holding company menurut para pakar:

23 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 54

24 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok

Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 196

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

27

Menurut Munir Fuady “holding company merupakan suatu perusahaan

yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih

perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain

tersebut.”25

Sementara itu, Komaruddin menyatakan bahwa “Holding

company adalah suatu badan usaha yang didirikan dengan tujuan

untuk menguasai sebagian besar saham dari badan usaha yang akan

dipengaruhinya.”26

Pengertian holding company yang berbeda terdapat pula pada

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1960

mengenai Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan N.V. Semarangsche

Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer di

Semarang. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun

1960 menyatakan bahwa S.S.P.V. dipecah-pecah menjadi beberapa

perusahaan berbentuk badan hukum yang berdiri sendiri untuk

memudahkan pengoperasiannya kepada perusahaan-perusahaan

nasional, sedangkan S.S.P.V. sebagai holding company memegang

seluruh saham N.V-N.V baru itu, yang terdiri dari N.V. Semarang

Veer dan N.V. Semarang Dock Works.27

Holding Company adalah suatu perusahaan yang mengendalikan

atau menentukan organ kepentingan dan memegang lebih dari

setengah dari total jumlah saham yang dikeluarkan oleh perusahaan

lain. Oleh karena itu holding company dapat diartikan sebagai induk

perusahaan (Parent Company) atau controlling company disebabkan

perusahaan tersebut memiliki kepentingan terhadap anak-anak

25

Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h.84

26

Komaruddin, Ekonomi Perusahaan dan Manajemen, (Alumni,1982), h. 161 27

Penjelasan Umum, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1960

Tentang Perusahaan N.V. Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V.

Semarang Veer

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

28

perusahaan.28

Sedangkan definisi anak perusahaan dapat dilihat dalam

Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang

Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha

Milik Negara Pasal 1 huruf e anak perusahaan diartikan sebagai:29

“Anak Perusahaan adalah Perseroan Terbatas yang dikendalikan oleh

BUMN secara langsung atau tidak langsung melalui anak perusahaan

dengan memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) saham dengan

hak suara, atau memiliki 50% (lima puluh persen) saham dengan hak

suara atau kurang dari 50% (lima puluh persen) saham dengan hak

suara memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) hak suara

berdasarkan perjanjian dengan pemegang saham pemilik modal

lain;

2. Memiliki hak untuk menentukan kebijakan dibidang keuangan

dan operasional perusahaan berdasarkan Anggaran Dasar atau

perjanjian;

3. Mempunyai kemampuan untuk mengangkat atau

memberhentikan mayoritas anggota Direksi dan

Komisaris/Dewan Pengawas, dan atau;

4. Mempunyai kemampuan untuk mengendalikan mayoritas suara

dalam rapat Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas

perusahaan.”

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

keberadaan Holding Company akan selalu disertai dengan keberadaan

satu atau lebih perusahaan lain dibawah kendalinya yang disebut

sebagai anak perusahaan (subsidary company).

Ditinjau dari kegiatan perusahaan induk, holding company dapat

dibagi menjadi dua jenis yaitu:30

a. Investment Holding Company

28

Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h. 83.

29

Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan

Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 huruf e

30

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 25

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

29

Pada investment holding company induk perusahaan hanya

melakukan penyertaan saham pada anak perusahaan, tanpa

melakukan kegiatan pendukung ataupun kegiatan operasional.

Induk perusahaan memperoleh pendapatan hanya dari deviden

yang diberikan oleh anak perusahaan.

b. Operating Holding Company

Pada operating holding company, induk perusahaan

menjalankan kegiatan usaha dan mengendalikan anak perusahaan.

Kegiatan usaha induk perusahaan bisaanya akan menentukan jenis

izin usaha yang harus dipenuhi oleh induk perusahaan tersebut.

2.1. Latar Belakang Pendirian Holding Company

Ketika suatu perusahaan telah berkembang serta menjadi

perusahaan yang besar sehinga perusahaan tersebut perlu

dipecah-pecah menjadi sebuah perusahaan yang mandiri sesuai

dengan golongan bisnisnya. Perusahaan-perusahaan tersebut

akan menjadi sebuah perseroan terbatas yang masih dalam

kepemilikan yang sama dengan pengontrolan yang

tersentralisasi dalam batas-batas tertentu yag di komandoi oleh

suatu Perseroan Terbatas pula. Perusahaan atau Perseroan

Terbatas yang mengomandoi ini yang disebut dengan holding

atau Induk Perusahaan.31 Adapun bentuk Holding Company di

Indonesia atau yang dikenal juga dengan perusahaan grup, yaitu:

Sinar Mas Group, Salim Group, Bakrie Group, Lippo Group,

dan lain sebagainya.

Pada dunia bisnis perusahaan grup menjadi bentuk usaha

yang banyak dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia.

Pembentukan atau pertumbuhan perusahaan grup ini tidak dapat

dilepaskan dari realitas bisnis yang terjadi, ketika pengelolaan

31 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h. 83.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

30

usaha melalui perusahaan grup dianggap lebih memberikan

manfaat ekonomi dibandingkan dengan perusahaan tunggal.

Perubahan dari perusahaan tunggal menjadi perusahaan grup

merupakan implikasi dari perubahan strategi dan struktur suatu

perusahaan.32

Berikut adalah dua alasan utama pembentukan atau

pengembangan perusahaan grup:33

a. Upaya mengakomodasi peraturan perundangan-

perundangan.

Peraturan perundang-undangan, yang berimplikasi

kepada terbentuknya perusahaan grup biasanya melibatkan

kepentingan ekonomi pengelolaan kekayaan negara/daerah

dari badan usaha milik negara atau daerah. Peraturan

perundang-undangan yang berimplikasi kepada

terbentuknya perusahaan grup antara lain:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1960 tentang

Nasionalisme Semarangsche Stoomboot En Prauwen

Veer (S.S.P.V) dan Semarang Veer yang berimplikasi

kepada terbentuknya perusahaan grup melalui pemisahan

usaha S.S.P.V sebagai Holding Company yang

memegang seluruh sahamsaham dari N.V. Semarang

Veer dam N.V Semarang Dock Works. Pembentukan

Holding Company S.S.P.V dicapai melalui pemisahan

usaha.

2) Surat Menteri Keuangan No/ 5-326/MK.016/1995

mengenai konsolidasi tiga pabrik semen milik

pemerintah yaitu PT. Semen Tonasa, PT. Semen Padang,

32

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 2-3.

33

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 64-65

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

31

dan PT. Semen Gresik. Konsolidasi terhadap ketiga

pabrik semen milik pemerintah berimplikasi kepada

terbentuknya Grup Semen Gresik yang terdiri dari PT

Semen Gresik sebagai induk perusahaan, sedangkan PT

Semen Tonasa dan PT Semen Padang sebagai anak

perusahaan.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 mengenai

pengalihan kepemilikan seluruh saham Pemerintah pada

industri pupuk PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan

Timur Tbk., PT Petrokimia Gresik yang dialihkan

kepemilikannya kepada PT Pupup Sriwidjaja (Persero).

b. Strategi perusahaan untuk memperoleh manfaat ekonomi

konstruksi perusahaan grup.

Alasan kedua yang mendorong pembentukan atau

pengembangan perusahaan grup adalah bagian strategi

perusahaan untuk memperoleh manfaat ekonomi atas

pembentukan atau pengembangan perusahaan grup.

Pembentukan atau pengembangan konstruksi perusahaan grup

merupakan artikulasi strategi perusahaan melalui ekspansi

usaha bagi tercapainya penguasaan ekonomi dalam skala yang

lebih besar atau menjamin ketersediaan penyediaan bahan

yang dapat berkelanjutan.34

Selain itu, alasan ekonomi pembentukan perusahaan grup

atau holding comopany antara lain meliputi upaya mendorong

proses penciptaan nilai, mensubtitusi definisi manajemen di

anak-anak perusahaan, mengoordinasikan langkah untuk

menembus akses ke pasar internasonal, mencari sumber

pendapatan yang lebih murah, mengalokasikan modal dan

34

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 69.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

32

melakukan investasi yang strategis, dan mengembangkan

kemampuan manajemen puncak.

Apapun yang menajdi alasan pembentukan holding

company/perusahaan grup diatas, tidak menghilangkan tujuan

pembentukan perusahaan grup untuk memperoleh manfaat

ekonomi atau tergabungnya induk dan anak-anak perusahaan.

2.2. Tujuan Pendirian Holding Company

Tujuan pendirian Holding Company pada umumnya yaitu

untuk menciptakan suatu kelompok usaha yang kuat, stabil, dan

dapat memupuk keuntungan bagi perusahaan dengan satu induk

pemilik saham mayoritas sehingga dapat mengontrol dan

mengarahkan kegiatan anak perusahaan. Munir Fuady dalam

bukunya yang berjudul Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum

Bisnis mengungkapkan keuntungan dari keberadaan suatu holding

company, yaitu:35

a. Kemandirian risiko

Karena masing-masing anak perusahaan merupakan badan

hukum yang berdiri sendiri yang kemudian secara legal terpisah

satu sama lain, maka pada prinsipnya setiap kewajiban, risiko

dan klaim dari pihak ketiga terhadap suatu anak perusahaan

tidak dapat dibebankan kepada anak perusahaan yang lain,

walaupun masing-masing anak perusahaan tersebut masih dalam

suatu grup usaha, atau dimiliki oleh pihak yang sama. Namun

demikian, prinsip kemandirian anak perusahaan ini dalam

beberapa hal dapat diterobos.

b. Hak pengawasan yang lebih besar

Perusahaan holding dapat melakukan kontrol yang lebih

besar terhadap anak perusahaan, sungguhpun misalnya memiliki

35 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h. 92-93

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

33

saham di anak perusahaan kurang dari 50%. Hal seperti ini dapat

terjadi antara lain dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Eksistensi perusahaan holding dalam anak perusahaan

sangat diharapkan oleh anak perusahaan. Bisa jadi

disebabkan karena perusahaan holding dan/atau

pemiliknya sudah sangat terkenal.

2) Jika pemegang saham lain selain perusahaan holding

tersebut banyak dan terpisah-pisah.

3) Jika perusahaan holding diberi hak veto.

c. Pengontrolan yang lebih mudah dan efektif

Perusahaan holding dapat mengontrol seluruh anak

perusahaan dalam suatu grup usaha, sehingga kaitannya lebih

mudah diawasi.

d. Operasional lebih efisien

Dapat terjadi bahwa atas prakarsa dari perusahaan holding,

masing-masing anak perusahaan dapat saling bekerja sama,

saling membantu satu sama lain, saling meminjam sumber daya

manusia dan sebaginya. Disamping itu, kegiatan masing-masing

anak perusahaan tidak overlapping, sehingga dapat

meningkatkan efisiensi perusahaan.

e. Kemudahan sumber modal

Karena masing-masing anak perusahaan lebih besar dan

lebih bonafit dalam suatu kesatuan dibandingkan jika masing-

masing lepas satu sama lain, maka kemungkinan mendapatkan

dana oleh anak perusahaan dari pihak ketiga relatif lebih besar.

Disamping itu, perusahaan holding maupun anak perusahaan

lainnya dalam grup yang bersangkutan dapat memberikan

berbagai jaminan hutang terhadap hutangnya anak perusahaan

yang lain dalam grup yang bersangkutan.

f. Keakuratan keputusan yang diambil

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

34

Karena keputusan diambil secara sentral oleh perusahaan

holding, maka tingkat akurasi keputusan yang diambil dapat

lebih terjamin dan lebih prospektif. Hal ini disebabkan,

disamping karena staf manajemen perusahaan holding

mempunyai kesempatan untuk mengetahui persoalan bisnis

lebih banyak, karena dapat memperbandingkan dengan anak

perusahaan lain dalam grup yang sama, bahkan mungkin belajar

dari pengalaman anak perusahaan lain tersebut, walaupun

begitu, manfaat seperti ini tidak dipunyai perusahaan dalam grup

konglomerat investasi.

2.3. Syarat Pendirian Holding Company

Pendirian Holding Company di Indonesia pada dasarnya belum

memiliki aturan yang pasti, karena belum ada ditetapkan mengenai

Undang-Undang tentang holding company di Indonesia sampai saat

ini. Karena bentuk holding company di Indonesia pada umumnya

berbentuk Perseroan Terbatas maka syarat dan ketentuan pendirian

holding company tunduk kepada aturan dalam Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam

mendirikan Perseroan Terbatas harus lebih dahulu dipenuhi

persyaratan yang terdapat di dalam Pasal 7 Undang-Undang

Perseroan Terbatas, yaitu:

1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta

notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada

saat Perseroan didirikan.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tidak berlaku

dalam rangka Peleburan.

4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal

diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan

hukum Perseroan.

5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan

pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam

jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak

keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib

mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau

Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

35

6) Dalam hal jangka waktu segaimana dimaksud pada Ayat 5 telah

dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari dua (dua) orang,

pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala

perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak

yang berkepentingan pengadilan negeri dapat membubarkan

Perseroan Tersebut.

7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)

orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dan

ketentuan oada Ayat (5) serta Ayat (6) tidak berlaku bagi:

a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara atau;

b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kriling,

dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian

dan lembaga sebagimana diatur dalam undang- undang

tentang Pasar Modal.

Berdasarkan isi Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa untuk

mendirikan suatu holding company yang berbentuk perseroan terbatas

harus memiliki dua atau lebih pemegang saham, kecuali perusahaan

holding dimiliki oleh negara atau lembaga-lembaga sebagimana yang

diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal. Perusahaan yang didirikan

harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak

bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, ketertiban

umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Undang-

Undang Perseroan Terbatas.

Dari bunyi Pasal 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas dapat

disimpulkn bahwa keberadaan bentuk investment holding company

adalah bentuk holding company yang tidak diperbolehkan di Indonesia

karena investmen holding company karena perusahaan induk tidak

menjalankan kegiatan usaha. Maka dari itu bentuk holding yang

diperbolehkan di Indonesia adalah Operating Holding Company.

2.4. Hubungan Hukum Holding Company dengan Anak Perusahaan

Perusahaan induk dan perusahaan anak merupakan dua entitas

hukum yang berbeda dan terpisah namun memiliki keterkaitan dalam

segi ekonomi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas maka

hubungan antara induk dengan anak perusahaan akan dibahas oleh

sub-bab dibawah ini:

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

36

a. Keterkaitan antara Holding Company dengan anak

perusahaannya

Kepemilikan suatu perseroan atas saham pada

perseroan lain melahirkan keterkaitan induk perusahaan dan

anak perusahaan sehingga induk perusahaan dapat

menggunakan hak suara dalam RUPS anak perusahaan,

mengangkat anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak

perusahaa, ataupun melakukan mengalihkan pengendalian

terhadap anak perusahaan kepada perseroan lain melalui kotrak

pengendalian. Keterkaitan antara induk terhadap anak

perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok disebabkan

oleh adanya hal-hal berikut ini:36

1) Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak

perusahaan

Kepemilikan induk atas saham anak perusahaan

dalam jumlah signifikan memberikan kewenangan kepada

induk perusahaan untuk bertindak sebagai pemimpin

sentral yang mengendalikan anak-anak perusahaan sebagai

kesatuan manajemen. Salah satu fungsi kepemilikan

saham induk perusahaan pada anak perusahaan adalah

zeggenschapsfunctie. Zeggenshapsfunctie kepemilikan

saham pada anak perusahaan memberikan hak suara

kepada induk perusahaan untuk mengendalikan anak

perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian

yang ada seperti rapat umum pemegang saham untuk

mendukung beleggingsfunctie dari konstruksi perusahaan

kelompok sebagai kesatuan ekonomi.

2) Rapat Umum Pemegang Saham

36

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h.. 96-97.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

37

Induk perusahaan memiliki kewenangan untuk

mengendalikan anak peusahaan melalui mekanisme RUPS

anak perusahaan. Dalam RUPS anak perusahaan, induk

perusahaan dapat menetapkan hal-hal stratejik yang dapat

mendukung pencapaian tujuan perusahaan kelompok

sebagai kesatuan ekonomi, antara lain melalui penetapan

sasaran jangka panjang perusahaan dalam bentuk business

plan selama lima tahun yang dikenal dengan rencana

stratejik. Dalam rencana stratejik ini, direksi induk

perusahaan menetapkan kebijakan dasar perusahaan yang

terdiri dari visi, misi, budaya serta sasaran strategi

perusahaa. Kebijakan dasar induk perusahaan ini diikuti

oleh semua anak perusahaan dalam menyusun

perencanaan jangka masing-masing.

3) Penempatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris

anak perusahaan

Melalui kepemilikan hak atas saham anak

perusahaan, induk perusahaan memiliki kewenangan

untuk menempatkan anggota direksi dan/atau dewan

komisaris induk perusahaan untuk merangkap menjadi

direksi dan/atau dewan komisaris induk perusahaan untuk

merangkap menjadi direksi atau dewan komisaris anak

perusahaan. Penempatan orang-orang induk perusahaan

pada anak-anak perusahaan merupakan bentuk

pengendalian secara tidak langsung terhadap kegiatan

operasional anak perusahaan. Dengan fungsi pengendalian

tersebut, induk perusahaan dapat memgetahui

perkembangan kegiatan usaha masing-masing anak

perusahaan.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

38

4) Keterkaitan melalui Perjanjian Hak Bersama

Keterkaitan induk dan anak perusahaan juga dapat

terjadi karena perjanjian hak bersuara yang dilakukan

antara pemegang saham pendiri, yang menyepakati bahwa

penunjukan direksi dan dewan komsaris ditentukan oleh

salah satu pemegang saham pendiri. Perjanjian semacam

ini terjadi pada perusahaan kelompok yang merupakan

badan usaha milik negara, yang sering disebut dengan

saham merah putih dan disebut dengan Saham seri A.

5) Keterkaitan melalui kontrak

Perseroan dapat menyerahkan kendali atas

manajemen kepada perseroan melalui Perjanjian

Pengelolaan Perusahaan. Keterkaitan induk dan anak

perusahaan dalam konstruksi perusahaan tidak

menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status badan

hukum induk dan anak perusahaan sebagai subjek hukum

mandiri. Keterkaitan induk dan anak perusahaan memberi

kewenangan kepada induk perusahaan untuk bertindak

sebagai pemimpin sentral yang megendalikan anak

perusahaan dalam mendukung tujuan perusahaan sebagai

suatu kesatuan ekonomi.

b. Kemandirian Badan Hukum Induk dan Anak Perusahaan

Perusahaan holding yang merupakan suatu badan hukum

(legal entity) yang mandiri dan terpisah dengan badan hukum

lainnya, maka anak perusahaan juga pada umumnya juga

berbentuk Perseroan Terbatas, yang tentu juga mempunyai

kedudukan yang mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak

perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

39

dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara

yuridis dengan harta pemegang sahamnya.37

Terhadap induk dan anak perusahaan yang berbadan hukum

mandiri, berlaku prinsip hukum yang menjadi pondasi dasar

perseroan terbatas yang meliputi pengesahan badan hukum,

status badan hukum perseroan sebagai subjek hukum mandiri

atau separate legal entity dan limited liability. Kemandirian

yuridis anak perusahaan tidaklah menghalangi kewenangan

induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan.

Sebaliknya, pengendalian induk perusahaan tidak

menghapuskan kemandirian yuridis status badan hukum anak

perusahaan. Berdasarkan prinsip kemandirian badan hukum

tersebut, maka pada prinsipnya secara hukum, maka

perusahaan holding dalam kedudukannya sebagai induk

perusahaan tidak punya kewenangan hukum untuk mencapuri

manajemen dan policy anak perusahaan.38

Menurut teori ilmu hukum, maka keterlibatan perusahaan

holding terhadap anak perusahaan yang hanya dimungkinkan

dalam hal-hal sebagai berikut:39

1) Melalui direktur dan komisaris yang diangkat oleh

perusahaan holding sebagai pemegang saham, sejauh

tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.

2) Melalui hubungan yang kontraktual. Juga sejauh tidak

bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.

37 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h. 133.

38

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 98

39 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h. 133.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

40

c. Tanggung jawab hukum holding company dan anak perusahaan

dalam perusahaan grup

Konstruksi hukum antara Perusahaan induk dengan Anak

Perusahaan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang

menggunakan prinsip hukum mengenai kemandirian badan hukum

induk dan anak perusahaan untuk bertindak sebagai subyek hukum

mandiri dan berhak melakukan perbuatan hukum sendiri.

Berdasarkan prinsip hukum tersebut maka berimplikasi:

1) Induk perusahaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan

hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan.

2) Berlakunya prinsip limited liability (prinsip keterbatasan

tanggung jawab) yang melindungi perusahaan induk sebagai

pemegang saham anak perusahaan untuk tidak

bertanggungjawab melebihi nilai investasi atas

ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan tanggung

jawab hukum dengan pihak ketiga.

Prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung

jawab) kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham anak

perusahaan sesuai mengacu pada ketentuan Pasal 3 Ayat 1

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas dimana dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan

tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham

yang dimilikinya.

Namun Induk perusahaan akan bertanggungjawab terhadap

permasalahan hukum anak perusahaan dalam hal-hal :40

1) Induk Perusahaan turut menandatangani perjanjian yang

dilakukan anak perusahaan dengan pihak ketiga anak perusahaan

2) Induk Perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee atas

perjanjian anak perusahaan dengan kreditor

40M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar

Grafka,201), h. 74

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

41

3) Induk perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga dari anak perusahaan.

Pada prinsipnya induk perusahaan dapat dikenakan

tanggung jawab hukum sebagai akibat dominasi induk

perusahaan terhadap pengurusan anak perusahaan yang

menjalankan instruksi induk perusahaan, namun hukum

perseroan kita masih mempertahankan pengakuan yuridis

terhadap status badan hukum induk dan anak perusahaan sebagai

subjek hukum mandiri. Hukum perseroan memberikan

perlindungan kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham

anak perusahaan dengan berlakunya prinsip limited liability atas

ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan seluruh

tanggung jawab hukum pada pihak ketiga.

Keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan dalam

konstruksi perusahaan grup menyebabkan induk perusahaan

memiliki peran ganda sebagai pemegang saham anak perusahaan

sekaligus pimpinan sentral perusahaan grup. Kedudukan induk

perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan

menyebabkan induk perusahaan tidak hanya bertanggungjawab

sebesar nilai saham mengingat peran ganda perusahaan induk.

Tanggung jawab ini diarahkan kepada perluasan tanggung jawab

hukum induk perusahaan sebagai pemegang saham sekaligus

sebagai pimpinan sentral perusahaan grup dengan menerapkan

prinsip Piercing the corporate veil dan prinsip keseimbangan

yang berkeadilan antara hak dan kewajiban induk perusahaan

sehingga induk perusahaan memiliki kewajiban untuk

bertanggungjawab atas segala akibat hukum yang muncul dari

hubungan tersebut.41

41 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar

Grafka,201), h. 74

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

42

2.5. Prosedur Pembentukan Holding Company

Setidak-tidaknya proses pembentukan perusahaan holding dapat

dilakukan dengan 3 (tiga) prosedur, yaitu: prosedur residu, prosedur

penuh, prosedur terprogram.42

a. Prosedur residu

Dalam hal ini, perusahaan asal dipecah-pecah sesuai dengan

masing-masing sektor usaha. Perusahaan yang dipecah-pecah tersebut

telah menjadi perusahaan yang mandiri, sementara sisanya (residu)

dari perusahaan asal dikonversi menjadi perusahaan holding, yang

juga memegang saham pada perusahaan pecahan tersebut dan

perusahaan-perusahaan lainny jika ada.

b. Prosedur penuh

Prosedur penuh ini sebaiknya dilakukan jika sebelumnya tidak

terlalu banyak terjadi pemecahan/pemandirian perusahaan, tetapi

masing-masing perusahaan dengan kepemilikan yang

sama/berhubungan saling terpencar-pencar, tanpa terkonsentrasi

dalam suatu perusahaan holding. Dalam hal ini, yang menjadi

perusahaan holding bukan sisa dari perusahaan asal seperti pada

proses residu, tetapi perusahaan penuh dan mandiri. Perusahaan

mandiri calon perusahaan holding ini dapat berupa:

1) Dibentuk perusahaan baru, ataupun

2) Diambil alih dari suatu perusahaan yang sudah ada tetapi masih

dalam kepemilikan yang sama atau berhubungan, ataupun

3) Diakuisisi perusahaan lain yangg sudah terlebih dahulu ada,

tetapi dengan kepemilikan yang berlainan dan tidak mempunyai

keterkaitan satu sama lain.

c. Prosedur terprogram

Menyadari akan pentingnya perusahaan holding

menyebabkan para pebinis sejak awal memulai bisnisnya sudah

42 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra

Aditya Bakti,1999), h. 84-88.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

43

terpikir untuk membentuk suatu perusahaan holding. Karenanya,

perusahaan yang pertama sekali didirikan dalam grup nya adalah

perusahaan holding. Kemudian untuk setiap bisnis yang dilakukan,

akan dibentuk atau diakuisisi perusahaan lain, dimana perusahaan

holding sebagai pemegang saham bisaanya bersama-sama dengan

pihak lain sebagai partner bisnis. Demikian, maka jumlah

perusahaan baru sebagai anak perusahaan dapat terus berkembang

jumlahnya seirama dengan perkembangan bisnis dari grup usaha

yang bersangkutan.43

3. Pengaturan Holding Company dalam Hukum Perusahaan

Dalam peraturan perundang-perundangan di Indonesia, tidak ada

yang mengatur secara spesifik mengenai holding company atau parent

company atau perusahaan induk.

M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan, bahwa di Amerika, ada juga

yang mengatur dan mendefiinisikan Parent Company atau Holding

Company, Subsidiary dan Affiliate. Menurut Yahya, Parent atau Holding

Company merupakan penciptaan Perseroan yang khusus disiapkan

memegang saham Perseroan lain untuk tujuan investasi baik tanpa

maupun dengan “kontrol” yang nyata (without or with actual control).44

Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menjelaskan apa yang dikemukakan di

Amerika, hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan pada

Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas (“Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995”).

Penjelasan ini mengatakan, yang dimaksud dengan “Perusahaan Anak”

43 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra

Aditya Bakti,1999), h. 88.

44

Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra

Aditya Bakti,1999), h. 51

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

44

(subsidiary) adalah Perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan

Perseroan lainya yang dapat terjadi karena:45

a. lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh

induk perusahaannya;

b. lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai

oleh induk perusahaannya; dan atau

c. kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan

pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh

induk perusahaannya.

Dengan demikian, apa yang dikemukakan pada Penjelasan

Pasal 29 Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995 masih

dianggap relevan sebagai landasan memahami dan menerapkan

Perseroan Induk (Parent atau Holding Company) dan Perseroan Anak

(Subsidiary). Berbeda dengan Undang- Undang Perseroan Terbatas

Nomor 1 Tahun 1995 yang memuat sedikitnya lima Pasal yang

mengatur mengenai relasi antara induk dan anak perusahaan, yaitu

diantaranya Pasal 30 yang berbunyi:

“Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan

dengan ketentuan:

a. Dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan

kayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah

modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan

bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham

yang dipegang, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal

yang ditempatkan.”

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak ada yang

mengatur secara spesifik mengenai holding company atau parent company

atau perusahaan induk. pada Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang

Perseroan Terbatas Tahun 1995 masih dianggap relevan sebagai landasan

45 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra

Aditya Bakti,1999), h. 52

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

45

memahami dan menerapkan Perseroan Induk (Parent atau Holding

Company) dan Perseroan Anak (Subsidiary). Berbeda dengan Undang-

Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 yang memuat

sedikitnya lima Pasal yang mengatur mengenai relasi antara induk dan

anak perusahaan, yaitu diantaranya Pasal 30 yang berbunyi:

“Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan

dengan ketentuan:

a. Dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kayaan bersih

perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan

ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini.

b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan

bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai

saham yang dipegang, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari

jumlah modal yang ditempatkan.”

4. Proses Pembentukan Holdong BUMN

Pembentukan Holding company pada BUMN dilakukan untuk

meningkatan daya saing melalui restrukturisasi, peningkatan efisiensi dan

ekspansi bisnis. Pengelompokan unit-unit usaha BUMN dilakukan

dengan berdasarkan sektor dan karakteristik usaha murni bisnis atau

pelayanan publik. Pembentukan holding terfokus (focused holding)

adalah untuk menciptakan sinergi yang maksimum dari BUMN yang

mempunyai bisnis yang sama. Pembentukan holding yang merupakan

penyesuaian strategi (strategy aligment) dan pembentukan sinergi

(sinergy creation) menjadi pilihan yang rasional untuk BUMN yang

berada dalam sektor yang sama tetapi memiliki produk maupun sasaran

pasar yang berbeda, tingkat kompetisi yang tinggi, prospek bisnis yang

cerah dan kepemilikan pemerintah yang masih dominan.46

46 Dr. Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum

(Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 116-117.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

46

Undang-Undang BUMN mengenal adanya tiga kepemilikan saham

yang dapat mengakibatkan adanya Holding Company yaitu

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dan pemisahan. Pasal 65

Undang-Undang BUMN menyatakan bahwa ketentuan mengenai

penggabungan, peleburan atau pengambilalihan diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut yaitu Peraturan Pemenerintah

Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan,

Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN.

Pembentukan holding BUMN dengan cara penggabungan, peleburan,

pengambilalihan dan pemisahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut:

1. Penggabungan

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas Pasal 1 Ayat (9) dijelaskan bahwa penggabungan

merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan

atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang

telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang

menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang

menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum

kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya

status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir

karena hukum. 47

Berikut adalah tahap-tahap yang wajib dilaksanakan perseroan

apabila ingin melakukan penggabungan:

a. Rancangan Penggabungan

Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri harus

menyusun rancangan penggabungan sesuai dengan Pasal 123

Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dimana

47 Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), h. 141.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

47

ketentuan mengenai rancangan Penggabungan diri perseroan

telah dijelaskan pada Pasal tersebut yang memuat ketentuan

sebagai berikut:

a) Nama dan Tempat kedudukan dari setiap perseroan

yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan

penggabungan.

b) Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan

melakukan penggabungan dan persyaratan

penggabungan.

c) Tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang

menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang

menerima penggabungan

d) Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang

menerima penggabungan apabila ada

e) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

66 Ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku

terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan

penggabungan

f) Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha

dari perseroan yang akan melakukan penggabungan

g) Neraca performa perseroan yang menerima

penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang

berlaku umum di Indonesia

h) Cara Penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota

Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan perseroan

yang akan melakukan penggabungan diri

i) Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang

akan mengabungkan diri terhadap pihak ketiga

j) Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak

setuju terhadap penggabungan perseroan

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

48

k) Nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris perseroan,

meliputi gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota

Direksi dan Dewan Komisaris perseroan yang

menerima penggabungan

l) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan

m) Laporan mengenai keadaan perkembangan dan hasil

yang dicapai dari setiap perseroan yang akan

melakukan penggabungan

n) Kegiatan utama setiap perseroan yang melakukan

penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun

buku yang sedang berjalan dan;

o) Rincian masalah yang timbul selama satu tahun buku

yang sedang berjalan yang dapat mempengaruhi

kegiatan perseroan yang akan melakukan

penggabungan.

b. Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rancangan penggabungan tersebut setelah mendapatkan

persetujuan Dewan Komisaris dari setiap perseroan diajukan

kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-

masing untuk mendapat persetujuan. Keputusan RUPS

mengenai penggabungan akan dinyatakan sah apabila diambil

sesuai ketentuan dalam Pasal 87 Ayat (1) dan Pasal 89

Undang-Undang Perseroan Terbatas yaitu berdasarkan

musyawarah untuk mufakat dan disetujui paling sedikit ¾

(tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan,

kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran

dan/atau ketentuan RUPS yang lebih besar. Bagi perseroan

tertentu yang akan melakukan penggabungan selain berlaku

ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan terbatas, perlu

mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

49

Setiap perbuatan hukum penggabungan wajib

memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham

minoritas, karyawan Perseroan, kreditor dan mitra usaha

lainnya dari perseroan serta masyarakat dan persaingan sehat

dalam melakukan usaha. Berdasarkan Pasal 126 Ayat (2)

Undang-Undang Perseroan Terbatas, apabila pemegang

saham tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai

penggabungan, maka hanya boleh menggunakan haknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Undang-Undang

Perseroan Terbatas, dimana pemegang yang tidak menyetujui

penggabungan berhak meminta kepada Perseroan agar

sahamnya dibeli sesuai harga wajar saham dari perseroan

sebagaiman telah dijelaskan dalam Pasal 123 Ayat (2) huruf C

dan Pasal 125 Ayat (6) huruf D Undang-Undang Perseroan

Terbatas. Adapun pelaksanaan hak tersebut tidak

menghentikan proses pelaksanaan penggabungan.

c. Pengumuman Ringkasan Rancangan

Selanjutnya Pasal 127 Ayat (2) Undang-Undang Perseroan

Terbatas mengatur bahwa, Direksi wajib mengumumkan

ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar

dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari

Perseroan yang akan melakukan penggabungan dalam jangka

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum

pemanggilan RUPS. Pengumuman sebagaimana dimaksud

tersebut memuat juga pemberitahuan bahwa pihak yang

berkepentingan dapat memperoleh rancangan penggabungan

tersebut di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal

pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan. Pasal

33 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998

tentang Penggabungan, Penggabungan dan Pengambilalihan

Perseroan Terbatas mengatur juga bahwa, Dewan Direksi

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

50

yang akan melakukan penggabungan wajib untuk

menyampaikan rancangan penggabungan kepada seluruh

kreditor dengan surat tercatat paling lambat 30 (tiga puluh)

hari sebelum pemanggilan RUPS.

d. Pengajuan Keberatan Kreditor

Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan

dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari

setelah pengumuman mengenai penggabungan sesuai dengan

rancangan tersebut (Pasal 127 Ayat (4) Undang-Undang

Perseroan Terbatas). Apabila dalam jangka waktu tersebut

kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap

menyetujui penggabungan tersebut. Jika, keberatan kreditor

sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat

diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus

disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian.

Selama masa penyelesaian belum tercapai, penggabungan

tidak dapat dilaksanakan.

e. Pembuatan Akta Penggabungan Di Hadapan Notaris

Menurut Pasal 128 Ayat (1) menyatakan, Rancangan

Penggabungan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke

dalam akta penggabungan yang dibuat dihadapan notaris

dalam Bahasa Indonesia. Akta penggabungan tersebut

menjadi dasar pembuatan akta pendirian Perseroan hasil

penggabungan.

f. Permohonan Kepada Menteri

Salinan akta penggabungan dilampirkan pada pengajuan

permohonan untuk mendapatkan pada pengajuan permohonan

untuk mendapatkan keputusan Menteri mengenai pengesahan

badan hokum perseroan hasil penggabungan.

g. Pengumuman Hasil Penggabungan

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

51

Menurut Pasal 133 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan

Terbatas, DIreksi perseroan yang menerima perseroan hasil

penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan

dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

berlakunya penggabungan.

2. Peleburan

Penjelasan mengenai peleburan ini termaktub di dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas pada Pasal 1 Ayat (10) dimana yang dimaksud dengan

peleburan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua

perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara

mendirikan satu perseroan baru yang kemudian perseroan baru

tersebut karena hukum akan memperoleh aktiva dan pasiva dari

perseroan yangmeleburkan diri dari status badan hukumnya dan

perseroan yang meleburkan diri tersebut akan berakhir statusnya

karena hukum.

Sedangkan penjelasan mengenai tata cara peleburan terhadap

persero termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 124 yang menyatakan

bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 mutatis

mutandis berlaku bagi perseroan yang akan meleburkan diri.

Maka dari itu ketentuan dalam Pasal 123 pun ikut berlaku pula

berikut dengan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk tata

cara peleburan persero.

3. Pengambilalihan

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas pada Pasal 1 Ayat (11) disebutkan bahwa

pengambilalihan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan

oleh Badan Hukum atau perseorangan untuk mengambilalih

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

52

saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian

atas perseroan tersebut.

Sedangkan dijelaskan dalam Pasal 125 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,

pengambilalihan dapat pula dilakukan dengan cara

pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan

dikeluarkan oleh perseroan melalui direksi perseroan atau

langsung dari pemegang saham. Dan yang dapat melakukan

pengambilalihan tersebut ialah badan hukum atau perseorangan.

Pengambilalihan yang dimaksud dalam Pasal 125 Ayat (1)

ialah pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya

pengendalian terhadap perseroan, seperti yang dimaksud dalam

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas. Maka berikut adalah proses

pengambilalihan melalui direksi perseroan menurut Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas:

a. Keputusan anggota Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS)

Pengambilalihan melalui badan hukum berbentuk

perseroan diatur didalam Pasal 125 Ayat (4) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas. Dimana direksi sebelum melakukan

pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang telah

memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang

persyaratan pengambil keputusan oleh RUPS seperti yang

telah dimaksudkan di dalam Pasal 89.

b. Pemberitahuan kepada direksi perseroan

Dalam proses pengambilalihan oleh direksi, maka

pihak yang mengambilalih harus memberitahukan

maksudnya pada direksi perseroan yang akan diambil alih.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

53

(Pasal 125 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 Tentang Perseroan Terbatas)

c. Penyusunan rancangan pengambilalihan

Menurut Pasal 125 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas direksi perseroan

yang akan diambilalih dengan peretujuan komisaris,

masing-masing perseroannya harus menyusun rancangan

pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya hal-

hal sebagai berikut:

a) Nama dan tempat kedudukan dari perseroan yang akan

diambilalih dan perseroan yang akan mengambilalih

b) Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan

mengambilalih dan direksi perseroan yang akan

diambilalih

c) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas untuk tahun buku terakhir

dari perseroan yang akan mengambilalih dan

perseroan yang akan diambilalih

d) Tata cara penilaian dan konversi saham dari perseroan

yang akan diambilalih terhadap saham penukarnya

apabila pembayaran pengambilalihan dengan saham

e) Jumlah saham yang akan diambilalih

f) Kesiapan pendanaan

g) Neraca konsolidasi performa Perseroan yang akan

mengambilalih setelah pengambilalihan yang disusun

sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum di

Indonesia.

h) Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang tidak

setuju terhadap pengambilalihan

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

54

i) Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota

Direksi, Komisaris dan Karyawan Perseoran yang

diambilalih

j) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan,

termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan

saham dari Pemegang Saham kepada Direksi

Perseroan

k) Rancangan perubahan Anggaran Dasar Perseroan hasil

pengambilalihan jika ada

d. Pengumuman Ringkasan Rancangan

Direksi Perseroan wajib mengumumkan ringkasan

rancangan paling sedikit dalam 1 surat kabar dan

mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari

Perseroan yang akan melakukan Pengambilalihan dalam

jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan

RUPS (Pasal 127 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Pengumuman

sebagaimana dimaksud tersebut memuat juga

pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat

memperoleh rancangan pengambilalihan di kantor

perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai

tanggal RUPS diselenggarakan.

e. Pengajuan keberatan kreditor

Pengajuan keberatan oleh kreditor ini terdapat

dalam Pasal 127 Ayat (4) sampai dengan Ayat (6)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas bahwa kreditor dapat mengajukan

keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu paling

lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai

Pengambilalihan sesuai dengan rancangan tersebut.

Apabila dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

55

mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui

Pengambilalihan tersebut. Dalam hal keberatan kreditor

sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat

diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus

disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian.

Selama masa penyelesaian belum tercapai,

Pengambilalihan tidak dapat dilaksanakan.

f. Pembuatan akta pengambilalihan dihadapan notaris

Menurut Pasal 128 Ayat (1) menyatakan,

Rancangan Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS

dituangkan ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat

dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.

g. Pemberitahuan kepada Menteri

Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib

dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada

Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29

dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas mengenai Daftar Perseroan

dan Pengumuman berlaku juga bagi Pengambilalihan,

serta ketentuan lebih lanjut mengenai Pengambilalihan

Perseroan diatur dengan peraturan Pemerintah.

h. Pengumuman hasil pengambilalihan

Menurut Pasal 133 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,

Direksi Perseroan yang sahamnya diambilalih wajib

mengumumkan hasil Pengambilalihan tersebut dalam 1

surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

56

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya

Penggambilalihan tersebut.

Selain Pengambilalihan saham perusahaan melalui

Direksi Perseroan, proses Pengambilan saham secara

langsung dari Pemegang Saham dimana prosedurnya

dilakukan lebih sederhana, dalam Pasal 125 Ayat (7)

menjelaskan bahwa pihak yang akan mengambilalih

saham tidak perlu menyampaikan maksudnya untuk

melakukan pengambilalihan saham kepada Direksi

Perseroan yang akan diambil alih. Selain itu pihak yang

akan mengambil alih saham secara langsung dari

Pemegang saham tidak perlu menyusun rancangan

pengambilalihan.

4. Pemisahan

Pemisahaan (spin off) juga merupakan juga merupakan

salah satu cara pembentukan holding company. Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 Ayat

(12) dijelaskan bahwa Pemisahan adalah sebagai perbuatan

hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha

yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih

karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian

aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu)

Perseroan atau lebih. Dari definisi diatas dapat ditarik elemen

pokok pemisahan yaitu:48

1) Pemisahan merupakan persetujuan perseroan yang

memisahkan dengan yang menerima pemisahan

2) Yang dipisahkan adalah objek usaha perseroan. Objek

perbuatan hukum pemisahan adalah “usaha”

perseroan yang melakukan pemisahan

48 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar

Grafka,201), h. 520-521.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

57

3) Akibat hukum pemisahan adalah beralihnya aktiva

dan pasiva perseroan yang melakukan pemisahan.

Undang-Undang Perseroan Terbatas membedakan

Pemisahan kedalam 2 (dua) jenis pemisahan yaitu Pemisahan

murni dan Pemisahan tidak murni. Pemisahan murni adalah

Pemisahan yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva

Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain

atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang

melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum.

Sedangkan pada Pemisahan tidak murni atau spin off adalah

Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva

Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain

atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang

melakukan Pemisahan tetap ada. Pembentukan Holding BUMN

ini pun memiliki hambatan berupa hukum yang tidak sesuai.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

tentang Badan Usaha Milik Negara, yang berarti hanya

perusahaan induk saja atau Holding yang masuk sebagai kategori

BUMN. Jika pemerintah akan memasukkan anak perusahaan

dalam kategori BUMN, maka akan ada potensi hukum yang akan

muncul seperti “Penyertaan modal secara langsung yang berasal

dari kekayaan negara yang dipisahkan” memberikan konsekuensi

terhadap anak usaha dari induk perusahaan menjadi tidak

termasuk kategori BUMN. Langkah yang harus ditempuh adalah

revisi BUMN dalam Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003

sehingga dapat memperjelas status hukum anak usaha BUMN

terkait dengan penyertaan modal dari negara kepada BUMN dan

anak usahanya.

Holding BUMN merupakan hasil dari penggabungan

beberapa BUMN yang diubah menjadi satu grup perusahaan

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

58

dengan kesamaan sektor usaha dan satu perusahaan BUMN yang

ditunjuk sebagai induk perusahaan.

Dalam proses pembentukan holding BUMN tidak perlu izin

dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam pembentukan

holding akan diikuti perpindahan asset pemerintah berupa saham

BUMN ke BUMN lain yang menjadi induk perusahaan. Proses

perpindahan inilah yang tidak memerlukan persetujuan DPR.49

Mengenai hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2016 tentang Perubahan

atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 yang

mempertegas bahwa proses pembentukan holding BUMN tidak

memerlukan izin dari DPR. Hal tersebut terdapat pada Pasal 2A

Ayat (1) yang menyatakan:

Pernyataan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara

berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan

Terbatas sebgaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf

d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakuan oleh

Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

Lebih lanjut terdapat dalam penjelasan Pasal 2A Ayat (1)

dikatakan bahwa saham milik negara pada BUMN pada

hakikatnya merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga

pengalihan saham dimaksud untuk dijadikan penyertaan pada

BUMN tidak dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara. Peraturan tersebut merupakan penegasan

terkait pemindahan asset antar BUMN tidak memerlukan izin

DPR karena saham negara pada BUMN merupakan kekayaan

negara yang sudah dipisahkan dari APBN.

49

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3306961/bikin-holding-bumn-tak-

perlu-persetujua-dpr

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

59

B. Kerangka Teori

1. Teori Kepastian Hukum

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman

perilaku bagi setiap orang.

Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,

karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat

melakukan kegiatankegiatan yang diperlukan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara

hakikat harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan

yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologis. Kepastian

hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.50 Jelas

dalam arti tidak menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis

dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat

membentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Jadi

kepastian hukum ialah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan

terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa

kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku

terhadap hukum secara benar-benar.

Sehingga kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan

hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaanya

50

Cst Kansil,at al, Kamus Istilah Hukum. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009),

h. 385.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

60

tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subyektif.

Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan

secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan

tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan

hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri

(den begriff des Rechts).51 Hukum adalah keseluruhan peraturan-

peraturan atau kaidah-kaidah serta semua asas yang mengatur pergaulan

hidup dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta

meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya

kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat. Dimana proses

pelaksanaanya dipaksakan guna mendapatkan keadilan dengan

pemberian sanksi apabila ada yang melanggar hukum tersebut. Kepastian

hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama

untuk norma hukum tertulis.

Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak

lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, Ubi jus

incertum, ibi jus nullum (dimana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada

hukum). Bahwa dalam hal penegakan hukum setiap orang selalu

berharap dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya sesuatu

peristiwa konkrit. Jadi dengan kata lain bahwa suatu peristiwa tersebut

tidak boleh menyimpang dan harus tetap sesuai dengan hukum yang

berlaku sehingga kepastian hukum dapat diwujudkan.

Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat di dalam

isi Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum”

Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.

Pertama, mengenai soal dapat dibentuknya (bepaalbaarheid) hukum

51

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung: PT

Revika Aditama, 2006), h. 79-80.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

61

dalam hal uang konkrit. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan

ingin mengetahui hukum dalam hal yang khusus sebelum memulai

perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya

perlindungan bagi para pihak terhadap kewewenangan hakim.52

Kepastian hukum harus selalu dijunjung tinggi apapun akibatnya dan

tidak ada alasan untuk tidak menjujung hal tersebut karena dalam

paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Kepastian

hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum

dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya

memang lebih berdimensi yuridis. Namun Otto memberikan batasan

kepastian hukum yang lebih jauh dalam mendefinisikan kepastian

hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu yaitu:

a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah

diperoleh (accessible).

b) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat

kepadanya.

c) Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap

aturanaturan tersebut; dan

d) Hakim-hakim peradilan yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu

mereka menyelesaikan sengketa hukum.

Kepastian hukum menjadi hal yang mendasari penelitian ini

dikarenakan penelitian ini bermaksud untuk memastikan agar kebijakan

pemerintah selalu memiliki dasar yang kuat sehingga kelak dapat

dipertanggungjawabkan terutama dalam permasalahan hukum yang

mendasari pembentukan sebuah kebijakan umum yang berkaitan

langsung dampaknya bagi masyarakat.

52

L.J.Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran

Kerangka Berfikir, (Bandung: PT Revika Aditama, 2006), h. 82-83.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

62

2. Teori stufenbau (Teori Piramida Hukum)

Menurut Kelsen, tata kaedah hukum dari suatu negara,

merupakan suatu sistem kaedah kaedah hukum yang hierarkhis yang

dalam bentuknya yang sangat sederhana.53

Sedangkan menurut Adolf

Merkl, suatu norma hukum itu posisinya di atas, menjadi sumber bagi

norma hukum di bawahnya yang memiliki masa berlaku (rechtskracht)

yang relative oleh karena itu masa berlaku suatu norma hukum itu

tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Dan apabila

norma hukum yang di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma

hukum yang berada di bawahnya pun ikut tercabut dan terhapus pula.54

Dalam teori jenjang norma hukum (stufentheory) Hans Kelsen

berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam

suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

Sedangkan norma yang lebih tinggi akan bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan

fiktif. Sehingga kaidah dasar diatas sering disebut dengan norma

dasar.55

Menurut Kelsen, norma dasar pada umumnya adalah meta

juridisch (etika), bukan produk bahan pembuat undang-undang, bukan

bagian dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber

dari semua sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang

berada di bawahnya.56

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:

53

Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni, 1979), h. 41

54

Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,

(Yogyakarta:Kanikus, 2006), h. 25-26

55

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta:Rajawali Press,

2008), h. 54.

56

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang…, h. 54

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

63

1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum

secara hierarki

2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat

terbawah ke atas

3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih

rendah tergantung atau di tentukan oleh kaidah-kaidah yang

termasuk golongan yang tingkatnya lebih tinggi.57

Teori ini digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui posisi

suatu hukum yang digunakan sebagai dasar suatu kebijakan yang

dikemukakan oleh pemerintah, terlebih berkaitan dengan kebijakan

pembentukan holding BUM ini terjadi beberapa tumpang tindih antara

Undang-Undang BUMN dan PP nomor 27 Tahun 2006 dalam

pengaturan mengenai penyertaan modal khususnya.

3. Teori Efektivitas Hukum

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang

berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.

Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan

penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,

pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-

Undang atau peraturan.58

Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia

diperankan untuk memantau.59

Jika dilihat dari sudut hukum, yang

dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu

polisi. Kata efektifitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti

terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan.

Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi

57

Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni, 1979), h. 42

58

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002)…, h. 284

59

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002)…, h. 284

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

64

hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu.

Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam

pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya

hukum berlaku efektif. Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur

efektivitas dalam penegakan hukum pada lima hal, yakni:

a. Faktor Hukum

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya

terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.

Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan

keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim

memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja

maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika

melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan

menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata

dilihat dari sudut hukum tertulis saja.60

b. Faktor Penegakan Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian

petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau

peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada

masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan

masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau

penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku

nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam

melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena

sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau

perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa

60

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:PT

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 5

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

65

penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah

dari aparat penegak hukum tersebut.61

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup

perangkat lunak dan perangkat keras, Menurut Soerjono Soekanto

bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik,

apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat

komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau

fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam

penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,

tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang

seharusnya dengan peranan yang aktual.62

Sehingga, teori ini menjadi dasar apakah hadirnya suatu

kebijakan baik dalam bentuk suatu perundang-undangan atau

bentuk lainnya sudah sesuai dan bejalan secara efektif

pelaksanaannya dalam masyarakat.

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Sebagai pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti akan

menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan

kajian materi yang akan di bahas sebagai berikut:

1. Nama : Wahyu Ardila (Nim 109081000099)

Institusi : Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Negeri Syarif HidAyatullah

Jakarta

Tahun : 2013

Judul Skripsi : Pengaruh Penerapan Prinsip-prinsip GCG (Good

Corporate Governance) dan Budaya Organisasi

61

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:PT

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 8

62

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:PT

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 21

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

66

terhadap Kinerja SDM di BUMN (Studi Kasus PT

Pegadaian Kramat Raya 162 Jakarta)

Skripsi ini menjelaskan mengenai bagaimana penerapan prinsip

GCG (Good Corporate Governance) serta bagaimana kaitannya dengan

budaya organisasi yang kemudian di implementasikan terhadap kinerja

SDM di BUMN pada kasus yang terjadi pada PT. Pegadaian Kramat Raya

162 Jakarta. Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai sejauh apa prinsip-

prinsip GCG ini diterapkan oleh PT. Pegadaian Kramat Raya yang

kemudian dikaitkan dengan budaya organisasi. Perbedaan antara skripsi ini

dengan penelitian yang diteliti oleh peneliti terletak pada penjelasan serta

kaitannya dengan isu terbaru yaitu holdingisasi BUMN di Indonesia.

2. Nama : Prof. Dr. Hj. Sedarmayanti, M.Pd., APU

Tahun : 2007

Judul buku : Good Governance (kepemerintahan yang baik) dan

Good Corporate Governance (tata kelola

perusahaan yang baik)

Dalam buku ini menjelaskan tentang peraturan maupun teori-teori

yang berkaitan dengan Good Governance (kepemerintahan yang baik) dan

Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang

merupakan dasar dari pembahasan yang peneliti teliti sehingga ada

beberapa teori yang diangkat dari buku ini. Buku ini pun mengkritisi

bagaimana keadaan perusahaan baik swasta maupun BUMN di Indonesia.

Perbedaannya dengan skripsi peneliti yaitu tidak adanya pembahasan

mengenai holdingisasi BUMN yang sekarang sedang marak di

perbincangkan dan dijadikan fokus dalam bidang bisnis di Indonesia.

3. Nama Jurnal : Jurnal Transparency Volume 1

Penyusun : Jhon F. Sipayung, Bismar Nasution dan Mahmul

Siregar

Tahun : 2008

Judul Jurnal : Tinjauan Yuridis Holdingisasi BUMN dalam

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

67

Rangka Peningkatan Kinerja Menurut Perspektif

Hukum Perusahaan

Pembahasan yang diangkat dalam jurnal ini ialah tinjauan yuridis

Holdingisasi BUMN menurut perspektif hukum perusahaan.

Penjelasannya fokus terhadap cara-cara yang pemerintah ambil dalam

meningkatkan kinerja BUMN yang ditelaah sesuai dengan hukum yang

diterapkan untuk perusahaan, yang menjadi pembeda antara pembahasan

dalam jurnal ini dengan pembahasan yang akan peneliti angkat, terletak

pada kaitannya dengan penerepan prinsip GCG yang diharapkan dari

hasil penelitian ini dapat menjawab kekhawatiran masyarakat, sehingga

memberi penilaian bahwa langkah yang pemerintah ambil untuk

membenahi BUMN di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip-prinsip

GCG.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

68

BAB III

TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

PADA HOLDINGISASI BUMN

A. Profil BUMN yang Tergabung dalam Sektor Tambang

Tujuan dibentuknya holding BUMN di sektor pertambangan antara lain

yaitu adanya keinginan untuk hilirisasi sektor industri tambang,

mengakumulasi modal BUMN guna membeli divestasi saham PT Freeport.

Rini yakin dengan holding BUMN akan mampu membeli saham Freeport,

serta untuk menciptakan efisiensi, terlebih dalam hal pengadaan dan klaim

alat berat. Dengan demikian, berikut perusahaan yang tergabung dalam grup

holding BUMN sektor tambang:

1. PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum)1

Setelah upaya memanfaatkan potensi sungai Asahan yang mengalir

dari Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara untuk menghasilkan tenaga

listrik mengalami kegagalan pada masa pemerintahan Hindia Belanda,

pemerintah Republik Indonesia bertekad mewujudkan pembangunan

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai tersebut.

Tekad ini semakin kuat ketika tahun 1972 pemerintah menerima

laporan dari Nippon Koei, sebuah perusahaan konsultan Jepang tentang

studi kelaikan Proyek PLTA dan Aluminium Asahan. Laporan tersebut

menyatakan bahwa PLTA layak untuk dibangun dengan sebuah

peleburan aluminium sebagai pemakai utama dari listrik yang

dihasilkannya.

Pada tanggal 7 Juli 1975 di Tokyo, setelah melalui perundingan-

perundingan yang panjang dan dengan bantuan ekonomi dari pemerintah

jepang untuk proyek ini, pemerintah Republik Indonesia dan 12

Perusahaan Penanam Modal Jepang menandatangani Perjanjian Induk

untuk PLTA dan Pabrik Peleburan Aluminium Asahan yang kemudian

1 Website Resmi PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero, sejarah singkat,

http://www.inalum.id/article/sejarah-singkat.html

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

69

dikenal dengan sebutan Proyek Asahan. Kedua belas Perusahaan

Penanam Modal Jepang tersebut adalah Sumitomo Chemical Company

Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light Metal Company Ltd., C

Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd., Nichimen Co., Ltd., Showa

Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd.,

Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., Mitsui & Co., Ltd.

Selanjutnya, untuk penyertaan modal pada perusahaan yang akan

didirikan di Jakarta kedua belas Perusahaan Penanam Modal Tersebut

bersama Pemerintah Jepang membentuk sebuah nama Nippon Asahan

aluminium Co, Ltd (NAA) yang berkedudukan di Tokyo pada tanggal 25

Nopember 1975.

Pada tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium

(Inalum), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan

didirikan di Jakarta. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan

mengoperasikan Proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk.

Perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan

Aluminium Co., Ltd, pada saat perusahaan didirikan adalah 10% dengan

90%. Pada bulan Oktober 1978 perbandingan tersebut menjadi 25%

dengan 75% dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13% dengan 58,87%. Dan

sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12% dengan 58,88%.

Untuk melaksanakan ketentuan dalam perjanjian induk, Pemerintah

Indonesia kemudian mengeluarkan SK Presiden Nomor5/1976 yang

melandasi terbentuknya Otorita Pengembangan Proyek Asahan sebagai

wakil Pemerintahan yang bertanggung jawab atas lancarnya

pembangunan dan pengembangan Proyek Asahan. Inalum dapat dicatat

sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak

dalam bidang Industri peleburan aluminium dengan investasi sebesar 411

milyar Yen.

Secara de facto, perubahan status Inalum dari PMA menjadi BUMN

terjadi pada 1 November 2013 sesuai dengan kesepakatan yang tertuang

dalam Perjanjian Induk. Pemutusan kontrak antara Pemerintah Indonesia

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

70

dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang berlangsung pada 9

Desember 2013, dan secara de jure Inalum resmi menjadi BUMN pada

19 Desember 2013 setelah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham

yang dimiliki pihak konsorsium. PT INALUM (Persero) resmi menjadi

BUMN ke-141 pada tanggal 21 April 2014 sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 26 Tahun 2014.

Berikut struktur organisasi PT INALUM (Persero):2

2. PT. Aneka Tambang (Antam) Tbk.3

Kegiatan usaha Perseroan telah dimulai sejak tahun 1968 ketika

Perseroan didirikan sebagai Badan Usaha Milik Negara melalui merjer

dari beberapa Perusahaan tambang dan proyek tambang milik

2 Website Resmi PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero, struktur organisasi,

http://www.inalum.id/article/struktur-organisasi.html.

3Website Resmi PT. Antam Tbk., Riwayat Singkat Antam,

http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=529&Itemid=244.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

71

pemerintah, yaitu Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan

Tambang Umum Negara, Perusahaan Negara Tambang Bauksit

Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok, Perusahaan

Negara Logam Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan dan Proyek-

proyek Bapetamb. Perseroan didirikan dengan nama "Perusahaan Negara

(PN) Aneka Tambang" di Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1968

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1968. Pendirian

tersebut diumumkan dalam Tambahan Nomor 36, BNRI Nomor 56,

tanggal 5 Juli 1968. Pada tanggal 14 September 1974, berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1974, status Perusahaan diubah

dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Negara Perseroan Terbatas

("Perusahaan Perseroan") dan sejak itu dikenal sebagai "Perusahaan

Perseroan (Persero) Aneka Tambang".

Pada tanggal 30 Desember 1974, ANTAM berubah nama menjadi

Perseroan Terbatas dengan Akta Pendirian Perseroan Nomor 320 tanggal

30 Desember 1974 dibuat di hadapan Warda Sungkar Alurmei, S.H.,

pada waktu itu sebagai pengganti dari Abdul Latief, dahulu notaris di

Jakarta jo. Akta Perubahan Nomor 55 tanggal 14 Maret 1975 dibuat di

hadapan Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta mengenai perubahan

status Perseroan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1969 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1969

(Lembaran Negara tahun 1969 Nomor 16. Tambahan Lembaran Negara

Nomor 2890) tentang bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1969 Nomor 40),

Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1969 tentang Perusahaan

Perseroan (Persero). Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1969

Nomor 21 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1974 tentang

Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Aneka Tambang menjadi

Perusahaan Perseroan (Persero), Lembaran Negara Republik Indonesia

tahun 1974 nomor 33 jo.Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

72

Indonesia Nomor Kep. 1768/MK/IV/12/1974, tentang Penetapan Modal

Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang menjadi Perseroan

Terbatas dengan nama PT Aneka Tambang, yang telah memperoleh

pengesahan dari Menkumham dalam Surat Keputusannya Nomor Y.A.

5/170/4 tanggal 21 Mei 1975 dan kedua Akta tersebut di atas telah

didaftarkan dalam buku register yang berada di Kantor Pengadilan

Negeri Jakarta berturut-turut di bawah Nomor 1736 dan Nomor 1737

tanggal 27 Mei 1975 serta telah diumumkan dalam Tambahan Nomor

312 BNRI Nomor 52 tanggal 1 Juli 1975. Untuk mendukung pendanaan

proyek ekspansi feronikel, pada tahun 1997 Perseroan menawarkan 35%

sahamnya ke publik dan mencatatkannya di Bursa Efek Indonesia. Pada

tahun 1999, Perseroan mencatatkan sahamnya di Australia dengan status

foreign exempt entity dan pada tahun 2002 status ini ditingkatkan

menjadi ASX Listing yang memiliki ketentuan lebih ketat.

Berikut struktur organisasi PT. ANTAM Tbk:4

4Website Resmi PT. Antam Tbk., struktur,

http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7&Itemid=15

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

73

Pemegang saham utama yang dimiliki ANTAM adalah sebagai berikut:5

5Website Resmi PT. Antam Tbk., struktur,

http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=38,

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

74

3. PT BUKIT ASAM Tbk6

PT Bukit Asam Tbk memiliki sejarah panjang dalam industri

pertambangan batubara nasional.

6Website Resmi PT. Bukit Asam Tbk., Sejarah PTBA,

http://www.ptba.co.id/id/tentang/profil#history.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

75

Operasi Perusahaan dimulai ketika Air Laya Mine mulai beroperasi

di Tanjung Enim pada tahun 1919 dengan Pemerintah Kolonial Belanda

sebagai operator. Pada saat itu, kegiatan penambangan dilakukan dengan

metode penambangan terbuka.

Antara 1923 dan 1940, Air Laya Mine dimulai dengan metode

penambangan bawah tanah. Selama periode ini, Perusahaan mulai

berproduksi untuk tujuan komersial pada tahun 1938.

Setelah Kolonial Belanda berakhir di Indonesia, karyawan

Indonesia menuntut perubahan status menjadi tambang nasional. Pada

tahun 1950, Pemerintah Indonesia meresmikan yayasan Perusahaan

Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA).

Pada tanggal 1 Maret 1981, PN TABA mengubah statusnya

menjadi Perusahaan Terbatas dengan nama PT Bukit Asam (Persero),

yang kemudian disebut PTBA. Dalam rangka pengembangan industri

batubara nasional, pada tahun 1990 Pemerintah menggabungkan Perum

Tambang Batubara dan PTBA menjadi satu kesatuan.

Sesuai dengan program pengembangan ketahanan energi nasional,

pada tahun 1993 Pemerintah menugaskan PTBA untuk mengembangkan

bisnis briket batubara. Pada tanggal 23 Desember 2002, PTBA

mendaftarkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia

dengan “PTBA” sebagai simbol ticker.

Pada tanggal 29 November 2017 menjadi catatan sejarah bagi

PTBA ketika menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar

Biasa. Agenda utama PTBA mencakup tiga poin. Persetujuan atas

perubahan anggaran dasar perusahaan terkait perubahan status

perusahaan dari “persero” menjadi “non-persero” sehubungan dengan

peraturan pemerintah Nomor 47/2015 terkait peningkatan partisipasi

ekuitas Republik Indonesia ke dalam PT INALUM (Persero),

nominal stock split saham, dan mengubah dewan direksi perusahaan.

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

76

Dengan perubahan kepemilikan Republik Indonesia menjadi PT

INALUM (Persero), PTBA resmi menjadi holding anggota Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), dengan INALUM sebagai pimpinannya.

PTBA telah menyelesaikan stock split selama perdagangan awal di

Bursa Efek Indonesia pada 14 Desember 2017. Rasio stock split 1: 5

sesuai dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa

yang dilaksanakan pada tanggal 29 November 2017. Aksi korporasi ini

diambil untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham di BEI dan

untuk memperluas distribusi kepemilikan saham dengan menjangkau

berbagai lapisan investor. Komitmen kuat dari PTBA untuk

meningkatkan kinerja merupakan faktor fundamental dari aksi korporasi.

Berikut struktur organisasi PT. Bukit Asam Tbk:7

7 Website Resmi PT. Bukit Asam Tbk., Struktur Organisasi,

http://www.ptba.co.id/id/tentang/organisasi#organization-structure.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

77

4. PT TIMAH Tbk8

PT TIMAH Tbk. sebagai Perusahaan Perseroan didirikan tanggal 2

Agustus 1976, dan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

bergerak di bidang pertambangan timah dan telah terdaftar di Bursa Efek

Indonesia sejak tahun 1995.

PT TIMAH merupakan produsen dan eksportir logam timah, dan

memiliki segmen usaha penambangan timah terintegrasi mulai dari

kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan hingga pemasaran. Ruang

lingkup kegiatan Perusahaan meliputi juga bidang pertambangan,

perindustrian, perdagangan, pengangkutan dan jasa. Kegiatan utama

perusahaan adalah sebagai perusahaan induk yang melakukan kegiatan

operasi penambangan timah dan melakukan jasa pemasaran kepada

kelompok usaha mereka. Perusahaan memiliki beberapa anak perusahaan

yang bergerak dibidang perbengkelan dan galangan kapal, jasa rekayasa

teknik, penambangan timah, jasa konsultasi dan penelitian pertambangan

serta penambangan non timah.

Perusahaan berdomisili di Pangkalpinang, Provinsi Bangka

Belitung dan memiliki wilayah operasi di Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung, Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara serta

Cilegon, Banten.

Berikut struktur organisasi PT. Timah Tbk:9

8Website Resmi PT. Timah Tbk., Tentang Kami, Sekilas PT Timah,

http://www.timah.com/v3/ina/tentang-kami-sekilas-pt-timah/

9Website Resmi PT. Timah Tbk., Tentang Kami, Manajemen,

http://www.timah.com/v3/ina/manajemen-struktur-organisasi/.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

78

B. Teori dan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik menurut Undang-

Undang yang Berlaku

Semenjak terjadinya krisis ekonomi dan kepercayaan pada tahun 1998,

Indonesia telah memulai inisiatif yang telah dirancang untuk mempromosikan

Good Governance, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas.

Krisis ekonomi dan kepercayaan pada masanya tersebut berdampak pada

sektor penyelenggaraan negara dan pemerintah menjadi tidak kondusif,

sehingga tidak tercapainya check and balances antara eksekutif, legislatif dan

yudikatif. Sehingga menyebabkan tidak berjalannya kontrol sosial dan

institusi pengawasan lainnya, sehingga praktek korupsi, kolusi dan nepotisme

(KKN) semakin marak terjadi.

Di dalam sektor ekonomi baik milik negara maupun swasta mulai

menunjukan kinerja yang rendah. Para pelaku ekonomi swasta menunjukan

kinerjanya lemah terutama di dalam pengelolaan manajemennya, sehingga

tidak memiliki keunggulan serta daya saing yang kuat di pasar Internasional.

Bahkan kondisi internal perusahaan pun dianggap tidak sehat. Sedangkan

dalam sektor pelaku ekonomi milik negara (BUMN) sudah menjadi rahasia

umum bahwa kinerjanya sangat rendah dan belum mecapai apa yang

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

79

diharapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan inti

permasalahannya terletak pada daya saing yang rendah serta kinerja yang

tidak memadai yang kemudian memicu terjadinya krisis keuangan. Dan hal

ini pula sebagai akibat dari tidak efektifnya penyelenggaraan negara atau

pemerintahan dan juga pembangunan secara nasional.

Dengan demikian salah satu strategi yang dapat di gunakan ialah

menerapkan korporasi baik bagi perusahaan milik pemerintah maupun swasta

melalui implementasi Good Corporate Governance.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

Nomor: Per-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang

Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara, yang

dimaksud dengan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate

Governance), yang selanjutnya di sebut GCG adalah prinsip-prinsip yang

mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan

peraturan perundang-undangan dan etika berusaha.10

Sedangkan menurut The Organisation for Economic Coperation and

Development (OECD) dalam buku Penerapan Good Corporate Governance

Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha,

mendefinisikan corporate governance sebagai sekumpulan hubungan antara

pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang

mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate governance juga

mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan

pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik dapat memberikan

rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang

merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi

10

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: Per-01/MBU/2011

Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan

Usaha Milik Negara, Pasal 1, angka 1.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

80

pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan menggunakan

sumber daya dengan lebih efisien.11

Sedangkan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)

mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai salah satu pilar dari

ekonomi pasar. Coporate governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik

terhadap perusahaan yang yang melaksanakannya maupun iklim usaha

disuatu negara. Penerapan GCG ini mendorong terciptanya iklim usaha yang

kondusif.12

Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan good

corporate governance adalah suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan

yang mengatur mengenai hubungan antara berbagai pihak yang

berkepentingan (stakeholder) atau dalam arti sempit hubungan antara

pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya

tujuan organisasi. Corporate governance dimaksudkan untuk mengatur

hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan - kesalahan

signifikan dalam strategi korporasi dan untuk memastikan bahwa kesalahan-

kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.

C. Tujuan dan Manfaat Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik

Dalam prosesnya, sistem good corporate governance memiliki tujuan dan

manfaat tersendiri bagi sebuah perusahaan tersebut dengan demikian, berikut

tuan dan manfaat dari penerapan good corporate governance.

Penerapan Prinsip Tata kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dalam dunia

usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut

dapat tetap eksis dalam persaingan global. Peraturan Menteri Badan Usaha

11

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance

Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha (Jakarta: Kencana, 2008),

h.2425.

12

http://muc-advisory.com/tag/komite-nasional-kebijakan-governance-knkg/,

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

81

Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola

Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara bertujuan untuk:13

a. Mengoptimalkan nilai perusahaan agar perusahaan memliki daya saing

yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu

mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk

mencapai maksud dan tujuan perusahaan.

b. Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, efisien dan

efektif, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian

organ perusahaan.

c. Mendorong agar organ perusahaan dalam membuat keputusan dan

menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan

terhadap peraturan perundang-undangan serta kesadaran akan adanya

tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pemangku kepentingan

maupun kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan.

d. Meningkatkan kontribusi perusahaan dalam perekonomian nasional.

Adapun tujuan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik

menurut Siswanto Sutojo dan E. John Aldrige mempunyai lima tujuan

yaitu:14

a. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;

b. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non

pemegang saham.

c. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham

d. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau

Board of Directors dan manajemen perusahaan

e. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan

manajemen senior perusahaan

13

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara

14

Siswanto Sutojo dan E. John Aldrige, Good Corporate Governance Tata Kelola

Perusahaan yang Sehat, (Jakarta: 2005, Damar Mulia Pustaka), h. 5.

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

82

Sedangkan Manfaat Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang

Baik (GCG) yakni;

Dengan melaksanakan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance), menurut Forum of Corporate Governance in

Indonesia FCGI ada beberapa manfaat yang diperoleh, antara lain:15

a. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses

pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi

operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan pada

stakeholder.

b. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan

tidak rigid (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya

meningkatkan corporate value.

c. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya

di Indonesia.

d. Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena

sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan deviden.

Ada 5 (lima manfaat) yang diperoleh perusahaan yang menerapkan

Good Corporate Governance yaitu:16

a. GCG secara tidak langsung akan dapat mendorong pemanfaatan

sumber daya perusahaan ke arah yang lebih efektif dan efisien,

yang pada gilirannya akan turut membantu terciptanya

pertumbuhan atau perkembangan ekonomi nasional.

b. GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional,

dalam hal menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah

dengan perbaikan kepercayaan investor dan kreditur domestik

maupun internasional.

15

http://muc-advisory.com/tag/forum-for-corporate-governance-in-indonesia-fcgi/

16

Siswanto Sutojo dan E. John Aldrige, Good Corporate Governance Tata Kelola

Perusahaan yang Sehat, (Jakarta: 2005, Damar Mulia Pustaka), h. 10.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

83

c. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan atau

menjamin bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum dan

peraturan.

d. Membangun manajemen dan corporate board dalam pemantauan

penggunaan aset perusahaan.

e. Mengurangi potensi terjadinya kecurangan dan melindungi

kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak terkait.

Berawal dari tujuan dan manfaat diatas maka dapat disimpulkan

bahwa perusahaan yang menerapkan GCG akan selalu melindungi

kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak yang terkait dalam

pengelolaan perusahaan dan selalu melaksanakan kegiatan perusahaan

secara efektif dan efisien untuk meningkatkan perekonomian perusahaan

dan pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik kepada

perusahaan tersebut.

D. Sumber Hukum Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance)

Di Indonesia, prinsip good corporate governance mulai ramai dikenal

pada tahun 1997, saat krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak

akibat buruk dari krisis tersebut, salah satunya ialah banyaknya perusahaan

yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan. Corporate Governance yang

buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi politik

Indonesia yang dimulai tahun 1997.

Menyadari kondisi dan situasi demikian, pemerintah melalui

Kementrian Negara BUMN mulai memperkenalkan prinsip Good Corporate

Governance ini dilingkungan BUMN. Melalui Surat Keputusan Menteri

BUMN Nomor Kep- 117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang

Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik

Negara, kemudian Keputusan Menteri tersebut diperbaharui dan pada tanggal

01 Agustus 2011 ditetapkan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara

Nomor: PER/01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

84

Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara yang

menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan Tata Kelola

Perusahaan yang Baik secara konsisten dan atau menjadikan prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang Baik sebagai landasan operasionalnya, yang pada

dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas

perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang

dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan

berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. 17

Pemerintah memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap

implementasi GCG di Indonesia. Bukti dari kepedulian pemerintah dapat

dilihat dari dibuatnya berbagai regulasi yang mengatur tentang GCG. Berawal

dari Dibentuknya Komite Nasional tentang Kebijakan Corporate Governance

(KNKCG) melalui Keputusan Menko Ekuin Nomor:

KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG.

Menerbitkan Pedoman GCG Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan

dibentuknya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai

pengganti KNKCG melalui Surat Keputusan Menko Bidang Perekonomian

Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004. Terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-

Komite Korporasi. Kemudian juga dikeluarkan SE Ketua Bapepam Nomor

Se-03/PM/2000 tentang Komite Audit yang berisi himbauan perlunya Komite

Audit dimiliki oleh setiap Emiten, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Nomor 8/4/PBI/2006 tentang GCG yang dirubah dengan PBI Nomor

8/14/GCG/2006.

Komitmen GCG juga diberlakukan pada sektor swasta non-BUMN.

Pada tahun 2000, Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia)

memberlakukan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-

315/BEJ/062000 tentang Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang antara

lain mengatur tentang kewajiban mempunyai Komisaris Independen, Komite

Audit, memberikan peran aktif Sekretaris Perusahaan di dalam memenuhi

17

https://alamsyahprasetio.wordpress.com/2010/10/28/pelaksanaangoodcorporategoverna

nce-di-indonesia/,

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

85

kewajiban keterbukaan informasi serta mewajibkan perusahaan tercatat untuk

menyampaikan informasi yang material dan relevan. Selain itu juga

dibentuknya berbagai organisasi dan perkumpulan yang mendukung

pelaksanaan dari GCG itu sendiri seperti. Lahirnya Forum for Corporate

Governance in Indonesia (FCGI), Indonesian Institute for Corporate

Governance (IICG), Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD),

Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA), Ikatan Komite Audit

Indonesia (IKAI), Asosiasi Auditor Internal (AAI), Klinik GCG Kadin, dan

lahirnya Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI) yang kegiatannya

antara lain mengadakan Forum LKDI untuk membahas berbagai hal seperti

tanggung jawab hukum bagi Komisaris dan Direksi, Undang-Undang

pencucian uang dan sebagainya.

Disektor perbankan penerapan tata kelola perusahaan yang baik juga

diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 juncto Nomor

8/14/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corrporate Governance di Bank

Umum dan juga terdapat pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang

Penerapan Tata Kelola pada Bank Umum.

E. Tata Kelola Perusahaan yang Baik dalam Perundang-undangan di

Indonesia

Peraturan mengenai Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) terdapat di

beberapa hukum perusahaan yaitu:

1. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada BUMN

Untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masalah jatuh-bangun

sistem korporasinya dipandang bukan karena salah urus, tetapi

semata-mata hanya soal political will dari pemerintah. Sebab, dalam

praktik pengelolaan BUMN sarat dengan korupsi, kolusi, dan

nepotisme. Ada begitu banyak kepentingan yang melingkupi BUMN.

Aparat pemerintah dapat mengeksploitasi posisinya dari dalam

maupun dari luar perusahaan untuk memperkaya diri sendiri atau

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

86

kroninya. Menyadari kontribusi badan-badan usaha Negara terhadap

keterpurukan keuangan dan moneter Negara sangat signifikan.18

Untuk mengatasi hal tersebut pada tahun 1999 Menteri Badan Usaha

Milik negara mengeluarkan Keputusan Menteri Negara

Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-PBUMN/1999 tentang

Pembentukan Komite Audit bagi BUMN dimana Komite Audit

bertugas untuk membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi

tanggung jawab pengawasannya. Kemudian pada tahun 2000 Menteri

BUMN kembali mengeluarkan Surat Edaran Menteri PM-PBUMN

Nomor S-106/M PM PBUMN/2000 tanggal 17 April 2000 perihal

Kebijakan Penerapan Corporate Governance yang baik di semua

BUMN.

Pada tanggal 4 Juni 2002 tentang pembentukan Komite Audit bagi

Badan Usaha Milik Negara, peraturan Komite Audit ini ditindak

lanjuti dengan memberlakukan Keputusan Mentri BUMN nomor Kep-

117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002. Dalam peraturan ini

corporate governance diatur lebih komperehensif dibandingkan

dengan institusi lain. Setiap BUMN diwajibkan untuk menerapkan

corporate governance secara baik, konsisten, dan atau menjadikannya

sebagai landasan operasionalnya.

Pada tahun 2011 Keputusan Menteri BUMN mengenai penerapan

GCG kembali disempurnakan dan diperbaharui dengan

dikeluarkannya Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:

PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahan yang

Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara.

Pada Peraturan Menteri ini menjelaskan secara komperhensif

bagaimana peran setiap jenjang organ BUMN yaitu Pemegang saham,

Dewan Komisaris, Direksi, Komite Audit, Sekretaris Perusahaan

dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip GCG.

18

Akbar Faizal Tanri Abeng Menjawab: Profesional Versus Politik, (Jakarta: Alexindo

Media Komputindo, 2002), h. 4

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

87

2. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada Hukum Perbankan.

Dalam pedoman Good Corporate Governance Perbankan

Indonesia dinyatakan, untuk terciptanya kondisi yang mendukung

implementasi Good Corporate Governance yang efektif, salah satu

tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan otoritas terkait

adalah penerbitan peraturan perundang -undangan yang

memungkinkan dilaksankannya Good Corporate Governance secara

efektif.

Selain itu pemerintah dan otoritas terkait harus mampu menjamin

dan membuktikan bahwa penegakan hukum (law enforcement)

dilakukan secara serius. Disisi lain, sebagai subjek Good Corporate

Governance bank perlu menerapkan standar akuntansi dan standar

audit yang sama dengan standar yang berlaku umum serta melibatkan

auditor eksternal dalam proses audit. Tujuannya supaya diperoleh

ukuran yang sama dengan ukuran ditempat lain. Dengan demikian,

stakeholder dapat berharap akan interpretasi yang sama atas

fenomena-fenomena yang sejenis. Sebab pada dasarnya persoalan

Good Corporate Governance adalah persoalan tanggung jawab

perusahaan terhadap stakeholder. Pada bidang perbankan, misalnya

antara lain adalah Peraturan Bank Indonesia nomor2/27/PBI/2000

tentang Bank Umum, dalam peraturan tersebut diatur kriteria yang

wajib dipenuhi calon anggota Direksi dan Komisaris bank umum,

serta batasan transaksi yang diperbolehkan atau dilarang dilakukan

pengurus bank. Melalui penerapan peraturan itu diharapkan dapat

dieliminasi penyimpangan operasi bank yang dilakukan oleh Direksi

dan Komisaris, maupun yang bukan interest perseroan (Bank).

Dengan semakin kompleksnya risiko yang dihadapi bank, melindungi

kepentingan stakeholders, meningkatkan kepatuhan terhadap

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang

berlaku umum pada industri perbankan serta peningkatan kualitas

pelaksanaan good corporate governance untuk memperkuat kondisi

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

88

internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan

Indonesia (API) maka diberlakukanlah Peraturan Bank Indonesia

Nomor 8/4/PBI/2006 juncto Nomor 8/14/PBI/2006 tentang

Pelaksanaan Good Corrporate Governance di Bank Umum.Selain

Peraturan Bank Indonesia.

Penerapan GCG pada perbankan juga diatur dalam Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola pada Bank

Umum. Pada peraturan OJK ini pada Pasal 2 Ayat (1) menegaskan

bahwa setiap Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip tata kelola

perusahaan yang baik pada seluruh tingakatan atau jenjang organisasi.

Kemudian didalam Pasal 2 Ayat (2) mengatur bahwa penerapan

prinsip tata kelola perusahaan yang baik paling sedikit diwujudkan

dalam:

a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan

Komisaris Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite dan

satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern.

b. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern.

c. Penerapan manajemen risikoPenyediaan dana kepada pihak

terkait dan penyediaan dana besar

d. Rencana strategis, dan Transparansi kondisi keuangan dan non

keuangan

3. Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Perseroan Terbatas

Dalam Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Undang-Undang

Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 menganut model yang

membedakan tugas dan kewenangan direksi dengan komisaris. Untuk

menyesuaikan implementasi GCG, Peraturan tentang Perseroan

Terbatas memiliki ruang lingkup kedudukan dan tanggung jawab

komisaris, direksi, dan para pemegang saham. Mengingat bahwa

dalam prinsip pengelolaan usaha yang baik pengaturan tanggung

jawab dari setiap organ yang ada dalam PT akan mempengaruhi

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

89

desain kewenangan dan tanggung jawab yang ditetapkan didalam

Anggaran Dasar. Tanpa adanya direksi dan komisaris suatu PT tidak

dapat menjalankan fungsinya sebagai sebuah institusi/badan yang

melakukan aktivitas usaha untuk mencari keuntungan ekonomis. Agar

direksi dalam melaksanakan tugasnya tidak melampaui wewenangnya

maka dilakukan pengawasan oleh dewan komisaris dan dibatasi oleh

RUPS sebagai pemilik perseroan melalui ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam UUPT.

4. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada Pasar Modal

Dalam strategi pengembangan umum pasar modal Indonesia oleh

Badan Pengawas Pasar Modal disadari bahwa salah satu penyebab

rentannya perusahaanperusahaan di Indonesia terhadap gejolak

perekonomian adalah lemahnya penerapan Good Corporate

Governance dalam perusahaan. Kondisi tersebut ditandai dengan

standar laporan yang minimal tentang kinerja keuangan perusahaan,

khususnya tentang kewajiban utang piutang, tidak ada direktur

Independen dan diragukannya independensi auditor. Disamping itu

mekanisme yang mendorong perusahaan untuk mentaati peraturan dan

penegakan hukum masih kurang. Sanksi yang diberikan kepada

mereka yang melanggar peraturan tidak memadai terutama pada

situasi ekonomi yang tidak menguntungkan. Agar pelaksanaan Good

Corporate Governance dapat dimengerti maka perlu dicermati

keempat aspek tersebut yaitu aspek kewajaran, transparansi,

akuntabilitas dan tanggung jawab. Untuk menunjang pemulihan

bidang pasar modal yang turut porak poranda dihantam badai krisis

tahun 1997 juga diterbitkan serangkaian peraturan yang bersangkutan

dengan corporate governance. Lembaga komisaris independen mapun

komite audit mendapat respon yang paling apresiatif dari otoritas

pasar modal.

Adanya keharusan dalam perusahaan publik untuk memiliki

komisaris independen dan komite audit diatur dalam Surat Edaran

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

90

Ketua Bapepam nomor SE-03/PM/2000 tanggal 5 Mei 2000.

Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran BEJ nomor

SE-005/BEJ/09-2001 juncto Surat Direksi BEJ nomor Kep

339/BEJ/07-2001 tanggal 20 Juli 2001, Peraturan I-A. Dalam kedua

peraturan ini diatur tata cara pemilihan, syarat- syarat yang wajib

dipenuhi oleh calon komisaris independen, tugas dan tanggung

jawabnya dalam perusahaan publik.

Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia telah

diperkuat dengan kapastian hukum, dengan lahirnya peraturan

perundangan antara lain:

1. Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal

dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-23/

PBUMN/2000 tanggal 31 Mei 2000 Tentang Pengembangan

Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan

Perseroan.

2. Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-117/M-

MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 Tentang Penerapan Praktek

Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara.

3. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-

01/MBU/20011 tentang Penerapan Tata Kelola Peusahaan yang

Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik

Negara

4. Surat Edaran Menteri PM-PBUMN Nomor S-106/M

PM.PBUMN/2000 tanggal 17 April 2000 perihal Kebijakan

Penerapan Corporate Governance yang baik di semua BUMN.

5. Surat Komisaris PT Pos Indonesia (Persero) Nomor. 518/S-

KU/2000 tanggal 2 Oktober 2000 perihal Pelaksanaan GCG dan

Instruksi Untuk Pembentukan Tim Perumus Panduan Penerapan

GCG.

6. Surat Komisaris PT Pos Indonesia (Persero) Nomor. 520/S-

KU/2000 tanggal 2 Oktober 2000 perihal Pembentukan Komite

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

91

Audit. 9. Keputusan Direksi PT Pos Indonesia (Persero)

Nomor81/Dirut/1201 tanggal 27 Desember 2001 Tentang

Gerakan Moral Pos Indonesia. BTP (Bersih, Transparan dan

Profesional

7. Peraturan Bank Indonesia nomor 8/4/PBI/2006 juncto nomor

8/14/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corrporate

Governance di Bank Umum.

8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang

Penerapan Tata Kelola pada Bank Umum.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

92

BAB IV

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA

PERUSAHAAN YANG BAIK PADA HOLDINGISASI BUMN

A. Kewajiban Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik Pada

BUMN

Prinsip Good Corporate Governance atau GCG diharapkan dapat

menyehatkan BUMN baik dari segi pengelolaannya maupun dari segi

pengamanan asetnya. Prinsip GCG seperti yang telah di paparkan

sebelumnya, GCG merupakan suatu sistem, proses, maupun seperangkat

peraturan yang mengatur mengenai hubungan antara berbagai pihak yang

memiliki kepentingan di dalam suatu perseroan (stakeholder), sehingga

adanya GCG ini sangat diperlukan dalam rangka menciptakan BUMN yang

sehat.

GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan

agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan

dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders

khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan

pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain

yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.1

Reformasi pengelolaan perusahan melalui penerapan prinsip-prinsip tata

kelola perusahaan yang baik (GCG) di BUMN ditegaskan dengan

dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-103/MBU/2002

tentang pembentukan komite audit bagi Badan Usaha Milik Negara pada

tanggal 4 Juni 2002. Komite audit ini bertugas untuk membantu dan

bertanggung jawab langsung kepada komisaris atau dewan pengawas. Komite

Audit bertanggungjawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah

dijalankan sesuai Undang-Undang dan peraturan yang berlaku dan etika,

1Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 1

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

93

melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap benturan kepentingan dan

kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Peraturan tentang

komite audit tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan memberlakukan

Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/MMBU/ 2002 tanggal 1 Agustus

2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada BUMN

yang mencabut Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan

BUMN Nomor Kep-23/M-PM.PBUMN/2002 tanggal 31 Mei 2000 tentang

Pengembangan Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam

Perusahaan Perseroan. Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-

MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada

BUMN mewajibkan BUMN untuk menerapkan good governance secara

konsisten dan/atau menjadikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik

(GCG) sebagai landasan operasionalnya, kemudian pada tahun 2003,

pemerintah telah meratifikasi Undang-Undang BUMN, yang didalamnya

telah terkandung prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

Kemudian Keputusan Menteri tersebut disempurnakan kembali dengan

dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MB /2011

tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang

Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara harus

senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yaitu transparansi

(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban

(responsibility), kemandirian (independency), kewajaran (fairness). BUMN

wajib menerapkan prinsip-prinsip GCG tersebut secara konsisten dan

berkelanjutan dalam setiap kegiatan usaha dan seluruh jenjang organisasi,

mulai dari RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi sampai dengan pegawai

pelaksana.

Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut diatas, BUMN

harus berpedoman pada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-

01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola

Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha

Milik Negara ini dengan tetap memperhatikan ketentuan, dan norma yang

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

94

berlaku serta anggaran dasar BUMN. Penerapan GCG harus dilengkapi

dengan penyusunan GCG Code yang diantaranya dapat memuat board

manual, manajemen risiko manual, sistem pengendalian intern, sistem

pengawasan intern, mekanisme pelaporan atas dugaan penyimpangan pada

BUMN yang bersangkutan, tata kelola teknologi informasi, dan pedoman

perilaku etika (code of conduct).2

Untuk memastikan penerapan GCG diperlukan keberadaan seorang

anggota Direksi yang ditunjuk oleh Rapat Direksi sebagai penanggung jawab

dalam penerapan dan pemantauan GCG di BUMN yang bersangkutan.3

Dipihak lain, peran pengawasan Dewan Komisaris harus ditingkatkan dalam

memantau dan memastikan bahwa GCG telah diterapkan secara efektif dan

berkelanjutan, baik pada lingkup Manajemen dan Direksi maupun Dewan

Komisaris dan Pemegang Saham (RUPS).4 Dalam upaya perbaikan dan

peningkatan kualitas penerapan GCG, BUMN wajib melakukan pengukuran

terhadap penerapan GCG.5

Implementasi GCG di BUMN dapat dilihat dengan adanya peraturan-

peraturan yang mendukungnya seperti:

1. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-

133/M-PBUMN/1999 tentang Pembentukam Komite Audit bagi

BUMN.

2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang

Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.

2 Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 1

3 Lihat Pasal 19 ayat (2) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan

Usaha Milik Negara.

4 Lihat Pasal 12 ayat (7) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan

Usaha Milik Negara.

5 Lihat Pasal 44 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan Usaha

Milik Negara.

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

95

3. Keputusan Menteri BUMN Nomor 09A/MBU/2005 tentang Proses

Penilaian Fit & Proper Test Calon Anggota Direksi BUMN.

4. SE Menteri BUMN Nomor 106 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri

BUMN Nomor 23 Tahun 2000 mengatur dan merumuskan

pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam

perusahaan perseroan.

5. Peraturan Mentari Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal

01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik

(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara.

6. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Good

Corporate Governance yang dirubah dengan PBI Nomor

8/14/GCG/2006.

7. Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi Nomor:

KEP.448/UM.004/X/APII2007 461 tentang Pedoman Pelaksanaan

Good Corporate Governance (GCG) dan pedoman Perilaku (Code of

Conduct) di Lingkungan PT Angkasa Putra II (Persero)

8. Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi PT Pos Indonesia

(Persero) Nomor: 288/Dekom/0714 dan Nomor: KD.44/DIRUT/0714

tanggal 01 Juli 2014 tentang Panduan Penerapan Good Corporate

Governance di PT Pos Indonesia (Persero), khususnya yang tercantum

dalam Bab VIII, yaitu Kebijakan Perusahaan tentang Pedoman Etika

Bisnis dan Tata Perilaku (Code of Conduct).

B. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Holdingisasi

BUMN di tinjau dari Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara

Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan

yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik

Negara (BUMN)

Tergabungnya anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup atau

holding company tidaklah menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

96

badan hukum anak perusahaan sebagai subjek hukum mandiri.6 Hukum

perseroan mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum

anak perusahaan sebagai subjek hukum yang mandiri, sedangkan pada saat

bersamaan anak perusahaan tunduk dibawah kendali induk perusahaan dalam

suatu kesatuan ekonomi. Bagaimanapun konstruksi perusahaan grup (holding

company) tidak mungkin ada apabila peraturan perundang-undangan tidak

memberikan legitimasi terhadap adanya kepemilikan induk perusahaan atas

saham anak perusahaan yang menjadi alasan keberadaan lahirnya keterkaitan

induk dan anak perusahaan dari realitas bisnis perusahaan grup (holding

company).7

Keterkaitan antara induk dan anak perusahaan dalam konstruksi

perusahaan grup (holding company) merupakan hubungan antara induk dan

anak perusahaan yang berbadan hukum mandiri. Keterkaitan ini terjadi ketika

pimpinan kegiatan ekonomi dari dua atau lebih perusahaan dikoordinasikan

sedemikian rupa sehingga di antara anggota perusahaan grup terdapat susunan

yang erat dalam aspek ekonomi, keuangan, dan organisasi. Dalam

menjalankan peran sebagai pimpinan sentral perusahaan grup, induk

perusahaan megendalikan dan mengoordinasikan anak-anak perusahaan

dalam suatu kesatuan ekonomi agar tercapainya tujuan kolektif perusahaan

grup.8

Pada perusahaan grup BUMN (Holding company BUMN) dari perspektif

yuridis, setiap anak perusahaan merupakan badan hukum yang mandiri dan

otonom, yang dilengkapi dengan organ-organ perusahaan seperti Direksi

yang bertanggung jawab dalam menjalankan operasional perusahaan.

Sehingga dalam menjalankan operasional perusahaannya, induk perusahaan

6 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 135

7 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 136

8 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, h. 136

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

97

maupun anak perusahaan BUMN menjalankan prinsip tata kelola perusahaan

yang baik sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik

Negara Nomor: PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola

Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha

Milik Negara Pasal 45 Ayat (2) yang berbunyi:

“Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, dapat pula diberlakukan terhadap

perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara, dan anak

perusahaan BUMN, sepanjang hal tersebut disetujui oleh RUPS perseroan

terbatas atau anak perusahaan BUMN dimaksud.”

Dalam konstruksi holding company induk perusahaan mengangkat

anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaan melalui organ

RUPS anak perusahaan. Holding company menggunakan kebijakan bahwa

anggota dreksi dan/atau dewan komisaris induk perusahaan dapat merangkap

jabatan pada direksi dan/atau komisaris anak perusahaan. Melalui rangkap

jabatan ini, induk perusahaan dapat mengendalikan kegiatan operasional anak

perusahaan sehari-hari sehingga kebijakan anak perusahaan tetap sejalan

dengan kepentingan holding company.9 Organ BUMN yang terdiri dari Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi,

mempunyai peran penting dalam pelaksanaan GCG secara efektif. Organ

perusahaan harus menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang

berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai

independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawab semata-

mata untuk kepentingan perusahaan.10

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

9 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 136

10

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 93

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

98

Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:

PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara

menyatakan bahwa setiap pemegang saham berhak memperoleh

penjelasan lengkap dan informasi akurat berkenaan dengan

penyelenggaraan RUPS, di antaranya:11

a) panggilan untuk RUPS, yang mencakup informasi mengenai setiap

mata acara dalam agenda RUPS, termasuk usul yang direncanakan

oleh Direksi untuk diajukandalam RUPS, dengan ketentuan apabila

informasi tersebut belum tersedia saat dilakukannya panggilan untuk

RUPS, maka informasi daniatau usul-usul itu harus disediakan di

kantor Perseroan sebelum RUPS diselenggarakan;

b) metode perhitungan dan penentuan gaji/honorarium, fasilitas dan atau

tunjangan lain bagi setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta

rincian mengenai gaji/honorarium, fasilitas, daniatau tunjangan lain

yang diterima oleh anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang sedang

menjabat, khusus dalam RUPS mengenai Laporan Tahunan;

c) informasi mengenai rincian rencana kerja dan anggaran perusahaan

dan hal-hal lain yang direncanakan untuk dilaksanakan oleh Persero,

khusus untuk RUPS Rencana Jangka Panjang (RJP) dan Rencana

Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP);

d) informasi keuangan maupun hal-hal lainnya yang menyangkut Persero

yang dimuat dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan;

e) penjelasan lengkap dan informasi yang akurat mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan agenda RUPS yang diberikan sebelum dan/atau pada

saat RUPS berlangsung.

Pasal 6 Peraturan Menteri BUMN tentang Penerapan Prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang Baik ini adalah implementasi daripada asas GCG

yaitu transparansi dimana dalam menjalankan bisnis perusahaan harus

11

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 6.

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

99

menyediakan informasi yang material dan relevan kepada pemangku

kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisatif untuk mengungkapkan

apabila ada masalah dalam perusahaan dan juga hal yang penting untuk

pengambilan keputusan oleh pemegang saham.

RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang

saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal

yang ditanam dalam perusahaan, dengam memperhatikan ketentuan

anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.

Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada

kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau

pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi

dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi dengan tidak mengurangi

wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran

dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan

penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau

Direksi.12

Selain itu pemegang saham berhak atas perlakuan sama termasuk

pemegang saham minoritas maupun pemegang saham asing. Perlakuan

sama kepada pemegang saham merupakan perwujudan dari asas GCG

yaitu kesetaraan dan kewajaran, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate

Governance) pada Badan Usaha Milik Negara bahwa Pemegang saham

yang memiliki saham dengan klasifikasi yang sama harus diperlakukan

setara (equal treatment).

2. Dewan Komisaris

Pasal 12 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara mengatur

12

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 93

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

100

tentang fungsi dewan komisaris sebagai dewan pengawas yang

bertanggung jawab dan berwenang melakukan pengawasan atas kebijakan

pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai BUMN

maupun usaha BUMN dan memberikan nasihat pada direksi.

Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan

laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan

oleh direksi. Laporan pengawasan dewan komisaris merupakan bagian

dari laporan tahunan yang disampaikan kepada RUPS untuk memperoleh

persetujuan. Dengan diberikannya persetujuan atas laporan tahunan dan

pengesahan atas laporan keuangan, berarti RUPS telah memberikan

pembebasan dan pelunasan tanggung jawab kepada masing-masing

anggota Dewan Komisaris sejauh hal-hal tersebut tercermin dari laporan

tahunan, dengan tidak mengurangi tanggungjawab masingmasing anggota

Dewan Komisaris dalam hal terjadi tindak pidana atau kesalahan atau

kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yang tidak dapat

dipenuhi dengan aset perusahaan.13

Pertanggungjawaban dewan komisaris kepada RUPS merupakan

perwujudan akuntabilitas pengawasan atas pengelolaan perusahaan dalam

rangka pelaksanaan asas GCG.

Pada dewan komsaris juga dibentuk Komite Kebijakan Corporate

Governance yang bertugas untuk membantu dewan komisaris dalam

mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh direksi

serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan

etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility). Anggota Komite Kebijakan Corporate Governance terdiri

dari anggota Dewan Komisaris, namun bilamana perlu dapat juga

menunjuk pelaku profesi luar perusahaan.14

13

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 100.

14

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 100

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

101

3. Direksi

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara mengatur

5 (lima) tugas utama Direksi yaitu kepengurusan, manajemen resiko,

pengendalian internal, komunikasi dan tanggung jawab sosial.15

a. Kepengurusan.

Direksi harus menyusun visi, misi, dan nlai-nilai serta program

jangka panjang dan jangka pendek perusahaan untuk dibicarakan dan

disetujui oleh dewan komisaris atau RUPS sesuai dengan ketentuan

anggaran dasar. Direksi harus dapat mengendalikan sumber daya yang

dimiliki oleh perusahaan secara efektif dan efisien serta

memperhatikan kepentingan yang wajar dari pemangku kepentingan.16

b. Manajemen Risiko

Direksi harus menyusun dan melaksanakan sistem

manajemen risiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek

kegiatan perusahaan. Untuk setiap pemgambilan keputusan

strategis, termasuk penciptaan produk atau jasa baru, harus

diperhitungkan dengan seksama dampak risikonya, dalam arti

adanya keseimbangan antara hasil dan beban risiko.17 Untuk

memastikan dilaksanakannya manajemen risiko dengan baik,

perusahaan perlu memiliki unit kerja atau penanggungjawab

terhadap pengendalian risiko. Direksi wajib menyampaikan

15

Lihat Pasal 19-26 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik

Negara.

16

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 102

17

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 102

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

102

laporan profil manajemen risiko dan penanganannya bersamaan

dengan laporan berkala perusahaan.18

c. Pengendalian Internal

Direksi harus menyusun dan melaksanakan sistem

pengendalian internal perusahaan yang handal dalam rangka

menjaga kekayaan dan kinerja perusahaan.19 Pasal 26 Peraturan

Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara

menjelaskan bahwa sistem pengendalian intern yang efektif untuk

mengamankan investasi dan aset perusahaan mencakup hal-hal

berikut:20

1) Lingkungan pengendalian intern dalam perusahaan yang

dilaksanakan dengan disiplin dan terstruktur, yang terdiri dari:

a) Integritas, nilai etika dan kompetensi karyawan;

b) filosofi dan gaya manajemen;

c) Cara yang ditempuh manajemen dalam melaksanakan

kewenangan dan tanggung jawabnya;

d) Pengorganisasian dan pengembangan sumber daya

manusia; dan

e) Perhatian dan arahan yang dilakukan oleh Direksi.

2) Pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk

assessment), yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi,

menganalisis, menilai pengelolaan risiko yang relevan.

18

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 25 Ayat (4).

19

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 103

20

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 26.

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

103

3) Aktivitas pengendalian, yaitu tindakan-tindakan yang

dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan

perusahaan pada setiap tingkat dan unit dalam struktur

organisasi BUMN, antara lain mengenai kewenangan,

otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja,

pembagian tugas, dan keamanan terhadap aset perusahaan.

4) Sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian

laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, serta

ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan oleh BUMN.

5) Monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem

pengendalian intern, termasuk fungsi internal audit pada setiap

tingkat dan unit dalam struktur organisasi BUMN, sehingga

dapat dilaksanakan secara optimal.

Selain 5 (lima) poin penjelasan diatas direksi juga harus

melakukan evaluasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan

perusahaan, pelaksanaan GCG dan perundang-undangan.

d. Komunikasi.

Direksi harus memastikan kelancaran komunikasi antara

perusahaan dengan pemangku kepentingan dengan

memberdayakan fungsi sekretaris perusahaan dan sekretaris

perusahaan bertanggung jawab pada direksi. Laporan pelaksanaan

tugas sekretaris perusahaan disampaikan pula kepada dewan

komisaris.

e. Tanggung jawab sosial

Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha

perusahaan direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggung

jawab sosial perusahaan. Direksi harus mempunyai perencanaan

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

104

tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab

sosial perusahaan.21

Dalam hal pertanggungjawaban direksi harus menyusun

pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan dalam bentuk

laporan tahunan yang memuat antara lain laporan keuangan,

laporan kegiatan perusahaan, dan laporan pelaksanaan GCG.

Laporan tahunan harus memperoleh persetujuan RUPS, dan

khusus untuk laporan keuangan harus memperoleh pengesahan

RUPS. Laporan tahunan harus telah tersedia sebelum RUPS

diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk

memungkinkan pemegang saham melakukan penilaian.22

Dengan diberikannya persetujuan atas laporan tahunan dan

pengesahan atas laporan keuangan, berarti RUPS telah

memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab kepada

masing-masing anggota direksi sejauh hal-hal tersebut tercermin

dari laporan tahunan, dengan tidak mengurangi tanggung jawab

masing-masing anggota direksi dalam hal terjadi tindak pidana

atau kesalahan dan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian

bagi pihak ketiga yang tidak dapat dipenuhi dengan aset

perusahaan.23

Pertanggungjawaban Direksi kepada RUPS merupakan

perwujudan akuntabilitas pengelolaan perusahaan dalam rangka

pelaksanaan asas GCG. Dimana direksi harus dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara trasnparan. Maka

dari itu dalam melaksanakan tugasnya direksi harus tetap

21

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 104

22

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 103

23

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 103

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

105

memperhitungkan kepentingan para pemangku kepentingan dan

juga pemegang saham. Terwujudnya prinsip akuntabilitas akan

mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Selain RUPS, Dewan Komsaris, dan Direksi, organ BUMN

yang juga memiliki peran penting dalam penerapan GCG adalah

Komite Audit dan Sekretaris Perusahaan.

1. Komite Audit

Komte audit adalah organ tambahan yang diperlukan dalam

pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG).

Komite audit dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk

melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu

terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan

pengelolaan perusahaan serta melaksanakan tugas penting

berkaitan dengan sistem pelaporan keuangan. Anggota komite

audit diharuskan memiliki keahlian yang memadai. Komite

audit memiliki kewenangan untuk mengakses data

perusahaan.24

Komite audit harus ada didalam BUMN, karena

berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang BUMN dewan

komisaris wajib membentuk komite tersebut yang bekerja

secara kolektif dan berfungsi untuk membantu dewan

komisaris dalam melaksanakan tugasnya mengawasi pekerjaan

direksi. Komite audit biasanya beranggotakan 3 (tiga) atau 5

(lima) orang yang salah satunya adalah anggota dewan

komisaris sebagai seorang ketua yang bertanggung jawab

kepada dewan komisaris.25

24

Indra Surya, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:

Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta:Kencana,2006), h. 145.

25

Gatot Supramono, BUMN Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata, (Jakarta:Rineka Cipta,

2016), h. 156.

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

106

Ketentuan mengenai komite audit terdapat pada Keputusan

Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara

Nomor Kep-133/M-BUMN/1999 tentang Pembentukan

Komite Audit bagi Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan ini

menyebutkan bahwa komite audit bersifat mandiri baik dalam

pelaksanaan tugasnya maupun dalam pelaporan dan

bertanggung jawab langsung pada Dewan Komisaris.26

Dalam kaitannya dengan penerapan GCG, membangun

peran komite audit yang efektif tidak dapat terlepas dari

kacamata penerapan prinsip GCG secara keseluruhan dimana

Independensi, Transparansi, Akuntabilitas, dan tanggung

jawab serta sikap adil menjadi prinsip dan landasan.27

Dengan demikian Komite audit sebagai perwujudan dari

implementasi Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG)

berkaitan dengan peran Corporate Governance tugasnya:28

a. Mengawasi proses penyusunan Corporate Governance;

b. Memastikan bahwa manajemen senior aktif secara aktif

mensosialisasikan budaya Corporate Governance;

c. Memonitor bahwa Code of Conduct telah dilaksanakan

secara konsekuen;

d. Memantau bahwa perusahaan mematuhi Undang-Undang

dan peraturan yang berlaku; dan

e. Mewajibkan auditor internal melaporkan secara tertulis

hasil evaluasi pelaksanaan Corporate Governance dan

temuan lainnya.

26

Indra Surya, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:

Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta:Kencana,2006), h. 146.

27

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 20

28

Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha

Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 22

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

107

2. Sekretaris Perusahaan

Keberadaan sekretaris perusahaan ini dinilai sangat penting,

karena segala data maupun laporan yang sifatnya material ada

pada sekretaris perusahaan. Penyediaan informasi berkaitan

dengan kepentingan pemegang saham dan pihak lain. Kewajiban

perusahaan untuk menyediakan informasi yang berkualitas, untuk

itu diperlukan sekretaris perusahaan.

Adapun fungsi sekretaris perusahaan dapat dilihat pada Pasal

29 Ayat (4) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara

Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola

Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan

Usaha Milik Negara adalah:29

a) Memastikan bahwa BUMN mematuhi peraturan tentang

persyaratan keterbukaan sejalan dengan penerapan

prinsip-prinsip GCG;

b) Memberikan informasi yang dibutuhkan oleh direksi dan

dewan Komisaris/dewan pengawas secara berkala

dan/atau sewaktu-waktu apabila diminta;

c) Sebagai penghubung (liaison officer); dan

d) Menatausahakan serta menyimpan dokumen perusahaan,

termasuk tetapi tidak terbatas pada Daftar Pemegang

Saham, Daftar Khusus dan risalah rapat Direksi, rapat

Dewan Komisaris dan RUPS.

Sekretaris perusahaan memiliki peranan penting dalam

menciptakan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate

Gocernance). Peranan sekretaris perusahaan ini sebenarnya tidak

terlepas dari tugas yang diembannya, yaitu memastikan

perusahaan mematuhi peraturan tentang persyaratan keterbukaan

29

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01/MBU/2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 29 Ayat (4).

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

108

yang berlaku dengan memberikan masukan kepada Direksi.

Sehubungan dengan hal tersebut sekretaris perusahaan harus

mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.30

Terkait dengan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang

baik pada perusahaan grup BUMN, maka setiap tindakan direksi

anak perusahaan seharusnya lebih mengutamakan kepentingan

anak perusahaan itu sendiri dibandingkan dengan kepentingan

pihak ketiga ataupun perusahaan grup. Implikasinya, dengan

penerapan prinsip corporate governance, seharusnya tidak ada

alasan bagi anak perusahaan melakukan perbuatan hukum untuk

memenuhi kepentingan ekonomi anak perusahaan yang

bersangkutan dibandingkan dengan kepentingan pihak ketiga.31

Dalam penggunaan hak suara dalam RUPS, induk perusahaan

BUMN menentukan kebijakan bidang keuangan dan operasional

anak perusahaan yang disampaikan dalam forum RUPS.

Sebaliknya, induk perusahaan BUMN tidak dapat mencampuri

kegiatan operasional anak perusahaan menjadi tanggung jawab

direksi anak perusahaan sebagai wujud operasionaliasasi

kebijakan bidang keuangan dan operasional anak perusahaan

yang ditetapkan oleh induk perusahaan BUMN.32

Hal ini merupakan perwujudan asas GCG yaitu independensi,

dimana masing-masing organ perusahaan menghindari terjadinya

dominasi dari pihak manapun, sehingga pengambilan keputusan

dapat dilakukan secara obyektif. Masing-masing organ

30

Indra Surya, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:

Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta:Kencana,2006), h. 154

31

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 144

32

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2013), h. 147

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

109

perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai

dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.

C. Kewenangan Pemerintah dalam Pengelolaan dan Pengawasan Holding

BUMN

Diawali atas putusan Mahkamah Agung yang menolak gugatan uji

materil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata

Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan

Perseroan Terbatas. Uji material tersebut diajukan oleh Majelis Nasional

Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Yayasan Re-IDE

Indonesia, Ahmad Redi dan Suparji, pemohon mengajukan beberapa

argumen hukum. Pertama, pemohon melihat berdasarkan Undang-Undang

Keuangan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 47/PUU-

XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013,

disebutkan pelaksanaan penyertaan modal negara/pemerintah pada BUMN

harus melalui persetujuan DPR yang alokasinya tercantum dalam Undang-

Undang APBN, dimana hal tersebut sesuai dengan konsep yuridis bahwa

kekayaan BUMN merupakan keuangan negara sehingga segala bentuk

pengalihan kekayaan negara di BUMN kepada pihak lain, termasuk

kepada BUMN, harus mendapatkan persetujuan DPR dan dituangkan

dalam UU APBN.

Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 pada

Pasal 2A Ayat (1) di sebutkan bahwa:

Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa

saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan

Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Argumen kedua terletak pada Pasal 2A Ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yaitu:

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

110

Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada

BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d dijadikan

penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham

dimiliki oleh BUMN lain maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan

BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak

istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.

Dari Pasal 2A Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun

2016 tersebut mengarah pada adanya ketidakseimbangan antara Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 yang mendasari pembentukan Holding

BUMN dengan konsep keuangan negara yang menganut check and

balances system sesuai dengan budgeting DPR yang sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.33

Keputusan penolakan uji materil atas Peraturan Pemerintah Nomor

72 Tahun 2016 oleh Mahkamah Konstitusi didasari dengan beberapa

pertimbangan dimana Hakim Mahkamah Agung, Supandi menyebutkan

bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) saham badan usaha milik negara

(BUMN) ke BUMN lainnya yang menjadikan status BUMN tersebut

sebagai anak perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan,

karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa BUMN yang menjadi

anak perusahaan dari BUMN induk tersebut berubah menjadi Perseroan

Terbatas.

Pertimbangan selanjutnya yaitu, bahwa holdingisasi berbeda

dengan privatisasi, karena privatisasi sendiri memiliki tujuan yang salah

satunya ialah memperluas kepemilikan masyarakat, Undang-Undang

nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN pada Pasal 1 Ayat (12)

menyebutkan bahwa:

“penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada

pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,

memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas

pemilikan saham oleh masyarakat.”

33

https://news.detik.com/berita/d-3554314/ma-dinilai-tak-cermat-adili-perkara-regulasi-holdingisasi

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

111

Sehingga yang dimaksud dengan Privatisasi merupakan upaya

untuk meningkatkan peran persero, sehingga diharapkan dapat terjadi

peningkatan pada kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan

rakyat atas persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian

nasional.

Berbeda dengan holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam

Penjelasan Pasal 2A Ayat (3) yaitu,

Setelah dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan

Terbatas, maka kekayaan negara tersebut bertransformasi menjadi

saham/modal BUMN atau Perseroan Terbatas yang bersangkutan yang

dimiliki oleh negara, sehingga status kekayaan negara berubah dari

kekayaan negara tidak dipisahkan menjadi modal/saham yang merupakan

kekayaan negara dipisahkan. Dengan demikian, walaupun kekayaan

negara tersebut berubah menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas

akibat transformasi tersebut, namun masih memiliki hubungan dengan

negara karena status negara sebagai pemegang saham/pemilik modal.

Dengan demikian, hal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Kemudian pertimbangan lainnya, PMN saham negara di BUMN kepada

BUMN atau Perseroan Terbatas lain tidak bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bentuk BUMN yang menjadi

anak usaha BUMN tidak berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa,

namun tetap menjadi BUMN maka ketentuan Pasal 2A Ayat (6) dan Ayat

(7) objek HUM a quo tidak bertentangan dengan Undang-Undang.34

Namun, dari pertimbangan Hakim Mahkamah Agung tersebut yang

menyatakan bahwa Penyertaan Modal Negara atau saham suatu BUMN ke

BUMN lainnya yang menjadikan status BUMN tersebut sebagai anak

perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan, karena tidak ada

ketentuan yang menyatakan bahwa BUMN yang menjadi anak perusahaan

dari BUMN induk tersebut berubah menjadi Perseroan Terbatas tidak

34

http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/15/670290/putusan-ma-mudahkan-jalan-pembentukan-holding-bumn.

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

112

memiliki kekuatan hukum mengikat. Dikarenakan kemungkinan

sebaliknya akan terjadi dikarenakan dalam Pasal 2A Ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 menyatakan sebagai berikut:

“………maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan

ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur

dalam anggaran dasar”

Penjelasan Pasal tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan “hak

istimewa yang diatur dalam anggaran dasar” salah satunya ialah hak untuk

menyetujui perubahan struktur kepemilikan saham. Sehingga diperlukan

aturan hukum yang jelas mengikat bahwa kepemilikan saham mayoritas

bagi anak perusahaan BUMN dari BUMN induk lingkupnya tidak akan

keluar dari Pemerintah, sehingga BUMN tersebut minim resiko keluar dari

lingkup negara dan beralih pada pihak swata maupun asing.

Dalam hal ini, salah satu BUMN yang dijadikan holding ialah

BUMN sektor Tambang yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 47 Tahun 2017 dengan mengalihkan saham pemerintah dari PT

Aneka Tambang Tbk sebesar 65 persen, PT Bukit Asam Tbk sebesar 65,02

persen dan PT Timah Tbk sebesar 65 persen kepada induk holding yakni

PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero).

Setelah pembahasan mengenai ketidakikutsertaan DPR, hak

istimewa dan juga pengalihan saham pemerintah dari anggota holding

kepada induk holding, maka sejauh mana kewenangan pemerintah dalam

holding BUMN sektor tambang tersebut?

Meskipun pemerintah mengalihkan sekitar 65 persen saham dari

masing-masing anggota holding pada induk holding namun negara tetap

memiliki kontrol penuh terhadap anggota holding tersebut dikarenakan

pemerintah memiliki saham seri A dwi warna, dimana dari kepemilikan

saham tersebut pemerintah memegang kendali dalam 4 (empat) hal,

yakni:35

35

https://tirto.id/pemerintah-pegang-4-jenis-kewenangan-besar-di-holding-bumn-tambang-cAB7

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

113

1. Penunjukan komisaris maupun direksi tetap kewenangan pemerintah,

bukan kewenangan induk holding;

2. Struktur permodalan tetap pada pemerintah;

3. Perubahan anggaran dasar pun akan langsung dikendalikan

pemerintah; dan

4. Mengenai divestasi pun kewenangan pemerintah.

Sehingga, minim akan terjadinya pengendalian oleh induk holding

dalam beberapa hal. Namun, dari hal tersebut perlu diketahui bahwa

pembentukan holding tersebut dilakukan karena salah satu tujuan

dibentuknya holding BUMN ialah agar BUMN dapat bersaing secara

global dan meperoleh input maksimal.36

Maka sekelumit peraturan ini menyebabkan holding BUMN tidak

dapat dikonsolidasikan oleh induk holding atau jatuh ketangan swasta

maupun asing karena berdasarkan standar akuntasi keuangan 65 (PSAK65)

menyebutkan bahwa suatu aset bias dikonsolidasikan apabila suatu

perusahaan (induk perusahaan) memiliki kewenangan penuh terhadap anak

perusahaan holding.

Oleh karena itu proses konsolidasi dalam holding BUMN ini

terganjal oleh saham dwi warna yang ada pada anak perusahaan holding

yang menyebabkan induk perusahaan holding tidak memiliki otoritas

penuh terhadap anak perusahaan. Hal ini yang menjadi ganjalan. Pada

bagian lain, jika pemerintah mencabut saham dwi warna pada anak

perusahaan holding, maka pemerintah terkena delik privatisasi BUMN.

Namun, ketika suatu perusahaan tersebut tidak dapat dikonsolidasikan

akan sulit untuk mendapatkan besaran target aset yang tinggi. Sedangkan,

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan

tujuan dibentuknya holding BUMN sektor tambang ini bertujuan untuk

mengembangkan produk akhir hasil tambang, untuk mengakumulasi

modal BUMN guna membeli divestasi saham PT Freeport dan efisiensi

36

Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta: Booknesia kelompok

rakyat merdeka online (RMOL, 2012), h. 87.

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

114

dalam hal pengadaan kebutuhan alat berat industri pertambangan dan lain

sebagainya.37

Lalu berkaitan dengan pembentukan holding BUMN tersebut maka

timbul pertanyaan yang menyatakan bagaimana realisasi nilai aset hasil

konsolidasi dari tiga emiten tambang pun dipertanyakan, sedangkan proses

konsolidasi sendiri terganjal dengan adanya saham dwi warna tersebut.

Dalam artikel hukumonline.com,38

Harry Sampurno mengatakan bahwa

mengenai pengawasan oleh DPR akan tetap mengawasi tiap-tiap holding

BUMN, dikarenakan pemerintah memiliki saham dwi warna yang berarti

pemerintah memiliki hak penuh dalam mengendalikan holding BUMN

tersebut sehingga dalam rangka penjualan saham maupun langkah

privatisasi akan selalu melewati persetujuan DPR, lalu mengapa harus di

sebutkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut bahwa negara dapat

melepas kepemilikannya disebuah perusahaan tanpa melalui persetujuan

DPR?

Hal-hal janggal tersebut yang membawa peneliti pada kesimpulan

agar pemerintah terlebih dahulu menyatukan visi dan misi serta tujuan

dalam pembentukan holding BUMN tersebut, agar tidak terjadi

ketidakseimbangan yang menimbulkan asumsi yang ambigu. Serta revisi

wajib dilakukan terhadap peraturan yang mendasari pembentukan holding

BUMN ini agar tercapainya kemaslahatan bersama serta holding BUMN

memiliki kekuatan hukum yang pasti dari setiap sudut pendiriannya.

D. Urgensi Holding BUMN sektor Pertambangan bagi Perekonomian

Indonesia

Tujuan dibentuknya holding BUMN di sektor pertambangan antara

lain yaitu adanya keinginan untuk hilirisasi sektor industri tambang,

37

https://bisnis.tempo.co/read/1037962/menteri-rini-blak-blakan-jelaskan-tujuan-bentuk-holding-bumn

38

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a17ed280f936/pp-holding-bumn-tambang-terbit--pemerintah-kendalikan-4-hal

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

115

mengakumulasi modal BUMN guna membeli divestasi saham PT

Freeport. Rini yakin dengan holding BUMN akan mampu membeli

saham Freeport, serta untuk menciptakan efisiensi, terlebih dalam hal

pengadaan dan klaim alat berat39

Pembentukan holding BUMN dalam industri pertambangan

memiliki tujuan, dimana pembentukan ini sesuai dengan Nawacita Butir 6

dan 7 BUMN sebagai agen pembangunan berperan penting dalam

meningkatkan priduktivitas rakyat dan daya saing Indonesia di Pasar

Internasional, sekaligus mewijudkan kemandirian ekonomi dengan

menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Adapun tujuan utama pembentukan holding dalam sekotor

tambang untuk membentuk Perusahaan tambang yang besar, kuat dan

lincah sehingga memiliki daya saing yang kuat dalam berhadapan dengan

dominasi swata nasional dan asing. Holding BUMN Tambang dibentuk

berdasarkan PP 47/2017 yang menunjuk PT Asahan Inalum (Pesero)

sebagai perusahaan induk BUMN Tambang dengan anggota terdiri dari:

PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Salah

satu tujuan pembentukan Holding Tambang adalah untuk memperkuat

struktur keuangan, mencapai efisiensi dan integrasi usaha, serta

menciptakan value creation, sehingga BUMN Tambang sehingga dapat

bersaing di pasar global dan memenuhi Pasal 33 UUD 1945 Pembentukan

Holding Tambang menjadi semakin mendesak lantaran dipersiapkan untuk

menguasai 51% saham Freeport Indonesia.40

Sesuai dengan Roadmap BUMN 2015-2019, pembentukan holding

BUMN dalam sektor tambang menjadi kebijakan pemerintah agar BUMN

sektor tambang mampu menguasai cadangan dan sumber daya mineral dan

batu bara di Indonesia, menjalankan program hilirisasi dan kandungan

39

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/12/22/p1bqo7354-rini-13-bumn-masih-rugi-pada-2017

40

https://industri.kontan.co.id/news/urgensi-pembentukan-holding-bumn-tambang

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

116

lokal, serta menjadi perusahaan kelas dunia yang masuk dalam fortune

Global 500.41

Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat dari pembentukan ini

ialah antara lain:42

a. Menumbuhkan industri pendukung dan ikutannya secara luas

Dengan terbukanya kesempatan mengembangkan industri

pendukung dan ikutannya secara luas, keberadaan BUMN sektor

tambang akan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat dan

menciptakan multiplier effect dengan peningkatan kualitas kehidupan

masyarakat sekitar daerah operasi holding BUMN sektor tambang

tersebut.

b. Meningkatkan kegiatan program kemitraan dan bina lingkungan

(PNIKL) dan corporate Social Responsibility (CSR).

Pertumbuhhan yang dicapai oleh holding BUMN dalam sektor

tambang secara finansial akan berdampak pada peningkatan kegiatan

PKBL dan CSR bagi masyarakat.

c. Terciptanya Lapangan usaha dari ekspansi holding

Pengembangan usaha dari holding dan peningkatan nilai tambah

dari produk yang dihasilkan dapat mendorong masyarakat untuk

menciptakan industri-industri baru yang berkaitan dengan komoditas

mineral dan tambang.

d. Mendorong efisiensi harga dari bahan tambang

Dengan adanya peningkatan nilai tambah produk yang dihasilkan,

diharapkan barang yang tadinya harus diimpor dapat diperoleh dari

produsen lokal dengan harga bahan baku dan biaya yang lebih efisien

serta memunculkan persaingan harga yang kompetitif.

41

Kementrian BUMN, Rencana Strategis Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik,

Kawasan dan Pariwisata 2015-2019, h. 23

42

Kementrian BUMN, Rencana Strategis Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik,

Kawasan dan Pariwisata 2015-2019, h. 34

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

117

Sedangkan manfaat holding BUMN sektor tambang bagi pemerintah

sendiri antara lain:43

a. Peningkatan pemasukan negara dari pajak, royalti, dan deviden

Skala usaha yang besar dan kuat ditunjukan dengan besarnya asset dan

perolehan holding. Pajak dan royalty yang dibayarkan kepada

pemerintah juga semakin besar seiring dengan peningkatan aktivitas

pertumbuhan yang dicapai holding.

b. Membngun idustri tambang dari hulu ke hilir

Sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat strategis bagi

perekonomian pusat maupun daerah. Sektor ini merupakan penggerak

utama pembangunan yang memberikan multiplier effect yang

signifikan. Program hilirisasi dimaksudkan untuk meningkatkan nilai

tambah produk yang dihasilkan BUMN sektor tambang sehingga

dapat meningkatkan kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB).

c. Pengurangan impor bahan baku industri

Kemampuan holding BUMN sektor pertambangan memproduksi

beragam mineral olahan yang diperlukan di dalam negeri akan

menurunkan kebutuhan impor perusahaan-perusahaan sektor

pertambangan di dalam negeri dengan demikian arus devisa keluar

pun akan berkurang.

d. Meningkatkan nilai tambah

Sebagai agen pembaharuan, holding BUMN sektor tambang

mengantisipasi harapan pemerintah dengan melaksanakan berbagai

proyek hilirisasi.

43

Kementrian BUMN, Rencana Strategis Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik,

Kawasan dan Pariwisata 2015-2019, h. 40

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

118

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Proses pembentukan Holding company pada BUMN dilakukan untuk

meningkatan daya saing melalui restrukturisasi, peningkatan efisiensi

dan ekspansi bisnis. Pengelompokan unit-unit usaha BUMN dilakukan

dengan berdasarkan sektor dan karakteristik usaha murni bisnis atau

pelayanan publik. Dalam perspektif hukum, undang-undang BUMN

mengenal adanya tiga kepemilikan saham yang dapat mengakibatkan

adanya Holding Company yaitu penggabungan, peleburan dan

pengambilalihan dan pemisahan. Pasal 65 Undang-undang BUMN

menyatakan bahwa ketentuan mengenai penggabungan, peleburan

atau pengambilalihan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan

pemerintah tersebut yaitu Peraturan Pemenerintah Nomor 43 Tahun

2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan

Pembubaran BUMN. Tidak hanya itu Undang-undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pun menjelaskan mengenai

proses yang dapat mengakibatkan adanya holding company.

2. Dalam mengawasi jalannya sebuah holding diperlukan adanya

penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada

holdingisasi BUMN tersebut ditinjau dari Peraturan Menteri Badan

Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan

Tata Kelola yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) maka pada perusahaan grup BUMN

(Holding company BUMN) dari perspektif yuridis, setiap anak

perusahaan merupakan badan hukum yang mandiri dan otonom, yang

dilengkapi dengan organ-organ perusahaan seperti Direksi yang

bertanggung jawab dalam menjalankan operasional perusahaan.

Sehingga dalam menjalankan operasional perusahaannya, induk

perusahaan maupun anak perusahaan BUMN menjalankan prinsip tata

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

119

kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan Peraturan

Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 45

Ayat (2) yang berbunyi:

“Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, dapat pula diberlakukan

terhadap perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh

Negara, dan anak perusahaan BUMN, sepanjang hal tersebut

disetujui oleh RUPS perseroan terbatas atau anak perusahaan BUMN

dimaksud.”

Setiap organ perusahaan harus menjalankan fungsinya sesuai dengan

ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ

mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan

tanggung jawab semata-mata untuk kepentingan perusahaan.

3. Lalu bagaimana dengan kewenangan pemerintah dalam pengelolaan

dan pengawasan holding BUMN, serta Urgensi Holding BUMN

Sektor Pertambangan bagi perekonomian Indonesia? Kewenangan

penuh tetap dimiliki pemerintah dikarenakan pemerintah masih

memegang saham dwi warna atau saham seri A yang mana setiap

pengendalian terhadap holding BUMN di pegang penuh oleh

Pemerintah, berikut merupakan 4 (empat) hal yang jadi kewenangan

pemerintah antara lain, Penunjukan komisaris maupun direksi tetap

kewenangan pemerintah, bukan kewenangan induk holding; Struktur

permodalan tetap pada pemerintah; Perubahan anggaran dasar pun

akan langsung dikendalikan pemerintah; dan Mengenai divestasi pun

kewenangan pemerintah.

Dengan kepemilikan saham dwi warna tersebut menyebabkan holding

BUMN tidak dapat dikonsolidasikan oleh induk holding atau jatuh

ketangan swasta maupun asing karena berdasarkan standar akuntasi

keuangan 65 (PSAK65) menyebutkan bahwa suatu aset bisa

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

120

dikonsolidasikan apabila suatu perusahaan (induk perusahaan)

memiliki kewenangan penuh terhadap anak perusahaan holding.

Oleh karena itu proses konsolidasi dalam holding BUMN ini terganjal

oleh saham dwi warna yang ada pada anak perusahaan holding yang

menyebabkan induk perusahaan holding tidak memiliki otoritas penuh

terhadap anak perusahaan. Hal ini yang menjadi ganjalan. Pada bagian

lain, jika pemerintah mencabut saham dwi warna pada anak

perusahaan holding, maka pemerintah terkena delik privatisasi

BUMN. Namun, ketika suatu perusahaan tersebut tidak dapat

dikonsolidasikan akan sulit untuk mendapatkan besaran target aset

yang tinggi. Sedangkan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Rini Soemarno mengatakan tujuan dibentuknya holding BUMN sektor

tambang ini bertujuan untuk mengembangkan produk akhir hasil

tambang, untuk mengakumulasi modal BUMN guna membeli

divestasi saham PT Freeport dan efisiensi dalam hal pengadaan

kebutuhan alat berat industri pertambangan dan lain sebagainya.1

Lalu berkaitan dengan pembentukan holding BUMN tersebut maka

timbul pertanyaan yang menyatakan bagaimana realisasi nilai aset

hasil konsolidasi dari tiga emiten tambang pun dipertanyakan,

sedangkan proses konsolidasi sendiri terganjal dengan adanya saham

dwi warna tersebut. Dalam artikel hukumonline.com,2 Harry

Sampurno mengatakan bahwa mengenai pengawasan oleh DPR akan

tetap mengawasi tiap-tiap holding BUMN, dikarenakan pemerintah

memiliki saham dwi warna yang berarti pemerintah memiliki hak

penuh dalam mengendalikan holding BUMN tersebut sehingga dalam

rangka penjualan saham maupun langkah privatisasi akan selalu

melewati persetujuan DPR, lalu mengapa harus di sebutkan dalam

1 https://bisnis.tempo.co/read/1037962/menteri-rini-blak-blakan-jelaskan-tujuan-bentuk-

holding-bumn

2 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a17ed280f936/pp-holding-bumn-tambang-

terbit--pemerintah-kendalikan-4-hal

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

121

Peraturan Pemerintah tersebut bahwa negara dapat melepas

kepemilikannya disebuah perusahaan tanpa melalui persetujuan DPR?

A. REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan bagi seluruh

elemen masyarakat untuk selalu mengawal setiap proses pengambilan

hingga proses pengesahan sebuah kebijakan agar tidak terjadi sebuah

masalah baru atas kebijakan tersebut dikemudian hari, dan dari hal-hal

janggal tersebut yang kemudian membawa peneliti pada kesimpulan agar

pemerintah terlebih dahulu menyatukan visi dan misi serta tujuan dalam

pembentukan holding BUMN tersebut, agar tidak terjadi

ketidakseimbangan yang menimbulkan asumsi yang ambigu. Serta revisi

wajib dilakukan terhadap peraturan yang mendasari pembentukan holding

BUMN ini agar tercapainya kemaslahatan bersama serta holding BUMN

memiliki kekuatan hukum yang pasti dari setiap sudut pendiriannya.

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

122

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Diah, Marwah M., Restrukturisasi BUMN di Indonesia (Privatisasi atau

Korporatisasi), (Jakarta:Literata Lintas Media, 2003)

Djohanputro, Bramantyo Manajemen Keuangan Korporasi,(Jakarta:PPM,2008)

Faizal, Akbar Tanri Abeng Menjawab: Profesional Versus Politik (Jakarta:

Alexindo Media Komputindo, 2002)

Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:

Citra Aditya Bakti,1999)

Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar

Grafka,201)

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung:PT Citra

Aditya Bakti, 2010)

Nugroho, Rian dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN,

(Jakarta:ELex Media Kompetindo, 2008)

Pawana, Sekhar Chandra, Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik

(Good Corporate Governance) dalam kebijakan Rightsizing BUMN,

Naskah Publikasi , Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi

(mikroekonomi dan makro ekonomi), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia,2017), ed. III

Sarosa, Samiaji, Penelitian Kualitatif Dasar-dasar, Cet ke-1, (Jakarta: Permata

Putri Media, 2012)

Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia,

(Jakarta: Erlangga, 2013), h. 2-3. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)

Surya, Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance

Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha (Jakarta:

Kencana, 2008)

Yasin, Mahmuddin Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta: BOOKNESIA

Kelompok Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012)

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43011/1/ARINDA DIAH...repository.uinjkt.ac.id

123

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara, Pasal 1 Ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4297), Pasal 1 huruf 1.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4297), Pasal 1 huruf 1.

MEDIA INTERNET

Hermawan, Bayu, Rini: 13 BUMN masih rugi pada 2017, jumat 22

Desember2017,http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/12/22/

p1bqo7354-rini-13-bumn-masih-rugi-pada-2017 diakses pada tanggal 27

Desember 2017 pada pukul 17.54

Susana, Iriyani, Penerapan Tata Kelola Perusahaan,www.elearning

.comunity.blog.com, 2008 diaskses pada tanggal 27 Desember 2017 pada

pukul 19.20

Website Resmi PT. Antam Tbk., struktur,

http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32

&Itemid=38, diakses pada 08 Juni 2018 pukul 09.22.

Website Resmi PT. Bukit Asam Tbk., Sejarah PTBA,

http://www.ptba.co.id/id/tentang/profil#history, diakses pada 08 Juni 2018

pukul 09.22

Website Resmi PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero, sejarah

singkat, http://www.inalum.id/article/sejarah-singkat.html, diakses pada 08

Juni 2018 pukul 09.22.