repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/indri...

200
ANALISIS PERBANDINGAN WARNA LOKAL NOVEL DAN FILM TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Indri Zikria Oktaviani NIM. 1112013000060 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Upload: others

Post on 16-Oct-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

ANALISIS PERBANDINGAN WARNA LOKAL NOVEL DAN FILM

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK SERTA IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Indri Zikria Oktaviani

NIM. 1112013000060

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

ANALIilS PERBAI\IDINGAI\IWARNA LOKAL NOVEL DAN FILMTENGGEI./IMNYA KAPAL VAN DER IYITCKSERTA IMPLIKASIIYYATERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAE

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Indri Zikria OktavianiNrM. 1112013m0ffi0

JURUS$I PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESH

FAIruLTAS ILMU TARBTYAH DAN KEGURUAN

I]NTYERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIT HIDAYATIILLAH

JAKARTA

2019

Di bawahbimbingan

NrP. 19771030 200801 2A09

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

Skripsi berjudul "Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan FilmTenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap PembelajaranBahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah" disusun oleh Indri Zil<cia Oktaviani,Nomor Induk Mahasiswa 1112013000060, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyahdan Keguruan (FITK).UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulusdalam Ujian Munaqasah pada 30 April 2019, dihadapan dewan penguji. Olehkarena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana (S.Pd) dalam bidangPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 30 April2019

Panitia Ujian

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)

I\{ak}run Subuki. M. Hum.NrP. 19800305 200901 1015

Sekteraris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Toto Edidarmo. M.A.NIP. 19760225 200801 1020

Penguji I

Novi Diah Haryanti. M. Hum.NrP. 19841t26 201503 2007

Pengqi II

Ahmad Bahtiar. M. FIqm,NIP. 1 9760 ttg 200912 t002

, 4-*tT/E -%t9

Munaqasah

Tanggalfi|fi

/nq

tc/os

I gr5

lr/6r

lvq

/r{;-kRl4,'";" '.

iffir'-ag*i

MengetahuiItas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

:ffif,k

:tgztostg 199803 2 oot

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

KEMENTERIAN AGAPIAUIN JAKARTAFITK工 農

力mめ ル %6"Fa,I"r2嬌"

FORM(FRI : 1-2010

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

NamaTempat / Tgl.Lahir

NI\4

Jurusan / Prodi

Judul Skripsi "Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film

■4"θ物“ッα」色ραJン勧 Der ttθたSCtt hplikasinya

terhadap Pclnbelttaran Bahasa dan Sastra lndonesia di

Dosen Pembimbing

Seko1711''

:Rosida Erowati,M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benm hasil karya sendiri

dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apayang saya fulis.

l

Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh ujian Munaqasyah.

IndH Zikria Oktaviani

Tangerang,15 0ktober 1995

1112013000060

Pcndidikan Bahasa dan Sastra lndonesia

InごFl~Zikria Oktaviani

NIPI.1112013000060

Jakartt 29 Apri1 2019

Ybs.

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

i

ABSTRAK

INDRI ZIKRIA OKTAVIANI, 1112013000060, “Analisis Perbandingan Warna

Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan warna lokal yang

terjadi pada novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Metode

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sastra bandingan,

yaitu mengidentifikasi unsur objektif novel dan film, serta memfokuskan pada

perbandingan warna lokal antara novel dan film. Hasil penelitian yang diperoleh

yaitu terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah proses

ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan perubahan

variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di dalam novel.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan variasi banyak

ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur warna lokal yang

paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu unsur sosial

Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan perubahan apapun saat

proses ekranisasi. Hasil penelitian ini kemudian diharapkan dapat dijadikan

sumber pembelajaran sastra di sekolah, sesuai dengan Kompetensi Inti dan

Kompetensi Dasar kurikulum 2013 yaitu memahami proses ekranisasi dalam

karya sastra. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat menganalisis

warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan juga film. Siswa

diharapkan dapat menganalisis perbandingan sebuah novel dengan film

ekranisasinya.

Kata Kunci: Warna Lokal, Sastra Bandingan, Ekranisasi, Novel Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck, Perbandingan Novel dan Film

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

ii

ABSTRACT

INDRI ZIKRIA OKTAVIANI, 1112013000060, ”Comparative Analysis of The

Local Custom in The Novel and Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and

It's Implications for The Study of Indonesian Language and Literature in

Schools”. Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and

Teacher Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2019.

This study aims to find out the comparison of the local customs occuring in

the novel and film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. The research method

applied in this study is comparative literature, namely indentify the objective

elements in the novels and films, focusing on the comparison of local customs in

between the novels and films. The results obtained are there is a silting of the

tradition and historical background of Minangkabau after the process of

ecranization. Proven by the amount of contraction and changes in variation in the

Minangkabau local color elements in the Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

novel. Contraction and changes in variation are found in many elements of the

Minangkabau culture. While the local color elements are the most dominant in the

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck novel, that is the social element

Minangkabau, considering that the director did not make any changes during the

process of transformation. The results of this study can be used as a source of

literary learning in schools, in suitable with the core competencies and basic

competencies of the 2013 curriculum, that is understanding the process of

ecranization in literary works. This material focuses on students to be able to

analyze local colors in two different media, spesifically media books or films.

Students are expected to be able to analyze the comparison of a novel with it’s

ecranization film.

Keywords: The Local Color of Comparative Literature, Ecranization, Novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Comparison of Novels and Films.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

iii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, beserta

nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis

Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

Sekolah”.

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan

gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan

ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai rintangan. Tanpa

bantuan dan peran serta berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah

mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan mempermudah

dalam penyelesaian skripsi ini;

3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku Penasehat Akademik sekaligus dosen

pembimbing skripsi yang bersedia membantu serta mempermudah

penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas ide, saran, arahan, motivasi,

bimbingan, serta kesabaran Ibu selama ini;

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

yang telah memberikan banyak ilmu selama masa studi penulis;

5. Suwandi dan Karsinah, S.Pd, kedua orang tua penulis yang telah mendidik

penulis dengan segala kasih sayang tulus. Terima kasih untuk

pengorbanan, perjuangan hidup, doa-doa, serta nasehat mamah dan papah

sehingga penulis dapat melalui tahap ini;

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

iv

6. Fajrina Sita Dewi, S.Kel, Komala, S.Pd, Eriliyabuduni Ulfi, S.Gz, dan

Sophia Syifa Fauzia, S.I.P., sahabat tercinta penulis sejak SMA hingga

kini yang selalu setia memberikan motivasi dan kasih sayang kepada

penulis;

7. Chitra Nur Imaniar, S.Pd, Fikry Bermaki, S.Pd, Bunga Indah Puspita Sari,

S.Pd, Dede Zakiyah, S.Pd, Tri Wibowo, S.Pd, dan, rekan PBSI yang selalu

membantu penulis saat menghadapi kesulitan dalam penyusunan skripsi

ini;

8. Maria Forly Christine Sinaga, S.S, Bella Octavia, Delia Dwi Putri Rahayu,

dan Heny Sofiany, rekan kerja Bank CIMB Niaga selama satu tahun

terakhir yang selalu memberikan kritik dan motivasi kepada penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini;

9. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2012, terima kasih

atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama

masa studi serta motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi;

10. Rio Tirta Erlangga, S.Si, sahabat dan pendamping terhebat bagi penulis.

Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, motivasi, kasih sayang, dan

segala hal yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Semoga segala bentuk bantuan, dukungan, serta partisipasi yang diberikan

kepada penulis mendapat pahala dan balasan lebih baik yang berlipat ganda dari

Allah SWT. Amin.

Jakarta, 30 April 2019

Penulis

Indri Zikria Oktaviani

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5

C. Pembatasan Masalah ................................................................ 5

D. Perumusan Masalah ................................................................. 5

E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

F. Manfaat Penelitian ................................................................... 6

G. Metodologi Penelitian .............................................................. 7

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 11

A. Hakikat Novel ........................................................................... 11

B. Tinjauan Film. .......................................................................... 19

C. Ekranisasi ................................................................................. 22

D. Sosiologi Sastra ........................................................................ 24

E. Warna Lokal ............................................................................. 25

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................ 34

G. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................. 36

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ........................................... 39

A. Biografi Buya Hamka ............................................................... 39

B. Karya Buya Hamka .................................................................. 41

C. Pemikiran Buya Hamka ............................................................ 43

D. Profil Tim Produksi .................................................................. 44

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

vi

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 46

A. Analisis Objektif Novel dan Film Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck .......................................................................... 46

B. Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck dengan Film Adaptasinya. .................... 106

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di Sekolah................................................................. 149

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 152

A. Simpulan ................................................................................... 152

B. Saran ......................................................................................... 153

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena alih wahana dari suatu karya sastra ke dalam media lain telah

terjadi sejak beberapa dekade ini. Puisi Taufik Ismail yang dialihwahanakan

ke dalam musik oleh grup musik Bimbo, atau novel Bunga Raos dari

Cikembang karya Kwee Tek Hoy yang diubah menjadi drama adalah contoh

alih wahana sebuah karya sastra. Istilah alih wahana ini dipopulerkan oleh

Sapardi Djoko Damono sebagai suatu perubahan dari satu jenis kesenian ke

dalam jenis kesenian lain.

Proses alih wahana sebuah karya sastra yang cukup populer di kalangan

masyarakat pada saat ini yaitu novel yang diubah ke dalam media film, atau

yang biasa dikenal dengan istilah ekranisasi. Berangkat dari keterbatasan

dunia kata-kata dan juga sebagai pengaruh dari perkembangan teknologi

modern yang memungkinkan seseorang lebih kreatif dalam mengapresiasi

sebuah karya sastra, novel yang difilmkan telah menerobos pasar dan

berkembang pesat. Salah satu tujuan ekranisasi tersebut yakni untuk menarik

para peminat atau konsumen, sehingga orang-orang yang tidak suka membaca

sastra masih tetap bisa menikmati sastra lewat film. Selain itu, pembaca tidak

harus menikmati cerita lewat imaji linguistik dan dunia khayalnya, tetapi

pembaca dapat menikmati cerita lewat imaji visual. Tentunya pembaca tidak

perlu berkhayal tentang alur demi alur yang disediakan, karena di dalam film

telah divisualisasikan senyata mungkin oleh tim produksi.

Saat ini ekranisasi menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi khalayak

luas. Dalam sejarah perfilman Indonesia, banyak film-film ekranisasi yang

turut mewarnai industri perfilman Indonesia. Fenomena tersebut mulai marak

di Indonesia pada dekade 70-an. Pada saat itu istilah ekranisasi belum

digunakan, melainkan adaptasi. Beberapa di antaranya yakni Gita Cinta SMA

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

2

(1979), Atheis (1974), dan Si Doel Anak Betawi (1972). Sementara itu,

beberapa film ekranisasi yang baru-baru ini ditayangkan yakni Supernova

(2014), Toba Dreams (2015), dan Filosofi Kopi (2015).

Beberapa novel sastra klasik juga turut digarap oleh sutradara. Beberapa di

antaranya yaitu novel Badai Pasti Berlalu (1971) karangan Marga T yang

difilmkan pada tahun 1977 dan 2007, novel Dibawah Lindungan Ka’bah

(1938) karangan Buya Hamka yang difilmkan pada tahun 2011, dan novel

Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karangan Ahmad Tohari yang difilmkan pada

tahun 2011. Salah satu contoh novel sastra klasik yang diangkat ke layar lebar

dan cukup banyak mendapat sorotan dari para penikmatnya yakni novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938) karangan Buya Hamka. Novel ini

diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, yang disutradarai oleh Sunil

Soraya. Kemunculan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mendapatkan

sambutan yang luar biasa dari masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia

cukup menggemari film bergenre drama. Film ini berhasil menyedot kurang

lebih satu juta delapan ratus penonton. Pada tahun 2014, kedua pemeran

utama dalam film ini, yakni Herjunot Ali sebagai Zainuddin dan Pevita Pearce

sebagai Hayati, mendapatkan anugerah piala penghargaan Festival Film

Bandung dalam kategori pemeran pria dan pemeran wanita terbaik.

Menjadi salah satu film yang cukup sukses di pasaran, Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck membuktikan bahwa masih ada ruang bagi novel sastra

klasik untuk menunjukkan eksistensinya di tengah maraknya ekranisasi dari

novel-novel populer saat ini. Salah satu point penting yang dapat dengan

mudah kita temukan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah

kentalnya warna lokal Minangkabau yang disuguhkan. Minangkabau, sebagai

daerah yang kaya akan nilai-nilai budaya sering dimanfaatkan sebagai latar

penciptaan karya sastra oleh pengarang. Warna lokal sendiri sebenarnya sudah

ada dalam kesusastraan Indonesia sejak masa sebelum perang. Hal tersebut

bisa kita dapatkan pada novel Siti Nurbaya (1922) karangan Marah Roesli

yang mengambil latar budaya Minangkabau. Beberapa karya sastra lain yang

berwarna lokal Minangkabau yaitu novel Tidak Menyerah (1962) karya

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

3

Motinggo Busje, novel Hati Nurani Manusia (1965) karya Idrus, drama Putu

Bungsu (1978) karya Wisran Hadi, dan novel Dan Perang pun Usai (1979)

karya Ismail Marahimin.

Dominan akan warna lokal Minangkabau dalam novel dan juga filmnya,

menjadi alasan penulis memilih Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan warna lokal sebagai akibat

dari kegiatan ekranisasi. Pembahasan mengenai warna lokal perlu

diperhatikan mengingat pada masa sekarang ini, pengaruh kebudayaan asing

telah menimbulkan kurangnya kadar kecintaan terhadap budaya bangsa

sendiri. Dengan adanya penelitian ini, setidaknya kita telah ikut berpartisipasi

dalam melestarikan eksistensi warisan budaya yang ada di nusantara,

khususnya Minangkabau. Selain itu, kemunculan film ini patut diapresiasi

karena tidak mudah bagi seorang sutradara untuk mengekranisasikan novel-

novel sastra, terlebih lagi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang terbit

sudah cukup lampau, yakni tahun 1938. Sutradara tentu berusaha keras

bagaimana menciptakan latar tahun 1930-an yang masih sangat tradisional

untuk kemudian ditampilkan pada masa sekarang, yang notabene sudah

memasuki zaman modern. Melalui penggunaan metode sastra bandingan,

penulis akan melakukan kajian bandingan terhadap novel yang sudah

difilmkan serta mengkaji gambaran warna lokal yang terkandung di dalam

novel dan di dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Pemilihan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai bahan

kajian dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memahami wujud warna

lokal Minangkabau secara umum. Terlebih dalam ranah pembelajaran Bahasa

dan Sastra di sekolah baik SMP/MTs maupun SMA/MA, materi tentang

warna lokal jarang disentuh oleh guru sehingga pengetahuan siswa tentang

warna lokal sangat rendah. Dengan mempelajari warna lokal dalam sebuah

karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter siswa dalam menghargai

budaya bangsa. Apabila dikaitkan dengan Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck, guru dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu

membaca dan menerapkan nilai-nilai sosial budaya dan nilai positif yang

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

4

terkandung di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, meneliti warna lokal dalam

sebuah novel sangatlah menarik untuk meningkatkan mutu pembelajaran

sastra sebagai salah satu langkah mengantisipasi perpecahan bangsa akibat

pengaruh budaya luar.

Agar hasil penelitian ini nantinya tidak hanya berhenti pada

pendeskripsian warna lokal dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck, penulis mencoba mengimplikasikannya dengan materi

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Banyak penelitian yang

membuktikan bahwa hingga saat ini minat siswa untuk membaca sebuah novel

masih sangat rendah, terlebih lagi jika novel yang harus dibaca adalah novel-

novel sastra klasik. Alur cerita yang berbelit-belit serta penggunaan bahasa

Melayu klasik yang sulit dimengerti membuat siswa merasa bosan

membacanya. Hadirnya film-film hasil ekranisasi dari novel sastra klasik

seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,

dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada

di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil

ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca

mereka. Selain itu, melalui media film diharapkan guru dapat membantu siswa

untuk meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya

sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film. Berdasarkan hal

tersebut, peneliti menetapkan novel dan transkrip film Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck ini sebagai objek penelitian dengan judul “Analisis

Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

di Sekolah”.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

5

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat

diidentifikasi beberapa masalah, yaitu:

1. Banyaknya film ekranisasi yang mewarnai industri perfilman Indonesia.

2. Ketidaksesuaian cerita sebagai akibat dari proses ekranisasi.

3. Rendahnya kemampuan siswa dalam memahami hal-hal yang berkaitan

dengan warna lokal.

4. Lemahnya teknik dan penggunaan media pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia oleh guru khususnya dalam mengapresiasi karya sastra

Indonesia di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ini diharapkan agar pembahasan dan penelitian tidak

meluas. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun, maka penulisan

lebih terfokus pada warna lokal. Penulis akan membandingkan dan

menganalisis perubahan warna lokal yang terjadi saat novel Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck karangan Buya Hamka edisi revisi cetakan pertama

tahun 2013 diekranisasikan ke dalam film dengan judul yang sama yang rilis

tahun 2013 serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan warna lokal yang terjadi antara

novel dengan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck?

2. Bagaimanakah implikasi pembahasan warna lokal dalam novel dan film

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terhadap pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di sekolah?

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

6

E. Tujuan Penelitan

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan

penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan warna lokal yang terdapat

dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan warna lokal yang terdapat dalam

novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terhadap

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya wawasan dan

pengetahuan peneliti khususnya, dan pembaca pada umumnya tentang

bagaimana mengkaji warna lokal dalam sebuah karya sastra.

2. Manfaat Praktis

a. Adanya pembelajaran siswa mengenai apresiasi karya sastra yang

dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan

menganalisis sebuah karya sastra khususnya novel dan film

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Selain itu mengembangkan

kemampuan siswa untuk menilai sebuah karya sastra yang berkualitas

baik dan buruk, serta menjadikan siswa untuk gemar membaca dan

berpikir kritis.

b. Penulisan ini dapat dijadikan bahan ajar guru Bahasa dan Sastra

Indonesia untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran

Sastra Indonesia, khususnya dalam membandingkan sebuah karya

sehingga mampu memaparkan persamaan dan perbedaan serta

kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya tersebut

melalui analisis perbandingan sastra.

c. Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui warna lokal

yang terdapat di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

7

(2013) karya Buya Hamka, dan filmnya berjudul sama, produksi tahun

2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya.

d. Diharapkan penulisan ini juga berguna bagi para penulis lain yang

ingin melakukan penulisan dengan tema sejenis.

G. Metodologi Penelitian

1. Objek Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, objek dalam

penelitian ialah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya

Hamka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama

tahun 2013 dan filmnya yang ditayangkan pada 2013 garapan sutradara

Sunil Soraya. Dengan demikian judul penelitian ini ialah “Analisis

Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di Sekolah”.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan. Endraswara

mengemukakan bahwa “sastra bandingan dapat juga dimengerti sebagai

upaya membandingkan dua karya atau lebih.”1 Sastra bandingan, dalam

penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun bidang

ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya

bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana

pengaruh antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang

diberikannya.2

Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik

sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Endraswara mengungkapkan

bahwa “penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu

1 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop,

2011), hlm. 2. 2 Ibid.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

8

sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari benang merahnya.”3 Dalam

menganalisis novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis

menggunakan kajan sastra bandingan yang bersifat komparatif. Kajian ini

menitikberatkan pada penelaahan teks karya-karya sastra yang

dibandingkan, misalnya karya sastra satu dengan karya sastra yang lain,

atau beberapa karya sastra seorang pengarang dengan satu atau lebih karya

sastra seorang pengarang lainnya.4 Penggunaan kajian sastra bandingan

yang bersifat komparatif ini agar penulis dapat meneliti dan mengetahui

persamaan dan perbedaan warna lokal novel Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck dengan film ekranisasinya.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan jenis kualitatif. Menurut

Bogdan dan Taylor yang disarikan oleh Aminuddin penelitian kualitatif

yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati”.5 Hal ini memberi arti bahwa temuan dari penelitian kualitatif

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya,

tetapi menggunakan prosedur yang dikumpulkan dengan menggunakan

berbagai sarana.

3. Sumber Data

Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer dan

sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari

sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa

opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi

terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu

novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka yang

3 Ibid.

4 Razali Kasim, Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode, (Medan: USU Press,

1996), hlm. 28. 5 Aminuddin, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra,

(Malang: YA 3, 1990), hlm. 14.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

9

diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama tahun 2013 dan

film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck garapan PT Soraya Intrecine

Films yang tayang pada 2013.

Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh

secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh

pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan

historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang

dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diambil dari buku-

buku, jurnal, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik catat, karena data-datanya berupa teks dan analisis film dicatat juga

dengan menggunakan teknik catat. Adapun langkah-langkah dalam

pengumpulan data adalah; 1) membaca novel Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck secara berulang-ulang; 2) menentukan unsur intrinsik yang

membangun novel tersebut, mencatat kutipan-kutipan yang menjadi bukti

untuk menjelaskan hasil analisis unsur-unsur intrinsiknya serta yang

mengandung permasalahan yang terkait dengan fokus kajian, yaitu warna

lokal pada novel tersebut; 3) menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck berulang-ulang; 4) menentukan unsur intrinsik yang membangun

pada film tersebut; 5) membuat sekuen (waktu dan kejadian) serta frame

film sebagai pembukti untuk menjelaskan hasil analisis yang terkait

tentang fokus kajian, yaitu warna lokal; 6) mencari dan mencatat

perbandingan warna lokal novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

dengan film ekranisasinya.

5. Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan teori bantu struktural, kemudian

unsur-unsur itu dianalisis dengan menggunakan metode sastra bandingan.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

10

Analisis ini hanya berkisar pada perbandingan warna lokal novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan film ekranisasinya.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakikat Novel

1. Pengertian Novel

Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, kita mengenal istilah

prosa yang memiliki definisi sebagai karya sastra yang sifatnya tidak

terikat dengan aturan-aturan penulisan seperti rima, irama, diksi atau yang

lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, prosa menghadirkan sesuatu

yang baru dalam kesusasteraan Indonesia akibat pengaruh sastra serta

budaya Barat. Kebaruan tersebut diantaranya berbentuk novel, cerpen,

kritik, esai, resensi, dan masih banyak lagi. Dari beberapa bentuk prosa

baru yang sudah disebutkan, novel menjadi salah satu karya sastra yang

cukup populer lantaran peredarannya sudah sangat meluas. Priyatni

menjelaskan bahwa “kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata

novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa

Inggris. Makna baru tersebut dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra

yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan

drama”1, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa novel adalah

salah satu bentuk kebaruan dari prosa.

Dalam istilah Indonesia, Nurgiyantoro menyebutkan bahwa “novelet

(Inggris: novellete) berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya

cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.”2 Bila

melihat dari segi panjangnya cerita, novel mengisahkan kehidupan

manusia dan zamannya dalam skala yang lebih luas jika dibandingkan

dengan cerpen yang hanya mengisahkan satu peristiwa dalam satu waktu

tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Robert Stanton bahwa “novel mampu

menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,

1 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2010), hlm. 124. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2012), hlm. 9-10.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

12

hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai

peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil.”3

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel

merupakan salah satu karya sastra yang kemunculannya tergolong baru

dalam kesusasteraan Indonesia, yang menggambarkan kehidupan tokoh-

tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks sebagai sebuah hasil

imajinasi pengarang atas realitas atau fenomena kehidupan yang dilihat

dan dirasakan.

2. Unsur Intrinsik Novel

Sebagai sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan tokoh-

tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks, tentunya novel tidak

berdiri sendiri. Ada beberapa unsur yang turut serta membangun sebuah

novel. Salah satunya adalah unsur intrinsik, yang menurut Nurgiyantoro

yaitu “unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.”4

Unsur-unsur ini secara faktual dijumpai pembaca pada saat membaca

karya sastra. Unsur intrinsik novel terdiri dari tema, tokoh dan penokohan,

latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

a. Tema

Secara keseluruhan, tema merupakan bagian awal dan terpenting

dalam sebuah karya sastra. Menurut Stanton dan Kenny dalam

Nurgiyantoro, tema adalah “makna yang dikandung oleh sebuah

cerita.”5 Tema merupakan kandungan secara umum dari keseluruhan

isi cerita. Itu berarti, tema akan dapat ditentukan setelah kita

menyimpulkan keseluruhan isi cerita karya sastra. Nurgiyantoro

mengungkapkan bahwa tema dapat dipandang sebagai gagasan dasar

umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum itulah yang

digunakan untuk mengembangkan cerita.6

3 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.

90. 4 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 23.

5 Ibid., hlm. 67.

6 Ibid., hlm. 70.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

13

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan dasar

pengarang dalam menciptakan sebuah novel yang menyangkut seluruh

persoalan dalam keseluruhan isi cerita. Tema tidak secara gamblang

tertulis dalam novel, maka untuk menentukan sebuah tema, kita perlu

membaca novel tersebut dengan saksama.

b. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang tepenting

dalam suatu cerita. Perlu diketahui bahwa antara tokoh dan penokohan

memiliki pengertian yang berbeda, namun keduanya saling

melengkapi. Abrams dalam Nurgiyantoro berpendapat bahwa tokoh

adalah “orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral

dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan

dan apa yang dilakukan dalam tindakan.”7 Dari penjelasan Abrams

tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian tokoh mengacu pada

orangnya sebagai si pelaku cerita. Dalam Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck, yang disebut sebagai tokoh seperti Zainuddin, Hayati, Aziz,

dan masih banyak lagi. Sedangkan yang disebut penokohan menurut

Jones dalam Nurgiyantoro adalah “pelukisan gambaran yang jelas

tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.”8 Itu berarti

tokoh yang ditampilkan dalam karya fiksi harus ditampilkan sejelas-

jelasnya dari segi sifat, sikap, maupun tingkah lakunya, mengingat

yang disampaikan Nurgiyantoro bahwa “tokoh cerita menempati posisi

strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau

sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.”9

Berdasarkan beberapa pengertian tentang tokoh dan penokohan,

dapat disimpulkan bahwa ketika seorang pengarang menentukan siapa

saja yang akan menjadi pelaku di dalam cerita, ia pun akan sekaligus

menentukan bagaimana perwatakan, pelukisan, dan tingkah laku para

7 Ibid., hlm. 165.

8 Ibid.

9 Ibid., hlm. 167.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

14

pelaku cerita. Itulah mengapa dikatakan bahwa antara tokoh dan

penokohan saling berhubungan satu sama lain.

Bila melihat dari peranan tokoh dalam pengembangan plot sebuah

cerita, dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan.

Nurgiyantoro menjelaskan bahwa “tokoh utama adalah tokoh yang

diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia

merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku

kejadian maupun yang dikenai kejadian.”10

Dalam penelitian ini,

Zainuddin yang memegang peranan sebagai tokoh utama. Sebaliknya,

ada tokoh-tokoh yang kemunculannya hanya sekali atau beberapa kali

di dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang lebih

pendek. Tokoh ini disebut tokoh tambahan. Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Nurgiyantoro bahwa “pemunculan tokoh-tokoh

tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan,

dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,

secara langsung ataupun tak langsung.”11

Kemunculan tokoh tambahan

dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dapat ditemukan pada

tokoh Mak Base, Khadijah, Aziz, dan masih banyak lagi.

c. Latar

Sebuah cerita dibentuk oleh berbagai permasalahan yang dialami

oleh tokoh-tokohnya dengan alur yang bermacam-macam. Untuk

mengekspresikan hal tersebut, seorang tokoh memerlukan ruang

lingkup, tempat dan waktu demi terjalinnya sebuah cerita yang baik.

Singkatnya, selain tema, tokoh dan penokohan serta alur, novel juga

membutuhkan latar. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, “latar atau

setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”12

Sementara itu, Leo

Hamalian dan Frederick R. Karrel menambahkan bahwa “latar cerita

10

Ibid., hlm. 176-177. 11

Ibid. 12

Ibid., hlm. 216.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

15

dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,

suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat

berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,

prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi

suatu problema tertentu.”13

Hal ini menunjukkan bahwa selain

memberikan informasi sebagaimana adanya, kehadiran latar dapat

menunjukkan keadaan atau jati diri tokoh.

Sehubungan dengan pendapat Nurgiyantoro mengenai deskripsi

latar, Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa unsur latar dapat

dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yakni tempat, waktu, dan sosial.

a. Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang

dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama

tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama

jelas.

b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu

faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan

peristiwa sejarah.

c. Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,

adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir

dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga

berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,

misalnya rendah, menengah, atau atas.14

Dari beberapa pengertian tentang latar tersebut, dapat disimpulkan

bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa

13

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 149. 14

Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 227-234.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

16

yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Landasan tersebut dapat berupa

tempat, waktu, suasana, atau lingkungan sosial yang memperjelas

kondisi peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah karya sastra.

d. Alur

Alur juga merupakan salah satu unsur fiksi yang kehadirannya

penting. Wahyudi mengungkapkan yang dimaksud dengan alur adalah

“rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama yang

menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan

selesaian.”15

Berdasarkan pernyataan Wahyudi tersebut, bisa kita tarik

point penting, yakni kedudukan alur sebagai tulang punggung sebuah

cerita. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Stanton yang

menganggap alur “sebagai tulang punggung sebuah cerita, sebab alur

bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur-unsur yang

lain. Alur atau plot merupakan satu mata rangkai sebuah peristiwa

yang dihubungkan dengan sebab akibat.”16

Sebagai tulang punggung sebuah cerita, perlu diketahui bahwa alur

tersusun berdasarkan beberapa tahapan agar kehadiran alur mampu

memberikan unsur kejutan kepada pembacanya. Untuk menjelaskan

tahapan-tahapan alur ini penulis menggunakan pendapat

Nurgiyantoro, yang menyatakan bahwa tahapan-tahapan alur

dijelaskan menjadi lima bagian. Tahapan-tahapan tersebut sebagai

berikut.

1. Tahap Penyituasian, berisi pelukisan dan pengenalan situasi

latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan

cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama

berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada

tahap berikutnya.

2. Tahap Pemunculan Konflik, tahap ini memunculkan masalah

dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik itu

15

Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 159. 16

Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), hlm. 131.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

17

sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi

konflik-konflik pada tahap berikutnya.

3. Tahap Peningkatan Konflik, pada tahap ini konflik yang telah

dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan

dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang

mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.

4. Tahap Klimaks, tahap di mana konflik yang terjadi mencapai

titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita

akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku

dan penderita terjadinya konflik utama.

5. Tahap Penyelesaian, tahap di mana konflik yang telah

mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang

lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada,

juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut sebagai

tahap akhir sebuah cerita.17

Peristiwa-peristiwa dalam alur memiliki hubungan sebab akibat

hingga menjadikannya sebuah cerita yang utuh. Berdasarkan beberapa

pendapat tentang alur, penulis menyimpulkan bahwa alur adalah

rangkaian peristiwa dalam setiap adegan yang ada di dalam cerita.

e. Sudut Pandang

Definisi sudut pandang yang disampaikan oleh Abrams dalam

Nurgiyantoro yakni “menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia

merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada

pembaca.”18

Sejalan dengan pendapat Abrams, Siswanto berpendapat

bahwa sudut pandang adalah “tempat sastrawan memandang ceritanya.

Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,

17

Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 149-150. 18

Ibid., hlm. 248.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

18

tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri.”19

Hal ini menunjukkan

bahwa sudut pandang merupakan sebuah siasat yang dipilih pengarang

untuk menumpahkan ide-ide ceritanya. Dari sudut pandang ini,

pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya.

Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Friedman

dalam Stevick, yang kemudian disarikan oleh Nurgiyantoro,

membedakan sudut pandang berdasarkan perbedaan yang telah umum

dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan

persona pertama.20

1. Sudut pandang persona ketiga: “Dia”

Sudut pandang ini memungkinkan narator memiliki

kedudukan sebagai seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh

dalam cerita, tentunya posisi narator ini berada di luar cerita.

Penyebutan yang dilakukan narator terhadap tokoh-tokoh yang

ditampilkan biasanya berupa nama atau kata ganti (ia, dia,

mereka).

2. Sudut pandang persona pertama: ”Aku”

Sudut pandang ini memungkinkan narator terlibat di dalam

cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan

kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa, serta

sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca

menerima apa yang diceritakan si “aku”, maka kita hanya dapat

melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat

dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.

f. Gaya Bahasa

Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa gaya bahasa

adalah “cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan

indah dan harmonis melalui media bahasa serta mampu menyentuh

19

Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 151. 20

Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 256.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

19

daya intelektual dan emosi pembaca.”21

Melalui gaya bahasa, kita

dapat mengetahui karakter pengarang dalam bercerita lewat pemilihan

kata-katanya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Keraf,

bahwa gaya bahasa adalah “cara mengungkapkan pikiran melalui

bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian

penulis.”22

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang memilih dan

menggunakan bahasa dalam karya yang dihasilkan. Semakin khas gaya

bahasa yang digunakan pengarang, maka karakter pengarang tersebut

akan semakin terlihat.

B. Tinjauan Film

1. Pengertian Film

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah “selaput tipis

yang terbuat dari selluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat

potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).”23

Sementara menurut Cangara, “film dalam pengertian sempit adalah

penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih

luas bisa juga termasuk yang disiarkan televisi.”24

Meskipun pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di

perkotaan, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan

menjangkau kelas yang lebih luas. Film merupakan produk komunikasi

massa yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Saat ini telah

terdapat berbagai macam film. Sumarno berpendapat bahwa “meskipun

cara pendekatan berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai

21

Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 158-159. 22

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),

hlm. 113. 23

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2002), hlm. 316. 24

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),

hlm. 136.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

20

satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-

masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani

keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya.”25

Artinya,

apa-apa yang diproyeksikan di atas layar adalah merupakan hasil rekaman

dari berbagai realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

film adalah bentuk media komunikasi massa audiovisual yang

mengandung unsur-unsur teknologi dan kesenian, yang di dalamnya

terdapat simbol-simbol yang dapat melukiskan pesan atau ideologi si

pembuat film.

2. Unsur-unsur Pembentuk Film

Bicara tentang film, tentu kita harus bersinggungan langsung dengan

unsur-unsur pembentuknya sehingga kita dapat memahami dengan lebih

baik. Menurut Pratista, film secara umum dapat dibagi atas dua unsur

pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. “Unsur naratif adalah

bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara

(gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita, unsur naratif adalah

perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau juga

sering diistilahkan gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis

pembentuk film.”26

Dalam hal ini, unsur-unsur seperti tokoh, masalah,

konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemen yang termasuk ke dalam

unsur naratif. Sementara unsur-unsur seperti mise-en-scene, sinematografi,

editing, dan suara termasuk ke dalam unsur sinematik. Namun penulis

tidak akan membahas seluruh unsur tersebut, melainkan hanya beberapa

unsur saja yang terkait dengan penelitian ini.

a. Pelaku Cerita (Tokoh)

Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yaitu utama dan

pendukung. Tokoh utama sering diistilahkan dengan tokoh

25

Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT Grasindo, 1996), hlm. 10. 26

Himawan Pratista, Memahami Film, (Jakarta: Homerian Pustaka, 2009), hlm. 1.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

21

protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan

tokoh antagonis yang biasanya bertindak sebagai pemicu konflik.

b. Masalah dan Konflik

Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang

dihadapi tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalahan

ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin

dari luar diri tokoh protagonis ataupun dari dalam diri tokoh

protagonis (konflik batin).

c. Lokasi

Tempat/lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai

pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat

membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.

d. Waktu

Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting

dalam membangun cerita. Pagi, siang, sore dan malam dalam film

memiliki makna sendiri untuk menjelaskan konteks cerita.

e. Suara

Suara dalam perannya sebagai salah satu unsur sinematik,

dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar,

yakni dialog, musik, dan efek suara. Melalui unsur ini kita dapat

mengetahui sudut pandang dalam sebuah film, yaitu diegetic dan

nondiegetic sound. Diegetic sound adalah semua suara yang

berasal dari dalam dunia cerita filmnya (dialog, suara-efek

karakter, musik), sementara nondiegetic sound adalah seluruh

suara yang berasal dari luar dunia cerita film dan hanya mampu

didengar oleh penonton saja (lagu, efek suara, narasi).

f. Sekuen

Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu

rangkaian peristiwa yang utuh. Dalam pertunjukkan teater, sekuen

bisa disamakan dengan satu babak. Satu sekuen biasanya

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

22

dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu

rangkaian aksi panjang.27

C. Ekranisasi

Ekranisasi berkembang di Indonesia mulai tahun 1984 yang diawali

dengan adanya film yang diangkat dari novel berjudul Roro Mendut karangan

Y.B Mangunwijaya. Istilah ekranisasi menurut Eneste adalah “pelayarputihan

atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam

bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak

mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat

dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan.”28

Dengan adanya proses

ekranisasi mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan,

yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang

bergerak berkelanjutan. Lebih lanjut lagi Eneste mengungkapkan bahwa

“ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara

individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong

royong).”29

Seperti yang kita ketahui bahwa novel merupakan karya

perseorangan sementara film merupakan hasil kerja gotong royong yang

melibatkan banyak pihak, seperti produser, sutradara, penulis skenario,

pemain, dan lain-lain.

Jika dalam membaca novel tidak ada faktor visual yang membatasi

imajinasi kita, dalam film tampaknya hal itulah yang utama. Tokoh-tokoh lain

dalam novel dan film itu bisa saja berbeda-beda, tergantung pada selera kita.

Demikian juga latar, unsur yang sangat penting dalam novel maupun film.

Latar novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah kota Padang pada

awal abad ke-20, suatu hal yang tentu tidak bisa dibayangkan oleh pembaca

yang tidak memiliki gambaran mengenai itu. Sementara itu, sutradara film

menentukan latar yang seperti apa yang dianggap sesuai agar alur bisa berjalan

wajar dan penokohan bisa meyakinkan. Unsur lain yang perlu juga mendapat

27

Ibid., hlm. 30-162. 28

Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores : Nusa Indah, 1991), hlm. 60. 29

Ibid.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

23

perhatian khusus adalah dialog. Film tidak memungkinkan, atau setidaknya

mengharamkan, adanya dialog panjang-panjang seperti yang ada dalam

bukunya, yang sebagian besar di antaranya bahkan ada yang berbentuk syair.

Dalam kasus Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat dialog yang cukup

panjang saat menceritakan riwayat orang tua Zainuddin. Dialog itu tidak

mungkin ditampilkan dalam film.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara

individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama, proses

perubahan dari pembaca menjadi penonton, juga proses perubahan dari

kesenian yang dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja menjadi kesenian

yang hanya dapat dinikmati di tempat-tempat tertentu dan pada waktu-waktu

tertentu pula. Itulah alasan mengapa ekranisasi dikatakan sebagai proses

perubahan.

Eneste menjelaskan beberapa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari

proses ekranisasi. Perubahan tersebut yaitu penciutan, penambahan

(perluasan) dan perubahan bervariasi.30

1. Penambahan, merupakan hal yang pasti terjadi ketika seorang

sutradara atau penulis skenario mengalihwahanakan sebuah novel

menjadi sebuah film. Penambahan yang dimaksud yakni dari segi

cerita, alur, penokohan, latar, atau suasana.

2. Penciutan, hal ini perlu dilakukan mengingat sebuah film hanya dapat

dinikmati hanya dalam kurun waktu 1-3 jam. Tidak seperti novel yang

dapat dinikmati lebih dari kurun waktu tersebut, bahkan berhari-hari.

Maka seorang sutradara dan penulis skenario harus cerdas memilih

peristiwa-peristiwa mana saja dan tokoh mana saja yang akan

ditampilkan dalam filmnya.

3. Perubahan bervariasi, proses ini tentu akan terjadi saat memfilmkan

sebuah novel. Variasi-variasi tersebut diciptakan seorang sutradara

30

Ibid., hlm. 60-66.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

24

atau penulis skenario semata-mata agar film tidak terlalu sama persis

dengan novelnya namun tetap bertumpu pada inti isi novel.

D. Sosiologi Sastra

Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba.

Kurniawan mengungkapkan bahwa “sebagai produk budaya yang berupa

tulisan bermedia bahasa, sastra tidak dapat lepas dengan genetisnya, yaitu

manusia sebagai pengarang. Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya

(penulis), dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi

kajian sosiologi.”31

Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan

masyarakat. Karya sastra seringkali dinyatakan sebagai “dokumen sosial”

lantaran keberadaannya yang mencerminkan peristiwa yang terjadi dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari. Emzir dan Rohman berpendapat bahwa

“sebagai dokumen sosial, karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang

mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya itu diciptakan.”32

Sosiologi sastra menurut Ratna berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio

atau socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos

yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan, atau ilmu.33

Sosiologi sastra

merupakan salah satu pendekatan interdisiplin, selain empat pendekatan yang

dikemukakan Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan

pragmatik. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu sastra dengan ilmu

sosologi. Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam

masyarakat, namun terdapat perbedaan dalam hakikatnya. Ratna

menungkapkan bahwa sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan

masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan

mengungkapkannya melalui emosi.34

31

Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2012), hlm. 6. 32

Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), hlm. 114. 33

Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2009), hlm. 1. 34

Ibid., hlm. 4.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

25

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.

Ratna mengungkapkan bahwa di antara genre utama karya sastra; puisi,

prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang paling dominan

dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di

antaranya; novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,

memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah

kemasyarakatan yang juga paling luas serta bahasa novel cenderung

merupakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam

masyarakat. Oleh karena itulah, karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-

ciri zamannya.35

Dengan demikian, Ratna mengungkapkan dalam bukunya

yang lain bahwa “penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian

ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan,

memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya

dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya.”36

Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk

mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam

lagi gejala sosial yang ada di luar sastra. Analisis karya sastra dengan

sosiologi tidak hanya meneliti sastra dan masyarakat. Lebih dari itu, ini

merupakan sebuah media pandangan pengarang terhadap kondisi realitas

sosial di masyarakatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra

digunakan untuk memaparkan hubungan antarunsur pembangun karya sastra

dari aspek sosial yang ada.

E. Warna Lokal

Sebuah karya sastra, dalam hal ini novel, tentu membutuhkan latar yang

tajam dan jelas untuk menopang alur cerita. Ketajaman dan kejelasan sebuah

latar dalam novel akan memberikan kesan bahwa di sanalah cerita dalam

novel itu benar-benar terjadi. Ketajaman dan kejelasan latar ini biasa dikenal

dengan warna lokal. Warna lokal berkaitan dengan latar cerita yang

35

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 335-336. 36

Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, hlm. 25.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

26

menggambarkan tempat atau daerah tertentu, tradisi masyarakat, dialek, adat

dan kebiasaan, dan lain-lain, seperti pendapat Abrams dalam Uniawati yang

menyatakan bahwa “sastra warna lokal adalah sastra berlatar belakang daerah,

berupa adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dialek, cara berpikir, dan perasaan

masyarakat.”37

Tidak hanya menyangkut kedaerahan dan ciri khusus kultur

setempat, menurut Uniawati, warna lokal juga pada hakikatnya menyangkut

“realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tak langsung oleh

realitas yang dicerminkan dalam karya sastra.”38

Hadirnya sebuah karya sastra yang kental dengan kelokalan dapat

menjadikannya media dalam melestarikan budaya setempat. Komposisi warna

lokal dalam karya sastra Indonesia telah dimulai sejak awal sejarah sastra

Indonesia. Bahtiar mengatakan bahwa “kalau kita perhatikan karya-karya

pengarang yang biasa dikenal dengan istilah „Angkatan Balai Pustaka‟, maka

sangat tajamlah warna lokal Minangkabau pada cerita-cerita pengarang yang

berasal dari daerah tersebut.”39

Kehadiran karya sastra Indonesia berwarna

lokal Minangkabau dapat kita temui pada Siti Nurbaya karya Marah Rusli

(1922), juga pada karya yang saat ini penulis teliti yaitu Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck karya Buya Hamka (1939). Dapat kita simpulkan bahwa

penggunaan warna lokal Minangkabau memang sudah ada sejak masa

sebelum kemerdekaan. Hanya saja terdapat perbedaan tema yang diangkat

oleh karya sastra berlatar Minangkabau sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Menurut Kusmarwanti, kebanyakan karya sastra berlatar Minangkabau

sebelum kemerdekaan mengangkat masalah perlawanan golongan pembaharu

terhadap adat yang digambarkan sebagai sesuatu yang kolot. Berbeda dengan

karya sastra berlatar Minangkabau setelah kemerdekaan, yang kebanyakan

37

Uniawati, “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen

„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra,” Kandai XII. no.1 (Mei 2016): hlm. 102. 38 Ibid. 39

Ahmad Bahtiar, “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan Terang

di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan,” artikel diakses pada 24 September 2017 dari

http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/15.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

27

mengangkat “tema perjuangan untuk kebebasan dan harga diri manusia

sebagaimana dituntut oleh filosofi adatnya.40

Kemunculan warna lokal dalam karya sastra Indonesia jelas tidak dapat

terlepas dari unsur latar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar dalam

sebuah karya sastra menjadi unsur terpenting dalam kaitannya dengan

kemunculan warna lokal. Selain latar, guna mempertajam warna lokal suatu

daerah biasanya pengarang juga menggunakan bahasa serta dialek setempat

dalam karyanya. Biasanya penggunaan bahasa dan dialek tersebut akan kita

temukan pada dialog antar tokoh-tokohnya. Lebih luas lagi, Ratna

menambahkan bahwa sastra warna lokal menyajikan informasi permukaan

mengenai lokasi tertentu, dengan cara melukiskan unsur-unsur yang kelihatan

(seperti lingkungan fisik, unsur sosial dan unsur budaya) sebagai dekorasi

tanpa mendalami kehidupan yang sesungguhnya.41

Berdasarkan pernyataan

Ratna tersebut, penulis menyimpulkan bahwa untuk menghadirkan warna

lokal dalam karya sastra, maka perlu ada tiga unsur yang turut serta berperan

dalam proses penciptaan karya tersebut. Berikut adalah pembahasan mengenai

ketiga unsur-unsur tersebut.

1. Lingkungan Fisik

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia

yang perkembangannnya dipengaruhi oleh manusia serta alam sekitar.

Soerjani mengemukakan bahwa ilmu lingkungan mempelajari tempat dan

peranan manusia di antara makhluk hidup dan komponen kehidupan

lainnya. Ilmu inilah yang mempelajari bagaimana manusia harus

menempatkan dirinya dalam suatu ekosistem atau dalam lingkungan

hidupnya.42

Dalam lingkungan, terdapat komponen yaitu abiotik dan

biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti

tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen

40

Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia,” artikel

diakses pada 12 April 2019 dari http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/. 41

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 383. 42

Moh Soerjani, dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam

Pembangunan, (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 3.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

28

biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan,

manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).

Lingkungan fisik termasuk ke dalam komponen abiotik, atau biasa

disebut dengan kebendaan. Dalam hal ini, lingkungan fisik yang terdapat

di dalam sebuah daerah dapat berupa keadaan alam seperti gunung, sungai,

atau pun sawah. Lingkungan fisik selalu berubah oleh adanya berbagai

macam gaya alam baik yang berkekuatan besar maupun kecil. Pada cerita

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, lingkungan fisik yang dihadirkan

oleh Hamka berupa gunung, sawah, sungai, rumah, surau, dan gelanggang.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan keadaan alam

yang terbentuk dari komponen hidup dan tak hidup. Lingkungan fisik

merupakan komponen abiotik yang mencakup keadaan sumber daya alam

seperti tanah, air, laut, gunung dan sebagainya dan mengharuskan manusia

serta makhluk hidup lainnya untuk menempatkan diri dalam lingkungan

tersebut.

2. Unsur-unsur Sosial

Manusia hadir sebagai makhluk sosial yang tidak pernah bisa lepas

dari manusia yang lainnya atau lingkungan sekitarnya. Dalam jurnal yang

ditulis oleh Syatriadin, Pidarta mengungkapkan bahwa “sosiologis adalah

ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-

kelompok dan struktur sosialnya.”43

Definisi tersebut memberi arti bahwa

ilmu sosiologi mempelajari tentang bagaimana hubungan antar manusia

serta mempelajari bagaimana sistem sosial beserta unsur-unsurnya dalam

suatu wilayah.

Sistem sosial telah ada di dalam lingkungan suatu wilayah seiring

dengan berjalannya kehidupan manusia. Sistem sosial diartikan sebagai

hubungan antara unsur-unsur sosial atau bagian-bagian di dalam

kehidupan sosial masyarakat yang saling mempengaruhi. Unsur-unsur

43

Syatriadin, “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan,” JISIP I, no. 2 (November 2017):

hlm. 101.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

29

sosial tersebut akan membangun suatu kesatuan yang berhubungan antara

satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan.

Adapun unsur-unsur sosial yang akan dibahas terkait penelitian ini

yaitu yang terdiri dari kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan

lembaga sosial. Berikut adalah pembahasan dari masing-masing unsur

sosial.

a. Kelas Sosial

Soekanto dan Sulistyowati mengungkapkan bahwa kelas sosial

adalah “semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya di

dalam suatu lapisan, sedangkan kedudukan mereka itu diketahui serta

diakui oleh masyarakat umum.”44

Hal ini menunjukkan bahwa adanya

kemungkinan pengelompokan yang didasarkan atas kesamaan

kedudukan, misalnya masyarakat kelas menengah ke atas berbeda

karakteristik dengan masyarakat menengah ke bawah.

Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat dapat ditentukan

dari sikap, gaya hidup, perilaku sosial, dan yang lebih mudah dapat

ditentukan berdasarkan penghasilan. Adanya kelas sosial jelas akan

menimbulkan sekat dalam kehidupan bermasyarakat, seperti apa yang

diungkapkan oleh Barir dalam jurnalnya bahwa kelas sosial pada

akhirnya “memunculkan sekat kehidupan dalam berbagai bidang,

superioritas, alienasi, perselisihan, dan tidak jarang sampai bermuara

pada tindak diskriminasi sosial”.45

b. Dinamika Sosial

Dinamika sosial merupakan hal-hal yang berhubungan dengan

perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Soekanto

mengungkapkan bahwa “keadaan yang tidak stabil dalam kelompok

sosial terjadi karena konflik antarindividu dalam kelompok atau karena

adanya konflik antarbagian kelompok tersebut sebagai akibat tidak

44

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), hlm.

205. 45

Muhammad Barir, “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran,” Studi

Ilmu-Ilmu al-Qur‟an dan Hadis XV, no. 1 (Januari 2014): hlm. 62.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

30

adanya keseimbangan antara kekuatan-keuatan di dalam kelompok itu

sendiri”.46

Maka dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan yang

ada tersebut, nantinya dapat menimbulkan gangguan pada

keseimbangan sosial yang ada. Adapun objek pembahasan dinamika

sosial meliputi: pengendalian sosial, penyimpangan sosial, dan

mobilitas sosial.

1. Pengendalian sosial, merupakan cara atau proses pengawasan baik

yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk

mengajak, mendidik bahkan memaksa warga masyarakat agar para

anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai yang berlaku.

2. Penyimpangan sosial, merupakan perilaku sejumlah orang yang

dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku

sehingga penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi-reaksi

seperti pergunjingan masyarakat.

3. Mobilitas sosial merupakan peristiwa sosial di mana individu atau

kelompok bergerak atau berpindah kelas sosial satu ke lapisan

sosial lainnya.

c. Kelompok Sosial

Kandioh dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa kelompok sosial

adalah “kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan

keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh

masyarakat. Kelompok juga dapat memengaruhi perilaku para

anggotanya.”47

Manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung

dengan manusia lainnya. Semakin dekat jarak geografis antara satu

orang dengan orang yang lainnya maka semakin besar peluang kedua

orang tersebut untuk saling berinteraksi, bersosialisasi, bahkan

berkelompok. Tidak hanya kedekatan fisik, faktor kesamaan juga turut

46

Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, hlm. 144. 47

Frangky Benjamin Kandioh, “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial dalam

Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa,”

Society XXI, (Maret-April 2016): hlm. 52.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

31

membuat masyarakat berkelompok. Kesamaan yang dimaksud seperti

kesamaan usia, minat, karakter, kepercayaan, dan sebagainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok sosial merupakan

kumpulan individu yang hidup bersama karena adanya kesamaan

antara satu dengan yang lainnya serta memiliki hubungan timbal balik.

d. Lembaga Sosial

Lembaga sosial hadir sebagai alat kontol atas perilaku anggota

masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat lainnya

(menyimpang). Seseorang akan dianggap menyimpang apabila

melakukan tindakan serta perilaku yang melanggar norma, adat, dan

peraturan secara hukum. Maka dari itu, peran lembaga sosial sangatlah

penting sebagai pengendali, pembina, sekaligus mencegah adanya

penyimpangan sosial tersebut di dalam masyarakat.

…social institution lebih menunjuk pada adanya unsur-unsur yang

mengatur perilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat.

Istilah lembaga sosial (sosial institution) di sini artinya, bahwa

lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial

anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga

mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma

dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga

tersebut.48

Kutipan tersebut merupakan pernyataan dari Basrowi terkait

makna dari istilah lembaga sosial. Melalui pernyataan tersebut dapat

dikatakan bahwa lembaga sosial turut serta dalam pembentukan

perilaku dan moral masyarakat. Entah secara formal maupun informal,

lembaga sosial dibuat dengan tujuan untuk mengikat perilaku anggota

masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan yang

menjadi kesepakatan sosial.

3. Unsur-unsur Budaya

Koentjaraningrat menyebutkan definisi kebudayaan sebagai “seluruh

sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia

dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan

48

Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 93.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

32

belajar.”49

Dengan kebudayaan, manusia dapat hidup di segala macam

lingkungan alam. Meskipun manusia baru mengenal kebudayaannya sejak

saat ia dilahirkan, dengan kebudayaannya manusia dapat menjadi makhluk

yang paling berkuasa di mana pun ia berada. Kebudayaan merupakan

sebuah cara, baik untuk memahami maupun untuk mengorganisasikan

kehidupan manusia.

Hanafie mengungkapkan tujuh unsur kebudayaan yang dapat

ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut

sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1) sistem

religi, (2) sistem organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4)

sistem mata pencaharian hidup, (5) sistem teknologi dan peralatan, (6)

bahasa, dan (7) kesenian.50

a. Sistem Religi

Merupakan produk manusia sebagai homo religious. Sistem religi

dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu sistem

keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut

religi itu. Keyakinan mengandung konsepsi tentang dewa yang baik

maupun jahat, konsepsi tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh

leluhur, konsepsi tentang hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi

tentang ilmu gaib, dan sebagainya. Sistem upacara keagamaan

mengandung empat aspek yakni tempat upacara keagamaan dilakukan,

saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara,

orang yang melakukan dan memimpin upacara. Mengenai umat yang

menganut keyakinan, biasanya dideskripsikan mengenai pengikut

suatu kepercayaan dan hubungan satu dengan yang lainnya.

b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Merupakan produk manusia sebagai homo socius. Setiap

kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan

mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat

49

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 72. 50

Sri Rahaju Djatimurti Rita Hanafie, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta : CV Andi

Offset, 2016), hlm. 38-40.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

33

individu itu hidup dan bergaul. Menyadari bahwa dirinya lemah, maka

manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun

organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama

untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan

hidupnya.

c. Sistem Pengetahuan

Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan

tentang alam sekitar, pengetahuan tentang alam flora dan fauna,

pengetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-kebudayaan,

seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan pengetahuan tentang

sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan yang teramat

penting dalam suatu masyarakat. Selain itu, pengetahuan tentang sopan

santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat,

pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga

sangat penting.

d. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Merupakan produk manusia sebagai homo economicus. Sistem ini

menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.

Dari food gathering berkembang ke food producing, dari bercocok

tanam, kemudian beternak, mengusahakan kerajinan, berdagang dan

terus berkembang.

e. Sistem Teknologi dan Peralatan

Merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari

pemikirannya yang cerdas dibantu dengan kekuatan tangannya yang

mampu memegang sesuatu dengan erat, manusia menciptakan

sekaligus mempergunakan alat yang kemudian dimanfaatkan untuk

lebih memenuhi kebutuhannya. Teknologi sering dikatakan sebagai

cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan

hidup setiap suku bangsa. Teknologi tradisional adalah teknologi yang

belum dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan

“Barat”. Teknologi tradisional mengenal tujuh macam sistem peralatan

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

34

dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh masyarakat kecil atau

masyarakat pedesaan yaitu: alat produksi, senjata, wadah, makanan,

pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi.

f. Bahasa

Merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Pembahasan

ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang

diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari

bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan

dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-

hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan (kepala, mata,

hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya), gejala-gejala dari alam

(angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan

sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan,

duduk, berdiri dan sebagainya).

g. Kesenian

Merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Kesenian

merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan di

dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman

di setiap daerah tentu beraneka ragam. Adapun ragam kesenian yang

dimaksud misalnya seni rupa, seni suara, seni drama, dan lain-lain.

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran mengenai analisis novel yang dibahas di sekolah sangat

membantu siswa dalam memperdalam ilmu sastra. Tujuan pembelajaran

tersebut dijabarkan ke dalam empat kompetensi, yaitu kompetensi menyimak,

kompetensi berbicara, kompetensi membaca, dan kompetensi menulis sastra.

Kompetensi menyimak meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan

mengapresiasi ragam karya sastra sesuai dengan tingkat kemampuan peserta

didik. Kompetensi berbicara meliputi kemampuan membahas dan

mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan konteks lingkungan dan

budaya. Kompetensi membaca meliputi kemampuan membaca dan memahami

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

35

berbagai jenis karya sastra. Kompetensi menulis meliputi kemampuan

mengapresiasikan karya sastra dalam bentuk sastra tulis yang kreatif dalam

bentuk menulis kritik dan esai sastra berdasarkan jenis sastra yang telah

dibaca. Menurut Rahmanto, manfaat dari pembelajaran sastra bagi siswa di

sekolah yaitu “membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan

budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak.”51

Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak

dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita

rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan berbicara dengan ikut berperan

dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan

membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra

itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan

hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.52

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa kehadiran sastra

dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting. Dengan

mengikutsertakan sastra dalam kurikulum sekolah, berarti akan membantu

siswa melatih keterampilan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara yang

saling berhubungan satu sama lain. Melalui pembelajaran sastra, diharapkan

agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra serta mampu mengembangkan

kepekaan siswa dalam memahami karya sastra.

Analisis warna lokal memang jarang ditemukan dalam pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, sehingga pengetahuan siswa tentang

warna lokal sangat rendah. Padahal dengan mempelajari warna lokal dalam

sebuah karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter peserta didik dalam

menghargai budaya bangsa. Selain warna lokal, kajian ekranisasi juga menjadi

pembelajaran baru yang menarik bagi siswa. Banyak penelitian yang

membuktikan bahwa hingga saat ini minat siswa untuk membaca sebuah novel

masih sangat rendah, terlebih lagi jika novel yang harus dibaca adalah novel-

novel sastra klasik. Hadirnya film-film hasil ekranisasi novel sastra klasik

51

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 16. 52

Ibid, hlm. 17.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

36

seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,

dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada

di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil

ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca

mereka. Melalui media film, diharapkan guru dapat membantu siswa untuk

meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya

sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film.

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian terhadap

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini, dapat dibandingkan dengan skripsi

Dita Kurmala Sari, mahasiswi S1 Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bengkulu pada tahun 2014.

Skripsinya berjudul “Pandangan Etnis Minangkabau tentang Novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Studi pada Masyarakat Minangkabau di

Bengkulu)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menemukan

bagaimana cara pandang etnis Minangkabau, baik pandangan golongan tua

etnis Minangkabau maupun pandangan golongan muda etnis Minangkabau

tentang novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya

Hamka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif

dengan teknik analisis model interaktif. Melalui teori Perbedaan Individu,

hasil menunjukkan bahwa dari latarbelakang cerita dalam novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, masyarakat Minangkabau golongan tua

dan golongan muda memiliki persepsi yang beragam dalam memaknai adat

yang berlaku di daerah Minangkabau. Ada yang berpendapat sama dan ada

pula yang mengatakan bahwa sekarang cerita pada novel itu tidaklah berlaku

lagi. Hal itu karena pengaruh globalisasi, pendidikan, dan kemajuan teknologi.

Sementara itu, Isma Ariyani yang merupakan seorang mahasiswi S1 Ilmu

Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin,

juga melakukan penelitian terhadap novel Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck pada tahun 2014. Skripsinya berjudul “Representasi Nilai Siri’ pada

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

37

Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis

Framing Novel)”. Hasil penelitian yang didapat oleh Isma menunjukkan

bahwa cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam

menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada

novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka mengemas karakter

Zainuddin sebagai sosok berdarah Makassar-Minang berdasarkan cara

pandangnya. Hamka cukup paham dengan makna siri’ yang dianut masyarakat

Makassar, namun pencitraan nilai siri’ pada diri Zainuddin masih lemah. Hal

ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Hamka sebagai orang

Minangkabau (non-Makassar), maka tidak terdapat kesadaran besar untuk

menggambarkan karakter orang Makassar sebagaimana seharusnya pada

sosok Zainuddin. Begitu pula tokoh Zainuddin dalam cerita diposisikan

sebagai seseorang yang berdarah Makassar-Minang, secara lahiriah bisa saja

darah Minang melekat pada diri Zainuddin, sehingga tidak sepenuhnya ia

mampu memegang kokoh adat Makassar.

Adapun Daratullaila Nasri, mahasiwi S2 Ilmu Sastra, Universitas Gajah

Mada. Tesisnya berjudul "Ideologeme Novel Tenggelamnya Kapal van der

Wijck Karya Hamka; Kajian Intertekstual Kristeva" pada tahun 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan bentuk dan makna ideologeme pada

teks Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Untuk menyajikan tujuan penelitian

tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis suprasegmental dan

intertekstual. Cara kerja penelitian ini, yaitu mencari fungsi intertekstual yang

ada pada teks cerita. Fungsi tersebut adalah kode yang terkait dengan teks

sosial dan sejarah yang ditemukan dalam variabel terikat dan kemudian

dihubungkan dengan variabel independen. Variabel terikat mengacu kepada

teks dalam, sedangkan variabel independen mengacu pada teks luar. Hasil

penelitian ini menunjukkan, bahwa teks sosial dan sejarah yang ditemukan

pada teks novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki kesamaan atau

kejajaran dengan teks sosial dan sejarah yang ada pada teks luar. Bentuk teks

sosial dan sejarah yang ditemukan pada teks cerita tersebut adalah teks mamak

dan kemenakan, harta pusaka, perkawinan, perempuan sebagai kemenakan,

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

38

urang sumando, surau, Rumah Gadang dan rangking, parewa, urang siak,

urang asa, asal usul Islam di Makassar, dan peristiwa tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck sebagai latar cerita. Teks sosial dan sejarah tersebut

didominasi oleh budaya Minangkabau. Pendominasian ini menggambarkan

pengekslusifan budaya sehingga membentuk masyarakatnya. Produksi makna

teks dihasilkan melalui cara pandang oposisi, tranformasi dan transposisi.

Cara pandang oposisi tidak mempersatukan dua sistem budaya yang berbeda,

sehingga muncul transposisi dan transformasi budaya, yaitu dari tradisional ke

modern. Modernitas membawa orang berpikir nasionalis sehingga tidak ada

lagi perbedaan antarsuku atau kelompok. Yang ada hanya persatuan

antarbangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang penulis paparkan di atas, maka

skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” ini belum pernah ada

yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis mengangkat

judul tersebut sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

39

BAB III

PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi Buya Hamka

Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian dikenal kebanyakan orang

sebagai Buya Hamka ini dilahirkan di desa Sungai Batang, Maninjau pada

tanggal 16 Februari 1908. Hamka adalah seorang ulama besar, filosof, pujangga

akbar, serta politikus. Di tanah Minang yang terkenal dengan adat bersendi

syarak inilah Hamka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama

yang cukup berpengaruh. “Hamka adalah anak tertua dari ibunya yang bernama

Sofiyah. Ayahnya dikenal sebagai Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah,

yang terpandang sebagai ulama sekaligus pembaharu keagamaan di

Minangkabau.”1

Hamka memang dikenal sebagai seorang yang besar dalam segala bidang.

Namun ternyata semua itu tidak diawalinya dengan menjadi manusia baik.

Beberapa tahap kehidupan sebagai “parewa” dan berkecimpung sebagai seorang

yang mencari kebebasan (free man) pernah ia lalui.2 Haji Abdul Karim sebagai

ulama besar menghendaki Hamka untuk menjadi orang besar dan alim. Untuk

itu ayahnya memasukkan Hamka ke Madrasah Thawalib, suatu lembaga

pendidikan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Hamka dibentuk jiwanya

dengan ajaran agama yang ditanamkan ayahnya. Di lain pihak Hamka

memendam kekecewaan atas perilaku ayahnya. Ia tidak suka melihat ayahnya

kawin cerai.

Akhirnya Hamka memutuskan untuk meninggalkan tanah Minang dan

berangkat ke tanah Jawa. Namun perantauannya kandas di Bengkulu. Ia

terserang penyakit cacar. Belum lagi pulih kesehatannya, ia pun terserang

malaria. Dengan tekad yang kuat, jadilah ia berangkat ke Jawa. Hamka yang

saat itu masih berusia 16 tahun berhasil mengikuti kursus-kursus yang

diselenggarakan Serikat Islam (SI) Yogyakarta lewat pamannya, Ja’far

1 Roni Effendy, “Buya Hamka,” Singgalang KMS, 25 Agustus 1987, hlm. 2.

2Anspek, “HAMKA: Sumur Yang Tak Pernah Kering,” Haluan, 23 September 1990, hlm.

10.

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

40

Amrullah. Serikat Islam inilah yang merasuki jiwa Hamka sehingga ia rajin

mendengarkan pidato para tokoh Muhammadiyah.3

Sekembalinya dari tanah Jawa, Hamka mulai mengemukakan ide-ide

sosialisme Islam lewat pidatonya di tanah Minang sehingga Hamka sudah

menjadi tokoh di Minangkabau saat usianya masih 17 tahun. Hamka juga

menerbitkan majalahnya yang pertama yaitu “Khatib-ul Ummah” tahun 1925.

Pada usia 17 tahun, ia telah sering menulis di berbagai majalah dan surat kabar.

Di bidang jurnalistik, kariernya tercatat sebagai koresponden dan pemimpin

majalah Pelita Andalas, Bintang Islam, Kemajuan Zaman, Al Mahdi (di

Makassar), Pembela Islam, Bintang Islam, Pedoman Masyarakat dan Panji

Masyarakat.4 Meskipun Hamka sudah terkenal di Minang, ia masih sering

mendapat kritikan pedas dari masyarakat karena Hamka dipandang hanya

sebagai “tukang pidato” bukan ahli agama apalagi ahli bahasa Arab. Situasi

seperti ini membuat Hamka memutuskan untuk pergi ke Mekkah saat usianya

19 tahun. Sekembalinya dari Mekkah pada tanggal 5 April 1929, Hamka

menikahi Siti Rahmah, gadis pujaannya sejak kecil. Dengan gelar “Haji” di

depan namanya, Hamka baru dianggap sah sebagai ulama oleh masyarakat

Minang. Ia kembali aktif dalam pergerakannya sebagai pengurus

Muhammadiyah cabang Padang Panjang.

Tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini ia mengembangkan bakat

intelektualnya lewat majalah “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini pun

mempopulerkan namanya dengan sederet julukan; wartawan, pengarang,

mubaligh sekaligus ahli dakwah. Di Medan ini pula Hamka mengenal karya-

karya sastra dan kebudayaan barat sehingga wawasan budayanya semakin tebal.

Terbukti dengan mencuatnya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau

Ke Deli (1940), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937).5

Ketika Jepang berkuasa, Hamka menjadi konsul Muhammadiyah Sumatera

Tengah. Jabatan inilah yang membuatnya didekati Jepang. Ia dianggap tokoh

agama masyarakat, tapi justru itu Hamka dijauhi masyarakat dan kerabatnya,

3 Effendy, “Buya Hamka”.

4 SP, “Prof. Dr. Hamka,” Haluan, 19 Februari 1989, hlm. 9.

5 Effendy, “Buya Hamka”.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

41

yang menganggapnya “anak emas” Jepang. Menghadapi hal ini, Hamka dengan

berat hati meninggalkan kota Medan, setelah Jepang angkat kaki. Hamka

pindah ke Jakarta tahun 1950. Ia diangkat menjadi anggota pimpinan pusat

Muhammadiyah di Purwokerto. Di Jakarta ia lebih aktif dalam gerakan sosial,

dakwah dan mengarang. Antara tahun 1951-1952 Hamka mengelola Yayasan

Pesantren Islam yang didirikan Dr. Syamsudin (Mensos saat itu). Yayasan

inilah yang melahirkan masjid agung Al-Azhar yang berpengaruh besar pada

kegiatan dakwah islamiah di Jakarta dan sekitarnya.6

Pergolakan poltik di awal tahun 60-an makin panas. Hamka mendirikan

majalah “Gema Islam”. Media ini efektif membendung PKI yang sering

menyerang lewat surat kabarnya. Mengahadapi hal ini PKI makin gencar

menyudutkan posisi Hamka. PKI menuduh Hamka sebagai plagiator dalam

bukunya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, berlanjut dengan tuduhan

Hamka berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Ini mengakibatkan Hamka

mendekam di penjara.

Hamka banyak berjasa bagi bangsa, negara, agama, dan kemanusiaan.

Hamka mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar

(1958) dan dari University Kebangsaan Kualalumpur, Malaysia (1974). Pada

tahun 1975 Hamka menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hamka juga pernah menjabat sebagai anggota Majelis Ta’sisi Robitoh Alam

Islami yang berkedudukan di Mekkah.7

Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10:41 WIB, Hamka dipanggil Tuhan setelah

berbaring di rumah sakit selama seminggu. Beliau meninggalkan 10 orang

putra-putri dan seluruh umat manusia yang mencintainya.

B. Karya Buya Hamka

Sebagai sastrawan yang produktif, Hamka telah menciptakan lebih dari 300

buku besar dan kecil. Belum lagi yang bertebaran di banyak media massa. Di

antaranya: Khatibul Ummah (Majalah) (1925); Kemajuan Zaman (Majalah)

6 Effendy, “Buya Hamka”.

7 SP, “Prof. Dr. Hamka”.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

42

(1928); Si Sabariyah (1928); Pembela Islam (1929); Islam dan Adat

Minangkabau (1929); Agama dan Perempuan (1929); Laila Majnun (1932); Al-

Mardi (1932); Pedoman Masyarakat (1936); Di bawah Lindungan Ka’bah

(1937); Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939); Margaretta Gauthier

(1938); Terusir (1938); Tasauf Modern (1938); Falsafah Hidup (1939);

Lembaga Hidup (1939); Penuntun Jiwa (1939); Di dalam Lembah Kehidupan

(1939); Merantau ke Deli (1939); Keadilan Illahi (1939); Lembaga Budi (1940);

Cermin Penghidupan (1940); Dijemput Mamaknya (1940); Angkatan Baru

(1940); Tuan Direktur (Almudirr) (1940); Sejarah Islam di Sumatera (1943);

Merdeka (1946); Revolusi Pikiran (1946); Revolusi Agama (1946); Negara

Islam (1946); Dari Lembah Cita-Cita (1946); Di Bantingkan Ombak

Masyarakat (1946); Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (1946); Naskah

Renville (1948); Menunggu Beduk Berbunyi (1949); Cemburu (Ghibah)

(1949); Bohong di Dunia (1949); Urat Tunggang Pancasila (1950); Ayahku

(1950); Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1950); Mandi Cahaya di

Tanah Suci (1951); Di Lembah Nyl (1951); Di tepi Sungai Dajlah (1951);

Empat Bulan di Amerika 2 jilid (1952); Kenang-kenangan Hidup 4 jilid (1952);

Pribadi (1952); Lembaga Hikmat (1952); 1001 Soal-soal Hidup (1953); Sejarah

Umat Islam 4 jilid (1955); Pelajaran Agama Islam (1955); Kenang-kenangan di

Malaya (1956); Dari Perbendaharaan Lama (1957); Pengaruh Moh. Abduh di

Indonesia (1959); Panji Masyarakat (Majalah Islam) (1959); Pandangan Hidup

Muslim (1966); Sayid Jamaluddin Al-Afghani (1966); Tanya-Jawab 2 jilid

(1966); Panji Masyrakat (Majalah Islam) (1966); Kisah Nabi-Nabi (1968);

Beberapa Tantangan tantangan Umat Islam di Masa Kini (1972);

Mengembalikan Tasauf ke pangkalnya (1973); Kedudukan Perempuan dalam

Islam (1973); Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1973); Muhammadiyah

di Minangkabau (1974). Karya Hamka yang dinilai terbesar yaitu “Tafsir Al

Azhar” yang memuat 30 juz lengkap kitab Al Qur’an. Tafsir ini dikarang

Hamka di dalam penjara masa orde lama.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

43

C. Pemikiran Buya Hamka

Buya Hamka adalah pribadi yang mengasyikkan. Bila berbicara, baik ketika

bercakap-cakap, berceramah maupun berkhotbah, ia mampu memukau

pendengarnya. Ia bisa bagaikan “singa” di podium bila menangkis “tuduhan”

yang menyakitkan bagi Islam. Namun sebaliknya bila jiwanya tersentuh oleh

hal-hal yang manusiawi, ia mampu menguras airmata pendengarnya. Bahkan

tak jarang ia berkhotbah sambil tiap sebentar menyeka airmatanya, pada saat

mengagungkan kebesaran Ilahi. Hamka memiliki kharisma yang sukar

dicarikan tandingannya. Sikap yang terbuka dan jujur merupakan suatu ciri

tersendiri bagi Hamka dalam menghadapi berbagai situasi. Sikap Hamka

tersebut banyak dipengaruhi oleh peran sosial dan harapan-harapan ayahnya,

lingkungan adat Minangkabau tempat dia dibesarkan, serta nilai-nilai Islam

yang amat diyakininya.8

Menurut Jassin, Hamka adalah orang yang punya prinsip. Dalam dunia

sastra, Jassin melihat Hamka sebagai seorang yang cukup kreatif dan besar

pengaruhnya. Apa yang diceritakan Hamka dalam roman-romannya,

sebenarnya adalah konsep-konsep beliau tentang kehidupan dan menarik bagi

orang lain. Karena tertarik tentu saja orang mengikuti. Jadi dalam hal ini, dalam

pembentukan bahasa dengan gayanya sendiri, Hamka mempunyai arti penting

dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Penampilan Hamka memang

komplit. Kelancarannya menulis, berpidato, saling berkait. Karena itu tidaklah

mengherankan kalau Hamka bukan saja dikenal di dalam negeri, tetapi juga di

Malaysia. Bahkan buku-bukunya banyak dicetak di Malaysia.9

Menurut H. Abdullah Salim, kepemimpinan Buya Hamka sudah nampak

pada waktu mudanya terutama dalam bidang kesusasteraan, Hamka dikenalnya

sebagai pengarang yang berbakat. Jika dilihat dari segi pendidikan memang

rendah sekali, tetapi karena jiwa kepemimpinannya yang pada waktu mudanya

8 Azkarmin Zaini, “Buya Hamka,“ Kompas, 10 Agustus 1980, hlm. 7.

9 “HB JASSIN: HAMKA,” Amanah, no. 1 (Juli 1986): hlm. 78.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

44

sangat aktif dalam organisasi inilah yang membesarkan Hamka menjadi dewasa

dan mendorong terus untuk maju dalam membina umatnya.10

Predikat Hamka di samping ulama yang juga berperan sebagai pengarang

roman pernah pula menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam di

Indonesia. Ada yang menganggap, ulama mengarang roman biasa saja. Ada

pula yang berpendapat, itu tidak pantas. Di waktu inilah ia mendapat julukan

yang tidak mengenakkan sebagai pengarang “ulama pengarang roman”. Akan

tetapi walaupun demikian ia tak pernah ambil pusing. “Kalau ilham datang,

saya akan terus mengarang roman,” katanya pada suatu ketika.11

D. Profil Tim Produksi

Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diproduksi oleh PT Soraya

Intercine Films, sebuah rumah produksi sekaligus distributor film di Indonesia

yang didirikan oleh Ram Soraya pada 1 Juni 1982. Soraya Intercine Films

adalah perusahaan film terbesar di Indonesia. Sudah ratusan film produksi

Soraya Intercine Films yang mempunyai prestasi yang membanggakan.

Aktivitas bisnis dari perusahaan ini antara lain :

1. Memproduksi film

2. Memproduksi sinetron

3. Mendistribusikan film

4. Penjualan film baik dalam lingkup nasional maupun internasional

Hingga saat ini, Soraya Intercine Films telah memproduksi kurang lebih

tujuh puluh judul film. Kantor pusat perusahaan ini berada di Jalan K.H. Wahid

Hasyim 3 Menteng, Jakarta Pusat. Adapun direktur dari rumah produksi ini

yaitu Ramesh Pridhnani (Ram Soraya), sementara wakil direktur dari rumah

produksi ini yaitu Sunil Pridhnani (Sunil Soraya).

Sutradara dibalik pembuatan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

adalah Sunil Soraya. Sunil Soraya merupakan putra dari sutradara Ram Soraya,

pemilik rumah produksi Intercine Films. Sunil adalah seorang sutradara dan

10

Chatum, “Syubbanul Yaum Rijalul Ghad: Pemuda Kini, Tokoh Masa Depan,“ Risalah

Islamiyah, t.t., hlm. 33. 11

Raflis Chaniago, “H.B. Jassin Membela Hamka,” Singgalang, 4 Juni 1990, hlm. 6.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

45

juga produser film Indonesia yang dikenal dengan karya-karya film remajanya,

seperti Apa Artinya Cinta? (2005), Eiffel I’m in Love (2003), Single (2015),

dan masih banyak lagi.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

46

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Objektif Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Sebagai sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan tokoh-

tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks, tentunya novel tidak berdiri

sendiri. Ada beberapa unsur yang turut serta membangun sebuah novel, yang

terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, gaya

bahasa, dan amanat.

1. Tema

Tema yang terdapat dalam novel tidak mengalami perubahan apapun

setelah proses ekranisasi. Pada novelnya, tema yang terkandung

menceritakan tentang percintaan yang terjalin antara Zainuddin, Hayati,

dan Aziz. Zainuddin yang telah terlanjur mencintai Hayati tak dapat

berbuat apa-apa setelah hubungan keduanya ditentang keras oleh adat

mereka.

…Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang

Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak

ada: Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia

kita terima menjadi suami anak kemenakan kita, ke mana kemenakan

kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit

sekali soal ini.1

Sementara itu pada filmnya, tema cerita tidak mengalami perubahan

yang berarti. Masih dengan tema yang sama, yakni percintaan antara

Zainuddin, Hayati, dan Aziz yang dibumbui dengan kerasnya adat

Minangkabau.

2. Tokoh dan Penokohan

Selalu ada unsur tokoh di dalam sebuah cerita, entah tokoh yang

dihadirkan merupakan makhluk hidup ataupun benda mati yang

digambarkan seolah-olah hidup. Dalam kehadirannya, unsur tokoh

1 Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), hlm.

128.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

47

selalu berdampingan dengan penokohan. Pada novel Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck dihadirkan Zainuddin sebagai tokoh utama, juga

Hayati, Mak Base, Datuk, Aziz, Muluk, Khadijah, Ahmad, Mak Ipih,

dan beberapa tokoh lain sebagai tokoh tambahan.

Sementara itu pada filmnya, terdapat tokoh tambahan yang

mengalami penambahan, yaitu adanya beberapa pembantu di rumah

Zainuddin, Engku Labai, Ida, beberapa pegawai bank, pemilik lepau,

Rusli, Tuan Iskandar, dan HM Kasim. Penambahan tersebut terjadi

demi menyesuaikan variasi-variasi yang berbeda di dalam alur film.

Selain penambahan, ada beberapa tokoh tambahan yang dihilangkan,

yaitu Pandekar Sutan, Daeng Habibah, dan Datuk Paduka Emas (kakek

Zainuddin). Penciutan tersebut terjadi karena memang tidak

terdapatnya alur yang menceritakan tentang ketiga tokoh tersebut.

Dari beberapa tokoh yang terdapat di dalam cerita, terdapat

beberapa tokoh yang dianggap penting dan cukup menjadi fokus dalam

novelnya. Penulis memfokuskan kepada tokoh Zainuddin, Hayati,

Aziz, dan Muluk. Adapun analisis penokohan tersebut lebih jelasnya

penulis paparkan sebagai berikut.

1. Zainuddin

Kedudukannya dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

yakni sebagai tokoh utama laki-laki yang menjadi penyebab

terjalinnya peristiwa dalam cerita ini. Dilihat dari segi peranannya,

tokoh Zainuddin ditampilkan terus menerus sehingga mendominasi

sebagian besar cerita. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

memiliki dua puluh delapan bab cerita, dalam dua puluh delapan

bab cerita tersebut tokoh Zainuddin adalah yang paling dominan

muncul dalam dua puluh dua bab cerita.

Dilihat ciri fisiknya, tokoh Zainuddin yang memiliki darah

campuran Makassar dan Minangkabau agaknya kurang tampan

sehingga dirinya kerap merasa tidak pantas untuk Hayati.

Zainuddin memiliki sorot mata dan wajah yang muram. Meskipun

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

48

begitu, Zainuddin dianggap gagah dan pantas saat dirinya datang

ke Minangkabau. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat dalam beberapa

kutipan berikut:

Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya

mukanya yang sekarang adalah lebih jernih, pakaian yang

dipakainya lebih gagah dan lebih mahal dari dahulu. Meskipun

mukanya tidak tampan, tetapi cahaya ilmu, pengalaman,

penanggungan, cahaya seni, semuanya telah memberinya

bentuk yang baru.2

Sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh dengan

cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan batin yang begitu

hebat sejak kecil, telah menimbulkan kasihan yang amat dalam

di hati Hayati.3

Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana

kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan

beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang

menurut adat di Minangkabau dinamai „anak pisang‟.4

Penggambaran karakteristik tokoh Zainuddin yang tidak

tampan rupanya cukup kontradiktif dengan yang yang ada di dalam

film ekranisasinya. Herjunot Ali yang menempati posisi sebagai

tokoh Zainuddin memiliki perawakan yang tinggi namun tidak

gemuk, kulitnya putih, tampan, serta tatapan mata yang teduh.

Sekuen No.46/1:48:21 Sekuen No.4/07:14

Jika terdapat perbedaan bagaimana rupa tokoh Zainuddin di

novel dengan filmnya, lain halnya perihal penampilan tokoh

Zainuddin. Baik di dalam novel maupun di dalam film, kesan alim

menempel pada cara Zainuddin berpenampilan. Zainuddin selalu

mengenakan sarung khas Bugis yang merupakan daerah kelahiran

2 Ibid., hlm. 198.

3 Ibid., hlm. 38.

4 Ibid., hlm. 22.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

49

Zainuddin. Jika disandingkan dengan tokoh Aziz jelas sangat

kontradiktif. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Seorang temannya berkata pula, „Rupanya alim betul

kenalanmu itu!‟5

Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita heran, jika

Hayati termenung, mukanya tertekur, kepalanya berasa sakit,

melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai

orang lain; memakai pakaian, seakan-akan orang yang tersisih.6

Perihal penampilan Zainuddin inilah yang nantinya menjadi

salah satu penyebab Hayati bimbang akan perasaannya. Pasalnya

penampilan Zainuddin saat di pacuan kuda menjadi buah mulut

Khadijah, Aziz dan rekan-rekannya. Mereka merendahkan

Zainuddin lewat penampilan tersebut.

Sekuen No.4/06:58 Sekuen No.28/50:54

Perihal penampilan Zainuddin inilah yang nantinya menjadi

salah satu penyebab Hayati bimbang akan perasaannya. Pasalnya

penampilan Zainuddin saat di pacuan kuda menjadi buah mulut

Khadijah, Aziz dan rekan-rekannya. Mereka merendahkan

Zainuddin lewat penampilan tersebut.

Dilihat dari aspek psikologis, Zainuddin yang sejak kecil telah

dirundung kemalangan ini adalah sosok pemuda yang pantang

menyerah. Hal tersebut diketahui dari dialog yang terjadi di dalam

novel antara dirinya dan Mak Base.

Mamak jangan panjang waswas. Pepatah orang Mengkasar

sudah cukup: „anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang,

hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah

dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun

5 Ibid., hlm. 92.

6 Ibid., hlm. 94-95.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

50

bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan

layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haliuan

pulang.‟7

Dialog tersebut terjadi saat Zainuddin hendak meninggalkan

Mengkasar menuju Padang, ke tanah kelahiran ayahnya untuk

memperdalam ilmu dunia dan akhirat. Lewat dialog tersebut

terlihat bagaimana sikap pemuda Mengkasar yang pantang

menyerah, tidak peduli apapun halangan dan rintangannya, ia tidak

akan pulang sebelum tujuannya tercapai; memperdalam ilmu dunia

dan akhirat. Lewat dialog tersebut terlihat bagaimana sikap pemuda

Mengkasar yang pantang menyerah, tidak peduli apapun halangan

dan rintangannya, ia tidak akan pulang sebelum tujuannya tercapai;

memperdalam ilmu dunia dan akhirat. Namun penokohan yang

satu ini hanya dapat kita temukan di dalam novel. Pada filmnya,

dialog ini tidak ada, melainkan hanya sebatas permintaan izin

Zainuddin yang hendak berangkat ke Padang.

Sekuen No.2/03:06

Sesampainya di Padang, cobaan tidak henti-hentinya

mendatangi Zainuddin. Meskipun begitu, Zainuddin tidak

melupakan Tuhan-Nya. Zainuddin tetaplah sosok pemuda yang

tekun beribadah dan selalu berserah diri kepada Tuhan.

Dihalangi, atau tidak dikabulkan permintaannya, diterimanya

dengan sabar dan tawakal; apa boleh buat! Memang sudah

suratan nasibnya sejak kecil akan selalu dibesarkan oleh

sengsara, digedangkan dengan keluhan.8

7 Ibid., hlm. 20.

8 Ibid., hlm. 136.

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

51

Sekuen No.35/1:14:47

Frame tersebut menggambarkan situasi tokoh Zainuddin yang

tengah membaca Al-Quran, sementara pada adegan yang lain

pernikahan Hayati dan Aziz tengah berlangsung. Hal tersebut

menunjukkan bahwa bahkan pada saat cobaan mencapai titik

terendah dalam hidupnya, ia tidak melupakan Tuhan. Baik di

dalam novel maupun di dalam film ekranisasinya penokohan ini

dapat kita temukan, hanya saja porsi penokohan ini lebih banyak

ditemukan di dalam novel dibanding filmnya.

Sejak awal kemunculannya di dalam cerita, tokoh Zainuddin

digambarkan sebagai seorang pemuda yang tertarik pada dunia

seni. Selain piawai dalam menulis hikayat, ia pernah menekuni

seni musik. Ketertarikannya pada seni musik dibuktikan dalam

kutipan berikut:

Malam dia pergi kepada seorang sersan pension di Guguk

Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang

diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramai-ramai.

Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan

perasaan.9

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Zainuddin

memiliki ketertarikan pada dunia seni, khususnya seni musik. Hal

tersebut menjadi nilai tambah pada sosok Zainuddin, mengingat

pada saat itu sangat jarang sekali pribumi yang menekuni seni

musik. Akan tetapi penokohan yang satu ini hanya dapat kita

temukan di dalam novel.

9 Ibid., hlm. 83.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

52

Berbagai cobaan yang mendera Zainuddin sejak kecil

menjadikan Zainuddin seorang pemuda yang teguh dalam

menghadapi seluruh cobaan tersebut. Dianggap asing oleh

masyarakat Batipuh, pengusiran terhadap dirinya oleh Engku

Datuk, meninggalnya Mak Base, pernikahan Hayati dan Aziz, dan

terakhir meninggalnya Hayati. Keteguhan Zainuddin saat

menghadapi seluruh cobaan tersebut dapat kita temukan dalam

filmnya, namun tidak sepenuhnya pada novelnya.

Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan

ibunya. Kadang-kadang pula dia menyadari untung malangnya,

mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang

Minangkabau!10

Berputar laksana perpusaran buaian di pasar keramaian

layaknya otak Zainuddin memikirkan nasibnya, napasnya

sesak, matanya menjadi gelap. Dia teringat… teringat satu

perbuatan yang berbahaya sekali membunuh diri. Sudah hilang

pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya, dicoba-cobanya

mengikatkan tali ke atas paran yang melintang, supaya berakhir

azab dunia yang tidak berhenti-henti atas dirinya ini.11

Sejak kejadian yang hebat itu, tubuh Zainuddin kian lama kian

lemah, dada sesak, pikiran selalu duka dan sesal yang tiada

berkeputusan. Seakan-akan dipandangnya bahwa hidup yang

sekarang ini, hanya semata-mata singgah kepada suatu negeri

menjemukan, yang tidak sedikit juga menarik hati.12

Ketiga kutipan tersebut menandakan bahwa keteguhan

menghadapi cobaan hidup pada diri Zainuddin tidak berlaku.

Kutipan pertama menunjukkan penyesalan terhadap kehadiran

dirinya setelah ia diusir oleh Datuk dari Batipuh. Kutipan kedua

menunjukkan keputusasaan yang Zainuddin alami sepeninggal

Mak Base. Kutipan ketiga menunjukkan penyesalan terhadap

dirinya sepeninggal Hayati, dan pada akhirnya penyesalan tersebut

ia bawa hingga mati.

10

Ibid., hlm. 67. 11

Ibid., hlm. 120. 12

Ibid., hlm. 258.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

53

Dilihat dari aspek sosiologis, kehadiran Zainuddin di

Minangkabau dikenal sebagai „anak pisang‟ lantaran garis

keturunannya. Diceritakan bahwa ayahnya (Pandekar Sutan)

merupakan seorang keturunan Minangkabau yang bersalah dan

dibuang ke Mengkasar selama dua belas tahun. Di sanalah ayahnya

bertemu dengan ibunya (Daeng Habibah) lalu jatuh cinta dan

menikah. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Minangkabau

menganut sistem matrilineal. Maka menurut adat Minangkabau, ia

bukanlah orang Minang. Inilah penyebab utama dirinya tidak bisa

bersatu dengan Hayati.

“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai”, perkataan ini

terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang

sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu,

anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat

Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan,

turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang

berpendam pekuburan, bersasap berjerami di dalam negeri

Batipuh itu.13

Sebutan „anak pisang‟ memiliki bab khusus yang menceritakan

asal-usul Zainuddin sehingga Zainuddin dikenal demikian. Namun

tidak pada filmnya, melainkan hanya diceritakan sekilas saja lewat

dialog para tokohnya.

Sekuen No.15/23:47 Sekuen No.32/1:08:50

Setelah Zainuddin diminta oleh Datuk untuk pergi

meninggalkan Batipuh, Zainuddin meneruskan perjalanannya ke

Padang Panjang. Rupanya Padang Panjang menjadi saksi jatuh dan

bangkitnya Zainuddin sebelum dirinya memutuskan untuk

merantau ke tanah Jawa bersama Muluk. Sesampainya di tanah

13

Ibid., hlm. 63.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

54

Jawa, Zainuddin sukses melebarkan sayapnya sebagai pengarang

dan mengubah namanya menjadi Tuan Shabir. Selain sebagai

pengarang yang mahsyur, Zainuddin menjadi sutradara dari sebuah

perkumpulan sandiwara di Surabaya.

Karena kemuliaan budi dan kebaikan hatinya, yang tiada suka

mengganggu orang lain, lagi suka menghormati pikiran orang

lain, dalam sedikit masa pula, namanya telah harum dalam

perkumpulan „Anak Sumatra‟ itu. Sehingga tidak berapa lama

kemudian, atas anjurannya sendiri didirikan suatu perkumpulan

tonil dengan nama „Andalas‟, nama asli Pulau Sumatra.

Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia

termahsyur dengan nama samara Leter „Z‟, pengarang hikayat,

regisseur dari perkumpulan sandiwara Andalas.14

Sekuen No.53/2:02:10 Sekuen No.48/1:53:27

Frame tersebut menggambarkan situasi saat penyambutan

Zainuddin sebagai pengarang dan sutradara sekaligus anggota

kehormatan Klub Anak Sumatra. Penokohan ini dapat kita

temukan di dalam filmnya.

Kesuksesan yang berhasil diraih Zainuddin sebagai seorang

pengarang dan sutradara kelompok teater „Andalas‟ ternyata tidak

menjadikan Zainuddin lupa diri, mengingat betapa banyak cobaan

yang pernah menghampiri dirinya. Tokoh ini menjadi sangat

dermawan, ia tidak ingin ada orang lain bernasib sama seperti

dirinya.

Kalau sekiranya ada orang dagang anak Sumatra atau anak

Mengkasar yang terlantar di kota Surabaya dan datang meminta

tolong kepadanya, tidaklah mereka akan meninggalkan rumah

itu dengan tangan kosong. Ketika diketahuinya bahwa di kota

itu ada perkumpulan anak-anak Sumatra yang bekerja

memburuh atau di tempat-tempat yang lain, sudi pula dia

14

Ibid., hlm. 184-185.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

55

memasuki perkumpulan itu. Segala iuran diisinya, kadang-

kadang lebih daripada yang dibayar orang lain. Karena

demikianlah ahli seni, tak peduli kepada uang.15

Kedermawanan yang dimiliki tokoh Zainuddin rupanya hanya

dapat kita temukan secara lengkap di dalam novel. Adapun

kedermawanan Zainuddin yang terdapat di dalam filmnya hanya

diketahui lewat dialog yang terjadi antara Muluk dan Hayati. Tidak

ada adegan khusus yang menunjukkan kedermawanan tokoh

Zainuddin.

Sekuen No.58/2:26:42

2. Hayati

Hadir sebagai bunga Batipuh, Hayati juga menjadi tokoh yang

lumayan disorot dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Terlebih lagi tokoh ini berhubungan langsung dengan tokoh utama

dalam cerita. Tokoh ini muncul dalam enam belas bab cerita dari

dua puluh delapan bab cerita.

Dilihat dari ciri fisiknya, tokoh Hayati yang baru tamat kelas

lima sekolah agama ini digambarkan sebagai perempuan Batipuh

yang berparas cantik dengan muka yang amat jernih, dan pipi yang

montok.

Hayati yang cantik! Yang menerbitkan iri hati dalam kalangan

kawan-kawannya. Akan ke manakah hilangnya kelak

kecantikan itu, akan jadi korban dari nafsu seorang yang kejam,

yang hendak mengikatnya menjadi permainannya.16

Ah, alangkah beruntungnya jika dia dapat berkenalan dengan

gadis itu, berkenalan saja pun cukuplah. Mukanya amat jernih,

15

Ibid., hlm. 184. 16

Ibid., hlm. 99.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

56

matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira.

Kalau kiranya gadis demikian ada di Mengkasar … ah!17

Gemetar kedua belah tangan Hayati membaca surat yang

demikian. Dibacanya, tiba-tiba dengan tidak disadarinya, air

mata telah mengalir di atas pipinya yang montok membasahi

bantal kalanghulunya.18

Penggambaran karakteristik tokoh Hayati yang cantik tersebut

dapat kita temukan pula di dalam filmnya. Adapun yang menjadi

pemeran Hayati dalam film ini yakni Pevita Pearce, yang memang

berparas cantik sehingga sangat relevan dengan Hayati yang ada di

dalam novel.

Sekuen No.7/15:08 Sekuen No.28/51:57

Tokoh Hayati pada novel digambarkan kerap mengenakan baju

kurung dan juga selendang sebagai penutup kepala.

Besoknya pagi-pagi, mereka telah bangun. Khadijah tengah

asyik berhias di dalam kamarnya. Hayati telah membuka

bungkusannya pula, dikeluarkannya selendang sutra yang

bersuji tepinya, baju berkurung benang sering yang halus,

sarung batik Pekalongan dan selop.19

Sekuen No.27/47:42

Penampilan Hayati dengan baju kurung dan selendangnya tidak

terlepas dari perannya sebagai wanita kampung yang sarat akan

adat serta kesederhanaan. Penampilan tersebut tidak mengalami

perubahan setelah proses ekranisasi.

17

Ibid., hlm. 29. 18

Ibid., hlm. 43. 19

Ibid., hlm. 88.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

57

Dilihat dari aspek psikologis, tokoh Hayati adalah perempuan

yang tahu diri. Dirinya sangat paham bagaimana harus menyikapi

permintaan Zainuddin yang ingin bercinta-cintaan dengan dirinya

meskipun pada akhirnya ia berubah pikiran.

Segala perkataan Tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi,

peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak

manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita

diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat

kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya

jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran

yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh.20

Dialog tersebut diucapkan Hayati kepada Zainuddin di dangau

saat Zainuddin meminta Hayati untuk bercinta-cintaan. Tokoh ini

sudah memiliki sikap tahu diri sejak awal bahwa hubungan mereka

jelas akan terhalang oleh adat istiadat yang berlaku di sana. Namun

dialog tersebut hanya dapat kita temukan di dalam novel. Adapun

pada filmnya, sikap tahu diri yang dimiliki Hayati ditunjukkan

lewat sebuah surat yang ia tulis untuk Zainuddin saat dirinya

hendak melangsungkan pernikahan dengan Aziz.

Sekuen No.35/1:18:46

Sikap tahu diri tokoh Hayati yang ditunjukkan dalam surat

tersebut yakni pengakuan dirinya sebagai gadis miskin, senasib

dengan Zainuddin, yang agaknya tidak mungkin untuk mereka

membina rumah tangga.

Hayati yang telah lima tahun bersekolah di sekolah agama

kerap menerapkan ilmu agama yang dia dapat dalam kehidupan

sehari-harinya. Salah satunya saat dirinya dilanda perasaan cinta

terhadap Zainuddin, ia meminta perlindungan kepada Tuhan.

20

Ibid., hlm. 57.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

58

Penokohan Hayati yang satu ini hanya dapat kita temukan di dalam

novelnya.

Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di dalam

permohonannya kepada Tuhan, supaya Tuhan memberi

perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab sangat

sekali, surat Zainuddin memengaruhi jiwanya. Ia merasa

dirinya dalam gelap, dia meminta cahaya.21

Sikap Hayati tersebut menunjukkan bahwa dirinya tahu persis

segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya adalah kuasa Tuhan.

Oleh karenanya tokoh ini kerap berserah diri. Berbeda dengan

filmnya, tidak ada dialog atau adegan yang ditemukan terkait

penokohannya yang satu ini.

Tokoh Hayati tahu persis bagaimana nasib yang akan

menghampirinya jika dirinya bercinta-cintaan dengan Zainuddin.

Hal tersebut membuat dirinya berbohong terhadap diri sendiri.

Saya telah menipu diri sendiri seketika saya memberi nasihat

menyuruhmu berangkat meninggalkan Batipuh. Pada sangkaku

ketika itu sebagai kuterangkan kepadamu saya akan sanggup

sabar menahan hati berpisah dengan engkau. Tetapi setelah

wajahmu yang muram itu, mata yang selalu membayangkan

kedukaan, perkataan yang selalu menimbulkan kesedihan,

setelah semuanya hilang dari mataku barulah saya insaf

bahwa saya ini seorang gadis yang lemah hati, yang tak kuat,

tak sanggup menanggung kehidupan dan kesedihan lebih dari

pada mestinya.22

Kutipan tersebut merupakan isi surat yang ditulis Hayati untuk

Zainuddin sesaat setelah melepaskan kepergian Zainuddin ke

Padang Panjang. Dapat dilihat bahwa tokoh Hayati berbohong

pada dirinya sendiri dengan merelakan Zainuddin pergi padahal

sebenarnya ia tidak kuasa untuk merelakan kepergian Zainuddin.

Hal tersebut ia lakukan atas dasar perintah Datuk dan pertimbangan

perihal akibat dan ancaman yang akan diterima mereka berdua

nantinya. Namun peristiwa tersebut tidak ditampilkan kedalam

21

Ibid., hlm. 44. 22

Ibid., hlm. 76.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

59

filmnya sehingga penokohan Hayati yang tidak bisa jujur terhadap

diri sendiri tidak dapat diidentifikasi. Adapun peristiwa lain pada

film yang mendukung pengidentifikasian penokohan tersebut

tergambar dalam frame berikut.

Sekuen No.32/1:10:48

Frame tersebut menggambarkan tokoh Hayati yang menurut

saja saat keluarganya menyarankan untuk menerima lamaran dari

Aziz. Dapat dilihat bahwa Hayati mengiyakan sambil menangis.

Dirinya berbohong kepada diri sendiri bahwa sebenarnya ia tidak

ingin pernikahan tersebut terjadi lantaran cintanya kepada

Zainuddin masih ada.

Sepanjang cerita, Hayati tetap berperan sebagai istri yang setia,

betapapun Aziz makin memperlihatkan perangainya yang busuk.

Di dalam film ekranisasinya dapat kita temukan Hayati yang masih

setia melayani suaminya meskipun Aziz sempat berbuat kasar

padanya. Begitu juga pada saat ia terpaksa tinggal di rumah

Zainuddin, Hayati masih menempatkan dirinya sebagai istri Aziz,

walaupun cintanya kepada Zainuddin sebenarnya masih belum

pudar.

Dia pergi berjudi. Kalau dia menang maka uang

kemenangannya itu dibawanya bersama teman-temannya

mencari perempuan. Kalau dia kalah, dia pulang dengan muka

asam, meradang ke sana, menyembur kemari. Sehingga sudah

dua tiga kali mengganti babu, karena tidak ada yang tahan

lama. Yang lebih menccolok mata lagi, kalau babu itu agak

muda, kerap kali dipermain-mainkannya, walaupun di hadapan

istrinya.23

23

Ibid., hlm. 209-210.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

60

Sekuen No.47/1:52:55 Sekuen No.57/2:15:00

Frame pertama menggambarkan Hayati yang hampir

mendapatkan perlakuan kasar dari Aziz. Pada saat itu Aziz sedang

dalam kondisi mabuk. Frame kedua menggambarkan suasana di

rumah Zainuddin bersama Aziz dan Hayati yang tengah

menumpang di sana. Setelah kedua peristiwa tersebut, sungguh

Hayati masih setia mendampingi Aziz.

Satu lagi penokohan yang dapat diidentifikasi dari Hayati yakni

kesukaannya terhadap bunga keranyam. Adapun bentuk dari bunga

tersebut telah dipaparkan lewat surat yang ditulis tokoh lain untuk

Hayati.

Minta izinlah kepada mamakmu, datanglah ke Padang

Panjang. Kamarku sendiri akan kuhiasi, di tentang pintu akan

kutanamkan bunga keranyam, bunga yang sangat engkau

sukai, yang rupanya kesat dan hanya daunnya saja yang

harum, tidak pernah berbunga selama hidupnya, tetapi selalu

kuliihat engkau siram di pot bungamu di Batipuh!24

Kutipan tersebut merupakan isi surat yang ditujukan kepada

Hayati dari sahabatnya di Padang Panjang. Dapat diidentifikasi

bahwa Hayati gemar merawat bunga. Namun penokohan ini hanya

dapat ditemukan di dalam novel saja, tidak ada pada filmnya.

Dilihat dari aspek sosiologis, Hayati dikenal sebagai bunga

desa di dalam persukuannya lantaran kecantikan yang ia miliki dan

tabiatnya yang baik. Sosoknya ditampilkan sebagai wujud modern

dalam kokohnya adat Minangkabau.

Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian

Gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat

istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah

24

Ibid., hlm. 87.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

61

bunga di dalam rumah adat itu. Hayati, adalah nama baru yang

belum biasa dipakai orang selama ini. Nama gadis-gadis di

Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan

aluih, Talipuk Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah

bayangan dari perubahan baru yang melingkari alam

Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu.25

Sekuen No.4/07:53

Baik di dalam novel maupun di dalam filmnya, penokohan

Hayati yang disebut-sebut sebagai bunga desa ini ditampilkan.

Adapun terkait penggunaan nama „Hayati‟ sebagai nama baru

gadis Minangkabau ditampilkan di dalam frame yang lain dalam

filmnya.

Sekuen No.25/42:03

Frame tersebut menggambarkan sedang terjadinya dialog

antara Khadijah, Sofyan (tunangannya Khadijah) dan Hayati.

Sofyan tidak menyangka bahwa nama perempuan tersebut adalah

„Hayati‟, ia berpikir nama yang dimiliki sahabat dari tunangannya

tersebut merupakan nama yang umum dipakai gadis Minangkabau

seperti Sabai Nan Aluih atau si Cinta Bulih.

Hayati yang disebut-sebut sebagai bunga desa tersebut

merupakan kemenakan dari Datuk. Di dalam novel diceritakan

bahwa Datuk bukan sembarang orang, ia orang yang terpandang di

Batipuh.

25

Ibid., hlm. 26.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

62

…Di ujung kedua pihak, ada anjung peranginan, serambi muka

bergonjong pula, lumbung empat buah berlerat di halaman.

Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang akan

ditumbuk. Pada buatan rumah, pada simbol pedang bersentak

yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa

orang di rumah ini amat keras memegang adat lembaga,

agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di Batipuh, yang

terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh.26

Melalui kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa Datuk

merupakan turunan Regen (bupati) yang tentu sangat dipandang

kedudukannya di Batipuh. Adapun di dalam filmnya, Datuk

menempati posisi sebagai penghulu adat di Batipuh.

Sekuen No.15/23:40

Baik di dalam novel maupun di dalam filmnya, Datuk memiliki

kedudukan yang penting dan kuat di Batipuh. Oleh karena itu,

dapat diidentifikasi bahwa semua gerak gerik Hayati tentu akan

menjadi perhatian bagi penduduk di sana. Hal ini terbukti saat

Hayati dan Zainuddin saling menyimpan perasaan cinta.

Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat

mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun

berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan

sudut mata. Anak-anak yang masih belum kawin dalam

kampung itu sangat naik darah. Bagi mereka adalah perbuatan

demikian, merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung

tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah

persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk … yang

dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat

malu, melangkahi kepala ninik mamak.27

26

Ibid., hlm. 25. 27

Ibid., hlm. 60-61.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

63

Sekuen No.18/28:41

Kutipan serta frame tersebut menggambarkan bagaimana

respon orang-orang di Batipuh saat mengetahui bahwa Hayati yang

merupakan kemenakan dari Datuk bercinta-cintaan dengan

Zainuddin. Hal tersebut terjadi mengingat kedudukan Datuk yang

dianggap penting di Batipuh.

Terlahir dan tumbuh sebagai gadis kampung di Batipuh

rupanya sangat berpengaruh sekali terhadap gerak gerik Hayati.

Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Meksipun senantiasa Khadijah menunjukkan mukanya yang

manis kepada Hayati, namun sehari dua hari itu Hayati masih

kaku, apalagi kalau bukan dengan saudara yang kandung, amat

berat rasanya berdekat-dekatan duduk dengan laki-laki lain,

tetapi di rumah Khadijah, yang bersaudara laki-laki itu, dan

saudara laki-laki itu pun banyak pula mempunyai teman

sahabat, yang leluasa dalam rumah itu, semuanya menyebabkan

Hayati lama sekali baru dapat menyesuaikan diri dalam rumah

besar tersebut.28

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa hal yang demikian

tidaklah biasa bagi Hayati lantaran di tempat tinggalnya tidak

dibenarkan duduk berdekatan dengan laki-laki kecuali dengan

saudara kandung. Dapat diidentifikasi bahwa Hayati yang

merupakan gadis kampung merasa kaku untuk melakukan hal

demikian. Peristiwa tersebut hanya terjadi di dalam novel. Pada

filmnya, penokohan Hayati yang terkait dengan keberadaannya

sebagai gadis kampung ditunjukkan dalam frame berikut.

28

Ibid., hlm. 87-88.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

64

Sekuen No.27/47:52

Frame tersebut menggambarkan dialog yang terjadi antara

Hayati dengan Khadijah yang tengah berdebat soal pakaian yang

hendak dikenakan Hayati untuk ke Pacuan Kuda. Khadijah

memberi saran pada Hayati agar menggunakan pakaian yang

terbuka seperti dirinya, dan melepas selendangnya. Hayati yang

lahir dan tumbuh di kampung jelas menolak saran sahabatnya

lantaran pakaian yang demikian tidak dibenarkan menurut adat

Minangkabau. Menurut Hayati, pakaian cara kampung yang ia

pakailah yang benar. Dapat diidentifikasi bahwa keberadaannya

sebagai gadis kampung membuat Hayati ganjil untuk mengenakan

pakaian terbuka.

3. Aziz

Tokoh ini ditampilkan sebagai tokoh tambahan yang hadir

sebagai orang ketiga dalam hubungan Zainuddin dan Hayati, yang

pada selanjutnya berperan sebagai suami dari Hayati. Tokoh ini

muncul dalam tujuh bab cerita dari dua puluh delapan bab cerita.

Dilihat dari ciri fisik yang terdapat di dalam novel, tokoh Aziz

yang merupakan seorang pria keturunan Minangkabau ini memiliki

perawakan yang gagah layaknya Zainuddin. Hal tersebut

ditunjukkan dalam kutipan berikut.

Pada hari Jumat yang ditentukan itu, berangkatlah Hayati

bersama mak tengahnya ke Padang Panjang. Baru saja dia

sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama

seorang saudaranya laki-laki yang gagah dan tangkas pula,

yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari lamanya.

Aziz namanya.29

29

Ibid., hlm. 87.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

65

Gagah dan tangkas, begitulah ciri fisik yang dimiliki Aziz di

dalam novel. Ciri tersebut sangat relevan dengan filmnya, di mana

tokoh Aziz diperankan oleh Reza Rahadian, aktor yang memiliki

perawakan yang gagah serta tampan.

Sekuen No.30/1:01:00

Selain gagah dan tampan, tokoh Aziz juga digambarkan pandai

dalam berpenampilan. Hal ini sudah penulis singgung sebelumnya

pada penokohan Zainuddin, yakni penampilan Aziz yang sangat

kontradiktif dengan Zainuddin.

Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita heran, jika

Hayati termenung, mukanya tertekur, kepalanya berasa sakit,

melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai

orang lain; memakai pakaian, seakan-akan orang yang

tersisih.30

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Aziz merupakan sosok

pemuda yang pandai berpenampilan, berbeda dengan Zainuddin.

Hal ini tentu memikat hati Hayati. Frame di bawah ini adalah

penggambaran penampilan Aziz pada film.

Sekuen No.25 /43:02 Sekuen No. 27/49:31

Frame tersebut menggambarkan Aziz yang kerap menggunakan

setelan jas dan kemeja. Hal yang demikian setidaknya mewakili

gambaran tokoh Aziz yang dikatakan pandai memakai pakaian.

30

Ibid., hlm. 94-95.

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

66

Dilihat dari aspek psikologis di dalam novel, tokoh Aziz

merupakan pribadi yang tidak ingin diatur. Jiwanya bebas, ia

melakukan apapun sesuka hatinya.

Belum pernah dia beristri, meskipun telah berkali-kali disuruh

orang tuanya, karena menurut perkataannya kepada kawan-

kawannya beristri itu mengikat langkah, menyebabkan hilang

kebebasan. Apalagi di zaman ini, zaman kemajuan, semuanya

serba susah.31

Kutipan tersebut menunjukkan pribadi Aziz yang tidak ingin

diatur. Ia tidak ingin menikah karena ia tidak mau kehilangan

kebebasan di masa mudanya. Dapat dipastikan bahwa ia akan

menikah jika ia mau, tanpa perlu dipaksa. Namun pribadi Aziz

yang tidak ingin diatur ini hanya dapat kita temui di dalam novel.

Lantaran belum ingin menikah, masa mudanya dihabiskan

untuk bergurau dengan orang-orang yang tidak berketentuan dan

membuang-buang uang. Hal tersebut menunjukkan pribadi Aziz

yang boros, baik boros waktu, boros tenaga, serta boros uang.

Adiknya Khadijah telah bertunangan dengan seorang muda

yang kaya, yang baru saja menerima pusaka toko besar di

Bukittinggi dan berpikiran modern pula. Tetapi dia, Khadijah

hendak mencoba dahulu, melunakkan hati saudaranya supaya

suka kawin pula. Yang maksud hatinya akan jodoh saudaranya

ialah Hayati. Mudah-mudahan keborosan dan pikiran muda

saudaranya itu dapat berubah jika mendapat istri sebagai Hayati

yang alim itu.32

Sekuen No.49/1:36:55 Sekuen No.49/1:55:10

Kutipan serta frame tersebut menunjukkan perilaku Aziz yang

boros. Dirinya gemar menghambur-hamburkan waktu, tenaga, serta

uangnya untuk berjudi. Akibat dari perilakunya yang boros

31

Ibid., hlm. 101. 32

Ibid., hlm. 103.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

67

tersebut, Aziz terlilit hutang hingga dipecat dari pekerjaannya.

Baik di dalam novel maupun di dalam filmnya, keborosan Aziz

dapat diidentifikasi.

Selain boros, tokoh Aziz di dalam novel juga dicap sebagai

pengganggu rumah tangga orang, bahkan kerap membawa

perempuan ke dalam rumahnya. Hal ini terbongkar setelah

Zainuddin menanyakan soal Aziz ke Muluk.

Si Aziz anak Sutan Mantari, ibu bapanya orang Padang

Panjang ini, karena dia berkerabat dengan orang berpangkat-

pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak pantas. Tetapi

perangainya. Masya Allah! Penjudi, pengganggu rumah tangga

orang, sudah dua tiga kali terancam jiwanya karena

mengganggu anak bini orang.33

Aziz … siapa kami yang tak akan kenal kepadanya? Sudah

berapa kali dia memelihara perempuan dengan tidak kawin

dalam rumahnya di Padang.34

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa perilaku Aziz yang

demikian rupanya sudah bukan rahasia umum lagi dikalangan

Muluk dan penjudi lainnya. Namun penokohan Aziz yang satu ini

hanya terdapat di dalam novelnya saja. Tidak ada frame yang

menunjukkan secara khusus penokohan Aziz seperti yang

disebutkan di dalam novel.

Aziz yang seringkali berurusan dengan wanita, baik yang sudah

bersuami maupun belum, tentu sangat mudah baginya

menaklukkan Hayati. Tidak heran dirinya digambarkan sebagai

pria yang pandai memikat perempuan.

Bilamana Khadijah ke belakang atau yang lain tak ada, Aziz

tiba, didapatinya Hayati duduk, pandai pula dia mengeluarkan

perkataan-perkataan yang lemak manis yang dapat menerbitkan

kegembiraan perempuan. Maklumlah, sudah biasa. Bertutur

yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan

enggan, bahkan takut Hayati berdekat dengan dia, maklumlah

gadis kampung. Tetapi „memikat‟ adalah kepandaian Aziz yang

33

Ibid., hlm. 145. 34

Ibid.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

68

tersendiri. Sehingga keseganan dan keberatan itu lama-lama

hilang.35

Kepandaian Aziz dalam memikat perempuan rupanya disambut

oleh Hayati. Penokohan Aziz yang satu ini hanya dapat ditemukan

di dalam novel. Tidak ada frame yang menggambarkan secara

khusus terkait dengan penokohan ini, hanya saja terdapat potongan

frame saat Aziz memuji kecantikan Hayati.

Sekuen No. 27/50:10

Akhirnya Aziz berhasil memikat Hayati hingga menjadikan

Hayati sebagai istrinya. Setelah dua tahun menjalin rumah tangga,

barulah diketahui bahwa Aziz memiliki sikap yang temperamental

dalam menghadapi masalah rumah tangganya. Hal tersebut dapat

dilihat dalam frame berikut.

Sekuen No.44/1:44:49 Sekuen No.47/1:5256

Sekuen No.49/1:57:12

Frame pertama merupakan adegan saat Aziz melemparkan

gelas ke meja makan lantaran kesal dengan Hayati. Hayati yang

harusnya menyambut kepulangannya bekerja dengan membukakan

pintu dan menyediakan menu makan malam justru malah tertidur

di kamar. Frame kedua adalah adegan saat Aziz hampir menampar

35 Ibid., hlm. 103.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

69

Hayati setelah mendapati Hayati tertidur sambil memegang novel

yang dikarang Zainuddin. Aziz yang saat itu sedang berada di

bawah pengaruh minuman keras meracau tentang hubungan Hayati

dan Zainuddin dahulu. Frame ketiga merupakan adegan saat Aziz

menampar Hayati setelah Hayati berusaha menghalanginya untuk

mengambil dan menjual perhiasan milik Hayati agar bisa

membayar hutang judi.

Ketiga frame yang telah penulis paparkan menunjukkan

perangai Aziz yang temperamental. Hal tersebut berbeda dengan

apa yang digambarkan pada novelnya, yakni Aziz kerap menyakiti

hati Hayati dengan kata-katanya yang kasar.

Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya

diikut oleh Hayati. barang emasnya telah habis; dokohnya,

gelangnya, penitinya, semuanya telah masuk rumah gadai.

Tetapi yang sangat menyakitkan hati, pernah dia menyesali

untung di hadapan Hayati dikatakannya bahwa dia menyesal

beristri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak pandai

mengobat hati suaminya.36

…Mereka keluar dari rumah itu dengan rupa tak karuan. Ketika

akan meninggalkan rumah itu, masih sempat juga Aziz

menikamkan kata-kata yangtajam ke sudut hati Hayati…

“Sial!”37

Melalui frame dan kutipan tersebut dapat diidentifikasi bahwa

Aziz yang digambarkan di film terlihat lebih „sangar‟ saat

dihadapkan dengan masalah rumah tangganya, yakni beberapa kali

menunjukkan perlakuan kasar terhadap Hayati. Sementara pada

novelnya teridentifikasi bahwa tokoh Aziz tidak pandai menjaga

tutur kata terhadap Hayati jika sedang dihadapkan dengan masalah.

Dilihat dari aspek sosiologis pada novel dan filmnya, Aziz

merupakan anak sulung, ayah dan ibunya merupakan asli orang

Padang, tepatnya Batu Sangkar. Ayahnya Aziz rupanya adalah

36

Ibid., hlm. 210. 37

Ibid., hlm. 212.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

70

seorang yang masyhur semasa hidupnya. Lantaran silsilah inilah

Zainuddin tersingkir dari Hayati.

…Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah ada orang

yang meminta buat menjadi pasangannya. Yaitu orang dari

sebelah ke ujung (sebelah Padang Panjang, dan sebelah

Batipuh; Gunung dan lain-lain disebut puhun). Namanya Aziz,

anak dari Sutan Mantari, seorang yang termasyhur dan

berpangkat semasa hidupnya.38

Sekuen No.32/1:07:30

Aziz memiliki latar belakang keluarga yang bagus, beradat,

hartanya pun banyak, tentu mudah baginya mendapatkan restu dari

ninik mamak Hayati. Apalagi saingannya adalah Zainuddin, anak

pisang yang tidak jelas bagaimana masa depannya pada saat itu.

Hal itu membuat ninik mamak Hayati menjatuhkan pilihan pada

Aziz untuk mengambil Hayati sebagai istrinya.

Aziz adalah seorang karyawan yang bekerja dan tinggal di kota

Padang. Sejak awal kemunculannya Aziz memang terlihat kekota-

kotaan, baik di dalam novel maupun di dalam filmnya. Pergaulan

kota membuatnya tidak bisa lepas dari judi, mabuk-mabukan, dan

main perempuan. Bahkan saat dirinya naik jabatan dan harus

dipindahtugaskan ke Surabaya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak

karuan tersebut turut ia bawa pula, bahkan semakin menjadi-jadi

hingga dirinya kehilangan pekerjaannya.

…Maka pada suatu hari datanglah seorang tempatnya

berhutang, menagih piutang yang telah lewat temponya.

Datanglah dengan tiba-tiba sekali, karena telah diatur lebih

dhulu oleh musuh-musuhnya. Kebetulan uang sedang tidak

ada, janji tak dapat dipenuhi. Orang pun berkerumun di

hadapan rumahnya, melihat orang yang meminjaminya uang itu

dengan muka manis bagai madu, tetapi hati yang kejam bagai

38

Ibid., hlm. 126.

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

71

serigala, menyuruh membayar hutang, kalau tidak barang-

barangnya di dalam rumahnya akan diangkut, dilelang.39

Sedang bertengkar-tengkar demikian, sep kantor tempatnya

bekerja datang bersama dengan kawan samanya bekerja yang

telah menahankan perangkap buat kejatuhannya itu. Dengan

muka yang sangat pucat dan gugup, dia menyambut

kedatangan sepnya itu, dan penagih hutang itu pun berdiri ke

sisinya.40

“Dan besok kau tak usah datang ke kantor lagi!” Kata sepnya

kepada Aziz.41

Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan situasi yang terjadi

setelah Aziz dan Hayati pindah ke Surabaya. Lagi-lagi pergaulan di

kota Surabaya telah membutakan akal dan hati Aziz sehingga

dirinya dipecat dari pekerjaannya dan bahkan tidak memiliki

tempat tinggal lagi. Adapun frame dalam film yang mendukung

penokohan ini yakni sebagai berikut.

Sekuen No.49/1:55:48 Sekuen No.56/2:11:22

Sekuen No.56/2:12:00

Frame pertama merupakan adegan Aziz yang tengah berjudi.

Dirinya kehabisan taruhan sehingga berhutang kepada seorang

bandar judi. Frame kedua adalah adegan saat bandar judi tersebut

menagih hutang kepada Aziz. Pada frame ketiga bandar judi

tersebut memberitahu Hayati bahwa Aziz sudah satu minggu tidak

39

Ibid., hlm. 211. 40

Ibid. 41

Ibid., hlm. 212.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

72

bekerja, atau dipecat. Karena tidak bisa membayar, rumah yang

mereka tempati sekaligus isinya disita. Terusirlah Aziz dan Hayati

lantaran pergaulan kota yang dipelihara Aziz.

4. Muluk

Tokoh tambahan ini muncul dalam sembilan bab cerita dari dua

puluh delapan bab cerita. Kemunculan tokoh ini dipicu oleh

konflik antara Zainuddin dengan Hayati dan keluarganya.

Zainuddin yang terpuruk dapat segera bangkit kembali berkat

kehadiran Muluk. Tokoh ini nantinya memiliki peran sebagai

sahabat setia Zainuddin yang mendampingi Zainuddin kemanapun

Zainuddin pergi.

Tokoh Muluk diperankan oleh Randy Danistha (keyboardist

band Nidji) dalam filmnya. Ciri fisik yang dapat diidentifikasi dari

sosok Randy di dalam film yakni memiliki rambut keriting,

bertubuh kurus dan tidak tinggi, serta berpenampilan kusut.

Sekuen No.21/38:53 Sekuen No.33/1:02:08

Frame tersebut menggambarkan bagaimana ciri fisik yang

melekat pada Muluk; memiliki rambut keriting, bertubuh kurus dan

tidak tinggi, serta berpenampilan kusut. Penampilan Muluk yang

terkesan berantakan ini sejalan dengan predikatnya sebagai

parewa, yang akan penulis bahas pada bagian selanjutnya. Namun

penulis dapat mengidentifikasi ciri fisik tokoh Muluk hanya pada

filmnya. Pada novelnya penulis tidak menemukan bagaimana ciri

fisik yang melekat pada tokoh Muluk selain temuan bahwa usia

Muluk lebih tua dari Zainuddin.

Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh

sengsara adalah persahabatan yang lebih kekal daripada yang

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

73

didapat di waktu gembira. Demikian pulalah di antara

Zainuddin dengan Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya,

tidaklah pernah terpisah lagi di antara kedua orang itu.

Zainuddin masih muda dan banyak cita-cita, Muluk lebih tua

dan banyak pengalaman, walaupun ilmunya tak ada selain dari

pergaulan.42

Pengidentifikasian selanjutnya yakni pada aspek psikologis

tokoh. Meskipun Muluk jarang pulang ke rumah, namun ia adalah

sosok anak yang perhatian terhadap ibunya. Hal ini dapat

diidentifikasi dalam kutipan berikut.

…Pulangnya ke rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat

ibu dan memberi uang. Dia tidak mau mengganggu kesenangan

ibu. Dahulu digajinya seorang dari Singgalang untuk teman ibu

mendiami rumah ini. Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya

bukan main sukacitanya…43

Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana bentuk perhatian

yang Muluk berikan terhadap ibunya. Meskipun Muluk jarang

pulang ke rumah, ia tetap peduli pada keadaan ibunya dengan

mengirimi ibunya uang serta pernah mencarikan pembantu untuk

menemani ibunya agar tidak kesepian selama Muluk tidak ada di

rumah. Namun penokohan Muluk yang perhatian terhadap ibunya

tidak dapat ditemukan di dalam film.

Sekuen No.21/38:52 Sekuen No.21/38:56

Frame tersebut merupakan adegan saat ibunya Muluk

menceritakan kebiasaan Muluk pada Zainuddin. Ibunya

mengatakan dengan ekspresi kesal bahwa Muluk yang jarang

pulang kerumah tersebut lebih senang pergi ke warung orang,

entah apa yang ia lakukan di sana. Tidak ditemukan penokohan

42

Ibid., hlm. 171-172. 43

Ibid., hlm. 141.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

74

Muluk yang perhatian kepada ibunya, yang memberi uang kepada

ibunya, yang menggaji orang untuk menjaga ibunya, seperti yang

diceritakan di dalam novel.

Muluk yang tidak tentu pekerjaannya selain berjudi tersebut

merasa rendah diri di hadapan Zainuddin. Hal tersebut hanya dapat

kita temukan di dalam novel.

Muluk sedang berdiri di halaman, dia disuruh naik. Biasanya

dia hanya terus saja ke dapur sebab malu kepada Zainuddin.44

“Bukan begitu, Guru”,jawab Muluk, “Guru maklum sendiri,

saya ini orang yang banyak dosa, penyabung, pedadu, penjudi,

jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemuda-pemuda

Padang Panjang ini, meskipun negeri kami penuh dengan

rumah-rumah sekolah agama, kami kebanyakan hanya

bergurau, berburu, main kim dan lain-lain.”45

Kutipan tersebut menunjukkan perkataan yang diucapkan

Muluk di hadapan Zainuddin. Dapat diidentifikasi bahwa Muluk

memiliki sikap rendah diri pada Zainuddin lantaran dirinya tidak

sebaik Zainuddin. Namun penokohan Muluk terkait sikap rendah

dirinya ini hanya dapat kita temukan di dalam novelnya.

Sekuen No.21/39:43 Sekuen No.21/39:47

Lantaran telah menelan berbagai asam manis kehidupan,

Muluk menjadi pribadi yang dinamis. Bahkan Muluk tahu persis

bagaimana harus menyikapi Zainuddin yang tengah terpuruk

setelah ditinggal menikah oleh Hayati. Kepribadian Muluk yang

dinamis inilah yang nantinya akan menyadarkan Zainuddin.

Tiba-tiba di hadapan keadaan yang begini, Guru bersemangat

lemah. Lebih lemah daripada kami parewa yang tak kenal

membaca bismillah. Tidaklah baik hidup yang murni dan mulia

44

Ibid., hlm. 142. 45

Ibid.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

75

dikurung di terungku karena hanya semata-mata memikirkan

seorang perempuan; seakan-akan hanya itulah perempuan di

dunia ini. Perempuan yang Guru junjung itu, sebelum sampai

perkawinan berhasil dengan Guru telah nyata emas dan

loyangnya, batu dan intannya. Dia telah berkhianat,

memungkiri janjinya, sehingga lantaran memikirkan itu, Guru

telah jatuh sehina selemah ini seakan-akan ditusukkannya

sebilah keris yang tajam ke ujung jantung Guru, sehingga kalau

bukan kasihan Allah, binasa Guru dibuatnya.46

Nasihat-nasihat yang disampaikan Muluk membuktikan bahwa

Muluk tidaklah seperti Zainuddin yang berlarut-larut dalam

kesedihan akibat cinta. Dapat diidentifikasi bahwa Muluk adalah

seorang pemuda yang mudah menyesuaikan dirinya dengan

keadaan apapun dengan penuh semangat. Hingga pada akhirnya

Zainuddin yang terpuruk terbuka kembali jalan pikirannya berkat

Muluk.

Sekuen No.37/1:12:22

Frame tersebut adalah adegan saat Muluk memberi nasihat-

nasihatnya kepada Zainuddin untuk segera melupakan Hayati dan

tidak menyerah pada keadaan yang sedang menimpa Zainuddin.

Muluk yang berkepribadian dinamis tersebut meminta Zainuddin

untuk membuka kembali jalan pikirannya.

Keterpurukan yang dialami Zainuddin rupanya menguak hal

lain lagi terkait penokohan Muluk, bahwa Muluk adalah seorang

yang setia terhadap kawan. Kemanapun Zainuddin pergi, Muluk

pasti ikut. Bahkan sampai akhir cerita Muluk tetap setia

mendampingi Zainuddin.

“Saya mesti ikut! kata Muluk, Saya tertarik dengan Guru.

Sebab itu bawalah saya menjadi jongos, menjadi pelayan,

46

Ibid., hlm. 173.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

76

menjadi orang suruhan di waktu siang di dalam pergaulan

hidup, dan menjadi sahabat yang setia yang akan

mempertahankan jika Guru ditimpa susah!”47

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Muluk adalah seorang

yang setia terhadap kawan. Dirinya rela menjadi apa saja demi

tetap bisa bersama-sama dengan orang yang dikaguminya,

Zainuddin. Penokohan Muluk yang satu ini juga dapat kita

temukan di dalam filmnya.

Sekuen No.37/1:32:01

Frame tersebut merupakan adegan saat Muluk dan Zainuddin

saling mengucapkan sumpah bahwa mereka akan bersahabat

sampai mati. Apa yang Zainuddin makan, itulah yang akan Muluk

makan pula. Sungguh kesetiaan yang dimiliki Muluk ini tidak

dapat diragukan.

Satu lagi yang dapat diidentifikasi terkait aspek psikologis

tokoh Muluk yakni kepandaiannya dalam berdukun. Hal tersebut

dapat diketahui dari dialog yang terjadi antara Zainuddin dengan

ibunya Muluk di dalam novel.

Agaknya anak Mamak itu, si Muluk, bisa menolongmu karena

dia banyak pergaulan. Dia pandai berdukun, pandai

kepandaian-kepandaian batin. Pergaulannya dalam kalangan

orang dukun, ahli salat dan dalam kalangan orang-orang

beradat, pun banyak pula.48

Kutipan tersebut disampaikan oleh ibunya Muluk kepada

Zainuddin sesaat sebelum Muluk berkenalan dengan Zainuddin.

Akan tetapi dialog tersebut hanya dapat ditemukan di dalam novel,

47

Ibid., hlm. 179. 48

Ibid., hlm. 141.

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

77

sementara di dalam film tidak ada adegan khusus yang

menunjukkan bahwa Muluk pandai berdukun.

Aspek yang akan diidentifikasi selanjutnya yakni aspek

sosiologis tokoh Muluk. Pada novel, Muluk merupakan pemuda

yang lahir dan tumbuh di Padang Panjang, dikenal sebagai seorang

parewa. Hal tersebut ditunjukkan lewat dialog Zainuddin dan

ibunya Muluk.

…Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya bukan main

sukacitanya, Cuma dia malu kepada engkau sebab engkau

orang siak, sedang dia orang parewa.49

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana Muluk dikenal

sebagai parewa oleh lingkungan sekitar. Sementara pada filmnya,

predikat Muluk sebagai parewa ditunjukkan dalam frame berikut.

Sekuen No.37/1:31:39

Frame tersebut adalah adegan saat Muluk menyatakan kepada

Zainuddin bahwa ia ingin menanggalkan baju parewanya. Hal

tersebut menunjukkan bahwa selama ini muluk adalah seorang

parewa. Penjelasan mengenai parewa sendiri tertuang di dalam

novel, yakni sebagai berikut.

Di Minangkabau memang ada satu golongan orang muda-muda

yang bergelar “Parewa”. Mereka tak mau mengganggu

kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka ialah dari berjudi,

menyabung, dan lain-lain. Mereka juga ahli dalam pencak dan

silat. Pergaulan mereka sangat luas, di antara parewa di

kampung anu dengan kampung yang lain harga menghargai

dan besar membesarkan. Tetapi mereka sangat kuat

mempertahankan kehormatan nama dan suku kampung. Kalau

mereka bersahabat, sampai mati mereka akan mempertahankan

49

Ibid.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

78

sahabatnya. Saudara sahabatnya jadi saudaranya, seakan-akan

seibu, sesaudara, sekemenakan. Kata-kata “muda” terhadap

perempuan tidak boleh sekali-kali. Kalau ada yang kalah dalam

permainan sehingga habis harta bendanya, maka oleh yang

menang dia diberi pakaian dan uang sekadarnya, disuruh

pulang dengan ongkos tanggungan yang menang itu sendiri.

Kepada orang-orang alim mereka hormat, dan kadang-kadang

mereka itu dermawan. Mereka setia dan sudi menolong. Satu

penghidupan yang serupa dalam “dongeng” yang sampai

sekarang masih didapati di Minangkabau.50

Predikat yang menempel pada diri Muluk sebagai seorang

parewa pada akhirnya membawa pengaruh positif bagi masa depan

Zainuddin. Dapat diidentifikasi bahwa aspek psikologis yang

terdapat pada tokoh Muluk berkaitan langsung dengan status

parewa yang ia sandang. Kesetiaan yang dipegang teguh oleh

Muluk dalam bersahabat dengan Zainuddin dan juga Hayati

ternyata memang sudah mendarah daging sebagai seorang parewa.

Empat tokoh tersebut; yakni Zainuddin, Hayati, Aziz, dan Muluk,

adalah tokoh-tokoh yang kehadirannya dalam cerita saling berkaitan

dengan tokoh yang lain. Keempat tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh

yang memiliki peran penting dalam membangun cerita Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck. Berdasarkan analisis dari masing-masing tokoh

tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekranisasi penokohan yang

dilakukan oleh sutradara sebagian besar tidak sesuai dengan

bagaimana yang terdapat di dalam novelnya. Banyak terdapat

penciutan, beberapa perubahan bervariasi, dan sedikit penambahan

setelah proses ekranisasi. Tokoh yang paling terlihat berbeda setelah

proses ekranisasi yaitu tokoh Zainuddin, sementara tokoh yang tidak

begitu berbeda setelah proses ekranisasi yaitu tokoh Muluk.

50

Ibid., hlm.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

79

3. Latar

Pada bab sebelumnya sudah dibahas mengenai pengertian latar,

bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa

yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Landasan tersebut dapat berupa

tempat, waktu, dan lingkungan sosial yang memperjelas kondisi

peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah karya sastra. Berikut

akan penulis paparkan hasil identifikasi latar yang terdapat di dalam

novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

a. Latar Tempat

Beberapa kota besar di Indonesia menjadi latar penceritaan

dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yaitu

Mengkasar, Padang, Jakarta, dan Surabaya. Di Mengkasar, Hamka

menyebutkan kampung Baru dan pelabuhan Mengkasar. Di

Padang, Hamka menyebutkan Batipuh (dusun, surau dan dangau)

dan Padang Panjang (Ekor Lubuk, gelanggang Bukit Ambacang,

dan kampung Silaing). Sementara di Jakarta, Hamka tidak

menyebutkan latar yang spesifik. Terakhir di Surabaya, Hamka

menyebutkan sebuah gedung pertunjukkan dan pelabuhan Tanjung

Perak.

Setelah proses ekranisasi, beberapa latar mengalami penciutan.

Hal tersebut terjadi mengingat kemampuan tim produksi dari segi

tenaga dan biaya. Selain itu, ada batasan tertentu untuk durasi

sebuah film. Tidak mungkin sutradara menampilkan seluruh latar

yang ada di dalam novel. Adapun latar yang mengalami penciutan

yaitu kampung Baru, pelabuhan Mengkasar, dangau di Batipuh,

kampung Silaing di Padang Panjang, dan Lamongan. Berikut

adalah penjelasan latar-latar tersebut.

1) Mengkasar

Mengkasar merupakan sebuah ejaan lama dari kata

Makassar. Pada sekitar tahun di mana novel ini ditulis,

Mengkasar lebih dikenal khalayak luas sebagai Jumpandang,

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

80

atau pada saat ini dinamakan Ujung Pandang. Kota yang

merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Selatan ini terdiri dari

sekitar seratus lima puluh tiga desa dengan jumlah penduduk

sekitar satu juta tujuh ratus jiwa saat ini. Dalam cerita ini, latar

Mengkasar yang digunakan yaitu kampung Baru dan

Pelabuhan Mengkasar.

1. Kampung Baru

Sebagai salah satu kampung yang ada di dalam kota

Mengkasar, kampung ini hadir sebagai tempat kelahiran

dan besarnya Zainuddin.

Tiga dan empat tahun dia bergaul dengan istri yang

setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki, anak

tunggal, itulah dia, Zainuddin, yang bermenung di

rumah bentuk Mengkasar, di jendela yang menghadap

ke laut di Kampung Baru yang dikisahkan pada

permulaan cerita ini.51

Sekuen No.2/02:04

Setelah mengalami proses ekranisasi, kampung Baru

tidak disebutkan, melainkan hanya Mengkasar saja.

2. Pelabuhan Mengkasar

Pelabuhan yang berada di kota Mengkasar ini menjadi

tempat di mana Zainuddin dan pengasuhnya berpisah saat

hendak berangkat ke Padang.

Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata Mak

Base masih membasahi pipinya. Dan tidak berapa lama

kemudian rengganglah kapal dari pelabuhan

Mengkasar, hanya lenso (saputangan) saja yang tak

henti dikibarkan orang, baik dari darat atau dari laut.

Meskipun kapal renggang, Zainuddin masih berdiri

melihat pelabuhan, melihat pengasuhnya yang telah

51

Ibid., hlm. 8.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

81

membesarkannya bertahun-tahun, tegak sebagai batu di

tepi anggar, walaupun orang lain telah berangsur

pulang.52

Setelah proses ekranisasi, pelabuhan Mengkasar tidak

disebutkan karena memang tidak terdapatnya adegan

perpisahan antara Zainuddin dengan pengasuhnya seperti

yang diceritakan di dalam novel.

2) Batipuh

Batipuh merupakan sebuah kecamatan yang ada di dalam

kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat. Pada bagian

barat, kecamatan ini berbatasan langsung dengan kota Padang

Panjang. Dalam cerita ini, latar Batipuh yang digunakan yaitu

sebuah dusun, surau, dan dangau.

1. Dusun

Dusun yang tidak disebutkan namanya ini merupakan

tempat lahir dan besarnya Hayati.

…Pada buatan rumah, pada simbol pedang bersentak

yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan

bahwa orang di rumah ini amat keras memegang adat

lembaga, agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di

Batipuh, yang terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh

Baruh.

…Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam,

lambaian Gunung Merapi, yang terkumpul padanya

keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan

model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu.53

Sekuen No.5/09.00

52

Ibid., hlm. 20. 53

Ibid., hlm. 25-26.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

82

Frame tersebut merupakan adegan saat Zainuddin

diajak berkeliling Batipuh serta ditunjukkan juga rumah

Hayati oleh salah satu penduduk di sana.

2. Surau

Surau merupakan tempat untuk melakukan ibadah bagi

umat islam, seperti sholat, mengaji, dan sebagainya. Dalam

cerita ini, sebuah surau kecil yang tidak diketahui namanya

di Batipuh turut mengambil bagian sebagai sebuah latar

penceritaan.

Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia

dari kegembiraannya, sebab kemanisan mulut bakonya

kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang

diberikannya dengan tetap, kiriman Mak Base dari

Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke

surau, bersama-sama dengan lain-lain anak muda,

karena demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin

dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.54

Sekuen No.10/17:26

Latar surau menjadi penting untuk diidentifikasi

lantaran menurut adat Minangkabau, wajib hukumnya bagi

kaum pria yang belum menikah untuk tidur di surau. Inilah

yang dilakukan juga oleh tokoh Zainuddin dalam cerita ini.

Adapun selain sebagai tempat untuk beristirahat, surau

digunakan untuk sholat lima waktu dan mengaji.

3. Dangau

Dangau merupakan semacam gubuk kecil yang

biasanya terletak di tengah-tengah sawah, digunakan petani

dan orang setempat sebagai tempat untuk beristirahat,

54

Ibid., hlm. 29.

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

83

berteduh, juga menjaga tanaman. Sebuah dangau di tengah

sawah yang ada di Batipuh juga turut menjadi latar dalam

cerita ini. Tidak dijelaskan oleh pengarang di mana

tepatnya, namun dangau ini menjadi saksi pengakuan

perasaan antara Zainuddin dan Hayati.

Hayati takut akan kena cinta. Takut menghadapi cinta,

itulah cinta yang sejati. Dia memberi vonis “tidak cinta”

kepada Zainuddin, artinya dia memberikan vonis

kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh

Zainuddin berjalan, dia pun tak tahan pula lagi, dia

meniarap ke lantai di dangau itu menahan hatinya, dan

hati tidak juga tertahan.55

Adapun penggunaan dangau sebagai latar penceritaan

hanya dapat ditemukan di dalam novelnya saja dalam cerita

ini. Tidak ditemukan dangau yang dimaksud tersebut dalam

film ekranisasinya lantaran tidak adanya adegan di dalam

film terkait pengakuan perasaan antara Zainuddin dan

Hayati.

3) Padang Panjang

Kota Padang Panjang merupakan sebuah kota dengan luas

wilayah terkecil di Sumatera Barat. Kota ini memiliki

penduduk sekitar seratus lima jiwa. Kota ini pernah menjadi

pusat pemerintahan sementara Kota Padang. Tokoh Aziz dan

keluarganya tinggal di dalam kota ini.

Tidak seperti Hayati yang tinggal di sebuah dusun, Aziz

beserta keluarganya tinggal di kota.

Pada hari Jum‟at yang ditentukan itu, berangkatlah Hayati

bersama mak tengahnya ke Padang Panjang. Baru saja dia

sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama

seorang saudaranya laki-laki yang selama ini bekerja di

Padang. Seorang anak laki-laki yang gagah dan tangkas

pula, yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari

lamanya. Aziz namanya.56

55

Ibid., hlm. 58. 56

Ibid., hlm. 87.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

84

Sekuen No.25/43:12

Frame tersebut merupakan potret sebuah jalan di kota

Padang Panjang. Saat itu Aziz hendak pulang kerumahnya

mengendarai mobil bersama beberapa temannya.

Padang Panjang memiliki porsi yang cukup besar dalam

cerita ini. Selain pada bagian kota, berikut beberapa latar di

Padang Panjang yang turut mengambil bagian dalam cerita

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yakni Ekor Lubuk,

Pacuan Kuda, dan Kampung Silaing.

1. Ekor Lubuk

Ekor Lubuk merupakan sebuah nama kelurahan di

Padang Panjang dengan jumlah penduduk sekitar dua

ribu empat ratus jiwa. Ekor Lubuk menjadi tempat di

mana Zainuddin dan Hayati bertemu untuk pertama

kalinya.

Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah

seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang

Panjang itu, lebih banyak hujannya daripada

panasnya. Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-

tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekor

Lubuk. Zainuddin ada membawa payung dan Hayati

bersama seorang temannya kebetulan tidak

berpayung.57

Sekuen No.6/12:09

57

Ibid., hlm. 27.

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

85

Frame tersebut merupakan adegan saat Zainuddin

dan Hayati bertemu pertama kali. Saat itu sedang turun

hujan, Hayati tengah berteduh menunggu hujan reda di

sebuah warung bersama temannya. Kebetulan

Zainuddin berteduh pula, namun ia membawa payung.

Akhirnya Zainuddin meminjamkan payungnya kepada

Hayati.

2. Gelanggang Bukit Ambacang

Pacuan kuda yang terdapat di dalam cerita ini

diketahui sudah menjadi budaya yang digemari oleh

warga Padang sejak dahulu, bahkan sejak dibawah

kekuasaan kolonial Belanda. Beberapa daerah di

Sumatera Barat selain Padang Panjang yang menggelar

tradisi ini antara lain Payakumbuh, Batusangkar dan

Bukittinggi. Pertunjukkan pacuan kuda dalam cerita ini

menjadi saksi pertemuan Zainuddin dan Hayati setelah

peristiwa pengusiran Zainuddin dari Batipuh.

Berdasarkan frame yang ada di filmnya, diketahui

pacuan kuda ini digelar di Gelanggang Bukit

Ambacang. Sementara pada novelnya, Hamka tidak

menyebutkan nama gelanggang yang menggelar pacuan

kuda tersebut.

Dari jauh, di antara manusia yang telah datang

berduyun-duyun menuju tepi pagan pacuan,

kelihatan seorang anak muda berjalan dengan gontai

dan tenangnya. Mukanya muram, rambutnya telah

panjang, rupanya kurang disisir meskipun bajunya

bersih, tetapi tidak memakai dasi…

Di muka pintu itu benar bertemulah kedua orang

muda itu, yang perempuan terkejut dan terpaku

tegak, dialah Hayati. Yang laki-laki tergugup dan

sangat terbingung, itulah Zainuddin.58

58

Ibid., hlm. 91.

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

86

Sekuen No.28/56:24

3. Kampung Silaing

Kampung Silaing merupakan sebuah nama

kelurahan di Padang Panjang dengan jumlah penduduk

sekitar empat ribu tujuh ratus jiwa. Silaing merupakan

tempat tinggal Muluk sekaligus menjadi tempat tinggal

sementara bagi Zainuddin setelah dirinya diusir dari

Batipuh.

Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing,

penurunan akan menuju kota Padang, yang dari sana

dapat dilihat kaki Singgalang dengan bukit-bukitnya

yang penuh ditumbuhi tebu. Di sana, dapat pula

didengarkan derum Sungai Anai yang mengalir

dahsyat. Apalagi sunyi dan sepi serta merawankan

hati, suatu kampung yang amat disukai oleh

penyair.59

Sekuen No.21/37:45

Setelah diadaptasi menjadi sebuah film, kampung

Silaing tidak disebutkan, melainkan hanya Padang

Panjang saja.

4) Jakarta

Kota yang kini merupakan ibu kota negara Indonesia

memiliki jumlah penduduk yang bisa dibilang sangat banyak,

59

Ibid., hlm. 74.

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

87

yakni mencapai sekitar sebelas juta jiwa. Oleh karena itu tidak

heran jika kota ini disebut-sebut sebagai kota terbesar di

Indonesia. Berbagai agama beserta tempat peribadatannya

dapat dijumpai di sini. Pada sekitar tahun di mana novel ini

ditulis, Jakarta lebih dikenal khalayak luas sebagai Batavia.

Sejak dahulu hingga sekarang, kota Jakarta sering menjadi

tujuan perantau dari berbagai kota di Indonesia. Inilah yang

dilakukan Zainuddin dan Muluk pada saat itu agar impian

Zainuddin menjadi pengarang dapat tercapai.

Ditinggalkannya Pulau Sumatra, masuk ke Tanah Jawa,

medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai

di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung

yang sepi, bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah

dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang

terbengkalai, terutama di dalam bagian hikayat. Dikirimnya

kepada surat-surat kabar harian dan mingguan.60

Sekuen No.38/1:32:23

Frame tersebut merupakan potret latar Batavia (Jakarta)

tahun 1932 di dalam film. Zainuddin dan muluk menetap di

sana untuk sementara waktu.

5) Surabaya

Kota Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia

setelah Jakarta. Surabaya merupakan ibu kota provinsi Jawa

Timur yang memiliki penduduk sekitar tiga juta jiwa. Kota ini

berbatasan langsung dengan Selat Madura, Kabupaten

Sidoarjo, serta Kabupaten Gresik. Peran kota Surabaya dalam

cerita ini adalah sebagai tempat menetapnya Zainuddin dan

Muluk setelah sempat singgah sebentar di Jakarta.

60

Ibid., hlm. 182.

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

88

…Oleh karena kota Surabaya lebih dekat ke Mengkasar,

dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka

bermaksudlah dia hendak pindah ke Surabaya, akan

mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan

modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia. Dengan

kemauan yang tetap, dia bersama Muluk meninggalkan

kota Jakarta, yang di kota itu dia telah mendapat modal

paling besar, yaitu leter „Z‟ yang kelak akan dipergunakan

mencoba nasib di kota Surabaya itu.61

Sekuen No. 41/1:40:13

Frame tersebut merupakan potret kota Surabaya tahun

1932. Pada film, Zainuddin dan Muluk memutuskan untuk

menetap di Surabaya setelah dirinya mendapatkan kepercayaan

untuk mengurus sebuah kantor penerbitan surat kabar di sana.

Bukan hanya Zainuddin dan Muluk yang menetap di

Surabaya, Aziz dan Hayati juga pindah ke Surabaya lantaran

Aziz naik jabatan sehingga dipindahtugaskan ke kota tersebut

oleh perusahaan tempat Aziz bekerja.

Ti, kita akan pindah, besluitku telah keluar.

Pindah kemana ‘Kanda? Tanyaku.

Cobalah terka, ke mana? Katanya pula sambil tersenyum.

Entahlah, jawabku!

Kita akan pindah ke Jawa, katanya!

Ke Jawa? Tanyaku dadaku berdebar amat kerasnya!

Ya, ke Jawa, kita akan berlayar mengarung laut Ketahun,

kita akan melihat kota Jakarta yang ramai. Kita akan pergi

ke negeri yang lebih ramai. Tempat kita telah ditentukan di

Surabaya!62

61

Ibid., hlm. 183. 62

Ibid., hlm. 188-189.

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

89

Sekuen No.45/1:47:25

Frame tersebut merupakan adegan saat Aziz dan Hayati tiba

di rumah dinas di kota Surabaya. Di rumah tersebut mereka

menetap sebelum akhirnya Aziz dipecat dan menumpang

tinggal di rumah Zainuddin.

Selain kota Padang Panjang, kota Surabaya juga memiliki

porsi yang cukup besar dalam cerita ini. Selain pada bagian

kota, berikut beberapa latar di Surabaya yang turut mengambil

bagian dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

yakni Gedung Pertunjukkan dan Pelabuhan Tanjung Perak.

1. Gedung Pertunjukkan

Sebuah gedung pertunjukkan yang tidak diketahui

lokasi persisnya di kota Surabaya ini menjadi saksi

pertemuan antara Zainuddin, Aziz, dan Hayati.

Pertemuan tersebut menjadi kejutan bagi Aziz dan

Hayati lantaran berdiri di hadapan mereka Zainuddin,

pemuda yang pernah mereka kenal dahulu kini telah

menjadi pengarang termahsyur yang sangat sukses.

Dengan senyum, disambutnya tangan yang

diulurkan orang kepadanya, dipegangnya dan

digoyangnya dengan penuh rasa hormat. Tiba-tiba

sampailah kepada Aziz dan Hayati. Muka Hayati

pucat sebentar darahnya tersirap. Dia hendak

melihat bagaimanakah bentuk rupa Zainuddin

seketika menentang mukanya dan muka suaminya.

Sebab dia ingat betul bagaimana kesedihan anak

muda ini seketika menjabat tangannya yang telah

berinai beberapa tahun yang lalu, yang membawa

sakitnya.63

63

Ibid., hlm. 196.

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

90

Sekuen No.53/2:04:22

Frame tersebut merupakan adegan saat Zainuddin

menyapa Aziz dan Hayati setelah pertunjukkan tonil

usai. Terlihat pada wajah Hayati ekspresi takjub

sekaligus canggung saat berhadapan dengan Zainuddin.

2. Pelabuhan Tanjung Perak

Pelabuhan yang terdapat di Surabaya ini merupakan

pelabuhan terbesar dan tersibuk kedua di Indonesia

setelah pelabuhan Tanjung Priok. Kapal Van Der Wijck

yang hendak ditumpangi Hayati untuk pulang ke

Batipuh ada di pelabuhan ini. Oleh karena itu pelabuhan

ini turut berperan dalam cerita ini.

Dengan menumpang sebuah taksi, mereka

berangkat ke Tanjung Perak. Sesampai di kapal,

Muluklah yang mencari tempat buat perempuan itu

di atas dek. Menurut kebiasaan, kalau muatan tak

banyak, pukul 6 sore kapal itu telah berlayar. Tetapi

sekali ini lantaran memunggah muatan terlalu

banyak, berangkat dilambatkan sampai pukul 9

malam.64

Sekuen No.61/2:43:18

Frame tersebut merupakan potret latar pelabuhan

Tanjung Perak pada saat cerita ini berlangsung. Pada

64

Ibid., hlm. 238.

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

91

pelabuhan inilah kapal yang ditumpangi Hayati, kapal

Van Der Wijck bersandar.

6) Banyuwangi

Banyuwangi merupakan sebuah kabupaten yang ada di

provinsi Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi merupakan

kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi kabupaten

terluas di pulau Jawa dengan jumlah penduduk sekitar satu juta

delapan ratus jiwa. Sebuah hotel di Banyuwangi menjadi

tempat di mana Aziz menghembuskan napas terakhirnya

lantaran bunuh diri.

Di lembar yang kedua dari salah satu surat kabar harian

terbaca satu perkabaran, dikirim oleh reporter dari

Banyuwangi…

Penumpang itu tidak bangun lagi buat selama-lamanya,

rupanya dia telah membunuh dirinya dengan jalan

memakan Adalin, obat tidur yang masyhur itu lebih dari

sepuluh buah. Tube obat itu terdapat di atas meja telah

kosong.65

Sekuen No.59/2:32:49

Frame tersebut merupakan adegan saat Aziz bunuh diri di

sebuah kamar hotel di Banyuwangi. Aziz mengalami overdosis

setelah menenggak obat tidur lebih dari sepuluh tablet.

7) Lamongan

Lamongan merupakan sebuah kabupaten di provinsi Jawa

Timur. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah

yang masuk dalam kawasan metropolitan Surabaya. Penduduk

yang menempati kabupaten ini berjumlah sekitar satu juta tiga

ratus jiwa. Lamongan turut menjadi latar penceritaan, yakni

65

Ibid., hlm. 229.

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

92

sebagai tempat Hayati menghembuskan napas terakhirnya

lantaran kecelakaan kapal Van Der Wijck.

Sebagai kilat layaknya, taksi itu telah dihadapkan menuju

Lamongan, satu kabupaten di Jawa Timur. Lebih kurang

dua jam telah sampai ke tempat itu. Didapatinya di sana

sini orang berkerumun-kerumun, buah pembicaraan orang

rupanya tidak lain melainkan kapal yang karam itu saja.66

Sekuen No.64/2:57:16

Frame tersebut adalah adegan Zainuddin yang mendapati

Hayati tengah terbaring lemah setelah kapal yang Hayati

tumpangi karam. Pada filmnya tidak disebutkan Lamongan,

melainkan latar yang terlihat hanya sebuah rumah sakit saja.

b. Latar Waktu

Kisah cinta segitiga antara Zainuddin, Hayati, dan Aziz terjadi

pada tahun 1900 sampai 1937 di dalam novelnya. Hamka

menyebutkan secara eksplisit peristiwa apa yang terjadi pada tahun

1900, 1936, dan 1937 meskipun ada beberapa yang peristiwa tidak

dapat teridentifikasi waktu kejadiannya.

Sebagai akibat dari proses ekranisasi, latar waktu yang ada di

dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengalami

penciutan. Cerita berlangsung pada tahun 1930 hingga 1936.

Meskipun mengalami penciutan, sutradara menggambarkan secara

eskplisit latar waktu yang terdapat pada seluruh peristiwa yang ada

di dalam cerita. Berikut adalah penjelasan mengenai penciutan

tersebut.

66

Ibid., hlm. 252.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

93

1) 1900

Penggunaan latar 1930 pada film sebagai pembuka cerita

membuat penulis menyimpulkan bahwa peristiwa pembunuhan

yang dilakukan Pandekar Sutan (ayah dari Zainuddin) terhadap

Datuk Mantari Labih (paman dari Pandekar Sutan) terjadi pada

kisaran 1900-an. Namun perlu diketahui bahwa latar ini tidak

terdapat pada filmnya, melainkan hanya di novel saja.

Dia dinamai ayahnya, Zainuddin. Sejak kecilnya telah

dirundung oleh kemalangan. Untuk mengetahui siapa dia,

kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri

kecil dalam wilayah Batipuh Sapuluh Koto (Padang

Panjang) kira-kira 30 tahun lalu.67

2) 1930

Secara eksplisit sutradara menggambarkan latar waktu

tahun 1930 di Mengkasar sebagai awal dari cerita ini. Pada

tahun yang sama terjadi pula peristiwa merantaunya Zainuddin

ke Batipuh dan pertemuan pertama antara dirinya dengan

Hayati. Sementara latar waktu peristiwa-peristiwa tersebut

tidak dapat teridentifikasi pada novelnya.

Sekuen No.2/02:02 Sekuen No.3/03:53

3) 1931

Secara eksplisit sutradara menggambarkan latar waktu

tahun 1931 di Padang Panjang, tepatnya di kampung Silaing.

Peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut yakni menetapnya

Zainuddin di rumah Muluk, kampung Silaing. Pada tahun yang

sama terjadi pula pernikahan antara Hayati dengan Aziz.

67

Ibid., hlm. 4.

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

94

Sementara latar waktu peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat

teridentifikasi pada novelnya.

Sekuen No.21/37:44

4) 1932

Secara ekspisit sutradara menggambarkan latar waktu tahun

1932 di Batavia (Jakarta). Peristiwa yang terjadi pada tahun

tersebut yakni merantaunya Zainuddin dan Muluk ke Jakarta

untuk melanjutkan karangan-karangan Zainuddin. Pada tahun

yang sama Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, diikuti

oleh Hayati dan Aziz yang juga pindah ke Surabaya. Sementara

latar waktu peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat

teridentifikasi pada novelnya.

Sekuen No. 38/1:32:23

5) Oktober 1936

Secara eksplisit sutradara menggambarkan latar waktu

tahun 1936 di Surabaya. Peristiwa yang terjadi pada bulan

Oktober di tahun tersebut yakni wafatnya Hayati akibat

kecelakaan kapal Van Der Wijck. Pada tahun yang sama Aziz

wafat lantaran bunuh diri dengan cara menenggak obat tidur.

Latar waktu Oktober 1936 juga digambarkan secara eksplisit

oleh pengarang.

Setelah cukup tiga hari jenazah Hayati dikebumikan

diajaklah Muluk oleh Zainuddin pergi ke pusara itu

memarit dan membina kubur, dan menanam puding

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

95

pancawarna di atasnya, menurut wasiat Hayati! Nisannya

diperbuat dari batu marmar yang ditulis begini bunyinya:

HAYATI Meninggal lantaran kecelakaan Kapal Van Der

Wjck pada 20 Oktober 1936.68

Sekuen No.65/3:05:25

6) 1937

Secara eksplisit pengarang menggambarkan latar waktu

tahun 1937 di Surabaya. Peristiwa yang terjadi di tahun

tersebut yakni wafatnya Zainuddin akibat sakit. Sementara

pada filmnya latar waktu tahun 1937 tidak teridentifikasi.

Setahun kemudian. Oleh karena itu, Zainuddin kurang

sekali menerima tetamu sejak kematian Hayati, maka

jaranglah teman-temannya yang dapat menemuinya. Kabar

berita tentang keadaan dirinya, atau sakit senangnya,

tidaklah begitu diketahui orang lagi. Tiba-tiba pada suatu

hari di dalam surat-surat kabar yang terbit dalam kota

Surabaya bertemu perkabaran: ZAINUDDIN

PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT.69

c. Latar Sosial

Latar sosial yang ada pada masyarakat Minangkabau adalah

masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi

setempat. Hal tersebut dapat dibuktikan pada novelnya terkait

dengan fungsi surau, larangan pergaulan lawan jenis, tradisi pacuan

kuda, dan pentingnya permusyawarahan ninik mamak.

Setelah mengalami proses ekranisasi, latar sosial yang ada pada

novelnya tidak mengalami perubahan sama sekali. Sutradara tetap

menampilkan latar-latar tersebut sesuai dengan apa yang

68

Ibid., hlm. 258. 69

Ibid., hlm. 260.

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

96

disampaikan Hamka pada novelnya. Berikut adalah penjelasan

mengenai latar sosial tersebut.

1) Fungsi Surau

Pada saat di mana cerita ini dibuat, surau tidak hanya

menjadi tempat ibadah bagi penduduk Batipuh melainkan juga

sebagai tempat menuntut ilmu. Bahkan menurut tradisi

Minangkabau, wajib hukumnya bagi anak laki-laki yang sudah

baligh untuk bermalam di surau seperti yang dilakukan

Zainuddin di dalam cerita ini.

Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia

dari kegembiraannya, sebab kemanisan mulut bakonya

kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang

diberikannya dengan tetap, kiriman Mak Base dari

Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau,

bersama-sama dengan lain-lain anak muda, karena

demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin

dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.70

Sekuen No.10/17:26

2) Larangan Pergaulan Lawan Jenis

Pertalian yang terhubung antara Zainuddin dan Hayati

rupanya belum bisa diterima oleh masyarakat di Batipuh.

Masyarakat di sana belum bisa secara adil menanggapi

pemandangan laki-laki dan perempuan yang bersahabat sangat

dekat layaknya Zainuddin dan Hayati. jadi dapat dipastikan

bahwa di Batipuh jarang ditemukan laki-laki dan perempuan

berdua-duan.

Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur di antara

kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam

dusun kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat

memandang kejadian ini dengan penyelidikan yang

70

Ibid., hlm. 29.

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

97

saksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci. Yang

terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut ialah

bahwa Hayati, kemenakan Datuk… telah ber-„intaian‟,

bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan orang

Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus, perkataan yang

tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu

mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan

anak muda-muda yang duduk di pelataran lepau petang

hari. Sehingga akhirnya menjadi rahasia umum.71

Sekuen No.16/24:08

3) Tradisi Pacuan Kuda

Terdapat tradisi tahunan yang lazim digelar di Padang

Panjang, yaitu pacuan kuda dan pasar malam. Tradisi ini tidak

hanya digelar di Padang Panjang, melainkan juga pada kota-

kota besar lain di Sumatera Barat. Bahkan pada novelnya,

pacuan kuda dan pasar malam memiliki bab tersendiri.

Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan

kuda dan pasar malam, bernama keramaian adat negeri.

Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di

Sumatra Barat, sebagai Batu Sangkar, Payakumbuh,

Bukittinggi dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam

pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris,

menyandang kain sumbiri, sejak dari yang muda sampai

kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari

kampung-kampung memakai tikuluk pucuk.72

Sekuen No.28/53:06

71

Ibid., hlm. 60. 72

Ibid., hlm. 83.

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

98

4) Permusyawarahan Ninik Mamak

Permintaan dari Zainuddin dan Aziz yang datang secara

bersamaan untuk meminang Hayati membuat keluarga Hayati

perlu mengadakan musyawarah dengan ninik mamak.

Masyarakat di Batipuh saat itu menerapkan adat Minangkabau

dalam menggelar musyawarah.

Setelah segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan

orang kepada Datuk… dan kepada segala ninik mamak

yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah

sampai pula surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah

permusyawarahan ninik mamak, menurut adat yang

terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang,

disembelihkan ayam empat ekor. Dibentangkan tikar

pandan putih.73

Sekuen No.32/1:07:41

4. Alur

Alur dapat dibedakan menjadi alur maju, alur mundur, dan alur

campuran bila melihat dari kriteria urutan waktu penceritaannya.

Berdasarkan kriteria tersebut, teridentifikasi bahwa alur yang

digunakan pada novel adalah alur campuran. Hal ini dapat dibuktikan

pada bagian awal novel, di mana pengarang membuka cerita dengan

memperkenalkan sosok Zainuddin. Setelah memperkenalkan sosok

Zainuddin, pengarang melakukan kilas balik tiga puluh tahun silam.

Kilas balik tersebut menceritakan riwayat kedua orang tua Zainuddin

pada wilayah Batipuh Sapuluh Koto (Padang Panjang). Tujuannya

adalah agar pembaca mengetahui penyebab Zainuddin dikatakan anak

pisang. Pada bab selanjutnya, dikisahkan perjalanan hidup Zainuddin

itu sendiri sampai ia meninggal dunia.

73

Ibid., hlm. 125.

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

99

Berbeda dengan novelnya yang memiliki alur campuran, ekranisasi

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki alur maju. Hal ini dapat

dibuktikan lantaran tidak ditemukannya unsur kilas balik dalam film.

Secara runtut, cerita dimulai dari merantaunya Zainuddin ke Batipuh,

berlanjut seterusnya secara kronologis sampai Hayati meninggal dunia.

Sehubungan dengan adanya teori tentang tahapan alur yang telah

penulis cantumkan pada bab sebelumnya, berikut akan penulis jelaskan

tahapan alur dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

a. Tahap Penyituasian

Penyituasian dimulai dengan penggambaran latar suasana di

kota Mengkasar, tepatnya di pinggir pantai pulau Laya-laya pada

saat senja. Keadaan geografis Mengkasar juga sedikit disinggung,

diantaranya benteng Kompeni, tanah lapang Karibosi, Gunung

Lompo Batang, dan Bawa Kara Eng. Masyarakat di sana pada

umumnya masih percaya akan takhayul pada saat itu. Barulah

kemudian diperkenalkan sosok Zainuddin yang kala itu berusia 19

tahun. Kedua orang tua Zainuddin turut dikisahkan, di mana

pengisahan tersebut. Pengisahan kedua orang tua Zainuddin inilah

yang kemudian memengaruhi kisah-kisah selanjutnya. Alur dalam

novel ini lantas berubah dari alur maju menjadi alur mundur.

Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso

berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu

jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah, seorang anak muda

yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang

dirinya menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya

terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan

keindahan alam di lautan Mengkasar, rupanya pikirannya telah

melayang jauh sekali, ke balik yang tak tampak di mata, dari

lautan dunia pindah ke lautan khayal.74

Sementara itu dalam film, tahap ini ditandai oleh kemunculan

tokoh Zainuddin yang hendak meminta izin pada Mak Base untuk

merantau ke Padang. Jika pada novel kita dapat menemukan

74

Ibid., hlm. 2-3.

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

100

riwayat kedua orang tua Zainuddin, pada filmnya tidak dikisahkan

sama sekali.

Sekuen No.2/02:16

b. Tahap Pemunculan Konflik

Pemunculan konflik pada cerita ini ditandai dengan pertemuan

Zainuddin dan Hayati di Ekor Lubuk. Kala itu hari sedang hujan,

Zainuddin yang pada awalnya hanya niat membantu Hayati dengan

meminjamkan payung miliknya justru terpikat oleh kecantikan

Hayati. Pada kisah selanjutnya mereka saling berkirim-kirim surat

dan kemudian saling menyimpan rasa. Pada akhirnya hal tersebut

tersiar keseluruh penjuru dusun, termasuk ke telinga Datuk.

Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur di antara

kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam dusun

kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat memandang kejadian

ini dengan penyelidikan yang saksama dan adil. Orang belum

kenal percintaan suci. Yang terdengar sekarang, yang pindah

dari mulut ke mulut ialah bahwa Hayati, kemenakan Datuk…

telah ber-“intaian”, bermain mata, berkirim-kiriman surat

dengan orang Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus,

perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah

dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam

kalangan anak muda-muda yang duduk di pelataran lepau

petang hari. Sehingga akhirnya menjadi rahasia umum. Orang-

orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi.

Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun

berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan

sudut mata. Anak-anak yang masih belum kawin dalam

kampung itu sangat naik darah. Bagi mereka adalah perbuatan

demikian, merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung

tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah

persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk … yang

dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat

malu, melangkahi kepala ninik mamak.75

75

Ibid., hlm. 60-61.

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

101

Sekuen No.6/12:07 Sekuen No.9/16:29

c. Tahap Peningkatan Konflik

Peningkatan konflik dalam cerita ditandai oleh datangnya

lamaran dari Aziz dan Zainuddin terhadap Hayati secara

bersamaan. Setelah musyawarah dan mencapai mufakat, lamaran

Azizlah yang diterima oleh pihak Hayati. Keputusan tersebut

diambil setelah mempertimbangkan latar belakang Aziz yang kaya

raya dan jelas asal-usulnya, tidak seperti Zainuddin yang belum

jelas hartanya dan bukan pemuda keturunan Minangkabau.

Mengalir keringat dingin di keningnya sehabis surat itu

dibacanya. Menyesal dia, padahal dari dahulu sudah

disangkanya juga bahwa permintaannya tidak akan terkabul,

sebab negeri Minangkabau beradat. Terasa malu yang sebesar-

besarnya, terasa perasaan yang mesti tersimpan dalam hati tiap-

tiap manusia, bahwa dia tidak mau dihinakan. Minangkabau

negeri beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat yang ada di

dunia ini, di negeri lain tidak. Padahal kalau memang negeri

Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak

ditolak dengan jalan yang begitu saja. Permintaan bisa terkabul

dan bisa tidak, tetapi tidak ada hak bagi yang menolak buat

menyindir pula kepada orang yang ditolaknya. Apalagi pintu

yang dilaluinya bukan pintu “belakang” tetapi pintu muka, tiba

tampak muka, berjalan tampak punggung.76

Sekuen No.32/1:07:41 Sekuen No.35/1:19:40

76

Ibid., hlm. 134.

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

102

d. Tahap Klimaks

Klimaks yang dapat kita temukan dalam cerita ini ditandai

dengan talak yang dijatuhkan Aziz kepada Hayati. Tidak hanya

mentalak Hayati, Aziz juga mengembalikan Hayati kepada

Zainuddin. Sebenarnya jauh di dalam hati Zainuddin timbul

peperangan antara rasa dendam dan rasa cinta. Namun siapa

sangka, Zainuddin menolak keinginan Aziz tersebut lantaran ia

menghargai persahabatannya dengan Aziz. Selain karena hal

tersebut, penolakan yang dilakukan Zainuddin lantaran ia teringat

bagaimana Hayati mengingkari janji yang mereka buat. Pada

akhirnya penolakan tersebut berujung pada keputusan Zainuddin

untuk memulangkan Hayati ke Batipuh, sebuah keputusan yang

sebenarnya sangat bertolak belakang dengan hatinya.

Bila teringat akan itu, dia berkata, „Tidak Hayati! Kau mesti

pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan

begini, Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak

ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal … Negeri

Minangkabau beradat! … besok hari Senin, ada kapal

berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke

Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu ke

kampungmu.‟77

Sekuen No.59/2:30:48 Sekuen No.60/2:41:40

e. Tahap Penyelesaian

Penyelesaian seluruh cerita ini ditandai oleh insiden

tenggelamnya kapal yang ditumpangi Hayati dari Surabaya menuju

Padang, yakni kapal Van Der Wijck. Akibat insiden tersebut,

Hayati terluka parah di kepala dan di kaki. Zainuddin yang

mengetahui insiden tersebut bergegas menuju rumah sakit bersama

77

Ibid., hlm. 234-235.

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

103

Muluk. Rupanya hanya beberapa saat saja Hayati siuman, tidak

lama kemudian Hayati meninggal dunia setelah mengetahui bahwa

Zainuddin masih cinta akan dirinya.

Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali,

diisyaratkannya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah

dekat, dibisikkannya, Bacakanlah … dua kalimat suci … di

telingaku.Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat

itu, ditarutkannya yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang

kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga … dia sudah

tak ada lagi!78

Sekuen No. 63 /2:53:36 Sekuen No.64/3:04:10

Sekuen No.65/3:10:36

Tahap penyelesaian yang dipilih oleh sutradara berbeda dengan

tahap penyelesaian yang ada di dalam novel. Dalam novel, akan

kita temukan sosok Zainuddin yang menderita berkepanjangan

hingga jatuh sakit dan meninggal dunia. Berlainan dengan filmnya,

sepeninggal Hayati justru Zainuddin semakin menunjukkan

semangatnya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang

pengarang. Bahkan dirinya menjadikan rumah tempat tinggalnya

sebagai panti asuhan yang dihuni oleh banyak anak-anak dan

beberapa pengasuh, Muluk, dan istri Muluk.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang dalam novel merupakan tempat pengarang

memandang ceritanya. Melalui sudut pandang pengarang dapat

78

Ibid., hlm. 255.

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

104

melukiskan tokoh, peristiwa, tempat, serta waktu dengan gayanya

sendiri. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menggunakan

sudut pandang persona ketiga “dia” mahatahu. Sudut pandang tersebut

memungkinkan peran Buya Hamka sebagai pencerita yang mengetahui

seluruh cerita termasuk jalan pikiran, perasaan, konflik batin, serta

pandangan hidup tokoh-tokohnya dalam cerita ini.

Bukan Hayati telah melupakan Zainuddin, belum pula dia cinta

kepada Aziz dengan arti cinta yang ada kepada Zainuddin. Tapi

yang dapat dilihat, sejak menjejak Padang Panjang, perasaan

Hayati yang dahulu, sudah berangsur hilang. Dia sudah tahu

bagaimana kekurangan hidup di kampung dan bagaimana

kemewahan di kota. Sudah mulai masuk ke dalam hatinya perasaan

gembira, telah sempit rasanya dipakainya guntingan pakaian cara

kampung, telah lebih senang dia melihat sorak-sorai orang di

kota.79

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat dalam kalimat “bukan

Hayati telah melupakan Zainuddin, belum pula dia cinta kepada Aziz

dengan arti cinta yang ada kepada Zainuddin” bahwa pengarang

menceritakan bagaimana perasaan Hayati, yang berarti pengarang

mengetahui segala yang dirasakan oleh tokoh. Selanjutnya pada

kalimat “dia sudah tahu bagaimana kekurangan hidup di kampung dan

bagaimana kemewahan di kota” dapat diidentifikasi bahwa pengarang

mengetahui apa yang dipikirkan oleh Hayati. Pengarang mengetahui

keseluruhan sebelum tokoh lain mengetahui.

Sementara itu pada sebuah film, sudut pandang dapat diketahui

dengan dua cara, yakni diegetic sound dan nondiegetic sound. Diegetic

sound merupakan suara yang sumbernya terlihat pada layar, langsung

dituturkan oleh tokoh melalui dialog. Non diegetik merupakan suara

yang sumbernya tidak terlihat pada layar, atau lebih mudahnya adalah

suara narasi. Pada ekranisasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

sutradara menggabungkan diegetic sound dan nondiegetic sound,

meskipun mayoritas keseluruhan menggunakan diegetic sound.

79

Ibid., hlm. 109.

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

105

Diegetic sound yang dimaksud yakni yang berasal dari penuturan para

pemeran Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di dalam film. Adapun

penceritaan dengan nondiegetic sound terdapat pada sekuen awal dan

sekuen akhir saja, yakni suara narator sementara film masih terus

berjalan.

6. Gaya Bahasa

Sebagian besar bahasa yang digunakan oleh Buya Hamka dalam

novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu bahasa Minangkabau

yang dipadukan bahasa Melayu kental. Adapun gaya bahasa yang

sering ditemukan dalam novel ini yakni personifikasi, yaitu

mengungkapkan atau mengutarakan suatu benda dengan pembanding

tingkah dan kebiasaan manusia.

Gaya bahasa personifikasi teridentifikasi pada pendeskripsian kota

Mengkasar oleh pengarang di dalam novel. Matahari digambarkan

seolah-olah dapat mengecap layaknya manusia.

Kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang, apabila telah sore

diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam dan

mengecap hawa laut…80

Masih banyak kutipan serupa yang penulis temukan di dalam

novel. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengarang memiliki ciri khas

tersendiri dalam menuliskan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

yakni menggunakan gaya bahasa personifikasi. Contoh lain

teridentifikasi pada penjelasan yang dibeberkan pengarang terkait

perasaan Zainuddin setelah bertemu dengan hayati di dangau.

Dilihatnya sekali lagi yang sekelilingnya, tiba-tiba dari sedikit ke

sedikit, wajah alam itu pun bertukarlah pada penglihatannya dari

yang biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi…81

Kutipan tersebut menunjukkan suasana hati Zainuddin yang tengah

bahagia setelah bertemu Hayati. Penggambaran air yang dapat

bernyanyi termasuk ke dalam personifikasi. Dapat disimpulkan bahwa

80

Ibid., hlm. 2. 81

Ibid., hlm. 35.

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

106

pengarang konsisten menggunakan personifikasi, dengan asumsi untuk

menghidupkan suasana di dalam cerita.

Sementara pada ekranisasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

gaya bahasa personifikasi yang digunakan Hamka tidak dimunculkan

oleh tim produksi. Sebagian besar kosa kata yang dipilih oleh penulis

skenario merupakan kosa kata yang telah disesuaikan dengan masa

kini, yang maknanya dapat dengan mudah diketahui semua penonton.

Hal tersebut guna untuk memudahkan penonton memahami dialog

yang dituturkan antar pemain, karena di dalam novelnya terdapat kosa

kata atau istilah lokal yang mungkin tidak dimengerti oleh penonton.

Kosa kata tersebut seperti kata destar, lepau, limbat, dan kata-kata

lain yang belum pernah didengar. Meskipun tidak sepenuhnya

menggunakan bahasa Melayu Minangkabau, sutradara tetap

mengarahkan pemain agar menggunakan dialek Minangkabau. Hal

tersebut dilakukan agar tetap memberikan kesan lokal Minangkabau

pada filmnya.

B. Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck dengan Film Adaptasinya

1. Lingkungan Fisik

Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis

mengidentifikasi unsur lingkungan fisik Minangkabau yang bersifat

alami (gunung dan sungai) serta bersifat buatan (sawah, rumah, surau,

dan gelanggang). Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang

kemunculannya di dalam cerita memiliki kaitan dengan kenyataan

yang ada pada ranah Minangkabau.

Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara sebagian besar

tetap menampilkan unsur-unsur lingkungan fisik seperti yang terdapat

di dalam novel. Namun terdapat unsur lingkungan fisik yang

mengalami penciutan dan perubahan bervariasi. Sutradara tidak

menampilkan sungai Anai serta menjadikan gunung Arjuna (Jawa

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

107

Timur) sebagai pengganti gunung-gunung yang ada di Padang. Berikut

adalah penjelasan mengenai perubahan tersebut.

a. Gunung

Ada tiga gunung yang disebutkan Hamka dalam novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Gunung-gunung tersebut

yaitu gunung Merapi, gunung Singgalang, dan gunung Kurinci.

Ketiga gunung tersebut memiliki nilai historis tersendiri bagi

masyarakat Minangkabau.

“Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak

dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh

lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”82

Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik Gunung

Singgalang. Dan dari sebuah surau di kampung yang jauh

kedengaran bunyi tabuh…83

Terus ke Kurinci melihat keindahan alam di sana, melihat

puncak Gunung Kurinci yang indah dan danaunya yang hijau.84

Setelah mengalami proses ekranisasi, ketiga gunung tersebut

tidak dimunculkan oleh sutradara. Adapun gunung yang terdapat

pada film adalah gunung Arjuna yang berada di Jawa Timur.

Perubahan variasi ini terjadi lantaran tidak memungkinkan bagi tim

produksi untuk berada di wilayah gunung Merapi, mengingat

kondisi gunung Merapi yang juga berdampingan dengan gunung

Singgalang kerap meletus dan kerap berstatus siaga. Oleh karena

itu sutradara menggantinya dengan gunung Arjuna yang ada di

Jawa Timur.

b. Sawah

Sawah merupakan usaha pertanian yang dilakukan pada tanah

basa dan memerlukan air untuk irigasi. Adapun mayoritas jenis

tanaman yang digunakan untuk pertanian sawah adalah padi. Pada

82

Ibid., hlm. 65. 83

Ibid., hlm. 59. 84

Ibid., hlm. 137.

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

108

waktu ketika novel ini ditulis, sebagian besar masyarakat di Padang

bekerja sebagai petani. Seperti halnya dalam cerita Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck, Hamka menghadirkan sebuah sawah sebagai

lingkungan fisik buatan dalam ceritanya, di mana penduduk sekitar

pada saat itu berprofesi sebagai petani.

Dari jauh, kedengaran nyanyi anak gembala di sawah-sawah

yang luas. Maka setelah meminta diri kepada mandehnya,

turunlah dia ke halaman, menuju sawah yang banyak itu

hendak melihat orang menyabit dan mengirik, atau pun

membakar jerami.85

Sekuen No.4/06:55

Sebagai lingkungan fisik buatan, sawah tidak dihilangkan oleh

sutradara setelah mengalami proses ekranisasi. Kehadiran sawah di

dalam film menekankan bahwa tokoh Zainuddin dan Hayati tinggal

di tengah-tengah dusun, yang sebagian besar penduduk di sana

bekerja sebagai petani.

c. Sungai

Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang

mengalir secara terus-menerus dari hulu menuju hilir. Penyebutan

sungai dalam bahasa Melayu adalah „batang‟. Pada Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck, sungai Anai dihadirkan sebagai salah satu

lingkungan fisik alami yang terdapat di Padang Panjang. Penduduk

setempat menyebutnya batang Anai. Sungai ini memiliki aliran

yang besar dan jernih serta berbatu. Pada masa kolonial Belanda

dibangun jalan raya yang mengikuti alur sungai Anai dan juga rel

kereta api di atas aliran sungai tersebut. Sungai ini terletak tidak

jauh dari lembah Anai. Lembah Anai merupakan tempat yang

85

Ibid., hlm. 31-32.

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

109

sangat kental bagi penduduk Padang Panjang. Lembah ini adalah

salah satu air terjun yang menjadi maskot pariwisata di Sumatera

Barat. Letak lembah ini berada di pinggir jalan, tepatnya jalan yang

menghubungkan kota Padang dengan Bukit Tinggi.

Sungai Anai pernah digunakan Hamka sebagai salah satu

lingkungan fisik novel Dibawah Lindungan Ka’bah. Pada novel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka kembali

menghadirkan sungai Anai beberapa kali.

Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing, penurunan akan

menuju kota Padang, yang dari sana dapat dilihat kaki

Singgalang dengan bukit-bukitnya yang penuh ditumbuhi tebu.

Di sana, dapat pula didengarkan derum sungai Anai yang

mengalir dahsyat.86

Terkenanglah dia bahwa pada zaman yang akhir ini, Zainuddin

suka sekali bersunyi-sunyi diri ke belukar Anai, ke tepi sungai

yang mengalir dengan bunyinya yang dahsyat itu, seakan-akan

berserunai bernafiri ayaknya. 87

Berlainan dengan novelnya, setelah mengalami proses

ekranisasi, sutradara menghilangkan sungai tersebut. Hal ini

menunjukkan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

kehilangan maskotnya, yaitu sungai Anai.

d. Rumah

Dalam arti umum, rumah merupakan salah satu bangunan yang

dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Pada novel

dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck rumah Gadang

dihadirkan sebagai salah satu lingkungan fisik buatan yang ada di

Batipuh. Perlu diketahui bahwa rumah Gadang adalah nama untuk

rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat. Oleh masyarakat

setempat, rumah ini dikenal dengan nama rumah Bagonjong atau

rumah Banjuang. Di sanalah Hayati dan mamaknya tinggal.

Tidak berapa jauh dan rumah bakonya itu, ada pula sebuah

rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat istiadat

86

Ibid., hlm. 74. 87

Ibid., hlm. 172.

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

110

Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan bertahtakan

timah. Di ujung kedua pihak, ada anjungan peranginan,

serambi muka bergonjong pula, lumbung empat buah berlerat

di halaman. Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang

akan ditumbuk. Pada buatan rumah, pada simbol pedang

bersentak yang terletak di bawah gonjong kiri kanan,

menandakan bahwa orang di rumah ini amat keras memegang

adat lembaga, agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di

Batipuh, yang terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh

Baruh.88

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Hamka memberi

gambaran secara detail bagaimana sesungguhnya bentuk rumah

Gadang.

Setelah mengalami proses ekranisasi, rumah Gadang tetap

dihadirkan oleh sutradara, hanya saja tidak terlalu detail.

Sekuen No.5/09:00

e. Surau

Surau merujuk kepada bangunan tempat ibadah umat Islam,

yang biasanya akan banyak kita temukan di daerah Sumatera.

Fungsi surau tidak berbeda jauh dengan masjid, yakni sebagai

pusat kegiatan keagamaan masyarakat dan pendidikan keislaman.

Di Minangkabau, surau kebanyakan lebih dikhususkan sebagai

lembaga pendidikan dikarenakan letaknya yang berdampingan

dengan masjid.

Pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, surau dihadirkan

sebagai salah satu lingkungan fisik buatan yang ada di Batipuh.

Hamka menempatkan posisi surau sebagai tempat berkumpulnya

anak laki-laki yang sudah akil baligh untuk tidur di malam hari.

88

Ibid., hlm. 25.

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

111

Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersama-sama

dengan lain-lain anak muda, karena demikian menurut adat.89

Adapun yang berkirim surat, Zainuddin, lain pula halnya.

Meskipun anak-anak muda di surau tempatnya tidur telah

berlayar dalam lautan mimpi yang enak, bahkan kadang-

kadang kesepian itu dipecahkan oleh dengkur dua atau tiga

orang anak-anak, dia masih bermenung melihatkan bulan

terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dengan 16, muram

dan damai.90

Setelah mengalami proses ekranisasi, fungsi surau yang

ditampilkan sutradara tidak dijelaskan. Hanya berupa sebuah frame

saja yang menunjukkan Zainuddin sedang tidur di dalam surau.

Sekuen No.10/17:26

Pada saat di mana novel ini ditulis, anak laki-laki yang sudah

akil baligh diwajibkan untuk tidur di surau pada malam hari. Hal

ini sudah menjadi tradisi setempat yang harus dijalankan. Jika

tidak, maka anak tersebut akan disebut belum jantan dan belum

mandiri oleh anak yang lain lantaran masih tinggal bersama orang

tua. Tinggal di surau merupakan sebuah bentuk pendidikan bagi

anak laki-laki untuk mandiri dalam menata hidup mereka di masa

depan. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut sudah

ditinggalkan lantaran banyak pemuda Minangkabau yang merantau

ke kota lain.

f. Gelanggang

Gelanggang merupakan ruang yang luas atau lapangan yang

digunakan untuk menyabung ayam, bertinju, berpacu kuda,

berolahraga, dan sebagainya. Pada Tenggelamnya Kapal Van Der

89

Ibid., hlm. 29. 90

Ibid., hlm. 44.

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

112

Wijck, gelanggang Bukit Ambacang dihadirkan sebagai salah satu

lingkungan fisik buatan yang ada di Padang Panjang. Hamka

menempatkan posisi gelanggang sebagai arena pacuan kuda yang

telah menjadi tradisi di Sumatera. Gelanggang ini menjadi salah

satu saksi pertemuan Zainuddin, Hayati, dan Aziz sebelum pada

akhirnya Hayati memutuskan untuk menikah dengan Aziz dan

melupakan Zainuddin.

Bukan main ramainya orang sekeliling gelanggang itu, laki-laki

dan perempuan. Apakah yang menarik kata orang kepada kuda

berlari? Bukan orang hendak melihat kuda, tetapi manusia

hendak menonton manusia jua.91

Sekuen No.28/56:24

Pacuan kuda yang digelar di gelanggang Bukit Ambacang

sudah menjadi tradisi sejak dahulu, jauh sebelum cerita

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ada. Kegiatan ini dibawa

masuk oleh Belanda yang kemudian menjadi tradisi tahunan bagi

masyarakat di sana.

Setelah mengalami proses ekranisasi, gelanggang ini tetap

dihadirkan. Perbedaannya adalah jika pada novel tidak

dicantumkan nama gelanggang yang menjadi arena pacuan kuda,

sementara sutradara memberikan keterangan kepada penonton

nama gelanggang yang menggelar pacuan kuda tersebut.

2. Unsur-unsur Sosial

Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis

mengidentifikasi unsur-unsur sosial Minangkabau, yaitu yang terdiri

dari kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan lembaga sosial.

91

Ibid., hlm. 90.

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

113

Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang kemunculannya di

dalam cerita memiliki kaitan dengan kenyataan yang ada pada ranah

Minangkabau.

Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara tidak mengubah

apapun yang berhubungan dengan unsur-unsur tersebut. Sutradara

tetap menampilkan sekuen demi sekuen yang mengandung unsur-

unsur sosial Minangkabau saat itu, meskipun pada saat ini sebagian

unsur-unsur tersebut sudah tidak berlaku lagi di sana. Berikut adalah

penjelasan mengenai unsur-unsur sosial tersebut.

a. Kelas Sosial

Bila melihat cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

teridentifikasi bahwa pada saat novel ini dibuat, masih terdapat

lapisan-lapisan yang membuat masyarakat suku Minangkabau

terbagi menjadi tiga kelompok. Lapisan-lapisan tersebut yakni

lapisan bangsawan, orang biasa, dan lapisan terendah.

1. Lapisan Bangsawan

Lapisan bangsawan memiliki kedudukan yang lebih tinggi

dalam masyarakat serta memperoleh gelar kebangsawanan.

Orang yang termasuk ke dalam golongan bangsawan ialah

orang-orang yang mula-mula datang dan mendirikan desa-desa

di daerah Minangkabau. Oleh karena itu mereka disebut

sebagai urang asa (orang asal).

Hayati, Aziz, dan masing-masing dari keluarga mereka

merupakan orang yang termasuk kedalam lapisan ini. Hal ini

dapat dilihat dalam kutipan pada novel berikut ini:

“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di

Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak.

Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan

sembarang orang…

Zainuddin serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya

sendiri, gelar pusaka turun-temurun menjadi buah mulut

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

114

orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur

kemenakan.”92

(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 61-62)

Namanya Aziz, anak dari Sutan Mantari, seorang yang

termasyhur dan berpangkat semasa hidupnya …

Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang,

sawahnya yang berbintalak, dikaji sasap jerami, pendam

pekuburan, bekas-bekas harta yang telah dibagi dan yang

belum dibagi di negerinya. Karena memang nyata bahwa

dia orang asal, patut dijeput kita jeput, patut dipanggil kita

panggil.

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Hayati bisa

masuk ke dalam lapisan ini lantaran mamaknya adalah seorang

penghulu adat yang memiliki gelar pusaka turun-temurun.

Sementara Aziz bisa masuk ke dalam lapisan ini lantaran

ayahnya adalah orang yang terpandang dan memiliki pangkat

serta memiliki harta yang banyak.

2. Lapisan Biasa

Lapisan biasa memiliki kedudukan di bawah lapisan

bangsawan. Orang yang termasuk ke dalam golongan biasa

ialah orang-orang yang datang kemudian dan tidak terikat

dengan orang asal, tetapi mereka bisa memiliki tanah dan

rumah sendiri dengan cara membeli.

Muluk beserta ibunya merupakan orang yang termasuk ke

dalam lapisan ini. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan pada

novel berikut ini :

“Guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa,

penyabung, pedadu, penjudi, jadi tangan saya bernajis.

Karena kami pemuda-pemuda Padang Panjang ini,

meskipun negeri kami penuh dengan rumah-rumah sekolah

agama, kami kebanyakan hanya bergurau, berburu, main

kim dan lain-lain. Tapi sungguhpun seperti itu, saya merasa

senang sekali Guru telah suka tinggal di rumah orang tua

saya ini. Karena dia hanya sendiri saja menghuni rumah,

92

Ibid., hlm. 61-62.

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

115

saya tak bersaudara seorang juga. Bapa saya telah mati

ditimpa batu ketika gempa besar itu…”93

Lantaran Hamka tidak menjelaskan secara detail silsilah

keluarga Muluk, dapat diidentifikasi bahwa Muluk bukanlah

seorang yang berasal dari keluarga terpandang dan berpangkat

seperti Hayati dan Aziz. Namun melalui kutipan tersebut dapat

diidentifikasi bahwa Muluk adalah seorang pemuda Padang

Panjang. Hal tersebut memberi arti bahwa Muluk dan ibunya

termasuk ke dalam golongan biasa lantaran Muluk dan ibunya

tidak memiliki hubungan dengan orang asal, tetapi mereka bisa

memiliki tempat tinggal sendiri di Padang Panjang.

3. Lapisan Terendah

Lapisan terendah memiliki kedudukan yang paling bawah

setelah lapisan bangsawan dan lapisan biasa. Orang yang

termasuk ke dalam golongan ini ialah orang-orang yang datang

kemudian dan menumpang pada keluarga-keluarga yang lebih

dulu datang dengan jalan menghambakan diri.

Zainuddin merupakan orang yang termasuk ke dalam

lapisan ini. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan pada novel

berikut ini :

Di dalam kalangan gadis-gadis di kampung Batipuh, telah

menjadi buah mulut bahwa ada sekarang seorang anak

muda “orang jauh”, orang Bugis dan Mengkasar,

menumpang di rumah bakonya, Mande Jamilah.94

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Zainuddin bukanlah

seorang yang berasal dari keluarga terpandang dan berpangkat

seperti Aziz dan Hayati, bukan juga seorang yang memiliki

tempat tinggal sendiri di Batipuh. Zainuddin hidup dengan

menumpang bakonya yang tinggal di Batipuh. Setelah

peristiwa pengusiran dirinya, Zainuddin juga hidup dengan

93

Ibid., hlm. 142-143. 94

Ibid., hlm. 26.

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

116

menumpang Muluk yang tinggal di Padang Panjang. Hal

tersebut memberi arti bahwa Zainuddin termasuk ke dalam

golongan terendah lantaran dirinya adalah seorang perantau

yang menumpang pada bakonya yang lebih dulu datang.

b. Kelompok Sosial

Keterikatan dan ketergantungan antara manusia satu dengan

yang lain mendorong manusia untuk membentuk sebuah kelompok

masyarakat. Hal ini dapat ditemukan dalam Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck. Terdapat beberapa kelompok sosial akibat adanya

persamaan kelompok etnik dan profesi.

1. Pemuda-pemuda Minang

Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dapat

dilihat dengan jelas bagaimana pemuda-pemuda Minang

mendominasi daerah Batipuh, sehingga Zainuddin yang bukan

merupakan keturunan Minangkabau tulen dipandang lain oleh

pemuda-pemuda tersebut.

Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh,

bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak

muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau,

tetapi pandangan orang kepadanya bukan padangan sama

rata, hanya ada juga kurangnya…

Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang

Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari

ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau

Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain

juga.95

Sekuen No.10/17:16

Kutipan dan frame tersebut menunjukkan adanya kelompok

yang dibuat oleh pemuda Minangkabau. Zainuddin yang tidak

95

Ibid., hlm. 23.

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

117

termasuk ke dalam kelompok tersebut dipandang lain. Bahkan

pada filmnya, Zainuddin tidak diizinkan bergabung lantaran

bukan keturunan Minangkabau.

2. Parewa

Parewa adalah sebuah istilah yang disematkan kepada

golongan orang muda-muda di Minangkabau yang hidupnya

berasal dari berjudi, menyabung, dan lain-lain. Meskipun

begitu, mereka adalah orang-orang yang sangat kuat

mempertahankan kehormatan nama suku dan kampung, setia

serta sudi menolong, hormat kepada orang siak (alim),

dermawan, dan jika mereka memiliki sahabat maka mereka

akan mempertahankan sahabatnya sampai mati.

“Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya bukan main

sukacitanya, cuma dia malu kepada engkau sebab engkau

orang siak, sedang dia orang parewa.”

(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 141)

Dialog tersebut diucapkan oleh ibu Muluk kepada

Zainuddin. Lewat dialog tersebut dapat diketahui bahwa Muluk

merupakan tokoh dalam cerita ini yang sehari-harinya memiliki

cap sebagai parewa. Namun hal itu tidak disampaikan secara

detail dalam filmnya.

c. Dinamika Sosial

Dinamika sosial erat kaitannya dengan perubahan-perubahan

yang terjadi di kehidupan sosial, dalam hal ini pada Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck. Ada tiga objek yang dibahas terkait

dinamika sosial, yaitu pengendalian sosial, penyimpangan sosial,

dan mobilitas sosial. Namun penulis tidak akan membahas

ketiganya, melainkan hanya pengendalian sosial dan

penyimpangan sosial.

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

118

1. Pengendalian Sosial

Pengendalian sosial yang terdapat dalam Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck dibuktikan dengan bentuk teguran yang

dilakukan oleh mamak Hayati terhadap Zainuddin. Teguran

tersebut disampaikan secara persuasif, yakni menasihati

Zainuddin agar mengikuti nilai dan norma yang berlaku di

Minangkabau.

“Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan

orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri

kemenakanku. Rata orang tua-tua, telah melakukan

perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang

benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya,

bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tiada

senonoh dengan kemenakanku; yang dapat merusakkan

nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui

engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum

perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami

dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang

di papas dan belum lapik di hujan, supaya engkau surut.”96

Pengendalian sosial selanjutnya terjadi dalam bentuk yang

sama, yakni teguran. Teguran tersebut dilakukan oleh mamak

Hayati terhadap Hayati. Teguran disampaikan dengan cara

yang sama pula, yakni menasihati Hayati agar tunduk terhadap

nilai dan norma yang berlaku di Minangkabau.

“Di zaman sekarang, haruslah suami penumpangkan hidup

itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika

perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan

engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako?

…Mamakmu bukan membunuh, tetapi meluruskan kembali

jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak. Mamak

tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan

getirnya hidup ini.”97

Pengendalian sosial dalam cerita ini dilakukan oleh mamak

Hayati terhadap Zainuddin dan Hayati, yang pada saat itu telah

dianggap melanggar norma dan nilai yang berlaku dalam adat

96

Ibid., hlm. 61. 97

Ibid., hlm. 65-66.

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

119

Minangkabau. Setelah melalui proses ekranisasi, bentuk

pengendalian ini tetap teridentifikasi pada sekuen nomor 17

dan 18. Pengendalian sosial tersebut merupakan sebuah upaya

mamak Hayati untuk mengajak serta mendidik Zainuddin dan

Hayati agar mematuhi norma dan nilai adat Minangkabau.

2. Penyimpangan Sosial

Penyimpangan sosial merupakan bentuk perilaku yang

tidak sesuai dengan nilai dan norma di dalam suatu masyarakat,

dalam hal ini masyarakat Minangkabau. Dalam cerita ini

teridentifikasi bahwa apa yang terjalin antara Zainuddin dan

Hayati merupakan suatu contoh bentuk penyimpangan yang

terjadi di Batipuh. Hal tersebut dapat dibuktikan di dalam

kutipan berikut :

…Yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke

mulut ialah bahwa Hayati, kemenakan Datuk … telah ber-

“intaian”, bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan

orang Mengkasar itu.

…Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran

tempat mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana,

mereka pun berbisik dan mendaham, sambil melihat

kepadanya dengan sudut mata. Anak-anak yang masih

belum kawin dalam kampung itu sangat naik darah. Bagi

mereka adalah perbuatan demikian, merendahkan derajat

mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga.98

“…Kejadian ini telah mereka pertalikan dengan sekolah,

itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah – kata

mereka – sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan

laki-laki, padahal bukan jodohnya.99

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa di Batipuh pada saat

itu, berkirim-kiriman surat serta bermain mata dianggap oleh

masyarakat setempat sebagai sebuah bentuk penyimpangan.

Lantaran penyimpangan tersebut, Hayati dan Zainuddin

menjadi bahan gunjingan sekampung. Setelah melalui proses

98

Ibid., hlm. 60-61 99

Ibid., hlm.62.

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

120

ekranisasi, bentuk penyimpangan ini tetap teridentifikasi pada

sekuen nomor 16.

d. Lembaga Sosial

Lembaga sosial berfungsi sebagai alat kontrol bagi perilaku

para anggota masyarakat, dalam hal ini pada Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck. Pada masyarakat suku Minangkabau, terdapat

lembaga informal yang memiliki peranan cukup besar dalam

mengontrol perilaku suatu masyarakat. Lembaga tersebut dikenal

dengan istilah Ninik Mamak.

Ninik Mamak terdiri dari beberapa orang Penghulu (Datuk)

yang berasal dari berbagai kaum yang ada di dalam suku-suku di

Minangkabau. Jabatan penghulu biasanya disandang oleh seorang

laki-laki Minangkabau yang dipandang mampu memimpin dengan

bijaksana, yang kepemimpinannya diwariskan secara turun

temurun sesuai adat matrilineal Minangkabau. Peranan Ninik

Mamak dihadirkan oleh Hamka dalam novelnya. Hal tersebut dapat

dilihat dalam kutipan berikut:

“Hai Hayati! jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan

kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal

dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dalam pergaulan

hidup, cela besar namanya, merusakkan nama, merusakkan

ninik mamak, Korong kampung, rumah halaman.”100

Setelah segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan orang

kepada Datuk … dan kepada segala ninik mamak yang

berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah sampai pula

surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah

permusyawarahan ninik mamak, menurut adat yang terpakai.

Dihadirkan di atas rumah nan gedang, disembelihkan ayam

empat ekor. Dibentangkan tikar pandan putih.”101

Dia memulai. “Hayati! … inilah yang duduk ini mamak dan

ninikmu, lindungan persukuanmu, yang mengebat erat

memancung putus. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan

100

Ibid., hlm. 65. 101

Ibid., hlm. 125.

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

121

mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah berhabis

pinang sirih. Mencari yang akan elok…

Datang permintaan orang untuk meminangmu, yaitu Aziz di

Padang Panjang dan datang pula sepucuk surat dari Zainuddin,

itu juga maksudnya. Setelah kami timbang melarat dan

manfaat, Azizlah yang kami terima. Kami panggil engkau

sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya engkau terima

dengan suka. Bagaimana pertimbanganmu?”102

Kutipan pertama menunjukkan bahwa kemenakan, dalam hal

ini Hayati, harus menghargai aturan-aturan yang telah dibuat oleh

Ninik Mamak. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ninik Mamak

berfungsi sebagai alat kontrol bagi kemenakannya. Sementara

kutipan kedua dan kutipan ketiga menunjukkan bahwa untuk

mencapai sebuah mufakat yang berhubungan dengan kemenakan

mereka, harus diadakan permusyawarahan Ninik Mamak.

Permusyawarahan tersebut harus dijalankan sesuai dengan adat

istiadat yang berlaku di Minangkabau. Apabila telah mencapai

mufakat Ninik Mamak, maka kemenakan ataupun orang lain tidak

dapat mengubah keputusan itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa

Ninik Mamak berfungsi sebagai acuan bagi kemenakan dan yang

lainnya dalam mempertimbangkan sebuah keputusan.

Setelah mengalami proses ekranisasi, lembaga sosial yang

teridentifikasi pada novel tetap ditampilkan oleh sutradara. Pada

film terdapat sekuen nomor 18 yang menunjukkan peranan Ninik

Mamak sebagai alat kontrol saat Hayati bersikeras menyelamatkan

hubungannya dengan Zainuddin. Selain itu terdapat sekuen nomor

32 yang juga menunjukkan peranan Ninik Mamak sebagai acuan

dalam mengambil keputusan pada sebuah permusyawarahan.

102

Ibid., hlm. 130-131

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

122

3. Unsur-unsur Budaya

Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck penulis

mengidentifikasi tujuh unsur-unsur budaya, yaitu sistem religi, sistem

organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata

pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan

kesenian. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang

kemunculannya di dalam cerita memiliki kaitan dengan kenyataan

yang ada pada ranah Minangkabau.

Sementara pada filmnya, unsur-unsur tersebut tidak seluruhnya

teridentifikasi. Ada beberapa contoh sistem pengetahuan yang tidak

ditemukan pada filmnya lantaran tidak begitu penting jika ditampilkan.

Beberapa contoh sistem teknologi dan peralatan juga mengalami

penciutan lantaran keterbatasan yang dimiliki tim produksi saat

menggarap film ini. Penggunaan kosa kata Minang yang ada di dalam

novel juga mengalami penciutan lantaran mengikuti permintaan pasar.

Selain penciutan, unsur-unsur budaya Minangkabau mengalami

penambahan pada unsur kesenian. Sutradara menampilkan seni tari,

yaitu tari Pasambahan. Penambahan tersebut bertujuan untuk

menambah kesan warna lokal Minangkabau pada filmnya. Lebih

jelasnya lagi, berikut adalah penjelasan mengenai perubahan-

perubahan tersebut.

a. Sistem Religi

Seluruh masyarakat Minangkabau menganut agama Islam.

Ganjil rasanya apabila ada masyarakat yang tidak menganut agama

Islam. Begitupun jika ada yang keluar dari agama Islam, maka

orang tersebut akan secara otomatis dianggap keluar dari

masyarakat Minang. Agama Islam bagi masyarakat Minangkabau

sudah seperti sebuah identitas. Begitupun dengan Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck, masyarakat Minangkabau pada saat itu

digambarkan oleh Hamka sebagai masyarakat pemeluk agama

Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

123

Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir bulan puas,

rumah-rumah pelajaran agama di kampung kampung telah

ditutup.103

Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik Gunung

Singgalang. Dan dari sebuah surau di kampung yang jauh

kedengaran bunyi tabuh, diiringkan suara azan:… Hayya alal

falaah!”104

Masyarakat Minangkabau tidak percaya dengan kepercayaan-

kepercayaan lain selain apa yang diajarkan oleh Islam. Meskipun

begitu masih ditemukan masyarakat Minangkabau yang percaya

dengan hal-hal yang tidak diajarkan di dalam Islam. Hal tersebut

dapat ditemukan di dalam kutipan berikut:

“Rasanya patut juga kita awas. Sebab barangkali si Hayati ini

entah kena apa-apa, maklum ilmu orang Mengkasar sangat

mujarab, sebab selama ini pikirannya hanya kepada Zainuddin

saja.” 105

Dukun-dukun telah dipanggilkan. Macam-macam pendapat

mereka: kena hantu, kena pekasih, kena tuju paramayo, kena

tuju senang meranda dan lain-lain penyakit.106

Kedua kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa ada

masyarakat Minangkabau yang pada saat itu masih mempercayai

adanya hal-hal yang sebenarnya tidak ada di dalam ajaran Islam,

seperti ilmu-ilmu ghaib serta penyakit-penyakit ghaib yang tidak

dikenal di dunia medis.

Setelah mengalami proses ekranisasi, keislaman masyarakat

Minangkabau diwakilkan oleh pemuda-pemudi Batipuh yang pada

saat itu selesai mengaji di surau. Sementara itu, kepercayaan

masyarakat Minangkabau akan ilmu dan penyakit ghaib tidak

ditemukan di dalam filmnya.

103

Ibid., hlm. 31. 104

Ibid., hlm. 59. 105

Ibid., hlm. 130. 106

Ibid., hlm. 166.

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

124

b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi kemasyarakatan yang ada di Minangkabau

sebetulnya terdiri dari persukuan, nagari, penghulu, serta kerajaan.

Namun pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hanya penghulu

saja yang disinggung. Penghulu atau yang biasa disebut „datuak‟

merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota

kaum keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum

keluarga. Permasalahan yang dibebankan kepada penghulu di

antaranya mengurus harta pusaka kaum, membimbing kemenakan,

serta sebagai perwakilan saat rapat-rapat nagari. Adapun yang

disebut penghulu merupakan seorang laki-laki terpilih di antara

anggota kaum laki-laki yang lain. Pemilihan tersebut berdasarkan

kepandaian berbicara, kebijaksanaan, serta penguasaan pemahaman

akan adat istiadat Minangkabau.

Yang terutama sekali dihinakan orang orang adalah persukuan

Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk … yang dikatakan

buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu,

melangkahi kepala ninik mamak.107

Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-

penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam

perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu.108

Pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck teridentifikasi

adanya penghulu sebagai salah satu bentuk organisasi

kemasyarakatan. Ketiga kutipan tersebut sudah cukup menyiratkan

bahwa mamak daripada Hayati merupakan seorang penghulu yang

kedudukannya sangat penting di Batipuh. Beliau biasa dipanggil

„datuk‟, yang bertanggung jawab melindungi Hayati serta menjaga

keutuhan adat istiadat Minangkabau di Batipuh.

107

Ibid., hlm. 61. 108

Ibid., hlm. 63.

Page 135: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

125

Setelah mengalami proses ekranisasi, peran mamak Hayati

yang merupakan seorang penghulu tetap ditampilkan oleh

sutradara.

c. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan pada masyarakat Minangkabau yang

teridentifikasi di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

sebagian besar merupakan pengetahuan yang terkait dengan adat

istiadat yang berlaku dan kebudayaan yang berkembang di

Minangkabau pada saat itu. Berikut merupakan beberapa

pengetahuan yang dapat teridentifikasi.

1) Tentang kepengurusan harta warisan

Menurut adat Minangkabau, apabila ada seorang anak laki-

laki yang tidak memiliki saudara perempuan, maka harta

warisan peninggalan ibunya akan jatuh ke tangan Mamaknya

serta pihak kemenakan perempuan yang lain yang ditarik

menurut garis keturunan ibu. Ia tidak berhak menggunakan

harta warisan bagi kepentingan dirinya sendiri, melainkan

hanya mengawasi harta warisan yang ada. Hal tersebut dapat

dilihat dalam kutipan berikut:

Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan

Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris

yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak

bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau,

amatlah malangnya seorang anak laki-laki jika tidak

mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta

benda, sawah yang berjenjang, bandar buatan, lumbung

berpereng, rumah nan gadang.109

Hal tersebut terjadi pada Pandekar Sutan yang merupakan

seorang anak tunggal. Harta peninggalan ibunya tidak dapat

jatuh ke tangannya, melainkan ke tangan Mamaknya serta

pihak kemenakan perempuan yang lain. Pengetahuan ini hanya

dapat ditemukan di dalam novel.

109

Ibid., hlm. 4.

Page 136: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

126

2) Tentang garis keturunan menurut sistem matrilineal

Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, di

mana sistem ini mengatur seluruh kehidupan suatu masyarakat

yang terikat dalam sebuah jalinan kekerabatan menurut garis

ibu. Seorang anak yang lahir dalam sebuah keluarga menjadi

bagian garis keturunan yang dibawa oleh ibunya. Mudahnya,

dapat dikatakan bahwa seorang anak yang lahir dengan latar

belakang orang tua Minangkabau akan mengikuti suku ibunya.

Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base

seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang orang di

Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab

itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau,

sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya

orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang

sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga.110

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana garis keturunan

yang berlaku di Minangkabau pada saat itu. Ibu dari Zainuddin

bukanlah berasal dari Minangkabau, melainkan dari

Mengkasar. Maka dari itu, meskipun ayah dari Zainuddin

berasal dari Minangkabau, bila ibunya bukan berasal dari

Minangkabau, maka Zainuddin tidak dapat dikatakan bersuku

Minangkabau. Pengetahuan tentang garis keturunan ini dapat

ditemukan di dalam sekuen nomor 32.

Sistem matrilineal yang terdapat dalam Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck nantinya akan berpengaruh terhadap

perkawinan Hayati. Perkawinan yang ideal bagi Masyarakat

Minangkabau adalah perkawinan yang antara keduanya berasal

dari daerah Minangkabau.

“Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak

mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik

sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang

dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang

110

Ibid., hlm. 23.

Page 137: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

127

dikisarkan mata. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya

bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di

mana, sukunya tidak ada: tidak ada pepatihnya, tidak ada

ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami

anak kemenakan kita, ke mana kemenakan kita hendak

menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali

soal ini.”111

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan yang

terjadi antara ayah dan ibu dari Zainuddin dianggap telah

merusak struktur adat karena anak yang lahir dari perkawinan

itu (Zainuddin) tidak dapat dianggap bersuku Minangkabau.

Itulah sebabnya lamaran Zainuddin ditolak oleh pihak Hayati.

3) Tentang bentuk rumah gadang

Rumah gadang merupakan nama untuk rumah adat

Minangkabau yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera

Barat. Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

dideskripsikan bagaimana bentuk rumah gadang tersebut, dapat

dilihat dalam kutipan berikut:

Tidak berapa jauh dan rumah bakonya itu, ada pula sebuah

rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat

istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan

bertahtakan timah. Di ujung kedua pihak, ada anjung

peranginan, serambi muka bergonjong pula, lumbung

empat buah berlerat di halaman. Halamannya luas, tempat

menjemurkan padi yang akan ditumbuk. Pada buatan

rumah, pada simbol pedang bersentak yang terletak di

bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa orang di

rumah ini amat keras memegang adat lembaga, agaknya

turunan Regen atau Tuan Gedang di Batipuh, yang

terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh.112

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Hamka memberi

gambaran secara detail bagaimana sesungguhnya bentuk rumah

Gadang. Setelah mengalami proses ekranisasi, rumah Gadang

tetap dihadirkan oleh sutradara pada sekuen nomor 5.

111

Ibid., 128. 112

Ibid., hlm. 25.

Page 138: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

128

4) Tentang cara melekatkan gelar

Gelar yang dimaksud dalam konteks ini yaitu gelar pusaka.

Gelar pusaka dalam suku Minangkabau biasanya diturunkan

dari ninik mamak atau saudara laki-laki pihak ibu, yang didapat

melalui rembugan ninik mamak dengan pemuda yang akan

berumah tangga. Selain itu, nama gelar juga bisa diambil dari

persukuan ayahnya.

Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang Padang, tak

kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan

dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak

bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia

diberi gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh

diturunkan pula kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun

mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau

dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan

di labuh nan golong, di pasar nan ramai.113

Kutipan tersebut menunjukkan kondisi Zainuddin yang

tidak akan mendapatkan gelar pusaka lantaran dirinya tidak

bersuku. Jalan lain untuk melekatkan gelar pada dirinya yaitu

dengan cara membayar hutang kepada negeri, menyembelih

kerbau dan sapi, menghadirkan ninik mamak serta alim ulama

dan kegiatan tersebut harus dilaksanakan di tempat yang ramai

agar diketahui seluruh masyarakat. Pengetahuan tentang cara

melekatkan gelar hanya dapat ditemukan di dalam novel.

5) Nama-nama gadis Minangkabau

Pada saat di mana novel ini ditulis, terungkap pengetahuan

tentang macam-macam nama yang dipakai gadis Minang.

Hayati adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang. Hal

tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Hayati, adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang

selama ini. Nama gadis-gadis di Minangkabau tempo

dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan Aluih, Talipuk

Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah bayangan dari

113

Ibid., hlm. 24.

Page 139: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

129

perubahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang

kokoh dalam adatnya itu.114

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa nama

Hayati adalah nama baru yang belum biasa dipakai oleh

kebanyakan gadis Minangkabau pada saat itu. Pengetahuan

tentang nama gadis Minangkabau tersebut juga terdapat dalam

filmnya, yaitu pada sekuen nomor 25.

6) Tentang kedudukan perempuan dalam pergaulan

Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-

mata kasihan, sahabat, lain tidak; jangan engkau salah

terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-

anak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang bernasib

malang, tetapi kita tak dapat memberikan pertolongan apa-

apa, karena kita hanya bangsa perempuan yang tidak

mempunyai hak apa-apa di dalam adat pergaulan.115

Melalui surat yang ditulis oleh Hayati tersebut, dapat kita

ketahui bahwa kaum perempuan di Minangkabau tidak dapat

berbuat banyak terhadap nasib malang yang menimpa sesama

teman mereka, apalagi jika temannya itu lawan jenis. Hal ini

berhubungan dengan norma kesopanan dan norma agama yang

berlaku di Minangkabau. Pengetahuan tentang kedudukan

perempuan dalam pergaulan hanya dapat ditemukan pada

novelnya.

7) Tentang budaya pacuan kuda bagi orang mampu

Pacuan kuda merupakan sebuah tradisi tahunan yang

hingga saat ini masih ditemukan di beberapa kota besar di

Sumatera Barat. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

menunjukkan kepada pembaca bagaimana sebenarnya budaya

yang berkembang terkait pacuan kuda. Tradisi tersebut

mempertemukan antara yang muda dan yang tua, perempuan

114

Ibid., hlm 26. 115

Ibid., hlm. 37.

Page 140: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

130

dan laki-laki, yang kaya dan yang miskin, hingga rakyat dan

petinggi-petinggi adat.

Tribune sudah hampir penuh, di sanalah orang yang mampu

duduk bertaruh kuda, mempermainkan uang. Penghulu-

penghulu kepala, di sanalah kerap kali menekorkan kas

negeri, karena malu kalau tak ikut bertaruh atau tidak ikut

menuangkan brandy.116

Melalui kutipan tersebut, dapat diidentifikasi adanya

pengkategorian saat menonton pacuan kuda. Bagi orang-orang

yang mampu, biasanya mereka duduk menempati tribune

dengan bertaruh kuda menggunakan uang serta menuangkan

bir. Jika tidak ikut bertaruh atau tidak ikut menuangkan bir,

mereka akan merasa malu. Pengetahuan tentang budaya pacuan

kuda bagi orang mampu terdapat pada filmnya, yakni sekuen

nomor 28. Selain dari orang mampu dan petinggi-petinggi adat,

mereka menonton pacuan kuda di bawah sambil berdiri, dekat

dengan lintasan pacuan.

8) Tentang adat dalam menerima pinangan

Masyarakat bersuku Minangkabau memiliki adat tersendiri

saat hendak menerima pinangan. Biasanya mereka akan

melakukan musyawarah terlebih dahulu serta keputusannya

tidak akan dihasilkan pada hari yang sama.

Dibentangkan orang lapik putih di tengah rumah nan

gedang, di sana telah menyambut perempuan-perempuan

dan di dalamnya duduk bersama-sama Mak Tengah Limah.

Menurut adat pula, segala permintaan itu belum akan

dijawab pada hari yang sehari itu. Kalau rasa akan terkabul,

diberi tangguh orang yang datang agak seminggu. Tetapi

kalau rasa tak akan terkabul, dalam tiga hari saja hal itu

telah dapat diputuskan.117

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana seharusnya adat

dalam menerima pinangan. Musyawarah tersebut dilakukan di

rumah gadang lengkap dengan tikar putih. Adapun hasil dari

116

Ibid., hlm. 90. 117

Ibid., hlm. 117.

Page 141: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

131

musyawarah tersebut akan diberitahu dalam jangka waktu tiga

hari sampai satu minggu setelah datang orang yang diutus

untuk menyampaikan niat pinangan. Pengetahuan tentang adat

dalam menerima pinangan hanya dapat ditemukan pada

novelnya.

9) Tentang pelaksanaan musyawarah

Bukan hanya saat menerima pinangan, masyarakat bersuku

Minangkabau memiliki adat tersendiri saat hendak melakukan

musyawarah. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:

Setelah segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan

orang kepada Datuk … dan kepada segala ninik mamak

yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah

sampai pula surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah

permusyawarahan ninik mamak, menurut adat yang

terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang,

disembelihkan ayam empat ekor. Dibentangkan tikar

pandan putih. Janji yang ditentukan dalam panggilan ialah

pukul 7 pagi, diundurkan ke sawah dan ke ladang buat

sehari itu. Maka datanglah seorang pukul 9 lewat, seorang

lagi pukul 10, dan pukul 12 kurang seperempat barulah

cukup hadir di atas rumah.118

“Jawablah Hayati!” kata Datuk … sekali lagi, “supaya

mudah kami membuhulkan musyawarah ini dengan asap

kemenyan.”119

Kedua kutipan tersebut menunjukkan apa saja yang perlu

dilakukan saat hendak melaksanakan musyawarah. Dalam

konteks ini, musyawarah yang dilakukan yaitu hendak

memutuskan apakah Aziz atau Zainuddin yang diterima

lamarannya oleh pihak Hayati. dalam cerita dijelaskan bahwa

musyawarah tersebut harus diadakan di dalam rumah gadang

yang dihadiri oleh ninik mamak, adanya empat ekor ayam yang

harus disembelih, digelarnya tikar pandan warna putih, serta

dibakarnya kemenyan sebagai tanda musyawarah tersebut

118

Ibid., hlm. 125. 119

Ibid., hlm. 132.

Page 142: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

132

sudah menghasilkan mufakat. Pengetahuan tentang

pelaksanaan musyawarah hanya dapat ditemukan pada

novelnya.

10) Tentang penyakit dan pengobatannya

Sudah segala macam obat dilekatkan, kumpai dan cikarau,

sitawar dan sidingin, giring-giring hantu, api-api hantu,

sirih bertemu urat, dasun tunggal, urat rotan melantas banir,

semuanya tidak ada yang mujarab. Si sakit hanya

bertambah sakit juga.Melihat itu, cemaslah kedua induk

semangnya itu, Muluk dengan ibunya. Mereka takut, orang

dagang yang malang itu akan meninggal di rumah mereka

lantaran kesia-kesiaan mereka. Maka setujulah kedua ibu

dan anak itu memanggilkan dokter. Karena kebiasaan

waktu itu, jika penyakit masih belum dipandang berbahaya,

mereka belum ada niat hendak pergi ke dokter, segala

perkataan-perkataan yang akan menghinakan dokter,

keluarlah dari mulut, “Apa guna memanggil dokter,

penyakit begini tak bisa dokter mengobat. Tetapi kalau

mengobat luka, memang dokter pintar”. Nanti kalau rasa

telah berat penyakit itu, baru teringat bahwa ada dokter.

Padahal penyakit yang berat itu sama-sama payah

mengobatinya, baik oleh dokter apalagi oleh dukun.120

Kedua kutipan tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu

minat masyarakat Minangkabau untuk mengandalkan dokter

masih rendah. Mereka akan mengandalkan dokter hanya jika

sakitnya parah atau sakitnya berupa luka. Jika penyakitnya

belum parah, mereka tidak akan memanggil dokter. Mereka

lebih memilih pengobatan alternatif atau pergi ke dukun.

pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya ini hanya

dapat ditemukan pada novelnya.

d. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck teridentifikasi

bahwa sebagian besar masyarakat Minangkabau hidup dengan

mengandalkan tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air

tersedia, kebanyakan orang mengusahakan sawah dengan bertani

120

Ibid., 166-167.

Page 143: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

133

padi. Biasanya sawah-sawah tersebut akan banyak ditemukan di

dusun, seperti di Batipuh. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

berikut:

Untuk perhindarkan muka yang kurang jernih, maka bilamana

orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, …121

Tiba-tiba sampailah dia ke sepiring sawah, seorang laki-laki tua

sedang menyabit padi.122

Di samping hidup dari pertanian, masyarakat Minangkabau

juga hidup dengan berdagang. Kegiatan perniagaan tersebut pada

umumnya terjadi di kota, seperti di Padang Panjang. Hal ini dapat

dilihat pada kutipan berikut:

Sampai terjadi peperangan dunia 1914-1918 yang hebat itu,

kota Padang Panjang masih memegang kejayaan dalam urusan

perdagangan. Pada masa itu dapat dilihat toko-toko yang besar,

kedai train yang permai, …123

Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara turut

menampilkan kehidupan masyarakat Minangkabau yang memiliki

mata pencaharian sebagai petani. Namun tidak dapat ditemukan

adanya masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai

pedagang.

e. Sistem Teknologi dan Peralatan

Latar yang tergambar dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck yakni latar pedesaan pada awal abad ke dua puluh, di

mana masyarakat yang ada di dalam dusun Batipuh dan sekitarnya

masih menggunakan teknologi dan peralatan tradisional. Sementara

bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan, teknologi dan

peralatan modern mudah ditemukan. Adapun peralatan serta

teknologi yang ditemukan dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck akan dijelaskan di bawah ini.

121

Ibid., hlm. 23. 122

Ibid., hlm. 32. 123

Ibid., hlm. 81.

Page 144: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

134

1. Keris

Keris adalah senjata tikam yang berujung runcing dan tajam

pada kedua sisinya. Pada cerita ini, keris digunakan sebagai

senjata dan sebagai sebuah simbol.

“Apa? … Engkau katakan saya zalim? Kata Datuk Mantari

Labih sambil melompat ke muka, dan menyentak kerisnya,

tiba sekali di hadapan Pandekar Sutan.124

“Pinang di bawah sirih di atas,” namanya. Kalau diterima

menjadi tunangan, tandanya ialah keris.125

2. Destar

Destar adalah ikat kepala yang biasanya dibentuk dari kain

batik segitiga. Destar merupakan salah satu pakaian adat lama

Minangkabau.

Maka keluarlah bermacam-macam pakaian adat lama,

berdestar hitam, …126

3. Niru dan Tampian

Niru adalah alat rumah tangga berbentuk bundar, segitiga,

atau segi empat yang terbuat dari anyaman bambu. Niru

berfungsi untuk menampi beras atau gabah dan sebagainya.

Sementara tampian adalah sebutan lain dari niru.

Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru

dan tampian ke sawah, …127

Sekuen No. 7/14:36

124

Ibid., hlm. 5. 125

Ibid., hlm. 127. 126

Ibid., hlm. 83. 127

Ibid., hlm. 30.

Page 145: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

135

4. Tikuluk Pucuk

Tikuluk pucuk merupakan semacam selendang panjang

yang dililitkan di kepala untuk menutupi rambut. Tikuluk

pucuk ini biasa dikenakan oleh kaum perempuan.

Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai tikuluk

pucuk.128

Sekuen No.31/1:05:20

5. Bendi

Bendi adalah kendaraan tradisional yang menggunakan

kuda sebagai penarik utamanya. Bendi banyak digunakan pada

masa cerita ini dibuat, serta banyak ditemukan di daerah

pedesaan.

Tidak berapa menit kemudian, kelihatanlah dari jauh

sebuah bendi yang sedang mendaki dan kudanya berjalan

dengan gontai, muatannya kosong, bendi itulah yang

mengejutkannya, sehingga terhenti dari tekurnya.129

Ketika dia akan naik ke atas bendi, Aziz serta Khadijah,

dan ibunya, sama-sama melepas.130

Sekuen No.3/03:35

6. Pentalon

Pentalon adalah celana yang digunakan oleh kaum laki-laki.

Adapun celana tersebut panjangnya sampai ke mata kaki.

128

Ibid., hlm. 83. 129

Ibid., hlm. 73. 130

Ibid., hlm. 106.

Page 146: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

136

Bersarung, padahal orang muda yang lain berpentalon.131

7. Dokoh

Dokoh adalah sebuah hiasan kalung berupa lempeng

emas. Biasanya dokoh digunakan oleh kaum perempuan.

Barang emasnya telah habis; dokohnya, gelangnya,

penitinya, semuanya telah masuk rumah gadai.132

8. Rumah Gadang

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat tradisional

Minangkabau yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera

Barat. Selain sebagai tempat tinggal, rumah Gadang

difungsikan sebagai tempat musyawarah keluarga, pewarisan

nilai-nilai adat, serta sebagai representasi budaya matrilineal.

Tidak berapa jauh dan rumah bakonya itu, ada pula sebuah

rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat

istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan

bertahtakan timah.133

Sekuen No.5/08:57

9. Oto

Oto merupakan kendaraan semacam kereta yang

menggunakan motor atau mobil sebagai penariknya. Tidak

seperti bendi, oto banyak ditemukan di daerah perkotaan.

Semuanya berganti dengan derum oto mendaki bukit, …134

Belum sempat Hayati menjawab perkataan itu, dengan

langkah yang tetap dia keluar, terus ke jalan ramai

menumpang sebuah oto yang berangkat ke Malang.135

131

Ibid., hlm. 91. 132

Ibid., hl,m. 210. 133

Ibid., hlm. 25. 134

Ibid., hlm. 111. 135

Ibid., hlm. 237.

Page 147: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

137

10. Kereta api

Kereta api mulai masuk ke pulau Jawa pada awal abad

kesembilan belas dan mulai menyebar di seluruh Indonesia

pada awal abad kedua puluh.

Atau di waktu kereta api membunyikan peluitnya di dalam

kesusahan mengharung rimba dan jembatan yang tinggi,

…136

Besok paginya, berangkatlah Aziz menumpang kereta api

yang akan berangkat menuju Banyuwangi, …137

11. Kodak

Kodak adalah sebutan lain dari kamera. Adapun

penyebutan tersebut didasarkan pada kepopuleran perusahaan

Kodak dalam dunia fotografi pada masa lalu, sehingga orang-

orang lebih suka menyebut kamera sebagai „kodak‟.

…tidak berapa lama kemudian datanglah teman-temannya;

yang seorang mengepit pesawat “kodak”, …138

12. Kapal

Kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang dan

barang di laut. Pada awal abad kedua puluh, keberadaan kapal

mulai tersingkirkan dengan kemunculan pesawat terbang.

Namun kapal masih memiliki keunggulan yakni mampu

mengangkut barang dengan tonase yang lebih besar.

Dan tidak berapa lama kemudian, rengganglah kapal dari

pelabuhan Mengkasar, …139

Seminggu di belakang itu kelihatan Zainuddin dengan

Muluk di atas dek kapal Sloet Van der Beele yang akan

berlayar dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok.140

136

Ibid., hlm. 26. 137

Ibid., hlm. 215. 138

Ibid., hlm. 88. 139

Ibid., hlm. 20. 140

Ibid., hlm. 180.

Page 148: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

138

Setelah satu jam kapal berlayar, dia kembali tegak ke tepi

dek, melihat lampu-lampu yang berkelap-kelip di

pelabuhan dan bayangannya yang bagai disemaikan di

dalam lautan yang luas itu.141

(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 240)

Sekuen No.63/2:47:51

13. Pesawat

Pesawat adalah kendaraan yang mampu terbang di atmosfer

atau udara. Kemunculan pesawat pada awal abad kedua puluh

menjadi saingan bagi kapal pada saat itu. Pesawat hadir sebagai

kendaraan yang dapat menempuh antar provinsi hanya dalam

hitungan jam saja.

Pesawat Droiner yang dikirim oleh Marine dari Surabaya

telah melihat banyak sekali orang yang tenggelam.142

f. Bahasa

Sebagian besar bahasa yang digunakan oleh Hamka dalam

novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu bahasa

Minangkabau yang dipadukan bahasa Melayu kental. Perpaduan

kedua bahasa tersebut digunakan oleh Hamka untuk membangun

latar cerita sekaligus mengenalkan tradisi budaya Minangkabau

kepada pembaca. Temuan bahasa Minang tersebut yaitu berupa

kata dan kalimat.

Berikut merupakan beberapa temuan bahasa Minang yang

berupa kata.

1) Destar (ikat kepala, terbuat dari kain batik berbentuk

segitiga)

141

Ibid., hlm. 240. 142

Ibid., hlm. 249.

Page 149: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

139

Dia tak pernah memakai destar lagi, melainkan

memakai kopiah padang yang amat disukainya…143

2) Lenso (sapu tangan)

…Hanya lenso saja yang tak berhenti dikibarkan orang,

baik dari darat atau dari laut.144

3) Bako (keluarga dari pihak ayah)

Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang

laksana kejatuhan bintang dari langit…145

4) Bergonjong (bubungan rumah Minangkabau, berbentuk

lancip)

…Menurut bentuk adat istiadat Minangkabau,

bergonjong empat…146

(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 25)

5) Regen (bupati)

…Agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di

Batipuh…

6) Mamak dan Kemenakan (paman dan keponakan dari ibu)

Masjid pun kehendak dari mamak yang tua-tua hendak

menahan juga anak kemanakan yang perempuan

menuntut ilmu…147

7) Mande (bibi)

…Seorang anak muda “orang jauh”, orang Bugis dan

Mengkasar, menumpang di rumah bakonya, Mande

Jamilah.148

8) Encik (kata sapaan untuk perempuan yang tidak dikenal)

“Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh,

marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar

akan pulang.”149

143

Ibid., hlm. 12-13. 144

Ibid., hlm. 20. 145

Ibid., hlm. 22. 146

Ibid., hlm. 25. 147

Ibid. 148

Ibid., hlm. 26. 149

Ibid., hlm. 28.

Page 150: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

140

9) Lepau (warung kecil)

“Janganlah ditolak pertolongan itu,” kata orang lepau

dengan tiba-tiba.150

10) Datuk (gelar kehormatan bagi orang yang dituakan)

Hayati merasa tersindir. Ia ingat suratnya. Dan Datuk

… menjawab…151

11) Limbat (ikan air tawar bersirip insang yang tajam dan

berbisa)

Percuma, percuma meminta sisik kepada limbat …152

12) Perlop (cuti)

Seorang anak laki-laki yang gagah dan tangkas pula,

yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari

lamanya.153

13) Berpentalon (memakai celana panjang)

Bersarung, padahal orang muda yang lain

berpentalon.154

14) Dokoh (hiasan kalung)

Laki-laki pada pemandangan perempuan adalah laksana

dokoh emas yang tergelung di lehernya…155

15) Oto (kereta yang dijalankan dengan motor atau mobil)

Suara oto tidak terdengar lagi dan pacu kuda sudah

lama usai…156

16) Senteng (pendek)

…Kain sarungnya yang senteng di muka sedikit dan

selop yang tinggi tumitnya.157

150

Ibid. 151

Ibid., hlm. 34. 152

Ibid., hlm. 66. 153

Ibid., hlm. 87. 154

Ibid., hlm. 91. 155

Ibid., hlm. 94. 156

Ibid., hlm. 110. 157

Ibid., hlm. 111.

Page 151: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

141

17) Bintalak (batas sebidang ladang dengan ladang yang lain)

Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang,

sawahnya yang berbintalak…158

18) Kadi (hakim yang mengadili perkara)

Sebelum makan dan minum, ijab kabul pun dilakukan

di muka kadi.159

19) Kemusykilan (hal yang sulit)

Tetapi, kekerasan permintaan dokter telah

menghilangkan segala kemusykilan.160

20) Loper (pengantar koran)

…Datanglah seorang loper mengantarkan surat

undangan…161

21) Rangkayo (panggilan kehormatan untuk perempuan yang

sudah menikah)

“Sekarang saya kenalkan Tuan-tuan kepada sahabat

saya Aziz dan isrtrinya Rangkayo Hayati, dari Padang

Panjang,”…162

22) Masygul (sedih, murung)

“Mengapa sejak saya di sini dia bagai orang ketakutan

saja? Adakah kedatangan saya memberatinya?” Tanya

Hayati dengan masygul.163

23) Regas (potong)

…”Maaf? Kau regas, segenap pucuk pengharapanku

kau patahkan, kau minta maaf?”164

158

Ibid., hlm. 126. 159

Ibid., hlm. 165. 160

Ibid., hlm. 167. 161

Ibid., hlm. 193. 162

Ibid., hlm. 197. 163

Ibid., hlm. 218. 164

Ibid., hlm. 231.

Page 152: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

142

24) Pagina (halaman)

Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah

bertemu perkabaran “KAPAL VAN DER WIJCK

TENGGELAM”.165

25) Maesan (bentuk tidak baku dari nisan)

Seketika akan pulang, dihadapinya maesan pusara itu

seraya berkata…166

Masih banyak lagi kata berbahasa Minang yang ditemukan

dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hanya saja tidak

penulis cantumkan karena terlalu banyak. Selanjutnya, temuan

bahasa Minang juga teridentifikasi berupa kalimat-kalimat berikut:

1) Nan sehasta, nan sejengkal, dan nan setampok sebuah jari.

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minang yang memiliki makna sekecil-kecilnya

kemungkinan.

Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia

diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya yang

menghalangi, bahkan pihak kemenakan-kemenakan

yang jauh, terutama pihak yang perempuan sangat

menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke

tangan mereka, menurut hukum adat: “Nan sehasta, nan

sejengkal, dan setampok sebuah jari.167

Dalam konteks ini, terdapat adat di Minangkabau yang

mengatur pembagian warisan. Peran laki-laki hanya

mengawasi harta warisan yang ada. Sementara yang berhak

mewarisi adalah anak perempuan, sesuai dengan sistem

kekerabatan masyarakat Minangkabau. Pandekar Sutan

merupakan anak tunggal, oleh karena itu harta peninggalan

ibunya harus jatuh ke tangan Mamaknya serta pihak

kemenakan perempuan yang lain. Sangat kecil

165

Ibid., hlm. 249. 166

Ibid., hlm. 258. 167

Ibid., hlm. 5.

Page 153: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

143

kemungkinan bagi Pandekar Sutan untuk merebut harta

warisan tersebut.

2) Hereng dengan gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan

melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak lapuk di

hujan, nan tidak lekang dipanas, jalan raya titian batu, nan

sebaris tidak hilang dan sehuruf tidak lupa.

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minang yang memiliki makna bahwa adat istiadat

Minangkabau yang kekal dan turun-temurun harus dipatuhi

sebagai landasan permusyawaratan dalam menentukan

keputusan diterima atau tidaknya sebuah peminangan.

Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah ada

orang yang meminta buat menjadi pasangannya. Yaitu

orang dari sebelah ke ujung (sebelah Padang Panjang,

dan sebelah Batipuh; Gunung dan lain-lain disebut

puhun). Namanya Aziz, anak dari Sutan Mantari,

seorang yang termahsyur dan berpangkat semasa

hidupnya. Karena menurut adat yang biasa, tentu kita

kaji lebih dahulu, hereng dengan gendeng, ribut nan

mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan

lembaga, yang tidak lapuk di hujan, nan tidak lekang

dipanas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang

dan sehuruf tidak lupa.”168

Dalam konteks ini, terdapat adat di Minangkabau yang

mengatur perihal menerima pinangan. Perlu ditelusuri

bagaimana asal-usulnya serta seberapa besar kekayaannya

sebelum menentukan pilihan. Kalimat tersebut dituturkan

oleh Datuk yang merupakan penghulu adat sekaligus

mamak dari Hayati. Terdapat dua pilihan, yakni Aziz dan

Zainuddin. Setelah mengkaji keduanya berdasarkan adat

istiadat Minangkabau, pinangan Azizlah yang diterima.

168

Ibid., hlm. 126.

Page 154: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

144

3) Pinang di bawah sirih di atas.

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minang, artinya yaitu lamaran yang sah dalam

budaya Minangkabau.

“Pinang di bawah sirih di atas,” namanya. Kalau

diterima menjadi tunangan, tandanya ialah keris.

Penjeput marapulainya, ialah keris, pedang bersentak,

tombak berambut dan memakai pesemandan, yaitu

pengiring.169

Dalam konteks ini, terdapat adat di Minangkabau yang

mengatur perihal lamaran yang sah. Melalui kalimat

tersebut dapat kita ketahui bahwa lamaran yang sah

menurut adat Minangkabau yaitu adanya keris, pedang

bersentak, tombak berambut, dan iring-iringan oleh

pengiring.

4) Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke

dagu, sama berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari.

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minangkabau yang menyatakan perihal keselarasan,

kesetaraan, kesepadanan, dan keserasian antara satu dengan

yang lainnya.

Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat

mufakat hendak menerima Aziz. Karena menurut

pepatah : “Ruas telah bertemu dengan buku, bagai

janggut pulang ke dagu, sama berbangsa keduanya,

satu bulan satu matahari.”

Dapat diidentifikasi bahwa pada awal abad ke dua

puluh di Minangkabau, terdapat adat istiadat yang melarang

wanita bangsawan menikah dengan seorang laki-laki biasa,

apalagi lapisan terendah. Laki-laki tersebut haruslah berasal

dari lapisan sosial yang sama, selaras dan setara dengan

169

Ibid., hlm. 127.

Page 155: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

145

lapisan sosial wanita tersebut. Dalam konteks ini, mufakat

hampir dicapai oleh pihak Hayati, yaitu menerima pinangan

dari Aziz lantaran Aziz berada di lapisan sosial yang sama,

selaras, dan setara dengan Hayati (lapisan bangsawan).

5) Mengubah cupak nan usali.

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minangkabau yang menyatakan perihal sebuah

peringatan untuk tidak melanggar adat yang sudah ada

sejak dahulu kala, yang sudah diwariskan secara turun-

temurun.

“Lebih baik dia mati saja, senang kita; daripada dia

memberi malu ninik mamak, merusak adat dan

lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa guna dia

hidup kalau akan mencorengkan arang di kening dan

menggoreskan malu di muka kita?”170

Dialog tersebut menunjukkan bahwa hingga pada abad

ke dua puluh, adat di Minangkabau yang mengatur perihal

menerima sebuah pinangan masih berlaku. Adat tersebut

sudah ada sejak dahulu, dari generasi ke generasi. Dalam

konteks ini, dialog tersebut dituturkan Datuk saat diberitahu

oleh yang lain bahwa cinta Hayati masih lekat kepada

Zainuddin, orang Mengkasar itu. Lantas Datuk

mengeluarkan sebuah peringatan yang ditujukan kepada

ninik mamak yang lain dan kepada Hayati untuk tidak

menerima pinangan Zainuddin karena hal tersebut

melanggar adat Minangkabau yang sudah ada sejak dahulu

dan diwariskan secara turun-temurun.

6) Mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik dan

buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat

duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari yang akan elok.

170

Ibid., hlm. 128.

Page 156: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

146

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minangkabau yang menyatakan bahwa hendaknya

bermusyawarah terlebih dahulu sebelum hendak

mengambil keputusan.

Dia memulai. “Hayati! … inilah, yang duduk ini

mamak dan ninikmu, lindungan persukuanmu, yang

mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik

dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering

tempat duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari

yang akan elok…”171

Dialog tersebut menunjukkan bahwa menurut adat

Minangkabau, harus diadakan musyawarah terlebih dahulu

sebelum hendak mengambil keputusan. Dalam konteks ini,

dialog tersebut dituturkan Datuk saat hendak memberitahu

Hayati mufakat apa yang sudah dicapai dari hasil

musyawarah bersama ninik dan mamak perihal lamaran

yang datang dari Aziz dan Zainuddin.

7) Pinang akan disurutkannya ke tampuk, sirih akan

dipulangkannya ke gagang.

Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam

bahasa Minangkabau yang artinya mengembalikan sesuatu

ke asalnya semula.

Hayati! Berhentilah lakon kesedihanmu hingga ini!

Ketahuilah bahwa suami kau Aziz telah insaf akan

salahnya. Dan keinsafan itu akan ditebusnya. Pinang

akan disurutkannya ke tampuk, sirih akan

dipulangkannya ke gagang.172

Dalam konteks ini, dialog tersebut merupakan sebuah

isi surat yang ditulis Aziz. Surat tersebut ditujukan untuk

Hayati sebelum Aziz bunuh diri. Aziz telah mematahkan

pengharapan Zainuddin dan Hayati menggunakan uang dan

171

Ibid., hlm. 130. 172

Ibid., hlm 227.

Page 157: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

147

kedudukan yang ia miliki, melukai perjalanan hidup

Zainuddin. Maka makna yang dapat teridentifikasi yakni

Aziz hendak mengembalikan Hayati kepada Zainuddin.

Setelah mengalami proses ekranisasi, terjadi penciutan pada

unsur bahasa. Hanya sedikit saja dari banyaknya temuan bahasa

Minangkabau pada novel yang turut ditampilkan sutradara dalam

filmnya. Temuan-temuan tersebut terdapat pada sekuen nomor 17,

sekuen nomor 3, sekuen nomor 6, sekuen nomor 16, sekuen nomor

53, dan sekuen nomor 32. Seperti yang telah penulis uraikan pada

bagian sebelumnya, penulis skenario memilih untuk menggunakan

gaya bahasa yang lebih sesuai dengan jaman pembuatan film, agar

dapat dengan mudah dipahami oleh penonton. Namun para pemain

cukup lihai berdialog menggunakan dialek Minangkabau sehingga

tetap memberikan kesan warna lokal Minangkabau.

g. Kesenian

Kesenian yang dapat diidentifikasi pada cerita ini adalah seni

suara dan seni drama. Seni suara yang ditemukan yaitu berupa lagu

dan alat instrumental. Lagu yang teridentifikasi yaitu lagu Buah

Anak cara serantih yang merupakan lagu khas Minangkabau.

sementara alat instrumental yang teridentifikasi yaitu berupa biola.

Kerap kali dia menengadahkan matanya ke langit sambil

membuaikan engkau di waktu engkau kecil, dibuaikannya

dengan lagu Buai Anak cara serantih, yang meskipun Mamak

tak pandai bahasa Padang, bulu roma Mamak sendiri berdiri

mendengarnya.173

Malam dia pergi kepada seorang sersan pension di Guguk

Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang

diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramai-ramai.

Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan

perasaan.174

173

Ibid., hlm. 13. 174

Ibid., hlm. 83.

Page 158: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

148

Selain seni suara, seni drama juga turut muncul dalam

cerita ini. Pada saat itu belum ada istilah drama, melainkan

tonil. Tonil merupakan sandiwara atau teater di zaman

penjajahan Belanda.

Kami ambillah peluang ini, yakni nanti malam di Klub

akan dipertunjukkan suatu cerita tonil terdiri dari lima

babak, karangan pujangga muda kita...175

Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara tidak

menghadirkan seni suara sebagai salah satu wujud warna lokal

Minangkabau. Sementara itu, seni drama tetap dihadirkan oleh

sutradara. Menariknya lagi, terjadi penambahan pada filmnya,

yaitu munculnya seni tari pada sekuen nomor 35. Tari yang

ditampilkan oleh sutradara pada film yaitu tari Pasambahan.

Tari ini berasal dari Minangkabau yang berfungsi sebagai

ucapan selamat datang dan ungkapan rasa hormat kepada tamu

yang datang. Tari ini biasanya ditampilkan saat menyambut

tamu dan saat kedatangan pengantin pria ke rumah pengantin

wanita.

Berdasarkan analisis penulis terkait unsur intrinsik serta

perbandingan warna lokal antara novel dan film Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck, dapat penulis simpulkan perihal gagasan dibalik

ekranisasi yang dilakukan oleh Soraya Intercine Films. Motif

ekranisasi ini yaitu hanya untuk keperluan pasar saja, mengingat saat

ini banyak novel-novel Indonesia yang mengalami ekranisasi. Hal

tersebut dapat dilihat dari aspek ekranisasi yang banyak digunakan

oleh sutradara yaitu penciutan dan perubahan bervariasi. Sangat jarang

ditemukan adanya penambahan. Peran masing-masing tokoh yang

terkesan mengalir saja mengikuti naskah serta dihilangkannya latar

historis yang berkaitan langsung dengan budaya Minangkabau

semakin menguatkan motif tersebut. Akibatnya, tidak heran bila terjadi

175

Ibid., hlm. 194.

Page 159: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

149

pendangkalan tradisi beserta latar historis setelah mengalami proses

ekranisasi, mengingat sebagian besar penonton dari film ini adalah

masyarakat kontemporer.

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

Sekolah

Berdasarkan tujuan pembelajaran sastra yang telah diungkapkan pada bab

sebelumnya, melalui pembelajaran sastra diharapkan agar siswa mampu

mengapresiasi karya sastra serta mampu mengembangkan kepekaan siswa

dalam memahami karya sastra. Pada hakikatnya, pembelajaran apresiasi sastra

turut berperan penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu

dibuktikan dengan hadirnya apresiasi sastra sebagai materi pembelajaran yang

harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar hingga sekolah lanjutan

tingkat atas dalam kurikulum 1968 hingga saat ini (kurikulum 2013).

Perkembangan pendidikan di Indonesia kini semakin maju seiring dengan

kemajuan jaman. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan kurikulum

pendidikan yang dapat mengikuti arus jaman. Kurikulum yang saat ini terus

dikembangkan ialah kurikulum 2013. Kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan

sebagai salah satu bahan pembelajaran tambahan bagi siswa. Jadi, sumber

materi yang didapat oleh siswa tidak hanya berasal dari buku dan guru.

Dengan pemanfaatan kemajuan teknologi tersebut, proses pembelajaran tidak

akan menjenuhkan, siswa juga dapat belajar lebih aktif dan mandiri.

Guru bahasa dan sastra Indonesia harus memberikan materi ajar yang

sesuai dengan kebutuhan siswanya. Selain itu, guru harus pintar memilih

karya sastra sebagai materi ajar. Pemilihan karya sastra sebagai materi ajar

harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan disesuaikan dengan kurikulum

yang berlaku. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka

dapat menjadi acuan pembelajaran karena novel ini sarat akan nilai-nilai

budaya. Adapun sasaran yang tepat untuk membedah novel ini adalah tingkat

Page 160: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

150

SMA, di mana pada tahap usia ini, siswa telah dapat memahami persoalan-

persoalan sosial dan mampu berpikir kritis.

Analisis perbandingan warna lokal novel dan film ekranisasi ini dapat

diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah,

seperti yang telah terlampir pada RPP. Sesuai dengan kompetensi dasar yang

terlampir yaitu memahami proses ekranisasi dalam karya sastra, diharapkan

siswa dapat menganalisis perbandingan sebuah novel dengan film

ekranisasinya. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat

menganalisis warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan

juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa dengan

memanfaatkan media audiovisual. Siswa dapat memahami lebih dalam

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan warna lokal, tidak hanya sebatas

definisi yang mereka ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan

berdampak jangka panjang bagi siswa. Hal ini penting, mengingat kurikulum

2013 menekankan siswa untuk lebih aktif di dalam kelas, sedangkan guru

hanya berperan sebagai fasilitator.

Proses analisis karya sastra dengan menggunakan dua media yang berbeda

dapat mengembangkan keterampilan berbahasa siswa. Kendala yang sering

dihadapi oleh guru adalah kurang kondusifnya suasana kelas sehingga

keterampilan menyimak dan mendengarkan pada siswa menjadi minim.

Dengan adanya kendala tersebut, penggunaan media audiovisual menjadi

perlu untuk diterapkan pada kegiatan pembelajaran. Selain keterampilan

membaca, keterampilan menyimak dan mendengarkan juga dapat dikuasai

siswa.

Penerapan pembelajaran analisis perbandingan warna lokal ini

menghadirkan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai materi

pembelajaran. Dengan menganalisis unsur intrinsik serta wujud warna lokal

dalam novel, guru diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada siswa

nilai-nilai sosial dan budaya yang hendak disampaikan Hamka dalam

Page 161: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

151

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Setelah pembelajaran usai diharapkan

siswa mendapatkan informasi baru mengenai wujud warna lokal pada dua

media yang berbeda.

Page 162: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

152

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Analisis perbandingan warna lokal pada novel dan film Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan dapat disimpulkan,

bahwa terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah

proses ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan

perubahan variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di

dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan

variasi banyak ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur

warna lokal yang paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

yaitu unsur sosial Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan

perubahan apapun saat proses ekranisasi.

2. Implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Implikasi analisis perbandingan warna lokal pada dua media yang berbeda

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah disesuaikan

dengan kurikulum 2013. Berdasarkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi

Dasar (KD) kurikulum 2013 yaitu memahami proses alih wahana dalam karya

sastra, diharapkan siswa dapat menganalisis perbandingan sebuah novel

dengan film ekranisasinya. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat

menganalisis warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan

juga film. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan warna lokal, tidak hanya sebatas definisi yang mereka

ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang

bagi siswa. Setelah pembelajaran usai diharapkan siswa mendapatkan

informasi baru mengenai wujud warna lokal pada dua media yang berbeda.

Page 163: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

153

B. Saran

Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, maka beberapa saran

penulis yaitu:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian

selanjutnya terhadap karya sastra sejenis maupun dengan genre yang berbeda.

Penelitian karya sastra lain, di samping analisis perbandingan warna lokal

pada novel dan film akan memberikan suatu pengetahuan baru dan cara

pemahaman baru terhadap karya sastra secara objektif.

2. Analisis warna lokal dapat dipilih oleh guru untuk dijadikan sebagai materi

baru dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XII. Khususnya mengenai

pengenalan-pengenalan lingkungan fisik, unsur sosial, dan unsur budaya lokal

untuk membentuk karakter siswa dalam menghargai budaya bangsa.

3. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka dapat

dijadikan bahan bacaan siswa. Selain mengoptimalkan keterampilan

berbahasa, membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya

Hamka akan meningkatkan pengetahuan budaya siswa.

Page 164: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

154

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan

Sastra. Malang: YA 3. 1990.

Anonim. “HB JASSIN: HAMKA.” Amanah, 31 Juli 1986.

Anspek. “HAMKA, Sumur Yang Tak Pernah Kering.” Haluan Minggu, 23

September 1990.

Bahtiar, Ahmad. “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan

Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan.” Artikel diakses

pada 24 September 2017 dari http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-

content/uploads/81/2017/01/15 .

Barir, Muhammad. “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran.”

Studi Ilmu-Ilmu al-Qura‟n dan Hadits XV, no. 1 (Januari 2014).

Basrowi. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

2005.

Chaniago, Raflis. “H.B. Jassin Membela Hamka.” Singgalang. 4 Juni 1990.

Chatum. “Syubbanul Yaum Rijalul Ghad: Pemuda Kini, Tokoh Masa Depan.”

Risalah Islamiyah, t.t.

Effendy, Rony. “Buya Hamka” Singgalang KMS. 25 Agustus 1987.

Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.

2016.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:

Bukupop. 2011.

Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores : Nusa Indah. 1991.

Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit

Angkasa. 2013.

Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rita. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta : CV

Andi Offset. 2016.

Kandioh, Frangky Benjamin, dkk. “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial

dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan

Tombulu Kabupaten Minahasa.” Society XXI, (Maret-April 2016).

Kasim, Razali. Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode. Medan: USU

Press. 1996.

Page 165: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

155

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

2010.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005.

Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:

Graha Ilmu. 2012.

Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia.”

Artikel diakses pada 12 April 2019 dari

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/ .

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2012.

Pratista, Himawan. Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka. 2009.

Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:

Bumi Aksara. 2010.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2009.

-----.Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2010.

-----Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2004.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers. 2017.

Soerjani, Moh., dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam

Pembangunan. Jakarta: UI-Press. 1987.

SP. “Prof. Dr. Hamka.” Haluan, 19 Februari 1989.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Grasindo. 1996.

Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012.

Syatriadin. “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan.” JISIP I, no.2 (November

2017).

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka. 2002

Page 166: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

156

Uniawati. “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen

„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra.” Kandai XII, no. 1 ( Mei

2016).

Zaini, Azkarmin, “Buya Hamka.” Kompas. 10 Agustus 1980.

Page 167: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Sinopsis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Zainuddin kecil hidup bersama bujangnya, Mak Base. Ia telah menjadi

anak yatim piatu sejak usianya 9 bulan. Setelah tumbuh dewasa, Zainuddin

pergi ke desa Batipuh di Padang untuk menuntut ilmu di sana sekaligus

mencari keluarga ayahnya. Desa Batipuh telah mempertemukan Zainuddin

dengan Hayati, sang bunga desa dari Batipuh. Seiring berjalannya waktu,

hubungan keduanya tersiar ke seluruh penjuru desa. Keluarga Hayati yang tak

terima atas hubungan tersebut lantas meminta Zainuddin segera pergi

meninggalkan desa Batipuh.

Hingga pada suatu hari masuklah Aziz dalam kehidupan Hayati.

Pinangan dari Aziz datang bersamaan dengan pinangan dari Zainuddin.

Lantaran Zainuddin hanyalah seorang anak pisang yang tak bersuku dan

beradat, terjadilah pernikahan antara Aziz dan Hayati. Hancurlah Zainuddin.

Namun kehancuran tersebut justru membawanya pada keberuntungan nasib.

Zainuddin tersohor di mana-mana sebagai pengarang, hartanya berlimpah.

Aziz yang jatuh bangkrut menumpang hidup bersama Hayati di rumah

Zainuddin. Hingga pada akhirnya Aziz menjatuhkan talak pada Hayati lewat

surat, lalu bunuh diri.

Sepeninggal Aziz, Hayati memohon pada Zainuddin untuk

memaafkan semua kesalahannya. Siapa sangka, Zainuddin malah mengusir

Hayati dari rumahnya. Dengan hati yang pedih, pulanglah Hayati ke desa

Batipuh menaiki kapal Van Der Wijck. Dalam perjalanannya, kapal tersebut

karam. Bersamaan dengan karamnya kapal tersebut, karamlah kesedihan

Hayati akan Zainuddin. Dengan penuh penyesalan dan kesedihan akan

kepergian Hayati, meninggal pula Zainuddin dalam sakitnya.

Page 168: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Sekuen Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

No. Durasi Frame Adegan

1. 00:29 – 01:06

Cerita dibuka oleh

Zainuddin yang berperan

sebagai narator. Narator

mengungkapkan bahwa

dirinya seorang yatim piatu.

2. 02:04 – 03:11

Zainuddin pamit kepada

Mak Base. Dia ingin pergi

ke tanah kelahiran ayahnya

(Padang) demi memenuhi

cita-cita ayah dan bundanya.

3. 03:58 – 06:41

Zainuddin tiba di Padang,

tepatnya di desa Batipuh.

Setibanya di sana, ia

langsung menuju rumah

Mande Jamilah (keluarga

dari ayahnya) untuk

menumpang hidup di sana.

4. 06:54 – 10:58

Zainuddin berkeliling desa

Batipuh bersama Mak Ipih

(suami Mande Jamilah). Di

tengah perjalanan ia bertemu

dengan Hayati.

Diceritakanlah asal-usul

Hayati oleh Mak Ipih.

5. 08:46 – 10:57

Mak Ipih menunjukkan

rumah Hayati kepada

Zainuddin. Sementara di

balik jendela rumahnya,

Hayati sembunyi-sembunyi

memandang Zainuddin. Mak

Tangah yang mengetahui hal

tersebut langsung

memperingati Hayati bahwa

sebaiknya tidak menaruh

perasaan apa-apa pada

Zainuddin lantaran

Zainuddin adalah anak

pisang.

Sepulang mengaji,

Zainuddin bertemu Hayati

yang sedang berteduh

Page 169: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

6.

11:06 – 13:56

bersama temannya karena

hujan deras malam itu.

Zainuddin meminjamkan

payung kepada Hayati agar

Hayati bisa segera pulang ke

rumah.

7. 14:18 – 15:20

Zainuddin menerima payung

sekaligus surat dari Hayati

yang dititipkan pada adik

Hayati. Isi surat tersebut

adalah ucapan terima kasih

Hayati atas kebaikan

Zainuddin.

8. 15:21 – 15:45

Zainuddin dan Mande

Jamilah memakan rendang

buatan Hayati.

9. 15:46 – 17:01

Zainuddin menunggu Hayati

di tengah Jalan. Setelah

bertemu, Zainuddin

memberikan Hayati sebuah

surat balasan. Di dalam surat

tersebut Zainuddin meminta

Hayati untuk menjadi

sahabatnya, lantaran di

Batipuh dia tidak memiliki

keluarga dan kerabat untuk

berkeluh kesah.

10. 17:02 – 17:27

Zainuddin ingin bergabung

bersama beberapa pemuda

yang tengah berbincang di

surau. Namun ia tidak

diperbolehkan bergabung

lantaran ia bukan orang

Minang.

11. 17:30 – 19:36

Zainuddin duduk di pinggir

danau sambil menulis

hikayat. Dari kejauhan,

Hayati dan temannya

melihat Zainuddin.

Zainuddin yang hendak

pulang melihat Hayati,

sehingga mereka

berbincang-bincang.

Page 170: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

12. 19:44 – 19:53

Zainuddin menulis surat

untuk Hayati. Di dalam surat

tersebut Zainuddin

mengutarakan perasaan

cintanya pada Hayati.

13. 20:09 – 22:19

Khadjah (sahabat Hayati)

datang ke rumah Hayati

untuk menginap atas

permintaan Hayati lewat

surat. Di kamar, Hayati

mengutarakan perasaanya

terhadap Zainuddin kepada

Khodijah.

14. 22:21 – 23:00

Zainuddin tidak sengaja

bertemu dan berbincang

dengan Hayati di pinggir

danau. Dari kejauhan, Datuk

yang sedang menaiki delman

melihat mereka berdua.

15. 23:01 – 23:58

Hayati dan Khadijah tengah

membicarakan Zainuddin di

kamar. Tiba-tiba mereka

dikejutkan oleh Datuk yang

tengah membentak Mak

Tangah. Datuk marah

lantaran melihat dan

mendengar kedekatan Hayati

dan Zainuddin.

16. 24:00 – 24:31

Datuk dan dua penasihatnya

berdebat masalah Zainuddin.

17. 24:37 – 27:26

Datuk meminta Zainuddin

datang ke rumahnya. Di

sana, Datuk membicarakan

masalah hubungan

Zainuddin dan Hayati. Datuk

melarang kedekatan mereka

karena Zainuddin tidak

Page 171: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

bersuku dan beradat.

Akhirnya, datuk meminta

Zainuddin melupakan Hayati

dan meninggalkan Batipuh.

18. 27:44 – 30:06

Datuk memberitahu Hayati

bahwa dirinya sudah

menyuruh Zainuddin untuk

meninggalkan Batipuh dan

pergi ke Padang Panjang.

Hayati sangat terpukul atas

kabar tersebut.

19. 30:08 – 30:40

Zainuddin pamit pada

Mande Jamilah dan Mak

Ipih untuk meninggalkan

Batipuh. Mande Jamilah

meyuruh Zainuddin untuk

segera menemui Angku

Labay (guru agama) jika

sudah sampai di Padang

Panjang.

20. 30:43 – 37:36

Hayati menemui Zainuddin

di sebuah bukit, perbatasan

antara desa Batipuh dan

Padang Panjang. Mereka

saling menguatkan satu

sama lain. Hayati berjanji

akan menjaga kesuciannya

untuk Zainuddin hingga

mereka bertemu kembali.

Sebagai azimat, Hayati

memberikan selendangnya

pada Zainuddin.

21. 37:56 – 39:50

Zainuddin tiba di rumah

Mande Ana dan menumpang

hidup di sana. Zainuddin

berkenalan dengan Muluk,

anak dari Mande Ana yang

dijuluki sebagai Parewa.

22. 39:51 – 40:48

Hayati dan Khadijah

berbincang di kamar.

Khadijah mengajak Hayati

untuk menginap di

rumahnya di Padang

Panjang karena sebentar lagi

di sana akan ada pasar

malam dan pacuan kuda.

Page 172: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

23. 40:54 – 41:08

Hayati berangkat ke Padang

Panjang bersama Mak

Tangah untuk menginap di

rumah Khadijah.

Sebelumnya, Hayati sudah

memberitahu Zainuddin

lewat surat bahwa dirinya

akan ke Padang Panjang

selama 10 hari dan berharap

dapat bertemu Zainuddin di

pacuan kuda dan pasar

malam.

24. 43:22 – 43:44

Zainuddin dan Muluk pergi

ke tukang cukur untuk

memangkas rambut

Zainuddin. Tapi dia tidak

jadi mencukur karena

uangnya tidak cukup

banyak.

25. 41:42 – 45:17

Hayati tiba di rumah

Khadijah. Ia disambut oleh

Ibunya Khadijah, juga oleh

tunangannya Khadijah.

Disusul oleh Aziz yang baru

tiba di rumah, Khadijah

langsung mengenalkan

kakaknya tersebut pada

Khadijah. Aziz terpukau

oleh kecantikan Hayati.

26. 45:19 – 46:12

Muluk memangkas rambut

Zainuddin.

27. 47:10 – 50:29

Hayati bersolek sebelum

berangkat ke pacuan kuda.

Khadijah kaget melihat

pakaian yang dikenakan

Hayati karena seperti mau

pergi ke pengajian.

Hayati, Khadijah, Aziz, dan

teman-temannya berangkat

menuju pacuan kuda.

Sesampainya di sana,

Page 173: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

28.

50:55 – 57:17

Zainuddin melihat Hayati

dan menghampirinya.

Namun mereka berdua tidak

sempat berbincang lantaran

Hayati diajak pergi oleh

Aziz dan Khadijah.

29. 57:42 – 1:00:13

Hayati menerima surat dari

Zainuddin yang mengeluh

setelah melihat pakaian yang

dikenakan Hayati di pacuan

kuda. Khadijah yang

membaca surat tersebut

langsung memengaruhi

Hayati untuk tidak menuruti

keinginan Zainuddin.

30. 1:01:31-1:01:52

Setelah Hayati dan Mak

Tangah pulang, Aziz,

Khadijah serta ibunya

berencana untuk meminang

Hayati sebagai istri Aziz.

31. 1:02:00-1:04:09

Zainuddin menerima surat

dari Daeng Masiga, tetangga

Mak Base. Daeng Masiga

memberitahu bahwa Mak

Base telah wafat dan

dititipkan pula warisan

untuk Zainuddin dari orang

taunya dahulu.

32. 1:06:55-1:11:08

Ninik-Mamak Hayati

mengadakan musyawarah

atas pinangan Aziz, juga

pinangan Zainuddin lewat

sepucuk surat. Azizlah yang

diterima sebagai

pendamping hidup Hayati

karena Aziz jelas asal-usul

keluarganya.

33. 1:11:10-1:11:33

Zainuddin menerima surat

dari Datuk yang menyatakan

bahwa Datuk dan Ninik-

Mamak sepakat menolak

lamarannya dan menerima

lamaran dari Aziz.

Zainuddin langsung

Page 174: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

menyuruh Muluk untuk

mecari tahu siapa Aziz.

34. 1:13:07-

Zainuddin menulis surat

untuk Hayati sebagai

peringatan atas perkawinan

harta dan kecantikan Hayati

dan Aziz.

35. 1:13:26-1:20:01

Hayati dan keluarganya

tengah mempersiapkan

segala sesuatu menjelang

pernikahannya dengan Aziz.

Menikahlah mereka.

36. 1:20:08-1:26:37

Zainuddin sakit parah,

jiwanya terguncang. Atas

permintaan dokter, Hayati

dan Aziz datang menjenguk

Zainuddin.

37. 1:26:52-1:32:11

Muluk memberi semangat

untuk bngkit kembali kepada

Zainuddin. Selain itu, Muluk

menyuruh Zainuddin untuk

melajutkan karangannya.

Zainuddin tergerak untuk

melanjutkan karangannya.

Berangkatlah mereka berdua

merantau ke Tanah Jawa.

38. 1:32:12-1:34:56

Zainuddin dan Muluk tiba di

Batavia (Jakarta). Mereka

bertemu dengan Tuan

Iskandar, salah satu pemilik

perusahaan penerbitan yang

tertarik dengan hikayat yang

ditulis Zainuddin.

39. 1:35:06-1:35:49

Cuplikan tentang Hayati

yang ditinggal pergi Aziz ke

Padang dengan 7las an

urusan pekerjaan. Padahal di

sana Aziz berjudi dan main

perempuan.

40. 1:35:50-1:40:11

Karangan Zainuddin

semakin digemari pembaca,

semua buku Zainuddin

terjual. H. Kasim (Ayah

Sutan Iskandar) menawarkan

pada Zainuddin untuk

Page 175: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

mengurus perusahaan

penerbitan surat kabar di

Surabaya Miliknya.

41. 1:40:30-1:41:51

Zainuddin dan muluk pergi

ke Tailor untuk mengubah

penampilan Zainuddin.

42. 1:41:53-1:43:03

Laras berkunjung ke rumah

Hayati untuk memberikan

hikayat “Teroesir” karangan

“Z” yang sedang ramai

diperbincangkan.

43. 1:43:04-1:43:31

Cuplikan Zainuddin yang

tengah bekerja di perusahaan

penerbitan di Surabaya

44. 1:43:32-1:47:11

Hayati membaca hikayat

yang diberikan Laras hingga

tertidur. Tiba-tiba Aziz

pulang, tetapi Hayati

terlambat menyambut

kepulangannya.

Dimarahinya Hayati.

45. 1:47:12-1:47:31

Aziz dan Hayati pindah ke

Surabaya karena Aziz

dinaikkan pangkat dan

dipindahtugaskan ke

Surabaya.

46. 1:47:32-1:49:38

Zainuddin dan Muluk

menempati rumah yang baru

dibelinya.

47. 1:49:39-1:53:18

Aziz pulang dalam keadaan

Mabuk. Didapatinya Hayati

tengah tertidur sambil

menggenggam hikayat

“Teroesir”. Marahlah Aziz

Page 176: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

pada Hayati lantaran terlalu

sering baca buku hingga

lupa suami. Hayati hampir

dipukulnya.

48. 1:53:19-1:54:28

Zainuddin disambut oleh

klub “Anak Sumatera”.

Sekarang Zainuddin dikenal

sebagai “Tuan Shabir”.

49. 1:54:29-1:57:44

Cuplikan Aziz yang kalah

dalam berjudi. Aziz pulang

ke rumah. Diambilnya

perhiasan Hayati untuk

membayar hutang judinya.

Hayati berusaha mencegah

namun Aziz menamparnya.

50. 1:57:44-1:58:30

Anak “Klub Sumatera”

memberikan undangan pada

Zainuddin untuk menghadiri

opera “Teroesir” karangan

Zainuddin, persembahan

Anak Klub Sumatera.

51. 1:58:32-1:59:39

Aziz dan Hayati

mendapatkan undangan

opera “Teroesir”. Hayati

memohon pada Aziz untuk

membawanya ke sana. Aziz

menyetujuinya.

52. 1:59:40-2:02:02

Opera berlangsung. Jalan

cerita opera tersebut sama

persis dengan kejadian yang

dialami Zainuddin dan

Hayati. Setelah opera

selesai, diperkenalkanlah

Tuan Shabir di hadapan

seluruh penonton, termasuk

Aziz dan Hayati. Ternyata

Tuan Shabir yang dimaksud

adalah Zainuddin.

Berlangsunglah acara yang

sangat meriah di rumah

Zainuddin sebagai jamuan

terhadap penonton. Aziz,

Page 177: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

53.

2:02:03-2:08:00

Hayati, dan Zainuddin

dipertemukan. Timbullah

niat jahat Aziz untuk

memanfaatkan kekayaan

Zainuddin demi

menyelamatkan utang

judinya.

54. 2:08:00-2:08:45

Aziz pergi berjudi lagi

dengan menggunakan uang

pinjaman dari Zainuddin.

Hayati mencegahnya, namun

gagal.

55. 2:08:46-2:10:35

Muluk dan Zainuddin

berbincang tentang Aziz,

juga tentang perasaan

Zainuddin pada Hayati.

56. 2:10:36-2:12:58

Penagih hutang judi datang

ke rumah Aziz untuk

menagih hutang judi. Karena

tidak mampu membayar,

rumah beserta isinya disita

oleh si penagih hutang.

57. 2:12:59-2:23:33

Aziz dan Hayati tinggal di

rumah Zainuddin. Aziz

sempat sakit selama satu

minggu. Setelah sembuh,

Aziz pamit kepada

Zainuddin untuk mencari

pekerjaan di kota lain, dan

menitipkan Hayati di rumah

Zainuddin.

58. 2:23:34-2:29:48

Hayati dan Muluk berdebat

soal perasaan Hayati dan

Zainuddin. Muluk

mempersilakan Hayati

masuk ke ruang kerja

Zainuddin. Betapa

terkejutnya Hayati lantaran

di sana tergantung lukisan

yang ditutupi kain, ternyata

lukisan tersebut bergambar

Page 178: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

dirinya.

59. 2:30:30-2:33:41

Zainuddin memberikan surat

dari Aziz kepada Hayati.

Dalam surat tersebut Aziz

menceraikan Hayati dan

menyuruh Hayati untuk

melanjutkan hidupnya

bersama Zainuddin. Tidak

lama, beberapa orang datang

ke rumah Zainuddin

membawa koper dan barang-

barang milik Aziz serta

memberitahu bahwa Aziz

bunuh diri di kamar hotel

dengan menelan banyak obat

tidur.

60. 2:33:43-2:42:42

Hayati menemui Zainuddin.

Mereka berbincang dan

berdebat tentang perasaan

masing-masing. Hayati

hendak meminta maaf,

namun Zainuddin tidak

menerimanya. Zainuddin

malah menyuruh Hayati

pulang ke Batipuh dan

diberinya Hayati ongkos

untuk naik kapal Van Der

Wijck.

61. 2:43:16-2:48:24

Hayati pergi ke Pelabuhan

“Tandjoeng Perak” diantar

Muluk. Sesampainya di

sana, mereka saling berpisah

dengan firasat buruk yang

dirasakan Hayati. Sebelum

kapal berlayar, Hayati

menitipkan surat untuk

Zainuddin lewat Muluk.

62. 2:48:26-2:49:27

Zainuddin mengatakan pada

Muluk bahwa dia menyesal

telah memulangkan Hayati.

Muluk memberikan

Zainuddin surat yang

dititipkan Hayati padanya.

Dibacanya surat itu.

Page 179: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

63.

2:49:28-2:55:12

Kapal Van Der Wijck karam

di tengah laut. Semua

penumpang tenggelam,

termasuk Hayati. Zainuddin

yang mengetahui hal

tersebut di surat kabar

langsung berangkat ke

rumah sakit mencari Hayati.

64. 2:55:13-3:04:45

Sesampainya di rumah sakit,

Zainuddin dan Muluk

menemukan Hayati yang

tengah pingsan dengan

keadaan yang sangat kritis

menurut dokter. Setelah

sadar, Hayati sempat

berbicara kepada Zainuddin.

Tidak lama kemudian,

Hayati minta dibacakan dua

kalimat syahadat oleh

Zainuddin. Meninggallah ia.

Zainuddin jatuh pingsan.

65. 3:04:46-3:11:29

Zainuddin takziyah ke

makam Hayati. Zainuddin

tidak berlarut-larut dalam

kesedihannya. Ia kembali

melanjutkan hikayatnya

yang berjudul

“Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck” yang berisi kisah

nyata dirinya bersama

Hayati. Zainuddin membuat

rumahnya menjadi “Rumah

Yatim Piatu Hayati” yang

dihuni oleh banyak sekali

anak yatim piatu. Zainuddin

melanjutkan hidupnya.

Page 180: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas/Semester : XII/2

Materi Pokok/Topik : Ekranisasi Karya Sastra

(Alih Wahana Novel Menjadi Film)

Alokasi Waktu : 4 Pertemuan X 90 menit

A. Kompetensi Inti

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

2. Menghayati, mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli

(gotong royong, kerja sama, toleran, dan damai), santun, reponsif dan pro-

aktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai

permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam

pergaulan dunia.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,

prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,

teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan

kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian

yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan

masalah.

4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret(menggunakan,

mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak

(menulis, membaca,menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai

dengan yang dipelajari di sekolah dansumber lain yang sama dalam sudut

pandang/teori.

Page 181: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

B. Kompetensi Dasar

1. Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai

anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan

dan tulis.

2. Memiliki perilaku jujur, tanggung jawab, dan santun dalam menanggapi

secara pribadi hal-hal atau kejadian berdasarkan hasil observasi.

3. Menganalisis wujud warna lokal dalam karya sastra.

4. Menganalisis perbandingan novel dengan film ekranisasinya.

C. Indikator Pencapaian Kompetensi

1. Dapat menggunakan Bahasa Indonesia untuk sarana kegiatan belajar di

lingkungan sekolah dalam bentuk lisan maupun tulisan.

2. Dapat menganalisis unsur intrinsik novel.

3. Dapat menganalisis hakikat ekranisasi.

4. Dapat menganalisis wujud warna lokal meliputi lingkungan fisik, unsur

sosial, dan unsur budaya dalam novel dan film ekranisasinya.

5. Dapat menganalisis perbandingan warna lokal novel dengan film

ekranisasinya.

D. Tujuan Pembelajaran

1. Siswa dapat menggunakan Bahasa Indonesia untuk sarana kegiatan belajar

di lingkungan sekolah dalam bentuk lisan maupun tulisan.

2. Siswa dapat menganalisis unsur intrinsik novel.

3. Siswa dapat menganalisis hakikat ekranisasi.

4. Siswa dapat menganalisis wujud warna lokal meliputi lingkungan fisik,

unsur sosial, dan unsur budaya dalam novel dan film ekranisasinya.

5. Siswa dapat menganalisis perbandingan warna lokal novel dengan film

ekranisasinya.

E. Materi Pembelajaran

1. Teks novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka

Page 182: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

2. Unsur intrinsik novel.

3. Hakikat Ekranisasi.

4. Warna lokal.

F. Metode Pembelajaran

1. Diskusi

2. Tanya Jawab

3. Penugasan

G. Sumber Belajar

1. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka

2. Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck garapan Soraya Intercine Films

3. Buku Bahasa Indonesia kelas XII

4. KBBI

5. Internet

H. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran

Pertemuan I

KEGI-

ATAN

URAIAN KEGIATAN ALOKA-

SI

WAKTU

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Guru menyapa,

mengkondisikan kelas,

memeriksa kehadiran

siswa dan kesiapan

belajar siswa termasuk

kebersihan ruang belajar.

Guru mejelaskan tujuan

pembelajaran dan proses

pembelajaran secara

singkat.

Siswa mendengarkan,

menjawab sapaan, semua

siswa bertanggung jawab

menjaga kebersihan

kelas. Siswa melanjutkan

berdoa untuk memulai

pelajaran.

Siswa menyimak dan

menanyakan jika ada

penjelasan yang tidak

dimengerti.

Page 183: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Guru menjelaskan secara

garis besar materi

pembelajaran yang akan

dikaji, tujuan

pembelajaran, rambu-

rambu pembelajaran, dan

metode penilaian yang

akan diterapkan.

Guru menginformasikan

sumber belajar berupa;

novel, film, buku, KBBI,

dan internet.

Guru memberikan

motivasi tentang novel.

Guru menggali

pengetahuan siswa

dengan mengajukan

pertanyaan tentang apa

itu novel.

Siswa menyimak

penjelasan guru tentang

materi pembelajaran dan

mengajukan pertanyaan

untuk hal-hal yang belum

jelas.

Siswa menyiapkan buku

sumber dan sumber

belajar lainnya untuk

mencapai penguasaan

kompetensi religius,

sosial, pengetahuan, dan

keterampilan.

Siswa menyimak

motivasi yang

disampaikan guru untuk

menghantarkan

pemahaman kepada

materi pembelajaran.

Siswa menjawab pretes

dengan jujur untuk

mengkaji materi

pembelajaran.

15 Menit

I

N

T

Guru mengarahkan siswa

untuk mengamati literatur

tentang unsur intrinsik

novel.

Guru memfasilitasi siswa

melakukan tanya-jawab

(berdiskusi) sehubungan

dengan topik tersebut.

Guru memfasilitasi siswa

agar menggali informasi

dan mencatat mengenai

unsur intrinsik novel.

Siswa mengamati

literatur tentang unsur

intrinsik novel.

Siswa menanyakan dan

menjawab pertanyaan-

pertanyaan tentang hal-

hal yang berhubungan

dengan isi bacaan

Siswa mencoba untuk

mengeksplorasi dengan

cara mencatat dan

mengidentifikasi unsur

intrinsik novel.

60 menit

Page 184: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

I Guru menugaskan siswa

untuk membuat laporan

dan melaporkan hasil

pengamatan (eksplorasi).

Guru memberikan umpan

balik berdasarkan hasil

pemaparan siswa.

Siswa

mengomunikasikan

dengan cara memaparkan

hasil pengamatan dan

eksplorasi tentang unsur

intrinsik novel.

P

E

N

U

T

U

P

Memberikan penguatan

pada konsep-konsep

esensial yang meliputi

semua materi tentang

unsur intrinsik novel.

Mengajukan beberapa

pertanyaan singkat untuk

menguji pemahaman

siswa tentang konsep-

konsep yang dipelajari

dan perilaku apa saja

yang harus dijalankan

siswa sehubungan dengan

pencapaian kompetensi

dalam materi

pembelajaran tersebut.

Guru memberikan

kesimpulan dan evaluasi

pembelajaran

Menyimak penguatan

konsep yang disampaikan

guru serta mencatatnya di

buku catatan.

Menjawab secara cepat

pertanyaan guru

berkaitan dengan konsep-

konsep penting yang

telah dipahami dalam

kegiatan pembelajaran

inti (postes).

Siswa menyimak evaluasi

dan kesimpulan yang

dijelaskan guru.

15 menit

Pertemuan II

KEGI-

ATAN

URAIAN KEGIATAN ALOKA-

SI

WAKTU

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Guru menyapa,

mengkondisikan kelas,

memeriksa kehadiran

siswa dan kesiapan

belajar siswa termasuk

kebersihan ruang belajar.

Siswa mendengarkan,

menjawab sapaan, semua

siswa bertanggung jawab

menjaga kebersihan

kelas. Siswa melanjutkan

berdoa untuk memulai

Page 185: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Guru meminta siswa

merefleksi hasil

pertemuan sebelumnya.

Guru mejelaskan tujuan

pembelajaran dan proses

pembelajaran secara

singkat.

Guru menjelaskan secara

garis besar materi

pembelajaran yang akan

dikaji, tujuan

pembelajaran, rambu-

rambu pembelajaran, dan

metode penilaian yang

akan diterapkan.

Guru menginformasikan

sumber belajar berupa;

novel, film, buku, KBBI,

dan internet.

Guru memberikan

motivasi tentang

ekranisasi.

Guru menggali

pengetahuan siswa

dengan mengajukan

pertanyaan tentang apa

itu ekranisasi.

pelajaran.

Siswa merefleksi hasil

pertemuan sebelumnya.

Siswa menyimak dan

menanyakan jika ada

penjelasan yang tidak

dimengerti.

Siswa menyimak

penjelasan guru tentang

materi pembelajaran dan

mengajukan pertanyaan

untuk hal-hal yang belum

jelas.

Siswa menyiapkan buku

sumber dan sumber

belajar lainnya untuk

mencapai penguasaan

kompetensi religius,

sosial, pengetahuan, dan

keterampilan.

Siswa menyimak

motivasi yang

disampaikan guru untuk

menghantarkan

pemahaman kepada

materi pembelajaran.

Siswa menjawab pretes

dengan jujur untuk

mengkaji materi

pembelajaran.

15 Menit

Guru mengarahkan siswa

untuk mengamati literatur

tentang hakikat-hakikat

ekranisasi.

Guru memfasilitasi siswa

melakukan tanya-jawab

Siswa mengamati

literatur tentang hakikat

ekranisasi.

Siswa menanyakan dan

menjawab pertanyaan-

Page 186: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

I

N

T

I

(berdiskusi) sehubungan

dengan topik tersebut.

Guru memfasilitasi siswa

agar menggali informasi

dan mencatat mengenai

hakikat ekranisasi.

Guru menugaskan siswa

untuk membuat laporan

dan melaporkan hasil

pengamatan (eksplorasi).

Guru memberikan umpan

balik berdasarkan hasil

pemaparan siswa.

pertanyaan tentang hal-

hal yang berhubungan

dengan isi bacaan

Siswa mencoba untuk

mengeksplorasi dengan

cara mencatat dan

mengidentifikasi hakikat

ekranisasi.

Siswa

mengomunikasikan

dengan cara memaparkan

hasil pengamatan dan

eksplorasi tentang

hakikat ekranisasi.

60 menit

P

E

N

U

T

U

P

Memberikan penguatan

pada konsep-konsep

esensial yang meliputi

semua materi tentang

hakikat ekranisasi.

Mengajukan beberapa

pertanyaan singkat untuk

menguji pemahaman

siswa tentang konsep-

konsep yang dipelajari

dan perilaku apa saja

yang harus dijalankan

siswa sehubungan dengan

pencapaian kompetensi

dalam materi

pembelajaran tersebut.

Guru memberikan

kesimpulan dan evaluasi

pembelajaran

Menyimak penguatan

konsep yang disampaikan

guru serta mencatatnya di

buku catatan.

Menjawab secara cepat

pertanyaan guru

berkaitan dengan konsep-

konsep penting yang

telah dipahami dalam

kegiatan pembelajaran

inti (postes).

Siswa menyimak evaluasi

dan kesimpulan yang

dijelaskan guru.

15 menit

Page 187: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Pertemuan III

KEGI-

ATAN

URAIAN KEGIATAN ALOKA-

SI

WAKTU

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

P

E

N

D

A

H

U

L

U

A

N

Guru menyapa,

mengkondisikan kelas,

memeriksa kehadiran

siswa dan kesiapan

belajar siswa termasuk

kebersihan ruang belajar.

Guru meminta siswa

merefleksi hasil

pertemuan sebelumnya.

Guru mejelaskan tujuan

pembelajaran dan proses

pembelajaran secara

singkat.

Guru menjelaskan secara

garis besar materi

pembelajaran yang akan

dikaji, tujuan

pembelajaran, rambu-

rambu pembelajaran, dan

metode penilaian yang

akan diterapkan.

Guru menginformasikan

sumber belajar berupa;

novel, film, buku, KBBI,

dan internet.

Guru memberikan

motivasi tentang warna

lokal.

Siswa mendengarkan,

menjawab sapaan, semua

siswa bertanggung jawab

menjaga kebersihan

kelas. Siswa melanjutkan

berdoa untuk memulai

pelajaran.

Siswa merefleksi hasil

pertemuan sebelumnya.

Siswa menyimak dan

menanyakan jika ada

penjelasan yang tidak

dimengerti.

Siswa menyimak

penjelasan guru tentang

materi pembelajaran dan

mengajukan pertanyaan

untuk hal-hal yang belum

jelas.

Siswa menyiapkan buku

sumber dan sumber

belajar lainnya untuk

mencapai penguasaan

kompetensi religius,

sosial, pengetahuan, dan

keterampilan.

Siswa menyimak

motivasi yang

disampaikan guru untuk

menghantarkan

pemahaman kepada

15 Menit

Page 188: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Guru menggali

pengetahuan siswa

dengan mengajukan

pertanyaan tentang apa

itu warna lokal.

materi pembelajaran.

Siswa menjawab pretes

dengan jujur untuk

mengkaji materi

pembelajaran.

I

N

T

I

Guru mengarahkan siswa

untuk mengamati literatur

tentang langkah-langkah

menganalisis warna lokal.

Guru memfasilitasi siswa

melakukan tanya-jawab

(berdiskusi) sehubungan

dengan topik tersebut.

Guru memfasilitasi siswa

agar menggali informasi

dan mencatat mengenai

warna lokal.

Guru menugaskan siswa

untuk membuat laporan

dan melaporkan hasil

pengamatan (eksplorasi).

Guru memberikan umpan

balik berdasarkan hasil

pemaparan siswa.

Siswa mengamati

literatur tentang warna

lokal.

Siswa menanyakan dan

menjawab pertanyaan-

pertanyaan tentang hal-

hal yang berhubungan

dengan isi bacaan

Siswa mencoba untuk

mengeksplorasi dengan

cara mencatat dan

mengidentifikasi warna

lokal.

Siswa

mengomunikasikan

dengan cara memaparkan

hasil pengamatan dan

eksplorasi tentang warna

lokal.

60 menit

P

E

N

U

Memberikan penguatan

pada konsep-konsep

esensial yang meliputi

semua materi tentang

warna lokal.

Mengajukan beberapa

pertanyaan singkat untuk

menguji pemahaman

siswa tentang konsep-

konsep yang dipelajari

dan perilaku apa saja

Menyimak penguatan

konsep yang disampaikan

guru serta mencatatnya di

buku catatan.

Menjawab secara cepat

pertanyaan guru

berkaitan dengan konsep-

konsep penting yang

telah dipahami dalam

kegiatan pembelajaran

15 menit

Page 189: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

T

U

P

yang harus dijalankan

siswa sehubungan dengan

pencapaian kompetensi

dalam materi

pembelajaran tersebut.

Guru memberikan

kesimpulan dan evaluasi

pembelajaran

inti (postes).

Siswa menyimak evaluasi

dan kesimpulan yang

dijelaskan guru.

PERTEMUAN IV

KEGI-

ATAN

URAIAN KEGIATAN ALOKA-

SI

WAKTU

Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

P

E

N

D

A

H

U

Guru menyapa,

mengkondisikan kelas,

memeriksa kehadiran

siswa dan kesiapan

belajar siswa termasuk

kebersihan ruang belajar.

Guru meminta siswa

merefleksi hasil

pertemuan sebelumnya.

Guru mejelaskan tujuan

pembelajaran dan proses

pembelajaran secara

singkat.

Guru menjelaskan secara

garis besar materi

pembelajaran yang akan

dikaji, tujuan

pembelajaran, rambu-

rambu pembelajaran, dan

metode penilaian yang

akan diterapkan.

Guru menginformasikan

sumber belajar berupa;

novel, film, buku, KBBI,

dan internet.

Siswa mendengarkan,

menjawab sapaan, semua

siswa bertanggung jawab

menjaga kebersihan

kelas. Siswa melanjutkan

berdoa untuk memulai

pelajaran.

Siswa merefleksi hasil

pertemuan sebelumnya.

Siswa menyimak dan

menanyakan jika ada

penjelasan yang tidak

dimengerti.

Siswa menyimak

penjelasan guru tentang

materi pembelajaran dan

mengajukan pertanyaan

untuk hal-hal yang belum

jelas.

Siswa menyiapkan buku

sumber dan sumber

belajar lainnya untuk

mencapai penguasaan

15 Menit

Page 190: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

L

U

A

N

Guru memberikan

motivasi tentang

perbandingan warna lokal

novel dengan film

ekranisasinya.

Guru menggali

pengetahuan siswa

dengan mengajukan

pertanyaan tentang apa

itu perbandingan warna

lokal novel dengan film

ekranisasinya.

kompetensi religius,

sosial, pengetahuan, dan

keterampilan.

Siswa menyimak

motivasi yang

disampaikan guru untuk

menghantarkan

pemahaman kepada

materi pembelajaran.

Siswa menjawab pretes

dengan jujur untuk

mengkaji materi

pembelajaran.

I

N

T

I

Guru mengarahkan siswa

untuk mengamati literatur

tentang langkah-langkah

membandingkan warna

lokal novel dengan film

ekranisasinya.

Guru memfasilitasi siswa

melakukan tanya-jawab

(berdiskusi) sehubungan

dengan topik tersebut.

Guru memfasilitasi siswa

agar menggali informasi

dan mencatat mengenai

analisis perbandingan

warna lokal novel dengan

film ekranisasinya.

Guru menugaskan siswa

untuk membuat laporan

dan melaporkan hasil

pengamatan (eksplorasi).

Siswa mengamati

literatur tentang

perbandingan warna lokal

novel dengan film

ekranisasinya.

Siswa menanyakan dan

menjawab pertanyaan-

pertanyaan tentang hal-

hal yang berhubungan

dengan isi bacaan

Siswa mencoba untuk

mengeksplorasi dengan

cara mencatat dan

mengidentifikasi

perbandingan warna lokal

novel dengan film

ekranisasinya.

Siswa

mengomunikasikan

dengan cara memaparkan

hasil pengamatan dan

eksplorasi tentang

perbandingan warna lokal

60 menit

Page 191: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Guru memberikan umpan

balik berdasarkan hasil

pemaparan siswa.

novel dengan film

ekranisasinya.

P

E

N

U

T

U

P

Memberikan penguatan

pada konsep-konsep

esensial yang meliputi

semua materi tentang

perbandingan warna lokal

novel dengan film

ekranisasinya.

Mengajukan beberapa

pertanyaan singkat untuk

menguji pemahaman

siswa tentang konsep-

konsep yang dipelajari

dan perilaku apa saja

yang harus dijalankan

siswa sehubungan dengan

pencapaian kompetensi

dalam materi

pembelajaran tersebut.

Guru memberikan

kesimpulan dan evaluasi

pembelajaran.

Menyimak penguatan

konsep yang disampaikan

guru serta mencatatnya di

buku catatan.

Menjawab secara cepat

pertanyaan guru

berkaitan dengan konsep-

konsep penting yang

telah dipahami dalam

kegiatan pembelajaran

inti (postes).

Siswa menyimak evaluasi

dan kesimpulan yang

dijelaskan guru.

15 menit

Page 192: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

I. Penilaian Hasil Belajar

1. Penilaian Proses

Lembar Pengamatan Sikap

Nama Siswa : …

Kelas : XII A

Nomor Absen : …

Nomor Aspek yang Diamati Kriteria

SB B C K

1. Terbiasa menggunakan bahasa Indonesia

baik dan benar selama pembelajaran.

2. Terbiasa berani berpendapat, bertanya, atau

menjawab pertanyaan.

3. Terbiasa toleran terhadap proses pemecahan

masalah yang berbeda dan kreatif.

4. Terbiasa disiplin selama proses

pembelajaran.

5. Terbiasa jujur dalam menjawab

permasalahan yang diberikan.

6. Terbiasa mengerjakan tugas tepat waktu.

Kriteria Indikator Skor

SB Sudah konsisten (selalu berperilaku) sesuai yang

diharapkan. 4

B Mulai konsisten (sering berperilaku) sesuai yang

diharapkan. 3

C Belum konsisten (kadang-kadang berperilaku) sesuai

yang diharapkan 2

K Tidak konsisten (tidak pernah berperilaku) sesuai yang

diharapkan. 1

Page 193: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Perhitungan Perolehan Nilai:

Jumlah Skor Siswa

NA= X 4

Skor Maksimal

Interval dan Predikat Nilai/Sikap

Nomor Interval Nilai Predikat

1 3.50 – 4.00 Sangat Baik (SB)

2 2.50 – 3.49 Baik (B)

3 1.50 – 2.49 Cukup (C)

4 <1.50 Kurang (K)

2. Penilaian Hasil

Profil Penilaian Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Nama : …………………………

Aspek Penilaian Skor

1 2 3 4 5

Analisis

Unsur

Intrinsik

1. Ketajaman analisis

2. Kelengkapan unsur

intrinsik yang dianalisis

3. Sistematika penyajian

hasil analisis

4.

Pemilihan bahasa yang

digunakan dalam hasil

analisis

Analisis

Hakikat

Ekraniasai

1. Ketajaman analisis

2. Kelengkapan hakikat-

hakikat ekranisasi yang

dianalisis

3. Sistematika penyajian

hasil analisis

4. Pemilihan bahasa yang

digunakan dalam hasil

analisis

Page 194: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Analisis

Wujud

Warna Lokal

(Lingkungan

Fisik, Unsur

Sosial, dan

Unsur

Budaya)

1. Ketajaman analisis

2. Kelengkapan wujud

lingkungan fisik

3. Kelengkapan unsur sosial

yang ditemukan

4. Kelengkapan unsur

budaya yang ditemukan

5. Sistematika penyajian

analisis

6. Pemilihan bahasa yang

digunakan dalam hasil

analisis

7. Pemahaman keseluruhan

mengenai warna lokal

Analisis

Perbandingan

Warna Lokal

Novel dengan

Film

Ekranisasinya

1. Ketajaman analisis

2. Kelengkapan

perbandingan warna lokal

yang dianalisis

3. Sistematika penyajian

hasil analisis

4. Pemilihan bahasa yang

digunakan dalam hasil

analisis

5. Pemahaman keseluruhan

mengenai analisis

perbandingan novel

dengan film ekranisasi

Jumlah Skor Maksimal (100)

Komentar :

………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………

Ciputat, April 2019

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

(……………………) (Indri Zikria Oktaviani)

Page 195: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Nama

NIMJurusan

Fakultas

Judul Skripsi

Dosen Pembimbing

UJI RETERENST

Indri Zikria OktavianiI 112013000060

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

IImu Tarbiyah dan Keguruan

Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan FilmTenggelamnya Kapat Van Der Wijck serta Implikasinyaterhadap Pembelajaran Bahasa dan Sasha di Sekolah

: Rosida Erowati, M.Hum.

No ReferensiHalaman

DalamReferensi

Paraf

IAminuddin . P engemb angan P enelitianKualitatif dalom Bidang Bahaso dan

Sastra. Malang: YA 3. 1990.

t4 42.

Anonim. "IIB JASSIN: HAMKA."Amanoh,3l Juli 1986.

78 43.

Anspek. "HAMKA, Sumur Yang TakPernah Kering." Halunn Minggu, 23

September 1990.

t0 4

4.

Bahtiat Ahmad. "Warna Lokal Betawidalam Kumpulan Cerpen 'Terang BulanTerang di.Kali: Cerita Keliling lakarta'Karya S.M Ardan." Artikel diakses pada

24 September z0l7 dar,http://susastra.fi b.ui.ac.idlwp-contenUuploads/8 1/20 I 7/0 1/1 5 .

4

5.

Barir, Muhammad. "Kesgtaraan dan

Kelas Sosial Dalam Perspe}tif Al-Quran.Gresik." Studi Ilmu-Ilmu al-Qura'n dan

Hadits XV, no. I (Januari 2014): h. 6l-92

62 46.

Bastorvi. P engantar Sosiologi. Bogor:Ghalia Indonesia. 2005.

93 47.

Cangar4 Hafied. Pengantar llmuKomunikasi. Jakarta: Raja Grafindo

136 4

Page 196: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

Persada.2005-

8.

Chaniago, Raflis.'TI.B. Jassin Membela

Hamka.' 4 Juni 1990. 6 49.

Chatum. "Syubbanul Yaum RijalulGhad: Pemuda Kini, Tokoh Masa

Depan." Risolah Islam$ah, t L33

410.

Effendy, Rony. "Buya Hamka"

Singgalang KMS.25 Agustus 1987. 2 I11

Emzir dan SaifurRohman. Teori dan

P engaj aran Sastra. Jakarta; RajawaliPers.20l6.

114 I12.

Endraswara, Suwardi. MetodologiPenelition Sastra Bandingon Jakarta:

Bukupop.2011.

2 413. Eneste, Pamusuk. Novel dan Film.Florcs

: Nusalndah. 1991.60,60-66 C

14.

Esten, Mursal. Kerusa.straqt Pengantar

Teori don kjarah. Bandung: Penerbit

Angkasa.2013.

50 4

15.

Hamkq Tengelunnya Kapal Yan DerWiick. Jakarta: Balai Pustaka. 2013.

128, 198,38,22,92,94-95,20, 136,

83,67,120,258,63, 18+185, 184,

w,29,43, E8,57,M,76,249-214,87,26,25,60-61,87-88,94-95, 101,

103,145,210,2l2,126,2ll,

l7l-172, l4l,142,173,179,8,25-26,29,58,27,9L,74,182, 183, 198-189,

196,238,229,252,4,258,26A,

29,60,83,125,2-3,134,234-235,255,109,2,35,

4

Page 197: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

r

65,59, 137,31-32,74,172,44,90,61-62,142-t43,

23,61,65-66,62,130-131,31,59,130, 166, 61,63,4,24,37, lL7,

166-167,32, gl,5,30,73,106,111,237,15,88, 20,

180, 240, 249, 12-

13,22,25,28,?4,66,87,94, ll0,126,165,167,193,197,218,2!1,249,259,

127,227,13,93,194

16.

Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rjta llmuSosial Budaya Dasar. Yogyakarta : CVAndi Offset. 2016.

38-40 4

17.

Kandioh, Frangky Benjarnin, dkk.

"Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial

dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budayadi Desa KamangA Kecamatan TombuluKabupaten Minahasa." Society XXI,(Maret-Apri I 20 | 6) : hlm. 49 -62.

52 I18.

Kasim, Razali. Sastra Bandingan; RuangLingkap don Metode. Medan: USUPress. 1996.

28

419.

Keraf, Gorys. Diksi danGayo Bahana.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.2010.

ll3 420.

Koentjaraningrat . P engantarAntropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.2005.

72 &21.

Kurniawan, Heru.Teori, Metode, danAplikasi Sosiologi Sostra. Yogyakarta:Graha Ilmu.2012.

6 I

Page 198: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

))

Kusmarwanti.'oWarna LokalMinangkabau dalam Karya Sasha

Indonesia." Artikel diakses pada 12 Apnl2019 dari

http://staffrrew.uny.ac.id/upload/1 323 I 00

08/.

"fl

23.Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkaj ianF iks i. Y ogyakafia: Gadj ah Mada

University Press. 20 I 2.

23,67,74,165,167, 176-177,2L6,

227-234, 149-t50,248,256 4

24.Pratista Himawan. Memahami Film.Jaka*a: Homerian Pustaka 2009.

1,30-162 q

25.Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastradengon Ancongon Literasi Kritis.Jakarta: Bumi Aksara- 2010-

124

426.

Rahmanto, B. Metode PengajaranSsstra. Yogyakarta: Kanisius. I 988.

16, 17 d

27.

Ratna Nyoman Kutha. ParadigmaSasiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.2009.1,4125 &

28.

Ratna, Nyoman Kutha. Sasffq danCultural Studies Representasi Fiksi danFqfua. Yogyakarta: FusAka Pelajar.

20t0.

383 q29.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode,

dan Te btik P ene I iti an S as tra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

335-336 430.

Siswanto, Wahyudi. Pengantor TeoriSastra. Iak arlal. PT Grasindo. 2008-

227-234, l5g, l5l,158-159 4

31.Soekanto, Soerjono. Sosiologi SuatuPengantar. I akarta : Rajawali Perc. 2017 .

205,144"l

32.

Soerjani, Moh., dkk" Linglamgan:Sumber Dayo Alarn dan Kependudukandolam P embongmon Jakarta: UI-Press.1987.

J

433.

SP. *hof. Dr. Hamka." Haluan,lgFebruari 1989. I 4

34. Stanton, Robert. Teori Filui Robert 90 J

Page 199: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

St anton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2007.

35.

Sumamo, Marselli. Dasar-Dasar

Apresiasi Fitm. Jakarta: PT Grasindo.

1996.

10 I36.

Susanto, Dva. Pengantar Teori Sastra.

Yogyakarta: CAPS. 2012.131 4

37.

Syatriadin. "Landasan Sosiologis dalam

Pendidikan.- ilSIP I, no.2 (November

20fi): hlm. 101-107.101

*

39.Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

Kamus B es ar Bahasa I ndones iu, J akarta:

Balai Pustaka. 2002

3t6 4

44.

Uniawati. "Warna Lokal dan

Representasi Budaya Bugis-Makassar

dalam Cerpen 'Pembunuh Parakang':

Kajian Sosiologi Sastra." Kandai XII, no.

I ( Mei 2016): hlm. 102-115.

102

&

41.Zaini, Azkarrrin. Artikel dengan judulBuya Hamka. Jal<arta: Kompas. 1980.

7 aJakarta,29 AprilZ}l9

MP. 19771030 200801 2009

Page 200: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/INDRI ZIKRIA...repository.uinjkt.ac.id

BIODATA PENULIS

Skripsi ini ditulis oleh seorang berdarah Betawi dari

Kelurahan Cipondoh Makmur, Kecamatan Cipondoh, Kota

Tangerang. Lahir pada tanggal 15 Oktober 1995 dari

pasangan suami isti Bapak Suwandi dan Ibu Karsinah.

Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik

pertama bernama Brilian Sheila Azhara dan adik kedua

bernama Aldilla Raffa Azriel Ramadhan.

Penulis mengawali pendidikan di bangku Madrasah Ibtidaiyah Nurussalam

Tangerang, lulus tahun 2006. Kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah

Pertama Negeri 10 Tangerang, lulus tahun 2009. Selanjutnya menempuh

pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Tangerang, lulus tahun 2012.

Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis pernah mengikuti magang menjadi Editor di Perusahaan Penerbitan

Imania Jakarta Selatan selama kurang lebih dua minggu dalam rangka memenuhi

syarat mata kuliah pilihan Penyuntingan Naskah. Selanjutnya, penulis pernah

mengikuti Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) di Sekolah Menengah

Pertama Islam Ruhama selama kurang lebih empat bulan.

Pada tanggal 30 April 2019, penulis dinyatakan LULUS melalui sidang

tertutup Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan berhak

menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dengan predikat kelulusan “Dengan

Pujian”.