repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46627/5/indri...
TRANSCRIPT
ANALISIS PERBANDINGAN WARNA LOKAL NOVEL DAN FILM
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Indri Zikria Oktaviani
NIM. 1112013000060
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
ANALIilS PERBAI\IDINGAI\IWARNA LOKAL NOVEL DAN FILMTENGGEI./IMNYA KAPAL VAN DER IYITCKSERTA IMPLIKASIIYYATERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAE
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Indri Zikria OktavianiNrM. 1112013m0ffi0
JURUS$I PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESH
FAIruLTAS ILMU TARBTYAH DAN KEGURUAN
I]NTYERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIT HIDAYATIILLAH
JAKARTA
2019
Di bawahbimbingan
NrP. 19771030 200801 2A09
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
Skripsi berjudul "Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan FilmTenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap PembelajaranBahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah" disusun oleh Indri Zil<cia Oktaviani,Nomor Induk Mahasiswa 1112013000060, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyahdan Keguruan (FITK).UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulusdalam Ujian Munaqasah pada 30 April 2019, dihadapan dewan penguji. Olehkarena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana (S.Pd) dalam bidangPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta, 30 April2019
Panitia Ujian
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
I\{ak}run Subuki. M. Hum.NrP. 19800305 200901 1015
Sekteraris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Toto Edidarmo. M.A.NIP. 19760225 200801 1020
Penguji I
Novi Diah Haryanti. M. Hum.NrP. 19841t26 201503 2007
Pengqi II
Ahmad Bahtiar. M. FIqm,NIP. 1 9760 ttg 200912 t002
, 4-*tT/E -%t9
Munaqasah
Tanggalfi|fi
/nq
tc/os
I gr5
lr/6r
lvq
/r{;-kRl4,'";" '.
iffir'-ag*i
MengetahuiItas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
:ffif,k
:tgztostg 199803 2 oot
KEMENTERIAN AGAPIAUIN JAKARTAFITK工 農
“
力mめ ル %6"Fa,I"r2嬌"
FORM(FRI : 1-2010
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
NamaTempat / Tgl.Lahir
NI\4
Jurusan / Prodi
Judul Skripsi "Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film
■4"θ物“ッα」色ραJン勧 Der ttθたSCtt hplikasinya
terhadap Pclnbelttaran Bahasa dan Sastra lndonesia di
Dosen Pembimbing
Seko1711''
:Rosida Erowati,M.Hum.
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benm hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apayang saya fulis.
l
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh ujian Munaqasyah.
IndH Zikria Oktaviani
Tangerang,15 0ktober 1995
1112013000060
Pcndidikan Bahasa dan Sastra lndonesia
InごFl~Zikria Oktaviani
NIPI.1112013000060
Jakartt 29 Apri1 2019
Ybs.
i
ABSTRAK
INDRI ZIKRIA OKTAVIANI, 1112013000060, “Analisis Perbandingan Warna
Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan warna lokal yang
terjadi pada novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sastra bandingan,
yaitu mengidentifikasi unsur objektif novel dan film, serta memfokuskan pada
perbandingan warna lokal antara novel dan film. Hasil penelitian yang diperoleh
yaitu terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah proses
ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan perubahan
variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di dalam novel.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan variasi banyak
ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur warna lokal yang
paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu unsur sosial
Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan perubahan apapun saat
proses ekranisasi. Hasil penelitian ini kemudian diharapkan dapat dijadikan
sumber pembelajaran sastra di sekolah, sesuai dengan Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar kurikulum 2013 yaitu memahami proses ekranisasi dalam
karya sastra. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat menganalisis
warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan juga film. Siswa
diharapkan dapat menganalisis perbandingan sebuah novel dengan film
ekranisasinya.
Kata Kunci: Warna Lokal, Sastra Bandingan, Ekranisasi, Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Perbandingan Novel dan Film
ii
ABSTRACT
INDRI ZIKRIA OKTAVIANI, 1112013000060, ”Comparative Analysis of The
Local Custom in The Novel and Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and
It's Implications for The Study of Indonesian Language and Literature in
Schools”. Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and
Teacher Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2019.
This study aims to find out the comparison of the local customs occuring in
the novel and film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. The research method
applied in this study is comparative literature, namely indentify the objective
elements in the novels and films, focusing on the comparison of local customs in
between the novels and films. The results obtained are there is a silting of the
tradition and historical background of Minangkabau after the process of
ecranization. Proven by the amount of contraction and changes in variation in the
Minangkabau local color elements in the Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
novel. Contraction and changes in variation are found in many elements of the
Minangkabau culture. While the local color elements are the most dominant in the
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck novel, that is the social element
Minangkabau, considering that the director did not make any changes during the
process of transformation. The results of this study can be used as a source of
literary learning in schools, in suitable with the core competencies and basic
competencies of the 2013 curriculum, that is understanding the process of
ecranization in literary works. This material focuses on students to be able to
analyze local colors in two different media, spesifically media books or films.
Students are expected to be able to analyze the comparison of a novel with it’s
ecranization film.
Keywords: The Local Color of Comparative Literature, Ecranization, Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Comparison of Novels and Films.
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, beserta
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah”.
Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai rintangan. Tanpa
bantuan dan peran serta berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah
mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan mempermudah
dalam penyelesaian skripsi ini;
3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku Penasehat Akademik sekaligus dosen
pembimbing skripsi yang bersedia membantu serta mempermudah
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas ide, saran, arahan, motivasi,
bimbingan, serta kesabaran Ibu selama ini;
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberikan banyak ilmu selama masa studi penulis;
5. Suwandi dan Karsinah, S.Pd, kedua orang tua penulis yang telah mendidik
penulis dengan segala kasih sayang tulus. Terima kasih untuk
pengorbanan, perjuangan hidup, doa-doa, serta nasehat mamah dan papah
sehingga penulis dapat melalui tahap ini;
iv
6. Fajrina Sita Dewi, S.Kel, Komala, S.Pd, Eriliyabuduni Ulfi, S.Gz, dan
Sophia Syifa Fauzia, S.I.P., sahabat tercinta penulis sejak SMA hingga
kini yang selalu setia memberikan motivasi dan kasih sayang kepada
penulis;
7. Chitra Nur Imaniar, S.Pd, Fikry Bermaki, S.Pd, Bunga Indah Puspita Sari,
S.Pd, Dede Zakiyah, S.Pd, Tri Wibowo, S.Pd, dan, rekan PBSI yang selalu
membantu penulis saat menghadapi kesulitan dalam penyusunan skripsi
ini;
8. Maria Forly Christine Sinaga, S.S, Bella Octavia, Delia Dwi Putri Rahayu,
dan Heny Sofiany, rekan kerja Bank CIMB Niaga selama satu tahun
terakhir yang selalu memberikan kritik dan motivasi kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini;
9. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2012, terima kasih
atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama
masa studi serta motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi;
10. Rio Tirta Erlangga, S.Si, sahabat dan pendamping terhebat bagi penulis.
Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, motivasi, kasih sayang, dan
segala hal yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Semoga segala bentuk bantuan, dukungan, serta partisipasi yang diberikan
kepada penulis mendapat pahala dan balasan lebih baik yang berlipat ganda dari
Allah SWT. Amin.
Jakarta, 30 April 2019
Penulis
Indri Zikria Oktaviani
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 5
D. Perumusan Masalah ................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 11
A. Hakikat Novel ........................................................................... 11
B. Tinjauan Film. .......................................................................... 19
C. Ekranisasi ................................................................................. 22
D. Sosiologi Sastra ........................................................................ 24
E. Warna Lokal ............................................................................. 25
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................ 34
G. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................. 36
BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ........................................... 39
A. Biografi Buya Hamka ............................................................... 39
B. Karya Buya Hamka .................................................................. 41
C. Pemikiran Buya Hamka ............................................................ 43
D. Profil Tim Produksi .................................................................. 44
vi
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 46
A. Analisis Objektif Novel dan Film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck .......................................................................... 46
B. Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dengan Film Adaptasinya. .................... 106
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah................................................................. 149
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 152
A. Simpulan ................................................................................... 152
B. Saran ......................................................................................... 153
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena alih wahana dari suatu karya sastra ke dalam media lain telah
terjadi sejak beberapa dekade ini. Puisi Taufik Ismail yang dialihwahanakan
ke dalam musik oleh grup musik Bimbo, atau novel Bunga Raos dari
Cikembang karya Kwee Tek Hoy yang diubah menjadi drama adalah contoh
alih wahana sebuah karya sastra. Istilah alih wahana ini dipopulerkan oleh
Sapardi Djoko Damono sebagai suatu perubahan dari satu jenis kesenian ke
dalam jenis kesenian lain.
Proses alih wahana sebuah karya sastra yang cukup populer di kalangan
masyarakat pada saat ini yaitu novel yang diubah ke dalam media film, atau
yang biasa dikenal dengan istilah ekranisasi. Berangkat dari keterbatasan
dunia kata-kata dan juga sebagai pengaruh dari perkembangan teknologi
modern yang memungkinkan seseorang lebih kreatif dalam mengapresiasi
sebuah karya sastra, novel yang difilmkan telah menerobos pasar dan
berkembang pesat. Salah satu tujuan ekranisasi tersebut yakni untuk menarik
para peminat atau konsumen, sehingga orang-orang yang tidak suka membaca
sastra masih tetap bisa menikmati sastra lewat film. Selain itu, pembaca tidak
harus menikmati cerita lewat imaji linguistik dan dunia khayalnya, tetapi
pembaca dapat menikmati cerita lewat imaji visual. Tentunya pembaca tidak
perlu berkhayal tentang alur demi alur yang disediakan, karena di dalam film
telah divisualisasikan senyata mungkin oleh tim produksi.
Saat ini ekranisasi menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi khalayak
luas. Dalam sejarah perfilman Indonesia, banyak film-film ekranisasi yang
turut mewarnai industri perfilman Indonesia. Fenomena tersebut mulai marak
di Indonesia pada dekade 70-an. Pada saat itu istilah ekranisasi belum
digunakan, melainkan adaptasi. Beberapa di antaranya yakni Gita Cinta SMA
2
(1979), Atheis (1974), dan Si Doel Anak Betawi (1972). Sementara itu,
beberapa film ekranisasi yang baru-baru ini ditayangkan yakni Supernova
(2014), Toba Dreams (2015), dan Filosofi Kopi (2015).
Beberapa novel sastra klasik juga turut digarap oleh sutradara. Beberapa di
antaranya yaitu novel Badai Pasti Berlalu (1971) karangan Marga T yang
difilmkan pada tahun 1977 dan 2007, novel Dibawah Lindungan Ka’bah
(1938) karangan Buya Hamka yang difilmkan pada tahun 2011, dan novel
Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karangan Ahmad Tohari yang difilmkan pada
tahun 2011. Salah satu contoh novel sastra klasik yang diangkat ke layar lebar
dan cukup banyak mendapat sorotan dari para penikmatnya yakni novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938) karangan Buya Hamka. Novel ini
diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, yang disutradarai oleh Sunil
Soraya. Kemunculan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mendapatkan
sambutan yang luar biasa dari masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia
cukup menggemari film bergenre drama. Film ini berhasil menyedot kurang
lebih satu juta delapan ratus penonton. Pada tahun 2014, kedua pemeran
utama dalam film ini, yakni Herjunot Ali sebagai Zainuddin dan Pevita Pearce
sebagai Hayati, mendapatkan anugerah piala penghargaan Festival Film
Bandung dalam kategori pemeran pria dan pemeran wanita terbaik.
Menjadi salah satu film yang cukup sukses di pasaran, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck membuktikan bahwa masih ada ruang bagi novel sastra
klasik untuk menunjukkan eksistensinya di tengah maraknya ekranisasi dari
novel-novel populer saat ini. Salah satu point penting yang dapat dengan
mudah kita temukan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah
kentalnya warna lokal Minangkabau yang disuguhkan. Minangkabau, sebagai
daerah yang kaya akan nilai-nilai budaya sering dimanfaatkan sebagai latar
penciptaan karya sastra oleh pengarang. Warna lokal sendiri sebenarnya sudah
ada dalam kesusastraan Indonesia sejak masa sebelum perang. Hal tersebut
bisa kita dapatkan pada novel Siti Nurbaya (1922) karangan Marah Roesli
yang mengambil latar budaya Minangkabau. Beberapa karya sastra lain yang
berwarna lokal Minangkabau yaitu novel Tidak Menyerah (1962) karya
3
Motinggo Busje, novel Hati Nurani Manusia (1965) karya Idrus, drama Putu
Bungsu (1978) karya Wisran Hadi, dan novel Dan Perang pun Usai (1979)
karya Ismail Marahimin.
Dominan akan warna lokal Minangkabau dalam novel dan juga filmnya,
menjadi alasan penulis memilih Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan warna lokal sebagai akibat
dari kegiatan ekranisasi. Pembahasan mengenai warna lokal perlu
diperhatikan mengingat pada masa sekarang ini, pengaruh kebudayaan asing
telah menimbulkan kurangnya kadar kecintaan terhadap budaya bangsa
sendiri. Dengan adanya penelitian ini, setidaknya kita telah ikut berpartisipasi
dalam melestarikan eksistensi warisan budaya yang ada di nusantara,
khususnya Minangkabau. Selain itu, kemunculan film ini patut diapresiasi
karena tidak mudah bagi seorang sutradara untuk mengekranisasikan novel-
novel sastra, terlebih lagi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang terbit
sudah cukup lampau, yakni tahun 1938. Sutradara tentu berusaha keras
bagaimana menciptakan latar tahun 1930-an yang masih sangat tradisional
untuk kemudian ditampilkan pada masa sekarang, yang notabene sudah
memasuki zaman modern. Melalui penggunaan metode sastra bandingan,
penulis akan melakukan kajian bandingan terhadap novel yang sudah
difilmkan serta mengkaji gambaran warna lokal yang terkandung di dalam
novel dan di dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Pemilihan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai bahan
kajian dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memahami wujud warna
lokal Minangkabau secara umum. Terlebih dalam ranah pembelajaran Bahasa
dan Sastra di sekolah baik SMP/MTs maupun SMA/MA, materi tentang
warna lokal jarang disentuh oleh guru sehingga pengetahuan siswa tentang
warna lokal sangat rendah. Dengan mempelajari warna lokal dalam sebuah
karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter siswa dalam menghargai
budaya bangsa. Apabila dikaitkan dengan Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, guru dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu
membaca dan menerapkan nilai-nilai sosial budaya dan nilai positif yang
4
terkandung di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, meneliti warna lokal dalam
sebuah novel sangatlah menarik untuk meningkatkan mutu pembelajaran
sastra sebagai salah satu langkah mengantisipasi perpecahan bangsa akibat
pengaruh budaya luar.
Agar hasil penelitian ini nantinya tidak hanya berhenti pada
pendeskripsian warna lokal dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, penulis mencoba mengimplikasikannya dengan materi
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa hingga saat ini minat siswa untuk membaca sebuah novel
masih sangat rendah, terlebih lagi jika novel yang harus dibaca adalah novel-
novel sastra klasik. Alur cerita yang berbelit-belit serta penggunaan bahasa
Melayu klasik yang sulit dimengerti membuat siswa merasa bosan
membacanya. Hadirnya film-film hasil ekranisasi dari novel sastra klasik
seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,
dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada
di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil
ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca
mereka. Selain itu, melalui media film diharapkan guru dapat membantu siswa
untuk meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya
sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film. Berdasarkan hal
tersebut, peneliti menetapkan novel dan transkrip film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck ini sebagai objek penelitian dengan judul “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
di Sekolah”.
5
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah, yaitu:
1. Banyaknya film ekranisasi yang mewarnai industri perfilman Indonesia.
2. Ketidaksesuaian cerita sebagai akibat dari proses ekranisasi.
3. Rendahnya kemampuan siswa dalam memahami hal-hal yang berkaitan
dengan warna lokal.
4. Lemahnya teknik dan penggunaan media pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia oleh guru khususnya dalam mengapresiasi karya sastra
Indonesia di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini diharapkan agar pembahasan dan penelitian tidak
meluas. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun, maka penulisan
lebih terfokus pada warna lokal. Penulis akan membandingkan dan
menganalisis perubahan warna lokal yang terjadi saat novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karangan Buya Hamka edisi revisi cetakan pertama
tahun 2013 diekranisasikan ke dalam film dengan judul yang sama yang rilis
tahun 2013 serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana persamaan dan perbedaan warna lokal yang terjadi antara
novel dengan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck?
2. Bagaimanakah implikasi pembahasan warna lokal dalam novel dan film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terhadap pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di sekolah?
6
E. Tujuan Penelitan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan warna lokal yang terdapat
dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan warna lokal yang terdapat dalam
novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan peneliti khususnya, dan pembaca pada umumnya tentang
bagaimana mengkaji warna lokal dalam sebuah karya sastra.
2. Manfaat Praktis
a. Adanya pembelajaran siswa mengenai apresiasi karya sastra yang
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan
menganalisis sebuah karya sastra khususnya novel dan film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Selain itu mengembangkan
kemampuan siswa untuk menilai sebuah karya sastra yang berkualitas
baik dan buruk, serta menjadikan siswa untuk gemar membaca dan
berpikir kritis.
b. Penulisan ini dapat dijadikan bahan ajar guru Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran
Sastra Indonesia, khususnya dalam membandingkan sebuah karya
sehingga mampu memaparkan persamaan dan perbedaan serta
kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya tersebut
melalui analisis perbandingan sastra.
c. Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui warna lokal
yang terdapat di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
7
(2013) karya Buya Hamka, dan filmnya berjudul sama, produksi tahun
2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya.
d. Diharapkan penulisan ini juga berguna bagi para penulis lain yang
ingin melakukan penulisan dengan tema sejenis.
G. Metodologi Penelitian
1. Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, objek dalam
penelitian ialah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya
Hamka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama
tahun 2013 dan filmnya yang ditayangkan pada 2013 garapan sutradara
Sunil Soraya. Dengan demikian judul penelitian ini ialah “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah”.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan. Endraswara
mengemukakan bahwa “sastra bandingan dapat juga dimengerti sebagai
upaya membandingkan dua karya atau lebih.”1 Sastra bandingan, dalam
penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun bidang
ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya
bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana
pengaruh antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang
diberikannya.2
Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik
sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Endraswara mengungkapkan
bahwa “penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu
1 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop,
2011), hlm. 2. 2 Ibid.
8
sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari benang merahnya.”3 Dalam
menganalisis novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis
menggunakan kajan sastra bandingan yang bersifat komparatif. Kajian ini
menitikberatkan pada penelaahan teks karya-karya sastra yang
dibandingkan, misalnya karya sastra satu dengan karya sastra yang lain,
atau beberapa karya sastra seorang pengarang dengan satu atau lebih karya
sastra seorang pengarang lainnya.4 Penggunaan kajian sastra bandingan
yang bersifat komparatif ini agar penulis dapat meneliti dan mengetahui
persamaan dan perbedaan warna lokal novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck dengan film ekranisasinya.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan jenis kualitatif. Menurut
Bogdan dan Taylor yang disarikan oleh Aminuddin penelitian kualitatif
yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati”.5 Hal ini memberi arti bahwa temuan dari penelitian kualitatif
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya,
tetapi menggunakan prosedur yang dikumpulkan dengan menggunakan
berbagai sarana.
3. Sumber Data
Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa
opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi
terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka yang
3 Ibid.
4 Razali Kasim, Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode, (Medan: USU Press,
1996), hlm. 28. 5 Aminuddin, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra,
(Malang: YA 3, 1990), hlm. 14.
9
diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama tahun 2013 dan
film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck garapan PT Soraya Intrecine
Films yang tayang pada 2013.
Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diambil dari buku-
buku, jurnal, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik catat, karena data-datanya berupa teks dan analisis film dicatat juga
dengan menggunakan teknik catat. Adapun langkah-langkah dalam
pengumpulan data adalah; 1) membaca novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck secara berulang-ulang; 2) menentukan unsur intrinsik yang
membangun novel tersebut, mencatat kutipan-kutipan yang menjadi bukti
untuk menjelaskan hasil analisis unsur-unsur intrinsiknya serta yang
mengandung permasalahan yang terkait dengan fokus kajian, yaitu warna
lokal pada novel tersebut; 3) menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck berulang-ulang; 4) menentukan unsur intrinsik yang membangun
pada film tersebut; 5) membuat sekuen (waktu dan kejadian) serta frame
film sebagai pembukti untuk menjelaskan hasil analisis yang terkait
tentang fokus kajian, yaitu warna lokal; 6) mencari dan mencatat
perbandingan warna lokal novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dengan film ekranisasinya.
5. Teknik Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan teori bantu struktural, kemudian
unsur-unsur itu dianalisis dengan menggunakan metode sastra bandingan.
10
Analisis ini hanya berkisar pada perbandingan warna lokal novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan film ekranisasinya.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, kita mengenal istilah
prosa yang memiliki definisi sebagai karya sastra yang sifatnya tidak
terikat dengan aturan-aturan penulisan seperti rima, irama, diksi atau yang
lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, prosa menghadirkan sesuatu
yang baru dalam kesusasteraan Indonesia akibat pengaruh sastra serta
budaya Barat. Kebaruan tersebut diantaranya berbentuk novel, cerpen,
kritik, esai, resensi, dan masih banyak lagi. Dari beberapa bentuk prosa
baru yang sudah disebutkan, novel menjadi salah satu karya sastra yang
cukup populer lantaran peredarannya sudah sangat meluas. Priyatni
menjelaskan bahwa “kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata
novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa
Inggris. Makna baru tersebut dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra
yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan
drama”1, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa novel adalah
salah satu bentuk kebaruan dari prosa.
Dalam istilah Indonesia, Nurgiyantoro menyebutkan bahwa “novelet
(Inggris: novellete) berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.”2 Bila
melihat dari segi panjangnya cerita, novel mengisahkan kehidupan
manusia dan zamannya dalam skala yang lebih luas jika dibandingkan
dengan cerpen yang hanya mengisahkan satu peristiwa dalam satu waktu
tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Robert Stanton bahwa “novel mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,
1 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), hlm. 124. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012), hlm. 9-10.
12
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil.”3
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan salah satu karya sastra yang kemunculannya tergolong baru
dalam kesusasteraan Indonesia, yang menggambarkan kehidupan tokoh-
tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks sebagai sebuah hasil
imajinasi pengarang atas realitas atau fenomena kehidupan yang dilihat
dan dirasakan.
2. Unsur Intrinsik Novel
Sebagai sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan tokoh-
tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks, tentunya novel tidak
berdiri sendiri. Ada beberapa unsur yang turut serta membangun sebuah
novel. Salah satunya adalah unsur intrinsik, yang menurut Nurgiyantoro
yaitu “unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.”4
Unsur-unsur ini secara faktual dijumpai pembaca pada saat membaca
karya sastra. Unsur intrinsik novel terdiri dari tema, tokoh dan penokohan,
latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
a. Tema
Secara keseluruhan, tema merupakan bagian awal dan terpenting
dalam sebuah karya sastra. Menurut Stanton dan Kenny dalam
Nurgiyantoro, tema adalah “makna yang dikandung oleh sebuah
cerita.”5 Tema merupakan kandungan secara umum dari keseluruhan
isi cerita. Itu berarti, tema akan dapat ditentukan setelah kita
menyimpulkan keseluruhan isi cerita karya sastra. Nurgiyantoro
mengungkapkan bahwa tema dapat dipandang sebagai gagasan dasar
umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum itulah yang
digunakan untuk mengembangkan cerita.6
3 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
90. 4 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 23.
5 Ibid., hlm. 67.
6 Ibid., hlm. 70.
13
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan dasar
pengarang dalam menciptakan sebuah novel yang menyangkut seluruh
persoalan dalam keseluruhan isi cerita. Tema tidak secara gamblang
tertulis dalam novel, maka untuk menentukan sebuah tema, kita perlu
membaca novel tersebut dengan saksama.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang tepenting
dalam suatu cerita. Perlu diketahui bahwa antara tokoh dan penokohan
memiliki pengertian yang berbeda, namun keduanya saling
melengkapi. Abrams dalam Nurgiyantoro berpendapat bahwa tokoh
adalah “orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan.”7 Dari penjelasan Abrams
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian tokoh mengacu pada
orangnya sebagai si pelaku cerita. Dalam Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, yang disebut sebagai tokoh seperti Zainuddin, Hayati, Aziz,
dan masih banyak lagi. Sedangkan yang disebut penokohan menurut
Jones dalam Nurgiyantoro adalah “pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.”8 Itu berarti
tokoh yang ditampilkan dalam karya fiksi harus ditampilkan sejelas-
jelasnya dari segi sifat, sikap, maupun tingkah lakunya, mengingat
yang disampaikan Nurgiyantoro bahwa “tokoh cerita menempati posisi
strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.”9
Berdasarkan beberapa pengertian tentang tokoh dan penokohan,
dapat disimpulkan bahwa ketika seorang pengarang menentukan siapa
saja yang akan menjadi pelaku di dalam cerita, ia pun akan sekaligus
menentukan bagaimana perwatakan, pelukisan, dan tingkah laku para
7 Ibid., hlm. 165.
8 Ibid.
9 Ibid., hlm. 167.
14
pelaku cerita. Itulah mengapa dikatakan bahwa antara tokoh dan
penokohan saling berhubungan satu sama lain.
Bila melihat dari peranan tokoh dalam pengembangan plot sebuah
cerita, dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan.
Nurgiyantoro menjelaskan bahwa “tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian.”10
Dalam penelitian ini,
Zainuddin yang memegang peranan sebagai tokoh utama. Sebaliknya,
ada tokoh-tokoh yang kemunculannya hanya sekali atau beberapa kali
di dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang lebih
pendek. Tokoh ini disebut tokoh tambahan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Nurgiyantoro bahwa “pemunculan tokoh-tokoh
tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan,
dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,
secara langsung ataupun tak langsung.”11
Kemunculan tokoh tambahan
dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dapat ditemukan pada
tokoh Mak Base, Khadijah, Aziz, dan masih banyak lagi.
c. Latar
Sebuah cerita dibentuk oleh berbagai permasalahan yang dialami
oleh tokoh-tokohnya dengan alur yang bermacam-macam. Untuk
mengekspresikan hal tersebut, seorang tokoh memerlukan ruang
lingkup, tempat dan waktu demi terjalinnya sebuah cerita yang baik.
Singkatnya, selain tema, tokoh dan penokohan serta alur, novel juga
membutuhkan latar. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, “latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”12
Sementara itu, Leo
Hamalian dan Frederick R. Karrel menambahkan bahwa “latar cerita
10
Ibid., hlm. 176-177. 11
Ibid. 12
Ibid., hlm. 216.
15
dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,
suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat
berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,
prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi
suatu problema tertentu.”13
Hal ini menunjukkan bahwa selain
memberikan informasi sebagaimana adanya, kehadiran latar dapat
menunjukkan keadaan atau jati diri tokoh.
Sehubungan dengan pendapat Nurgiyantoro mengenai deskripsi
latar, Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa unsur latar dapat
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yakni tempat, waktu, dan sosial.
a. Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas.
b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah.
c. Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas.14
Dari beberapa pengertian tentang latar tersebut, dapat disimpulkan
bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa
13
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 149. 14
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 227-234.
16
yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Landasan tersebut dapat berupa
tempat, waktu, suasana, atau lingkungan sosial yang memperjelas
kondisi peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah karya sastra.
d. Alur
Alur juga merupakan salah satu unsur fiksi yang kehadirannya
penting. Wahyudi mengungkapkan yang dimaksud dengan alur adalah
“rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan
selesaian.”15
Berdasarkan pernyataan Wahyudi tersebut, bisa kita tarik
point penting, yakni kedudukan alur sebagai tulang punggung sebuah
cerita. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Stanton yang
menganggap alur “sebagai tulang punggung sebuah cerita, sebab alur
bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur-unsur yang
lain. Alur atau plot merupakan satu mata rangkai sebuah peristiwa
yang dihubungkan dengan sebab akibat.”16
Sebagai tulang punggung sebuah cerita, perlu diketahui bahwa alur
tersusun berdasarkan beberapa tahapan agar kehadiran alur mampu
memberikan unsur kejutan kepada pembacanya. Untuk menjelaskan
tahapan-tahapan alur ini penulis menggunakan pendapat
Nurgiyantoro, yang menyatakan bahwa tahapan-tahapan alur
dijelaskan menjadi lima bagian. Tahapan-tahapan tersebut sebagai
berikut.
1. Tahap Penyituasian, berisi pelukisan dan pengenalan situasi
latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama
berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada
tahap berikutnya.
2. Tahap Pemunculan Konflik, tahap ini memunculkan masalah
dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik itu
15
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 159. 16
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), hlm. 131.
17
sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
3. Tahap Peningkatan Konflik, pada tahap ini konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
4. Tahap Klimaks, tahap di mana konflik yang terjadi mencapai
titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita
akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku
dan penderita terjadinya konflik utama.
5. Tahap Penyelesaian, tahap di mana konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang
lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada,
juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut sebagai
tahap akhir sebuah cerita.17
Peristiwa-peristiwa dalam alur memiliki hubungan sebab akibat
hingga menjadikannya sebuah cerita yang utuh. Berdasarkan beberapa
pendapat tentang alur, penulis menyimpulkan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa dalam setiap adegan yang ada di dalam cerita.
e. Sudut Pandang
Definisi sudut pandang yang disampaikan oleh Abrams dalam
Nurgiyantoro yakni “menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.”18
Sejalan dengan pendapat Abrams, Siswanto berpendapat
bahwa sudut pandang adalah “tempat sastrawan memandang ceritanya.
Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,
17
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 149-150. 18
Ibid., hlm. 248.
18
tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri.”19
Hal ini menunjukkan
bahwa sudut pandang merupakan sebuah siasat yang dipilih pengarang
untuk menumpahkan ide-ide ceritanya. Dari sudut pandang ini,
pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya.
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Friedman
dalam Stevick, yang kemudian disarikan oleh Nurgiyantoro,
membedakan sudut pandang berdasarkan perbedaan yang telah umum
dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan
persona pertama.20
1. Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Sudut pandang ini memungkinkan narator memiliki
kedudukan sebagai seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh
dalam cerita, tentunya posisi narator ini berada di luar cerita.
Penyebutan yang dilakukan narator terhadap tokoh-tokoh yang
ditampilkan biasanya berupa nama atau kata ganti (ia, dia,
mereka).
2. Sudut pandang persona pertama: ”Aku”
Sudut pandang ini memungkinkan narator terlibat di dalam
cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa, serta
sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca
menerima apa yang diceritakan si “aku”, maka kita hanya dapat
melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat
dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
f. Gaya Bahasa
Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa gaya bahasa
adalah “cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
indah dan harmonis melalui media bahasa serta mampu menyentuh
19
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 151. 20
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 256.
19
daya intelektual dan emosi pembaca.”21
Melalui gaya bahasa, kita
dapat mengetahui karakter pengarang dalam bercerita lewat pemilihan
kata-katanya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Keraf,
bahwa gaya bahasa adalah “cara mengungkapkan pikiran melalui
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis.”22
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang memilih dan
menggunakan bahasa dalam karya yang dihasilkan. Semakin khas gaya
bahasa yang digunakan pengarang, maka karakter pengarang tersebut
akan semakin terlihat.
B. Tinjauan Film
1. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah “selaput tipis
yang terbuat dari selluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat
potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).”23
Sementara menurut Cangara, “film dalam pengertian sempit adalah
penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih
luas bisa juga termasuk yang disiarkan televisi.”24
Meskipun pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di
perkotaan, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan
menjangkau kelas yang lebih luas. Film merupakan produk komunikasi
massa yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Saat ini telah
terdapat berbagai macam film. Sumarno berpendapat bahwa “meskipun
cara pendekatan berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai
21
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 158-159. 22
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),
hlm. 113. 23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 316. 24
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 136.
20
satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-
masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani
keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya.”25
Artinya,
apa-apa yang diproyeksikan di atas layar adalah merupakan hasil rekaman
dari berbagai realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
film adalah bentuk media komunikasi massa audiovisual yang
mengandung unsur-unsur teknologi dan kesenian, yang di dalamnya
terdapat simbol-simbol yang dapat melukiskan pesan atau ideologi si
pembuat film.
2. Unsur-unsur Pembentuk Film
Bicara tentang film, tentu kita harus bersinggungan langsung dengan
unsur-unsur pembentuknya sehingga kita dapat memahami dengan lebih
baik. Menurut Pratista, film secara umum dapat dibagi atas dua unsur
pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. “Unsur naratif adalah
bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara
(gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita, unsur naratif adalah
perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau juga
sering diistilahkan gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis
pembentuk film.”26
Dalam hal ini, unsur-unsur seperti tokoh, masalah,
konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemen yang termasuk ke dalam
unsur naratif. Sementara unsur-unsur seperti mise-en-scene, sinematografi,
editing, dan suara termasuk ke dalam unsur sinematik. Namun penulis
tidak akan membahas seluruh unsur tersebut, melainkan hanya beberapa
unsur saja yang terkait dengan penelitian ini.
a. Pelaku Cerita (Tokoh)
Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yaitu utama dan
pendukung. Tokoh utama sering diistilahkan dengan tokoh
25
Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT Grasindo, 1996), hlm. 10. 26
Himawan Pratista, Memahami Film, (Jakarta: Homerian Pustaka, 2009), hlm. 1.
21
protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan
tokoh antagonis yang biasanya bertindak sebagai pemicu konflik.
b. Masalah dan Konflik
Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang
dihadapi tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalahan
ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin
dari luar diri tokoh protagonis ataupun dari dalam diri tokoh
protagonis (konflik batin).
c. Lokasi
Tempat/lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai
pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat
membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.
d. Waktu
Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting
dalam membangun cerita. Pagi, siang, sore dan malam dalam film
memiliki makna sendiri untuk menjelaskan konteks cerita.
e. Suara
Suara dalam perannya sebagai salah satu unsur sinematik,
dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar,
yakni dialog, musik, dan efek suara. Melalui unsur ini kita dapat
mengetahui sudut pandang dalam sebuah film, yaitu diegetic dan
nondiegetic sound. Diegetic sound adalah semua suara yang
berasal dari dalam dunia cerita filmnya (dialog, suara-efek
karakter, musik), sementara nondiegetic sound adalah seluruh
suara yang berasal dari luar dunia cerita film dan hanya mampu
didengar oleh penonton saja (lagu, efek suara, narasi).
f. Sekuen
Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu
rangkaian peristiwa yang utuh. Dalam pertunjukkan teater, sekuen
bisa disamakan dengan satu babak. Satu sekuen biasanya
22
dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu
rangkaian aksi panjang.27
C. Ekranisasi
Ekranisasi berkembang di Indonesia mulai tahun 1984 yang diawali
dengan adanya film yang diangkat dari novel berjudul Roro Mendut karangan
Y.B Mangunwijaya. Istilah ekranisasi menurut Eneste adalah “pelayarputihan
atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam
bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak
mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat
dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan.”28
Dengan adanya proses
ekranisasi mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan,
yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang
bergerak berkelanjutan. Lebih lanjut lagi Eneste mengungkapkan bahwa
“ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong
royong).”29
Seperti yang kita ketahui bahwa novel merupakan karya
perseorangan sementara film merupakan hasil kerja gotong royong yang
melibatkan banyak pihak, seperti produser, sutradara, penulis skenario,
pemain, dan lain-lain.
Jika dalam membaca novel tidak ada faktor visual yang membatasi
imajinasi kita, dalam film tampaknya hal itulah yang utama. Tokoh-tokoh lain
dalam novel dan film itu bisa saja berbeda-beda, tergantung pada selera kita.
Demikian juga latar, unsur yang sangat penting dalam novel maupun film.
Latar novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah kota Padang pada
awal abad ke-20, suatu hal yang tentu tidak bisa dibayangkan oleh pembaca
yang tidak memiliki gambaran mengenai itu. Sementara itu, sutradara film
menentukan latar yang seperti apa yang dianggap sesuai agar alur bisa berjalan
wajar dan penokohan bisa meyakinkan. Unsur lain yang perlu juga mendapat
27
Ibid., hlm. 30-162. 28
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores : Nusa Indah, 1991), hlm. 60. 29
Ibid.
23
perhatian khusus adalah dialog. Film tidak memungkinkan, atau setidaknya
mengharamkan, adanya dialog panjang-panjang seperti yang ada dalam
bukunya, yang sebagian besar di antaranya bahkan ada yang berbentuk syair.
Dalam kasus Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat dialog yang cukup
panjang saat menceritakan riwayat orang tua Zainuddin. Dialog itu tidak
mungkin ditampilkan dalam film.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama, proses
perubahan dari pembaca menjadi penonton, juga proses perubahan dari
kesenian yang dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja menjadi kesenian
yang hanya dapat dinikmati di tempat-tempat tertentu dan pada waktu-waktu
tertentu pula. Itulah alasan mengapa ekranisasi dikatakan sebagai proses
perubahan.
Eneste menjelaskan beberapa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
proses ekranisasi. Perubahan tersebut yaitu penciutan, penambahan
(perluasan) dan perubahan bervariasi.30
1. Penambahan, merupakan hal yang pasti terjadi ketika seorang
sutradara atau penulis skenario mengalihwahanakan sebuah novel
menjadi sebuah film. Penambahan yang dimaksud yakni dari segi
cerita, alur, penokohan, latar, atau suasana.
2. Penciutan, hal ini perlu dilakukan mengingat sebuah film hanya dapat
dinikmati hanya dalam kurun waktu 1-3 jam. Tidak seperti novel yang
dapat dinikmati lebih dari kurun waktu tersebut, bahkan berhari-hari.
Maka seorang sutradara dan penulis skenario harus cerdas memilih
peristiwa-peristiwa mana saja dan tokoh mana saja yang akan
ditampilkan dalam filmnya.
3. Perubahan bervariasi, proses ini tentu akan terjadi saat memfilmkan
sebuah novel. Variasi-variasi tersebut diciptakan seorang sutradara
30
Ibid., hlm. 60-66.
24
atau penulis skenario semata-mata agar film tidak terlalu sama persis
dengan novelnya namun tetap bertumpu pada inti isi novel.
D. Sosiologi Sastra
Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba.
Kurniawan mengungkapkan bahwa “sebagai produk budaya yang berupa
tulisan bermedia bahasa, sastra tidak dapat lepas dengan genetisnya, yaitu
manusia sebagai pengarang. Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya
(penulis), dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi
kajian sosiologi.”31
Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat. Karya sastra seringkali dinyatakan sebagai “dokumen sosial”
lantaran keberadaannya yang mencerminkan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Emzir dan Rohman berpendapat bahwa
“sebagai dokumen sosial, karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang
mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya itu diciptakan.”32
Sosiologi sastra menurut Ratna berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio
atau socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos
yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan, atau ilmu.33
Sosiologi sastra
merupakan salah satu pendekatan interdisiplin, selain empat pendekatan yang
dikemukakan Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan
pragmatik. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu sastra dengan ilmu
sosologi. Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam
masyarakat, namun terdapat perbedaan dalam hakikatnya. Ratna
menungkapkan bahwa sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan
masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan
mengungkapkannya melalui emosi.34
31
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), hlm. 6. 32
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), hlm. 114. 33
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 1. 34
Ibid., hlm. 4.
25
Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.
Ratna mengungkapkan bahwa di antara genre utama karya sastra; puisi,
prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang paling dominan
dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di
antaranya; novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,
memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah
kemasyarakatan yang juga paling luas serta bahasa novel cenderung
merupakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam
masyarakat. Oleh karena itulah, karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-
ciri zamannya.35
Dengan demikian, Ratna mengungkapkan dalam bukunya
yang lain bahwa “penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian
ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan,
memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya
dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya.”36
Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk
mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam
lagi gejala sosial yang ada di luar sastra. Analisis karya sastra dengan
sosiologi tidak hanya meneliti sastra dan masyarakat. Lebih dari itu, ini
merupakan sebuah media pandangan pengarang terhadap kondisi realitas
sosial di masyarakatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
digunakan untuk memaparkan hubungan antarunsur pembangun karya sastra
dari aspek sosial yang ada.
E. Warna Lokal
Sebuah karya sastra, dalam hal ini novel, tentu membutuhkan latar yang
tajam dan jelas untuk menopang alur cerita. Ketajaman dan kejelasan sebuah
latar dalam novel akan memberikan kesan bahwa di sanalah cerita dalam
novel itu benar-benar terjadi. Ketajaman dan kejelasan latar ini biasa dikenal
dengan warna lokal. Warna lokal berkaitan dengan latar cerita yang
35
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 335-336. 36
Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, hlm. 25.
26
menggambarkan tempat atau daerah tertentu, tradisi masyarakat, dialek, adat
dan kebiasaan, dan lain-lain, seperti pendapat Abrams dalam Uniawati yang
menyatakan bahwa “sastra warna lokal adalah sastra berlatar belakang daerah,
berupa adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dialek, cara berpikir, dan perasaan
masyarakat.”37
Tidak hanya menyangkut kedaerahan dan ciri khusus kultur
setempat, menurut Uniawati, warna lokal juga pada hakikatnya menyangkut
“realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tak langsung oleh
realitas yang dicerminkan dalam karya sastra.”38
Hadirnya sebuah karya sastra yang kental dengan kelokalan dapat
menjadikannya media dalam melestarikan budaya setempat. Komposisi warna
lokal dalam karya sastra Indonesia telah dimulai sejak awal sejarah sastra
Indonesia. Bahtiar mengatakan bahwa “kalau kita perhatikan karya-karya
pengarang yang biasa dikenal dengan istilah „Angkatan Balai Pustaka‟, maka
sangat tajamlah warna lokal Minangkabau pada cerita-cerita pengarang yang
berasal dari daerah tersebut.”39
Kehadiran karya sastra Indonesia berwarna
lokal Minangkabau dapat kita temui pada Siti Nurbaya karya Marah Rusli
(1922), juga pada karya yang saat ini penulis teliti yaitu Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck karya Buya Hamka (1939). Dapat kita simpulkan bahwa
penggunaan warna lokal Minangkabau memang sudah ada sejak masa
sebelum kemerdekaan. Hanya saja terdapat perbedaan tema yang diangkat
oleh karya sastra berlatar Minangkabau sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Menurut Kusmarwanti, kebanyakan karya sastra berlatar Minangkabau
sebelum kemerdekaan mengangkat masalah perlawanan golongan pembaharu
terhadap adat yang digambarkan sebagai sesuatu yang kolot. Berbeda dengan
karya sastra berlatar Minangkabau setelah kemerdekaan, yang kebanyakan
37
Uniawati, “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen
„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra,” Kandai XII. no.1 (Mei 2016): hlm. 102. 38 Ibid. 39
Ahmad Bahtiar, “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan Terang
di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan,” artikel diakses pada 24 September 2017 dari
http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/15.
27
mengangkat “tema perjuangan untuk kebebasan dan harga diri manusia
sebagaimana dituntut oleh filosofi adatnya.40
Kemunculan warna lokal dalam karya sastra Indonesia jelas tidak dapat
terlepas dari unsur latar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar dalam
sebuah karya sastra menjadi unsur terpenting dalam kaitannya dengan
kemunculan warna lokal. Selain latar, guna mempertajam warna lokal suatu
daerah biasanya pengarang juga menggunakan bahasa serta dialek setempat
dalam karyanya. Biasanya penggunaan bahasa dan dialek tersebut akan kita
temukan pada dialog antar tokoh-tokohnya. Lebih luas lagi, Ratna
menambahkan bahwa sastra warna lokal menyajikan informasi permukaan
mengenai lokasi tertentu, dengan cara melukiskan unsur-unsur yang kelihatan
(seperti lingkungan fisik, unsur sosial dan unsur budaya) sebagai dekorasi
tanpa mendalami kehidupan yang sesungguhnya.41
Berdasarkan pernyataan
Ratna tersebut, penulis menyimpulkan bahwa untuk menghadirkan warna
lokal dalam karya sastra, maka perlu ada tiga unsur yang turut serta berperan
dalam proses penciptaan karya tersebut. Berikut adalah pembahasan mengenai
ketiga unsur-unsur tersebut.
1. Lingkungan Fisik
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia
yang perkembangannnya dipengaruhi oleh manusia serta alam sekitar.
Soerjani mengemukakan bahwa ilmu lingkungan mempelajari tempat dan
peranan manusia di antara makhluk hidup dan komponen kehidupan
lainnya. Ilmu inilah yang mempelajari bagaimana manusia harus
menempatkan dirinya dalam suatu ekosistem atau dalam lingkungan
hidupnya.42
Dalam lingkungan, terdapat komponen yaitu abiotik dan
biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti
tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen
40
Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia,” artikel
diakses pada 12 April 2019 dari http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/. 41
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 383. 42
Moh Soerjani, dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan, (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 3.
28
biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan,
manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Lingkungan fisik termasuk ke dalam komponen abiotik, atau biasa
disebut dengan kebendaan. Dalam hal ini, lingkungan fisik yang terdapat
di dalam sebuah daerah dapat berupa keadaan alam seperti gunung, sungai,
atau pun sawah. Lingkungan fisik selalu berubah oleh adanya berbagai
macam gaya alam baik yang berkekuatan besar maupun kecil. Pada cerita
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, lingkungan fisik yang dihadirkan
oleh Hamka berupa gunung, sawah, sungai, rumah, surau, dan gelanggang.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan keadaan alam
yang terbentuk dari komponen hidup dan tak hidup. Lingkungan fisik
merupakan komponen abiotik yang mencakup keadaan sumber daya alam
seperti tanah, air, laut, gunung dan sebagainya dan mengharuskan manusia
serta makhluk hidup lainnya untuk menempatkan diri dalam lingkungan
tersebut.
2. Unsur-unsur Sosial
Manusia hadir sebagai makhluk sosial yang tidak pernah bisa lepas
dari manusia yang lainnya atau lingkungan sekitarnya. Dalam jurnal yang
ditulis oleh Syatriadin, Pidarta mengungkapkan bahwa “sosiologis adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-
kelompok dan struktur sosialnya.”43
Definisi tersebut memberi arti bahwa
ilmu sosiologi mempelajari tentang bagaimana hubungan antar manusia
serta mempelajari bagaimana sistem sosial beserta unsur-unsurnya dalam
suatu wilayah.
Sistem sosial telah ada di dalam lingkungan suatu wilayah seiring
dengan berjalannya kehidupan manusia. Sistem sosial diartikan sebagai
hubungan antara unsur-unsur sosial atau bagian-bagian di dalam
kehidupan sosial masyarakat yang saling mempengaruhi. Unsur-unsur
43
Syatriadin, “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan,” JISIP I, no. 2 (November 2017):
hlm. 101.
29
sosial tersebut akan membangun suatu kesatuan yang berhubungan antara
satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan.
Adapun unsur-unsur sosial yang akan dibahas terkait penelitian ini
yaitu yang terdiri dari kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan
lembaga sosial. Berikut adalah pembahasan dari masing-masing unsur
sosial.
a. Kelas Sosial
Soekanto dan Sulistyowati mengungkapkan bahwa kelas sosial
adalah “semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya di
dalam suatu lapisan, sedangkan kedudukan mereka itu diketahui serta
diakui oleh masyarakat umum.”44
Hal ini menunjukkan bahwa adanya
kemungkinan pengelompokan yang didasarkan atas kesamaan
kedudukan, misalnya masyarakat kelas menengah ke atas berbeda
karakteristik dengan masyarakat menengah ke bawah.
Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat dapat ditentukan
dari sikap, gaya hidup, perilaku sosial, dan yang lebih mudah dapat
ditentukan berdasarkan penghasilan. Adanya kelas sosial jelas akan
menimbulkan sekat dalam kehidupan bermasyarakat, seperti apa yang
diungkapkan oleh Barir dalam jurnalnya bahwa kelas sosial pada
akhirnya “memunculkan sekat kehidupan dalam berbagai bidang,
superioritas, alienasi, perselisihan, dan tidak jarang sampai bermuara
pada tindak diskriminasi sosial”.45
b. Dinamika Sosial
Dinamika sosial merupakan hal-hal yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Soekanto
mengungkapkan bahwa “keadaan yang tidak stabil dalam kelompok
sosial terjadi karena konflik antarindividu dalam kelompok atau karena
adanya konflik antarbagian kelompok tersebut sebagai akibat tidak
44
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), hlm.
205. 45
Muhammad Barir, “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran,” Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur‟an dan Hadis XV, no. 1 (Januari 2014): hlm. 62.
30
adanya keseimbangan antara kekuatan-keuatan di dalam kelompok itu
sendiri”.46
Maka dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan yang
ada tersebut, nantinya dapat menimbulkan gangguan pada
keseimbangan sosial yang ada. Adapun objek pembahasan dinamika
sosial meliputi: pengendalian sosial, penyimpangan sosial, dan
mobilitas sosial.
1. Pengendalian sosial, merupakan cara atau proses pengawasan baik
yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk
mengajak, mendidik bahkan memaksa warga masyarakat agar para
anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai yang berlaku.
2. Penyimpangan sosial, merupakan perilaku sejumlah orang yang
dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
sehingga penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi-reaksi
seperti pergunjingan masyarakat.
3. Mobilitas sosial merupakan peristiwa sosial di mana individu atau
kelompok bergerak atau berpindah kelas sosial satu ke lapisan
sosial lainnya.
c. Kelompok Sosial
Kandioh dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa kelompok sosial
adalah “kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh
masyarakat. Kelompok juga dapat memengaruhi perilaku para
anggotanya.”47
Manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung
dengan manusia lainnya. Semakin dekat jarak geografis antara satu
orang dengan orang yang lainnya maka semakin besar peluang kedua
orang tersebut untuk saling berinteraksi, bersosialisasi, bahkan
berkelompok. Tidak hanya kedekatan fisik, faktor kesamaan juga turut
46
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, hlm. 144. 47
Frangky Benjamin Kandioh, “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial dalam
Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa,”
Society XXI, (Maret-April 2016): hlm. 52.
31
membuat masyarakat berkelompok. Kesamaan yang dimaksud seperti
kesamaan usia, minat, karakter, kepercayaan, dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok sosial merupakan
kumpulan individu yang hidup bersama karena adanya kesamaan
antara satu dengan yang lainnya serta memiliki hubungan timbal balik.
d. Lembaga Sosial
Lembaga sosial hadir sebagai alat kontol atas perilaku anggota
masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat lainnya
(menyimpang). Seseorang akan dianggap menyimpang apabila
melakukan tindakan serta perilaku yang melanggar norma, adat, dan
peraturan secara hukum. Maka dari itu, peran lembaga sosial sangatlah
penting sebagai pengendali, pembina, sekaligus mencegah adanya
penyimpangan sosial tersebut di dalam masyarakat.
…social institution lebih menunjuk pada adanya unsur-unsur yang
mengatur perilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat.
Istilah lembaga sosial (sosial institution) di sini artinya, bahwa
lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial
anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga
mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma
dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga
tersebut.48
Kutipan tersebut merupakan pernyataan dari Basrowi terkait
makna dari istilah lembaga sosial. Melalui pernyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa lembaga sosial turut serta dalam pembentukan
perilaku dan moral masyarakat. Entah secara formal maupun informal,
lembaga sosial dibuat dengan tujuan untuk mengikat perilaku anggota
masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan yang
menjadi kesepakatan sosial.
3. Unsur-unsur Budaya
Koentjaraningrat menyebutkan definisi kebudayaan sebagai “seluruh
sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan
48
Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 93.
32
belajar.”49
Dengan kebudayaan, manusia dapat hidup di segala macam
lingkungan alam. Meskipun manusia baru mengenal kebudayaannya sejak
saat ia dilahirkan, dengan kebudayaannya manusia dapat menjadi makhluk
yang paling berkuasa di mana pun ia berada. Kebudayaan merupakan
sebuah cara, baik untuk memahami maupun untuk mengorganisasikan
kehidupan manusia.
Hanafie mengungkapkan tujuh unsur kebudayaan yang dapat
ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut
sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1) sistem
religi, (2) sistem organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4)
sistem mata pencaharian hidup, (5) sistem teknologi dan peralatan, (6)
bahasa, dan (7) kesenian.50
a. Sistem Religi
Merupakan produk manusia sebagai homo religious. Sistem religi
dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu sistem
keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut
religi itu. Keyakinan mengandung konsepsi tentang dewa yang baik
maupun jahat, konsepsi tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh
leluhur, konsepsi tentang hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi
tentang ilmu gaib, dan sebagainya. Sistem upacara keagamaan
mengandung empat aspek yakni tempat upacara keagamaan dilakukan,
saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara,
orang yang melakukan dan memimpin upacara. Mengenai umat yang
menganut keyakinan, biasanya dideskripsikan mengenai pengikut
suatu kepercayaan dan hubungan satu dengan yang lainnya.
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Merupakan produk manusia sebagai homo socius. Setiap
kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat
49
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 72. 50
Sri Rahaju Djatimurti Rita Hanafie, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta : CV Andi
Offset, 2016), hlm. 38-40.
33
individu itu hidup dan bergaul. Menyadari bahwa dirinya lemah, maka
manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun
organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
c. Sistem Pengetahuan
Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan
tentang alam sekitar, pengetahuan tentang alam flora dan fauna,
pengetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-kebudayaan,
seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan pengetahuan tentang
sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan yang teramat
penting dalam suatu masyarakat. Selain itu, pengetahuan tentang sopan
santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat,
pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga
sangat penting.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Merupakan produk manusia sebagai homo economicus. Sistem ini
menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
Dari food gathering berkembang ke food producing, dari bercocok
tanam, kemudian beternak, mengusahakan kerajinan, berdagang dan
terus berkembang.
e. Sistem Teknologi dan Peralatan
Merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari
pemikirannya yang cerdas dibantu dengan kekuatan tangannya yang
mampu memegang sesuatu dengan erat, manusia menciptakan
sekaligus mempergunakan alat yang kemudian dimanfaatkan untuk
lebih memenuhi kebutuhannya. Teknologi sering dikatakan sebagai
cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan
hidup setiap suku bangsa. Teknologi tradisional adalah teknologi yang
belum dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan
“Barat”. Teknologi tradisional mengenal tujuh macam sistem peralatan
34
dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh masyarakat kecil atau
masyarakat pedesaan yaitu: alat produksi, senjata, wadah, makanan,
pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi.
f. Bahasa
Merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Pembahasan
ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang
diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari
bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan
dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-
hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan (kepala, mata,
hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya), gejala-gejala dari alam
(angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan
sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan,
duduk, berdiri dan sebagainya).
g. Kesenian
Merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Kesenian
merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan di
dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman
di setiap daerah tentu beraneka ragam. Adapun ragam kesenian yang
dimaksud misalnya seni rupa, seni suara, seni drama, dan lain-lain.
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran mengenai analisis novel yang dibahas di sekolah sangat
membantu siswa dalam memperdalam ilmu sastra. Tujuan pembelajaran
tersebut dijabarkan ke dalam empat kompetensi, yaitu kompetensi menyimak,
kompetensi berbicara, kompetensi membaca, dan kompetensi menulis sastra.
Kompetensi menyimak meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan
mengapresiasi ragam karya sastra sesuai dengan tingkat kemampuan peserta
didik. Kompetensi berbicara meliputi kemampuan membahas dan
mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan konteks lingkungan dan
budaya. Kompetensi membaca meliputi kemampuan membaca dan memahami
35
berbagai jenis karya sastra. Kompetensi menulis meliputi kemampuan
mengapresiasikan karya sastra dalam bentuk sastra tulis yang kreatif dalam
bentuk menulis kritik dan esai sastra berdasarkan jenis sastra yang telah
dibaca. Menurut Rahmanto, manfaat dari pembelajaran sastra bagi siswa di
sekolah yaitu “membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan
budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak.”51
Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak
dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita
rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan berbicara dengan ikut berperan
dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan
membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra
itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan
hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.52
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa kehadiran sastra
dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting. Dengan
mengikutsertakan sastra dalam kurikulum sekolah, berarti akan membantu
siswa melatih keterampilan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara yang
saling berhubungan satu sama lain. Melalui pembelajaran sastra, diharapkan
agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra serta mampu mengembangkan
kepekaan siswa dalam memahami karya sastra.
Analisis warna lokal memang jarang ditemukan dalam pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, sehingga pengetahuan siswa tentang
warna lokal sangat rendah. Padahal dengan mempelajari warna lokal dalam
sebuah karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter peserta didik dalam
menghargai budaya bangsa. Selain warna lokal, kajian ekranisasi juga menjadi
pembelajaran baru yang menarik bagi siswa. Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa hingga saat ini minat siswa untuk membaca sebuah novel
masih sangat rendah, terlebih lagi jika novel yang harus dibaca adalah novel-
novel sastra klasik. Hadirnya film-film hasil ekranisasi novel sastra klasik
51
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 16. 52
Ibid, hlm. 17.
36
seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,
dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada
di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil
ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca
mereka. Melalui media film, diharapkan guru dapat membantu siswa untuk
meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya
sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film.
G. Hasil Penelitian yang Relevan
Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian terhadap
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini, dapat dibandingkan dengan skripsi
Dita Kurmala Sari, mahasiswi S1 Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bengkulu pada tahun 2014.
Skripsinya berjudul “Pandangan Etnis Minangkabau tentang Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Studi pada Masyarakat Minangkabau di
Bengkulu)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menemukan
bagaimana cara pandang etnis Minangkabau, baik pandangan golongan tua
etnis Minangkabau maupun pandangan golongan muda etnis Minangkabau
tentang novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya
Hamka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif
dengan teknik analisis model interaktif. Melalui teori Perbedaan Individu,
hasil menunjukkan bahwa dari latarbelakang cerita dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, masyarakat Minangkabau golongan tua
dan golongan muda memiliki persepsi yang beragam dalam memaknai adat
yang berlaku di daerah Minangkabau. Ada yang berpendapat sama dan ada
pula yang mengatakan bahwa sekarang cerita pada novel itu tidaklah berlaku
lagi. Hal itu karena pengaruh globalisasi, pendidikan, dan kemajuan teknologi.
Sementara itu, Isma Ariyani yang merupakan seorang mahasiswi S1 Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin,
juga melakukan penelitian terhadap novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck pada tahun 2014. Skripsinya berjudul “Representasi Nilai Siri’ pada
37
Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis
Framing Novel)”. Hasil penelitian yang didapat oleh Isma menunjukkan
bahwa cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam
menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka mengemas karakter
Zainuddin sebagai sosok berdarah Makassar-Minang berdasarkan cara
pandangnya. Hamka cukup paham dengan makna siri’ yang dianut masyarakat
Makassar, namun pencitraan nilai siri’ pada diri Zainuddin masih lemah. Hal
ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Hamka sebagai orang
Minangkabau (non-Makassar), maka tidak terdapat kesadaran besar untuk
menggambarkan karakter orang Makassar sebagaimana seharusnya pada
sosok Zainuddin. Begitu pula tokoh Zainuddin dalam cerita diposisikan
sebagai seseorang yang berdarah Makassar-Minang, secara lahiriah bisa saja
darah Minang melekat pada diri Zainuddin, sehingga tidak sepenuhnya ia
mampu memegang kokoh adat Makassar.
Adapun Daratullaila Nasri, mahasiwi S2 Ilmu Sastra, Universitas Gajah
Mada. Tesisnya berjudul "Ideologeme Novel Tenggelamnya Kapal van der
Wijck Karya Hamka; Kajian Intertekstual Kristeva" pada tahun 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan bentuk dan makna ideologeme pada
teks Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Untuk menyajikan tujuan penelitian
tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis suprasegmental dan
intertekstual. Cara kerja penelitian ini, yaitu mencari fungsi intertekstual yang
ada pada teks cerita. Fungsi tersebut adalah kode yang terkait dengan teks
sosial dan sejarah yang ditemukan dalam variabel terikat dan kemudian
dihubungkan dengan variabel independen. Variabel terikat mengacu kepada
teks dalam, sedangkan variabel independen mengacu pada teks luar. Hasil
penelitian ini menunjukkan, bahwa teks sosial dan sejarah yang ditemukan
pada teks novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki kesamaan atau
kejajaran dengan teks sosial dan sejarah yang ada pada teks luar. Bentuk teks
sosial dan sejarah yang ditemukan pada teks cerita tersebut adalah teks mamak
dan kemenakan, harta pusaka, perkawinan, perempuan sebagai kemenakan,
38
urang sumando, surau, Rumah Gadang dan rangking, parewa, urang siak,
urang asa, asal usul Islam di Makassar, dan peristiwa tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck sebagai latar cerita. Teks sosial dan sejarah tersebut
didominasi oleh budaya Minangkabau. Pendominasian ini menggambarkan
pengekslusifan budaya sehingga membentuk masyarakatnya. Produksi makna
teks dihasilkan melalui cara pandang oposisi, tranformasi dan transposisi.
Cara pandang oposisi tidak mempersatukan dua sistem budaya yang berbeda,
sehingga muncul transposisi dan transformasi budaya, yaitu dari tradisional ke
modern. Modernitas membawa orang berpikir nasionalis sehingga tidak ada
lagi perbedaan antarsuku atau kelompok. Yang ada hanya persatuan
antarbangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang penulis paparkan di atas, maka
skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” ini belum pernah ada
yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis mengangkat
judul tersebut sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
39
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA
A. Biografi Buya Hamka
Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian dikenal kebanyakan orang
sebagai Buya Hamka ini dilahirkan di desa Sungai Batang, Maninjau pada
tanggal 16 Februari 1908. Hamka adalah seorang ulama besar, filosof, pujangga
akbar, serta politikus. Di tanah Minang yang terkenal dengan adat bersendi
syarak inilah Hamka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama
yang cukup berpengaruh. “Hamka adalah anak tertua dari ibunya yang bernama
Sofiyah. Ayahnya dikenal sebagai Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah,
yang terpandang sebagai ulama sekaligus pembaharu keagamaan di
Minangkabau.”1
Hamka memang dikenal sebagai seorang yang besar dalam segala bidang.
Namun ternyata semua itu tidak diawalinya dengan menjadi manusia baik.
Beberapa tahap kehidupan sebagai “parewa” dan berkecimpung sebagai seorang
yang mencari kebebasan (free man) pernah ia lalui.2 Haji Abdul Karim sebagai
ulama besar menghendaki Hamka untuk menjadi orang besar dan alim. Untuk
itu ayahnya memasukkan Hamka ke Madrasah Thawalib, suatu lembaga
pendidikan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Hamka dibentuk jiwanya
dengan ajaran agama yang ditanamkan ayahnya. Di lain pihak Hamka
memendam kekecewaan atas perilaku ayahnya. Ia tidak suka melihat ayahnya
kawin cerai.
Akhirnya Hamka memutuskan untuk meninggalkan tanah Minang dan
berangkat ke tanah Jawa. Namun perantauannya kandas di Bengkulu. Ia
terserang penyakit cacar. Belum lagi pulih kesehatannya, ia pun terserang
malaria. Dengan tekad yang kuat, jadilah ia berangkat ke Jawa. Hamka yang
saat itu masih berusia 16 tahun berhasil mengikuti kursus-kursus yang
diselenggarakan Serikat Islam (SI) Yogyakarta lewat pamannya, Ja’far
1 Roni Effendy, “Buya Hamka,” Singgalang KMS, 25 Agustus 1987, hlm. 2.
2Anspek, “HAMKA: Sumur Yang Tak Pernah Kering,” Haluan, 23 September 1990, hlm.
10.
40
Amrullah. Serikat Islam inilah yang merasuki jiwa Hamka sehingga ia rajin
mendengarkan pidato para tokoh Muhammadiyah.3
Sekembalinya dari tanah Jawa, Hamka mulai mengemukakan ide-ide
sosialisme Islam lewat pidatonya di tanah Minang sehingga Hamka sudah
menjadi tokoh di Minangkabau saat usianya masih 17 tahun. Hamka juga
menerbitkan majalahnya yang pertama yaitu “Khatib-ul Ummah” tahun 1925.
Pada usia 17 tahun, ia telah sering menulis di berbagai majalah dan surat kabar.
Di bidang jurnalistik, kariernya tercatat sebagai koresponden dan pemimpin
majalah Pelita Andalas, Bintang Islam, Kemajuan Zaman, Al Mahdi (di
Makassar), Pembela Islam, Bintang Islam, Pedoman Masyarakat dan Panji
Masyarakat.4 Meskipun Hamka sudah terkenal di Minang, ia masih sering
mendapat kritikan pedas dari masyarakat karena Hamka dipandang hanya
sebagai “tukang pidato” bukan ahli agama apalagi ahli bahasa Arab. Situasi
seperti ini membuat Hamka memutuskan untuk pergi ke Mekkah saat usianya
19 tahun. Sekembalinya dari Mekkah pada tanggal 5 April 1929, Hamka
menikahi Siti Rahmah, gadis pujaannya sejak kecil. Dengan gelar “Haji” di
depan namanya, Hamka baru dianggap sah sebagai ulama oleh masyarakat
Minang. Ia kembali aktif dalam pergerakannya sebagai pengurus
Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini ia mengembangkan bakat
intelektualnya lewat majalah “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini pun
mempopulerkan namanya dengan sederet julukan; wartawan, pengarang,
mubaligh sekaligus ahli dakwah. Di Medan ini pula Hamka mengenal karya-
karya sastra dan kebudayaan barat sehingga wawasan budayanya semakin tebal.
Terbukti dengan mencuatnya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau
Ke Deli (1940), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937).5
Ketika Jepang berkuasa, Hamka menjadi konsul Muhammadiyah Sumatera
Tengah. Jabatan inilah yang membuatnya didekati Jepang. Ia dianggap tokoh
agama masyarakat, tapi justru itu Hamka dijauhi masyarakat dan kerabatnya,
3 Effendy, “Buya Hamka”.
4 SP, “Prof. Dr. Hamka,” Haluan, 19 Februari 1989, hlm. 9.
5 Effendy, “Buya Hamka”.
41
yang menganggapnya “anak emas” Jepang. Menghadapi hal ini, Hamka dengan
berat hati meninggalkan kota Medan, setelah Jepang angkat kaki. Hamka
pindah ke Jakarta tahun 1950. Ia diangkat menjadi anggota pimpinan pusat
Muhammadiyah di Purwokerto. Di Jakarta ia lebih aktif dalam gerakan sosial,
dakwah dan mengarang. Antara tahun 1951-1952 Hamka mengelola Yayasan
Pesantren Islam yang didirikan Dr. Syamsudin (Mensos saat itu). Yayasan
inilah yang melahirkan masjid agung Al-Azhar yang berpengaruh besar pada
kegiatan dakwah islamiah di Jakarta dan sekitarnya.6
Pergolakan poltik di awal tahun 60-an makin panas. Hamka mendirikan
majalah “Gema Islam”. Media ini efektif membendung PKI yang sering
menyerang lewat surat kabarnya. Mengahadapi hal ini PKI makin gencar
menyudutkan posisi Hamka. PKI menuduh Hamka sebagai plagiator dalam
bukunya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, berlanjut dengan tuduhan
Hamka berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Ini mengakibatkan Hamka
mendekam di penjara.
Hamka banyak berjasa bagi bangsa, negara, agama, dan kemanusiaan.
Hamka mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar
(1958) dan dari University Kebangsaan Kualalumpur, Malaysia (1974). Pada
tahun 1975 Hamka menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka juga pernah menjabat sebagai anggota Majelis Ta’sisi Robitoh Alam
Islami yang berkedudukan di Mekkah.7
Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10:41 WIB, Hamka dipanggil Tuhan setelah
berbaring di rumah sakit selama seminggu. Beliau meninggalkan 10 orang
putra-putri dan seluruh umat manusia yang mencintainya.
B. Karya Buya Hamka
Sebagai sastrawan yang produktif, Hamka telah menciptakan lebih dari 300
buku besar dan kecil. Belum lagi yang bertebaran di banyak media massa. Di
antaranya: Khatibul Ummah (Majalah) (1925); Kemajuan Zaman (Majalah)
6 Effendy, “Buya Hamka”.
7 SP, “Prof. Dr. Hamka”.
42
(1928); Si Sabariyah (1928); Pembela Islam (1929); Islam dan Adat
Minangkabau (1929); Agama dan Perempuan (1929); Laila Majnun (1932); Al-
Mardi (1932); Pedoman Masyarakat (1936); Di bawah Lindungan Ka’bah
(1937); Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939); Margaretta Gauthier
(1938); Terusir (1938); Tasauf Modern (1938); Falsafah Hidup (1939);
Lembaga Hidup (1939); Penuntun Jiwa (1939); Di dalam Lembah Kehidupan
(1939); Merantau ke Deli (1939); Keadilan Illahi (1939); Lembaga Budi (1940);
Cermin Penghidupan (1940); Dijemput Mamaknya (1940); Angkatan Baru
(1940); Tuan Direktur (Almudirr) (1940); Sejarah Islam di Sumatera (1943);
Merdeka (1946); Revolusi Pikiran (1946); Revolusi Agama (1946); Negara
Islam (1946); Dari Lembah Cita-Cita (1946); Di Bantingkan Ombak
Masyarakat (1946); Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (1946); Naskah
Renville (1948); Menunggu Beduk Berbunyi (1949); Cemburu (Ghibah)
(1949); Bohong di Dunia (1949); Urat Tunggang Pancasila (1950); Ayahku
(1950); Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1950); Mandi Cahaya di
Tanah Suci (1951); Di Lembah Nyl (1951); Di tepi Sungai Dajlah (1951);
Empat Bulan di Amerika 2 jilid (1952); Kenang-kenangan Hidup 4 jilid (1952);
Pribadi (1952); Lembaga Hikmat (1952); 1001 Soal-soal Hidup (1953); Sejarah
Umat Islam 4 jilid (1955); Pelajaran Agama Islam (1955); Kenang-kenangan di
Malaya (1956); Dari Perbendaharaan Lama (1957); Pengaruh Moh. Abduh di
Indonesia (1959); Panji Masyarakat (Majalah Islam) (1959); Pandangan Hidup
Muslim (1966); Sayid Jamaluddin Al-Afghani (1966); Tanya-Jawab 2 jilid
(1966); Panji Masyrakat (Majalah Islam) (1966); Kisah Nabi-Nabi (1968);
Beberapa Tantangan tantangan Umat Islam di Masa Kini (1972);
Mengembalikan Tasauf ke pangkalnya (1973); Kedudukan Perempuan dalam
Islam (1973); Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1973); Muhammadiyah
di Minangkabau (1974). Karya Hamka yang dinilai terbesar yaitu “Tafsir Al
Azhar” yang memuat 30 juz lengkap kitab Al Qur’an. Tafsir ini dikarang
Hamka di dalam penjara masa orde lama.
43
C. Pemikiran Buya Hamka
Buya Hamka adalah pribadi yang mengasyikkan. Bila berbicara, baik ketika
bercakap-cakap, berceramah maupun berkhotbah, ia mampu memukau
pendengarnya. Ia bisa bagaikan “singa” di podium bila menangkis “tuduhan”
yang menyakitkan bagi Islam. Namun sebaliknya bila jiwanya tersentuh oleh
hal-hal yang manusiawi, ia mampu menguras airmata pendengarnya. Bahkan
tak jarang ia berkhotbah sambil tiap sebentar menyeka airmatanya, pada saat
mengagungkan kebesaran Ilahi. Hamka memiliki kharisma yang sukar
dicarikan tandingannya. Sikap yang terbuka dan jujur merupakan suatu ciri
tersendiri bagi Hamka dalam menghadapi berbagai situasi. Sikap Hamka
tersebut banyak dipengaruhi oleh peran sosial dan harapan-harapan ayahnya,
lingkungan adat Minangkabau tempat dia dibesarkan, serta nilai-nilai Islam
yang amat diyakininya.8
Menurut Jassin, Hamka adalah orang yang punya prinsip. Dalam dunia
sastra, Jassin melihat Hamka sebagai seorang yang cukup kreatif dan besar
pengaruhnya. Apa yang diceritakan Hamka dalam roman-romannya,
sebenarnya adalah konsep-konsep beliau tentang kehidupan dan menarik bagi
orang lain. Karena tertarik tentu saja orang mengikuti. Jadi dalam hal ini, dalam
pembentukan bahasa dengan gayanya sendiri, Hamka mempunyai arti penting
dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Penampilan Hamka memang
komplit. Kelancarannya menulis, berpidato, saling berkait. Karena itu tidaklah
mengherankan kalau Hamka bukan saja dikenal di dalam negeri, tetapi juga di
Malaysia. Bahkan buku-bukunya banyak dicetak di Malaysia.9
Menurut H. Abdullah Salim, kepemimpinan Buya Hamka sudah nampak
pada waktu mudanya terutama dalam bidang kesusasteraan, Hamka dikenalnya
sebagai pengarang yang berbakat. Jika dilihat dari segi pendidikan memang
rendah sekali, tetapi karena jiwa kepemimpinannya yang pada waktu mudanya
8 Azkarmin Zaini, “Buya Hamka,“ Kompas, 10 Agustus 1980, hlm. 7.
9 “HB JASSIN: HAMKA,” Amanah, no. 1 (Juli 1986): hlm. 78.
44
sangat aktif dalam organisasi inilah yang membesarkan Hamka menjadi dewasa
dan mendorong terus untuk maju dalam membina umatnya.10
Predikat Hamka di samping ulama yang juga berperan sebagai pengarang
roman pernah pula menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam di
Indonesia. Ada yang menganggap, ulama mengarang roman biasa saja. Ada
pula yang berpendapat, itu tidak pantas. Di waktu inilah ia mendapat julukan
yang tidak mengenakkan sebagai pengarang “ulama pengarang roman”. Akan
tetapi walaupun demikian ia tak pernah ambil pusing. “Kalau ilham datang,
saya akan terus mengarang roman,” katanya pada suatu ketika.11
D. Profil Tim Produksi
Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diproduksi oleh PT Soraya
Intercine Films, sebuah rumah produksi sekaligus distributor film di Indonesia
yang didirikan oleh Ram Soraya pada 1 Juni 1982. Soraya Intercine Films
adalah perusahaan film terbesar di Indonesia. Sudah ratusan film produksi
Soraya Intercine Films yang mempunyai prestasi yang membanggakan.
Aktivitas bisnis dari perusahaan ini antara lain :
1. Memproduksi film
2. Memproduksi sinetron
3. Mendistribusikan film
4. Penjualan film baik dalam lingkup nasional maupun internasional
Hingga saat ini, Soraya Intercine Films telah memproduksi kurang lebih
tujuh puluh judul film. Kantor pusat perusahaan ini berada di Jalan K.H. Wahid
Hasyim 3 Menteng, Jakarta Pusat. Adapun direktur dari rumah produksi ini
yaitu Ramesh Pridhnani (Ram Soraya), sementara wakil direktur dari rumah
produksi ini yaitu Sunil Pridhnani (Sunil Soraya).
Sutradara dibalik pembuatan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
adalah Sunil Soraya. Sunil Soraya merupakan putra dari sutradara Ram Soraya,
pemilik rumah produksi Intercine Films. Sunil adalah seorang sutradara dan
10
Chatum, “Syubbanul Yaum Rijalul Ghad: Pemuda Kini, Tokoh Masa Depan,“ Risalah
Islamiyah, t.t., hlm. 33. 11
Raflis Chaniago, “H.B. Jassin Membela Hamka,” Singgalang, 4 Juni 1990, hlm. 6.
45
juga produser film Indonesia yang dikenal dengan karya-karya film remajanya,
seperti Apa Artinya Cinta? (2005), Eiffel I’m in Love (2003), Single (2015),
dan masih banyak lagi.
46
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Objektif Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sebagai sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan tokoh-
tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks, tentunya novel tidak berdiri
sendiri. Ada beberapa unsur yang turut serta membangun sebuah novel, yang
terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, gaya
bahasa, dan amanat.
1. Tema
Tema yang terdapat dalam novel tidak mengalami perubahan apapun
setelah proses ekranisasi. Pada novelnya, tema yang terkandung
menceritakan tentang percintaan yang terjalin antara Zainuddin, Hayati,
dan Aziz. Zainuddin yang telah terlanjur mencintai Hayati tak dapat
berbuat apa-apa setelah hubungan keduanya ditentang keras oleh adat
mereka.
…Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang
Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak
ada: Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia
kita terima menjadi suami anak kemenakan kita, ke mana kemenakan
kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit
sekali soal ini.1
Sementara itu pada filmnya, tema cerita tidak mengalami perubahan
yang berarti. Masih dengan tema yang sama, yakni percintaan antara
Zainuddin, Hayati, dan Aziz yang dibumbui dengan kerasnya adat
Minangkabau.
2. Tokoh dan Penokohan
Selalu ada unsur tokoh di dalam sebuah cerita, entah tokoh yang
dihadirkan merupakan makhluk hidup ataupun benda mati yang
digambarkan seolah-olah hidup. Dalam kehadirannya, unsur tokoh
1 Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), hlm.
128.
47
selalu berdampingan dengan penokohan. Pada novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dihadirkan Zainuddin sebagai tokoh utama, juga
Hayati, Mak Base, Datuk, Aziz, Muluk, Khadijah, Ahmad, Mak Ipih,
dan beberapa tokoh lain sebagai tokoh tambahan.
Sementara itu pada filmnya, terdapat tokoh tambahan yang
mengalami penambahan, yaitu adanya beberapa pembantu di rumah
Zainuddin, Engku Labai, Ida, beberapa pegawai bank, pemilik lepau,
Rusli, Tuan Iskandar, dan HM Kasim. Penambahan tersebut terjadi
demi menyesuaikan variasi-variasi yang berbeda di dalam alur film.
Selain penambahan, ada beberapa tokoh tambahan yang dihilangkan,
yaitu Pandekar Sutan, Daeng Habibah, dan Datuk Paduka Emas (kakek
Zainuddin). Penciutan tersebut terjadi karena memang tidak
terdapatnya alur yang menceritakan tentang ketiga tokoh tersebut.
Dari beberapa tokoh yang terdapat di dalam cerita, terdapat
beberapa tokoh yang dianggap penting dan cukup menjadi fokus dalam
novelnya. Penulis memfokuskan kepada tokoh Zainuddin, Hayati,
Aziz, dan Muluk. Adapun analisis penokohan tersebut lebih jelasnya
penulis paparkan sebagai berikut.
1. Zainuddin
Kedudukannya dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
yakni sebagai tokoh utama laki-laki yang menjadi penyebab
terjalinnya peristiwa dalam cerita ini. Dilihat dari segi peranannya,
tokoh Zainuddin ditampilkan terus menerus sehingga mendominasi
sebagian besar cerita. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
memiliki dua puluh delapan bab cerita, dalam dua puluh delapan
bab cerita tersebut tokoh Zainuddin adalah yang paling dominan
muncul dalam dua puluh dua bab cerita.
Dilihat ciri fisiknya, tokoh Zainuddin yang memiliki darah
campuran Makassar dan Minangkabau agaknya kurang tampan
sehingga dirinya kerap merasa tidak pantas untuk Hayati.
Zainuddin memiliki sorot mata dan wajah yang muram. Meskipun
48
begitu, Zainuddin dianggap gagah dan pantas saat dirinya datang
ke Minangkabau. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat dalam beberapa
kutipan berikut:
Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya
mukanya yang sekarang adalah lebih jernih, pakaian yang
dipakainya lebih gagah dan lebih mahal dari dahulu. Meskipun
mukanya tidak tampan, tetapi cahaya ilmu, pengalaman,
penanggungan, cahaya seni, semuanya telah memberinya
bentuk yang baru.2
Sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh dengan
cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan batin yang begitu
hebat sejak kecil, telah menimbulkan kasihan yang amat dalam
di hati Hayati.3
Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana
kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan
beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang
menurut adat di Minangkabau dinamai „anak pisang‟.4
Penggambaran karakteristik tokoh Zainuddin yang tidak
tampan rupanya cukup kontradiktif dengan yang yang ada di dalam
film ekranisasinya. Herjunot Ali yang menempati posisi sebagai
tokoh Zainuddin memiliki perawakan yang tinggi namun tidak
gemuk, kulitnya putih, tampan, serta tatapan mata yang teduh.
Sekuen No.46/1:48:21 Sekuen No.4/07:14
Jika terdapat perbedaan bagaimana rupa tokoh Zainuddin di
novel dengan filmnya, lain halnya perihal penampilan tokoh
Zainuddin. Baik di dalam novel maupun di dalam film, kesan alim
menempel pada cara Zainuddin berpenampilan. Zainuddin selalu
mengenakan sarung khas Bugis yang merupakan daerah kelahiran
2 Ibid., hlm. 198.
3 Ibid., hlm. 38.
4 Ibid., hlm. 22.
49
Zainuddin. Jika disandingkan dengan tokoh Aziz jelas sangat
kontradiktif. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Seorang temannya berkata pula, „Rupanya alim betul
kenalanmu itu!‟5
Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita heran, jika
Hayati termenung, mukanya tertekur, kepalanya berasa sakit,
melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai
orang lain; memakai pakaian, seakan-akan orang yang tersisih.6
Perihal penampilan Zainuddin inilah yang nantinya menjadi
salah satu penyebab Hayati bimbang akan perasaannya. Pasalnya
penampilan Zainuddin saat di pacuan kuda menjadi buah mulut
Khadijah, Aziz dan rekan-rekannya. Mereka merendahkan
Zainuddin lewat penampilan tersebut.
Sekuen No.4/06:58 Sekuen No.28/50:54
Perihal penampilan Zainuddin inilah yang nantinya menjadi
salah satu penyebab Hayati bimbang akan perasaannya. Pasalnya
penampilan Zainuddin saat di pacuan kuda menjadi buah mulut
Khadijah, Aziz dan rekan-rekannya. Mereka merendahkan
Zainuddin lewat penampilan tersebut.
Dilihat dari aspek psikologis, Zainuddin yang sejak kecil telah
dirundung kemalangan ini adalah sosok pemuda yang pantang
menyerah. Hal tersebut diketahui dari dialog yang terjadi di dalam
novel antara dirinya dan Mak Base.
Mamak jangan panjang waswas. Pepatah orang Mengkasar
sudah cukup: „anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang,
hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah
dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun
5 Ibid., hlm. 92.
6 Ibid., hlm. 94-95.
50
bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan
layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haliuan
pulang.‟7
Dialog tersebut terjadi saat Zainuddin hendak meninggalkan
Mengkasar menuju Padang, ke tanah kelahiran ayahnya untuk
memperdalam ilmu dunia dan akhirat. Lewat dialog tersebut
terlihat bagaimana sikap pemuda Mengkasar yang pantang
menyerah, tidak peduli apapun halangan dan rintangannya, ia tidak
akan pulang sebelum tujuannya tercapai; memperdalam ilmu dunia
dan akhirat. Lewat dialog tersebut terlihat bagaimana sikap pemuda
Mengkasar yang pantang menyerah, tidak peduli apapun halangan
dan rintangannya, ia tidak akan pulang sebelum tujuannya tercapai;
memperdalam ilmu dunia dan akhirat. Namun penokohan yang
satu ini hanya dapat kita temukan di dalam novel. Pada filmnya,
dialog ini tidak ada, melainkan hanya sebatas permintaan izin
Zainuddin yang hendak berangkat ke Padang.
Sekuen No.2/03:06
Sesampainya di Padang, cobaan tidak henti-hentinya
mendatangi Zainuddin. Meskipun begitu, Zainuddin tidak
melupakan Tuhan-Nya. Zainuddin tetaplah sosok pemuda yang
tekun beribadah dan selalu berserah diri kepada Tuhan.
Dihalangi, atau tidak dikabulkan permintaannya, diterimanya
dengan sabar dan tawakal; apa boleh buat! Memang sudah
suratan nasibnya sejak kecil akan selalu dibesarkan oleh
sengsara, digedangkan dengan keluhan.8
7 Ibid., hlm. 20.
8 Ibid., hlm. 136.
51
Sekuen No.35/1:14:47
Frame tersebut menggambarkan situasi tokoh Zainuddin yang
tengah membaca Al-Quran, sementara pada adegan yang lain
pernikahan Hayati dan Aziz tengah berlangsung. Hal tersebut
menunjukkan bahwa bahkan pada saat cobaan mencapai titik
terendah dalam hidupnya, ia tidak melupakan Tuhan. Baik di
dalam novel maupun di dalam film ekranisasinya penokohan ini
dapat kita temukan, hanya saja porsi penokohan ini lebih banyak
ditemukan di dalam novel dibanding filmnya.
Sejak awal kemunculannya di dalam cerita, tokoh Zainuddin
digambarkan sebagai seorang pemuda yang tertarik pada dunia
seni. Selain piawai dalam menulis hikayat, ia pernah menekuni
seni musik. Ketertarikannya pada seni musik dibuktikan dalam
kutipan berikut:
Malam dia pergi kepada seorang sersan pension di Guguk
Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang
diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramai-ramai.
Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan
perasaan.9
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Zainuddin
memiliki ketertarikan pada dunia seni, khususnya seni musik. Hal
tersebut menjadi nilai tambah pada sosok Zainuddin, mengingat
pada saat itu sangat jarang sekali pribumi yang menekuni seni
musik. Akan tetapi penokohan yang satu ini hanya dapat kita
temukan di dalam novel.
9 Ibid., hlm. 83.
52
Berbagai cobaan yang mendera Zainuddin sejak kecil
menjadikan Zainuddin seorang pemuda yang teguh dalam
menghadapi seluruh cobaan tersebut. Dianggap asing oleh
masyarakat Batipuh, pengusiran terhadap dirinya oleh Engku
Datuk, meninggalnya Mak Base, pernikahan Hayati dan Aziz, dan
terakhir meninggalnya Hayati. Keteguhan Zainuddin saat
menghadapi seluruh cobaan tersebut dapat kita temukan dalam
filmnya, namun tidak sepenuhnya pada novelnya.
Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan
ibunya. Kadang-kadang pula dia menyadari untung malangnya,
mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang
Minangkabau!10
Berputar laksana perpusaran buaian di pasar keramaian
layaknya otak Zainuddin memikirkan nasibnya, napasnya
sesak, matanya menjadi gelap. Dia teringat… teringat satu
perbuatan yang berbahaya sekali membunuh diri. Sudah hilang
pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya, dicoba-cobanya
mengikatkan tali ke atas paran yang melintang, supaya berakhir
azab dunia yang tidak berhenti-henti atas dirinya ini.11
Sejak kejadian yang hebat itu, tubuh Zainuddin kian lama kian
lemah, dada sesak, pikiran selalu duka dan sesal yang tiada
berkeputusan. Seakan-akan dipandangnya bahwa hidup yang
sekarang ini, hanya semata-mata singgah kepada suatu negeri
menjemukan, yang tidak sedikit juga menarik hati.12
Ketiga kutipan tersebut menandakan bahwa keteguhan
menghadapi cobaan hidup pada diri Zainuddin tidak berlaku.
Kutipan pertama menunjukkan penyesalan terhadap kehadiran
dirinya setelah ia diusir oleh Datuk dari Batipuh. Kutipan kedua
menunjukkan keputusasaan yang Zainuddin alami sepeninggal
Mak Base. Kutipan ketiga menunjukkan penyesalan terhadap
dirinya sepeninggal Hayati, dan pada akhirnya penyesalan tersebut
ia bawa hingga mati.
10
Ibid., hlm. 67. 11
Ibid., hlm. 120. 12
Ibid., hlm. 258.
53
Dilihat dari aspek sosiologis, kehadiran Zainuddin di
Minangkabau dikenal sebagai „anak pisang‟ lantaran garis
keturunannya. Diceritakan bahwa ayahnya (Pandekar Sutan)
merupakan seorang keturunan Minangkabau yang bersalah dan
dibuang ke Mengkasar selama dua belas tahun. Di sanalah ayahnya
bertemu dengan ibunya (Daeng Habibah) lalu jatuh cinta dan
menikah. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Minangkabau
menganut sistem matrilineal. Maka menurut adat Minangkabau, ia
bukanlah orang Minang. Inilah penyebab utama dirinya tidak bisa
bersatu dengan Hayati.
“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai”, perkataan ini
terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang
sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu,
anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat
Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan,
turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang
berpendam pekuburan, bersasap berjerami di dalam negeri
Batipuh itu.13
Sebutan „anak pisang‟ memiliki bab khusus yang menceritakan
asal-usul Zainuddin sehingga Zainuddin dikenal demikian. Namun
tidak pada filmnya, melainkan hanya diceritakan sekilas saja lewat
dialog para tokohnya.
Sekuen No.15/23:47 Sekuen No.32/1:08:50
Setelah Zainuddin diminta oleh Datuk untuk pergi
meninggalkan Batipuh, Zainuddin meneruskan perjalanannya ke
Padang Panjang. Rupanya Padang Panjang menjadi saksi jatuh dan
bangkitnya Zainuddin sebelum dirinya memutuskan untuk
merantau ke tanah Jawa bersama Muluk. Sesampainya di tanah
13
Ibid., hlm. 63.
54
Jawa, Zainuddin sukses melebarkan sayapnya sebagai pengarang
dan mengubah namanya menjadi Tuan Shabir. Selain sebagai
pengarang yang mahsyur, Zainuddin menjadi sutradara dari sebuah
perkumpulan sandiwara di Surabaya.
Karena kemuliaan budi dan kebaikan hatinya, yang tiada suka
mengganggu orang lain, lagi suka menghormati pikiran orang
lain, dalam sedikit masa pula, namanya telah harum dalam
perkumpulan „Anak Sumatra‟ itu. Sehingga tidak berapa lama
kemudian, atas anjurannya sendiri didirikan suatu perkumpulan
tonil dengan nama „Andalas‟, nama asli Pulau Sumatra.
Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia
termahsyur dengan nama samara Leter „Z‟, pengarang hikayat,
regisseur dari perkumpulan sandiwara Andalas.14
Sekuen No.53/2:02:10 Sekuen No.48/1:53:27
Frame tersebut menggambarkan situasi saat penyambutan
Zainuddin sebagai pengarang dan sutradara sekaligus anggota
kehormatan Klub Anak Sumatra. Penokohan ini dapat kita
temukan di dalam filmnya.
Kesuksesan yang berhasil diraih Zainuddin sebagai seorang
pengarang dan sutradara kelompok teater „Andalas‟ ternyata tidak
menjadikan Zainuddin lupa diri, mengingat betapa banyak cobaan
yang pernah menghampiri dirinya. Tokoh ini menjadi sangat
dermawan, ia tidak ingin ada orang lain bernasib sama seperti
dirinya.
Kalau sekiranya ada orang dagang anak Sumatra atau anak
Mengkasar yang terlantar di kota Surabaya dan datang meminta
tolong kepadanya, tidaklah mereka akan meninggalkan rumah
itu dengan tangan kosong. Ketika diketahuinya bahwa di kota
itu ada perkumpulan anak-anak Sumatra yang bekerja
memburuh atau di tempat-tempat yang lain, sudi pula dia
14
Ibid., hlm. 184-185.
55
memasuki perkumpulan itu. Segala iuran diisinya, kadang-
kadang lebih daripada yang dibayar orang lain. Karena
demikianlah ahli seni, tak peduli kepada uang.15
Kedermawanan yang dimiliki tokoh Zainuddin rupanya hanya
dapat kita temukan secara lengkap di dalam novel. Adapun
kedermawanan Zainuddin yang terdapat di dalam filmnya hanya
diketahui lewat dialog yang terjadi antara Muluk dan Hayati. Tidak
ada adegan khusus yang menunjukkan kedermawanan tokoh
Zainuddin.
Sekuen No.58/2:26:42
2. Hayati
Hadir sebagai bunga Batipuh, Hayati juga menjadi tokoh yang
lumayan disorot dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Terlebih lagi tokoh ini berhubungan langsung dengan tokoh utama
dalam cerita. Tokoh ini muncul dalam enam belas bab cerita dari
dua puluh delapan bab cerita.
Dilihat dari ciri fisiknya, tokoh Hayati yang baru tamat kelas
lima sekolah agama ini digambarkan sebagai perempuan Batipuh
yang berparas cantik dengan muka yang amat jernih, dan pipi yang
montok.
Hayati yang cantik! Yang menerbitkan iri hati dalam kalangan
kawan-kawannya. Akan ke manakah hilangnya kelak
kecantikan itu, akan jadi korban dari nafsu seorang yang kejam,
yang hendak mengikatnya menjadi permainannya.16
Ah, alangkah beruntungnya jika dia dapat berkenalan dengan
gadis itu, berkenalan saja pun cukuplah. Mukanya amat jernih,
15
Ibid., hlm. 184. 16
Ibid., hlm. 99.
56
matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira.
Kalau kiranya gadis demikian ada di Mengkasar … ah!17
Gemetar kedua belah tangan Hayati membaca surat yang
demikian. Dibacanya, tiba-tiba dengan tidak disadarinya, air
mata telah mengalir di atas pipinya yang montok membasahi
bantal kalanghulunya.18
Penggambaran karakteristik tokoh Hayati yang cantik tersebut
dapat kita temukan pula di dalam filmnya. Adapun yang menjadi
pemeran Hayati dalam film ini yakni Pevita Pearce, yang memang
berparas cantik sehingga sangat relevan dengan Hayati yang ada di
dalam novel.
Sekuen No.7/15:08 Sekuen No.28/51:57
Tokoh Hayati pada novel digambarkan kerap mengenakan baju
kurung dan juga selendang sebagai penutup kepala.
Besoknya pagi-pagi, mereka telah bangun. Khadijah tengah
asyik berhias di dalam kamarnya. Hayati telah membuka
bungkusannya pula, dikeluarkannya selendang sutra yang
bersuji tepinya, baju berkurung benang sering yang halus,
sarung batik Pekalongan dan selop.19
Sekuen No.27/47:42
Penampilan Hayati dengan baju kurung dan selendangnya tidak
terlepas dari perannya sebagai wanita kampung yang sarat akan
adat serta kesederhanaan. Penampilan tersebut tidak mengalami
perubahan setelah proses ekranisasi.
17
Ibid., hlm. 29. 18
Ibid., hlm. 43. 19
Ibid., hlm. 88.
57
Dilihat dari aspek psikologis, tokoh Hayati adalah perempuan
yang tahu diri. Dirinya sangat paham bagaimana harus menyikapi
permintaan Zainuddin yang ingin bercinta-cintaan dengan dirinya
meskipun pada akhirnya ia berubah pikiran.
Segala perkataan Tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi,
peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak
manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita
diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat
kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya
jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran
yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh.20
Dialog tersebut diucapkan Hayati kepada Zainuddin di dangau
saat Zainuddin meminta Hayati untuk bercinta-cintaan. Tokoh ini
sudah memiliki sikap tahu diri sejak awal bahwa hubungan mereka
jelas akan terhalang oleh adat istiadat yang berlaku di sana. Namun
dialog tersebut hanya dapat kita temukan di dalam novel. Adapun
pada filmnya, sikap tahu diri yang dimiliki Hayati ditunjukkan
lewat sebuah surat yang ia tulis untuk Zainuddin saat dirinya
hendak melangsungkan pernikahan dengan Aziz.
Sekuen No.35/1:18:46
Sikap tahu diri tokoh Hayati yang ditunjukkan dalam surat
tersebut yakni pengakuan dirinya sebagai gadis miskin, senasib
dengan Zainuddin, yang agaknya tidak mungkin untuk mereka
membina rumah tangga.
Hayati yang telah lima tahun bersekolah di sekolah agama
kerap menerapkan ilmu agama yang dia dapat dalam kehidupan
sehari-harinya. Salah satunya saat dirinya dilanda perasaan cinta
terhadap Zainuddin, ia meminta perlindungan kepada Tuhan.
20
Ibid., hlm. 57.
58
Penokohan Hayati yang satu ini hanya dapat kita temukan di dalam
novelnya.
Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di dalam
permohonannya kepada Tuhan, supaya Tuhan memberi
perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab sangat
sekali, surat Zainuddin memengaruhi jiwanya. Ia merasa
dirinya dalam gelap, dia meminta cahaya.21
Sikap Hayati tersebut menunjukkan bahwa dirinya tahu persis
segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya adalah kuasa Tuhan.
Oleh karenanya tokoh ini kerap berserah diri. Berbeda dengan
filmnya, tidak ada dialog atau adegan yang ditemukan terkait
penokohannya yang satu ini.
Tokoh Hayati tahu persis bagaimana nasib yang akan
menghampirinya jika dirinya bercinta-cintaan dengan Zainuddin.
Hal tersebut membuat dirinya berbohong terhadap diri sendiri.
Saya telah menipu diri sendiri seketika saya memberi nasihat
menyuruhmu berangkat meninggalkan Batipuh. Pada sangkaku
ketika itu sebagai kuterangkan kepadamu saya akan sanggup
sabar menahan hati berpisah dengan engkau. Tetapi setelah
wajahmu yang muram itu, mata yang selalu membayangkan
kedukaan, perkataan yang selalu menimbulkan kesedihan,
setelah semuanya hilang dari mataku barulah saya insaf
bahwa saya ini seorang gadis yang lemah hati, yang tak kuat,
tak sanggup menanggung kehidupan dan kesedihan lebih dari
pada mestinya.22
Kutipan tersebut merupakan isi surat yang ditulis Hayati untuk
Zainuddin sesaat setelah melepaskan kepergian Zainuddin ke
Padang Panjang. Dapat dilihat bahwa tokoh Hayati berbohong
pada dirinya sendiri dengan merelakan Zainuddin pergi padahal
sebenarnya ia tidak kuasa untuk merelakan kepergian Zainuddin.
Hal tersebut ia lakukan atas dasar perintah Datuk dan pertimbangan
perihal akibat dan ancaman yang akan diterima mereka berdua
nantinya. Namun peristiwa tersebut tidak ditampilkan kedalam
21
Ibid., hlm. 44. 22
Ibid., hlm. 76.
59
filmnya sehingga penokohan Hayati yang tidak bisa jujur terhadap
diri sendiri tidak dapat diidentifikasi. Adapun peristiwa lain pada
film yang mendukung pengidentifikasian penokohan tersebut
tergambar dalam frame berikut.
Sekuen No.32/1:10:48
Frame tersebut menggambarkan tokoh Hayati yang menurut
saja saat keluarganya menyarankan untuk menerima lamaran dari
Aziz. Dapat dilihat bahwa Hayati mengiyakan sambil menangis.
Dirinya berbohong kepada diri sendiri bahwa sebenarnya ia tidak
ingin pernikahan tersebut terjadi lantaran cintanya kepada
Zainuddin masih ada.
Sepanjang cerita, Hayati tetap berperan sebagai istri yang setia,
betapapun Aziz makin memperlihatkan perangainya yang busuk.
Di dalam film ekranisasinya dapat kita temukan Hayati yang masih
setia melayani suaminya meskipun Aziz sempat berbuat kasar
padanya. Begitu juga pada saat ia terpaksa tinggal di rumah
Zainuddin, Hayati masih menempatkan dirinya sebagai istri Aziz,
walaupun cintanya kepada Zainuddin sebenarnya masih belum
pudar.
Dia pergi berjudi. Kalau dia menang maka uang
kemenangannya itu dibawanya bersama teman-temannya
mencari perempuan. Kalau dia kalah, dia pulang dengan muka
asam, meradang ke sana, menyembur kemari. Sehingga sudah
dua tiga kali mengganti babu, karena tidak ada yang tahan
lama. Yang lebih menccolok mata lagi, kalau babu itu agak
muda, kerap kali dipermain-mainkannya, walaupun di hadapan
istrinya.23
23
Ibid., hlm. 209-210.
60
Sekuen No.47/1:52:55 Sekuen No.57/2:15:00
Frame pertama menggambarkan Hayati yang hampir
mendapatkan perlakuan kasar dari Aziz. Pada saat itu Aziz sedang
dalam kondisi mabuk. Frame kedua menggambarkan suasana di
rumah Zainuddin bersama Aziz dan Hayati yang tengah
menumpang di sana. Setelah kedua peristiwa tersebut, sungguh
Hayati masih setia mendampingi Aziz.
Satu lagi penokohan yang dapat diidentifikasi dari Hayati yakni
kesukaannya terhadap bunga keranyam. Adapun bentuk dari bunga
tersebut telah dipaparkan lewat surat yang ditulis tokoh lain untuk
Hayati.
Minta izinlah kepada mamakmu, datanglah ke Padang
Panjang. Kamarku sendiri akan kuhiasi, di tentang pintu akan
kutanamkan bunga keranyam, bunga yang sangat engkau
sukai, yang rupanya kesat dan hanya daunnya saja yang
harum, tidak pernah berbunga selama hidupnya, tetapi selalu
kuliihat engkau siram di pot bungamu di Batipuh!24
Kutipan tersebut merupakan isi surat yang ditujukan kepada
Hayati dari sahabatnya di Padang Panjang. Dapat diidentifikasi
bahwa Hayati gemar merawat bunga. Namun penokohan ini hanya
dapat ditemukan di dalam novel saja, tidak ada pada filmnya.
Dilihat dari aspek sosiologis, Hayati dikenal sebagai bunga
desa di dalam persukuannya lantaran kecantikan yang ia miliki dan
tabiatnya yang baik. Sosoknya ditampilkan sebagai wujud modern
dalam kokohnya adat Minangkabau.
Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian
Gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat
istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah
24
Ibid., hlm. 87.
61
bunga di dalam rumah adat itu. Hayati, adalah nama baru yang
belum biasa dipakai orang selama ini. Nama gadis-gadis di
Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan
aluih, Talipuk Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah
bayangan dari perubahan baru yang melingkari alam
Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu.25
Sekuen No.4/07:53
Baik di dalam novel maupun di dalam filmnya, penokohan
Hayati yang disebut-sebut sebagai bunga desa ini ditampilkan.
Adapun terkait penggunaan nama „Hayati‟ sebagai nama baru
gadis Minangkabau ditampilkan di dalam frame yang lain dalam
filmnya.
Sekuen No.25/42:03
Frame tersebut menggambarkan sedang terjadinya dialog
antara Khadijah, Sofyan (tunangannya Khadijah) dan Hayati.
Sofyan tidak menyangka bahwa nama perempuan tersebut adalah
„Hayati‟, ia berpikir nama yang dimiliki sahabat dari tunangannya
tersebut merupakan nama yang umum dipakai gadis Minangkabau
seperti Sabai Nan Aluih atau si Cinta Bulih.
Hayati yang disebut-sebut sebagai bunga desa tersebut
merupakan kemenakan dari Datuk. Di dalam novel diceritakan
bahwa Datuk bukan sembarang orang, ia orang yang terpandang di
Batipuh.
25
Ibid., hlm. 26.
62
…Di ujung kedua pihak, ada anjung peranginan, serambi muka
bergonjong pula, lumbung empat buah berlerat di halaman.
Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang akan
ditumbuk. Pada buatan rumah, pada simbol pedang bersentak
yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa
orang di rumah ini amat keras memegang adat lembaga,
agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di Batipuh, yang
terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh.26
Melalui kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa Datuk
merupakan turunan Regen (bupati) yang tentu sangat dipandang
kedudukannya di Batipuh. Adapun di dalam filmnya, Datuk
menempati posisi sebagai penghulu adat di Batipuh.
Sekuen No.15/23:40
Baik di dalam novel maupun di dalam filmnya, Datuk memiliki
kedudukan yang penting dan kuat di Batipuh. Oleh karena itu,
dapat diidentifikasi bahwa semua gerak gerik Hayati tentu akan
menjadi perhatian bagi penduduk di sana. Hal ini terbukti saat
Hayati dan Zainuddin saling menyimpan perasaan cinta.
Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat
mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun
berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan
sudut mata. Anak-anak yang masih belum kawin dalam
kampung itu sangat naik darah. Bagi mereka adalah perbuatan
demikian, merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung
tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah
persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk … yang
dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat
malu, melangkahi kepala ninik mamak.27
26
Ibid., hlm. 25. 27
Ibid., hlm. 60-61.
63
Sekuen No.18/28:41
Kutipan serta frame tersebut menggambarkan bagaimana
respon orang-orang di Batipuh saat mengetahui bahwa Hayati yang
merupakan kemenakan dari Datuk bercinta-cintaan dengan
Zainuddin. Hal tersebut terjadi mengingat kedudukan Datuk yang
dianggap penting di Batipuh.
Terlahir dan tumbuh sebagai gadis kampung di Batipuh
rupanya sangat berpengaruh sekali terhadap gerak gerik Hayati.
Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Meksipun senantiasa Khadijah menunjukkan mukanya yang
manis kepada Hayati, namun sehari dua hari itu Hayati masih
kaku, apalagi kalau bukan dengan saudara yang kandung, amat
berat rasanya berdekat-dekatan duduk dengan laki-laki lain,
tetapi di rumah Khadijah, yang bersaudara laki-laki itu, dan
saudara laki-laki itu pun banyak pula mempunyai teman
sahabat, yang leluasa dalam rumah itu, semuanya menyebabkan
Hayati lama sekali baru dapat menyesuaikan diri dalam rumah
besar tersebut.28
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa hal yang demikian
tidaklah biasa bagi Hayati lantaran di tempat tinggalnya tidak
dibenarkan duduk berdekatan dengan laki-laki kecuali dengan
saudara kandung. Dapat diidentifikasi bahwa Hayati yang
merupakan gadis kampung merasa kaku untuk melakukan hal
demikian. Peristiwa tersebut hanya terjadi di dalam novel. Pada
filmnya, penokohan Hayati yang terkait dengan keberadaannya
sebagai gadis kampung ditunjukkan dalam frame berikut.
28
Ibid., hlm. 87-88.
64
Sekuen No.27/47:52
Frame tersebut menggambarkan dialog yang terjadi antara
Hayati dengan Khadijah yang tengah berdebat soal pakaian yang
hendak dikenakan Hayati untuk ke Pacuan Kuda. Khadijah
memberi saran pada Hayati agar menggunakan pakaian yang
terbuka seperti dirinya, dan melepas selendangnya. Hayati yang
lahir dan tumbuh di kampung jelas menolak saran sahabatnya
lantaran pakaian yang demikian tidak dibenarkan menurut adat
Minangkabau. Menurut Hayati, pakaian cara kampung yang ia
pakailah yang benar. Dapat diidentifikasi bahwa keberadaannya
sebagai gadis kampung membuat Hayati ganjil untuk mengenakan
pakaian terbuka.
3. Aziz
Tokoh ini ditampilkan sebagai tokoh tambahan yang hadir
sebagai orang ketiga dalam hubungan Zainuddin dan Hayati, yang
pada selanjutnya berperan sebagai suami dari Hayati. Tokoh ini
muncul dalam tujuh bab cerita dari dua puluh delapan bab cerita.
Dilihat dari ciri fisik yang terdapat di dalam novel, tokoh Aziz
yang merupakan seorang pria keturunan Minangkabau ini memiliki
perawakan yang gagah layaknya Zainuddin. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan berikut.
Pada hari Jumat yang ditentukan itu, berangkatlah Hayati
bersama mak tengahnya ke Padang Panjang. Baru saja dia
sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama
seorang saudaranya laki-laki yang gagah dan tangkas pula,
yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari lamanya.
Aziz namanya.29
29
Ibid., hlm. 87.
65
Gagah dan tangkas, begitulah ciri fisik yang dimiliki Aziz di
dalam novel. Ciri tersebut sangat relevan dengan filmnya, di mana
tokoh Aziz diperankan oleh Reza Rahadian, aktor yang memiliki
perawakan yang gagah serta tampan.
Sekuen No.30/1:01:00
Selain gagah dan tampan, tokoh Aziz juga digambarkan pandai
dalam berpenampilan. Hal ini sudah penulis singgung sebelumnya
pada penokohan Zainuddin, yakni penampilan Aziz yang sangat
kontradiktif dengan Zainuddin.
Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita heran, jika
Hayati termenung, mukanya tertekur, kepalanya berasa sakit,
melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai
orang lain; memakai pakaian, seakan-akan orang yang
tersisih.30
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Aziz merupakan sosok
pemuda yang pandai berpenampilan, berbeda dengan Zainuddin.
Hal ini tentu memikat hati Hayati. Frame di bawah ini adalah
penggambaran penampilan Aziz pada film.
Sekuen No.25 /43:02 Sekuen No. 27/49:31
Frame tersebut menggambarkan Aziz yang kerap menggunakan
setelan jas dan kemeja. Hal yang demikian setidaknya mewakili
gambaran tokoh Aziz yang dikatakan pandai memakai pakaian.
30
Ibid., hlm. 94-95.
66
Dilihat dari aspek psikologis di dalam novel, tokoh Aziz
merupakan pribadi yang tidak ingin diatur. Jiwanya bebas, ia
melakukan apapun sesuka hatinya.
Belum pernah dia beristri, meskipun telah berkali-kali disuruh
orang tuanya, karena menurut perkataannya kepada kawan-
kawannya beristri itu mengikat langkah, menyebabkan hilang
kebebasan. Apalagi di zaman ini, zaman kemajuan, semuanya
serba susah.31
Kutipan tersebut menunjukkan pribadi Aziz yang tidak ingin
diatur. Ia tidak ingin menikah karena ia tidak mau kehilangan
kebebasan di masa mudanya. Dapat dipastikan bahwa ia akan
menikah jika ia mau, tanpa perlu dipaksa. Namun pribadi Aziz
yang tidak ingin diatur ini hanya dapat kita temui di dalam novel.
Lantaran belum ingin menikah, masa mudanya dihabiskan
untuk bergurau dengan orang-orang yang tidak berketentuan dan
membuang-buang uang. Hal tersebut menunjukkan pribadi Aziz
yang boros, baik boros waktu, boros tenaga, serta boros uang.
Adiknya Khadijah telah bertunangan dengan seorang muda
yang kaya, yang baru saja menerima pusaka toko besar di
Bukittinggi dan berpikiran modern pula. Tetapi dia, Khadijah
hendak mencoba dahulu, melunakkan hati saudaranya supaya
suka kawin pula. Yang maksud hatinya akan jodoh saudaranya
ialah Hayati. Mudah-mudahan keborosan dan pikiran muda
saudaranya itu dapat berubah jika mendapat istri sebagai Hayati
yang alim itu.32
Sekuen No.49/1:36:55 Sekuen No.49/1:55:10
Kutipan serta frame tersebut menunjukkan perilaku Aziz yang
boros. Dirinya gemar menghambur-hamburkan waktu, tenaga, serta
uangnya untuk berjudi. Akibat dari perilakunya yang boros
31
Ibid., hlm. 101. 32
Ibid., hlm. 103.
67
tersebut, Aziz terlilit hutang hingga dipecat dari pekerjaannya.
Baik di dalam novel maupun di dalam filmnya, keborosan Aziz
dapat diidentifikasi.
Selain boros, tokoh Aziz di dalam novel juga dicap sebagai
pengganggu rumah tangga orang, bahkan kerap membawa
perempuan ke dalam rumahnya. Hal ini terbongkar setelah
Zainuddin menanyakan soal Aziz ke Muluk.
Si Aziz anak Sutan Mantari, ibu bapanya orang Padang
Panjang ini, karena dia berkerabat dengan orang berpangkat-
pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak pantas. Tetapi
perangainya. Masya Allah! Penjudi, pengganggu rumah tangga
orang, sudah dua tiga kali terancam jiwanya karena
mengganggu anak bini orang.33
Aziz … siapa kami yang tak akan kenal kepadanya? Sudah
berapa kali dia memelihara perempuan dengan tidak kawin
dalam rumahnya di Padang.34
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa perilaku Aziz yang
demikian rupanya sudah bukan rahasia umum lagi dikalangan
Muluk dan penjudi lainnya. Namun penokohan Aziz yang satu ini
hanya terdapat di dalam novelnya saja. Tidak ada frame yang
menunjukkan secara khusus penokohan Aziz seperti yang
disebutkan di dalam novel.
Aziz yang seringkali berurusan dengan wanita, baik yang sudah
bersuami maupun belum, tentu sangat mudah baginya
menaklukkan Hayati. Tidak heran dirinya digambarkan sebagai
pria yang pandai memikat perempuan.
Bilamana Khadijah ke belakang atau yang lain tak ada, Aziz
tiba, didapatinya Hayati duduk, pandai pula dia mengeluarkan
perkataan-perkataan yang lemak manis yang dapat menerbitkan
kegembiraan perempuan. Maklumlah, sudah biasa. Bertutur
yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan
enggan, bahkan takut Hayati berdekat dengan dia, maklumlah
gadis kampung. Tetapi „memikat‟ adalah kepandaian Aziz yang
33
Ibid., hlm. 145. 34
Ibid.
68
tersendiri. Sehingga keseganan dan keberatan itu lama-lama
hilang.35
Kepandaian Aziz dalam memikat perempuan rupanya disambut
oleh Hayati. Penokohan Aziz yang satu ini hanya dapat ditemukan
di dalam novel. Tidak ada frame yang menggambarkan secara
khusus terkait dengan penokohan ini, hanya saja terdapat potongan
frame saat Aziz memuji kecantikan Hayati.
Sekuen No. 27/50:10
Akhirnya Aziz berhasil memikat Hayati hingga menjadikan
Hayati sebagai istrinya. Setelah dua tahun menjalin rumah tangga,
barulah diketahui bahwa Aziz memiliki sikap yang temperamental
dalam menghadapi masalah rumah tangganya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam frame berikut.
Sekuen No.44/1:44:49 Sekuen No.47/1:5256
Sekuen No.49/1:57:12
Frame pertama merupakan adegan saat Aziz melemparkan
gelas ke meja makan lantaran kesal dengan Hayati. Hayati yang
harusnya menyambut kepulangannya bekerja dengan membukakan
pintu dan menyediakan menu makan malam justru malah tertidur
di kamar. Frame kedua adalah adegan saat Aziz hampir menampar
35 Ibid., hlm. 103.
69
Hayati setelah mendapati Hayati tertidur sambil memegang novel
yang dikarang Zainuddin. Aziz yang saat itu sedang berada di
bawah pengaruh minuman keras meracau tentang hubungan Hayati
dan Zainuddin dahulu. Frame ketiga merupakan adegan saat Aziz
menampar Hayati setelah Hayati berusaha menghalanginya untuk
mengambil dan menjual perhiasan milik Hayati agar bisa
membayar hutang judi.
Ketiga frame yang telah penulis paparkan menunjukkan
perangai Aziz yang temperamental. Hal tersebut berbeda dengan
apa yang digambarkan pada novelnya, yakni Aziz kerap menyakiti
hati Hayati dengan kata-katanya yang kasar.
Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya
diikut oleh Hayati. barang emasnya telah habis; dokohnya,
gelangnya, penitinya, semuanya telah masuk rumah gadai.
Tetapi yang sangat menyakitkan hati, pernah dia menyesali
untung di hadapan Hayati dikatakannya bahwa dia menyesal
beristri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak pandai
mengobat hati suaminya.36
…Mereka keluar dari rumah itu dengan rupa tak karuan. Ketika
akan meninggalkan rumah itu, masih sempat juga Aziz
menikamkan kata-kata yangtajam ke sudut hati Hayati…
“Sial!”37
Melalui frame dan kutipan tersebut dapat diidentifikasi bahwa
Aziz yang digambarkan di film terlihat lebih „sangar‟ saat
dihadapkan dengan masalah rumah tangganya, yakni beberapa kali
menunjukkan perlakuan kasar terhadap Hayati. Sementara pada
novelnya teridentifikasi bahwa tokoh Aziz tidak pandai menjaga
tutur kata terhadap Hayati jika sedang dihadapkan dengan masalah.
Dilihat dari aspek sosiologis pada novel dan filmnya, Aziz
merupakan anak sulung, ayah dan ibunya merupakan asli orang
Padang, tepatnya Batu Sangkar. Ayahnya Aziz rupanya adalah
36
Ibid., hlm. 210. 37
Ibid., hlm. 212.
70
seorang yang masyhur semasa hidupnya. Lantaran silsilah inilah
Zainuddin tersingkir dari Hayati.
…Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah ada orang
yang meminta buat menjadi pasangannya. Yaitu orang dari
sebelah ke ujung (sebelah Padang Panjang, dan sebelah
Batipuh; Gunung dan lain-lain disebut puhun). Namanya Aziz,
anak dari Sutan Mantari, seorang yang termasyhur dan
berpangkat semasa hidupnya.38
Sekuen No.32/1:07:30
Aziz memiliki latar belakang keluarga yang bagus, beradat,
hartanya pun banyak, tentu mudah baginya mendapatkan restu dari
ninik mamak Hayati. Apalagi saingannya adalah Zainuddin, anak
pisang yang tidak jelas bagaimana masa depannya pada saat itu.
Hal itu membuat ninik mamak Hayati menjatuhkan pilihan pada
Aziz untuk mengambil Hayati sebagai istrinya.
Aziz adalah seorang karyawan yang bekerja dan tinggal di kota
Padang. Sejak awal kemunculannya Aziz memang terlihat kekota-
kotaan, baik di dalam novel maupun di dalam filmnya. Pergaulan
kota membuatnya tidak bisa lepas dari judi, mabuk-mabukan, dan
main perempuan. Bahkan saat dirinya naik jabatan dan harus
dipindahtugaskan ke Surabaya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak
karuan tersebut turut ia bawa pula, bahkan semakin menjadi-jadi
hingga dirinya kehilangan pekerjaannya.
…Maka pada suatu hari datanglah seorang tempatnya
berhutang, menagih piutang yang telah lewat temponya.
Datanglah dengan tiba-tiba sekali, karena telah diatur lebih
dhulu oleh musuh-musuhnya. Kebetulan uang sedang tidak
ada, janji tak dapat dipenuhi. Orang pun berkerumun di
hadapan rumahnya, melihat orang yang meminjaminya uang itu
dengan muka manis bagai madu, tetapi hati yang kejam bagai
38
Ibid., hlm. 126.
71
serigala, menyuruh membayar hutang, kalau tidak barang-
barangnya di dalam rumahnya akan diangkut, dilelang.39
Sedang bertengkar-tengkar demikian, sep kantor tempatnya
bekerja datang bersama dengan kawan samanya bekerja yang
telah menahankan perangkap buat kejatuhannya itu. Dengan
muka yang sangat pucat dan gugup, dia menyambut
kedatangan sepnya itu, dan penagih hutang itu pun berdiri ke
sisinya.40
“Dan besok kau tak usah datang ke kantor lagi!” Kata sepnya
kepada Aziz.41
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan situasi yang terjadi
setelah Aziz dan Hayati pindah ke Surabaya. Lagi-lagi pergaulan di
kota Surabaya telah membutakan akal dan hati Aziz sehingga
dirinya dipecat dari pekerjaannya dan bahkan tidak memiliki
tempat tinggal lagi. Adapun frame dalam film yang mendukung
penokohan ini yakni sebagai berikut.
Sekuen No.49/1:55:48 Sekuen No.56/2:11:22
Sekuen No.56/2:12:00
Frame pertama merupakan adegan Aziz yang tengah berjudi.
Dirinya kehabisan taruhan sehingga berhutang kepada seorang
bandar judi. Frame kedua adalah adegan saat bandar judi tersebut
menagih hutang kepada Aziz. Pada frame ketiga bandar judi
tersebut memberitahu Hayati bahwa Aziz sudah satu minggu tidak
39
Ibid., hlm. 211. 40
Ibid. 41
Ibid., hlm. 212.
72
bekerja, atau dipecat. Karena tidak bisa membayar, rumah yang
mereka tempati sekaligus isinya disita. Terusirlah Aziz dan Hayati
lantaran pergaulan kota yang dipelihara Aziz.
4. Muluk
Tokoh tambahan ini muncul dalam sembilan bab cerita dari dua
puluh delapan bab cerita. Kemunculan tokoh ini dipicu oleh
konflik antara Zainuddin dengan Hayati dan keluarganya.
Zainuddin yang terpuruk dapat segera bangkit kembali berkat
kehadiran Muluk. Tokoh ini nantinya memiliki peran sebagai
sahabat setia Zainuddin yang mendampingi Zainuddin kemanapun
Zainuddin pergi.
Tokoh Muluk diperankan oleh Randy Danistha (keyboardist
band Nidji) dalam filmnya. Ciri fisik yang dapat diidentifikasi dari
sosok Randy di dalam film yakni memiliki rambut keriting,
bertubuh kurus dan tidak tinggi, serta berpenampilan kusut.
Sekuen No.21/38:53 Sekuen No.33/1:02:08
Frame tersebut menggambarkan bagaimana ciri fisik yang
melekat pada Muluk; memiliki rambut keriting, bertubuh kurus dan
tidak tinggi, serta berpenampilan kusut. Penampilan Muluk yang
terkesan berantakan ini sejalan dengan predikatnya sebagai
parewa, yang akan penulis bahas pada bagian selanjutnya. Namun
penulis dapat mengidentifikasi ciri fisik tokoh Muluk hanya pada
filmnya. Pada novelnya penulis tidak menemukan bagaimana ciri
fisik yang melekat pada tokoh Muluk selain temuan bahwa usia
Muluk lebih tua dari Zainuddin.
Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh
sengsara adalah persahabatan yang lebih kekal daripada yang
73
didapat di waktu gembira. Demikian pulalah di antara
Zainuddin dengan Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya,
tidaklah pernah terpisah lagi di antara kedua orang itu.
Zainuddin masih muda dan banyak cita-cita, Muluk lebih tua
dan banyak pengalaman, walaupun ilmunya tak ada selain dari
pergaulan.42
Pengidentifikasian selanjutnya yakni pada aspek psikologis
tokoh. Meskipun Muluk jarang pulang ke rumah, namun ia adalah
sosok anak yang perhatian terhadap ibunya. Hal ini dapat
diidentifikasi dalam kutipan berikut.
…Pulangnya ke rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat
ibu dan memberi uang. Dia tidak mau mengganggu kesenangan
ibu. Dahulu digajinya seorang dari Singgalang untuk teman ibu
mendiami rumah ini. Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya
bukan main sukacitanya…43
Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana bentuk perhatian
yang Muluk berikan terhadap ibunya. Meskipun Muluk jarang
pulang ke rumah, ia tetap peduli pada keadaan ibunya dengan
mengirimi ibunya uang serta pernah mencarikan pembantu untuk
menemani ibunya agar tidak kesepian selama Muluk tidak ada di
rumah. Namun penokohan Muluk yang perhatian terhadap ibunya
tidak dapat ditemukan di dalam film.
Sekuen No.21/38:52 Sekuen No.21/38:56
Frame tersebut merupakan adegan saat ibunya Muluk
menceritakan kebiasaan Muluk pada Zainuddin. Ibunya
mengatakan dengan ekspresi kesal bahwa Muluk yang jarang
pulang kerumah tersebut lebih senang pergi ke warung orang,
entah apa yang ia lakukan di sana. Tidak ditemukan penokohan
42
Ibid., hlm. 171-172. 43
Ibid., hlm. 141.
74
Muluk yang perhatian kepada ibunya, yang memberi uang kepada
ibunya, yang menggaji orang untuk menjaga ibunya, seperti yang
diceritakan di dalam novel.
Muluk yang tidak tentu pekerjaannya selain berjudi tersebut
merasa rendah diri di hadapan Zainuddin. Hal tersebut hanya dapat
kita temukan di dalam novel.
Muluk sedang berdiri di halaman, dia disuruh naik. Biasanya
dia hanya terus saja ke dapur sebab malu kepada Zainuddin.44
“Bukan begitu, Guru”,jawab Muluk, “Guru maklum sendiri,
saya ini orang yang banyak dosa, penyabung, pedadu, penjudi,
jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemuda-pemuda
Padang Panjang ini, meskipun negeri kami penuh dengan
rumah-rumah sekolah agama, kami kebanyakan hanya
bergurau, berburu, main kim dan lain-lain.”45
Kutipan tersebut menunjukkan perkataan yang diucapkan
Muluk di hadapan Zainuddin. Dapat diidentifikasi bahwa Muluk
memiliki sikap rendah diri pada Zainuddin lantaran dirinya tidak
sebaik Zainuddin. Namun penokohan Muluk terkait sikap rendah
dirinya ini hanya dapat kita temukan di dalam novelnya.
Sekuen No.21/39:43 Sekuen No.21/39:47
Lantaran telah menelan berbagai asam manis kehidupan,
Muluk menjadi pribadi yang dinamis. Bahkan Muluk tahu persis
bagaimana harus menyikapi Zainuddin yang tengah terpuruk
setelah ditinggal menikah oleh Hayati. Kepribadian Muluk yang
dinamis inilah yang nantinya akan menyadarkan Zainuddin.
Tiba-tiba di hadapan keadaan yang begini, Guru bersemangat
lemah. Lebih lemah daripada kami parewa yang tak kenal
membaca bismillah. Tidaklah baik hidup yang murni dan mulia
44
Ibid., hlm. 142. 45
Ibid.
75
dikurung di terungku karena hanya semata-mata memikirkan
seorang perempuan; seakan-akan hanya itulah perempuan di
dunia ini. Perempuan yang Guru junjung itu, sebelum sampai
perkawinan berhasil dengan Guru telah nyata emas dan
loyangnya, batu dan intannya. Dia telah berkhianat,
memungkiri janjinya, sehingga lantaran memikirkan itu, Guru
telah jatuh sehina selemah ini seakan-akan ditusukkannya
sebilah keris yang tajam ke ujung jantung Guru, sehingga kalau
bukan kasihan Allah, binasa Guru dibuatnya.46
Nasihat-nasihat yang disampaikan Muluk membuktikan bahwa
Muluk tidaklah seperti Zainuddin yang berlarut-larut dalam
kesedihan akibat cinta. Dapat diidentifikasi bahwa Muluk adalah
seorang pemuda yang mudah menyesuaikan dirinya dengan
keadaan apapun dengan penuh semangat. Hingga pada akhirnya
Zainuddin yang terpuruk terbuka kembali jalan pikirannya berkat
Muluk.
Sekuen No.37/1:12:22
Frame tersebut adalah adegan saat Muluk memberi nasihat-
nasihatnya kepada Zainuddin untuk segera melupakan Hayati dan
tidak menyerah pada keadaan yang sedang menimpa Zainuddin.
Muluk yang berkepribadian dinamis tersebut meminta Zainuddin
untuk membuka kembali jalan pikirannya.
Keterpurukan yang dialami Zainuddin rupanya menguak hal
lain lagi terkait penokohan Muluk, bahwa Muluk adalah seorang
yang setia terhadap kawan. Kemanapun Zainuddin pergi, Muluk
pasti ikut. Bahkan sampai akhir cerita Muluk tetap setia
mendampingi Zainuddin.
“Saya mesti ikut! kata Muluk, Saya tertarik dengan Guru.
Sebab itu bawalah saya menjadi jongos, menjadi pelayan,
46
Ibid., hlm. 173.
76
menjadi orang suruhan di waktu siang di dalam pergaulan
hidup, dan menjadi sahabat yang setia yang akan
mempertahankan jika Guru ditimpa susah!”47
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Muluk adalah seorang
yang setia terhadap kawan. Dirinya rela menjadi apa saja demi
tetap bisa bersama-sama dengan orang yang dikaguminya,
Zainuddin. Penokohan Muluk yang satu ini juga dapat kita
temukan di dalam filmnya.
Sekuen No.37/1:32:01
Frame tersebut merupakan adegan saat Muluk dan Zainuddin
saling mengucapkan sumpah bahwa mereka akan bersahabat
sampai mati. Apa yang Zainuddin makan, itulah yang akan Muluk
makan pula. Sungguh kesetiaan yang dimiliki Muluk ini tidak
dapat diragukan.
Satu lagi yang dapat diidentifikasi terkait aspek psikologis
tokoh Muluk yakni kepandaiannya dalam berdukun. Hal tersebut
dapat diketahui dari dialog yang terjadi antara Zainuddin dengan
ibunya Muluk di dalam novel.
Agaknya anak Mamak itu, si Muluk, bisa menolongmu karena
dia banyak pergaulan. Dia pandai berdukun, pandai
kepandaian-kepandaian batin. Pergaulannya dalam kalangan
orang dukun, ahli salat dan dalam kalangan orang-orang
beradat, pun banyak pula.48
Kutipan tersebut disampaikan oleh ibunya Muluk kepada
Zainuddin sesaat sebelum Muluk berkenalan dengan Zainuddin.
Akan tetapi dialog tersebut hanya dapat ditemukan di dalam novel,
47
Ibid., hlm. 179. 48
Ibid., hlm. 141.
77
sementara di dalam film tidak ada adegan khusus yang
menunjukkan bahwa Muluk pandai berdukun.
Aspek yang akan diidentifikasi selanjutnya yakni aspek
sosiologis tokoh Muluk. Pada novel, Muluk merupakan pemuda
yang lahir dan tumbuh di Padang Panjang, dikenal sebagai seorang
parewa. Hal tersebut ditunjukkan lewat dialog Zainuddin dan
ibunya Muluk.
…Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya bukan main
sukacitanya, Cuma dia malu kepada engkau sebab engkau
orang siak, sedang dia orang parewa.49
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana Muluk dikenal
sebagai parewa oleh lingkungan sekitar. Sementara pada filmnya,
predikat Muluk sebagai parewa ditunjukkan dalam frame berikut.
Sekuen No.37/1:31:39
Frame tersebut adalah adegan saat Muluk menyatakan kepada
Zainuddin bahwa ia ingin menanggalkan baju parewanya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa selama ini muluk adalah seorang
parewa. Penjelasan mengenai parewa sendiri tertuang di dalam
novel, yakni sebagai berikut.
Di Minangkabau memang ada satu golongan orang muda-muda
yang bergelar “Parewa”. Mereka tak mau mengganggu
kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka ialah dari berjudi,
menyabung, dan lain-lain. Mereka juga ahli dalam pencak dan
silat. Pergaulan mereka sangat luas, di antara parewa di
kampung anu dengan kampung yang lain harga menghargai
dan besar membesarkan. Tetapi mereka sangat kuat
mempertahankan kehormatan nama dan suku kampung. Kalau
mereka bersahabat, sampai mati mereka akan mempertahankan
49
Ibid.
78
sahabatnya. Saudara sahabatnya jadi saudaranya, seakan-akan
seibu, sesaudara, sekemenakan. Kata-kata “muda” terhadap
perempuan tidak boleh sekali-kali. Kalau ada yang kalah dalam
permainan sehingga habis harta bendanya, maka oleh yang
menang dia diberi pakaian dan uang sekadarnya, disuruh
pulang dengan ongkos tanggungan yang menang itu sendiri.
Kepada orang-orang alim mereka hormat, dan kadang-kadang
mereka itu dermawan. Mereka setia dan sudi menolong. Satu
penghidupan yang serupa dalam “dongeng” yang sampai
sekarang masih didapati di Minangkabau.50
Predikat yang menempel pada diri Muluk sebagai seorang
parewa pada akhirnya membawa pengaruh positif bagi masa depan
Zainuddin. Dapat diidentifikasi bahwa aspek psikologis yang
terdapat pada tokoh Muluk berkaitan langsung dengan status
parewa yang ia sandang. Kesetiaan yang dipegang teguh oleh
Muluk dalam bersahabat dengan Zainuddin dan juga Hayati
ternyata memang sudah mendarah daging sebagai seorang parewa.
Empat tokoh tersebut; yakni Zainuddin, Hayati, Aziz, dan Muluk,
adalah tokoh-tokoh yang kehadirannya dalam cerita saling berkaitan
dengan tokoh yang lain. Keempat tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh
yang memiliki peran penting dalam membangun cerita Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Berdasarkan analisis dari masing-masing tokoh
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekranisasi penokohan yang
dilakukan oleh sutradara sebagian besar tidak sesuai dengan
bagaimana yang terdapat di dalam novelnya. Banyak terdapat
penciutan, beberapa perubahan bervariasi, dan sedikit penambahan
setelah proses ekranisasi. Tokoh yang paling terlihat berbeda setelah
proses ekranisasi yaitu tokoh Zainuddin, sementara tokoh yang tidak
begitu berbeda setelah proses ekranisasi yaitu tokoh Muluk.
50
Ibid., hlm.
79
3. Latar
Pada bab sebelumnya sudah dibahas mengenai pengertian latar,
bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa
yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Landasan tersebut dapat berupa
tempat, waktu, dan lingkungan sosial yang memperjelas kondisi
peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah karya sastra. Berikut
akan penulis paparkan hasil identifikasi latar yang terdapat di dalam
novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
a. Latar Tempat
Beberapa kota besar di Indonesia menjadi latar penceritaan
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yaitu
Mengkasar, Padang, Jakarta, dan Surabaya. Di Mengkasar, Hamka
menyebutkan kampung Baru dan pelabuhan Mengkasar. Di
Padang, Hamka menyebutkan Batipuh (dusun, surau dan dangau)
dan Padang Panjang (Ekor Lubuk, gelanggang Bukit Ambacang,
dan kampung Silaing). Sementara di Jakarta, Hamka tidak
menyebutkan latar yang spesifik. Terakhir di Surabaya, Hamka
menyebutkan sebuah gedung pertunjukkan dan pelabuhan Tanjung
Perak.
Setelah proses ekranisasi, beberapa latar mengalami penciutan.
Hal tersebut terjadi mengingat kemampuan tim produksi dari segi
tenaga dan biaya. Selain itu, ada batasan tertentu untuk durasi
sebuah film. Tidak mungkin sutradara menampilkan seluruh latar
yang ada di dalam novel. Adapun latar yang mengalami penciutan
yaitu kampung Baru, pelabuhan Mengkasar, dangau di Batipuh,
kampung Silaing di Padang Panjang, dan Lamongan. Berikut
adalah penjelasan latar-latar tersebut.
1) Mengkasar
Mengkasar merupakan sebuah ejaan lama dari kata
Makassar. Pada sekitar tahun di mana novel ini ditulis,
Mengkasar lebih dikenal khalayak luas sebagai Jumpandang,
80
atau pada saat ini dinamakan Ujung Pandang. Kota yang
merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Selatan ini terdiri dari
sekitar seratus lima puluh tiga desa dengan jumlah penduduk
sekitar satu juta tujuh ratus jiwa saat ini. Dalam cerita ini, latar
Mengkasar yang digunakan yaitu kampung Baru dan
Pelabuhan Mengkasar.
1. Kampung Baru
Sebagai salah satu kampung yang ada di dalam kota
Mengkasar, kampung ini hadir sebagai tempat kelahiran
dan besarnya Zainuddin.
Tiga dan empat tahun dia bergaul dengan istri yang
setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki, anak
tunggal, itulah dia, Zainuddin, yang bermenung di
rumah bentuk Mengkasar, di jendela yang menghadap
ke laut di Kampung Baru yang dikisahkan pada
permulaan cerita ini.51
Sekuen No.2/02:04
Setelah mengalami proses ekranisasi, kampung Baru
tidak disebutkan, melainkan hanya Mengkasar saja.
2. Pelabuhan Mengkasar
Pelabuhan yang berada di kota Mengkasar ini menjadi
tempat di mana Zainuddin dan pengasuhnya berpisah saat
hendak berangkat ke Padang.
Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata Mak
Base masih membasahi pipinya. Dan tidak berapa lama
kemudian rengganglah kapal dari pelabuhan
Mengkasar, hanya lenso (saputangan) saja yang tak
henti dikibarkan orang, baik dari darat atau dari laut.
Meskipun kapal renggang, Zainuddin masih berdiri
melihat pelabuhan, melihat pengasuhnya yang telah
51
Ibid., hlm. 8.
81
membesarkannya bertahun-tahun, tegak sebagai batu di
tepi anggar, walaupun orang lain telah berangsur
pulang.52
Setelah proses ekranisasi, pelabuhan Mengkasar tidak
disebutkan karena memang tidak terdapatnya adegan
perpisahan antara Zainuddin dengan pengasuhnya seperti
yang diceritakan di dalam novel.
2) Batipuh
Batipuh merupakan sebuah kecamatan yang ada di dalam
kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat. Pada bagian
barat, kecamatan ini berbatasan langsung dengan kota Padang
Panjang. Dalam cerita ini, latar Batipuh yang digunakan yaitu
sebuah dusun, surau, dan dangau.
1. Dusun
Dusun yang tidak disebutkan namanya ini merupakan
tempat lahir dan besarnya Hayati.
…Pada buatan rumah, pada simbol pedang bersentak
yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan
bahwa orang di rumah ini amat keras memegang adat
lembaga, agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di
Batipuh, yang terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh
Baruh.
…Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam,
lambaian Gunung Merapi, yang terkumpul padanya
keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan
model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu.53
Sekuen No.5/09.00
52
Ibid., hlm. 20. 53
Ibid., hlm. 25-26.
82
Frame tersebut merupakan adegan saat Zainuddin
diajak berkeliling Batipuh serta ditunjukkan juga rumah
Hayati oleh salah satu penduduk di sana.
2. Surau
Surau merupakan tempat untuk melakukan ibadah bagi
umat islam, seperti sholat, mengaji, dan sebagainya. Dalam
cerita ini, sebuah surau kecil yang tidak diketahui namanya
di Batipuh turut mengambil bagian sebagai sebuah latar
penceritaan.
Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia
dari kegembiraannya, sebab kemanisan mulut bakonya
kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang
diberikannya dengan tetap, kiriman Mak Base dari
Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke
surau, bersama-sama dengan lain-lain anak muda,
karena demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin
dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.54
Sekuen No.10/17:26
Latar surau menjadi penting untuk diidentifikasi
lantaran menurut adat Minangkabau, wajib hukumnya bagi
kaum pria yang belum menikah untuk tidur di surau. Inilah
yang dilakukan juga oleh tokoh Zainuddin dalam cerita ini.
Adapun selain sebagai tempat untuk beristirahat, surau
digunakan untuk sholat lima waktu dan mengaji.
3. Dangau
Dangau merupakan semacam gubuk kecil yang
biasanya terletak di tengah-tengah sawah, digunakan petani
dan orang setempat sebagai tempat untuk beristirahat,
54
Ibid., hlm. 29.
83
berteduh, juga menjaga tanaman. Sebuah dangau di tengah
sawah yang ada di Batipuh juga turut menjadi latar dalam
cerita ini. Tidak dijelaskan oleh pengarang di mana
tepatnya, namun dangau ini menjadi saksi pengakuan
perasaan antara Zainuddin dan Hayati.
Hayati takut akan kena cinta. Takut menghadapi cinta,
itulah cinta yang sejati. Dia memberi vonis “tidak cinta”
kepada Zainuddin, artinya dia memberikan vonis
kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh
Zainuddin berjalan, dia pun tak tahan pula lagi, dia
meniarap ke lantai di dangau itu menahan hatinya, dan
hati tidak juga tertahan.55
Adapun penggunaan dangau sebagai latar penceritaan
hanya dapat ditemukan di dalam novelnya saja dalam cerita
ini. Tidak ditemukan dangau yang dimaksud tersebut dalam
film ekranisasinya lantaran tidak adanya adegan di dalam
film terkait pengakuan perasaan antara Zainuddin dan
Hayati.
3) Padang Panjang
Kota Padang Panjang merupakan sebuah kota dengan luas
wilayah terkecil di Sumatera Barat. Kota ini memiliki
penduduk sekitar seratus lima jiwa. Kota ini pernah menjadi
pusat pemerintahan sementara Kota Padang. Tokoh Aziz dan
keluarganya tinggal di dalam kota ini.
Tidak seperti Hayati yang tinggal di sebuah dusun, Aziz
beserta keluarganya tinggal di kota.
Pada hari Jum‟at yang ditentukan itu, berangkatlah Hayati
bersama mak tengahnya ke Padang Panjang. Baru saja dia
sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama
seorang saudaranya laki-laki yang selama ini bekerja di
Padang. Seorang anak laki-laki yang gagah dan tangkas
pula, yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari
lamanya. Aziz namanya.56
55
Ibid., hlm. 58. 56
Ibid., hlm. 87.
84
Sekuen No.25/43:12
Frame tersebut merupakan potret sebuah jalan di kota
Padang Panjang. Saat itu Aziz hendak pulang kerumahnya
mengendarai mobil bersama beberapa temannya.
Padang Panjang memiliki porsi yang cukup besar dalam
cerita ini. Selain pada bagian kota, berikut beberapa latar di
Padang Panjang yang turut mengambil bagian dalam cerita
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yakni Ekor Lubuk,
Pacuan Kuda, dan Kampung Silaing.
1. Ekor Lubuk
Ekor Lubuk merupakan sebuah nama kelurahan di
Padang Panjang dengan jumlah penduduk sekitar dua
ribu empat ratus jiwa. Ekor Lubuk menjadi tempat di
mana Zainuddin dan Hayati bertemu untuk pertama
kalinya.
Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah
seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang
Panjang itu, lebih banyak hujannya daripada
panasnya. Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-
tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekor
Lubuk. Zainuddin ada membawa payung dan Hayati
bersama seorang temannya kebetulan tidak
berpayung.57
Sekuen No.6/12:09
57
Ibid., hlm. 27.
85
Frame tersebut merupakan adegan saat Zainuddin
dan Hayati bertemu pertama kali. Saat itu sedang turun
hujan, Hayati tengah berteduh menunggu hujan reda di
sebuah warung bersama temannya. Kebetulan
Zainuddin berteduh pula, namun ia membawa payung.
Akhirnya Zainuddin meminjamkan payungnya kepada
Hayati.
2. Gelanggang Bukit Ambacang
Pacuan kuda yang terdapat di dalam cerita ini
diketahui sudah menjadi budaya yang digemari oleh
warga Padang sejak dahulu, bahkan sejak dibawah
kekuasaan kolonial Belanda. Beberapa daerah di
Sumatera Barat selain Padang Panjang yang menggelar
tradisi ini antara lain Payakumbuh, Batusangkar dan
Bukittinggi. Pertunjukkan pacuan kuda dalam cerita ini
menjadi saksi pertemuan Zainuddin dan Hayati setelah
peristiwa pengusiran Zainuddin dari Batipuh.
Berdasarkan frame yang ada di filmnya, diketahui
pacuan kuda ini digelar di Gelanggang Bukit
Ambacang. Sementara pada novelnya, Hamka tidak
menyebutkan nama gelanggang yang menggelar pacuan
kuda tersebut.
Dari jauh, di antara manusia yang telah datang
berduyun-duyun menuju tepi pagan pacuan,
kelihatan seorang anak muda berjalan dengan gontai
dan tenangnya. Mukanya muram, rambutnya telah
panjang, rupanya kurang disisir meskipun bajunya
bersih, tetapi tidak memakai dasi…
Di muka pintu itu benar bertemulah kedua orang
muda itu, yang perempuan terkejut dan terpaku
tegak, dialah Hayati. Yang laki-laki tergugup dan
sangat terbingung, itulah Zainuddin.58
58
Ibid., hlm. 91.
86
Sekuen No.28/56:24
3. Kampung Silaing
Kampung Silaing merupakan sebuah nama
kelurahan di Padang Panjang dengan jumlah penduduk
sekitar empat ribu tujuh ratus jiwa. Silaing merupakan
tempat tinggal Muluk sekaligus menjadi tempat tinggal
sementara bagi Zainuddin setelah dirinya diusir dari
Batipuh.
Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing,
penurunan akan menuju kota Padang, yang dari sana
dapat dilihat kaki Singgalang dengan bukit-bukitnya
yang penuh ditumbuhi tebu. Di sana, dapat pula
didengarkan derum Sungai Anai yang mengalir
dahsyat. Apalagi sunyi dan sepi serta merawankan
hati, suatu kampung yang amat disukai oleh
penyair.59
Sekuen No.21/37:45
Setelah diadaptasi menjadi sebuah film, kampung
Silaing tidak disebutkan, melainkan hanya Padang
Panjang saja.
4) Jakarta
Kota yang kini merupakan ibu kota negara Indonesia
memiliki jumlah penduduk yang bisa dibilang sangat banyak,
59
Ibid., hlm. 74.
87
yakni mencapai sekitar sebelas juta jiwa. Oleh karena itu tidak
heran jika kota ini disebut-sebut sebagai kota terbesar di
Indonesia. Berbagai agama beserta tempat peribadatannya
dapat dijumpai di sini. Pada sekitar tahun di mana novel ini
ditulis, Jakarta lebih dikenal khalayak luas sebagai Batavia.
Sejak dahulu hingga sekarang, kota Jakarta sering menjadi
tujuan perantau dari berbagai kota di Indonesia. Inilah yang
dilakukan Zainuddin dan Muluk pada saat itu agar impian
Zainuddin menjadi pengarang dapat tercapai.
Ditinggalkannya Pulau Sumatra, masuk ke Tanah Jawa,
medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai
di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung
yang sepi, bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah
dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang
terbengkalai, terutama di dalam bagian hikayat. Dikirimnya
kepada surat-surat kabar harian dan mingguan.60
Sekuen No.38/1:32:23
Frame tersebut merupakan potret latar Batavia (Jakarta)
tahun 1932 di dalam film. Zainuddin dan muluk menetap di
sana untuk sementara waktu.
5) Surabaya
Kota Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia
setelah Jakarta. Surabaya merupakan ibu kota provinsi Jawa
Timur yang memiliki penduduk sekitar tiga juta jiwa. Kota ini
berbatasan langsung dengan Selat Madura, Kabupaten
Sidoarjo, serta Kabupaten Gresik. Peran kota Surabaya dalam
cerita ini adalah sebagai tempat menetapnya Zainuddin dan
Muluk setelah sempat singgah sebentar di Jakarta.
60
Ibid., hlm. 182.
88
…Oleh karena kota Surabaya lebih dekat ke Mengkasar,
dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka
bermaksudlah dia hendak pindah ke Surabaya, akan
mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan
modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia. Dengan
kemauan yang tetap, dia bersama Muluk meninggalkan
kota Jakarta, yang di kota itu dia telah mendapat modal
paling besar, yaitu leter „Z‟ yang kelak akan dipergunakan
mencoba nasib di kota Surabaya itu.61
Sekuen No. 41/1:40:13
Frame tersebut merupakan potret kota Surabaya tahun
1932. Pada film, Zainuddin dan Muluk memutuskan untuk
menetap di Surabaya setelah dirinya mendapatkan kepercayaan
untuk mengurus sebuah kantor penerbitan surat kabar di sana.
Bukan hanya Zainuddin dan Muluk yang menetap di
Surabaya, Aziz dan Hayati juga pindah ke Surabaya lantaran
Aziz naik jabatan sehingga dipindahtugaskan ke kota tersebut
oleh perusahaan tempat Aziz bekerja.
Ti, kita akan pindah, besluitku telah keluar.
Pindah kemana ‘Kanda? Tanyaku.
Cobalah terka, ke mana? Katanya pula sambil tersenyum.
Entahlah, jawabku!
Kita akan pindah ke Jawa, katanya!
Ke Jawa? Tanyaku dadaku berdebar amat kerasnya!
Ya, ke Jawa, kita akan berlayar mengarung laut Ketahun,
kita akan melihat kota Jakarta yang ramai. Kita akan pergi
ke negeri yang lebih ramai. Tempat kita telah ditentukan di
Surabaya!62
61
Ibid., hlm. 183. 62
Ibid., hlm. 188-189.
89
Sekuen No.45/1:47:25
Frame tersebut merupakan adegan saat Aziz dan Hayati tiba
di rumah dinas di kota Surabaya. Di rumah tersebut mereka
menetap sebelum akhirnya Aziz dipecat dan menumpang
tinggal di rumah Zainuddin.
Selain kota Padang Panjang, kota Surabaya juga memiliki
porsi yang cukup besar dalam cerita ini. Selain pada bagian
kota, berikut beberapa latar di Surabaya yang turut mengambil
bagian dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
yakni Gedung Pertunjukkan dan Pelabuhan Tanjung Perak.
1. Gedung Pertunjukkan
Sebuah gedung pertunjukkan yang tidak diketahui
lokasi persisnya di kota Surabaya ini menjadi saksi
pertemuan antara Zainuddin, Aziz, dan Hayati.
Pertemuan tersebut menjadi kejutan bagi Aziz dan
Hayati lantaran berdiri di hadapan mereka Zainuddin,
pemuda yang pernah mereka kenal dahulu kini telah
menjadi pengarang termahsyur yang sangat sukses.
Dengan senyum, disambutnya tangan yang
diulurkan orang kepadanya, dipegangnya dan
digoyangnya dengan penuh rasa hormat. Tiba-tiba
sampailah kepada Aziz dan Hayati. Muka Hayati
pucat sebentar darahnya tersirap. Dia hendak
melihat bagaimanakah bentuk rupa Zainuddin
seketika menentang mukanya dan muka suaminya.
Sebab dia ingat betul bagaimana kesedihan anak
muda ini seketika menjabat tangannya yang telah
berinai beberapa tahun yang lalu, yang membawa
sakitnya.63
63
Ibid., hlm. 196.
90
Sekuen No.53/2:04:22
Frame tersebut merupakan adegan saat Zainuddin
menyapa Aziz dan Hayati setelah pertunjukkan tonil
usai. Terlihat pada wajah Hayati ekspresi takjub
sekaligus canggung saat berhadapan dengan Zainuddin.
2. Pelabuhan Tanjung Perak
Pelabuhan yang terdapat di Surabaya ini merupakan
pelabuhan terbesar dan tersibuk kedua di Indonesia
setelah pelabuhan Tanjung Priok. Kapal Van Der Wijck
yang hendak ditumpangi Hayati untuk pulang ke
Batipuh ada di pelabuhan ini. Oleh karena itu pelabuhan
ini turut berperan dalam cerita ini.
Dengan menumpang sebuah taksi, mereka
berangkat ke Tanjung Perak. Sesampai di kapal,
Muluklah yang mencari tempat buat perempuan itu
di atas dek. Menurut kebiasaan, kalau muatan tak
banyak, pukul 6 sore kapal itu telah berlayar. Tetapi
sekali ini lantaran memunggah muatan terlalu
banyak, berangkat dilambatkan sampai pukul 9
malam.64
Sekuen No.61/2:43:18
Frame tersebut merupakan potret latar pelabuhan
Tanjung Perak pada saat cerita ini berlangsung. Pada
64
Ibid., hlm. 238.
91
pelabuhan inilah kapal yang ditumpangi Hayati, kapal
Van Der Wijck bersandar.
6) Banyuwangi
Banyuwangi merupakan sebuah kabupaten yang ada di
provinsi Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi merupakan
kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi kabupaten
terluas di pulau Jawa dengan jumlah penduduk sekitar satu juta
delapan ratus jiwa. Sebuah hotel di Banyuwangi menjadi
tempat di mana Aziz menghembuskan napas terakhirnya
lantaran bunuh diri.
Di lembar yang kedua dari salah satu surat kabar harian
terbaca satu perkabaran, dikirim oleh reporter dari
Banyuwangi…
Penumpang itu tidak bangun lagi buat selama-lamanya,
rupanya dia telah membunuh dirinya dengan jalan
memakan Adalin, obat tidur yang masyhur itu lebih dari
sepuluh buah. Tube obat itu terdapat di atas meja telah
kosong.65
Sekuen No.59/2:32:49
Frame tersebut merupakan adegan saat Aziz bunuh diri di
sebuah kamar hotel di Banyuwangi. Aziz mengalami overdosis
setelah menenggak obat tidur lebih dari sepuluh tablet.
7) Lamongan
Lamongan merupakan sebuah kabupaten di provinsi Jawa
Timur. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah
yang masuk dalam kawasan metropolitan Surabaya. Penduduk
yang menempati kabupaten ini berjumlah sekitar satu juta tiga
ratus jiwa. Lamongan turut menjadi latar penceritaan, yakni
65
Ibid., hlm. 229.
92
sebagai tempat Hayati menghembuskan napas terakhirnya
lantaran kecelakaan kapal Van Der Wijck.
Sebagai kilat layaknya, taksi itu telah dihadapkan menuju
Lamongan, satu kabupaten di Jawa Timur. Lebih kurang
dua jam telah sampai ke tempat itu. Didapatinya di sana
sini orang berkerumun-kerumun, buah pembicaraan orang
rupanya tidak lain melainkan kapal yang karam itu saja.66
Sekuen No.64/2:57:16
Frame tersebut adalah adegan Zainuddin yang mendapati
Hayati tengah terbaring lemah setelah kapal yang Hayati
tumpangi karam. Pada filmnya tidak disebutkan Lamongan,
melainkan latar yang terlihat hanya sebuah rumah sakit saja.
b. Latar Waktu
Kisah cinta segitiga antara Zainuddin, Hayati, dan Aziz terjadi
pada tahun 1900 sampai 1937 di dalam novelnya. Hamka
menyebutkan secara eksplisit peristiwa apa yang terjadi pada tahun
1900, 1936, dan 1937 meskipun ada beberapa yang peristiwa tidak
dapat teridentifikasi waktu kejadiannya.
Sebagai akibat dari proses ekranisasi, latar waktu yang ada di
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengalami
penciutan. Cerita berlangsung pada tahun 1930 hingga 1936.
Meskipun mengalami penciutan, sutradara menggambarkan secara
eskplisit latar waktu yang terdapat pada seluruh peristiwa yang ada
di dalam cerita. Berikut adalah penjelasan mengenai penciutan
tersebut.
66
Ibid., hlm. 252.
93
1) 1900
Penggunaan latar 1930 pada film sebagai pembuka cerita
membuat penulis menyimpulkan bahwa peristiwa pembunuhan
yang dilakukan Pandekar Sutan (ayah dari Zainuddin) terhadap
Datuk Mantari Labih (paman dari Pandekar Sutan) terjadi pada
kisaran 1900-an. Namun perlu diketahui bahwa latar ini tidak
terdapat pada filmnya, melainkan hanya di novel saja.
Dia dinamai ayahnya, Zainuddin. Sejak kecilnya telah
dirundung oleh kemalangan. Untuk mengetahui siapa dia,
kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri
kecil dalam wilayah Batipuh Sapuluh Koto (Padang
Panjang) kira-kira 30 tahun lalu.67
2) 1930
Secara eksplisit sutradara menggambarkan latar waktu
tahun 1930 di Mengkasar sebagai awal dari cerita ini. Pada
tahun yang sama terjadi pula peristiwa merantaunya Zainuddin
ke Batipuh dan pertemuan pertama antara dirinya dengan
Hayati. Sementara latar waktu peristiwa-peristiwa tersebut
tidak dapat teridentifikasi pada novelnya.
Sekuen No.2/02:02 Sekuen No.3/03:53
3) 1931
Secara eksplisit sutradara menggambarkan latar waktu
tahun 1931 di Padang Panjang, tepatnya di kampung Silaing.
Peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut yakni menetapnya
Zainuddin di rumah Muluk, kampung Silaing. Pada tahun yang
sama terjadi pula pernikahan antara Hayati dengan Aziz.
67
Ibid., hlm. 4.
94
Sementara latar waktu peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat
teridentifikasi pada novelnya.
Sekuen No.21/37:44
4) 1932
Secara ekspisit sutradara menggambarkan latar waktu tahun
1932 di Batavia (Jakarta). Peristiwa yang terjadi pada tahun
tersebut yakni merantaunya Zainuddin dan Muluk ke Jakarta
untuk melanjutkan karangan-karangan Zainuddin. Pada tahun
yang sama Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, diikuti
oleh Hayati dan Aziz yang juga pindah ke Surabaya. Sementara
latar waktu peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat
teridentifikasi pada novelnya.
Sekuen No. 38/1:32:23
5) Oktober 1936
Secara eksplisit sutradara menggambarkan latar waktu
tahun 1936 di Surabaya. Peristiwa yang terjadi pada bulan
Oktober di tahun tersebut yakni wafatnya Hayati akibat
kecelakaan kapal Van Der Wijck. Pada tahun yang sama Aziz
wafat lantaran bunuh diri dengan cara menenggak obat tidur.
Latar waktu Oktober 1936 juga digambarkan secara eksplisit
oleh pengarang.
Setelah cukup tiga hari jenazah Hayati dikebumikan
diajaklah Muluk oleh Zainuddin pergi ke pusara itu
memarit dan membina kubur, dan menanam puding
95
pancawarna di atasnya, menurut wasiat Hayati! Nisannya
diperbuat dari batu marmar yang ditulis begini bunyinya:
HAYATI Meninggal lantaran kecelakaan Kapal Van Der
Wjck pada 20 Oktober 1936.68
Sekuen No.65/3:05:25
6) 1937
Secara eksplisit pengarang menggambarkan latar waktu
tahun 1937 di Surabaya. Peristiwa yang terjadi di tahun
tersebut yakni wafatnya Zainuddin akibat sakit. Sementara
pada filmnya latar waktu tahun 1937 tidak teridentifikasi.
Setahun kemudian. Oleh karena itu, Zainuddin kurang
sekali menerima tetamu sejak kematian Hayati, maka
jaranglah teman-temannya yang dapat menemuinya. Kabar
berita tentang keadaan dirinya, atau sakit senangnya,
tidaklah begitu diketahui orang lagi. Tiba-tiba pada suatu
hari di dalam surat-surat kabar yang terbit dalam kota
Surabaya bertemu perkabaran: ZAINUDDIN
PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT.69
c. Latar Sosial
Latar sosial yang ada pada masyarakat Minangkabau adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi
setempat. Hal tersebut dapat dibuktikan pada novelnya terkait
dengan fungsi surau, larangan pergaulan lawan jenis, tradisi pacuan
kuda, dan pentingnya permusyawarahan ninik mamak.
Setelah mengalami proses ekranisasi, latar sosial yang ada pada
novelnya tidak mengalami perubahan sama sekali. Sutradara tetap
menampilkan latar-latar tersebut sesuai dengan apa yang
68
Ibid., hlm. 258. 69
Ibid., hlm. 260.
96
disampaikan Hamka pada novelnya. Berikut adalah penjelasan
mengenai latar sosial tersebut.
1) Fungsi Surau
Pada saat di mana cerita ini dibuat, surau tidak hanya
menjadi tempat ibadah bagi penduduk Batipuh melainkan juga
sebagai tempat menuntut ilmu. Bahkan menurut tradisi
Minangkabau, wajib hukumnya bagi anak laki-laki yang sudah
baligh untuk bermalam di surau seperti yang dilakukan
Zainuddin di dalam cerita ini.
Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia
dari kegembiraannya, sebab kemanisan mulut bakonya
kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang
diberikannya dengan tetap, kiriman Mak Base dari
Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau,
bersama-sama dengan lain-lain anak muda, karena
demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin
dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.70
Sekuen No.10/17:26
2) Larangan Pergaulan Lawan Jenis
Pertalian yang terhubung antara Zainuddin dan Hayati
rupanya belum bisa diterima oleh masyarakat di Batipuh.
Masyarakat di sana belum bisa secara adil menanggapi
pemandangan laki-laki dan perempuan yang bersahabat sangat
dekat layaknya Zainuddin dan Hayati. jadi dapat dipastikan
bahwa di Batipuh jarang ditemukan laki-laki dan perempuan
berdua-duan.
Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur di antara
kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam
dusun kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat
memandang kejadian ini dengan penyelidikan yang
70
Ibid., hlm. 29.
97
saksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci. Yang
terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut ialah
bahwa Hayati, kemenakan Datuk… telah ber-„intaian‟,
bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan orang
Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus, perkataan yang
tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu
mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan
anak muda-muda yang duduk di pelataran lepau petang
hari. Sehingga akhirnya menjadi rahasia umum.71
Sekuen No.16/24:08
3) Tradisi Pacuan Kuda
Terdapat tradisi tahunan yang lazim digelar di Padang
Panjang, yaitu pacuan kuda dan pasar malam. Tradisi ini tidak
hanya digelar di Padang Panjang, melainkan juga pada kota-
kota besar lain di Sumatera Barat. Bahkan pada novelnya,
pacuan kuda dan pasar malam memiliki bab tersendiri.
Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan
kuda dan pasar malam, bernama keramaian adat negeri.
Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di
Sumatra Barat, sebagai Batu Sangkar, Payakumbuh,
Bukittinggi dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam
pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris,
menyandang kain sumbiri, sejak dari yang muda sampai
kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari
kampung-kampung memakai tikuluk pucuk.72
Sekuen No.28/53:06
71
Ibid., hlm. 60. 72
Ibid., hlm. 83.
98
4) Permusyawarahan Ninik Mamak
Permintaan dari Zainuddin dan Aziz yang datang secara
bersamaan untuk meminang Hayati membuat keluarga Hayati
perlu mengadakan musyawarah dengan ninik mamak.
Masyarakat di Batipuh saat itu menerapkan adat Minangkabau
dalam menggelar musyawarah.
Setelah segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan
orang kepada Datuk… dan kepada segala ninik mamak
yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah
sampai pula surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah
permusyawarahan ninik mamak, menurut adat yang
terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang,
disembelihkan ayam empat ekor. Dibentangkan tikar
pandan putih.73
Sekuen No.32/1:07:41
4. Alur
Alur dapat dibedakan menjadi alur maju, alur mundur, dan alur
campuran bila melihat dari kriteria urutan waktu penceritaannya.
Berdasarkan kriteria tersebut, teridentifikasi bahwa alur yang
digunakan pada novel adalah alur campuran. Hal ini dapat dibuktikan
pada bagian awal novel, di mana pengarang membuka cerita dengan
memperkenalkan sosok Zainuddin. Setelah memperkenalkan sosok
Zainuddin, pengarang melakukan kilas balik tiga puluh tahun silam.
Kilas balik tersebut menceritakan riwayat kedua orang tua Zainuddin
pada wilayah Batipuh Sapuluh Koto (Padang Panjang). Tujuannya
adalah agar pembaca mengetahui penyebab Zainuddin dikatakan anak
pisang. Pada bab selanjutnya, dikisahkan perjalanan hidup Zainuddin
itu sendiri sampai ia meninggal dunia.
73
Ibid., hlm. 125.
99
Berbeda dengan novelnya yang memiliki alur campuran, ekranisasi
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki alur maju. Hal ini dapat
dibuktikan lantaran tidak ditemukannya unsur kilas balik dalam film.
Secara runtut, cerita dimulai dari merantaunya Zainuddin ke Batipuh,
berlanjut seterusnya secara kronologis sampai Hayati meninggal dunia.
Sehubungan dengan adanya teori tentang tahapan alur yang telah
penulis cantumkan pada bab sebelumnya, berikut akan penulis jelaskan
tahapan alur dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
a. Tahap Penyituasian
Penyituasian dimulai dengan penggambaran latar suasana di
kota Mengkasar, tepatnya di pinggir pantai pulau Laya-laya pada
saat senja. Keadaan geografis Mengkasar juga sedikit disinggung,
diantaranya benteng Kompeni, tanah lapang Karibosi, Gunung
Lompo Batang, dan Bawa Kara Eng. Masyarakat di sana pada
umumnya masih percaya akan takhayul pada saat itu. Barulah
kemudian diperkenalkan sosok Zainuddin yang kala itu berusia 19
tahun. Kedua orang tua Zainuddin turut dikisahkan, di mana
pengisahan tersebut. Pengisahan kedua orang tua Zainuddin inilah
yang kemudian memengaruhi kisah-kisah selanjutnya. Alur dalam
novel ini lantas berubah dari alur maju menjadi alur mundur.
Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso
berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu
jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah, seorang anak muda
yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang
dirinya menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya
terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan
keindahan alam di lautan Mengkasar, rupanya pikirannya telah
melayang jauh sekali, ke balik yang tak tampak di mata, dari
lautan dunia pindah ke lautan khayal.74
Sementara itu dalam film, tahap ini ditandai oleh kemunculan
tokoh Zainuddin yang hendak meminta izin pada Mak Base untuk
merantau ke Padang. Jika pada novel kita dapat menemukan
74
Ibid., hlm. 2-3.
100
riwayat kedua orang tua Zainuddin, pada filmnya tidak dikisahkan
sama sekali.
Sekuen No.2/02:16
b. Tahap Pemunculan Konflik
Pemunculan konflik pada cerita ini ditandai dengan pertemuan
Zainuddin dan Hayati di Ekor Lubuk. Kala itu hari sedang hujan,
Zainuddin yang pada awalnya hanya niat membantu Hayati dengan
meminjamkan payung miliknya justru terpikat oleh kecantikan
Hayati. Pada kisah selanjutnya mereka saling berkirim-kirim surat
dan kemudian saling menyimpan rasa. Pada akhirnya hal tersebut
tersiar keseluruh penjuru dusun, termasuk ke telinga Datuk.
Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur di antara
kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam dusun
kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat memandang kejadian
ini dengan penyelidikan yang saksama dan adil. Orang belum
kenal percintaan suci. Yang terdengar sekarang, yang pindah
dari mulut ke mulut ialah bahwa Hayati, kemenakan Datuk…
telah ber-“intaian”, bermain mata, berkirim-kiriman surat
dengan orang Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus,
perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah
dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam
kalangan anak muda-muda yang duduk di pelataran lepau
petang hari. Sehingga akhirnya menjadi rahasia umum. Orang-
orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi.
Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun
berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan
sudut mata. Anak-anak yang masih belum kawin dalam
kampung itu sangat naik darah. Bagi mereka adalah perbuatan
demikian, merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung
tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah
persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk … yang
dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat
malu, melangkahi kepala ninik mamak.75
75
Ibid., hlm. 60-61.
101
Sekuen No.6/12:07 Sekuen No.9/16:29
c. Tahap Peningkatan Konflik
Peningkatan konflik dalam cerita ditandai oleh datangnya
lamaran dari Aziz dan Zainuddin terhadap Hayati secara
bersamaan. Setelah musyawarah dan mencapai mufakat, lamaran
Azizlah yang diterima oleh pihak Hayati. Keputusan tersebut
diambil setelah mempertimbangkan latar belakang Aziz yang kaya
raya dan jelas asal-usulnya, tidak seperti Zainuddin yang belum
jelas hartanya dan bukan pemuda keturunan Minangkabau.
Mengalir keringat dingin di keningnya sehabis surat itu
dibacanya. Menyesal dia, padahal dari dahulu sudah
disangkanya juga bahwa permintaannya tidak akan terkabul,
sebab negeri Minangkabau beradat. Terasa malu yang sebesar-
besarnya, terasa perasaan yang mesti tersimpan dalam hati tiap-
tiap manusia, bahwa dia tidak mau dihinakan. Minangkabau
negeri beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat yang ada di
dunia ini, di negeri lain tidak. Padahal kalau memang negeri
Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak
ditolak dengan jalan yang begitu saja. Permintaan bisa terkabul
dan bisa tidak, tetapi tidak ada hak bagi yang menolak buat
menyindir pula kepada orang yang ditolaknya. Apalagi pintu
yang dilaluinya bukan pintu “belakang” tetapi pintu muka, tiba
tampak muka, berjalan tampak punggung.76
Sekuen No.32/1:07:41 Sekuen No.35/1:19:40
76
Ibid., hlm. 134.
102
d. Tahap Klimaks
Klimaks yang dapat kita temukan dalam cerita ini ditandai
dengan talak yang dijatuhkan Aziz kepada Hayati. Tidak hanya
mentalak Hayati, Aziz juga mengembalikan Hayati kepada
Zainuddin. Sebenarnya jauh di dalam hati Zainuddin timbul
peperangan antara rasa dendam dan rasa cinta. Namun siapa
sangka, Zainuddin menolak keinginan Aziz tersebut lantaran ia
menghargai persahabatannya dengan Aziz. Selain karena hal
tersebut, penolakan yang dilakukan Zainuddin lantaran ia teringat
bagaimana Hayati mengingkari janji yang mereka buat. Pada
akhirnya penolakan tersebut berujung pada keputusan Zainuddin
untuk memulangkan Hayati ke Batipuh, sebuah keputusan yang
sebenarnya sangat bertolak belakang dengan hatinya.
Bila teringat akan itu, dia berkata, „Tidak Hayati! Kau mesti
pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan
begini, Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak
ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal … Negeri
Minangkabau beradat! … besok hari Senin, ada kapal
berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke
Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu ke
kampungmu.‟77
Sekuen No.59/2:30:48 Sekuen No.60/2:41:40
e. Tahap Penyelesaian
Penyelesaian seluruh cerita ini ditandai oleh insiden
tenggelamnya kapal yang ditumpangi Hayati dari Surabaya menuju
Padang, yakni kapal Van Der Wijck. Akibat insiden tersebut,
Hayati terluka parah di kepala dan di kaki. Zainuddin yang
mengetahui insiden tersebut bergegas menuju rumah sakit bersama
77
Ibid., hlm. 234-235.
103
Muluk. Rupanya hanya beberapa saat saja Hayati siuman, tidak
lama kemudian Hayati meninggal dunia setelah mengetahui bahwa
Zainuddin masih cinta akan dirinya.
Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali,
diisyaratkannya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah
dekat, dibisikkannya, Bacakanlah … dua kalimat suci … di
telingaku.Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat
itu, ditarutkannya yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang
kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga … dia sudah
tak ada lagi!78
Sekuen No. 63 /2:53:36 Sekuen No.64/3:04:10
Sekuen No.65/3:10:36
Tahap penyelesaian yang dipilih oleh sutradara berbeda dengan
tahap penyelesaian yang ada di dalam novel. Dalam novel, akan
kita temukan sosok Zainuddin yang menderita berkepanjangan
hingga jatuh sakit dan meninggal dunia. Berlainan dengan filmnya,
sepeninggal Hayati justru Zainuddin semakin menunjukkan
semangatnya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang
pengarang. Bahkan dirinya menjadikan rumah tempat tinggalnya
sebagai panti asuhan yang dihuni oleh banyak anak-anak dan
beberapa pengasuh, Muluk, dan istri Muluk.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam novel merupakan tempat pengarang
memandang ceritanya. Melalui sudut pandang pengarang dapat
78
Ibid., hlm. 255.
104
melukiskan tokoh, peristiwa, tempat, serta waktu dengan gayanya
sendiri. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menggunakan
sudut pandang persona ketiga “dia” mahatahu. Sudut pandang tersebut
memungkinkan peran Buya Hamka sebagai pencerita yang mengetahui
seluruh cerita termasuk jalan pikiran, perasaan, konflik batin, serta
pandangan hidup tokoh-tokohnya dalam cerita ini.
Bukan Hayati telah melupakan Zainuddin, belum pula dia cinta
kepada Aziz dengan arti cinta yang ada kepada Zainuddin. Tapi
yang dapat dilihat, sejak menjejak Padang Panjang, perasaan
Hayati yang dahulu, sudah berangsur hilang. Dia sudah tahu
bagaimana kekurangan hidup di kampung dan bagaimana
kemewahan di kota. Sudah mulai masuk ke dalam hatinya perasaan
gembira, telah sempit rasanya dipakainya guntingan pakaian cara
kampung, telah lebih senang dia melihat sorak-sorai orang di
kota.79
Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat dalam kalimat “bukan
Hayati telah melupakan Zainuddin, belum pula dia cinta kepada Aziz
dengan arti cinta yang ada kepada Zainuddin” bahwa pengarang
menceritakan bagaimana perasaan Hayati, yang berarti pengarang
mengetahui segala yang dirasakan oleh tokoh. Selanjutnya pada
kalimat “dia sudah tahu bagaimana kekurangan hidup di kampung dan
bagaimana kemewahan di kota” dapat diidentifikasi bahwa pengarang
mengetahui apa yang dipikirkan oleh Hayati. Pengarang mengetahui
keseluruhan sebelum tokoh lain mengetahui.
Sementara itu pada sebuah film, sudut pandang dapat diketahui
dengan dua cara, yakni diegetic sound dan nondiegetic sound. Diegetic
sound merupakan suara yang sumbernya terlihat pada layar, langsung
dituturkan oleh tokoh melalui dialog. Non diegetik merupakan suara
yang sumbernya tidak terlihat pada layar, atau lebih mudahnya adalah
suara narasi. Pada ekranisasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
sutradara menggabungkan diegetic sound dan nondiegetic sound,
meskipun mayoritas keseluruhan menggunakan diegetic sound.
79
Ibid., hlm. 109.
105
Diegetic sound yang dimaksud yakni yang berasal dari penuturan para
pemeran Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di dalam film. Adapun
penceritaan dengan nondiegetic sound terdapat pada sekuen awal dan
sekuen akhir saja, yakni suara narator sementara film masih terus
berjalan.
6. Gaya Bahasa
Sebagian besar bahasa yang digunakan oleh Buya Hamka dalam
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu bahasa Minangkabau
yang dipadukan bahasa Melayu kental. Adapun gaya bahasa yang
sering ditemukan dalam novel ini yakni personifikasi, yaitu
mengungkapkan atau mengutarakan suatu benda dengan pembanding
tingkah dan kebiasaan manusia.
Gaya bahasa personifikasi teridentifikasi pada pendeskripsian kota
Mengkasar oleh pengarang di dalam novel. Matahari digambarkan
seolah-olah dapat mengecap layaknya manusia.
Kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang, apabila telah sore
diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam dan
mengecap hawa laut…80
Masih banyak kutipan serupa yang penulis temukan di dalam
novel. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengarang memiliki ciri khas
tersendiri dalam menuliskan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
yakni menggunakan gaya bahasa personifikasi. Contoh lain
teridentifikasi pada penjelasan yang dibeberkan pengarang terkait
perasaan Zainuddin setelah bertemu dengan hayati di dangau.
Dilihatnya sekali lagi yang sekelilingnya, tiba-tiba dari sedikit ke
sedikit, wajah alam itu pun bertukarlah pada penglihatannya dari
yang biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi…81
Kutipan tersebut menunjukkan suasana hati Zainuddin yang tengah
bahagia setelah bertemu Hayati. Penggambaran air yang dapat
bernyanyi termasuk ke dalam personifikasi. Dapat disimpulkan bahwa
80
Ibid., hlm. 2. 81
Ibid., hlm. 35.
106
pengarang konsisten menggunakan personifikasi, dengan asumsi untuk
menghidupkan suasana di dalam cerita.
Sementara pada ekranisasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
gaya bahasa personifikasi yang digunakan Hamka tidak dimunculkan
oleh tim produksi. Sebagian besar kosa kata yang dipilih oleh penulis
skenario merupakan kosa kata yang telah disesuaikan dengan masa
kini, yang maknanya dapat dengan mudah diketahui semua penonton.
Hal tersebut guna untuk memudahkan penonton memahami dialog
yang dituturkan antar pemain, karena di dalam novelnya terdapat kosa
kata atau istilah lokal yang mungkin tidak dimengerti oleh penonton.
Kosa kata tersebut seperti kata destar, lepau, limbat, dan kata-kata
lain yang belum pernah didengar. Meskipun tidak sepenuhnya
menggunakan bahasa Melayu Minangkabau, sutradara tetap
mengarahkan pemain agar menggunakan dialek Minangkabau. Hal
tersebut dilakukan agar tetap memberikan kesan lokal Minangkabau
pada filmnya.
B. Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck dengan Film Adaptasinya
1. Lingkungan Fisik
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis
mengidentifikasi unsur lingkungan fisik Minangkabau yang bersifat
alami (gunung dan sungai) serta bersifat buatan (sawah, rumah, surau,
dan gelanggang). Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang
kemunculannya di dalam cerita memiliki kaitan dengan kenyataan
yang ada pada ranah Minangkabau.
Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara sebagian besar
tetap menampilkan unsur-unsur lingkungan fisik seperti yang terdapat
di dalam novel. Namun terdapat unsur lingkungan fisik yang
mengalami penciutan dan perubahan bervariasi. Sutradara tidak
menampilkan sungai Anai serta menjadikan gunung Arjuna (Jawa
107
Timur) sebagai pengganti gunung-gunung yang ada di Padang. Berikut
adalah penjelasan mengenai perubahan tersebut.
a. Gunung
Ada tiga gunung yang disebutkan Hamka dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Gunung-gunung tersebut
yaitu gunung Merapi, gunung Singgalang, dan gunung Kurinci.
Ketiga gunung tersebut memiliki nilai historis tersendiri bagi
masyarakat Minangkabau.
“Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak
dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh
lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”82
Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik Gunung
Singgalang. Dan dari sebuah surau di kampung yang jauh
kedengaran bunyi tabuh…83
Terus ke Kurinci melihat keindahan alam di sana, melihat
puncak Gunung Kurinci yang indah dan danaunya yang hijau.84
Setelah mengalami proses ekranisasi, ketiga gunung tersebut
tidak dimunculkan oleh sutradara. Adapun gunung yang terdapat
pada film adalah gunung Arjuna yang berada di Jawa Timur.
Perubahan variasi ini terjadi lantaran tidak memungkinkan bagi tim
produksi untuk berada di wilayah gunung Merapi, mengingat
kondisi gunung Merapi yang juga berdampingan dengan gunung
Singgalang kerap meletus dan kerap berstatus siaga. Oleh karena
itu sutradara menggantinya dengan gunung Arjuna yang ada di
Jawa Timur.
b. Sawah
Sawah merupakan usaha pertanian yang dilakukan pada tanah
basa dan memerlukan air untuk irigasi. Adapun mayoritas jenis
tanaman yang digunakan untuk pertanian sawah adalah padi. Pada
82
Ibid., hlm. 65. 83
Ibid., hlm. 59. 84
Ibid., hlm. 137.
108
waktu ketika novel ini ditulis, sebagian besar masyarakat di Padang
bekerja sebagai petani. Seperti halnya dalam cerita Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Hamka menghadirkan sebuah sawah sebagai
lingkungan fisik buatan dalam ceritanya, di mana penduduk sekitar
pada saat itu berprofesi sebagai petani.
Dari jauh, kedengaran nyanyi anak gembala di sawah-sawah
yang luas. Maka setelah meminta diri kepada mandehnya,
turunlah dia ke halaman, menuju sawah yang banyak itu
hendak melihat orang menyabit dan mengirik, atau pun
membakar jerami.85
Sekuen No.4/06:55
Sebagai lingkungan fisik buatan, sawah tidak dihilangkan oleh
sutradara setelah mengalami proses ekranisasi. Kehadiran sawah di
dalam film menekankan bahwa tokoh Zainuddin dan Hayati tinggal
di tengah-tengah dusun, yang sebagian besar penduduk di sana
bekerja sebagai petani.
c. Sungai
Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang
mengalir secara terus-menerus dari hulu menuju hilir. Penyebutan
sungai dalam bahasa Melayu adalah „batang‟. Pada Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, sungai Anai dihadirkan sebagai salah satu
lingkungan fisik alami yang terdapat di Padang Panjang. Penduduk
setempat menyebutnya batang Anai. Sungai ini memiliki aliran
yang besar dan jernih serta berbatu. Pada masa kolonial Belanda
dibangun jalan raya yang mengikuti alur sungai Anai dan juga rel
kereta api di atas aliran sungai tersebut. Sungai ini terletak tidak
jauh dari lembah Anai. Lembah Anai merupakan tempat yang
85
Ibid., hlm. 31-32.
109
sangat kental bagi penduduk Padang Panjang. Lembah ini adalah
salah satu air terjun yang menjadi maskot pariwisata di Sumatera
Barat. Letak lembah ini berada di pinggir jalan, tepatnya jalan yang
menghubungkan kota Padang dengan Bukit Tinggi.
Sungai Anai pernah digunakan Hamka sebagai salah satu
lingkungan fisik novel Dibawah Lindungan Ka’bah. Pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka kembali
menghadirkan sungai Anai beberapa kali.
Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing, penurunan akan
menuju kota Padang, yang dari sana dapat dilihat kaki
Singgalang dengan bukit-bukitnya yang penuh ditumbuhi tebu.
Di sana, dapat pula didengarkan derum sungai Anai yang
mengalir dahsyat.86
Terkenanglah dia bahwa pada zaman yang akhir ini, Zainuddin
suka sekali bersunyi-sunyi diri ke belukar Anai, ke tepi sungai
yang mengalir dengan bunyinya yang dahsyat itu, seakan-akan
berserunai bernafiri ayaknya. 87
Berlainan dengan novelnya, setelah mengalami proses
ekranisasi, sutradara menghilangkan sungai tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
kehilangan maskotnya, yaitu sungai Anai.
d. Rumah
Dalam arti umum, rumah merupakan salah satu bangunan yang
dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Pada novel
dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck rumah Gadang
dihadirkan sebagai salah satu lingkungan fisik buatan yang ada di
Batipuh. Perlu diketahui bahwa rumah Gadang adalah nama untuk
rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat. Oleh masyarakat
setempat, rumah ini dikenal dengan nama rumah Bagonjong atau
rumah Banjuang. Di sanalah Hayati dan mamaknya tinggal.
Tidak berapa jauh dan rumah bakonya itu, ada pula sebuah
rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat istiadat
86
Ibid., hlm. 74. 87
Ibid., hlm. 172.
110
Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan bertahtakan
timah. Di ujung kedua pihak, ada anjungan peranginan,
serambi muka bergonjong pula, lumbung empat buah berlerat
di halaman. Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang
akan ditumbuk. Pada buatan rumah, pada simbol pedang
bersentak yang terletak di bawah gonjong kiri kanan,
menandakan bahwa orang di rumah ini amat keras memegang
adat lembaga, agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di
Batipuh, yang terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh
Baruh.88
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Hamka memberi
gambaran secara detail bagaimana sesungguhnya bentuk rumah
Gadang.
Setelah mengalami proses ekranisasi, rumah Gadang tetap
dihadirkan oleh sutradara, hanya saja tidak terlalu detail.
Sekuen No.5/09:00
e. Surau
Surau merujuk kepada bangunan tempat ibadah umat Islam,
yang biasanya akan banyak kita temukan di daerah Sumatera.
Fungsi surau tidak berbeda jauh dengan masjid, yakni sebagai
pusat kegiatan keagamaan masyarakat dan pendidikan keislaman.
Di Minangkabau, surau kebanyakan lebih dikhususkan sebagai
lembaga pendidikan dikarenakan letaknya yang berdampingan
dengan masjid.
Pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, surau dihadirkan
sebagai salah satu lingkungan fisik buatan yang ada di Batipuh.
Hamka menempatkan posisi surau sebagai tempat berkumpulnya
anak laki-laki yang sudah akil baligh untuk tidur di malam hari.
88
Ibid., hlm. 25.
111
Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersama-sama
dengan lain-lain anak muda, karena demikian menurut adat.89
Adapun yang berkirim surat, Zainuddin, lain pula halnya.
Meskipun anak-anak muda di surau tempatnya tidur telah
berlayar dalam lautan mimpi yang enak, bahkan kadang-
kadang kesepian itu dipecahkan oleh dengkur dua atau tiga
orang anak-anak, dia masih bermenung melihatkan bulan
terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dengan 16, muram
dan damai.90
Setelah mengalami proses ekranisasi, fungsi surau yang
ditampilkan sutradara tidak dijelaskan. Hanya berupa sebuah frame
saja yang menunjukkan Zainuddin sedang tidur di dalam surau.
Sekuen No.10/17:26
Pada saat di mana novel ini ditulis, anak laki-laki yang sudah
akil baligh diwajibkan untuk tidur di surau pada malam hari. Hal
ini sudah menjadi tradisi setempat yang harus dijalankan. Jika
tidak, maka anak tersebut akan disebut belum jantan dan belum
mandiri oleh anak yang lain lantaran masih tinggal bersama orang
tua. Tinggal di surau merupakan sebuah bentuk pendidikan bagi
anak laki-laki untuk mandiri dalam menata hidup mereka di masa
depan. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut sudah
ditinggalkan lantaran banyak pemuda Minangkabau yang merantau
ke kota lain.
f. Gelanggang
Gelanggang merupakan ruang yang luas atau lapangan yang
digunakan untuk menyabung ayam, bertinju, berpacu kuda,
berolahraga, dan sebagainya. Pada Tenggelamnya Kapal Van Der
89
Ibid., hlm. 29. 90
Ibid., hlm. 44.
112
Wijck, gelanggang Bukit Ambacang dihadirkan sebagai salah satu
lingkungan fisik buatan yang ada di Padang Panjang. Hamka
menempatkan posisi gelanggang sebagai arena pacuan kuda yang
telah menjadi tradisi di Sumatera. Gelanggang ini menjadi salah
satu saksi pertemuan Zainuddin, Hayati, dan Aziz sebelum pada
akhirnya Hayati memutuskan untuk menikah dengan Aziz dan
melupakan Zainuddin.
Bukan main ramainya orang sekeliling gelanggang itu, laki-laki
dan perempuan. Apakah yang menarik kata orang kepada kuda
berlari? Bukan orang hendak melihat kuda, tetapi manusia
hendak menonton manusia jua.91
Sekuen No.28/56:24
Pacuan kuda yang digelar di gelanggang Bukit Ambacang
sudah menjadi tradisi sejak dahulu, jauh sebelum cerita
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ada. Kegiatan ini dibawa
masuk oleh Belanda yang kemudian menjadi tradisi tahunan bagi
masyarakat di sana.
Setelah mengalami proses ekranisasi, gelanggang ini tetap
dihadirkan. Perbedaannya adalah jika pada novel tidak
dicantumkan nama gelanggang yang menjadi arena pacuan kuda,
sementara sutradara memberikan keterangan kepada penonton
nama gelanggang yang menggelar pacuan kuda tersebut.
2. Unsur-unsur Sosial
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis
mengidentifikasi unsur-unsur sosial Minangkabau, yaitu yang terdiri
dari kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan lembaga sosial.
91
Ibid., hlm. 90.
113
Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang kemunculannya di
dalam cerita memiliki kaitan dengan kenyataan yang ada pada ranah
Minangkabau.
Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara tidak mengubah
apapun yang berhubungan dengan unsur-unsur tersebut. Sutradara
tetap menampilkan sekuen demi sekuen yang mengandung unsur-
unsur sosial Minangkabau saat itu, meskipun pada saat ini sebagian
unsur-unsur tersebut sudah tidak berlaku lagi di sana. Berikut adalah
penjelasan mengenai unsur-unsur sosial tersebut.
a. Kelas Sosial
Bila melihat cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
teridentifikasi bahwa pada saat novel ini dibuat, masih terdapat
lapisan-lapisan yang membuat masyarakat suku Minangkabau
terbagi menjadi tiga kelompok. Lapisan-lapisan tersebut yakni
lapisan bangsawan, orang biasa, dan lapisan terendah.
1. Lapisan Bangsawan
Lapisan bangsawan memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dalam masyarakat serta memperoleh gelar kebangsawanan.
Orang yang termasuk ke dalam golongan bangsawan ialah
orang-orang yang mula-mula datang dan mendirikan desa-desa
di daerah Minangkabau. Oleh karena itu mereka disebut
sebagai urang asa (orang asal).
Hayati, Aziz, dan masing-masing dari keluarga mereka
merupakan orang yang termasuk kedalam lapisan ini. Hal ini
dapat dilihat dalam kutipan pada novel berikut ini:
“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di
Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak.
Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan
sembarang orang…
Zainuddin serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya
sendiri, gelar pusaka turun-temurun menjadi buah mulut
114
orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur
kemenakan.”92
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 61-62)
Namanya Aziz, anak dari Sutan Mantari, seorang yang
termasyhur dan berpangkat semasa hidupnya …
Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang,
sawahnya yang berbintalak, dikaji sasap jerami, pendam
pekuburan, bekas-bekas harta yang telah dibagi dan yang
belum dibagi di negerinya. Karena memang nyata bahwa
dia orang asal, patut dijeput kita jeput, patut dipanggil kita
panggil.
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Hayati bisa
masuk ke dalam lapisan ini lantaran mamaknya adalah seorang
penghulu adat yang memiliki gelar pusaka turun-temurun.
Sementara Aziz bisa masuk ke dalam lapisan ini lantaran
ayahnya adalah orang yang terpandang dan memiliki pangkat
serta memiliki harta yang banyak.
2. Lapisan Biasa
Lapisan biasa memiliki kedudukan di bawah lapisan
bangsawan. Orang yang termasuk ke dalam golongan biasa
ialah orang-orang yang datang kemudian dan tidak terikat
dengan orang asal, tetapi mereka bisa memiliki tanah dan
rumah sendiri dengan cara membeli.
Muluk beserta ibunya merupakan orang yang termasuk ke
dalam lapisan ini. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan pada
novel berikut ini :
“Guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa,
penyabung, pedadu, penjudi, jadi tangan saya bernajis.
Karena kami pemuda-pemuda Padang Panjang ini,
meskipun negeri kami penuh dengan rumah-rumah sekolah
agama, kami kebanyakan hanya bergurau, berburu, main
kim dan lain-lain. Tapi sungguhpun seperti itu, saya merasa
senang sekali Guru telah suka tinggal di rumah orang tua
saya ini. Karena dia hanya sendiri saja menghuni rumah,
92
Ibid., hlm. 61-62.
115
saya tak bersaudara seorang juga. Bapa saya telah mati
ditimpa batu ketika gempa besar itu…”93
Lantaran Hamka tidak menjelaskan secara detail silsilah
keluarga Muluk, dapat diidentifikasi bahwa Muluk bukanlah
seorang yang berasal dari keluarga terpandang dan berpangkat
seperti Hayati dan Aziz. Namun melalui kutipan tersebut dapat
diidentifikasi bahwa Muluk adalah seorang pemuda Padang
Panjang. Hal tersebut memberi arti bahwa Muluk dan ibunya
termasuk ke dalam golongan biasa lantaran Muluk dan ibunya
tidak memiliki hubungan dengan orang asal, tetapi mereka bisa
memiliki tempat tinggal sendiri di Padang Panjang.
3. Lapisan Terendah
Lapisan terendah memiliki kedudukan yang paling bawah
setelah lapisan bangsawan dan lapisan biasa. Orang yang
termasuk ke dalam golongan ini ialah orang-orang yang datang
kemudian dan menumpang pada keluarga-keluarga yang lebih
dulu datang dengan jalan menghambakan diri.
Zainuddin merupakan orang yang termasuk ke dalam
lapisan ini. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan pada novel
berikut ini :
Di dalam kalangan gadis-gadis di kampung Batipuh, telah
menjadi buah mulut bahwa ada sekarang seorang anak
muda “orang jauh”, orang Bugis dan Mengkasar,
menumpang di rumah bakonya, Mande Jamilah.94
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Zainuddin bukanlah
seorang yang berasal dari keluarga terpandang dan berpangkat
seperti Aziz dan Hayati, bukan juga seorang yang memiliki
tempat tinggal sendiri di Batipuh. Zainuddin hidup dengan
menumpang bakonya yang tinggal di Batipuh. Setelah
peristiwa pengusiran dirinya, Zainuddin juga hidup dengan
93
Ibid., hlm. 142-143. 94
Ibid., hlm. 26.
116
menumpang Muluk yang tinggal di Padang Panjang. Hal
tersebut memberi arti bahwa Zainuddin termasuk ke dalam
golongan terendah lantaran dirinya adalah seorang perantau
yang menumpang pada bakonya yang lebih dulu datang.
b. Kelompok Sosial
Keterikatan dan ketergantungan antara manusia satu dengan
yang lain mendorong manusia untuk membentuk sebuah kelompok
masyarakat. Hal ini dapat ditemukan dalam Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck. Terdapat beberapa kelompok sosial akibat adanya
persamaan kelompok etnik dan profesi.
1. Pemuda-pemuda Minang
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dapat
dilihat dengan jelas bagaimana pemuda-pemuda Minang
mendominasi daerah Batipuh, sehingga Zainuddin yang bukan
merupakan keturunan Minangkabau tulen dipandang lain oleh
pemuda-pemuda tersebut.
Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh,
bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak
muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau,
tetapi pandangan orang kepadanya bukan padangan sama
rata, hanya ada juga kurangnya…
Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang
Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari
ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau
Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain
juga.95
Sekuen No.10/17:16
Kutipan dan frame tersebut menunjukkan adanya kelompok
yang dibuat oleh pemuda Minangkabau. Zainuddin yang tidak
95
Ibid., hlm. 23.
117
termasuk ke dalam kelompok tersebut dipandang lain. Bahkan
pada filmnya, Zainuddin tidak diizinkan bergabung lantaran
bukan keturunan Minangkabau.
2. Parewa
Parewa adalah sebuah istilah yang disematkan kepada
golongan orang muda-muda di Minangkabau yang hidupnya
berasal dari berjudi, menyabung, dan lain-lain. Meskipun
begitu, mereka adalah orang-orang yang sangat kuat
mempertahankan kehormatan nama suku dan kampung, setia
serta sudi menolong, hormat kepada orang siak (alim),
dermawan, dan jika mereka memiliki sahabat maka mereka
akan mempertahankan sahabatnya sampai mati.
“Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya bukan main
sukacitanya, cuma dia malu kepada engkau sebab engkau
orang siak, sedang dia orang parewa.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 141)
Dialog tersebut diucapkan oleh ibu Muluk kepada
Zainuddin. Lewat dialog tersebut dapat diketahui bahwa Muluk
merupakan tokoh dalam cerita ini yang sehari-harinya memiliki
cap sebagai parewa. Namun hal itu tidak disampaikan secara
detail dalam filmnya.
c. Dinamika Sosial
Dinamika sosial erat kaitannya dengan perubahan-perubahan
yang terjadi di kehidupan sosial, dalam hal ini pada Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Ada tiga objek yang dibahas terkait
dinamika sosial, yaitu pengendalian sosial, penyimpangan sosial,
dan mobilitas sosial. Namun penulis tidak akan membahas
ketiganya, melainkan hanya pengendalian sosial dan
penyimpangan sosial.
118
1. Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial yang terdapat dalam Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dibuktikan dengan bentuk teguran yang
dilakukan oleh mamak Hayati terhadap Zainuddin. Teguran
tersebut disampaikan secara persuasif, yakni menasihati
Zainuddin agar mengikuti nilai dan norma yang berlaku di
Minangkabau.
“Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan
orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri
kemenakanku. Rata orang tua-tua, telah melakukan
perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang
benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya,
bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tiada
senonoh dengan kemenakanku; yang dapat merusakkan
nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui
engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum
perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami
dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang
di papas dan belum lapik di hujan, supaya engkau surut.”96
Pengendalian sosial selanjutnya terjadi dalam bentuk yang
sama, yakni teguran. Teguran tersebut dilakukan oleh mamak
Hayati terhadap Hayati. Teguran disampaikan dengan cara
yang sama pula, yakni menasihati Hayati agar tunduk terhadap
nilai dan norma yang berlaku di Minangkabau.
“Di zaman sekarang, haruslah suami penumpangkan hidup
itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika
perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan
engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako?
…Mamakmu bukan membunuh, tetapi meluruskan kembali
jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak. Mamak
tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan
getirnya hidup ini.”97
Pengendalian sosial dalam cerita ini dilakukan oleh mamak
Hayati terhadap Zainuddin dan Hayati, yang pada saat itu telah
dianggap melanggar norma dan nilai yang berlaku dalam adat
96
Ibid., hlm. 61. 97
Ibid., hlm. 65-66.
119
Minangkabau. Setelah melalui proses ekranisasi, bentuk
pengendalian ini tetap teridentifikasi pada sekuen nomor 17
dan 18. Pengendalian sosial tersebut merupakan sebuah upaya
mamak Hayati untuk mengajak serta mendidik Zainuddin dan
Hayati agar mematuhi norma dan nilai adat Minangkabau.
2. Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial merupakan bentuk perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai dan norma di dalam suatu masyarakat,
dalam hal ini masyarakat Minangkabau. Dalam cerita ini
teridentifikasi bahwa apa yang terjalin antara Zainuddin dan
Hayati merupakan suatu contoh bentuk penyimpangan yang
terjadi di Batipuh. Hal tersebut dapat dibuktikan di dalam
kutipan berikut :
…Yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke
mulut ialah bahwa Hayati, kemenakan Datuk … telah ber-
“intaian”, bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan
orang Mengkasar itu.
…Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran
tempat mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana,
mereka pun berbisik dan mendaham, sambil melihat
kepadanya dengan sudut mata. Anak-anak yang masih
belum kawin dalam kampung itu sangat naik darah. Bagi
mereka adalah perbuatan demikian, merendahkan derajat
mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga.98
“…Kejadian ini telah mereka pertalikan dengan sekolah,
itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah – kata
mereka – sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan
laki-laki, padahal bukan jodohnya.99
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa di Batipuh pada saat
itu, berkirim-kiriman surat serta bermain mata dianggap oleh
masyarakat setempat sebagai sebuah bentuk penyimpangan.
Lantaran penyimpangan tersebut, Hayati dan Zainuddin
menjadi bahan gunjingan sekampung. Setelah melalui proses
98
Ibid., hlm. 60-61 99
Ibid., hlm.62.
120
ekranisasi, bentuk penyimpangan ini tetap teridentifikasi pada
sekuen nomor 16.
d. Lembaga Sosial
Lembaga sosial berfungsi sebagai alat kontrol bagi perilaku
para anggota masyarakat, dalam hal ini pada Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck. Pada masyarakat suku Minangkabau, terdapat
lembaga informal yang memiliki peranan cukup besar dalam
mengontrol perilaku suatu masyarakat. Lembaga tersebut dikenal
dengan istilah Ninik Mamak.
Ninik Mamak terdiri dari beberapa orang Penghulu (Datuk)
yang berasal dari berbagai kaum yang ada di dalam suku-suku di
Minangkabau. Jabatan penghulu biasanya disandang oleh seorang
laki-laki Minangkabau yang dipandang mampu memimpin dengan
bijaksana, yang kepemimpinannya diwariskan secara turun
temurun sesuai adat matrilineal Minangkabau. Peranan Ninik
Mamak dihadirkan oleh Hamka dalam novelnya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
“Hai Hayati! jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan
kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal
dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dalam pergaulan
hidup, cela besar namanya, merusakkan nama, merusakkan
ninik mamak, Korong kampung, rumah halaman.”100
Setelah segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan orang
kepada Datuk … dan kepada segala ninik mamak yang
berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah sampai pula
surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah
permusyawarahan ninik mamak, menurut adat yang terpakai.
Dihadirkan di atas rumah nan gedang, disembelihkan ayam
empat ekor. Dibentangkan tikar pandan putih.”101
Dia memulai. “Hayati! … inilah yang duduk ini mamak dan
ninikmu, lindungan persukuanmu, yang mengebat erat
memancung putus. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan
100
Ibid., hlm. 65. 101
Ibid., hlm. 125.
121
mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah berhabis
pinang sirih. Mencari yang akan elok…
Datang permintaan orang untuk meminangmu, yaitu Aziz di
Padang Panjang dan datang pula sepucuk surat dari Zainuddin,
itu juga maksudnya. Setelah kami timbang melarat dan
manfaat, Azizlah yang kami terima. Kami panggil engkau
sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya engkau terima
dengan suka. Bagaimana pertimbanganmu?”102
Kutipan pertama menunjukkan bahwa kemenakan, dalam hal
ini Hayati, harus menghargai aturan-aturan yang telah dibuat oleh
Ninik Mamak. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ninik Mamak
berfungsi sebagai alat kontrol bagi kemenakannya. Sementara
kutipan kedua dan kutipan ketiga menunjukkan bahwa untuk
mencapai sebuah mufakat yang berhubungan dengan kemenakan
mereka, harus diadakan permusyawarahan Ninik Mamak.
Permusyawarahan tersebut harus dijalankan sesuai dengan adat
istiadat yang berlaku di Minangkabau. Apabila telah mencapai
mufakat Ninik Mamak, maka kemenakan ataupun orang lain tidak
dapat mengubah keputusan itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Ninik Mamak berfungsi sebagai acuan bagi kemenakan dan yang
lainnya dalam mempertimbangkan sebuah keputusan.
Setelah mengalami proses ekranisasi, lembaga sosial yang
teridentifikasi pada novel tetap ditampilkan oleh sutradara. Pada
film terdapat sekuen nomor 18 yang menunjukkan peranan Ninik
Mamak sebagai alat kontrol saat Hayati bersikeras menyelamatkan
hubungannya dengan Zainuddin. Selain itu terdapat sekuen nomor
32 yang juga menunjukkan peranan Ninik Mamak sebagai acuan
dalam mengambil keputusan pada sebuah permusyawarahan.
102
Ibid., hlm. 130-131
122
3. Unsur-unsur Budaya
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck penulis
mengidentifikasi tujuh unsur-unsur budaya, yaitu sistem religi, sistem
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan
kesenian. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang
kemunculannya di dalam cerita memiliki kaitan dengan kenyataan
yang ada pada ranah Minangkabau.
Sementara pada filmnya, unsur-unsur tersebut tidak seluruhnya
teridentifikasi. Ada beberapa contoh sistem pengetahuan yang tidak
ditemukan pada filmnya lantaran tidak begitu penting jika ditampilkan.
Beberapa contoh sistem teknologi dan peralatan juga mengalami
penciutan lantaran keterbatasan yang dimiliki tim produksi saat
menggarap film ini. Penggunaan kosa kata Minang yang ada di dalam
novel juga mengalami penciutan lantaran mengikuti permintaan pasar.
Selain penciutan, unsur-unsur budaya Minangkabau mengalami
penambahan pada unsur kesenian. Sutradara menampilkan seni tari,
yaitu tari Pasambahan. Penambahan tersebut bertujuan untuk
menambah kesan warna lokal Minangkabau pada filmnya. Lebih
jelasnya lagi, berikut adalah penjelasan mengenai perubahan-
perubahan tersebut.
a. Sistem Religi
Seluruh masyarakat Minangkabau menganut agama Islam.
Ganjil rasanya apabila ada masyarakat yang tidak menganut agama
Islam. Begitupun jika ada yang keluar dari agama Islam, maka
orang tersebut akan secara otomatis dianggap keluar dari
masyarakat Minang. Agama Islam bagi masyarakat Minangkabau
sudah seperti sebuah identitas. Begitupun dengan Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, masyarakat Minangkabau pada saat itu
digambarkan oleh Hamka sebagai masyarakat pemeluk agama
Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
123
Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir bulan puas,
rumah-rumah pelajaran agama di kampung kampung telah
ditutup.103
Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik Gunung
Singgalang. Dan dari sebuah surau di kampung yang jauh
kedengaran bunyi tabuh, diiringkan suara azan:… Hayya alal
falaah!”104
Masyarakat Minangkabau tidak percaya dengan kepercayaan-
kepercayaan lain selain apa yang diajarkan oleh Islam. Meskipun
begitu masih ditemukan masyarakat Minangkabau yang percaya
dengan hal-hal yang tidak diajarkan di dalam Islam. Hal tersebut
dapat ditemukan di dalam kutipan berikut:
“Rasanya patut juga kita awas. Sebab barangkali si Hayati ini
entah kena apa-apa, maklum ilmu orang Mengkasar sangat
mujarab, sebab selama ini pikirannya hanya kepada Zainuddin
saja.” 105
Dukun-dukun telah dipanggilkan. Macam-macam pendapat
mereka: kena hantu, kena pekasih, kena tuju paramayo, kena
tuju senang meranda dan lain-lain penyakit.106
Kedua kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa ada
masyarakat Minangkabau yang pada saat itu masih mempercayai
adanya hal-hal yang sebenarnya tidak ada di dalam ajaran Islam,
seperti ilmu-ilmu ghaib serta penyakit-penyakit ghaib yang tidak
dikenal di dunia medis.
Setelah mengalami proses ekranisasi, keislaman masyarakat
Minangkabau diwakilkan oleh pemuda-pemudi Batipuh yang pada
saat itu selesai mengaji di surau. Sementara itu, kepercayaan
masyarakat Minangkabau akan ilmu dan penyakit ghaib tidak
ditemukan di dalam filmnya.
103
Ibid., hlm. 31. 104
Ibid., hlm. 59. 105
Ibid., hlm. 130. 106
Ibid., hlm. 166.
124
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi kemasyarakatan yang ada di Minangkabau
sebetulnya terdiri dari persukuan, nagari, penghulu, serta kerajaan.
Namun pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hanya penghulu
saja yang disinggung. Penghulu atau yang biasa disebut „datuak‟
merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota
kaum keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum
keluarga. Permasalahan yang dibebankan kepada penghulu di
antaranya mengurus harta pusaka kaum, membimbing kemenakan,
serta sebagai perwakilan saat rapat-rapat nagari. Adapun yang
disebut penghulu merupakan seorang laki-laki terpilih di antara
anggota kaum laki-laki yang lain. Pemilihan tersebut berdasarkan
kepandaian berbicara, kebijaksanaan, serta penguasaan pemahaman
akan adat istiadat Minangkabau.
Yang terutama sekali dihinakan orang orang adalah persukuan
Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk … yang dikatakan
buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu,
melangkahi kepala ninik mamak.107
Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-
penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam
perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu.108
Pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck teridentifikasi
adanya penghulu sebagai salah satu bentuk organisasi
kemasyarakatan. Ketiga kutipan tersebut sudah cukup menyiratkan
bahwa mamak daripada Hayati merupakan seorang penghulu yang
kedudukannya sangat penting di Batipuh. Beliau biasa dipanggil
„datuk‟, yang bertanggung jawab melindungi Hayati serta menjaga
keutuhan adat istiadat Minangkabau di Batipuh.
107
Ibid., hlm. 61. 108
Ibid., hlm. 63.
125
Setelah mengalami proses ekranisasi, peran mamak Hayati
yang merupakan seorang penghulu tetap ditampilkan oleh
sutradara.
c. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan pada masyarakat Minangkabau yang
teridentifikasi di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
sebagian besar merupakan pengetahuan yang terkait dengan adat
istiadat yang berlaku dan kebudayaan yang berkembang di
Minangkabau pada saat itu. Berikut merupakan beberapa
pengetahuan yang dapat teridentifikasi.
1) Tentang kepengurusan harta warisan
Menurut adat Minangkabau, apabila ada seorang anak laki-
laki yang tidak memiliki saudara perempuan, maka harta
warisan peninggalan ibunya akan jatuh ke tangan Mamaknya
serta pihak kemenakan perempuan yang lain yang ditarik
menurut garis keturunan ibu. Ia tidak berhak menggunakan
harta warisan bagi kepentingan dirinya sendiri, melainkan
hanya mengawasi harta warisan yang ada. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan
Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris
yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak
bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau,
amatlah malangnya seorang anak laki-laki jika tidak
mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta
benda, sawah yang berjenjang, bandar buatan, lumbung
berpereng, rumah nan gadang.109
Hal tersebut terjadi pada Pandekar Sutan yang merupakan
seorang anak tunggal. Harta peninggalan ibunya tidak dapat
jatuh ke tangannya, melainkan ke tangan Mamaknya serta
pihak kemenakan perempuan yang lain. Pengetahuan ini hanya
dapat ditemukan di dalam novel.
109
Ibid., hlm. 4.
126
2) Tentang garis keturunan menurut sistem matrilineal
Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, di
mana sistem ini mengatur seluruh kehidupan suatu masyarakat
yang terikat dalam sebuah jalinan kekerabatan menurut garis
ibu. Seorang anak yang lahir dalam sebuah keluarga menjadi
bagian garis keturunan yang dibawa oleh ibunya. Mudahnya,
dapat dikatakan bahwa seorang anak yang lahir dengan latar
belakang orang tua Minangkabau akan mengikuti suku ibunya.
Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base
seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang orang di
Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab
itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau,
sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya
orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang
sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga.110
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana garis keturunan
yang berlaku di Minangkabau pada saat itu. Ibu dari Zainuddin
bukanlah berasal dari Minangkabau, melainkan dari
Mengkasar. Maka dari itu, meskipun ayah dari Zainuddin
berasal dari Minangkabau, bila ibunya bukan berasal dari
Minangkabau, maka Zainuddin tidak dapat dikatakan bersuku
Minangkabau. Pengetahuan tentang garis keturunan ini dapat
ditemukan di dalam sekuen nomor 32.
Sistem matrilineal yang terdapat dalam Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck nantinya akan berpengaruh terhadap
perkawinan Hayati. Perkawinan yang ideal bagi Masyarakat
Minangkabau adalah perkawinan yang antara keduanya berasal
dari daerah Minangkabau.
“Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak
mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik
sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang
dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang
110
Ibid., hlm. 23.
127
dikisarkan mata. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya
bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di
mana, sukunya tidak ada: tidak ada pepatihnya, tidak ada
ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami
anak kemenakan kita, ke mana kemenakan kita hendak
menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali
soal ini.”111
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan yang
terjadi antara ayah dan ibu dari Zainuddin dianggap telah
merusak struktur adat karena anak yang lahir dari perkawinan
itu (Zainuddin) tidak dapat dianggap bersuku Minangkabau.
Itulah sebabnya lamaran Zainuddin ditolak oleh pihak Hayati.
3) Tentang bentuk rumah gadang
Rumah gadang merupakan nama untuk rumah adat
Minangkabau yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera
Barat. Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dideskripsikan bagaimana bentuk rumah gadang tersebut, dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
Tidak berapa jauh dan rumah bakonya itu, ada pula sebuah
rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat
istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan
bertahtakan timah. Di ujung kedua pihak, ada anjung
peranginan, serambi muka bergonjong pula, lumbung
empat buah berlerat di halaman. Halamannya luas, tempat
menjemurkan padi yang akan ditumbuk. Pada buatan
rumah, pada simbol pedang bersentak yang terletak di
bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa orang di
rumah ini amat keras memegang adat lembaga, agaknya
turunan Regen atau Tuan Gedang di Batipuh, yang
terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh.112
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Hamka memberi
gambaran secara detail bagaimana sesungguhnya bentuk rumah
Gadang. Setelah mengalami proses ekranisasi, rumah Gadang
tetap dihadirkan oleh sutradara pada sekuen nomor 5.
111
Ibid., 128. 112
Ibid., hlm. 25.
128
4) Tentang cara melekatkan gelar
Gelar yang dimaksud dalam konteks ini yaitu gelar pusaka.
Gelar pusaka dalam suku Minangkabau biasanya diturunkan
dari ninik mamak atau saudara laki-laki pihak ibu, yang didapat
melalui rembugan ninik mamak dengan pemuda yang akan
berumah tangga. Selain itu, nama gelar juga bisa diambil dari
persukuan ayahnya.
Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang Padang, tak
kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan
dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak
bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia
diberi gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh
diturunkan pula kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun
mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau
dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan
di labuh nan golong, di pasar nan ramai.113
Kutipan tersebut menunjukkan kondisi Zainuddin yang
tidak akan mendapatkan gelar pusaka lantaran dirinya tidak
bersuku. Jalan lain untuk melekatkan gelar pada dirinya yaitu
dengan cara membayar hutang kepada negeri, menyembelih
kerbau dan sapi, menghadirkan ninik mamak serta alim ulama
dan kegiatan tersebut harus dilaksanakan di tempat yang ramai
agar diketahui seluruh masyarakat. Pengetahuan tentang cara
melekatkan gelar hanya dapat ditemukan di dalam novel.
5) Nama-nama gadis Minangkabau
Pada saat di mana novel ini ditulis, terungkap pengetahuan
tentang macam-macam nama yang dipakai gadis Minang.
Hayati adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang. Hal
tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Hayati, adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang
selama ini. Nama gadis-gadis di Minangkabau tempo
dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan Aluih, Talipuk
Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah bayangan dari
113
Ibid., hlm. 24.
129
perubahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang
kokoh dalam adatnya itu.114
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa nama
Hayati adalah nama baru yang belum biasa dipakai oleh
kebanyakan gadis Minangkabau pada saat itu. Pengetahuan
tentang nama gadis Minangkabau tersebut juga terdapat dalam
filmnya, yaitu pada sekuen nomor 25.
6) Tentang kedudukan perempuan dalam pergaulan
Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-
mata kasihan, sahabat, lain tidak; jangan engkau salah
terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-
anak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang bernasib
malang, tetapi kita tak dapat memberikan pertolongan apa-
apa, karena kita hanya bangsa perempuan yang tidak
mempunyai hak apa-apa di dalam adat pergaulan.115
Melalui surat yang ditulis oleh Hayati tersebut, dapat kita
ketahui bahwa kaum perempuan di Minangkabau tidak dapat
berbuat banyak terhadap nasib malang yang menimpa sesama
teman mereka, apalagi jika temannya itu lawan jenis. Hal ini
berhubungan dengan norma kesopanan dan norma agama yang
berlaku di Minangkabau. Pengetahuan tentang kedudukan
perempuan dalam pergaulan hanya dapat ditemukan pada
novelnya.
7) Tentang budaya pacuan kuda bagi orang mampu
Pacuan kuda merupakan sebuah tradisi tahunan yang
hingga saat ini masih ditemukan di beberapa kota besar di
Sumatera Barat. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
menunjukkan kepada pembaca bagaimana sebenarnya budaya
yang berkembang terkait pacuan kuda. Tradisi tersebut
mempertemukan antara yang muda dan yang tua, perempuan
114
Ibid., hlm 26. 115
Ibid., hlm. 37.
130
dan laki-laki, yang kaya dan yang miskin, hingga rakyat dan
petinggi-petinggi adat.
Tribune sudah hampir penuh, di sanalah orang yang mampu
duduk bertaruh kuda, mempermainkan uang. Penghulu-
penghulu kepala, di sanalah kerap kali menekorkan kas
negeri, karena malu kalau tak ikut bertaruh atau tidak ikut
menuangkan brandy.116
Melalui kutipan tersebut, dapat diidentifikasi adanya
pengkategorian saat menonton pacuan kuda. Bagi orang-orang
yang mampu, biasanya mereka duduk menempati tribune
dengan bertaruh kuda menggunakan uang serta menuangkan
bir. Jika tidak ikut bertaruh atau tidak ikut menuangkan bir,
mereka akan merasa malu. Pengetahuan tentang budaya pacuan
kuda bagi orang mampu terdapat pada filmnya, yakni sekuen
nomor 28. Selain dari orang mampu dan petinggi-petinggi adat,
mereka menonton pacuan kuda di bawah sambil berdiri, dekat
dengan lintasan pacuan.
8) Tentang adat dalam menerima pinangan
Masyarakat bersuku Minangkabau memiliki adat tersendiri
saat hendak menerima pinangan. Biasanya mereka akan
melakukan musyawarah terlebih dahulu serta keputusannya
tidak akan dihasilkan pada hari yang sama.
Dibentangkan orang lapik putih di tengah rumah nan
gedang, di sana telah menyambut perempuan-perempuan
dan di dalamnya duduk bersama-sama Mak Tengah Limah.
Menurut adat pula, segala permintaan itu belum akan
dijawab pada hari yang sehari itu. Kalau rasa akan terkabul,
diberi tangguh orang yang datang agak seminggu. Tetapi
kalau rasa tak akan terkabul, dalam tiga hari saja hal itu
telah dapat diputuskan.117
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana seharusnya adat
dalam menerima pinangan. Musyawarah tersebut dilakukan di
rumah gadang lengkap dengan tikar putih. Adapun hasil dari
116
Ibid., hlm. 90. 117
Ibid., hlm. 117.
131
musyawarah tersebut akan diberitahu dalam jangka waktu tiga
hari sampai satu minggu setelah datang orang yang diutus
untuk menyampaikan niat pinangan. Pengetahuan tentang adat
dalam menerima pinangan hanya dapat ditemukan pada
novelnya.
9) Tentang pelaksanaan musyawarah
Bukan hanya saat menerima pinangan, masyarakat bersuku
Minangkabau memiliki adat tersendiri saat hendak melakukan
musyawarah. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
Setelah segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan
orang kepada Datuk … dan kepada segala ninik mamak
yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah
sampai pula surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah
permusyawarahan ninik mamak, menurut adat yang
terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang,
disembelihkan ayam empat ekor. Dibentangkan tikar
pandan putih. Janji yang ditentukan dalam panggilan ialah
pukul 7 pagi, diundurkan ke sawah dan ke ladang buat
sehari itu. Maka datanglah seorang pukul 9 lewat, seorang
lagi pukul 10, dan pukul 12 kurang seperempat barulah
cukup hadir di atas rumah.118
“Jawablah Hayati!” kata Datuk … sekali lagi, “supaya
mudah kami membuhulkan musyawarah ini dengan asap
kemenyan.”119
Kedua kutipan tersebut menunjukkan apa saja yang perlu
dilakukan saat hendak melaksanakan musyawarah. Dalam
konteks ini, musyawarah yang dilakukan yaitu hendak
memutuskan apakah Aziz atau Zainuddin yang diterima
lamarannya oleh pihak Hayati. dalam cerita dijelaskan bahwa
musyawarah tersebut harus diadakan di dalam rumah gadang
yang dihadiri oleh ninik mamak, adanya empat ekor ayam yang
harus disembelih, digelarnya tikar pandan warna putih, serta
dibakarnya kemenyan sebagai tanda musyawarah tersebut
118
Ibid., hlm. 125. 119
Ibid., hlm. 132.
132
sudah menghasilkan mufakat. Pengetahuan tentang
pelaksanaan musyawarah hanya dapat ditemukan pada
novelnya.
10) Tentang penyakit dan pengobatannya
Sudah segala macam obat dilekatkan, kumpai dan cikarau,
sitawar dan sidingin, giring-giring hantu, api-api hantu,
sirih bertemu urat, dasun tunggal, urat rotan melantas banir,
semuanya tidak ada yang mujarab. Si sakit hanya
bertambah sakit juga.Melihat itu, cemaslah kedua induk
semangnya itu, Muluk dengan ibunya. Mereka takut, orang
dagang yang malang itu akan meninggal di rumah mereka
lantaran kesia-kesiaan mereka. Maka setujulah kedua ibu
dan anak itu memanggilkan dokter. Karena kebiasaan
waktu itu, jika penyakit masih belum dipandang berbahaya,
mereka belum ada niat hendak pergi ke dokter, segala
perkataan-perkataan yang akan menghinakan dokter,
keluarlah dari mulut, “Apa guna memanggil dokter,
penyakit begini tak bisa dokter mengobat. Tetapi kalau
mengobat luka, memang dokter pintar”. Nanti kalau rasa
telah berat penyakit itu, baru teringat bahwa ada dokter.
Padahal penyakit yang berat itu sama-sama payah
mengobatinya, baik oleh dokter apalagi oleh dukun.120
Kedua kutipan tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu
minat masyarakat Minangkabau untuk mengandalkan dokter
masih rendah. Mereka akan mengandalkan dokter hanya jika
sakitnya parah atau sakitnya berupa luka. Jika penyakitnya
belum parah, mereka tidak akan memanggil dokter. Mereka
lebih memilih pengobatan alternatif atau pergi ke dukun.
pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya ini hanya
dapat ditemukan pada novelnya.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck teridentifikasi
bahwa sebagian besar masyarakat Minangkabau hidup dengan
mengandalkan tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air
tersedia, kebanyakan orang mengusahakan sawah dengan bertani
120
Ibid., 166-167.
133
padi. Biasanya sawah-sawah tersebut akan banyak ditemukan di
dusun, seperti di Batipuh. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
Untuk perhindarkan muka yang kurang jernih, maka bilamana
orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, …121
Tiba-tiba sampailah dia ke sepiring sawah, seorang laki-laki tua
sedang menyabit padi.122
Di samping hidup dari pertanian, masyarakat Minangkabau
juga hidup dengan berdagang. Kegiatan perniagaan tersebut pada
umumnya terjadi di kota, seperti di Padang Panjang. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut:
Sampai terjadi peperangan dunia 1914-1918 yang hebat itu,
kota Padang Panjang masih memegang kejayaan dalam urusan
perdagangan. Pada masa itu dapat dilihat toko-toko yang besar,
kedai train yang permai, …123
Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara turut
menampilkan kehidupan masyarakat Minangkabau yang memiliki
mata pencaharian sebagai petani. Namun tidak dapat ditemukan
adanya masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai
pedagang.
e. Sistem Teknologi dan Peralatan
Latar yang tergambar dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck yakni latar pedesaan pada awal abad ke dua puluh, di
mana masyarakat yang ada di dalam dusun Batipuh dan sekitarnya
masih menggunakan teknologi dan peralatan tradisional. Sementara
bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan, teknologi dan
peralatan modern mudah ditemukan. Adapun peralatan serta
teknologi yang ditemukan dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck akan dijelaskan di bawah ini.
121
Ibid., hlm. 23. 122
Ibid., hlm. 32. 123
Ibid., hlm. 81.
134
1. Keris
Keris adalah senjata tikam yang berujung runcing dan tajam
pada kedua sisinya. Pada cerita ini, keris digunakan sebagai
senjata dan sebagai sebuah simbol.
“Apa? … Engkau katakan saya zalim? Kata Datuk Mantari
Labih sambil melompat ke muka, dan menyentak kerisnya,
tiba sekali di hadapan Pandekar Sutan.124
“Pinang di bawah sirih di atas,” namanya. Kalau diterima
menjadi tunangan, tandanya ialah keris.125
2. Destar
Destar adalah ikat kepala yang biasanya dibentuk dari kain
batik segitiga. Destar merupakan salah satu pakaian adat lama
Minangkabau.
Maka keluarlah bermacam-macam pakaian adat lama,
berdestar hitam, …126
3. Niru dan Tampian
Niru adalah alat rumah tangga berbentuk bundar, segitiga,
atau segi empat yang terbuat dari anyaman bambu. Niru
berfungsi untuk menampi beras atau gabah dan sebagainya.
Sementara tampian adalah sebutan lain dari niru.
Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru
dan tampian ke sawah, …127
Sekuen No. 7/14:36
124
Ibid., hlm. 5. 125
Ibid., hlm. 127. 126
Ibid., hlm. 83. 127
Ibid., hlm. 30.
135
4. Tikuluk Pucuk
Tikuluk pucuk merupakan semacam selendang panjang
yang dililitkan di kepala untuk menutupi rambut. Tikuluk
pucuk ini biasa dikenakan oleh kaum perempuan.
Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai tikuluk
pucuk.128
Sekuen No.31/1:05:20
5. Bendi
Bendi adalah kendaraan tradisional yang menggunakan
kuda sebagai penarik utamanya. Bendi banyak digunakan pada
masa cerita ini dibuat, serta banyak ditemukan di daerah
pedesaan.
Tidak berapa menit kemudian, kelihatanlah dari jauh
sebuah bendi yang sedang mendaki dan kudanya berjalan
dengan gontai, muatannya kosong, bendi itulah yang
mengejutkannya, sehingga terhenti dari tekurnya.129
Ketika dia akan naik ke atas bendi, Aziz serta Khadijah,
dan ibunya, sama-sama melepas.130
Sekuen No.3/03:35
6. Pentalon
Pentalon adalah celana yang digunakan oleh kaum laki-laki.
Adapun celana tersebut panjangnya sampai ke mata kaki.
128
Ibid., hlm. 83. 129
Ibid., hlm. 73. 130
Ibid., hlm. 106.
136
Bersarung, padahal orang muda yang lain berpentalon.131
7. Dokoh
Dokoh adalah sebuah hiasan kalung berupa lempeng
emas. Biasanya dokoh digunakan oleh kaum perempuan.
Barang emasnya telah habis; dokohnya, gelangnya,
penitinya, semuanya telah masuk rumah gadai.132
8. Rumah Gadang
Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat tradisional
Minangkabau yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera
Barat. Selain sebagai tempat tinggal, rumah Gadang
difungsikan sebagai tempat musyawarah keluarga, pewarisan
nilai-nilai adat, serta sebagai representasi budaya matrilineal.
Tidak berapa jauh dan rumah bakonya itu, ada pula sebuah
rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat
istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan
bertahtakan timah.133
Sekuen No.5/08:57
9. Oto
Oto merupakan kendaraan semacam kereta yang
menggunakan motor atau mobil sebagai penariknya. Tidak
seperti bendi, oto banyak ditemukan di daerah perkotaan.
Semuanya berganti dengan derum oto mendaki bukit, …134
Belum sempat Hayati menjawab perkataan itu, dengan
langkah yang tetap dia keluar, terus ke jalan ramai
menumpang sebuah oto yang berangkat ke Malang.135
131
Ibid., hlm. 91. 132
Ibid., hl,m. 210. 133
Ibid., hlm. 25. 134
Ibid., hlm. 111. 135
Ibid., hlm. 237.
137
10. Kereta api
Kereta api mulai masuk ke pulau Jawa pada awal abad
kesembilan belas dan mulai menyebar di seluruh Indonesia
pada awal abad kedua puluh.
Atau di waktu kereta api membunyikan peluitnya di dalam
kesusahan mengharung rimba dan jembatan yang tinggi,
…136
Besok paginya, berangkatlah Aziz menumpang kereta api
yang akan berangkat menuju Banyuwangi, …137
11. Kodak
Kodak adalah sebutan lain dari kamera. Adapun
penyebutan tersebut didasarkan pada kepopuleran perusahaan
Kodak dalam dunia fotografi pada masa lalu, sehingga orang-
orang lebih suka menyebut kamera sebagai „kodak‟.
…tidak berapa lama kemudian datanglah teman-temannya;
yang seorang mengepit pesawat “kodak”, …138
12. Kapal
Kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang dan
barang di laut. Pada awal abad kedua puluh, keberadaan kapal
mulai tersingkirkan dengan kemunculan pesawat terbang.
Namun kapal masih memiliki keunggulan yakni mampu
mengangkut barang dengan tonase yang lebih besar.
Dan tidak berapa lama kemudian, rengganglah kapal dari
pelabuhan Mengkasar, …139
Seminggu di belakang itu kelihatan Zainuddin dengan
Muluk di atas dek kapal Sloet Van der Beele yang akan
berlayar dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok.140
136
Ibid., hlm. 26. 137
Ibid., hlm. 215. 138
Ibid., hlm. 88. 139
Ibid., hlm. 20. 140
Ibid., hlm. 180.
138
Setelah satu jam kapal berlayar, dia kembali tegak ke tepi
dek, melihat lampu-lampu yang berkelap-kelip di
pelabuhan dan bayangannya yang bagai disemaikan di
dalam lautan yang luas itu.141
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 240)
Sekuen No.63/2:47:51
13. Pesawat
Pesawat adalah kendaraan yang mampu terbang di atmosfer
atau udara. Kemunculan pesawat pada awal abad kedua puluh
menjadi saingan bagi kapal pada saat itu. Pesawat hadir sebagai
kendaraan yang dapat menempuh antar provinsi hanya dalam
hitungan jam saja.
Pesawat Droiner yang dikirim oleh Marine dari Surabaya
telah melihat banyak sekali orang yang tenggelam.142
f. Bahasa
Sebagian besar bahasa yang digunakan oleh Hamka dalam
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu bahasa
Minangkabau yang dipadukan bahasa Melayu kental. Perpaduan
kedua bahasa tersebut digunakan oleh Hamka untuk membangun
latar cerita sekaligus mengenalkan tradisi budaya Minangkabau
kepada pembaca. Temuan bahasa Minang tersebut yaitu berupa
kata dan kalimat.
Berikut merupakan beberapa temuan bahasa Minang yang
berupa kata.
1) Destar (ikat kepala, terbuat dari kain batik berbentuk
segitiga)
141
Ibid., hlm. 240. 142
Ibid., hlm. 249.
139
Dia tak pernah memakai destar lagi, melainkan
memakai kopiah padang yang amat disukainya…143
2) Lenso (sapu tangan)
…Hanya lenso saja yang tak berhenti dikibarkan orang,
baik dari darat atau dari laut.144
3) Bako (keluarga dari pihak ayah)
Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang
laksana kejatuhan bintang dari langit…145
4) Bergonjong (bubungan rumah Minangkabau, berbentuk
lancip)
…Menurut bentuk adat istiadat Minangkabau,
bergonjong empat…146
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : 25)
5) Regen (bupati)
…Agaknya turunan Regen atau Tuan Gedang di
Batipuh…
6) Mamak dan Kemenakan (paman dan keponakan dari ibu)
Masjid pun kehendak dari mamak yang tua-tua hendak
menahan juga anak kemanakan yang perempuan
menuntut ilmu…147
7) Mande (bibi)
…Seorang anak muda “orang jauh”, orang Bugis dan
Mengkasar, menumpang di rumah bakonya, Mande
Jamilah.148
8) Encik (kata sapaan untuk perempuan yang tidak dikenal)
“Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh,
marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar
akan pulang.”149
143
Ibid., hlm. 12-13. 144
Ibid., hlm. 20. 145
Ibid., hlm. 22. 146
Ibid., hlm. 25. 147
Ibid. 148
Ibid., hlm. 26. 149
Ibid., hlm. 28.
140
9) Lepau (warung kecil)
“Janganlah ditolak pertolongan itu,” kata orang lepau
dengan tiba-tiba.150
10) Datuk (gelar kehormatan bagi orang yang dituakan)
Hayati merasa tersindir. Ia ingat suratnya. Dan Datuk
… menjawab…151
11) Limbat (ikan air tawar bersirip insang yang tajam dan
berbisa)
Percuma, percuma meminta sisik kepada limbat …152
12) Perlop (cuti)
Seorang anak laki-laki yang gagah dan tangkas pula,
yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari
lamanya.153
13) Berpentalon (memakai celana panjang)
Bersarung, padahal orang muda yang lain
berpentalon.154
14) Dokoh (hiasan kalung)
Laki-laki pada pemandangan perempuan adalah laksana
dokoh emas yang tergelung di lehernya…155
15) Oto (kereta yang dijalankan dengan motor atau mobil)
Suara oto tidak terdengar lagi dan pacu kuda sudah
lama usai…156
16) Senteng (pendek)
…Kain sarungnya yang senteng di muka sedikit dan
selop yang tinggi tumitnya.157
150
Ibid. 151
Ibid., hlm. 34. 152
Ibid., hlm. 66. 153
Ibid., hlm. 87. 154
Ibid., hlm. 91. 155
Ibid., hlm. 94. 156
Ibid., hlm. 110. 157
Ibid., hlm. 111.
141
17) Bintalak (batas sebidang ladang dengan ladang yang lain)
Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang,
sawahnya yang berbintalak…158
18) Kadi (hakim yang mengadili perkara)
Sebelum makan dan minum, ijab kabul pun dilakukan
di muka kadi.159
19) Kemusykilan (hal yang sulit)
Tetapi, kekerasan permintaan dokter telah
menghilangkan segala kemusykilan.160
20) Loper (pengantar koran)
…Datanglah seorang loper mengantarkan surat
undangan…161
21) Rangkayo (panggilan kehormatan untuk perempuan yang
sudah menikah)
“Sekarang saya kenalkan Tuan-tuan kepada sahabat
saya Aziz dan isrtrinya Rangkayo Hayati, dari Padang
Panjang,”…162
22) Masygul (sedih, murung)
“Mengapa sejak saya di sini dia bagai orang ketakutan
saja? Adakah kedatangan saya memberatinya?” Tanya
Hayati dengan masygul.163
23) Regas (potong)
…”Maaf? Kau regas, segenap pucuk pengharapanku
kau patahkan, kau minta maaf?”164
158
Ibid., hlm. 126. 159
Ibid., hlm. 165. 160
Ibid., hlm. 167. 161
Ibid., hlm. 193. 162
Ibid., hlm. 197. 163
Ibid., hlm. 218. 164
Ibid., hlm. 231.
142
24) Pagina (halaman)
Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah
bertemu perkabaran “KAPAL VAN DER WIJCK
TENGGELAM”.165
25) Maesan (bentuk tidak baku dari nisan)
Seketika akan pulang, dihadapinya maesan pusara itu
seraya berkata…166
Masih banyak lagi kata berbahasa Minang yang ditemukan
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hanya saja tidak
penulis cantumkan karena terlalu banyak. Selanjutnya, temuan
bahasa Minang juga teridentifikasi berupa kalimat-kalimat berikut:
1) Nan sehasta, nan sejengkal, dan nan setampok sebuah jari.
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minang yang memiliki makna sekecil-kecilnya
kemungkinan.
Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia
diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya yang
menghalangi, bahkan pihak kemenakan-kemenakan
yang jauh, terutama pihak yang perempuan sangat
menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke
tangan mereka, menurut hukum adat: “Nan sehasta, nan
sejengkal, dan setampok sebuah jari.167
Dalam konteks ini, terdapat adat di Minangkabau yang
mengatur pembagian warisan. Peran laki-laki hanya
mengawasi harta warisan yang ada. Sementara yang berhak
mewarisi adalah anak perempuan, sesuai dengan sistem
kekerabatan masyarakat Minangkabau. Pandekar Sutan
merupakan anak tunggal, oleh karena itu harta peninggalan
ibunya harus jatuh ke tangan Mamaknya serta pihak
kemenakan perempuan yang lain. Sangat kecil
165
Ibid., hlm. 249. 166
Ibid., hlm. 258. 167
Ibid., hlm. 5.
143
kemungkinan bagi Pandekar Sutan untuk merebut harta
warisan tersebut.
2) Hereng dengan gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan
melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak lapuk di
hujan, nan tidak lekang dipanas, jalan raya titian batu, nan
sebaris tidak hilang dan sehuruf tidak lupa.
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minang yang memiliki makna bahwa adat istiadat
Minangkabau yang kekal dan turun-temurun harus dipatuhi
sebagai landasan permusyawaratan dalam menentukan
keputusan diterima atau tidaknya sebuah peminangan.
Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah ada
orang yang meminta buat menjadi pasangannya. Yaitu
orang dari sebelah ke ujung (sebelah Padang Panjang,
dan sebelah Batipuh; Gunung dan lain-lain disebut
puhun). Namanya Aziz, anak dari Sutan Mantari,
seorang yang termahsyur dan berpangkat semasa
hidupnya. Karena menurut adat yang biasa, tentu kita
kaji lebih dahulu, hereng dengan gendeng, ribut nan
mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan
lembaga, yang tidak lapuk di hujan, nan tidak lekang
dipanas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang
dan sehuruf tidak lupa.”168
Dalam konteks ini, terdapat adat di Minangkabau yang
mengatur perihal menerima pinangan. Perlu ditelusuri
bagaimana asal-usulnya serta seberapa besar kekayaannya
sebelum menentukan pilihan. Kalimat tersebut dituturkan
oleh Datuk yang merupakan penghulu adat sekaligus
mamak dari Hayati. Terdapat dua pilihan, yakni Aziz dan
Zainuddin. Setelah mengkaji keduanya berdasarkan adat
istiadat Minangkabau, pinangan Azizlah yang diterima.
168
Ibid., hlm. 126.
144
3) Pinang di bawah sirih di atas.
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minang, artinya yaitu lamaran yang sah dalam
budaya Minangkabau.
“Pinang di bawah sirih di atas,” namanya. Kalau
diterima menjadi tunangan, tandanya ialah keris.
Penjeput marapulainya, ialah keris, pedang bersentak,
tombak berambut dan memakai pesemandan, yaitu
pengiring.169
Dalam konteks ini, terdapat adat di Minangkabau yang
mengatur perihal lamaran yang sah. Melalui kalimat
tersebut dapat kita ketahui bahwa lamaran yang sah
menurut adat Minangkabau yaitu adanya keris, pedang
bersentak, tombak berambut, dan iring-iringan oleh
pengiring.
4) Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke
dagu, sama berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari.
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minangkabau yang menyatakan perihal keselarasan,
kesetaraan, kesepadanan, dan keserasian antara satu dengan
yang lainnya.
Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat
mufakat hendak menerima Aziz. Karena menurut
pepatah : “Ruas telah bertemu dengan buku, bagai
janggut pulang ke dagu, sama berbangsa keduanya,
satu bulan satu matahari.”
Dapat diidentifikasi bahwa pada awal abad ke dua
puluh di Minangkabau, terdapat adat istiadat yang melarang
wanita bangsawan menikah dengan seorang laki-laki biasa,
apalagi lapisan terendah. Laki-laki tersebut haruslah berasal
dari lapisan sosial yang sama, selaras dan setara dengan
169
Ibid., hlm. 127.
145
lapisan sosial wanita tersebut. Dalam konteks ini, mufakat
hampir dicapai oleh pihak Hayati, yaitu menerima pinangan
dari Aziz lantaran Aziz berada di lapisan sosial yang sama,
selaras, dan setara dengan Hayati (lapisan bangsawan).
5) Mengubah cupak nan usali.
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minangkabau yang menyatakan perihal sebuah
peringatan untuk tidak melanggar adat yang sudah ada
sejak dahulu kala, yang sudah diwariskan secara turun-
temurun.
“Lebih baik dia mati saja, senang kita; daripada dia
memberi malu ninik mamak, merusak adat dan
lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa guna dia
hidup kalau akan mencorengkan arang di kening dan
menggoreskan malu di muka kita?”170
Dialog tersebut menunjukkan bahwa hingga pada abad
ke dua puluh, adat di Minangkabau yang mengatur perihal
menerima sebuah pinangan masih berlaku. Adat tersebut
sudah ada sejak dahulu, dari generasi ke generasi. Dalam
konteks ini, dialog tersebut dituturkan Datuk saat diberitahu
oleh yang lain bahwa cinta Hayati masih lekat kepada
Zainuddin, orang Mengkasar itu. Lantas Datuk
mengeluarkan sebuah peringatan yang ditujukan kepada
ninik mamak yang lain dan kepada Hayati untuk tidak
menerima pinangan Zainuddin karena hal tersebut
melanggar adat Minangkabau yang sudah ada sejak dahulu
dan diwariskan secara turun-temurun.
6) Mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik dan
buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat
duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari yang akan elok.
170
Ibid., hlm. 128.
146
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minangkabau yang menyatakan bahwa hendaknya
bermusyawarah terlebih dahulu sebelum hendak
mengambil keputusan.
Dia memulai. “Hayati! … inilah, yang duduk ini
mamak dan ninikmu, lindungan persukuanmu, yang
mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik
dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering
tempat duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari
yang akan elok…”171
Dialog tersebut menunjukkan bahwa menurut adat
Minangkabau, harus diadakan musyawarah terlebih dahulu
sebelum hendak mengambil keputusan. Dalam konteks ini,
dialog tersebut dituturkan Datuk saat hendak memberitahu
Hayati mufakat apa yang sudah dicapai dari hasil
musyawarah bersama ninik dan mamak perihal lamaran
yang datang dari Aziz dan Zainuddin.
7) Pinang akan disurutkannya ke tampuk, sirih akan
dipulangkannya ke gagang.
Kalimat tersebut merupakan sebuah peribahasa dalam
bahasa Minangkabau yang artinya mengembalikan sesuatu
ke asalnya semula.
Hayati! Berhentilah lakon kesedihanmu hingga ini!
Ketahuilah bahwa suami kau Aziz telah insaf akan
salahnya. Dan keinsafan itu akan ditebusnya. Pinang
akan disurutkannya ke tampuk, sirih akan
dipulangkannya ke gagang.172
Dalam konteks ini, dialog tersebut merupakan sebuah
isi surat yang ditulis Aziz. Surat tersebut ditujukan untuk
Hayati sebelum Aziz bunuh diri. Aziz telah mematahkan
pengharapan Zainuddin dan Hayati menggunakan uang dan
171
Ibid., hlm. 130. 172
Ibid., hlm 227.
147
kedudukan yang ia miliki, melukai perjalanan hidup
Zainuddin. Maka makna yang dapat teridentifikasi yakni
Aziz hendak mengembalikan Hayati kepada Zainuddin.
Setelah mengalami proses ekranisasi, terjadi penciutan pada
unsur bahasa. Hanya sedikit saja dari banyaknya temuan bahasa
Minangkabau pada novel yang turut ditampilkan sutradara dalam
filmnya. Temuan-temuan tersebut terdapat pada sekuen nomor 17,
sekuen nomor 3, sekuen nomor 6, sekuen nomor 16, sekuen nomor
53, dan sekuen nomor 32. Seperti yang telah penulis uraikan pada
bagian sebelumnya, penulis skenario memilih untuk menggunakan
gaya bahasa yang lebih sesuai dengan jaman pembuatan film, agar
dapat dengan mudah dipahami oleh penonton. Namun para pemain
cukup lihai berdialog menggunakan dialek Minangkabau sehingga
tetap memberikan kesan warna lokal Minangkabau.
g. Kesenian
Kesenian yang dapat diidentifikasi pada cerita ini adalah seni
suara dan seni drama. Seni suara yang ditemukan yaitu berupa lagu
dan alat instrumental. Lagu yang teridentifikasi yaitu lagu Buah
Anak cara serantih yang merupakan lagu khas Minangkabau.
sementara alat instrumental yang teridentifikasi yaitu berupa biola.
Kerap kali dia menengadahkan matanya ke langit sambil
membuaikan engkau di waktu engkau kecil, dibuaikannya
dengan lagu Buai Anak cara serantih, yang meskipun Mamak
tak pandai bahasa Padang, bulu roma Mamak sendiri berdiri
mendengarnya.173
Malam dia pergi kepada seorang sersan pension di Guguk
Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang
diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramai-ramai.
Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan
perasaan.174
173
Ibid., hlm. 13. 174
Ibid., hlm. 83.
148
Selain seni suara, seni drama juga turut muncul dalam
cerita ini. Pada saat itu belum ada istilah drama, melainkan
tonil. Tonil merupakan sandiwara atau teater di zaman
penjajahan Belanda.
Kami ambillah peluang ini, yakni nanti malam di Klub
akan dipertunjukkan suatu cerita tonil terdiri dari lima
babak, karangan pujangga muda kita...175
Setelah mengalami proses ekranisasi, sutradara tidak
menghadirkan seni suara sebagai salah satu wujud warna lokal
Minangkabau. Sementara itu, seni drama tetap dihadirkan oleh
sutradara. Menariknya lagi, terjadi penambahan pada filmnya,
yaitu munculnya seni tari pada sekuen nomor 35. Tari yang
ditampilkan oleh sutradara pada film yaitu tari Pasambahan.
Tari ini berasal dari Minangkabau yang berfungsi sebagai
ucapan selamat datang dan ungkapan rasa hormat kepada tamu
yang datang. Tari ini biasanya ditampilkan saat menyambut
tamu dan saat kedatangan pengantin pria ke rumah pengantin
wanita.
Berdasarkan analisis penulis terkait unsur intrinsik serta
perbandingan warna lokal antara novel dan film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, dapat penulis simpulkan perihal gagasan dibalik
ekranisasi yang dilakukan oleh Soraya Intercine Films. Motif
ekranisasi ini yaitu hanya untuk keperluan pasar saja, mengingat saat
ini banyak novel-novel Indonesia yang mengalami ekranisasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari aspek ekranisasi yang banyak digunakan
oleh sutradara yaitu penciutan dan perubahan bervariasi. Sangat jarang
ditemukan adanya penambahan. Peran masing-masing tokoh yang
terkesan mengalir saja mengikuti naskah serta dihilangkannya latar
historis yang berkaitan langsung dengan budaya Minangkabau
semakin menguatkan motif tersebut. Akibatnya, tidak heran bila terjadi
175
Ibid., hlm. 194.
149
pendangkalan tradisi beserta latar historis setelah mengalami proses
ekranisasi, mengingat sebagian besar penonton dari film ini adalah
masyarakat kontemporer.
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah
Berdasarkan tujuan pembelajaran sastra yang telah diungkapkan pada bab
sebelumnya, melalui pembelajaran sastra diharapkan agar siswa mampu
mengapresiasi karya sastra serta mampu mengembangkan kepekaan siswa
dalam memahami karya sastra. Pada hakikatnya, pembelajaran apresiasi sastra
turut berperan penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu
dibuktikan dengan hadirnya apresiasi sastra sebagai materi pembelajaran yang
harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar hingga sekolah lanjutan
tingkat atas dalam kurikulum 1968 hingga saat ini (kurikulum 2013).
Perkembangan pendidikan di Indonesia kini semakin maju seiring dengan
kemajuan jaman. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan kurikulum
pendidikan yang dapat mengikuti arus jaman. Kurikulum yang saat ini terus
dikembangkan ialah kurikulum 2013. Kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu bahan pembelajaran tambahan bagi siswa. Jadi, sumber
materi yang didapat oleh siswa tidak hanya berasal dari buku dan guru.
Dengan pemanfaatan kemajuan teknologi tersebut, proses pembelajaran tidak
akan menjenuhkan, siswa juga dapat belajar lebih aktif dan mandiri.
Guru bahasa dan sastra Indonesia harus memberikan materi ajar yang
sesuai dengan kebutuhan siswanya. Selain itu, guru harus pintar memilih
karya sastra sebagai materi ajar. Pemilihan karya sastra sebagai materi ajar
harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan disesuaikan dengan kurikulum
yang berlaku. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka
dapat menjadi acuan pembelajaran karena novel ini sarat akan nilai-nilai
budaya. Adapun sasaran yang tepat untuk membedah novel ini adalah tingkat
150
SMA, di mana pada tahap usia ini, siswa telah dapat memahami persoalan-
persoalan sosial dan mampu berpikir kritis.
Analisis perbandingan warna lokal novel dan film ekranisasi ini dapat
diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah,
seperti yang telah terlampir pada RPP. Sesuai dengan kompetensi dasar yang
terlampir yaitu memahami proses ekranisasi dalam karya sastra, diharapkan
siswa dapat menganalisis perbandingan sebuah novel dengan film
ekranisasinya. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat
menganalisis warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan
juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa dengan
memanfaatkan media audiovisual. Siswa dapat memahami lebih dalam
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan warna lokal, tidak hanya sebatas
definisi yang mereka ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan
berdampak jangka panjang bagi siswa. Hal ini penting, mengingat kurikulum
2013 menekankan siswa untuk lebih aktif di dalam kelas, sedangkan guru
hanya berperan sebagai fasilitator.
Proses analisis karya sastra dengan menggunakan dua media yang berbeda
dapat mengembangkan keterampilan berbahasa siswa. Kendala yang sering
dihadapi oleh guru adalah kurang kondusifnya suasana kelas sehingga
keterampilan menyimak dan mendengarkan pada siswa menjadi minim.
Dengan adanya kendala tersebut, penggunaan media audiovisual menjadi
perlu untuk diterapkan pada kegiatan pembelajaran. Selain keterampilan
membaca, keterampilan menyimak dan mendengarkan juga dapat dikuasai
siswa.
Penerapan pembelajaran analisis perbandingan warna lokal ini
menghadirkan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai materi
pembelajaran. Dengan menganalisis unsur intrinsik serta wujud warna lokal
dalam novel, guru diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada siswa
nilai-nilai sosial dan budaya yang hendak disampaikan Hamka dalam
151
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Setelah pembelajaran usai diharapkan
siswa mendapatkan informasi baru mengenai wujud warna lokal pada dua
media yang berbeda.
152
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Analisis perbandingan warna lokal pada novel dan film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan dapat disimpulkan,
bahwa terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah
proses ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan
perubahan variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan
variasi banyak ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur
warna lokal yang paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
yaitu unsur sosial Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan
perubahan apapun saat proses ekranisasi.
2. Implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
Implikasi analisis perbandingan warna lokal pada dua media yang berbeda
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah disesuaikan
dengan kurikulum 2013. Berdasarkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) kurikulum 2013 yaitu memahami proses alih wahana dalam karya
sastra, diharapkan siswa dapat menganalisis perbandingan sebuah novel
dengan film ekranisasinya. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat
menganalisis warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan
juga film. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan warna lokal, tidak hanya sebatas definisi yang mereka
ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang
bagi siswa. Setelah pembelajaran usai diharapkan siswa mendapatkan
informasi baru mengenai wujud warna lokal pada dua media yang berbeda.
153
B. Saran
Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, maka beberapa saran
penulis yaitu:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian
selanjutnya terhadap karya sastra sejenis maupun dengan genre yang berbeda.
Penelitian karya sastra lain, di samping analisis perbandingan warna lokal
pada novel dan film akan memberikan suatu pengetahuan baru dan cara
pemahaman baru terhadap karya sastra secara objektif.
2. Analisis warna lokal dapat dipilih oleh guru untuk dijadikan sebagai materi
baru dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XII. Khususnya mengenai
pengenalan-pengenalan lingkungan fisik, unsur sosial, dan unsur budaya lokal
untuk membentuk karakter siswa dalam menghargai budaya bangsa.
3. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka dapat
dijadikan bahan bacaan siswa. Selain mengoptimalkan keterampilan
berbahasa, membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya
Hamka akan meningkatkan pengetahuan budaya siswa.
154
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan
Sastra. Malang: YA 3. 1990.
Anonim. “HB JASSIN: HAMKA.” Amanah, 31 Juli 1986.
Anspek. “HAMKA, Sumur Yang Tak Pernah Kering.” Haluan Minggu, 23
September 1990.
Bahtiar, Ahmad. “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan
Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan.” Artikel diakses
pada 24 September 2017 dari http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-
content/uploads/81/2017/01/15 .
Barir, Muhammad. “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran.”
Studi Ilmu-Ilmu al-Qura‟n dan Hadits XV, no. 1 (Januari 2014).
Basrowi. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2005.
Chaniago, Raflis. “H.B. Jassin Membela Hamka.” Singgalang. 4 Juni 1990.
Chatum. “Syubbanul Yaum Rijalul Ghad: Pemuda Kini, Tokoh Masa Depan.”
Risalah Islamiyah, t.t.
Effendy, Rony. “Buya Hamka” Singgalang KMS. 25 Agustus 1987.
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.
2016.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Bukupop. 2011.
Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores : Nusa Indah. 1991.
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit
Angkasa. 2013.
Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rita. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta : CV
Andi Offset. 2016.
Kandioh, Frangky Benjamin, dkk. “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial
dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan
Tombulu Kabupaten Minahasa.” Society XXI, (Maret-April 2016).
Kasim, Razali. Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode. Medan: USU
Press. 1996.
155
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2010.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2012.
Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia.”
Artikel diakses pada 12 April 2019 dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/ .
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2012.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka. 2009.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara. 2010.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2009.
-----.Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
-----Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers. 2017.
Soerjani, Moh., dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan. Jakarta: UI-Press. 1987.
SP. “Prof. Dr. Hamka.” Haluan, 19 Februari 1989.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Grasindo. 1996.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012.
Syatriadin. “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan.” JISIP I, no.2 (November
2017).
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka. 2002
156
Uniawati. “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen
„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra.” Kandai XII, no. 1 ( Mei
2016).
Zaini, Azkarmin, “Buya Hamka.” Kompas. 10 Agustus 1980.
Sinopsis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Zainuddin kecil hidup bersama bujangnya, Mak Base. Ia telah menjadi
anak yatim piatu sejak usianya 9 bulan. Setelah tumbuh dewasa, Zainuddin
pergi ke desa Batipuh di Padang untuk menuntut ilmu di sana sekaligus
mencari keluarga ayahnya. Desa Batipuh telah mempertemukan Zainuddin
dengan Hayati, sang bunga desa dari Batipuh. Seiring berjalannya waktu,
hubungan keduanya tersiar ke seluruh penjuru desa. Keluarga Hayati yang tak
terima atas hubungan tersebut lantas meminta Zainuddin segera pergi
meninggalkan desa Batipuh.
Hingga pada suatu hari masuklah Aziz dalam kehidupan Hayati.
Pinangan dari Aziz datang bersamaan dengan pinangan dari Zainuddin.
Lantaran Zainuddin hanyalah seorang anak pisang yang tak bersuku dan
beradat, terjadilah pernikahan antara Aziz dan Hayati. Hancurlah Zainuddin.
Namun kehancuran tersebut justru membawanya pada keberuntungan nasib.
Zainuddin tersohor di mana-mana sebagai pengarang, hartanya berlimpah.
Aziz yang jatuh bangkrut menumpang hidup bersama Hayati di rumah
Zainuddin. Hingga pada akhirnya Aziz menjatuhkan talak pada Hayati lewat
surat, lalu bunuh diri.
Sepeninggal Aziz, Hayati memohon pada Zainuddin untuk
memaafkan semua kesalahannya. Siapa sangka, Zainuddin malah mengusir
Hayati dari rumahnya. Dengan hati yang pedih, pulanglah Hayati ke desa
Batipuh menaiki kapal Van Der Wijck. Dalam perjalanannya, kapal tersebut
karam. Bersamaan dengan karamnya kapal tersebut, karamlah kesedihan
Hayati akan Zainuddin. Dengan penuh penyesalan dan kesedihan akan
kepergian Hayati, meninggal pula Zainuddin dalam sakitnya.
Sekuen Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
No. Durasi Frame Adegan
1. 00:29 – 01:06
Cerita dibuka oleh
Zainuddin yang berperan
sebagai narator. Narator
mengungkapkan bahwa
dirinya seorang yatim piatu.
2. 02:04 – 03:11
Zainuddin pamit kepada
Mak Base. Dia ingin pergi
ke tanah kelahiran ayahnya
(Padang) demi memenuhi
cita-cita ayah dan bundanya.
3. 03:58 – 06:41
Zainuddin tiba di Padang,
tepatnya di desa Batipuh.
Setibanya di sana, ia
langsung menuju rumah
Mande Jamilah (keluarga
dari ayahnya) untuk
menumpang hidup di sana.
4. 06:54 – 10:58
Zainuddin berkeliling desa
Batipuh bersama Mak Ipih
(suami Mande Jamilah). Di
tengah perjalanan ia bertemu
dengan Hayati.
Diceritakanlah asal-usul
Hayati oleh Mak Ipih.
5. 08:46 – 10:57
Mak Ipih menunjukkan
rumah Hayati kepada
Zainuddin. Sementara di
balik jendela rumahnya,
Hayati sembunyi-sembunyi
memandang Zainuddin. Mak
Tangah yang mengetahui hal
tersebut langsung
memperingati Hayati bahwa
sebaiknya tidak menaruh
perasaan apa-apa pada
Zainuddin lantaran
Zainuddin adalah anak
pisang.
Sepulang mengaji,
Zainuddin bertemu Hayati
yang sedang berteduh
6.
11:06 – 13:56
bersama temannya karena
hujan deras malam itu.
Zainuddin meminjamkan
payung kepada Hayati agar
Hayati bisa segera pulang ke
rumah.
7. 14:18 – 15:20
Zainuddin menerima payung
sekaligus surat dari Hayati
yang dititipkan pada adik
Hayati. Isi surat tersebut
adalah ucapan terima kasih
Hayati atas kebaikan
Zainuddin.
8. 15:21 – 15:45
Zainuddin dan Mande
Jamilah memakan rendang
buatan Hayati.
9. 15:46 – 17:01
Zainuddin menunggu Hayati
di tengah Jalan. Setelah
bertemu, Zainuddin
memberikan Hayati sebuah
surat balasan. Di dalam surat
tersebut Zainuddin meminta
Hayati untuk menjadi
sahabatnya, lantaran di
Batipuh dia tidak memiliki
keluarga dan kerabat untuk
berkeluh kesah.
10. 17:02 – 17:27
Zainuddin ingin bergabung
bersama beberapa pemuda
yang tengah berbincang di
surau. Namun ia tidak
diperbolehkan bergabung
lantaran ia bukan orang
Minang.
11. 17:30 – 19:36
Zainuddin duduk di pinggir
danau sambil menulis
hikayat. Dari kejauhan,
Hayati dan temannya
melihat Zainuddin.
Zainuddin yang hendak
pulang melihat Hayati,
sehingga mereka
berbincang-bincang.
12. 19:44 – 19:53
Zainuddin menulis surat
untuk Hayati. Di dalam surat
tersebut Zainuddin
mengutarakan perasaan
cintanya pada Hayati.
13. 20:09 – 22:19
Khadjah (sahabat Hayati)
datang ke rumah Hayati
untuk menginap atas
permintaan Hayati lewat
surat. Di kamar, Hayati
mengutarakan perasaanya
terhadap Zainuddin kepada
Khodijah.
14. 22:21 – 23:00
Zainuddin tidak sengaja
bertemu dan berbincang
dengan Hayati di pinggir
danau. Dari kejauhan, Datuk
yang sedang menaiki delman
melihat mereka berdua.
15. 23:01 – 23:58
Hayati dan Khadijah tengah
membicarakan Zainuddin di
kamar. Tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh Datuk yang
tengah membentak Mak
Tangah. Datuk marah
lantaran melihat dan
mendengar kedekatan Hayati
dan Zainuddin.
16. 24:00 – 24:31
Datuk dan dua penasihatnya
berdebat masalah Zainuddin.
17. 24:37 – 27:26
Datuk meminta Zainuddin
datang ke rumahnya. Di
sana, Datuk membicarakan
masalah hubungan
Zainuddin dan Hayati. Datuk
melarang kedekatan mereka
karena Zainuddin tidak
bersuku dan beradat.
Akhirnya, datuk meminta
Zainuddin melupakan Hayati
dan meninggalkan Batipuh.
18. 27:44 – 30:06
Datuk memberitahu Hayati
bahwa dirinya sudah
menyuruh Zainuddin untuk
meninggalkan Batipuh dan
pergi ke Padang Panjang.
Hayati sangat terpukul atas
kabar tersebut.
19. 30:08 – 30:40
Zainuddin pamit pada
Mande Jamilah dan Mak
Ipih untuk meninggalkan
Batipuh. Mande Jamilah
meyuruh Zainuddin untuk
segera menemui Angku
Labay (guru agama) jika
sudah sampai di Padang
Panjang.
20. 30:43 – 37:36
Hayati menemui Zainuddin
di sebuah bukit, perbatasan
antara desa Batipuh dan
Padang Panjang. Mereka
saling menguatkan satu
sama lain. Hayati berjanji
akan menjaga kesuciannya
untuk Zainuddin hingga
mereka bertemu kembali.
Sebagai azimat, Hayati
memberikan selendangnya
pada Zainuddin.
21. 37:56 – 39:50
Zainuddin tiba di rumah
Mande Ana dan menumpang
hidup di sana. Zainuddin
berkenalan dengan Muluk,
anak dari Mande Ana yang
dijuluki sebagai Parewa.
22. 39:51 – 40:48
Hayati dan Khadijah
berbincang di kamar.
Khadijah mengajak Hayati
untuk menginap di
rumahnya di Padang
Panjang karena sebentar lagi
di sana akan ada pasar
malam dan pacuan kuda.
23. 40:54 – 41:08
Hayati berangkat ke Padang
Panjang bersama Mak
Tangah untuk menginap di
rumah Khadijah.
Sebelumnya, Hayati sudah
memberitahu Zainuddin
lewat surat bahwa dirinya
akan ke Padang Panjang
selama 10 hari dan berharap
dapat bertemu Zainuddin di
pacuan kuda dan pasar
malam.
24. 43:22 – 43:44
Zainuddin dan Muluk pergi
ke tukang cukur untuk
memangkas rambut
Zainuddin. Tapi dia tidak
jadi mencukur karena
uangnya tidak cukup
banyak.
25. 41:42 – 45:17
Hayati tiba di rumah
Khadijah. Ia disambut oleh
Ibunya Khadijah, juga oleh
tunangannya Khadijah.
Disusul oleh Aziz yang baru
tiba di rumah, Khadijah
langsung mengenalkan
kakaknya tersebut pada
Khadijah. Aziz terpukau
oleh kecantikan Hayati.
26. 45:19 – 46:12
Muluk memangkas rambut
Zainuddin.
27. 47:10 – 50:29
Hayati bersolek sebelum
berangkat ke pacuan kuda.
Khadijah kaget melihat
pakaian yang dikenakan
Hayati karena seperti mau
pergi ke pengajian.
Hayati, Khadijah, Aziz, dan
teman-temannya berangkat
menuju pacuan kuda.
Sesampainya di sana,
28.
50:55 – 57:17
Zainuddin melihat Hayati
dan menghampirinya.
Namun mereka berdua tidak
sempat berbincang lantaran
Hayati diajak pergi oleh
Aziz dan Khadijah.
29. 57:42 – 1:00:13
Hayati menerima surat dari
Zainuddin yang mengeluh
setelah melihat pakaian yang
dikenakan Hayati di pacuan
kuda. Khadijah yang
membaca surat tersebut
langsung memengaruhi
Hayati untuk tidak menuruti
keinginan Zainuddin.
30. 1:01:31-1:01:52
Setelah Hayati dan Mak
Tangah pulang, Aziz,
Khadijah serta ibunya
berencana untuk meminang
Hayati sebagai istri Aziz.
31. 1:02:00-1:04:09
Zainuddin menerima surat
dari Daeng Masiga, tetangga
Mak Base. Daeng Masiga
memberitahu bahwa Mak
Base telah wafat dan
dititipkan pula warisan
untuk Zainuddin dari orang
taunya dahulu.
32. 1:06:55-1:11:08
Ninik-Mamak Hayati
mengadakan musyawarah
atas pinangan Aziz, juga
pinangan Zainuddin lewat
sepucuk surat. Azizlah yang
diterima sebagai
pendamping hidup Hayati
karena Aziz jelas asal-usul
keluarganya.
33. 1:11:10-1:11:33
Zainuddin menerima surat
dari Datuk yang menyatakan
bahwa Datuk dan Ninik-
Mamak sepakat menolak
lamarannya dan menerima
lamaran dari Aziz.
Zainuddin langsung
menyuruh Muluk untuk
mecari tahu siapa Aziz.
34. 1:13:07-
Zainuddin menulis surat
untuk Hayati sebagai
peringatan atas perkawinan
harta dan kecantikan Hayati
dan Aziz.
35. 1:13:26-1:20:01
Hayati dan keluarganya
tengah mempersiapkan
segala sesuatu menjelang
pernikahannya dengan Aziz.
Menikahlah mereka.
36. 1:20:08-1:26:37
Zainuddin sakit parah,
jiwanya terguncang. Atas
permintaan dokter, Hayati
dan Aziz datang menjenguk
Zainuddin.
37. 1:26:52-1:32:11
Muluk memberi semangat
untuk bngkit kembali kepada
Zainuddin. Selain itu, Muluk
menyuruh Zainuddin untuk
melajutkan karangannya.
Zainuddin tergerak untuk
melanjutkan karangannya.
Berangkatlah mereka berdua
merantau ke Tanah Jawa.
38. 1:32:12-1:34:56
Zainuddin dan Muluk tiba di
Batavia (Jakarta). Mereka
bertemu dengan Tuan
Iskandar, salah satu pemilik
perusahaan penerbitan yang
tertarik dengan hikayat yang
ditulis Zainuddin.
39. 1:35:06-1:35:49
Cuplikan tentang Hayati
yang ditinggal pergi Aziz ke
Padang dengan 7las an
urusan pekerjaan. Padahal di
sana Aziz berjudi dan main
perempuan.
40. 1:35:50-1:40:11
Karangan Zainuddin
semakin digemari pembaca,
semua buku Zainuddin
terjual. H. Kasim (Ayah
Sutan Iskandar) menawarkan
pada Zainuddin untuk
mengurus perusahaan
penerbitan surat kabar di
Surabaya Miliknya.
41. 1:40:30-1:41:51
Zainuddin dan muluk pergi
ke Tailor untuk mengubah
penampilan Zainuddin.
42. 1:41:53-1:43:03
Laras berkunjung ke rumah
Hayati untuk memberikan
hikayat “Teroesir” karangan
“Z” yang sedang ramai
diperbincangkan.
43. 1:43:04-1:43:31
Cuplikan Zainuddin yang
tengah bekerja di perusahaan
penerbitan di Surabaya
44. 1:43:32-1:47:11
Hayati membaca hikayat
yang diberikan Laras hingga
tertidur. Tiba-tiba Aziz
pulang, tetapi Hayati
terlambat menyambut
kepulangannya.
Dimarahinya Hayati.
45. 1:47:12-1:47:31
Aziz dan Hayati pindah ke
Surabaya karena Aziz
dinaikkan pangkat dan
dipindahtugaskan ke
Surabaya.
46. 1:47:32-1:49:38
Zainuddin dan Muluk
menempati rumah yang baru
dibelinya.
47. 1:49:39-1:53:18
Aziz pulang dalam keadaan
Mabuk. Didapatinya Hayati
tengah tertidur sambil
menggenggam hikayat
“Teroesir”. Marahlah Aziz
pada Hayati lantaran terlalu
sering baca buku hingga
lupa suami. Hayati hampir
dipukulnya.
48. 1:53:19-1:54:28
Zainuddin disambut oleh
klub “Anak Sumatera”.
Sekarang Zainuddin dikenal
sebagai “Tuan Shabir”.
49. 1:54:29-1:57:44
Cuplikan Aziz yang kalah
dalam berjudi. Aziz pulang
ke rumah. Diambilnya
perhiasan Hayati untuk
membayar hutang judinya.
Hayati berusaha mencegah
namun Aziz menamparnya.
50. 1:57:44-1:58:30
Anak “Klub Sumatera”
memberikan undangan pada
Zainuddin untuk menghadiri
opera “Teroesir” karangan
Zainuddin, persembahan
Anak Klub Sumatera.
51. 1:58:32-1:59:39
Aziz dan Hayati
mendapatkan undangan
opera “Teroesir”. Hayati
memohon pada Aziz untuk
membawanya ke sana. Aziz
menyetujuinya.
52. 1:59:40-2:02:02
Opera berlangsung. Jalan
cerita opera tersebut sama
persis dengan kejadian yang
dialami Zainuddin dan
Hayati. Setelah opera
selesai, diperkenalkanlah
Tuan Shabir di hadapan
seluruh penonton, termasuk
Aziz dan Hayati. Ternyata
Tuan Shabir yang dimaksud
adalah Zainuddin.
Berlangsunglah acara yang
sangat meriah di rumah
Zainuddin sebagai jamuan
terhadap penonton. Aziz,
53.
2:02:03-2:08:00
Hayati, dan Zainuddin
dipertemukan. Timbullah
niat jahat Aziz untuk
memanfaatkan kekayaan
Zainuddin demi
menyelamatkan utang
judinya.
54. 2:08:00-2:08:45
Aziz pergi berjudi lagi
dengan menggunakan uang
pinjaman dari Zainuddin.
Hayati mencegahnya, namun
gagal.
55. 2:08:46-2:10:35
Muluk dan Zainuddin
berbincang tentang Aziz,
juga tentang perasaan
Zainuddin pada Hayati.
56. 2:10:36-2:12:58
Penagih hutang judi datang
ke rumah Aziz untuk
menagih hutang judi. Karena
tidak mampu membayar,
rumah beserta isinya disita
oleh si penagih hutang.
57. 2:12:59-2:23:33
Aziz dan Hayati tinggal di
rumah Zainuddin. Aziz
sempat sakit selama satu
minggu. Setelah sembuh,
Aziz pamit kepada
Zainuddin untuk mencari
pekerjaan di kota lain, dan
menitipkan Hayati di rumah
Zainuddin.
58. 2:23:34-2:29:48
Hayati dan Muluk berdebat
soal perasaan Hayati dan
Zainuddin. Muluk
mempersilakan Hayati
masuk ke ruang kerja
Zainuddin. Betapa
terkejutnya Hayati lantaran
di sana tergantung lukisan
yang ditutupi kain, ternyata
lukisan tersebut bergambar
dirinya.
59. 2:30:30-2:33:41
Zainuddin memberikan surat
dari Aziz kepada Hayati.
Dalam surat tersebut Aziz
menceraikan Hayati dan
menyuruh Hayati untuk
melanjutkan hidupnya
bersama Zainuddin. Tidak
lama, beberapa orang datang
ke rumah Zainuddin
membawa koper dan barang-
barang milik Aziz serta
memberitahu bahwa Aziz
bunuh diri di kamar hotel
dengan menelan banyak obat
tidur.
60. 2:33:43-2:42:42
Hayati menemui Zainuddin.
Mereka berbincang dan
berdebat tentang perasaan
masing-masing. Hayati
hendak meminta maaf,
namun Zainuddin tidak
menerimanya. Zainuddin
malah menyuruh Hayati
pulang ke Batipuh dan
diberinya Hayati ongkos
untuk naik kapal Van Der
Wijck.
61. 2:43:16-2:48:24
Hayati pergi ke Pelabuhan
“Tandjoeng Perak” diantar
Muluk. Sesampainya di
sana, mereka saling berpisah
dengan firasat buruk yang
dirasakan Hayati. Sebelum
kapal berlayar, Hayati
menitipkan surat untuk
Zainuddin lewat Muluk.
62. 2:48:26-2:49:27
Zainuddin mengatakan pada
Muluk bahwa dia menyesal
telah memulangkan Hayati.
Muluk memberikan
Zainuddin surat yang
dititipkan Hayati padanya.
Dibacanya surat itu.
63.
2:49:28-2:55:12
Kapal Van Der Wijck karam
di tengah laut. Semua
penumpang tenggelam,
termasuk Hayati. Zainuddin
yang mengetahui hal
tersebut di surat kabar
langsung berangkat ke
rumah sakit mencari Hayati.
64. 2:55:13-3:04:45
Sesampainya di rumah sakit,
Zainuddin dan Muluk
menemukan Hayati yang
tengah pingsan dengan
keadaan yang sangat kritis
menurut dokter. Setelah
sadar, Hayati sempat
berbicara kepada Zainuddin.
Tidak lama kemudian,
Hayati minta dibacakan dua
kalimat syahadat oleh
Zainuddin. Meninggallah ia.
Zainuddin jatuh pingsan.
65. 3:04:46-3:11:29
Zainuddin takziyah ke
makam Hayati. Zainuddin
tidak berlarut-larut dalam
kesedihannya. Ia kembali
melanjutkan hikayatnya
yang berjudul
“Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck” yang berisi kisah
nyata dirinya bersama
Hayati. Zainuddin membuat
rumahnya menjadi “Rumah
Yatim Piatu Hayati” yang
dihuni oleh banyak sekali
anak yatim piatu. Zainuddin
melanjutkan hidupnya.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/Semester : XII/2
Materi Pokok/Topik : Ekranisasi Karya Sastra
(Alih Wahana Novel Menjadi Film)
Alokasi Waktu : 4 Pertemuan X 90 menit
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghayati, mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli
(gotong royong, kerja sama, toleran, dan damai), santun, reponsif dan pro-
aktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan
kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah.
4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret(menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca,menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di sekolah dansumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori.
B. Kompetensi Dasar
1. Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai
anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan
dan tulis.
2. Memiliki perilaku jujur, tanggung jawab, dan santun dalam menanggapi
secara pribadi hal-hal atau kejadian berdasarkan hasil observasi.
3. Menganalisis wujud warna lokal dalam karya sastra.
4. Menganalisis perbandingan novel dengan film ekranisasinya.
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Dapat menggunakan Bahasa Indonesia untuk sarana kegiatan belajar di
lingkungan sekolah dalam bentuk lisan maupun tulisan.
2. Dapat menganalisis unsur intrinsik novel.
3. Dapat menganalisis hakikat ekranisasi.
4. Dapat menganalisis wujud warna lokal meliputi lingkungan fisik, unsur
sosial, dan unsur budaya dalam novel dan film ekranisasinya.
5. Dapat menganalisis perbandingan warna lokal novel dengan film
ekranisasinya.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa dapat menggunakan Bahasa Indonesia untuk sarana kegiatan belajar
di lingkungan sekolah dalam bentuk lisan maupun tulisan.
2. Siswa dapat menganalisis unsur intrinsik novel.
3. Siswa dapat menganalisis hakikat ekranisasi.
4. Siswa dapat menganalisis wujud warna lokal meliputi lingkungan fisik,
unsur sosial, dan unsur budaya dalam novel dan film ekranisasinya.
5. Siswa dapat menganalisis perbandingan warna lokal novel dengan film
ekranisasinya.
E. Materi Pembelajaran
1. Teks novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka
2. Unsur intrinsik novel.
3. Hakikat Ekranisasi.
4. Warna lokal.
F. Metode Pembelajaran
1. Diskusi
2. Tanya Jawab
3. Penugasan
G. Sumber Belajar
1. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka
2. Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck garapan Soraya Intercine Films
3. Buku Bahasa Indonesia kelas XII
4. KBBI
5. Internet
H. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan I
KEGI-
ATAN
URAIAN KEGIATAN ALOKA-
SI
WAKTU
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Guru menyapa,
mengkondisikan kelas,
memeriksa kehadiran
siswa dan kesiapan
belajar siswa termasuk
kebersihan ruang belajar.
Guru mejelaskan tujuan
pembelajaran dan proses
pembelajaran secara
singkat.
Siswa mendengarkan,
menjawab sapaan, semua
siswa bertanggung jawab
menjaga kebersihan
kelas. Siswa melanjutkan
berdoa untuk memulai
pelajaran.
Siswa menyimak dan
menanyakan jika ada
penjelasan yang tidak
dimengerti.
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Guru menjelaskan secara
garis besar materi
pembelajaran yang akan
dikaji, tujuan
pembelajaran, rambu-
rambu pembelajaran, dan
metode penilaian yang
akan diterapkan.
Guru menginformasikan
sumber belajar berupa;
novel, film, buku, KBBI,
dan internet.
Guru memberikan
motivasi tentang novel.
Guru menggali
pengetahuan siswa
dengan mengajukan
pertanyaan tentang apa
itu novel.
Siswa menyimak
penjelasan guru tentang
materi pembelajaran dan
mengajukan pertanyaan
untuk hal-hal yang belum
jelas.
Siswa menyiapkan buku
sumber dan sumber
belajar lainnya untuk
mencapai penguasaan
kompetensi religius,
sosial, pengetahuan, dan
keterampilan.
Siswa menyimak
motivasi yang
disampaikan guru untuk
menghantarkan
pemahaman kepada
materi pembelajaran.
Siswa menjawab pretes
dengan jujur untuk
mengkaji materi
pembelajaran.
15 Menit
I
N
T
Guru mengarahkan siswa
untuk mengamati literatur
tentang unsur intrinsik
novel.
Guru memfasilitasi siswa
melakukan tanya-jawab
(berdiskusi) sehubungan
dengan topik tersebut.
Guru memfasilitasi siswa
agar menggali informasi
dan mencatat mengenai
unsur intrinsik novel.
Siswa mengamati
literatur tentang unsur
intrinsik novel.
Siswa menanyakan dan
menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang hal-
hal yang berhubungan
dengan isi bacaan
Siswa mencoba untuk
mengeksplorasi dengan
cara mencatat dan
mengidentifikasi unsur
intrinsik novel.
60 menit
I Guru menugaskan siswa
untuk membuat laporan
dan melaporkan hasil
pengamatan (eksplorasi).
Guru memberikan umpan
balik berdasarkan hasil
pemaparan siswa.
Siswa
mengomunikasikan
dengan cara memaparkan
hasil pengamatan dan
eksplorasi tentang unsur
intrinsik novel.
P
E
N
U
T
U
P
Memberikan penguatan
pada konsep-konsep
esensial yang meliputi
semua materi tentang
unsur intrinsik novel.
Mengajukan beberapa
pertanyaan singkat untuk
menguji pemahaman
siswa tentang konsep-
konsep yang dipelajari
dan perilaku apa saja
yang harus dijalankan
siswa sehubungan dengan
pencapaian kompetensi
dalam materi
pembelajaran tersebut.
Guru memberikan
kesimpulan dan evaluasi
pembelajaran
Menyimak penguatan
konsep yang disampaikan
guru serta mencatatnya di
buku catatan.
Menjawab secara cepat
pertanyaan guru
berkaitan dengan konsep-
konsep penting yang
telah dipahami dalam
kegiatan pembelajaran
inti (postes).
Siswa menyimak evaluasi
dan kesimpulan yang
dijelaskan guru.
15 menit
Pertemuan II
KEGI-
ATAN
URAIAN KEGIATAN ALOKA-
SI
WAKTU
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Guru menyapa,
mengkondisikan kelas,
memeriksa kehadiran
siswa dan kesiapan
belajar siswa termasuk
kebersihan ruang belajar.
Siswa mendengarkan,
menjawab sapaan, semua
siswa bertanggung jawab
menjaga kebersihan
kelas. Siswa melanjutkan
berdoa untuk memulai
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Guru meminta siswa
merefleksi hasil
pertemuan sebelumnya.
Guru mejelaskan tujuan
pembelajaran dan proses
pembelajaran secara
singkat.
Guru menjelaskan secara
garis besar materi
pembelajaran yang akan
dikaji, tujuan
pembelajaran, rambu-
rambu pembelajaran, dan
metode penilaian yang
akan diterapkan.
Guru menginformasikan
sumber belajar berupa;
novel, film, buku, KBBI,
dan internet.
Guru memberikan
motivasi tentang
ekranisasi.
Guru menggali
pengetahuan siswa
dengan mengajukan
pertanyaan tentang apa
itu ekranisasi.
pelajaran.
Siswa merefleksi hasil
pertemuan sebelumnya.
Siswa menyimak dan
menanyakan jika ada
penjelasan yang tidak
dimengerti.
Siswa menyimak
penjelasan guru tentang
materi pembelajaran dan
mengajukan pertanyaan
untuk hal-hal yang belum
jelas.
Siswa menyiapkan buku
sumber dan sumber
belajar lainnya untuk
mencapai penguasaan
kompetensi religius,
sosial, pengetahuan, dan
keterampilan.
Siswa menyimak
motivasi yang
disampaikan guru untuk
menghantarkan
pemahaman kepada
materi pembelajaran.
Siswa menjawab pretes
dengan jujur untuk
mengkaji materi
pembelajaran.
15 Menit
Guru mengarahkan siswa
untuk mengamati literatur
tentang hakikat-hakikat
ekranisasi.
Guru memfasilitasi siswa
melakukan tanya-jawab
Siswa mengamati
literatur tentang hakikat
ekranisasi.
Siswa menanyakan dan
menjawab pertanyaan-
I
N
T
I
(berdiskusi) sehubungan
dengan topik tersebut.
Guru memfasilitasi siswa
agar menggali informasi
dan mencatat mengenai
hakikat ekranisasi.
Guru menugaskan siswa
untuk membuat laporan
dan melaporkan hasil
pengamatan (eksplorasi).
Guru memberikan umpan
balik berdasarkan hasil
pemaparan siswa.
pertanyaan tentang hal-
hal yang berhubungan
dengan isi bacaan
Siswa mencoba untuk
mengeksplorasi dengan
cara mencatat dan
mengidentifikasi hakikat
ekranisasi.
Siswa
mengomunikasikan
dengan cara memaparkan
hasil pengamatan dan
eksplorasi tentang
hakikat ekranisasi.
60 menit
P
E
N
U
T
U
P
Memberikan penguatan
pada konsep-konsep
esensial yang meliputi
semua materi tentang
hakikat ekranisasi.
Mengajukan beberapa
pertanyaan singkat untuk
menguji pemahaman
siswa tentang konsep-
konsep yang dipelajari
dan perilaku apa saja
yang harus dijalankan
siswa sehubungan dengan
pencapaian kompetensi
dalam materi
pembelajaran tersebut.
Guru memberikan
kesimpulan dan evaluasi
pembelajaran
Menyimak penguatan
konsep yang disampaikan
guru serta mencatatnya di
buku catatan.
Menjawab secara cepat
pertanyaan guru
berkaitan dengan konsep-
konsep penting yang
telah dipahami dalam
kegiatan pembelajaran
inti (postes).
Siswa menyimak evaluasi
dan kesimpulan yang
dijelaskan guru.
15 menit
Pertemuan III
KEGI-
ATAN
URAIAN KEGIATAN ALOKA-
SI
WAKTU
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Guru menyapa,
mengkondisikan kelas,
memeriksa kehadiran
siswa dan kesiapan
belajar siswa termasuk
kebersihan ruang belajar.
Guru meminta siswa
merefleksi hasil
pertemuan sebelumnya.
Guru mejelaskan tujuan
pembelajaran dan proses
pembelajaran secara
singkat.
Guru menjelaskan secara
garis besar materi
pembelajaran yang akan
dikaji, tujuan
pembelajaran, rambu-
rambu pembelajaran, dan
metode penilaian yang
akan diterapkan.
Guru menginformasikan
sumber belajar berupa;
novel, film, buku, KBBI,
dan internet.
Guru memberikan
motivasi tentang warna
lokal.
Siswa mendengarkan,
menjawab sapaan, semua
siswa bertanggung jawab
menjaga kebersihan
kelas. Siswa melanjutkan
berdoa untuk memulai
pelajaran.
Siswa merefleksi hasil
pertemuan sebelumnya.
Siswa menyimak dan
menanyakan jika ada
penjelasan yang tidak
dimengerti.
Siswa menyimak
penjelasan guru tentang
materi pembelajaran dan
mengajukan pertanyaan
untuk hal-hal yang belum
jelas.
Siswa menyiapkan buku
sumber dan sumber
belajar lainnya untuk
mencapai penguasaan
kompetensi religius,
sosial, pengetahuan, dan
keterampilan.
Siswa menyimak
motivasi yang
disampaikan guru untuk
menghantarkan
pemahaman kepada
15 Menit
Guru menggali
pengetahuan siswa
dengan mengajukan
pertanyaan tentang apa
itu warna lokal.
materi pembelajaran.
Siswa menjawab pretes
dengan jujur untuk
mengkaji materi
pembelajaran.
I
N
T
I
Guru mengarahkan siswa
untuk mengamati literatur
tentang langkah-langkah
menganalisis warna lokal.
Guru memfasilitasi siswa
melakukan tanya-jawab
(berdiskusi) sehubungan
dengan topik tersebut.
Guru memfasilitasi siswa
agar menggali informasi
dan mencatat mengenai
warna lokal.
Guru menugaskan siswa
untuk membuat laporan
dan melaporkan hasil
pengamatan (eksplorasi).
Guru memberikan umpan
balik berdasarkan hasil
pemaparan siswa.
Siswa mengamati
literatur tentang warna
lokal.
Siswa menanyakan dan
menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang hal-
hal yang berhubungan
dengan isi bacaan
Siswa mencoba untuk
mengeksplorasi dengan
cara mencatat dan
mengidentifikasi warna
lokal.
Siswa
mengomunikasikan
dengan cara memaparkan
hasil pengamatan dan
eksplorasi tentang warna
lokal.
60 menit
P
E
N
U
Memberikan penguatan
pada konsep-konsep
esensial yang meliputi
semua materi tentang
warna lokal.
Mengajukan beberapa
pertanyaan singkat untuk
menguji pemahaman
siswa tentang konsep-
konsep yang dipelajari
dan perilaku apa saja
Menyimak penguatan
konsep yang disampaikan
guru serta mencatatnya di
buku catatan.
Menjawab secara cepat
pertanyaan guru
berkaitan dengan konsep-
konsep penting yang
telah dipahami dalam
kegiatan pembelajaran
15 menit
T
U
P
yang harus dijalankan
siswa sehubungan dengan
pencapaian kompetensi
dalam materi
pembelajaran tersebut.
Guru memberikan
kesimpulan dan evaluasi
pembelajaran
inti (postes).
Siswa menyimak evaluasi
dan kesimpulan yang
dijelaskan guru.
PERTEMUAN IV
KEGI-
ATAN
URAIAN KEGIATAN ALOKA-
SI
WAKTU
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
P
E
N
D
A
H
U
Guru menyapa,
mengkondisikan kelas,
memeriksa kehadiran
siswa dan kesiapan
belajar siswa termasuk
kebersihan ruang belajar.
Guru meminta siswa
merefleksi hasil
pertemuan sebelumnya.
Guru mejelaskan tujuan
pembelajaran dan proses
pembelajaran secara
singkat.
Guru menjelaskan secara
garis besar materi
pembelajaran yang akan
dikaji, tujuan
pembelajaran, rambu-
rambu pembelajaran, dan
metode penilaian yang
akan diterapkan.
Guru menginformasikan
sumber belajar berupa;
novel, film, buku, KBBI,
dan internet.
Siswa mendengarkan,
menjawab sapaan, semua
siswa bertanggung jawab
menjaga kebersihan
kelas. Siswa melanjutkan
berdoa untuk memulai
pelajaran.
Siswa merefleksi hasil
pertemuan sebelumnya.
Siswa menyimak dan
menanyakan jika ada
penjelasan yang tidak
dimengerti.
Siswa menyimak
penjelasan guru tentang
materi pembelajaran dan
mengajukan pertanyaan
untuk hal-hal yang belum
jelas.
Siswa menyiapkan buku
sumber dan sumber
belajar lainnya untuk
mencapai penguasaan
15 Menit
L
U
A
N
Guru memberikan
motivasi tentang
perbandingan warna lokal
novel dengan film
ekranisasinya.
Guru menggali
pengetahuan siswa
dengan mengajukan
pertanyaan tentang apa
itu perbandingan warna
lokal novel dengan film
ekranisasinya.
kompetensi religius,
sosial, pengetahuan, dan
keterampilan.
Siswa menyimak
motivasi yang
disampaikan guru untuk
menghantarkan
pemahaman kepada
materi pembelajaran.
Siswa menjawab pretes
dengan jujur untuk
mengkaji materi
pembelajaran.
I
N
T
I
Guru mengarahkan siswa
untuk mengamati literatur
tentang langkah-langkah
membandingkan warna
lokal novel dengan film
ekranisasinya.
Guru memfasilitasi siswa
melakukan tanya-jawab
(berdiskusi) sehubungan
dengan topik tersebut.
Guru memfasilitasi siswa
agar menggali informasi
dan mencatat mengenai
analisis perbandingan
warna lokal novel dengan
film ekranisasinya.
Guru menugaskan siswa
untuk membuat laporan
dan melaporkan hasil
pengamatan (eksplorasi).
Siswa mengamati
literatur tentang
perbandingan warna lokal
novel dengan film
ekranisasinya.
Siswa menanyakan dan
menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang hal-
hal yang berhubungan
dengan isi bacaan
Siswa mencoba untuk
mengeksplorasi dengan
cara mencatat dan
mengidentifikasi
perbandingan warna lokal
novel dengan film
ekranisasinya.
Siswa
mengomunikasikan
dengan cara memaparkan
hasil pengamatan dan
eksplorasi tentang
perbandingan warna lokal
60 menit
Guru memberikan umpan
balik berdasarkan hasil
pemaparan siswa.
novel dengan film
ekranisasinya.
P
E
N
U
T
U
P
Memberikan penguatan
pada konsep-konsep
esensial yang meliputi
semua materi tentang
perbandingan warna lokal
novel dengan film
ekranisasinya.
Mengajukan beberapa
pertanyaan singkat untuk
menguji pemahaman
siswa tentang konsep-
konsep yang dipelajari
dan perilaku apa saja
yang harus dijalankan
siswa sehubungan dengan
pencapaian kompetensi
dalam materi
pembelajaran tersebut.
Guru memberikan
kesimpulan dan evaluasi
pembelajaran.
Menyimak penguatan
konsep yang disampaikan
guru serta mencatatnya di
buku catatan.
Menjawab secara cepat
pertanyaan guru
berkaitan dengan konsep-
konsep penting yang
telah dipahami dalam
kegiatan pembelajaran
inti (postes).
Siswa menyimak evaluasi
dan kesimpulan yang
dijelaskan guru.
15 menit
I. Penilaian Hasil Belajar
1. Penilaian Proses
Lembar Pengamatan Sikap
Nama Siswa : …
Kelas : XII A
Nomor Absen : …
Nomor Aspek yang Diamati Kriteria
SB B C K
1. Terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
baik dan benar selama pembelajaran.
2. Terbiasa berani berpendapat, bertanya, atau
menjawab pertanyaan.
3. Terbiasa toleran terhadap proses pemecahan
masalah yang berbeda dan kreatif.
4. Terbiasa disiplin selama proses
pembelajaran.
5. Terbiasa jujur dalam menjawab
permasalahan yang diberikan.
6. Terbiasa mengerjakan tugas tepat waktu.
Kriteria Indikator Skor
SB Sudah konsisten (selalu berperilaku) sesuai yang
diharapkan. 4
B Mulai konsisten (sering berperilaku) sesuai yang
diharapkan. 3
C Belum konsisten (kadang-kadang berperilaku) sesuai
yang diharapkan 2
K Tidak konsisten (tidak pernah berperilaku) sesuai yang
diharapkan. 1
Perhitungan Perolehan Nilai:
Jumlah Skor Siswa
NA= X 4
Skor Maksimal
Interval dan Predikat Nilai/Sikap
Nomor Interval Nilai Predikat
1 3.50 – 4.00 Sangat Baik (SB)
2 2.50 – 3.49 Baik (B)
3 1.50 – 2.49 Cukup (C)
4 <1.50 Kurang (K)
2. Penilaian Hasil
Profil Penilaian Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Nama : …………………………
Aspek Penilaian Skor
1 2 3 4 5
Analisis
Unsur
Intrinsik
1. Ketajaman analisis
2. Kelengkapan unsur
intrinsik yang dianalisis
3. Sistematika penyajian
hasil analisis
4.
Pemilihan bahasa yang
digunakan dalam hasil
analisis
Analisis
Hakikat
Ekraniasai
1. Ketajaman analisis
2. Kelengkapan hakikat-
hakikat ekranisasi yang
dianalisis
3. Sistematika penyajian
hasil analisis
4. Pemilihan bahasa yang
digunakan dalam hasil
analisis
Analisis
Wujud
Warna Lokal
(Lingkungan
Fisik, Unsur
Sosial, dan
Unsur
Budaya)
1. Ketajaman analisis
2. Kelengkapan wujud
lingkungan fisik
3. Kelengkapan unsur sosial
yang ditemukan
4. Kelengkapan unsur
budaya yang ditemukan
5. Sistematika penyajian
analisis
6. Pemilihan bahasa yang
digunakan dalam hasil
analisis
7. Pemahaman keseluruhan
mengenai warna lokal
Analisis
Perbandingan
Warna Lokal
Novel dengan
Film
Ekranisasinya
1. Ketajaman analisis
2. Kelengkapan
perbandingan warna lokal
yang dianalisis
3. Sistematika penyajian
hasil analisis
4. Pemilihan bahasa yang
digunakan dalam hasil
analisis
5. Pemahaman keseluruhan
mengenai analisis
perbandingan novel
dengan film ekranisasi
Jumlah Skor Maksimal (100)
Komentar :
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
Ciputat, April 2019
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
(……………………) (Indri Zikria Oktaviani)
Nama
NIMJurusan
Fakultas
Judul Skripsi
Dosen Pembimbing
UJI RETERENST
Indri Zikria OktavianiI 112013000060
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
IImu Tarbiyah dan Keguruan
Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan FilmTenggelamnya Kapat Van Der Wijck serta Implikasinyaterhadap Pembelajaran Bahasa dan Sasha di Sekolah
: Rosida Erowati, M.Hum.
No ReferensiHalaman
DalamReferensi
Paraf
IAminuddin . P engemb angan P enelitianKualitatif dalom Bidang Bahaso dan
Sastra. Malang: YA 3. 1990.
t4 42.
Anonim. "IIB JASSIN: HAMKA."Amanoh,3l Juli 1986.
78 43.
Anspek. "HAMKA, Sumur Yang TakPernah Kering." Halunn Minggu, 23
September 1990.
t0 4
4.
Bahtiat Ahmad. "Warna Lokal Betawidalam Kumpulan Cerpen 'Terang BulanTerang di.Kali: Cerita Keliling lakarta'Karya S.M Ardan." Artikel diakses pada
24 September z0l7 dar,http://susastra.fi b.ui.ac.idlwp-contenUuploads/8 1/20 I 7/0 1/1 5 .
4
5.
Barir, Muhammad. "Kesgtaraan dan
Kelas Sosial Dalam Perspe}tif Al-Quran.Gresik." Studi Ilmu-Ilmu al-Qura'n dan
Hadits XV, no. I (Januari 2014): h. 6l-92
62 46.
Bastorvi. P engantar Sosiologi. Bogor:Ghalia Indonesia. 2005.
93 47.
Cangar4 Hafied. Pengantar llmuKomunikasi. Jakarta: Raja Grafindo
136 4
Persada.2005-
8.
Chaniago, Raflis.'TI.B. Jassin Membela
Hamka.' 4 Juni 1990. 6 49.
Chatum. "Syubbanul Yaum RijalulGhad: Pemuda Kini, Tokoh Masa
Depan." Risolah Islam$ah, t L33
410.
Effendy, Rony. "Buya Hamka"
Singgalang KMS.25 Agustus 1987. 2 I11
Emzir dan SaifurRohman. Teori dan
P engaj aran Sastra. Jakarta; RajawaliPers.20l6.
114 I12.
Endraswara, Suwardi. MetodologiPenelition Sastra Bandingon Jakarta:
Bukupop.2011.
2 413. Eneste, Pamusuk. Novel dan Film.Florcs
: Nusalndah. 1991.60,60-66 C
14.
Esten, Mursal. Kerusa.straqt Pengantar
Teori don kjarah. Bandung: Penerbit
Angkasa.2013.
50 4
15.
Hamkq Tengelunnya Kapal Yan DerWiick. Jakarta: Balai Pustaka. 2013.
128, 198,38,22,92,94-95,20, 136,
83,67,120,258,63, 18+185, 184,
w,29,43, E8,57,M,76,249-214,87,26,25,60-61,87-88,94-95, 101,
103,145,210,2l2,126,2ll,
l7l-172, l4l,142,173,179,8,25-26,29,58,27,9L,74,182, 183, 198-189,
196,238,229,252,4,258,26A,
29,60,83,125,2-3,134,234-235,255,109,2,35,
4
r
65,59, 137,31-32,74,172,44,90,61-62,142-t43,
23,61,65-66,62,130-131,31,59,130, 166, 61,63,4,24,37, lL7,
166-167,32, gl,5,30,73,106,111,237,15,88, 20,
180, 240, 249, 12-
13,22,25,28,?4,66,87,94, ll0,126,165,167,193,197,218,2!1,249,259,
127,227,13,93,194
16.
Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rjta llmuSosial Budaya Dasar. Yogyakarta : CVAndi Offset. 2016.
38-40 4
17.
Kandioh, Frangky Benjarnin, dkk.
"Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial
dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budayadi Desa KamangA Kecamatan TombuluKabupaten Minahasa." Society XXI,(Maret-Apri I 20 | 6) : hlm. 49 -62.
52 I18.
Kasim, Razali. Sastra Bandingan; RuangLingkap don Metode. Medan: USUPress. 1996.
28
419.
Keraf, Gorys. Diksi danGayo Bahana.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.2010.
ll3 420.
Koentjaraningrat . P engantarAntropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.2005.
72 &21.
Kurniawan, Heru.Teori, Metode, danAplikasi Sosiologi Sostra. Yogyakarta:Graha Ilmu.2012.
6 I
))
Kusmarwanti.'oWarna LokalMinangkabau dalam Karya Sasha
Indonesia." Artikel diakses pada 12 Apnl2019 dari
http://staffrrew.uny.ac.id/upload/1 323 I 00
08/.
"fl
23.Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkaj ianF iks i. Y ogyakafia: Gadj ah Mada
University Press. 20 I 2.
23,67,74,165,167, 176-177,2L6,
227-234, 149-t50,248,256 4
24.Pratista Himawan. Memahami Film.Jaka*a: Homerian Pustaka 2009.
1,30-162 q
25.Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastradengon Ancongon Literasi Kritis.Jakarta: Bumi Aksara- 2010-
124
426.
Rahmanto, B. Metode PengajaranSsstra. Yogyakarta: Kanisius. I 988.
16, 17 d
27.
Ratna Nyoman Kutha. ParadigmaSasiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.2009.1,4125 &
28.
Ratna, Nyoman Kutha. Sasffq danCultural Studies Representasi Fiksi danFqfua. Yogyakarta: FusAka Pelajar.
20t0.
383 q29.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode,
dan Te btik P ene I iti an S as tra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
335-336 430.
Siswanto, Wahyudi. Pengantor TeoriSastra. Iak arlal. PT Grasindo. 2008-
227-234, l5g, l5l,158-159 4
31.Soekanto, Soerjono. Sosiologi SuatuPengantar. I akarta : Rajawali Perc. 2017 .
205,144"l
32.
Soerjani, Moh., dkk" Linglamgan:Sumber Dayo Alarn dan Kependudukandolam P embongmon Jakarta: UI-Press.1987.
J
433.
SP. *hof. Dr. Hamka." Haluan,lgFebruari 1989. I 4
34. Stanton, Robert. Teori Filui Robert 90 J
St anton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007.
35.
Sumamo, Marselli. Dasar-Dasar
Apresiasi Fitm. Jakarta: PT Grasindo.
1996.
10 I36.
Susanto, Dva. Pengantar Teori Sastra.
Yogyakarta: CAPS. 2012.131 4
37.
Syatriadin. "Landasan Sosiologis dalam
Pendidikan.- ilSIP I, no.2 (November
20fi): hlm. 101-107.101
*
39.Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus B es ar Bahasa I ndones iu, J akarta:
Balai Pustaka. 2002
3t6 4
44.
Uniawati. "Warna Lokal dan
Representasi Budaya Bugis-Makassar
dalam Cerpen 'Pembunuh Parakang':
Kajian Sosiologi Sastra." Kandai XII, no.
I ( Mei 2016): hlm. 102-115.
102
&
41.Zaini, Azkarrrin. Artikel dengan judulBuya Hamka. Jal<arta: Kompas. 1980.
7 aJakarta,29 AprilZ}l9
MP. 19771030 200801 2009
BIODATA PENULIS
Skripsi ini ditulis oleh seorang berdarah Betawi dari
Kelurahan Cipondoh Makmur, Kecamatan Cipondoh, Kota
Tangerang. Lahir pada tanggal 15 Oktober 1995 dari
pasangan suami isti Bapak Suwandi dan Ibu Karsinah.
Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik
pertama bernama Brilian Sheila Azhara dan adik kedua
bernama Aldilla Raffa Azriel Ramadhan.
Penulis mengawali pendidikan di bangku Madrasah Ibtidaiyah Nurussalam
Tangerang, lulus tahun 2006. Kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah
Pertama Negeri 10 Tangerang, lulus tahun 2009. Selanjutnya menempuh
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Tangerang, lulus tahun 2012.
Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis pernah mengikuti magang menjadi Editor di Perusahaan Penerbitan
Imania Jakarta Selatan selama kurang lebih dua minggu dalam rangka memenuhi
syarat mata kuliah pilihan Penyuntingan Naskah. Selanjutnya, penulis pernah
mengikuti Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) di Sekolah Menengah
Pertama Islam Ruhama selama kurang lebih empat bulan.
Pada tanggal 30 April 2019, penulis dinyatakan LULUS melalui sidang
tertutup Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan berhak
menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dengan predikat kelulusan “Dengan
Pujian”.