repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/hani...

122
KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB MISBÂH AL-ALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-AHKÂM) Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag) Oleh Hani Hilyati Ubaidah NIM: 21150340000002 PROGRAM MAGISTER ILMU AL QURAN DAN TAFSIR KONSENTRASI HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2019 M

Upload: others

Post on 19-Oct-2019

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH

BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-AHKÂM)

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh

Hani Hilyati Ubaidah

NIM: 21150340000002

PROGRAM MAGISTER ILMU AL QURAN DAN TAFSIR

KONSENTRASI HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/ 2019 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

Pembimbing II/Penguji IV

Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag

Tanggal:

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS TERBUKA

Tesis berjudul KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB

MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-

AHKÂM) telah diujikan dan dinyatakan LULUS dalam Sidang Tesis Terbuka

Program Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 31 Juli 2019, dan tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan

masukan dari Tim Penguji.

Anggota,

Ketua Merangkap Anggota,

Dr. Bustamin, SE, M.Si

Tanggal:

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag

Tanggal:

Penguji II,

Dr. Bustamin, SE, M.Si

Tanggal:

Penguji I,

Dr. Sandi Santosa, M.Si

Tanggal:

Pembimbing I/Penguji III

Dr. Atiyatul Ulya, MA

Tanggal:

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id
Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

iii  

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmânirrahîm, puji dan syukur kehadirat Allah atas segala kasih

sayang, petunjuk, dan lindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص,

keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai

akhir zaman. Tesis penulis yang berjudul “Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbâh

Al-Ẕalâm Syarh Bulûgh Al-Marâm Min Adillati Al-Ahkâm)” merupakan hasil penelitian

penulis untuk menyelesaikan studi jenjang pendidikan Magister (S2) Ilmu Hadis di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat terealisasi tanpa dukungan dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak

yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dalam

menyelesaikan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

beserta seluruh jajaran.

2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Kusmana, M.A., Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, dan Dr. Media Zainul Bahri, M.A.

sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Dr. Bustamin, SE, M.Si sebagai Ketua Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bapak Dr. Ahmad Fudhaili, MA sebagai

Sekretaris Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta merangkap pembimbing II, yang memberikan arahan awal sebelum seminar

proposal tesis dan arahan akademik lainnya.

5. Dr. Atiyatul Ulya, M.A. selaku pembimbing I yang telah mengarahkan dan

membimbing penulis selama penyusunan tesis ini.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

iv  

6. Seluruh dosen dan staf administrasi serta petugas perpustakaan pada Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, petugas Pusat Perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, petugas Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang secara langsung dan tidak langsung telah memberi

bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis.

7. Abi Drs. H. Abu Ubaidah dan Umi Dra Hj. Maswah penulis yang telah memberikan

doa dan dukungan moril maupun materil sehingga penulis tetap bisa melanjutkan

pendidikan sejauh ini.

8. Suami tercinta Nur Solikin, SH dan anak-anak tersayang ananda Muhammad Amjad

Hasheel beserta ananda yang masih di dalam perut, dan dedek Muhammad Sahal

Arrazy yang senantiasa memberikan doa, semangat, dorongan setulus hati dan

bantuannya dalam menyelesaikan studi, semoga ilmu yang penulis dapatkan

bermanfaat bagi keluarga.

9. Seluruh rekan-rekan penulis yang menemani dan mendukung serta melalui

perjuangan bersama-sama sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan.

Harapan penyusun, semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya bidang Ilmu Hadis baik di Perguruan Tinggi maupun lembaga

keilmuan lainnya serta bermanfaat bagi para pembaca. Amin.

Ciputat, Juli 2019

Penulis,

Hani Hilyati Ubaidah

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

ABSTRAK

Hani Hilyati Ubaidah (21150340000002)

Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-

Marâm min Adillati al-Aẖkâm)

Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm

merupakan salah satu dari banyak kitab syarah hadis Bulûgh al-Marâm. Kitab ini

merupakan karya ulama Nusantara yang belum banyak mendapatkan perhatian dari

para pengkaji kitab hadis di Nusantara. Padahal, ini merupakan magnum opus dari

Kiyai Muhajirin yang tersaji dalam empat jilid kitab dan juga berbahasa Arab.

Tesis ini berupaya untuk memperkenalkan kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ

Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm secara lebih luas dengan memaparkan

bentuk metode dari kitab ini, juga tehnik interpretasi dan corak yang digunakan

kiyai Muhajirin dalam melakukan pensyarahan melalui sampel yang diambil dari

masing-masing jilid. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)

yang termasuk dalam penelitian kualitatif. Sumber utama penelitian ini adalah kitab

Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm karya Kiyai

Muhajirin.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kiyai Muhajirin

menggunakan metode muqârin dalam melakukan pensyarahan dengan tehnik

interpretasi intertekstual dan sarat dengan corak fikih-ushul fiqh juga corak

linguistik.

Kata Kunci: Syarah Hadis, Kiyai Muhajirin, kitab Misbâh al-Ẕalâm

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

امللخص

(21150340000002)هاين حلية عبيدة مالحظات شرح احلديث

)دراسة نصية يف كتاب مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام(

مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام هو واحد من العديد من كتب شروح حتظ ابهتمام احلديث بلوغ املرام البن حجر العسقالين. الف هذا الكتاب احد علماء نوسانتارا، ومل

كبري من ابحثي احلديث علي هذا التأليف. يف الواقع، هذا هو مغنوم أوفوس كياهي حممد مهاجرين امسار بكاس الذي مت تقدميه يف اربعة جملدات وكذالك ابللغة العربية.

حتاول هذه األطروحة لتقدمي كتاب مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام اكثر املناهج يف كتابة هذا الكتاب، فضال عن التفسريات لواسع مع شكل عرض األسلوب اوعلي نطاق ا

الفنية واألمناط املستخدمة لكياهي مهاجرين امسار بكاس من خالل اخذ املثال يف كل اجمللدات. هذا البحث هو حبث املكتبة املندرجة يف البحث النوعي، واملصدر الرئسي هلذا البحث هو كتاب

الم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام لكياهي حممد مهاجرين امسار بكاس.مصباح الظبناء علي نتائج الدراسة، وجد ان كياهي مهاجرين يستخدم طريقة املقارنة و فسره ابملنهج

اينرتتكتوال يف شرح احلديث، وحمملة أبمناط الفقهي وكذالك األمناط اللغوية.

مصباح الظالم كياهي املهاجرين ، كتابكلمات البحث: شرح احلديث،

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

v  

DAFTAR ISI

Halaman judul

Lembar Pengesahan.......................................................................................................... i

Penyataan Keaslian Tesis ................................................................................................. ii

Kata Pengantar ................................................................................................................. iii

Daftar Isi ............................................................................................................................ v

Pedoman Transliterasi ...................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7

1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7 2. Pembatasan Masalah ............................................................................ 7 3. Perumusan Masalah ............................................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 8 1. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 2. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8

D. Kajian Pustaka .......................................................................................... 8 E. Metode Penelitian ..................................................................................... 10

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian ..................................... 10 2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 11 3. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 11 4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ...................................... 12

F. Tehnik Penulisan ....................................................................................... 13 G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 13

BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN SYARAH HADIS

A. Definisi Syarah Hadis ............................................................................... 15 B. Sejarah Syarah Hadis di Timur Tengah .................................................... 17

1. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis .................................................. 18 2. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis .............................................. 26 3. Periode Kemunduran Syarah Hadis ................................................... 29 4. Posisi Syarah Hadis dalam Ilmu Hadis .............................................. 32

C. Metode-metode Syarah Hadis ................................................................... 33 1. Metode Tahlili .................................................................................... 34 2. Metode Ijmali ..................................................................................... 36 3. Metode Muqarin ................................................................................ 37

D. Tehnik Interpretasi Hadis .......................................................................... 39 1. Tekstual .............................................................................................. 39 2. Kontekstual ........................................................................................ 40 3. Intertekstual ....................................................................................... 43

E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia ................................... 44

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

vi  

1. Masa Awal Pertumbuhan ................................................................... 45 2. Masa Pertengahan .............................................................................. 47 3. Masa Kontemporer ........................................................................... 48

BAB III KIYAI MUHADJIRIN AMSAR AL-DARI DAN KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM

A. Biografi Syeikh Muhadjirin Amsar al-Dari .............................................. 51 1. Latar Belakang Keluarga ................................................................... 51 2. Latar Belakang Pendidikan ................................................................ 52 3. Karya-karya ....................................................................................... 56

B. Deskripsi Kitab Misbâh al-Ẕalâm ............................................................. 58 1. Latar Belakang Penulisan Kitab ........................................................ 58 2. Sistematika Penulisan Kitab .............................................................. 59 3. Metode Penulisan Kitab ..................................................................... 64

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE SYARAH HADIS KITAB MISBÂH AL-ẔALAM SYARH BULÛGH AL-MARÂM

A. Metode Syarah Hadis Kitab Misbâh al-Ẕalam Syarh Bulûgh al-Marâm . 67

1. Metode Syarah Muqârin .................................................................... 70

2. Tehnik Interpretasi yang Digunakan dalam Misbâẖ al-Ẕalâm .......... 76

a. Meludah di dalam Masjid ........................................................... 77

b. Hukum menjama’ qashr shalat bagi musafir .............................. 80

3. Corak Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm ........................................................... 82

a. Corak Fikih-Ushul Fiqh .............................................................. 82

1) Hadis terkait tawasul dalam berdo’a ................................... 82

2) Hadis tentang menunaikan nazar ......................................... 85

3) Hadis makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa ...................................................................................... 87

c. Corak Linguistik ......................................................................... 91 1) Menambal barang dengan perak .......................................... 91 2) Larangan wanita haid untuk masuk ke tempat shalat .......... 92

4. Pensyarahan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis ........................... 93 5. Nuansa Ke-Indonesia-an dalam Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm .................. 97

a. Tradisi ‘Ngaji Kubur’ di Jakarta ................................................. 91 b. Khazanah Falak di Nusantara ..................................................... 99

B. Kontribusi dan Prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis ......... 102 1. Proses Penyebaran dan Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam

Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia ...................................... 102 a. Proses penyebaran kitab Misbâh al-Ẕalâm ............................... 102 b. Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam Perkembangan Syarah Hadis di

Indonesia ................................................................................... 104 2. Prinsip-prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis .............. 106

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

vii  

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 108 B. Saran ......................................................................................................... 109

DAFRTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 110

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis merupakan suatu yang penting karena di dalamnya terungkap

berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah saw. Tradisi-tradisi yang

hidup pada masa kenabian mengacu pada kepribadian Rasulullah saw. sebagai

utusan Allah swt. Di dalamnya sarat akan berbagai ajaran Islam. Keberlanjutannya

yang terus berjalan dan berkembang sampai saat ini. Adanya keberlanjutan tradisi

itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam dan

melaksanakan tuntunan ajaran Islam.1

Nabi Muhammad saw. Sebagai penjelas (mubayyin) Alquran dan musyarri

menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Sebagaimana pendapat Imam

Ahmad, bahwasanya sunnah (hadis) adalah menafsirkan dan menjelaskan Alquran.2

Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak

diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk ayat yang

masih mutlak dalam Alquran maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam

hadis.3

Tanpa menggunakan hadis, syariat Islam tidak mungkin dapat dipahami dan

dilaksnakan secara utuh.4 Misalnya, perintah shalat di dalam Alquran tiak ada

penjelasan mengenai jumlah rakaat, tata caa ataupun waktu pelaksanaannya.

Demikian juga dengan perintah zakat disampaikan secara mutlak tanpa ditentukan

nisabnya dan tidak pula ditentukan ukuran-ukuran dan syarat-syaratnya,5 serta

1 M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks ke Konteks (Yogyakarta:

Teras, 2009), h. 1 2 Muhammab Abû Syuhbah, fî Riẖâb al-Sunah al-Kutub al-Siẖâẖ al-Sittah (Kairo: Majma’

al-Buẖûts al-Islâmiyyah, 1969), h. 10 3 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1974), h. 15 4 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana, 1997) , h. ix 5 Mushafa al-Siba’I, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj. Dja’far Abd. Muchith

(Bandung: CV. Diponogoro, 1979), h. 71

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

2

masih banyak lagi ketentuan-ketentuan hukum dalam Alquran yang masih bersifat

umum dan disampaikan secara mutlak tanpa pengkhususan lebih jauh. Peran hadis

dalam menetapkan suatu ketentuan hukum sangat penting, hadis sebagai ucapan,

pengamalan, takrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. yang memiliki ketetapan

hukum.6 Otoritas hadis menempati posisi kedua setelah Alquran dalam tataran

validitas kehujjahan isi yang dikandungnya. Upaya pelestarian keotentikan hadis

Nabi saw. telah dilakukan sejak masa sahabat dengan menggunakan metode

konfirmasi.7 Praktek konfirmasi yang dilakukan oleh para sahabat tersebut tidak

berarti bahwa mereka tidak percaya atau curiga kepada pembawa berita melainkan

semata-mata untuk meyakinkan diri mereka bahwa hadis atau berita yang berasal

dari Nabi itu benar-benar ada. Setelah Nabi saw. wafat, kegiatan konfirmatif ini

tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat, tetapi selanjutnya, para sahabat

menanyakan kepada orang lain yang ikut hadir mendengar dan menyaksikan hadis

itu terjadi.8

Pada masa itu, para sahabat mengajarkan hadis secara lisan, karena mereka

masih mengandalkan hapalannya. Namun demikian, bukan berarti kegiatan

pencatatan hadis tidak dilakukan. Pencatatan hadis tetap dilakukan, terbukti

banyaknya catatan para sahabat Nabi dalam bentuk saẖîfah-saẖîfah, tetapi ini masih

merupakan inisiatif dan kepentingan pribadi.9

Kegiatan penghimpunan hadis secara resmi dan massal, barulah dilakukan

di penghujung abad I H, atas inisiatif dan kebijakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu al-

6 Mushafa al-Siba’I, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj., h. 71 7 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, Metode dan Pendekatannya (Cet. II; Yogyakarta: Idea

Press, 2011), h. 1 8 Ada beberapa alasan mengapa sebahagian sahabat Nabi saw. tidak menerima hadis secara

langsung dari Nabi antara lain: Sahabat sibuk dalam aktifitas keseharian mereka, lokasi geografis

dan tempat tinggal sahabat yang jauh dari Nabi saw., sahabat merasa malu untuk menanyakan

persoalan yang sensitif atau personal, dan pendelegasian Nabi saw kepada sahabat tertentu misalnya

istri beliau untuk menjelaskan persoalan yang bersifat khusus (berkaitan dengan persoalan

perempuan). Lihat, Siti Aisyah, Kontribusi Imam al-Bukhari dalam Validasi Hadis (Cet. I;

Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 21-23. 9 Al-Sayyid Munâdir Ahsan al-Kailânî, Tadwîn al-Hadîts (Cet. I, Beirut: Dâr al-Garb al-

Islâmî, 2004), h. 210

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

3

‘Azîz.10 Pada masa yang cukup panjang itu setelah wafatnya Rasullullah saw., telah

terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang dilakukan oleh beberapa golongan dengan

tujuan tertentu.11 Atas kenyataan inilah, ulama hadis berupaya menghimpun hadis

Nabi saw.. Selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat

hadis yang tersebar di berbagai daerah, juga mengadakan penelitian identitas

periwayat dan menyeleksi semua hadis yang mereka himpun.

Hingga saat ini, perjalanan kegiatan pembukuan hadis di dunia Islam sudah

berjalan 15 abad lamanya. Para ulama di masa yang telah lalu telah mencurahkan

upaya yang begitu besar untuk menghimpun hadis-hadis yang diwariskan oleh

Rasulullah saw. Banyak kitab-kitab hadis yang dihasilkan sebagai wujud untuk

memelihara hadis-hadis Nabi agar terpelihara otentitasnya sebagai acuan dalam

pengamalan kehidupan sehari-hari.

Beberapa kitab hadis tertua yang sampai kepada umat Islam saat ini dan

dikenal secara luas antara lain adalah kitab al-Muwaṯṯa’ karya Imam Malik, kitab

al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, kitab al-Jâmi’ al-Musnad al-Saẖîẖ

karya Imam al-Bukhârî, kitab al-Jâmi’ al-Musnad al-Saẖîẖ karya Imam Muslim,

kitab al-Sunan karya Imam Abû Dawûd, kitab al-Sunan karya Imam al-Tirmidzî,

kitab al-Sunan karya Imam al-Nasa’î, kitab al-Sunan karya Imam ibn Majah, kitab

al-Sunan Imam al-Dârimî, kitab al-Sunan al-Saghîr karya Imam al-Baihaqî, kitab

Saẖîẖ Ibn Khuzaimah, kitab al-Mustadrak ‘alâ Saẖîẖain karya Imam al-Hakîm,

kitab Mu’jam al-Saghîr karya Imam al-Ṯabranî, kitab al-Umm karya Imam al-

Syâfi’î, dan kitab al-Kâfî karya al-Kulaini,12 sedangkan kitab hadis yang tergolong

10 Muẖammad Abû Zahwa, al-Hadîts wa al-Muẖaditsûn, (Cet II; Riyaâḏ: Syirkah al-

ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’ûdiyyah, 1984), h. 244 11 Menurut M. Syuhudi Ismail, bahwa tujuan umat Islam melakukan pemalsuan hadis, di

antaranya; 1) kepentingan politik, mazhab teologi, fiqh; 2) memikat hati orang yang mendengar

kisah yang dikemukakannya; 3) menjadikan orang lebih zahid, rajin mengamalkan ibadah tertentu;

4) menerangkan keutamaan Al-Qur’an, memperoleh perhatian dan pujian dari penguasa; 5)

mendapatkan hadiah dari orang yang mendengarkannya; 6) memberikan pengobatan dengan cara

memakan makanan tertentu; dan 7) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu. Lihat M. Syuhudi

Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah

(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 95 12 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis

(Yogyakarta: TH Press, 2009), h. xxi

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

4

cukup—untuk tidak mengatakan sangat—populer dikaji dalam dunia pendidikan

Islam di Indonesia, pondok pesantren, adalah kitab Bulûgh al-Marâm min Adillati

al-Aẖkâm13 yang ditulis pada abad ke-9 H. Oleh ibn Hajar al-‘Asqalânî (w. 852

H).14

Sebagian besar sistematika penyusunan kitab-kitab hadis di atas cendrung

didominasi corak fikih, karena hampir semua kitab-kitab hadis ditulis pada masa

dan sesudah periode para imam mazhab fikih seperti Imam Hanafi, Imam Malik,

Imam al-Syâfi’î, dan Imam ibn Hanbal. Kitab Bulûgh al-Marâm yang ditulis pada

abad ke-9 H, tentu juga tidak lepas dari pengaruh kecendrungan corak kitab-kitab

hadis pada masa itu atau pada masa sesudahnya, yaitu cendrung didominasi corak

fikih.

Bulûgh al-Marâm adalah kitab ringkas. Di dalamnya termuat hadis-hadis

hukum fikih yang disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalânî, dan ditunjuk sebagai

tuntunan praktis dalam kehidupan umat Islam sehari-hari. Kitab ini ditulis

berdasarkan bingkai tematik, yakni bingkai hukum; mencakup dalil-dalil hukum

yang ditulis sebaik mungkin agar mudah untuk dihafal dan dapat diulang-ulang

dalam waktu yang sama.

Dilihat dari bentuknya, kitab Bulûgh al-Marâm termasuk kitab yang

berukuran kecil, berdasarkan angka terakhir pada nomor urut hadis, kitab ini

memuat 1.596 hadis dan dibukukan dalam satu jilid. Dibanding jumlah dalam kitab-

kitab hadis lain, jumlah ini tentu relatif sedikit. Karena itu, Bulûgh al-Marâm hanya

dikemas dalam satu jilid.15

Di setiap akhir hadis yang dimuat dalam Bulûgh al-Marâm, Ibn Hajar

menyebutkan perawi hadis asalnya. Bulûgh al-Marâm memasukkan hadis-hadis

yang berasal dari sumber-sumber utama seperti Saẖîẖ al-Bukhârî, Saẖîẖ Muslim,

13 Selanjutnya disebut kitab Bulûgh al-Marâm. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,

Pesantren dan Tarekat ( Cet. II; Yogyakarta: Gading Publishing, 2015), h. 182 14 T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2009), h. 111 15 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm, (Surabaya: Dâr al-‘Ilm,

t.th)

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

5

Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmiẕî, Sunan al-Nasâ’î, Sunan ibn Mâjah, dan

Musnad Aẖmad.

Keingingan penulis kitab ini untuk mempermudah para pembaca tercermin

dari sistem pengutipan hadisnya. Hadis-hadis yang ada di Bulûgh al-Marâm semua

ditulis dengan sangat ringkas, tanpa menyertakan sanad hadis, kecuali sanad yang

sampai pada sahabat dan mukharrij al-ẖadîts. Pengecualian ini ditujukan untuk

mempermudah pengecekan hadis dalam kitab ini.

Adapun maksud dan tujuan penulisan kitab ini tidak jauh berbeda dari

beberapa kitab lain, yakni memberikan pedoman aplikatif kepada kaum Muslimin

dalam kegiatan sehari-harinya dengan berpedoman pada sumber ajaran Islam.

Dalam hal ini, Ibn Hajar memilih hadis sebagai sumber ajaran sekaligus

kendaraannya dalam menyajikan pedoman hidup. Hal ini tersirat dalam

pencantuman sebuah ayat Alquran yang diberikan Ibn Hajar pada halaman pertama

kitabnya:

او ه ت ان ف ه ن ع م ك ا ان م و ه و ذ خ لف و س الر م ك ت آام و

Lebih lanjut Ibn Hajar menjelaskan bahwa beliau memaksudkan penulisan

kitab ini agar bisa dinikmati oleh semua kalangan, baik kalangan awam hingga

ulama. Orang awam bisa menjadikan kitab ini sebagai pedoman hidup, pelajar bisa

lebih mudah menghafal kitab ini, dan cendekiawan pun bisa mempelajari ini.16

Kitab ini juga termasuk kitab yang paling banyak disyarahi. Setidaknya ada

lima kitab yang mensyarahi kitab Bulûgh al-Marâm, yaitu;17 Pertama, al-Badru al-

Tamâm karya al-Qâḏî Syarifuddin al-Husain bin Muẖammad bin Sa’id al-Alâ’i atau

yang lebih dikenal dengan nama al-Maghrabî Hakîm San’a (w. 1119 H); Kedua,

Ifham al-Afham karya Sayyid Yûsuf bin Muẖammad al-Ahdal (w. 1242 H) kitab ini

belum pernah dicetak, masih berupa manuskrip; Ketiga, Subul al-Salâm karya

16 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm, (Surabaya: Dâr al-‘Ilm,

t.th), h. و 17 Hasan Sulaiman al-Nuri dan ‘Alawî Abbas al-Malikî, Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ Bulûgh al-

Marâm (Beirut: Dâr al-Fikr, 2008), h. 6

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

6

Muẖammad bin Isma’îl al-Amir al-San’ânî (w. 1107 H); Keempat, Fatẖ al-‘Alâm

karya Syaikh Abî ṯayyib Sadiq bin Hasan al-Qanujî Raja Bahubal. Ktab ini telah

dicetak, namun peredarannya tidaklah banyak; Kelima, Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ

Bulûgh al-Marâm karya Sayyid Muẖammad Alawî al-Malikî.

Selain kelima syarah di atas, ternyata Bulûgh al-Marâm juga telah disyarahi

oleh ulama Indonesia, yakni Kiyai Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi18 dengan

kitabnya Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Kitab

Misbâh al-Ẕalâm dicetak dalam empat jilid dan ditulis dengan menggunakan

bahasa Arab dan merupakan magnum opus Kiyai Muhajirin.

Terdapat perbedaan antara kitab Subul al-Salâm karya al-San’anî dengan

kitab Misbâh al-Ẕalâm, di mana secara materi, Kiyai Muhajirin tidak banyak

menjelaskan tata bahasa secara runut dan deskriptif, beliau hendak mengajak

pembaca untuk langsung memahami kandungan hadis. Keobjektifitasan Kiyai

Muhajirin juga tampak dalam karyanya ini, di mana beliau menyajikan banyak

pendapat ulama dan tidak memberi penekanan tersendiri pendapat mana yang

beliau ambil, pembaca diberikan kebebasan untuk menentukan pendapat ulama

yang akan dijadikan hujjah.

Latar belakang pendidikan dan ke-Indonesia-an Kiyai Muhajirin juga

menjadi kekhasan tersendiri dalam penulisan karyanya. Sehingga memberikan

warna berbeda juga kemudahan bagi umat Muslim Indonesia untuk lebih

memahami hadis melalui kitab Misbâh al-ẕalâm. Hal ini tentu menarik untuk dikaji

lebih mendalam lagi, bagaimana Kiyai Muhajirin meramu kitabnya sehingga sesuai

untuk menjadi bahan bacaan serta pedoman bagi Muslim Indonesia dalam

memahami hadis yang terkait hukum.

18 Selanjutnya penulis sebut dengan nama Kiyai Muhajirin

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

7

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Bila diidentifikasi, maka masalah yang muncul dari topik di atas meliputi

beberapa poin, yaitu:

a. Perkembangan penulisan hadis di Timur Tengah

b. Perkembangan penulisan hadis di Indonesia

c. Perkembangan penulisan syarah hadis di Timur Tengah

d. Perkembangan penulisan syarah hadis di Indonesia

e. Latar belakang penulisan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

f. Metode yang digunakan Kiyai Muhajirin dalam penulisan kitab

Misbâẖ al-Ẕalâm

g. Corak penulisan kitab syarh Bulûgh al-Marâm di Timur Tengah

h. Corak kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

i. Prinsip Kiyai Muhajirin dalam mensyarah hadis yang terdapat dalam

Bulûgh al-Marâm

j. Nuansa ke-Indonesia-an dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

k. Kontribusi Kiyai Muhajirin terhadap perkembangan syarah hadis di

Indonesia

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih spesifik, maka penulis sengaja membatasi penelitian

ini pada :

a. Kajian tentang metode dan corak yang digunakan Kiyai Muhajirin dalam

penulisan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

b. Nuasa ke-Indonesia-an dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

Pembatasan ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan latar belakang

keilmuan serta latar belakang domisili Kiyai Muhajirin, maka ciri khas ke-

Indonesia-an adalah hal yang patut untuk dijumpai dalam karyanya.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

8

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah disebutkan di atas, maka yang menjadi

pokok masalah pembahasan penelitian ini adalah:

a. Bagaimana metode dan corak yang digunakan Kiyai Muhajirin dalam

penulisan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm?

b. Bagaimana nuansa Ke-Indonesia-an yang ditampilkan Kiyai Muhajirin

dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut:

a. Mengetahui sejarah perkembangan syarah hadis di Indonesia

b. Mengungkap kontribusi para ulama dalam perkembangan kajian hadis di

Indonesia

c. Memberi gambaran umum terkait isi dari kitab Misbâh al-Ẕalâm

2. Manfaat Penelitian

Setelah melakukan pembahasan atas masalah-masalah yang telah

dirumuskan, maka manfaat dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Pengembangan Mata Kuliah Keahlian (MKK) “Ulum al-Hadis”,

Jurusan Ilmu Hadis (IH), Fakutas Ushuluddin di PTAI;

b. Pengembangan kajian Literatur Hadis Indonesia

D. Kajian Pustaka

Ada beberapa karya Ilmiah dan penelitian yang membahas tentang studi hadis

di Indonesia. Namun demikian belum ada yang menggali secara utuh tentang karya-

karya Kiyai Muhadjirin. Sepanjang penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan,

beberapa karya ilmiah dan penelitian tersebut antara lain:

a. Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama

Betawi dari awal Abad ke-10 sampai Abad ke-21. Ditulis oleh Rakhmad

Zailani Kiki dan diterbitkan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

9

Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre), 2011. Dalam bukunya Rakhmad

memaparkan tentang bagaimana Islam masuk ke tanah Betawi dan

perkembangannya. Ia juga memaparkan biografi Ulama-ulama Betawi serta

guru dan murid-muridnya. Termasuk didalamnya KH. Muhajirin yang

berdasarkan data yang ada merupakan murid dari Guru Manshur Jembatan

Lima.

b. “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren” yang ditulis oleh Mochammad

Samsukadi dalam sebuah jurnal Religi: Jurnal Studi Islam Volume 6,

Nomor 1 April 2015. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana

pesantren telah andil dalam mengkaji hadis, baik hadis karya Ulama

Nusantara maupun Ulama–ulama lainnya.

c. “Jaringan Ulama Hadits Indonesia” yang ditulis oleh Hasan Su’aidi.

Penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ini membahas secara runtut

terkait terbentuknya jaringan ulama hadis di Indonesia. Menurutnya

jaringan tersebut memang tidak secara formal tertulis. Akan tetapi jaringan

tersebut terbentuk melalui hubungan guru dan murid. Seperti syekh

Mahfudz Termas yan menjadi guru syekh Yasin bin Isa Alfadani, syekh

Yasin memiliki murid bernama Syekh Muhajirin Amsar al-Dari (pengarang

kitab Miṣbah al-Dzalām Syarḥ Bulugh al-Marām) dan contoh-contoh

selainnya.

d. “Studi Hadis di Indonesia ( Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad

XVII – sekarang)”, penelitian yang ditulis oleh Muh. Tasrif dalam Jurnal

Studi Ilmu–ilmu al-Quran dan Hadits vol. 5, No 1, Januari 2004,

Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan

Kalijaga, 2004. Jurnal ini telah dicetak dalam buku yang berjudul Kajian

Hadis di Indonesia (sejarah dan pemikiran) yang didalamnya menjelaskan

secara sekilas perkembangan kajian hadis di Indonesia pada bab pertama,

pada bab-bab selanjutnya ia membahas tentang kedudukan hadis sebagai

hujjah dan pendekatan yang dilakukan untuk memahami hadis.

e. “Kajian Hadits Indonesia Tahun 1900 – 1945 (Telaah terhadap Pemikiran

Beberapa Ulama tentang Hadits)” merupakan penelitian milik Agung

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

10

Danarto dalam rangka andil dalam Yogyakarta: Proyek Perguruan tinggi

Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999 / 2000.

f. Sedangkan penelitian yang berhubungan erat dengan penelitian ini yaitu

penelitian yang berhubungan dengan Muhajirin Amsar “KH. Muhajirin

Amsar Contribution On Legal Interpretation” yang ditulis oleh Maykur

Hakim dan dimuat dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic

Studies Vol. 2, No.2, December 2015 dan Jurnal al-Millah UII Vol. XV

Februari 2016. Penelitian ini menjelaskan secara singkat penulisan

sanad/isnad dan sistematika yang digunakan Muhajirin dalam menulis kitab

Miṣbah al-Dzalām Syarḥ Bulugh al-Marām.

g. Muhajirin, dalam disertasinya Transmisi Hadis Di Nusantara; Peran

Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūẓ al-Tirmasī menulis pada abad 17 M,

sejak terjalinnya hubungan intelektual antara ulama Nusantara dengan

Haramain, tidak satupun ulama Nusantara yang dikenal memiliki keahlian

dalam bidang hadis. Baru pada akhir abad XIX menjelang abad XX muncul

seorang ulama Nusantara yang dikenal sebagai muḥaddits yaitu Muḥammad

Maḥfūẓ al-Tirmasī. Ia mendapat ijazah pengajaran Ṣaḥiḥ Bukhārī yang

isnadnya langsung ke Imām al-Bukhārī, al-Tirmasī merupakan ulama

Nusantara yang mendunia dan dikenal sebagai pembangkit ‘ilm dirayah,

sekaligus inspirator dan pelopor transmisi kitab hadis ke Nusantara melalui

murid-muridnya.19

Dari pemaparan di atas, belum ada penelitian yang memfokuskan kajian pada

metode dan sistematika penyusunan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm karya Kiyai Muhajirin

serta nuansa ke-Indonesia-an dalam kitab tersebut serta kelebihan dan kekurangan

kitab tersebut.

19 Muhajirin, Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūzh

Al-Tirmasī, (Disertasi Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

11

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan sifat penelitian

deskriptif. Oleh karena itu prosedur dan tehniknya menggunakan metode deskriptif.

Penelitian ini dikategorikan penelitian kepustakaan yang berarti bahwa sebagian

sumber datanya berasal dari kepustakaan. Dalam penelitian ini didasarkan pada dua

sumber, yakni sumber primer dan sekunder. Adapun bahan-bahan yang menjadi

sumber primer diperoleh melalui penggunaan teknik survei dukemen dan

wawancara. Survei dokumen dimaksudkan terutama untuk menemukan kode-kode

spesifik, terbitan-terbitan, isu-isu utama, dan karakteristik dari kitab yang akan

dibahas.

Adapun buku yang akan menjadi sumber primer penelitian ini adalah kitab

karya Kiyai Muhajirin; Misbâḥ al-ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm. Serta kitab-kitab

syarah Bulûgh al-Marâm syarah Bulûgh al-Marâm yang lainnya seperti Subul al-

Salâm. Juga buku karya M. Alfatih Suryadilaga; Metodologi Syarah Hadis, dan

buku-buku terkait lainnya sebagai sumber sekunder.

Selain buku-buku yang telah disebutkan di atas, penulis juga melakukan

wawancara kepada murid-murid (KH. Mahfudz Assirun-Pimpinan Pondok

Pesantren Al-Itqon Cengkareng, H. Zaki Mubarok – ketua MUI Kecamatan

Batuceper) juga Dhiya al-Miqdasi Muhajirin yang merupakan anak dari Kiyai

Muhajirin. Hal itu dilakukan guna mendapatkan informasi yang lebih valid terkait

guru-guru dan rihlah keilmuan yang ditempuh oleh Kiyai Muhajirin.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan syarah

hadis yang mengacu pada metode-metode yang digunakan para ulama dalam

mensyarah hadis. Secara garis besar, metode ini terbagi dalam tiga cara:

a. Metode interpretasi hadis berupa taẖlîlî, ijmâlî dan muqârîn.

b. Tehnik interpretasi hadis berupa tekstual, intertekstual dan

kontekstual

c. Corak intepretasi hadis berupa linguistik, ushul fikih dan fikih

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

12

3. Metode Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penelitian ini bersifat kepustakaan,

maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian langsung kepada

objek yang diteliti dengan menggunakan tahapan sebagai berikut:

a. Membaca secara umum hadis dan syarah hadis yang terdapat alam

empat jilid kitab Misbâh al-Ẕalâm

b. Mengambil data dari kitab Misbâh al-Ẕalâm berdasarkan metode

syarah yang digunakan.

Untuk efektifitas dan efisiensi penelitian, penulis memilih beberapa hadis

pada baba-bab tertentu dalam kitab Misbâh al-Ẕalâm untuk dikaji dengan harapan

bahwa data yang penulis sajikan dapat merepresentasikan metode yang diterapkan

pada kitab Misbâh al-Ẕalâm.

4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Secara umum, pedoman yang digunakan dalam analisis data secara

kualitatif berdasar pada pola pikir ilmiah, yang mempunyai ciri; sistematis dan

logis.20 Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bahasan yang akurat.

Data yang telah didapatkan melalui sumber-sumber di atas, akan dituangkan

ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan analisis berdasarkan teori dan

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.

Selanjutnya data penelitian ini diolah dan dianalisis dengan menggunakan

metode penyajian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deduktif,

induktif, dan komparatif. Penjelasan dari metode-metode di atas adalah sebagai

berikut:

a. Deduktif: yaitu menginterpretasikan dan menganalisis data yang

sifatnya umum untuk memperoleh pengertian dan kesimpulan yang

sifatnya khusus.

20 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan

Metodologi Penelitian (Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 136.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

13

b. Induktif: yaitu menginterpretasikan dan menganalisis data yang bersifat

khusus kepada pengertian dan kesimpulan yang bersifat umum.

c. Komparatif: yaitu membandingkan antara satu data dengan data lainnya

untuk memperoleh satu pengertian atau kesimpulan.

F. Teknik Penulisan

Teknik penulisan tesis ini mengacu kepada pedoman penulisan skripsi, tesis,

dan desertasi edisi terbaru yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Press,21. Sedangkan catatan kaki penulis tidak memakai loc.cit, maupun op.cit.

untuk menulis kutipan dari buku dan halaman yang sama, namun menggantinya

dengan menuliskan nama akhir atau nama populer penulis. Begitu pula dengan

penulisan judul buku atau artikel, penulis hanya menuliskan dua kata pertama dari

judul karya atau judul yang populer.

G. Sistematika Pembahasan

Secara garis besar tesis ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi sub

bab, dan dari setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang mana

antara satu dan lainnya saling berkaitan. Adapun lima bab yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

Bab pertama sebagai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan uraian tentang tinjauan umum tradisi penulisan kitab

syarah hadis. Terdiri dari sejarah penulisan kitab syarah hadis secara umum, posisi

syarah hadis dalam bangunan ilmu hadis dan perkembangan metodologi syarḥ

hadis.

Bab ketiga, Tinjauan secara khusus terhadap pengarang kitab,

mendeskripsikan latar belakang penulis dan kondisi sosial yang memengaruhi

21 Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

14

analisisnya dalam kitab tersebut. Pada bab ini juga mendeskripsikan profil kitab

Misbâẖ al-Ẕalâm.

Bab keempat, Analisa tentang isi syarah dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm dari

segi internal dan eksternal, meliputi metode, pendekatan serta metode-metode

khusus yang ia gunakan dalam mensyarah kitab hadis Bulūgh al Marām karya Ibn

Hajar al-Asqalânî..

Bab kelima, penutup merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan

yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, dan saran-saran serta kritik.

Penutup ini akan dilengkapi dengan daftar kepustakaan, lampiran dan daftar riwayat

hidup penulis.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

15

BAB II

SEJARAH PERKEBANGAN SYARAH HADIS

Syarah hadis memiliki peran yang sangat penting dalam studi hadis dan

sejarah perkembangannya. Aspek yang meliputinya antara lain; pertama, aspek

historis. Dalam sejarah, ternyata penggunaan kata syarah hadis bermakna

penjelasan terhadap hadis belum muncul pada masa Rasulullah Saw. melainkan

istilah itu baru muncul belakangan seiring dengan perkembangan hadis dari masa

ke masa. Kedua, aspek metodologi, tercatat bahwa ternyata hadis memiliki model

pensyarahan yang beragam sesuai dengan sosio-historis dan sosio-kultural yang

berkembang, sehingga memunculkan model tahlîlî, ijmâlî, muqârin, maudhu’i dan

sejenisnya1.

Aspek lain yang menarik dalam perkembangan syarah hadis adalah berbagai

pendekatan yang digunakan dalam mensyarahi hadis, seperti munculnya istilah

pendekatan hermeneutik, sosiologi, antropologi, dan sebagainya dalam mensyarahi

hadis merupakan konsekuensi yang harus ditempuh dalam menempatkan hadis

sebagai teks yang secara naluri bebas untuk ditafsirkan atau disyarahi.

Demikian peliknya dinamika pensyarahan dalam kajian hadis, sehingga

menjadi penting untuk menguak lebih lanjut sejarah dibalik munculnya masa

pensyarahan hadis yang secara spesifik dimulai sejak ulama mutakhkhirin dan lebih

nampak pada masa ‘asr al-syurûkh.

A. Definisi Syarah Hadis

Istilah syarah hadis yang telah menjadi bagian dari kosa kata bahasa

Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu syarh dan hadis. Dari

sudut kebahasaan, kata syarh berarti al-kasyf (menampakkan), al-wadh

(menjelaskan), al-bayân (menerangkan), al-tawsî‘ (memperluas), al-ẖifz

1 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer

(Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis), (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga,

2012), h. 4

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

16

(memelihara), al-fatẖ (membuka), dan al-fahm (memahami)2. Dari sudut

terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu, lengkap dengan

unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan.3 Dalam

tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan

komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Sehingga dapat dikatakan bahwa,

istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan terhadap naaskah kitab dalam batas

eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi,

sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab syarah secara umum, baik syarah terhadap

kitab hadis maupun kitab lainnya4.

Term lain yang juga erat kaitannya dengan syarah dan sering digunakan

dalam kajian teks keagamaan yakni ẖâsyiyah (keterangan tambahan), tafsir dan

ta’lîq (tepi atau pinggir). Pada dasarnya semua kata itu adalah model untuk

mengungkap makna teks, namun penggunaannya berbeda. Oleh sebab itu hal

tersebut sering menimbulkan asumsi bahwa terdapat hegemoni kata dalam salah

satu kajian Islam, yang mana tafsir selalu diasumsikan sebagai interpretasi dari

Alquran, dan syarah dianggap bagian dari model pemahaman atas hadis.

Secara historis term atau istilah syarah hadis merupakan hasil dari sebuah

proses transformatif dari istilah yang telah ada sebelumnya, yakni fiqh al-ẖadîts

(karenanya pula ulama yang berijtihad dalam memahami hadis Nabi Saw disebut

pula sebagai fuqahâ’ jamak dari faqîh). Proses transformasi ini digambarkan oleh

Dr. Muḥammad Ṭâhir al-Jawwâbî dalam suatu ungkapan:

“Pada awalnya ilmu ini (fiqh al-ẖadîts) masih sangat terbatas, kemudian

secara berangsur meluas hingga terkenal sampai kepada kita dengan sebutan

syarah hadis. Para pegiat fiqh al-ẖadîts berpegang pada ilmu ini dan mereka

inilah yang telah diberi rezeki oleh Allah berupa kemampuan daya kritis

2 Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Makram ibn Manzûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-

‘Arab, jilid II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 497 3Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 4 Dzikir Nirwana dan Saifuddin, Kecendrungan Kajian Syarah Hadis Ulama Banjar [Telaah

Literatur Syarah Hadis Terpublikasi], Makalah Konferensi Internasional “Transformasi Sosial dan

Intelektual Orang Banjar Kontemporer, IAIN Antasari Banjarmasin: 2015, h. 5

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

17

pada masanya dan memiliki pemahaman dari hasil keseriusannya dalam

bahasa maupun pengetahuannya terhadap hukum syariah”5

Di samping itu, syarah hadis yang telah dikenal lebih bersifat konkrit

operasional yaitu berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan

ulama dan hasil pemahaman mereka terhadap suatu hadis. Sementara fiqh al-ẖadîts

lebih bersifat konseptual. Kalaupun dituangkan masih bersifat penjelasan oral.

Terjadinya transformasi dari fiqh al-ẖadîts menjadi syarẖ al-ẖadîts serta

perkembangan lebih lanjut dari syarah hadis dapat dilihat dalam perkembangan

sejarahnya. Dari masa awal syarah hadis hingga pembukuan hadis, berlanjut ke

masa perkembangan syarah hadis (dari masa pembukuan hadis hingga masa-masa

selanjutnya).

B. Sejarah Syarah Hadis di Timur Tengah

Berbicara tentang perkembangan syarah hadis tidak terlepas dari sejarah

perkembangan hadis dan ilmu hadis itu sendiri. Berdasarkan periodisasi keduanya

diketahui bahwa upaya pemahaman hadis pernah mengalami puncak

perkembangan dan kemudian secara berangsur mengalami kemunduran, seperti

halnya kegiatan keilmuan Islam lainnya.6

Fenomena di atas terlihat dari adanya “masa pensyarahan” yang dapat

dikatakan sebagai puncak dari upaya ulama dalam memahami sunnah. Pensyarahan

yang dimaksudkan pada masa ini adalah penulisan kitab-kitab syarah. Berikutnya

adalah masa kemunduran, yang ditandai dengan sedikitnya aktivitas ulama dalam

melakukan kegiatan tersebut. Umumnya kelesuan intelektual yang terjadi

disebabkan oleh sikap mayoritas ulama pada masa itu yang hanya mencukupkan

diri dengan penjelasan-penjelasan ulama sebelum mereka, sebagaimana termaktub

dalam karya-karyanya. Pada masa kemunduran ini, pusat intelektual hadis juga

5 Muhammad Ṭâhir al-Jawwabî, Juhûd al-Muẖâditsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-Nabawî

al-Syarîf (Nasyr wa Taûzi’ Mu’assasât al-Karîm bin ‘Abd Allah, t.th), h. 128 6 Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis,

Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

IAIN Raden Fatah Palembang

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

18

berpindah dari Baghdad dan Mesir (Timur Tengah pada umumnya) ke negeri

India.7

Secara spesifik, Muẖammad Tâhir al-Jawwâbî membagi sejarah

perkembangan syarah kepada tiga periode,8 yaitu periode pertumbuhan, periode

penyempurnaan, dan periode kemunduran. Periode pertumbuhan ditandai dengan

masih sederhananya metode syarah yang ada, yang umumnya hanya berupa

penerjemahan matan hadis (tarâjim al-ẖadîts) dan dimulai pada masa Nabi hingga

berakhirnya kegiatan kodifikasi hadis. Periode penyempurnaan dimulai pada akhir

abad keempat hingga berkembangnya metode syarah yang sempurna (al-syarh al-

kâmil). Periode kemunduran ditandai oleh kegiatan syarah yang hanya berupa ta‘lîq

dan ta‘qîb terhadap kitab-kitab syarah yang telah ada.

1. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis

Sejarah munculnya kitab-kitab syarah hadis tidak bisa dilepaskan dari

perjalanan sejarah dan perkembangan hadis itu sendiri.9 Sejak masa Nabi saw. dan

sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada masa khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Azîz,

sampai munculnya kitab-kitab kodifikasi hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan

kitab-kitab Aṯrâf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jâmi’. Di antara periodesasi

tersebut, disebutkan adanya ‘asru syarẖ atau masa pensyarahan. Pensyarahan yang

dimaksudkan di dalam periodesasi tersebut adalah masa-masa penulisan kitab-kitab

syarah hadis (uraian lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian perkembangan syarah

hadis).

7 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),

h. 125, lihat juga Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘â·sir,1997), h. 70 8 Muhammad Ṭâhir al-Jawwâbî, Juhûd al-Muẖaddtsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-

Nabawî al-Syarîf, h. 129 9 Sejarah hadis ialah periode-periode yang telah dilalui oleh hadis Nabi saw. dari masa ke

masa, semenjak dari pertumbuhannya sampai kepada zaman kita sekarang ini. Tentang periodesasi

ini banyak terjadi beda pendapat di kalangan penulis sejarah hadis, ada yang membagi tiga periode,

ada yang lima periode dan adapula yang tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi yang dilakukan

Hasbi al-Shiddique dalam tujuh periode, dengan alasan pembagian yang tiga ataupun lima periode

telah tercakup di dalamnya dan alasan lainnya adalah periodisasi yang tujuh ini dianggap lebih rinci

dibandingkan dua periodisasi tersebut. M. Hasbi al-Siddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta:

Bulan Bintang, 1973), h. 13-14

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

19

Seperti telah dipahami dalam pembahasan sebelumnya, bahwa syarah hadis

telah mengalami proses transformasi dari bentuk syarah hadis secara lisan yang

dikenal pula sebelumnya dengan fiqh al-ẖadîts kepada bentuk syarah hadis secara

tertulis (terbukukan). Oleh karena itu, pembicaraan tentang syarah hadis pada masa

awal ini bukanlah yang dimaksudkan Hasbi Al-Shiddieqy pada periode ketujuh

tersebut atau ‘asru syarẖ (masa syarah hadis tertulis), melainkan syarah hadis yang

belum tertulis (masih secara lisan).

Pada periode Rasulullah saw., yang disebut sebagai syarah hadis tidak

secara tegas berdiri sendiri di luar matan hadis Nabi saw. mengingat pejelasan

Rasulullah saw. Terhadap sunnahnya pun dituliskan sebagai matan hadis yang

berdiri sendiri. Sebagaimana contoh berikut:

• Hadis Nabi saw. Dalam bentuk ucapan yang diriwayatkan oleh

Mâlik bin Huwaiyrîts bahwa Nabi Saw bersabda:

نا رسول عن مالك بن احلوير شب بة الله صلهى الله عليه وسلهم و نهن ث قال: أت ي

لة فظن أنه ت قارب ون فأقمنا عنده ن ت ركنا ىف أهل عشرين لي ناياشت قنا أهلنا، سألنا عم

قا، فقل ارجعوا إىل أهليكم صلهى الله عليه وسلهمفأخب رنه وكان رسول الله رحيما رفي

كم أكب ركم 10 لة ف لي ؤذهن أح دكم، لي ؤم ف علهموا كما رأي تون أصلهى وإذا حضرت الصه

Dari Mâlik bin Huwaiyrîts berkata, “Kami beberapa orang pemuda sebaya

mengunjungi Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20

malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan

menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami

memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang penyayang dan

halus perasaannya. Beliau bersabda, “kembalilah kepada keluarga kalian,

ajarilah mereka, suruhlah mereka, dan salatlah kalian sebagaimana kalian

melihatku mendirikan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah

salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan yang lebih tua

hendaknya menjadi imam”.

10 Al-Amîr ‘Alâu al-Dîn ‘Alî ibn Bilbân al-Fârisî, Saẖîẖ ibn Hibbân bitartîbî ibn Bilbân,

Juz IV (Cet. II, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993), h. 541

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

20

Pada hadis tersebut di atas, Rasulullah saw. memberikan penjelasan atau

syarah atas hadis ini yaitu dalam bentuk perbuatan dan pernyataan pada kesempatan

lain yang kemudian direkam dan diikuti sahabat, namun pada akhirnya apa yang

direkam itu pun diakui sebagai hadis Nabi saw. pula, sehingga antara syarah dan

yang disyarahi, kedua-duanya adalah hadis Nabi saw. Seperti cara Rasulullah saw.

mengangkat tangan saat takbir, cara rukuk, sujud dan lainnya ada dalam hadis

tersendiri.

• Hadis Nabi saw. dalam bentuk pernyataan yang diriwayatkan dari

Anas bin Mâlik bahwa Rasulullah saw. bersabda:

ثنا م د حده ثنا مسده عتمر عن حيد عن أنس رضي الله عنه قال، قل رسول الله صلهى الله حده

وما قالوا اي رسول الله هذا ن نصره مظلما فكيف ن نصره عليه وسلهم انصر أخاك ظالما أو مظل

11أتخذ ف وق يديه ظالما قال

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada

kami Mu'tamir dari Ḥumaiyd dari Anas ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim (aniaya) dan yang

dizalimi".

Menanggapi hadis Nabi saw. ini, para sahabat bertanya; “Kami biasa

memberikan pertolongan kepada orang yang teraniaya, bagaimana cara kami

menolong orang yang berbuat aniaya?” Rasulullah saw. memberikan penjelasan

bahwa pencegahanmu terhadap orang yang hendak berbuat aniaya itulah

pertolonganmu kepadanya. Penjelasan ini menyatu dengan matan di atas, sehingga

syarah dan ucapan Nabi saw. menjadi satu kesatuan matan.

Selain beberapa contoh di atas masih banyak lagi contoh hadis lainnya.

Setelah melihat beberapa contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarah hadis

itu sendiri atau merupakan hadis lain yang berdiri sendiri, maka pada masa

Rasulullah saw. ini pula syarah hadis yang berdiri sendiri hampir dinyatakan tidak

11 Al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî Jilid II (Riyâḏ: Baitu al-Afkâr al-Daûlî li al-Nasr, 1998),

h. 461

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

21

ada, mengingat seluruh rekaman sahabat dari ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan

Rasulullah saw. merupakan hadis dan tidak disebut sebagai syarah hadis

sebagaimana term yang kita kenal sekarang ini.

Pada masa selanjutnya, yaitu masa Khulafâ al-Râsyidîn, hadis Nabi saw.

tetap dipelihara melalui hafalan dan ada beberapa ulama yang menuliskannya12,

bahkan dalam diri sahabat terdapat suatu komitmen untuk senantiasa

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini pula yang menjadikan apa

yang datang dari sahabat yang notabene bersumber dari Rasulullah saw. turut

menjadi pegangan bagi generasi berikutnya yang disebut atsar.

Pada masa ini syarah hadis belum mempunyai bentuk sendiri, artinya apa

yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi saw. belum dinamai syarah

melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah (penjelasan) para sahabat

dan tabi’in adalah apa yang disandarkan pada Rasulullah saw. juga, hanya saja

umumnya ulama menyebut hadis yang bersandar kepada sahabat ini disebut dengan

hadis mauqûf13 atau banyak yang menyebutnya dengan atsar sebagaimana telah

dikemukakan di atas.

Berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh Mâlik dari ‘Amr bin Yahyâ al-

Muzammî dari ayahnya, bahwa ia (ayah ‘Amr) berkata kepada ‘Abdullâh bin Zaîd

bin ‘Âsim (kakek ‘Amr yang sekaligus salah seorang sahabat Rasulullah saw.),

ayah ‘Amr berkata:

ثن ي ي عن مالك عن عمرو بن يي المازنه عن أبيه أنه قال لعبد الل بن زيد بن عاصم حد

وهو جد عمرو بن يي المازنه وكان من أصحاب رسول الل صلى الل عليه وسلم هل

عليه وسلم ي ت وضأ ف قال عبد الل بن تس زيد بن تطيع أن ترين كيف كان رسول الل صلى الل

12 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, (Cet. II, Riyâḏ: Syirkah al-Ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah,

1984), h. 122. 13

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

22

ث ر ثلث عاصم ن عم فدعا بوضوء فأف رغ على يده ف غسل يديه مرت ي مرت ي ث تضمض و است ن

ديه فأق بل بما ث غسل وجهه ثلث ث غسل يديه مرت ي مرت ي إىل المرف قي ث مسح رأسه بي

م رأسه ث ذهب بما إىل ق فاه ث رد ها حت رجع إىل المكان الذي بدأ منه ث وأدب ر بدأ بقد

14غسل رجليه

“Yaẖya telah berkata kepadaku (Imam al-Bukhârî) dari Mâlik dari Dari

‘Amr bin Yahyâ al-Maziniyyî dari bapaknya, ia berkata kepada ‘Abdullâh

ibn Zaîd ibn ‘Âsîm, kakek dari ‘Amr bin Amr bin Yahyâ al-Maziniyyî yang

merupakan sahabat Rasulullah: “Dapatkah kamu memperlihatkan padaku

cara wudu Rasulullah?”. Maka ‘Abdullâh ibn Zaîd ibn ‘Âsîm berkata, iya.

Maka ‘Abdullâh bin Zaîd meminta tempayan kecil yang berisikan air lalu

dia berwudu sebagaimana wudu Nabi. Maka beliau pun memiringkan

tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu

mencuci kedua tangan itu dua kali. Kemudian berkumur-kumur dan ber-

istinsyâr (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung) tiga kali.

Kemudian beliau mencuci wajahnya tiga kali, lalu mencuci kedua

tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau

memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua

tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan

kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya”.

Hadis tersebut tampak bahwa penjelasan sahabat terhadap suatu perbuatan

Rasulullah saw. belum banyak melibatkan interpretasi ataupun penafsiran yang

mandiri dari kalangan mereka, sekalipun cara yang dilakukan kakek ‘Amr tersebut

merupakan hasil pengamatan yang dilakukannya sesuai kekuatan daya tangkap

yang dimilikinya. Namun demikian pada era ini bukannya tidak ada syarah yang

berdiri sendiri, sebab sudah ada matan hadis yang mendapatkan catatan para

sahabat dan dibukukan ulama modern sebagai keterangan tambahan mereka

terhadap teks aslinya, namun ada pula yang telah bercampur baur sehingga muncul

dalam ilmu hadis ada istilah hadis mudraj (hadis yang terdapat sisipan di dalamnya

baik pada matan maupun pada sanadnya).

14 Mâlik, al-Muwaṯṯa Kitâb al-Ṯaharah Juz I (Cet. III, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1998),

h. 20

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

23

Pada masa Khalifah ini pula (setelah wafatnya Rasulullah saw. khususnya

pada akhir kekuasaan ‘Utsmân bin ‘Affân, kekuatan politik mulai memasuki

lapangan sunnah yang ditandai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang beredar

di masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pemicu bagi ulama hadis yang

berkomitmen untuk melakukan pemeliharaan sunnah Nabi saw. Melalui hadis-

hadis Nabi saw. tersebut para sahabat mulai mengumpulkan dan mengkodifikasikan

hadis Nabi saw. dan menyebarluaskannya melalui sebuah periwayatan serta

berusaha keras menentang orang-orang yang mengembangkan hadis-hadis palsu.

Usaha ulama ini mulai menunjukkan eksistensinya dengan mengembangkan hadis

ke berbagai kota Islam yang telah dikuasainya yaitu dengan mendirikan lembaga-

lembaga hadis di sana (Madâris al-ẖadîts).15

Selanjutnya pada masa pembukuan, atas desakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu

al-‘Azîz para ulama berlomba-lomba mencari, mengumpulkan dan menuliskan

hadis dalam sebuah kitab, hal ini bukan berarti penulisan hadis pada masa-masa

sebelumnya belum pernah ada sama sekali,16 akan tetapi masa ini pada umumnya

disepakati oleh para ulama hadis sebagai masa resmi perintah penulisan hadis dalam

sebuah kitab sebagai sebuah tuntutan perkembangan Islam yang semakin luas,

sementara ulama penghafal hadis semakin berkurang dari sisi kuantitas akibat

gugur dalam peperangan maupun penurunan kualitas daya hafalan. Hal inilah yang

memunculkan hasrat Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu al-Azîz untuk menjaga hadis dari

kepunahan dengan cara membukukannya.17

Kitab hadis yang masyhur pada saat ini dan dianggap kitab pertama hadis

adalah kitab hadis yang disusun oleh al-Zuhrî dan diikuti oleh ulama sesudahnya

seperti Mâlik, al-Syâfi’î dan lainnya. Namun yang sampai kepada generasi sekarang

sedikit sekali, seperti al-Muwaṯṯa’ karya Imam Mâlik, al-Musnad karya al-Syâfi’î

15 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 98 16 M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,

1994), h. 132 17 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 243

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

24

dan al-Atsâr karya al-Syaibânî. Dari ketiga kitab ini yang paling masyhur adalah al-

Muwaṯṯa’.18

Seiring dengan pembukuan kitab hadis ini pula, syarah hadis yang

berkembang sebelumnya merupakan tradisi lisan yang disampaikan oleh guru-guru

hadis kepada muridnya mulai mengambil bentuk sebagai syarah hadis secara

tertulis, yaitu mensyarahi hadis-hadis dalam suatu kitab himpunan hadis yang telah

ada pada masa ini. Sekalipun gerakan penulisan syarah hadis ini belum banyak

dikenal, namun terdapat sebuah data yang mengemukakan adanya syarah terhadap

kitab al- Muwaṯṯa’ karya Imam Mâlik19 (yang dianggap sebagai kitab hadis pertama

yangmasih ada hingga saat ini), salah satu kitab syarah hadis tersebut adalah buah

karya ‘Abdullâh bin Nâfi’ yang berjulukan Abû Muhammad (w. 186 H) dengan

karyanya Tafsîr ilâ al-Muwaṯṯa’.20

Namun demikian, masa ini belum disebut sebagai ‘asyru al-syarḫ, karena

kegiatan syarah hadis pada saat itu masih sedikit dan sulit dilacak naskah aslinya

(baru makhṯûtât) dan tidak sampai kepada kita. Di samping itu, kegiatan sebagian

besar ulama hadis masa ini adalah mengumpulkan dan menuliskannya dalam kitab

(membukukannya). Akan tetapi dapat kiranya dinyatakan bahwa sejak adanya

penulisan resmi dan dibukukannya hadis ini, embrio pensyarahan dalam bentuk

tertulis dan dibukukan mulai ada.

Secara umum pada pembahasan sejarah awal syarah hadis ini ditandai

dengan adanya embrio penulisan kitab syarah hadis, adapun metode pensyarahan

masih lebih banyak menggunakan pola lama yaitu secara lisan, sebagaimana yang

dilakukan oleh para guru-guru hadis kepada murid-muridnya. Untuk mengetahui

bagaimana metode mereka dalam menjelaskan (memberi syarah) terhadap hadis

18 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 245 19 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, Jilid I,

(Beirût: Dâr al-Fikr, tt.h), h. 45 20 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, h. 49

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

25

Nabi saw. Dr.‘Utsmân al-Khasyît mengemukakan empat model metode pengajaran

guru-guru hadis terhadap murid-muridnya. Antara lain:21

a. Al-Syarẖ al-Tafsîlî

Penjelasan secara terperinci dimana guru membacakan hadis Nabi saw.

Kemudian berhenti sejenak untuk mengemukakan isnâd dan nama rijâl-nya sesuai

dengan kaidah al-jarḫ wa al-ta’dîl kemudian membicarakan tentang keterputusan

sanad atau persambungannya dan menentukan kesahihan atau kedaifannya dengan

menyebutkan letak kecacatannya bila ditemukan di dalamnya kecacatan yang

dimaksud, baru kemudian menjelaskan matan hadis mulai dari penjelasan kalimat

perkalimat yang sulit serta menjelaskan fungsi dan penggunaan lafal tersebut dalam

konteks nas (teks). Selanjutnya memberikan pemahaman terhadap susunan-susunan

kalimat yang menyulitkan disertai pernyataan-pernyataan yang menguatkan seperti

syair Arab sebagai Syahid, kemudian membandingkan matan hadis tersebut dengan

matan hadis serupa dalam satu tema yang sama dan langkah selanjutnya melakukan

istinbâṯ hukum serta menyebutkan hal-hal yang terkait langsung maupun tidak

langsung baik pada sanad maupun matan hadis.22

b. Al-Syarḫ al-Wasîṯ

Penjelasan secara sederhana dimana guru membacakan sebuah hadis Nabi

saw. Kemudian diikuti beberapa penjelasan secukupnya tentang lafal-lafal yang

asing dan susunan kalimat yang terkait, selanjutnya memberikan wacana pemikiran

secara ringkas tentang diterima atau ditolaknya (maqbûl mardûd-nya) rijâl dari

isnâd yang ada, baru kemudian ia menjelaskan secara global beberapa faidah atau

manfaat hadis tersebut baik sanadnya ataupun matannya apabila dikehendaki untuk

sekedar membantu murid menghadapi hal-hal yang musykil pada nas (teks) dengan

21 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi,

(Kairo: al-Maktabah al-Qur’ân, t.th), h. 19 22 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 19

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

26

menggunakan penjelasan-penjelasan yang telah ada sebelumnya yang dijadikan

hujjah.23

c. Al-Syarẖ al-Wajîz

Penjelasan ringkas dimana seorang guru hanya menjelaskan hal-hal yang

sulit dan tempat-tempat yang musykil dengan menyebutkan beberapa pokok

permasalahan yang ada di dalamnya dengan sangat ringkas.

d. Al-Qirâ’ah al-Tatbî’iyyah24

Guru mengajarkan hadis Nabi saw. cukup dengan membacakan kitab hadis

dalam tema pelajaran tertentu, kemudian apa yang dibaca guru tersebut diikuti oleh

murid-muridnya dengan tanpa menjelaskan apa yang ada di dalamnya, baik segi

kebahasaan, istinbâṯ hukum atau kritik sanad dan matan serta tempat-tempat

rujukan yang jelas.

2. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis

Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sejarah awal syarah

hadis, tampak bahwa perkembangan syarah hadis pada era awal ini belum memiliki

spesifikasi khusus, mengingat syarah (penjelasan) Nabi saw. pun belum berdiri

sendiri melainkan menjadi satu kesatuan teks (matan) hadis Nabi saw. tersebut,

sebagaimana hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Nabi saw.

Namun demikian, dapat dikatakan bahwa embrio syarah hadis telah muncul pada

era ini walaupun belum memiliki format yang terbakukan (menjadi sebuah ilmu

yang dapat dipelajari kaidah-kaidahnya).

Seiring dengan masa pembukuan hadis (abad ke-2 H) yang masih bersifat

akomodatif ini ulama pada umumnya hanya sekedar mengumpulkan, kemudian

23 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 19 24 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 20

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

27

menuliskannya dalam sebuah kitab, tanpa adanya kritik atau penelitian secara

detail. Di samping itu, hadis Nabi saw. masih bercampur pula dengan perkataan

sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in.25

Pada masa berikutnya (abad ke-3 H), para ulama berupaya menyusun

kembali kitab hadis dengan spesifikasi yang lebih sistematis dan lebih kritis dari

upaya pengumpulan hadis pada kitab-kitab sebelumnya. Upaya sistematisasi dan

kritisisasi hadis tersebut antara lain:

a. Upaya pengumpulan hadis Nabi saw. secara khusus yang dijadikan ajang

pertentangan Ahlu al-kalâm dan Ahlu al-ḫadîts seperti yang dilakukan Ibn

Qutaibah dalam kitabnya Ta’wîl Mukhtalaf al-ẖadîts fî al-Ra’di ‘alâ ‘adâi

al-Ḫadîts.

b. Upaya mengumpulkan hadis Nabi saw. yang berada di bawah nama seorang

sahabat, baik yang sahih maupun yang tidak sahih, susunan hadis ini disebut

dengan musnad, di antara karya pada masa ini adalah Musnad karya

‘Ubaidillâh Ibn Mûsa (w. 213. H). Musnad al-Humaidî (w. 219 H) dan

lainnya.

c. Upaya pengumpulan hadis Nabi saw. dalam susunan bab-bab fikih yang

memunculkan beberapa kitab yang terkenal pada masa tersebut seperti

karya Ismâ’îl al-Bukhârî (w. 256. H) yang dikumpulkan dalam bagian kitab

Saẖîẖ-nya, karya Muslim al-Hajjâj dalam bagian kitab Saẖîẖ-nya dan kitab-

kitab sunan yang disusun oleh Abû Dâûd, al-Turmuẕî, al-Nasâ’î dan

lainnya.26

Sejak masa pembukuan hadis Nabi saw. hingga masa berikutnya (pada abad

ke-3 H) perkembangan syarah hadis Nabi saw. bukan berarti kosong sama sekali,

terbukti di sela-sela para ulama sibuk dalam aktifitas pemilihan dan penyusunan

kitab hadis Nabi saw. yang sistematis, juga ditemukan kitab syarah hadis Nabi saw.

25 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 363 26 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 367

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

28

sebagai buah karya ulama pada masa ini yaitu pada abad ke- 2 dan abad ke- 3 di

antaranya: ‘Alam al-Sunan syarah terhadap al-Jâmi’ al-Saḫîḫ karya Abû Sulaimân

Aḫmad bin Ibrâhîm bin al-Khaṯṯâbî al-Busṯî (w. 388 H.) dan Ma’âlim al-Sunan

Syarḫ Abî Dâûd.27

Kitab-kitab syarah hadis Nabi saw. tersebut membuktikan bahwa tetap

adanya aktifitas penulisan syarah hadis Nabi saw. Pada masa itu, namun era tersebut

belum dikenal dan dijuluki sebagai “masa pensyarahan” (Asyru al-Syarḫ) sebab

sebagian konsentrasi ulama masih dalam rangka pemilahan dan penyusunan hadis-

hadis Nabi saw. secara sistematis dalam sebuah kitab.

Demikian pula dengan masa berikutnya yaitu (masa penelitian, penerbitan

dan pengumpulan hadis-hadis yang memiliki karakteristik dan kualitas khusus yaitu

antara tahun 400-656 H.) Dalam era ini, jenis kitab hadis Nabi saw. mencakup

sebagian besar hadis-hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang

telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. sebelumnya seperti kitab hadis

Nabi saw. yang mengumpulkan dua kitab sahih (Saḫihayni; yaitu kitab al-Bukhârî

dan Muslim) Karya Ibn al-Furât (w. 414 H.) kitab hadis Nabi saw. yang

menghimpun dua kitab sahih (Saḫihayni; karya al-Bukhârî dan Muslim) karya

Muhammad bin Nash al-Ḫamîdi al-Andalûsî (w. 488 H) dan lain-lain. Kemudian

ada pula kitab hadis yang mengumpulkan hadis Nabi saw. yang telah tertuang

dalam gabungan beberapa kitab hadis seperti, Kutub al-Sittah (Saḫîḫ al-Bukhârî,

Saḫîḫ Muslim, Sunan al-Turmuẕî, Sunan Abî Dâûd, Sunan al-Nasâ’î dan Sunan Ibn

Mâjah) di antaranya karya Aḫmad bin Râzîn bin Mu’âwiyah al-Abdarî al-Sarqiṯî

(w. 535 H.) dan beberapa kitab lainnya.28

Pada era inipun penulisan syarah hadis telah muncul seperti al-Muqtabis

karya al-Baṯalyusî (w. 521 H.), dan beberapa syarah hadis lainnya. Namun

demikian, penulisan syarah hadis Nabi saw. masih belum begitu marak atau belum

menjadi konsentrasi umumnya para ulama hadis. Lain halnya dengan era

27 Al-San’anî, Tauḏîẖ al-Afkâr lima’ânî Tanqîẖ al-Izhâr, (Beirût: Dâr al-Fikri, tt.) h. 52 28 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 430

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

29

berikutnya, yaitu era pensyarahan hadis yang dimulai sejak tahun 656 H. sampai

era-era berikutnya.29

Dalam era pensyarahan inilah benar-benar penulisan kitab syarah hadis

Nabi saw. begitu banyak dan tak terbilang jumlahnya, apalagi objek kitab hadis

Nabi saw. yang disyarahi juga banyak jumlahnya. Ulama pada umumnya tidak lagi

disibukkan oleh sistematisasi kitab himpunan hadis, penelitian dan penambahan-

penambahan hadis dalam suatu kitab, melainkan pada masa ini mereka berupaya

menjelaskan hadis Nabi saw. yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi

saw. tersebut dengan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan agar hadis Nabi saw.

dapat dipahami dan diamalkan.

Di antara kitab syarah hadis pada masa ke-7 H hingga pada masa berikutnya

antara lain: Kasyf al-Giṯâ’ fî Syarḫ al-Mukhtasar al-Muwaṯṯa’ karya Abû

Muḫammad bin Abî al-Qâsim al-Farḫûnî al-Ya’murî al-Tûnisî (w. 763 H), Syarḫ

al-Muwaṯṯa’ karya Abû al-Majd ‘Uqaiylî bin ‘Aṯiyyah al-Quḏâ’î (w. 1229 H).30

Kemudian kitab- kitab syarah terhadap Kutub al-Tis’ah. Kitab-kitab syarah lainnya

yang muncul pada era ini hingga sekarang antara lain Fatẖ al-‘allâm bi Syarẖ al-

‘I’lâm bi al-ẖadîts al-Aḫkâm karya Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Ansâri al-Syâfi’î al-

Khazrâjî (825-925 H), Ibânah al-Aḫkâm bi Syarḫ Bulûgh al-Marâm karya ‘Alwi

‘Abbâs al-Mâlikî wa Ḫasan Sulaimân al-Nawawî, Naiyl al-Auṯâr min al-Ḫadîts

Sayyîd al-Akhyâr Syarḫ Muntaqâ al-Akhbâr karya Muḫammad bin ‘Alî ibn

Muḫammad al-Syaukânî (1172-1255 H), Subul al-Salâm Syarḫ Bulûgh al-Marâm

karya al-Amîr al-Sun’ânî (w. 1099-1182 H) dan masih banyak lagi kitab-kitab syarh

hadis lainnya.

3. Periode Kemunduran Syarah Hadis

Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah

hadis yang ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk

kepada kitab-kitab hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya,

29 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, h. 45 30 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi

al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 437

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

30

keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang

mengalami kelesuan intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang

telah menghancurkan Baghdad – ibukota kekhalifahan Islam.

Mencermati perhatian yang sangat kurang terhadap hadis, menurut al-

Khûlî,31 lebih disebabkan oleh sikap ulama pada masa itu yang hanya ber-taqlîd

dengan pendapat ulama mazhab mereka dan meninggalkan ijtihad, di samping

kesibukan mereka dengan kitab-kitab yang sebenarnya merupakan penjelasan

terhadap hadis (kitâb furû‘ ‘an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis

terbatas pada hadis-hadis akhlâq, mawâ’iḏ, adab, raqâ’iq, atau sekedar mencari

berkah melalui hadis-hadis nabi.

Dalam pandangan Hasbi,77 suasana umum di atas telah dimulai semenjak

abad ke-4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum

adalah hadis, maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataan-

perkataan fuqaha’. Masing-masing fuqaha’ menguatkan mazhab gurunya,

walaupun mazhab tersebut dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan

menurut Syekh Abû al-Hasan ‘Alî al-Hasanî al-Nadwî -seperti yang dikutip oleh

Hedhri Nadhiran- banyaknya kitab syarah hadis yang dihasilkan selama periode

penyempurnaan sebenarnya disebabkan oleh pertentangan yang terjadi antar

mazhab fiqh. Apabila pengikut suatu mazhab membuat kitab syarah, biasanya akan

diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada kitab hadis yang sama.

Seperti yang terjadi antara ‘Umdat al-Qârî karya Badr al-Dîn al-‘Aynî (w. 855 H),

seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.

852 H) seorang ulama Syâfi‘iyah. Tak jarang, seorang syârih mencocok-cocokkan

antara hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan oleh Abû Ja‘far

al-Ṯahâwî dengan syarahnya Ma‘anî al-Atsâr. Walaupun demikian, ia mengakui

kalau persaingan (yang diistilahkannya dengan al-harakah al-‘ilmiyyah) di atas

membawa faedah yang besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia

31 Muhammad ‘Abd al-‘Azîz al-Khûlî, Miftah al-Sunnah aw Târīkh Funûn al-Hadîts,

(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 167 32 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 147

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

31

Islam karena para ulama syâriẖ dalam berhujjah tetap merujuk kepada Alquran dan

hadis.

Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi

ditiru oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Umumnya, mereka mencukupkan

diri dengan argumentasi yang diberikan oleh para pendahulunya tanpa memeriksa

lagi sumber pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab Sahihayn,

sedangkan pemahaman yang dilakukan bersifat penerimaan dari guru dan hanya

untuk memperkuat mazhab semata.77

Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah

semakin dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang

pernah dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah

melahirkan berbagai cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika

pada abad-abad sebelumnya syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian

yang panjang (al-syarh al-wâfî), maka selama periode kemunduran ini syarah yang

dihasilkan umumnya hanya bersifat ta‘lîq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh

sifat peringkasan itu sendiri yang tidak lagi mementingkan aspek penelitian sanad,

sementara pemahaman terhadap matan lebih bersifat memperkuat pendapat ulama

mazhab yang telah mensyarah hadis.

Di tengah-tengah kemunduran ini, keinginan untuk mengembalikan hadis

kepada kedudukannya semula – sebagai sumber hukum Islam – tetap terpelihara.

Daerah Islam yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan

munculnya ulama-ulama yang senantiasa memelihara hadis dan mempelajarinya

menurut metode yang ditempuh ulama abad ke-3 H, yaitu kebebasan dalam

memahami (ẖurriyat fi al-fahm) dan memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis

yang diteliti. Di antara mereka yang termasyhur adalah Syah Wali Allah al-Dahlawî

(1114 H – 1176 H) dengan syarahnya Hujjat Allah al-Bâlighah dan al-Musawwâ

Syarh Muwatta’ Mâlik, Shiddîq Hasan Khân (1248 H – 1307 H) pengarang Fath

33 Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis,

Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

IAIN Raden Fatah Palembang, h. 10

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

32

al-‘Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm, al-Sahâranfûrî (w. 1346 H) dengan kitabnya

yang berjudul Badhl al-Majhûd fî Hall Abi Dawûd, dan al-Kândahlawî (1315 H –

1389 H) dengan syarahnya Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta’ Mâlik.34

4. Posisi Syarah Hadis dalam Ilmu Hadis

Syarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ilmu hadis.

Kedudukan syarah tersebut dapat dilihat dalam hubungan fungsional syarah dengan

pemahaman hadis, yakni bayân ma’âni al-ẖadîts. Artinya syarah terhadap sebuah

hadis dapat berfungsi memperjelas arti kata dan kalimat dengan menyajikan

penjelasan kebahasan, dan juga dapat berfungsi menerangkan serta merinci

kandungan makna, istinbâṯ hukum dari hadis, bahkan menerangkan sanad dan

kriteria kesahihan hadis. Kitab-kitab syarah hadis terutama yang menggunakan

metode analitis dan komparatif berisi penjelasan dan komentar tentang

permasalahan hadis yang disyarahi, baik menyangkut kritik sanad, matan maupun

kriteria kesahihan hadis. Karenanya, kitab-kitab syarah juga merambah wilayah

ilmu hadis, bahkan lebih dari syarah memiliki peran besar dalam fiqh al-ẖâdîts

(pemahaman hadis).

Kedudukan syarah hadis terhadap hadis bagaikan kedudukan tafsir terhadap

Alquran. Para ulama terdahulu banyak menaruh perhatian dalam bidang syarah

hadis, karena banyak di antara hadis-hadis Nabi saw. yang masih memerlukan

penjelasan lebih lanjut. Oleh sebab itu, mereka banyak melakukan kegiatan

pensyarahan kitab-kitab hadis yang sudah dianggap baku. Mereka menyusun kitab-

kitab syarah tersebut berupa komentar atau syarah terhadap salah satu dari al-Kutub

al-Sittah. Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan pemahaman

terhadap hadis terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni menulis kitab-kitab syarah

terhadap al-Kutub al-Sittah tersebut. Tujuan mereka melakukan kegiatan tersebut,

yakni untuk memahami hadis-hadis yang terdapat dalam kitab tersebut.35

34 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti

dan Entin sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, h. 38 35 Muẖammad Abû Syahbah, fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah (Kairo:

Majma’ al-Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995), h. 97

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

33

Pensyarahan terhadap hadis yang terdapat dalam kitab Saẖîẖ al-Bukhârî

misalnya, telah muncul 82 kitab syarah yang ditulis oleh beberapa ulama antara

lain: Ibn Hajar al-‘Asqalânî yang menulis kitab Fatẖ al-Bârî Syarẖ Saẖîẖ al-

Bukhârî Syamsu al-Dîn Muhammad bin Yûsuf bin al-Kirmâni yang menulis al-

Kawâkib al- Durari fî Syarẖ Saẖîẖ al-Bukhârî, Badr al-Dîn Maẖmûd bin Aẖmad

al-‘Aiynî al- Hanafî yang menulis ‘Umdah al-Qâri’; Imam Nawawî yang menulis

Syarẖ Bukhârî. Pensyarahan terhadap kitab Saẖîẖ Muslim juga banyak dilakukan

antara lain oleh Abû ‘Abdullâh Muhammad bin ‘Alî al Misrî yang menulis al-

Mu’allim bi Fawâid Kitâb Muslim; Imam Nawawî yang menulis Al-Minhaj fî Syarẖ

Saẖîẖ Muslim al-Hajjâj yang populer disebut Saẖîẖ Muslim bi Syarẖ al-Nawawî.36

Demikian pula terhadap al-Kutub al-Sittah yang lainnya juga banyak di beri syarah

oleh para ulama.

Pada tahap selanjutnya, umat Islam yang mengalami kesulitan dalam

memahami hadis Nabi saw. dapat tertolong dengan hadirnya kitab-kitab syarah,

karena kitab syarah tersebut memiliki kedudukan memperjelas (bayân) kandungan

makna hadis, sehingga pemahaman terhadap hadis tersebut dapat tercapai.

C. Metode-Metode Syarah Hadis

Sebagai teks kedua setelah Alquran, hadis memiliki peran dalam kehidupan

umat Islam sebagai penopang sekaligus pedoman hidup guna mencapai

kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Namun dalam mengkaji sebuah hadis

sekaligus mengkaji pemahamannya memerlukan ‘pisau” analisis yang mapan

dimana dalam istilahnya disebut dengan metode tersendiri yang disertai dengan

beragam pendekatan.

Seiring perjalanan waktu, ilmu hadis serta kajian-kajian yang berkaitan

dengannya pun berkembang, hal ini dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab hadis

yang ditulis Muẖadditsîn khususnya, begitu juga berkembang sosial

kemasyarakatan mengantarkan sekaligus mengharuskan supaya dapat memahami

36 Muẖammad Abû Syahbah, fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah (Kairo:

Majma’ al-Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995), h. 101

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

34

hadis dengan baik dan paling tidak ‘mendekati kebenaran’. Dalam kitab syarah

hadis, dikenal beberapa metode ulama dalam mensyarah, yakni: Ijmâlî, mauḏû’î,

taẖlîlî, dan muqârîn.

1. Metode Taẖlîlî

a. Pengertian Metode Taẖlîlî

Taẖlîlî berasal dari bahasa Arab ẖallala-yuẖallilu-taẖlîl yang berarti

menguraikan, menganalisis. Namun yang dimaksudkan Taẖlîlî di sini adalah

mengurai, menganalisis dan menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam

hadis Rasulullah saw. dengan memaparkan aspek-aspek yang terkandung di

dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarah.

Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis

mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam kitab

hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah.

Pensyarah memulai penjelasannya dengan mengutarakan makna kalimat

demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut

berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya,

asbâb-al-wurûd (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-

pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari

sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis. Muhammad al-Fatih Suryadilaga,

menerangkan metode taẖlîlî yakni dengan; syarah hadis yang di dalamnya akan

ditemui uraian pemaparan segala aspek yang terkandung dalam hadis serta

menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan

kecenderungan dan keahlian pensyarah. Misalkan diuraikannya secara sistematis

sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis kutub al-sittah.37

37 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.

19

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

35

Beberapa contoh kitab yang memakai metode taẖlîlî antara lain Fatẖ al-Bârî

bi Syarh Saẖîẖ al-Bukhârî karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Subul al-Salâm karya al-

San’ânî, al-Kawâkib al-Dirarî fî Syarẖ al-Bukhârî karya Syamsu al-Dîn

Muẖammad bin Yûsuf bin ‘Alî al-Kirmânî, kitab al-Irsyâd al-Syâri’ li Syarẖi Saẖîẖ

al-Bukhâriî karya Ibn ‘Abbâs Syihâb al-Dîn Aẖmad bin Muhammad al-Qasṯalânî

dan kitab Syarẖ al-Zarqânî ‘alâ Muwaṯṯa’ ‘alâ Imâm Mâlik karya Muhammad bin

Abdu al-Bâqî bin Yûsuf al-Zarqânî.38

b. Ciri-ciri Metode Taẖlîlî

Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlî biasanya

berbentuk bi al-ma’tsûr atau bi al-ra’yi. Syarah yang berbentuk ma’tsûr ditandai

dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in atau

ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra’yi banyak didominasi oleh

pemikiran rasional pensyarahnya.

Adapun secara rinci, kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlî

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pensyarahan dilakukan dengan pola penjelasan makna yang

terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.

2. Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi

kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga

menerangkan sabab al-wurûd dari hadis-hadis yang dipahami jika

hadis tersebut memiliki sabab wurûd-nya.

3. Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah

disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan para ahli syarah hadis

lainnya dari berbagai disiplin ilmu.

4. Di samping itu sudah ada usaha munâsabah (hubungan) antara

satu hadis dengan hadis lain.

38 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.

19

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

36

Selain itu, kadangkala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan

pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak

pensyarahan, seperti corak fikih dan corak lain yang dikenal dalam bidang

pemikiran Islam.39

2. Metode Ijmâlî (Global)

a. Pengertian Metode Ijmâlî

Metode ijmâli (global) adalah metode yang menjelaskan atau menerangkan

hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kitab kutub al-

sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadis, dengan

bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.40

Dengan demikian, dari segi sistematika pensyarah, metode ini tidak berbeda

dengan metode taẖlîlî yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam

kitab hadis. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan juga berbeda jauh dengan gaya

bahasa yang digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang tidak

mengetahui benar redaksi matan hadis yang disyarahnya, kadangkala tidak dapat

memilahkan mana yang hadis dan mana yang syarahnya.

Kitab-kitab yang menggunakan metode ijmâlî ini antara lain adalah Syarẖ

al- Suyûṯî li Sunan al-Nasâ’î karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Qut al-Mughtazî ‘Alâ

Jâmi’ al-Turmuẕî karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî. Aûn al-Ma’bûd Syarẖ Sunan Abî

Dâwûd karya Muhammad bin Asyrat bin ‘Alî Haidar al-Siddîqî al-Aẕîm Abadî.41

b. Ciri-ciri Metode Ijmâlî

Ciri-ciri metode global adalah pensyarah langsung melakukan penjelasan

hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola ini tidak

jauh berbeda dengan metode taẖlîlî namun uraian dalam metode taẖlîlî lebih rinci

daripada uraian dalam metode ijmâlî, sehingga pensyarah lebih banyak dapat

39 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis (Yogyakarta:

Lentera Hati, 2001) h. 30 40 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 52 41 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 53

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

37

mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya, dalam kitab syarah yang

menggunakan metode ijmâlî pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan

pendapat sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, penjelasan umum dan sangat

ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab syarah dengan metode ijmâlî. Namun

demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu jug diberikan agak luas, tetapi

tidak seluas metode taẖlîlî.

3. Metode Muqârîn

a. Pengertian Metode Muqârîn

Metode muqârîn adalah metode memahami hadis dengan cara: (1)

membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus

yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2)

membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. Dari

pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadis dengan menggunakan

metode muqârîn mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya

membandingkan hadis dengan hadis lain, melainkan juga membandingkan

pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.42

Di antara kitab yang menggunakan metode muqârîn adalah Saẖîẖ Muslim

bi Syarẖ al-Nawawî karya Imam Nawawî, ‘Umdah al-Qâri’ Syarẖ Saẖîẖ al-

Bukhârî karya Badr al-Dîn Abû Maẖmûd bin Aẖmad al-‘Aynî.

b. Ciri-Ciri Metode Muqârîn

Kajian perbandian hadis dengan hadis lain dalam syarah yang menggunakan

metode muqârîn tidak terbatas pada perbandingan analisis radaksional (mabâẖits

lafẕiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, kandungan

makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan. Selain itu juga dibahas

perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut. Dalam membahas

perbedaan-perbedaan itu, pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang

menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang munculnya

42 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 48

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

38

hadis (asbâb wurûd al-ẖadîts) tidak sama, pemakaian kata dan susunanya di dalam

hadis berlainan, dan tak kurang pentingnya, konteks masing-masing hadis tersebut

muncul dan lain-lain. Dalam rangka menganalisis hal-hal serupa, diperlukan

penelaahan yang seksama oleh pensyarah terhadap berbagai pendapat yang

dikemukakan oleh para ahli syarah sehubungan dengan pemahaman hadis yang

sedang dibahas tersebut. Jadi, meskipun yang diperbandingkan hadis dengan hadis,

dalam proses memahaminya, pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang telah

dikemukakan berkenaan dengan hadis itu.

Adapun aspek kedua, yaitu perbandingan pendapat para pensyarah

mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan

berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadis maupun korelasi

(munâsabah) antara hadis dengan hadis. Dengan demikian, pembahasan yang

menjadi objek perbandingan adalah berbagai pendapat yang dikemukakan sejumlah

pensyarah dalam suatu hadis, kemudian melakukan perbandingan di antara

berbagai pendapat yang dikemukakan itu. Sedangkan yang dianalisis atau dikaji

dalam aspek sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang bermiripan

dari hadis-hadis atau antara hadis dengan hadis yang kelihatannya secara lahiriah

kontradikif.43

Ciri utama bagi metode muqârîn adalah perbandingan. Di sinilah letak salah

satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode lain. Hal itu

disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan hadis dengan

hadis adalah pendapat ulama tersebut, bahkan pada aspek yang kedua, sebagaimana

yang telah disebutkan di atas, pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran

perbandingan. Oleh karena itu, jika suatu syarah dilakukan tanpa

memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pensyarah,

maka pola semacam itu tidak dapat disebut metode komparatif.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa segi sasaran (objek) bahasan,

ada dua aspek yang dikaji dalam syarah yang menggunakan metode muqârîn, yaitu

43 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 58

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

39

perbandingan hadis dengan hadis dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah

hadis.

Penjelasan syarah dengan menggunakan metode muqârîn dimulai dengan

menjelaskan pemakaian mufradât (kosa kata), urutan kata, maupun kemiripan

redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka

langkah yang ditempuh adalah; (1) mengindentifikasi dan menghimpun hadis yang

redaksinya bermiripan; (2) memperbandingkan antara hadis yang redaksinya

bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang

berbeda dalam satu redaksi yang sama; (3) menganalisis perbedaan yang

terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan tersebut

mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan

kata susunannya dalam hadis, dan sebagainya, (4) memperbandingkan antara

berbagai pendapat para pensyarah tentang hadis dijadikan objek bahasan.44

D. Tehnik Interpretasi Hadis

1. Tekstual

Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud

sebuah hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja.45 Arifuddin Ahmad dalam

bukunya, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi saw. mendefenisikan

interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis

Nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan

petunjuknya, waktu, sabab wurûd, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan

tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis Nabi yang

dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal.46

Salah satu contoh hadis yang dapat dipahami secara tekstual yakni:

44 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.

49 45 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet. I; Jakarta:

Rahmat Semesta Center, 2008), h.21. 46 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran

Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisans, 2005), h.205.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

40

ع جابرا أن رسول الل صلى الل ث نا سفيان عن عمرو أنه س ث نا سعيد بن منصور حد حد

عليه وسلم قال احلرب خدعة 47

Telah menceritakan kepada kami Sa'îd bin Mansur, telah menceritakan

kepada kami Sufyân dari 'Amr bahwa ia mendengar Jâbir bahwa Rasulullah

saw. berkata: “Perang adalah siasat.”

Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis di atas

sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat.

Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya

bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya

dengan menyerahkan diri kepada musuh.48

2. Kontekstual

Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi

pemahaman sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik

interpretasi kontekstual,49 teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw.

dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan

petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis

itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain

yang berhubungan dengan hadis tersebut.50

Sedang menurut Yûsuf Qarḏâwî, di antara cara yang baik memahami hadis

Nabi saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang

melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat

(alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami

melalui kejadian yang menyertainya.51 Lebih lanjut lagi menurutnya, adakalanya

47 Abû Dâwûd, Sunan Abû Dâwûd Juz III 48 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6. 49 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran

Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, h. 205 50 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, terj. Muhammad al-Baqir,

Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Bandung: Karisma, 1993). h. 131 51 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 145

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

41

seseorang dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak

menetapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud hadis yang sebenarnya.

Bahkan, bisa jadi dia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meski tampak

berpegang padanya.52 Dengan demikian, memahami hadis Nabi saw. dengan teknik

interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:

a. Bentuk dan cakupan petunjuk hadis. Antara lain, yang berupa jawâmi’

al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsîl

(perumpamaan), ẖiwâr (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadis

tersebut bersifat universal atau temporal dan lokal.

b. Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan

Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima

perang dan sebagainya.

c. Latar historis (asbâb al-wurûd), dan sasaran ditujukannya hadis.53

d. Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadis Nabi saw. Dengan

mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.

Contoh, dari penerapan interpretasi kontekstual dapat dilihat pada hadis

berikut:

ث نا العمش عن سهل أب السد عن بكي الزريه عن أنس قال كنا ف ث نا وكيع حد ب يت رجل حد

ة من ق من النصار عليه وسلم حت وقف فأخذ بعضادة الباب ف قال الئم ريش فجاء النب صلى الل

ا وف وا فمن ل ولم عليكم حق ولكم مثل ذلك ما إذا است رحوا رحوا وإذا حكموا عدلوا وإذا عاهدو

هم ف عليه لعنة الل والملئكة والناس أجعي 54ي فعل ذلك من

Telah menceritakan kepada kami Wakî' telah menceritakan kepada kami al-

A'masy dari Sahl, Abu al-Asadi dari Bukair al-Jazari dari Anas berkata,

kami berada disebuah rumah seseoang anshar lalu datang Nabi saw. lalu

beliau berhenti di depan pintu dan bersabda, “Para pemimpin itu dari

52 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, h. 21. 53 Aẖmad ibn Hanbal, Musnad Ah}mad Juz XIX (Cet I, Beirût: Muassasah al-Risâlah,

1997), h. 318 54 Imam Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî Juz II (Kairo: al-Matbaah al-Salafiyyah, t. th.), h. 504.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

42

Quraisy, mereka mempunyai hak atas kalian dan juga sebaliknya, jika

mereka dimohon bersikap sayang maka mereka menyayangi, jika

menghukum maka mereka lakukan dengan adil, jika berjanji memenuhinya,

dan jika mereka tidak melakukannya maka mereka mendapat laknat Allah,

malaikat dan manusia semuanya.”

Jika hadis di atas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat

disimpulkan bahwa ketika hadis tersebut dinyatakan, Nabi dalam kapasitasnya

sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari

ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraîsy.55 Jika

dipahami secara tekstual, maka hadis ini bertentangan dengan ayat Alquran yang

menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling

bertakwa. Untuk itu dalam memahami hadis ini, kita perlu melihat konteksnya.

Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama

Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadis ini bersifat temporal.

Menurut ibn Khaldûn seperti yang disebutkan Yûsuf Qarḏâwî, ketika Nabi

saw. menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa

beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraîsy-lah yang memiliki kekuatan dan

kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau

pemerintahan. Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraîsy-nya, melainkan

kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada

orang bukan dari suku Quraîsy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka

dia dapat diangkat menjadi pemimpin. Dengan interpretasi kontekstual seperti ini,

maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman hadis, selain itu, kita dapat

mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Alquran yang diawal terlihat

bertentangan.

Demikian, dalam hadis-hadis Nabi saw. ada yang lebih tepat jika dipahami

secara tekstual, ada juga yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual.

Interpretasi tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan

dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, tetap menuntut pemahaman sesuai

dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut. Adapun interpretasi kontekstual

55 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 138.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

43

dilakukan bila ada qarînah (petunjuk) yang mengharuskan hadis yang bersangkutan

dipahami tidak sebagaimana teks lahirnya saja (tekstual).56

4. Intertekstual

Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi

saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran

yang terkait. Dengan kata lain, ketika menggunakan teknik interpretasi

intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan konteksnya. Hal ini sehubungan

dengan fungsi hadis sebagai bayân (penjelas) bagi Alquran dan kadang berupa

penjelas atau penguat bagi hadis yang lain. Sebagai contoh, hadis Rasulullah saw.:

ثن أبو الطاهر أخب رن عبد الل ثن عمرو بن احلارث عن بكي بن الشجه أن بسر حد بن وهب حدع أب سعيد الدري ي قول كنا ف ملس عند أبه بن كعب فأ ثه أنه س تى أبو موسى بن سعيد حد

ع أحد منكم رسول الل صلى الل عليه وسلم الشعري مغض با حت وقف ف قال أنشدكم الل هل سع ي قول ستائذان ثلث فإان أذان لك وإالا فارجا قال أب وما ذاك قال استأذنت على عمر بن الا

ته الي وم فدخلت عليه فأخب رته أنه جئت أمس الطاب أمس ثلث مرات ف لم ي ؤذن ل ف رجعت ث جئ عناك ونن حينئذ على شغل ف لو ما استأذنت حت ي ؤذن لك فسلمت ثلث ث انصرفت قال قد س

عليه وسلم قال ف والل لوجعن ظهرك عت رسول الل صلى الل وبطنك أو لتأتي قال استأذنت كما سب سعيد ن يشهد لك على هذا ف قال أب بن كعب ف والل ل ي قوم معك إل أحدث نا سنا قم اي أ ب

عليه وسلم ي قول هذا عت رسول الل صلى الل ف قمت حت أت يت عمر ف قلت قد سTelah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯahir; Telah mengabarkan kepadaku

'Abdullâh bin Wahb; Telah menceritakan kepadaku 'Amrû bin al-Harits dari

Bukair bin Al Asyaj bahwa Busr bin Sa'id; Telah menceritakan kepadanya,

dia mendengar Abû Sa'îd al-Khudrî berkata; Suatu ketika kami sedang

berada di Majlis Ubay bin Ka'ab, tiba-tiba Abu Musa Al Asy'ari datang

dalam keadaan marah, lalu beliau berdiri seraya berkata; Demi Allah,

apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar sabda Rasulullah saw.

berbunyi: "Meminta izin itu hanya tiga kali, apabila di izinkan, kalian

boleh masuk, jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka

pulanglah." Ubay berkata; memang ada apa dengan Hadits tersebut? Abu

Musa menjawab; 'Kemarin aku telah meminta izin kepada Umar sebanyak

56 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-

Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, h. 6.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

44

tiga kali, namun tidak ada jawaban, maka akupun pulang kembali. Lalu pada

hari ini aku mendatanginya lagi dan aku kabarkan kepadanya bahwa aku

telah menemuinya kemarin dan sudah aku ucapkan salam sebanyak tiga

kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Dan Umar

menjawab; kami telah mendengarmu, yang pada waktu itu kami memang

sedang sibuk hingga tidak sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa kamu

tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu? Abu Musa menjawab; Aku

meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallahu

'alaihi wasallam. Lalu Umar berkata; Demi Allah, aku akan menghukum

kamu hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai hadis itu.

Kemudian Ubay bin Ka'ab berkata; Demi Allah, tidak akan ada yang

menjadi saksi atasmu kecuali orang yang paling muda di antara kami.

Berdirilah wahai Abu Sa'id! lalu akupun berdiri hingga aku menemui Umar,

dan aku katakan kepadanya; Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda

mengenai Hadis tersebut.

Hadis di atas mengandung petunjuk bahwa jika seseorang ingin memasuki

rumah orang lain, maka terlebih dahulu harus memberi salam dan meminta izinnya.

Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. QS. al-Nûr/24 : 27 yang berbunyi:

ي ها ٱلذين ءامنوا ل تدخلوا ب يوت لكم يأ نسوا وتسلهموا علىأ أهلها ذ

تستأ ر ب يوتكم حت غي رون لعلكم لكم خي ٢٧ تذك

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang

bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada

penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)

ingat”.

E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kemajuan

peradaban islam, hal ini dapat dibuktikan melalui karya-karya ulama nusantara,

khususnya bidang kajian syarah Hadis. Beberapa ulama nusantara mendapat gelar

musnid al-dunya pada masanya, seperti Syaikh Maẖfuẕ al-Tirmâsi dari Termas,

Pacitan, Jawa Timur, Syaikh Yasin Ibn Isa Al-Fadâni dari Padang dan beberapa

ulama lainnya yang sekaliber mereka. Syarah Hadis di Indonesia mengalami

perkembangan yang cukup signifikan dari masa ke masa, dari era-pertumbuhan

hingga era kontemporer.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

45

1. Masa Awal Pertumbuhan

Perkembangan hadis di Indonesia dimulai pada fase akhir abad ke-16 di

Aceh. Menurut Sounck Hurgronje, sebenarnya Aceh belum memiliki perhatian

khusus terhadap kajian hadis, akan tetapi genealogi kajian hadis pada masa itu telah

muncul bersamaan dengan karya-karya ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, ‘Abd

Rauf al-Sinkili ysng telah memasukkan hadis dan Alquran dalam beberapa

karyanya. Karya-karya Hamzah dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa, dalam

prosa tersebut ia menyelipkan beberapa ayat Alquran dan hadis yang ia

komibnasikan dengan bahasa melayu. Fakta ini merupakan gejala-gejala kajian

hadis yang berpengaruh pada fase berikutnya.57

Pada awal Abad ke-17 perkembangan syarah hadis pada tahap rintisan dan

menggunakan metode ijmâlî. Hal ini dibuktikan oleh Nur Al-Dîn al-Ranîri dalam

karya hadisnya yang berjudul al-Habîb fî al-Targhîb wa al--Tarhîb, kitab ini berisi

kumpulan Hadis Nabi Muhammad saw. yang ia terjemahkannya dari bahasa Arab

kedalam bahasa Melayu agar masyarakat muslim Nusantara mampu memahaminya

secara benar. Dalam kitab tersebut, al-Ranîrî menginterpolasikan hadis-hadis

dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung argumen-argumen yang digunakan

untuk mensyarahi hadis tersebut. Karya ini merupakan rintisan awal dalam bidang

hadis di Nusantara, upaya ini menunjukkan sangat pentingnya hadis dalam

kehidupan kaum Muslim Indonesia.58

Upaya al-Ranîrî dalam mensyarahi hadis dilanjutkan oleh ‘Abd Ra’uf al-

Sinkiîlî, bahkan ia telah menulis dua karya hadis sekaligus. Pertama yang ditulisnya

adalah penafsiran mengenai Hadîts Arba’in (empat puluh Hadis karya al-Nawawi),

yang ditulis atas permintaan Sultanah Zâkiyat al-Dîn, karya ini disajikan untuk

orang-orang ‘awam dalam bidang agama bukan untuk orang-orang khawâs yaitu

orang-orang yang telah mendalami ilmu Tasawuf dan mengamalkannya. Hadîts

Arba’in Nawawi merupakan sebuah koleksi kecil tentang hadis yang menyangkut

57 Munandar‚ Perkembangan Hadis di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Abd Rauf al

Sinkili), dalam Jurnal Ihya al ‘Arabiyyah Vol. 4 no. 1, h.118. 58 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 235

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

46

kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslim, akan tetapi sangat

disayangkan karena menurut Azra karya ini tidak terdapat dalam bentuk cetakan.59

Karya keduanya adalah al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah yang mencakup koleksi hadis qudsi

yang mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan makhluk

dan ciptaannya seperti neraka dan surga serta tata cara yang patut bagi kaum muslim

untuk mendapatkan ridha Tuhan. al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah diterbitkan di Makkah

pada 1310 H/1892 M (edisi keempat atau kelima). Karya ini juga diterbitkan di

Penang pada 1369 H/1949 M dan masih digunakan sebagian kaum muslim di

Nusantara.60 Menurut Azra, upaya al-Sinkili dan al-Ranîri dalam menulis karya

hadis memberikan motivasi dan i’tibar bagi para Ulama Melayu-Nusantara di

kemudian hari untuk mengikuti alur mereka, sejak abad ke -19 karya semacam itu

menjadi sangat populer.

Setelah fase berikutnya, tepatnya pada awal abad ke-18 muncullah karya

milik ‘Abd Samad al-Pâlimbâni61 (1704–1789M) dengan menerjemahkan kitab

Lubâb Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Abû Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-

Ghazalî al-Ṯusî al-Syâf’î, dalam terjemahan tersebut ia juga menyertakan hadis-

hadis yang setema dalam pembahasan kitab tersebut.62

Metode penulisan yang digunakan pada masa awal rintisan di Indonesia,

cenderung menggunakan metode ijmâli, hal ini disebabkan karena masyarakat

Indonesia pada masa itu masih dalam tahap pengenalan dan pendalaman agama.

Sehingga dibutuhkan kajian yang singkat dan mudah dipahami bagi kaum awam.

Bahasa yang cenderung digunakan dalam mensyarah hadis ialah bahasa Melayu,

para ulama pada masa ini hendak memberikan pemahaman secara konkrit dan

mudah tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Indonesia

dengan tidak mengabaikan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masa itu.

59 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 260 60 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 261 61 Abd al-Shamad al-Palimbani merupakan ulama yang berpengaruh di Nusantara dalam

penyebaran Islam di Nusantara, ia juga banyak belajar kepada ulama -ulama yang isnad hadisnya

unggul, diantaranya adalah Muhammad Murad (W. 1791) yang terkenal dengan al-Muradi,

Muhammad bin Ahmad Al Jawhari al Mishri (W. 1772) seorang muhadis terkemuka di Mesir dan

Atha’Allâh bin Aẖmad al-Azhari al-Mashri al-Makki, lihat Azra, Jaringan Ulama., 323-324. 62 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 118

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

47

Namun, kajian penulisan syarah hadis mengalami kemandegan kurang lebih

setengah abad, sehingga kegiatan penulisan syarah hadis di Indonesia mengalami

pergerakan yang lambat dibanding kegiatan penulisan keilmuan lainnya.

2. Masa Pertengahan

Dampak yang dirasakan oleh umat islam Indonesia dengan terjalinnya

jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara ialah adanya kemajuan

pengembangan kajian islam di bumi Nusantara, khususnya Hadis. Pada abad ke-

19 Masehi para ulama Indonesia yang memperdalam ilmu agama mereka di

Makkah-Madinah, menjadi ulama yang diakui kefaqih-annya dalam kancah

internasional. Sebab selain mereka memiliki otoritas keilmuan dalam segala

bidang, mereka juga sangat produktif dalam membangun bangsa (nation building)

dalam dunia aksara (literacy), diantaranya Syaikh Nawawi al Bantani, Syaikh

Mahfuz al-Tirmasi, Kyai Ahmad Darat al-Samarangi, Kyai Rifai dari Kali Salak

dan dilanjutkan pada abad ke-20 Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani, Hasyim

‘Asy’ari dan beberapa ulama sekaliber lainnya.

Menurut Muh. Tasrif kajian hadis pada akhir abad 19 mulai marak dan

digeluti, hal ini disebabkan mulai dibentuknya kajian-kajian hadis dalam

kurikulum pendidikan, melingkupi pendidikan formal dan non-formal.63 Pada

abad ke-19 kegiatan penulisan syarah hadis diawali oleh Nawawi al-Bantani, ia

seorang ulama yang produktif dan menguasai keilmuan di berbagai bidang.

Tidak kurang dari 100 lebih karya yang ia hasilkan. Kitab-kitab yang ditulisnya

sebagian besar adalah kitab-kitab Syarah dari karya para ulama sebelumnya

yang populer namun dianggap sulit dipahami.64 Kitab Tanqiẖ al-Qaûl al- Hatsîts

fî Syarẖ Lubâb al-Hadîts merupakan magnum opus Nawawi al-Bantani dalam

bidang syarah hadis. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lubâb al-Hadîts

karya al-Hâfiẕ Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Raẖmân Ibn Abî Bakar al-Suyûṯî (119-948

H.). dalam kitabnya Nawawi al-Bantani menjelaskan maksud hadis disertai

63 Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran ,(tt: tp: tt), h. 17. 64 Mamat Slamet Burhanuddin‚ K.H. Nawawi Banten: Akar Tradisi Keintelektualan NU,

dalam Jurnal Miqot, Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010, h. 125

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

48

dengan makna perkata. Ia juga menambahkan hadis-hadis lain yang setema

dengan pokok pembahasan dalam keterangannya, tak jarang ia juga menjadikan

Alquran sebagai landasan argumen-argumennya dalam mensyarah hadis. Selain

itu, ia juga menambahkan jalur sanad hadis yang terdapat dalam kitab Lubâb al

Hadîts.

Awal abad 20, syarah hadis di Indonesia lebih cenderung mensyarah hadis

‘Arba’în, yaitu hadis yang dihimpun dalam satu kitab yang berjumlah 40 hadis atau

lebih. Berdasarkan penelitian Munirah dalam tesisnya tentang perkembangan

syarah hadis di Indonesia awal abad 20, syarah hadis di Indonesia pada awal abad

20 mengalami perkembangan yang signifikan hal ini ditandai maraknya penulisan

syarah hadis di Indonesia, seperti kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al-

Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi, kitab al-Tabyîn al-Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-

Nawâwî karya Kasyful Anwar. Menurutnya kajian syarah hadis pada awal abad 20

mengalami perkembangan dalam aspek metode, yaitu metode Tahlîlî. Penjelasan

yang komprehensif baik dari sisi sejarah, bahasa, penjelasan konteks ataupun

keilmuan lainnya, seperti yang tercermin dalam kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ

Minẖaẖ al- Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi.65

Pada abad ini, metode pemahaman hadis Nabi mulai menggunakan content

analysis yaitu teknik analisis yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui

usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan

sistematis. Metode ini bertujuan untuk menganalisa, mengidentifikasi serta

mengolah dokumen untuk memahami makna dan signifikansinya.66

3. Masa Kontemporer

Budaya masyarakat modern dan kemajuan teknologi memicu munculnya

konflik-konflik yang baru dan kompleks, sehingga membutuhkan solusi yang

sesuai konteks modernitas dari Alquran dan Hadis. Kajian hadis di Indonesia

65 Muniroh, ‚Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; Studi kitab al- Khil’ah

al- Fikriyyah Syarẖ} Minẖ}aẖ} al- Khairiyyah karya Mahfudz al- Tirmasi, kitab al-Tabyîn a l - Râwî

Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar‛, (Thesis: UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 172 66 Muniroh‚Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20, h. 128

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

49

pada akhir abad 20 semakin marak dengan lahirnya perguruan -perguruan tinggi

agama Islam. Terutama ketika dibuka program pascasarjana baik tingkat S2

maupun S3 diberbagai perguruan tinggi islam. Kajian pemikiran hadis di

perguruan tinggi juga cukup pesat, ditandai dengan karya-karya ilmiah yang

dihasilkan. Misalnya Hasbi ash-Shiddiqiey yang menjelaskan hadis Nabi dengan

menggunakan bahasa Indonesia dengan tujuan agar mudah dipahami oleh

seluruh masyarakat dari berbagai kalangan.67

Pada abad ini juga telah dibuka jurusan Tafsir Hadis yang konsern

terhadap bidang tafsir dan hadis. Namun, dekade terakhir pada tahun 2009 telah

dikeluarkan pembidangan keilmuan dalam KMA No. 36 tahun 2009, dimana

studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu Alquran dan Tafsir

serta Ilmu Hadis.68

Pendekatan yang digunakan oleh pensyarah hadis dalam memahami

hadis Nabi saw. juga mulai beragam, seperti pendekatan saintifik, sosiologi,

antropologi dan bidang keilmuan lainnya, dengan langkah tersebut diharapkan

dapat menemukan solusi serta pemahaman yang lebih luas terhadap suatu hadis.

Ciri khas syarah di era kontemporer ini adalah pada metode yang digunakan,

yaitu metode Tematik (Mauḏû’î). Metode mauḏû’î tersusun dalam tema-tema

tertentu (tematik) atau membahas topik-topik yang menjadi problematik dalam

masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari hasil kajian syarah

tersebut.69 Beberapa contoh kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara

lain; Akikah Menurut Tuntunan Hadis-Hadis Nabi karya Abidin Ja’far (1987),

Membentuk Pribadi Muslim Berdasarkan Otentisikasi Hadis Rasul karya Artani

Hasbi dan Zaitunah (1989), Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan

Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2005), Kerukunan Umat Beragama dalam

Perspektif Alquran dan Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2000).

67 Muniroh‚ Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; h. 69 68 Alfatih Suryadilaga, ‚Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya,

dalam Jurnal of Quran and Hadith Studies Vol. 4 No. 2 (2015), h. 217. 69 Alfatih., Metodologi Syarah., h. 64.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

50

Selain itu, metode yang sering digunakan oleh pensyarah hadis di era ini

adalah metode tematik klasik dengan cara mengumpulkan hadis dalam suatu

keilmuan tertentu. Pembahasannya lebih bersifat umum karena tidak fokus

terhadap satu masalah tertentu, melainkan fokus terhadap suatu keilmuan

tertentu. Contoh karya syarah hadis yang menggunakan metode ini antara lain;

Hadis Tarbawi karya Abu Bakar Muhammad, Hadis Tentang Peradilan Agama

karya Fatchur Rohman, Kitab Pengobatan Nabi: disarikan dari Hadis-hadis

Rasulullah saw. karya Ahmad Sunarto (1992).

Metode mauḏû’î pada masa ini mendominasi dibanding metode lainnya,

namun metode-metode lainnya masih dapat ditemukan, seperti kitab Misbâẖ al-

Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary yang masih

menggunakan metode muqârin (komparasi).

Berikut penulis lampirkan tabel berdasarkan hasil penelitian Alfatih

Suryadilaga, guna memudahkan pembaca untuk mengklasifikasikan ciri-ciri

metodologi syarah hadis pada periode klasik dan kontemporer:70

Ciri-ciri Metodologi Syarah Hadis Klasik dan Kontemporer

Klasik Kontemporer

Tema sesuai kitab induknya Tema kontekstual

Bentuk utuh sesuai kitabnya Bentuk tidak utuh/per tema

(sesuai kebutuhan)

Metode: Tahlîli, Ijmâli, Muqârin Metode: Tematik-Kontekstual

Pendekatan: Bahasa, Historis Pendekatan: Hermeneutik,

Fenomenologi

Hasil: the Original Meaning Hasil: Applicable Meaning

70 Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. xx

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

51

BAB III

KIYAI MUHAJIRIN AMSAR AL-DARI DAN KITAB MISBÂH AL-DZALÂM

SYARH BULÛGH AL-MARÂM

A. Biografi Kiyai Muhajirin Amsar

1. Latar Belakang Keluarga Kiyai Muhajirin Amsar

Kiyai Muhajirin merupakan ulama yang berpengaruh di Bekasi, meski ia adalah

pendatang. Nama lengkapnya adalah Muhammad Muhajirin Amsar al-Dârî, Ayahnya

memberikan nama Muhammad Muhajirin, sedangkan Amsar adalah nama kunyah yang

disandarkan kepada namanya. Adapun nama al-Dârî disandarkan kepada Madrasah

Darul ‘Ulum al-Diniyyah di Makkah, karena ia belajar dan lulus dari sana, yang

kemudian ia mengajar disana selama beberapa tahun.1

Muhajirin lahir di Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur pada 10 November

1924, dan wafat pada hari Jum’at 31 januari 2003 dimakamkan di pemakaman keluarga

Ma’had al-Nida al- Islami Bekasi. Ia juga dibesarkan di Kampung baru oleh kedua

orang tuanya, dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan. Nama Ayahnya Haji Amsar

dan Ibunya bernama Hj. Zuhriyah. Ayahnya adalah seorang pedagang kaya yang

menjadi pusat pemasokan telur di Jati Negara.2

Muhajirin memiliki seorang istri yang bernama Hj. Siti Hanah binti KH.

‘Abdur Rahman Sodri. Mertua Muhajirin adalah pendiri pondok pesantren ‘Ma’had

Bahagia’ di Bekasi, yang kini beralih menjadi Ma’had al-Nida al-Islami Bekasi.

Pernikahannya dengan Hj. Siti Hanah dikaruniai delapan putra-putri. Mereka adalah:

1) Hj. Faiqoh Muhajirin

2) H. Muhammad Ihsan Muhajirin

3) H. Ahmad Zufar Muhajirin (Almarhum)

4) Hj. Badi’ah Muhajirin

5) Hj. Farhah Muhajirin

1 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, (Kairo: Dâr

al-Hadîts, 2018), Jil. I, h. 7. 2 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 7

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

52

6) Hj. Rufaida Muhajirin

7) H. Dhiya Al Maqdisi Muhajirin

8) H. Muhammad Aiz Muhajirin.3

Dalam menjalani peran sebagai ulama dan orang tua, Kiyai Muhajirin

merupakan sosok yang bersahaja dan sangat sederhana dalam kehidupan sehari-

harinya. Ia tidak pernah menampakkan kemewahan, meski ia tumbuh besar dalam

lingkungan keluarga yang berkecukupan. Kiyai Muhajirin menjadi sosok ulama

bersahaja dengan gaya khas lokalnya yang sederhana, hal ini nampak dalam gaya

pakaiannya sehari-hari yang terkesan apa adanya.4

Ketika mendidik anak-anaknya, Kiyai Muhajirin lebih bersikap demokratis. Ia

memberikan kebebasan terhadap putra-putrianya untuk menentukan pilihan dalam

dunia pendidikan, sehingga mereka dapat mengembangkan minat dan bakatnya tanpa

intervensi dari orangtua. Sedangkan putri-putri Kiyai Muhajirin dididik dengan tegas,

mereka diharuskan memperdalam ilmu agama dan melanjutkan pendidikannya ke Majma’

al-Marhalah al-‘Ulya demi menjaga putri-putrinya dari pergaulan dan ancaman dunia

global.5

2. Latar Belakang Pendidikan Kiyai Muhajirin Amsar

Muhajirin Amsar tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang memiliki

penguasaan ilmu agama yang mendalam. Kakeknya dari jalur ibu seorang guru agama

di Madrasah Diniyyah. Ia mulai mengaji kepada guru-guru di sekitar kampungnya. Ia

belajar mengenal huruf hijaiyah dan membaca Alquran kepada gurunya Muallim Sairon.

Kemudian ia bergabung dengan majlis para ulama di daerah kawasan Jakarta-Banten.

Nama-nama guru Muhajirin di daerah Jakarta-Banten adalah:

1) Syaikh Juru Ashmat

3 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-

Islami Bekasi Timur, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 39. 4 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-

Islami Bekasi Timur, h. 40 5 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-

Islami Bekasi Timur, h. 41

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

53

2) H. Mukhayyar (Muhajirin belajar kepadanya selama enam tahun, guru

pertama yang mengajarkan dasar-dasar agama, seperti ilmu Nahwu, sarf,

fiqh, ilmu manṯiq, ilmu kalâm dan ilmu Bayân)

3) H. Ahmad (Muhajirin belajar kepadanya selama empat tahun, dan

belajar beberapa kitab, salah satunya kitab hadis Arba’în al ‘Usfurî)

4) KH. Hasbiyallah (Muhajirin berguru kepadanya selama tiga tahuan, dan ia

juga belajar berbagai keilmuan agama yang lebih tinggi tingkatannya

seperti Tasawwwuf, Balâghah, Tafsîr dan lain-lain.)

5) H. Anwar

6) Ahmad Mursyidi

7) H. Hasan Muntaha (Muhajirin belajar beberapa cabang keilmuan

kepadanya, salah satunya ‘ilmu musṯâlâẖ al Hadîts)

8) Syaikh Muhammad Thohir (Muhajirin belajar kepadanya selama

Sembilan tahun, ia juga menimba banyak cabang keilmuan kepada syaikh

muhammad Thohir, dalam bidang hadis ia mempelajari Saẖîẖ al-Bukhârî

dan Saẖîẖ Muslim)

9) Syaikh ‘Abdul Majid (Muhajirin juga banyak mempelajari berbagai

bidang keilmuan kepadanya, dalam bidang hadis ia mengaji kitab Saẖîẖ

al-Bukhârî dan Riyaḏ al-Sâlihîn)

10) Syaikh Ahmad ibn Muhammad

11) KH. Sholih Ma’mun Al Bantani

12) Syaikh ‘Abdul Majid Pakojan

13) Syaikh ‘Ali ibn ‘Abdur Rahman al-Habsyi.6

Setelah belajar kepada para ulama di kawasan Jakarta-Banten, ia merasa belum

memiliki keluasan ilmu dan kemudian ia belajar Qira’at Sab’ah kepada KH. Sholih

Ma’mun. Kiyai Muhajirin merupakan ulama yang sangat ahli dalam beberapa keilmuan,

salah satunya adalah ilmu falak. Ia belajar ilmu falak pertama kali kepada syaikh Ahmad

Ibn Muhammad. Karena merasa masih kurang puas ia memperdalam ilmu falaknya

6 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 8

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

54

kepada Syaikh Mansûr ibn ‘Abdul Hamîd al-Falakî yang merupakan guru syaikh Ahmad

ibn Muhammad, sehingga Kiyai Muhajirin mendapat gelar ahli falak pada masanya

karena kemahirannya terhadap ilmu falak melebihi ulama-ulama lainnya. Ia merupakan

salah satu ulama yang menentukan ru’yat al-hilâl, setiap datangnya awal bulan

khususnya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri (Syawwal) dan Dzulhijjah di

Indonesia.7

Muhajirin merasa bahwa yang ia dapatkan selama belajar di Indonesia belum

cukup sempurna untuk bekal hidupnya, kondisi Indonesia yang terjajah oleh Belanda

juga menjadikannya tidak leluasa untuk belajar, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke

Makkah pada Juni 1942 M dengan tujuan Haji sekaligus belajar di sana. Namun, ia tidak

jadi berangkat pada tahun tersebut, disebabkan banyaknya rintangan dan halangan dari

misionaris dari Belanda yang mengetahui niatnya tersebut.8

Muhajirin memiliki tekad dan niatnya yang kuat untuk belajar lebih dalam lagi

dan akhirnya ia berangkat melalui jalur laut pada Agustus 1947 M dan sampai di

Makkah pada September 1947 M dan ia memutuskan untuk menetap dan belajar di

Makkah selama beberapa tahun.9

Ketika Kiyai Muhajirin belajar di Makkah ia belajar kepada beberapa guru

terkemuka pada masa itu, berikut guru-guru Kiyai Muhajirin di Makkah:

1) Syaikh Muhammad Aẖîd sekaligus guru Syaikh ‘Aṯârid al Jâwî. (Muhajrin

mempelajari beberapa kitab kepadanya antara lain: Fatẖ al-Wahhâb, Abî Shujâ’,

Riyâḏ al-Sâliẖîn, Minhâj al-‘Âbidîn, ‘Umdah fî al-Manâsik).

2) Syaikh Hasan Muhammad al Mishâṯi (Muhajirin mempelajari kitab Saẖîẖ al-

Bukhârî dan Saẖîẖ Muslim)

3) Syaikh Zain Bawean (Ia mempelajari kitab Iẖyâ’ ‘ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî)

4) Syaikh Muhammad ‘Alî ibn Husain al Mâlikî.

5) Syaikh Mukhtâr Amfanân (ia belajar kitab Saẖîẖ al-Bukhârî dan al-Itqân fî

‘ulûm al-Qur’ân)

7 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 8 8 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 12 9 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 12

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

55

6) Syaikh Muhammad al-‘Arâbî al-Tabânî al-saṯaifî al-Jazâirî (Muhajirin belajar

berbagai bidang keilmuan, dalam bidang hadis ia mempelajari kitab Saẖîẖ al-

Bukhârî, Sunan Ibn Mâjah, al-Targhîb wa Tarhîb dan Riyâḏ al-Saliẖîn)

7) Sayyid ‘Alwî ‘Abbas al-Mâlikî.

8) Syaikh Ibrâhim Faṯânî.

9) Syaikh Muhammad Amîn al-Kutubî

10) Syaikh Ismâ’il Faṯânî.10

Pada bulan Juli 1950, Kiyai Muhajirin memutuskan untuk masuk di Madrasah

terkemuka di Makkah yaitu Dâr al-‘Ulûm dan yang menjadi mudir madrasah (kepala

Sekolah) pada saat itu adalah syaikh Ahmad Mansuri, sedangkan Syaikh Yasin Ibn Isa

al Fadani sebagai Naib di sana, dan Kiyai Muhajirin belajar di sana selama dua tahun.11

Pada bulan Agustus 1951 M, Kiyai Muhajirin menyelesaikan ujiannyanya di

Madrasah dengan nilai jayyid, ia menjadi murid tercepat dan termuda di madrasah

Darul Ulûm Makkah, yaitu hanya selama dua tahun. Setelah itu ia melanjutkan

belajarnya untuk memperdalam ilmu hadis kepada al-Musnid al-‘Âlam dari Indonesia,

yaitu Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani. Ia mempelajari berbagai kitab hadis yang meliputi

ilmu hadis, syarah hadis dan kitab-kitab hadis mu’tabar. Selain itu, Kiyai Muhajirin

mendapatkan sanad dari syaikh Yasin yang sampai kepada mukharij dari kitab-kitab

yang ia pelajari, antara lain: Muwaṯṯa’ Mâlik, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmiẕî,

Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Mâjah, Saẖîẖ Muslim dan Saẖîẖ al-Bukhârî. Semua kitab-

kitab ini hatam dengan sempurna di hadapan syaikh Yasin. Ia juga mendapat ijâzah dari

syaikh Yasin yang sampai kepada syaikh Muhammad ‘Alî yang terdapat dalam kitab

Maslak al-Jalî serta kitab maṯma’ al Wujdân yang sanadnya dari Syaikh ‘Umar Hamdân.

Setelah syaikh Yasin membaca kitab Manâhil al-Silsilah fî al-Aẖâdîts karya Syaikh

Muhammad ‘Abdul Baâqî, ia juga mengijazahkan kepada Muhajirin secara khusus dan

umum.12

Setelah banyak belajar dari syaikh Yasin, Kiyai Muhajirin diminta orang tuanya

10 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 14 11 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 15 12 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 15

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

56

untuk pulang ke Tanah Air , sehingga ia pulang dan sampai di Indonesia pada 6 Agustus

tahun 1955 M.

3. Karya-Karya Kiyai Muhajirin Amsar

Kiyai Muhajirin merupakan ulama’ yang memiliki keilmuan yang sangat luas dan

produktif. Ia mengarang banyak kitab dalam bahasa arab yang tersebar di Jakarta dan

sekitarnya hingga sekarang. Kiyai Muhajirin melihat santri-santrinya merasa kesulitan

dalam mempelajari dan memahami kitab ulama klasik.

Berdasarkan fenomena tersebut, Kiyai Muhajirin menulis beberapa kitab yang

mudah dipelajari oleh santrinya di berbagai tingkatan dan berbagai bidang keilmuan.

Berikut karya-karyanya yang telah tercetak :

- Bidang Nahwu dan Balaghah:

• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Ûlâ

• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Tsâniyah

• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Tsâlitsah

• Al-Maẖfûẕât

• Al-Qawâ’id al-Naẖwiyah al-Ûlâ

• Al-Qawâ’id al-Naẖwiyah al-Tsâniyah

• Al-Bayân

• Mukhtârât al-Balâghah

- Bidang Tauhid:

• Mulkhas al-Ta’lîqât ‘alâ Matn al-Jauhirah

• Syarẖ al-Ta’lîqât ‘alâ Matn al-Jauhirah

- Bidang Ilmu Ushul Fiqh

• Taisîr al-Wusûl fî ‘ilm al-Wusûl

• îḏâẖ al-Maurûd

• Istikhrâj al-Furû’ ‘alâ al-Usûl

• Al-Khilâfiyât

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

57

• Al-Qawâid al-Khamsu al-Bahiyah

• Takhrîj al-Furû ‘alâ al-Usûl

• Ma’rifat Ṯuruqu al-Ijtihâd

- Bidang ilmu Musṯalaẖ Hadîts dan Hadis:

• Al-Ta’lîqât ‘alâ matn al-Baiqûnî

• Al Istidzkâr

• Misbâẖ al-Ẕalâm fî Syarẖ Bulûgh al-Marâm

• Syarẖ Musnad Imâm al-Syâfi’î.

- Bidang Ilmu Mantiq:

• Al-Madârik fî al-Manṯiq

• Al-Nahju al-Maṯlûb ilâ al-Manṯîq al-Marg}ûb

• Al-Qaûl al-Fâiḏ fî ‘Ilm al-Farâiḏ

- Bidang Akidah dan Akhlak:

• Mir’ât al-Muslimîn

• Al-Ta’aruf fî al-Tasawwuf

- Bidang Sejarah:

• Târîkh Muẖammad Rasulullah SAW wa al-Khulafâ’ al Râsyidûn

• Al-Muntakhab min Târîkh Daulah Bani Umayyah

• Târîkh al-Adab al ‘Arâbiy

• Al-Tanwîr fî Usûl al-Tafsîr

• Taṯbîq al-Ayât bi al-ẖadîts

• Al-Siqâyah al-Mar’iyyah fî Al-Baẖts wa al-Munâẕarah

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

58

• Qar’u al-Sam’i fî al-Waḏ’i.13

B. Deskripsi Kitab Misbâh al-Ẕalâm

Kitab Misbâh al-Ẕalâm fî Syarẖ Bulûgh al-Marâm merupakan kitab syarah hadis

yang mensyarahi hadis-hadis Aẖkâm yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Kitab

syarah hadis ini disusun sesuai dengan kitab hadis yang terdapat dalam kitab induknya,

yaitu Bulûgh al-Marâm. Kiyai Muhajirin memiliki sistematika yang ia tonjolkan dalam

menulis kitab, serta ia juga memiliki alasan kuat dalam memilih kitab Bulûgh al-Marâm

sebagai kitab induknya dalam mensyarahi hadis. Hal tersebut akan dijelaskan dalam bab

ini secara deskriptif.

1. Latar Belakang Penulisan Kitab

Kiyai Muhajirin merupakan ulama pada akhir abad ke-20 yang memiliki

kepakaran di berbagai bidang keilmuan, diantara keilmuan yang menonjol secara khusus

ialah bidang Hadis. Pernyataan ini disetujui oleh anak bungsunya H. Aizzullah. Hal ini

dikarenakan Kiyai Muhajirin telah belajar di Makkah dalam waktu yang relatif panjang

bersama Syekh Yasin Ibn Isa al-Fadani di Dâr ‘Ulûm Makkah. Ia bahkan menjadi murid

kesayangan dari Syaikh Yasin, yaitu musnid al-dunya pada masanya.14 Kiyai Muhajirin

mensyarah kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî secara keseluruhan.

Kitab ini terdiri dari empat jilid dan mencapai 1. 541 halaman.

Hal yang melatar belakangi penulisan kitab ini adalah karena munculnya rasa

kagum Kiyai Muhajirin terhadap kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar. Baginya, kitab

Bulûgh al-Marâm merupakan kitab hadis Ahkam yang sangat fenomenal. Kiyai

Muhajirin juga menyatakan bahwa para ulama setelah Ibn Hajar menjadikan kitab Bulûgh

al-Marâm sebagai rujukan. Selain itu para pendidik di berbagai negara termasuk

Indonesia menjadikan kitab Bulûgh al-Marâm sebagai bahan ajar mereka. Bagi Kiyai

Muhajirin, kitab Bulûgh al-Marâm lebih fenomenal dibanding kitab-kitab mu’tabar

13 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 30 14 Jawiah Dzakir dan Ahmad Levi‚ “Ketokohan Syekh Muhajirin Amsar Ad-Dary Sebagai

Ilmuwan Hadis Nusantara”, dalam Jurnal Prosiding Nadhwah Ulama Nusantara, Vol. IV, 5-26 November

2016, h. 234.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

59

seperti sunan dan jawâmi’ lainnya. Madrasah, Pesantren dan perguruan tinggi menjadikan

kitab Bulûgh al-Marâm sebagai rujukan dalam mencari hadis-hadis ahkam dalam setiap

generasi dan berbagai madzab, Bulûgh al-Marâm diterima dalam berbagai perbedaan

ideologi. Berdasarkan hal tersebut, Kiyai Muhajirin berkeyakinan bahwa kitab Bulûgh al-

Marâm merupakan sebuah karya besar yang lahir dari ulama besar Ibn Hajar al-‘Asqalânî.

Ia juga berkeyakinan bahwa syarahnya terhadap Bulûgh al-Marâm dapat memberikan

kemudahan kepada seluruh peserta didik yang mempelajari dan memahami hadis yang

terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm.15 Selain itu, Kiyai Muhajirin juga menyatakan

bahwa karyanya ini telah mendapat restu dan dukungan dari para gurunya di madrasah

Dâr al-‘Ulûm, Masjid al- Haram dan para gurunya di Masjid Madinah.

2. Sistematika Penulisan Kitab

Secara umum, sistematika penulisan dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm mengikuti

sistematika yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. dalam syarahnya, Kiyai

Muhajirin mencantumkan hadis dari kitab Bulûgh al-Marâm dengan memberikan tanda

huruf (ص ) yang berarti musannif pada awal kalimat dan memberikan tanda huruf (ش)

yang berarti syarah pada kalimat pertama dalam syarahnya.

Dalam setiap kitab, ia menjelaskan makna kebahasaan dengan tujuan memperoleh

pemahaman yang komprehensif, baik lafaz tersebut berupa judul bab ataupun hadis itu

sendiri. Namun, penjelasan kebahasaan lebih bersifat interpretatif bukan sebatas

mengungkap bentuk kalimatnya (morfologi dan filologi). Tidak jarang, Muhajirin

menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai penguat syarahnya dalam konteks-konteks

tertentu.

Langkah selanjutnya ia menuliskan kembali hadis yang terdapat dalam kitab

induknya, dan menjelaskan asbâb al-wurûd-nya jika ada. Ia menafsirkan hadis dengan

bentuk bi al-ma’tsûr, karena menafsirkan hadis dengan hadis lainnya dan mensyarahi

hadis dengan Ayat Alquran yang memiliki relasi dengan hadis tersebut.

Kemudian ia mengungkapkan pendapat para ulama madzab fikih seperti Abu

15 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 21

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

60

Hanîfah, Imam al-Syâfi’î, Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal terkait pemahaman

mereka dalam hadis ahkam tersebut. Namun, ia tidak memberikan sintesis akhir dalam

setia hadis yang ia syarahi. ia hanya menutupnya dengan pernyataan ulama-ulama ahli

fikih dan membiarkannya tanpa ia tambahkan penjelasan beliau terhadap masing-masing

pendapat mereka.

Sistematika di atas sebenarnya tidak dijalankannya secara konsisten dalam

masing-masing syarah hadisnya. Namun, secara umum ia menyusun syarah hadisnya

dengan sistematika tersebut. Adapun untuk memudahkan pembaca dalam memahami

sistematika yang terdapat dalam kitab Misbâh al-Ẕalâm, berikut tabel sistematika dari juz

1 -4 kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm:

No Juz Kitab Bab

1

I

Kitâb al-Ṯahârah

Bâb al-Miyâh

2 Bâb al-Âniyah

3 Bâb Izâlah al-Najâsah wa Bayânuha

4 Bâb al-Wuḏû’

5 Bâb al-Masẖu ‘alâ al-Khuffain

6 Bâb Nawâqiḏ ‘alâ al-Wuḏû’

7 Bâb âdâb Qaḏâ’ al-ẖajât

8 Bâb al-Ghuslu wa ẖukmu al-Junub

9 Bâb al-Tayammum

10 Bâb al-ẖaiḏ

11

Kitâb al-Salât

Bâb al-Mawâqît

12 Bâb al-Adzân

13 Bâb Syuruṯ al-Salât

14 Bâb Satrât al Musallî

15 Bâb al ẖatstsu ‘alâ al-Khusyû’

16 Bâb Sifat al Salât

17 Bâb Sujûd al-Sahwi Wa Ghairuhu

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

61

18 Bâb al-Salât al-Taṯawwu’

19 Bâb Salât al-Jamâ’ah wa al-Imâmah

20 Bâb Salât al-Musâfir wa al-Marîḏ

21 Bâb Salât al-Jum’âh

22 Bâb Salât al-Khaûf

23 Bâb Salât al-Kusûf

24 Bâb Salât al-Istisqâ’

25 Bâb Libâs

26 Kitâb al-Janâiz

27 Kitâb al-Zakât

28 Kitâb Abî Bakr ilâ al-

Bahrâin fîhi Bayân

Nisâb al-An’âm

Bâb Sadâqah al-Fiṯr

29 Bâb Sadâqah al-Taṯawwu’

30 II Bâb Qism al-Sadaqât

31 Kitâb al-Siyâm

Bâb al-Saum al-Taṯawwu’ wa mâ

Nahâ ‘anhu

32 Bâb al-I’tikâf wa Qiyâmu Ramaḏân

33

Kitâb al-ẖajj

Bâb Bayân Faḏluhu wa Man Faraḏa

‘alaihi

34 Bâb al-Mawâqît

35 Bâb Wujûh al-Iẖrâm

36 Bâb al-Iẖrâm wa mâ Yata’allaqu bihi

37 Bâb Sifat al-ẖajj wa Dukhul Makkah

38 Bâb al-Fawât wa al-Iẖsâr

39 Kitâb al-Buyû’ Bâb Syurûtuhu wa mâ Nahâ ‘Anhu

40 Bâb al-Khiyâr

41 Bâb al-Ribâ’

42 Bâb al-Rukhsah fî ‘Arâyâ wa Bai’u

al-Usûl wa al-Tsimâr

43 Bâb al-Taflîs wa al-ẖijr

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

62

44 III

Bâb al-Sulhu

45 Bâb al-Huwâlah wa al-ḏammân

46 Bâb al-Syirkah wa al-Wakâlah

47 Bâb al-Iqrâr

48 Bâb al-‘âriyah

49 Bâb al-Ghâsab

50 Bâb al-Syuf’ah

51 Bâb al-Qirâḏ

52 Bâb al-Musâqah wa al-Ijâzah

53 Bâb Iẖyâ’ al-Maut

54 Bâb al-Waqaf

55 Bâb al-Hibah wa al-‘Umrâ wa al-

‘Uqbâ

56 Bâb Luqaṯah

57 Bâb al-Farâiḏ

58 Bâb al-Wasâyâ

59 Bâb al-Wadî’ah

60 Kitâb al-Nikâẖ Bâb al-Kafâ’ah wa al-Khiyâr

61 Bâb ‘Isyrati al-Nisâ’

62 Bâb al-Sidâq

63 Bâb al-Walîmah

64 Bâb al-Qasmi

65 Bâb al-Khul’i

66 Bâb al-Ṯalâq

67 Bâb al-Ilâ’ wa al-dzihâr wa al-

Kaffârah

68 Bâb al-Li’an

69 Bâb al-Iddah wa al-Iẖdâd

70 Bâb al-Raḏâ’

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

63

71 Bâb al-Nafaqah

72 Bâb al-ẖaḏânah

73 IV

Kitâb al-Jinâyât Bâb al-Diyât

74 Bâb Qitâlu Ahlu al-Baghy

75 Bâb Qitâl al-Jânî wa Qatlu al-Murtad

76 Kitâb al-ẖudûd Bâb ẖad al-Qadzaf

77 Bâb ẖad al-Sirqah

78 Bâb ẖad al-Syârib

79 Bâb al-Ta’zîr wa ẖukm al-Sail

80 Kitâb al-Jihâd Bâb al-Jizyah wa al-Hudnah

81 Bâb al-Sabq wa al-Ramyu

82 Kitâb al-Aṯ’imah Bâb al-Saidi wa al-Dzabâiẖ

83 Bâb al-Aḏaẖiyyi

84 Bâb al-‘Aqîqah

85 Kitâb al-Aiman wa al-

Nudzûr

86 Kitâb al-Qaḏâ’ Bâb al-Syahâdât

87 Bâb al-Da’âwî wa al-Bayyinât

88 Kitâb al-Itqi Bâb al-Mudabbir wa al-Mukâtib wa

Ummi al-Walad

89 Kitâb al-Jâmi’ Bâb al-Adab

90 Bâb al-Birri wa al-Sillah

91 Bâb al-Zuhdi wa al-Wara’

92 Bâb al-Tarẖîb min Musâwî al-Akhlâq

93 Bâb al-Targhîb min Makârim al-

Akhlâq

94 Bâb al-Dzikr wa al-Du’â

Tabel di atas merupakan sistematika yang digunakan oleh untuk memisahkan

antara juz satu dengan lainnya. Muhajirin tidak terfokus untuk menyelesaikan

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

64

pembahasan kitab dalam jilid sebelumnya. Ia tidak memfokuskan terhadap

sistematisnya penyusunan kitab, karena ia fokus terhadap metode pemahaman hadis agar

mudah dipahami.

3. Metode Penulisan Kitab

Metode penulisan yang dilakukan oleh Kiyai Muhajirin dalam menulis kitabnya

Misbâh al-Ẕalâm menempuh beberapa langkah sebagai berikut:

a. Menjelaskan hukum hadis

Dalam beberapa hadis yang ditulis, Kiyai Muhajirin biasanya mengemukakan

hukum hadis secara umum yang ditulisnya dengan ringkas. Ia juga menjelaskan status

hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama dan ahli fikih. Seperti adanya ‘illat, kedudukan

hadis sebagai hadis marfu’ atau mauqûf dan lainnya. Berikut contoh syarah hadis yang

menjelaskan hukum hadis:

Pada hadis ini, sanad yang riwayatkan imam Muslim munqaṯi’ sedangkan sanad

hadis yang diriwayatkan al- Daruquṯnî mausûl. Dalam hal ini Muhajirin

mengaplikasikan kaidah ilmu hadis al-jarẖ muqaddam ‘alâ ta’dîl.

b. Menuliskan hadis tidak disertai sanad secara lengkap

Dari seluruh hadis yang ia tulis, ia tidak mencantumkan sanad secara lengkap

dalam hadisnya. Ia menuliskan hadis dengan mencantumkan rawi pertama yaitu

golongan sahabat. Namun, tak jarang ia menyebutkan lafadz-lafadz hadis yang

diriwayatkan oleh mukharrij lainnya, jika terdapat perbedaan lafadz.

c. Mencantumkan Alquran dan hadis yang setema.

Dalam syarah hadisnya, Kiyai Muhajirin kerap kali mencamtumkan ayat- ayat

yang setema dengan hadis yang ia syarahi. Terkadang ayat tersebut berfungsi sebagai

klarifikasi, terkadang sebagai ayat yang dijelaskan oleh hadis dan bahkan ayat tersebut

sebagai penjelas serta penguat hadis tersebut. Tak jarang, ia juga mencantumkan hadis

untuk mengungkapkan asbâb al-wurûd hadis yang disyarahi. Selain itu Kiyai Muhajirin

juga mencantumkan hadis-hadis yang setema dan mengkompromikan beberapa hadis

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

65

kontradiktif, meski hal tersebut terhitung sangat minim.

d. Mencantumkan pendapat ulama ahli fikih.

Muhaajirin senantiasa mencantumkan pendapat ulama fikih ketika menganalisis

hadis terkait hukum. Seperti Imam al-Syafi’î, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad

bin Hanbal, Imam Nawâwî, al-Qurṯûbî, dan ulama ahli fikih lainnya. Namun ia tidak

memberikan argumen secara khusus untuk mendukung salah satu pendapat dalam

perdebatan tersebut. Hal inilah yang menjadikan kitab ini memiliki karakteristik yang

khusus dalam metode penulisannya. Metode semacam ini sangat jarang digunakan oleh

ulama pensyarah hadis di Nusantara.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

67

BAB IV

ANALISIS TERHADAP METODE SYARAH HADISKITAB MISBÂH AL-

ẔALAM SYARH BULÛGH AL-MARÂM

A. Metode Syarah Hadis Kitab Misbâh al-Ẕalam Syarh Bulûgh al-Marâm

Istilah pemahaman dalam hadis meliputi hal: menjelaskan maksud, arti,

kandungan, atau pesan hadis dan disiplin ilmu lain.1 Dalam menyusun sebuah kitab

syarah hadis, seseorang penyusun atau pensyarah (syarih) tentu menggunakan

metode, bentuk atau corak dalam melakukan pensyarahan.Secara umum, para

ulama menggunakan 3 metode dalam melakukan penyusunan syarah hadis, yaitu

metode tahlilî (analitis), metode ijmâlî (global), dan metode muqârin

(perbandingan). Dengan melihat karakter yang terdapat pada ketiga metode

tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Berangkat dari ketiga metode diatas, maka para ulama hadis yang menyusun

syarah akan mengacu pada 2 bentuk syarah hadis, yakni bentuk syarah bi al-ma’tsur

dan syarh bi al-ra’yi. Sebagai contoh, syarh yang mengikuti aliran analitis, akan

menggunakan metode analisis dalam alur penyusunan syarhnya. Jika syarh analisis

ini memilih bentuk syarh bi al-ma’syur, maka syarh-nya tetap pada analisis yang

bersumber dari riwayat. Artinya, pensyarhan akan berjalan terus sepanjang riwayat

masih dijumpai. Namun, jika syarh analisis ini memilih bentuk syarh bi al-ra’yi,

maka analisis selalu berjalan meski tidak ada riwayat yang menjelaskan, karena

riwayat dalam syarh bi al-ra’yi hanya memiliki fungsi sebagai legitimasi bagi suatu

penjelasan, bukan sebagai titik tolak atau subyek, berbeda dengan bentuk syarh bi

al-ma’tsur yang meletakkan riwayat sebagai subjek pensyarhan.

Merujuk kepada karya-karya para ulama hadis dalam menyusun karya

syarh-nya, sebagaimana Kiyai Muhajirin yang telah mencurahkan segala

perhatianya dalam penulisan syarh hadisnya yang terangkum dalam kitab Misbâh

1 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta : Center of

Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001)

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

68

al-Ẕalâm, dapat disimpulkan bahwa pensyarahan kitab-kitab hadis tidaklah bebas

nilai, maksud dan tujuan. Setidaknya sudah berderet goresan buah pemikiran dan

ijtihad dalam pensyarahan hadis yang dilakukan ulama baik era klasik hingga

kontemporer yang berupaya untuk menjelaskan makna hadis ditinjau dari berbagai

sudut, kecenderungan membahas secara luas dan memberi penjelasan berbagai kata

yang sulit dipahami sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab gharib hadis, atau

lainya.

Dari hasil pembacaan, jumlah hadis secara keseluruhan dalam kitab Bulûgh

al-Marâm yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqalânî terdapat 1596 (seribu lima ratus

sembilan puluh enam) hadis. Pembahasan dari Bab Bersuci (ṯaharah) sampai Bab

Perbudakan (Itq) bahkan sampai pada pembahasan terkait Bab Adab (bersifat

moralistik). Disyarahi oleh Kiyai Muhajirin Amsar menjadi 4 bagian, Jilid pertama

dari hadis no.1 sampai 525, jilid kedua dari hadis no.526 sampai 866, jilid ketiga

dari hadis no.867 sampai 1186, dan jilid terakhir dari hadis nomor 1187 sampai

dengan 1596. Dari sekian hadis yang disyarahi oleh Kiyai Muhajirin, selanjutnya

penulis menelusuri atas metode syarah hadis yang tercantum dalam kitab Misbâh

al-Ẕalâmdan dalam penelusuran tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Syarah

Misbâh al-Ẕalâm menggunakan metode Muqârin.

Penggunaan metode muqârin ini, sebenarnya telah diutarakan sendiri oleh

Kiyai Muhajirindalam muqadimah syarahnya:2

أصدقاء لطلب إجابة املسكيات ت منالنفحاتصرات م ختقييدات املرام قيدلبلوغ ان أحببت اليتتواترلديهذهاالمةاملرحومةومبتنوعاتة ن الس ب ت ك شروح ابضوء مستضيئ الوفيات

املعتمدهلالكتبالفقهيةاملعتربةوأصوا ةوبتقريرمشاخييالفخاميفصفوفدارالعلوماالدينيةوحظوةاملسجداحلرامومسجدمدينةخرياألانم،معانينيفوضعهذهالتقيدات

2Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I,h. 21

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

69

اعدواملعاونيفحتقيقهذهاملهمةمشغولالبالبنيإرضاءاألصلوتربيةالفرع،وعدممس .3الصعبةوقلةالكتباليتحتتاجاليهااملراجعة

“Saya senang untuk memberikan taqyid (pengikat/penjelas) pada kitab

Bulûgh al-Marâm, dengan ringkas dari hembusan minyak kasturi, sebagai

jawaban atas permintaan teman-teman yang mencangkup sinar dari cahaya

beberapa syarah kitab-kitab hadis yang mutawatir sampai terhadap umat

yang terhormat ini, dan dengan berbagai macam kitab-kitab fikih yang

mu’tabar dan juga ushul-ushul yang mu’tamad, dan juga keterangan dari

para syaikh-syaikh saya di sekolah Dâr al-Ulûm al-Diniyah, dan di Masjid

al-Haram, juga di Madinah al-Munawarah. Beserta saya mengarang ini

bersamaan dengan kesibukan mencari ridha para sesepuh (orang tua) juga

mendidik para generasi muda, tidak ada yang membantu dan menolong

untuk mentahqiq (meneliti) terhadap perkara yang sulit ini, juga sedikitnya

kitab-kitab yang dibutuhkan untuk bahan referensi.”

Pernyataan diatas, telah menyebutkan secara eksplisit terkait tujuan dari

penulisan kitab Misbâh al-Ẕalâm, serta metode yang digunakan, yaitu dengan

menggunakan metode muqarin dengan memberikan ‘taqyidat’ (semacam pengikat

atau batasan-batasan pembahasan dalam hadis tersebut) terhadap hadis yang

terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Dengan cara memberikan keterangan dari

beberapa kitab hadis lain, dan beberapa kitab fikih yang mu’tabar (yang sering

dipakai dan dianggap lebih mendekati kebenaran), juga beberapa ushul yang

kredibel. Ditambah lagi dengan keterangan-keterangan yang diambil dari guru-guru

kiyai Muhajirin di Makah dan Madinah.

Akan tetapi, sesuai dengan ciri khas yang ada pada metode muqârin, kiyai

Muhajirin mengakui bahwa metode pensyarahan yang dia pakai cukup sulit, karena

itu tidak layak untuk dijadikan kitab bagi pemula. Bahkan ia juga menginstilahkan

“Muhimmah Su’bah” (perkara yang sulit).4Dan pada akhirnya, kitab ini jarang

dikaji di pesantren-pesantren lain, kecuali di al-Nida, tempat ia mengajar.

Walaupun secara garis besar metode yang digunakan oleh kiyai Muhajirin

dalam kitabnya menggunakan metode Muqârin. Namun, ia juga tidak menafikan

3Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I,h. 21 4Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I.

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

70

pendekatan yang lain, yang merupakan bagian dari metode Tahlîli dengan

menjelaskan hadis dari aspek kebahasaan serta membandingkan dengan riwayat

dan pendapat ulama lain. Hanya saja, penggunakan metode Tahlîli ini sangat minim

sekali. Contoh syarh hadis tersebut dengan metode ini, bisa dilihat pada

pembahasan berikutnya pada bab ini.

1. Metode Syarah Muqârin

Alfatih Suryadilaga dalam bukunya Metode Syarah Hadis dengan mengutip

pendapat Nizar Ali menjelaskan bahwa yang dimaksud metode syarah hadis

Muqârin adalah syarah hadis yang menggunakan dua metode berikut: (1)

membandingkan hadis yang memiliki redaksi sama atau mirip dalam kasus yang

sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2)

membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mengomentari hadis. 5

Lebih lanjut Nizar Ali menyatakan ada 4 karakteristik syarah hadis yang

menggunakan metode muqârin:

1) Membandingkan analisis redaksi, dan perbandingan para periwayat

kandungan makna dari setiap hadis yang dibandingkan.

2) Membahas perbandingan berbagai hal yang berhubungan dengan makna

hadis tertentu.

3) Membandingkan pendapat para pensyarah hadis yang mencangkup seluruh

aspek-aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik menyangkut

kandungan makna atau perbandingan lafadz dan korelasi hadis satu dengan

hadis lainya.

4) Metode ini berorentasi untuk memberikan pemahaman yang luas dan

komprehensif.6

Berikut Contoh hadis yang menggunakan metode muqârin dalamMisbâh al-

Ẕalâm:

5Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. 48 6Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h.48

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

71

وان صفخ رةب نخت ب سخ ها-وعنخ عن خ يالل عليخه وسل م-أن رس ولالل -رض قال:-صل ىالل ذكره ف لخي ت وض أخ» مس ب ان،وقالالخب خار ي :«منخ وابخن ح خم ذ ي سة ،وصح حه الت مخ رجه الخ أخخ

هذاالخباب ءيف .ه وأصح شيخDari Busrah binti Safwanra. sesungguhnya Rasulullah saw.bersabda:

“barang siapa yang memegang kemaluannya sendiri, maka hendaknya

berwudhu”. Hadis dikeluarkan oleh Imam 5, disahihkan oleh Imam al-

Tirmîdzî dan Imam Ibn Hibban, dan Imam al-Bukhâri berkata: hadis

tersebut merupakan yang paling sahih pada bab ini.”

ش:قوله:فليتوضأ...اخل،استدلالشافعيومنوافقهأبناألمرهناللوجوب،فدلعليانمنمسالذكرانقضالوضوء،وبهقالاألوزاعي،وقالمجاعةمنالشافعيةانحديث

7بسرةانسخحلديثطلق.S (Syarah) : pada kata “maka berwudhulah..,” Imam al-Syâfi’î dan yang

menyetujuinya berargumen bahwa kata perintah tersebut menunjukan

kewajiban. Yang berarti, barang siapa yang menyentuh kelaminnya sendiri,

wudhunya batal. Dan begitu juga pendapat Imam al-Auzâ’î. Sebagian

komunitas dari madzhab Syafi’iyah berkata, bahwa hadis Busrah(sebutan

untuk hadis diatas) itu merupakan Nasîkh (pengganti) dari hadis Thalaq.

ومحلاحلنفيةاناألمرهنالإلستحبابأوانمسالذكرعندالبولمتسكاعليالغالب،وعليكلفإناإلحتمالساقطلإلستدالل،قاليفاملدونةالكربى:قالمالك:الينقضوضوءمنمسشرجاوالرفغاوالشيئامماهنالكاالمنمسالذكر،وقالامحد:الينقض

كقابضاللحية،وأشارايلقبضدا،الوضوءاالمبسهقاص كانمسه اذا ورويعنامحدأيضا 8حليته.

Sedangkan dalam mazhab Hanafiyah memberikan ihtimal (probabilitas)

bahwa kata perintah diatas mempunyai arti anjuran, karena rata-rata orang

memegang kelaminnya ketika kencing. Dus, ihtimal gugur dengan adanya

istidlal. Dalam kitab Mudawanah Kubrâ, Imam Malik berpendapat

bahwa:Tidak membatalkan wudhu, orang yang menyentuh Syarj (dibawah

kemaluan), Rafgh (lempitan paha/ selangkangan), dan sesuatu yang di

sekitarnya, kecuali menyentuh kelamin. Imam Ahmad berkata: Tidak

membatalkan wudhu jika menyentuh kelaminnya tanpa disengaja.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad juga, ketika menyentuhnya seperti

7Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I,

h. 74 8Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I,

h. 75

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

72

memegang jenggot, dan beliau mengisyarahkan dengan memegang

jenggotnya sendiri.

كانلفظالذكرممااضيفاليهالضمريفاالضافة قالشيخناحممدايسنيحفظههللا:ملاكاناو كانذكرهاوذكرغريهوصغريا كلذكرسواء امارةللعمومفينقضوضوءمنمسكاناوميتا،وقيسابلذكرالدبروقبلاملرأة،وهذاقول كبريا،متصالكاناومنفصال،حياالشافعيوامحدوروايةعنه،قاليفاملدونةالكربى،قالمالكيفقبلاملرأة:انهالينقض،قالالشافعيومالكومنوافقهما:الينقضمسالذكراالببطنالكفبداللةقولهصلي

9.هللاعليهوسلم:اذاافضىاحدكمبيدهليسبينهماستةفليتوضأSyaikh Muhammad Yasin al-Fadani berkata : Jika lafadz ‘dzakar’ (kelamin)

disandarkan terhadap ḏamir (kata penghubung), maka iḏâfah (penyandaran)

tersebut alamat bagi keumuman lafadz. Maka, batallah wudhunya orang

yang menyentuh kelaminnya sendiri ataupun orang lain, kecil ataupun

besar, sambung ataupun sudah terpisah, baik dzakarnya orang hidup

ataupun sudah meninggal. Dan di-qiyas-kan dengan dzakar; farjinya

perempuan. Ini merupakan pendapat Imam al-Syâfi’î, Imam Ahmad dan

riwayat darinya. Dalam Mudawanah Kubra, Imam Malik berpendapat

terkait menyentuh farjinya perempuan: itu tidak membatalkan wudhu.

Imam al-Syâfi’î, Imam Malik, dan yang sependapat dengan keduanya juga

berkata: tidak membatalkan wudhu orang yang menyentuh kelaminnya,

kecuali dengan bagian dalamnya telapak tangan, dengan dalil sabda

Rasulullah saw.jika menyentuh kalian semua dengan tangannya, tanpa ada

penghalang antar keduanya, maka berwudhulah.

دليل ستة وقوله:ليسبينهما فاإلفضاءاليكوناالببطنالكفوبطونأصابعاليدين،كان بدونحائل،فاذاحالبينهماشيءولورقيقاملينقض،للشافعيانالنقضامنااذا

وقالامحد:ينقضالوضوءاذامسالذكربذراعيه،الهنمامناليد.

فاحلديثإشارةايلاناحلديثطلقمنسوخحبديثبسرةضدماعليهاحلنفية،وانمس 10الذكرانقضللوضوءوهوأوىلابألخدمنغريه.

Kata ifḏâ’ tidak mungkin kecuali dengan telapak tangan dan dalamnya jari-

jemari. Kata ‘laisa bainahuma sitrah’ merupakan dalil bagi Imam al-Syâfi’î

bahwa yang membatalkan itu ketika tanpa adanya penghalang, jika ada

penghalang antara keduanya, walaupun tipis, tidak membatalkan wudhu.

9Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I,

h. 75 10Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Jilid

I, h. 75

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

73

Imam Ahmad berkata : batal wudhu seseorang ketika menyentuh

kelaminnya dengan ‘dzirâ’aihi’ (kedua lengan tangannya), karena itu

bagian dari tangan.

Dus, hadis diatas merupakan isyarat bahwa hadis ṯalaq sudah di-

Mansukhdengan hadis Busrah yang bertolak belakang dengan pendapat

madzhab Hanafi, walaupun menyentuh kelamin membatalkan wudhu, dan

itu merupakan pendapat yang lebih utama untuk diambil daripada yang lain.

Dari pemaparan Kiyai Muhajirin di atas, dapat dilihat bahwa beliau telah

melakukan langkah-langkah metodologis yang disebut dengan metode muqârin, di

mana beliau membandingkan hadis Busrah yang telah me-nasikh hadis ṯalaq yang

memiliki makna yang kontradiktif dengan hadis tersebut.11 Kemudian

membandingkan berbagai pendapat ulama pada hadis beliau menampilkan

pendapat Imam al-Syâfi’î, Aẖmad bin Hanbal, Imam Malik, dan Syekh Yasin

dalam mengomentari hadis.

Sedangkan, diakhir syarah dijelaskan pendapat yang lebih utama (awla)

adalah menyentuh dzakar itu merupakan hal yang membatalkan wudhu. Karena

pendapat madzhab Hanafi tidak batal, dan hanya disunahkan karena faktor kehati-

hatian (ikhtiyat). Potensi (Ihtimal) inilah yang kemudian menjadi dalil kesunahan,

sesuai dengan kaidah “Anna al-Ihtimâl Saqit li al-Istidlâl” pola-pola hukum yang

timbul karena berdasar sebuah potensi atau kemungkinan, menggugurkan

argumentasi yang sudah ada. Sedangkan menurut Kiyai Muhajirin, dalam madzhab

al-Syâfi’î argumen yang dipakai adalah dengan menasikh, itu lebih utama daripada

dalil dari madzhab Hanafiyah.

Dengan membaca pola pensyarahan muqârin ini, memberikan manfaat bagi

pembaca untuk memperoleh pengertian yang paling tepat dan lengkap mengenai

masalah yang dibahas, dengan melihat perbedaan-perbedaan diantara berbagai

unsur yang diperbandingkan.12

11 Ini merupakan ciri syarah dengan metode maqârin; yakni membandingkanyang

memiliki redaksi sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam

kasus yang sama. 12M. Yudhie Haryono, Nalar al-Qur’an, (Jakarta: PT Cipta Nusantara, 2002). h 166-167.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

74

Dari sampel hadis di atas, salah satu ciri syarah Misbâẖ al-Ẕalam adalah

menjelaskan tanpa memberikan komentar terkait kebahasaan, kedudukan hadis dan

sanad-sanadnya. Berbeda dengan beberapa syarah hadis yang lain, sebelum menuju

kepada syarah atau penjelasan, banyak membahas terkait unsur kebahasaan, mata

rantai sanad, kedudukan hadis, seperti Subul as-Salâm13, Nailu al-Awṯar14. Ada

juga yang setelah pensyarahan suatu hadis, digunakan untuk menelusuri kedudukan

hadis tersebut, seperti Faidlul Qodir.15

Dari jumlah syarah hadis yang terdapat dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalam,

mayoritas menggunakan metode muqârin. Ada penggunaan metode ijmâli, akan

tetapi sangat jarang sekali. Seperti contoh di bawah ini :

وسلمذكريوماجلمعةفقال:فيه:وعنهرضيهللاعنه:انرسولهللاصلىهللاعليه18صساعةاليوافقهاعبدمسلموهوقائميصلي،يسألهللاعزوجلشيئااالأعطاهإايه.وأشار

.16بيدهيقللها.متفقعليه.ويفروايةملسلم:وهيساعةخفيفةDiriwayatkan dari Abû Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw.

Menuturkan hal ini terkait hari Jum’at, beliau berkata: “pada hari itu ada

suatu waktu, jika bertepatan seorang hamba yang Muslim berdiri untuk

shalat memohon kepada Allah sesuatu, pasti Allah akan mengabulkanya.

Dan beliau isyaratkan dengan tanganya bahwa waktu itu sangat sedikit.”

(Hadis Mutafaq alaih) dan menurut riwayat Muslim, “ia adalah waktu yang

sangat pendek.”

ش:قوله)وهوقائميصلي(ظاهرهذااحلديثانساعةاإلجابةيفالصالةوقدأشارالنيبعةصليهللاعليهوسلمبيدهيبنيقلتهاوبعدهاقليال،وفيهانساعةاإلجابةيفيوماجلم

اليوافقهاعبدمسلمدعاهللااالاجابه،والظاهرانساعةاإلجابةمفية.S: pada kata ‘wahuwa qimun yushalli’ pengertian hadis ini bahwa waktu

yang mustajabah dalam shalat sudah diisyaratkan Nabi saw. dengan jarinya,

yang berarti sangat sedikit. Dan didalamnya, ada waktu mustajab di hari

13 Muhammad bin Ismail al-San’anî, Subul al-Salâm, (Kairo : Dar al-Hadis, t.t.), Jilid 1

h. 96 14 Muhammad al-Saukanî, Nailu al-Awṯar, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 1993), Jilid 1, h.249 15 Abd al-Rauf, Faidlul Qadir Syarh Jami’ as-Saghîr, (Mesir : Maktabah Tijariah Kubra,

1937), Jilid 6, h.228 16Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I, h. 360

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

75

Jum’at yang seorang muslim tidak akan menemuinya kecuali dikabulkan

doanya, dan secara zahir, waktu yang mustajab itu masih dirahasiakan.

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa pensyarah, Kiyai Muhajirin dalam

mensyarahi hadis juga menggunakan metode yang sangat ringkas. Ia tidak

menyebutkan asbab al-wurud, informasi tentang penilaian ulama terhadap para

perawinya, pendapat ulama-ulama lain ketika memaknai hadis tersebut, dalil-dalil

lain yang bisa memperkuat hadis tersebut dan sebagainya. Ia juga tidak

menggunakan pendekatan-pendekatan seperti: pendekatan bahasa, pendekatan

historis, pendekatan antropologis, dan pendekatan psikologis dalam mensyarahi

hadis di atas.

Padahal, jika melihat dari pensyarahan hadis di kitab lain, pembahasan

terkait hadis tersebut cukup panjang perdebatan ulama di dalamnya, contoh dalam

Syarah Muslim:

اختلفالسلفىفهذهالساعة،فروىعنأىبهريرةقال:هىمنبعدطلوعالفجرإىلغروبالشمس.وقالاحلسن،وأبوالعالية:هىعندطلوعالشمس،وبعدصالةالعصرإىل

زوالالشمس،وقالأبوذر:هىمابنيأنتزيغالشمسبشربإىلذراع،وقالتعائشة:ختارهللافيهاالصالة،وهوهىإذاأذناملؤذنابلصالة،وقالابنعمر:هىالساعةالىت

أنتكونىفهذهالساعات:إذاأذنقولأىببردة،وابنسريين،وقالأبوأمامة:إىنألرجوجلساإلمامعلىاملنرب،أوعنداإلقامة.قالالشعىب:هومابنيأنحيرمالبيع املؤذن،أوإذا

17…إىلأنحيلPara ulama berbeda pendapat terkait waktu ini, diriwayatkan dari Abu

Hurairah, berkata: itu adalah waktu dari setelah fajar sampai dengan

terbitnya matahari, dan setelah shalat ashar sampai dengan terbenamnya

matarahi. Imam Hasan dan Abu Aliyah berkata: waktu tersebut adalah

ketika tergelincirnya matahari. Abu Dzar berkata: itu adalah antara terbitnya

matahari sejengkal hingga sampai satu dzira’. Sayidah Aisyah berkata: itu

ketika muadzin sedang melakukan adzan untuk shalat. Sahabat Ibnu Umar

berkata: itu adalah waktu yang dipilihkan Allah di dalamnya untuk shalat,

itu merupakan pendapat dari Abi Dardah, dan Ibnu Sirin. Abu Umamah

berkata: aku berharap waktunya adalah ketika muadzin sedang

melaksanakan adzan, Imam sedang duduk di atas mimbar, dan ketika

17 Ibnu Baṯal, Syarah Saẖîẖ al-Bukhârî li Ibnu Baṯal, (Riyad: Maktabah ar-Rasyd, 2003),

Jilid II, h.521

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

76

iqamah. Imam al-Sya’bi berkata: itu adalah waktu ketika diharamkan

berjual beli, sampai dihalalkan kembali.

Ada banyak sekali pendapat dalam menjelaskan hadis tersebut, baik dari

sahabat, tabiin sampai dengan para ulama. Ada juga pembahasan yang singkat

dengan bentuk muqarin dari beberapa pendapat ulama, seperti :

اليلزمهقولهصلىهللاعليهوسلمواإلمامخيطبدليلعلىأنوجوباإلنصاتوالنهيعنالكالمإمناهويفحاللطبةوهذامذهبناومذهبمالكواجلمهوروقالأبوحنيفة

18.جيباالنصاتخبروجاإلمامTidak mewajibkan dari sabda Rasulullah ketika imam berkhutbah menjadi

dalil akan wajibnya untuk diam dan larangan untuk berbicara, akan tetapi

itu hanya menunjukan ada suatu waktu atau keadaan ketika khutbah, ini

merupakan pendapat dari madzhab kita (syafii), madzhab Maliki, dan

mayoritas. Dan Abu Hanifah berkata : wajib diam ketika Imam sudah keluar

(untuk khutbah).

2. Tehnik Interpretasi yang Digunakan dalam Misbâẖ al-Ẕalâm

Kiyai Muhajirin dalam mensyarah hadis-hadis menggunakan tehnik

interpretasi intertekstual.19 Hal ini dapat dilihat melalui cara Kiyai Muhajirin dalam

mensyarahi hadis, dimana ia hampir selalu membahas hadis dari segi tekstual (arti

kata-perkata) lalu kemudian dilihat matan-matan hadis lain ataupun ayat Alquran

juga pendapat ulama lain dalam memahami hadis yang dibahas.

Contoh dari penerapan tehnik interpretasi intertekstual dalam syarah

Misbâh al-Ẕalâm dapat dilihat dari contoh berikut:

a. Meludah di dalam masjid

18 Muslim, al-Minhaj Syarh Sahih Muslim Ibnu Hajjaj, (Beirut : Dâr al-Ihya’ Turas al-

Arabi, 1972) Jilid 6, h.39 19Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw. dengan

memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran yang terkait. Dengankata lain,

ketika menggunakan teknik interpretasi intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan

konteksnya.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

77

أنس عنخه -وعنخ يالل الل قال:قال-رض عليخه وسل م-رس ول »:-صل ىالل يف الخب صاق د خط يئةوكف ارت هادف خن ها 20م ت فقعليخه .«الخمسخج

Dari sahabat Anas ra. berkata : Rasulullah saw.: meludah di dalam masjid

itu merupakan kesalahan, dan cara menghapus kesalahan tersebut dengan

menguburnya.” HR. al-Bukhârî dan Muslim.

ش:قوله:)البصاقيفاملسجدخطيئة(فالبصاقوالبزاقمبعينواحدوهوالتفلكماورديفلفظمسلم.قالالنووي:واعلمانالبزاقيفاملسجدخطيئةسواءاحتاجاوملحيتجبل

ثوبه،فإنبصقيفاملسجدفقدارتكبالطيئةوعليهانيكفرهذاالطيئةبدفنيبصقيفكماصرحبهرسولهللاصلىهللاعليهوسلم. البزاق،هذاهوالصوابانالبزاقخطيئة

S (Syarah) : kata ‘al-Busâq fî al-Masjid Khaṯîah’ kata al-Busâq dan Bazzâq

bermakna sama, yaitu meludah, seperti yang diriwayatkan dalam lafadz

hadisnya Imam Muslim. Imam Nawawi berkata: ketahuilah bahwa meludah

di dalam masjid merupakan kesalahan, baik itu merupakan kebutuhan

ataupun tidak, akan tetapi hendaknya meludah pada bajunya sendiri. Jika ia

meludah di masjid, maka ia sudah melakukan kesalahan, dan wajib baginya

untuk menghapus kesalahan tersebut dengan mengubur ludahnya. Dan

perkataan ini merupakan yang benar, bahwa meludah di masjid sebuah

kesalahan, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw..

كالمابطل،حاصلهانالبزاقليسخبطيئة االيفحققالالعلماءوالقاضيعياض:فيهمنمليدفنه،وامامنأراددفنهفليسخبطيئة.وهذااحلديثمعارضحلديث:))وليبصق

21عنيسارهاوحتتقدمه((ففيهاذنابلبصاقيفالصالة.Para ulama dan al-Qâḏî‘Iyâḏ berkata: pendapat diatas merupakan hal batil/

salah. Ringkasnya, meludah di dalam masjid bukan merupakan kesalahan,

kecuali pada orang yang tidak menguburnya. Adapun orang yang ingin

menguburnya, maka hal tersebut bukan sebuah kesalahan. Hal tesebut

kontradiktif dengan hadis : “Hendaknya meludah ke kirinya atau dibawah

telapak kakinya” dan didalamnya merupakan izin untuk meludah dalam

shalat.

فالنوويجيعلاألولعاماوخيصالثاين،يعين:اذامليكنيفاملسجدفليبصقعنيسارهاوقدمه،وامافيهفالبصاقخطيئة.حتت

20Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 200 21Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 200

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

78

لالثاينعاماوخيصاألوليعينانالطيئةامناثبتملنمليدفنها، والقاضيعياضجيعإلذنهصلىهللاعليهوسلمبقوله:))وليبصقعنيسارهاوحتتقدمه((.ووافقالقاضي

كثريةمنهمالقرطيبوابن 22.مكيمجاعةImam Nawawi menjadikan hadis yang awal sebagai hadis ‘âm (umum), dan

yang kedua sebagai hadis khâs (khusus), yakni: jika tidak di dalam masjid,

maka meludahlah pada sisi kiri atau dibawah telapak kaki, adapun ketika di

masjid, meludah merupakan kesalahan.

Al-Qâḏî ‘Iyâd menjadikan hadis yang kedua sebagai ‘âm (umum), dan yang

pertama sebagai hadis khâs (khusus), yakni: yang menjadi sebuah kesalahan

itu ketika orang tersebut tidak menguburnya. Karena Rasulullah saw.-pun

memberikan izin dalam sabdanya : “hendaknya meludah pada bagian sisi

kirinya, atau dibawah telapaknya” dan beberapa ulama sepakat dengan

pendapatnya al-Qâḏî ‘Iyâd ini, sebagianya adalah Imam al-Qurṯûbî, Imam

Ibn Makî.

دفنها(،قالالنووييف)شرحمسلم(فمعناه،انارتكبهذهالطيئةفعليه وقوله:)وكفارهتاانالزانوالمروقتلالصيديفاالحرامحمرمات كما فعليهتكفريها ارتكبها وخطااي،واذا

عقوبتها.

كفارته.قالاجلمه كالمالقاضيانالطيئةملنمليدفنها،فمندفنهافهو ور:ومبقتضيواملراددفنهايفحصاةاملسجدوترابهورملهانكانفيهتراباورملاوحصاةوحنوها،واال

فيخرجها،وحكيالروايينمناصحابناقوالناناملرادإخراجهامطلقا.

23فاحلديثيدلعليحرمةالبصاقيفاملسجداوجوازهملنأراددفنه.Pada lafadz ‘wakafârutuhâ dafnuhâ’ Imam Nawawi berkata dalam Syarh

Muslim: dan maknanya, jika melakukan kesalahan maka baginya wajib

untuk menghapusnya, seperti halnya berbuat zina, minum khamr,

membunuh binatang buruan ketika berihram, haram dan merupakan

kesalahan. Jika melakukanya, maka wajib atasnya sanksi.

Dan berdasarkan perkataan al-Qâḏî ‘Iyâd, kesalahan itu terjadi bagi orang

yang tidak mau menguburnya, barang siapa menguburnya, maka ia sudah

menghapus kesalahan tersebut. Mayoritas ulama berkata: yang dimaksud

dengan mengubur ludah tersebut adalah ketika dimasjid tersebut beralaskan

22Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 200 23Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 201

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

79

kerikil-kerikil kecil dan debu, jika tidak ada maka wajib baginya

membuangnya keluar. Dikisahkan dari Imam al-Rûyânî dari ashab terdapat

dua pendapat, dan yang dimaksud keduanya adalah mengeluarkanya secara

mutlak. Maka, hadis diatas menunjukan keharaman meludah dalam masjid

atau kebolehan jika ia ingin menguburnya atau membersihkanya.

Hadis di atas merupakan gambaran bagaimana Kiyai Muhajirin mensyarahi

hadis dengan tehnik intertekstual, di mana beliau mengkaji sebuah hadis dari sisi

kebahasaan dengan juga mencantumkan konteks kejadian pada saat itu dan

pembahasan ushul fiqh di dalamnya yang pada akhirnya memunculkan perbedaan

dalam penentuan hukum fikihnya.

Bisa dianalisa, bahwa hadis larangan meludah ini bisa diampuni dengan

membersihkannya dengan menguburnya. Kyai Muhajirin membandingkan dengan

hadis lain, yang menyatakan kebolehan meludah ke arah kiri atau dibawah telapak

kakinya. Terlihat kedua hadis tersebut saling kontradiktif, karna yang satu melarang

dan yang satunya lagi memperbolehkan. Dan Kyai Muhajirin lebih memilih

pendapat bahwa hadis awal menjadi bentuk umum, dan yang kedua menjadi bentuk

khusus (berlaku di selain masjid), sama dengan pendapat Imam Nawawi. Dan

menggunakan pendapat mayoritas ulama, jika masjid tidak beralaskan debu, kerikil

dan lainya yang serupa, maka wajib mengeluarkanya (membersihkanya).

Pendapat tekstualnya bahwa meludah di dalam masjid dilarang, dan bentuk

ampunanya adalah menguburkanya. Dan kontekstualnya, jika masjid tidak

beralaskan debu atau kerikil seperti kramik, maka ia wajib membersihkanya secara

mutlak.

b. Hukum menjama’ qashr shalat bagi musafir

:وعنهصليهللاعليهوسلمقال:خرجنامعرسولهللاصليهللاعليهوسلممن5صواللفظ ايلاملدينة.متفقعليه، املدينةاىلمكة،فكانيصليركعتنيركعتنيحىترجعنا

شرللبخاري.وعنابنعباسرضيهللاعنهقال:اقامالنيبصليهللاعليهوسلمتسعةع

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

80

يومايقصر،ويفلفظ:مبكةتسعةعشريوما،رواهالبخاري.ويفروايةاليبداود:سبع24عشرة.ويفاخري:مخسعشرة.ولهعنعمرانبنحصنيرضيهللاعنه:مثاينعشرة.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw, berkata: “kita keluar bersama Rasulullah

saw.dari Madinah menuju Makkah. Ketika itu Rasulullah saw.shalat dua

rakaat-dua rakaat, sehingga kita kembali lagi ke Madinah.” Muttafaq Alaih,

dan lafadz dari Imam al-Bukhârî,

Dari Ibnu Abbâsra, berkata: “Rasulullah pernah bermukim 19 hari dengan

menqashar shalat.” Dalam lafadz lain: “bermukim di makah 19 hari,” HR.

Bukhari, dan dalam riwayat Abu Daud : “17 hari.” Dan menurut riwayat lain : “15

hari”. Dan ririwayatkan oleh Imran bin Khashin ra. : “18 hari.”

الخيتلفعليهاحد،فالالفش:امجعالعلماءعليانمنوصلايلوطنهيتمالصالةوامناثبتيفمدةاالقامةاثناءالطريق،فعناإلمامايبحنيفةانهاذانوياقامتهمخسةعشريومايصريمقيما،وعنالشافعيومالكانهاذااقاماربعةاايميتم،وعنامحدانهيقصراذا

كثري.نوياالقامةاحديوعشرينصالةويتمفيمازاد،ويفهذهاملس 25ألةاختالفS: Ulama bersepakat, barang siapa orang yang sudah sampai kepada

negara/daerahnya, maka diharuskan untuk menyempurnakan rakaat

shalatnya (tidak diqashr). Perbedaan terjadi ketika seorang musafir yang

bermukim di pertengahan perjalanan. Imam Abu Hanifah berpendapat, jika

berniat bermukim 15 hari, maka ia beridentitas mukim, dan imam al-Syâfi’î,

dan imam Malik berpendapat jika ia bermukim 4 hari, maka harus

menyempurnakan rakaat shalat, dan Imam Ahmad boleh meringkas

shalatnya jika niat bermukim sejumlah 21 shalat fardhu, dan selanjutnya

tidak boleh meringkas shalatnya. Dan didalam masalah ini, terdapat

perbedaan pendapat yang sangat banyak.

ديثعمرانبنحصني،لكنهحملهملنمليزعماالقامةفانهاذامضتاملدةواخدالشافعيحباملذكورةوجبعليهاالمتام،فانازعماالقامةيفاولاحلالعلياربعةاايمامتعليخالف

26بنياصحابهيفيوميالدخولوالروج.

الباخ النتظار السفر يفاثناء اناالقامة تعرفواستفيدمناالحاديثالواردة والقافلة رةابالقامةيفاثناءالسفر.واختلفيفالقدرالذييبيحالقصرهباوتقدمبيانالالفيف

24Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 336 25Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 337 26Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 337

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

81

ايل للمسافريناملتوجهنيمنمكةايلاندونسيةفعندماوصلوا كثريا ذلك،وقدوقعذلكيةاهنمجدةأتخرتابخرهتمايلانانتظرواايلاايمعديدة،فاذاثبتماذكرانفعنالشافع

يقصرونالصالةاثناءاقامتهمحبيثملتزيدعنمثانيةعشريومااعتماداعليحديثعمران27بنحصني.

Imam al-Syâfi’î mengambil pendapat berdasar hadis ‘Imrân bin Hasîn, akan

tetapi hanya pada waktu tidak disengaja dengan niat, dan jika lebih dari 18

hari, maka harus menyempurnakan rakaat shalatnya. Jika ia menyengaja

atau berniat dari awal untuk bermukim 4 hari, maka ia wajib

menyempurnakan shalatnya.

Bisa diambil faedah dari beberapa hadis diatas, bahwa bermukim di tengah

perjalanan untuk menunggu kapal, atau kafilah bisa disebut dengan

bermukim fî atsnai safar. Dan ulama berbeda pendapat terkait kadar

diperbolehkanya untuk meringkas shalat, dan perdebatan sudah dijelaskan

diatas. Dan ini biasa terjadi kepada para musafir yang bertolak dari Makkah

menuju Indonesia ketika sampai di Jeddah, mereka diharuskan menunggu

adanya kapal bersandar beberapa hari. Maka dari itu, seperti yang sudah kita

utarakan, dari madzhab Syafi’i, sesungguhnya mereka boleh meringkas

shalat ditengah perjalanan mereka, sekirannya tidak melebihi 18 hari,

berdasar hadis ‘Imrân bin Hasîn.

Dari syarah hadis di atas, memberikan penjelasan dengan tekstual bahwa

barang siapa yang bepergian boleh melakukan qashr (meringkas shalat), dan ketika

sudah sampai di daerahnya sendiri, maka harus menyempurnakan shalatnya. Nabi

Muhammad saw. bepergian ke Makkah dari Madinah dan mukim disana dalam

beberapa hari, juga selama itu shalatnya diringkas. Ini merupakan dalil tekstual,

bahwa diperbolehkan meringkas shalat ketika bepergian. Kemudian, bagaimana

jika tidak sengaja ditengah perjalanan, seperti para haji dari Indonesia yang harus

menunggu kapal di Jedah beberapa hari karna telat kapalnya? Selama tidak lebih

dari 18 hari, itu diperbolehkan meringkas shalatnya. Pendapat ini berdasar riwayat

Ibnu Khasin, Nabi 18 hari bermukim di Makkah. Tapi, disyaratkan tidak adanya

niat terlebih dahulu. Jika ada niatan, maka setelah 4 diwajibkan untuk

menyempurnakan shalatnya.

3. Corak Kitab Misbâẖ al-ẕalâm

27Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 338

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

82

a. Corak Fikih-Ushul Fiqh:

1) Hadis terkait tawasul dalam berdo’a

أن ع مر عنخه -وعنخه يالل ط وا-رض ،وقال:كانإذاق ح بخن عبخد الخم ط ل ب لخعب اس قىاب تسخ اسخق نب ي نافاسخ ن ت وس ل إليخكب عم ق ي نا،وإ ان ق يإليخكب نب ي ناف تسخ تسخ ك ن انسخ قوخن.الل ه م إان 28ناف ي سخ

رواه الخب خار ي “Dari Sahabat Anasra., sesungguhnya Umar bin Khaṯṯâb ra. pada waktu

tidak ada hujan (musim kekeringan melanda), melaksanakan sholat Istisqâ’

(meminta hujan) dengan berwasilah kepada ‘Abâs bin Abdul Muthâlib, dan

berdo’a : ‘ya Allah, sesungguhnya kita dulu meminta hujan dengan wasilah

Nabi kita (Muhammad saw.) dan engkau berikan hujan kepada kami, dan

kita bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kita, maka turunkanlah

hujan, dan diturunkanlah hujan.’ HR. al-Bukhârî

اذاقحطوااستسقىابلعباسبنعبداملطلب،قحطوابضمالقافوكسركانش:قوله:احلاء،أي:أصاهبمالقحط.وقدتبنيالزبريبنبكاريفاألنسابصفةمادعابهالعباسيفهذهالواقعةوالوقتالذيوقعفيهذالك،فأخرجإبسنادلهانالعباسملااستسقيبه

بالءاالبدنبومليكشفاالبتوبة،وقدتوجهالقوميباليكملينزلهعمرقال:اللهمانملكاينمننبيك،وهذهأيدينااليكابلذنوبونواصينااليكابلتوبةفاسقيناالغيث.فأرختالسماءمثلاجلبالحيتأخصبتاألرضوعاشالناس،وخطبعمررضيهللاتعاىلعنه

عليهوسلميرىللعباسمايرىالولدللوالد،الناس،ويفخطبتهقال:انرسولهللاصلىهللافاقتدواأيهاالناسبرسولهللاصلىهللاعليهوسلمفيعمهالعباسواختدوهوسيلةايلهللا

29تعاىل.فمابرحواحىتسقاهمهللاتعاىل.

S: pada perkataan : (استسقىابلعباسبنعبداملطلب قحطوا lafadz quhiṯu ( كاناذا

dengan ḏammah qaf dan kasrah ha-nya bermakna mereka dilanda

kekeringan. Zubair bin Bakar menjelaskan dalam kitab al-Ansâb sifat doa

yang dikemukakan Abas bin Mutholib dalam kejadian dan kasus tersebut,

dituliskan dengan menyertakan sanad, bahwa ‘Abbaâs bin Muthâlib ketika

diminta Umar bin Khaṯṯâb untuk memintakan hujan, berdo’a : “ya Allah,

sesungguhnya tidaklah turun cobaan kecuali adanya dosa, dan tidak akan

hilang kecuali dengan taubat, umat ini bersamaku menghadap kepadamu,

dengan wasilah padaku atas kedudukanku bersama Nabi-Mu. Inilah tangan

28Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II,h. 12 29 Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II,h. 12

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

83

kami menengadah bersama dosa-dosa, meminta pertaubatan pada-Mu,

maka siramilah kami dengan hujan.”Ku lihat mendung langit seperti

gunung, sehingga membuahi bumi, dan manusia hidup (kembali). Dan

sahabat Umar bin Khaṯṯab ra. berkhutbah di depan para jama’ah, dalam

khutbahnya berkata: “sesungguhnya Rasulullah saw.melihat sahabat

‘Abbâs bin Abdul Muthâlib seperti pengelihatan anak kepada bapaknya,

maka ikutilah Rasulullah wahai manusia, dan jadikanlah dia sebagai wasilah

menuju kepada Allah swt. dan orang-orang tidak bergeser sehingga Allah

swt.memberikan mereka siraman air hujan.

فهذهالقصةومااشبههادليلعلىجوازالتوسلأبهلالريوالصالح،وفيهافضلالعباسومعرفتهحبقه.بنعبداملطلبوأهلبيتالنبوةوفضلعمرلتواضعه

ويفجوازالتوسلملخيالفاحدمنالعلماءاالاتباعالوهابية،فهميرونانالتوسلشرك،(وقضيةقصةعمردليلعلى18واستدلوابقولهتعاىل:فالتدعوامعهللاأحدا)اجلن:

جوازالتوسلبألحياءفقطالابألموات،وعمرتوسلابلعباس،ومليتوسلابلينصلىهللاكالتوسل وأموااتجائز واحلقالصريحانالتوسلأبهلالرياحياء وسلمبعدموته. عليهابألعمالالصاحلة.وقيل:الجيوزالتوسلابألمواتألنعمرمليتوسلابلينصلىهللاعليه

30وسلمبعدموته.Kisah ini merupakan dalil, diperbolehkanya bertawasul dengan orang baik

dan salih, dan didalamnya ada keutamaan sahabat ‘Abbâs bin Abdul

Muṯâlib, keluarga Nabi, dan keutamaan sahabat Umar bin Khaṯṯâb karena

ketawadhuan dan pengertianya terhadap haknya.

Dalam pendapat diperbolehkannya bertawasul, ulama tidak ada yang

kontradiktif kecuali golongan Wahabiyah. Mereka berpendapat bahwa

bertawasul itu syirik, dengan berlandaskan firman Allah: “janganlah kamu

menyembah seseorangpun bersama kamu menyembah kepada Allah.”

(QS.al-Jin : 18) dan kisah sahabat Umar merupakan dalil diperbolehkanya

tawasul kepada orang hidup, bukan orang yang sudah meninggal. Sahabat

Umar tawasul kepada sahabat ‘Abbâs, tidak bertawasul kepada Nabi saw.

setelah wafatnya beliau. Pendapat yang betul dan jelas ; ialah bertawasul

kepada orang salih, baik itu hidup atau mati; diperbolehkan, seperti tawasul

terhadap amal baik. Dan dikatakan, bahwa tidak boleh bertawasul dengan

orang mati, karna Umar bin Khaṯṯâb tidak bertawasul kepada Nabi

saw.setelah wafat beliau.

Dalam artikel lain dikatakan bahwa, perbedaan pendapat para ulama tampak

ketika membahas sesuatu yang dijadikan tawasul (al-mutawassal bih). Sebagian

30 Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II,h. 13

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

84

ulama membolehkan seseorang untuk bertawasul dengan orang-orang atau benda

tertentu. Sedangkan sekelompok ulama lainnya mengharamkannya.31 Tetapi

sebenarnya perbedaan pandangan keduanya bukan perbedaan prinsipil, tapi

perbedaan formalitas belaka sebagai penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi al-

Maliki berikut ini:

“Titik perbedaan pendapat ulama dalam masalah tawasul adalah tawasul

dengan bentuk lain selain amal yaitu tawasul dengan benda atau orang

tertentu. Saya akan menjelaskan bagaimana orang yang bertawasul dengan

selain amal itu hakikatnya adalah bertawasul dengan amalnya juga yang

dinisbahkan kepadanya di mana itu merupakan bagian dari upayanya. Saya

mengatakan begini, pahamilah bahwa seorang Muslim yang bertawasul

dengan orang tertentu itu karena Muslim tersebut mencintainya karena ia

dengan baik sangka meyakini kesalehan, kewalian, dan keutamaan orang

itu, atau karena ia meyakini bahwa orang tersebut mencintai Allah dan

berjuang di jalan-Nya, atau karena ia meyakini bahwa Allah mencintai

orang tersebut sebagai firman-Nya, ‘Allah mencintai mereka. Mereka pun

mencintai-Nya,’ atau karena meyakini semua varian itu hadir di dalam

orang yang dijadikan tawasul tersebut.32

Dari sini terang di mana titik kesepakatan dan perbedaan padangan ulama

terkait tawasul. Semua ulama sepakat bahwa tawasul dengan amal saleh boleh

menurut syariat. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal tawasul dengan benda

atau orang-orang tertentu yang dianggap saleh.

2) Hadis tentang menunaikan nazar

د الخمسخج لة يف أعختك فلي خ أنخ اه ل ي ة اجلخ نذرختيف ع مرقال:ق لخت:ايرس ولالل ،إين وعنخر ك ب نذخ .قال:أوخف رام ر واية:فاعخت«احلخ لة .م ت فقعليخه .وزادالخب خار ي يف 33كفلي خ

31 Alhafiz Kurniawan, Hukum Praktik Tawasul dalam Doa, Wirid, dan Zikir

http://www.nu.or.id/post/read/85124/hukum-praktik-tawasul-dalam-doa-wirid-dan-zikir diakses

pada tanggal 30 Juni 2019, pukul 22.45 ل كالتوسل بالذوات واألشخاص. وسأبين كيف أن 32 ومحل الخالف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوس

ل بعمله المنسوب إليه، والذي هو من كسبه. فأقول: اعلم أن من توسل بشخص ما فهو ألنه يحبه المتوسل بغيره هو في الحقيقة متوس

نا للظن به، أو ألنه يعتقد أن هذا الشخص محب هلل سبحانه وتعالى يجاهد في سبيل هللا، أو إذ يعتقد صالحه وواليته وفضله تحسي

بونه، أو العتقاد هذه األمور كلها في الشخص المتوسل به. وبه بهم ويح ذا ظهر أن ألنه يعتقد أن هللا تعالى يحبه كما قال تعالى يح

التفرق والعداء بالحكم بالكفر على المتوسلين وإخراجهم عن دائرة اإلسالم، سبحانك هذا الخالف في الحقيقة شكلي وال يقتضي هذا

يم Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an) بهتان عظ

Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, h. 124-125). 33Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid IV,h. 231

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

85

Dari Umar ra., berkata: saya berkata: “ya Rasulullah saw., sesungguhnya

aku pernah bernadzar pada masa Jahiliyah untuk beri’tikaf satu malam di

Masjid al-Haram”. Rasulullah saw. menjawab: “laksanakanlah nadzarmu.”

Hadis muttafaq alaih. Imam al-Bukhâri menambahkan dalam suatu riwayat:

“maka, beri’tikaflah satu malam”.

ش:هذااحلديثترجملهاالمامالبخاريابب:اذانذراوحلفاناليكلمانساانيف،وهواجلاهليةمثاسلم،أي:هلجيبعليهالوفاءبهاوال،املرادابجلاهليةاجلاهليةاملذكورة

حالهقبلاإلسالم،الناألصلاجلاهليةماقبلالبعثة،وترجمالطحاويهلذهاملسألة:مننذروهومشركمثاسلم،فأوضحاملراد،وذكرفيهحديثابنعمريفنذرعمريفاجلاهليةانهيعتكف،فقالالنيبصلىهللاعليهوسلم:اوفبنذرك.قالابنبطال:قاسالبخاري

نيابلنذر،وتركالكالمعلياإلعتكاف،فمننذراوحلفقبلانيسلمعليشيئاليمجيبالوفاءلوكانمسلما،فإنهاذااسلمجيبعليهالوفاءعليظهرقصةعمر،وبهقال

واملشهورعندالشافعية عنالشافعي، ابنحزم نقله وكذا ثور، لبعضهم،الشافعيوأبو وجه انهابهعليانهالجيببليستحب،وكذاقالاملالكيةواحلنفية،وعنوانالشافعيوجلأصح

34امحديفروايةعنهانهجيب،وبهجزمالطربي.Syarah: hadis ini dijelaskan oleh Imam al-Bukhâri dalam satu bab “ketika

bernadzar atau bersumpah tidak berbicara kepada satu orang-pun, di masa

jahiliyah dan sekarang sudah masuk Islam.” Maksudnya; apakah orang

tersebut diwajibkan untuk menepatinya, atau tidak? Yang dimaksud dengan

Jahiliyah dalam hadis tersebut adalah pada masa belum adanya Islam.

Karena asal-muasal jahiliyah, itu sebelum adanya utusan.

Dan Imam al-Ṯahawî membahas masalah ini (dengan judul): “barang siapa

yang bernadzar sedangkan dia musyrik, kemudian dia masuk Islam.” Dan

menyebutkan di dalamnya, hadis Ibnu Umar dalam menceritakan nadzarnya

Umar bin Khaṯâb untuk beri’tikaf, dan Nabi saw. bersabda : “bayarlah

nadzarmu”. Ibn Baṯal berkata: “Imam al-Bukhârî menganalogikan yamin

(sumpah) dengan nadzar, dan meninggalkan perdebatan terkait I’tikaf.

Barang siapa bernadzar atau bersumpah akan sesuatu sebelum masuk Islam,

dia wajib melaksanakanya walaupun dia seorang muslim. Maka dari itu,

orang yang masuk dalam agama Islam tadi, wajib melaksanakan janjinya

menurut kisah Umar. Imam Syafii, Abu Tsaur, begitu juga yang dinukil oleh

Ibn Hazm dari Imam al-Syâfi’î, dan menurut pendapat yang masyhur dalam

ruang lingkup Syafi’iyah itu merupakan bentuk dari prototipe lain. Imam

al-Syâfi’î menjelaskan pada sahabatnya bahwa itu bukan wajib, akan tetapi

disunahkan. Madzhab Maliki dan Hanafiyah, dan salah satu riwayat Imam

34Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid IV,h. 231

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

86

Ahmad: hal tersebut merupakan hal yang wajib, dan imam al-Ṯabarî setuju

dengan perintah ini.

كمااهنممطبون قلت:الظاهروجوبهبناءعليقاعدةانالكفارماطبونبفروعالشريعةأبصوهلا،خالفاللحنفيةالقائلنيأبنالكفارغريماطبنيبفروعالشريعةبلأبصوهلا،الن

35ع.تكليفالفروعقبلاألصلتكليفمبااليطاقوهوممنوSaya berkata: yang jelas adalah kewajiban menunaikanya, sesuai dengan

kaidah bahwa orang non-muslim itu terkhitabi (diberi tanggung jawab)

untuk melaksanakan hukum syariah yang partial, seperti dia terkhitabi

dengan ushul-nya. Berbeda dengan madzhab Hanafi, yang berkata bahwa

kaum non-muslim itu tidak terkhitabi oleh cabang-cabang hukum syariah,

akan tetapi hanya dengan ushul-nya. Karna memberikan kewajiban terkait

perkara cabang, sebelum ushul-nya, merupakan taklif yang tidak masuk

akal (tidak sesuai kemampuan), dan itu dilarang.

Selain menjelaskan pendapat ulama terkait hukum fikih dalam pensyarahan

hadis di atas, Kiyai Muhajirin juga membahas terkait usul fikihnya. Perdebatan

terkait orang kafir apakah terbebani kewajiban-kewajiban parsial seperti umat

Islam lainya. Imam al-Syâfi’î berpedoman, mereka terbebani kewajiban, sedangkan

Imam Hanafi tidak terbebani, karna mereka belum masuk Islam. Keduanya

memiliki dasar yang kuat dari dalil-dalil lain.

3) Hadis makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa

:وعنايبهريرةرضيهللاتعايلعنهقال:قالرسولهللاصليهللاعليهوسلم:20صمننسيوهوصائمفأكلاوشرب،فليتمصومه،فإمنااطعمههللاوسقاه.متفقعليه.

36وللحاكم:منافطريفرمضانانسيافالقضاءعليهوالكفارة.وهوصحيح

Dari Abu Hurairah, ra. Berkata: “Rasulullah saw. Bersabda: Barang siapa

yang makan dan minum ketika puasa dalam keadaan lupa, maka hendaknya

35Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid IV,h. 231 36Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II, h. 159

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

87

menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah sedang memberikan ia

makan dan minum.” (muttafaq alaih)

Menurut Imam Hakim: “ Barang siapa yang berbukan di siang hari bulan

Ramadhan dalam keadaan lupa, maka tidak diwajibkan atasnya mengganti

dan membayar kafarat.”

ش:قوله:مننسيوهوصائمفأكلاوشربفليتمصومه،فيهاناالكلوالشربوحنومهااحلديث،نسياانالشيئعليه،وبهقالالشا هبذا فعيوابوحنيفةومجاعةمناحلنابلة.استدلوا

وحبديث:"رفععناميتعذابالطاءوالنسيان"فلمارفعاحلرجعنالناستبنيانهالأبس 37ابألكلانسيا.

S : pada perkataan “barang siapa yang makan dan minum dalam keadaan

lupa padahal ia berpuasa, maka hendaknya ia menyempurnakanya” karna

makan dan minum atau sebagainya dalam keadaan lupa, tidak apa-apa.

Begitu juga pendapat Imam al-Syâfi’î, Abu Hanifah, dan sebagian golongan

dari madzhab Hanbali. Berdasar hadist diatas dan juga hadist : “Tidak

dikenakan sanksi terhadap umatku, ia yang salah dan lupa.” Ketika diangkat

kesusahan dari manusia, jelas bahwa makan dalam keadaan lupa pada bulan

puasa, tidak apa-apa.

وقالابندقيقالعيد:ذهبمالكايلاجيابالقضاءعليمناكلاوشربانسيا،وهوشربمتعمدا.فإنالصومقدفاتركنهوهواالمساكعناملفطراتالقياسعليمناكلاو

واالمساكمنابباملأمورات.والقاعدةانالنسياناليؤثريفتركاملأمورات.

قلت:فالظاهرانمالكااخذابلقياس.ولناانهالجيوزالقياساذاثبتالنص.وحديثايبشربانسيا،فوجباملصريايلالنص،مثهريرةنصصريحيفعدمبطالنالصومبألكلوال

علي فوجباإلعتماد والكثرة يفرقبنيالقلة ومل والشرب، اناحلديثدلعلياألكل 38عمومه.فتكاالستفصاليفوقائعاألحوالينزلمنزلةالعموم.

Ibnu Daqiq al-Id berkata: “Imam Malik berpendapat atas wajibnya

mengganti bagi seseorang yang makan atau minum pada saat berpuasa, itu

diqiyaskan dengan orang yang makan ataupun minum dengan disengaja.

Karna sudah gugur rukun-rukun puasanya, yaitu imsak (menahan) dari hal

yang membatalkan, dan imsak itu merupakan hal yang diperintahkan.

37Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II, h. 159 38Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II, h. 160

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

88

Sesuai dengan kaidah: Lupa, itu tidak mempengaruhi seseorang dalam

meninggalkan apa yang diperintah.”

Aku berkata: “secara dzahir, Imam Malik berargumen dengan Qiyas. Dan

menurut kita, tidak boleh menggunakan qiyas ketika dengan adanya nash.

Hadis Abu Hurairah merupakan nash yang sharih (jelas) terkait tidak

batalnya puasa sebab makan dan minum karna lupa. Maka kita wajib

menggunakan nash. Kemudian, hadist yang menunjukan makan dan minum

diatas tidak membedakan terkait banyak dan sedikitnya, maka kita wajib

bergantung pada umumnya lafadz. Sesuai kaidah: “Meninggalkan

perincian, di dalam beberapa kejadian, menempati tempatnya umum.”

Makna lupa (al-nisyan) yang dimaksud dalam permasalahan ini adalah

melakukan suatu hal tanpa disertai pengetahuan yang ia miliki

كانيعلمه،بدوننظروتفكري،مععلمه النسيانهوعدماستحضاراإلنسانماكثرية أبمور

Lupa adalah absennya seseorang dari apa yang ia tahu, tanpa merenungkan

dan memikirkan (terlebih dahulu), padahal ia memiliki pengetahuan yang

luas.39

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak dikategorikan sebagai “lupa” bagi

orang yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Misalnya seperti orang yang

makan karena menyangka sudah maghrib berdasarkan informasi yang keliru, maka

puasanya dihukumi batal, sebab dalam hal ini ia tidak tepat jika dikatakan sebagai

“orang yang lupa” tapi lebih karena keteledorannya dalam menggali informasi

tentang waktu maghrib hingga memunculkan prasangka yang salah.

Namun, makan dan minum dalam keadaan lupa akan menyebabkan

batalnya puasa ketika makanan atau minuman yang dikonsumsi telah mencapai

jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan, makan dalam keadaan lupa dalam jumlah

banyak saat puasa adalah hal yang sangat jarang terjadi, bahkan bisa disebut hal

yang langka. Sebab pada umumnya, orang yang berpuasa ketika makan dalam

keadaan lupa, tidak berselang lama ingatannya bahwa “dia sedang puasa” akan

muncul.40

39 Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan (Kuwait: Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-

Kuwaitiyyah), juz 14, h. 229. 40 Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, h. 348.

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

89

Dalam referensi lain dijelaskan bahwa alasan batalnya puasa bagi orang

yang makan dalam keadaan lupa adalah karena hal demikian mudah untuk dijaga

agar tidak terjadi. Sedangkan makanan yang dianggap hitungan “banyak” menurut

sebagian ulama dibatasi dengan mengonsumsi makanan sebanyak tiga suapan atau

lebih. Hal ini seperti penjelasan Syekh Zakariya al-Ansâri:

كبطالن )و(بطلابألكل)كثريا(ثالثلقمفأكثر)انسيا(لسهولةالتحرزعنهغالبا

الصالةابلكالمالكثريانسياوهذاماصححهالرافعيوصححالنوويمقابلهلعمومخرب

مننسيالسابق

Puasa menjadi batal sebab makan dengan jumlah yang banyak dalam

keadaan lupa, misalnya tiga kali suapan atau lebih. Batalnya puasa ini

dikarenakan mudahnya menjaga atas kejadian demikian secara umum, sama

seperti batalnya shalat sebab berbicara dengan perkataan yang banyak.

Pendapat ini merupakan pendapat yang dishahihkan oleh Imam ar-Rafi’i,

sedangkan Imam a-An-Nawawi berpandangan sebaliknya (tidak batal),

berdasarkan keumuman hadits yang menjelaskan orang yang lupa (puasa)

yang telah dijelaskan terdahulu.41

Namun batasan tersebut sempat disangsikan oleh sebagian ulama, karena

tiga suapan menurut mereka masih dalam jumlah yang sedikit. Meski akhirnya

terjawab kembali bahwa alasan membatasi dengan tiga suapan karena mengunyah

tiga suapan membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga sangat memungkinkan

orang untuk mengingat bahwa dirinya sedang berpuasa.

“Dalam kitab al-Anwar ulama membatasi ‘jumlah banyak’ dengan tiga kali

suapan. Namun hal demikian perlu ditinjau ulang, sebab para ulama

membatasi ‘sedikit’ dalam pembahasan berbicara ketika shalat dengan tiga

sampai empat kalimat. Namun bisa juga dibedakan (antara permasalahan

makan karena lupa saat puasa dan berbicara ketika shalat) bahwa tiga

suapan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengunyahnya”42

Ketika permasalahan ini kita tarik dalam membatasi “minuman yang

banyak” maka dapat di-ilhaq-kan (disamakan) sekiranya minuman yang diminum

41 Syekh Zakariya al-Anshari, Syarh al-Bahjah al-Wardiyah, juz 7, h. 58. 42 Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, h. 348

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

90

dalam keadaan lupa telah terlewat waktu yang cukup lama, seperti waktu yang

dibutuhkan dalam mengunyah tiga suap makanan.

Meski para ulama menghukumi batal bagi orang yang lupa makan dalam

jumlah banyak, tapi tetap tidak bisa dipungkiri bahwa dalam permasalahan ini

terdapat ulama yang berpandangan bahwa makan dalam jumlah banyak dalam

keadaan lupa tidak sampai membatalkan puasa, dengan berpijak pada makna umum

dari nash hadits. Pendapat ini misalnya seperti yang dikemukakan oleh Imam an-

Nawawi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa

tidak sampai membatalkan puasa, ketika makanan dan minuman yang dikonsumsi

hanya sedikit. Sedangkan ketika jumlah makanan dan minuman yang telah

dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, seperti tiga suapan misalnya, maka dalam

hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagian berpandangan tetap sahnya puasa,

sedangkan ulama lain menghukumi batal puasanya. Dua pendapat ini sama-sama

bisa kita amalkan selaku penganut mazhab Syafi’i.

Maka sebaiknya bagi orang yang menjalankan puasa agar menata niat dalam

menjalankan ibadah puasa dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Jika ia

tidak sengaja melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan dan

minum misalnya, maka ketika telah ingat kembali, agar secepatnya beristighfar dan

membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman yang terselip dalam mulut, agar

tidak ada bagian dari makanan dan minuman yang tertelan, hingga dapat

membatalkan puasanya.

b. Corak Linguistik

Corak bahasa yang dimaksud disini merupakan corak yang cenderung

mengandalkan bahasa dalam memahami hadis nabi saw. Jadi lebih condong banyak

pembahasan atau penjelasan hadis yang menggunakan model ilmu kebahasaan

yang didalam hal ini objek kajianya adalah hadis, maka kajiannya adalah berdasar

pada kaidah-kaidah bahasa arab.

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

91

Dalam pemahaman hadis melalui bahasa tertuju pada beberapa objek,

diantaranya: pertama, dengan penelitian bahasa pengkaji dapat mengetahui dan

memahami makna dari lafadz-lafadz hadis yang gharib. Kedua, memahami dan

mengetahui makna tujuan hadis nabi Muhammad saw. Ketiga, mengkonfirmasi

pengertian kata-kata hadis. Hal ini karena pengertian kata-kata yang disebut dalam

hadis dapat berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi.43

Karakteristik dari corak bahasa (linguistic) pada pensyarahan hadis dalam

kitab Misbâh al-Ẕalam Syarẖ Bulûgh al-Marâm meliputi penjelasan bunyi, dan

penjelasan arti lafadz. Untuk lebih jelasnya mengenai karekteristik tersebut akan

diuraikan berikut ini:

1) Menambal barang dengan perak

مالكرضيهللاعنهانقدحالنيبصلىهللاعليهوسلمانكسر،فاختدمكان:وعنانسبن8ص44الشعبسلسلةمنفضة.اخرجهالبخاري.

ش:الشعب:الشقوالصدع،واصلالسلسلةايصالالشيئابلشيئ،وهيمصنوعةمنالفضة.كان تصغريةللزينةاووهبذااحلديثاخذمجهورالشافعيةيفجوازضبةاالانءاملكسورابلفضةاذا

45كبريةللحاجة.Dari Anas bin Malik ra. “bahwa gelas Nabi saw. pecah, kemudian ia

menempelkan pada tempat yang retak tersebut sambungan dari perak.” (HR.

Al-Bukhâri)

S: Sya’b bermakna retak atau pecah, dan asal silsilah bermakna

menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan dia terbuat dari perak.

Dengan hadis ini, mayoritas ulama madzhab Syafi’i memperbolehkan

penyepuhan wadah yang pecah dengan perak, tambalan kecil untuk

penghias atauapun tambalan besar karna adanya kebutuhan.

Di dalam syarah hadis ini, Kyai Muhajirin sebelum jauh menjelaskan

pemahaman hadis, terlebih dahulu memaknai kata-kata yang berarti gharib dan

43 Alfatih Suryadilaga, h.132 44Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 44 45Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

I, h. 45

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

92

multi tafsir dalam hadis tersebut. Sya’b bisa bermakna banyak, disitu penulis

mengartikan dengan kata syaq yang bermakna ‘pecah’. Begitu juga dengan arti

silsilah, kemudian baru menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam hadis

tersebut.

2) Larangan wanita haid untuk masuk ke tempat shalat

ضيفالعيدين،عطيةرضيهللاعنهاقالت:امرانانخنرجالعواتق،واحلي:وعنام5ص46يشهدنالريودعوةاملسلمني،ويعتزلاحليضاملصلىمتفقعليه

Dari sahabat Ummu Aṯiyah ra. Berkata : “kami diperintahkan mengajak

keluar anak-anak perempuan, perempuan-perempuan yang sedang haid

pada saat dua hari raya itu untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum

Muslimin, tetapi perempuan-perempuan haid itu terpisah dari tempat

shalat” (Muttafaqun Alaih)

ش:قوله:)امران(،ابلبناءاجملهول،واصلالكالمامراننبيناوحذفالفاعلللعلمبه.

والعواتقمجععاتقو اواستحققوله:)انخنرجالعواتق( هيمنبلغتاحللماوقاربتهالتويح،اوهيالكرميةعلياهلها،اوهياليتعتقتعناالمتهانيفالروجللخدمة،مينعونالعواتقمنالروجملاحدثبعدالعصراالولمنالفساد،وملتالحظالصحابة كانوا

كانيفعهدرسولهللاصلى 47هللاعليهوسلم.ذلكبلرأتاستمراراحلكمعليما

قوله:)ويعتزلاحليضاملصلى(فاحليضبضماحلاءمجعحائض،ومحلهاجلمهورعلياناعتزالاحليضعناملصلىللنذب،النهليسمبسجدومصلىالعيديفالصحراء.

S : pada perkataan “Umirna” (kita diperintah) dengan bentuk majhul dari

asal kata amarana nabiyuna (Nabi kita memberikan perintah), Fa’il

(subyek) dibuang karna sudah maklum atau diketahui.

Pada perkataan: “al-nuhrija al-awatiqa”(mengajak keluar anak-anak

peremuan), kata “al-awatiq” bentuk plural dari kata “atiq” yaitu orang

yang sudah dewasa atau mendekatinya. Dia mulia disanding keluarga, atau

dia yang dilarang untuk keluar berhidmah, karena dulu orang melarang

anak-anak dewasa keluar disebabkan kemudharatan, dan sahabat tidak

memberikan catatan terhadap hal tersebut, hingga melihat kontinyunitas

hukum pada masa Rasulullah saw.

46Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I, h. 380 47Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I, h. 380

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

93

Pada perkataan: “wa ya’tazilu al-huyyaḏ al-mushalla” kata “huyyaḏ”

dengan harakat dhammah pada kha’-nya, merupakan bentuk plural dari kata

haid. Mayoritas ulama berpendapat bahwa memisahkan perempuan-

perempuan haid dari tempat shalat itu merupakan kesunahan, karna itu

bukan masjid, dan mushalla idul fitri ataupun adha, itu di padang pasir.

Dalam hadis yang kedua ini, kyai Muhajirin lebih detail membahas tekait

kebahasaan. Terlihat ketika membahas satu kata “umirna” dikaji dalam tasrif atau

bentuk katanya, juga terkait gramatika bahasa Arabnya. Bahkan, bentuk asal kata

juga dibahas didalamnya, seperti “awatiq” bentuk plural, berasal dari kata “atiq”.

Kemudian, baru dijelaskan makna kata tesebut, merujuk pada situasi dan kondisi

pada zaman terdahulu (kontek historis), untuk menemukan makna terdekat.

Dua hadis di atas merupakan representatif dari beberapa hadis lainnya

terkait corak syarah dengan pendekatan bahasa. Kyai Muhajirin tidak banyak

menggunakan pendekatan ini, hanya dalam beberapa hadis saja, dan tidak

berpengaruh terhadap isi hadis tersebut. Mayoritas, corak bahasa ini hanya terkait

penjelasan bahasa saja, tidak menyangkut dengan isi atau materi hadisnya. Bisa

dilihat dari contoh diatas, hanya menjelaskan beberapa makna yang mungkin

disangka orang sebagai makna yang gharib atau jarang ditemui.

4. Pensyarahan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis dimaksudkan agar orang yang akan memaknai dan

memahami hadis itu memperhatikan keadaan masyarakat setempat secara umum.

Kondisi masyarakat pada saat munculnya hadis boleh jadi sangat mempengaruhi

munculnya hadis. Jadi, keterkaitan antara hadis dengan situasi dan kondisi

masyarakat pada saat itu tidak dapat dipisahkan. Karena itu dalam memahami hadis

kondisi masyarakat harus dipertimbangkan agar pemakanaan tersebut tidak salah.48

Pendekatan sosiologis terhadap suatu hadis merupakan usaha untuk

memahami hadis dari aspek tingkah laku sosial masyarakat pada saat itu.49 Dengan

demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologis terhadap hadis adalah

48Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas

Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),

h.24-25. 49 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadist (Paradigma Interkoneksi), (Yogyakarta : Idea

Press,2009) h.62

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

94

mencari uraian dan alasan tentang posisi masyarakat social yang berhubungan

dengan ketentuan-ketentuan dalam hadis. Penguasaan konsep-konsep sosiologis

dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas

hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai

keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.50

Adapun contoh hadis yang disyarah dengan pendekatan sosiologis adalah

hadis terkait zakat fitrah berikut ini:

كنانعطيهايفزمنالنيبصليهللا3ص :وعنايبسعيدالدريرضيهللاتعايلعنهقال:م صاعا او منمتر، اوصاعا منطعام، صاعا وسلم منزبيب.عليه صاعا او متفق51نشعري،

كنت كما عليه،ويفرواية:اوصاعامناقط.قالابوسعيد:امااانفالازالاخرجه52اخرجهيفزمنالنيبصليهللاعليهوسلم.واليبداود:الاخرجهابدااالصاعا.

Dari Abi Said al-Hudri ra. Berkata: “Kita memberikan zakat pada masa

Rasululllah SAW dengan satu sha’ dari makanan, kurma, gandum atau

zabib.” (muttafaq alaih) dan dalam suatu riwayat lain: “satu sha’ dari

yogurt.” Abu Said berkata: “sedangkan aku, tidak akan mengeluarkan

kecuali seperti yang dizakati pada masa Rasulullah saw.” Dan dari Abu

Daud: “tidak akan mengeluarkan selamanya, kecuali satu sha’.”

ش:...

اختلفالعلماءيفاخراجقيمةزكاةالفطرة:

فعندالشافعيومالكوامحدواجلماهريمنالعلماءانهالجيوزاخراجقيمةالفطرة،قالالرقيجتزئه.قالالنووييفشرحمسلم:وملجيزعامةالفقهاءمناحلنابلة:مناعطيالقيمةمل

53اخراجالقيمة.Ulama berbeda pendapat terkait masalah membayar zakat fitrah dengan

uang: menurut Imam al-Syâfi’î, Maliki, dan Ahmad juga mayoritas dari

ulama tidak memperbolehkan hal tersebut. Imam al-Khirqi dari Hanabilah

berkata: “barang siapa yang membayar zakat dengan uang, maka tidak sah.”

50 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadist (Paradigma Interkoneksi), (Yogyakarta : Idea

Press,2009) h.63 51Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II, h. 108 52Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II, h. 109 53Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II, h. 109

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

95

Begitu juga Imam Nawawi dalam Syarh Muslim: “Mayoritas ulama tidak

memperbolehkan zakat dengan uang.”

عليذلكمارويعنواجازهابوحنيفة،وقدرويذلكمنعمربنعبدالعزيز.والدليلطاوسقال:ملاقدممعادبناليمنقال:ائتوينبعرضثيابكماخذهمنكممكانالذرةكانعمرابنالطاب والشعري،فانهاهونعليكموخريللمهاجرينيفاملدينة.وقالعطاء:

بعدأيخدالعروضيفالصدقةمنالدراهم.والناملقصوددفعاحلاجة،والخيتلفيفذلك 54احتادقدراملاليةابختالفصوراالقوال.

Imam Abu Hanifah memperbolehkan zakat fitrah dengan uang.

Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, berdasar dari riwayat Imam

Thawus, berkata: “ketika sahabat Mu’adz bin al-Yaman datang ke Madinah,

ia berkata: “Berikanlah aku seharga pakaianmu, aku ambil dari kalian

semua sebagai pengganti dari gandum dan jewawut, sesungguhnya itu lebih

mudah bagi kalian dan lebih baik untuk kaum Muhajirin di Madinah.” Imam

Atha’ berkata: “Dulu pada masa Umar bin Khatab mengambil zakat barang

dagangan dengan Dirham. Karna yang dimaksud zakat itu memenuhi hajat

masyarakat. Dan tidak ada perbedaan terkait hal tersebut setelah sepakat

kadar uangnya dengan beberapa model perbedaan pendapat.”

معناهاناايمنااالنبعدالتحقيقوامعانالنظرقلت:تلقيتمنبعضاملشايخيفمكةمايفقضيةزكاةالفطراندفعالقيمةايلالفقراءواملساكنيافضلبناءعلياهنماذامادفعاليهممننصيبهمابعذلكملأبرخصاألسعار،وقدشاهدتيفاحلجازانقيمةصاع

اليهم،فباعتلكاحلنط ةبرايلنيونصف،فكأهنميعتمدوناحلنطةثالثةرايالت،مثدفعنا55عليانالنقودخريمناحلنطة.

Aku berkata : aku bertemu dengan sebagain syekh di Makkah dan

sekitarnya, pada masa ini, setelah meneliti dan menimbang-nimbang dalam

permasalahan zakat fitrah, sesungguhnya membayar zakat fitrah kepada

fakir-miskin dengan uang itu lebih baik, karna jika dibayarkan dengan

bagianya (gandung dll) ia akan menjualnya dengan harga murah. Aku sudah

melihat kejadian tersebut di Hijaz, harga satu sha’ gandum 3 riyal,

kemudian kita bayarkan gandum kepada mereka, dan mereka jual gandum

tersebut dengan 2,5 riyal, sepertinya mereka bersandar bahwa uang lebih

baik daripada gandum.

54Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II, h. 109 55Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II, h. 110

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

96

Pada hadis diatas, mayoritas ulama tidak membolehkan dan mewajibkan

zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah

pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. 56 Walaupun dalam

madzhab Hanafi diperbolehkan dengan beberapa dalil yang tertera.

Pada penjelasan hadis diatas, Kiyai Muhajirin lebih condong pada pendapat

Imam Hanafi untuk memperbolehkan zakat fitrah dengan uang. Padahal, madzhab

yang dianut oleh pensyarah adalah madzhab Syafi’i yang notabenya tidak

memperbolehkan. Kontradiksi ini tentunya tidak beralasan, karena pensyarah lebih

condong kepada faktor sosial-masyarakat yang berkembang, ketika melihat realita

di Hijaz pada waktu itu, harga gandum dari hasil zakat, dihargai lebih murah

daripada harga biasanya di pasaran. Tentunya, itu merugikan bagi mustahiq zakat

(penerima zakat) dan menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum

Islam.

Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa

kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat. Bagi muzakki,

mengeluarkan zakat dalam bentuk uang sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan

bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak

pada saat itu.57

5. Nuansa Ke-Indonesia-an dalam Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

a. Tradisi “Ngaji Kubur”di Jakarta

وعنمعقلبنيساررضيهللاتعاىلعنهانالنيبصلىهللاعليهوسلمقال:اقرؤواعليداودوالنسائيوصححهابنحبان.موتكميس.رواهأبو

للوجوباولالستحباب،والظاهرانه اما عليموتكم...اخل،االمرهنا ش:قولهاقرؤواكمايفحديث:لقنواموتكم. الثاينلعدمالدواعياىلاألول.وموتكمأي:حمتضركم

56Lihat : Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295. 57Abdullah Al-Ghafili, Hukmu Ikhraji al-Qimah fi Zakat al-Fithr, h. 2-5

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

97

اسهللروجالروح.اواناملراداب ملويتبعدخروجروحهواحلكمةيفاالمربقراءةيسالنهباوقبلدفنه،فيكوناألمربقراءةيسعنداملوتقبلدفنهوقبلغسله.

Dari Ma’qil bin Yasar ra. Sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Bacalah

pada jenazah kalian semua surat Yasin.” HR. Abu Daud, Nasa’I, dan

disahihkan oleh Ibnu Habban. Pada perkataan “iqrou ala mautakum…”

perintah disini bisa untuk kewajiban ataupun kesunahan. Makna yang dzahir

adalah untuk kesunahan, karna tidak ada tanda yang menunjukan pada

makna awal (wajib). Dan pada kata “mautakum” bermakna yang yang

masih belum dikubur, seperti sudah dijelaskan pada hadis “laqqinu

mautakum”

Hikmah adanya perintah untuk membaca Yasin adalah untuk

mempermudah keluarnya ruh. Yang dimaksud “mauta” adalah setelah

keluarnya ruh dan sebelum jasad tersebut dikuburkan. Maka dari itu,

perintah untuk membaca Yasin ini ditunjukan kepada mayat yang belum

dikubur dan setelah dimandikan.

وامابعدالدفنفاليعربابملويتبلابلقرب.فاالحتجاجبسنيةالقراءةعندالقربهبذااحلديثاليصحوالينتهضدلياللسنيةالقراءةعندالقرب.فاحلديثخاصابملويت،أياحملتضراو

امليتفبلالغسلوالدفن.

افعية.وقدرويعنامحدانهقالابنقدامة:والأبسابلقراءةعندالقرب،واليهذهبالشقال:اذادخلتماملقابراقرؤواايةالكرسي،وثالثمرارقلهوهللااحد،اللهمانفضلهالهلاملقابر.ورويعنامحدانهقال:القراءةعنداملقابربدعة.وقيل:انامحدهنيضريرا

انيقرأعنداملقابر،وقالله:انالقراءةعندالقرببدعة.

Adapun setelah pemakaman, maka tidak disebut atau diistilahkan dengan

kata “mauta” tapi “qubr”. Maka berargument terkait sunahnya membaca

al-Qur’an disamping kuburan dengan hadis ini tidak sah, dan tidak

ditemukan dalil kesunahan membaca al-Qur’an disamping kuburan. Hadis

tersebut khusus bagi “mauta” yaitu mayit yang belum dikubur dan sudah

dimandikan.

Ibnu Qudamah berkata: diperbolehkan membaca Alquran disamping

kuburan, begitu juga pendapat madzhab al-Syafii. Diriwayatkan dari Imam

Ahmad, ia berkata: “jika kalian masuk di perkuburan, bacalah ayat kursi dan

3 kali surat al-Ikhlas, semoga Allah memberikan keutamaannya pada ahli

kubur. Diriwayatkan juga Imam Ahmad, ia berkata: membaca al-Qur’an

disamping kuburan merupakan bid’ah. Dan dikatakan: Imam Ahmad

melarang kemudharatan membaca Alquran disamping kuburan.

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

98

وامامااعتاداهاهلجاكراتوماحواليهامناهنمجيتمعونقريبالقربفيقرؤونابلنوبةمناولالتمةايلاخرهامراراعديدةمابنيثالثةأايمولياليها،وسبعةأايماوأربعنييوما،مثالفلم

يفذالك.وامناوردانمنزارقربوالديه،فقرأعندهيساوعندمهااجددليالعليورودهكثري.واماماذكرمنثالثةأايموحنوهافال يس،غفرله.فاحلديثالوارديفالزايرةوالقراءةيقاسابلزايرة،النالقارئمقيمعندالقربأيخداألجرةمنويلامليت.وامااستئجارقراءة

.58لسيدعلويمالكييفكتابهفيضالبريجوازهعنداالئمةاألربعةالقران،فقدحققا

Adapun kebiasaan penduduk Jakarta dan sekitarnya, setelah ada orang

meninggal mereka berkumpul di dekat kuburanya, kemudian membaca al-

Qur’an dengan bergantian dari awal sampai akhir berkali-kali selama 3 hari

dan malam, ada yang 7 hari dan 40 hari secara berturut-turut. Saya tidak

temukan dalil terkait hal tesebut. Akan tetapi terdapat dalil bahwa barang

siapa yang menziarahi kuburan orang tuanya, membacakan yasin disamping

kuburannya, maka diampuni dosa-dosanya. Banyak sekali hadis yang turun

sebagai legasi ziarah dan membaca al-Qur’an disamping kuburan. Adapun

terkait waktu 3 hari dan sebagainya, tidak bisa dianalogikan dengan ziarah,

karna pembaca tersebut bermukim disamping kubur dan mengambil upah

dari wali mayit. Adapun mengambil upah dari membaca al-Qur’an, sudah

pernah diteliti oleh Sayid Alwi di dalam kitabnya Faidlul Khabir terkait

kebolehanya menurut 4 madzhab.

Pada syarah hadis diatas, Kyai Muhajirin membahas terkait tradisi yang

berjalan di Jakarta dan sekitarnya. Tradisi suku Betawi agak sedikit berbeda dengan

suku Jawa terkait aktifitas yang dikerjakan setelah bagian dari keluarganya

meninggal. Kalau ritual 3 (nelung ndino), 7 (mitung ndino), 40 (matang puluhan),

100 (nyatus) sampai dengan 1000 (nyewu) hari itu lazim di dilakukan suku Jawa

dan Betawi. Tapi, kalau di Batawi ada tradisi ‘ngaji kubur’ yaitu khatam Alquran

beberapa kali dengan dilakukan di samping kuburan mayit, baik oleh ahli waris

ataupun ‘nyewa’.

Pendapat pensyarah, hal tersebut bukan termasuk ziarah dan bukan

merupakan dalilnya. Jika disebut ziarah, yang harusnya dilakukan sebentar, akan

tetapi itu dilakukan tanpa henti secara bergantian oleh beberapa orang dalam 3 hari

berturut-turut, bahkan lebih. Maka dari itu, tradisi tersebut tidak dapat dianalogikan

atau diqiyaskan dengan ziarah. Selanjutnya, Kyai Muhajirin tidak merinci secara

jelas, akan tetapi pada alinea setelahnya membahas terkait hukum menerima upah

untuk membacakan al-Qur’an kepada si mayit, dan diperbolehkan berdasar

58 MuhammadMuhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II,h. 26-27

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

99

penelitian dari Sayid Alwi al-Maliki dalam kitabnya ‘Faidlul Khabir’. Hal itu

merupakan indikasi, bahwa pensyarah mencoba untuk mencari dalil yang sesuai

untuk tradisi tersebut, dalam bahasa ushul fikih disebut proses tanqih al-manath

(verifikasi dalil yang sesuai).

Bagi penulis, ada dua hal penting dalam pensyarahan hadis ini : pertama,

mengangkat budaya atau tradisi Betawi ‘khataman’ pasca terjadinya musibah

kematian. Kedua, mencari jalan keluar alternative legalitas hukum agar budaya

tersebut tetap bisa dilestarikan, karna tradisi yang baik merupakan ciri khas penting

dalam penyebaran dakwah Islam di Nusantara.

b. Khazanah Falak di Nusantara

مهمة

مماحققتبعضعلمائنايفجاكراتاناهلاللاليرياالبعدمضيسبعدرجات،وانمنادعيرأيتهكثرية،فالشهودال كذاابحمضاولوبشهود كاناهلاللسبعاقلمنهاعدذالكالرائي تعترباالاذا

59درجاتفمافوقها.Hal Penting

Dari apa yang terlah ditetapkan sebagian ulama di Jakarta, sesungguhnya

hilal tidak terlihat kecuali setelah melewati 7 derajat. Dan barang siapa yang

mengaku melihatnya, dibawah ukuran tadi, maka orang tersebut dianggap

pembohong belaka, walaupun dengan saksi yang banyak. Dan saksi tidak

diterima, kecuali hilal mencapai 7 derajat ataupun lebih.

قلت:هذهالطةرسختيفعقليمنذعهدالقدمي،ايلمنهللاتعاىلعليابلسفرايلبلدفة،فلمااقمتهناكاجتمعتجبملةمنالطلبةمابنيمالايوسيامهللااألمنيمكةاملشر

واحلجازفتحدثتمعهمعنرسوخخطيتيفمسألةاهلاللفكلهميضحكونعليتلكالطةايلأنسألتبعضمشائخييفمكةاملشرفة،فأجاباناحلكمعندهالتعتربالدرجة

كانمدارهمعليال رؤيةفعال.فاذارفعشاهدانايلاحملكمةاليتحققهاعلماءالرايجبلالشرعيةالكربىأبهنمارأاياهلالل،ومعهماتزكيةالشهودقبلاحلكموأثبتالرؤية.واذاثبت

59Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II,h. 141

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

100

الرؤيةعنداحلاكمامرتاحلكومةالرعيةبصيامرمضانمبوجباثباتاحلاكمالرؤيةفعالومل 60يتعرضعليهالشخص.

Saya katakan: konsep tersebut sudah gamblang (jelas) dalam pemikiran

saya sejak lama, sampai Allah berikan saya kesempatan untuk belajar di

Makkah Mukarramah, ketika saya bermukim disana, saya berkumpul

dengan sejumlah santri dari Malasyia, Siyam (Phatani), dan Hijaz. Saya

bicarakan terkait apa yang sudah terkonsep dalam pikiran saya soal hilal,

dan mereka semua menertawakan konsep yang saya ketahui tersebut,

sehingga saya tanyakan pada sebagain guru saya di Makkah. Jawabanya:

sesungguhnya, hukum terhadap hilal tersebut bukan berdasar derajat yang

telah ditetapkan oleh ahli derajat tersebut, akan tetapi areanya tergantung

pengelihatan secara langsung. Ketika 2 saksi sudah melaporkan ke

Mahkamah Syar’iyah Kubra (semacam Mahkamah Agung), sesungguhnya

mereka berdua melihat hilal, dan bersamanya adanya rekomendasi

kesaksian sebelum persidangan dan ditetapkan adanya pengelihatan. Dan

jika ditetapkan ru’yah (pengelihatan) oleh hakim, maka pemerintah

memerintahkan kepada rakyatnya untuk berpuasa Ramadhan dengan alasan

kewajiban terhadap penetapan hakim terhadap pengelihatan secara

langsung, dan tidak ada yang mempermasalahkan.

اضياحملكمةومنمجلةماسألتهمناملشائخشيخناحممدايسنيالفلكي،فقال:الكلعندانحتتقالشرعيةالكربى.

قلت:والذيعولتعليهأانبعدمناظرةحقيقةاناملداريفصيامرمضانوفطرشوالمنوطابلرأية،ولوكانارتفاعاهلاللاقلمندرجتنيبقليل.فاملدارعليالرؤيةبعداالجتماع

وجدتاناهلالليريقبلا كنتيفاحلرمنيالشرفني، فأثبتغرياينعندما الجتماع،القاضيتلكالرؤيةمبوجبالشهودفصامالناسوملاراختالفابنياألئمةمابنيفلكيكانارتفاعهاقل وحمدثوفقيهوصويف.عندمانزلتموطينجاكراتوجدتاناهلاللاذااالابهللالعليالعظيم،فعسي منسبعدرجفهوحملالالفواملشاجرةوالحوالوالقوة

61ئكانيكونوامناملنصفنييتبعوناألدلةحيثماوجدواومليتعصبواايلتلكالعصية.أول

60Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II,h. 142 61Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid

II,h. 142

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

101

Dari sejumlah ulama yang saya tanyai adalah Syekh Muhammad Yasin al-Falaky,

dia berkata: semua disini (di Makkah) dibawah keputusan Qadhi Mahkamah

Syar’iyah Kubra.

Saya katakan: yang saya andalkan setelah perdebatan fakta, sesungguhnya orbit

untuk menentukan puasa Ramadhan dan berbukaan di bulan syawal itu sesuai

dengan ru’yah (melihat langsung). Walaupun ketinggian hilal lebih sedikit dari 2

derajat. Terkait rukyat harus setelah ijtima’ (konjungsi), saya ketika masih di

Makkah, menemukan hilal yang terlihat sebelum adanya konjungsi, dan Qadhi

menetapkan ru’yat tersebut dengan adanya saksi, dan mewajibkan orang-orang

berpuasa, dan saya tak melihat adanya perbedaan pendapat antara ahli falak, ahli

hadis, ahli fikih dan ahli tasawuf. Ketika saya kembali ke negara saya, daerah

Jakarta, saya temukan pendapat, jika hilal ketinggianya masih dibawah 7 derajat,

itu merupakan hal yang masih debatable dan huru-hara, tiada daya dan kekuatan

kecuali milik Allah yang Maha Luhur dan Agung. Semoga mereka itu menjadi

orang yang adil mengikuti dalil-dalil yang sekiranya ditemukan, dan tidak fanatik.

Menurut penulis, Kyai Muhajirin membawa konsep penetapan hilal dalam

hitungan 2 derajat dari keputusan Kementrian Agama ke masyarakat Internasional,

walaupun tidak diterima bahkan ditertawakan oleh teman-temanya. Padahal kriteria

2 derajat itu merupakan khazanah Indonesia, setelah mencapai kesepakatan mencari

jalan tengah sebagai pengikat antara hisab dan rukyat. Tentunya keputusan tersebut

melalui proses yang panjang dan melelahkan perdebatan antara para ahli falak dari

dua ormas besar di Indonesia.

Sampai sekarang, belum ada kesepakatan kriteria yang digunakan dalam

penentuan awal Ramadhan, karena sifat visibilitas hilal cukup rumit dan ditemukan

ketidak pastian (uncertainty zone)62. Kriteria depag RI berdasarkan tinggi hilal

terendah yang dilaporkan bisa dirukyat, yaitu minimal 2 derajat63. Menurut

Purwanto (1993) kriteria ini berdasarkan kriteria tinggi hilal 2 derajat menurut hisab

dan digabungkan dengan hasil pengamatan rukyat. Secara ilmiah prinsip

penggabungan antara hisab dan rukyat memang baik karna kedua saling

mendukung, tetapi kriteria ditetapkan sebesar 2 derajat tersebut sulit diterima

62 M. Ilyas, 1997, Astronomi of Islamic Calender, Kuala Lumpur: AS Nooredeen. h.124

dan 129 63 Abu Muthi’ah, 1992, Ibrah Idhul Fitri Mengenal Cara Penetuan Awal Bulan, al-

Muslimun no. 268, hal 86.

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

102

masyarakat64. Bahkan satu konfrensi Islam di Istambul adalah resolusi tentang

kriteria visibilitas hilal, dan menghasilakan keputusan bahwa tinggi hilal minimal

5 derajat dengan jarak busur bulan dan matahari minimum. Dan dari variasi

perbedaan tersebut, merupakan rahmat bagi umat.

B. Kontribusi dan Prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis

1. Proses Penyebaran dan Kontribusi Kiyai Muhadjirin dalam

Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia

a. Proses penyebaran kitab Misbâh al-Ẕalâm

Kitab Misbâh al-Ẕalâm pada mulanya masih berupa tulisan tangan dan

berjumlah 8 jilid. Kemudian pada tahun 1985 atas perintah dan arahan Kiyai

Muhajirin, Kiyai Mahfuz Asirun65mengetik ulang naskah tersebut. Kiyai Mahfuz

sempat menolak bahkan merekomendasikan penulisan kitab ini kepada abdul mujib

salah satu kaligrafer, penulis kaligrafi masjid Darul Muhsinin Bekasi. Per juz

dibayar Rp.1500, ada sekitar 600 halaman per juz. Total ada 4 jilid masing masing

600 an halaman, namun Abdul Mujib menolak.Setelah tawaran ditolak, akhirnya

Kiyai Mahfuz mengetik sendiri naskah tersebut dengan dibantu oleh Kiyai

Syarifudin Basmol dan H. Muhamad Zein.Naskahini juga sudah digandakan

kepada KH. Maulana Kamal Yusuf dan KH. Abdul Hamid kampung baru -.

Pada akhir penulisannya Kiyai Mahfuz sempat didera keraguan apakah

sudah benar tulisannya, akan tetapi kiayi Muhajirin memberi penguatan terhadap

muridnya itu. Akhirnya setelah yakin, naskah hasil ketikan diajukan ke penerbit al-

Aydrus Tana Abang Jakarta Pusat, empat bulan setelah dikirim ke penerbit, naskah

tersebut belum juga dicetak. Kemudian Kiyai Mahfuz mencari penerbit lain, setelah

dibandingkan naskah asli maupun ketikan akhirnya naik cetak ke penerbit Darus

Syuruq lalu Dâr al-Hadîts (Mesir).

64 Purwanto, Penanggalan Islam, Akankah Terus Berbeda? Risalah, no.3/XXXI, Juli 1993

h.13 65 KH. Mahfudz Asirun merupakan pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon,

Cengkareng. Beliau juga merupakan anak didik langsung dari Kiyai Muhajirin.

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

103

Sebenarnya untuk kawasan Jabodetabek kitab ini sudah published di

berbagai Majelis Ilmu yang pengasuhnya mayoritas memang murid langsung dari

Kiyai Muhajirin.Banyaksekali Majelis Ilmu yg sudah mengkaji kitab ini, antara lain

Majelis Ilmu di Masjid Tangkuban Parahu Manggarai Jakarta yang diasuh oleh

Kiyai Mahfuz Asirun, demikian juga di Masjid Shodri Asshiddiqi Cakung yang

diasuh oleh Kiyai Fakhruddin, belum lagi di Majelis Ilmu di Bekasi yg sangat

banyak mengkaji kitab ini.

Kitab ini sudah sampai juga ke manca negara seperti Turki yang diserahkan

langsung oleh Dhiya al-Maqdisi-anak Kiyai Muhajirin ke Duta BesarTurki untuk

Indonesia tahun 2015. Kitab ini juga sudah sampai di Hadramaut-Yaman melalui

penyerahan langsung Kiyai Mahfuz ke Habib Umar bin Hafidz tahun 2016 yang

lalu.Kiyai Mahfuz juga sudah mempublished kitab ini secara langsung ke para

Masyaakhih di Sudan.Kitab ini juga telah dihadiahkan oleh Dhiya al-Maqdisi ke

para Masyakhih di Negeri ini,seperti Maulana Habib Luthfi bin Yahya,Mbah KH.

Maimoen Zubair,KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus),KH. Said Agil Siradj, KH.

Hasyim Muzadi (w. 2017),KH. Ali MusthofaYa'kub (w. 2016),Said Agil al-

Munawwar dan baru beberapa bulan laludihadiahkan ke Habib Jindan bin Novel

bin Salim Jindan dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan.Ada beberapa

Kalimatutta'ajjub dari Abah Maulana Habib Luthfi bin Yahya,Mbah Maimoen

Zubair dan Gus Mus terhadap kitab Misbâh al-ẕalâm.66

b. Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam Perkembangan Syarah Hadis di

Indonesia

Pada abad 14-15 hijriyah, perkembangan syarah hadis di Indonesia terus

mengalami kemajuan. Hal ini terlihat dari banyaknya karya yang dihasilkan oleh

para ulama Nusantara, baik menggunakan bahasa arab ataupun bahasa lokal (Jawa,

Melayu dan Indonesia). Berikut rangkuman ulama-ulama yang menulis syarah

hadis pada awal abad 14 -15 hijriyah:

66Info ini penulis peroleh dari Dhiya al-Maqdisi (anak Kiyai Muhajirin), melalui

wawancara.

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

104

1) Syarah Arba’în Nawâwi Karya Abdur Rauf Ibn Ali Al-Fanshuri al-

Syattari.

2) Kitab Tanqiẖ al-Qaûl al-Hatsîts bî Syarẖ Lubâb al-Hadîts karya

Muhammad Nawawi Ibn Umar al Bantani (W. 1897 M)

3) Hasyiyah al-Turmûsi dan kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah syarẖ Mihaẖ al-

Khairiyah karya Mahfuz Ibn ‘Abdullah al-Tarmasi.

4) Kitab Baẖr al-Madzî li syarẖ Mukhtashar Saẖîẖ al-Tirmidzî (22 jilid) karya

Muhammad Idris Ibn ‘Abdul Rauf al Marbâwî.

5) Kitab Hadis 40 Terjemahan dan Syarhan karya Mustafa Ibn ‘Abdur Rauf

(W. 1968 M)

6) Kitab Ilhâm al-Bârî SyarẖSaẖîẖ al-Bukhârî, kitab Taẖdzib Aṯrâf al-Hadîts

bi Syarẖ Mâ fî Kitab Mukhtâr al-Aẖâdîts karya ‘Abdul Halim al-Hadi (W.

1981 M).

7) Kitab SyarẖHadîts Sunan Abî Dâwûd (22 Jilid) karya Muhammad Yasin Ibn

Isa Al Fadani.

8) Kitab Syarah Hadis empat puluh karya ‘Ashbirin Ya’qub

9) Kitab Terjemah Bulugh al-Maram disertai catatan kaki karya Ahmad Hasan

Bandung

10) Kitab Misbâẖ al-ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min adillati al-Aẖkam

karya Muhajirin Amsar

Kitab-kitab syarah hadis tersebut merupakan sampel dari sekian kitab- kitab

syarah hadis yang ada. Sebab, minimnya literatur yang memuat antologi yang

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

105

berhubungan ulama-ulama hadis di Indonesia menjadikan sebagian besar karya

ulama Indonesia tidak tereksplorasi.

Melalui karyanya, Kiyai Muhajirin membuktikan perhatiannya terhadap

kajian hadis di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan kitab hadis yang yang

beliau pilih untuk disyarahi yakni Bulûgh al-Marâm yang bercorak fikih.Muhajirin

memberikan babak baru bagi muslim Indonesia agar lebih membuka pemikirannya

untuk memahami hadis-hadis Nabi khususnya yang berkaitan dengan hukum secara

kaffah (karena beliau tidak hanya mengutip pendapat satu mazhab tertentu). Hukum

memiliki posisi tertinggi bagi umat muslim, baik permasalahan yang menyangkut

setiap individu atau sosial. Hal ini disebabkan Allah swt. menilai ibadah manusia

melalui koridor-koridor hukum. Jika terjadi pelanggaran hukum maka wajib

menerima konsekuensi dari pelanggaran hukum tersebut. Hal inilah salah satu

alasan yang mendorong Muhajirin untuk mensyarahi hadis-hadis hukum dalam

Bulûgh al-Marâm.

Pemahaman yang luas terhadap suatu hukum dengan memahami secara

detail perbedaan pendapat dari masing-masing madzhab, tentu mengantarkan

pembaca untuk lebih bersikap toleran dan dinamis. Sebab ia tidak mudah

mengklaim kafir, khurafat dan lainnya kepada umat muslim yang berbeda

dengannya. Selain itu, umat muslim Indonesia juga lebih mudah dan fleksibel

dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum. Karena pokok dari suatu

permasalahan tersebut dapat di’illatkan dengan pendapat para ahli hukum melalui

kaidah ushul fikih.

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

106

2. PrinsipKiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis

Prinsip keseimbangan ialah dasar yang dijadikan Kiyai Muhajirin dalam

mensyarah hadis, selain memaparkan pendapat-pendapat para ulama dalam

sebuah teks hadis. Ia juga melakukan tabyîḏ yaitu sebuah upaya verifikasi untuk

menyeimbangkan pendapat mereka, pendapat dan pandangan para ulama yang

memang benar-benar sesuai dan relevan dengan tema pembahasan. Hal ini

dilakukan untuk menyeimbangkan pemahaman fikih yang berkembang di

Indonesia. Kiyai Muhajirin juga menyajikan paparan terkait pandangan para

ulama dengan tidak melakukan klaim terhadap pendapat tertentu. Jika terjadi

persoalan yang kompleks ia akan mengambil kaidah ushul fikih sebagai upaya

ijtihadnya, dan mengatakan pendapat ulama yang satu lebih kuat dibanding ulama

lainnya.

Terminologi awla (lebih utama) ia gunakan sebagai upaya tahqîq terhadap

ijtihadnya, bukan lafadz asaẖẖu (lebih benar). Sikap ini dicontohkan Kiyai

Muhajirin agar para santri dan masyarakat sekitar memahami bahwa pendapat

menjadi kuat karena adanya pendukung pendapat lain yang menguatkan.

Terminologi awla terkesan lebih dinamis dan santun dibanding penggunaan

terminologi asaẖẖu (lebih benar). Sikap toleransinya dalam beragama khususnya

pada wilayah hukum fikih, jelas tereksplo rasi dari teks-teks syarah hadisnya.

Sehingga kitab Misbâẖ al-Ẕalâm memiliki keistimewaan dalam menggandeng umat

di Indonesia untuk saling menghargai dalam beragama dan berlandasan hukum.

Selain itu, memahami hukum fikih lintas madzhab juga mampu menampik

mewabahnya islam radikal dan liberal, dengan harapan menciptakan islam yang

lebih dinamis dan harmonis dalam mewujudkan islâm raẖmatan li al ‘alâmîn.

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

108

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kiyai Muhajirin menggunakan metode muqârin dalam menulis kitab

Misbâẖ al-ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Hal ini dapat

dilihat dari bagaimana cara beliau membandingkan hadis yang memiliki redaksi

sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam

kasus yang sama dan membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam

mengomentari hadis. Dalam menerapkan metode ini, Kiyai Muhajirin membumbui

kitabnya dengan pembahasan yang bercorak fikih-ushul fiqh dan linguistik dengan

menggunakan tehnik interpretasi intertekstual sehingga tidak mengabaikan makna

dari teks itu sendiri, juga tetap memerhatikan bagaimana konteks hadis itu terjadi

dan bagaimana ulama mensikapi hadis tersebut.

Nuansa ke-Indonesia-an dan pendekatan sosiologis juga tampak di beberapa

bab dalam kitab Misbâẖ al-ẕalâm namun hal itu tidak mendominasi. Walaupun

tetap menjadi poin pembeda antara kitab tersebut dengan kitab-kitab syarah Bulûgh

al-Marâm yang lainnya dan tetap relevan untuk dikaji di wilayah Indonesia.

Secara umum, sistematika penulisan dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm

mengikuti sistematika yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. dalam

syarahnya, Kiyai Muhajirin mencantumkan hadis dari kitab Bulûgh al-Marâm

dengan memberikan tanda huruf (ص ) yang berarti musannif pada awal kalimat dan

memberikan tanda huruf (ش) yang berarti syarah pada kalimat pertama dalam

syarahnya.

Dalam setiap kitab, ia menjelaskan makna kebahasaan dengan tujuan

memperoleh pemahaman yang komprehensif, baik lafaz tersebut berupa judul bab

ataupun hadis itu sendiri. Namun, penjelasan kebahasaan lebih bersifat interpretatif

bukan sebatas mengungkap bentuk kalimatnya (morfologi dan filologi). Tidak

jarang, Muhajirin menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai penguat syarahnya dalam

konteks-konteks tertentu.

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

109

Langkah selanjutnya ia menuliskan kembali hadis yang terdapat dalam kitab

induknya, dan menjelaskan asbâb al-wurûd-nya jika ada. Kemudian ia

mengungkapkan pendapat para ulama madzab fikih seperti Abu Hanîfah, Imam al-

Syâfi’î, Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal terkait pemahaman mereka dalam

hadis ahkam tersebut. Namun, ia tidak memberikan sintesis akhir dalam setiap hadis

yang ia syarahi. ia hanya menutupnya dengan pernyataan ulama-ulama ahli fikih

dan membiarkannya tanpa ia tambahkan penjelasan beliau terhadap masing-masing

pendapat mereka.

B. Saran

1. Kitab ini sangat layak untuk dikaji oleh kalangan masyarakat luas karena

menyajian pandangan-pandangan ulama yang komprehensif, sehingga akan

membuka khazanah berpikir yang lebih luas dan menumbuhkan sikap

toleransi lebih tinggi. Karena tidak hanya menyajikan satu pendapat mazhab

saja.

2. Masih banyak karya ulama nusantara yang dapat dikaji oleh kalangan

akademis. Hal ini menjadi penting sebagai bentuk apresiasi terhadap karya-

karya yang ada, juga untuk menghindari kepunahan karya-karya ulama

Indonesia karena tergerus oleh karya dari negara lain.

3. Terakhir, penulis menyadari masih ada kekurangan yang perlu ditambah

dalam penelitian ini, sehingga penulis sangat membuka diri untuk masukan-

masukan yang akan diberikan.

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

110  

DAFTAR PUSTAKA Abû Syahbah, Muẖammad. fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah.Kairo: Majma’ al-

Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995. Abû Zahwu, M. M. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi al-Sunnati

al-Nabawiyyah. Cet. II, Riyâḏ: Syirkah al-Ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1984. Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof.

Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisans, 2005. Aisyah. Kontribusi Imam al-Bukhari dalam Validasi Hadis. Cet. I; Makassar: Alauddin

University Press. 2011. Ali, Nizar. Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarah Hadis. Yogyakarta: Lentera Hati,

2001. ------- Memahami Hadis Nabi, Metode dan Pendekatannya. Cet. II; Yogyakarta: Idea Press.

2011. Amsar, Muhammad Muhajirin Bekâsi. Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillati al-

Aẖkâm. Kairo: Dâr al-Hadîts. 2018. Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Surabaya: Dâr al-‘Ilm. t.t Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII. Bandung: Mizan, 2004. Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern. terj. Jaziar Radianti dan

Entin sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Cet. II; Yogyakarta: Gading

Publishing. 2015. Al-Bukhârî. Saẖîẖ al-Bukhârî. Jilid II Riyâḏ: Baitu al-Afkâr al-Daûlî li al-Nasr, 1998. Burhanuddin‚ Mamat Slamet. “K.H. Nawawi Banten: Akar Tradisi Keintelektualan NU” Jurnal

Miqot, Vol. XXXIV No. 1 (2010). Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: TH

Press, 2009. Dzakir, Jawiah dan Ahmad Levi. “Ketokohan Syekh Muhajirin Amsar Ad-Dary Sebagai Ilmuwan

Hadis Nusantara”. Jurnal Prosiding Nadhwah Ulama Nusantara, Vol. IV(2016): 234. Fadli, Ahmad. Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap

Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20). Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. al-Fârisî, Al-Amîr ‘Alâu al-Dîn ‘Alî ibn Bilbân. Saẖîẖ ibn Hibbân bitartîbî ibn Bilbân. Juz IV Cet.

II, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993. Ibn Hanbal, Aẖmad. Musnad Ahmad. Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1997. Juz XIX. Cet I. Haryono, M. Yudhie. Nalar al-Qur’an. Jakarta: PT Cipta Nusantara. 2002.

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

111  

ibn Manzûr. Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Makram al-Afrîqî al-Misrî. Lisân al-‘Arab, jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1990.

Ibnu Baṯal. Syarah Saẖîẖ al-Bukhârî li Ibnu Baṯal. Riyad: Maktabah ar-Rasyd, 2003. Jilid II. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang

Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. ------- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah.

Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang. 1988. al-Jawwabî, Muhammad Ṭâhir. Juhûd al-Muẖâditsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-Nabawî al-

Syarîf. Nasyr wa Taūzi’ Mu’assasât al-Karîm bin ‘Abd Allah, t.th. al-Kailânî, Al-Sayyid Munâdir Ahsan. Tadwîn al-Hadîts. Cet. I, Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî.

2004. al-Kandahlâwî, Muhammad Zakariyyâ. Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik. Jilid I. Beirût: Dâr

al-Fikr, tt.h. Kasiram, Moh.. Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi

Penelitian. Cet. I; Malang: UIN-Malang Press. 2008. al-Kâsyit, Muhammad ‘Utsmân. Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi. Kairo: al-

Maktabah al-Qur’ân, t.th.Kasiram, Moh. Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008.

al-Khûlî, Muhammad ‘Abd al-‘Azîz, Miftah al-Sunnah aw Târīkh Funûn al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

Mâlik. al-Muwaṯṯa Kitâb al-Ṯaharah. Juz I Cet. III, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1998. Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani. Mafahim Yajibu ‘an Tushahhah,

Surabaya: Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah Mochamad Samsukadi, “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren”. Religi: Jurnal Studi Islam,

Vol. 6, No. 1 April 2015. Muhajirin. Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūzh Al-Tirmasī,

Disertasi Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Munandar‚ “Perkembangan Hadis di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Abd Rauf al Sinkili)”.

Jurnal Ihya al ‘Arabiyyah Vol. 4 no. 1. Muniroh. “Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; Studi kitab al- Khil’ah al-

Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al- Khairiyyah karya Mahfudz al- Tirmasi, kitab al-Tabyîn a l -Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar”. Tesis: UIN Sunan Kalijaga, 2015.

Nadhiran, Hedhri. Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis. Jurnal Ilmu Agama. Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang

Nisa, Khoirun. “Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-Islami Bekasi Timur”. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.

al-Nuri, Hasan Sulaiman dan ‘Alawî Abbas al-Malikî. Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm. Beirut: Dâr al-Fikr. 2008

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/HANI HILYATI...repository.uinjkt.ac.id

112  

Qarḏâwî, Yûsuf. Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. Bandung: Karisma, 1993.

Purwanto. Penanggalan Islam, Akankah Terus Berbeda?. Risalah. no.3/XXXI. Juli 1993. Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung: PT. al-Ma’arif. 1974. al-Rauf, Abd. Faidlul Qadir Syarh Jami’ as-Saghîr. Mesir : Maktabah Tijariah Kubra, 1937. Jilid

6. Samsukadi, Mochamad. “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren.” Religi: Jurnal Studi Islam.

Vol. 6, No. 1 (April 2015) Al-San’anî, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salâm. Kairo : Dâr al-Hadîts, t.t.. Jilid 1. Al-San’anî. Tauḏîẖ al-Afkâr lima’ânî Tanqîẖ al-Izhâr. Beirût: Dâr al-Fikri, tt. al-Saukanî, Muhammad. Nailu al-Awṯar. Kairo : Dâr al-Hadîts, 1993. Jilid 1. al-Siba’i, Mushafa. al-Hadis Sebagai Sumber Hukum. terj. Dja’far Abd. Muchith. Bandung: CV.

Diponogoro. 1979. ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

2009. ------- Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Suryadilaga, M. Alfatih. “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya”

dalam Jurnal of Quran and Hadith Studies Vol. 4 No. 2 (2015). ------- Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruksi Metodologi

Syarah Hadis). Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012. Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII –

Sekarang)”. Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, Vol. 05, No. 01, Januari 2004. ------- Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran ,(tt: tp: tt). Tim, GENEALOGI INTELEKTUAL ULAMA BETAWI(Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal

Abad ke-19 sampai Abad ke-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre, 2011.

Umar, Nasaruddin . Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Cet. I; Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2008.

Zuhri, Muh. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 1997.