repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46725/1/hani...
TRANSCRIPT
KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH
BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-AHKÂM)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh
Hani Hilyati Ubaidah
NIM: 21150340000002
PROGRAM MAGISTER ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
KONSENTRASI HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2019 M
Pembimbing II/Penguji IV
Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag
Tanggal:
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS TERBUKA
Tesis berjudul KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB
MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-
AHKÂM) telah diujikan dan dinyatakan LULUS dalam Sidang Tesis Terbuka
Program Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 31 Juli 2019, dan tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan
masukan dari Tim Penguji.
Anggota,
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Bustamin, SE, M.Si
Tanggal:
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag
Tanggal:
Penguji II,
Dr. Bustamin, SE, M.Si
Tanggal:
Penguji I,
Dr. Sandi Santosa, M.Si
Tanggal:
Pembimbing I/Penguji III
Dr. Atiyatul Ulya, MA
Tanggal:
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmânirrahîm, puji dan syukur kehadirat Allah atas segala kasih
sayang, petunjuk, dan lindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai
akhir zaman. Tesis penulis yang berjudul “Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbâh
Al-Ẕalâm Syarh Bulûgh Al-Marâm Min Adillati Al-Ahkâm)” merupakan hasil penelitian
penulis untuk menyelesaikan studi jenjang pendidikan Magister (S2) Ilmu Hadis di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat terealisasi tanpa dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dalam
menyelesaikan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada:
1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta seluruh jajaran.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Kusmana, M.A., Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, dan Dr. Media Zainul Bahri, M.A.
sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dr. Bustamin, SE, M.Si sebagai Ketua Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bapak Dr. Ahmad Fudhaili, MA sebagai
Sekretaris Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta merangkap pembimbing II, yang memberikan arahan awal sebelum seminar
proposal tesis dan arahan akademik lainnya.
5. Dr. Atiyatul Ulya, M.A. selaku pembimbing I yang telah mengarahkan dan
membimbing penulis selama penyusunan tesis ini.
iv
6. Seluruh dosen dan staf administrasi serta petugas perpustakaan pada Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, petugas Pusat Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, petugas Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang secara langsung dan tidak langsung telah memberi
bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis.
7. Abi Drs. H. Abu Ubaidah dan Umi Dra Hj. Maswah penulis yang telah memberikan
doa dan dukungan moril maupun materil sehingga penulis tetap bisa melanjutkan
pendidikan sejauh ini.
8. Suami tercinta Nur Solikin, SH dan anak-anak tersayang ananda Muhammad Amjad
Hasheel beserta ananda yang masih di dalam perut, dan dedek Muhammad Sahal
Arrazy yang senantiasa memberikan doa, semangat, dorongan setulus hati dan
bantuannya dalam menyelesaikan studi, semoga ilmu yang penulis dapatkan
bermanfaat bagi keluarga.
9. Seluruh rekan-rekan penulis yang menemani dan mendukung serta melalui
perjuangan bersama-sama sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan.
Harapan penyusun, semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya bidang Ilmu Hadis baik di Perguruan Tinggi maupun lembaga
keilmuan lainnya serta bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
Ciputat, Juli 2019
Penulis,
Hani Hilyati Ubaidah
ABSTRAK
Hani Hilyati Ubaidah (21150340000002)
Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-
Marâm min Adillati al-Aẖkâm)
Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm
merupakan salah satu dari banyak kitab syarah hadis Bulûgh al-Marâm. Kitab ini
merupakan karya ulama Nusantara yang belum banyak mendapatkan perhatian dari
para pengkaji kitab hadis di Nusantara. Padahal, ini merupakan magnum opus dari
Kiyai Muhajirin yang tersaji dalam empat jilid kitab dan juga berbahasa Arab.
Tesis ini berupaya untuk memperkenalkan kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ
Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm secara lebih luas dengan memaparkan
bentuk metode dari kitab ini, juga tehnik interpretasi dan corak yang digunakan
kiyai Muhajirin dalam melakukan pensyarahan melalui sampel yang diambil dari
masing-masing jilid. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
yang termasuk dalam penelitian kualitatif. Sumber utama penelitian ini adalah kitab
Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm karya Kiyai
Muhajirin.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kiyai Muhajirin
menggunakan metode muqârin dalam melakukan pensyarahan dengan tehnik
interpretasi intertekstual dan sarat dengan corak fikih-ushul fiqh juga corak
linguistik.
Kata Kunci: Syarah Hadis, Kiyai Muhajirin, kitab Misbâh al-Ẕalâm
امللخص
(21150340000002)هاين حلية عبيدة مالحظات شرح احلديث
)دراسة نصية يف كتاب مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام(
مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام هو واحد من العديد من كتب شروح حتظ ابهتمام احلديث بلوغ املرام البن حجر العسقالين. الف هذا الكتاب احد علماء نوسانتارا، ومل
كبري من ابحثي احلديث علي هذا التأليف. يف الواقع، هذا هو مغنوم أوفوس كياهي حممد مهاجرين امسار بكاس الذي مت تقدميه يف اربعة جملدات وكذالك ابللغة العربية.
حتاول هذه األطروحة لتقدمي كتاب مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام اكثر املناهج يف كتابة هذا الكتاب، فضال عن التفسريات لواسع مع شكل عرض األسلوب اوعلي نطاق ا
الفنية واألمناط املستخدمة لكياهي مهاجرين امسار بكاس من خالل اخذ املثال يف كل اجمللدات. هذا البحث هو حبث املكتبة املندرجة يف البحث النوعي، واملصدر الرئسي هلذا البحث هو كتاب
الم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام لكياهي حممد مهاجرين امسار بكاس.مصباح الظبناء علي نتائج الدراسة، وجد ان كياهي مهاجرين يستخدم طريقة املقارنة و فسره ابملنهج
اينرتتكتوال يف شرح احلديث، وحمملة أبمناط الفقهي وكذالك األمناط اللغوية.
مصباح الظالم كياهي املهاجرين ، كتابكلمات البحث: شرح احلديث،
v
DAFTAR ISI
Halaman judul
Lembar Pengesahan.......................................................................................................... i
Penyataan Keaslian Tesis ................................................................................................. ii
Kata Pengantar ................................................................................................................. iii
Daftar Isi ............................................................................................................................ v
Pedoman Transliterasi ...................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7
1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7 2. Pembatasan Masalah ............................................................................ 7 3. Perumusan Masalah ............................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 8 1. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 2. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
D. Kajian Pustaka .......................................................................................... 8 E. Metode Penelitian ..................................................................................... 10
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian ..................................... 10 2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 11 3. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 11 4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ...................................... 12
F. Tehnik Penulisan ....................................................................................... 13 G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 13
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN SYARAH HADIS
A. Definisi Syarah Hadis ............................................................................... 15 B. Sejarah Syarah Hadis di Timur Tengah .................................................... 17
1. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis .................................................. 18 2. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis .............................................. 26 3. Periode Kemunduran Syarah Hadis ................................................... 29 4. Posisi Syarah Hadis dalam Ilmu Hadis .............................................. 32
C. Metode-metode Syarah Hadis ................................................................... 33 1. Metode Tahlili .................................................................................... 34 2. Metode Ijmali ..................................................................................... 36 3. Metode Muqarin ................................................................................ 37
D. Tehnik Interpretasi Hadis .......................................................................... 39 1. Tekstual .............................................................................................. 39 2. Kontekstual ........................................................................................ 40 3. Intertekstual ....................................................................................... 43
E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia ................................... 44
vi
1. Masa Awal Pertumbuhan ................................................................... 45 2. Masa Pertengahan .............................................................................. 47 3. Masa Kontemporer ........................................................................... 48
BAB III KIYAI MUHADJIRIN AMSAR AL-DARI DAN KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Biografi Syeikh Muhadjirin Amsar al-Dari .............................................. 51 1. Latar Belakang Keluarga ................................................................... 51 2. Latar Belakang Pendidikan ................................................................ 52 3. Karya-karya ....................................................................................... 56
B. Deskripsi Kitab Misbâh al-Ẕalâm ............................................................. 58 1. Latar Belakang Penulisan Kitab ........................................................ 58 2. Sistematika Penulisan Kitab .............................................................. 59 3. Metode Penulisan Kitab ..................................................................... 64
BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE SYARAH HADIS KITAB MISBÂH AL-ẔALAM SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Metode Syarah Hadis Kitab Misbâh al-Ẕalam Syarh Bulûgh al-Marâm . 67
1. Metode Syarah Muqârin .................................................................... 70
2. Tehnik Interpretasi yang Digunakan dalam Misbâẖ al-Ẕalâm .......... 76
a. Meludah di dalam Masjid ........................................................... 77
b. Hukum menjama’ qashr shalat bagi musafir .............................. 80
3. Corak Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm ........................................................... 82
a. Corak Fikih-Ushul Fiqh .............................................................. 82
1) Hadis terkait tawasul dalam berdo’a ................................... 82
2) Hadis tentang menunaikan nazar ......................................... 85
3) Hadis makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa ...................................................................................... 87
c. Corak Linguistik ......................................................................... 91 1) Menambal barang dengan perak .......................................... 91 2) Larangan wanita haid untuk masuk ke tempat shalat .......... 92
4. Pensyarahan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis ........................... 93 5. Nuansa Ke-Indonesia-an dalam Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm .................. 97
a. Tradisi ‘Ngaji Kubur’ di Jakarta ................................................. 91 b. Khazanah Falak di Nusantara ..................................................... 99
B. Kontribusi dan Prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis ......... 102 1. Proses Penyebaran dan Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam
Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia ...................................... 102 a. Proses penyebaran kitab Misbâh al-Ẕalâm ............................... 102 b. Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam Perkembangan Syarah Hadis di
Indonesia ................................................................................... 104 2. Prinsip-prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis .............. 106
vii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 108 B. Saran ......................................................................................................... 109
DAFRTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 110
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan suatu yang penting karena di dalamnya terungkap
berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah saw. Tradisi-tradisi yang
hidup pada masa kenabian mengacu pada kepribadian Rasulullah saw. sebagai
utusan Allah swt. Di dalamnya sarat akan berbagai ajaran Islam. Keberlanjutannya
yang terus berjalan dan berkembang sampai saat ini. Adanya keberlanjutan tradisi
itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam dan
melaksanakan tuntunan ajaran Islam.1
Nabi Muhammad saw. Sebagai penjelas (mubayyin) Alquran dan musyarri
menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Sebagaimana pendapat Imam
Ahmad, bahwasanya sunnah (hadis) adalah menafsirkan dan menjelaskan Alquran.2
Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak
diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk ayat yang
masih mutlak dalam Alquran maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam
hadis.3
Tanpa menggunakan hadis, syariat Islam tidak mungkin dapat dipahami dan
dilaksnakan secara utuh.4 Misalnya, perintah shalat di dalam Alquran tiak ada
penjelasan mengenai jumlah rakaat, tata caa ataupun waktu pelaksanaannya.
Demikian juga dengan perintah zakat disampaikan secara mutlak tanpa ditentukan
nisabnya dan tidak pula ditentukan ukuran-ukuran dan syarat-syaratnya,5 serta
1 M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks ke Konteks (Yogyakarta:
Teras, 2009), h. 1 2 Muhammab Abû Syuhbah, fî Riẖâb al-Sunah al-Kutub al-Siẖâẖ al-Sittah (Kairo: Majma’
al-Buẖûts al-Islâmiyyah, 1969), h. 10 3 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1974), h. 15 4 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1997) , h. ix 5 Mushafa al-Siba’I, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj. Dja’far Abd. Muchith
(Bandung: CV. Diponogoro, 1979), h. 71
2
masih banyak lagi ketentuan-ketentuan hukum dalam Alquran yang masih bersifat
umum dan disampaikan secara mutlak tanpa pengkhususan lebih jauh. Peran hadis
dalam menetapkan suatu ketentuan hukum sangat penting, hadis sebagai ucapan,
pengamalan, takrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. yang memiliki ketetapan
hukum.6 Otoritas hadis menempati posisi kedua setelah Alquran dalam tataran
validitas kehujjahan isi yang dikandungnya. Upaya pelestarian keotentikan hadis
Nabi saw. telah dilakukan sejak masa sahabat dengan menggunakan metode
konfirmasi.7 Praktek konfirmasi yang dilakukan oleh para sahabat tersebut tidak
berarti bahwa mereka tidak percaya atau curiga kepada pembawa berita melainkan
semata-mata untuk meyakinkan diri mereka bahwa hadis atau berita yang berasal
dari Nabi itu benar-benar ada. Setelah Nabi saw. wafat, kegiatan konfirmatif ini
tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat, tetapi selanjutnya, para sahabat
menanyakan kepada orang lain yang ikut hadir mendengar dan menyaksikan hadis
itu terjadi.8
Pada masa itu, para sahabat mengajarkan hadis secara lisan, karena mereka
masih mengandalkan hapalannya. Namun demikian, bukan berarti kegiatan
pencatatan hadis tidak dilakukan. Pencatatan hadis tetap dilakukan, terbukti
banyaknya catatan para sahabat Nabi dalam bentuk saẖîfah-saẖîfah, tetapi ini masih
merupakan inisiatif dan kepentingan pribadi.9
Kegiatan penghimpunan hadis secara resmi dan massal, barulah dilakukan
di penghujung abad I H, atas inisiatif dan kebijakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu al-
6 Mushafa al-Siba’I, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj., h. 71 7 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, Metode dan Pendekatannya (Cet. II; Yogyakarta: Idea
Press, 2011), h. 1 8 Ada beberapa alasan mengapa sebahagian sahabat Nabi saw. tidak menerima hadis secara
langsung dari Nabi antara lain: Sahabat sibuk dalam aktifitas keseharian mereka, lokasi geografis
dan tempat tinggal sahabat yang jauh dari Nabi saw., sahabat merasa malu untuk menanyakan
persoalan yang sensitif atau personal, dan pendelegasian Nabi saw kepada sahabat tertentu misalnya
istri beliau untuk menjelaskan persoalan yang bersifat khusus (berkaitan dengan persoalan
perempuan). Lihat, Siti Aisyah, Kontribusi Imam al-Bukhari dalam Validasi Hadis (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 21-23. 9 Al-Sayyid Munâdir Ahsan al-Kailânî, Tadwîn al-Hadîts (Cet. I, Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 2004), h. 210
3
‘Azîz.10 Pada masa yang cukup panjang itu setelah wafatnya Rasullullah saw., telah
terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang dilakukan oleh beberapa golongan dengan
tujuan tertentu.11 Atas kenyataan inilah, ulama hadis berupaya menghimpun hadis
Nabi saw.. Selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat
hadis yang tersebar di berbagai daerah, juga mengadakan penelitian identitas
periwayat dan menyeleksi semua hadis yang mereka himpun.
Hingga saat ini, perjalanan kegiatan pembukuan hadis di dunia Islam sudah
berjalan 15 abad lamanya. Para ulama di masa yang telah lalu telah mencurahkan
upaya yang begitu besar untuk menghimpun hadis-hadis yang diwariskan oleh
Rasulullah saw. Banyak kitab-kitab hadis yang dihasilkan sebagai wujud untuk
memelihara hadis-hadis Nabi agar terpelihara otentitasnya sebagai acuan dalam
pengamalan kehidupan sehari-hari.
Beberapa kitab hadis tertua yang sampai kepada umat Islam saat ini dan
dikenal secara luas antara lain adalah kitab al-Muwaṯṯa’ karya Imam Malik, kitab
al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, kitab al-Jâmi’ al-Musnad al-Saẖîẖ
karya Imam al-Bukhârî, kitab al-Jâmi’ al-Musnad al-Saẖîẖ karya Imam Muslim,
kitab al-Sunan karya Imam Abû Dawûd, kitab al-Sunan karya Imam al-Tirmidzî,
kitab al-Sunan karya Imam al-Nasa’î, kitab al-Sunan karya Imam ibn Majah, kitab
al-Sunan Imam al-Dârimî, kitab al-Sunan al-Saghîr karya Imam al-Baihaqî, kitab
Saẖîẖ Ibn Khuzaimah, kitab al-Mustadrak ‘alâ Saẖîẖain karya Imam al-Hakîm,
kitab Mu’jam al-Saghîr karya Imam al-Ṯabranî, kitab al-Umm karya Imam al-
Syâfi’î, dan kitab al-Kâfî karya al-Kulaini,12 sedangkan kitab hadis yang tergolong
10 Muẖammad Abû Zahwa, al-Hadîts wa al-Muẖaditsûn, (Cet II; Riyaâḏ: Syirkah al-
ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’ûdiyyah, 1984), h. 244 11 Menurut M. Syuhudi Ismail, bahwa tujuan umat Islam melakukan pemalsuan hadis, di
antaranya; 1) kepentingan politik, mazhab teologi, fiqh; 2) memikat hati orang yang mendengar
kisah yang dikemukakannya; 3) menjadikan orang lebih zahid, rajin mengamalkan ibadah tertentu;
4) menerangkan keutamaan Al-Qur’an, memperoleh perhatian dan pujian dari penguasa; 5)
mendapatkan hadiah dari orang yang mendengarkannya; 6) memberikan pengobatan dengan cara
memakan makanan tertentu; dan 7) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu. Lihat M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah
(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 95 12 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis
(Yogyakarta: TH Press, 2009), h. xxi
4
cukup—untuk tidak mengatakan sangat—populer dikaji dalam dunia pendidikan
Islam di Indonesia, pondok pesantren, adalah kitab Bulûgh al-Marâm min Adillati
al-Aẖkâm13 yang ditulis pada abad ke-9 H. Oleh ibn Hajar al-‘Asqalânî (w. 852
H).14
Sebagian besar sistematika penyusunan kitab-kitab hadis di atas cendrung
didominasi corak fikih, karena hampir semua kitab-kitab hadis ditulis pada masa
dan sesudah periode para imam mazhab fikih seperti Imam Hanafi, Imam Malik,
Imam al-Syâfi’î, dan Imam ibn Hanbal. Kitab Bulûgh al-Marâm yang ditulis pada
abad ke-9 H, tentu juga tidak lepas dari pengaruh kecendrungan corak kitab-kitab
hadis pada masa itu atau pada masa sesudahnya, yaitu cendrung didominasi corak
fikih.
Bulûgh al-Marâm adalah kitab ringkas. Di dalamnya termuat hadis-hadis
hukum fikih yang disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalânî, dan ditunjuk sebagai
tuntunan praktis dalam kehidupan umat Islam sehari-hari. Kitab ini ditulis
berdasarkan bingkai tematik, yakni bingkai hukum; mencakup dalil-dalil hukum
yang ditulis sebaik mungkin agar mudah untuk dihafal dan dapat diulang-ulang
dalam waktu yang sama.
Dilihat dari bentuknya, kitab Bulûgh al-Marâm termasuk kitab yang
berukuran kecil, berdasarkan angka terakhir pada nomor urut hadis, kitab ini
memuat 1.596 hadis dan dibukukan dalam satu jilid. Dibanding jumlah dalam kitab-
kitab hadis lain, jumlah ini tentu relatif sedikit. Karena itu, Bulûgh al-Marâm hanya
dikemas dalam satu jilid.15
Di setiap akhir hadis yang dimuat dalam Bulûgh al-Marâm, Ibn Hajar
menyebutkan perawi hadis asalnya. Bulûgh al-Marâm memasukkan hadis-hadis
yang berasal dari sumber-sumber utama seperti Saẖîẖ al-Bukhârî, Saẖîẖ Muslim,
13 Selanjutnya disebut kitab Bulûgh al-Marâm. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat ( Cet. II; Yogyakarta: Gading Publishing, 2015), h. 182 14 T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), h. 111 15 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm, (Surabaya: Dâr al-‘Ilm,
t.th)
5
Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmiẕî, Sunan al-Nasâ’î, Sunan ibn Mâjah, dan
Musnad Aẖmad.
Keingingan penulis kitab ini untuk mempermudah para pembaca tercermin
dari sistem pengutipan hadisnya. Hadis-hadis yang ada di Bulûgh al-Marâm semua
ditulis dengan sangat ringkas, tanpa menyertakan sanad hadis, kecuali sanad yang
sampai pada sahabat dan mukharrij al-ẖadîts. Pengecualian ini ditujukan untuk
mempermudah pengecekan hadis dalam kitab ini.
Adapun maksud dan tujuan penulisan kitab ini tidak jauh berbeda dari
beberapa kitab lain, yakni memberikan pedoman aplikatif kepada kaum Muslimin
dalam kegiatan sehari-harinya dengan berpedoman pada sumber ajaran Islam.
Dalam hal ini, Ibn Hajar memilih hadis sebagai sumber ajaran sekaligus
kendaraannya dalam menyajikan pedoman hidup. Hal ini tersirat dalam
pencantuman sebuah ayat Alquran yang diberikan Ibn Hajar pada halaman pertama
kitabnya:
او ه ت ان ف ه ن ع م ك ا ان م و ه و ذ خ لف و س الر م ك ت آام و
Lebih lanjut Ibn Hajar menjelaskan bahwa beliau memaksudkan penulisan
kitab ini agar bisa dinikmati oleh semua kalangan, baik kalangan awam hingga
ulama. Orang awam bisa menjadikan kitab ini sebagai pedoman hidup, pelajar bisa
lebih mudah menghafal kitab ini, dan cendekiawan pun bisa mempelajari ini.16
Kitab ini juga termasuk kitab yang paling banyak disyarahi. Setidaknya ada
lima kitab yang mensyarahi kitab Bulûgh al-Marâm, yaitu;17 Pertama, al-Badru al-
Tamâm karya al-Qâḏî Syarifuddin al-Husain bin Muẖammad bin Sa’id al-Alâ’i atau
yang lebih dikenal dengan nama al-Maghrabî Hakîm San’a (w. 1119 H); Kedua,
Ifham al-Afham karya Sayyid Yûsuf bin Muẖammad al-Ahdal (w. 1242 H) kitab ini
belum pernah dicetak, masih berupa manuskrip; Ketiga, Subul al-Salâm karya
16 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm, (Surabaya: Dâr al-‘Ilm,
t.th), h. و 17 Hasan Sulaiman al-Nuri dan ‘Alawî Abbas al-Malikî, Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ Bulûgh al-
Marâm (Beirut: Dâr al-Fikr, 2008), h. 6
6
Muẖammad bin Isma’îl al-Amir al-San’ânî (w. 1107 H); Keempat, Fatẖ al-‘Alâm
karya Syaikh Abî ṯayyib Sadiq bin Hasan al-Qanujî Raja Bahubal. Ktab ini telah
dicetak, namun peredarannya tidaklah banyak; Kelima, Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ
Bulûgh al-Marâm karya Sayyid Muẖammad Alawî al-Malikî.
Selain kelima syarah di atas, ternyata Bulûgh al-Marâm juga telah disyarahi
oleh ulama Indonesia, yakni Kiyai Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi18 dengan
kitabnya Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Kitab
Misbâh al-Ẕalâm dicetak dalam empat jilid dan ditulis dengan menggunakan
bahasa Arab dan merupakan magnum opus Kiyai Muhajirin.
Terdapat perbedaan antara kitab Subul al-Salâm karya al-San’anî dengan
kitab Misbâh al-Ẕalâm, di mana secara materi, Kiyai Muhajirin tidak banyak
menjelaskan tata bahasa secara runut dan deskriptif, beliau hendak mengajak
pembaca untuk langsung memahami kandungan hadis. Keobjektifitasan Kiyai
Muhajirin juga tampak dalam karyanya ini, di mana beliau menyajikan banyak
pendapat ulama dan tidak memberi penekanan tersendiri pendapat mana yang
beliau ambil, pembaca diberikan kebebasan untuk menentukan pendapat ulama
yang akan dijadikan hujjah.
Latar belakang pendidikan dan ke-Indonesia-an Kiyai Muhajirin juga
menjadi kekhasan tersendiri dalam penulisan karyanya. Sehingga memberikan
warna berbeda juga kemudahan bagi umat Muslim Indonesia untuk lebih
memahami hadis melalui kitab Misbâh al-ẕalâm. Hal ini tentu menarik untuk dikaji
lebih mendalam lagi, bagaimana Kiyai Muhajirin meramu kitabnya sehingga sesuai
untuk menjadi bahan bacaan serta pedoman bagi Muslim Indonesia dalam
memahami hadis yang terkait hukum.
18 Selanjutnya penulis sebut dengan nama Kiyai Muhajirin
7
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Bila diidentifikasi, maka masalah yang muncul dari topik di atas meliputi
beberapa poin, yaitu:
a. Perkembangan penulisan hadis di Timur Tengah
b. Perkembangan penulisan hadis di Indonesia
c. Perkembangan penulisan syarah hadis di Timur Tengah
d. Perkembangan penulisan syarah hadis di Indonesia
e. Latar belakang penulisan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
f. Metode yang digunakan Kiyai Muhajirin dalam penulisan kitab
Misbâẖ al-Ẕalâm
g. Corak penulisan kitab syarh Bulûgh al-Marâm di Timur Tengah
h. Corak kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
i. Prinsip Kiyai Muhajirin dalam mensyarah hadis yang terdapat dalam
Bulûgh al-Marâm
j. Nuansa ke-Indonesia-an dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
k. Kontribusi Kiyai Muhajirin terhadap perkembangan syarah hadis di
Indonesia
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih spesifik, maka penulis sengaja membatasi penelitian
ini pada :
a. Kajian tentang metode dan corak yang digunakan Kiyai Muhajirin dalam
penulisan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
b. Nuasa ke-Indonesia-an dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
Pembatasan ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan latar belakang
keilmuan serta latar belakang domisili Kiyai Muhajirin, maka ciri khas ke-
Indonesia-an adalah hal yang patut untuk dijumpai dalam karyanya.
8
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah disebutkan di atas, maka yang menjadi
pokok masalah pembahasan penelitian ini adalah:
a. Bagaimana metode dan corak yang digunakan Kiyai Muhajirin dalam
penulisan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm?
b. Bagaimana nuansa Ke-Indonesia-an yang ditampilkan Kiyai Muhajirin
dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut:
a. Mengetahui sejarah perkembangan syarah hadis di Indonesia
b. Mengungkap kontribusi para ulama dalam perkembangan kajian hadis di
Indonesia
c. Memberi gambaran umum terkait isi dari kitab Misbâh al-Ẕalâm
2. Manfaat Penelitian
Setelah melakukan pembahasan atas masalah-masalah yang telah
dirumuskan, maka manfaat dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Pengembangan Mata Kuliah Keahlian (MKK) “Ulum al-Hadis”,
Jurusan Ilmu Hadis (IH), Fakutas Ushuluddin di PTAI;
b. Pengembangan kajian Literatur Hadis Indonesia
D. Kajian Pustaka
Ada beberapa karya Ilmiah dan penelitian yang membahas tentang studi hadis
di Indonesia. Namun demikian belum ada yang menggali secara utuh tentang karya-
karya Kiyai Muhadjirin. Sepanjang penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan,
beberapa karya ilmiah dan penelitian tersebut antara lain:
a. Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama
Betawi dari awal Abad ke-10 sampai Abad ke-21. Ditulis oleh Rakhmad
Zailani Kiki dan diterbitkan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan
9
Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre), 2011. Dalam bukunya Rakhmad
memaparkan tentang bagaimana Islam masuk ke tanah Betawi dan
perkembangannya. Ia juga memaparkan biografi Ulama-ulama Betawi serta
guru dan murid-muridnya. Termasuk didalamnya KH. Muhajirin yang
berdasarkan data yang ada merupakan murid dari Guru Manshur Jembatan
Lima.
b. “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren” yang ditulis oleh Mochammad
Samsukadi dalam sebuah jurnal Religi: Jurnal Studi Islam Volume 6,
Nomor 1 April 2015. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana
pesantren telah andil dalam mengkaji hadis, baik hadis karya Ulama
Nusantara maupun Ulama–ulama lainnya.
c. “Jaringan Ulama Hadits Indonesia” yang ditulis oleh Hasan Su’aidi.
Penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ini membahas secara runtut
terkait terbentuknya jaringan ulama hadis di Indonesia. Menurutnya
jaringan tersebut memang tidak secara formal tertulis. Akan tetapi jaringan
tersebut terbentuk melalui hubungan guru dan murid. Seperti syekh
Mahfudz Termas yan menjadi guru syekh Yasin bin Isa Alfadani, syekh
Yasin memiliki murid bernama Syekh Muhajirin Amsar al-Dari (pengarang
kitab Miṣbah al-Dzalām Syarḥ Bulugh al-Marām) dan contoh-contoh
selainnya.
d. “Studi Hadis di Indonesia ( Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad
XVII – sekarang)”, penelitian yang ditulis oleh Muh. Tasrif dalam Jurnal
Studi Ilmu–ilmu al-Quran dan Hadits vol. 5, No 1, Januari 2004,
Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga, 2004. Jurnal ini telah dicetak dalam buku yang berjudul Kajian
Hadis di Indonesia (sejarah dan pemikiran) yang didalamnya menjelaskan
secara sekilas perkembangan kajian hadis di Indonesia pada bab pertama,
pada bab-bab selanjutnya ia membahas tentang kedudukan hadis sebagai
hujjah dan pendekatan yang dilakukan untuk memahami hadis.
e. “Kajian Hadits Indonesia Tahun 1900 – 1945 (Telaah terhadap Pemikiran
Beberapa Ulama tentang Hadits)” merupakan penelitian milik Agung
10
Danarto dalam rangka andil dalam Yogyakarta: Proyek Perguruan tinggi
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999 / 2000.
f. Sedangkan penelitian yang berhubungan erat dengan penelitian ini yaitu
penelitian yang berhubungan dengan Muhajirin Amsar “KH. Muhajirin
Amsar Contribution On Legal Interpretation” yang ditulis oleh Maykur
Hakim dan dimuat dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic
Studies Vol. 2, No.2, December 2015 dan Jurnal al-Millah UII Vol. XV
Februari 2016. Penelitian ini menjelaskan secara singkat penulisan
sanad/isnad dan sistematika yang digunakan Muhajirin dalam menulis kitab
Miṣbah al-Dzalām Syarḥ Bulugh al-Marām.
g. Muhajirin, dalam disertasinya Transmisi Hadis Di Nusantara; Peran
Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūẓ al-Tirmasī menulis pada abad 17 M,
sejak terjalinnya hubungan intelektual antara ulama Nusantara dengan
Haramain, tidak satupun ulama Nusantara yang dikenal memiliki keahlian
dalam bidang hadis. Baru pada akhir abad XIX menjelang abad XX muncul
seorang ulama Nusantara yang dikenal sebagai muḥaddits yaitu Muḥammad
Maḥfūẓ al-Tirmasī. Ia mendapat ijazah pengajaran Ṣaḥiḥ Bukhārī yang
isnadnya langsung ke Imām al-Bukhārī, al-Tirmasī merupakan ulama
Nusantara yang mendunia dan dikenal sebagai pembangkit ‘ilm dirayah,
sekaligus inspirator dan pelopor transmisi kitab hadis ke Nusantara melalui
murid-muridnya.19
Dari pemaparan di atas, belum ada penelitian yang memfokuskan kajian pada
metode dan sistematika penyusunan kitab Misbâẖ al-Ẕalâm karya Kiyai Muhajirin
serta nuansa ke-Indonesia-an dalam kitab tersebut serta kelebihan dan kekurangan
kitab tersebut.
19 Muhajirin, Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūzh
Al-Tirmasī, (Disertasi Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
11
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan sifat penelitian
deskriptif. Oleh karena itu prosedur dan tehniknya menggunakan metode deskriptif.
Penelitian ini dikategorikan penelitian kepustakaan yang berarti bahwa sebagian
sumber datanya berasal dari kepustakaan. Dalam penelitian ini didasarkan pada dua
sumber, yakni sumber primer dan sekunder. Adapun bahan-bahan yang menjadi
sumber primer diperoleh melalui penggunaan teknik survei dukemen dan
wawancara. Survei dokumen dimaksudkan terutama untuk menemukan kode-kode
spesifik, terbitan-terbitan, isu-isu utama, dan karakteristik dari kitab yang akan
dibahas.
Adapun buku yang akan menjadi sumber primer penelitian ini adalah kitab
karya Kiyai Muhajirin; Misbâḥ al-ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm. Serta kitab-kitab
syarah Bulûgh al-Marâm syarah Bulûgh al-Marâm yang lainnya seperti Subul al-
Salâm. Juga buku karya M. Alfatih Suryadilaga; Metodologi Syarah Hadis, dan
buku-buku terkait lainnya sebagai sumber sekunder.
Selain buku-buku yang telah disebutkan di atas, penulis juga melakukan
wawancara kepada murid-murid (KH. Mahfudz Assirun-Pimpinan Pondok
Pesantren Al-Itqon Cengkareng, H. Zaki Mubarok – ketua MUI Kecamatan
Batuceper) juga Dhiya al-Miqdasi Muhajirin yang merupakan anak dari Kiyai
Muhajirin. Hal itu dilakukan guna mendapatkan informasi yang lebih valid terkait
guru-guru dan rihlah keilmuan yang ditempuh oleh Kiyai Muhajirin.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan syarah
hadis yang mengacu pada metode-metode yang digunakan para ulama dalam
mensyarah hadis. Secara garis besar, metode ini terbagi dalam tiga cara:
a. Metode interpretasi hadis berupa taẖlîlî, ijmâlî dan muqârîn.
b. Tehnik interpretasi hadis berupa tekstual, intertekstual dan
kontekstual
c. Corak intepretasi hadis berupa linguistik, ushul fikih dan fikih
12
3. Metode Pengumpulan Data
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penelitian ini bersifat kepustakaan,
maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian langsung kepada
objek yang diteliti dengan menggunakan tahapan sebagai berikut:
a. Membaca secara umum hadis dan syarah hadis yang terdapat alam
empat jilid kitab Misbâh al-Ẕalâm
b. Mengambil data dari kitab Misbâh al-Ẕalâm berdasarkan metode
syarah yang digunakan.
Untuk efektifitas dan efisiensi penelitian, penulis memilih beberapa hadis
pada baba-bab tertentu dalam kitab Misbâh al-Ẕalâm untuk dikaji dengan harapan
bahwa data yang penulis sajikan dapat merepresentasikan metode yang diterapkan
pada kitab Misbâh al-Ẕalâm.
4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Secara umum, pedoman yang digunakan dalam analisis data secara
kualitatif berdasar pada pola pikir ilmiah, yang mempunyai ciri; sistematis dan
logis.20 Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bahasan yang akurat.
Data yang telah didapatkan melalui sumber-sumber di atas, akan dituangkan
ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan analisis berdasarkan teori dan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.
Selanjutnya data penelitian ini diolah dan dianalisis dengan menggunakan
metode penyajian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deduktif,
induktif, dan komparatif. Penjelasan dari metode-metode di atas adalah sebagai
berikut:
a. Deduktif: yaitu menginterpretasikan dan menganalisis data yang
sifatnya umum untuk memperoleh pengertian dan kesimpulan yang
sifatnya khusus.
20 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan
Metodologi Penelitian (Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 136.
13
b. Induktif: yaitu menginterpretasikan dan menganalisis data yang bersifat
khusus kepada pengertian dan kesimpulan yang bersifat umum.
c. Komparatif: yaitu membandingkan antara satu data dengan data lainnya
untuk memperoleh satu pengertian atau kesimpulan.
F. Teknik Penulisan
Teknik penulisan tesis ini mengacu kepada pedoman penulisan skripsi, tesis,
dan desertasi edisi terbaru yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Press,21. Sedangkan catatan kaki penulis tidak memakai loc.cit, maupun op.cit.
untuk menulis kutipan dari buku dan halaman yang sama, namun menggantinya
dengan menuliskan nama akhir atau nama populer penulis. Begitu pula dengan
penulisan judul buku atau artikel, penulis hanya menuliskan dua kata pertama dari
judul karya atau judul yang populer.
G. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar tesis ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi sub
bab, dan dari setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang mana
antara satu dan lainnya saling berkaitan. Adapun lima bab yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
Bab pertama sebagai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan uraian tentang tinjauan umum tradisi penulisan kitab
syarah hadis. Terdiri dari sejarah penulisan kitab syarah hadis secara umum, posisi
syarah hadis dalam bangunan ilmu hadis dan perkembangan metodologi syarḥ
hadis.
Bab ketiga, Tinjauan secara khusus terhadap pengarang kitab,
mendeskripsikan latar belakang penulis dan kondisi sosial yang memengaruhi
21 Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
analisisnya dalam kitab tersebut. Pada bab ini juga mendeskripsikan profil kitab
Misbâẖ al-Ẕalâm.
Bab keempat, Analisa tentang isi syarah dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm dari
segi internal dan eksternal, meliputi metode, pendekatan serta metode-metode
khusus yang ia gunakan dalam mensyarah kitab hadis Bulūgh al Marām karya Ibn
Hajar al-Asqalânî..
Bab kelima, penutup merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, dan saran-saran serta kritik.
Penutup ini akan dilengkapi dengan daftar kepustakaan, lampiran dan daftar riwayat
hidup penulis.
15
BAB II
SEJARAH PERKEBANGAN SYARAH HADIS
Syarah hadis memiliki peran yang sangat penting dalam studi hadis dan
sejarah perkembangannya. Aspek yang meliputinya antara lain; pertama, aspek
historis. Dalam sejarah, ternyata penggunaan kata syarah hadis bermakna
penjelasan terhadap hadis belum muncul pada masa Rasulullah Saw. melainkan
istilah itu baru muncul belakangan seiring dengan perkembangan hadis dari masa
ke masa. Kedua, aspek metodologi, tercatat bahwa ternyata hadis memiliki model
pensyarahan yang beragam sesuai dengan sosio-historis dan sosio-kultural yang
berkembang, sehingga memunculkan model tahlîlî, ijmâlî, muqârin, maudhu’i dan
sejenisnya1.
Aspek lain yang menarik dalam perkembangan syarah hadis adalah berbagai
pendekatan yang digunakan dalam mensyarahi hadis, seperti munculnya istilah
pendekatan hermeneutik, sosiologi, antropologi, dan sebagainya dalam mensyarahi
hadis merupakan konsekuensi yang harus ditempuh dalam menempatkan hadis
sebagai teks yang secara naluri bebas untuk ditafsirkan atau disyarahi.
Demikian peliknya dinamika pensyarahan dalam kajian hadis, sehingga
menjadi penting untuk menguak lebih lanjut sejarah dibalik munculnya masa
pensyarahan hadis yang secara spesifik dimulai sejak ulama mutakhkhirin dan lebih
nampak pada masa ‘asr al-syurûkh.
A. Definisi Syarah Hadis
Istilah syarah hadis yang telah menjadi bagian dari kosa kata bahasa
Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu syarh dan hadis. Dari
sudut kebahasaan, kata syarh berarti al-kasyf (menampakkan), al-wadh
(menjelaskan), al-bayân (menerangkan), al-tawsî‘ (memperluas), al-ẖifz
1 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer
(Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis), (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga,
2012), h. 4
16
(memelihara), al-fatẖ (membuka), dan al-fahm (memahami)2. Dari sudut
terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu, lengkap dengan
unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan.3 Dalam
tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan
komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Sehingga dapat dikatakan bahwa,
istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan terhadap naaskah kitab dalam batas
eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi,
sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab syarah secara umum, baik syarah terhadap
kitab hadis maupun kitab lainnya4.
Term lain yang juga erat kaitannya dengan syarah dan sering digunakan
dalam kajian teks keagamaan yakni ẖâsyiyah (keterangan tambahan), tafsir dan
ta’lîq (tepi atau pinggir). Pada dasarnya semua kata itu adalah model untuk
mengungkap makna teks, namun penggunaannya berbeda. Oleh sebab itu hal
tersebut sering menimbulkan asumsi bahwa terdapat hegemoni kata dalam salah
satu kajian Islam, yang mana tafsir selalu diasumsikan sebagai interpretasi dari
Alquran, dan syarah dianggap bagian dari model pemahaman atas hadis.
Secara historis term atau istilah syarah hadis merupakan hasil dari sebuah
proses transformatif dari istilah yang telah ada sebelumnya, yakni fiqh al-ẖadîts
(karenanya pula ulama yang berijtihad dalam memahami hadis Nabi Saw disebut
pula sebagai fuqahâ’ jamak dari faqîh). Proses transformasi ini digambarkan oleh
Dr. Muḥammad Ṭâhir al-Jawwâbî dalam suatu ungkapan:
“Pada awalnya ilmu ini (fiqh al-ẖadîts) masih sangat terbatas, kemudian
secara berangsur meluas hingga terkenal sampai kepada kita dengan sebutan
syarah hadis. Para pegiat fiqh al-ẖadîts berpegang pada ilmu ini dan mereka
inilah yang telah diberi rezeki oleh Allah berupa kemampuan daya kritis
2 Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Makram ibn Manzûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-
‘Arab, jilid II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 497 3Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 4 Dzikir Nirwana dan Saifuddin, Kecendrungan Kajian Syarah Hadis Ulama Banjar [Telaah
Literatur Syarah Hadis Terpublikasi], Makalah Konferensi Internasional “Transformasi Sosial dan
Intelektual Orang Banjar Kontemporer, IAIN Antasari Banjarmasin: 2015, h. 5
17
pada masanya dan memiliki pemahaman dari hasil keseriusannya dalam
bahasa maupun pengetahuannya terhadap hukum syariah”5
Di samping itu, syarah hadis yang telah dikenal lebih bersifat konkrit
operasional yaitu berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan
ulama dan hasil pemahaman mereka terhadap suatu hadis. Sementara fiqh al-ẖadîts
lebih bersifat konseptual. Kalaupun dituangkan masih bersifat penjelasan oral.
Terjadinya transformasi dari fiqh al-ẖadîts menjadi syarẖ al-ẖadîts serta
perkembangan lebih lanjut dari syarah hadis dapat dilihat dalam perkembangan
sejarahnya. Dari masa awal syarah hadis hingga pembukuan hadis, berlanjut ke
masa perkembangan syarah hadis (dari masa pembukuan hadis hingga masa-masa
selanjutnya).
B. Sejarah Syarah Hadis di Timur Tengah
Berbicara tentang perkembangan syarah hadis tidak terlepas dari sejarah
perkembangan hadis dan ilmu hadis itu sendiri. Berdasarkan periodisasi keduanya
diketahui bahwa upaya pemahaman hadis pernah mengalami puncak
perkembangan dan kemudian secara berangsur mengalami kemunduran, seperti
halnya kegiatan keilmuan Islam lainnya.6
Fenomena di atas terlihat dari adanya “masa pensyarahan” yang dapat
dikatakan sebagai puncak dari upaya ulama dalam memahami sunnah. Pensyarahan
yang dimaksudkan pada masa ini adalah penulisan kitab-kitab syarah. Berikutnya
adalah masa kemunduran, yang ditandai dengan sedikitnya aktivitas ulama dalam
melakukan kegiatan tersebut. Umumnya kelesuan intelektual yang terjadi
disebabkan oleh sikap mayoritas ulama pada masa itu yang hanya mencukupkan
diri dengan penjelasan-penjelasan ulama sebelum mereka, sebagaimana termaktub
dalam karya-karyanya. Pada masa kemunduran ini, pusat intelektual hadis juga
5 Muhammad Ṭâhir al-Jawwabî, Juhûd al-Muẖâditsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-Nabawî
al-Syarîf (Nasyr wa Taûzi’ Mu’assasât al-Karîm bin ‘Abd Allah, t.th), h. 128 6 Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis,
Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN Raden Fatah Palembang
18
berpindah dari Baghdad dan Mesir (Timur Tengah pada umumnya) ke negeri
India.7
Secara spesifik, Muẖammad Tâhir al-Jawwâbî membagi sejarah
perkembangan syarah kepada tiga periode,8 yaitu periode pertumbuhan, periode
penyempurnaan, dan periode kemunduran. Periode pertumbuhan ditandai dengan
masih sederhananya metode syarah yang ada, yang umumnya hanya berupa
penerjemahan matan hadis (tarâjim al-ẖadîts) dan dimulai pada masa Nabi hingga
berakhirnya kegiatan kodifikasi hadis. Periode penyempurnaan dimulai pada akhir
abad keempat hingga berkembangnya metode syarah yang sempurna (al-syarh al-
kâmil). Periode kemunduran ditandai oleh kegiatan syarah yang hanya berupa ta‘lîq
dan ta‘qîb terhadap kitab-kitab syarah yang telah ada.
1. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis
Sejarah munculnya kitab-kitab syarah hadis tidak bisa dilepaskan dari
perjalanan sejarah dan perkembangan hadis itu sendiri.9 Sejak masa Nabi saw. dan
sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada masa khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Azîz,
sampai munculnya kitab-kitab kodifikasi hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan
kitab-kitab Aṯrâf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jâmi’. Di antara periodesasi
tersebut, disebutkan adanya ‘asru syarẖ atau masa pensyarahan. Pensyarahan yang
dimaksudkan di dalam periodesasi tersebut adalah masa-masa penulisan kitab-kitab
syarah hadis (uraian lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian perkembangan syarah
hadis).
7 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
h. 125, lihat juga Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘â·sir,1997), h. 70 8 Muhammad Ṭâhir al-Jawwâbî, Juhûd al-Muẖaddtsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-
Nabawî al-Syarîf, h. 129 9 Sejarah hadis ialah periode-periode yang telah dilalui oleh hadis Nabi saw. dari masa ke
masa, semenjak dari pertumbuhannya sampai kepada zaman kita sekarang ini. Tentang periodesasi
ini banyak terjadi beda pendapat di kalangan penulis sejarah hadis, ada yang membagi tiga periode,
ada yang lima periode dan adapula yang tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi yang dilakukan
Hasbi al-Shiddique dalam tujuh periode, dengan alasan pembagian yang tiga ataupun lima periode
telah tercakup di dalamnya dan alasan lainnya adalah periodisasi yang tujuh ini dianggap lebih rinci
dibandingkan dua periodisasi tersebut. M. Hasbi al-Siddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 13-14
19
Seperti telah dipahami dalam pembahasan sebelumnya, bahwa syarah hadis
telah mengalami proses transformasi dari bentuk syarah hadis secara lisan yang
dikenal pula sebelumnya dengan fiqh al-ẖadîts kepada bentuk syarah hadis secara
tertulis (terbukukan). Oleh karena itu, pembicaraan tentang syarah hadis pada masa
awal ini bukanlah yang dimaksudkan Hasbi Al-Shiddieqy pada periode ketujuh
tersebut atau ‘asru syarẖ (masa syarah hadis tertulis), melainkan syarah hadis yang
belum tertulis (masih secara lisan).
Pada periode Rasulullah saw., yang disebut sebagai syarah hadis tidak
secara tegas berdiri sendiri di luar matan hadis Nabi saw. mengingat pejelasan
Rasulullah saw. Terhadap sunnahnya pun dituliskan sebagai matan hadis yang
berdiri sendiri. Sebagaimana contoh berikut:
• Hadis Nabi saw. Dalam bentuk ucapan yang diriwayatkan oleh
Mâlik bin Huwaiyrîts bahwa Nabi Saw bersabda:
نا رسول عن مالك بن احلوير شب بة الله صلهى الله عليه وسلهم و نهن ث قال: أت ي
لة فظن أنه ت قارب ون فأقمنا عنده ن ت ركنا ىف أهل عشرين لي ناياشت قنا أهلنا، سألنا عم
قا، فقل ارجعوا إىل أهليكم صلهى الله عليه وسلهمفأخب رنه وكان رسول الله رحيما رفي
كم أكب ركم 10 لة ف لي ؤذهن أح دكم، لي ؤم ف علهموا كما رأي تون أصلهى وإذا حضرت الصه
Dari Mâlik bin Huwaiyrîts berkata, “Kami beberapa orang pemuda sebaya
mengunjungi Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20
malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan
menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami
memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang penyayang dan
halus perasaannya. Beliau bersabda, “kembalilah kepada keluarga kalian,
ajarilah mereka, suruhlah mereka, dan salatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku mendirikan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah
salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan yang lebih tua
hendaknya menjadi imam”.
10 Al-Amîr ‘Alâu al-Dîn ‘Alî ibn Bilbân al-Fârisî, Saẖîẖ ibn Hibbân bitartîbî ibn Bilbân,
Juz IV (Cet. II, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993), h. 541
20
Pada hadis tersebut di atas, Rasulullah saw. memberikan penjelasan atau
syarah atas hadis ini yaitu dalam bentuk perbuatan dan pernyataan pada kesempatan
lain yang kemudian direkam dan diikuti sahabat, namun pada akhirnya apa yang
direkam itu pun diakui sebagai hadis Nabi saw. pula, sehingga antara syarah dan
yang disyarahi, kedua-duanya adalah hadis Nabi saw. Seperti cara Rasulullah saw.
mengangkat tangan saat takbir, cara rukuk, sujud dan lainnya ada dalam hadis
tersendiri.
• Hadis Nabi saw. dalam bentuk pernyataan yang diriwayatkan dari
Anas bin Mâlik bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ثنا م د حده ثنا مسده عتمر عن حيد عن أنس رضي الله عنه قال، قل رسول الله صلهى الله حده
وما قالوا اي رسول الله هذا ن نصره مظلما فكيف ن نصره عليه وسلهم انصر أخاك ظالما أو مظل
11أتخذ ف وق يديه ظالما قال
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Mu'tamir dari Ḥumaiyd dari Anas ra. berkata, Rasulullah saw.
bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim (aniaya) dan yang
dizalimi".
Menanggapi hadis Nabi saw. ini, para sahabat bertanya; “Kami biasa
memberikan pertolongan kepada orang yang teraniaya, bagaimana cara kami
menolong orang yang berbuat aniaya?” Rasulullah saw. memberikan penjelasan
bahwa pencegahanmu terhadap orang yang hendak berbuat aniaya itulah
pertolonganmu kepadanya. Penjelasan ini menyatu dengan matan di atas, sehingga
syarah dan ucapan Nabi saw. menjadi satu kesatuan matan.
Selain beberapa contoh di atas masih banyak lagi contoh hadis lainnya.
Setelah melihat beberapa contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarah hadis
itu sendiri atau merupakan hadis lain yang berdiri sendiri, maka pada masa
Rasulullah saw. ini pula syarah hadis yang berdiri sendiri hampir dinyatakan tidak
11 Al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî Jilid II (Riyâḏ: Baitu al-Afkâr al-Daûlî li al-Nasr, 1998),
h. 461
21
ada, mengingat seluruh rekaman sahabat dari ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan
Rasulullah saw. merupakan hadis dan tidak disebut sebagai syarah hadis
sebagaimana term yang kita kenal sekarang ini.
Pada masa selanjutnya, yaitu masa Khulafâ al-Râsyidîn, hadis Nabi saw.
tetap dipelihara melalui hafalan dan ada beberapa ulama yang menuliskannya12,
bahkan dalam diri sahabat terdapat suatu komitmen untuk senantiasa
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini pula yang menjadikan apa
yang datang dari sahabat yang notabene bersumber dari Rasulullah saw. turut
menjadi pegangan bagi generasi berikutnya yang disebut atsar.
Pada masa ini syarah hadis belum mempunyai bentuk sendiri, artinya apa
yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi saw. belum dinamai syarah
melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah (penjelasan) para sahabat
dan tabi’in adalah apa yang disandarkan pada Rasulullah saw. juga, hanya saja
umumnya ulama menyebut hadis yang bersandar kepada sahabat ini disebut dengan
hadis mauqûf13 atau banyak yang menyebutnya dengan atsar sebagaimana telah
dikemukakan di atas.
Berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh Mâlik dari ‘Amr bin Yahyâ al-
Muzammî dari ayahnya, bahwa ia (ayah ‘Amr) berkata kepada ‘Abdullâh bin Zaîd
bin ‘Âsim (kakek ‘Amr yang sekaligus salah seorang sahabat Rasulullah saw.),
ayah ‘Amr berkata:
ثن ي ي عن مالك عن عمرو بن يي المازنه عن أبيه أنه قال لعبد الل بن زيد بن عاصم حد
وهو جد عمرو بن يي المازنه وكان من أصحاب رسول الل صلى الل عليه وسلم هل
عليه وسلم ي ت وضأ ف قال عبد الل بن تس زيد بن تطيع أن ترين كيف كان رسول الل صلى الل
12 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, (Cet. II, Riyâḏ: Syirkah al-Ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah,
1984), h. 122. 13
22
ث ر ثلث عاصم ن عم فدعا بوضوء فأف رغ على يده ف غسل يديه مرت ي مرت ي ث تضمض و است ن
ديه فأق بل بما ث غسل وجهه ثلث ث غسل يديه مرت ي مرت ي إىل المرف قي ث مسح رأسه بي
م رأسه ث ذهب بما إىل ق فاه ث رد ها حت رجع إىل المكان الذي بدأ منه ث وأدب ر بدأ بقد
14غسل رجليه
“Yaẖya telah berkata kepadaku (Imam al-Bukhârî) dari Mâlik dari Dari
‘Amr bin Yahyâ al-Maziniyyî dari bapaknya, ia berkata kepada ‘Abdullâh
ibn Zaîd ibn ‘Âsîm, kakek dari ‘Amr bin Amr bin Yahyâ al-Maziniyyî yang
merupakan sahabat Rasulullah: “Dapatkah kamu memperlihatkan padaku
cara wudu Rasulullah?”. Maka ‘Abdullâh ibn Zaîd ibn ‘Âsîm berkata, iya.
Maka ‘Abdullâh bin Zaîd meminta tempayan kecil yang berisikan air lalu
dia berwudu sebagaimana wudu Nabi. Maka beliau pun memiringkan
tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu
mencuci kedua tangan itu dua kali. Kemudian berkumur-kumur dan ber-
istinsyâr (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung) tiga kali.
Kemudian beliau mencuci wajahnya tiga kali, lalu mencuci kedua
tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau
memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua
tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan
kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya”.
Hadis tersebut tampak bahwa penjelasan sahabat terhadap suatu perbuatan
Rasulullah saw. belum banyak melibatkan interpretasi ataupun penafsiran yang
mandiri dari kalangan mereka, sekalipun cara yang dilakukan kakek ‘Amr tersebut
merupakan hasil pengamatan yang dilakukannya sesuai kekuatan daya tangkap
yang dimilikinya. Namun demikian pada era ini bukannya tidak ada syarah yang
berdiri sendiri, sebab sudah ada matan hadis yang mendapatkan catatan para
sahabat dan dibukukan ulama modern sebagai keterangan tambahan mereka
terhadap teks aslinya, namun ada pula yang telah bercampur baur sehingga muncul
dalam ilmu hadis ada istilah hadis mudraj (hadis yang terdapat sisipan di dalamnya
baik pada matan maupun pada sanadnya).
14 Mâlik, al-Muwaṯṯa Kitâb al-Ṯaharah Juz I (Cet. III, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1998),
h. 20
23
Pada masa Khalifah ini pula (setelah wafatnya Rasulullah saw. khususnya
pada akhir kekuasaan ‘Utsmân bin ‘Affân, kekuatan politik mulai memasuki
lapangan sunnah yang ditandai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang beredar
di masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pemicu bagi ulama hadis yang
berkomitmen untuk melakukan pemeliharaan sunnah Nabi saw. Melalui hadis-
hadis Nabi saw. tersebut para sahabat mulai mengumpulkan dan mengkodifikasikan
hadis Nabi saw. dan menyebarluaskannya melalui sebuah periwayatan serta
berusaha keras menentang orang-orang yang mengembangkan hadis-hadis palsu.
Usaha ulama ini mulai menunjukkan eksistensinya dengan mengembangkan hadis
ke berbagai kota Islam yang telah dikuasainya yaitu dengan mendirikan lembaga-
lembaga hadis di sana (Madâris al-ẖadîts).15
Selanjutnya pada masa pembukuan, atas desakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu
al-‘Azîz para ulama berlomba-lomba mencari, mengumpulkan dan menuliskan
hadis dalam sebuah kitab, hal ini bukan berarti penulisan hadis pada masa-masa
sebelumnya belum pernah ada sama sekali,16 akan tetapi masa ini pada umumnya
disepakati oleh para ulama hadis sebagai masa resmi perintah penulisan hadis dalam
sebuah kitab sebagai sebuah tuntutan perkembangan Islam yang semakin luas,
sementara ulama penghafal hadis semakin berkurang dari sisi kuantitas akibat
gugur dalam peperangan maupun penurunan kualitas daya hafalan. Hal inilah yang
memunculkan hasrat Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu al-Azîz untuk menjaga hadis dari
kepunahan dengan cara membukukannya.17
Kitab hadis yang masyhur pada saat ini dan dianggap kitab pertama hadis
adalah kitab hadis yang disusun oleh al-Zuhrî dan diikuti oleh ulama sesudahnya
seperti Mâlik, al-Syâfi’î dan lainnya. Namun yang sampai kepada generasi sekarang
sedikit sekali, seperti al-Muwaṯṯa’ karya Imam Mâlik, al-Musnad karya al-Syâfi’î
15 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 98 16 M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1994), h. 132 17 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 243
24
dan al-Atsâr karya al-Syaibânî. Dari ketiga kitab ini yang paling masyhur adalah al-
Muwaṯṯa’.18
Seiring dengan pembukuan kitab hadis ini pula, syarah hadis yang
berkembang sebelumnya merupakan tradisi lisan yang disampaikan oleh guru-guru
hadis kepada muridnya mulai mengambil bentuk sebagai syarah hadis secara
tertulis, yaitu mensyarahi hadis-hadis dalam suatu kitab himpunan hadis yang telah
ada pada masa ini. Sekalipun gerakan penulisan syarah hadis ini belum banyak
dikenal, namun terdapat sebuah data yang mengemukakan adanya syarah terhadap
kitab al- Muwaṯṯa’ karya Imam Mâlik19 (yang dianggap sebagai kitab hadis pertama
yangmasih ada hingga saat ini), salah satu kitab syarah hadis tersebut adalah buah
karya ‘Abdullâh bin Nâfi’ yang berjulukan Abû Muhammad (w. 186 H) dengan
karyanya Tafsîr ilâ al-Muwaṯṯa’.20
Namun demikian, masa ini belum disebut sebagai ‘asyru al-syarḫ, karena
kegiatan syarah hadis pada saat itu masih sedikit dan sulit dilacak naskah aslinya
(baru makhṯûtât) dan tidak sampai kepada kita. Di samping itu, kegiatan sebagian
besar ulama hadis masa ini adalah mengumpulkan dan menuliskannya dalam kitab
(membukukannya). Akan tetapi dapat kiranya dinyatakan bahwa sejak adanya
penulisan resmi dan dibukukannya hadis ini, embrio pensyarahan dalam bentuk
tertulis dan dibukukan mulai ada.
Secara umum pada pembahasan sejarah awal syarah hadis ini ditandai
dengan adanya embrio penulisan kitab syarah hadis, adapun metode pensyarahan
masih lebih banyak menggunakan pola lama yaitu secara lisan, sebagaimana yang
dilakukan oleh para guru-guru hadis kepada murid-muridnya. Untuk mengetahui
bagaimana metode mereka dalam menjelaskan (memberi syarah) terhadap hadis
18 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 245 19 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, Jilid I,
(Beirût: Dâr al-Fikr, tt.h), h. 45 20 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, h. 49
25
Nabi saw. Dr.‘Utsmân al-Khasyît mengemukakan empat model metode pengajaran
guru-guru hadis terhadap murid-muridnya. Antara lain:21
a. Al-Syarẖ al-Tafsîlî
Penjelasan secara terperinci dimana guru membacakan hadis Nabi saw.
Kemudian berhenti sejenak untuk mengemukakan isnâd dan nama rijâl-nya sesuai
dengan kaidah al-jarḫ wa al-ta’dîl kemudian membicarakan tentang keterputusan
sanad atau persambungannya dan menentukan kesahihan atau kedaifannya dengan
menyebutkan letak kecacatannya bila ditemukan di dalamnya kecacatan yang
dimaksud, baru kemudian menjelaskan matan hadis mulai dari penjelasan kalimat
perkalimat yang sulit serta menjelaskan fungsi dan penggunaan lafal tersebut dalam
konteks nas (teks). Selanjutnya memberikan pemahaman terhadap susunan-susunan
kalimat yang menyulitkan disertai pernyataan-pernyataan yang menguatkan seperti
syair Arab sebagai Syahid, kemudian membandingkan matan hadis tersebut dengan
matan hadis serupa dalam satu tema yang sama dan langkah selanjutnya melakukan
istinbâṯ hukum serta menyebutkan hal-hal yang terkait langsung maupun tidak
langsung baik pada sanad maupun matan hadis.22
b. Al-Syarḫ al-Wasîṯ
Penjelasan secara sederhana dimana guru membacakan sebuah hadis Nabi
saw. Kemudian diikuti beberapa penjelasan secukupnya tentang lafal-lafal yang
asing dan susunan kalimat yang terkait, selanjutnya memberikan wacana pemikiran
secara ringkas tentang diterima atau ditolaknya (maqbûl mardûd-nya) rijâl dari
isnâd yang ada, baru kemudian ia menjelaskan secara global beberapa faidah atau
manfaat hadis tersebut baik sanadnya ataupun matannya apabila dikehendaki untuk
sekedar membantu murid menghadapi hal-hal yang musykil pada nas (teks) dengan
21 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi,
(Kairo: al-Maktabah al-Qur’ân, t.th), h. 19 22 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 19
26
menggunakan penjelasan-penjelasan yang telah ada sebelumnya yang dijadikan
hujjah.23
c. Al-Syarẖ al-Wajîz
Penjelasan ringkas dimana seorang guru hanya menjelaskan hal-hal yang
sulit dan tempat-tempat yang musykil dengan menyebutkan beberapa pokok
permasalahan yang ada di dalamnya dengan sangat ringkas.
d. Al-Qirâ’ah al-Tatbî’iyyah24
Guru mengajarkan hadis Nabi saw. cukup dengan membacakan kitab hadis
dalam tema pelajaran tertentu, kemudian apa yang dibaca guru tersebut diikuti oleh
murid-muridnya dengan tanpa menjelaskan apa yang ada di dalamnya, baik segi
kebahasaan, istinbâṯ hukum atau kritik sanad dan matan serta tempat-tempat
rujukan yang jelas.
2. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sejarah awal syarah
hadis, tampak bahwa perkembangan syarah hadis pada era awal ini belum memiliki
spesifikasi khusus, mengingat syarah (penjelasan) Nabi saw. pun belum berdiri
sendiri melainkan menjadi satu kesatuan teks (matan) hadis Nabi saw. tersebut,
sebagaimana hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Nabi saw.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa embrio syarah hadis telah muncul pada
era ini walaupun belum memiliki format yang terbakukan (menjadi sebuah ilmu
yang dapat dipelajari kaidah-kaidahnya).
Seiring dengan masa pembukuan hadis (abad ke-2 H) yang masih bersifat
akomodatif ini ulama pada umumnya hanya sekedar mengumpulkan, kemudian
23 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 19 24 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 20
27
menuliskannya dalam sebuah kitab, tanpa adanya kritik atau penelitian secara
detail. Di samping itu, hadis Nabi saw. masih bercampur pula dengan perkataan
sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in.25
Pada masa berikutnya (abad ke-3 H), para ulama berupaya menyusun
kembali kitab hadis dengan spesifikasi yang lebih sistematis dan lebih kritis dari
upaya pengumpulan hadis pada kitab-kitab sebelumnya. Upaya sistematisasi dan
kritisisasi hadis tersebut antara lain:
a. Upaya pengumpulan hadis Nabi saw. secara khusus yang dijadikan ajang
pertentangan Ahlu al-kalâm dan Ahlu al-ḫadîts seperti yang dilakukan Ibn
Qutaibah dalam kitabnya Ta’wîl Mukhtalaf al-ẖadîts fî al-Ra’di ‘alâ ‘adâi
al-Ḫadîts.
b. Upaya mengumpulkan hadis Nabi saw. yang berada di bawah nama seorang
sahabat, baik yang sahih maupun yang tidak sahih, susunan hadis ini disebut
dengan musnad, di antara karya pada masa ini adalah Musnad karya
‘Ubaidillâh Ibn Mûsa (w. 213. H). Musnad al-Humaidî (w. 219 H) dan
lainnya.
c. Upaya pengumpulan hadis Nabi saw. dalam susunan bab-bab fikih yang
memunculkan beberapa kitab yang terkenal pada masa tersebut seperti
karya Ismâ’îl al-Bukhârî (w. 256. H) yang dikumpulkan dalam bagian kitab
Saẖîẖ-nya, karya Muslim al-Hajjâj dalam bagian kitab Saẖîẖ-nya dan kitab-
kitab sunan yang disusun oleh Abû Dâûd, al-Turmuẕî, al-Nasâ’î dan
lainnya.26
Sejak masa pembukuan hadis Nabi saw. hingga masa berikutnya (pada abad
ke-3 H) perkembangan syarah hadis Nabi saw. bukan berarti kosong sama sekali,
terbukti di sela-sela para ulama sibuk dalam aktifitas pemilihan dan penyusunan
kitab hadis Nabi saw. yang sistematis, juga ditemukan kitab syarah hadis Nabi saw.
25 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 363 26 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 367
28
sebagai buah karya ulama pada masa ini yaitu pada abad ke- 2 dan abad ke- 3 di
antaranya: ‘Alam al-Sunan syarah terhadap al-Jâmi’ al-Saḫîḫ karya Abû Sulaimân
Aḫmad bin Ibrâhîm bin al-Khaṯṯâbî al-Busṯî (w. 388 H.) dan Ma’âlim al-Sunan
Syarḫ Abî Dâûd.27
Kitab-kitab syarah hadis Nabi saw. tersebut membuktikan bahwa tetap
adanya aktifitas penulisan syarah hadis Nabi saw. Pada masa itu, namun era tersebut
belum dikenal dan dijuluki sebagai “masa pensyarahan” (Asyru al-Syarḫ) sebab
sebagian konsentrasi ulama masih dalam rangka pemilahan dan penyusunan hadis-
hadis Nabi saw. secara sistematis dalam sebuah kitab.
Demikian pula dengan masa berikutnya yaitu (masa penelitian, penerbitan
dan pengumpulan hadis-hadis yang memiliki karakteristik dan kualitas khusus yaitu
antara tahun 400-656 H.) Dalam era ini, jenis kitab hadis Nabi saw. mencakup
sebagian besar hadis-hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang
telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. sebelumnya seperti kitab hadis
Nabi saw. yang mengumpulkan dua kitab sahih (Saḫihayni; yaitu kitab al-Bukhârî
dan Muslim) Karya Ibn al-Furât (w. 414 H.) kitab hadis Nabi saw. yang
menghimpun dua kitab sahih (Saḫihayni; karya al-Bukhârî dan Muslim) karya
Muhammad bin Nash al-Ḫamîdi al-Andalûsî (w. 488 H) dan lain-lain. Kemudian
ada pula kitab hadis yang mengumpulkan hadis Nabi saw. yang telah tertuang
dalam gabungan beberapa kitab hadis seperti, Kutub al-Sittah (Saḫîḫ al-Bukhârî,
Saḫîḫ Muslim, Sunan al-Turmuẕî, Sunan Abî Dâûd, Sunan al-Nasâ’î dan Sunan Ibn
Mâjah) di antaranya karya Aḫmad bin Râzîn bin Mu’âwiyah al-Abdarî al-Sarqiṯî
(w. 535 H.) dan beberapa kitab lainnya.28
Pada era inipun penulisan syarah hadis telah muncul seperti al-Muqtabis
karya al-Baṯalyusî (w. 521 H.), dan beberapa syarah hadis lainnya. Namun
demikian, penulisan syarah hadis Nabi saw. masih belum begitu marak atau belum
menjadi konsentrasi umumnya para ulama hadis. Lain halnya dengan era
27 Al-San’anî, Tauḏîẖ al-Afkâr lima’ânî Tanqîẖ al-Izhâr, (Beirût: Dâr al-Fikri, tt.) h. 52 28 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 430
29
berikutnya, yaitu era pensyarahan hadis yang dimulai sejak tahun 656 H. sampai
era-era berikutnya.29
Dalam era pensyarahan inilah benar-benar penulisan kitab syarah hadis
Nabi saw. begitu banyak dan tak terbilang jumlahnya, apalagi objek kitab hadis
Nabi saw. yang disyarahi juga banyak jumlahnya. Ulama pada umumnya tidak lagi
disibukkan oleh sistematisasi kitab himpunan hadis, penelitian dan penambahan-
penambahan hadis dalam suatu kitab, melainkan pada masa ini mereka berupaya
menjelaskan hadis Nabi saw. yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi
saw. tersebut dengan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan agar hadis Nabi saw.
dapat dipahami dan diamalkan.
Di antara kitab syarah hadis pada masa ke-7 H hingga pada masa berikutnya
antara lain: Kasyf al-Giṯâ’ fî Syarḫ al-Mukhtasar al-Muwaṯṯa’ karya Abû
Muḫammad bin Abî al-Qâsim al-Farḫûnî al-Ya’murî al-Tûnisî (w. 763 H), Syarḫ
al-Muwaṯṯa’ karya Abû al-Majd ‘Uqaiylî bin ‘Aṯiyyah al-Quḏâ’î (w. 1229 H).30
Kemudian kitab- kitab syarah terhadap Kutub al-Tis’ah. Kitab-kitab syarah lainnya
yang muncul pada era ini hingga sekarang antara lain Fatẖ al-‘allâm bi Syarẖ al-
‘I’lâm bi al-ẖadîts al-Aḫkâm karya Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Ansâri al-Syâfi’î al-
Khazrâjî (825-925 H), Ibânah al-Aḫkâm bi Syarḫ Bulûgh al-Marâm karya ‘Alwi
‘Abbâs al-Mâlikî wa Ḫasan Sulaimân al-Nawawî, Naiyl al-Auṯâr min al-Ḫadîts
Sayyîd al-Akhyâr Syarḫ Muntaqâ al-Akhbâr karya Muḫammad bin ‘Alî ibn
Muḫammad al-Syaukânî (1172-1255 H), Subul al-Salâm Syarḫ Bulûgh al-Marâm
karya al-Amîr al-Sun’ânî (w. 1099-1182 H) dan masih banyak lagi kitab-kitab syarh
hadis lainnya.
3. Periode Kemunduran Syarah Hadis
Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah
hadis yang ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk
kepada kitab-kitab hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya,
29 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, h. 45 30 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 437
30
keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang
mengalami kelesuan intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang
telah menghancurkan Baghdad – ibukota kekhalifahan Islam.
Mencermati perhatian yang sangat kurang terhadap hadis, menurut al-
Khûlî,31 lebih disebabkan oleh sikap ulama pada masa itu yang hanya ber-taqlîd
dengan pendapat ulama mazhab mereka dan meninggalkan ijtihad, di samping
kesibukan mereka dengan kitab-kitab yang sebenarnya merupakan penjelasan
terhadap hadis (kitâb furû‘ ‘an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis
terbatas pada hadis-hadis akhlâq, mawâ’iḏ, adab, raqâ’iq, atau sekedar mencari
berkah melalui hadis-hadis nabi.
Dalam pandangan Hasbi,77 suasana umum di atas telah dimulai semenjak
abad ke-4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum
adalah hadis, maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataan-
perkataan fuqaha’. Masing-masing fuqaha’ menguatkan mazhab gurunya,
walaupun mazhab tersebut dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan
menurut Syekh Abû al-Hasan ‘Alî al-Hasanî al-Nadwî -seperti yang dikutip oleh
Hedhri Nadhiran- banyaknya kitab syarah hadis yang dihasilkan selama periode
penyempurnaan sebenarnya disebabkan oleh pertentangan yang terjadi antar
mazhab fiqh. Apabila pengikut suatu mazhab membuat kitab syarah, biasanya akan
diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada kitab hadis yang sama.
Seperti yang terjadi antara ‘Umdat al-Qârî karya Badr al-Dîn al-‘Aynî (w. 855 H),
seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.
852 H) seorang ulama Syâfi‘iyah. Tak jarang, seorang syârih mencocok-cocokkan
antara hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan oleh Abû Ja‘far
al-Ṯahâwî dengan syarahnya Ma‘anî al-Atsâr. Walaupun demikian, ia mengakui
kalau persaingan (yang diistilahkannya dengan al-harakah al-‘ilmiyyah) di atas
membawa faedah yang besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia
31 Muhammad ‘Abd al-‘Azîz al-Khûlî, Miftah al-Sunnah aw Târīkh Funûn al-Hadîts,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 167 32 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 147
31
Islam karena para ulama syâriẖ dalam berhujjah tetap merujuk kepada Alquran dan
hadis.
Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi
ditiru oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Umumnya, mereka mencukupkan
diri dengan argumentasi yang diberikan oleh para pendahulunya tanpa memeriksa
lagi sumber pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab Sahihayn,
sedangkan pemahaman yang dilakukan bersifat penerimaan dari guru dan hanya
untuk memperkuat mazhab semata.77
Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah
semakin dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang
pernah dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah
melahirkan berbagai cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika
pada abad-abad sebelumnya syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian
yang panjang (al-syarh al-wâfî), maka selama periode kemunduran ini syarah yang
dihasilkan umumnya hanya bersifat ta‘lîq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh
sifat peringkasan itu sendiri yang tidak lagi mementingkan aspek penelitian sanad,
sementara pemahaman terhadap matan lebih bersifat memperkuat pendapat ulama
mazhab yang telah mensyarah hadis.
Di tengah-tengah kemunduran ini, keinginan untuk mengembalikan hadis
kepada kedudukannya semula – sebagai sumber hukum Islam – tetap terpelihara.
Daerah Islam yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan
munculnya ulama-ulama yang senantiasa memelihara hadis dan mempelajarinya
menurut metode yang ditempuh ulama abad ke-3 H, yaitu kebebasan dalam
memahami (ẖurriyat fi al-fahm) dan memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis
yang diteliti. Di antara mereka yang termasyhur adalah Syah Wali Allah al-Dahlawî
(1114 H – 1176 H) dengan syarahnya Hujjat Allah al-Bâlighah dan al-Musawwâ
Syarh Muwatta’ Mâlik, Shiddîq Hasan Khân (1248 H – 1307 H) pengarang Fath
33 Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis,
Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN Raden Fatah Palembang, h. 10
32
al-‘Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm, al-Sahâranfûrî (w. 1346 H) dengan kitabnya
yang berjudul Badhl al-Majhûd fî Hall Abi Dawûd, dan al-Kândahlawî (1315 H –
1389 H) dengan syarahnya Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta’ Mâlik.34
4. Posisi Syarah Hadis dalam Ilmu Hadis
Syarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ilmu hadis.
Kedudukan syarah tersebut dapat dilihat dalam hubungan fungsional syarah dengan
pemahaman hadis, yakni bayân ma’âni al-ẖadîts. Artinya syarah terhadap sebuah
hadis dapat berfungsi memperjelas arti kata dan kalimat dengan menyajikan
penjelasan kebahasan, dan juga dapat berfungsi menerangkan serta merinci
kandungan makna, istinbâṯ hukum dari hadis, bahkan menerangkan sanad dan
kriteria kesahihan hadis. Kitab-kitab syarah hadis terutama yang menggunakan
metode analitis dan komparatif berisi penjelasan dan komentar tentang
permasalahan hadis yang disyarahi, baik menyangkut kritik sanad, matan maupun
kriteria kesahihan hadis. Karenanya, kitab-kitab syarah juga merambah wilayah
ilmu hadis, bahkan lebih dari syarah memiliki peran besar dalam fiqh al-ẖâdîts
(pemahaman hadis).
Kedudukan syarah hadis terhadap hadis bagaikan kedudukan tafsir terhadap
Alquran. Para ulama terdahulu banyak menaruh perhatian dalam bidang syarah
hadis, karena banyak di antara hadis-hadis Nabi saw. yang masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Oleh sebab itu, mereka banyak melakukan kegiatan
pensyarahan kitab-kitab hadis yang sudah dianggap baku. Mereka menyusun kitab-
kitab syarah tersebut berupa komentar atau syarah terhadap salah satu dari al-Kutub
al-Sittah. Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan pemahaman
terhadap hadis terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni menulis kitab-kitab syarah
terhadap al-Kutub al-Sittah tersebut. Tujuan mereka melakukan kegiatan tersebut,
yakni untuk memahami hadis-hadis yang terdapat dalam kitab tersebut.35
34 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti
dan Entin sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, h. 38 35 Muẖammad Abû Syahbah, fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah (Kairo:
Majma’ al-Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995), h. 97
33
Pensyarahan terhadap hadis yang terdapat dalam kitab Saẖîẖ al-Bukhârî
misalnya, telah muncul 82 kitab syarah yang ditulis oleh beberapa ulama antara
lain: Ibn Hajar al-‘Asqalânî yang menulis kitab Fatẖ al-Bârî Syarẖ Saẖîẖ al-
Bukhârî Syamsu al-Dîn Muhammad bin Yûsuf bin al-Kirmâni yang menulis al-
Kawâkib al- Durari fî Syarẖ Saẖîẖ al-Bukhârî, Badr al-Dîn Maẖmûd bin Aẖmad
al-‘Aiynî al- Hanafî yang menulis ‘Umdah al-Qâri’; Imam Nawawî yang menulis
Syarẖ Bukhârî. Pensyarahan terhadap kitab Saẖîẖ Muslim juga banyak dilakukan
antara lain oleh Abû ‘Abdullâh Muhammad bin ‘Alî al Misrî yang menulis al-
Mu’allim bi Fawâid Kitâb Muslim; Imam Nawawî yang menulis Al-Minhaj fî Syarẖ
Saẖîẖ Muslim al-Hajjâj yang populer disebut Saẖîẖ Muslim bi Syarẖ al-Nawawî.36
Demikian pula terhadap al-Kutub al-Sittah yang lainnya juga banyak di beri syarah
oleh para ulama.
Pada tahap selanjutnya, umat Islam yang mengalami kesulitan dalam
memahami hadis Nabi saw. dapat tertolong dengan hadirnya kitab-kitab syarah,
karena kitab syarah tersebut memiliki kedudukan memperjelas (bayân) kandungan
makna hadis, sehingga pemahaman terhadap hadis tersebut dapat tercapai.
C. Metode-Metode Syarah Hadis
Sebagai teks kedua setelah Alquran, hadis memiliki peran dalam kehidupan
umat Islam sebagai penopang sekaligus pedoman hidup guna mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Namun dalam mengkaji sebuah hadis
sekaligus mengkaji pemahamannya memerlukan ‘pisau” analisis yang mapan
dimana dalam istilahnya disebut dengan metode tersendiri yang disertai dengan
beragam pendekatan.
Seiring perjalanan waktu, ilmu hadis serta kajian-kajian yang berkaitan
dengannya pun berkembang, hal ini dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab hadis
yang ditulis Muẖadditsîn khususnya, begitu juga berkembang sosial
kemasyarakatan mengantarkan sekaligus mengharuskan supaya dapat memahami
36 Muẖammad Abû Syahbah, fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah (Kairo:
Majma’ al-Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995), h. 101
34
hadis dengan baik dan paling tidak ‘mendekati kebenaran’. Dalam kitab syarah
hadis, dikenal beberapa metode ulama dalam mensyarah, yakni: Ijmâlî, mauḏû’î,
taẖlîlî, dan muqârîn.
1. Metode Taẖlîlî
a. Pengertian Metode Taẖlîlî
Taẖlîlî berasal dari bahasa Arab ẖallala-yuẖallilu-taẖlîl yang berarti
menguraikan, menganalisis. Namun yang dimaksudkan Taẖlîlî di sini adalah
mengurai, menganalisis dan menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam
hadis Rasulullah saw. dengan memaparkan aspek-aspek yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarah.
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis
mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam kitab
hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dengan mengutarakan makna kalimat
demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya,
asbâb-al-wurûd (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-
pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari
sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis. Muhammad al-Fatih Suryadilaga,
menerangkan metode taẖlîlî yakni dengan; syarah hadis yang di dalamnya akan
ditemui uraian pemaparan segala aspek yang terkandung dalam hadis serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
kecenderungan dan keahlian pensyarah. Misalkan diuraikannya secara sistematis
sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis kutub al-sittah.37
37 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.
19
35
Beberapa contoh kitab yang memakai metode taẖlîlî antara lain Fatẖ al-Bârî
bi Syarh Saẖîẖ al-Bukhârî karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Subul al-Salâm karya al-
San’ânî, al-Kawâkib al-Dirarî fî Syarẖ al-Bukhârî karya Syamsu al-Dîn
Muẖammad bin Yûsuf bin ‘Alî al-Kirmânî, kitab al-Irsyâd al-Syâri’ li Syarẖi Saẖîẖ
al-Bukhâriî karya Ibn ‘Abbâs Syihâb al-Dîn Aẖmad bin Muhammad al-Qasṯalânî
dan kitab Syarẖ al-Zarqânî ‘alâ Muwaṯṯa’ ‘alâ Imâm Mâlik karya Muhammad bin
Abdu al-Bâqî bin Yûsuf al-Zarqânî.38
b. Ciri-ciri Metode Taẖlîlî
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlî biasanya
berbentuk bi al-ma’tsûr atau bi al-ra’yi. Syarah yang berbentuk ma’tsûr ditandai
dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in atau
ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra’yi banyak didominasi oleh
pemikiran rasional pensyarahnya.
Adapun secara rinci, kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlî
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pensyarahan dilakukan dengan pola penjelasan makna yang
terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2. Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi
kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga
menerangkan sabab al-wurûd dari hadis-hadis yang dipahami jika
hadis tersebut memiliki sabab wurûd-nya.
3. Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah
disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan para ahli syarah hadis
lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4. Di samping itu sudah ada usaha munâsabah (hubungan) antara
satu hadis dengan hadis lain.
38 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.
19
36
Selain itu, kadangkala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan
pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak
pensyarahan, seperti corak fikih dan corak lain yang dikenal dalam bidang
pemikiran Islam.39
2. Metode Ijmâlî (Global)
a. Pengertian Metode Ijmâlî
Metode ijmâli (global) adalah metode yang menjelaskan atau menerangkan
hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kitab kutub al-
sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadis, dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.40
Dengan demikian, dari segi sistematika pensyarah, metode ini tidak berbeda
dengan metode taẖlîlî yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam
kitab hadis. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan juga berbeda jauh dengan gaya
bahasa yang digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang tidak
mengetahui benar redaksi matan hadis yang disyarahnya, kadangkala tidak dapat
memilahkan mana yang hadis dan mana yang syarahnya.
Kitab-kitab yang menggunakan metode ijmâlî ini antara lain adalah Syarẖ
al- Suyûṯî li Sunan al-Nasâ’î karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Qut al-Mughtazî ‘Alâ
Jâmi’ al-Turmuẕî karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî. Aûn al-Ma’bûd Syarẖ Sunan Abî
Dâwûd karya Muhammad bin Asyrat bin ‘Alî Haidar al-Siddîqî al-Aẕîm Abadî.41
b. Ciri-ciri Metode Ijmâlî
Ciri-ciri metode global adalah pensyarah langsung melakukan penjelasan
hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola ini tidak
jauh berbeda dengan metode taẖlîlî namun uraian dalam metode taẖlîlî lebih rinci
daripada uraian dalam metode ijmâlî, sehingga pensyarah lebih banyak dapat
39 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis (Yogyakarta:
Lentera Hati, 2001) h. 30 40 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 52 41 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 53
37
mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya, dalam kitab syarah yang
menggunakan metode ijmâlî pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan
pendapat sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, penjelasan umum dan sangat
ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab syarah dengan metode ijmâlî. Namun
demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu jug diberikan agak luas, tetapi
tidak seluas metode taẖlîlî.
3. Metode Muqârîn
a. Pengertian Metode Muqârîn
Metode muqârîn adalah metode memahami hadis dengan cara: (1)
membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus
yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2)
membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadis dengan menggunakan
metode muqârîn mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya
membandingkan hadis dengan hadis lain, melainkan juga membandingkan
pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.42
Di antara kitab yang menggunakan metode muqârîn adalah Saẖîẖ Muslim
bi Syarẖ al-Nawawî karya Imam Nawawî, ‘Umdah al-Qâri’ Syarẖ Saẖîẖ al-
Bukhârî karya Badr al-Dîn Abû Maẖmûd bin Aẖmad al-‘Aynî.
b. Ciri-Ciri Metode Muqârîn
Kajian perbandian hadis dengan hadis lain dalam syarah yang menggunakan
metode muqârîn tidak terbatas pada perbandingan analisis radaksional (mabâẖits
lafẕiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, kandungan
makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan. Selain itu juga dibahas
perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut. Dalam membahas
perbedaan-perbedaan itu, pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang
menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang munculnya
42 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 48
38
hadis (asbâb wurûd al-ẖadîts) tidak sama, pemakaian kata dan susunanya di dalam
hadis berlainan, dan tak kurang pentingnya, konteks masing-masing hadis tersebut
muncul dan lain-lain. Dalam rangka menganalisis hal-hal serupa, diperlukan
penelaahan yang seksama oleh pensyarah terhadap berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli syarah sehubungan dengan pemahaman hadis yang
sedang dibahas tersebut. Jadi, meskipun yang diperbandingkan hadis dengan hadis,
dalam proses memahaminya, pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang telah
dikemukakan berkenaan dengan hadis itu.
Adapun aspek kedua, yaitu perbandingan pendapat para pensyarah
mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan
berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadis maupun korelasi
(munâsabah) antara hadis dengan hadis. Dengan demikian, pembahasan yang
menjadi objek perbandingan adalah berbagai pendapat yang dikemukakan sejumlah
pensyarah dalam suatu hadis, kemudian melakukan perbandingan di antara
berbagai pendapat yang dikemukakan itu. Sedangkan yang dianalisis atau dikaji
dalam aspek sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang bermiripan
dari hadis-hadis atau antara hadis dengan hadis yang kelihatannya secara lahiriah
kontradikif.43
Ciri utama bagi metode muqârîn adalah perbandingan. Di sinilah letak salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode lain. Hal itu
disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan hadis dengan
hadis adalah pendapat ulama tersebut, bahkan pada aspek yang kedua, sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran
perbandingan. Oleh karena itu, jika suatu syarah dilakukan tanpa
memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pensyarah,
maka pola semacam itu tidak dapat disebut metode komparatif.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa segi sasaran (objek) bahasan,
ada dua aspek yang dikaji dalam syarah yang menggunakan metode muqârîn, yaitu
43 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 58
39
perbandingan hadis dengan hadis dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah
hadis.
Penjelasan syarah dengan menggunakan metode muqârîn dimulai dengan
menjelaskan pemakaian mufradât (kosa kata), urutan kata, maupun kemiripan
redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka
langkah yang ditempuh adalah; (1) mengindentifikasi dan menghimpun hadis yang
redaksinya bermiripan; (2) memperbandingkan antara hadis yang redaksinya
bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang
berbeda dalam satu redaksi yang sama; (3) menganalisis perbedaan yang
terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan tersebut
mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan
kata susunannya dalam hadis, dan sebagainya, (4) memperbandingkan antara
berbagai pendapat para pensyarah tentang hadis dijadikan objek bahasan.44
D. Tehnik Interpretasi Hadis
1. Tekstual
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud
sebuah hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja.45 Arifuddin Ahmad dalam
bukunya, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi saw. mendefenisikan
interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis
Nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan
petunjuknya, waktu, sabab wurûd, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan
tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis Nabi yang
dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal.46
Salah satu contoh hadis yang dapat dipahami secara tekstual yakni:
44 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.
49 45 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet. I; Jakarta:
Rahmat Semesta Center, 2008), h.21. 46 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisans, 2005), h.205.
40
ع جابرا أن رسول الل صلى الل ث نا سفيان عن عمرو أنه س ث نا سعيد بن منصور حد حد
عليه وسلم قال احلرب خدعة 47
Telah menceritakan kepada kami Sa'îd bin Mansur, telah menceritakan
kepada kami Sufyân dari 'Amr bahwa ia mendengar Jâbir bahwa Rasulullah
saw. berkata: “Perang adalah siasat.”
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis di atas
sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat.
Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya
bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya
dengan menyerahkan diri kepada musuh.48
2. Kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi
pemahaman sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik
interpretasi kontekstual,49 teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw.
dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan
petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis
itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain
yang berhubungan dengan hadis tersebut.50
Sedang menurut Yûsuf Qarḏâwî, di antara cara yang baik memahami hadis
Nabi saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat
(alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami
melalui kejadian yang menyertainya.51 Lebih lanjut lagi menurutnya, adakalanya
47 Abû Dâwûd, Sunan Abû Dâwûd Juz III 48 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6. 49 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, h. 205 50 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, terj. Muhammad al-Baqir,
Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Bandung: Karisma, 1993). h. 131 51 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 145
41
seseorang dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak
menetapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud hadis yang sebenarnya.
Bahkan, bisa jadi dia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meski tampak
berpegang padanya.52 Dengan demikian, memahami hadis Nabi saw. dengan teknik
interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:
a. Bentuk dan cakupan petunjuk hadis. Antara lain, yang berupa jawâmi’
al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsîl
(perumpamaan), ẖiwâr (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadis
tersebut bersifat universal atau temporal dan lokal.
b. Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan
Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima
perang dan sebagainya.
c. Latar historis (asbâb al-wurûd), dan sasaran ditujukannya hadis.53
d. Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadis Nabi saw. Dengan
mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.
Contoh, dari penerapan interpretasi kontekstual dapat dilihat pada hadis
berikut:
ث نا العمش عن سهل أب السد عن بكي الزريه عن أنس قال كنا ف ث نا وكيع حد ب يت رجل حد
ة من ق من النصار عليه وسلم حت وقف فأخذ بعضادة الباب ف قال الئم ريش فجاء النب صلى الل
ا وف وا فمن ل ولم عليكم حق ولكم مثل ذلك ما إذا است رحوا رحوا وإذا حكموا عدلوا وإذا عاهدو
هم ف عليه لعنة الل والملئكة والناس أجعي 54ي فعل ذلك من
Telah menceritakan kepada kami Wakî' telah menceritakan kepada kami al-
A'masy dari Sahl, Abu al-Asadi dari Bukair al-Jazari dari Anas berkata,
kami berada disebuah rumah seseoang anshar lalu datang Nabi saw. lalu
beliau berhenti di depan pintu dan bersabda, “Para pemimpin itu dari
52 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, h. 21. 53 Aẖmad ibn Hanbal, Musnad Ah}mad Juz XIX (Cet I, Beirût: Muassasah al-Risâlah,
1997), h. 318 54 Imam Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî Juz II (Kairo: al-Matbaah al-Salafiyyah, t. th.), h. 504.
42
Quraisy, mereka mempunyai hak atas kalian dan juga sebaliknya, jika
mereka dimohon bersikap sayang maka mereka menyayangi, jika
menghukum maka mereka lakukan dengan adil, jika berjanji memenuhinya,
dan jika mereka tidak melakukannya maka mereka mendapat laknat Allah,
malaikat dan manusia semuanya.”
Jika hadis di atas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat
disimpulkan bahwa ketika hadis tersebut dinyatakan, Nabi dalam kapasitasnya
sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari
ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraîsy.55 Jika
dipahami secara tekstual, maka hadis ini bertentangan dengan ayat Alquran yang
menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa. Untuk itu dalam memahami hadis ini, kita perlu melihat konteksnya.
Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama
Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadis ini bersifat temporal.
Menurut ibn Khaldûn seperti yang disebutkan Yûsuf Qarḏâwî, ketika Nabi
saw. menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa
beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraîsy-lah yang memiliki kekuatan dan
kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau
pemerintahan. Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraîsy-nya, melainkan
kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada
orang bukan dari suku Quraîsy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka
dia dapat diangkat menjadi pemimpin. Dengan interpretasi kontekstual seperti ini,
maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman hadis, selain itu, kita dapat
mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Alquran yang diawal terlihat
bertentangan.
Demikian, dalam hadis-hadis Nabi saw. ada yang lebih tepat jika dipahami
secara tekstual, ada juga yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual.
Interpretasi tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan
dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, tetap menuntut pemahaman sesuai
dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut. Adapun interpretasi kontekstual
55 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 138.
43
dilakukan bila ada qarînah (petunjuk) yang mengharuskan hadis yang bersangkutan
dipahami tidak sebagaimana teks lahirnya saja (tekstual).56
4. Intertekstual
Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi
saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran
yang terkait. Dengan kata lain, ketika menggunakan teknik interpretasi
intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan konteksnya. Hal ini sehubungan
dengan fungsi hadis sebagai bayân (penjelas) bagi Alquran dan kadang berupa
penjelas atau penguat bagi hadis yang lain. Sebagai contoh, hadis Rasulullah saw.:
ثن أبو الطاهر أخب رن عبد الل ثن عمرو بن احلارث عن بكي بن الشجه أن بسر حد بن وهب حدع أب سعيد الدري ي قول كنا ف ملس عند أبه بن كعب فأ ثه أنه س تى أبو موسى بن سعيد حد
ع أحد منكم رسول الل صلى الل عليه وسلم الشعري مغض با حت وقف ف قال أنشدكم الل هل سع ي قول ستائذان ثلث فإان أذان لك وإالا فارجا قال أب وما ذاك قال استأذنت على عمر بن الا
ته الي وم فدخلت عليه فأخب رته أنه جئت أمس الطاب أمس ثلث مرات ف لم ي ؤذن ل ف رجعت ث جئ عناك ونن حينئذ على شغل ف لو ما استأذنت حت ي ؤذن لك فسلمت ثلث ث انصرفت قال قد س
عليه وسلم قال ف والل لوجعن ظهرك عت رسول الل صلى الل وبطنك أو لتأتي قال استأذنت كما سب سعيد ن يشهد لك على هذا ف قال أب بن كعب ف والل ل ي قوم معك إل أحدث نا سنا قم اي أ ب
عليه وسلم ي قول هذا عت رسول الل صلى الل ف قمت حت أت يت عمر ف قلت قد سTelah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯahir; Telah mengabarkan kepadaku
'Abdullâh bin Wahb; Telah menceritakan kepadaku 'Amrû bin al-Harits dari
Bukair bin Al Asyaj bahwa Busr bin Sa'id; Telah menceritakan kepadanya,
dia mendengar Abû Sa'îd al-Khudrî berkata; Suatu ketika kami sedang
berada di Majlis Ubay bin Ka'ab, tiba-tiba Abu Musa Al Asy'ari datang
dalam keadaan marah, lalu beliau berdiri seraya berkata; Demi Allah,
apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar sabda Rasulullah saw.
berbunyi: "Meminta izin itu hanya tiga kali, apabila di izinkan, kalian
boleh masuk, jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka
pulanglah." Ubay berkata; memang ada apa dengan Hadits tersebut? Abu
Musa menjawab; 'Kemarin aku telah meminta izin kepada Umar sebanyak
56 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, h. 6.
44
tiga kali, namun tidak ada jawaban, maka akupun pulang kembali. Lalu pada
hari ini aku mendatanginya lagi dan aku kabarkan kepadanya bahwa aku
telah menemuinya kemarin dan sudah aku ucapkan salam sebanyak tiga
kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Dan Umar
menjawab; kami telah mendengarmu, yang pada waktu itu kami memang
sedang sibuk hingga tidak sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa kamu
tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu? Abu Musa menjawab; Aku
meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Lalu Umar berkata; Demi Allah, aku akan menghukum
kamu hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai hadis itu.
Kemudian Ubay bin Ka'ab berkata; Demi Allah, tidak akan ada yang
menjadi saksi atasmu kecuali orang yang paling muda di antara kami.
Berdirilah wahai Abu Sa'id! lalu akupun berdiri hingga aku menemui Umar,
dan aku katakan kepadanya; Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda
mengenai Hadis tersebut.
Hadis di atas mengandung petunjuk bahwa jika seseorang ingin memasuki
rumah orang lain, maka terlebih dahulu harus memberi salam dan meminta izinnya.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. QS. al-Nûr/24 : 27 yang berbunyi:
ي ها ٱلذين ءامنوا ل تدخلوا ب يوت لكم يأ نسوا وتسلهموا علىأ أهلها ذ
تستأ ر ب يوتكم حت غي رون لعلكم لكم خي ٢٧ تذك
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat”.
E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kemajuan
peradaban islam, hal ini dapat dibuktikan melalui karya-karya ulama nusantara,
khususnya bidang kajian syarah Hadis. Beberapa ulama nusantara mendapat gelar
musnid al-dunya pada masanya, seperti Syaikh Maẖfuẕ al-Tirmâsi dari Termas,
Pacitan, Jawa Timur, Syaikh Yasin Ibn Isa Al-Fadâni dari Padang dan beberapa
ulama lainnya yang sekaliber mereka. Syarah Hadis di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup signifikan dari masa ke masa, dari era-pertumbuhan
hingga era kontemporer.
45
1. Masa Awal Pertumbuhan
Perkembangan hadis di Indonesia dimulai pada fase akhir abad ke-16 di
Aceh. Menurut Sounck Hurgronje, sebenarnya Aceh belum memiliki perhatian
khusus terhadap kajian hadis, akan tetapi genealogi kajian hadis pada masa itu telah
muncul bersamaan dengan karya-karya ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, ‘Abd
Rauf al-Sinkili ysng telah memasukkan hadis dan Alquran dalam beberapa
karyanya. Karya-karya Hamzah dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa, dalam
prosa tersebut ia menyelipkan beberapa ayat Alquran dan hadis yang ia
komibnasikan dengan bahasa melayu. Fakta ini merupakan gejala-gejala kajian
hadis yang berpengaruh pada fase berikutnya.57
Pada awal Abad ke-17 perkembangan syarah hadis pada tahap rintisan dan
menggunakan metode ijmâlî. Hal ini dibuktikan oleh Nur Al-Dîn al-Ranîri dalam
karya hadisnya yang berjudul al-Habîb fî al-Targhîb wa al--Tarhîb, kitab ini berisi
kumpulan Hadis Nabi Muhammad saw. yang ia terjemahkannya dari bahasa Arab
kedalam bahasa Melayu agar masyarakat muslim Nusantara mampu memahaminya
secara benar. Dalam kitab tersebut, al-Ranîrî menginterpolasikan hadis-hadis
dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung argumen-argumen yang digunakan
untuk mensyarahi hadis tersebut. Karya ini merupakan rintisan awal dalam bidang
hadis di Nusantara, upaya ini menunjukkan sangat pentingnya hadis dalam
kehidupan kaum Muslim Indonesia.58
Upaya al-Ranîrî dalam mensyarahi hadis dilanjutkan oleh ‘Abd Ra’uf al-
Sinkiîlî, bahkan ia telah menulis dua karya hadis sekaligus. Pertama yang ditulisnya
adalah penafsiran mengenai Hadîts Arba’in (empat puluh Hadis karya al-Nawawi),
yang ditulis atas permintaan Sultanah Zâkiyat al-Dîn, karya ini disajikan untuk
orang-orang ‘awam dalam bidang agama bukan untuk orang-orang khawâs yaitu
orang-orang yang telah mendalami ilmu Tasawuf dan mengamalkannya. Hadîts
Arba’in Nawawi merupakan sebuah koleksi kecil tentang hadis yang menyangkut
57 Munandar‚ Perkembangan Hadis di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Abd Rauf al
Sinkili), dalam Jurnal Ihya al ‘Arabiyyah Vol. 4 no. 1, h.118. 58 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 235
46
kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslim, akan tetapi sangat
disayangkan karena menurut Azra karya ini tidak terdapat dalam bentuk cetakan.59
Karya keduanya adalah al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah yang mencakup koleksi hadis qudsi
yang mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan makhluk
dan ciptaannya seperti neraka dan surga serta tata cara yang patut bagi kaum muslim
untuk mendapatkan ridha Tuhan. al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah diterbitkan di Makkah
pada 1310 H/1892 M (edisi keempat atau kelima). Karya ini juga diterbitkan di
Penang pada 1369 H/1949 M dan masih digunakan sebagian kaum muslim di
Nusantara.60 Menurut Azra, upaya al-Sinkili dan al-Ranîri dalam menulis karya
hadis memberikan motivasi dan i’tibar bagi para Ulama Melayu-Nusantara di
kemudian hari untuk mengikuti alur mereka, sejak abad ke -19 karya semacam itu
menjadi sangat populer.
Setelah fase berikutnya, tepatnya pada awal abad ke-18 muncullah karya
milik ‘Abd Samad al-Pâlimbâni61 (1704–1789M) dengan menerjemahkan kitab
Lubâb Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Abû Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-
Ghazalî al-Ṯusî al-Syâf’î, dalam terjemahan tersebut ia juga menyertakan hadis-
hadis yang setema dalam pembahasan kitab tersebut.62
Metode penulisan yang digunakan pada masa awal rintisan di Indonesia,
cenderung menggunakan metode ijmâli, hal ini disebabkan karena masyarakat
Indonesia pada masa itu masih dalam tahap pengenalan dan pendalaman agama.
Sehingga dibutuhkan kajian yang singkat dan mudah dipahami bagi kaum awam.
Bahasa yang cenderung digunakan dalam mensyarah hadis ialah bahasa Melayu,
para ulama pada masa ini hendak memberikan pemahaman secara konkrit dan
mudah tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Indonesia
dengan tidak mengabaikan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masa itu.
59 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 260 60 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 261 61 Abd al-Shamad al-Palimbani merupakan ulama yang berpengaruh di Nusantara dalam
penyebaran Islam di Nusantara, ia juga banyak belajar kepada ulama -ulama yang isnad hadisnya
unggul, diantaranya adalah Muhammad Murad (W. 1791) yang terkenal dengan al-Muradi,
Muhammad bin Ahmad Al Jawhari al Mishri (W. 1772) seorang muhadis terkemuka di Mesir dan
Atha’Allâh bin Aẖmad al-Azhari al-Mashri al-Makki, lihat Azra, Jaringan Ulama., 323-324. 62 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 118
47
Namun, kajian penulisan syarah hadis mengalami kemandegan kurang lebih
setengah abad, sehingga kegiatan penulisan syarah hadis di Indonesia mengalami
pergerakan yang lambat dibanding kegiatan penulisan keilmuan lainnya.
2. Masa Pertengahan
Dampak yang dirasakan oleh umat islam Indonesia dengan terjalinnya
jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara ialah adanya kemajuan
pengembangan kajian islam di bumi Nusantara, khususnya Hadis. Pada abad ke-
19 Masehi para ulama Indonesia yang memperdalam ilmu agama mereka di
Makkah-Madinah, menjadi ulama yang diakui kefaqih-annya dalam kancah
internasional. Sebab selain mereka memiliki otoritas keilmuan dalam segala
bidang, mereka juga sangat produktif dalam membangun bangsa (nation building)
dalam dunia aksara (literacy), diantaranya Syaikh Nawawi al Bantani, Syaikh
Mahfuz al-Tirmasi, Kyai Ahmad Darat al-Samarangi, Kyai Rifai dari Kali Salak
dan dilanjutkan pada abad ke-20 Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani, Hasyim
‘Asy’ari dan beberapa ulama sekaliber lainnya.
Menurut Muh. Tasrif kajian hadis pada akhir abad 19 mulai marak dan
digeluti, hal ini disebabkan mulai dibentuknya kajian-kajian hadis dalam
kurikulum pendidikan, melingkupi pendidikan formal dan non-formal.63 Pada
abad ke-19 kegiatan penulisan syarah hadis diawali oleh Nawawi al-Bantani, ia
seorang ulama yang produktif dan menguasai keilmuan di berbagai bidang.
Tidak kurang dari 100 lebih karya yang ia hasilkan. Kitab-kitab yang ditulisnya
sebagian besar adalah kitab-kitab Syarah dari karya para ulama sebelumnya
yang populer namun dianggap sulit dipahami.64 Kitab Tanqiẖ al-Qaûl al- Hatsîts
fî Syarẖ Lubâb al-Hadîts merupakan magnum opus Nawawi al-Bantani dalam
bidang syarah hadis. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lubâb al-Hadîts
karya al-Hâfiẕ Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Raẖmân Ibn Abî Bakar al-Suyûṯî (119-948
H.). dalam kitabnya Nawawi al-Bantani menjelaskan maksud hadis disertai
63 Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran ,(tt: tp: tt), h. 17. 64 Mamat Slamet Burhanuddin‚ K.H. Nawawi Banten: Akar Tradisi Keintelektualan NU,
dalam Jurnal Miqot, Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010, h. 125
48
dengan makna perkata. Ia juga menambahkan hadis-hadis lain yang setema
dengan pokok pembahasan dalam keterangannya, tak jarang ia juga menjadikan
Alquran sebagai landasan argumen-argumennya dalam mensyarah hadis. Selain
itu, ia juga menambahkan jalur sanad hadis yang terdapat dalam kitab Lubâb al
Hadîts.
Awal abad 20, syarah hadis di Indonesia lebih cenderung mensyarah hadis
‘Arba’în, yaitu hadis yang dihimpun dalam satu kitab yang berjumlah 40 hadis atau
lebih. Berdasarkan penelitian Munirah dalam tesisnya tentang perkembangan
syarah hadis di Indonesia awal abad 20, syarah hadis di Indonesia pada awal abad
20 mengalami perkembangan yang signifikan hal ini ditandai maraknya penulisan
syarah hadis di Indonesia, seperti kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al-
Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi, kitab al-Tabyîn al-Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-
Nawâwî karya Kasyful Anwar. Menurutnya kajian syarah hadis pada awal abad 20
mengalami perkembangan dalam aspek metode, yaitu metode Tahlîlî. Penjelasan
yang komprehensif baik dari sisi sejarah, bahasa, penjelasan konteks ataupun
keilmuan lainnya, seperti yang tercermin dalam kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ
Minẖaẖ al- Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi.65
Pada abad ini, metode pemahaman hadis Nabi mulai menggunakan content
analysis yaitu teknik analisis yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui
usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan
sistematis. Metode ini bertujuan untuk menganalisa, mengidentifikasi serta
mengolah dokumen untuk memahami makna dan signifikansinya.66
3. Masa Kontemporer
Budaya masyarakat modern dan kemajuan teknologi memicu munculnya
konflik-konflik yang baru dan kompleks, sehingga membutuhkan solusi yang
sesuai konteks modernitas dari Alquran dan Hadis. Kajian hadis di Indonesia
65 Muniroh, ‚Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; Studi kitab al- Khil’ah
al- Fikriyyah Syarẖ} Minẖ}aẖ} al- Khairiyyah karya Mahfudz al- Tirmasi, kitab al-Tabyîn a l - Râwî
Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar‛, (Thesis: UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 172 66 Muniroh‚Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20, h. 128
49
pada akhir abad 20 semakin marak dengan lahirnya perguruan -perguruan tinggi
agama Islam. Terutama ketika dibuka program pascasarjana baik tingkat S2
maupun S3 diberbagai perguruan tinggi islam. Kajian pemikiran hadis di
perguruan tinggi juga cukup pesat, ditandai dengan karya-karya ilmiah yang
dihasilkan. Misalnya Hasbi ash-Shiddiqiey yang menjelaskan hadis Nabi dengan
menggunakan bahasa Indonesia dengan tujuan agar mudah dipahami oleh
seluruh masyarakat dari berbagai kalangan.67
Pada abad ini juga telah dibuka jurusan Tafsir Hadis yang konsern
terhadap bidang tafsir dan hadis. Namun, dekade terakhir pada tahun 2009 telah
dikeluarkan pembidangan keilmuan dalam KMA No. 36 tahun 2009, dimana
studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu Alquran dan Tafsir
serta Ilmu Hadis.68
Pendekatan yang digunakan oleh pensyarah hadis dalam memahami
hadis Nabi saw. juga mulai beragam, seperti pendekatan saintifik, sosiologi,
antropologi dan bidang keilmuan lainnya, dengan langkah tersebut diharapkan
dapat menemukan solusi serta pemahaman yang lebih luas terhadap suatu hadis.
Ciri khas syarah di era kontemporer ini adalah pada metode yang digunakan,
yaitu metode Tematik (Mauḏû’î). Metode mauḏû’î tersusun dalam tema-tema
tertentu (tematik) atau membahas topik-topik yang menjadi problematik dalam
masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari hasil kajian syarah
tersebut.69 Beberapa contoh kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara
lain; Akikah Menurut Tuntunan Hadis-Hadis Nabi karya Abidin Ja’far (1987),
Membentuk Pribadi Muslim Berdasarkan Otentisikasi Hadis Rasul karya Artani
Hasbi dan Zaitunah (1989), Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan
Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2005), Kerukunan Umat Beragama dalam
Perspektif Alquran dan Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2000).
67 Muniroh‚ Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; h. 69 68 Alfatih Suryadilaga, ‚Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya,
dalam Jurnal of Quran and Hadith Studies Vol. 4 No. 2 (2015), h. 217. 69 Alfatih., Metodologi Syarah., h. 64.
50
Selain itu, metode yang sering digunakan oleh pensyarah hadis di era ini
adalah metode tematik klasik dengan cara mengumpulkan hadis dalam suatu
keilmuan tertentu. Pembahasannya lebih bersifat umum karena tidak fokus
terhadap satu masalah tertentu, melainkan fokus terhadap suatu keilmuan
tertentu. Contoh karya syarah hadis yang menggunakan metode ini antara lain;
Hadis Tarbawi karya Abu Bakar Muhammad, Hadis Tentang Peradilan Agama
karya Fatchur Rohman, Kitab Pengobatan Nabi: disarikan dari Hadis-hadis
Rasulullah saw. karya Ahmad Sunarto (1992).
Metode mauḏû’î pada masa ini mendominasi dibanding metode lainnya,
namun metode-metode lainnya masih dapat ditemukan, seperti kitab Misbâẖ al-
Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary yang masih
menggunakan metode muqârin (komparasi).
Berikut penulis lampirkan tabel berdasarkan hasil penelitian Alfatih
Suryadilaga, guna memudahkan pembaca untuk mengklasifikasikan ciri-ciri
metodologi syarah hadis pada periode klasik dan kontemporer:70
Ciri-ciri Metodologi Syarah Hadis Klasik dan Kontemporer
Klasik Kontemporer
Tema sesuai kitab induknya Tema kontekstual
Bentuk utuh sesuai kitabnya Bentuk tidak utuh/per tema
(sesuai kebutuhan)
Metode: Tahlîli, Ijmâli, Muqârin Metode: Tematik-Kontekstual
Pendekatan: Bahasa, Historis Pendekatan: Hermeneutik,
Fenomenologi
Hasil: the Original Meaning Hasil: Applicable Meaning
70 Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. xx
51
BAB III
KIYAI MUHAJIRIN AMSAR AL-DARI DAN KITAB MISBÂH AL-DZALÂM
SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Biografi Kiyai Muhajirin Amsar
1. Latar Belakang Keluarga Kiyai Muhajirin Amsar
Kiyai Muhajirin merupakan ulama yang berpengaruh di Bekasi, meski ia adalah
pendatang. Nama lengkapnya adalah Muhammad Muhajirin Amsar al-Dârî, Ayahnya
memberikan nama Muhammad Muhajirin, sedangkan Amsar adalah nama kunyah yang
disandarkan kepada namanya. Adapun nama al-Dârî disandarkan kepada Madrasah
Darul ‘Ulum al-Diniyyah di Makkah, karena ia belajar dan lulus dari sana, yang
kemudian ia mengajar disana selama beberapa tahun.1
Muhajirin lahir di Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur pada 10 November
1924, dan wafat pada hari Jum’at 31 januari 2003 dimakamkan di pemakaman keluarga
Ma’had al-Nida al- Islami Bekasi. Ia juga dibesarkan di Kampung baru oleh kedua
orang tuanya, dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan. Nama Ayahnya Haji Amsar
dan Ibunya bernama Hj. Zuhriyah. Ayahnya adalah seorang pedagang kaya yang
menjadi pusat pemasokan telur di Jati Negara.2
Muhajirin memiliki seorang istri yang bernama Hj. Siti Hanah binti KH.
‘Abdur Rahman Sodri. Mertua Muhajirin adalah pendiri pondok pesantren ‘Ma’had
Bahagia’ di Bekasi, yang kini beralih menjadi Ma’had al-Nida al-Islami Bekasi.
Pernikahannya dengan Hj. Siti Hanah dikaruniai delapan putra-putri. Mereka adalah:
1) Hj. Faiqoh Muhajirin
2) H. Muhammad Ihsan Muhajirin
3) H. Ahmad Zufar Muhajirin (Almarhum)
4) Hj. Badi’ah Muhajirin
5) Hj. Farhah Muhajirin
1 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, (Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2018), Jil. I, h. 7. 2 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 7
52
6) Hj. Rufaida Muhajirin
7) H. Dhiya Al Maqdisi Muhajirin
8) H. Muhammad Aiz Muhajirin.3
Dalam menjalani peran sebagai ulama dan orang tua, Kiyai Muhajirin
merupakan sosok yang bersahaja dan sangat sederhana dalam kehidupan sehari-
harinya. Ia tidak pernah menampakkan kemewahan, meski ia tumbuh besar dalam
lingkungan keluarga yang berkecukupan. Kiyai Muhajirin menjadi sosok ulama
bersahaja dengan gaya khas lokalnya yang sederhana, hal ini nampak dalam gaya
pakaiannya sehari-hari yang terkesan apa adanya.4
Ketika mendidik anak-anaknya, Kiyai Muhajirin lebih bersikap demokratis. Ia
memberikan kebebasan terhadap putra-putrianya untuk menentukan pilihan dalam
dunia pendidikan, sehingga mereka dapat mengembangkan minat dan bakatnya tanpa
intervensi dari orangtua. Sedangkan putri-putri Kiyai Muhajirin dididik dengan tegas,
mereka diharuskan memperdalam ilmu agama dan melanjutkan pendidikannya ke Majma’
al-Marhalah al-‘Ulya demi menjaga putri-putrinya dari pergaulan dan ancaman dunia
global.5
2. Latar Belakang Pendidikan Kiyai Muhajirin Amsar
Muhajirin Amsar tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang memiliki
penguasaan ilmu agama yang mendalam. Kakeknya dari jalur ibu seorang guru agama
di Madrasah Diniyyah. Ia mulai mengaji kepada guru-guru di sekitar kampungnya. Ia
belajar mengenal huruf hijaiyah dan membaca Alquran kepada gurunya Muallim Sairon.
Kemudian ia bergabung dengan majlis para ulama di daerah kawasan Jakarta-Banten.
Nama-nama guru Muhajirin di daerah Jakarta-Banten adalah:
1) Syaikh Juru Ashmat
3 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-
Islami Bekasi Timur, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 39. 4 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-
Islami Bekasi Timur, h. 40 5 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-
Islami Bekasi Timur, h. 41
53
2) H. Mukhayyar (Muhajirin belajar kepadanya selama enam tahun, guru
pertama yang mengajarkan dasar-dasar agama, seperti ilmu Nahwu, sarf,
fiqh, ilmu manṯiq, ilmu kalâm dan ilmu Bayân)
3) H. Ahmad (Muhajirin belajar kepadanya selama empat tahun, dan
belajar beberapa kitab, salah satunya kitab hadis Arba’în al ‘Usfurî)
4) KH. Hasbiyallah (Muhajirin berguru kepadanya selama tiga tahuan, dan ia
juga belajar berbagai keilmuan agama yang lebih tinggi tingkatannya
seperti Tasawwwuf, Balâghah, Tafsîr dan lain-lain.)
5) H. Anwar
6) Ahmad Mursyidi
7) H. Hasan Muntaha (Muhajirin belajar beberapa cabang keilmuan
kepadanya, salah satunya ‘ilmu musṯâlâẖ al Hadîts)
8) Syaikh Muhammad Thohir (Muhajirin belajar kepadanya selama
Sembilan tahun, ia juga menimba banyak cabang keilmuan kepada syaikh
muhammad Thohir, dalam bidang hadis ia mempelajari Saẖîẖ al-Bukhârî
dan Saẖîẖ Muslim)
9) Syaikh ‘Abdul Majid (Muhajirin juga banyak mempelajari berbagai
bidang keilmuan kepadanya, dalam bidang hadis ia mengaji kitab Saẖîẖ
al-Bukhârî dan Riyaḏ al-Sâlihîn)
10) Syaikh Ahmad ibn Muhammad
11) KH. Sholih Ma’mun Al Bantani
12) Syaikh ‘Abdul Majid Pakojan
13) Syaikh ‘Ali ibn ‘Abdur Rahman al-Habsyi.6
Setelah belajar kepada para ulama di kawasan Jakarta-Banten, ia merasa belum
memiliki keluasan ilmu dan kemudian ia belajar Qira’at Sab’ah kepada KH. Sholih
Ma’mun. Kiyai Muhajirin merupakan ulama yang sangat ahli dalam beberapa keilmuan,
salah satunya adalah ilmu falak. Ia belajar ilmu falak pertama kali kepada syaikh Ahmad
Ibn Muhammad. Karena merasa masih kurang puas ia memperdalam ilmu falaknya
6 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 8
54
kepada Syaikh Mansûr ibn ‘Abdul Hamîd al-Falakî yang merupakan guru syaikh Ahmad
ibn Muhammad, sehingga Kiyai Muhajirin mendapat gelar ahli falak pada masanya
karena kemahirannya terhadap ilmu falak melebihi ulama-ulama lainnya. Ia merupakan
salah satu ulama yang menentukan ru’yat al-hilâl, setiap datangnya awal bulan
khususnya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri (Syawwal) dan Dzulhijjah di
Indonesia.7
Muhajirin merasa bahwa yang ia dapatkan selama belajar di Indonesia belum
cukup sempurna untuk bekal hidupnya, kondisi Indonesia yang terjajah oleh Belanda
juga menjadikannya tidak leluasa untuk belajar, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke
Makkah pada Juni 1942 M dengan tujuan Haji sekaligus belajar di sana. Namun, ia tidak
jadi berangkat pada tahun tersebut, disebabkan banyaknya rintangan dan halangan dari
misionaris dari Belanda yang mengetahui niatnya tersebut.8
Muhajirin memiliki tekad dan niatnya yang kuat untuk belajar lebih dalam lagi
dan akhirnya ia berangkat melalui jalur laut pada Agustus 1947 M dan sampai di
Makkah pada September 1947 M dan ia memutuskan untuk menetap dan belajar di
Makkah selama beberapa tahun.9
Ketika Kiyai Muhajirin belajar di Makkah ia belajar kepada beberapa guru
terkemuka pada masa itu, berikut guru-guru Kiyai Muhajirin di Makkah:
1) Syaikh Muhammad Aẖîd sekaligus guru Syaikh ‘Aṯârid al Jâwî. (Muhajrin
mempelajari beberapa kitab kepadanya antara lain: Fatẖ al-Wahhâb, Abî Shujâ’,
Riyâḏ al-Sâliẖîn, Minhâj al-‘Âbidîn, ‘Umdah fî al-Manâsik).
2) Syaikh Hasan Muhammad al Mishâṯi (Muhajirin mempelajari kitab Saẖîẖ al-
Bukhârî dan Saẖîẖ Muslim)
3) Syaikh Zain Bawean (Ia mempelajari kitab Iẖyâ’ ‘ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî)
4) Syaikh Muhammad ‘Alî ibn Husain al Mâlikî.
5) Syaikh Mukhtâr Amfanân (ia belajar kitab Saẖîẖ al-Bukhârî dan al-Itqân fî
‘ulûm al-Qur’ân)
7 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 8 8 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 12 9 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 12
55
6) Syaikh Muhammad al-‘Arâbî al-Tabânî al-saṯaifî al-Jazâirî (Muhajirin belajar
berbagai bidang keilmuan, dalam bidang hadis ia mempelajari kitab Saẖîẖ al-
Bukhârî, Sunan Ibn Mâjah, al-Targhîb wa Tarhîb dan Riyâḏ al-Saliẖîn)
7) Sayyid ‘Alwî ‘Abbas al-Mâlikî.
8) Syaikh Ibrâhim Faṯânî.
9) Syaikh Muhammad Amîn al-Kutubî
10) Syaikh Ismâ’il Faṯânî.10
Pada bulan Juli 1950, Kiyai Muhajirin memutuskan untuk masuk di Madrasah
terkemuka di Makkah yaitu Dâr al-‘Ulûm dan yang menjadi mudir madrasah (kepala
Sekolah) pada saat itu adalah syaikh Ahmad Mansuri, sedangkan Syaikh Yasin Ibn Isa
al Fadani sebagai Naib di sana, dan Kiyai Muhajirin belajar di sana selama dua tahun.11
Pada bulan Agustus 1951 M, Kiyai Muhajirin menyelesaikan ujiannyanya di
Madrasah dengan nilai jayyid, ia menjadi murid tercepat dan termuda di madrasah
Darul Ulûm Makkah, yaitu hanya selama dua tahun. Setelah itu ia melanjutkan
belajarnya untuk memperdalam ilmu hadis kepada al-Musnid al-‘Âlam dari Indonesia,
yaitu Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani. Ia mempelajari berbagai kitab hadis yang meliputi
ilmu hadis, syarah hadis dan kitab-kitab hadis mu’tabar. Selain itu, Kiyai Muhajirin
mendapatkan sanad dari syaikh Yasin yang sampai kepada mukharij dari kitab-kitab
yang ia pelajari, antara lain: Muwaṯṯa’ Mâlik, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmiẕî,
Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Mâjah, Saẖîẖ Muslim dan Saẖîẖ al-Bukhârî. Semua kitab-
kitab ini hatam dengan sempurna di hadapan syaikh Yasin. Ia juga mendapat ijâzah dari
syaikh Yasin yang sampai kepada syaikh Muhammad ‘Alî yang terdapat dalam kitab
Maslak al-Jalî serta kitab maṯma’ al Wujdân yang sanadnya dari Syaikh ‘Umar Hamdân.
Setelah syaikh Yasin membaca kitab Manâhil al-Silsilah fî al-Aẖâdîts karya Syaikh
Muhammad ‘Abdul Baâqî, ia juga mengijazahkan kepada Muhajirin secara khusus dan
umum.12
Setelah banyak belajar dari syaikh Yasin, Kiyai Muhajirin diminta orang tuanya
10 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 14 11 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 15 12 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 15
56
untuk pulang ke Tanah Air , sehingga ia pulang dan sampai di Indonesia pada 6 Agustus
tahun 1955 M.
3. Karya-Karya Kiyai Muhajirin Amsar
Kiyai Muhajirin merupakan ulama’ yang memiliki keilmuan yang sangat luas dan
produktif. Ia mengarang banyak kitab dalam bahasa arab yang tersebar di Jakarta dan
sekitarnya hingga sekarang. Kiyai Muhajirin melihat santri-santrinya merasa kesulitan
dalam mempelajari dan memahami kitab ulama klasik.
Berdasarkan fenomena tersebut, Kiyai Muhajirin menulis beberapa kitab yang
mudah dipelajari oleh santrinya di berbagai tingkatan dan berbagai bidang keilmuan.
Berikut karya-karyanya yang telah tercetak :
- Bidang Nahwu dan Balaghah:
• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Ûlâ
• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Tsâniyah
• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Tsâlitsah
• Al-Maẖfûẕât
• Al-Qawâ’id al-Naẖwiyah al-Ûlâ
• Al-Qawâ’id al-Naẖwiyah al-Tsâniyah
• Al-Bayân
• Mukhtârât al-Balâghah
- Bidang Tauhid:
• Mulkhas al-Ta’lîqât ‘alâ Matn al-Jauhirah
• Syarẖ al-Ta’lîqât ‘alâ Matn al-Jauhirah
- Bidang Ilmu Ushul Fiqh
• Taisîr al-Wusûl fî ‘ilm al-Wusûl
• îḏâẖ al-Maurûd
• Istikhrâj al-Furû’ ‘alâ al-Usûl
• Al-Khilâfiyât
57
• Al-Qawâid al-Khamsu al-Bahiyah
• Takhrîj al-Furû ‘alâ al-Usûl
• Ma’rifat Ṯuruqu al-Ijtihâd
- Bidang ilmu Musṯalaẖ Hadîts dan Hadis:
• Al-Ta’lîqât ‘alâ matn al-Baiqûnî
• Al Istidzkâr
• Misbâẖ al-Ẕalâm fî Syarẖ Bulûgh al-Marâm
• Syarẖ Musnad Imâm al-Syâfi’î.
- Bidang Ilmu Mantiq:
• Al-Madârik fî al-Manṯiq
• Al-Nahju al-Maṯlûb ilâ al-Manṯîq al-Marg}ûb
• Al-Qaûl al-Fâiḏ fî ‘Ilm al-Farâiḏ
- Bidang Akidah dan Akhlak:
• Mir’ât al-Muslimîn
• Al-Ta’aruf fî al-Tasawwuf
- Bidang Sejarah:
• Târîkh Muẖammad Rasulullah SAW wa al-Khulafâ’ al Râsyidûn
• Al-Muntakhab min Târîkh Daulah Bani Umayyah
• Târîkh al-Adab al ‘Arâbiy
• Al-Tanwîr fî Usûl al-Tafsîr
• Taṯbîq al-Ayât bi al-ẖadîts
• Al-Siqâyah al-Mar’iyyah fî Al-Baẖts wa al-Munâẕarah
58
• Qar’u al-Sam’i fî al-Waḏ’i.13
B. Deskripsi Kitab Misbâh al-Ẕalâm
Kitab Misbâh al-Ẕalâm fî Syarẖ Bulûgh al-Marâm merupakan kitab syarah hadis
yang mensyarahi hadis-hadis Aẖkâm yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Kitab
syarah hadis ini disusun sesuai dengan kitab hadis yang terdapat dalam kitab induknya,
yaitu Bulûgh al-Marâm. Kiyai Muhajirin memiliki sistematika yang ia tonjolkan dalam
menulis kitab, serta ia juga memiliki alasan kuat dalam memilih kitab Bulûgh al-Marâm
sebagai kitab induknya dalam mensyarahi hadis. Hal tersebut akan dijelaskan dalam bab
ini secara deskriptif.
1. Latar Belakang Penulisan Kitab
Kiyai Muhajirin merupakan ulama pada akhir abad ke-20 yang memiliki
kepakaran di berbagai bidang keilmuan, diantara keilmuan yang menonjol secara khusus
ialah bidang Hadis. Pernyataan ini disetujui oleh anak bungsunya H. Aizzullah. Hal ini
dikarenakan Kiyai Muhajirin telah belajar di Makkah dalam waktu yang relatif panjang
bersama Syekh Yasin Ibn Isa al-Fadani di Dâr ‘Ulûm Makkah. Ia bahkan menjadi murid
kesayangan dari Syaikh Yasin, yaitu musnid al-dunya pada masanya.14 Kiyai Muhajirin
mensyarah kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî secara keseluruhan.
Kitab ini terdiri dari empat jilid dan mencapai 1. 541 halaman.
Hal yang melatar belakangi penulisan kitab ini adalah karena munculnya rasa
kagum Kiyai Muhajirin terhadap kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar. Baginya, kitab
Bulûgh al-Marâm merupakan kitab hadis Ahkam yang sangat fenomenal. Kiyai
Muhajirin juga menyatakan bahwa para ulama setelah Ibn Hajar menjadikan kitab Bulûgh
al-Marâm sebagai rujukan. Selain itu para pendidik di berbagai negara termasuk
Indonesia menjadikan kitab Bulûgh al-Marâm sebagai bahan ajar mereka. Bagi Kiyai
Muhajirin, kitab Bulûgh al-Marâm lebih fenomenal dibanding kitab-kitab mu’tabar
13 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 30 14 Jawiah Dzakir dan Ahmad Levi‚ “Ketokohan Syekh Muhajirin Amsar Ad-Dary Sebagai
Ilmuwan Hadis Nusantara”, dalam Jurnal Prosiding Nadhwah Ulama Nusantara, Vol. IV, 5-26 November
2016, h. 234.
59
seperti sunan dan jawâmi’ lainnya. Madrasah, Pesantren dan perguruan tinggi menjadikan
kitab Bulûgh al-Marâm sebagai rujukan dalam mencari hadis-hadis ahkam dalam setiap
generasi dan berbagai madzab, Bulûgh al-Marâm diterima dalam berbagai perbedaan
ideologi. Berdasarkan hal tersebut, Kiyai Muhajirin berkeyakinan bahwa kitab Bulûgh al-
Marâm merupakan sebuah karya besar yang lahir dari ulama besar Ibn Hajar al-‘Asqalânî.
Ia juga berkeyakinan bahwa syarahnya terhadap Bulûgh al-Marâm dapat memberikan
kemudahan kepada seluruh peserta didik yang mempelajari dan memahami hadis yang
terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm.15 Selain itu, Kiyai Muhajirin juga menyatakan
bahwa karyanya ini telah mendapat restu dan dukungan dari para gurunya di madrasah
Dâr al-‘Ulûm, Masjid al- Haram dan para gurunya di Masjid Madinah.
2. Sistematika Penulisan Kitab
Secara umum, sistematika penulisan dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm mengikuti
sistematika yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. dalam syarahnya, Kiyai
Muhajirin mencantumkan hadis dari kitab Bulûgh al-Marâm dengan memberikan tanda
huruf (ص ) yang berarti musannif pada awal kalimat dan memberikan tanda huruf (ش)
yang berarti syarah pada kalimat pertama dalam syarahnya.
Dalam setiap kitab, ia menjelaskan makna kebahasaan dengan tujuan memperoleh
pemahaman yang komprehensif, baik lafaz tersebut berupa judul bab ataupun hadis itu
sendiri. Namun, penjelasan kebahasaan lebih bersifat interpretatif bukan sebatas
mengungkap bentuk kalimatnya (morfologi dan filologi). Tidak jarang, Muhajirin
menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai penguat syarahnya dalam konteks-konteks
tertentu.
Langkah selanjutnya ia menuliskan kembali hadis yang terdapat dalam kitab
induknya, dan menjelaskan asbâb al-wurûd-nya jika ada. Ia menafsirkan hadis dengan
bentuk bi al-ma’tsûr, karena menafsirkan hadis dengan hadis lainnya dan mensyarahi
hadis dengan Ayat Alquran yang memiliki relasi dengan hadis tersebut.
Kemudian ia mengungkapkan pendapat para ulama madzab fikih seperti Abu
15 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 21
60
Hanîfah, Imam al-Syâfi’î, Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal terkait pemahaman
mereka dalam hadis ahkam tersebut. Namun, ia tidak memberikan sintesis akhir dalam
setia hadis yang ia syarahi. ia hanya menutupnya dengan pernyataan ulama-ulama ahli
fikih dan membiarkannya tanpa ia tambahkan penjelasan beliau terhadap masing-masing
pendapat mereka.
Sistematika di atas sebenarnya tidak dijalankannya secara konsisten dalam
masing-masing syarah hadisnya. Namun, secara umum ia menyusun syarah hadisnya
dengan sistematika tersebut. Adapun untuk memudahkan pembaca dalam memahami
sistematika yang terdapat dalam kitab Misbâh al-Ẕalâm, berikut tabel sistematika dari juz
1 -4 kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm:
No Juz Kitab Bab
1
I
Kitâb al-Ṯahârah
Bâb al-Miyâh
2 Bâb al-Âniyah
3 Bâb Izâlah al-Najâsah wa Bayânuha
4 Bâb al-Wuḏû’
5 Bâb al-Masẖu ‘alâ al-Khuffain
6 Bâb Nawâqiḏ ‘alâ al-Wuḏû’
7 Bâb âdâb Qaḏâ’ al-ẖajât
8 Bâb al-Ghuslu wa ẖukmu al-Junub
9 Bâb al-Tayammum
10 Bâb al-ẖaiḏ
11
Kitâb al-Salât
Bâb al-Mawâqît
12 Bâb al-Adzân
13 Bâb Syuruṯ al-Salât
14 Bâb Satrât al Musallî
15 Bâb al ẖatstsu ‘alâ al-Khusyû’
16 Bâb Sifat al Salât
17 Bâb Sujûd al-Sahwi Wa Ghairuhu
61
18 Bâb al-Salât al-Taṯawwu’
19 Bâb Salât al-Jamâ’ah wa al-Imâmah
20 Bâb Salât al-Musâfir wa al-Marîḏ
21 Bâb Salât al-Jum’âh
22 Bâb Salât al-Khaûf
23 Bâb Salât al-Kusûf
24 Bâb Salât al-Istisqâ’
25 Bâb Libâs
26 Kitâb al-Janâiz
27 Kitâb al-Zakât
28 Kitâb Abî Bakr ilâ al-
Bahrâin fîhi Bayân
Nisâb al-An’âm
Bâb Sadâqah al-Fiṯr
29 Bâb Sadâqah al-Taṯawwu’
30 II Bâb Qism al-Sadaqât
31 Kitâb al-Siyâm
Bâb al-Saum al-Taṯawwu’ wa mâ
Nahâ ‘anhu
32 Bâb al-I’tikâf wa Qiyâmu Ramaḏân
33
Kitâb al-ẖajj
Bâb Bayân Faḏluhu wa Man Faraḏa
‘alaihi
34 Bâb al-Mawâqît
35 Bâb Wujûh al-Iẖrâm
36 Bâb al-Iẖrâm wa mâ Yata’allaqu bihi
37 Bâb Sifat al-ẖajj wa Dukhul Makkah
38 Bâb al-Fawât wa al-Iẖsâr
39 Kitâb al-Buyû’ Bâb Syurûtuhu wa mâ Nahâ ‘Anhu
40 Bâb al-Khiyâr
41 Bâb al-Ribâ’
42 Bâb al-Rukhsah fî ‘Arâyâ wa Bai’u
al-Usûl wa al-Tsimâr
43 Bâb al-Taflîs wa al-ẖijr
62
44 III
Bâb al-Sulhu
45 Bâb al-Huwâlah wa al-ḏammân
46 Bâb al-Syirkah wa al-Wakâlah
47 Bâb al-Iqrâr
48 Bâb al-‘âriyah
49 Bâb al-Ghâsab
50 Bâb al-Syuf’ah
51 Bâb al-Qirâḏ
52 Bâb al-Musâqah wa al-Ijâzah
53 Bâb Iẖyâ’ al-Maut
54 Bâb al-Waqaf
55 Bâb al-Hibah wa al-‘Umrâ wa al-
‘Uqbâ
56 Bâb Luqaṯah
57 Bâb al-Farâiḏ
58 Bâb al-Wasâyâ
59 Bâb al-Wadî’ah
60 Kitâb al-Nikâẖ Bâb al-Kafâ’ah wa al-Khiyâr
61 Bâb ‘Isyrati al-Nisâ’
62 Bâb al-Sidâq
63 Bâb al-Walîmah
64 Bâb al-Qasmi
65 Bâb al-Khul’i
66 Bâb al-Ṯalâq
67 Bâb al-Ilâ’ wa al-dzihâr wa al-
Kaffârah
68 Bâb al-Li’an
69 Bâb al-Iddah wa al-Iẖdâd
70 Bâb al-Raḏâ’
63
71 Bâb al-Nafaqah
72 Bâb al-ẖaḏânah
73 IV
Kitâb al-Jinâyât Bâb al-Diyât
74 Bâb Qitâlu Ahlu al-Baghy
75 Bâb Qitâl al-Jânî wa Qatlu al-Murtad
76 Kitâb al-ẖudûd Bâb ẖad al-Qadzaf
77 Bâb ẖad al-Sirqah
78 Bâb ẖad al-Syârib
79 Bâb al-Ta’zîr wa ẖukm al-Sail
80 Kitâb al-Jihâd Bâb al-Jizyah wa al-Hudnah
81 Bâb al-Sabq wa al-Ramyu
82 Kitâb al-Aṯ’imah Bâb al-Saidi wa al-Dzabâiẖ
83 Bâb al-Aḏaẖiyyi
84 Bâb al-‘Aqîqah
85 Kitâb al-Aiman wa al-
Nudzûr
86 Kitâb al-Qaḏâ’ Bâb al-Syahâdât
87 Bâb al-Da’âwî wa al-Bayyinât
88 Kitâb al-Itqi Bâb al-Mudabbir wa al-Mukâtib wa
Ummi al-Walad
89 Kitâb al-Jâmi’ Bâb al-Adab
90 Bâb al-Birri wa al-Sillah
91 Bâb al-Zuhdi wa al-Wara’
92 Bâb al-Tarẖîb min Musâwî al-Akhlâq
93 Bâb al-Targhîb min Makârim al-
Akhlâq
94 Bâb al-Dzikr wa al-Du’â
Tabel di atas merupakan sistematika yang digunakan oleh untuk memisahkan
antara juz satu dengan lainnya. Muhajirin tidak terfokus untuk menyelesaikan
64
pembahasan kitab dalam jilid sebelumnya. Ia tidak memfokuskan terhadap
sistematisnya penyusunan kitab, karena ia fokus terhadap metode pemahaman hadis agar
mudah dipahami.
3. Metode Penulisan Kitab
Metode penulisan yang dilakukan oleh Kiyai Muhajirin dalam menulis kitabnya
Misbâh al-Ẕalâm menempuh beberapa langkah sebagai berikut:
a. Menjelaskan hukum hadis
Dalam beberapa hadis yang ditulis, Kiyai Muhajirin biasanya mengemukakan
hukum hadis secara umum yang ditulisnya dengan ringkas. Ia juga menjelaskan status
hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama dan ahli fikih. Seperti adanya ‘illat, kedudukan
hadis sebagai hadis marfu’ atau mauqûf dan lainnya. Berikut contoh syarah hadis yang
menjelaskan hukum hadis:
Pada hadis ini, sanad yang riwayatkan imam Muslim munqaṯi’ sedangkan sanad
hadis yang diriwayatkan al- Daruquṯnî mausûl. Dalam hal ini Muhajirin
mengaplikasikan kaidah ilmu hadis al-jarẖ muqaddam ‘alâ ta’dîl.
b. Menuliskan hadis tidak disertai sanad secara lengkap
Dari seluruh hadis yang ia tulis, ia tidak mencantumkan sanad secara lengkap
dalam hadisnya. Ia menuliskan hadis dengan mencantumkan rawi pertama yaitu
golongan sahabat. Namun, tak jarang ia menyebutkan lafadz-lafadz hadis yang
diriwayatkan oleh mukharrij lainnya, jika terdapat perbedaan lafadz.
c. Mencantumkan Alquran dan hadis yang setema.
Dalam syarah hadisnya, Kiyai Muhajirin kerap kali mencamtumkan ayat- ayat
yang setema dengan hadis yang ia syarahi. Terkadang ayat tersebut berfungsi sebagai
klarifikasi, terkadang sebagai ayat yang dijelaskan oleh hadis dan bahkan ayat tersebut
sebagai penjelas serta penguat hadis tersebut. Tak jarang, ia juga mencantumkan hadis
untuk mengungkapkan asbâb al-wurûd hadis yang disyarahi. Selain itu Kiyai Muhajirin
juga mencantumkan hadis-hadis yang setema dan mengkompromikan beberapa hadis
65
kontradiktif, meski hal tersebut terhitung sangat minim.
d. Mencantumkan pendapat ulama ahli fikih.
Muhaajirin senantiasa mencantumkan pendapat ulama fikih ketika menganalisis
hadis terkait hukum. Seperti Imam al-Syafi’î, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad
bin Hanbal, Imam Nawâwî, al-Qurṯûbî, dan ulama ahli fikih lainnya. Namun ia tidak
memberikan argumen secara khusus untuk mendukung salah satu pendapat dalam
perdebatan tersebut. Hal inilah yang menjadikan kitab ini memiliki karakteristik yang
khusus dalam metode penulisannya. Metode semacam ini sangat jarang digunakan oleh
ulama pensyarah hadis di Nusantara.
67
BAB IV
ANALISIS TERHADAP METODE SYARAH HADISKITAB MISBÂH AL-
ẔALAM SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Metode Syarah Hadis Kitab Misbâh al-Ẕalam Syarh Bulûgh al-Marâm
Istilah pemahaman dalam hadis meliputi hal: menjelaskan maksud, arti,
kandungan, atau pesan hadis dan disiplin ilmu lain.1 Dalam menyusun sebuah kitab
syarah hadis, seseorang penyusun atau pensyarah (syarih) tentu menggunakan
metode, bentuk atau corak dalam melakukan pensyarahan.Secara umum, para
ulama menggunakan 3 metode dalam melakukan penyusunan syarah hadis, yaitu
metode tahlilî (analitis), metode ijmâlî (global), dan metode muqârin
(perbandingan). Dengan melihat karakter yang terdapat pada ketiga metode
tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Berangkat dari ketiga metode diatas, maka para ulama hadis yang menyusun
syarah akan mengacu pada 2 bentuk syarah hadis, yakni bentuk syarah bi al-ma’tsur
dan syarh bi al-ra’yi. Sebagai contoh, syarh yang mengikuti aliran analitis, akan
menggunakan metode analisis dalam alur penyusunan syarhnya. Jika syarh analisis
ini memilih bentuk syarh bi al-ma’syur, maka syarh-nya tetap pada analisis yang
bersumber dari riwayat. Artinya, pensyarhan akan berjalan terus sepanjang riwayat
masih dijumpai. Namun, jika syarh analisis ini memilih bentuk syarh bi al-ra’yi,
maka analisis selalu berjalan meski tidak ada riwayat yang menjelaskan, karena
riwayat dalam syarh bi al-ra’yi hanya memiliki fungsi sebagai legitimasi bagi suatu
penjelasan, bukan sebagai titik tolak atau subyek, berbeda dengan bentuk syarh bi
al-ma’tsur yang meletakkan riwayat sebagai subjek pensyarhan.
Merujuk kepada karya-karya para ulama hadis dalam menyusun karya
syarh-nya, sebagaimana Kiyai Muhajirin yang telah mencurahkan segala
perhatianya dalam penulisan syarh hadisnya yang terangkum dalam kitab Misbâh
1 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta : Center of
Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001)
68
al-Ẕalâm, dapat disimpulkan bahwa pensyarahan kitab-kitab hadis tidaklah bebas
nilai, maksud dan tujuan. Setidaknya sudah berderet goresan buah pemikiran dan
ijtihad dalam pensyarahan hadis yang dilakukan ulama baik era klasik hingga
kontemporer yang berupaya untuk menjelaskan makna hadis ditinjau dari berbagai
sudut, kecenderungan membahas secara luas dan memberi penjelasan berbagai kata
yang sulit dipahami sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab gharib hadis, atau
lainya.
Dari hasil pembacaan, jumlah hadis secara keseluruhan dalam kitab Bulûgh
al-Marâm yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqalânî terdapat 1596 (seribu lima ratus
sembilan puluh enam) hadis. Pembahasan dari Bab Bersuci (ṯaharah) sampai Bab
Perbudakan (Itq) bahkan sampai pada pembahasan terkait Bab Adab (bersifat
moralistik). Disyarahi oleh Kiyai Muhajirin Amsar menjadi 4 bagian, Jilid pertama
dari hadis no.1 sampai 525, jilid kedua dari hadis no.526 sampai 866, jilid ketiga
dari hadis no.867 sampai 1186, dan jilid terakhir dari hadis nomor 1187 sampai
dengan 1596. Dari sekian hadis yang disyarahi oleh Kiyai Muhajirin, selanjutnya
penulis menelusuri atas metode syarah hadis yang tercantum dalam kitab Misbâh
al-Ẕalâmdan dalam penelusuran tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Syarah
Misbâh al-Ẕalâm menggunakan metode Muqârin.
Penggunaan metode muqârin ini, sebenarnya telah diutarakan sendiri oleh
Kiyai Muhajirindalam muqadimah syarahnya:2
أصدقاء لطلب إجابة املسكيات ت منالنفحاتصرات م ختقييدات املرام قيدلبلوغ ان أحببت اليتتواترلديهذهاالمةاملرحومةومبتنوعاتة ن الس ب ت ك شروح ابضوء مستضيئ الوفيات
املعتمدهلالكتبالفقهيةاملعتربةوأصوا ةوبتقريرمشاخييالفخاميفصفوفدارالعلوماالدينيةوحظوةاملسجداحلرامومسجدمدينةخرياألانم،معانينيفوضعهذهالتقيدات
2Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I,h. 21
69
اعدواملعاونيفحتقيقهذهاملهمةمشغولالبالبنيإرضاءاألصلوتربيةالفرع،وعدممس .3الصعبةوقلةالكتباليتحتتاجاليهااملراجعة
“Saya senang untuk memberikan taqyid (pengikat/penjelas) pada kitab
Bulûgh al-Marâm, dengan ringkas dari hembusan minyak kasturi, sebagai
jawaban atas permintaan teman-teman yang mencangkup sinar dari cahaya
beberapa syarah kitab-kitab hadis yang mutawatir sampai terhadap umat
yang terhormat ini, dan dengan berbagai macam kitab-kitab fikih yang
mu’tabar dan juga ushul-ushul yang mu’tamad, dan juga keterangan dari
para syaikh-syaikh saya di sekolah Dâr al-Ulûm al-Diniyah, dan di Masjid
al-Haram, juga di Madinah al-Munawarah. Beserta saya mengarang ini
bersamaan dengan kesibukan mencari ridha para sesepuh (orang tua) juga
mendidik para generasi muda, tidak ada yang membantu dan menolong
untuk mentahqiq (meneliti) terhadap perkara yang sulit ini, juga sedikitnya
kitab-kitab yang dibutuhkan untuk bahan referensi.”
Pernyataan diatas, telah menyebutkan secara eksplisit terkait tujuan dari
penulisan kitab Misbâh al-Ẕalâm, serta metode yang digunakan, yaitu dengan
menggunakan metode muqarin dengan memberikan ‘taqyidat’ (semacam pengikat
atau batasan-batasan pembahasan dalam hadis tersebut) terhadap hadis yang
terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Dengan cara memberikan keterangan dari
beberapa kitab hadis lain, dan beberapa kitab fikih yang mu’tabar (yang sering
dipakai dan dianggap lebih mendekati kebenaran), juga beberapa ushul yang
kredibel. Ditambah lagi dengan keterangan-keterangan yang diambil dari guru-guru
kiyai Muhajirin di Makah dan Madinah.
Akan tetapi, sesuai dengan ciri khas yang ada pada metode muqârin, kiyai
Muhajirin mengakui bahwa metode pensyarahan yang dia pakai cukup sulit, karena
itu tidak layak untuk dijadikan kitab bagi pemula. Bahkan ia juga menginstilahkan
“Muhimmah Su’bah” (perkara yang sulit).4Dan pada akhirnya, kitab ini jarang
dikaji di pesantren-pesantren lain, kecuali di al-Nida, tempat ia mengajar.
Walaupun secara garis besar metode yang digunakan oleh kiyai Muhajirin
dalam kitabnya menggunakan metode Muqârin. Namun, ia juga tidak menafikan
3Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I,h. 21 4Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I.
70
pendekatan yang lain, yang merupakan bagian dari metode Tahlîli dengan
menjelaskan hadis dari aspek kebahasaan serta membandingkan dengan riwayat
dan pendapat ulama lain. Hanya saja, penggunakan metode Tahlîli ini sangat minim
sekali. Contoh syarh hadis tersebut dengan metode ini, bisa dilihat pada
pembahasan berikutnya pada bab ini.
1. Metode Syarah Muqârin
Alfatih Suryadilaga dalam bukunya Metode Syarah Hadis dengan mengutip
pendapat Nizar Ali menjelaskan bahwa yang dimaksud metode syarah hadis
Muqârin adalah syarah hadis yang menggunakan dua metode berikut: (1)
membandingkan hadis yang memiliki redaksi sama atau mirip dalam kasus yang
sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2)
membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mengomentari hadis. 5
Lebih lanjut Nizar Ali menyatakan ada 4 karakteristik syarah hadis yang
menggunakan metode muqârin:
1) Membandingkan analisis redaksi, dan perbandingan para periwayat
kandungan makna dari setiap hadis yang dibandingkan.
2) Membahas perbandingan berbagai hal yang berhubungan dengan makna
hadis tertentu.
3) Membandingkan pendapat para pensyarah hadis yang mencangkup seluruh
aspek-aspek yang berhubungan dengan hadis tersebut, baik menyangkut
kandungan makna atau perbandingan lafadz dan korelasi hadis satu dengan
hadis lainya.
4) Metode ini berorentasi untuk memberikan pemahaman yang luas dan
komprehensif.6
Berikut Contoh hadis yang menggunakan metode muqârin dalamMisbâh al-
Ẕalâm:
5Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. 48 6Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h.48
71
وان صفخ رةب نخت ب سخ ها-وعنخ عن خ يالل عليخه وسل م-أن رس ولالل -رض قال:-صل ىالل ذكره ف لخي ت وض أخ» مس ب ان،وقالالخب خار ي :«منخ وابخن ح خم ذ ي سة ،وصح حه الت مخ رجه الخ أخخ
هذاالخباب ءيف .ه وأصح شيخDari Busrah binti Safwanra. sesungguhnya Rasulullah saw.bersabda:
“barang siapa yang memegang kemaluannya sendiri, maka hendaknya
berwudhu”. Hadis dikeluarkan oleh Imam 5, disahihkan oleh Imam al-
Tirmîdzî dan Imam Ibn Hibban, dan Imam al-Bukhâri berkata: hadis
tersebut merupakan yang paling sahih pada bab ini.”
ش:قوله:فليتوضأ...اخل،استدلالشافعيومنوافقهأبناألمرهناللوجوب،فدلعليانمنمسالذكرانقضالوضوء،وبهقالاألوزاعي،وقالمجاعةمنالشافعيةانحديث
7بسرةانسخحلديثطلق.S (Syarah) : pada kata “maka berwudhulah..,” Imam al-Syâfi’î dan yang
menyetujuinya berargumen bahwa kata perintah tersebut menunjukan
kewajiban. Yang berarti, barang siapa yang menyentuh kelaminnya sendiri,
wudhunya batal. Dan begitu juga pendapat Imam al-Auzâ’î. Sebagian
komunitas dari madzhab Syafi’iyah berkata, bahwa hadis Busrah(sebutan
untuk hadis diatas) itu merupakan Nasîkh (pengganti) dari hadis Thalaq.
ومحلاحلنفيةاناألمرهنالإلستحبابأوانمسالذكرعندالبولمتسكاعليالغالب،وعليكلفإناإلحتمالساقطلإلستدالل،قاليفاملدونةالكربى:قالمالك:الينقضوضوءمنمسشرجاوالرفغاوالشيئامماهنالكاالمنمسالذكر،وقالامحد:الينقض
كقابضاللحية،وأشارايلقبضدا،الوضوءاالمبسهقاص كانمسه اذا ورويعنامحدأيضا 8حليته.
Sedangkan dalam mazhab Hanafiyah memberikan ihtimal (probabilitas)
bahwa kata perintah diatas mempunyai arti anjuran, karena rata-rata orang
memegang kelaminnya ketika kencing. Dus, ihtimal gugur dengan adanya
istidlal. Dalam kitab Mudawanah Kubrâ, Imam Malik berpendapat
bahwa:Tidak membatalkan wudhu, orang yang menyentuh Syarj (dibawah
kemaluan), Rafgh (lempitan paha/ selangkangan), dan sesuatu yang di
sekitarnya, kecuali menyentuh kelamin. Imam Ahmad berkata: Tidak
membatalkan wudhu jika menyentuh kelaminnya tanpa disengaja.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad juga, ketika menyentuhnya seperti
7Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I,
h. 74 8Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I,
h. 75
72
memegang jenggot, dan beliau mengisyarahkan dengan memegang
jenggotnya sendiri.
كانلفظالذكرممااضيفاليهالضمريفاالضافة قالشيخناحممدايسنيحفظههللا:ملاكاناو كانذكرهاوذكرغريهوصغريا كلذكرسواء امارةللعمومفينقضوضوءمنمسكاناوميتا،وقيسابلذكرالدبروقبلاملرأة،وهذاقول كبريا،متصالكاناومنفصال،حياالشافعيوامحدوروايةعنه،قاليفاملدونةالكربى،قالمالكيفقبلاملرأة:انهالينقض،قالالشافعيومالكومنوافقهما:الينقضمسالذكراالببطنالكفبداللةقولهصلي
9.هللاعليهوسلم:اذاافضىاحدكمبيدهليسبينهماستةفليتوضأSyaikh Muhammad Yasin al-Fadani berkata : Jika lafadz ‘dzakar’ (kelamin)
disandarkan terhadap ḏamir (kata penghubung), maka iḏâfah (penyandaran)
tersebut alamat bagi keumuman lafadz. Maka, batallah wudhunya orang
yang menyentuh kelaminnya sendiri ataupun orang lain, kecil ataupun
besar, sambung ataupun sudah terpisah, baik dzakarnya orang hidup
ataupun sudah meninggal. Dan di-qiyas-kan dengan dzakar; farjinya
perempuan. Ini merupakan pendapat Imam al-Syâfi’î, Imam Ahmad dan
riwayat darinya. Dalam Mudawanah Kubra, Imam Malik berpendapat
terkait menyentuh farjinya perempuan: itu tidak membatalkan wudhu.
Imam al-Syâfi’î, Imam Malik, dan yang sependapat dengan keduanya juga
berkata: tidak membatalkan wudhu orang yang menyentuh kelaminnya,
kecuali dengan bagian dalamnya telapak tangan, dengan dalil sabda
Rasulullah saw.jika menyentuh kalian semua dengan tangannya, tanpa ada
penghalang antar keduanya, maka berwudhulah.
دليل ستة وقوله:ليسبينهما فاإلفضاءاليكوناالببطنالكفوبطونأصابعاليدين،كان بدونحائل،فاذاحالبينهماشيءولورقيقاملينقض،للشافعيانالنقضامنااذا
وقالامحد:ينقضالوضوءاذامسالذكربذراعيه،الهنمامناليد.
فاحلديثإشارةايلاناحلديثطلقمنسوخحبديثبسرةضدماعليهاحلنفية،وانمس 10الذكرانقضللوضوءوهوأوىلابألخدمنغريه.
Kata ifḏâ’ tidak mungkin kecuali dengan telapak tangan dan dalamnya jari-
jemari. Kata ‘laisa bainahuma sitrah’ merupakan dalil bagi Imam al-Syâfi’î
bahwa yang membatalkan itu ketika tanpa adanya penghalang, jika ada
penghalang antara keduanya, walaupun tipis, tidak membatalkan wudhu.
9Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I,
h. 75 10Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Jilid
I, h. 75
73
Imam Ahmad berkata : batal wudhu seseorang ketika menyentuh
kelaminnya dengan ‘dzirâ’aihi’ (kedua lengan tangannya), karena itu
bagian dari tangan.
Dus, hadis diatas merupakan isyarat bahwa hadis ṯalaq sudah di-
Mansukhdengan hadis Busrah yang bertolak belakang dengan pendapat
madzhab Hanafi, walaupun menyentuh kelamin membatalkan wudhu, dan
itu merupakan pendapat yang lebih utama untuk diambil daripada yang lain.
Dari pemaparan Kiyai Muhajirin di atas, dapat dilihat bahwa beliau telah
melakukan langkah-langkah metodologis yang disebut dengan metode muqârin, di
mana beliau membandingkan hadis Busrah yang telah me-nasikh hadis ṯalaq yang
memiliki makna yang kontradiktif dengan hadis tersebut.11 Kemudian
membandingkan berbagai pendapat ulama pada hadis beliau menampilkan
pendapat Imam al-Syâfi’î, Aẖmad bin Hanbal, Imam Malik, dan Syekh Yasin
dalam mengomentari hadis.
Sedangkan, diakhir syarah dijelaskan pendapat yang lebih utama (awla)
adalah menyentuh dzakar itu merupakan hal yang membatalkan wudhu. Karena
pendapat madzhab Hanafi tidak batal, dan hanya disunahkan karena faktor kehati-
hatian (ikhtiyat). Potensi (Ihtimal) inilah yang kemudian menjadi dalil kesunahan,
sesuai dengan kaidah “Anna al-Ihtimâl Saqit li al-Istidlâl” pola-pola hukum yang
timbul karena berdasar sebuah potensi atau kemungkinan, menggugurkan
argumentasi yang sudah ada. Sedangkan menurut Kiyai Muhajirin, dalam madzhab
al-Syâfi’î argumen yang dipakai adalah dengan menasikh, itu lebih utama daripada
dalil dari madzhab Hanafiyah.
Dengan membaca pola pensyarahan muqârin ini, memberikan manfaat bagi
pembaca untuk memperoleh pengertian yang paling tepat dan lengkap mengenai
masalah yang dibahas, dengan melihat perbedaan-perbedaan diantara berbagai
unsur yang diperbandingkan.12
11 Ini merupakan ciri syarah dengan metode maqârin; yakni membandingkanyang
memiliki redaksi sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama. 12M. Yudhie Haryono, Nalar al-Qur’an, (Jakarta: PT Cipta Nusantara, 2002). h 166-167.
74
Dari sampel hadis di atas, salah satu ciri syarah Misbâẖ al-Ẕalam adalah
menjelaskan tanpa memberikan komentar terkait kebahasaan, kedudukan hadis dan
sanad-sanadnya. Berbeda dengan beberapa syarah hadis yang lain, sebelum menuju
kepada syarah atau penjelasan, banyak membahas terkait unsur kebahasaan, mata
rantai sanad, kedudukan hadis, seperti Subul as-Salâm13, Nailu al-Awṯar14. Ada
juga yang setelah pensyarahan suatu hadis, digunakan untuk menelusuri kedudukan
hadis tersebut, seperti Faidlul Qodir.15
Dari jumlah syarah hadis yang terdapat dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalam,
mayoritas menggunakan metode muqârin. Ada penggunaan metode ijmâli, akan
tetapi sangat jarang sekali. Seperti contoh di bawah ini :
وسلمذكريوماجلمعةفقال:فيه:وعنهرضيهللاعنه:انرسولهللاصلىهللاعليه18صساعةاليوافقهاعبدمسلموهوقائميصلي،يسألهللاعزوجلشيئااالأعطاهإايه.وأشار
.16بيدهيقللها.متفقعليه.ويفروايةملسلم:وهيساعةخفيفةDiriwayatkan dari Abû Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw.
Menuturkan hal ini terkait hari Jum’at, beliau berkata: “pada hari itu ada
suatu waktu, jika bertepatan seorang hamba yang Muslim berdiri untuk
shalat memohon kepada Allah sesuatu, pasti Allah akan mengabulkanya.
Dan beliau isyaratkan dengan tanganya bahwa waktu itu sangat sedikit.”
(Hadis Mutafaq alaih) dan menurut riwayat Muslim, “ia adalah waktu yang
sangat pendek.”
ش:قوله)وهوقائميصلي(ظاهرهذااحلديثانساعةاإلجابةيفالصالةوقدأشارالنيبعةصليهللاعليهوسلمبيدهيبنيقلتهاوبعدهاقليال،وفيهانساعةاإلجابةيفيوماجلم
اليوافقهاعبدمسلمدعاهللااالاجابه،والظاهرانساعةاإلجابةمفية.S: pada kata ‘wahuwa qimun yushalli’ pengertian hadis ini bahwa waktu
yang mustajabah dalam shalat sudah diisyaratkan Nabi saw. dengan jarinya,
yang berarti sangat sedikit. Dan didalamnya, ada waktu mustajab di hari
13 Muhammad bin Ismail al-San’anî, Subul al-Salâm, (Kairo : Dar al-Hadis, t.t.), Jilid 1
h. 96 14 Muhammad al-Saukanî, Nailu al-Awṯar, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 1993), Jilid 1, h.249 15 Abd al-Rauf, Faidlul Qadir Syarh Jami’ as-Saghîr, (Mesir : Maktabah Tijariah Kubra,
1937), Jilid 6, h.228 16Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I, h. 360
75
Jum’at yang seorang muslim tidak akan menemuinya kecuali dikabulkan
doanya, dan secara zahir, waktu yang mustajab itu masih dirahasiakan.
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa pensyarah, Kiyai Muhajirin dalam
mensyarahi hadis juga menggunakan metode yang sangat ringkas. Ia tidak
menyebutkan asbab al-wurud, informasi tentang penilaian ulama terhadap para
perawinya, pendapat ulama-ulama lain ketika memaknai hadis tersebut, dalil-dalil
lain yang bisa memperkuat hadis tersebut dan sebagainya. Ia juga tidak
menggunakan pendekatan-pendekatan seperti: pendekatan bahasa, pendekatan
historis, pendekatan antropologis, dan pendekatan psikologis dalam mensyarahi
hadis di atas.
Padahal, jika melihat dari pensyarahan hadis di kitab lain, pembahasan
terkait hadis tersebut cukup panjang perdebatan ulama di dalamnya, contoh dalam
Syarah Muslim:
اختلفالسلفىفهذهالساعة،فروىعنأىبهريرةقال:هىمنبعدطلوعالفجرإىلغروبالشمس.وقالاحلسن،وأبوالعالية:هىعندطلوعالشمس،وبعدصالةالعصرإىل
زوالالشمس،وقالأبوذر:هىمابنيأنتزيغالشمسبشربإىلذراع،وقالتعائشة:ختارهللافيهاالصالة،وهوهىإذاأذناملؤذنابلصالة،وقالابنعمر:هىالساعةالىت
أنتكونىفهذهالساعات:إذاأذنقولأىببردة،وابنسريين،وقالأبوأمامة:إىنألرجوجلساإلمامعلىاملنرب،أوعنداإلقامة.قالالشعىب:هومابنيأنحيرمالبيع املؤذن،أوإذا
17…إىلأنحيلPara ulama berbeda pendapat terkait waktu ini, diriwayatkan dari Abu
Hurairah, berkata: itu adalah waktu dari setelah fajar sampai dengan
terbitnya matahari, dan setelah shalat ashar sampai dengan terbenamnya
matarahi. Imam Hasan dan Abu Aliyah berkata: waktu tersebut adalah
ketika tergelincirnya matahari. Abu Dzar berkata: itu adalah antara terbitnya
matahari sejengkal hingga sampai satu dzira’. Sayidah Aisyah berkata: itu
ketika muadzin sedang melakukan adzan untuk shalat. Sahabat Ibnu Umar
berkata: itu adalah waktu yang dipilihkan Allah di dalamnya untuk shalat,
itu merupakan pendapat dari Abi Dardah, dan Ibnu Sirin. Abu Umamah
berkata: aku berharap waktunya adalah ketika muadzin sedang
melaksanakan adzan, Imam sedang duduk di atas mimbar, dan ketika
17 Ibnu Baṯal, Syarah Saẖîẖ al-Bukhârî li Ibnu Baṯal, (Riyad: Maktabah ar-Rasyd, 2003),
Jilid II, h.521
76
iqamah. Imam al-Sya’bi berkata: itu adalah waktu ketika diharamkan
berjual beli, sampai dihalalkan kembali.
Ada banyak sekali pendapat dalam menjelaskan hadis tersebut, baik dari
sahabat, tabiin sampai dengan para ulama. Ada juga pembahasan yang singkat
dengan bentuk muqarin dari beberapa pendapat ulama, seperti :
اليلزمهقولهصلىهللاعليهوسلمواإلمامخيطبدليلعلىأنوجوباإلنصاتوالنهيعنالكالمإمناهويفحاللطبةوهذامذهبناومذهبمالكواجلمهوروقالأبوحنيفة
18.جيباالنصاتخبروجاإلمامTidak mewajibkan dari sabda Rasulullah ketika imam berkhutbah menjadi
dalil akan wajibnya untuk diam dan larangan untuk berbicara, akan tetapi
itu hanya menunjukan ada suatu waktu atau keadaan ketika khutbah, ini
merupakan pendapat dari madzhab kita (syafii), madzhab Maliki, dan
mayoritas. Dan Abu Hanifah berkata : wajib diam ketika Imam sudah keluar
(untuk khutbah).
2. Tehnik Interpretasi yang Digunakan dalam Misbâẖ al-Ẕalâm
Kiyai Muhajirin dalam mensyarah hadis-hadis menggunakan tehnik
interpretasi intertekstual.19 Hal ini dapat dilihat melalui cara Kiyai Muhajirin dalam
mensyarahi hadis, dimana ia hampir selalu membahas hadis dari segi tekstual (arti
kata-perkata) lalu kemudian dilihat matan-matan hadis lain ataupun ayat Alquran
juga pendapat ulama lain dalam memahami hadis yang dibahas.
Contoh dari penerapan tehnik interpretasi intertekstual dalam syarah
Misbâh al-Ẕalâm dapat dilihat dari contoh berikut:
a. Meludah di dalam masjid
18 Muslim, al-Minhaj Syarh Sahih Muslim Ibnu Hajjaj, (Beirut : Dâr al-Ihya’ Turas al-
Arabi, 1972) Jilid 6, h.39 19Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw. dengan
memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran yang terkait. Dengankata lain,
ketika menggunakan teknik interpretasi intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan
konteksnya.
77
أنس عنخه -وعنخ يالل الل قال:قال-رض عليخه وسل م-رس ول »:-صل ىالل يف الخب صاق د خط يئةوكف ارت هادف خن ها 20م ت فقعليخه .«الخمسخج
Dari sahabat Anas ra. berkata : Rasulullah saw.: meludah di dalam masjid
itu merupakan kesalahan, dan cara menghapus kesalahan tersebut dengan
menguburnya.” HR. al-Bukhârî dan Muslim.
ش:قوله:)البصاقيفاملسجدخطيئة(فالبصاقوالبزاقمبعينواحدوهوالتفلكماورديفلفظمسلم.قالالنووي:واعلمانالبزاقيفاملسجدخطيئةسواءاحتاجاوملحيتجبل
ثوبه،فإنبصقيفاملسجدفقدارتكبالطيئةوعليهانيكفرهذاالطيئةبدفنيبصقيفكماصرحبهرسولهللاصلىهللاعليهوسلم. البزاق،هذاهوالصوابانالبزاقخطيئة
S (Syarah) : kata ‘al-Busâq fî al-Masjid Khaṯîah’ kata al-Busâq dan Bazzâq
bermakna sama, yaitu meludah, seperti yang diriwayatkan dalam lafadz
hadisnya Imam Muslim. Imam Nawawi berkata: ketahuilah bahwa meludah
di dalam masjid merupakan kesalahan, baik itu merupakan kebutuhan
ataupun tidak, akan tetapi hendaknya meludah pada bajunya sendiri. Jika ia
meludah di masjid, maka ia sudah melakukan kesalahan, dan wajib baginya
untuk menghapus kesalahan tersebut dengan mengubur ludahnya. Dan
perkataan ini merupakan yang benar, bahwa meludah di masjid sebuah
kesalahan, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw..
كالمابطل،حاصلهانالبزاقليسخبطيئة االيفحققالالعلماءوالقاضيعياض:فيهمنمليدفنه،وامامنأراددفنهفليسخبطيئة.وهذااحلديثمعارضحلديث:))وليبصق
21عنيسارهاوحتتقدمه((ففيهاذنابلبصاقيفالصالة.Para ulama dan al-Qâḏî‘Iyâḏ berkata: pendapat diatas merupakan hal batil/
salah. Ringkasnya, meludah di dalam masjid bukan merupakan kesalahan,
kecuali pada orang yang tidak menguburnya. Adapun orang yang ingin
menguburnya, maka hal tersebut bukan sebuah kesalahan. Hal tesebut
kontradiktif dengan hadis : “Hendaknya meludah ke kirinya atau dibawah
telapak kakinya” dan didalamnya merupakan izin untuk meludah dalam
shalat.
فالنوويجيعلاألولعاماوخيصالثاين،يعين:اذامليكنيفاملسجدفليبصقعنيسارهاوقدمه،وامافيهفالبصاقخطيئة.حتت
20Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 200 21Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 200
78
لالثاينعاماوخيصاألوليعينانالطيئةامناثبتملنمليدفنها، والقاضيعياضجيعإلذنهصلىهللاعليهوسلمبقوله:))وليبصقعنيسارهاوحتتقدمه((.ووافقالقاضي
كثريةمنهمالقرطيبوابن 22.مكيمجاعةImam Nawawi menjadikan hadis yang awal sebagai hadis ‘âm (umum), dan
yang kedua sebagai hadis khâs (khusus), yakni: jika tidak di dalam masjid,
maka meludahlah pada sisi kiri atau dibawah telapak kaki, adapun ketika di
masjid, meludah merupakan kesalahan.
Al-Qâḏî ‘Iyâd menjadikan hadis yang kedua sebagai ‘âm (umum), dan yang
pertama sebagai hadis khâs (khusus), yakni: yang menjadi sebuah kesalahan
itu ketika orang tersebut tidak menguburnya. Karena Rasulullah saw.-pun
memberikan izin dalam sabdanya : “hendaknya meludah pada bagian sisi
kirinya, atau dibawah telapaknya” dan beberapa ulama sepakat dengan
pendapatnya al-Qâḏî ‘Iyâd ini, sebagianya adalah Imam al-Qurṯûbî, Imam
Ibn Makî.
دفنها(،قالالنووييف)شرحمسلم(فمعناه،انارتكبهذهالطيئةفعليه وقوله:)وكفارهتاانالزانوالمروقتلالصيديفاالحرامحمرمات كما فعليهتكفريها ارتكبها وخطااي،واذا
عقوبتها.
كفارته.قالاجلمه كالمالقاضيانالطيئةملنمليدفنها،فمندفنهافهو ور:ومبقتضيواملراددفنهايفحصاةاملسجدوترابهورملهانكانفيهتراباورملاوحصاةوحنوها،واال
فيخرجها،وحكيالروايينمناصحابناقوالناناملرادإخراجهامطلقا.
23فاحلديثيدلعليحرمةالبصاقيفاملسجداوجوازهملنأراددفنه.Pada lafadz ‘wakafârutuhâ dafnuhâ’ Imam Nawawi berkata dalam Syarh
Muslim: dan maknanya, jika melakukan kesalahan maka baginya wajib
untuk menghapusnya, seperti halnya berbuat zina, minum khamr,
membunuh binatang buruan ketika berihram, haram dan merupakan
kesalahan. Jika melakukanya, maka wajib atasnya sanksi.
Dan berdasarkan perkataan al-Qâḏî ‘Iyâd, kesalahan itu terjadi bagi orang
yang tidak mau menguburnya, barang siapa menguburnya, maka ia sudah
menghapus kesalahan tersebut. Mayoritas ulama berkata: yang dimaksud
dengan mengubur ludah tersebut adalah ketika dimasjid tersebut beralaskan
22Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 200 23Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 201
79
kerikil-kerikil kecil dan debu, jika tidak ada maka wajib baginya
membuangnya keluar. Dikisahkan dari Imam al-Rûyânî dari ashab terdapat
dua pendapat, dan yang dimaksud keduanya adalah mengeluarkanya secara
mutlak. Maka, hadis diatas menunjukan keharaman meludah dalam masjid
atau kebolehan jika ia ingin menguburnya atau membersihkanya.
Hadis di atas merupakan gambaran bagaimana Kiyai Muhajirin mensyarahi
hadis dengan tehnik intertekstual, di mana beliau mengkaji sebuah hadis dari sisi
kebahasaan dengan juga mencantumkan konteks kejadian pada saat itu dan
pembahasan ushul fiqh di dalamnya yang pada akhirnya memunculkan perbedaan
dalam penentuan hukum fikihnya.
Bisa dianalisa, bahwa hadis larangan meludah ini bisa diampuni dengan
membersihkannya dengan menguburnya. Kyai Muhajirin membandingkan dengan
hadis lain, yang menyatakan kebolehan meludah ke arah kiri atau dibawah telapak
kakinya. Terlihat kedua hadis tersebut saling kontradiktif, karna yang satu melarang
dan yang satunya lagi memperbolehkan. Dan Kyai Muhajirin lebih memilih
pendapat bahwa hadis awal menjadi bentuk umum, dan yang kedua menjadi bentuk
khusus (berlaku di selain masjid), sama dengan pendapat Imam Nawawi. Dan
menggunakan pendapat mayoritas ulama, jika masjid tidak beralaskan debu, kerikil
dan lainya yang serupa, maka wajib mengeluarkanya (membersihkanya).
Pendapat tekstualnya bahwa meludah di dalam masjid dilarang, dan bentuk
ampunanya adalah menguburkanya. Dan kontekstualnya, jika masjid tidak
beralaskan debu atau kerikil seperti kramik, maka ia wajib membersihkanya secara
mutlak.
b. Hukum menjama’ qashr shalat bagi musafir
:وعنهصليهللاعليهوسلمقال:خرجنامعرسولهللاصليهللاعليهوسلممن5صواللفظ ايلاملدينة.متفقعليه، املدينةاىلمكة،فكانيصليركعتنيركعتنيحىترجعنا
شرللبخاري.وعنابنعباسرضيهللاعنهقال:اقامالنيبصليهللاعليهوسلمتسعةع
80
يومايقصر،ويفلفظ:مبكةتسعةعشريوما،رواهالبخاري.ويفروايةاليبداود:سبع24عشرة.ويفاخري:مخسعشرة.ولهعنعمرانبنحصنيرضيهللاعنه:مثاينعشرة.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, berkata: “kita keluar bersama Rasulullah
saw.dari Madinah menuju Makkah. Ketika itu Rasulullah saw.shalat dua
rakaat-dua rakaat, sehingga kita kembali lagi ke Madinah.” Muttafaq Alaih,
dan lafadz dari Imam al-Bukhârî,
Dari Ibnu Abbâsra, berkata: “Rasulullah pernah bermukim 19 hari dengan
menqashar shalat.” Dalam lafadz lain: “bermukim di makah 19 hari,” HR.
Bukhari, dan dalam riwayat Abu Daud : “17 hari.” Dan menurut riwayat lain : “15
hari”. Dan ririwayatkan oleh Imran bin Khashin ra. : “18 hari.”
الخيتلفعليهاحد،فالالفش:امجعالعلماءعليانمنوصلايلوطنهيتمالصالةوامناثبتيفمدةاالقامةاثناءالطريق،فعناإلمامايبحنيفةانهاذانوياقامتهمخسةعشريومايصريمقيما،وعنالشافعيومالكانهاذااقاماربعةاايميتم،وعنامحدانهيقصراذا
كثري.نوياالقامةاحديوعشرينصالةويتمفيمازاد،ويفهذهاملس 25ألةاختالفS: Ulama bersepakat, barang siapa orang yang sudah sampai kepada
negara/daerahnya, maka diharuskan untuk menyempurnakan rakaat
shalatnya (tidak diqashr). Perbedaan terjadi ketika seorang musafir yang
bermukim di pertengahan perjalanan. Imam Abu Hanifah berpendapat, jika
berniat bermukim 15 hari, maka ia beridentitas mukim, dan imam al-Syâfi’î,
dan imam Malik berpendapat jika ia bermukim 4 hari, maka harus
menyempurnakan rakaat shalat, dan Imam Ahmad boleh meringkas
shalatnya jika niat bermukim sejumlah 21 shalat fardhu, dan selanjutnya
tidak boleh meringkas shalatnya. Dan didalam masalah ini, terdapat
perbedaan pendapat yang sangat banyak.
ديثعمرانبنحصني،لكنهحملهملنمليزعماالقامةفانهاذامضتاملدةواخدالشافعيحباملذكورةوجبعليهاالمتام،فانازعماالقامةيفاولاحلالعلياربعةاايمامتعليخالف
26بنياصحابهيفيوميالدخولوالروج.
الباخ النتظار السفر يفاثناء اناالقامة تعرفواستفيدمناالحاديثالواردة والقافلة رةابالقامةيفاثناءالسفر.واختلفيفالقدرالذييبيحالقصرهباوتقدمبيانالالفيف
24Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 336 25Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 337 26Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 337
81
ايل للمسافريناملتوجهنيمنمكةايلاندونسيةفعندماوصلوا كثريا ذلك،وقدوقعذلكيةاهنمجدةأتخرتابخرهتمايلانانتظرواايلاايمعديدة،فاذاثبتماذكرانفعنالشافع
يقصرونالصالةاثناءاقامتهمحبيثملتزيدعنمثانيةعشريومااعتماداعليحديثعمران27بنحصني.
Imam al-Syâfi’î mengambil pendapat berdasar hadis ‘Imrân bin Hasîn, akan
tetapi hanya pada waktu tidak disengaja dengan niat, dan jika lebih dari 18
hari, maka harus menyempurnakan rakaat shalatnya. Jika ia menyengaja
atau berniat dari awal untuk bermukim 4 hari, maka ia wajib
menyempurnakan shalatnya.
Bisa diambil faedah dari beberapa hadis diatas, bahwa bermukim di tengah
perjalanan untuk menunggu kapal, atau kafilah bisa disebut dengan
bermukim fî atsnai safar. Dan ulama berbeda pendapat terkait kadar
diperbolehkanya untuk meringkas shalat, dan perdebatan sudah dijelaskan
diatas. Dan ini biasa terjadi kepada para musafir yang bertolak dari Makkah
menuju Indonesia ketika sampai di Jeddah, mereka diharuskan menunggu
adanya kapal bersandar beberapa hari. Maka dari itu, seperti yang sudah kita
utarakan, dari madzhab Syafi’i, sesungguhnya mereka boleh meringkas
shalat ditengah perjalanan mereka, sekirannya tidak melebihi 18 hari,
berdasar hadis ‘Imrân bin Hasîn.
Dari syarah hadis di atas, memberikan penjelasan dengan tekstual bahwa
barang siapa yang bepergian boleh melakukan qashr (meringkas shalat), dan ketika
sudah sampai di daerahnya sendiri, maka harus menyempurnakan shalatnya. Nabi
Muhammad saw. bepergian ke Makkah dari Madinah dan mukim disana dalam
beberapa hari, juga selama itu shalatnya diringkas. Ini merupakan dalil tekstual,
bahwa diperbolehkan meringkas shalat ketika bepergian. Kemudian, bagaimana
jika tidak sengaja ditengah perjalanan, seperti para haji dari Indonesia yang harus
menunggu kapal di Jedah beberapa hari karna telat kapalnya? Selama tidak lebih
dari 18 hari, itu diperbolehkan meringkas shalatnya. Pendapat ini berdasar riwayat
Ibnu Khasin, Nabi 18 hari bermukim di Makkah. Tapi, disyaratkan tidak adanya
niat terlebih dahulu. Jika ada niatan, maka setelah 4 diwajibkan untuk
menyempurnakan shalatnya.
3. Corak Kitab Misbâẖ al-ẕalâm
27Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 338
82
a. Corak Fikih-Ushul Fiqh:
1) Hadis terkait tawasul dalam berdo’a
أن ع مر عنخه -وعنخه يالل ط وا-رض ،وقال:كانإذاق ح بخن عبخد الخم ط ل ب لخعب اس قىاب تسخ اسخق نب ي نافاسخ ن ت وس ل إليخكب عم ق ي نا،وإ ان ق يإليخكب نب ي ناف تسخ تسخ ك ن انسخ قوخن.الل ه م إان 28ناف ي سخ
رواه الخب خار ي “Dari Sahabat Anasra., sesungguhnya Umar bin Khaṯṯâb ra. pada waktu
tidak ada hujan (musim kekeringan melanda), melaksanakan sholat Istisqâ’
(meminta hujan) dengan berwasilah kepada ‘Abâs bin Abdul Muthâlib, dan
berdo’a : ‘ya Allah, sesungguhnya kita dulu meminta hujan dengan wasilah
Nabi kita (Muhammad saw.) dan engkau berikan hujan kepada kami, dan
kita bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kita, maka turunkanlah
hujan, dan diturunkanlah hujan.’ HR. al-Bukhârî
اذاقحطوااستسقىابلعباسبنعبداملطلب،قحطوابضمالقافوكسركانش:قوله:احلاء،أي:أصاهبمالقحط.وقدتبنيالزبريبنبكاريفاألنسابصفةمادعابهالعباسيفهذهالواقعةوالوقتالذيوقعفيهذالك،فأخرجإبسنادلهانالعباسملااستسقيبه
بالءاالبدنبومليكشفاالبتوبة،وقدتوجهالقوميباليكملينزلهعمرقال:اللهمانملكاينمننبيك،وهذهأيدينااليكابلذنوبونواصينااليكابلتوبةفاسقيناالغيث.فأرختالسماءمثلاجلبالحيتأخصبتاألرضوعاشالناس،وخطبعمررضيهللاتعاىلعنه
عليهوسلميرىللعباسمايرىالولدللوالد،الناس،ويفخطبتهقال:انرسولهللاصلىهللافاقتدواأيهاالناسبرسولهللاصلىهللاعليهوسلمفيعمهالعباسواختدوهوسيلةايلهللا
29تعاىل.فمابرحواحىتسقاهمهللاتعاىل.
S: pada perkataan : (استسقىابلعباسبنعبداملطلب قحطوا lafadz quhiṯu ( كاناذا
dengan ḏammah qaf dan kasrah ha-nya bermakna mereka dilanda
kekeringan. Zubair bin Bakar menjelaskan dalam kitab al-Ansâb sifat doa
yang dikemukakan Abas bin Mutholib dalam kejadian dan kasus tersebut,
dituliskan dengan menyertakan sanad, bahwa ‘Abbaâs bin Muthâlib ketika
diminta Umar bin Khaṯṯâb untuk memintakan hujan, berdo’a : “ya Allah,
sesungguhnya tidaklah turun cobaan kecuali adanya dosa, dan tidak akan
hilang kecuali dengan taubat, umat ini bersamaku menghadap kepadamu,
dengan wasilah padaku atas kedudukanku bersama Nabi-Mu. Inilah tangan
28Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II,h. 12 29 Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II,h. 12
83
kami menengadah bersama dosa-dosa, meminta pertaubatan pada-Mu,
maka siramilah kami dengan hujan.”Ku lihat mendung langit seperti
gunung, sehingga membuahi bumi, dan manusia hidup (kembali). Dan
sahabat Umar bin Khaṯṯab ra. berkhutbah di depan para jama’ah, dalam
khutbahnya berkata: “sesungguhnya Rasulullah saw.melihat sahabat
‘Abbâs bin Abdul Muthâlib seperti pengelihatan anak kepada bapaknya,
maka ikutilah Rasulullah wahai manusia, dan jadikanlah dia sebagai wasilah
menuju kepada Allah swt. dan orang-orang tidak bergeser sehingga Allah
swt.memberikan mereka siraman air hujan.
فهذهالقصةومااشبههادليلعلىجوازالتوسلأبهلالريوالصالح،وفيهافضلالعباسومعرفتهحبقه.بنعبداملطلبوأهلبيتالنبوةوفضلعمرلتواضعه
ويفجوازالتوسلملخيالفاحدمنالعلماءاالاتباعالوهابية،فهميرونانالتوسلشرك،(وقضيةقصةعمردليلعلى18واستدلوابقولهتعاىل:فالتدعوامعهللاأحدا)اجلن:
جوازالتوسلبألحياءفقطالابألموات،وعمرتوسلابلعباس،ومليتوسلابلينصلىهللاكالتوسل وأموااتجائز واحلقالصريحانالتوسلأبهلالرياحياء وسلمبعدموته. عليهابألعمالالصاحلة.وقيل:الجيوزالتوسلابألمواتألنعمرمليتوسلابلينصلىهللاعليه
30وسلمبعدموته.Kisah ini merupakan dalil, diperbolehkanya bertawasul dengan orang baik
dan salih, dan didalamnya ada keutamaan sahabat ‘Abbâs bin Abdul
Muṯâlib, keluarga Nabi, dan keutamaan sahabat Umar bin Khaṯṯâb karena
ketawadhuan dan pengertianya terhadap haknya.
Dalam pendapat diperbolehkannya bertawasul, ulama tidak ada yang
kontradiktif kecuali golongan Wahabiyah. Mereka berpendapat bahwa
bertawasul itu syirik, dengan berlandaskan firman Allah: “janganlah kamu
menyembah seseorangpun bersama kamu menyembah kepada Allah.”
(QS.al-Jin : 18) dan kisah sahabat Umar merupakan dalil diperbolehkanya
tawasul kepada orang hidup, bukan orang yang sudah meninggal. Sahabat
Umar tawasul kepada sahabat ‘Abbâs, tidak bertawasul kepada Nabi saw.
setelah wafatnya beliau. Pendapat yang betul dan jelas ; ialah bertawasul
kepada orang salih, baik itu hidup atau mati; diperbolehkan, seperti tawasul
terhadap amal baik. Dan dikatakan, bahwa tidak boleh bertawasul dengan
orang mati, karna Umar bin Khaṯṯâb tidak bertawasul kepada Nabi
saw.setelah wafat beliau.
Dalam artikel lain dikatakan bahwa, perbedaan pendapat para ulama tampak
ketika membahas sesuatu yang dijadikan tawasul (al-mutawassal bih). Sebagian
30 Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II,h. 13
84
ulama membolehkan seseorang untuk bertawasul dengan orang-orang atau benda
tertentu. Sedangkan sekelompok ulama lainnya mengharamkannya.31 Tetapi
sebenarnya perbedaan pandangan keduanya bukan perbedaan prinsipil, tapi
perbedaan formalitas belaka sebagai penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi al-
Maliki berikut ini:
“Titik perbedaan pendapat ulama dalam masalah tawasul adalah tawasul
dengan bentuk lain selain amal yaitu tawasul dengan benda atau orang
tertentu. Saya akan menjelaskan bagaimana orang yang bertawasul dengan
selain amal itu hakikatnya adalah bertawasul dengan amalnya juga yang
dinisbahkan kepadanya di mana itu merupakan bagian dari upayanya. Saya
mengatakan begini, pahamilah bahwa seorang Muslim yang bertawasul
dengan orang tertentu itu karena Muslim tersebut mencintainya karena ia
dengan baik sangka meyakini kesalehan, kewalian, dan keutamaan orang
itu, atau karena ia meyakini bahwa orang tersebut mencintai Allah dan
berjuang di jalan-Nya, atau karena ia meyakini bahwa Allah mencintai
orang tersebut sebagai firman-Nya, ‘Allah mencintai mereka. Mereka pun
mencintai-Nya,’ atau karena meyakini semua varian itu hadir di dalam
orang yang dijadikan tawasul tersebut.32
Dari sini terang di mana titik kesepakatan dan perbedaan padangan ulama
terkait tawasul. Semua ulama sepakat bahwa tawasul dengan amal saleh boleh
menurut syariat. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal tawasul dengan benda
atau orang-orang tertentu yang dianggap saleh.
2) Hadis tentang menunaikan nazar
د الخمسخج لة يف أعختك فلي خ أنخ اه ل ي ة اجلخ نذرختيف ع مرقال:ق لخت:ايرس ولالل ،إين وعنخر ك ب نذخ .قال:أوخف رام ر واية:فاعخت«احلخ لة .م ت فقعليخه .وزادالخب خار ي يف 33كفلي خ
31 Alhafiz Kurniawan, Hukum Praktik Tawasul dalam Doa, Wirid, dan Zikir
http://www.nu.or.id/post/read/85124/hukum-praktik-tawasul-dalam-doa-wirid-dan-zikir diakses
pada tanggal 30 Juni 2019, pukul 22.45 ل كالتوسل بالذوات واألشخاص. وسأبين كيف أن 32 ومحل الخالف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوس
ل بعمله المنسوب إليه، والذي هو من كسبه. فأقول: اعلم أن من توسل بشخص ما فهو ألنه يحبه المتوسل بغيره هو في الحقيقة متوس
نا للظن به، أو ألنه يعتقد أن هذا الشخص محب هلل سبحانه وتعالى يجاهد في سبيل هللا، أو إذ يعتقد صالحه وواليته وفضله تحسي
بونه، أو العتقاد هذه األمور كلها في الشخص المتوسل به. وبه بهم ويح ذا ظهر أن ألنه يعتقد أن هللا تعالى يحبه كما قال تعالى يح
التفرق والعداء بالحكم بالكفر على المتوسلين وإخراجهم عن دائرة اإلسالم، سبحانك هذا الخالف في الحقيقة شكلي وال يقتضي هذا
يم Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an) بهتان عظ
Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, h. 124-125). 33Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid IV,h. 231
85
Dari Umar ra., berkata: saya berkata: “ya Rasulullah saw., sesungguhnya
aku pernah bernadzar pada masa Jahiliyah untuk beri’tikaf satu malam di
Masjid al-Haram”. Rasulullah saw. menjawab: “laksanakanlah nadzarmu.”
Hadis muttafaq alaih. Imam al-Bukhâri menambahkan dalam suatu riwayat:
“maka, beri’tikaflah satu malam”.
ش:هذااحلديثترجملهاالمامالبخاريابب:اذانذراوحلفاناليكلمانساانيف،وهواجلاهليةمثاسلم،أي:هلجيبعليهالوفاءبهاوال،املرادابجلاهليةاجلاهليةاملذكورة
حالهقبلاإلسالم،الناألصلاجلاهليةماقبلالبعثة،وترجمالطحاويهلذهاملسألة:مننذروهومشركمثاسلم،فأوضحاملراد،وذكرفيهحديثابنعمريفنذرعمريفاجلاهليةانهيعتكف،فقالالنيبصلىهللاعليهوسلم:اوفبنذرك.قالابنبطال:قاسالبخاري
نيابلنذر،وتركالكالمعلياإلعتكاف،فمننذراوحلفقبلانيسلمعليشيئاليمجيبالوفاءلوكانمسلما،فإنهاذااسلمجيبعليهالوفاءعليظهرقصةعمر،وبهقال
واملشهورعندالشافعية عنالشافعي، ابنحزم نقله وكذا ثور، لبعضهم،الشافعيوأبو وجه انهابهعليانهالجيببليستحب،وكذاقالاملالكيةواحلنفية،وعنوانالشافعيوجلأصح
34امحديفروايةعنهانهجيب،وبهجزمالطربي.Syarah: hadis ini dijelaskan oleh Imam al-Bukhâri dalam satu bab “ketika
bernadzar atau bersumpah tidak berbicara kepada satu orang-pun, di masa
jahiliyah dan sekarang sudah masuk Islam.” Maksudnya; apakah orang
tersebut diwajibkan untuk menepatinya, atau tidak? Yang dimaksud dengan
Jahiliyah dalam hadis tersebut adalah pada masa belum adanya Islam.
Karena asal-muasal jahiliyah, itu sebelum adanya utusan.
Dan Imam al-Ṯahawî membahas masalah ini (dengan judul): “barang siapa
yang bernadzar sedangkan dia musyrik, kemudian dia masuk Islam.” Dan
menyebutkan di dalamnya, hadis Ibnu Umar dalam menceritakan nadzarnya
Umar bin Khaṯâb untuk beri’tikaf, dan Nabi saw. bersabda : “bayarlah
nadzarmu”. Ibn Baṯal berkata: “Imam al-Bukhârî menganalogikan yamin
(sumpah) dengan nadzar, dan meninggalkan perdebatan terkait I’tikaf.
Barang siapa bernadzar atau bersumpah akan sesuatu sebelum masuk Islam,
dia wajib melaksanakanya walaupun dia seorang muslim. Maka dari itu,
orang yang masuk dalam agama Islam tadi, wajib melaksanakan janjinya
menurut kisah Umar. Imam Syafii, Abu Tsaur, begitu juga yang dinukil oleh
Ibn Hazm dari Imam al-Syâfi’î, dan menurut pendapat yang masyhur dalam
ruang lingkup Syafi’iyah itu merupakan bentuk dari prototipe lain. Imam
al-Syâfi’î menjelaskan pada sahabatnya bahwa itu bukan wajib, akan tetapi
disunahkan. Madzhab Maliki dan Hanafiyah, dan salah satu riwayat Imam
34Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid IV,h. 231
86
Ahmad: hal tersebut merupakan hal yang wajib, dan imam al-Ṯabarî setuju
dengan perintah ini.
كمااهنممطبون قلت:الظاهروجوبهبناءعليقاعدةانالكفارماطبونبفروعالشريعةأبصوهلا،خالفاللحنفيةالقائلنيأبنالكفارغريماطبنيبفروعالشريعةبلأبصوهلا،الن
35ع.تكليفالفروعقبلاألصلتكليفمبااليطاقوهوممنوSaya berkata: yang jelas adalah kewajiban menunaikanya, sesuai dengan
kaidah bahwa orang non-muslim itu terkhitabi (diberi tanggung jawab)
untuk melaksanakan hukum syariah yang partial, seperti dia terkhitabi
dengan ushul-nya. Berbeda dengan madzhab Hanafi, yang berkata bahwa
kaum non-muslim itu tidak terkhitabi oleh cabang-cabang hukum syariah,
akan tetapi hanya dengan ushul-nya. Karna memberikan kewajiban terkait
perkara cabang, sebelum ushul-nya, merupakan taklif yang tidak masuk
akal (tidak sesuai kemampuan), dan itu dilarang.
Selain menjelaskan pendapat ulama terkait hukum fikih dalam pensyarahan
hadis di atas, Kiyai Muhajirin juga membahas terkait usul fikihnya. Perdebatan
terkait orang kafir apakah terbebani kewajiban-kewajiban parsial seperti umat
Islam lainya. Imam al-Syâfi’î berpedoman, mereka terbebani kewajiban, sedangkan
Imam Hanafi tidak terbebani, karna mereka belum masuk Islam. Keduanya
memiliki dasar yang kuat dari dalil-dalil lain.
3) Hadis makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa
:وعنايبهريرةرضيهللاتعايلعنهقال:قالرسولهللاصليهللاعليهوسلم:20صمننسيوهوصائمفأكلاوشرب،فليتمصومه،فإمنااطعمههللاوسقاه.متفقعليه.
36وللحاكم:منافطريفرمضانانسيافالقضاءعليهوالكفارة.وهوصحيح
Dari Abu Hurairah, ra. Berkata: “Rasulullah saw. Bersabda: Barang siapa
yang makan dan minum ketika puasa dalam keadaan lupa, maka hendaknya
35Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid IV,h. 231 36Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II, h. 159
87
menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah sedang memberikan ia
makan dan minum.” (muttafaq alaih)
Menurut Imam Hakim: “ Barang siapa yang berbukan di siang hari bulan
Ramadhan dalam keadaan lupa, maka tidak diwajibkan atasnya mengganti
dan membayar kafarat.”
ش:قوله:مننسيوهوصائمفأكلاوشربفليتمصومه،فيهاناالكلوالشربوحنومهااحلديث،نسياانالشيئعليه،وبهقالالشا هبذا فعيوابوحنيفةومجاعةمناحلنابلة.استدلوا
وحبديث:"رفععناميتعذابالطاءوالنسيان"فلمارفعاحلرجعنالناستبنيانهالأبس 37ابألكلانسيا.
S : pada perkataan “barang siapa yang makan dan minum dalam keadaan
lupa padahal ia berpuasa, maka hendaknya ia menyempurnakanya” karna
makan dan minum atau sebagainya dalam keadaan lupa, tidak apa-apa.
Begitu juga pendapat Imam al-Syâfi’î, Abu Hanifah, dan sebagian golongan
dari madzhab Hanbali. Berdasar hadist diatas dan juga hadist : “Tidak
dikenakan sanksi terhadap umatku, ia yang salah dan lupa.” Ketika diangkat
kesusahan dari manusia, jelas bahwa makan dalam keadaan lupa pada bulan
puasa, tidak apa-apa.
وقالابندقيقالعيد:ذهبمالكايلاجيابالقضاءعليمناكلاوشربانسيا،وهوشربمتعمدا.فإنالصومقدفاتركنهوهواالمساكعناملفطراتالقياسعليمناكلاو
واالمساكمنابباملأمورات.والقاعدةانالنسياناليؤثريفتركاملأمورات.
قلت:فالظاهرانمالكااخذابلقياس.ولناانهالجيوزالقياساذاثبتالنص.وحديثايبشربانسيا،فوجباملصريايلالنص،مثهريرةنصصريحيفعدمبطالنالصومبألكلوال
علي فوجباإلعتماد والكثرة يفرقبنيالقلة ومل والشرب، اناحلديثدلعلياألكل 38عمومه.فتكاالستفصاليفوقائعاألحوالينزلمنزلةالعموم.
Ibnu Daqiq al-Id berkata: “Imam Malik berpendapat atas wajibnya
mengganti bagi seseorang yang makan atau minum pada saat berpuasa, itu
diqiyaskan dengan orang yang makan ataupun minum dengan disengaja.
Karna sudah gugur rukun-rukun puasanya, yaitu imsak (menahan) dari hal
yang membatalkan, dan imsak itu merupakan hal yang diperintahkan.
37Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II, h. 159 38Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid II, h. 160
88
Sesuai dengan kaidah: Lupa, itu tidak mempengaruhi seseorang dalam
meninggalkan apa yang diperintah.”
Aku berkata: “secara dzahir, Imam Malik berargumen dengan Qiyas. Dan
menurut kita, tidak boleh menggunakan qiyas ketika dengan adanya nash.
Hadis Abu Hurairah merupakan nash yang sharih (jelas) terkait tidak
batalnya puasa sebab makan dan minum karna lupa. Maka kita wajib
menggunakan nash. Kemudian, hadist yang menunjukan makan dan minum
diatas tidak membedakan terkait banyak dan sedikitnya, maka kita wajib
bergantung pada umumnya lafadz. Sesuai kaidah: “Meninggalkan
perincian, di dalam beberapa kejadian, menempati tempatnya umum.”
Makna lupa (al-nisyan) yang dimaksud dalam permasalahan ini adalah
melakukan suatu hal tanpa disertai pengetahuan yang ia miliki
كانيعلمه،بدوننظروتفكري،مععلمه النسيانهوعدماستحضاراإلنسانماكثرية أبمور
Lupa adalah absennya seseorang dari apa yang ia tahu, tanpa merenungkan
dan memikirkan (terlebih dahulu), padahal ia memiliki pengetahuan yang
luas.39
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak dikategorikan sebagai “lupa” bagi
orang yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Misalnya seperti orang yang
makan karena menyangka sudah maghrib berdasarkan informasi yang keliru, maka
puasanya dihukumi batal, sebab dalam hal ini ia tidak tepat jika dikatakan sebagai
“orang yang lupa” tapi lebih karena keteledorannya dalam menggali informasi
tentang waktu maghrib hingga memunculkan prasangka yang salah.
Namun, makan dan minum dalam keadaan lupa akan menyebabkan
batalnya puasa ketika makanan atau minuman yang dikonsumsi telah mencapai
jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan, makan dalam keadaan lupa dalam jumlah
banyak saat puasa adalah hal yang sangat jarang terjadi, bahkan bisa disebut hal
yang langka. Sebab pada umumnya, orang yang berpuasa ketika makan dalam
keadaan lupa, tidak berselang lama ingatannya bahwa “dia sedang puasa” akan
muncul.40
39 Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan (Kuwait: Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah), juz 14, h. 229. 40 Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, h. 348.
89
Dalam referensi lain dijelaskan bahwa alasan batalnya puasa bagi orang
yang makan dalam keadaan lupa adalah karena hal demikian mudah untuk dijaga
agar tidak terjadi. Sedangkan makanan yang dianggap hitungan “banyak” menurut
sebagian ulama dibatasi dengan mengonsumsi makanan sebanyak tiga suapan atau
lebih. Hal ini seperti penjelasan Syekh Zakariya al-Ansâri:
كبطالن )و(بطلابألكل)كثريا(ثالثلقمفأكثر)انسيا(لسهولةالتحرزعنهغالبا
الصالةابلكالمالكثريانسياوهذاماصححهالرافعيوصححالنوويمقابلهلعمومخرب
مننسيالسابق
Puasa menjadi batal sebab makan dengan jumlah yang banyak dalam
keadaan lupa, misalnya tiga kali suapan atau lebih. Batalnya puasa ini
dikarenakan mudahnya menjaga atas kejadian demikian secara umum, sama
seperti batalnya shalat sebab berbicara dengan perkataan yang banyak.
Pendapat ini merupakan pendapat yang dishahihkan oleh Imam ar-Rafi’i,
sedangkan Imam a-An-Nawawi berpandangan sebaliknya (tidak batal),
berdasarkan keumuman hadits yang menjelaskan orang yang lupa (puasa)
yang telah dijelaskan terdahulu.41
Namun batasan tersebut sempat disangsikan oleh sebagian ulama, karena
tiga suapan menurut mereka masih dalam jumlah yang sedikit. Meski akhirnya
terjawab kembali bahwa alasan membatasi dengan tiga suapan karena mengunyah
tiga suapan membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga sangat memungkinkan
orang untuk mengingat bahwa dirinya sedang berpuasa.
“Dalam kitab al-Anwar ulama membatasi ‘jumlah banyak’ dengan tiga kali
suapan. Namun hal demikian perlu ditinjau ulang, sebab para ulama
membatasi ‘sedikit’ dalam pembahasan berbicara ketika shalat dengan tiga
sampai empat kalimat. Namun bisa juga dibedakan (antara permasalahan
makan karena lupa saat puasa dan berbicara ketika shalat) bahwa tiga
suapan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengunyahnya”42
Ketika permasalahan ini kita tarik dalam membatasi “minuman yang
banyak” maka dapat di-ilhaq-kan (disamakan) sekiranya minuman yang diminum
41 Syekh Zakariya al-Anshari, Syarh al-Bahjah al-Wardiyah, juz 7, h. 58. 42 Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, h. 348
90
dalam keadaan lupa telah terlewat waktu yang cukup lama, seperti waktu yang
dibutuhkan dalam mengunyah tiga suap makanan.
Meski para ulama menghukumi batal bagi orang yang lupa makan dalam
jumlah banyak, tapi tetap tidak bisa dipungkiri bahwa dalam permasalahan ini
terdapat ulama yang berpandangan bahwa makan dalam jumlah banyak dalam
keadaan lupa tidak sampai membatalkan puasa, dengan berpijak pada makna umum
dari nash hadits. Pendapat ini misalnya seperti yang dikemukakan oleh Imam an-
Nawawi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa
tidak sampai membatalkan puasa, ketika makanan dan minuman yang dikonsumsi
hanya sedikit. Sedangkan ketika jumlah makanan dan minuman yang telah
dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, seperti tiga suapan misalnya, maka dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagian berpandangan tetap sahnya puasa,
sedangkan ulama lain menghukumi batal puasanya. Dua pendapat ini sama-sama
bisa kita amalkan selaku penganut mazhab Syafi’i.
Maka sebaiknya bagi orang yang menjalankan puasa agar menata niat dalam
menjalankan ibadah puasa dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Jika ia
tidak sengaja melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan dan
minum misalnya, maka ketika telah ingat kembali, agar secepatnya beristighfar dan
membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman yang terselip dalam mulut, agar
tidak ada bagian dari makanan dan minuman yang tertelan, hingga dapat
membatalkan puasanya.
b. Corak Linguistik
Corak bahasa yang dimaksud disini merupakan corak yang cenderung
mengandalkan bahasa dalam memahami hadis nabi saw. Jadi lebih condong banyak
pembahasan atau penjelasan hadis yang menggunakan model ilmu kebahasaan
yang didalam hal ini objek kajianya adalah hadis, maka kajiannya adalah berdasar
pada kaidah-kaidah bahasa arab.
91
Dalam pemahaman hadis melalui bahasa tertuju pada beberapa objek,
diantaranya: pertama, dengan penelitian bahasa pengkaji dapat mengetahui dan
memahami makna dari lafadz-lafadz hadis yang gharib. Kedua, memahami dan
mengetahui makna tujuan hadis nabi Muhammad saw. Ketiga, mengkonfirmasi
pengertian kata-kata hadis. Hal ini karena pengertian kata-kata yang disebut dalam
hadis dapat berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi.43
Karakteristik dari corak bahasa (linguistic) pada pensyarahan hadis dalam
kitab Misbâh al-Ẕalam Syarẖ Bulûgh al-Marâm meliputi penjelasan bunyi, dan
penjelasan arti lafadz. Untuk lebih jelasnya mengenai karekteristik tersebut akan
diuraikan berikut ini:
1) Menambal barang dengan perak
مالكرضيهللاعنهانقدحالنيبصلىهللاعليهوسلمانكسر،فاختدمكان:وعنانسبن8ص44الشعبسلسلةمنفضة.اخرجهالبخاري.
ش:الشعب:الشقوالصدع،واصلالسلسلةايصالالشيئابلشيئ،وهيمصنوعةمنالفضة.كان تصغريةللزينةاووهبذااحلديثاخذمجهورالشافعيةيفجوازضبةاالانءاملكسورابلفضةاذا
45كبريةللحاجة.Dari Anas bin Malik ra. “bahwa gelas Nabi saw. pecah, kemudian ia
menempelkan pada tempat yang retak tersebut sambungan dari perak.” (HR.
Al-Bukhâri)
S: Sya’b bermakna retak atau pecah, dan asal silsilah bermakna
menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan dia terbuat dari perak.
Dengan hadis ini, mayoritas ulama madzhab Syafi’i memperbolehkan
penyepuhan wadah yang pecah dengan perak, tambalan kecil untuk
penghias atauapun tambalan besar karna adanya kebutuhan.
Di dalam syarah hadis ini, Kyai Muhajirin sebelum jauh menjelaskan
pemahaman hadis, terlebih dahulu memaknai kata-kata yang berarti gharib dan
43 Alfatih Suryadilaga, h.132 44Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 44 45Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
I, h. 45
92
multi tafsir dalam hadis tersebut. Sya’b bisa bermakna banyak, disitu penulis
mengartikan dengan kata syaq yang bermakna ‘pecah’. Begitu juga dengan arti
silsilah, kemudian baru menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam hadis
tersebut.
2) Larangan wanita haid untuk masuk ke tempat shalat
ضيفالعيدين،عطيةرضيهللاعنهاقالت:امرانانخنرجالعواتق،واحلي:وعنام5ص46يشهدنالريودعوةاملسلمني،ويعتزلاحليضاملصلىمتفقعليه
Dari sahabat Ummu Aṯiyah ra. Berkata : “kami diperintahkan mengajak
keluar anak-anak perempuan, perempuan-perempuan yang sedang haid
pada saat dua hari raya itu untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum
Muslimin, tetapi perempuan-perempuan haid itu terpisah dari tempat
shalat” (Muttafaqun Alaih)
ش:قوله:)امران(،ابلبناءاجملهول،واصلالكالمامراننبيناوحذفالفاعلللعلمبه.
والعواتقمجععاتقو اواستحققوله:)انخنرجالعواتق( هيمنبلغتاحللماوقاربتهالتويح،اوهيالكرميةعلياهلها،اوهياليتعتقتعناالمتهانيفالروجللخدمة،مينعونالعواتقمنالروجملاحدثبعدالعصراالولمنالفساد،وملتالحظالصحابة كانوا
كانيفعهدرسولهللاصلى 47هللاعليهوسلم.ذلكبلرأتاستمراراحلكمعليما
قوله:)ويعتزلاحليضاملصلى(فاحليضبضماحلاءمجعحائض،ومحلهاجلمهورعلياناعتزالاحليضعناملصلىللنذب،النهليسمبسجدومصلىالعيديفالصحراء.
S : pada perkataan “Umirna” (kita diperintah) dengan bentuk majhul dari
asal kata amarana nabiyuna (Nabi kita memberikan perintah), Fa’il
(subyek) dibuang karna sudah maklum atau diketahui.
Pada perkataan: “al-nuhrija al-awatiqa”(mengajak keluar anak-anak
peremuan), kata “al-awatiq” bentuk plural dari kata “atiq” yaitu orang
yang sudah dewasa atau mendekatinya. Dia mulia disanding keluarga, atau
dia yang dilarang untuk keluar berhidmah, karena dulu orang melarang
anak-anak dewasa keluar disebabkan kemudharatan, dan sahabat tidak
memberikan catatan terhadap hal tersebut, hingga melihat kontinyunitas
hukum pada masa Rasulullah saw.
46Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I, h. 380 47Muhajirin Amsar al-Dari, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid I, h. 380
93
Pada perkataan: “wa ya’tazilu al-huyyaḏ al-mushalla” kata “huyyaḏ”
dengan harakat dhammah pada kha’-nya, merupakan bentuk plural dari kata
haid. Mayoritas ulama berpendapat bahwa memisahkan perempuan-
perempuan haid dari tempat shalat itu merupakan kesunahan, karna itu
bukan masjid, dan mushalla idul fitri ataupun adha, itu di padang pasir.
Dalam hadis yang kedua ini, kyai Muhajirin lebih detail membahas tekait
kebahasaan. Terlihat ketika membahas satu kata “umirna” dikaji dalam tasrif atau
bentuk katanya, juga terkait gramatika bahasa Arabnya. Bahkan, bentuk asal kata
juga dibahas didalamnya, seperti “awatiq” bentuk plural, berasal dari kata “atiq”.
Kemudian, baru dijelaskan makna kata tesebut, merujuk pada situasi dan kondisi
pada zaman terdahulu (kontek historis), untuk menemukan makna terdekat.
Dua hadis di atas merupakan representatif dari beberapa hadis lainnya
terkait corak syarah dengan pendekatan bahasa. Kyai Muhajirin tidak banyak
menggunakan pendekatan ini, hanya dalam beberapa hadis saja, dan tidak
berpengaruh terhadap isi hadis tersebut. Mayoritas, corak bahasa ini hanya terkait
penjelasan bahasa saja, tidak menyangkut dengan isi atau materi hadisnya. Bisa
dilihat dari contoh diatas, hanya menjelaskan beberapa makna yang mungkin
disangka orang sebagai makna yang gharib atau jarang ditemui.
4. Pensyarahan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis dimaksudkan agar orang yang akan memaknai dan
memahami hadis itu memperhatikan keadaan masyarakat setempat secara umum.
Kondisi masyarakat pada saat munculnya hadis boleh jadi sangat mempengaruhi
munculnya hadis. Jadi, keterkaitan antara hadis dengan situasi dan kondisi
masyarakat pada saat itu tidak dapat dipisahkan. Karena itu dalam memahami hadis
kondisi masyarakat harus dipertimbangkan agar pemakanaan tersebut tidak salah.48
Pendekatan sosiologis terhadap suatu hadis merupakan usaha untuk
memahami hadis dari aspek tingkah laku sosial masyarakat pada saat itu.49 Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologis terhadap hadis adalah
48Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas
Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),
h.24-25. 49 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadist (Paradigma Interkoneksi), (Yogyakarta : Idea
Press,2009) h.62
94
mencari uraian dan alasan tentang posisi masyarakat social yang berhubungan
dengan ketentuan-ketentuan dalam hadis. Penguasaan konsep-konsep sosiologis
dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas
hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai
keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.50
Adapun contoh hadis yang disyarah dengan pendekatan sosiologis adalah
hadis terkait zakat fitrah berikut ini:
كنانعطيهايفزمنالنيبصليهللا3ص :وعنايبسعيدالدريرضيهللاتعايلعنهقال:م صاعا او منمتر، اوصاعا منطعام، صاعا وسلم منزبيب.عليه صاعا او متفق51نشعري،
كنت كما عليه،ويفرواية:اوصاعامناقط.قالابوسعيد:امااانفالازالاخرجه52اخرجهيفزمنالنيبصليهللاعليهوسلم.واليبداود:الاخرجهابدااالصاعا.
Dari Abi Said al-Hudri ra. Berkata: “Kita memberikan zakat pada masa
Rasululllah SAW dengan satu sha’ dari makanan, kurma, gandum atau
zabib.” (muttafaq alaih) dan dalam suatu riwayat lain: “satu sha’ dari
yogurt.” Abu Said berkata: “sedangkan aku, tidak akan mengeluarkan
kecuali seperti yang dizakati pada masa Rasulullah saw.” Dan dari Abu
Daud: “tidak akan mengeluarkan selamanya, kecuali satu sha’.”
ش:...
اختلفالعلماءيفاخراجقيمةزكاةالفطرة:
فعندالشافعيومالكوامحدواجلماهريمنالعلماءانهالجيوزاخراجقيمةالفطرة،قالالرقيجتزئه.قالالنووييفشرحمسلم:وملجيزعامةالفقهاءمناحلنابلة:مناعطيالقيمةمل
53اخراجالقيمة.Ulama berbeda pendapat terkait masalah membayar zakat fitrah dengan
uang: menurut Imam al-Syâfi’î, Maliki, dan Ahmad juga mayoritas dari
ulama tidak memperbolehkan hal tersebut. Imam al-Khirqi dari Hanabilah
berkata: “barang siapa yang membayar zakat dengan uang, maka tidak sah.”
50 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadist (Paradigma Interkoneksi), (Yogyakarta : Idea
Press,2009) h.63 51Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II, h. 108 52Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II, h. 109 53Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II, h. 109
95
Begitu juga Imam Nawawi dalam Syarh Muslim: “Mayoritas ulama tidak
memperbolehkan zakat dengan uang.”
عليذلكمارويعنواجازهابوحنيفة،وقدرويذلكمنعمربنعبدالعزيز.والدليلطاوسقال:ملاقدممعادبناليمنقال:ائتوينبعرضثيابكماخذهمنكممكانالذرةكانعمرابنالطاب والشعري،فانهاهونعليكموخريللمهاجرينيفاملدينة.وقالعطاء:
بعدأيخدالعروضيفالصدقةمنالدراهم.والناملقصوددفعاحلاجة،والخيتلفيفذلك 54احتادقدراملاليةابختالفصوراالقوال.
Imam Abu Hanifah memperbolehkan zakat fitrah dengan uang.
Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, berdasar dari riwayat Imam
Thawus, berkata: “ketika sahabat Mu’adz bin al-Yaman datang ke Madinah,
ia berkata: “Berikanlah aku seharga pakaianmu, aku ambil dari kalian
semua sebagai pengganti dari gandum dan jewawut, sesungguhnya itu lebih
mudah bagi kalian dan lebih baik untuk kaum Muhajirin di Madinah.” Imam
Atha’ berkata: “Dulu pada masa Umar bin Khatab mengambil zakat barang
dagangan dengan Dirham. Karna yang dimaksud zakat itu memenuhi hajat
masyarakat. Dan tidak ada perbedaan terkait hal tersebut setelah sepakat
kadar uangnya dengan beberapa model perbedaan pendapat.”
معناهاناايمنااالنبعدالتحقيقوامعانالنظرقلت:تلقيتمنبعضاملشايخيفمكةمايفقضيةزكاةالفطراندفعالقيمةايلالفقراءواملساكنيافضلبناءعلياهنماذامادفعاليهممننصيبهمابعذلكملأبرخصاألسعار،وقدشاهدتيفاحلجازانقيمةصاع
اليهم،فباعتلكاحلنط ةبرايلنيونصف،فكأهنميعتمدوناحلنطةثالثةرايالت،مثدفعنا55عليانالنقودخريمناحلنطة.
Aku berkata : aku bertemu dengan sebagain syekh di Makkah dan
sekitarnya, pada masa ini, setelah meneliti dan menimbang-nimbang dalam
permasalahan zakat fitrah, sesungguhnya membayar zakat fitrah kepada
fakir-miskin dengan uang itu lebih baik, karna jika dibayarkan dengan
bagianya (gandung dll) ia akan menjualnya dengan harga murah. Aku sudah
melihat kejadian tersebut di Hijaz, harga satu sha’ gandum 3 riyal,
kemudian kita bayarkan gandum kepada mereka, dan mereka jual gandum
tersebut dengan 2,5 riyal, sepertinya mereka bersandar bahwa uang lebih
baik daripada gandum.
54Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II, h. 109 55Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II, h. 110
96
Pada hadis diatas, mayoritas ulama tidak membolehkan dan mewajibkan
zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah
pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. 56 Walaupun dalam
madzhab Hanafi diperbolehkan dengan beberapa dalil yang tertera.
Pada penjelasan hadis diatas, Kiyai Muhajirin lebih condong pada pendapat
Imam Hanafi untuk memperbolehkan zakat fitrah dengan uang. Padahal, madzhab
yang dianut oleh pensyarah adalah madzhab Syafi’i yang notabenya tidak
memperbolehkan. Kontradiksi ini tentunya tidak beralasan, karena pensyarah lebih
condong kepada faktor sosial-masyarakat yang berkembang, ketika melihat realita
di Hijaz pada waktu itu, harga gandum dari hasil zakat, dihargai lebih murah
daripada harga biasanya di pasaran. Tentunya, itu merugikan bagi mustahiq zakat
(penerima zakat) dan menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum
Islam.
Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa
kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat. Bagi muzakki,
mengeluarkan zakat dalam bentuk uang sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan
bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak
pada saat itu.57
5. Nuansa Ke-Indonesia-an dalam Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
a. Tradisi “Ngaji Kubur”di Jakarta
وعنمعقلبنيساررضيهللاتعاىلعنهانالنيبصلىهللاعليهوسلمقال:اقرؤواعليداودوالنسائيوصححهابنحبان.موتكميس.رواهأبو
للوجوباولالستحباب،والظاهرانه اما عليموتكم...اخل،االمرهنا ش:قولهاقرؤواكمايفحديث:لقنواموتكم. الثاينلعدمالدواعياىلاألول.وموتكمأي:حمتضركم
56Lihat : Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295. 57Abdullah Al-Ghafili, Hukmu Ikhraji al-Qimah fi Zakat al-Fithr, h. 2-5
97
اسهللروجالروح.اواناملراداب ملويتبعدخروجروحهواحلكمةيفاالمربقراءةيسالنهباوقبلدفنه،فيكوناألمربقراءةيسعنداملوتقبلدفنهوقبلغسله.
Dari Ma’qil bin Yasar ra. Sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Bacalah
pada jenazah kalian semua surat Yasin.” HR. Abu Daud, Nasa’I, dan
disahihkan oleh Ibnu Habban. Pada perkataan “iqrou ala mautakum…”
perintah disini bisa untuk kewajiban ataupun kesunahan. Makna yang dzahir
adalah untuk kesunahan, karna tidak ada tanda yang menunjukan pada
makna awal (wajib). Dan pada kata “mautakum” bermakna yang yang
masih belum dikubur, seperti sudah dijelaskan pada hadis “laqqinu
mautakum”
Hikmah adanya perintah untuk membaca Yasin adalah untuk
mempermudah keluarnya ruh. Yang dimaksud “mauta” adalah setelah
keluarnya ruh dan sebelum jasad tersebut dikuburkan. Maka dari itu,
perintah untuk membaca Yasin ini ditunjukan kepada mayat yang belum
dikubur dan setelah dimandikan.
وامابعدالدفنفاليعربابملويتبلابلقرب.فاالحتجاجبسنيةالقراءةعندالقربهبذااحلديثاليصحوالينتهضدلياللسنيةالقراءةعندالقرب.فاحلديثخاصابملويت،أياحملتضراو
امليتفبلالغسلوالدفن.
افعية.وقدرويعنامحدانهقالابنقدامة:والأبسابلقراءةعندالقرب،واليهذهبالشقال:اذادخلتماملقابراقرؤواايةالكرسي،وثالثمرارقلهوهللااحد،اللهمانفضلهالهلاملقابر.ورويعنامحدانهقال:القراءةعنداملقابربدعة.وقيل:انامحدهنيضريرا
انيقرأعنداملقابر،وقالله:انالقراءةعندالقرببدعة.
Adapun setelah pemakaman, maka tidak disebut atau diistilahkan dengan
kata “mauta” tapi “qubr”. Maka berargument terkait sunahnya membaca
al-Qur’an disamping kuburan dengan hadis ini tidak sah, dan tidak
ditemukan dalil kesunahan membaca al-Qur’an disamping kuburan. Hadis
tersebut khusus bagi “mauta” yaitu mayit yang belum dikubur dan sudah
dimandikan.
Ibnu Qudamah berkata: diperbolehkan membaca Alquran disamping
kuburan, begitu juga pendapat madzhab al-Syafii. Diriwayatkan dari Imam
Ahmad, ia berkata: “jika kalian masuk di perkuburan, bacalah ayat kursi dan
3 kali surat al-Ikhlas, semoga Allah memberikan keutamaannya pada ahli
kubur. Diriwayatkan juga Imam Ahmad, ia berkata: membaca al-Qur’an
disamping kuburan merupakan bid’ah. Dan dikatakan: Imam Ahmad
melarang kemudharatan membaca Alquran disamping kuburan.
98
وامامااعتاداهاهلجاكراتوماحواليهامناهنمجيتمعونقريبالقربفيقرؤونابلنوبةمناولالتمةايلاخرهامراراعديدةمابنيثالثةأايمولياليها،وسبعةأايماوأربعنييوما،مثالفلم
يفذالك.وامناوردانمنزارقربوالديه،فقرأعندهيساوعندمهااجددليالعليورودهكثري.واماماذكرمنثالثةأايموحنوهافال يس،غفرله.فاحلديثالوارديفالزايرةوالقراءةيقاسابلزايرة،النالقارئمقيمعندالقربأيخداألجرةمنويلامليت.وامااستئجارقراءة
.58لسيدعلويمالكييفكتابهفيضالبريجوازهعنداالئمةاألربعةالقران،فقدحققا
Adapun kebiasaan penduduk Jakarta dan sekitarnya, setelah ada orang
meninggal mereka berkumpul di dekat kuburanya, kemudian membaca al-
Qur’an dengan bergantian dari awal sampai akhir berkali-kali selama 3 hari
dan malam, ada yang 7 hari dan 40 hari secara berturut-turut. Saya tidak
temukan dalil terkait hal tesebut. Akan tetapi terdapat dalil bahwa barang
siapa yang menziarahi kuburan orang tuanya, membacakan yasin disamping
kuburannya, maka diampuni dosa-dosanya. Banyak sekali hadis yang turun
sebagai legasi ziarah dan membaca al-Qur’an disamping kuburan. Adapun
terkait waktu 3 hari dan sebagainya, tidak bisa dianalogikan dengan ziarah,
karna pembaca tersebut bermukim disamping kubur dan mengambil upah
dari wali mayit. Adapun mengambil upah dari membaca al-Qur’an, sudah
pernah diteliti oleh Sayid Alwi di dalam kitabnya Faidlul Khabir terkait
kebolehanya menurut 4 madzhab.
Pada syarah hadis diatas, Kyai Muhajirin membahas terkait tradisi yang
berjalan di Jakarta dan sekitarnya. Tradisi suku Betawi agak sedikit berbeda dengan
suku Jawa terkait aktifitas yang dikerjakan setelah bagian dari keluarganya
meninggal. Kalau ritual 3 (nelung ndino), 7 (mitung ndino), 40 (matang puluhan),
100 (nyatus) sampai dengan 1000 (nyewu) hari itu lazim di dilakukan suku Jawa
dan Betawi. Tapi, kalau di Batawi ada tradisi ‘ngaji kubur’ yaitu khatam Alquran
beberapa kali dengan dilakukan di samping kuburan mayit, baik oleh ahli waris
ataupun ‘nyewa’.
Pendapat pensyarah, hal tersebut bukan termasuk ziarah dan bukan
merupakan dalilnya. Jika disebut ziarah, yang harusnya dilakukan sebentar, akan
tetapi itu dilakukan tanpa henti secara bergantian oleh beberapa orang dalam 3 hari
berturut-turut, bahkan lebih. Maka dari itu, tradisi tersebut tidak dapat dianalogikan
atau diqiyaskan dengan ziarah. Selanjutnya, Kyai Muhajirin tidak merinci secara
jelas, akan tetapi pada alinea setelahnya membahas terkait hukum menerima upah
untuk membacakan al-Qur’an kepada si mayit, dan diperbolehkan berdasar
58 MuhammadMuhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II,h. 26-27
99
penelitian dari Sayid Alwi al-Maliki dalam kitabnya ‘Faidlul Khabir’. Hal itu
merupakan indikasi, bahwa pensyarah mencoba untuk mencari dalil yang sesuai
untuk tradisi tersebut, dalam bahasa ushul fikih disebut proses tanqih al-manath
(verifikasi dalil yang sesuai).
Bagi penulis, ada dua hal penting dalam pensyarahan hadis ini : pertama,
mengangkat budaya atau tradisi Betawi ‘khataman’ pasca terjadinya musibah
kematian. Kedua, mencari jalan keluar alternative legalitas hukum agar budaya
tersebut tetap bisa dilestarikan, karna tradisi yang baik merupakan ciri khas penting
dalam penyebaran dakwah Islam di Nusantara.
b. Khazanah Falak di Nusantara
مهمة
مماحققتبعضعلمائنايفجاكراتاناهلاللاليرياالبعدمضيسبعدرجات،وانمنادعيرأيتهكثرية،فالشهودال كذاابحمضاولوبشهود كاناهلاللسبعاقلمنهاعدذالكالرائي تعترباالاذا
59درجاتفمافوقها.Hal Penting
Dari apa yang terlah ditetapkan sebagian ulama di Jakarta, sesungguhnya
hilal tidak terlihat kecuali setelah melewati 7 derajat. Dan barang siapa yang
mengaku melihatnya, dibawah ukuran tadi, maka orang tersebut dianggap
pembohong belaka, walaupun dengan saksi yang banyak. Dan saksi tidak
diterima, kecuali hilal mencapai 7 derajat ataupun lebih.
قلت:هذهالطةرسختيفعقليمنذعهدالقدمي،ايلمنهللاتعاىلعليابلسفرايلبلدفة،فلمااقمتهناكاجتمعتجبملةمنالطلبةمابنيمالايوسيامهللااألمنيمكةاملشر
واحلجازفتحدثتمعهمعنرسوخخطيتيفمسألةاهلاللفكلهميضحكونعليتلكالطةايلأنسألتبعضمشائخييفمكةاملشرفة،فأجاباناحلكمعندهالتعتربالدرجة
كانمدارهمعليال رؤيةفعال.فاذارفعشاهدانايلاحملكمةاليتحققهاعلماءالرايجبلالشرعيةالكربىأبهنمارأاياهلالل،ومعهماتزكيةالشهودقبلاحلكموأثبتالرؤية.واذاثبت
59Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II,h. 141
100
الرؤيةعنداحلاكمامرتاحلكومةالرعيةبصيامرمضانمبوجباثباتاحلاكمالرؤيةفعالومل 60يتعرضعليهالشخص.
Saya katakan: konsep tersebut sudah gamblang (jelas) dalam pemikiran
saya sejak lama, sampai Allah berikan saya kesempatan untuk belajar di
Makkah Mukarramah, ketika saya bermukim disana, saya berkumpul
dengan sejumlah santri dari Malasyia, Siyam (Phatani), dan Hijaz. Saya
bicarakan terkait apa yang sudah terkonsep dalam pikiran saya soal hilal,
dan mereka semua menertawakan konsep yang saya ketahui tersebut,
sehingga saya tanyakan pada sebagain guru saya di Makkah. Jawabanya:
sesungguhnya, hukum terhadap hilal tersebut bukan berdasar derajat yang
telah ditetapkan oleh ahli derajat tersebut, akan tetapi areanya tergantung
pengelihatan secara langsung. Ketika 2 saksi sudah melaporkan ke
Mahkamah Syar’iyah Kubra (semacam Mahkamah Agung), sesungguhnya
mereka berdua melihat hilal, dan bersamanya adanya rekomendasi
kesaksian sebelum persidangan dan ditetapkan adanya pengelihatan. Dan
jika ditetapkan ru’yah (pengelihatan) oleh hakim, maka pemerintah
memerintahkan kepada rakyatnya untuk berpuasa Ramadhan dengan alasan
kewajiban terhadap penetapan hakim terhadap pengelihatan secara
langsung, dan tidak ada yang mempermasalahkan.
اضياحملكمةومنمجلةماسألتهمناملشائخشيخناحممدايسنيالفلكي،فقال:الكلعندانحتتقالشرعيةالكربى.
قلت:والذيعولتعليهأانبعدمناظرةحقيقةاناملداريفصيامرمضانوفطرشوالمنوطابلرأية،ولوكانارتفاعاهلاللاقلمندرجتنيبقليل.فاملدارعليالرؤيةبعداالجتماع
وجدتاناهلالليريقبلا كنتيفاحلرمنيالشرفني، فأثبتغرياينعندما الجتماع،القاضيتلكالرؤيةمبوجبالشهودفصامالناسوملاراختالفابنياألئمةمابنيفلكيكانارتفاعهاقل وحمدثوفقيهوصويف.عندمانزلتموطينجاكراتوجدتاناهلاللاذااالابهللالعليالعظيم،فعسي منسبعدرجفهوحملالالفواملشاجرةوالحوالوالقوة
61ئكانيكونوامناملنصفنييتبعوناألدلةحيثماوجدواومليتعصبواايلتلكالعصية.أول
60Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II,h. 142 61Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, jilid
II,h. 142
101
Dari sejumlah ulama yang saya tanyai adalah Syekh Muhammad Yasin al-Falaky,
dia berkata: semua disini (di Makkah) dibawah keputusan Qadhi Mahkamah
Syar’iyah Kubra.
Saya katakan: yang saya andalkan setelah perdebatan fakta, sesungguhnya orbit
untuk menentukan puasa Ramadhan dan berbukaan di bulan syawal itu sesuai
dengan ru’yah (melihat langsung). Walaupun ketinggian hilal lebih sedikit dari 2
derajat. Terkait rukyat harus setelah ijtima’ (konjungsi), saya ketika masih di
Makkah, menemukan hilal yang terlihat sebelum adanya konjungsi, dan Qadhi
menetapkan ru’yat tersebut dengan adanya saksi, dan mewajibkan orang-orang
berpuasa, dan saya tak melihat adanya perbedaan pendapat antara ahli falak, ahli
hadis, ahli fikih dan ahli tasawuf. Ketika saya kembali ke negara saya, daerah
Jakarta, saya temukan pendapat, jika hilal ketinggianya masih dibawah 7 derajat,
itu merupakan hal yang masih debatable dan huru-hara, tiada daya dan kekuatan
kecuali milik Allah yang Maha Luhur dan Agung. Semoga mereka itu menjadi
orang yang adil mengikuti dalil-dalil yang sekiranya ditemukan, dan tidak fanatik.
Menurut penulis, Kyai Muhajirin membawa konsep penetapan hilal dalam
hitungan 2 derajat dari keputusan Kementrian Agama ke masyarakat Internasional,
walaupun tidak diterima bahkan ditertawakan oleh teman-temanya. Padahal kriteria
2 derajat itu merupakan khazanah Indonesia, setelah mencapai kesepakatan mencari
jalan tengah sebagai pengikat antara hisab dan rukyat. Tentunya keputusan tersebut
melalui proses yang panjang dan melelahkan perdebatan antara para ahli falak dari
dua ormas besar di Indonesia.
Sampai sekarang, belum ada kesepakatan kriteria yang digunakan dalam
penentuan awal Ramadhan, karena sifat visibilitas hilal cukup rumit dan ditemukan
ketidak pastian (uncertainty zone)62. Kriteria depag RI berdasarkan tinggi hilal
terendah yang dilaporkan bisa dirukyat, yaitu minimal 2 derajat63. Menurut
Purwanto (1993) kriteria ini berdasarkan kriteria tinggi hilal 2 derajat menurut hisab
dan digabungkan dengan hasil pengamatan rukyat. Secara ilmiah prinsip
penggabungan antara hisab dan rukyat memang baik karna kedua saling
mendukung, tetapi kriteria ditetapkan sebesar 2 derajat tersebut sulit diterima
62 M. Ilyas, 1997, Astronomi of Islamic Calender, Kuala Lumpur: AS Nooredeen. h.124
dan 129 63 Abu Muthi’ah, 1992, Ibrah Idhul Fitri Mengenal Cara Penetuan Awal Bulan, al-
Muslimun no. 268, hal 86.
102
masyarakat64. Bahkan satu konfrensi Islam di Istambul adalah resolusi tentang
kriteria visibilitas hilal, dan menghasilakan keputusan bahwa tinggi hilal minimal
5 derajat dengan jarak busur bulan dan matahari minimum. Dan dari variasi
perbedaan tersebut, merupakan rahmat bagi umat.
B. Kontribusi dan Prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis
1. Proses Penyebaran dan Kontribusi Kiyai Muhadjirin dalam
Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia
a. Proses penyebaran kitab Misbâh al-Ẕalâm
Kitab Misbâh al-Ẕalâm pada mulanya masih berupa tulisan tangan dan
berjumlah 8 jilid. Kemudian pada tahun 1985 atas perintah dan arahan Kiyai
Muhajirin, Kiyai Mahfuz Asirun65mengetik ulang naskah tersebut. Kiyai Mahfuz
sempat menolak bahkan merekomendasikan penulisan kitab ini kepada abdul mujib
salah satu kaligrafer, penulis kaligrafi masjid Darul Muhsinin Bekasi. Per juz
dibayar Rp.1500, ada sekitar 600 halaman per juz. Total ada 4 jilid masing masing
600 an halaman, namun Abdul Mujib menolak.Setelah tawaran ditolak, akhirnya
Kiyai Mahfuz mengetik sendiri naskah tersebut dengan dibantu oleh Kiyai
Syarifudin Basmol dan H. Muhamad Zein.Naskahini juga sudah digandakan
kepada KH. Maulana Kamal Yusuf dan KH. Abdul Hamid kampung baru -.
Pada akhir penulisannya Kiyai Mahfuz sempat didera keraguan apakah
sudah benar tulisannya, akan tetapi kiayi Muhajirin memberi penguatan terhadap
muridnya itu. Akhirnya setelah yakin, naskah hasil ketikan diajukan ke penerbit al-
Aydrus Tana Abang Jakarta Pusat, empat bulan setelah dikirim ke penerbit, naskah
tersebut belum juga dicetak. Kemudian Kiyai Mahfuz mencari penerbit lain, setelah
dibandingkan naskah asli maupun ketikan akhirnya naik cetak ke penerbit Darus
Syuruq lalu Dâr al-Hadîts (Mesir).
64 Purwanto, Penanggalan Islam, Akankah Terus Berbeda? Risalah, no.3/XXXI, Juli 1993
h.13 65 KH. Mahfudz Asirun merupakan pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon,
Cengkareng. Beliau juga merupakan anak didik langsung dari Kiyai Muhajirin.
103
Sebenarnya untuk kawasan Jabodetabek kitab ini sudah published di
berbagai Majelis Ilmu yang pengasuhnya mayoritas memang murid langsung dari
Kiyai Muhajirin.Banyaksekali Majelis Ilmu yg sudah mengkaji kitab ini, antara lain
Majelis Ilmu di Masjid Tangkuban Parahu Manggarai Jakarta yang diasuh oleh
Kiyai Mahfuz Asirun, demikian juga di Masjid Shodri Asshiddiqi Cakung yang
diasuh oleh Kiyai Fakhruddin, belum lagi di Majelis Ilmu di Bekasi yg sangat
banyak mengkaji kitab ini.
Kitab ini sudah sampai juga ke manca negara seperti Turki yang diserahkan
langsung oleh Dhiya al-Maqdisi-anak Kiyai Muhajirin ke Duta BesarTurki untuk
Indonesia tahun 2015. Kitab ini juga sudah sampai di Hadramaut-Yaman melalui
penyerahan langsung Kiyai Mahfuz ke Habib Umar bin Hafidz tahun 2016 yang
lalu.Kiyai Mahfuz juga sudah mempublished kitab ini secara langsung ke para
Masyaakhih di Sudan.Kitab ini juga telah dihadiahkan oleh Dhiya al-Maqdisi ke
para Masyakhih di Negeri ini,seperti Maulana Habib Luthfi bin Yahya,Mbah KH.
Maimoen Zubair,KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus),KH. Said Agil Siradj, KH.
Hasyim Muzadi (w. 2017),KH. Ali MusthofaYa'kub (w. 2016),Said Agil al-
Munawwar dan baru beberapa bulan laludihadiahkan ke Habib Jindan bin Novel
bin Salim Jindan dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan.Ada beberapa
Kalimatutta'ajjub dari Abah Maulana Habib Luthfi bin Yahya,Mbah Maimoen
Zubair dan Gus Mus terhadap kitab Misbâh al-ẕalâm.66
b. Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam Perkembangan Syarah Hadis di
Indonesia
Pada abad 14-15 hijriyah, perkembangan syarah hadis di Indonesia terus
mengalami kemajuan. Hal ini terlihat dari banyaknya karya yang dihasilkan oleh
para ulama Nusantara, baik menggunakan bahasa arab ataupun bahasa lokal (Jawa,
Melayu dan Indonesia). Berikut rangkuman ulama-ulama yang menulis syarah
hadis pada awal abad 14 -15 hijriyah:
66Info ini penulis peroleh dari Dhiya al-Maqdisi (anak Kiyai Muhajirin), melalui
wawancara.
104
1) Syarah Arba’în Nawâwi Karya Abdur Rauf Ibn Ali Al-Fanshuri al-
Syattari.
2) Kitab Tanqiẖ al-Qaûl al-Hatsîts bî Syarẖ Lubâb al-Hadîts karya
Muhammad Nawawi Ibn Umar al Bantani (W. 1897 M)
3) Hasyiyah al-Turmûsi dan kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah syarẖ Mihaẖ al-
Khairiyah karya Mahfuz Ibn ‘Abdullah al-Tarmasi.
4) Kitab Baẖr al-Madzî li syarẖ Mukhtashar Saẖîẖ al-Tirmidzî (22 jilid) karya
Muhammad Idris Ibn ‘Abdul Rauf al Marbâwî.
5) Kitab Hadis 40 Terjemahan dan Syarhan karya Mustafa Ibn ‘Abdur Rauf
(W. 1968 M)
6) Kitab Ilhâm al-Bârî SyarẖSaẖîẖ al-Bukhârî, kitab Taẖdzib Aṯrâf al-Hadîts
bi Syarẖ Mâ fî Kitab Mukhtâr al-Aẖâdîts karya ‘Abdul Halim al-Hadi (W.
1981 M).
7) Kitab SyarẖHadîts Sunan Abî Dâwûd (22 Jilid) karya Muhammad Yasin Ibn
Isa Al Fadani.
8) Kitab Syarah Hadis empat puluh karya ‘Ashbirin Ya’qub
9) Kitab Terjemah Bulugh al-Maram disertai catatan kaki karya Ahmad Hasan
Bandung
10) Kitab Misbâẖ al-ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min adillati al-Aẖkam
karya Muhajirin Amsar
Kitab-kitab syarah hadis tersebut merupakan sampel dari sekian kitab- kitab
syarah hadis yang ada. Sebab, minimnya literatur yang memuat antologi yang
105
berhubungan ulama-ulama hadis di Indonesia menjadikan sebagian besar karya
ulama Indonesia tidak tereksplorasi.
Melalui karyanya, Kiyai Muhajirin membuktikan perhatiannya terhadap
kajian hadis di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan kitab hadis yang yang
beliau pilih untuk disyarahi yakni Bulûgh al-Marâm yang bercorak fikih.Muhajirin
memberikan babak baru bagi muslim Indonesia agar lebih membuka pemikirannya
untuk memahami hadis-hadis Nabi khususnya yang berkaitan dengan hukum secara
kaffah (karena beliau tidak hanya mengutip pendapat satu mazhab tertentu). Hukum
memiliki posisi tertinggi bagi umat muslim, baik permasalahan yang menyangkut
setiap individu atau sosial. Hal ini disebabkan Allah swt. menilai ibadah manusia
melalui koridor-koridor hukum. Jika terjadi pelanggaran hukum maka wajib
menerima konsekuensi dari pelanggaran hukum tersebut. Hal inilah salah satu
alasan yang mendorong Muhajirin untuk mensyarahi hadis-hadis hukum dalam
Bulûgh al-Marâm.
Pemahaman yang luas terhadap suatu hukum dengan memahami secara
detail perbedaan pendapat dari masing-masing madzhab, tentu mengantarkan
pembaca untuk lebih bersikap toleran dan dinamis. Sebab ia tidak mudah
mengklaim kafir, khurafat dan lainnya kepada umat muslim yang berbeda
dengannya. Selain itu, umat muslim Indonesia juga lebih mudah dan fleksibel
dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum. Karena pokok dari suatu
permasalahan tersebut dapat di’illatkan dengan pendapat para ahli hukum melalui
kaidah ushul fikih.
106
2. PrinsipKiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis
Prinsip keseimbangan ialah dasar yang dijadikan Kiyai Muhajirin dalam
mensyarah hadis, selain memaparkan pendapat-pendapat para ulama dalam
sebuah teks hadis. Ia juga melakukan tabyîḏ yaitu sebuah upaya verifikasi untuk
menyeimbangkan pendapat mereka, pendapat dan pandangan para ulama yang
memang benar-benar sesuai dan relevan dengan tema pembahasan. Hal ini
dilakukan untuk menyeimbangkan pemahaman fikih yang berkembang di
Indonesia. Kiyai Muhajirin juga menyajikan paparan terkait pandangan para
ulama dengan tidak melakukan klaim terhadap pendapat tertentu. Jika terjadi
persoalan yang kompleks ia akan mengambil kaidah ushul fikih sebagai upaya
ijtihadnya, dan mengatakan pendapat ulama yang satu lebih kuat dibanding ulama
lainnya.
Terminologi awla (lebih utama) ia gunakan sebagai upaya tahqîq terhadap
ijtihadnya, bukan lafadz asaẖẖu (lebih benar). Sikap ini dicontohkan Kiyai
Muhajirin agar para santri dan masyarakat sekitar memahami bahwa pendapat
menjadi kuat karena adanya pendukung pendapat lain yang menguatkan.
Terminologi awla terkesan lebih dinamis dan santun dibanding penggunaan
terminologi asaẖẖu (lebih benar). Sikap toleransinya dalam beragama khususnya
pada wilayah hukum fikih, jelas tereksplo rasi dari teks-teks syarah hadisnya.
Sehingga kitab Misbâẖ al-Ẕalâm memiliki keistimewaan dalam menggandeng umat
di Indonesia untuk saling menghargai dalam beragama dan berlandasan hukum.
Selain itu, memahami hukum fikih lintas madzhab juga mampu menampik
mewabahnya islam radikal dan liberal, dengan harapan menciptakan islam yang
lebih dinamis dan harmonis dalam mewujudkan islâm raẖmatan li al ‘alâmîn.
108
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kiyai Muhajirin menggunakan metode muqârin dalam menulis kitab
Misbâẖ al-ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Hal ini dapat
dilihat dari bagaimana cara beliau membandingkan hadis yang memiliki redaksi
sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama dan membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam
mengomentari hadis. Dalam menerapkan metode ini, Kiyai Muhajirin membumbui
kitabnya dengan pembahasan yang bercorak fikih-ushul fiqh dan linguistik dengan
menggunakan tehnik interpretasi intertekstual sehingga tidak mengabaikan makna
dari teks itu sendiri, juga tetap memerhatikan bagaimana konteks hadis itu terjadi
dan bagaimana ulama mensikapi hadis tersebut.
Nuansa ke-Indonesia-an dan pendekatan sosiologis juga tampak di beberapa
bab dalam kitab Misbâẖ al-ẕalâm namun hal itu tidak mendominasi. Walaupun
tetap menjadi poin pembeda antara kitab tersebut dengan kitab-kitab syarah Bulûgh
al-Marâm yang lainnya dan tetap relevan untuk dikaji di wilayah Indonesia.
Secara umum, sistematika penulisan dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm
mengikuti sistematika yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. dalam
syarahnya, Kiyai Muhajirin mencantumkan hadis dari kitab Bulûgh al-Marâm
dengan memberikan tanda huruf (ص ) yang berarti musannif pada awal kalimat dan
memberikan tanda huruf (ش) yang berarti syarah pada kalimat pertama dalam
syarahnya.
Dalam setiap kitab, ia menjelaskan makna kebahasaan dengan tujuan
memperoleh pemahaman yang komprehensif, baik lafaz tersebut berupa judul bab
ataupun hadis itu sendiri. Namun, penjelasan kebahasaan lebih bersifat interpretatif
bukan sebatas mengungkap bentuk kalimatnya (morfologi dan filologi). Tidak
jarang, Muhajirin menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai penguat syarahnya dalam
konteks-konteks tertentu.
109
Langkah selanjutnya ia menuliskan kembali hadis yang terdapat dalam kitab
induknya, dan menjelaskan asbâb al-wurûd-nya jika ada. Kemudian ia
mengungkapkan pendapat para ulama madzab fikih seperti Abu Hanîfah, Imam al-
Syâfi’î, Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal terkait pemahaman mereka dalam
hadis ahkam tersebut. Namun, ia tidak memberikan sintesis akhir dalam setiap hadis
yang ia syarahi. ia hanya menutupnya dengan pernyataan ulama-ulama ahli fikih
dan membiarkannya tanpa ia tambahkan penjelasan beliau terhadap masing-masing
pendapat mereka.
B. Saran
1. Kitab ini sangat layak untuk dikaji oleh kalangan masyarakat luas karena
menyajian pandangan-pandangan ulama yang komprehensif, sehingga akan
membuka khazanah berpikir yang lebih luas dan menumbuhkan sikap
toleransi lebih tinggi. Karena tidak hanya menyajikan satu pendapat mazhab
saja.
2. Masih banyak karya ulama nusantara yang dapat dikaji oleh kalangan
akademis. Hal ini menjadi penting sebagai bentuk apresiasi terhadap karya-
karya yang ada, juga untuk menghindari kepunahan karya-karya ulama
Indonesia karena tergerus oleh karya dari negara lain.
3. Terakhir, penulis menyadari masih ada kekurangan yang perlu ditambah
dalam penelitian ini, sehingga penulis sangat membuka diri untuk masukan-
masukan yang akan diberikan.
110
DAFTAR PUSTAKA Abû Syahbah, Muẖammad. fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah.Kairo: Majma’ al-
Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995. Abû Zahwu, M. M. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi al-Sunnati
al-Nabawiyyah. Cet. II, Riyâḏ: Syirkah al-Ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1984. Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof.
Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisans, 2005. Aisyah. Kontribusi Imam al-Bukhari dalam Validasi Hadis. Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press. 2011. Ali, Nizar. Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarah Hadis. Yogyakarta: Lentera Hati,
2001. ------- Memahami Hadis Nabi, Metode dan Pendekatannya. Cet. II; Yogyakarta: Idea Press.
2011. Amsar, Muhammad Muhajirin Bekâsi. Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillati al-
Aẖkâm. Kairo: Dâr al-Hadîts. 2018. Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Surabaya: Dâr al-‘Ilm. t.t Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII. Bandung: Mizan, 2004. Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern. terj. Jaziar Radianti dan
Entin sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Cet. II; Yogyakarta: Gading
Publishing. 2015. Al-Bukhârî. Saẖîẖ al-Bukhârî. Jilid II Riyâḏ: Baitu al-Afkâr al-Daûlî li al-Nasr, 1998. Burhanuddin‚ Mamat Slamet. “K.H. Nawawi Banten: Akar Tradisi Keintelektualan NU” Jurnal
Miqot, Vol. XXXIV No. 1 (2010). Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: TH
Press, 2009. Dzakir, Jawiah dan Ahmad Levi. “Ketokohan Syekh Muhajirin Amsar Ad-Dary Sebagai Ilmuwan
Hadis Nusantara”. Jurnal Prosiding Nadhwah Ulama Nusantara, Vol. IV(2016): 234. Fadli, Ahmad. Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap
Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20). Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. al-Fârisî, Al-Amîr ‘Alâu al-Dîn ‘Alî ibn Bilbân. Saẖîẖ ibn Hibbân bitartîbî ibn Bilbân. Juz IV Cet.
II, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993. Ibn Hanbal, Aẖmad. Musnad Ahmad. Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1997. Juz XIX. Cet I. Haryono, M. Yudhie. Nalar al-Qur’an. Jakarta: PT Cipta Nusantara. 2002.
111
ibn Manzûr. Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Makram al-Afrîqî al-Misrî. Lisân al-‘Arab, jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1990.
Ibnu Baṯal. Syarah Saẖîẖ al-Bukhârî li Ibnu Baṯal. Riyad: Maktabah ar-Rasyd, 2003. Jilid II. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. ------- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah.
Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang. 1988. al-Jawwabî, Muhammad Ṭâhir. Juhûd al-Muẖâditsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-Nabawî al-
Syarîf. Nasyr wa Taūzi’ Mu’assasât al-Karîm bin ‘Abd Allah, t.th. al-Kailânî, Al-Sayyid Munâdir Ahsan. Tadwîn al-Hadîts. Cet. I, Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî.
2004. al-Kandahlâwî, Muhammad Zakariyyâ. Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik. Jilid I. Beirût: Dâr
al-Fikr, tt.h. Kasiram, Moh.. Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi
Penelitian. Cet. I; Malang: UIN-Malang Press. 2008. al-Kâsyit, Muhammad ‘Utsmân. Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi. Kairo: al-
Maktabah al-Qur’ân, t.th.Kasiram, Moh. Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008.
al-Khûlî, Muhammad ‘Abd al-‘Azîz, Miftah al-Sunnah aw Târīkh Funûn al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Mâlik. al-Muwaṯṯa Kitâb al-Ṯaharah. Juz I Cet. III, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1998. Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani. Mafahim Yajibu ‘an Tushahhah,
Surabaya: Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah Mochamad Samsukadi, “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren”. Religi: Jurnal Studi Islam,
Vol. 6, No. 1 April 2015. Muhajirin. Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūzh Al-Tirmasī,
Disertasi Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Munandar‚ “Perkembangan Hadis di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Abd Rauf al Sinkili)”.
Jurnal Ihya al ‘Arabiyyah Vol. 4 no. 1. Muniroh. “Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; Studi kitab al- Khil’ah al-
Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al- Khairiyyah karya Mahfudz al- Tirmasi, kitab al-Tabyîn a l -Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar”. Tesis: UIN Sunan Kalijaga, 2015.
Nadhiran, Hedhri. Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis. Jurnal Ilmu Agama. Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang
Nisa, Khoirun. “Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-Islami Bekasi Timur”. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
al-Nuri, Hasan Sulaiman dan ‘Alawî Abbas al-Malikî. Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm. Beirut: Dâr al-Fikr. 2008
112
Qarḏâwî, Yûsuf. Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. Bandung: Karisma, 1993.
Purwanto. Penanggalan Islam, Akankah Terus Berbeda?. Risalah. no.3/XXXI. Juli 1993. Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung: PT. al-Ma’arif. 1974. al-Rauf, Abd. Faidlul Qadir Syarh Jami’ as-Saghîr. Mesir : Maktabah Tijariah Kubra, 1937. Jilid
6. Samsukadi, Mochamad. “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren.” Religi: Jurnal Studi Islam.
Vol. 6, No. 1 (April 2015) Al-San’anî, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salâm. Kairo : Dâr al-Hadîts, t.t.. Jilid 1. Al-San’anî. Tauḏîẖ al-Afkâr lima’ânî Tanqîẖ al-Izhâr. Beirût: Dâr al-Fikri, tt. al-Saukanî, Muhammad. Nailu al-Awṯar. Kairo : Dâr al-Hadîts, 1993. Jilid 1. al-Siba’i, Mushafa. al-Hadis Sebagai Sumber Hukum. terj. Dja’far Abd. Muchith. Bandung: CV.
Diponogoro. 1979. ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2009. ------- Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Suryadilaga, M. Alfatih. “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya”
dalam Jurnal of Quran and Hadith Studies Vol. 4 No. 2 (2015). ------- Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruksi Metodologi
Syarah Hadis). Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012. Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII –
Sekarang)”. Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, Vol. 05, No. 01, Januari 2004. ------- Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran ,(tt: tp: tt). Tim, GENEALOGI INTELEKTUAL ULAMA BETAWI(Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal
Abad ke-19 sampai Abad ke-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre, 2011.
Umar, Nasaruddin . Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Cet. I; Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2008.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 1997.