repro kpgs
DESCRIPTION
Kasus reproTRANSCRIPT
Judul : Laporan Praktik Lapang Pelayanan Kesehatan Reproduksi Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS), Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat
Tanggal pelaksanaan : 18 Mei 2015 – 12 Juni 2015 Nama : Eko Prasetyo Nugroho, SKH NIM : B94134319
A. Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan (IB) dan Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) pada Sapi Perah di KPGS Cikajang
Kegiatan pelayanan bidang reproduksi yang diikuti mahasiswa
Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) bersama petugas
Kesehatan Hewan – Inseminasi Buatan (Keswan-IB) di wilayah Koperasi
Peternak Garut Selatan (KPGS) Cikajang diantaranya berupa pelayanan
inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB). Pelayanan IB
dan PKB dilakukan setiap hari yaitu dengan sistem dimana peternak yang
ingin mendapatkan pelayanan IB dan/atau PKB diwajibkan melapor pada
petugas Keswan-IB yang terdiri atas dokter hewan, paramedis dan
inseminator melalui pesan singkat (short message service, SMS), telepon,
atau melaporkan langsung ke kantor Keswan-IB yang berlokasi sama
dengan KPGS Cikajang. Data jumlah pelayanan IB dan PKB di KPGS
Cikajang selama praktik lapang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi pelayanan IB dan PKB di KUD Mandiri Bayongbong
No Kegiatan Jumlah (ekor)
1
2
Inseminasi Buatan (IB)
Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)
a. Tidak bunting
b. Bunting
Kebuntingan 3 bulan
Kebuntingan 4 bulan
Kebuntingan 5 bulan
Kebuntingan 6 bulan
Kebuntingan 9 bulan
27
12
4
1
1
2
2
1
A.1. Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB)
Pelaksanaan IB di KPGS Cikajang diawali dengan penerimaan
laporan dari peternak. Dokter hewan, paramedis dan atau inseminator
selanjutnya akan mengambil straw di Kantor Kesehatan Hewan -
Inseminasi Buatan (Keswan-IB). Saat mengambil straw, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah jumlah, waktu, wadah pembawa berupa
termos kecil, dan nitrogen (N2) cair. Wadah pembawa yang digunakan
adalah termos kecil berukuran 500 cc yang mudah dibawa. Termos diisi
penuh dengan nitrogen cair supaya seluruh bagian straw dapat terendam.
Straw yang disimpan di dalam kontainer dipindahkan ke dalam termos
yang telah berisi nitrogen cair. Seluruh bagian straw harus terendam di
dalam termos agar kualitas semen dalam straw tersebut terjaga dan masih
dapat digunakan untuk IB. Saat tiba di lokasi peternak petugas Keswan-IB
akan menanyakan waktu kejadian sapi menunjukkan gejala berahi dan IB
terakhir dilakukan serta sudah berapa kali diinseminasi.
Petugas yang melalukan inseminasi, baik dokter hewan, paramedis
maupun inseminator, memastikan status reproduksi sapi dengan
mengamati langsung gejala berahi seperti warna vulva lebih merah, vulva
membengkak, vulva terasa hangat, keluar lendir bening dari vulva, serta
ekor mudah diangkat. Apabila petugas belum yakin bahwa sapi siap untuk
diinseminasi, maka akan dilakukan eksporasi rektal untuk memeriksa
organ reproduksi sapi, yakni serviks uterus, badan uterus, korpus uterus,
hingga ovarium. Keputusan apakah sapi layak untuk diinseminasi atau
tidak tergantung pada masing-masing hewan. Apabila tidak layak
diinseminasi, petugas akan merekomendasikan untuk memperbaiki
kondisi sapi dahulu agar fungsi reproduksinya kembali normal. Beberapa
contoh kondisi dimana sapi tidak layak diinseminasi yakni sapi mengalami
gangguan reproduksi atau bobot badan sapi kurang dari standar untuk IB.
Jika sapi layak untuk diinseminasi, petugas akan meminta peternak
untuk menyiapkan air hangat untuk thawing dan sabun untuk pelicin
tangan. Peternak juga diminta untuk membantu menangani hewan
dengan menyiapkan palang sebagai kandang jepit. Petugas menyiapkan
peralatan inseminasi seperti gun IB, straw, pinset, tissue, gunting, plastic
sheet, dan sarung tangan plastik. Petugas kemudian melakukan thawing
dengan mengeluarkan straw dari termos menggunakan pinset kemudian
mencelupkan ke dalam air bersuhu 25-30 °C selama 1-2 menit. Straw
kemudian diambil dan dikeringkan dengan cara di kipas-kipaskan serta
dimasukkan ke dalam gun IB dengan posisi sumbat pabrik berada di ujung
atas gun. Setelah ujung straw bagian sumbat pabrik digunting, plastic
sheet dipasang. Straw yang digunakan berasal dari Balai Besar
Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang. Eksporasi rektal dilakukan sebelum
memasukkan gun IB. Apabila terdapat banyak feces dalam rektum, maka
feses tersebut dikeluarkan terlebih dahulu. Gun IB yang telah dilapisi
dengan plastic sheet tersebut dimasukkan ke dalam korpus uterus setelah
melewati vagina dan empat cincin serviks uterus. Semen dideposisikan di
dalam korpus uterus dan diarahkan ke tempat folikel de Graff berada.
Apabila folikel de Graff berada di sebelah kanan, maka gun IB akan
diarahkan ke kanan untuk memperbesar kemungkinan terjadinya
fertilisasi.
Setelah melakukan inseminasi, petugas akan mencuci tangan dan
selalu melakukan pencatatan IB yang berisi nama peternak, alamat
peternak, nomor telinga sapi, tanggal IB, dan kode semen (kode pejantan,
nama pejantan, IB ke-, kode batch) yang digunakan pada faktur rangkap
tiga, yakni putih, hijau, dan kuning. Lembar pertama berwarna putih akan
diserahkan ke peternak sebagai bukti telah melakukan kegiatan IB.
Lembar kedua berwarna hijau diberikan kepada petugas recording di
kantor KPGS. Lembar ketiga berwarna kuning disimpan oleh petugas
yang bersangkutan. Petugas juga menuliskan tanggal, bulan, dan tahun IB
pada kandang. Data base digunakan untuk mengetahui dan mengevaluasi
dari keberhasilan IB, jumlah straw yang terpakai, dan kinerja inseminator.
Pelaksanaan IB oleh petugas IB di KPGS Cikajang sudah berjalan
cukup baik, akan tetapi perlu dilakukan evaluasi mengenai keberhasilan
IB. Keberhasilan IB ini dapat diketahui dari angka kebuntingan berupa
conception rate (CR) dan service per conception (S/C). Conception rate
(CR) merupakan presentasi sapi betina yang bunting pada IB pertama.
Nilai CR digunakan untuk mengukur efisiensi reproduksi yang ditentukan
oleh tiga variabel, yaitu persentase kesuburan jantan, persentase
kesuburan betina, dan persentase efisiensi kerja inseminator. Nilai CR
yang terlalu rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya akurasi
pendeteksian estrus, kesalahan penanganan semen, rendahnya kualitas
semen, tidak tepatnya waktu inseminasi, kesalahan teknik inseminasi,
infeksi traktus reproduksi, status nutrisi yang buruk, dan kondisi cuaca
yant tidak optimal (Toelihere 1993). Service per conception adalah jumlah
pelayanan IB yang dilakukan untuk suatu kebuntingan. Menurut Toelihere
(1993), nilai S/C yang normal berkisar antara 1.6-2.0. KPGS Cikajang
belum memiliki data berapa besar nilai CR dan S/C sebagai indikator
penilaian keberhasilan IB.
Selama kegiatan pelayanan IB di KPGS Cikajang mahasiswa hanya
diberikan kesempatan sekali untuk melakukan IB. Mahasiswa mayoritas
membantu dalam proses persiapan pelaksanaan IB hingga pencatatan.
Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu serta inseminasi berhubungan
dengan peternak sebagai klien. Kebanyakan peternak khawatir akan
keberhasilan IB jika dilakukan oleh mahasiswa sehingga petugas yang
melakukan IB. Pelayanan IB yang diikuti oleh mahasiswa bersama
petugas di wilayah kerja Keswan-IB KPGS Cikajang dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Pelaksanaan inseminasi buatan (IB) di wilayah kerja KPGS Cikajang
No. Kegiatan Jumlah (ekor)
1. Jumlah pelayanan IB yang diikuti mahasiswa 27 2. Pelayanan IB oleh petugas 26 3. Pelayanan IB oleh mahasiswa PPDH 1
Kegiatan IB secara intensif telah mengungkapkan berbagai
masalah reproduksi yang dihadapi di lapang, tertama masalah fertilitas
ternak. Variasi faktor seperti halnya manajemen pemeliharaan dan pakan
yang kurang memadai telah menyebabkan penurunan kesuburan ternak
yang dipelihara secara intensif, terutama sapi perah. Hal ini dapat
menurunkan efektivitas pelaksanaan IB secara nyata dan menahan laju
peningkatan produksi ternak. Ketidaktepatan waktu peternak dalam
mendeteksi kejadian birahi ternaknya juga mempengaruhi efektifitas IB itu
sendiri.
A.2. Kegiatan Pelayanan Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)
Sistem pelayanan pemeriksaan kebuntingan di KPGS Cikajang
dilakukan berdasarkan permintaan peternak serta sebagai tindak lanjut
pelayanan IB. Tujuan dari permintaan pemeriksaan kebuntingan oleh
peternak adalah untuk memastikan kebuntingan sapi terjadi atau tidak,
mengetahui perkiraan umur kebuntingan sapi dan memastikan fetus masih
hidup atau tidak.
Dalam implementasinya di lapang, mayoritas peternak berasumsi
bahwa apabila sebulan setelah diinseminasi sapi tidak menunjukkan
gejala estrus maka sapi tersebut bunting. Begitu juga sebaliknya, tidak
jarang peternak yang berasumsi bahwa jika dalam kurang dari sebulan
setelah inseminasi sapi menunjukkan gejala estrus maka sapi tersebut
tidak bunting.
Saat tiba di kandang, petugas pemeriksaan kebuntingan, yakni
dokter hewan, paramedis ataupun inseminator, akan menanyakan waktu
terakhir sapi diinseminasi atau dengan melihat surat pelaksanaan IB
sebelumnya. Metode yang dilakukan petugas PKB adalah dengan
melakukan pemeriksaan kebuntingan dengan metode eksplorasi rektal.
KPGS Cikajang biasanya memprogramkan pelaksanaan pemeriksaan
kebuntingan setelah usia kebuntingan minimal dua bulan karena pada
usia ini tanda-tanda kebuntingan akan lebih mudah dikenali. Bila waktu
inseminasi terakhir kurang dari dua bulan, maka petugas PKB akan
menunda pemeriksaan kebuntingan untuk mengantisipasi kejadian
abortus.
Diagnosa kebuntingan dini diperoleh berdasarkan perubahan
anatomi organ reproduksi saat dilakukan ekplorasi rektal berupa asimetri
kornua uteri, dengan ukuran kornua tempat fetus implantasi membesar
pada saat umur dua bulan. Menurut Manan (2001), sapi yang bunting
dapat dikenali dari terabanya kornua uteri membesar berisi cairan
plasenta (cairan amnion dan cairan alantois), perabaan fetus, pemantulan
fetus di dalam uterus yang berisi selaput fetus dan cairan plasenta,
perabaan plasenta, dan fremitus dari arteri uterina media. Perubahan
anatomi reproduksi pada sapi yang mengalami kebuntingan tersaji pada
Tabel 3.
Tabel 3 Hasil eksplorasi rektal pada sapi perah untuk pemeriksaan kebuntingan
Umur kebuntingan Jumlah Parameter
3 bulan 1 ekor Bifurcatio uteri masih teraba,
Asimetri kornua uteri teraba
jelas, fluktuasi cairan amnion
dalam uterus dapat terasa
ditekan ujung jari, organ
reproduksi mulai menggantung
pada simphisis pubis.
6 bulan 1 ekor Fetus mencapai dasar uterus
sehingga sulit diraba dengan
palpasi rektal, fluktuasi cairan
amnion dapat terasa saat jari
tangan dipantul-pantulkan
kearah bawah.
Selama pelaksanaan PKB di KPGS Cikajang, mahasiswa diberikan
kesempatan untuk melakukan PKB. PKB yang dilakukan mahasiswa yaitu
kebuntingan yang berusia lebih dari dua bulan dan pemilik ternak
mengizinkan mahasiswa untuk melakukan PKB. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisasi terjadinya kematian embrio dini akibat PKB melalui
eksplorasi rektal. PKB yang diikuti oleh mahasiswa bersama petugas di
wilayah KPGS Cikajang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Pelaksanaan kegiatan PKB di KPGS Cikajang
No. Kegiatan Jumlah (ekor)
1. Pelayanan PKB yang diikuti mahasiswa 12 2. Pelayanan PKB oleh petugas 10 3. Pelayanan PKB oleh mahasiswa PPDH 2
A.3. Penanganan Pre dan Post Partus
Selain pelayanan inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan, petugas
Keswan-IB juga melakukan penanganan pre-partus dan post-partus.
Penanganan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan saat
partus dan post-partus. Manajemen pemeliharaan sapi saat pre-partus
sangat penting untuk memelihara siklus reproduksi sapi dan
meminimalisasi kejadian gangguan reproduksi saat partus seperti halnya
retensio secundinae (retensi plasenta). Ball dan Peters (2004)
menjelaskan bahwa manajemen pre-partus sangat penting dalam
memelihara siklus reproduksi dan performa fertilitas sapi selanjutnya.
Penangangan pre-partus yang diberikan biasanya berupa suntikan
vitamin yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh sapi saat
akan dan setelah melahirkan. Multivitamin yang digunakan adalah
Vitaplex-B-inj® yang mengandung vitamin B kompleks sebanyak 10
sampai dengan 20 ml secara intramuskular (dosis 5 mL/200 kg BB).
Penanganan yang dilakukan saat post-partus antara lain dengan
pemeriksaan pengeluaran plasenta secara keseluruhan, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian Sulpidon® yang mengandung dipyrone 250
mg dan lidocaine 2% sebanyak 20 ml secara intramuskular sebagai
analgesik setelah partus. Jumlah penanganan pre-partus dan post-partus
yang diikuti masing-masing sebanyak 1 dan 3 kali selama praktik lapang.
B. Kegiatan Pelayanan Penanganan Gangguan Reproduksi
Peternak akan melapor kepada petugas Keswan-IB jika sapi yang
dimilikinya mengalami gangguan kesehatan. Dalam pelaporan tersebut,
peternak hanya melaporkan kondisi sapi secara sederhana, seperti sapi
tidak menunjukan tanda birahi, sapi mengalami ambruk, dan lain
sebagainya. Petugas akan segera menuju lokasi peternak untuk melihat
kondisi sapi yang sejanjutnya memberikan diagnosa dan pengobatan.
Masalah gangguan reproduksi yang ditemui selama praktek lapangan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rekapitulasi kasus gangguan reproduksi yang teramati selama praktik
lapang di KPGS Cikajang selama periode 18 Mei s/d 12 Juni 2015
No Kasus
(Jumlah)
Gejala Klinis Terapi
Lapang Literatur Lapang Literatur
1 Retensio
secundinae
(1 kasus)
Post partus ± 15 jam
Plasenta menggantung di vulva
Sapi laktasi ke 2
Menurut Manspeaker (2002) Lebih dari
12 jam post partus plasenta tidak keluar sempurna
Pelepasan manual ikatan kotiledon dengan karunkula (enukleasi)
T/
Cotrimoxazole® 3 kaplet
intrauterine (dosis 2-4 kaplet/ ekor)
Phenylject® 15
mL IM (dosis 1 mL/20 kg BB)
Menurut Hafez dan Hafez (2000)
Pelepasan manual ikatan kotiledon dengan karankula
Antibiotika
Estrogen
Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH)
Prostaglandin
2 Abortus
(1 kasus)
Sapi pada laktasi ke 1
Masa laktasi 7 bulan
Sapi sempat terpeleset
Sapi merejan namun tidak mengeluarkan fetus
Fetus tertahan di uterus bagian kaki depan dan kepala sudah keluar servik
Fetus sudah mati saat eksplorasi pervaginal
Keluarnya fetus sebelum masa kelahiran (± 260 hari) dan fetus mengalami kematian (Dailey 2012)
Hari 1
Fetus ditarik paksa
T/
Vitaplex®
15 mL IM (dosis 5 mL/200 kg BB)
Hari 2
Enukleasi plasenta manual pervaginal
Cotrimoxazole® 3 kaplet
intrauterine (dosis 2-4 kaplet/ ekor)
Biomin®
15 mL IM (dosis 10-20 mL/ekor)
Penanganan simptomatik : antibiotik general dan intrauterine, multivitamin
Penanganan kausatif : mencegah abortus berulang dengan cara pengambilan sampel (swab fetus, plasenta atau darah), lalu dilakukan pengobatan yang sesuai (Dailey 2012)
3 Sub estrus/silent heat (2 kasus)
Sapi 1 Sapi laktasi ke-1
Sapi lebih dari 4 bulan tidak menunjukkan gejala estrus.
Ditemukan folikel pada ovarium kanan dan kiri
Sapi 2 Sapi laktasi ke-2
Sapi lebih dari 6 bulan tidak menunjukkan gejala estrus.
Ditemukan folikel pada ovarium kanan, ovarium kiri aspek pasir halus
Silent heat ditunjukkan dengan tidak adanya gejala estrus selama 30-120 hari. (Nurhayati et al. 2008)
Sapi 1 dan 2 T/
Capriglandine® 5 mL IM (dosis 5 mL/ekor IM; 1.5 mL/ekor IU atau submukosa vulva)
Penanganan sub estrus dilakukan dengan pemberian injeksi hormon progesterone (Nurhayati et al. 2008)
PEMBAHASAN
1. Retensio Secundinae
Retensio secundinae adalah kegagalan pengeluaran membran fetus
dalam waktu 24 jam atau lebih setelah melahirkan (Aiello 2005; Han & Kim
2005). Normalnya, pengeluaran plasenta terjadi 3-8 jam (Aiello 2005) atau
dalam waktu kurang dari 6-8 jam setelah melahirkan. Menurut Aiello
(2005), insidensi terjadinya retensio membran fetus sapi perah adalah
sebesar 5 – 15 % sedangkan insidensi pada sapi pedaging biasanya lebih
rendah.
Kasus retensio yang ditemui di lapang adalah seekor sapi milik
peternak setelah melahirkan normal masih ada sisa sedikit plasenta yang
menggantung keluar vulva. Anamnesa yang didapatkan dari peternak
adalah sapi tersebut melahirkan normal pada pukul 9 malam hari
sebelumnya, kemudian petugas datang setelah mendapat laporan sekitar
pukul 12 siang keesokan harinya. Lama kejadian tertahannya plasenta
sapi tersebut sekitar 15 jam post partus. Kondisi sapi masih dapat berdiri
dan nafsu makan masih baik.
Gambar 1 a Sapi yang mengalami retensio secundinae (+ 15 jam post
partus; b Sebagian plasenta yang telah keluar normal
Setelah melihat kondisi sapi, tindakan yang dilakukan adalah
melakukan pelepasan manual dari plasenta (enukleasi). Hal tersebut
dilakukan melihat bahwa sisa plasenta yang tertinggal hanya sedikit dan
kondisi sapi masih cukup baik. Setelah dilakukan enukleasi, secara
intrauterin dimasukkan 3 kaplet Clotrimoxazol® untuk mengantisipasi
adanya infeksi pasca dilakukannya enukleasi. Selain itu petugas juga
memberikan suntikan antiradang berupa Phenylject® 15 mL secara intra
muskular.
Kejadian retensio secundinae sebagian tidak diketahui pasti karena
mekanisme pelepasan plasenta secara normal belum diketahui
sepenuhnya (Manspeaker 2002). Jika dilihat dari manajemen peternak
terhadap sapi yang bunting masih belum optimal seperti sapi kurang
bergerak atau selalu dikandangkan di kandang sempit, kebersihan
kandang yang kurang dijaga, kualitas hijauan yang masih kurang,
kurangnya pemahaman peternak tentang manajemen kesehatan bagi sapi
bunting. Hal-hal tersebut mungkin berperan terhadap terjadinya retensio
sekundinae. Penyebab tidak langsung pada kasus ini dapat bervariasi dan
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu meningkatnya stres dan
defisiensi atau ketidakseimbangan nutrisi (permasalahan manajemen),
waktu kebuntingan yang diperpanjang atau dipersingkat dan berbagai
penyebab seperti distokia, trauma dan perubahan cuaca (Manspeaker
2002).
Pada kasus yang ditemukan di lapangan retensio secundinae
kemungkinan disebabkan adanya defisiensi nutrisi sehingga kekuatan
kontraksi uterus melemah. Gejala yang dapat dilihat yaitu sebagian
selaput fetus menggantung ke luar vulva sesudah kelahiran normal,
abortus, distokia dan bagian ini tidak bertambah panjang setelah ditunggu
beberapa lama setelah lebih dari 12 jam. Kadang-kadang selaput fetus
tidak keluar melewati vulva tetapi menetap di dalam uterus dan vagina.
Pada kasus yang masih baru, hewan masih mampu untuk berdiri dan
kondisi umum masih baik. Bila kasus terjadinya sudah berlangsung lama
dimana sudah ada infeksi maka kondisi umum akan terganggu dan ada
bau spesifik karena pembusukkan, keluar cairan kecoklatan disertai
bagian plasenta yang hancur.
Jackson (2007) mengatakan bahwa pelepasan manual (enukleasi)
terhadap membran fetus yang mengalami retensi sebaiknya diusahakan
72 jam setelah kelahiran. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam 10
menit, enukleasi harus dihentikan untuk menghindari pendarahan dan
trauma. Secara umum, terdapat dua metode penanganan retensio
secundinae yaitu pelepasan kotiledon-karunkula secara manual dan
pemisahan secara alami. Pelepasan secara manual merupakan metode
lama yang umum digunakan, namun tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan kerusakan dinding uterus. Antibiotika dan larutan antiseptik
digunakan secara lokal di uterus. Berdasarkan penelitian terbaru
mengenai retensio plasenta, rekomendasi yang disarankan yaitu
membiarkan plasenta terpisah secara alami dengan atau tanpa
menggunakan medikasi. Hormon-hormon seperti prostaglandin, estrogen
dan oksitosin dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan dan reruntuhan
sel dari uterus. Jika pengeluaran menggunakan hormonal tidak berhasil,
bisa dilakukan irigasi menggunakan air hangat diikuti dengan terapi
larutan antibiotika. Rangkaian infusi intrauterin biasanya lebih efektif
dibandingkan terapi hanya dengan pemberian hormon saja (Manspeaker
2002).
2. Abortus
Menurut Aiello (2005), abortus adalah ketidakmampuan fetus untuk
bertahan hidup sebelum waktunya dilahirkan, namun proses
organogenesis telah selesai. Klasifikasi abortus berdasarkan
penyebabnya terdiri atas dua jenis, yaitu abortus yang diakibatkan oleh
faktor infeksius dan abortus yang diakibatkan oleh faktor non-infeksius.
Kejadian abortus yang berkaitan dengan genetik sapi sampai saat ini
belum diketahui. Faktor non-infeksius yang dapat mengakibatkan abortus
antara lain defisiensi vitamin A, vitamin E, selenium, dan zat besi. Selain
itu, stres akibat suhu lingkungan yang terlalu panas juga dapat
menyebabkan kondisi hipotensi, hipoksia, dan asidosis fetus. Bahkan,
suhu tubuh induk yang tinggi atau berada pada kondisi demam, lebih
memengaruhi fetus jika dibandingkan dengan suhu lingkungan yang
tinggi. Faktor lainnya adalah trauma dan toksin (Aiello 2005). Beberapa
toksin yang dapat mengakibatkan aborsi antara lain toksin dari Ponderosa
pine needles, Astragalus sp., dan Gutierrezia microcephala. Mikotoksin
yang bersifat estrogenik juga dapat mengakibatkan abortus.
Affandhy et al. (2007) mengklasifikasikan abortus yang bersifat
infeksius berdasarkan agen penyebabnya, agen penyebab terjadinya
abortus pada sapi antara lain:
Bakteri, seperti penyakit brucellosis yang disebabkan oleh Brucella
abortus, leptospirosis yang disebabkan oleh Leptospira pomona,
Leptospira gripothyposa, Leptospira conicola, atau Leptospira
hardjo, Vibriosis yang disebabkan oleh Vibrio foetus veneralis.
Brucella abortus biasanya menyebabkan abortus pada umur
kebuntingan 6 sampai dengan 9 bulan (trimester terakhir).
Sementara itu, leptospirosis dan vibriosis menyebabkan abortus
pada umur kebuntingan 3 sampai dengan 6 bulan (trimester
kedua).
Virus, seperti Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Epizootic
Bovine Abortion (EBA), Bovine Viral Diarrhea (BVD) yang dapat
menyebabkan abortus pada umur kebuntingan 2 sampai dengan 9
bulan.
Jamur, seperti Aspergillus fumigatus. Kejadian abortus yang
disebabkan oleh jamur ini biasanya terjadi pada umur kebuntingan
5 sampai dengan 7 bulan.
Protozoa, seperti trichomoniasis yang disebabkan oleh
Trichomonas foetus yang biasanya menyebabkan abortus pada
trisemester pertama kebuntingan.
Kasus abortus yang ditemukan selama praktik lapang adalah
sejumlah 1 kasus. Kejadian abortus terjadi pada sapi yang sedang bunting
7 bulan. Anamnesa yang diperoleh dari peternak adalah dalam beberapa
waktu sapi saat akan diperah sering terpeleset kaki belakangnya akibat
lantai kandang yang licin akibat sebelumnya dilakukan pembersihan
feces. Beberapa hari setelah hal itu terjadi, sapi terlihat seperti akan
melahirkan. Namun peternak ragu apakah memang sapi tersebut sudah
waktunya untuk melahirkan, karena pada faktur pelaksanaan IB terakhir
sampai waktu tersebut sapi baru bunting 7 bulan. Keesokan harinya
peternak tersebut melapor pada petugas Keswan-IB via pesan singkat.
Setibanya dilokasi peternak, petugas melihat kondisi sapi secara
umum. Kondisi sapi terlihat baik, sapi masih dapat aktif bergerak dan
nafsu makannya pun masih baik. Petugas kemudian melakukan eksplorasi
vaginal untuk mengetahui keadaan fetus saat itu. Mahasiswa juga
diperkenankan untuk memeriksa kondisi fetus. Kondisi fetus saat itu
sayangnya sudah dalam kondisi mati, posisi kepala dan sebagian kaki
depan sudah berada di ruang vagina dan melewati cincin serviks.
Tindakan yang diambil adalah dengan melakukan penarikan paksa fetus
agar dapat dikeluarkan. Petugas melakukan sedikit reposisi fetus
dikarenakan walaupun situs fetus sudah tepat yaitu longitudinal anterior
namun ada satu kaki yang masih berada di dalam uterus sehingga
dilakukan reposisi agar dapat dikeluarkan dan disejajarkan dengan kaki
satunya untuk diikat dengan tambang sehingga nantinya memudahkan
untuk melakukan penarikan fetus. Proses penarikan tidak berlangsung
terlalu lama sehingga kondisi induk masih dapat berdiri dengan baik.
Setelah fetus dikeluarkan, induk diberi suntikan intramuskular berupa
vitamin yaitu Vitaplex® sebanyak 15 mL (dosis 5 mL/200 kg BB).
Pemberian vitamin itu ditujukan untuk menjaga kondisi induk agar nafsu
makannya tidak menurun sehingga pengeluaran plasenta dapat berjalan
normal. Pada hari berikutnya, ternyata plasenta tertahan sebagian
sehingga dilakukan enukleasi oleh petugas. Selain itu juga diberikan
antibiotik intrauterine berupa Cotrimoxazole® sebanyak 3 kaplet. Sapi
juga diberi suntikan Biomin® 15 mL intramuskular. Pemberian antibiotik
untuk mengantisipasi terjadinya infeksi dan pemberian vitamin bertujuan
untuk mejaga kondisi sapi tetap prima. Pemberian antibiotik tersebut
bertujuan untuk mengantisipasi adanya infeksi setelah dilakukannya
enukleasi. Penyebab terjadinya abortus sendiri adalah akibat trauma yang
dialami sapi karena terpeleset akibat alas kandang yang licin.
3. Subestrus/Silent heat
Kasus subestrus/silent heat yang ditemukan saat di lapang adalah
sebanyak 2 kasus. Pada sapi pertama, anamnesa yang didapat adalah
sapi tersebut sedang pada laktasi ke-1, sudah tidak menunjukkan gejala
birahi selama + 4 bulan sehingga peternak meminta untuk diperiksa oleh
petugas. Petugas melakukan palpasi perektal yang kemudian diketahui
bahwa pada kedua ovarium masih ditemukan adanya folikel. Penanganan
yang dilakukan petugas adalah pemberian injeksi Capriglandin® 0.5 mL
intramuskular.
Pada sapi kedua, tidak jauh berbeda dengan sapi pertama bahwa
petugas mendapat laporan dari peternak dimana sapinya tidak
menunjukkan gejala birahi. Sapi tersebut sedang pada laktasi ke-2,
lamanya sapi ini tidak menunjukkan gejala birahi adalah + 6 bulan.
Petugas melakukan palpasi perektal dan didapatkan adanya folikel pada
ovarium kanan, namun pada ovarium kiri beraspek pasir halus. Petugas
akhirnya memberikan injeksi Capriglandin® 0.5 mL intramuskular dengan
tujuan dapat menggertak terjadinya ovulasi sehingga sapi kembali birahi.
Pada kasus silent heat, proses ovulasi berjalan secara normal dan
bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada
birahi sama sekali. Silent heat sering dijumpai pada hewan betina yang
masih dara, hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan
normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari
dua kali dalam sehari. Sedangkan pada kejadian subestrus, proses
ovulasinya berjalan normal dan bersifat subur, tetapi gejala birahinya
berlangsung singkat/pendek (hanya 3-4 jam) (Nurhayati et al. 2008).
Pada kejadian silent heat dan sub estrus sebenarnya hormon LH
mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi,
tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen
oleh sel granulosa dari folikel de Graaf (Nurhayati et al. 2008). Hal inilah
yang menyebabkan tidak munculnya birahi. Penanganan kasus silent heat
dan subestrus dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen
pemeliharaan agar ternak mendapat cahaya yang cukup, peningkatan
kualitas pakan agar ternak mendapat nutrisi yang cukup sehingga
mekanisme hormonal dalam tubuh dapat berjalan dengan baik (Nurhayati
et al. 2008). Nurhayati et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pemberian
hormon progesteron akan memberikan feed back negatif terhadap
hipotalamus dengan menghasilkan hormon GnRH untuk merangsang
hipofise untuk menghasilkan LH/FSH yang menstimulasi gonad untuk
mesekresikan estradiol.
Jika dilihat dari kedua kasus yang ditemukan bahwa kedua sapi
masih memiliki ovarium yang aktif menghasilkan folikel. Namun saja, tidak
dapat menunjukkan gejala birahi yang disebabkan oleh aktifitas hormonal
yang rendah. Sapi-sapi tersebut mungkin saja menunjukkan birahi namun
sangat cepat kejadiannya ataupun tidak terlihat gejalanya sama sekali.
Faktor kualitas pakan yang masih rendah merupakan faktor utama yang
menyebabkan rendahnya nutrisi yang didapat sapi. Disamping itu masih
rendahnya pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi
yang baik juga turut andil menjadi faktor yang menyebabkan kejadian
subestrus/silent heat itu sendiri. Terapi yang diberikan sendiri memang
tidak sesuai dengan yang dianjurkan oleh Nurhayati et al. (2008), karena
petugas memberikan injeksi hormon prostalglandin 2α (PGF-2α).
Sejatinya PGF-2α bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan
corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan
hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin
menjadi hilang. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi pertumbuhan
dan pematangan folikel dalam ovarium. Akan tetapi, Toelihere (1995)
menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan menurunkan level
progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap pelepasan
hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH =
luteinizing hormone, sehingga diharapkan akan memicu ovulasi yang lebih
baik sehingga dapat merangsang hormon estrogen lebih baik pula yang
akan menyebabkan sapi menunjukkan gejala birahi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kegiatan pelayanan reproduksi sapi perah meliputi inseminasi
buatan, pemeriksaan kebuntingan, penanganan pre-partus dan post-
partus di KPGS Cikajang masing-masing berjumlah 27 kali, 12 kali, 1 kali
dan 3 kali. Kegiatan pelayanan kesehatan sapi perah di Wilayah KPGS
Cikajang secara umum sudah berjalan dengan baik serta dapat
meningkatkan wawasan dan pengetahuan melalui penanganan kasus-
kasus di lapangan. Adapun kasus gangguan reproduksi yang ditemukan
selama mengikuti kegiatan di lapangan yaitu 1 kasus retensio secundinae,
1 kasus abortus dan 2 kasus subestrus/silent heat.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan selama mengikuti kegiatan di
KPGS Cikajang adalah sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan penerapan program pencatatan dan evaluasi terhadap
program inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan agar efisiensi
reproduksi tercapai.
2. Perlu diadakan standarisasi penanganan kasus penyakit di lapangan
yang dibuat oleh dokter hewan agar pengobatan yang dilakukan oleh
paramedis atau inseminator tepat dan sesuai dengan penyakit yang
diderita oleh sapi.
3. Perlu diadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada peternak tentang
manajemen pemeliharaan sapi perah yang baik dan erat kaitannya
terhadap kesehatan sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Affandhy L, Dian R, dan Wulan CP. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian.
Aiello SE. 2005. The Merck Veterinary Manual. Pennsylvania (US): Merc & Co, Inc.
Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle. Ed ke-3. Great Britain (UK): Blackwell Publishing.
Dailey RA. 2012. Abortion in dairy cows and heifers [Internet]. [diunduh 2015 Juni 6]. Tersedia pada : http://www.wvu.edu.
Hafez B, Hafez E. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Philadelphia (US): Lippincott Williams and Wilkins.
Han YK, Kim IH. 2005. Risk factors for retained placenta and the effect of retained placenta on the occurrence of postpartum disease and subsequent reproductive performance in dairy cows. J. Vet. Sci 6(1): 53-59.
Jackson PGG. 2007. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Aris Junaidi, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari : Handbook of Veterinary Obstetrics, 2nd edition.
Manan DJ. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat DIKTI.
Manspeaker JE. 2002. Retained placentas [internet].[diunduh 2015 Juni 23]. Tersedia pada: http://www.wvu.edu/~Agexten/forglvst/Dairy/dirm21.pdf.
Nurhayati IS, Saptati RA, Martaindah E. 2008. Penanganan gangguan reproduksi guna mendukung pengembangan usaha sapi perah. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas-2020: 140-147.
Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung (ID): Penerbit Angkasa.
Toelihere MR. 1995. Fisiologi Reproduksi Ternak. Bandung (ID): Penerbit Angkasa
Golongan Nama Dagang Bahan Aktif Dosis Aplikasi
Antibiotik Intertrim LA Sulfadiazine 200 mg/ml Trimethroprim 40 mg/ml
1 ml/10-15 kgBB
IM
Cotrimazole Sulfametoksazol 800 mg/kaplet Trimethropime 160 mg/kaplet
2-4 kaplet/ekor
Intrauterine atau PO
Limoxin 25 Interflox
Oxytetracycline HCl 25 mg/ml Gentian Violet 5 mg/ml Ciprofloxacine100mg/ml
1ml/20-40 kg BB
Topikal IM
Antihistamin Vetadryl Dipenhydramine HCl 20 mg/ml 0,25-0,5 mg/kg BB
IM
Antispasmodik Papaverine Papaverine HCl 40 mg/ml IM
Analgesik, antipiretik, antispasmodik
Sulfidon Phenylject (Aman hewan bunting)
Dipyrone 250 mg/ml Lidocaine 2% Phenylbutazone 200 mg/ml
10-20 ml/200-400 kg/BB
IM/SC
Hormon Estrogen Capriglandin Inj.
Estrovet Dinoprost tromethamine 5,5 mg/ml Benzyl alcohol 12 mg/ml
5 ml/ekor 2 ml/ekor
IM, submukosa vulva
Vitamin dan mineral
Calcidex Plus Kalsium boroglukonat 500 mg/ml Magnesium chloride Hexahydrate 67 mg/ml Sodium hypophosphite Monohydrate 20,6 mg//ml Boric acid 100 mg/ml
100-200 ml atau 200-400 ml/kgBB
IV/SC
Introvit E selen Vitamin E Alpha tocopherolacetat 50 mg/ml
2 ml/10 kgBB
IM
Vitol 140 Vitamin A Retanol Palmitat 80000IU/ml Vitamin D3 Cholecalciferol 40000 IU/ml Vitamin E Alphatocoferolasetat 20 mg/ml
10 ml/ekor (dewasa) 5 ml/ekor (anak-anak)
IM
ADE VIT Inj
Vitamin A 50000 IU/ml Vitamin D3 10000 IU/ml Vitamin E 10000 IU/ml Vitamin B1 2,5 mg/ml Vitamin B6 1,5 mg/ml Vitamin K3 1,5 mg/ml Vitamin C 25 mg/ml
5 ml/lb IM
Neurobion 5000
Vitamin B1 HCl 100 mg/ampul Vitamin B6 HCl 100 mg/ml Vitamin B12 5000 mcg/ampul
IM/IV
B Sanplex (50 ml)
Vitamin B1 50 mg Vitamin B6 100 mg Vitamin B12 1000 mcg ATP 3 mg
10-20 ml/ekor
IM
Lampiran 1 Daftar Obat yang digunakan di KPGS Cikajang