repro kpgs

18
Judul : Laporan Praktik Lapang Pelayanan Kesehatan Reproduksi Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS), Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat Tanggal pelaksanaan : 18 Mei 2015 12 Juni 2015 Nama : Eko Prasetyo Nugroho, SKH NIM : B94134319 A. Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan (IB) dan Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) pada Sapi Perah di KPGS Cikajang Kegiatan pelayanan bidang reproduksi yang diikuti mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) bersama petugas Kesehatan Hewan Inseminasi Buatan (Keswan-IB) di wilayah Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) Cikajang diantaranya berupa pelayanan inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB). Pelayanan IB dan PKB dilakukan setiap hari yaitu dengan sistem dimana peternak yang ingin mendapatkan pelayanan IB dan/atau PKB diwajibkan melapor pada petugas Keswan-IB yang terdiri atas dokter hewan, paramedis dan inseminator melalui pesan singkat (short message service, SMS), telepon, atau melaporkan langsung ke kantor Keswan-IB yang berlokasi sama dengan KPGS Cikajang. Data jumlah pelayanan IB dan PKB di KPGS Cikajang selama praktik lapang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rekapitulasi pelayanan IB dan PKB di KUD Mandiri Bayongbong No Kegiatan Jumlah (ekor) 1 2 Inseminasi Buatan (IB) Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) a. Tidak bunting b. Bunting Kebuntingan 3 bulan Kebuntingan 4 bulan Kebuntingan 5 bulan Kebuntingan 6 bulan Kebuntingan 9 bulan 27 12 4 1 1 2 2 1

Upload: eko-prasetyo-nugroho

Post on 14-Dec-2015

45 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Kasus repro

TRANSCRIPT

Page 1: Repro Kpgs

Judul : Laporan Praktik Lapang Pelayanan Kesehatan Reproduksi Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS), Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat

Tanggal pelaksanaan : 18 Mei 2015 – 12 Juni 2015 Nama : Eko Prasetyo Nugroho, SKH NIM : B94134319

A. Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan (IB) dan Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) pada Sapi Perah di KPGS Cikajang

Kegiatan pelayanan bidang reproduksi yang diikuti mahasiswa

Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) bersama petugas

Kesehatan Hewan – Inseminasi Buatan (Keswan-IB) di wilayah Koperasi

Peternak Garut Selatan (KPGS) Cikajang diantaranya berupa pelayanan

inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB). Pelayanan IB

dan PKB dilakukan setiap hari yaitu dengan sistem dimana peternak yang

ingin mendapatkan pelayanan IB dan/atau PKB diwajibkan melapor pada

petugas Keswan-IB yang terdiri atas dokter hewan, paramedis dan

inseminator melalui pesan singkat (short message service, SMS), telepon,

atau melaporkan langsung ke kantor Keswan-IB yang berlokasi sama

dengan KPGS Cikajang. Data jumlah pelayanan IB dan PKB di KPGS

Cikajang selama praktik lapang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rekapitulasi pelayanan IB dan PKB di KUD Mandiri Bayongbong

No Kegiatan Jumlah (ekor)

1

2

Inseminasi Buatan (IB)

Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)

a. Tidak bunting

b. Bunting

Kebuntingan 3 bulan

Kebuntingan 4 bulan

Kebuntingan 5 bulan

Kebuntingan 6 bulan

Kebuntingan 9 bulan

27

12

4

1

1

2

2

1

Page 2: Repro Kpgs

A.1. Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB)

Pelaksanaan IB di KPGS Cikajang diawali dengan penerimaan

laporan dari peternak. Dokter hewan, paramedis dan atau inseminator

selanjutnya akan mengambil straw di Kantor Kesehatan Hewan -

Inseminasi Buatan (Keswan-IB). Saat mengambil straw, beberapa hal

yang harus diperhatikan adalah jumlah, waktu, wadah pembawa berupa

termos kecil, dan nitrogen (N2) cair. Wadah pembawa yang digunakan

adalah termos kecil berukuran 500 cc yang mudah dibawa. Termos diisi

penuh dengan nitrogen cair supaya seluruh bagian straw dapat terendam.

Straw yang disimpan di dalam kontainer dipindahkan ke dalam termos

yang telah berisi nitrogen cair. Seluruh bagian straw harus terendam di

dalam termos agar kualitas semen dalam straw tersebut terjaga dan masih

dapat digunakan untuk IB. Saat tiba di lokasi peternak petugas Keswan-IB

akan menanyakan waktu kejadian sapi menunjukkan gejala berahi dan IB

terakhir dilakukan serta sudah berapa kali diinseminasi.

Petugas yang melalukan inseminasi, baik dokter hewan, paramedis

maupun inseminator, memastikan status reproduksi sapi dengan

mengamati langsung gejala berahi seperti warna vulva lebih merah, vulva

membengkak, vulva terasa hangat, keluar lendir bening dari vulva, serta

ekor mudah diangkat. Apabila petugas belum yakin bahwa sapi siap untuk

diinseminasi, maka akan dilakukan eksporasi rektal untuk memeriksa

organ reproduksi sapi, yakni serviks uterus, badan uterus, korpus uterus,

hingga ovarium. Keputusan apakah sapi layak untuk diinseminasi atau

tidak tergantung pada masing-masing hewan. Apabila tidak layak

diinseminasi, petugas akan merekomendasikan untuk memperbaiki

kondisi sapi dahulu agar fungsi reproduksinya kembali normal. Beberapa

contoh kondisi dimana sapi tidak layak diinseminasi yakni sapi mengalami

gangguan reproduksi atau bobot badan sapi kurang dari standar untuk IB.

Jika sapi layak untuk diinseminasi, petugas akan meminta peternak

untuk menyiapkan air hangat untuk thawing dan sabun untuk pelicin

tangan. Peternak juga diminta untuk membantu menangani hewan

dengan menyiapkan palang sebagai kandang jepit. Petugas menyiapkan

Page 3: Repro Kpgs

peralatan inseminasi seperti gun IB, straw, pinset, tissue, gunting, plastic

sheet, dan sarung tangan plastik. Petugas kemudian melakukan thawing

dengan mengeluarkan straw dari termos menggunakan pinset kemudian

mencelupkan ke dalam air bersuhu 25-30 °C selama 1-2 menit. Straw

kemudian diambil dan dikeringkan dengan cara di kipas-kipaskan serta

dimasukkan ke dalam gun IB dengan posisi sumbat pabrik berada di ujung

atas gun. Setelah ujung straw bagian sumbat pabrik digunting, plastic

sheet dipasang. Straw yang digunakan berasal dari Balai Besar

Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang. Eksporasi rektal dilakukan sebelum

memasukkan gun IB. Apabila terdapat banyak feces dalam rektum, maka

feses tersebut dikeluarkan terlebih dahulu. Gun IB yang telah dilapisi

dengan plastic sheet tersebut dimasukkan ke dalam korpus uterus setelah

melewati vagina dan empat cincin serviks uterus. Semen dideposisikan di

dalam korpus uterus dan diarahkan ke tempat folikel de Graff berada.

Apabila folikel de Graff berada di sebelah kanan, maka gun IB akan

diarahkan ke kanan untuk memperbesar kemungkinan terjadinya

fertilisasi.

Setelah melakukan inseminasi, petugas akan mencuci tangan dan

selalu melakukan pencatatan IB yang berisi nama peternak, alamat

peternak, nomor telinga sapi, tanggal IB, dan kode semen (kode pejantan,

nama pejantan, IB ke-, kode batch) yang digunakan pada faktur rangkap

tiga, yakni putih, hijau, dan kuning. Lembar pertama berwarna putih akan

diserahkan ke peternak sebagai bukti telah melakukan kegiatan IB.

Lembar kedua berwarna hijau diberikan kepada petugas recording di

kantor KPGS. Lembar ketiga berwarna kuning disimpan oleh petugas

yang bersangkutan. Petugas juga menuliskan tanggal, bulan, dan tahun IB

pada kandang. Data base digunakan untuk mengetahui dan mengevaluasi

dari keberhasilan IB, jumlah straw yang terpakai, dan kinerja inseminator.

Pelaksanaan IB oleh petugas IB di KPGS Cikajang sudah berjalan

cukup baik, akan tetapi perlu dilakukan evaluasi mengenai keberhasilan

IB. Keberhasilan IB ini dapat diketahui dari angka kebuntingan berupa

conception rate (CR) dan service per conception (S/C). Conception rate

Page 4: Repro Kpgs

(CR) merupakan presentasi sapi betina yang bunting pada IB pertama.

Nilai CR digunakan untuk mengukur efisiensi reproduksi yang ditentukan

oleh tiga variabel, yaitu persentase kesuburan jantan, persentase

kesuburan betina, dan persentase efisiensi kerja inseminator. Nilai CR

yang terlalu rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya akurasi

pendeteksian estrus, kesalahan penanganan semen, rendahnya kualitas

semen, tidak tepatnya waktu inseminasi, kesalahan teknik inseminasi,

infeksi traktus reproduksi, status nutrisi yang buruk, dan kondisi cuaca

yant tidak optimal (Toelihere 1993). Service per conception adalah jumlah

pelayanan IB yang dilakukan untuk suatu kebuntingan. Menurut Toelihere

(1993), nilai S/C yang normal berkisar antara 1.6-2.0. KPGS Cikajang

belum memiliki data berapa besar nilai CR dan S/C sebagai indikator

penilaian keberhasilan IB.

Selama kegiatan pelayanan IB di KPGS Cikajang mahasiswa hanya

diberikan kesempatan sekali untuk melakukan IB. Mahasiswa mayoritas

membantu dalam proses persiapan pelaksanaan IB hingga pencatatan.

Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu serta inseminasi berhubungan

dengan peternak sebagai klien. Kebanyakan peternak khawatir akan

keberhasilan IB jika dilakukan oleh mahasiswa sehingga petugas yang

melakukan IB. Pelayanan IB yang diikuti oleh mahasiswa bersama

petugas di wilayah kerja Keswan-IB KPGS Cikajang dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2 Pelaksanaan inseminasi buatan (IB) di wilayah kerja KPGS Cikajang

No. Kegiatan Jumlah (ekor)

1. Jumlah pelayanan IB yang diikuti mahasiswa 27 2. Pelayanan IB oleh petugas 26 3. Pelayanan IB oleh mahasiswa PPDH 1

Kegiatan IB secara intensif telah mengungkapkan berbagai

masalah reproduksi yang dihadapi di lapang, tertama masalah fertilitas

ternak. Variasi faktor seperti halnya manajemen pemeliharaan dan pakan

yang kurang memadai telah menyebabkan penurunan kesuburan ternak

yang dipelihara secara intensif, terutama sapi perah. Hal ini dapat

Page 5: Repro Kpgs

menurunkan efektivitas pelaksanaan IB secara nyata dan menahan laju

peningkatan produksi ternak. Ketidaktepatan waktu peternak dalam

mendeteksi kejadian birahi ternaknya juga mempengaruhi efektifitas IB itu

sendiri.

A.2. Kegiatan Pelayanan Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)

Sistem pelayanan pemeriksaan kebuntingan di KPGS Cikajang

dilakukan berdasarkan permintaan peternak serta sebagai tindak lanjut

pelayanan IB. Tujuan dari permintaan pemeriksaan kebuntingan oleh

peternak adalah untuk memastikan kebuntingan sapi terjadi atau tidak,

mengetahui perkiraan umur kebuntingan sapi dan memastikan fetus masih

hidup atau tidak.

Dalam implementasinya di lapang, mayoritas peternak berasumsi

bahwa apabila sebulan setelah diinseminasi sapi tidak menunjukkan

gejala estrus maka sapi tersebut bunting. Begitu juga sebaliknya, tidak

jarang peternak yang berasumsi bahwa jika dalam kurang dari sebulan

setelah inseminasi sapi menunjukkan gejala estrus maka sapi tersebut

tidak bunting.

Saat tiba di kandang, petugas pemeriksaan kebuntingan, yakni

dokter hewan, paramedis ataupun inseminator, akan menanyakan waktu

terakhir sapi diinseminasi atau dengan melihat surat pelaksanaan IB

sebelumnya. Metode yang dilakukan petugas PKB adalah dengan

melakukan pemeriksaan kebuntingan dengan metode eksplorasi rektal.

KPGS Cikajang biasanya memprogramkan pelaksanaan pemeriksaan

kebuntingan setelah usia kebuntingan minimal dua bulan karena pada

usia ini tanda-tanda kebuntingan akan lebih mudah dikenali. Bila waktu

inseminasi terakhir kurang dari dua bulan, maka petugas PKB akan

menunda pemeriksaan kebuntingan untuk mengantisipasi kejadian

abortus.

Diagnosa kebuntingan dini diperoleh berdasarkan perubahan

anatomi organ reproduksi saat dilakukan ekplorasi rektal berupa asimetri

kornua uteri, dengan ukuran kornua tempat fetus implantasi membesar

pada saat umur dua bulan. Menurut Manan (2001), sapi yang bunting

Page 6: Repro Kpgs

dapat dikenali dari terabanya kornua uteri membesar berisi cairan

plasenta (cairan amnion dan cairan alantois), perabaan fetus, pemantulan

fetus di dalam uterus yang berisi selaput fetus dan cairan plasenta,

perabaan plasenta, dan fremitus dari arteri uterina media. Perubahan

anatomi reproduksi pada sapi yang mengalami kebuntingan tersaji pada

Tabel 3.

Tabel 3 Hasil eksplorasi rektal pada sapi perah untuk pemeriksaan kebuntingan

Umur kebuntingan Jumlah Parameter

3 bulan 1 ekor Bifurcatio uteri masih teraba,

Asimetri kornua uteri teraba

jelas, fluktuasi cairan amnion

dalam uterus dapat terasa

ditekan ujung jari, organ

reproduksi mulai menggantung

pada simphisis pubis.

6 bulan 1 ekor Fetus mencapai dasar uterus

sehingga sulit diraba dengan

palpasi rektal, fluktuasi cairan

amnion dapat terasa saat jari

tangan dipantul-pantulkan

kearah bawah.

Selama pelaksanaan PKB di KPGS Cikajang, mahasiswa diberikan

kesempatan untuk melakukan PKB. PKB yang dilakukan mahasiswa yaitu

kebuntingan yang berusia lebih dari dua bulan dan pemilik ternak

mengizinkan mahasiswa untuk melakukan PKB. Hal ini bertujuan untuk

meminimalisasi terjadinya kematian embrio dini akibat PKB melalui

eksplorasi rektal. PKB yang diikuti oleh mahasiswa bersama petugas di

wilayah KPGS Cikajang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Pelaksanaan kegiatan PKB di KPGS Cikajang

No. Kegiatan Jumlah (ekor)

1. Pelayanan PKB yang diikuti mahasiswa 12 2. Pelayanan PKB oleh petugas 10 3. Pelayanan PKB oleh mahasiswa PPDH 2

Page 7: Repro Kpgs

A.3. Penanganan Pre dan Post Partus

Selain pelayanan inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan, petugas

Keswan-IB juga melakukan penanganan pre-partus dan post-partus.

Penanganan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan saat

partus dan post-partus. Manajemen pemeliharaan sapi saat pre-partus

sangat penting untuk memelihara siklus reproduksi sapi dan

meminimalisasi kejadian gangguan reproduksi saat partus seperti halnya

retensio secundinae (retensi plasenta). Ball dan Peters (2004)

menjelaskan bahwa manajemen pre-partus sangat penting dalam

memelihara siklus reproduksi dan performa fertilitas sapi selanjutnya.

Penangangan pre-partus yang diberikan biasanya berupa suntikan

vitamin yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh sapi saat

akan dan setelah melahirkan. Multivitamin yang digunakan adalah

Vitaplex-B-inj® yang mengandung vitamin B kompleks sebanyak 10

sampai dengan 20 ml secara intramuskular (dosis 5 mL/200 kg BB).

Penanganan yang dilakukan saat post-partus antara lain dengan

pemeriksaan pengeluaran plasenta secara keseluruhan, kemudian

dilanjutkan dengan pemberian Sulpidon® yang mengandung dipyrone 250

mg dan lidocaine 2% sebanyak 20 ml secara intramuskular sebagai

analgesik setelah partus. Jumlah penanganan pre-partus dan post-partus

yang diikuti masing-masing sebanyak 1 dan 3 kali selama praktik lapang.

B. Kegiatan Pelayanan Penanganan Gangguan Reproduksi

Peternak akan melapor kepada petugas Keswan-IB jika sapi yang

dimilikinya mengalami gangguan kesehatan. Dalam pelaporan tersebut,

peternak hanya melaporkan kondisi sapi secara sederhana, seperti sapi

tidak menunjukan tanda birahi, sapi mengalami ambruk, dan lain

sebagainya. Petugas akan segera menuju lokasi peternak untuk melihat

kondisi sapi yang sejanjutnya memberikan diagnosa dan pengobatan.

Masalah gangguan reproduksi yang ditemui selama praktek lapangan

dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 8: Repro Kpgs

Tabel 4 Rekapitulasi kasus gangguan reproduksi yang teramati selama praktik

lapang di KPGS Cikajang selama periode 18 Mei s/d 12 Juni 2015

No Kasus

(Jumlah)

Gejala Klinis Terapi

Lapang Literatur Lapang Literatur

1 Retensio

secundinae

(1 kasus)

Post partus ± 15 jam

Plasenta menggantung di vulva

Sapi laktasi ke 2

Menurut Manspeaker (2002) Lebih dari

12 jam post partus plasenta tidak keluar sempurna

Pelepasan manual ikatan kotiledon dengan karunkula (enukleasi)

T/

Cotrimoxazole® 3 kaplet

intrauterine (dosis 2-4 kaplet/ ekor)

Phenylject® 15

mL IM (dosis 1 mL/20 kg BB)

Menurut Hafez dan Hafez (2000)

Pelepasan manual ikatan kotiledon dengan karankula

Antibiotika

Estrogen

Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH)

Prostaglandin

2 Abortus

(1 kasus)

Sapi pada laktasi ke 1

Masa laktasi 7 bulan

Sapi sempat terpeleset

Sapi merejan namun tidak mengeluarkan fetus

Fetus tertahan di uterus bagian kaki depan dan kepala sudah keluar servik

Fetus sudah mati saat eksplorasi pervaginal

Keluarnya fetus sebelum masa kelahiran (± 260 hari) dan fetus mengalami kematian (Dailey 2012)

Hari 1

Fetus ditarik paksa

T/

Vitaplex®

15 mL IM (dosis 5 mL/200 kg BB)

Hari 2

Enukleasi plasenta manual pervaginal

Cotrimoxazole® 3 kaplet

intrauterine (dosis 2-4 kaplet/ ekor)

Biomin®

15 mL IM (dosis 10-20 mL/ekor)

Penanganan simptomatik : antibiotik general dan intrauterine, multivitamin

Penanganan kausatif : mencegah abortus berulang dengan cara pengambilan sampel (swab fetus, plasenta atau darah), lalu dilakukan pengobatan yang sesuai (Dailey 2012)

3 Sub estrus/silent heat (2 kasus)

Sapi 1 Sapi laktasi ke-1

Sapi lebih dari 4 bulan tidak menunjukkan gejala estrus.

Ditemukan folikel pada ovarium kanan dan kiri

Sapi 2 Sapi laktasi ke-2

Sapi lebih dari 6 bulan tidak menunjukkan gejala estrus.

Ditemukan folikel pada ovarium kanan, ovarium kiri aspek pasir halus

Silent heat ditunjukkan dengan tidak adanya gejala estrus selama 30-120 hari. (Nurhayati et al. 2008)

Sapi 1 dan 2 T/

Capriglandine® 5 mL IM (dosis 5 mL/ekor IM; 1.5 mL/ekor IU atau submukosa vulva)

Penanganan sub estrus dilakukan dengan pemberian injeksi hormon progesterone (Nurhayati et al. 2008)

Page 9: Repro Kpgs

PEMBAHASAN

1. Retensio Secundinae

Retensio secundinae adalah kegagalan pengeluaran membran fetus

dalam waktu 24 jam atau lebih setelah melahirkan (Aiello 2005; Han & Kim

2005). Normalnya, pengeluaran plasenta terjadi 3-8 jam (Aiello 2005) atau

dalam waktu kurang dari 6-8 jam setelah melahirkan. Menurut Aiello

(2005), insidensi terjadinya retensio membran fetus sapi perah adalah

sebesar 5 – 15 % sedangkan insidensi pada sapi pedaging biasanya lebih

rendah.

Kasus retensio yang ditemui di lapang adalah seekor sapi milik

peternak setelah melahirkan normal masih ada sisa sedikit plasenta yang

menggantung keluar vulva. Anamnesa yang didapatkan dari peternak

adalah sapi tersebut melahirkan normal pada pukul 9 malam hari

sebelumnya, kemudian petugas datang setelah mendapat laporan sekitar

pukul 12 siang keesokan harinya. Lama kejadian tertahannya plasenta

sapi tersebut sekitar 15 jam post partus. Kondisi sapi masih dapat berdiri

dan nafsu makan masih baik.

Gambar 1 a Sapi yang mengalami retensio secundinae (+ 15 jam post

partus; b Sebagian plasenta yang telah keluar normal

Setelah melihat kondisi sapi, tindakan yang dilakukan adalah

melakukan pelepasan manual dari plasenta (enukleasi). Hal tersebut

dilakukan melihat bahwa sisa plasenta yang tertinggal hanya sedikit dan

kondisi sapi masih cukup baik. Setelah dilakukan enukleasi, secara

intrauterin dimasukkan 3 kaplet Clotrimoxazol® untuk mengantisipasi

Page 10: Repro Kpgs

adanya infeksi pasca dilakukannya enukleasi. Selain itu petugas juga

memberikan suntikan antiradang berupa Phenylject® 15 mL secara intra

muskular.

Kejadian retensio secundinae sebagian tidak diketahui pasti karena

mekanisme pelepasan plasenta secara normal belum diketahui

sepenuhnya (Manspeaker 2002). Jika dilihat dari manajemen peternak

terhadap sapi yang bunting masih belum optimal seperti sapi kurang

bergerak atau selalu dikandangkan di kandang sempit, kebersihan

kandang yang kurang dijaga, kualitas hijauan yang masih kurang,

kurangnya pemahaman peternak tentang manajemen kesehatan bagi sapi

bunting. Hal-hal tersebut mungkin berperan terhadap terjadinya retensio

sekundinae. Penyebab tidak langsung pada kasus ini dapat bervariasi dan

diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu meningkatnya stres dan

defisiensi atau ketidakseimbangan nutrisi (permasalahan manajemen),

waktu kebuntingan yang diperpanjang atau dipersingkat dan berbagai

penyebab seperti distokia, trauma dan perubahan cuaca (Manspeaker

2002).

Pada kasus yang ditemukan di lapangan retensio secundinae

kemungkinan disebabkan adanya defisiensi nutrisi sehingga kekuatan

kontraksi uterus melemah. Gejala yang dapat dilihat yaitu sebagian

selaput fetus menggantung ke luar vulva sesudah kelahiran normal,

abortus, distokia dan bagian ini tidak bertambah panjang setelah ditunggu

beberapa lama setelah lebih dari 12 jam. Kadang-kadang selaput fetus

tidak keluar melewati vulva tetapi menetap di dalam uterus dan vagina.

Pada kasus yang masih baru, hewan masih mampu untuk berdiri dan

kondisi umum masih baik. Bila kasus terjadinya sudah berlangsung lama

dimana sudah ada infeksi maka kondisi umum akan terganggu dan ada

bau spesifik karena pembusukkan, keluar cairan kecoklatan disertai

bagian plasenta yang hancur.

Jackson (2007) mengatakan bahwa pelepasan manual (enukleasi)

terhadap membran fetus yang mengalami retensi sebaiknya diusahakan

72 jam setelah kelahiran. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam 10

Page 11: Repro Kpgs

menit, enukleasi harus dihentikan untuk menghindari pendarahan dan

trauma. Secara umum, terdapat dua metode penanganan retensio

secundinae yaitu pelepasan kotiledon-karunkula secara manual dan

pemisahan secara alami. Pelepasan secara manual merupakan metode

lama yang umum digunakan, namun tidak dianjurkan karena dapat

menyebabkan kerusakan dinding uterus. Antibiotika dan larutan antiseptik

digunakan secara lokal di uterus. Berdasarkan penelitian terbaru

mengenai retensio plasenta, rekomendasi yang disarankan yaitu

membiarkan plasenta terpisah secara alami dengan atau tanpa

menggunakan medikasi. Hormon-hormon seperti prostaglandin, estrogen

dan oksitosin dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan dan reruntuhan

sel dari uterus. Jika pengeluaran menggunakan hormonal tidak berhasil,

bisa dilakukan irigasi menggunakan air hangat diikuti dengan terapi

larutan antibiotika. Rangkaian infusi intrauterin biasanya lebih efektif

dibandingkan terapi hanya dengan pemberian hormon saja (Manspeaker

2002).

2. Abortus

Menurut Aiello (2005), abortus adalah ketidakmampuan fetus untuk

bertahan hidup sebelum waktunya dilahirkan, namun proses

organogenesis telah selesai. Klasifikasi abortus berdasarkan

penyebabnya terdiri atas dua jenis, yaitu abortus yang diakibatkan oleh

faktor infeksius dan abortus yang diakibatkan oleh faktor non-infeksius.

Kejadian abortus yang berkaitan dengan genetik sapi sampai saat ini

belum diketahui. Faktor non-infeksius yang dapat mengakibatkan abortus

antara lain defisiensi vitamin A, vitamin E, selenium, dan zat besi. Selain

itu, stres akibat suhu lingkungan yang terlalu panas juga dapat

menyebabkan kondisi hipotensi, hipoksia, dan asidosis fetus. Bahkan,

suhu tubuh induk yang tinggi atau berada pada kondisi demam, lebih

memengaruhi fetus jika dibandingkan dengan suhu lingkungan yang

tinggi. Faktor lainnya adalah trauma dan toksin (Aiello 2005). Beberapa

toksin yang dapat mengakibatkan aborsi antara lain toksin dari Ponderosa

Page 12: Repro Kpgs

pine needles, Astragalus sp., dan Gutierrezia microcephala. Mikotoksin

yang bersifat estrogenik juga dapat mengakibatkan abortus.

Affandhy et al. (2007) mengklasifikasikan abortus yang bersifat

infeksius berdasarkan agen penyebabnya, agen penyebab terjadinya

abortus pada sapi antara lain:

Bakteri, seperti penyakit brucellosis yang disebabkan oleh Brucella

abortus, leptospirosis yang disebabkan oleh Leptospira pomona,

Leptospira gripothyposa, Leptospira conicola, atau Leptospira

hardjo, Vibriosis yang disebabkan oleh Vibrio foetus veneralis.

Brucella abortus biasanya menyebabkan abortus pada umur

kebuntingan 6 sampai dengan 9 bulan (trimester terakhir).

Sementara itu, leptospirosis dan vibriosis menyebabkan abortus

pada umur kebuntingan 3 sampai dengan 6 bulan (trimester

kedua).

Virus, seperti Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Epizootic

Bovine Abortion (EBA), Bovine Viral Diarrhea (BVD) yang dapat

menyebabkan abortus pada umur kebuntingan 2 sampai dengan 9

bulan.

Jamur, seperti Aspergillus fumigatus. Kejadian abortus yang

disebabkan oleh jamur ini biasanya terjadi pada umur kebuntingan

5 sampai dengan 7 bulan.

Protozoa, seperti trichomoniasis yang disebabkan oleh

Trichomonas foetus yang biasanya menyebabkan abortus pada

trisemester pertama kebuntingan.

Kasus abortus yang ditemukan selama praktik lapang adalah

sejumlah 1 kasus. Kejadian abortus terjadi pada sapi yang sedang bunting

7 bulan. Anamnesa yang diperoleh dari peternak adalah dalam beberapa

waktu sapi saat akan diperah sering terpeleset kaki belakangnya akibat

lantai kandang yang licin akibat sebelumnya dilakukan pembersihan

feces. Beberapa hari setelah hal itu terjadi, sapi terlihat seperti akan

melahirkan. Namun peternak ragu apakah memang sapi tersebut sudah

waktunya untuk melahirkan, karena pada faktur pelaksanaan IB terakhir

Page 13: Repro Kpgs

sampai waktu tersebut sapi baru bunting 7 bulan. Keesokan harinya

peternak tersebut melapor pada petugas Keswan-IB via pesan singkat.

Setibanya dilokasi peternak, petugas melihat kondisi sapi secara

umum. Kondisi sapi terlihat baik, sapi masih dapat aktif bergerak dan

nafsu makannya pun masih baik. Petugas kemudian melakukan eksplorasi

vaginal untuk mengetahui keadaan fetus saat itu. Mahasiswa juga

diperkenankan untuk memeriksa kondisi fetus. Kondisi fetus saat itu

sayangnya sudah dalam kondisi mati, posisi kepala dan sebagian kaki

depan sudah berada di ruang vagina dan melewati cincin serviks.

Tindakan yang diambil adalah dengan melakukan penarikan paksa fetus

agar dapat dikeluarkan. Petugas melakukan sedikit reposisi fetus

dikarenakan walaupun situs fetus sudah tepat yaitu longitudinal anterior

namun ada satu kaki yang masih berada di dalam uterus sehingga

dilakukan reposisi agar dapat dikeluarkan dan disejajarkan dengan kaki

satunya untuk diikat dengan tambang sehingga nantinya memudahkan

untuk melakukan penarikan fetus. Proses penarikan tidak berlangsung

terlalu lama sehingga kondisi induk masih dapat berdiri dengan baik.

Setelah fetus dikeluarkan, induk diberi suntikan intramuskular berupa

vitamin yaitu Vitaplex® sebanyak 15 mL (dosis 5 mL/200 kg BB).

Pemberian vitamin itu ditujukan untuk menjaga kondisi induk agar nafsu

makannya tidak menurun sehingga pengeluaran plasenta dapat berjalan

normal. Pada hari berikutnya, ternyata plasenta tertahan sebagian

sehingga dilakukan enukleasi oleh petugas. Selain itu juga diberikan

antibiotik intrauterine berupa Cotrimoxazole® sebanyak 3 kaplet. Sapi

juga diberi suntikan Biomin® 15 mL intramuskular. Pemberian antibiotik

untuk mengantisipasi terjadinya infeksi dan pemberian vitamin bertujuan

untuk mejaga kondisi sapi tetap prima. Pemberian antibiotik tersebut

bertujuan untuk mengantisipasi adanya infeksi setelah dilakukannya

enukleasi. Penyebab terjadinya abortus sendiri adalah akibat trauma yang

dialami sapi karena terpeleset akibat alas kandang yang licin.

Page 14: Repro Kpgs

3. Subestrus/Silent heat

Kasus subestrus/silent heat yang ditemukan saat di lapang adalah

sebanyak 2 kasus. Pada sapi pertama, anamnesa yang didapat adalah

sapi tersebut sedang pada laktasi ke-1, sudah tidak menunjukkan gejala

birahi selama + 4 bulan sehingga peternak meminta untuk diperiksa oleh

petugas. Petugas melakukan palpasi perektal yang kemudian diketahui

bahwa pada kedua ovarium masih ditemukan adanya folikel. Penanganan

yang dilakukan petugas adalah pemberian injeksi Capriglandin® 0.5 mL

intramuskular.

Pada sapi kedua, tidak jauh berbeda dengan sapi pertama bahwa

petugas mendapat laporan dari peternak dimana sapinya tidak

menunjukkan gejala birahi. Sapi tersebut sedang pada laktasi ke-2,

lamanya sapi ini tidak menunjukkan gejala birahi adalah + 6 bulan.

Petugas melakukan palpasi perektal dan didapatkan adanya folikel pada

ovarium kanan, namun pada ovarium kiri beraspek pasir halus. Petugas

akhirnya memberikan injeksi Capriglandin® 0.5 mL intramuskular dengan

tujuan dapat menggertak terjadinya ovulasi sehingga sapi kembali birahi.

Pada kasus silent heat, proses ovulasi berjalan secara normal dan

bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada

birahi sama sekali. Silent heat sering dijumpai pada hewan betina yang

masih dara, hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan

normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari

dua kali dalam sehari. Sedangkan pada kejadian subestrus, proses

ovulasinya berjalan normal dan bersifat subur, tetapi gejala birahinya

berlangsung singkat/pendek (hanya 3-4 jam) (Nurhayati et al. 2008).

Pada kejadian silent heat dan sub estrus sebenarnya hormon LH

mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi,

tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen

oleh sel granulosa dari folikel de Graaf (Nurhayati et al. 2008). Hal inilah

yang menyebabkan tidak munculnya birahi. Penanganan kasus silent heat

dan subestrus dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen

pemeliharaan agar ternak mendapat cahaya yang cukup, peningkatan

Page 15: Repro Kpgs

kualitas pakan agar ternak mendapat nutrisi yang cukup sehingga

mekanisme hormonal dalam tubuh dapat berjalan dengan baik (Nurhayati

et al. 2008). Nurhayati et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pemberian

hormon progesteron akan memberikan feed back negatif terhadap

hipotalamus dengan menghasilkan hormon GnRH untuk merangsang

hipofise untuk menghasilkan LH/FSH yang menstimulasi gonad untuk

mesekresikan estradiol.

Jika dilihat dari kedua kasus yang ditemukan bahwa kedua sapi

masih memiliki ovarium yang aktif menghasilkan folikel. Namun saja, tidak

dapat menunjukkan gejala birahi yang disebabkan oleh aktifitas hormonal

yang rendah. Sapi-sapi tersebut mungkin saja menunjukkan birahi namun

sangat cepat kejadiannya ataupun tidak terlihat gejalanya sama sekali.

Faktor kualitas pakan yang masih rendah merupakan faktor utama yang

menyebabkan rendahnya nutrisi yang didapat sapi. Disamping itu masih

rendahnya pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi

yang baik juga turut andil menjadi faktor yang menyebabkan kejadian

subestrus/silent heat itu sendiri. Terapi yang diberikan sendiri memang

tidak sesuai dengan yang dianjurkan oleh Nurhayati et al. (2008), karena

petugas memberikan injeksi hormon prostalglandin 2α (PGF-2α).

Sejatinya PGF-2α bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan

corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan

hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin

menjadi hilang. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi pertumbuhan

dan pematangan folikel dalam ovarium. Akan tetapi, Toelihere (1995)

menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan menurunkan level

progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap pelepasan

hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH =

luteinizing hormone, sehingga diharapkan akan memicu ovulasi yang lebih

baik sehingga dapat merangsang hormon estrogen lebih baik pula yang

akan menyebabkan sapi menunjukkan gejala birahi.

Page 16: Repro Kpgs

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kegiatan pelayanan reproduksi sapi perah meliputi inseminasi

buatan, pemeriksaan kebuntingan, penanganan pre-partus dan post-

partus di KPGS Cikajang masing-masing berjumlah 27 kali, 12 kali, 1 kali

dan 3 kali. Kegiatan pelayanan kesehatan sapi perah di Wilayah KPGS

Cikajang secara umum sudah berjalan dengan baik serta dapat

meningkatkan wawasan dan pengetahuan melalui penanganan kasus-

kasus di lapangan. Adapun kasus gangguan reproduksi yang ditemukan

selama mengikuti kegiatan di lapangan yaitu 1 kasus retensio secundinae,

1 kasus abortus dan 2 kasus subestrus/silent heat.

Saran

Adapun saran yang dapat diberikan selama mengikuti kegiatan di

KPGS Cikajang adalah sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penerapan program pencatatan dan evaluasi terhadap

program inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan agar efisiensi

reproduksi tercapai.

2. Perlu diadakan standarisasi penanganan kasus penyakit di lapangan

yang dibuat oleh dokter hewan agar pengobatan yang dilakukan oleh

paramedis atau inseminator tepat dan sesuai dengan penyakit yang

diderita oleh sapi.

3. Perlu diadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada peternak tentang

manajemen pemeliharaan sapi perah yang baik dan erat kaitannya

terhadap kesehatan sapi.

Page 17: Repro Kpgs

DAFTAR PUSTAKA

Affandhy L, Dian R, dan Wulan CP. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian.

Aiello SE. 2005. The Merck Veterinary Manual. Pennsylvania (US): Merc & Co, Inc.

Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle. Ed ke-3. Great Britain (UK): Blackwell Publishing.

Dailey RA. 2012. Abortion in dairy cows and heifers [Internet]. [diunduh 2015 Juni 6]. Tersedia pada : http://www.wvu.edu.

Hafez B, Hafez E. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Philadelphia (US): Lippincott Williams and Wilkins.

Han YK, Kim IH. 2005. Risk factors for retained placenta and the effect of retained placenta on the occurrence of postpartum disease and subsequent reproductive performance in dairy cows. J. Vet. Sci 6(1): 53-59.

Jackson PGG. 2007. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Aris Junaidi, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari : Handbook of Veterinary Obstetrics, 2nd edition.

Manan DJ. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat DIKTI.

Manspeaker JE. 2002. Retained placentas [internet].[diunduh 2015 Juni 23]. Tersedia pada: http://www.wvu.edu/~Agexten/forglvst/Dairy/dirm21.pdf.

Nurhayati IS, Saptati RA, Martaindah E. 2008. Penanganan gangguan reproduksi guna mendukung pengembangan usaha sapi perah. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas-2020: 140-147.

Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung (ID): Penerbit Angkasa.

Toelihere MR. 1995. Fisiologi Reproduksi Ternak. Bandung (ID): Penerbit Angkasa

Page 18: Repro Kpgs

Golongan Nama Dagang Bahan Aktif Dosis Aplikasi

Antibiotik Intertrim LA Sulfadiazine 200 mg/ml Trimethroprim 40 mg/ml

1 ml/10-15 kgBB

IM

Cotrimazole Sulfametoksazol 800 mg/kaplet Trimethropime 160 mg/kaplet

2-4 kaplet/ekor

Intrauterine atau PO

Limoxin 25 Interflox

Oxytetracycline HCl 25 mg/ml Gentian Violet 5 mg/ml Ciprofloxacine100mg/ml

1ml/20-40 kg BB

Topikal IM

Antihistamin Vetadryl Dipenhydramine HCl 20 mg/ml 0,25-0,5 mg/kg BB

IM

Antispasmodik Papaverine Papaverine HCl 40 mg/ml IM

Analgesik, antipiretik, antispasmodik

Sulfidon Phenylject (Aman hewan bunting)

Dipyrone 250 mg/ml Lidocaine 2% Phenylbutazone 200 mg/ml

10-20 ml/200-400 kg/BB

IM/SC

Hormon Estrogen Capriglandin Inj.

Estrovet Dinoprost tromethamine 5,5 mg/ml Benzyl alcohol 12 mg/ml

5 ml/ekor 2 ml/ekor

IM, submukosa vulva

Vitamin dan mineral

Calcidex Plus Kalsium boroglukonat 500 mg/ml Magnesium chloride Hexahydrate 67 mg/ml Sodium hypophosphite Monohydrate 20,6 mg//ml Boric acid 100 mg/ml

100-200 ml atau 200-400 ml/kgBB

IV/SC

Introvit E selen Vitamin E Alpha tocopherolacetat 50 mg/ml

2 ml/10 kgBB

IM

Vitol 140 Vitamin A Retanol Palmitat 80000IU/ml Vitamin D3 Cholecalciferol 40000 IU/ml Vitamin E Alphatocoferolasetat 20 mg/ml

10 ml/ekor (dewasa) 5 ml/ekor (anak-anak)

IM

ADE VIT Inj

Vitamin A 50000 IU/ml Vitamin D3 10000 IU/ml Vitamin E 10000 IU/ml Vitamin B1 2,5 mg/ml Vitamin B6 1,5 mg/ml Vitamin K3 1,5 mg/ml Vitamin C 25 mg/ml

5 ml/lb IM

Neurobion 5000

Vitamin B1 HCl 100 mg/ampul Vitamin B6 HCl 100 mg/ml Vitamin B12 5000 mcg/ampul

IM/IV

B Sanplex (50 ml)

Vitamin B1 50 mg Vitamin B6 100 mg Vitamin B12 1000 mcg ATP 3 mg

10-20 ml/ekor

IM

Lampiran 1 Daftar Obat yang digunakan di KPGS Cikajang