refrat rehab medik

23
KONSEP MOTIVASI PASIEN : ANALISIS KUALITATIF PERILAKU PETUGAS AHLI REHABILITASI STROKE LATAR BELAKANG dan TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pemahaman petugas ahli rehabilitasi stroke mengenai konsep motivasi pasien dan bagaimana petugas ahli rehab tersebut mengaplikasikannya di dalam praktis klinik. METODE Penelitian kualitatif ini menggunakan metode wawancara mendalam semitruktural oleh para petugas ahli rehabilitasi stroke yang bekerja di rumah sakit pendidikan kota di Inggris. HASIL Motivasi terkadang dianggap sebagai suatu konsep dan digunakan dalam menentukan outcome rehabilitasi. Motivasi ditujukan ke konsep dasar cara bertindak pasien (sikap proaktif menunjukkan adanya suatu motivasi dan sikap pasif menandakan ketiadaan motivasi). Selain itu, juga ditujukan ke konsep kepatuhan pasien terhadap rehabilitasinya (kepatuhan menjadi indikasi adanya motivasi pasien, sedangkan ketidakpatuhan menunjukkan tidak adanya motivasi dalam

Upload: mulkirakhmawati

Post on 26-Oct-2015

73 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

RM

TRANSCRIPT

Page 1: refrat rehab medik

KONSEP MOTIVASI PASIEN : ANALISIS KUALITATIF

PERILAKU PETUGAS AHLI REHABILITASI STROKE

LATAR BELAKANG dan TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pemahaman petugas

ahli rehabilitasi stroke mengenai konsep motivasi pasien dan bagaimana petugas

ahli rehab tersebut mengaplikasikannya di dalam praktis klinik.

METODE

Penelitian kualitatif ini menggunakan metode wawancara mendalam

semitruktural oleh para petugas ahli rehabilitasi stroke yang bekerja di rumah sakit

pendidikan kota di Inggris.

HASIL

Motivasi terkadang dianggap sebagai suatu konsep dan digunakan dalam

menentukan outcome rehabilitasi. Motivasi ditujukan ke konsep dasar cara

bertindak pasien (sikap proaktif menunjukkan adanya suatu motivasi dan sikap

pasif menandakan ketiadaan motivasi). Selain itu, juga ditujukan ke konsep

kepatuhan pasien terhadap rehabilitasinya (kepatuhan menjadi indikasi adanya

motivasi pasien, sedangkan ketidakpatuhan menunjukkan tidak adanya motivasi

dalam diri pasien). Kriteria tersebut memiliki batasan yang tidak jelas. Faktor-

faktor penentu besarnya motivasi tidak hanya berasal dari segi kepribadian

seseorang, tetapi juga dari segi sosial. Pusat faktor penentu yang berasal dari segi

sosial ini terletak pada aspek perilaku para petugas ahli rehabilitasi itu sendiri

dalam memberikan dampak postif ataupun negatif terhadap motivasi seseorang.

Beberapa petugas ahli rehab ini akan menggunakan metode perawatan yang

berbeda antara kepada yang tidak termotivasi dengan yang termotivasi. Hal ini

terutama dilakukan saat merawat pasien yang sudah tua dan tidak termotivasi.

Motivasi dapat diartikan sebagai suatu tanda bahaya yang potensial.

KESIMPULAN

Page 2: refrat rehab medik

Para petugas ahli rehabilitasi tetap waspada terhadap konsep motivasi ini. Akan

tetapi, petugas ahli rehabilitasi ini tetap menggunakannya dalam praktek klinis

seperti biasanya. Batasan kriteria yang tidak jelas dalam mengidentifikasi

besarnya motivasi membuat pasien harus menjaga keseimbangan antara sikap

proaktif dan kepatuhan untuk terhindar dari cap tidak termotivasi. Cara

penggunaan konsep motivasi ini dalam praktek klinis mungkin memiliki implikasi

negatif dalam perawatan pasien, misalnya ketika pasien diam, namun termotivasi

bisa dianggap sebagai orang yang tidak termotivasi.

Literatur tentang rehabilitasi fisik jarang membahas mengenai motivasi pasien

dalam menjelaskan perbedaan outcome antar kelompok pasien dengan penyakit

yang memiliki patologi serupa. Beberapa penelitian telah membuktikan hipotesis

bahwa motivasi pasien dapat menentukan outcome rehabilitasi secara empiris.

Meskipun para petugas ahli rehabilitasi ini umumnya mengikuti hipotesis ini,

hanya 1 penelitian yang menganalisis konsep motivasi seperti yang digunakan

oleh petugas ahli rehabilitasi ini dalam praktek kliniknya. King dan Barrowclough

menemukan ketidakkonsistensian petugas ahli rehabilitasi dalam mengidentifikasi

perilaku sebagai termotivasi dan tidak termotivasi. Hal ini membuahkan sebuah

kesimpulan berupa penghapusan istilah “motivasi” dari kamus rehabilitasi fisik.

Akan tetapi, penelitian tersebut berfokus pada bagaimana petugas ahli rehabiltasi

menentukan motivasi dan tidak meneliti pandangan petugas ahli rehabilitasi

tersebut mengenai sifat alamiah dari motivasi itu sendiri. Penelitian tersebut

membuktikan konsep motivasi ini tertanam kuat dalam pola pikir para petugas

ahli rehabilitasi. Hal ini menimbulkan keraguan akan kesimpulan penelitian King

dan Barrowclough (kesimpulan berupa definisi motivasi yang biasa digunakan

hilang begitu saja). Oleh karena itu, bagaimana para petugas ahli rehabilitasi

memahami konsep motivasi dan penggunaan dalam praktis klinik masih relevan

digunakan sebagai topik penelitian ini.

Relevansi ini yang juga digunakan dalam penelitian ini memberikan pengertian

bahwa konseptualisasi motivasi tertentu dapat memiliki efek negatif terhadap

perawatan pasien. Hoffman dan Becker serta Kaufman mendapati bahwa ketika

Page 3: refrat rehab medik

motivasi dianggap sebagai kualitas kepribadian pasien dan penafsiran ini

diberikan kepada pasien, perasaan menyalahkan diri sendiri dapat timbul ketika

pemulihan orang tersebut tidak optimal. Perasaan tersebut akan berpengaruh

negatif terhadap kualitas kehidupan seseorang sebelum keluar dari rumah sakit.

Karena konsep motivasi sangat kurang dipahami, namun secara luas dianggap

mempengaruhi outcome dan beberapa konseptualisasi motivasi oleh petugas ahli

rehabilitasi telah diketahui mempengaruhi outcome, penelitian ini menganalisis

konsep motivasi yang digunakan oleh sekelompok petugas ahli rehabilitasi stroke.

METODE

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam semistruktural oleh

petugas ahli yang bekerja di unit stroke rumah sakit pendidikan kota di United

Kingdom.

Sampel

Dalam penelitian ini 32 petugas ahli rehabilitasi diwawancarai. Orang-orang

tersebut selanjutnya disebut sebagai tim multidisiplin (TMD). Dalam penelitian

ini partisipasi sunjek penelitian bersifat sukarela dan semuanya akan dirahasiakan.

Karena petugas-petugas yang merawat pasien berganti-ganti dengan begitu

cepat, semua yang merawat dan terdaftar dalam daftar rotase selama 3 bulan

(termasuk perawat jaga malam, perawat tambahan, dan perawat bidang agensi)

diikutkan di dalam wawancarai. Hanya 1 responden (anggota dari tim penelitian

yang tidak menyampaikan apapun informasi tentang penelitian tersebut ke

responden lain) mengetahui fokus penelitian mengarah ke konsep motivasi pasien.

Responden lainnya diberitahukan bahwa penelitian ini bertujuan mencari tahu

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi outcome rehabilitasi setelah kejadian

stroke.

Page 4: refrat rehab medik

Teknik Wawancara

Format wawancara yang membiarkan responden mengontrol jalannya

percakapan dengan tingkat tinggi akan menimbulkan tanggapan yang tidak sesuai.

Respon-respon ini dianggap lebih representatif dan valid menggambarkan

pandangan petugas alih rehabilitasi tentang motivasi daripada yang diperoleh dari

pendekatan yang lebih terstruktur. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan

konsep wawancara semiterstruktur. Walaupun masing-masing pewawancara

berpedoman pada topik-topik mendasar (tabel 1), topik-topik baru yang

ditanyakan pewawancara secara spontan digunakan sebagai bahan diskusi juga.

Kegiatan wawancara ini dilakukan di ruang pribadi sesuai dengan jumlah

anggota tim penelitian. Anggota tim penelitian kedua membaca transkrip

wawancara yang sudah dibuat secara acak untuk memastikan tidak adanya

perbedaan hal-hal yang akan ditanyakan ke responden penelitian.

Tabel 1 : panduan topik wawancara

Faktor yang mempengaruhi outcome setelah kejadian stroke

Batasan kebiasaan pasien selama rehabilitasi

Bentuk kegiatan yang sesuai dan tidak sesuai dengan rehabilitasi

Penyebab melakukan kebiasaan sesuai dan tidak sesuai dengan rehabilitasi

Teknik mengubah kebiasaan yang tidak sesuai tersebut

Analisis

Kegiatan wawancara ini direkam dan ditanskrip kemudian isinya dianalisa.

Awalnya wawancara yang dilakukan mengikuti transkrip wawancara secara

cermat yang bebas dikembangkan kemudian disamarkan ke dalam suatu kode-

kode tertentu. Kode-kode dari setiap pewawancara akan dibandingkan dengan

pewawancara lainnya sehingga didapatkan kategori yang lebih umum dan

bermakna. Kode-kode ini saling berhubungan antar pewawancara. Hal inilah yang

dimaksud kategori yang berhubungan. Metode yang digunakan untuk

merumuskan beberapa kategori dikenal sebagai perbandingan konstan. Sebagai

contoh dari proses ini ditunjukkan dalam gambar. Respon yang berbeda terhadap

Page 5: refrat rehab medik

kategori yang berhubungan tidak selalu membuat kategori tersebut gugur. Hal ini

akan memperlihatkan topik-topik yang menarik di antara pewanwancara. Ketika

terdapat perbedaan jawaban wawancara, jawaban ini akan dicatat dan diperiksa.

HASIL

Sampel

Semua 32 petugas ahli rehabilitasi unit stroke setuju untuk diwawancarai.

Karakteristik sampel telah dideskripsikan pada tabel 2

Menentukan Termotivasi dan Kurang Termotivasi

Wakaupun pewawancara tidak pernah menyebutkan topiknya adalah tentang

motivasi, seluruh 32 petugas ahli rehabilitasi secara spontan menyebutkan

jawaban mengenai motivasi. Jawaban seperti itu terutama disampaikan ketika

menyebutkan hal-hal yang menentukan outcome rehabilitasi. Lima petugas ahli

rehabilitasi berpikiran bahwa perkiraan outcome rehabilitasi yang didasarkan pada

penilaian motivasional harus dihindari. Banyak petugas ahli rehabilitasi

menekankan adanya perbedaan antara motivasi rendah dan depresi. Deksirpsi

motivasi berpusat pada 2 kualitas pasien: perilaku pasien dan kepatuhan (atau

sejenisnya) terhadap program rehabilitasi

Motivasi tampak dari perilaku pasien

Hampir tiga perempat anggota TMD (22 dari 32 TMD) menghubungkan

motivasi dengan perilaku proaktif dan berani. Perilaku ini melibatkan suatu

bentuk-bentuk kebiasaan yang tepat seperti: menanyakan pertanyaan yang relevan

(misalkan alasan melakukan latihan khusus) daripada berfokus pada trivia di

seputarnya, meminta tambahan rehabilitasi, menunjukkan pemahaman tentang

rehabilitasinya, memulai melakukan latihan terapetik, dan melakukan latihan

terapetik ketika sendirian. Deskripsi kebiasaan adalah sebagai berikut “..mereka

(pasien yang termotivasi) berinisiatif melakukan pendekatan rehabilitasi yang

lebih agresif .. mungkin mengajukan pertanyaan … hanyalah sebuah ketertarikan

pada situasi mereka dan keadaannya; serta apa yang dapat mereka lakukan untuk

menolong diri mereka sendiri” (wawancara 12: fisioterapi). Setengah dari petugas

Page 6: refrat rehab medik

ahli rehabilitasi (16 dari 32) menggambarkan pasien yang tidak termotivasi

sebagai orang yang memiliki perilaku berkebalikan dari biasanya dan ditandai

oleh kepasifan, pesimis, tidak mau berinteraksi dengan petugas terapi, dan sedikit

merasa tertarik untuk melakukan rehabilitasi

Motivasi ditunjukan sebagai pola kepatuhan terhadap rehabilitasi

Hampir setengah dari petugas ahli rehabilitasi (14 dari 32) menggambarkan

pasien yang termotivasi sebagai orang yang taat dan patuh terhadap

rehabilitasinya. “Mereka melakukan segala sesuatu yang anda minta pada

mereka untuk dikerjakan tanpa banyak mengeluh.” (wawancara 9: fisioterapis).

Penolakan terhadap rehabilitasi dilihat sebagai indikasi rendahnya motivasi.

Respon yang Berbeda-Beda

Seorang terapis okupasi mengatakan bahwa kepatuhan saja tidak cukup untuk

menganggap pasien termotivasi. Terapis tersebut membedakan antara pasien yang

melakukan sesuatu “hanya untuk menyenangkan terapisnya” dengan orang yang

berada di dalam keadaan yang disebut “termotivasi dari dalam”. Pasien-pasien ini

menunjukkan kepatuhan mereka sebagai keinginan untuk mengembalikan diri

mereka ke keadaan normal atau mendekati normal.

Beberapa anggota TMD merasa bahwa motivasi, perilaku pasien, dan pola

kepatuhan tidak berhubungan secara linear. Contoh: beberapa petugas ahli

rehabilitasi (8 dari 32) menceritakan bagaimana pasien yang termotivasi dalam

tahap tertentu gagal menyelesaikan latihan rehabilitasi; pasien ini menolak

prosedur standar dalam melakukan latihan rehabilitasi dan mengambil resiko saat

melakukan terapi. Sama halnya, beberapa petugas ahli rehabilitasi menjelaskan

bagaimana beberapa pasien yang tidak termotivasi sebenarnya memiliki

keberanian, proaktif, dan biasanya penuh dengan motivasi: “mereka tidak mau

pergi ke fisioterapis … kenapa mereka harus melakukannya bila mereka tidak

mau? Kadang-kadang mereka menolak tanpa pikir panjang, ‘tidak, aku tidak mau

pergi’ ” (wawancara 26: perawat)

Bagi beberapa petugas ahli rehabilitasi batasan antara kebiasaan yang

mengindikasikan termotivasi dengan yang kurang termotivasi tidak jelas.

Beberapa petugas ahli rehabilitasi lainnya berpikir bahwa adanya suatu bentuk

Page 7: refrat rehab medik

motivasi yang tidak terpikirkan oleh petugas ahli rehabilitasi. Implikasi yang

mungkin terjadi sehubungan dengan pemikiran ini terhadap perwatan pasien akan

dibicarakan kemudian.

Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Timbulnya Motivasi

Motivasi disebabkan oleh Faktor Kepribadian

Sekitar setengah dari petugas ahli rehabilitasi (14 dari 32 petugas) berpendapat

bahwa motivasi sebagian ditentukan dari kepribadian pasien itu sendiri. “saya

berpikir kepribadian pasien memiliki andil besar dalam memotivasi … pasien

dapat memilih dan memiliki kecenderungan untuk menjadi optimis ataupun

pesimis” (wawancara 3: fisioterapi). Lima petugas ahli rehabilitasi menjelaskan

bagaimana hal ini dapat secara efektif meletakkan outcome rehabilitasi di tangan

pasien. “Anda hanya bisa mengatakan .. Jika Anda berusaha, pasien akan

kembali lagi... itu semua terserah Anda” (wawancara 31: perawat).

Penggambaran tingkat motivasi individu itu dapat tercermin dari bahasa yang

diucapkan oleh para petugas ahli rehabilitasi yang biasanya digunakan untuk

menilai karakter pasien. Pasien yang memiliki motivasi tinggi dapat terlihat

“fantastik”, sedangkan yang tidak termotivasi sebagai “pemalas”

Motivasi dipengaruhi oleh Faktor Klinis

Hampir semua responden merasa bahwa factor-faktor klinis tertentu (seperti

umur, tingkat keparahan penyakit stroke, fungsi kognitif, depresi) dapat

mempengaruhi motivasi pasien. Paling dibicarakan dari kesemuanya itu adalah

faktor usia. Hampir semua petugas ahli rehabilitasi meyakini bahwa semakin

bertambahnya usia, semakin rendah tingkat motivasinya. “saya berpikir usia

memiliki kaitan erat mengenai hal itu. Semakin muda usia seseorang, semakin

besar keinginannya untuk meninggalkan rumah sakit dan kembali hidup bebas,

senormal yang mungkin bisa. Akan tetapi, saya berpikir orang tua akan lebih

cenderung untuk menarik diri” (wawancara 28: perawat).

Motivasi dipengaruhi oleh Faktor Keluarga

Meskipun dukungan keluarga dipandang mempengaruhi pembentukan motivasi

yang positif, perawat dapat mendeskripsikan bagaimana keluarga pun dapat

Page 8: refrat rehab medik

mengurangi motivasi dengan cara mendorong pasien terlalu keras untuk mencapai

tujuan kesembuhan. Keluarga yang terlalu overproteksi juga dapat mengurangi

motivasi pasien untuk sembuh.

Motivasi dipengaruhi oleh Faktor Budaya

Hampir tiga perempat dari anggota TMD (22 dari 32 orang) menjabarkan

bagaimana norma-norma budaya pasien dapat mempengaruhi motivasi. Dari

antara norma-norma kultural ini, norma yang menyatakan ketergantungan selama

periode kecacatan cukup mempengaruhi, misalkan: norma agama yang salah

(kecacatan adalah sebuah kondisi yang harus diterima daripada merupakan

ovecome dari sesuatu).

Motivasi dipengaruhi oleh Lingkungan Rehabilitasi

11 petugas ahli rehabilitasi menyatakan bahwa suatu stimulasi dari lingkungan

rumah sakit (seperti adanya makanan tradisional, ruangan yang tertata dengan

baik, dan adanya sesi diskusi kelompok pengobatan di mana pasien dapat saling

berbagi keyakinan seputar rehabilisasi dan mengamati perkembangan masing-

masing) dapat menjadi sebuah motivasi positif bagi pasien. Secara signifikan,

semua petugas ahli rehabilitasi ini juga berpikir bahwa unit stroke mereka telah

menyediakan stimulasi seperti itu. Umumnya, lingkugan dideskripsikan sebagai

sesuatu yang mematahkan semangat dan pasien hanya diberi sedikit dorongan

untuk berbaur satu sama lain dan tergabung dalam satu lembaga: “beberapa orang

yang tergabung dalam suatu lembaga yang baik, tidak mau meninggalkan

lingkungan yang aman tersebut” (wawancara 8: fisioterapis)

Peralatan terapi murni dapat dirasakan menjadi “bias” terhadap suatu

kelompok kebudayaan tertentu sedemikian mungkin sehingga berefek negatif

pada motivasi. Seorang terapis bicara dan bahasa mendeskripsikan bagaimana alat

terapinya diorientasikan oleh pasien dari budaya Barat: ”peralatan yang kami

gunakan sangat cocok bagi orang Inggris, dapat menjadi tidak cocok bila

digunakan pada orang Amerika dan menjadi tidak sesuai bila digunakan kepada

orang-orang dari latar belakang etnis lainnya.” (wawancara 24; terapis bicara

dan bahasa).

Page 9: refrat rehab medik

Motivasi dipengaruhi kepribadian petugas ahli rehabilitasi

Seperempat dari petugas ahli rehabilitasi (8 dari 32) menggambarkan

bagaimana aspek perilaku mereka, misalnya “labeling pasien” dapat mengurangi

motivasi pasien: “labeling pasien adalah sesuatu yang saya perhatikan secara

khusus…ini bukan hanya soal pelabelan pasien antara yang termotivasi atau tidak

termotivasi; pasien yang berhasil atau tidak berhasil; atau kemungkinan

mendapatkan menjadi lebih baik atau tidak. Sekecil apapun jenis pelabelannya

yang Anda berikan kepada orang-orang... itulah kemudian yang akan terjadi pada

pasien seperti sebuah ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya” (wawancara 14,

dokter).

Dua petugas ahli rehabilitasi menyatakan bahwa harapan yang rendah terhadap

bagaimana pasien menjalani proses rehabilitasi dapat memberikan efek negatif

pada motivasi pasien. Tiga petugas ahli rehabilitasi merasa bersalah karena tidak

bisa memotivasi pasiennya. Seorang petugas ahli rehabilitasi merasakan

bagaimana rasa kegagalan dalam hal profesionalisme terhadap pasien yang tidak

dapat mencapai pencapaiannya sehingga motivasi pasien berkurang.

Tiga orang petugas ahli rehabilitasi memaparkan sifat keras kepada pasien

dapat mengurangi motivasi, sekalipun dokter menyarankan peran penentu

tindakan rehabilitasi pasien dalam mengajak pasein ikut serta dalam rehabilitasi

merupakan suatu hal yang sangat penting dalam memelihara moral TMD.

Seorang petugas ahli rehabilitasi menyebutkan bagaimana penyampaian

penjelasan yang membingungkan kepada pasien tentang peran mereka dalam

rehabilitasi dapat memberikan efek negatif terhadap motivasi mereka (sebagai

contohnya: tim fisioterapi mendorong supaya pasien mandiri dalam melakukan

tugasnya, tetapi perawat mendorong pasien untuk hidup bergantung dengan cara

perawat membantu melakukan banyak hal bagi pasien tersebut.

Mengubah Motivasi Pasien

Dengan tetap meyakani bahwa kebiasaan mereka dapat mempengaruhi

motivasi, hampir semua petugas ahli rehabilitasi sepakat bahwa mereka dapat

meningkatkan motivasi pasien. Teknik yang paling umum disampaikan adalah

Page 10: refrat rehab medik

sambung rasa dengan pasien dan berbincang tentang kehidupan mereka.

Walaupun tiga perempat petugas ahli rehabilitasi (24 dari 32) menyatakan adanya

efek memotivasi, sebuah perbincangan yang baik dapat dijabarkan menjadi 3 hal

yang lebih spesifik dalam meningkatkan motivasi: menyusun tujuan rehabilitasi

yang dirasa relevan bagi pasien, menyediakan informasi tentang rehabilitasi, serta

menggunakan norma budaya pasien.

Menyusun tujuan rehabilitasi yang relevan

Berbincang dengan pasien untuk mengetahui kehidupan dan hobi pasien

sebelum terserang stroke akan membuat para petugas ahli rehabilitasi lebih

mudah menyusun tujuan rehabilitasi yang dirasa relevan bagi pasien. Lebih dari

setengah petugas ahli rehabilitasi (18 dari 32) berpendapat bahwa menyusun

tujuan yang relevan memiliki efek yang positif terhadap motivasi. Beberapa

petugas ahli rehabilitasi menambahkan bahwa tujuan-tujuan ini sebaiknya

sederhana dan mudah dicapai untuk menunjukkan kepada pasien bahwa mereka

telah mengalami kemajuan. “... terdapat tujuan yang masuk akal, mudah dicapai,

dan anda dapat membuat sesuatu yang berarti bagi pasien.” (wawancara 21;

perawat).

Menyediakan informasi tentang rehabilitasi

Kira-kira setengah dari anggota MDT (18 dari 32) menyarankan sebuah

strategi yang memiliki efek positif terhadap motivasi, yaitu menciptakan sambung

rasa dengan pasien guna memudahkan transmisi informasi tentang rehabilitasi.

Informasi ini berfokus terhadap pemulihan alamiah (meyakinkan pasien bahwa

mereka membaik dan berhenti membandingkan mereka dengan pasien lain),

bagaimana pasien dapat berharap untuk berjalan jika tidak ada kemajuan

rehabilitasi yang mereka buat, mengapa latihan tertentu harus dilakukan, dan

mengapa latihan-latihan ini harus dilakukan dengan cara yang spesifik.

Informasi tidak hanya digunakan untuk meningkatkan motivasi; 5 petugas ahli

rehabilitasi melaporkan bahwa aspek problematik berupa motivasi yang tinggi

(misalnya kebiasaan mengambil risiko) dapat diimbangi dengan menyediakan

informasi tentang konsekuensi negatif dari kebiasaan tertentu.

Menggunakan norma budaya pasien.

Page 11: refrat rehab medik

Terjadinya komunikasi yang mudah juga dapat tercapai dengan memasukkan

norma budaya pasien dalam perbincangan. Seorang petugas ahli rehabilitasi

melaporkan bahwa menggunakan norma-norma ini bisa meningkatkan motivasi

pasien. Dia menceritakan bagaimana menemukan bahwa pasien yang tidak

termotivasi percaya bahwa ketidakmampuannya adalah kehendak Tuhan untuk

mengikuti rehabilitasi. “... mengatakan kepada seseorang dengan lembut bahwa

dia selamat dari kejadian itu merupakan kehendak Tuhan dan sekarang ini dia

berada di unit rehabilitasi adalah kehendak Tuhan. Selain itu, memberitahu dia

bahwa oleh sebab itu, dia harus mengambil kesempatan mengikuti unit

rehabilitasi yang ada dan hal itu benar untuk dilakukannya.” (wawancara 11;

terapis okupasional)

Petugas ahli rehabilitasi yang lain melaporkan bahwa menggunakan norma

mengenai gender untuk memotivasi perempuan supaya “mencerahkan dirinya

sendiri”. Dia merasa bahwa beberapa “percakapan gaya perempuan” dapat

memiliki efek positif terhadap motivasi.

Siapa yang Mendapat Dukungan?

Beberapa petugas ahli rehabilitasi percaya bahwa semua pasien yang tidak

termotivasi layak atas dukungan serupa. Akan tetapi, beberapa petugas ahli

rehabilitasi (10 dari 32 petugas) merasa bahwa pasien yang lebih tua kurang

memiliki respon yang baik terhadap dukungan. Alasan yang paling umum untuk

hal ini adalah bahwa pasien yang lebih tua memiliki sedikit kesempatan untuk

hidup. “... pada akhirnya jika seseorang yang berusia 75 tahun menolak terapi,

saya mungkin lebih condong untuk tidak akan mendorongnya lagi. Saya akan

berjuang lebih keras untuk membuat seorang yang berusia 50 tahun karena yang

saya ketahui tentang hidup adalah anda memiliki lebih banyak waktu jika anda

berusia 50 tahun. Jika anda berusia 75 tahun, anda tidak memiliki waktu

sepanjang itu dan akan berbeda penampilannya.” (wawancara 16; terapis wicara

dan bahasa).

Sembilan petugas ahli rehabilitasi melaporkan kecenderungan untuk

berinteraksi dengan pasien yang termotivasi dan satu fisioterapis merasa kurang

Page 12: refrat rehab medik

cenderung untuk berinteraksi dengan pasien-pasien yang tidak termotivasi. “Jika

anda mengetahui anda juga harus pergi dan memotivasi mereka... hal tersebut

sangat sulit. Anda harus mencoba lagi di pagi hari berikutnya... anda dapat

mencobanya hal tersebut kepada pasien hampir sebanyak ke diri sendiri.”

(wawancara 6 : fisioterapi).

DISKUSI

Nilai dari metode kualitatif penelitian di bidang kesehatan telah lama diketahui.

Penggunaan metode wawancara semistruktral merupakan cara efisien untuk

menyelidiki suatu topik yang sedang diteliti. Selain itu, membantu para responden

menyampaikan opininya secara akurat menurut bahasa dan maksudnya. Temuan

yang beragam dan mendalam lebih merupakan fondasi penelitian kualitatif

daripada sesuatu hasil yang dapat digeneralisiasikan. Hasil penelitian ini hanya

merupakan kesimpulan dari penelitian di unit stroke sebuah negara. Anggota-

anggota unit stroke tersebut memiliki keyakinan budaya tertentu, termasuk

mengenai perawatan kesehatan dan kecacatan alamiah. Penelitian lebih lanjut

dibutuhkan untuk memecahkan kebingungan apakah hasil temuan ini bisa

digeneralisasikan ke unit stroke lainnya atau populasi selain pasien stroke.

Unit stroke yang dijadikan tempat penelitian memiliki pergantian staff yang

begitu cepat. Banyak responden penelitian, terutama perawat, dokter junior, dan

fisioterapis junior yang bekerja di unit stroke ini cepat berganti sebelum sempat

diwawancarai. Hal tersebut membuat hasil penelitian ini hanyalah memberikan

pengertian yang berakar khusus di suatu unit stroke tertentu. Namun demikian,

penelitian ini juga tidak menjamin bahwa unit stroke ini kurang dalam etos

istimewa.

Literatur rehabilitasi klinis lebih condong menkonseptualisasi motivasi sebagai

suatu bagian kepribadian. Model motivasi ini tercentus oleh beberapa petugas ahli

rehabilitas yang menjadi subjek penelitian. Akan tetapi, penelitian ini

mendeskripsikan efek negatif pada perawatan pasien. Banyak anggota TMD tetap

merasa nyaman dalam mengelompokan pasien ke dalam kelompok termotivasi

dan tidak. Kegiatan observasional yang dilakukan TMD dalam pertemuan tim

Page 13: refrat rehab medik

sebagai bagian penelitian lainnya menunjukkan bahwa pelabelan pasien seperti ini

telah dipakai di dalam praktis klinis. Kualitas kondisi tidak termotivasi telah

dinyatakan sebagai “pemalas”, terutama pada pasien tua untuk tidak memberikan

dukungan kepada mereka. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa kurangnya

dukungan dan penyemangat dari petugas ahli rehabilitasi akan membuat pasien

stroke tidak termotivasi menjalani rehabilitasi.

Banyak petugas ahli rehabilitasi sadar dan waspada akan adanya efek negatif

dari pelabelan “termotivasi” dan “tidak termotivasi”. Adanya laporan bahwa

petugas ahli rehabilitasi yang secara terus-menerus melakukan pelabelan

motivasional memiliki efek negatif. Akan tetapi, hal tersebut tetap digunakan

dalam praktek klinis sehingga akan terlihat perbedaan pada narasi publik oleh

petugas ahli rehabilitasi ketika diwawancarai peneliti dan narasi privasi yang

digunakan dalam praktik klinis. Penelitian obeservasional lebih dalam (mungkin

etnografi) mungkin dapat memperjelas seputar narasi privat.

Kriteria yang digunakan petugas ahli rehabilitasi dalam melihat motivasi

seseorang terbukti tidak memiliki batasan yang jelas. Pasien yang “termotivasi”

seharusnya terlihat proaktif, tetapi sikap seperti itu tidak selalu harus terlihat

sebagai penolakan terapi sepenuh hati. Dengan kata lain, pasien yang termotivasi

seharusnya patuh, tetapi kepatuhan ini tidak mesti merupakan kepatuhan total

yang berhubungan dengan motivasi “intrinsik”. Sebagai efeknya pasien tetap

berlaku semestinya sesuai bagaimana kebiasaan mereka saat dikaji; keseimbangan

yang wajar harus berada di antara kepatuhan dan proaktif jika pasien ingin tidak

dilabel sebagai tidak termotivasi sehingga menerima lebel yang secara potensial

merusak. Penelitian terkini mendapati kekurangan informasi mengenai rehabilitasi

dan penjelasan yang membingungkan berdasarkan apakah seharusnya bersikap

pasif atau proaktif saat dirawat di unit stroke bisa mengurangi motivasi pasien

stroke menjalani rehabilitasi.

Perawat juga berada di tempat yang sama; dukungan sosial yang bagus penting

untuk menjaga motivasi pasien. Akan tetapi, bantuan yang diberikan tidak

menjadi overprotektif. Sebuah penelitian telah membuktikan bahwa overprotektif

yang dilakukan perawat atau petugas ahli rehabilitasi stroke dapat membuat

Page 14: refrat rehab medik

motivasi pasien mengikuti rehabilitasi berkurang. Perawat juga memberikan

semangat ke pasien tanpa mendorongnya berlebih.

Hal lainnya telah membutkikan bahwa terlalu terpaku pada kriteria ahli dalam

menentukan motivasi seseorang bisa membuat kesalahan dalam pengelompokan

pasien tertentu. Pasien pendiam, pasif, dan tidak interaktik dapat tetap ingin

berpartisipasi pada rehabilitasi. Kepercayaan diri (atau mungkin lebih ke arah

kata-kata) untuk menyatakan pemahaman mengenai proses rehabilitasi mungkin

bergantung pada faktor kelas sosial dan tingkat edukasinya. Beberapa pasien dapat

termotivasi untuk pulih, namun tidak melihat bahwa rehabilitasi fisik adalah cara

yang paling tepat.

Sebagai kesimpulan, walaupun mungkin tidak ada alasan dokter mengikuti

kesimpulan King dan Barrowclough untuk tidak lagi menggunakan konsep

motivasi yang ada, kepekaan terhadap keyakinan pasien yang lebih besar dan di

dalam konteks di mana keyakinan tersebut terbentuk dapat mencegah pasien

merasa berada di kaum marginalis selama penentuan konsep motivasi tidak akurat

dan mungkin menyakitkan.