refrat rehab medik
DESCRIPTION
RMTRANSCRIPT
KONSEP MOTIVASI PASIEN : ANALISIS KUALITATIF
PERILAKU PETUGAS AHLI REHABILITASI STROKE
LATAR BELAKANG dan TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pemahaman petugas
ahli rehabilitasi stroke mengenai konsep motivasi pasien dan bagaimana petugas
ahli rehab tersebut mengaplikasikannya di dalam praktis klinik.
METODE
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode wawancara mendalam
semitruktural oleh para petugas ahli rehabilitasi stroke yang bekerja di rumah sakit
pendidikan kota di Inggris.
HASIL
Motivasi terkadang dianggap sebagai suatu konsep dan digunakan dalam
menentukan outcome rehabilitasi. Motivasi ditujukan ke konsep dasar cara
bertindak pasien (sikap proaktif menunjukkan adanya suatu motivasi dan sikap
pasif menandakan ketiadaan motivasi). Selain itu, juga ditujukan ke konsep
kepatuhan pasien terhadap rehabilitasinya (kepatuhan menjadi indikasi adanya
motivasi pasien, sedangkan ketidakpatuhan menunjukkan tidak adanya motivasi
dalam diri pasien). Kriteria tersebut memiliki batasan yang tidak jelas. Faktor-
faktor penentu besarnya motivasi tidak hanya berasal dari segi kepribadian
seseorang, tetapi juga dari segi sosial. Pusat faktor penentu yang berasal dari segi
sosial ini terletak pada aspek perilaku para petugas ahli rehabilitasi itu sendiri
dalam memberikan dampak postif ataupun negatif terhadap motivasi seseorang.
Beberapa petugas ahli rehab ini akan menggunakan metode perawatan yang
berbeda antara kepada yang tidak termotivasi dengan yang termotivasi. Hal ini
terutama dilakukan saat merawat pasien yang sudah tua dan tidak termotivasi.
Motivasi dapat diartikan sebagai suatu tanda bahaya yang potensial.
KESIMPULAN
Para petugas ahli rehabilitasi tetap waspada terhadap konsep motivasi ini. Akan
tetapi, petugas ahli rehabilitasi ini tetap menggunakannya dalam praktek klinis
seperti biasanya. Batasan kriteria yang tidak jelas dalam mengidentifikasi
besarnya motivasi membuat pasien harus menjaga keseimbangan antara sikap
proaktif dan kepatuhan untuk terhindar dari cap tidak termotivasi. Cara
penggunaan konsep motivasi ini dalam praktek klinis mungkin memiliki implikasi
negatif dalam perawatan pasien, misalnya ketika pasien diam, namun termotivasi
bisa dianggap sebagai orang yang tidak termotivasi.
Literatur tentang rehabilitasi fisik jarang membahas mengenai motivasi pasien
dalam menjelaskan perbedaan outcome antar kelompok pasien dengan penyakit
yang memiliki patologi serupa. Beberapa penelitian telah membuktikan hipotesis
bahwa motivasi pasien dapat menentukan outcome rehabilitasi secara empiris.
Meskipun para petugas ahli rehabilitasi ini umumnya mengikuti hipotesis ini,
hanya 1 penelitian yang menganalisis konsep motivasi seperti yang digunakan
oleh petugas ahli rehabilitasi ini dalam praktek kliniknya. King dan Barrowclough
menemukan ketidakkonsistensian petugas ahli rehabilitasi dalam mengidentifikasi
perilaku sebagai termotivasi dan tidak termotivasi. Hal ini membuahkan sebuah
kesimpulan berupa penghapusan istilah “motivasi” dari kamus rehabilitasi fisik.
Akan tetapi, penelitian tersebut berfokus pada bagaimana petugas ahli rehabiltasi
menentukan motivasi dan tidak meneliti pandangan petugas ahli rehabilitasi
tersebut mengenai sifat alamiah dari motivasi itu sendiri. Penelitian tersebut
membuktikan konsep motivasi ini tertanam kuat dalam pola pikir para petugas
ahli rehabilitasi. Hal ini menimbulkan keraguan akan kesimpulan penelitian King
dan Barrowclough (kesimpulan berupa definisi motivasi yang biasa digunakan
hilang begitu saja). Oleh karena itu, bagaimana para petugas ahli rehabilitasi
memahami konsep motivasi dan penggunaan dalam praktis klinik masih relevan
digunakan sebagai topik penelitian ini.
Relevansi ini yang juga digunakan dalam penelitian ini memberikan pengertian
bahwa konseptualisasi motivasi tertentu dapat memiliki efek negatif terhadap
perawatan pasien. Hoffman dan Becker serta Kaufman mendapati bahwa ketika
motivasi dianggap sebagai kualitas kepribadian pasien dan penafsiran ini
diberikan kepada pasien, perasaan menyalahkan diri sendiri dapat timbul ketika
pemulihan orang tersebut tidak optimal. Perasaan tersebut akan berpengaruh
negatif terhadap kualitas kehidupan seseorang sebelum keluar dari rumah sakit.
Karena konsep motivasi sangat kurang dipahami, namun secara luas dianggap
mempengaruhi outcome dan beberapa konseptualisasi motivasi oleh petugas ahli
rehabilitasi telah diketahui mempengaruhi outcome, penelitian ini menganalisis
konsep motivasi yang digunakan oleh sekelompok petugas ahli rehabilitasi stroke.
METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam semistruktural oleh
petugas ahli yang bekerja di unit stroke rumah sakit pendidikan kota di United
Kingdom.
Sampel
Dalam penelitian ini 32 petugas ahli rehabilitasi diwawancarai. Orang-orang
tersebut selanjutnya disebut sebagai tim multidisiplin (TMD). Dalam penelitian
ini partisipasi sunjek penelitian bersifat sukarela dan semuanya akan dirahasiakan.
Karena petugas-petugas yang merawat pasien berganti-ganti dengan begitu
cepat, semua yang merawat dan terdaftar dalam daftar rotase selama 3 bulan
(termasuk perawat jaga malam, perawat tambahan, dan perawat bidang agensi)
diikutkan di dalam wawancarai. Hanya 1 responden (anggota dari tim penelitian
yang tidak menyampaikan apapun informasi tentang penelitian tersebut ke
responden lain) mengetahui fokus penelitian mengarah ke konsep motivasi pasien.
Responden lainnya diberitahukan bahwa penelitian ini bertujuan mencari tahu
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi outcome rehabilitasi setelah kejadian
stroke.
Teknik Wawancara
Format wawancara yang membiarkan responden mengontrol jalannya
percakapan dengan tingkat tinggi akan menimbulkan tanggapan yang tidak sesuai.
Respon-respon ini dianggap lebih representatif dan valid menggambarkan
pandangan petugas alih rehabilitasi tentang motivasi daripada yang diperoleh dari
pendekatan yang lebih terstruktur. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan
konsep wawancara semiterstruktur. Walaupun masing-masing pewawancara
berpedoman pada topik-topik mendasar (tabel 1), topik-topik baru yang
ditanyakan pewawancara secara spontan digunakan sebagai bahan diskusi juga.
Kegiatan wawancara ini dilakukan di ruang pribadi sesuai dengan jumlah
anggota tim penelitian. Anggota tim penelitian kedua membaca transkrip
wawancara yang sudah dibuat secara acak untuk memastikan tidak adanya
perbedaan hal-hal yang akan ditanyakan ke responden penelitian.
Tabel 1 : panduan topik wawancara
Faktor yang mempengaruhi outcome setelah kejadian stroke
Batasan kebiasaan pasien selama rehabilitasi
Bentuk kegiatan yang sesuai dan tidak sesuai dengan rehabilitasi
Penyebab melakukan kebiasaan sesuai dan tidak sesuai dengan rehabilitasi
Teknik mengubah kebiasaan yang tidak sesuai tersebut
Analisis
Kegiatan wawancara ini direkam dan ditanskrip kemudian isinya dianalisa.
Awalnya wawancara yang dilakukan mengikuti transkrip wawancara secara
cermat yang bebas dikembangkan kemudian disamarkan ke dalam suatu kode-
kode tertentu. Kode-kode dari setiap pewawancara akan dibandingkan dengan
pewawancara lainnya sehingga didapatkan kategori yang lebih umum dan
bermakna. Kode-kode ini saling berhubungan antar pewawancara. Hal inilah yang
dimaksud kategori yang berhubungan. Metode yang digunakan untuk
merumuskan beberapa kategori dikenal sebagai perbandingan konstan. Sebagai
contoh dari proses ini ditunjukkan dalam gambar. Respon yang berbeda terhadap
kategori yang berhubungan tidak selalu membuat kategori tersebut gugur. Hal ini
akan memperlihatkan topik-topik yang menarik di antara pewanwancara. Ketika
terdapat perbedaan jawaban wawancara, jawaban ini akan dicatat dan diperiksa.
HASIL
Sampel
Semua 32 petugas ahli rehabilitasi unit stroke setuju untuk diwawancarai.
Karakteristik sampel telah dideskripsikan pada tabel 2
Menentukan Termotivasi dan Kurang Termotivasi
Wakaupun pewawancara tidak pernah menyebutkan topiknya adalah tentang
motivasi, seluruh 32 petugas ahli rehabilitasi secara spontan menyebutkan
jawaban mengenai motivasi. Jawaban seperti itu terutama disampaikan ketika
menyebutkan hal-hal yang menentukan outcome rehabilitasi. Lima petugas ahli
rehabilitasi berpikiran bahwa perkiraan outcome rehabilitasi yang didasarkan pada
penilaian motivasional harus dihindari. Banyak petugas ahli rehabilitasi
menekankan adanya perbedaan antara motivasi rendah dan depresi. Deksirpsi
motivasi berpusat pada 2 kualitas pasien: perilaku pasien dan kepatuhan (atau
sejenisnya) terhadap program rehabilitasi
Motivasi tampak dari perilaku pasien
Hampir tiga perempat anggota TMD (22 dari 32 TMD) menghubungkan
motivasi dengan perilaku proaktif dan berani. Perilaku ini melibatkan suatu
bentuk-bentuk kebiasaan yang tepat seperti: menanyakan pertanyaan yang relevan
(misalkan alasan melakukan latihan khusus) daripada berfokus pada trivia di
seputarnya, meminta tambahan rehabilitasi, menunjukkan pemahaman tentang
rehabilitasinya, memulai melakukan latihan terapetik, dan melakukan latihan
terapetik ketika sendirian. Deskripsi kebiasaan adalah sebagai berikut “..mereka
(pasien yang termotivasi) berinisiatif melakukan pendekatan rehabilitasi yang
lebih agresif .. mungkin mengajukan pertanyaan … hanyalah sebuah ketertarikan
pada situasi mereka dan keadaannya; serta apa yang dapat mereka lakukan untuk
menolong diri mereka sendiri” (wawancara 12: fisioterapi). Setengah dari petugas
ahli rehabilitasi (16 dari 32) menggambarkan pasien yang tidak termotivasi
sebagai orang yang memiliki perilaku berkebalikan dari biasanya dan ditandai
oleh kepasifan, pesimis, tidak mau berinteraksi dengan petugas terapi, dan sedikit
merasa tertarik untuk melakukan rehabilitasi
Motivasi ditunjukan sebagai pola kepatuhan terhadap rehabilitasi
Hampir setengah dari petugas ahli rehabilitasi (14 dari 32) menggambarkan
pasien yang termotivasi sebagai orang yang taat dan patuh terhadap
rehabilitasinya. “Mereka melakukan segala sesuatu yang anda minta pada
mereka untuk dikerjakan tanpa banyak mengeluh.” (wawancara 9: fisioterapis).
Penolakan terhadap rehabilitasi dilihat sebagai indikasi rendahnya motivasi.
Respon yang Berbeda-Beda
Seorang terapis okupasi mengatakan bahwa kepatuhan saja tidak cukup untuk
menganggap pasien termotivasi. Terapis tersebut membedakan antara pasien yang
melakukan sesuatu “hanya untuk menyenangkan terapisnya” dengan orang yang
berada di dalam keadaan yang disebut “termotivasi dari dalam”. Pasien-pasien ini
menunjukkan kepatuhan mereka sebagai keinginan untuk mengembalikan diri
mereka ke keadaan normal atau mendekati normal.
Beberapa anggota TMD merasa bahwa motivasi, perilaku pasien, dan pola
kepatuhan tidak berhubungan secara linear. Contoh: beberapa petugas ahli
rehabilitasi (8 dari 32) menceritakan bagaimana pasien yang termotivasi dalam
tahap tertentu gagal menyelesaikan latihan rehabilitasi; pasien ini menolak
prosedur standar dalam melakukan latihan rehabilitasi dan mengambil resiko saat
melakukan terapi. Sama halnya, beberapa petugas ahli rehabilitasi menjelaskan
bagaimana beberapa pasien yang tidak termotivasi sebenarnya memiliki
keberanian, proaktif, dan biasanya penuh dengan motivasi: “mereka tidak mau
pergi ke fisioterapis … kenapa mereka harus melakukannya bila mereka tidak
mau? Kadang-kadang mereka menolak tanpa pikir panjang, ‘tidak, aku tidak mau
pergi’ ” (wawancara 26: perawat)
Bagi beberapa petugas ahli rehabilitasi batasan antara kebiasaan yang
mengindikasikan termotivasi dengan yang kurang termotivasi tidak jelas.
Beberapa petugas ahli rehabilitasi lainnya berpikir bahwa adanya suatu bentuk
motivasi yang tidak terpikirkan oleh petugas ahli rehabilitasi. Implikasi yang
mungkin terjadi sehubungan dengan pemikiran ini terhadap perwatan pasien akan
dibicarakan kemudian.
Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Timbulnya Motivasi
Motivasi disebabkan oleh Faktor Kepribadian
Sekitar setengah dari petugas ahli rehabilitasi (14 dari 32 petugas) berpendapat
bahwa motivasi sebagian ditentukan dari kepribadian pasien itu sendiri. “saya
berpikir kepribadian pasien memiliki andil besar dalam memotivasi … pasien
dapat memilih dan memiliki kecenderungan untuk menjadi optimis ataupun
pesimis” (wawancara 3: fisioterapi). Lima petugas ahli rehabilitasi menjelaskan
bagaimana hal ini dapat secara efektif meletakkan outcome rehabilitasi di tangan
pasien. “Anda hanya bisa mengatakan .. Jika Anda berusaha, pasien akan
kembali lagi... itu semua terserah Anda” (wawancara 31: perawat).
Penggambaran tingkat motivasi individu itu dapat tercermin dari bahasa yang
diucapkan oleh para petugas ahli rehabilitasi yang biasanya digunakan untuk
menilai karakter pasien. Pasien yang memiliki motivasi tinggi dapat terlihat
“fantastik”, sedangkan yang tidak termotivasi sebagai “pemalas”
Motivasi dipengaruhi oleh Faktor Klinis
Hampir semua responden merasa bahwa factor-faktor klinis tertentu (seperti
umur, tingkat keparahan penyakit stroke, fungsi kognitif, depresi) dapat
mempengaruhi motivasi pasien. Paling dibicarakan dari kesemuanya itu adalah
faktor usia. Hampir semua petugas ahli rehabilitasi meyakini bahwa semakin
bertambahnya usia, semakin rendah tingkat motivasinya. “saya berpikir usia
memiliki kaitan erat mengenai hal itu. Semakin muda usia seseorang, semakin
besar keinginannya untuk meninggalkan rumah sakit dan kembali hidup bebas,
senormal yang mungkin bisa. Akan tetapi, saya berpikir orang tua akan lebih
cenderung untuk menarik diri” (wawancara 28: perawat).
Motivasi dipengaruhi oleh Faktor Keluarga
Meskipun dukungan keluarga dipandang mempengaruhi pembentukan motivasi
yang positif, perawat dapat mendeskripsikan bagaimana keluarga pun dapat
mengurangi motivasi dengan cara mendorong pasien terlalu keras untuk mencapai
tujuan kesembuhan. Keluarga yang terlalu overproteksi juga dapat mengurangi
motivasi pasien untuk sembuh.
Motivasi dipengaruhi oleh Faktor Budaya
Hampir tiga perempat dari anggota TMD (22 dari 32 orang) menjabarkan
bagaimana norma-norma budaya pasien dapat mempengaruhi motivasi. Dari
antara norma-norma kultural ini, norma yang menyatakan ketergantungan selama
periode kecacatan cukup mempengaruhi, misalkan: norma agama yang salah
(kecacatan adalah sebuah kondisi yang harus diterima daripada merupakan
ovecome dari sesuatu).
Motivasi dipengaruhi oleh Lingkungan Rehabilitasi
11 petugas ahli rehabilitasi menyatakan bahwa suatu stimulasi dari lingkungan
rumah sakit (seperti adanya makanan tradisional, ruangan yang tertata dengan
baik, dan adanya sesi diskusi kelompok pengobatan di mana pasien dapat saling
berbagi keyakinan seputar rehabilisasi dan mengamati perkembangan masing-
masing) dapat menjadi sebuah motivasi positif bagi pasien. Secara signifikan,
semua petugas ahli rehabilitasi ini juga berpikir bahwa unit stroke mereka telah
menyediakan stimulasi seperti itu. Umumnya, lingkugan dideskripsikan sebagai
sesuatu yang mematahkan semangat dan pasien hanya diberi sedikit dorongan
untuk berbaur satu sama lain dan tergabung dalam satu lembaga: “beberapa orang
yang tergabung dalam suatu lembaga yang baik, tidak mau meninggalkan
lingkungan yang aman tersebut” (wawancara 8: fisioterapis)
Peralatan terapi murni dapat dirasakan menjadi “bias” terhadap suatu
kelompok kebudayaan tertentu sedemikian mungkin sehingga berefek negatif
pada motivasi. Seorang terapis bicara dan bahasa mendeskripsikan bagaimana alat
terapinya diorientasikan oleh pasien dari budaya Barat: ”peralatan yang kami
gunakan sangat cocok bagi orang Inggris, dapat menjadi tidak cocok bila
digunakan pada orang Amerika dan menjadi tidak sesuai bila digunakan kepada
orang-orang dari latar belakang etnis lainnya.” (wawancara 24; terapis bicara
dan bahasa).
Motivasi dipengaruhi kepribadian petugas ahli rehabilitasi
Seperempat dari petugas ahli rehabilitasi (8 dari 32) menggambarkan
bagaimana aspek perilaku mereka, misalnya “labeling pasien” dapat mengurangi
motivasi pasien: “labeling pasien adalah sesuatu yang saya perhatikan secara
khusus…ini bukan hanya soal pelabelan pasien antara yang termotivasi atau tidak
termotivasi; pasien yang berhasil atau tidak berhasil; atau kemungkinan
mendapatkan menjadi lebih baik atau tidak. Sekecil apapun jenis pelabelannya
yang Anda berikan kepada orang-orang... itulah kemudian yang akan terjadi pada
pasien seperti sebuah ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya” (wawancara 14,
dokter).
Dua petugas ahli rehabilitasi menyatakan bahwa harapan yang rendah terhadap
bagaimana pasien menjalani proses rehabilitasi dapat memberikan efek negatif
pada motivasi pasien. Tiga petugas ahli rehabilitasi merasa bersalah karena tidak
bisa memotivasi pasiennya. Seorang petugas ahli rehabilitasi merasakan
bagaimana rasa kegagalan dalam hal profesionalisme terhadap pasien yang tidak
dapat mencapai pencapaiannya sehingga motivasi pasien berkurang.
Tiga orang petugas ahli rehabilitasi memaparkan sifat keras kepada pasien
dapat mengurangi motivasi, sekalipun dokter menyarankan peran penentu
tindakan rehabilitasi pasien dalam mengajak pasein ikut serta dalam rehabilitasi
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam memelihara moral TMD.
Seorang petugas ahli rehabilitasi menyebutkan bagaimana penyampaian
penjelasan yang membingungkan kepada pasien tentang peran mereka dalam
rehabilitasi dapat memberikan efek negatif terhadap motivasi mereka (sebagai
contohnya: tim fisioterapi mendorong supaya pasien mandiri dalam melakukan
tugasnya, tetapi perawat mendorong pasien untuk hidup bergantung dengan cara
perawat membantu melakukan banyak hal bagi pasien tersebut.
Mengubah Motivasi Pasien
Dengan tetap meyakani bahwa kebiasaan mereka dapat mempengaruhi
motivasi, hampir semua petugas ahli rehabilitasi sepakat bahwa mereka dapat
meningkatkan motivasi pasien. Teknik yang paling umum disampaikan adalah
sambung rasa dengan pasien dan berbincang tentang kehidupan mereka.
Walaupun tiga perempat petugas ahli rehabilitasi (24 dari 32) menyatakan adanya
efek memotivasi, sebuah perbincangan yang baik dapat dijabarkan menjadi 3 hal
yang lebih spesifik dalam meningkatkan motivasi: menyusun tujuan rehabilitasi
yang dirasa relevan bagi pasien, menyediakan informasi tentang rehabilitasi, serta
menggunakan norma budaya pasien.
Menyusun tujuan rehabilitasi yang relevan
Berbincang dengan pasien untuk mengetahui kehidupan dan hobi pasien
sebelum terserang stroke akan membuat para petugas ahli rehabilitasi lebih
mudah menyusun tujuan rehabilitasi yang dirasa relevan bagi pasien. Lebih dari
setengah petugas ahli rehabilitasi (18 dari 32) berpendapat bahwa menyusun
tujuan yang relevan memiliki efek yang positif terhadap motivasi. Beberapa
petugas ahli rehabilitasi menambahkan bahwa tujuan-tujuan ini sebaiknya
sederhana dan mudah dicapai untuk menunjukkan kepada pasien bahwa mereka
telah mengalami kemajuan. “... terdapat tujuan yang masuk akal, mudah dicapai,
dan anda dapat membuat sesuatu yang berarti bagi pasien.” (wawancara 21;
perawat).
Menyediakan informasi tentang rehabilitasi
Kira-kira setengah dari anggota MDT (18 dari 32) menyarankan sebuah
strategi yang memiliki efek positif terhadap motivasi, yaitu menciptakan sambung
rasa dengan pasien guna memudahkan transmisi informasi tentang rehabilitasi.
Informasi ini berfokus terhadap pemulihan alamiah (meyakinkan pasien bahwa
mereka membaik dan berhenti membandingkan mereka dengan pasien lain),
bagaimana pasien dapat berharap untuk berjalan jika tidak ada kemajuan
rehabilitasi yang mereka buat, mengapa latihan tertentu harus dilakukan, dan
mengapa latihan-latihan ini harus dilakukan dengan cara yang spesifik.
Informasi tidak hanya digunakan untuk meningkatkan motivasi; 5 petugas ahli
rehabilitasi melaporkan bahwa aspek problematik berupa motivasi yang tinggi
(misalnya kebiasaan mengambil risiko) dapat diimbangi dengan menyediakan
informasi tentang konsekuensi negatif dari kebiasaan tertentu.
Menggunakan norma budaya pasien.
Terjadinya komunikasi yang mudah juga dapat tercapai dengan memasukkan
norma budaya pasien dalam perbincangan. Seorang petugas ahli rehabilitasi
melaporkan bahwa menggunakan norma-norma ini bisa meningkatkan motivasi
pasien. Dia menceritakan bagaimana menemukan bahwa pasien yang tidak
termotivasi percaya bahwa ketidakmampuannya adalah kehendak Tuhan untuk
mengikuti rehabilitasi. “... mengatakan kepada seseorang dengan lembut bahwa
dia selamat dari kejadian itu merupakan kehendak Tuhan dan sekarang ini dia
berada di unit rehabilitasi adalah kehendak Tuhan. Selain itu, memberitahu dia
bahwa oleh sebab itu, dia harus mengambil kesempatan mengikuti unit
rehabilitasi yang ada dan hal itu benar untuk dilakukannya.” (wawancara 11;
terapis okupasional)
Petugas ahli rehabilitasi yang lain melaporkan bahwa menggunakan norma
mengenai gender untuk memotivasi perempuan supaya “mencerahkan dirinya
sendiri”. Dia merasa bahwa beberapa “percakapan gaya perempuan” dapat
memiliki efek positif terhadap motivasi.
Siapa yang Mendapat Dukungan?
Beberapa petugas ahli rehabilitasi percaya bahwa semua pasien yang tidak
termotivasi layak atas dukungan serupa. Akan tetapi, beberapa petugas ahli
rehabilitasi (10 dari 32 petugas) merasa bahwa pasien yang lebih tua kurang
memiliki respon yang baik terhadap dukungan. Alasan yang paling umum untuk
hal ini adalah bahwa pasien yang lebih tua memiliki sedikit kesempatan untuk
hidup. “... pada akhirnya jika seseorang yang berusia 75 tahun menolak terapi,
saya mungkin lebih condong untuk tidak akan mendorongnya lagi. Saya akan
berjuang lebih keras untuk membuat seorang yang berusia 50 tahun karena yang
saya ketahui tentang hidup adalah anda memiliki lebih banyak waktu jika anda
berusia 50 tahun. Jika anda berusia 75 tahun, anda tidak memiliki waktu
sepanjang itu dan akan berbeda penampilannya.” (wawancara 16; terapis wicara
dan bahasa).
Sembilan petugas ahli rehabilitasi melaporkan kecenderungan untuk
berinteraksi dengan pasien yang termotivasi dan satu fisioterapis merasa kurang
cenderung untuk berinteraksi dengan pasien-pasien yang tidak termotivasi. “Jika
anda mengetahui anda juga harus pergi dan memotivasi mereka... hal tersebut
sangat sulit. Anda harus mencoba lagi di pagi hari berikutnya... anda dapat
mencobanya hal tersebut kepada pasien hampir sebanyak ke diri sendiri.”
(wawancara 6 : fisioterapi).
DISKUSI
Nilai dari metode kualitatif penelitian di bidang kesehatan telah lama diketahui.
Penggunaan metode wawancara semistruktral merupakan cara efisien untuk
menyelidiki suatu topik yang sedang diteliti. Selain itu, membantu para responden
menyampaikan opininya secara akurat menurut bahasa dan maksudnya. Temuan
yang beragam dan mendalam lebih merupakan fondasi penelitian kualitatif
daripada sesuatu hasil yang dapat digeneralisiasikan. Hasil penelitian ini hanya
merupakan kesimpulan dari penelitian di unit stroke sebuah negara. Anggota-
anggota unit stroke tersebut memiliki keyakinan budaya tertentu, termasuk
mengenai perawatan kesehatan dan kecacatan alamiah. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk memecahkan kebingungan apakah hasil temuan ini bisa
digeneralisasikan ke unit stroke lainnya atau populasi selain pasien stroke.
Unit stroke yang dijadikan tempat penelitian memiliki pergantian staff yang
begitu cepat. Banyak responden penelitian, terutama perawat, dokter junior, dan
fisioterapis junior yang bekerja di unit stroke ini cepat berganti sebelum sempat
diwawancarai. Hal tersebut membuat hasil penelitian ini hanyalah memberikan
pengertian yang berakar khusus di suatu unit stroke tertentu. Namun demikian,
penelitian ini juga tidak menjamin bahwa unit stroke ini kurang dalam etos
istimewa.
Literatur rehabilitasi klinis lebih condong menkonseptualisasi motivasi sebagai
suatu bagian kepribadian. Model motivasi ini tercentus oleh beberapa petugas ahli
rehabilitas yang menjadi subjek penelitian. Akan tetapi, penelitian ini
mendeskripsikan efek negatif pada perawatan pasien. Banyak anggota TMD tetap
merasa nyaman dalam mengelompokan pasien ke dalam kelompok termotivasi
dan tidak. Kegiatan observasional yang dilakukan TMD dalam pertemuan tim
sebagai bagian penelitian lainnya menunjukkan bahwa pelabelan pasien seperti ini
telah dipakai di dalam praktis klinis. Kualitas kondisi tidak termotivasi telah
dinyatakan sebagai “pemalas”, terutama pada pasien tua untuk tidak memberikan
dukungan kepada mereka. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa kurangnya
dukungan dan penyemangat dari petugas ahli rehabilitasi akan membuat pasien
stroke tidak termotivasi menjalani rehabilitasi.
Banyak petugas ahli rehabilitasi sadar dan waspada akan adanya efek negatif
dari pelabelan “termotivasi” dan “tidak termotivasi”. Adanya laporan bahwa
petugas ahli rehabilitasi yang secara terus-menerus melakukan pelabelan
motivasional memiliki efek negatif. Akan tetapi, hal tersebut tetap digunakan
dalam praktek klinis sehingga akan terlihat perbedaan pada narasi publik oleh
petugas ahli rehabilitasi ketika diwawancarai peneliti dan narasi privasi yang
digunakan dalam praktik klinis. Penelitian obeservasional lebih dalam (mungkin
etnografi) mungkin dapat memperjelas seputar narasi privat.
Kriteria yang digunakan petugas ahli rehabilitasi dalam melihat motivasi
seseorang terbukti tidak memiliki batasan yang jelas. Pasien yang “termotivasi”
seharusnya terlihat proaktif, tetapi sikap seperti itu tidak selalu harus terlihat
sebagai penolakan terapi sepenuh hati. Dengan kata lain, pasien yang termotivasi
seharusnya patuh, tetapi kepatuhan ini tidak mesti merupakan kepatuhan total
yang berhubungan dengan motivasi “intrinsik”. Sebagai efeknya pasien tetap
berlaku semestinya sesuai bagaimana kebiasaan mereka saat dikaji; keseimbangan
yang wajar harus berada di antara kepatuhan dan proaktif jika pasien ingin tidak
dilabel sebagai tidak termotivasi sehingga menerima lebel yang secara potensial
merusak. Penelitian terkini mendapati kekurangan informasi mengenai rehabilitasi
dan penjelasan yang membingungkan berdasarkan apakah seharusnya bersikap
pasif atau proaktif saat dirawat di unit stroke bisa mengurangi motivasi pasien
stroke menjalani rehabilitasi.
Perawat juga berada di tempat yang sama; dukungan sosial yang bagus penting
untuk menjaga motivasi pasien. Akan tetapi, bantuan yang diberikan tidak
menjadi overprotektif. Sebuah penelitian telah membuktikan bahwa overprotektif
yang dilakukan perawat atau petugas ahli rehabilitasi stroke dapat membuat
motivasi pasien mengikuti rehabilitasi berkurang. Perawat juga memberikan
semangat ke pasien tanpa mendorongnya berlebih.
Hal lainnya telah membutkikan bahwa terlalu terpaku pada kriteria ahli dalam
menentukan motivasi seseorang bisa membuat kesalahan dalam pengelompokan
pasien tertentu. Pasien pendiam, pasif, dan tidak interaktik dapat tetap ingin
berpartisipasi pada rehabilitasi. Kepercayaan diri (atau mungkin lebih ke arah
kata-kata) untuk menyatakan pemahaman mengenai proses rehabilitasi mungkin
bergantung pada faktor kelas sosial dan tingkat edukasinya. Beberapa pasien dapat
termotivasi untuk pulih, namun tidak melihat bahwa rehabilitasi fisik adalah cara
yang paling tepat.
Sebagai kesimpulan, walaupun mungkin tidak ada alasan dokter mengikuti
kesimpulan King dan Barrowclough untuk tidak lagi menggunakan konsep
motivasi yang ada, kepekaan terhadap keyakinan pasien yang lebih besar dan di
dalam konteks di mana keyakinan tersebut terbentuk dapat mencegah pasien
merasa berada di kaum marginalis selama penentuan konsep motivasi tidak akurat
dan mungkin menyakitkan.