refrat omfalokel icha.docx
DESCRIPTION
refratTRANSCRIPT
REFERAT
Penatalaksanaan Omfalokel di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Periode Januari 2008 - Juni 2013
Pembimbing :
dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.B
Disusun Oleh:
Annisa Fildza Hashfi G1A212056
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
SMF ILMU BEDAH
RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui Referat dengan judul :
Penatalaksanaan Omfalokel di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Periode Januari 2008 - Juni 2013
Disusun Oleh:
Annisa Fildza Hashfi G1A212056
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat ujian kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo
Disetujui dan disahkan
Pada tanggal Agustus 2013
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp. B
NIP.19641215.199011.1.001
2
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul
“Penatalaksanaan Omfalokel di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Periode
Januari 2008 - Juni 2013”. Tujuan penulisan ini untuk memenuhi salah satu
syarat mengikuti Kepanitraan Klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo, Purwokerto.
Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.B selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan pada referat ini.
2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat kekurangan. Kami berharap
semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca serta
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran.
Purwokerto, Juli 2013
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cacat kongenital dinding abdomen pada seluruh tebalnya memberi
ancaman yang mematikan bagi neonatus sebagai akibat terpaparnya visera
dan kemungkinan kontaminasi bakteri. Omfalokel merupakan defek pada
dinding abdomen yang sering ditemui. Omfalokel terjadi bila terdapat
kegagalan intestine kembali ke rongga abdomen dalam minggu ke-10
kehidupan janin dalam kandungan. Kegagalan ini mengakibatkan tingginya
insiden malrotasi pada omfalokel (Ledbetter, 2006).
Sekitar 30% bayi dengan omfalokel juga memiliki kelainan kromosom
utama. Dalam kasus ini, kelainan kromosom menyebabkan omfalokel dan
juga menyebabkan kelainan pada banyak sistem tubuh dan organ. Bayi-bayi
dengan kelainan tersebut jarang bertahan dan jika mereka bertahan hidup,
mereka menderita cacat parah. Sekitar 50% dari semua bayi yang lahir
dengan omfalokel memiliki cacat lahir lainnya di jantung, ginjal, atau organ
lain, bahkan jika tes kromosom normal. Sekitar 35% bayi dengan omfalokel
akan memiliki cacat jantung (Minnesota, 2010).
Hampir 70% bayi dengan omfalokel juga memiliki cacat lahir lainnya,
paling sering meliputi hati, tulang, usus, dan sistem kemih. Tiga puluh persen
memiliki kelainan kromosom seperti trisomi 18. Omfalokel juga dapat
merupakan bagian dari sindrom seperti Beckwith-Wiedemann (omfalokel,
ukuran besar tubuh, lidah besar, organ usus membesar, dan hipoglikemia
berat bayi baru lahir) atau Pentalogy of Cantrell (omfalokel, cacat pada tulang
dada dan diafragma, dan lesi pada jantung) (Carmen & John Thain, 2010).
Omfalokel yang berisi hanya sebagian dari usus kecil terdapat
dalam 1 dari setiap 5.000 bayi yang baru lahir. Omfalokel raksasa jarang
terjadi, yakni sekitar 1 dari 10.000 kelahiran. Penyebab omfalokel masih
belum diketahui, meskipun diyakini terjadi pada 3 sampai 4 minggu
kehamilan (Carmen & John Thain, 2010).
4
B. TUJUAN
Referat ini bertujuan untuk membahas mengenai omfalokel
meliputi diagnosis, etiologi, serta penatalaksanaannya. Penulisan referat
ini juga membahas mengenai tatalaksana kasus omfalokel di RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo pada Januari 2008 – Juni 2013.
C. MANFAAT
Penelitian ini diharapkan dapat memberi data ilmiah terkait dengan
jumlah pasien omfalokel dan distribusinya menurut jenis kelamin serta
penatalaksanaan pasien omfalokel di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto periode Januari 2008 - Juni 2013.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI OMFALOKEL
Omfalokel (disebut juga Exomfalos) merupakan defek dinding
abdomen padagaris tengah dengan berbagai derajat ukuran, disertai hernia
visera yang ditutupioleh membran yang di terdiri atas peritoneum di lapisan
dalam dan amnion dilapisan luar serta Wharton’s Jelly di antara lapisan
tersebut. Pembuluh darah berada di dalam membran, bukan pada dinding
tubuh. Isi dari hernia antara lain berbagai jenis dan dan jumlah usus, sering
sebagian dari hati dan kadang-kadang organ lainnya. Sedangkan tali pusat
terdapat pada puncak kantong ini. Defek ini mungkin terletak di pusat atas,
tengah atau bawah abdomen dan ukuran serta lokasi memiliki implikasi yang
penting dalam penanganannya (Ledbetter, 2006; Minnesota, 2010).
Setelah kejadian omfalokel pada kelahiran anak pertama, risiko
untuk terjadinya omfalokel pada kelahiran selanjutnya sangat bergantung
penyebab dari omfalokel tersebut. Jika omfalokel tidak berhubungan dengan
suatu sindrom,seperti Beckwith-Wiedermannan, dan tidak berhubungan
dengan adanya kelainan kromosomal, tingkat rekurensinya sangat rendah,
sekitar 1% atau kurang. Bagaimanapun, dengan kemungkinan yang lebih
sedikit, dapat muncul predisposisi genetik, dan tingkat kekambuhannya dapat
mencapai 50% (Reksoprodjo, 2002).
B. EMBRIOLOGI
Pada awal minggu ke-3 perkembangan embrio, saluran pencernaan
terbagi menjadi foregut, midgut dan hindgut. Pertumbuhan ini berhubungan
erat dengan lipatan embrio (embryonic fold) yang berperan dalam
pembentukan dinding abdomen. Lipatan embrio tersebut terbagi menjadi
(Lagay, Kelleher & Langer, 2011):
a. Lipatan kepala (cephalic fold)
Letak di depan mengandung foregut yang membentuk faring, esophagus
dan lambung. Kegagalan perkembangan lapisan somatic lipatan kepala
6
akan mengakibatkan kelainan dinding abdomen daerah epigastrial disebut
emfalokel epigastrial yang mungkin berhubungan dengan kelainan
pelipatan kranial tambahan seperti hernia diafragma anterior, celah sternal,
defek perikardial dan defek karidak. Ketika bagian-baian tersebut terjadi
bersamaan, disebut sebagai Pentalogy of Cantrell (Glasser, 2003).
Gambar 1. Pentalogy of Cantrell (Glasser, 2003)
b. Lipatan samping (lateral fold)
Membungkus midgut dan bersama lipatan lain membentuk cincin awal
umbilikus. Bila terjadi kegagalan mengakibatkan abdomen tidak
tertutup dengan sempurna pada bagian tengah. Pada kelaianan ini cincin
umbilikus tidak terbentuk sempurna sehingga tetap terbuka lebar
sehingga menjadi omfalokel (Glasser, 2003).
c. Lipatan ekor (caudal fold)
Membungkus hindgut yang akan membentuk kolon dan rectum.
Kegagalan pertumbuhan lapisan splangnikus dan lapisan somatic
7
mengakibatkan atresia ani, omfalokel hipogastrikus yang mungkin
berhubungan dengan Extrophy cloacal atau bladder (Glasser, 2003).
Gambar 2. Exstrophy Cloacal (Boykin, 2010)
Awal terjadinya omfalokel masih belum jelas dan terdapat
beberapa teori embriologi yang menjelaskan kemungkinan
berkembangnya omfalokel. Teori yang banyak disebutkan oleh para
ahli ialah bahwa omfalokel berkembang karena kegagalan migrasi dan
fusi dari embrionik fold bagian kranial, caudal dan lateral saat
membentuk cincin umbilikus pada garis tengah sebelum invasi miotom
pada minggu ke-4 perkembangan. Teori lain menyebutkan bahwa
omfalokel berkembang karena kegagalan midgut untuk masuk kembali
ke kavum abdomen pada minggu ke-12 perkembangan. Sebagaimana
diketahui pada minggu ke-4 perkembangan, dinding abdomen embrio
berupa suatu membran tipis yang terdiri dari ektoderm dan mesoderm
somatik yang disebut sebagai somatopleura. Somatopleura memiliki
embrionik fold yaitu kranial, kaudal dan lateral. Pada minggu ke-4
tersebut secara simultan terjadi pertumbuhan kedalam mesoderm dari
embrionik fold somatopleura bagian kranial, kaudal dan lateral yang
mulai mengadakan fusi pada garis tengah untuk membentuk cincin
umbilikus. Pada minggu ke-4 sampai ke-7, somatopleura diinvasi oleh
miotom yang terbentuk disebelah lateral dari vertebra dan bermigrasi ke
8
medial. Selama itu juga midgut mengalami elongasi dan herniasi ke
umbilical cord. Miotom merupakan segmen primitif sepanjang spinal
cord yang nantinya masing-masing segmen tersebut berkembang
menjadi muskulus dan diinervasi oleh nervus spinalis. Pada minggu ke-
8 sampai ke-12 miotom berdiferensiasi menjadi 3 lapis otot dinding
perut dan mengadakan fusi pada garis tengah. Akhirnya pada minggu
ke-12 rongga abdomen janin sudah cukup kuat sebagai tempat usus
yang akan masuk kembali dan berputar yang kemudian menempati
posisi anatomisnya (Lagay, Kelleher & Langer, 2011).
C. ETIOLOGI
Penyebab pasti terjadinya omphalokel belum jelas sampai sekarang.
Beberapa faktor resiko atau faktor-faktor yang berperan menimbulkan
terjadinya omphalokel diantaranya adalah infeksi, penggunaan obat dan rokok
pada ibu hamil, defisiensi asam folat, hipoksia, penggunaan salisilat, kelainan
genetik serta polihidramnion. Walaupun omphalokel pernah dilaporkan
terjadi secara herediter, namun sekitar 50-70 % penderita berhubungan
dengan sindrom kelainan kongenital yang lain Sindrom kelainan kongenital
yang sering berhubungan dengan omphalokel diantaranya (Blazer, 2004):
a. Syndrome of upper midline development atau thorako abdominal
syndrome (pentalogy of Cantrell) berupa upper midline omphalocele,
anterior diaphragmatic hernia, sternal cleft, cardiac anomaly berupa
ektopic cordis dan vsd
b. Syndrome of lower midline development berupa bladder (hipogastric
omphalocele) atau cloacal extrophy, inferforate anus, colonic atresia,
vesicointestinal fistula, sacrovertebral anomaly dan meningomyelocele
dan sindrom-sindrom yang lain seperti Beckwith-Wiedemann syndrome,
Reiger syndrome, Prune-belly syndrome dan sindrom-sindrom kelainan
kromosom seperti yang telah disebutkan.
Menurut Glasser (2003) ada beberapa penyebab omfalokel, yaitu:
a. Faktor kehamilan dengan resiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan
terinfeksi, penggunaan obat-obatan, merokok dan kelainan genetik.
9
Faktor-faktor tersebut berperan pada timbulnya insufisiensi plasenta dan
lahir pada umur kehamilan kurang atau bayi prematur, diantaranya bayi
dengan gastroschizis dan omfalokel paling sering dijumpai.
b. Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding
abdomen pada percobaan dengan tikus tetapi kemaknaannya secara klinis
masih sebatas perkiraan. Secara jelas peningkatan MSAFP (Maternal
Serum Alfa Feto Protein) pada pelacakan dengan ultrasonografi
memberikan suatu kepastian telah terjadi kelainan struktural pada fetus.
Bila suatu kelainan didapati bersamaan dengan adanya omfalokel, layak
untuk dilakukan amniosintesis guna melacak kelainan genetik.
c. Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan
kemungkinan tersebut harus dilacak dengan USG.
D. DIAGNOSIS
Diagnosis omfalokel adalah sederhana, namun perlu waktu khusus
sebelum operasi dikerjakan, pemeriksaan fisik secara lengkap dan perlu suatu
rontgen dada serta ekokardiogram. Pada saat lahir, omfalokel diketahui
sebagai defek dinding abdomen pada dasar cincin umbilikus. Defek tersebut
lebih dari 4 cm (bila defek kurang dari 4 cm secara umum dikenal sebagai
hernia umbilikalis) dan dibungkus oleh suatu kantong membran atau amnion.
Pada 10% sampai 18%, kantong mungkin ruptur dalam rahim atau sekitar 4%
saat proses kelahiran. Omfalokel raksasa (giant omphalocele) mempunyai
suatu kantong yang menempati hampir seluruh dinding abdomen, berisi
hampir semua organ intraabdomen dan berhubungan dengan tidak
berkembangnya rongga peritoneum serta hipoplasi pulmoner. Klasifikasi
menurut Omfalokel menurut Moore ada 3, yaitu (Boykin, 2010):
a. Tipe 1 : diameter defek < 2,5 cm
b. Tipe 2 : diameter defek 2,5 – 5 cm
c. Tipe 3 : diameter defek > 5 cm
Suatu defek yang sempit dengan kantong yang kecil mungkin tak terdiagnosis
saat lahir. Dalam kasus ini timbul bahaya tersendiri bila kantong terjepit klem
dan sebagian isinya berupa usus, bagiannya teriris saat ligasi tali pusat. Bila
10
omfalokel dibiarkan tanpa penanganan, bungkusnya akan mengering dalam
beberapa hari dan akan tampak retak-retak. Pada saat tersebut akan menjalar
infeksi dibawah lapisan yang mengering dan berkrusta. Kadang dijumpai
lapisan tersebut akan terpecah dan usus akan prolap.
Diagnosis omphalokel ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
dapat ditegakkan pada waktu prenatal dan pada waktu postnatal.
a. Diagnosis Prenatal
Defek dinding abdomen sering terdiagnosis selama pemeriksaan prenatal
dengan ultrasonografi (USG), yang merupakan suatu skreening rutin
atupun kerena adanya indikasi obsetrik seperti evaluasi peningkatan serum
alfa fetoprotein (AFP) maternal (Ledbetter, 2006).
AFP analog dengan fetal albumin dan serum AFP maternal merefleksikan
nilai AFP cairan amnion. Tes ini digunakan untuk mengevaluasi
abnormalitas kromosomal fetus dan defek tabung neural, tetapi AFP juga
biasanya meningkat pada defek dinding abdomen. Pada omfalokel, AFP
biasanya meningkat rata-rata 4 kali dari nilai normal (Ledbetter, 2006).
USG fetus sering dapat mengindikasikan adanya omfalokel pada trimester
kedua atau awal trimester ketiga. Kebanyakan omfalokel sekarang dapat
didiagnosis sebelum kelahiran. Hal ini sangat membantu dalam
mempersiapkan perawatan bagi neonatal (Ragarwal, 2005).
Pemeriksaan USG abdomen pada diagnosis omfalokel ditunjukkan dengan
adanya kantong hernia dan letak korda umbilikalis pada apeks dari
kantong hernia. Adanya gambaran kantong tersebut mengkonfirmasi
diagnosis omfalokel. Bagaimanapun, kantong hernia tersebut tidak selalu
dapat dilihat. Keadaan yang lebih jarang, yaitu terjadinya ruptur kantong
hernia (Ragarwal, 2005).
11
Gambar 3. Gambaran omfalokel pada USG kehamilan 15 minggu (Blazer,
Zimmer, Gover & Bronshtein, 2004)
Organ visera yang terdapat pada kantong hernia dapat berupa usus, hati,
dan lambung. Ukuran defek dinding abdomen dapat bervariasi dari
sederhana yang hanya mengandung usus sampai defek besar (giant
omphalocele) yang mengandung organ hati. Ukuran defek berkorelasi
dengan tindakan reduksi dan perbaikan pada operasi. Pada kehamilan
dengan omfalokel yang terdeteksi awal dengan USG, diperlukan
pemeriksaan lanjutan khususnya pada usia 20-24 minggu dengan CT-Scan
untuk mendeteksi anomali kongenital lain (Ragarwal, 2005).
Gambar 4. Potongan tranversal pada usia gestasi 22 minggu: menunjukan
omfalokel (OM). Gambaran ekogenik mengarah kepada eviserasi hepar
(Blazer, Zimmer, Gover & Bronshtein, 2004).
12
Bagaimanapun, keakuratan pemeriksaan USG prenatal untuk
mendiagnosis kelainan dinding abdomen sangat dipengaruhi oleh waktu,
tujuan awal dari pemeriksaan, posisi janin, serta pengalaman dan keahlian
pemeriksa. USG memiliki spesifitas yang tinggi, lebih dari 95% namun
sensitivitasnya hanya 60─75% untuk mengidentifikasi omfalokel.
Kesalahan diagnosis dapat terjadi karena:
i. Kekeliruan dengan adanya defek dinding abdomen lain yang jarang.
ii. Ruptur kantong omfalokel sehingga mengakibatkan adanya
diagnosis gastroskisis (Ledbetter, 2006).
b. Diagnosis Postnatal
Gambaran klinis bayi baru lahir dengan omphalokel ialah terdapatnya
defek sentral dinding abdomen pada daerah tali pusat. Defek bervarasi
ukurannya, dengan diameter mulai 4 cm sampai dengan 12 cm,
mengandung herniasi organ-organ abdomen baik solid maupaun berongga
dan masih dilapisi oleh selaput atau kantong serta tampak tali pusat
berinsersi pada puncak kantong. Kantong atau selaput tersusun atas 2
lapisan yaitu lapisan luar berupa selaput amnion dan lapisan dalam berupa
peritoneum. Diantara lapisan tersebut kadang-kadang terdapat lapisan
Warton’s jelly. Warton’s jelly adalah jaringan mukosa yang merupakan
hasil deferensiasi dari jaringan mesenkimal (mesodermal). Jelly
mengandung kaya mukosa dengan sedikit serat dan tidak mengandung
vasa atau nervus (Boykin, 2010).
Pada giant omphalocele, defek biasanya berdiameter 8-12 cm atau
meliputi seluruh dinding abdomen (kavum abdomen sangat kecil) dan
dapat mengandung seluruh organ-organ abdomen termasuk liver. Kantong
atau selaput pada omfalokel dapat mengalami ruptur. Glasser (2003)
menyebutkan bahwa sekitar 10-20 % kasus omfalokel terjadi ruptur
selama kehamilan atau pada saat melahirkan. Disebutkan pula bahwa
omfalokel yang mengalami ruptur tersebut bila diresorbsi akan menjadi
gastroskisis. Apabila terjadi ruptur dari selaput atau kantong maka oergan-
organ abdomen janin/bayi dapat berubah struktur dan fungsi berupa
pembengkakan, pemendekan atau eksudat pada permukan organ abdomen
13
tersebut Perubahan tersebut tergantung dari lamanya infeksi dan iskemik
yang berhubungan dengan lamanya organ-organ terpapar cairan amnion
dan urin janin. Bayi-bayi dengan omfalokel yang intak biasanya tidak
mengalami distres respirasi, kecuali bila ada hipoplasia paru yang biasanya
ditemukan pada giant omphalocele. Kelainan lain yang sering ditemukan
pada omphalokel terutama pada giant omphalocele ialah malrotasi usus
serta kelainan-kelainan kongenital lain.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada saat bayi lahir untuk
mendukung diagnosis diantaranya pemeriksaan laboratorium darah dan
radiologi. Pemeriksaan radiologi dapat berupa rongent thoraks untuk
melihat ada tidaknya kelainan paru-paru dan ekhocardiogram untuk
melihat ada tidaknya kelainan jantung (Boykin, 2010).
E. DIAGNOSIS BANDING
Omfalokel Hernia Umbilikalis Kongenital
Gastroskisis
Lokasi defek Pada cincinumbilikus(umbilikalring)
Pada cincinumbilikus
Terpisah(biasanyalateral dari)cincin umbilikus
Diameter/ukuran defek (cm)
4-12 cm < 4 cm < 4 cm
Kavumabdomen
Kecilterutamapada giantomphalocele
normal normal
Kantong + + -Kandungankantong
Seluruhorganabdomen
Beberapa loopusus
Biasanya gasteratau usus
Letak tali pusat(umbilical cord)
Pada puncakkantong
Pada puncakkantong
Terpisah dengankantong,biasanya dilateral
Keadaan normal normal Memendek atau
14
permukaanorganabdomen/usus
terdapat bercakeksudat
Malrotasi sering - jarangAtresia danstrangulasi
Jarang - sering
Hubungandengankelainankongenital
Sering sering terdapatdivertikulumMeckel)
jarang
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Prenatal
Apabila terdiagnosa omfalokel pada masa prenatal maka sebaiknya
dilakukan informed consent pada orang tua tentang keadaan janin,
resiko tehadap ibu, dan prognosis. Keputusan akhir dibutuhkan guna
perencanaan dan penatalaksanaan berikutnya berupa melanjutkan
kehamilan atau mengakhiri kehamilan. Bila melanjutkan kehamilan
sebaiknya dilakukan observasi melalui pemeriksaan USG berkala juga
ditentukan tempat dan cara melahirkan. Selama kehamilan omfalokel
mungkin berkurang ukurannya atau bahkan ruptur sehingga
mempengaruhi prognosis (Minnesota, 2010).
Janin dengan defek dinding abdomen merupakan kehamilan resiko
tinggi pada banyak tingkatan. Untuk kasus omfalokel, terdapat
peningkatan resiko retardasi pertumbuhan intrauterin/Intrauterine
growth retardation (IUGR), kematian janin dan kelahiran prematur,
sehingga pengkajian obstetrik dengan serial USG dan tes lainnya
menjadi indikasi (Ledbetter, 2006).
Komplikasi dari partus pervaginam pada bayi dengan defek dinding
abdomen kongenital dapat berupa distokia dengan kesulitan persalinan
dan kerusakan organ abdomen janin termasuk liver. Walaupun
demikian, sampai saat ini persalinan melalui sectio caesar belum
ditentukan sebagai metode terpilih pada janin dengan defek dinding
abdomen. Beberapa ahli menganjurkan pengakhiran kehamilan jika
15
terdiagnosa omfalokel yang besar atau janin memiliki kelainan
kongenital multipel (Ledbetter, 2006).
2. Penatalaksanaan Postnatal
Manajemen awal bayi yang baru lahir dengan defek dinding abdomen
diawali dengan resusitasi ABC dan setelah dinilai dan distabilisasi,
perhatian diarahkan ke defek dinding abdomennya. Masalah yang
penting yaitu kehilangan panas, sehingga perawatan harus dilakukan
seperti menjaga suhu lingkungan hangat selagi melakukan proteksi
terhadap visera yang terpapar. Kelahiran prematur umumnya
berhubungan dengan kondisi tersebut di atas. Menilai dan menjaga
nilai glukosa serum merupakan bagian dari resusitasi tetapi khususnya
penting pada bayi dengan defek dinding abdomen karena
hubungannya dengan prematuritas, IUGR dan pada omfalokel serta
kemungkinan terjadinya sindrom Beckwith-Wiedeman. Prematuritas
berhubungan dengan hipoplasia paru atau defek jantung signifikan
yang terlihat pada omfalokel mungkin memerlukan intubasi awal dan
ventilasi mekanik. Dekompresi lambung penting untuk mencegah
distensi traktus gastrointestinal dan kemungkinan aspirasi. Akses
vaskular diperoleh untuk memberikan cairan intravena dan antibiotilk
spektrum luas untuk profilaksis. Kateter urin berguna untuk
memonitor keluaran urin secara ketat dan sebagai panduan resusitasi.
Arteri dan vena umbilicus mungkin dilakukan kanulasi jika diperlukan
selama resusitasi, namun pada omfalokel penempatan mungkin sulit
karena insersi abnormal pembuluh darah. Bahkan jika kanulasi
berhasil, mungkin perlu dilepaskan selama pembetulan defek (Ledbetter,
2006).
Setelah resusitasi berhasil dilakukan, defek dinding abdomen dapat
dinilai dan diobati. Defek diinspeksi agar menjamin membran yang
menutupinya tetap intak dan kain basah yang tidak menempel diletakkan
dan distabilisasi untuk mencegah trauma terhadap kantong (Ledbetter,
2006).
Penatalaksaan postnatal meliputi penatalaksanaan segera setelah lahir
(immediate postnatal), kelanjutan penatalakasanaan awal apakah
16
berupa operasi atau nonoperasi (konservatif) dan penatalaksanaan
postoperasi.
Penatalaksanaan segera bayi dengan omphalokel adalah (Minnessota,
2010):
a. Tempatkan bayi pada ruangan yang aseptik dan hangat untuk
mencegah kehilangan cairan, hipotermi dan infeksi.
b. Posisikan bayi senyaman mungkin dan lembut untuk menghindari
bayi menagis dan air swallowing. Posisi kepala sebaiknya lebih
tinggi untuk memperlancar drainase.
c. Lakukan penilaian ada/tidaknya distress respirasi yang mungkin
membutuhkan alat bantu ventilasi seperti intubasi endotrakeal.
Beberapa macam alat bantu ventilasi seperti mask tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan masuknya udara kedalam
traktus gastrointestinal.
d. Pasang pipa nasogastrik atau pipa orogastrik untuk mengeluarkan
udara dan cairan dari sistem usus sehingga dapat mencegah
muntah, mencegah aspirasi, mengurangi distensi dan tekanan
(dekompresi) dalam sistem usus sekaligus mengurangi tekanan
intra abdomen, demikian pula perlu dipasang rectal tube untuk
irigasi dan untuk dekompresi sistem usus.
e. Pasang kateter uretra untuk mengurangidistensi kandung kencing
dan mengurangi tekanan intra abdomen.
f. Pasang jalur intra vena (sebaiknya pada ektremitas atas) untuk
pemberian cairan dan nutrisi parenteral sehingga dapat menjaga
tekanan intravaskuler dan menjaga kehilangan protein yang
mungkin terjadi karena gangguan sistem usus, dan untuk
pemberian antibitika broad spectrum.
g. Lakukan monitoring dan stabilisiasi suhu, status asam basa, cairan
dan elektrolit
h. Pada omphalokel, defek ditutup dengan suatu streril-saline atau
povidone -iodine soaked gauze, lalu ditutup lagi dengan suatu
oklusif plastic dressing wrap atau plastic bowel bag.
17
Tindakan harus dilakukan ekstra hati hati diamana cara tersebut
dilakukan dengan tujuan melindungi defek dari trauma mekanik,
mencegah kehilangan panas dan mencegah infeksi serta
mencegah angulasi sistem usus yang dapat mengganggu suplai
aliran darah.
i. Pemeriksaan darah lain seperti fungsi ginjal, glukosa dan
hematokrit perlu dilakukan guna persiapan operasi bila
diperlukan.
j. Evaluasi adanya kelainan kongenital lain yang ditunjang oleh
pemeriksaan rongent thoraks dan ekhokardiogram.
Bila bayi akan dirujuk sebaiknya bayi ditempatkan dalam suatu
inkubator hangat dan ditambah oksigen.
Pertolongan pertama saat lahir
a. Kantong omfalokel dibungkus kasa yang dibasahi betadin,
selanjutnya dibungkus dengan plastik.
b. Bayi dimasukkan inkubator dan diberi oksigen
c. Pasang NGT dan rectal tube
d. Antibiotika
3. Penatalaksanaan Konservatif
Penatalaksanaan omfalokel secara konservatif dilakukan pada kasus
omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar antara volume
organ-organ intraabdomen yang mengalami herniasi atau eviserasi
dengan rongga abdomen seperti pada giant omphalocele atau terdapat
status klinis bayi yang buruk sehingga ada kontra indikasi terhadap
operasi atau pembiusan seperti pada bayi-bayi prematur yang
memiliki hyaline membran disease atau bayi yang memiliki kelainan
kongenital berat yang lain seperti gagal jantung. Pada giant
omphalocele bisa terjadi herniasi dari seluruh organ-organ
intraabdomen dan dinding abdomen berkembang sangat buruk,
sehingga sulit dilakukan penutupan (operasi/repair) secara primer dan
dapat membahayakan bayi. Beberapa ahli, walaupun demikian, pernah
mencoba melakukan operasi pada giant omphalocele secara primer
18
dengan modifikasi dan berhasil. Tindakan nonoperatif secara
sederhana dilakukan dengan dasar merangsang epitelisasi dari kantong
atau selaput. Suatu saat setelah granulasi terbentuk maka dapat
dilakukan skin graft yang nantinya akan terbentuk hernia ventralis
yang akan direpair pada waktu kemudian dan setelah status
kardiorespirasi membaik (Boykin, 2010).
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk merangsang epitelisasi
adalah 0,25 % merbromin (mercurochrome), 0,25% silver nitrat, silver
sulvadiazine dan povidone iodine (betadine). Obat-obat tersebut
merupakan agen antiseptik yang pada awalnya memacu pembentukan
eskar bakteriostatik dan perlahan-lahan akan merangsang epitelisasi.
Obat tersebut berupa krim dan dioleskan pada permukaan selaput atau
kantong dengan elastik dressing yang sekaligus secara perlahan dapat
menekan dan mengurangi isi kantong (Boykin, 2010).
Tindakan nonoperatif lain dapat berupa penekanan secara eksternal
pada kantong. Beberapa material yang biasa digunakan ialah ace
wraps, velcro binder, dan poliamid mesh yang dilekatkan pada kulit.
Glasser (2003) menyatakan bahwa tindakan nonoperatif pada
omfalokel memerlukan waktu yang lama, membutuhkan nutrisi yang
banyak dan angka metabolik yang tinggi serta omfalokel dapat ruptur
sehingga dapat menimbulkan infeksi organ-organ intraabdomen.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dari suatu studi, bayi-bayi
yang menjalani penatalaksanaan nonoperatif ternyata memiliki lama
rawat inap yang lebih pendek dan waktu full enteral feeding yang
lebih cepat dibanding dengan penatalaksanaan dengan silastic.
Indikasi terapi non bedah adalah (Minnesota, 2010):
a. Bayi dengan ompalokel raksasa (giant omphalocele) dan kelainan
penyerta yang mengancam jiwa dimana penanganannya harus
didahulukan daripada omfalokelnya.
b. Neonatus dengan kelainan yang menimbulkan komplikasi bila
dilakukan pembedahan.
19
c. Bayi dengan kelainan lain yang berat yang sangat mempengaruhi
daya tahan hidup.
Prinsip kerugian dari metode ini adalah kenyataan bahwa organ visera
yang mengalami kelainan tidak dapat diperiksa, sebab itu bahaya yang
terjadi akibat kelainan yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan
komplikasi misalnya obstruksi usus yang juga bisa terjadi akibat
adhesi antara usus halus dan kantong. Jika infeksi dan ruptur kantong
dapat dicegah, kulit dari dinding anterior abdomen secara lambat akan
tumbuh menutupi kantong, dengan demikian akan terbentuk hernia
ventralis, karena sikatrik yang terbentuk biasanya tidak sebesar bila
dilakukan operasi. Metode ini terdiri dari pemberian lotion antiseptik
secara berulang pada kantong, yang mana setelah beberapa hari akan
terbentuk skar. Setelah sekitar 3 minggu, akan terjadi pembentukan
jaringan granulasi yang secara bertahap karena terjadi epitelialisasi
dari tepi kantong. Penggunaan antiseptik merkuri sebaiknya dihindari
karena bisa menghasilkan blood and tissue levels of mercury well
above minimum toxic levels. Alternatif lain yang aman adalah alkohol
65% atau 70% atau gentian violet cair 1%. Setelah keropeng tebal
terbentuk, bubuk antiseptik dapat digunakan. Hernia ventralis
memerlukan tindakan kemudian tetapi kadang-kadang menghilang
secara komplet (Boykin, 2010).
4. Penatalaksanaan Operatif
Tujuan mengembalikan organ visera abdomen ke dalam rongga
abdomen dan menutup defek. Dengan adanya kantong yang intak, tak
diperlukan operasi emergensi, sehingga seluruh pemeriksaan fisik dan
pelacakan kelainan lain yang mungkin ada dapat dikerjakan.
Keberhasilan penutupan primer tergantung pada ukuran defek serta
kelainan lain yang mungkin ada (misalnya kelainan paru). Tujuan
operasi atau pembedahan ialah memperoleh lama ketahanan hidup
yang optimal dan menutup defek dengan cara mengurangi herniasi
organ-organ intraabomen, aproksimasi dari kulit dan fascia serta
dengan lama tinggal di RS yang pendek. Operasi dilakukan setelah
20
tercapai resusitasi dan status hemodinamik stabil. Operasi dapat
bersifat darurat bila terdapat ruptur kantong dan obstruksi usus.
Operasi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu primary closure
(penutupan secara primer atau langsung) dan staged closure
(penutupan secara bertahap). Standar operasi baik pada primary
ataupun staged closure yang banyak dilakukan pada sebagiaan besar
pusat adalah dengan membuka dan mengeksisi kantong. Organ-organ
intraabdomen kemudian dieksplorasi, dan jika ditemukan malrotasi
dikoreksi (Eijk, 2011).
a. Primary Closure
Primary closure merupakan treatment of choice pada omfalokel
kecil dan medium atau terdapat sedikit perbedaan antara volume
organ-organ intraabdomen yang mengalami herniasi atau
eviserasi dengan rongga abdomen. Primary closure biasanya
dilakukan pada omfalokel dengan diameter defek < 5-6 cm.
Operasi dilakukan dengan general anestesi dengan obat-obatan
blok neuromuskuler.
Mula-mula hubungan antara selaput dengan kulit serta fascia
diinsisi dan vasa–vasa umbilkus dan urakus diidentifikasi dan
diligasi. Selaput kemudian dibuang dan organ-organ
intraabdomen kemudian diperiksa. Sering defek diperlebar agar
dapat diperoleh suatu insisi linier tension free dengan cara
memperpanjang irisan 2 –3 cm ke superior dan inferior.
Kemudian dilakukan manual strecthing pada dinding abdomen
memutar diseluruh kuadran abdomen. Manuver tersebut
dilakukan hati-hati agar tidak mencederai liver atau ligamen.
Kulit kemudiaan dideseksi atau dibebaskan terhadap fascia secara
tajam. Fascia kemudian ditutup dengan jahitan interuptus begitu
pula pada kulit. Untuk kulit juga dapat digunakan jahitan
subkutikuler terutama untuk membentuk umbilikus
(umbilikoplasti) dan digunakan material yang dapat terabsorbsi.
Standar operasi ialah dengan mengeksisi kantong dan pada kasus
21
giant omphalocele biasanya dilakukan tindakan konservatif
dahulu, namun demikian beberapa ahli pernah mencoba
melakukan operasi langsung pada kasus tersebut dengan teknik
modifikasi (Eijk, 2011).
b. Staged closure
Pada kasus omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar
antara volume organ-organ intra abdomen yang mengalami
herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen seperti pada giant
omphalocele, dapat dilakukan tindakan konservatif. Cara tersebut
ternyata memakan waktu yang lama, membutuhkan nutrisi yang
banyak dan beresiko terhadap pecahnya kantong atau selaput
sehingga dapat timbul infeksi. Juga pada keadaan tertentu selama
operasi, ternyata tidak semua pasien dapat dilakukan primary
closure. Suatu studi melaporkan bahwa kenaikan IGP (intra
gastricpressure) > 20 mmHg dan CVP > 4 mmHg selama usaha
operasi primer dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intraabdomen yang dapat berakibat gangguan kardiorespirasi dan
dapat membahayakan bayi sehingga usaha operasi dirubah
dengan metode staged closure. Beberapa ahli kemudian mencari
solusi untuk penatalaksanaan kasus-kasus tersebut, yang akhirnya
ditemukan suatu metode staged closure. Staged closure telah
diperkenalkan pertama kali oleh Robert Gross pada tahun 1948
dengan teknik skin flap yang kemudian tejadi hernia ventralis dan
akhirnya cara tersebut dikembangkan oleh Allen dan Wrenn pada
tahun 1969 dengan suatu teknik “silo” (Eijk, 2011).
i. Teknik skin flap
Pada prosedur ini, dibuat skin flap melalui cara
undermining /mendeseksi/membebaskan secara tajam kulit
dan jaringan subkutan terhadap fascia anterior muskulus
rektus abdominis dan aponeurosis muskulus obliqus
eksternus disebelah lateralnya sampai batas linea aksilaris
anterior atau media. Kantong atau selaput dibiarkan tetap
22
utuh. Skin flap kemudian ditarik dan dipertemukan pada
garis tengah untuk menutupi defek yang kemudian cara
tersebut menimbulkan hernia ventralis. Hernia ventralis
timbul karena kulit terus berkembang sedangkan otot-otot
dinding abdomen tidak. Biasanya 6-12 minggu kemudian
dapat dilakukan repair terhadap hernia ventralis. Cara
tersebut juga dapat menimbulkan skar pada garis tengah
yang panjang sehingga menimbulkan bentuk umbilikus
yang relatif jauh dari normal. Beberapa ahli kemudian
mencoba suatu usaha agar didapatkan bentuk umbilikus
yang mendekati normal yaitu dengan cara umbilical
preservation.
Prosedur dilakukan dengan cara tidak memotong kantong
pada tempat melekatnya urakus dan vasa umbilikus serta
tidak memisahkan kutis dan subkutis dari fascia pada
daerah tersebut. Kemudian pada tempat tersebut dibuat
neoumbilikus dengan jahitan kontinyu (Eijk, 2011).
ii. Teknik silo
Teknik silo dapat dilakukan juga bila terdapat omfalokel
yang sangat besar sehingga tidak dapat dilakukan dengan
teknik skin flap. Silo merupakan suatu suspensi prostetik
yang dapat menjaga organ-organ intraabdomen tetap hangat
dan menjaga dari trauma mekanik terutama saat organ-
organ tersebut dimasukkan ke dalam rongga abdomen.
Operasi diawali dengan mengeksisi kantong atau selaput
omfalokel. Kemudian cara yang sama dilakukan seperti
membuat skin flap namun dengan lebar yang sedikit saja
sehingga cukup untuk memaparkan batas fascia atau otot.
Suatu material prostetik silo (Silastic reinforced with
Dacron) kemudian dijahitkan dengan fascia dengan benang
nonabsorble, sehingga terbentuk kantong prostetik
ekstraabdomen yang akan melindungi organ-organ
23
intraabdomen. Organ-organ intra abdomen dalam silo
kemudian secara bertahap dikurangi dan kantong diperkecil.
Usaha reduksi dapat dilakukan tanpa anestesi umum, tetapi
bayi harus tetap dimonitor di ruangan neonatal intensive
care. Reduksi dapat dicapai seluruhnya dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu.
Selama operasi terutama pada primary closure, haruslah
dipantau tekanan airway dan intra abdomen. Dulu beberapa
kriteria digunakan untuk memonitor selama operasi,
diantaranya angka respirasi, tekanan darah, warna kulit, dan
perfusi perifer (Eijk, 2011).
Observasi tersebut menjadi sulit dan kurang reliabel karena
bayi dibius dan mengalami paralisis. Dari hasil studi
dilaporkan bahwa Intraoperatif Measurement dengan cara
memonitor perubahan nilai CVP dan IGP (intra
gastricpressure) dapat digunakan untuk menentukan teknik
yang sebaiknya dilakukan dan memperkirakan hasil dari
teknik operasi yang dilakukan. Dia menyimpulkan pula
bahwa kenaikan IGP > 20 mmHg dan CVP > 4 mmHg
selama usaha primary closure dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intraabdomen yang dapat berakibat gangguan
kardiorespirasi bayi sehingga usaha operasi dirubah dengan
metode staged closure dan didapatkan hasil yang
memuaskan dari metode operasi tersebut. Perawatan
praoperasi meliputi pemberian glukosa 10% intravena, NGT
dan irigasi rektal untuk dekompresi usus serta antibiotik.
Cairan infus seluruhnya diberikan melalui ektremitas atas.
Pada penutupan primer omfalokel, eksisi kantong amnion,
pengembalian organ visera yang keluar ke dalam kavum
peritoneal dan penutupan defek dinding anterior abdomen
pada 1 tahap merupakan metode operasi pertama untuk
omfalokel and masih merupakan metode yang memuaskan.
24
Hal ini dikerjakan untuk omfalokel dengan ukuran defek
yang kecil dan sedang. Pada sebagian besar kasus omfalokel
secara tehnik masih mungkin untuk mengembalikan organ
visera ke dalam abdomen dan memperbaiki dinding
abdomen. Pada kasus dengan defek yang besar, terutama
bila sebagian besar hepar menempati kantung, rongga
abdomen tidak cukup untuk ditempati seluruh organ visera,
hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdomen karena rongga abdomen terlalu penuh (Eijk,
2011).
5. Penatalaksanaan Pasca Operasi
Hiperalimentasi perifer dianjurkan pada hari ke-2 atau ke-3
pascaoperasi atau jika penutupan kulit dapat dicapai, hiperalimentasi
sentral is inserted. Resiko sepsis meningkat saat kateter sentral
terpasang pada bayi dengan pemasangan silastic.Konsekuensinya pada
bayi ini tidak ada alternatif selain alimentasi perifer. Gastrostomi
meningkatkan resiko infeksi. Konsekuensinya lambung didrainase
dengan kateter plastik kecil. Fungsi usus pada bayi dengan omfalokel
adalah tertunda. Disfungsi usus membutuhkan waktu lama untuk
normal, dari 6 minggu sampai beberapa bulan. Dalam waktu kurang
dari 2 minggu pasca penutupan primer , mereka jarang toleransi penuh
dengan makanan oral Pemantauan selama operasi haruslah dilanjutkan
setelah operasi, termasuk pemberiaan antibiotik dan nutrisi.
Pemberian antibitoik berfungsi mencegah infeksi seperti selulitis dan
biasanya dilanjutkan sampai gejala peradangan mereda atau selama
terpasang material prostetik. Fungsi usus biasanya akan kembali
setelah 2-3 hari dari waktu primary closure sehingga nutrisi enteral
awal dapat diberikan (Boykin, 2010).
Pada staged repair, total perenteral nutrisi (TPN) diberikan lebih lama
lagi sampai dengan fungsi usus kembali normal. Glasser (2003)
menyebutkan bahwa fungsi usus akan cepat kembali normal jika
peradangan mereda. Akibat awal operasi dapat terjadi kenaikan
25
tekanan intraabdomen yang berakibat menurunnya aliran vena kava
(venous return) ke jantung dan menurunnya kardiac output. Selain itu
diafragma dapat terdorong ke rongga thoraks yang menyebabkan
naiknya tekanan airway dan beresiko terjadinya barotrauma dan
insufisiensi paru. Keadaan itu semua dapat menimbulkan hipotensi,
iskemia usus, gangguan respirasi (ventilasi) serta gagal ginjal.
Termasuk dari komplikasi awal operasi adalah timbulnya obtruksi
intestinal, NEC, infeksi yang dapat berakibat sepsis, juga dapat terjadi
kegagalan respirasi yang menyebabkan pasien tergantung pada
ventilator yang lama sehingga timbul pneumonia. Eijk (2011)
melaporkan dari kasusnya bahwa obstruksi usus dapat disebabkan
karena adhesi usus dengan jaringan fibrous pada penutupan skin flap.
NEC dapat disebabkan karena iskemia usus karena volvulus atau
karena tekanan intraabdomen yang meningkat. Infeksi biasanya terjadi
pada staged closure dimana terdapat pemaparan luka berulang dan
penggunaan material prostetik. Komplikasi lanjut dari operasi
termasuk hernia ventralis dan lambatnya pertumbuhan anak.
G. PROGNOSIS
Prognosis bayi dengan omfalokel lebih sulit untuk digeneralisasikan, tetapi
kebanyakan mortalitas dan morbiditas berhubungan dengan anomaly
daripada defek dinding abdomen itu sendiri (Ledbetter, 2006). Survival
rate pada bayi omfalokel dipengaruhi oleh beberapa hal dibawah ini
(Minnesota, 2010)
1. Prematuritas
Neonatus yang lahir pada usia gestasi <36 minggu memiliki survival
rate yang rendah, 57%. Survival rate akan meningkat dengan
peningkatan usia gestasi >36 minggu mencapai 87%
2. Ukuran omfalokel
Pada omfalokel yang mengandung organ hati, umumnya merupakan
suatu giant omphalocele. Kebanyakan akan mengalami gangguan pada
perkembangan paru, bayi ini akan mengalami kesulitan bernapas. Bayi
ini memiliki survival rate 50%.
26
3. Adanya anomali pada organ lain
Neonatus dengan defek tambahan memiliki survival rate yang rendah.
Dapat dilihat pada tabel berikut:
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-eksperimental
menggunakan metode survei deskriptif dengan pendekatan deskriptif
retrospektif untuk mengetahui distribusi frekuensi dan penatalaksanaan
omfalokel di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari
2008- Juni 2013. Subjek penelitian adalah pasien dengan diagnosis omfalokel
yang masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, periode
Januari 2008 sampai Juni 2013.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi target
Populasi yang menjadi target penelitian kali ini adalah semua pasien
dengan omfalokel.
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian adalah pasien dengan omfalokel
yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto.
2. Sampel
Notoatmodjo (2005), menyebutkan sampel adalah sebagian atau
wakil populasi dari keseluruhan populasi yang diteliti dan dianggap
mewakili. Sampel penelitian merupakan populasi terjangkau yaitu pasien
dengan omfalokel yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi dan eksklusi
1) Kriteria inklusi meliputi:
Pasien omfalokel yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto pada periode Januari 2008- Juni 2013
2) Kriteria eksklusi
Pasien yang data rekam mediknya tidak ditemukan
28
b. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling, yaitu
pengambilan seluruh sampel pada populasi terjangkau (Budiarto,
2003).
c. Besar sampel
Berdasarkan informasi dari rekam medik, diperoleh data bahwa
populasi terjangkau sebesar 13 pasien.
C. Pengumpulan Data
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif
dengan cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien omfalokel yang
masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode
Januari 2008 sampai Juni 2013. Data rekam medik pasien diambil dari bagian
Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pengambilan
data dilakukan pada bulan Juli 2013. Rekam medis dikumpulkan, dianalisis,
dan dilakukan tabulasi sehingga dapat diketahui distribusi frekuensi jenis
kelamin, dan penatalaksanaan.
D. Tata Urutan Kerja
1. Pengambilan data sekunder pasien dengan diagnosis omfalokel di rekam
medik pasien di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2. Tahap pengolahan dan analisis data.
3. Tahap penyusunan laporan.
E. Analisis Data
Analisis data merupakan bagian dari suatu penelitian, di mana tujuan
dari analisis data adalah agar diperoleh suatu kesimpulan masalah yang
diteliti. Data yang telah terkumpul dari bagian rekam medik akan diolah dan
dianalisis secara deskriptif.
Analisis data yang digunakan adalah metode analisis univariat.
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel
berupa distribusi frekuensi dan persentase pada setiap variabel seperti jenis
29
kelamin, dan penatalaksanaan. Analisa data secara deskriptif disajikan dalam
bentuk tabel frekuensi.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli 2013 di bagian Rekam
Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Puwokerto.
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Data hasil penelitian menunjukkan jumlah pasien omfalokel di RSUD.
Prof. dr. Margono Soekarjo pada bulan Januari 2008- Juni 2013 sebanyak 29
kasus. Dari 29 kasus tersebut, 16 kasus tidak ditemukan data rekam medisnya,
sehingga hanya terdapat 13 kasus yang dapat diteliti pada studi ini. Berikut
gambaran data penderita omfalokel berdasarkan jenis kelamin, usia, keadaan
pasien dan penatalaksanaan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan
Januari 2008- Juni 2013.
Tabel 1. Distribusi frekuensi penderita omfalokel
di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
Diagram 1. Presentase distribusi frekuensi penderita omfalokel di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013.
15%
15%
40%
15%
15%
200820092010201120122013
31
Tahun Jumlah kasus Presentase
2008 0 0 %
2009 2 15%
2010 2 15%
2011 5 40 %
2012 2 15%
2013 2 15 %
Jumlah 13 100 %
Tabel 2. Distribusi frekuensi penderita omfalokel berdasarkan jenis kelamin di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
(persentase)
Laki-laki 0 2 0 4 2 1 9 (69%)
Perempuan 0 0 2 1 0 1 4 (31 %)
0 2 2 5 2 2 13 (100 %)
Diagram 2. Distribusi frekuensi penderita omfalokel berdasarkan jenis kelamin
di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
69%
31%
Laki-lakiPerempuan
Diagram 3. Persentase distribusi penderita omfalokel berdasarkan jenis kelamin di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
2008 2009 2010 2011 2012 20130
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Laki-lakiPerempuan
32
Tabel 3. Distribusi frekuensi penderita omfalokel berdasarkan usia di RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
Usia Jumlah
(persentase)
≤ 1 bulan 9 (73%)
1-12 bulan 2 (18%)
> 1 tahun 1 (9%)
Jumlah 13 (100%)
Diagram 4. Presentase distribusi frekuensi penderita omfalokel berdasarkan
usia di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008-Juni 2013
73%
18%9%
≤ 1 bulan1-12 bulan> 1 tahun
Tabel 4. Persentase jenis penatalaksanaan omfalokel
di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
Penatalaksanaan Omfalokel Jumlah
(persentase)
Undermining 2 (16%)
Konservatif 11 (84%)
Jumlah 13(100%)
Diagram 5. Persentase jenis penatalaksanaan omfalokel di RSUD. Prof.dr.
Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni 2013
33
16%
84%
UnderminingKonservatif
Tabel 5. Persentase Keadaan Pasien Post Perawatan atas indikasi
omfalokel di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni
2013
Keadan Pasien Post Perawatan
Omfalokel
Jumlah
(persentase)
Hidup 5 (39%)
Meninggal 0 (0%)
Pulang atas permintaan sendiri 8 (61%)
Jumlah 13 (100%)
Diagram 6. Persentase Keadaan Pasien Post Perawatan atas indikasi
omfalokel di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008- Juni
2013
39%
61%
HidupMeninggalPulang atas permintaan sendiri
B. Pembahasan
34
Jumlah penderita omfalokel di RSUD.Prof.dr. Margono Soekarjo
pada bulan Januari 2008- Juni 2013 sebanyak 29 orang. Namun hanya 13
orang yang ditemukan rekam medisnya, sehingga subyek pada penelitian ini
hanya berjumlah 13 orang. Penderita omfalokel terbanyak terjadi pada tahun
2011 yaitu sebanyak 5 orang dan paling sedikit terjadi pada tahun 2008 yakni
tidak ada. Pada tahun 2009 penderita omfalokel sebanyak 2 orang, pada tahun
2010 sebanyak 2 orang, pada tahun 2012 sebanyak 2 orang dan pada tahun
2013 sebanyak 2 orang.
Data yang didapatkan dari RSUD. Prof. dr. Margono Soekarjo
menunjukkan bahwa persentase kejadian omfalokel pada laki-laki sebesar
69% yaitu 9 kasus sedangkan pada perempuan sebesar 31% yaitu 4 kasus
atau perbandingan antara laki-laki dengan perempuan sekitar 2:1. Hasil ini
tidak sesuai dengan Eijk (2011) dan yang menyatakan bahwa perbandingan
kejadian omfalokel antara laki-laki dengan perempuan sama yakni 1:1.
Perbedaan ini mungkin dapat disebabkan karena faktor keterbatasan jumlah
sampel yang disertakan pada penelitian ini.
Penderita omfalokel di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo pada
bulan Januari 2008- Juni 2013 terbanyak berusia ≤ 1 bulan yaitu sebanyak 9
orang (73 %), sedangkan jumlah yang paling sedikit dijumpai pada penderita
yang berusia 1-12 bulan yaitu sebanyak 2 orang (18 %) dan penderita yang
berusia > 1 tahun sebanyak 1 orang (9 %).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa distribusi penderita
omfalokel yang terbanyak yaitu pada kelompok usia ≤ 1 bulan atau pada
periode neonatus, yaitu sebesar 73%. Hal ini sesuai dengan Boykin (2010)
dan Glesser (2003), yang menyatakan bahwa omfalokel dapat diketahui
segera setelah bayi lahir. Bahkan penyakit ini dapat dideteksi pada periode
prenatal. Keterlambatan diagnosis jarang terjadi, sedangkan keterlambatan
penanganan dapat terjadi karena faktor eksternal seperti keadaan sosial
ekonomi keluarga, pendidikan keluarga, akses pelayanan kesehatan dan lain-
lain.
Penatalaksanaan kasus megakolon kongenital di RSUD. Prof.dr.
Margono Soekarjo berdasarkan data didapatkan bahwa tindakan yang
35
dilakukan adalah undermining yaitu sebanyak 2 kasus (16%), sedangkan
untuk perawatan konservatif didapatkan sebanyak 11 kasus (84%).
Undermining merupakan tindakan membebaskan secara tajam kulit dan
jaringan subkutan terhadap fascia anterior muskulus rektus abdominis dan
aponeurosis muskulus obliqus eksternus disebelah lateralnya sampai batas
linea aksilaris anterior atau media (Eijk, 2011).
Data yang didapatkan dari RSUD. Prof. dr. Margono Soekarjo
menunjukkan bahwa persentase keadaan pasien post perawatan atas indikasi
omfalokel yang tercatat keluar dari rumah sakit dalam kondisi hidup sebesar
39% yaitu 5 kasus, tidak ada yang tercatat meninggal selama perawatan, dan
yang tercatat pulang atas permintaan sendiri sebesar 61% yaitu 8 kasus.
Menurut Ledbetter (2006), pasien dengan omfalokel akan sangat mudah
terinfeksi akibat paparan organ intraabdomen dengan dunia luar. Infeksi dapat
disertai sepsis dan kekurangan nutrisi. Kondisi ini yang sering menyebabkan
kematian pada penderita omfalokel. Meskipun demikian, prognosisnya
tergantung pada prematuritas, ukuran omfalokel dan anomali organ lainnya
seperti jantung, anus dan kromosom (Minnesota, 2010).
BAB V
KESIMPULAN
36
1. Omfalokel adalah defek dinding abdomen padagaris tengah dengan berbagai
derajat ukuran, disertai hernia visera yang ditutupioleh membran yang di
terdiri atas peritoneum di lapisan dalam dan amnion dilapisan luar serta
Wharton’s Jelly di antara lapisan tersebut.
2. Etiologi omfalokel dapat berupa faktor kehamilan dengan resiko tinggi,
defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat, serta polihidramnion.
3. Diagnosis omfalokel ditegakkan pada saat prenatal (dengan USG dan AFP
maternal) dan saat postnatal (melalui pemeriksaan fisik yakni adanya defek
sentral dinding abdomen pada daerah tali pusat).
4. Penatalaksanaan omfalokel terdiri dari tindakan nonoperatif (penatalaksanaan
prenatal, postnatal dan konservatif) serta tindakan operatif.
5. Tindakan operatif terdiri dari primary closure dan staged closure
6. Prognosis omfalokel bergantung pada prematuritas, ukuran omfalokel dan
kelainan organ lainnya seperti jantung, anus dan kromosom.
7. Data penelitian ini diambil dengan pendekatan deskriptif retrospektif dengan
cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien omfalokel yang masuk ke
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode Januari 2008
sampai Juni 2013.
8. Jumlah penderita magacolon congenital di RSUD.Prof.dr. Margono Soekarjo
pada bulan Januari 2008- Juni 2013 sebanyak 29 orang. Sedangkan subyek
dalam penelitian ini sebanyak 13 orang.
9. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan data penderita omfalokel di
RSUD.Prof.dr. Margono Soekarjo selama periode Januari 2008- Juni 2013 :
a. Laki-laki : 9 (69%)
b. Perempuan : 4 (31 %)
10. Data penderita omfalokel menurut usia di RSUD.Prof.dr. Margono Soekarjo
selama periode Januari 2008- Juni 2013 :
a. ≤ 1 bulan : 9 (73%)
b. 1-12 bulan : 2 (18%)
c. > 1 tahun : 1 (19%)
37
11. Data jenis penatalaksanaan omfalokel di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo
bulan Januari 2008-Juni 2013 :
a. Undermining : 2 (16%)
b. Konservatif : 11 (84%)
DAFTAR PUSTAKA
38
Carmen & John Thain. 2010. Understanding Omphalochele. Center for Prenatal Pediatrics. New York: Columbia University Medical Center
Boykin K. 2010. Gastroschisis vs Omphalocele. Tersedia di http://www.sh.lsuhsc.edu/Pediatrics/documents/Gastroschisis%20vs%20Omphalocele.pdf. Dikunjungi tanggal 5 Juli 2013.
Blazer S, Zimmer EZ, Gover A, Bronshtein M. 2004. Fetal Omphalocele Detected Early in Pregnancy: Associated Anomalies and Outcomes. RSNA;232:191-195.
Budiarto, E. 2003.Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC.
Eijk FCV. 2011. Strategies and Trends in The Treatment of (Giant) Omphalocele. Erasmus Universiteit Rotterdam. Optima Grafische Communicatie, Rotterdam, The Netherlands
Glasser JG. 2003. Pediatric Omphalocele and Gastroschisis. Medscpape Reference. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/975583-overview. Dikunjungi tanggal 5 Juli 2013.
Lagay ERC, Kelleher CM, Langer JC. 2011. Neonatal Abdominal Wall Defects. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine; 16:164-172.
Ledbetter DJ. 2006. Gastroschisis and Omphalocele. Surg Clin N Am; 86:249–260.
Minnesota. 2010. Question and Aswer about Omphalocele. Neonatal Facts. Minnesota Neonatal Physician.
Notoatmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ragarwal. 2005. Prenatal Diagnosis of Anterior Abdominal Wall Defect: Pictorial Essay.Ind J Radiol Imag;15:3:361-372.
Reksoprodjo S. 2002. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.
39