refrat imunologi

55
1 I. PENDAHULUAN Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan tubuh. Terminologi kata imunologi berasal dari kata immunitas dari bahasa latin yang berarti pengecualian atau pembebasan. Istilah itu awalnya dipakai oleh senator Roma yang mempunyai hak- hak istimewa untuk bebas dari tuntutan hukum pada masa jabatannya. Immunitas (imunitas) selanjutnya dipakai untuk suatu pengertian yang mengarah pada perlindungan dan kekebalan terhadap suatu penyakit, dan lebih spesifik penyakit infeksi. Konsep imunitas yang berarti perlindungan dan kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh manusia sejak jaman dahulu. Pada saat ilmu imunologi belum berkembang, nenek moyang bangsa Cina membuat puder dari serpihan kulit penderita cacar untuk melindungi anak-anak mereka dari penyakit tersebut. Puder tersebut selanjutnya dipaparkan pada anak-anak dengan cara dihirup. Cara yang mereka lakukan berhasil mencegah penularan infeksi cacar dan mereka kebal walaupun hidup pada lingkungan yang menjadi wabah. Saat itu belum ada ilmuwan yang dapat memberikan penjelasan, mengapa anak-anak yang menghirup puder dari serpihan kulit penderita cacar menjadi imun (kebal) terhadap penyakit itu.

Upload: aispoundra

Post on 06-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Obstetri Ginekologi

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Imunologi

1

I. PENDAHULUAN

Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan

tubuh. Terminologi kata imunologi berasal dari kata immunitas dari bahasa latin

yang berarti pengecualian atau pembebasan. Istilah itu awalnya dipakai oleh

senator Roma yang mempunyai hak-hak istimewa untuk bebas dari tuntutan

hukum pada masa jabatannya. Immunitas (imunitas) selanjutnya dipakai untuk

suatu pengertian yang mengarah pada perlindungan dan kekebalan terhadap suatu

penyakit, dan lebih spesifik penyakit infeksi. Konsep imunitas yang berarti

perlindungan dan kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh manusia sejak jaman

dahulu. Pada saat ilmu imunologi belum berkembang, nenek moyang bangsa Cina

membuat puder dari serpihan kulit penderita cacar untuk melindungi anak-anak

mereka dari penyakit tersebut. Puder tersebut selanjutnya dipaparkan pada anak-

anak dengan cara dihirup. Cara yang mereka lakukan berhasil mencegah penularan

infeksi cacar dan mereka kebal walaupun hidup pada lingkungan yang menjadi

wabah. Saat itu belum ada ilmuwan yang dapat memberikan penjelasan, mengapa

anak-anak yang menghirup puder dari serpihan kulit penderita cacar menjadi imun

(kebal) terhadap penyakit itu.

Imunologi tergolong ilmu yang baru berkembang. Ilmu ini sebenarnya

berawal dari penemuan vaksin oleh Edward Jenner pada tahun 1796. Edward

Jenner dengan ketekunannya telah menemukan vaksin penyakit cacar menular,

smallpox. Pemberian vaksin terhadap individu sehat selanjutnya dikenal dengan

istilah vaksinasi. Pada tahun 1890, Emil von Behring dan Shibasaburo Kitasato

menemukan bahwa individu yang telah diberi vaksin akan menghasilkan antibodi

yang bisa diamati pada serum. Antibodi ini selanjutnya diketahui bersifat sangat

spesifik terhadap antigen.

Pengertian awal immunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan

lebih spesifik lagi perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang

bertanggung jawab atas immunitas disebut sistem imun dan respons komponennya

secara bersama dan terkoordinasi disebut respon imun. Immunologi dalam

Page 2: Refrat Imunologi

2

pengertian modern adalah ilmu eksperimental, dimana penjelasan tentang

fenomena immunologi didasarkan atas observasi eksperimental dan kesimpulan-

kesimpulan yang dihasilkannya. Untuk menilai fungsi imunologik, berbagai

pengujian baik in vivo maupun in vitro telah dikembangkan dan diterapkan. Untuk

dapat memilih jenis pengujian in vitro yang perlu dilakukan dan memilih metoda

yang tepat serta menafsirkan hasilnya, diperlukan suatu pengetahuan dasar

imunologi, pengetahuan mengenai mekanisme respons imun dan imunopatologi

II. SISTEM IMUN

Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen,

misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan

infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat

dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia

memiliki suatu sistem imun yang memberikan respon dan melindungi tubuh

terhadap unsur-unsur patogen tersebut.

Respons imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk

mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan

kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen

bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistem imun

yaitu limfosit yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai

jenis sel. Pengenalan antigen sangat penting dalam fungsi sistem imun normal,

karena limfosit harus mengenal semua antigen pada patogen potensial dan pada

saat yang sama ia harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh sendiri

(toleransi). Unfuk mengatasi hal itu, limfosit pada seorang individu melakukan

diversifikasi selama perkembangannya demikian rupa sehingga populasi limfostt

secara keseluruhan mampu mengenal molekui asing dan membedakannya dari

molekul jaringan atau sel tubuh sendiri. Kemampuan diversifikasi dimiliki oleh

komponen-komponen sistem irnun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler

yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang,

Page 3: Refrat Imunologi

3

kelenjar limfe, limpa, thymus, sistem saluran nafas, saluran cerna dan organ-organ

lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel induk (stem cell)

dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, kemudian

beredar daiam tubuh melalui darah, getah bening serta jaringan limfoid, dan dapat

menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan

fungsinya masing-masing.2 Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila ke

dalam tubuh masuk suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing.

Sistem imun dapat membedakan zat asing (non-self) dan zal yang berasal dari

tubuh sendiri (self). Pada beberapa keadaan patologik, sistem imun tidak dapat

membedakan self dan non-self sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat

anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Zat anti itu disebut autoantibodi

Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua

jenis respons imun yang mungkin terjadi, yaitu: l) respons imun nonspesifik, dan

2) respons imun spesifik. Respons imun nonspesifik umumnya merupakan

imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respons terhadap zat asing

dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut,

sedangkan respons imun spesifik merupakan respons didapat (acquired) yang

timbul terhadap antigen tertentu, terhadap mana tubuh pernah terpapar

sebelumnya. Perbedaan utama antara kedua jenis respons imun itu adaiah : l)

respons imun spesifik menunjukkan diversitas yang sangat besar; 2) sistem imun

spesifik menunjukkan tingkat spesialisasi yang cukup tinggi; ini berarti bahwa

mekanisme respons imun terhadap berbagai jenis antigen tidak sama; 3) sistem

imun spesifik mampu mengenal kembali antigen yang pernah dijumpainya

(memiliki memory), sehingga paparan berikutnya akan meningkatkan efektifitas

mekanisme pertahanan tubuh.3 Sifat-sifat demikian tidak dimiliki oleh sistem imun

bawaan. Namun demikian pengelompokan respons imun ke dalam 2 kelompok

tersebut terlalu disederhanakan karena telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons

di atas saling meningkatkan efektivitas dan bahwa respons imun yang terjadi

sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain

Page 4: Refrat Imunologi

4

yang terdapat di dalam sistem imun. Di antara aktivitas terpadu antara kedua

sistem yang paling penting adalah: 1) respons imun bawaan terhadap rnikroba

merangsang dan mempengaruhi sifat respons sistem imun didapat; 2) sistem imun

didapat menggunakan berbagai mekanisme efektor sistem imun bawaan untuk

menyingkirkan mikroba dan seringkali ia meningkatkan fungsi sistem imun

bawaan. Interaksi tersebut berlangsurig bersama-sama secara terpadu demikian

rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi

seperti sebuah konsep. Pada stadium awal (inisiasi) respons imun, sekelompok sel

fungsional yang disebut antigen presenting cells (APC) menangkap antigen

kemudian menyajikannya kepada limfosit dalam'bentuk yang dapat dikenal oleh

limfosit. Cara penyajian antigen yang berbeda-beda menentukan apakah akan

terjadi respons imun dan jenis respons imun yang mana yang akan terjadi.

Imunitas non-spesifik tidak hanya berfungsi memberikan respons dini terhadap

mikroba tetapi juga memegang peran penting dalam menginduksi respons imun

spes1fik.3 Walaupun berbagai mekanisme yang terjadi tidak dapat dipisahkan satu

dari yang lain, untuk memudahkan pembicaraan, respons nonspesifik dan respons

spesifik akan dibahar secara terpisah

A. Respon imun nonspesifik

Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah Pertahanan fisik

dan kimiawi seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada

permukaan epitel; berbagai jenis protein dalam dalam darah termasuk di

antaranya komponen-komponen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya

dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel pollimorfonuklear dan

makrofag serta sel natural killer (NK). Salah satu upaya tubuh untuk

mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya antigen bakteri,

adalah menghancurkan bakteri besangkutan secara nonspesifik dengan proses

fagositosis, tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan kecil yang ada di antara

subsransi-substansi asing itu. Dalam hal ini leukosit yang termasuk fagosit

Page 5: Refrat Imunologi

5

memegang peran yang amat penting, khususnya makrofag demikian pula

neutrofil dan monosit. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagosit tersebut

harus berada dalam jarak dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi

bahwa partikel tersebut harus melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai

hal ini maka fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dimungkinkan

berkat dilepaskannya zat atau mediator tertenfu yang disebut faktor leukotaktik

atau kemotaktikyang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh

neutrophil atau makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi bakteri, atau

yang dilepaskan oleh komplemen. Selain faktor kemotaktik yang menarik

fagosit menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis seianjutnya bakteri

perlu mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih

dahulu dilapisi (opsonisasi) oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), agar

supaya lebih mudah ditangkap cleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk

ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom ia

terperangkap dalam kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk kemudian

dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat

keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan

gangguan metabolisme bakteri. 6,7,8

Selain fagositosis, manifestasi respons imun nonspesifik yang lain adalah reaksi

inflamasi. Sel-sel sistem imun tersebar di seluruh tubuh, tetapi bila terjadi

infeksi di satu tempat perlu upaya memusatkan sel-sel sistem imun itu dan

produk-produk yang dihasilkannya ke lokasi infeksi. Selama respons ini

berlangsung, terjadi 3 proses penting, yaitu: peningkatan aliran darah di area

infeksi, peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang

mengakibatkan molekul-molekur besar dapat menembus dinding vaskular,

leukosit dan migrasi ke luar vaskular. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya

mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel misalnya histamin yang

dilepaskan oleh basofil dan mastosit, vasoactive amine yang dilepaskan oleh

trombosit, serta anafilatoksin berasal dari komponen-komponen komplemen

Page 6: Refrat Imunologi

6

yang merangsang pelepasan mediator-mediator oleh mastosit dan basofil

sebagai reaksi umpan balik. Mediator-mediator ini antara lain merangsang

bergeraknya sel-sel polimorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen

serta meningkatkan permeabilitas dinding vaskular yung mengakibatkan

eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut, respons

inflamasi akut.8,10

B. Respons imun spesifik

Ciri utama sistem imun spesifik adalah3:

1) Spesifisitas

Ini berarti bahwa respons yang timbul terhadap antigen, bahkan terhadap

komponen struktural kompleks protein atau polisakarida yang berbeda.

Bagian dari antigen tersebut yang dikenal oleh limfosit disebut determinan

antigen atau epitop. Spesifisitas ini terjadi karena masing-masing limfosit

mengekspresikan reseptor yang mampu membedakan struktur antigen satu

dengan lain walaupun perbedaan itu sangat kecil. Klon limfosit dengan

berbagai spesifisitas terdapat pada individu yang belum tersensitisasi dan

mampu mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing.

2) Diversitas

Jumlah total spesifisitas limfosit terhadap antigen dalam satu individu vang

disebut lymphocyte repertoire, sangat besar. Diduga bahwa sistem imun

mamalia dapat membedakan sedikitnya 109 antigen yang berbeda. Hal ini

dimungkinkan karena limfosit memiliki reseptor terhadap antigen dengan

struktur yang berbeda-beda, tergantung pada antigen yang dikenalnva. Setiap

klon limfosit memiiiki struktur yang berbeda dari klon limfosit yang lain,

sehingga dengan demikian terdapat diversitas repertoire yung sangat besar.

3) Memori

Limfosit memiliki-kemampuan mengingat antigen yang pernah dijumpainya

dan memberikan respons yang lebih efektif pada perjumpaan berikutnya;n

Page 7: Refrat Imunologi

7

Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat dimusnahkan

dan sel-sel sistem imun kemudian mengadakan involusi, namun respons

primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon limfosit atau

kelompok sel yang disebut memory cells yang dapat mengenali antigen

bersangkutan. Apabila antigen yang sama dikemudian hari masuk ke dalam

tubuh, maka klon limfosit tersebut akan berproliferasi dan menimbulkan

respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif

dibandingkan respons primer.

4) Spesialisasi

Sistem imun memberikan respons yang berbeda dan dengan cara yang

berbeda terhadap berbagai mikroba yang berlainan. Imunitas humoral dan

imunitas seluler dapat dibangkitkan oleh berbagai jenis mikroba atau oleh

mikroba yang sama pada berbagai jenis stadium infeksi, dan setiap jenis

respons imun yang dibangkitkannya bersifat protektif terhadap mikroba

bersangkutan. Dalam setiap jenis respons imun, sifat antibodi dan limfosit

yang dibentuk dapat berbeda bergantung pada jenis mikroba yang

merangsangnya.

5) Mernbatasi diri (self limition)

Semua respons imun normal mereda dalam waktu tertentu setelah

rangsangan antigen. Hal ini dimungkinkan karena antigen yang merangsang

telah disingkirkan dan adanya regulasi umpan balik dalam sistem yang

menyebabkan respons imun terhenti

6) Membedakan self dari non-self

Sistem imun menunjukkan toleransi terhadap antigen tubuh sendiri. Hal ini

dimungkinkan karena limfosit-limfosit yang memiliki reseptor terhadap

antigen jaringan tubuh sendiri (limfosit autoreaktif) telah disingkirkan pada

saat perkembangan. Seluruh sifat utama di atas diperlukan apabila sistem

imun berfungsi normal.

Page 8: Refrat Imunologi

8

Dengan uraian di atas dapat dimengerti bahwa limfosit merupakan inti

dalam proses respons imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap

jenis antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular

misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah. Antigen dapat berupa molekul

yang berada pada permukaan unsur patogen atau dapat juga merupakan toksin

yang diproduksi oleh patogen bersangkutan. Sebenarnya ada beberapa

subpopulasi limfosit tetapi secara garis besar lirnfosit digolongkan dalam 2

populasi yaitu limfosit T yang berfungsi dalam respons imun selular dan

limfosit yang berfungsi dalam respons imun humoral.2 Walaupun respons imun

ini merupakan respons imun spesifik, pada hakekatnya respons imun yang

terjadi merupakan interaksi antara limfosit dan fagosit. Respons imun spesifik

dimulai dengan aktivitas makrofag atau antigen presenting cell (APC) yang

memproses antigen demikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi

dengan sel-sel sistem imun spesifik. Dengan rangsangan antigen yang telah

diproses tadi, sel-sel system imun berproliferasi dan berdiferensiasi sehingga

menjadi sel-sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi

dengan antigen. 10,11

Dalam mengenali antigen secara spesifik, ada 3 macam molekul pengikat

antigen (antigen binding molecules) yang terlibat, yaitu reseptor antigen pada

permukaan sel B (imunoglobulin permukaan, sIg), reseptor antigen pada sel T

(TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan II.

Reseptor antigen pada permukaan limfosit sangat polimorfik dan berbeda antara

satu klon dengan klon yang lain; diversitas ini diperoleh saat perkembangan

limfosit. Molekul MHC juga sangat polimorfik dan berbeda antara anggota

populasi satu dengan yang lain tetapi tidak berbeda dalam satu individu.

Fungsinya adalah menyajikan fragmen-fragmen antigen untuk dikenali oleh

limfosit T. MHC kelas I diekspresikan oleh semua sel berinti dan trombosit

sedangkan MHC kelas II diekspresikan secara terbatas. Reseptor sel T dan

Page 9: Refrat Imunologi

9

MHC merupakan molekul-molekul yang saling melengkapi untuk mengenali

antigen yang disajikan oleh atau berasal dari dalam sel lain.2

Walaupun pada hakekatnya respons imun spesifik merupakan interaksi

antara berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama- sama, untuk

memudahkan pembahasannya, respons imun spesifik dibagi dalam 3 golongan,

yaitu:

1. Respons imun selular

Banyak mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak intraselular,

antara lain virus dan mikroba intraseluler seperti M-tuberkulosa yang hidup

dalam makrofag sehingga sulit dijangkau oleh antibodi. Untuk melawan

mikroorganisme intraselular bersangkutan diperlukan respons imun selular

yang merupakan fungsi limfosit T. Ada dua cara untuk menyingkirkan

mikroorganisme intraseluler ini. Sel terinfeksi dapat dibunuh melalui

sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau sel

terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh mikroorganisme yang

menginfeksinya. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan

mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan yang terdapat pada

sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui reseptor TCR dan molekul

MHC kelas-II. Sinyal yang diterima.dari sel terinfeksi ini menginduksi

limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk di antaranya

interferon, yang dapat membantu makrofag menghancurkan

mikroorganisme tersebu1.2,12,13 Subpopulasi limfosit T lain yang disebut sel

T-sitotoksik (Tc) juga berfungsi menghancurkan mikroorganisme

intraseluler yang disajikan melalui atau bersama-sama dengan MHC kelas I

dengan cara kontak langsung antar-sel (cell to cell contact). Selain

menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T sitotoksik juga

menghasilkan γ-interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke

sel-sel yang lain. Respons imun seluler juga merupakan mekanisme utama

dalam pertahanan tubuh terhadap tumor.

Page 10: Refrat Imunologi

10

2. Respons imun humoral

Respons imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya, yaitu

antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler.

Respons ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi

(klon) sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke

dalam darah. Pada respons humoral juga berlaku respons primer yang

membentuk klon sel B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk

memproduksi satu jenis antibodi spesifik terhadap antigen tertentu (clonal

selection). Antibodi ini berikatan dengan antigen membentuk kompleks

antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan

hancurnya antigen tersebut. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan

membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit Th yang atas sinyal yang

diberikan oleh makrofag, merangsang sel B untuk memproduksi antibodi.

Selain oleh sel Th, produksi antibodi juga diatur oleh sel T-supresor,

demikian rupa sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan

yang dibutuhkan.14,15,16

3. Interaksi antara respons imun selular dengan respons imun humoral

Salah satu interaksi antara respons imun seller dengan humoral adalah

interaksi yang disebut antibody dependent cell mediated cytotoxicity

(ADCC). Istilah ini diberikan karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh

antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran

(opsonisasi), sehingga sel NK (Natural Killer) yang mempunyai reseptor

terhadap fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada sel atau antigen

sasaran. Pengikatan sel NK melalui reseptornya pada kompleks antigen-

antibodi mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran.

Penghancuran sel sasaran itu terjadi melalui pelepasan berbagai enzim,

Page 11: Refrat Imunologi

11

sitolisin, reactive oxygen intermediates dan sitokin, langsung pada sel

sasaran. 17

III. Sistem imun dalam kehamilan

Sistem imun dan reproduksi saling berkaitan pada berbagai tingkatan. Mulai dari

saat pembuahan sampai saat laktasi. Peranan utama dari sistem imun adalah

untuk memberikan perlindungan tubuh terhadap pengaruh benda asing dan hasil

toksiknya untuk itu diperlukan kemampuan tubuh dalam membedakan antara

self dan nonself antigen. Dalam ilmu kebidanan, dipandang dari sudut

imunologi, adanya janin dalam tubuh ibu sampai usia kehamilan a term

merupakan suatu keajaiban sehingga pasti ada adaptasi imun selama kehamilan

untuk menyelamatkan janin sementara tubuh ibu sendiri tetap mempunyai

kemampuan untuk melawan infeksi yang mungkin terjadi. Di lain pihak,

beberapa penyakit yang dialami ibu ternyata memberikan kekebalan yang dapat

diteruskan kepada janin selama kehamilan maupun laktasi.

Bab ini akan membicarakan perihal peristiwa imunologi pada ibu hamil,

pengaruh imunologi ibu terhadap janin dan beberapa teori yang dapat

menerangkan peristiwa imunologi dalam kehamilan.

A. Peristiwa imunologi pada masa pembuahan

Spermatozoa telah diketahui mengandung berbagai macam antigen yang

merupakan benda asing bagi fihak wanita. Setiap kali bersetubuh, seorang wanita

akan menerima berjuta-juta sperma dan berbagai macam protein plasma semen.

Pada binatang percobaan telah dibuktikan bahwa respons imun terhadap antigen

sperma dan plasma semen dapat ditimbulkan dan sekaligus akan menurunkan

derajat kesuburan hewan betina tersebut. Pada manusia, sejumlah makrofag dan

sel – sel fagosit lainnya dapat ditemukan di daerah mukosa traktus reproduksi.

Belum ada bukti yang pasti tentang hubungan antara respons imun tubuh, baik

lokal maupun sistemik, dengan status infertilitas wanita. Antibodi imobilisasi

Page 12: Refrat Imunologi

12

sperma, baik di serum maupun di cairan traktus reproduksi, terutama dibawakan

oleh kelas IgG. Seringkali antibodi antisperma ditemukan lebih dahulu di dalam

serum dan kemudian baru terdapat di daerah traktus reproduksi wanita, kemudian

diproses dan di bawa ke daerah kelenjar limfe untuk dipresentasikan kepada

limfosit T maupun B, sehingga terjadi antibodi antisperma, di dalam sirkulasi

darah maupun dalam getah serviks. Adanya antibodi aglutinasi sprema di dalam

serum wanita normal telah dilaporkan dapat menyebabkan wanita tersebut

infertil. Sperma motil akan teraglutinasi dalam berbagai corak / tipe, baik tipe

head to head, tail to tail maupun tail to head agglutination sehingga spermatozoa

tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan ke tuba falopii. Walaupun ada

spermatozoa yang lolos namun tidak akan mampu menembus ovum oleh karena

akrosomnya terhalang antibodi tersebut. Antibodi lain yang menyebabkan

imobilisasi sperma akan mengakibatkan sperma motil tidak lagi bebas bergerak

secara lincah, bahkan bisa diam di tempat /mati. Menarik untuk dipertanyakan

bahwa mengapa masih bisa terjadi kehamilan dan berakhir dengan persalinan

yang selamat. Pada keadaan normal, mungkin sperma tidak cukup untuk

membangkitkan respons imun tubuh, atau mungkin sperma telah difagosit oleh

makrofag sehingga tidak ada lagi antigen yang dapat dipresentasikan kepada sel-

sel limfosit yang matang. Agaknya respons imun di daerah ini baru akan bangkit

apabila terdapat lesi-lesi patologis akibat kuman-kuman penyakit. Pada keadaan

normal, wanita-wanita seharusnya tetap toleran terhadap spermatozoa dan

plasma sperma akibat sifat-sifat imunosupresif plasma sperma itu sendiri.

Disamping itu di dalam plasma sperma ditemukan juga faktor-faktor anti-

komplemen yang dapat menghambat aktivasi sistem komplemen. Dengan

demikian proses imobilisasi sperma oleh antibodi tidak terjadi.

Sejak masuk dalam kanalis servikalis uteri, spermatozoon harus lolos dari

perondaan imunologi yang terdapat pada mukus kanalis servikalis. Spermatozoon

sebagai alo-antigen dapat membangkitkan terjadinya antibodi sehingga pada

keadaan-keadaan tertentu dapat menimbulkan peristiwa-peristiwa berikut :

Page 13: Refrat Imunologi

13

1. Infertilitas karena tingginya titer antibodi terhadap spermatozoon, maupun

kegagalan terjadinya kehamilan setelah rekonstruksi pasca vasektomi

2. Allergi sampai reaksi anafilaksis

3. Syok anafilaksis tidak pernah terjadi pada inseminasi intravaginal akan tetapi

dapat terjadi pada inseminasi intrauterin

Setelah terjadi konsepsi, zigot yang terjadi juga mempunyai HLA yang berbeda

dengan HLA ibu, namun perbedaan tadi tidak terlalu jauh sehingga seperti pada

peristiwa transplantasi jaringan maka komptabilitas antara keduanya masih dapat

diupayakan keberhasilannya. Pada zigot juga bekerja paparan zalir peritoneum,

namun diimbangi dengan pengaruh tingginya hormon progesteron yang dapat

menghambat reaksi imunologi terutama segi respons imun selulernya.

B. Peristiwa imunologi pada masa kehamilan

Janin seringkali disamakan dengan transplantasi antigen asing kepada ibu dan

dapat pula disamakan dengan suatu allograft, meskipun bukan persamaan yang

tepat. Keberhasilan hasil pembuahan mencangkokkan diri pada endometrium

dapat dipandang sebagai keberhasilan suatu cangkok alograft. Pada cangkok

alograft seringkali terjadi peristiwa imunologi berupa penolakan dan reaksi host

versus graft dimana donor mengalami reaksi hebat akibat inkomtabilitas

transplantasi. Janin yang terjadi akibat pertemuan dua gamet yang berlainan, satu

dari fihak ayah dan yang lain dari fihak ibu, sebenarnya benda asing bagi ibunya

sehingga secara imunologis penolakan plasenta dan janin oleh sistem imunitas

ibu merupakan keadaan yang seharusnya terjadi. Atas pengaruh zat limfokin

yang dilepaskan SSLC akan datang berbagai macam sel fagosit, termasuk

makrofag dan leukosit. Daya penolakan ini dapat ditingkatkan lagi pada waktu

sel K, yang termasuk sel-sel limfosit, turut menyerang alograft tersebut.

Ternyata, janin dapat diterima oleh sistem imunitas tubuh wanita, walaupun

antigen-antigen tersebut tidak pernah menimbulkan forbiden clone selama

perkembangan sistem tersebut. Menjadi pertanyaan adalah bagaimana pertumbuhan

Page 14: Refrat Imunologi

14

janin, mampu bertahan dan tumbuh di dalam uterus. Pasti ada adaptasi imun dalam

kehamilan sehingga janin dapat tetap selamat dalam tubuh ibu selama 9 bulan tanpa

terganggu. Adaptasi ini harus mencegah penolakan imun dari janin sementara ibu masih

tetap mempunyai kemampuan untuk melawan infeksi. Kemungkinan besar dalam

keadaan yang istimewa ini, dalam tubuh ibu timbul sesuatu mekanisme immune

depression, yaitu suatu mekanisme tubuh yang menekan sistem imun atau

menahan respons imun yang telah bangkit. Timbul juga pemikiran adanya

mekanisme blocking factor yang disebabkan oleh suatu faktor plasma yang

spesifik. Diduga kalau faktor ini akan memblok antigen paternal pada plasenta

dan janin. Analisis faktor ini lebih lanjut menunjukkan bahwa sistem imunitas

humoral ibu pada kehamilan juga terangsang dan antibodi yang diproduksi ialah

jenis blocking antibody yang termasuk kelas IgG. Oleh karena itu adanya reaksi

antigen-antibodi justru akan melindungi alograf plasenta dari serangan sistem

imunitas selular.

Regulasi respons imun ibu-janin

Walaupun ibu terpajan oleh banyak antigen janin dan plasenta, namun tidak

terjadi sensitisasi atau bila ada, respons yang timbul tidak sampai mengakibatkan

kerusakan pada plasenta.

Blokade respons imun diperkirakan terjadi pada :

1. Fase pengenalan ( aferen )

Kegagalan pengenalan imunologis ibu terhadap plasenta dapat terjadi

melalui 2 cara, yaitu :

a. Plasenta tidak mengekspresikan antigen yang dapat menstimuli respons

imun.

b. Sistem Imun ibu tidak dapat menekan secara spesifik.

Trofoblas mempunyai kemampuan untuk menyembunyikan diri dibelakang

antigen ibu yang ditempatkan pada permukaannya, karena trofoblast ini

Page 15: Refrat Imunologi

15

mempunyai reseptor terhadap Fc bagi Imunoglobulin, uteroglobulin dan

transferrin.

Sifat antigenik asli dari trofoblast ini mungkin merupakan hambatan utama

terhadap timbulnya respons imun ibu. Karena sinsitiotrofoblast sedikit sekali

mengandung antigen MHC dan nonvillous trophoblast tidak

mengekspresikan antigen MHC kelas II, maka tidak ada rangsangan

imunologis langsung terhadap ibu. Belum jelas diketahui apakah ibu

memberikan respons terhadap antigen HLA-G like class I yang ada pada

nonvillous trophoblast, tetapi secara in vivo imunogenitasnya rendah karena

kurangnya HLA-A dan B spesifik.

MHC kelas II ( terdapat pada sel Imunokompeten ) tidak didapati pada

trofoblast selama kehamilan. Keadaan ini mungkin dapat menerangkan

peristiwa abortus habitualis yang dapat diobati dengan sensitisasi lekosit

suami. Demikian juga fungsi limfosit ibu menurun terlihat dari penurunan

transformasi oleh Fitohemaglutinin.

Immunosupresi nonspesifik :

Dari observasi klinis terbukti bahwa wanita yang mengandung tidak

menderita immunocomprimised secara luas. Namun demikian mereka

lebih peka terhadap infeksi tertentu seperti virus hepatitis, herpes simplex dan

virus Epstein-Barr. Penurunan dalam aktivitas sel NK mungkin terjadi dalam

kehamilan normal. Fungsi limfosit T ibu juga tertekan. Dilaporkan pula

bahwa secara invitro terjadi penurunan respons terhadap mikroba dan antigen

virus serta mitogen. Hal ini telah mendasari banyaknya penelitian terhadap

populasi sel imun dari darah wanita hamil.

Sel Natural Killer (NK) :

Page 16: Refrat Imunologi

16

Selama siklus haid, aktivitas NK menurun pada periode periovulatoir, hal ini

lebih disebabkan karena perubahan gonadotropin daripada karena steroid

hormon; LH dan HCG menghambat aktivitas NK invitro, sedangkan estradiol,

progesteron dan testosteron tidak berpengaruh. Aktivitas sel NK menurun

selama kehamilan sejak trimester pertama sampai kehamilan aterm, dan

kembali ke tingkat normal 9 sampai 40 minggu setelah kelahiran. Terdapat

penurunan baik dalam jumlah sel NK maupun kemampuan lisisnya.

Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC)

Berlawanan dengan aktivitas NK, tidak ada perubahan ADCC selama

kehamilan. Karena itu, NK dan ADCC kelihatannya mempunyai peranan yang

terpisah dalam kehamilan. Walaupun masih terdapat kebutuhan untuk

mengatur penurunan aktivitas NK, ADCC masih tersedia untuk menangani

sel-sel yang terinfeksi virus.

Sel -T, Sel-B dan Monosit

Secara umum dijumpai kenaikan monosit dan sedikit perubahan jumlah sel B

selama kehamilan, didapatkan penurunan proporsi sel T helper ( CD4+ve)

yang menyebabkan terjadinya imunosupresi selama kehamilan.

Konsisten dengan ini adalah laporan bahwa sel-sel CD4+ve tidak berkurang

pada ibu dengan berat bayi lahir rendah atau dengan riwayat abortus

berulang. Hal ini mengesankan bahwa kegagalan mekanisme immunosupresif

mengakibatkan janin rentan terhadap serangan immunologik.

Faktor supresi plasenta

Plasenta akan melepaskan faktor yang mensupresi aktivitas limfosit. Aktivitas

supresi mungkin dijumpai sejak awal kehamilan. Faktor supresi dari trofoblast

tersebut sampai saat ini belum jelas, namun laporan terakhir menyatakan

bahwa mungkin berhubungan dengan Transforming Growth Factor β (TGFβ)

Faktor supresi serum

Page 17: Refrat Imunologi

17

Faktor Imunosupresi dari plasenta akan masuk ke dalam sirkulasi ibu,

sehingga serum wanita hamil menunjukkan supresi terhadap respons limfosit

dengan cara nonspesifik. Beberapa penulis menyatakan bahwa hormon

plasenta memegang peranan penting. hCG pada tingkat fisiologis

menghambat mitogen-induced proliferation dari limfosit, berikatan dengan sel

asesori dan melepaskan prostaglandin. Demikian pula progesteron

menghambat respons limfosit. Aktivitas progesteron berkaitan dengan

prostaglandin, yang disintesis oleh plasenta, amniokorion dan desidua.

Limfosit yang dipengaruhi progesteron akan melepaskan faktor yang akan

menghambat produksi PGF2 dimana aktivitas supresi sel NK dan sel T

maternal terpengaruh oleh perubahan produksi IL-2.

Antara mudigah-janin dengan tubuh ibu terdapat pelindung trofoblast.

Trofoblast ini menghasilkan banyak hormon hCG dan estrogen serta

progesteron. Akhir-akhir ini hormon tersebut diketahui mengadakan

imunosupresi yang berefek lokal sehingga jaringan disekitarnya tidak banyak

mengalami tekanan respons imun tubuh. hCG bahkan disebut sebagai “

Hormone of Life, Hormon of Death “ karena kemampuannya melindungi

kehidupan in-utero, akan tetapi juga melindungi jaringan neoplasma dari

respons imun.

Progesteron diduga mempunyai sifat imunosupresif sehingga dianggap

sebagai suatu hormon nidasi baik lokal maupun sistemik. Endometrium yang

sudah berubah menjadi desidua menunjukkan adanya penekanan respons

imun yang terlihat dari penurunan mix lymphocyte reaction ( MLR ) serta

menghambat aktivitas IL-2. Beberapa protein yang berkaitan dengan

kehamilan seperti misalnya PP12, PP14, PAPP-A (Pregnancy Associated

Plasma Protein A) dihasilkan oleh sel epitel kelenjar dan sel stroma desidua

atas pengaruh progesteron mempunyai sifat imunosupresif serta mengurangi

aktivitas sel NK.

Page 18: Refrat Imunologi

18

Hormon progesteron ternyata juga menurunkan respons imun sesuai

dengan dosisnya. Hal ini disokong oleh penemuan yang membuktikan bahwa

hormon-hormon pada kehamilan, seperti hCG dapat menekan proses-proses

transformasi sel limfosit-T yang dirangsang oleh antigen nonspesifik

phytohaem-agglutini (PHA). Pada keadaan yang sebenarnya kadar hCG

selama kehamilan memang tinggi dan mulai menurun di akhir kehamilan,

saat itu sistem imunitas selular mulai bangkit dan persalinan pun terjadi.

Faktor supresi desidua

Faktor supresi yang dilepaskan plasenta secara sistematik menghambat

respons limfosit terhadap sinsitiotrofoblas. Mekanisme lain, mungkin secara

lokal, ikut berperan dalam mencegah pengenalan alloimun dari sitotrofoblas

yang menginvasi desidua. Pada percobaan binatang didapatkan bahwa sel

decidual suppresor sangat penting bagi keberhasilan suatu kehamilan. Dikenal

dua tipe sel yang secara nonspesifik menghambat respons limfosit invitro.

Pertama adalah large cell yang dijumpai pada endometrium awal kehamilan.

Kedua, sel kecil, granulated lymphocyte dengan sedikit T-cell, yang

terlokalisir pada tempat implantasi dan atau dipengaruhi oleh trofoblas. Dari

penelitian ternyata kedua sel ini tidak ditemukan pada penderita dengan

abortus berulang.

2. Fase Generasi (sentral)

Berbeda dengan mekanisme supresi nonspesifik yang berlangsung dengan

menghambat pengenalan antigen atau mencegah proliferasi limfosit,

pengaturan sentral membutuhkan limfosit untuk mengenal antigen dalam

memberikan respons blocking antibody atau sel supresor. Mekanisme

supresor spesifik ini hanya diarahkan kepada antigen yang dituju dan tidak

merusak respons imun yang lain.

Page 19: Refrat Imunologi

19

Blocking antibodies

respons yang ditimbulkan oleh sel dapat dihalangi oleh antibodi yang

mengikat limfosit dari ibu atau antigen yang menstimuli. Produksi antibodi

semacam ini tergantung pengenalan antigen janin.

Serum kehamilan dapat menghalangi respons yang disebabkan oleh sel

dengan cara yang nonspesifik

Antibodi HLA antifetal menghalangi MLR antara sel ibu dengan janin atau

ayah. Antibodi lain yang timbul dalam kehamilan mungkin mempunyai fungsi

pengaturan imunologis. Serum kehamilan mengandung antibodi yang

menghalangi reseptor Fc dari sel B. Serum ini diarahkan pada determinan

HLA yang tak teridentifikasi dan terutama terdapat pada kehamilan triwulan

pertama.

Blocking antibody sangat penting bagi keberhasilan suatu kehamilan. Tapi bila

antibodi tersebut didefinisikan dengan perannya terhadap MLR ibu-janin/ayah

maka antibodi ini hanya terdapat pada separuh dari serum wanita hamil.

Banyak peneliti beranggapan bahwa blocking antibody penting bagi

kehamilan normal dan bahwa ketidakhadirannya akan menyebabkan

keguguran berulang.

Supressor T cells :

Pengaktifan limfosit T tidak hanya menghasilkan T -cell Helper dan

sitotoksik, tetapi juga T sel supresor yang secara spesifik dapat melepaskan

pengaturan respons pada immunizing antigen. T-sel spesifik dari ayah yang

secara total menekan MLR ibu-ayah dapat ditemui pada ibu multiparitas.

Aktifitas sel supressor tidak tampak pada wanita primipara, sehingga

relevansinya terhadap keberhasilan suatu kehamilan tidak jelas

Peranan uterus

Page 20: Refrat Imunologi

20

Uterus dikenal bukan sebagai suatu previleged site karena uterus dipenuhi

dengan vaskularisasi dan drainage limfatik. Uterus sendiri merupakan organ

yang mampu menghasilkan imunoglobulin seperti SpIgA, SpIgM dan SpIgG

namun tetap sangat peka terhadap infeksi. Sedangkan di dalam desidua uterus

ditemukan 20% mengandung makrofag, 10% mengandung limfosit sel T, 40%

sel NK, CD56+ dan TCR.

Yang sangat penting dalam kehamilan, uterus diketahui mengandung sel

limfosit T yaitu T-helper terdiri atas T-helper 1 (Th-1) dan T-helper 2 (Th-2).

Th-1 mengeluarkan sitokin IFN-, IL-2 dan TNF- yang secara normal tidak

mempunyai peran sama selama kehamilan, namun dapat membahayakan bila

beraktivitas. Th-2 sangat potensial untuk menjaga kehamilan meliputi sitokin

IL-4 dan IL-10. Dengan demikian peranan Th-2 lebih dominan daripada Th-1

untuk menjaga kelangsungan kehamilan, namun di sisi lain dengan pasifnya

fungsi Th-1, seorang ibu hamil rentan terhadap infeksi bakteri, virus maupun

toksoplasma karena peran Th-1 sebagai sitokin pro inflamasi sangat rendah.

3. Fase eferen ( efektor )

Pada beberapa kehamilan, sensitasi sel ibu terhadap HLA janin/ayah memang

terjadi. Walau demikian kehamilan tetap berhasil baik. Penjelasan sederhana

terhadap keberhasilan kehamilan adalah adanya fungsi plasenta sebagai barier

antigen antara ibu dan janin. Sel T-cytotoxic tidak dapat melisis sel-sel yang

menpunyai antigen HLA-A atau -B, jadi trofoblas tidak akan menjadi sasaran

yang cocok.

Peranan plasenta :

Plasenta merupakan jaringan yang berfungsi sebagai barier anatomis maupun

imunologis.

Plasenta juga dianggap merupakan suatu privileged tissue sehingga lebih

bertahan pada pencangkokan d tempat biasa yang mempunyai ekspresi FasL

Page 21: Refrat Imunologi

21

berkemampuan memicu apoptosis Fas + (antigen yang diaktifkan oleh sel T

resipien).

Deposisi fibrinoid pada plasenta berperan sebagai barier polisakarid mekanis

transplantasi antigen janin ke ibu maupun limfosit ibu yang akan memasuki

janin.

Plasenta juga memainkan peranan dalam blokade eferen. Hormon plasenta,

kultur supernatan dari sel trofoblas dan mikrovilous dari sinsitiotrofoblas

dapat menghambat aktivitas sitolitik dari sel T- cytotoxic dan sel NK terhadap

limfoblast dan K562. Ini mungkin disebabkan oleh peranan transferin yang

berasal dari sinsitiotrofoblas yang memblokir reseptor transferin yang ada

pada limfosit sitotoksik maupun sasarannya dan dengan demikian

menghalangi interaksi membran di antara sel-sel atau menutupi struktur target

dalam proses pengenalan.

Kemungkinan lain mengapa janin tersebut tidak di tolak pada kehamilan

normal, ialah antigen plasenta dan janin itu kurang bersifat imunogenis

sehingga sistem imun selular ibu tidak bangkit sama sekali. Penelitian tentang

antigen HLA pada sel-sel trofoblas membuktikan keadaan yang sebaliknya;

trofoblas ternyata mengandung antigen yang kompeten.

Terbukti bahwa zat limfokin dapat dilepaskan oleh sel-sel limfosit apabila

dirangsang secara in vitro oleh antigen plasenta. Penemuan ini membuktikan

secara jelas bahwa transformasi sel limfosit tidak dihambat, bahkan dapat

diperlihatkan efek inhibisi zat tersebut terhadap migrasi sel-sel makrofag.

Beberapa penelitian berhasil membuktikan kalau respons imun selular

terhadap antigen plasenta mulai bangkit pada kehamilan trisemester kedua

yang makin lama makin meningkat sesuai dengan usia kehamilan.

Page 22: Refrat Imunologi

22

Sistem imunitas janin :

Sel alloreaktif akan menimbulkan masalah bila menembus batas janin dan

memasuki kompartemen janin. Walau sel ibu belum secara meyakinkan

ditemukan dalam sirkulasi janin, darah tali pusat mengandung antibodi IgM

berasal dari janin yang diarahkan untuk melawan T-sel alloreaktif ibu.

Antibodi-antibodi ini secara khusus menghambat respons MLR ibu dan

limfosit sitotoksik terhadap sel janin. Limfosit darah tali pusat dengan kuat

menekan proliferasi limfosit dewasa dengan cara yang nonspesifik.

Setiap kali seorang ibu hamil, maka di dalam tubuhnya pasti timbul respons imun

terhadap janin yang dikandungnya. Hanya alam, agaknya telah pula

mempersiapkan tubuh ibu untuk mempunyai cara-cara tertentu guna menghindari

terjadinya abortus akibat respons penolakan secara imunologis.

C. Imunitas maternal

Imunisasi pasif pada janin dapat terjadi melalui transfer antibodi atau sel imun

dari ibu yang imun kepada janin atau neonatus. Hal ini dapat terjadi melalui :

a. Imunitas maternal melalui plasenta

Adanya antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif terhadap fetus.

IgG dapat berfungsi antitoksik, antivirus dan antibakteri. Imunisasi aktif dari

ibu akan memberikan proteksi pasif kepada fetus dan bayi.

Selama dalam uterus, mulai umur kehamilan 6 bulan janin baru membuat

antibodi IgM kemudian disusul IgA pada waktu kehamilan genap bulan.

Mulai umur kehamilan 2 bulan IgG ibu sudah masuk ke dalam janin dan

melindunginya.

b. Imunitas maternal melalui kolostrum

Air susu ibu ( ASI ) mengandung berbagai komponen sistem imun. Beberapa

diantaranya berupa enchancement growth factor untuk bakteri yang

diperlukan dalam usus atau faktor yang justru dapat menghambat tumbuhnya

Page 23: Refrat Imunologi

23

kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon, makrofag, sel T, sel B,

granulosit). Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih tinggi dalam

kolostrum. Proteksi antibodi dalam kelenjar susu tergantung dari antigen yang

masuk ke dalam usus ibu dan gerakan sel yang dirangsang antigen dari lamina

propria usus ke payudara. Jadi antibodi terhadap mikroorganisme yang

menempati usus ibu dapat ditemukan dalam kolostrum, sehingga selanjutnya

bayi memperoleh proteksi terhadap mikroorganisme yang masuk saluran

cerna. Adanya antibodi terhadap enteropatogen ( E. coli, S. tiphy murium,

shigella, vurus polio, coscakie) dalam ASI telah dibuktikan. Antibodi terhadap

patogen non saluran cerna seperti antitoksin tetanus, difteri dan hemolisis

antistreptokokus telah pula ditemukan dalam kolostrum. Limfosit yang

tuberculin sensitive dapat juga ditransfer ke bayi melalui kolostrum, tetapi

peranan sel ini dalam transfer Cell mediated immunity (CMI) belum diketahui.

IV. Immunomodulator

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme

pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi

non spesifik  baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan

non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan

dengan penginduksi disebut  paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak

atau sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai

mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang  berperan pada imunitas. Sel

tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor

paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini

dapat  bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui sistem

komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim lisosomal)

untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro (Gambar 1). Mekanisme

pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling  berpengaruh. Dalam

hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi, hingga

Page 24: Refrat Imunologi

24

mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek. Aktivitas suatu

senyawa yang dapat merangsang sistem imun tidak tergantung pada ukuran

molekul tertentu. Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan berat

molekul yang kecil maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk

mencari senyawa semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji

imunbiologi saja.Metode pengujian yang dapat dilakukan adalah metode in vitro

dan in vivo, yang akan mengukur pengaruh senyawa kimia terhadap fungsi dan

kemampuan sistem mononuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari

limfosit B dan T.

Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu mitogen. Timidin

bertanda ( 3 H) akan masuk ke dalam asam nukleat limfosit 1. Dengan mengukur

laju permbentukan dapat ditentukan  besarnya stimulasi dibandingkan dengan

fitohemaglutinin A (PHA) atau konkanavalin A (Con A). Persyaratan

imunomodulator : Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi

persyaratan berikut:

1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.

2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.

3. Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.

4. Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek

samping farmakologik yang merugikan.

5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.

Dasar fungsional paramunitas:

1. Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasan

mediator.

2. Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik

terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan

aktivitaslimfosit.

3. Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.

Page 25: Refrat Imunologi

25

4. Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.

5. Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya system

komplemen properdin-opsonin).

6. Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atau

aktivator lain.

7. Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.

Immunomodulator membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh atau

menenangkan sistem kekebalan yang over aktif. Namun immonomodulator tidak

meningkatkan sistem kekebalan seperti yang dilakukan oleh immunostimulant

(seperti contohnya Echinacea). Immunomodulator direkomendasikan untuk

orang-orang dengan penyakit autoimun dan secara luas digunakan pada

penyakit-penyakit kronik untuk mengembalikan sistem kekebalan dalam rangka

membantu orang-orang yang mengkonsumsi antibiotik atau terapi anti virus

jangka panjang (termasuk terapi antiretroviral untuk pengobatan HIV).

Immunomodulator bekerja dengan cara menstimulasi sistem  pertahanan natural

atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan sitokin yang secara alamiah akan

membantu tubuh dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Golongan sterol

dan sterolin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah immunomodulator yang

sangat baik. Jenis ini bisa dengan mudah didapatkan dalam segala macam buah-

buahan dan sayuran segar. Namun kandungannya akan hilang setelah dimasak.

Ada beberapa nama obat atau  produk (seperti Moducare) yang sangat kaya

dengan sterol dan sterolin. Immunomodulator alamiah lainnya termasuk ginseng,

chamomile tea, minuman lemon atau zaitun, ekstrak jamur resihi dan esktrak

daun zaitun. Berbagai obat yang mengandung immunomodulator jenis ini antara

lain Biobran, AHCC, Noxylane-4 dan MGN 3. Pengobatan dengan

immunomodulator sintetis, seperti azathioprine, 6-mercaptopurine, methotrexate,

and mycophenolate mofetil, akan bekerja dengan cara mensupresi sistem imun

dan menurunkan inflamasi di saluranpencernaan pada orang-orang dengan

Page 26: Refrat Imunologi

26

inflammatory bowel disease, ulcerative colitis, dan Crohn’s disease. Tacrolimus

juga dapat digunakan pada Crohn’s disease pada saat penyakit tersebut sudah

tidak efektif lagi terhadap pemberian kortikosteroid. Pada anak-anak,

immunomodulator lebih jarang menimbulkan gagal pertumbuhan (jika

dibandingkan dengan  pemberian kortikosteroid)

Terapi Imunopotensiasi atau Terapi Imunomodulator

Sistem imun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua komponen tersebut

akan bekerja secara serentak manakala tubuh mendapatkan serangan dari

penyakit yang berasal dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh kita sendiri.

Mempertahankan kekebalan tubuh diperlukan agar tubuh senantiasa sehat.

Meningkatkan dengan menjaga pola hidup sehat, yaitu istirahat/tidur yang cukup,

konsumsi makanan bergizi yang mengandung vitamin dan mineral, dan bila

perlu menggunakan imunomodulator. Imunomodulator adalah imunostimulasi

atau imunopotensiasi, yaitu cara memperbaiki fungsi sistem imun tubuh dengan

menggunakan bahan yang merangsang atau meningkatkan kerja sistem tersebut.

Kerja sistem imun tubuh kita secara sederhana terbagi dalam 3 kelompok :

1. Sistem pertahan tubuh awal : contohnya, kulit, rambut di kulit, air mata

2. Sistem pertahanan tubuh non spesifik (alamiah) : adalah sistem yang paling

cepat bereaksi ketika ada serangan virus, bakteri atau mikroba dari luar.

3. Sistem pertahanan spesifik (dapatan) : sistem ini baru bekerja ketika

perlawanan sistem imun alami kita tidak cukup dan bekerja menurut jeniis

serangan virus atau  bakteri yang terjadi. Yang bekerja pada sistem ini

adalah Limfosit T & B. Hasil kerja sistem inilah yang berbentuk antibodi

(IgG dan IgM)

Page 27: Refrat Imunologi

27

Sistem imun berkembang sesuai dengan perkembangan tubuh kita, pada waktu

bayi umumya sistem imun masih belum banyak berkembang, beberapa

komponen masih belum dapat bekerja optimal. Dengan bertambahnya usia dari

anak-nak menuju remaja hingga dewasa, sistem imun berkembang untuk bekerja

lebih optimal. Tetapi memasuki usia tua, sistem imun menurun kemballi. Oleh

karena itu, anak-anak dan lansia mudah sekali terkena penyakit.

Pada prinsipnya, orang dengan kondisi sistem imun dalam keadaan prima, tidak

mudah terkena infeksi, akan tetapi jika pada saat tertentu sistem imunterganggu

atau tidak bekerja dengan baik, maka infeksi oleh bakteri, virus atau jamur

mudah masuk ke dalam tubuh. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan sistem

imun terganggu, di antaranya: stress, kurang gizi, terlalu lelah, dsb. Untuk

mengatsinya diperlukan pola hidup sehat, antara lain : cukup istirahat, makan

bergizi seimbang, tidak stress, menghindari lingkungan yang dapat

mengakibatkan sakit dan bila perlu mengkonsusmsi obat atau suplementasi yang

dapat menguatkan sistem imun (daya tahan) tubuh.

V. Terapi imunopotensiasi atau Imunomodulator

Terapi Imunopotensiasi adalah upaya pengobatan untuk memperbaiki fungsi

sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem imun.

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme

pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non

spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan non

spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan dengan

penginduksi disebut paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau

sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai mitogen

yaitu meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah

makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor paramunitas ini bekerja

Page 28: Refrat Imunologi

28

menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung

maupun tak langsung (misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui

produksi interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro

dan makro (Gambar 1). Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik

umumnya saling berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem

pertahanan mungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomodulator,

dalam praktek.

Imunostimulan

Imunostimulan ditunjukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi

imunosupresi. Kelompok obat ini dapat memperngaruhi respon imun seluler

maupun humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya menyeluruh dan tidak

bersifat spesifik untuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu efekumumnya

lemah. Indikasi imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan

terutama yang melibatkan sistem limfatik

Karakteristik imunomodulator dan metode penguji

Aktivitas suatu senyawa yang dapat merangsang sistem imun tidak tergantung

pada ukuran molekul tertentu. Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan

berat molekul yang kecil maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk

mencari senyawa semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji

imunbiologi saja. Metode pengujian yang dapat dilakukan adalah metode in vitro

dan in vivo, yang akan mengukur pengaruh senyawa kimia terhadap fungsi dan

kemampuan sistem mononuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari

limfosit B dan T.

Page 29: Refrat Imunologi

29

Metode uji aktivitas imunomoduator yang dapat digunakan,yaitu:

1. Metode bersihan karbon (“Carbon-Clearance”) Pengukuran secara

spektrofluorometrik laju eliminasi partikel karbon dari daerah hewan. Ini

merupakan ukuran aktivitas fagositosis.

2. Uji granulosit Percobaan in vitro dengan mengukur jumlah sel ragi atau

bakteri yang difagositir oleh fraksi granulosit yang diperoleh dari serum

manusia. Percobaan ini dilakukan di bawah mikroskop.

3. Bioluminisensi radikal Jumlah radikal 02 yang dibebaskan akibat kontak

mitogen dengan granulosit atau makrofag, merupakan ukuran besarnya

stimulasi yang dicapai.

4. Uji transformasi limfosit T Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu

mitogen. Timidin bertanda ( 3 H) akan masuk ke dalam asam nukleat limfosit

1. Dengan mengukur laju permbentukan dapat ditentukan besarnya stimulasi

dibandingkan dengan fitohemaglutinin A (PHA) atau konkanavalin A (Con

A).

Persyaratan imunomodulator menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi

persyaratan berikut:

1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.

2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.

3. Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.

4.  Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek

samping farmakologik yang merugikan.

5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.

Dasar fungsional paramunitas

1. Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasan

mediator.

Page 30: Refrat Imunologi

30

2. Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik

terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan aktivitas

limfosit.

3. Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.

4. Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.

5. Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya sistem

komplemen properdin-opsonin).

6. Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atau

aktivator lain.

7. Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.

VI. Penggunaan immunomodulator pada kehamilan

a. Echinacea

Echinacea berasal dari kata Yunani yaitu echinos, yang memiliki arti hedgehog

atau landak (bulu landak) karena bentuk bunganya yang tajam-tajam. Tanaman

echinacea tumbuh terutama di Amerika Utara, Kanada dan dibudidayakan

secara komersial di Jerman sejak tahun 1930an.12,13

Gambar 2. Echinacea puerpura

Dikutip dari Goldhaber-Fiebert S12

Kandungan yang dimiliki oleh echinacea antara lain karbohidrat (polisakarida,

arabinogalactan, xyloglycan, echinacin, inulin), glikosida (caffeic acid dan

Page 31: Refrat Imunologi

31

derivatnya, chicoric acid, echinacoside, cynarin, aquinic acid), alkaloid

(isotussilagine, tussilagin), alkilamid (echinacein), poliasetilen (germacrene

sesquiterpene), asam lemak, minyak esensial (humulene, caryophylene),

phytosterol.12,13

Selama masa kehamilan, echinacea paling banyak digunakan untuk

pencegahan dan pengobatan influenza, melalui kemampuannya menstimulasi

sistim imun. Echinacea mempengaruhi sistim imun terutama sistim imun non

spesifik, dengan meningkatkan respon imun fase awal dan mempercepat

terjadinya respon imun adaptif. Echinacea meningkatkan produksi IL-1, IFN-ß2

dan TNF-α (P<0,05), pada semua konsentrasi yang digunakan. Bagaimana

mekanisme aktivasi sistim imun melalui jalur sitokin ini oleh echinacea belum

diketahui. Disamping itu echinacea juga diketahui dapat mengaktivasi sel

Natural Killer (NK) melalui komponen polisakarida, derivat polar asam kafeat

dan lipofilik alkamida yang terkandung di dalamnya. 12,13

Tabel 2. Beberapa Uji Klinis Echinacea puerpura

Peneliti Parameter N Desain Penelitian HasilSchoeneberger D (1992)

Terapi Influenza

108 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Insidens, durasi dan keparahan lebih sedikit dari kelompok kontrol

Hoheisel (1997) Terapi Influenza

120 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Sembuh 4 hari vs 8 hari

Baetgen D, dkk (1988)

Bronchitis 128 Retrospektif Lebih baik daripada terapi antibiotik

Jawad M, dkk (2012)

Terapi Influenza

717 Acak, buta ganda, kelompok kontrol

Pemakaian lebih dari 4 bulan meningkatkan efek teraupetik yang signifikan

Dikutip dari Goldhaber-Fiebert S12

Echinacea tersedia dalam berbagai bentuk sediaan yang terbuat dari

Page 32: Refrat Imunologi

32

berbagai bagian tanaman dan tiap sediaan mengandung lebih dari satu macam

komponen kimia, sehingga rekomendasi dosis yang tepat sulit untuk dibuat.

Tidak ada dosis yang telah distandar secara umum. Dosis yang

direkomendasikan sangat bervariasi. Sediaan yang tersedia diantaranya

ekstrak cair, tinktur, tablet, kapsul, teh, krim, gel dan sediaan injeksi yang

populer di Jerman. Ekstrak dari echinacea dalam alkohol tinktur paling

banyak digunakan, karena beberapa kandungan tidak larut dalam air.12,13

Dosis untuk berbagai jenis sediaan tersebut adalah:

Tinktur : 1-2 ml diberikan 3x sehari

Ekstrak bubuk kering : 325-650 mg dalam tablet/kapsul diberikan 3x sehari

Expressed juice : 2-3ml diberikan 3xsehari

Injeksi : tidak ada di Amerika, namun sering digunakan di Jerman.

Echinacea walau relatif aman digunakan, dapat menyebabkan reaksi

alergi tetapi tidak menimbulkan kematian. Pada pasien dengan riwayat

asma, atopi, rinitis alergi dan pasien alergi terhadap asteraceae dapat

muncul reaksi alergi berat, meliputi dyspnea dan reaksi anafilaksis. Pada

penggunaan oral dapat muncul rasa tidak enak dan kehilangan rasa di lidah,

dan pada penggunaan parenteral dapat muncul reaksi demam, kelemahan

otot dan menggigil. Pernah dilaporkan muncul efek samping seperti rasa

terbakar dimulut dan tenggorokan, urtikaria, diare, eritema nodosum, mual,

muntah dan nyeri perut.12,13

Toksisitas akut pada penggunaan ekstrak akar echinacea muncul pada

dosis >3.000mg/kg berat badan, sedang untuk expressed juice echinacea

>10.000 mg/kg berat badan. Percobaan oleh Mengs, dkk (1991) serta

Wagner, dkk (1997) untuk menunjukkan mutagenisitas dan karsinogenisitas

dari echinacea memberikan hasil negatif. Pada penelitian Soon, dkk (2001)

terdapat kasus rekuren eritema nodosum kemungkinan terkait penggunaan

echinacea.12,13

Page 33: Refrat Imunologi

33

libgen/scimag/get.php?doi=

VI. Ringkasan

Secara singkat peristiwa adaptasi imunobiologi selama masa kehamilan dapat

digambarkan sebagai berikut :

Adaptasi imun yang mengatur respons imun maternal terhadap janin :

Blokade Aferen

1. Tidak ada sensitasi antigen pada trofoblas

2. Imunosupresi nonspesifik :

Perubahan populasi sel imun

Faktor supresi ( plasenta, serum, desidua)

Blokade sentral

1. Blocking antibody (anti-fetal HLA, anti-Fc reseptor, anti-

idiotiopik}

2. Fetal-specific T-supressor cell

3. Peran Th-2 uterus

Blokade eferen

1. Tidak ada antigen target pada trofoblas

2. Blocking antibodies mask fetal antigens

Page 34: Refrat Imunologi

34

3. Faktor supresi nonspesifik (plasenta, serum, desidua)

4. Antibodi sitotoksik anti-fetal diserap oleh plasenta

5. Faktor supresor janin

DAFTAR PUSTAKA

1.