refrat imunologi
DESCRIPTION
Obstetri GinekologiTRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan
tubuh. Terminologi kata imunologi berasal dari kata immunitas dari bahasa latin
yang berarti pengecualian atau pembebasan. Istilah itu awalnya dipakai oleh
senator Roma yang mempunyai hak-hak istimewa untuk bebas dari tuntutan
hukum pada masa jabatannya. Immunitas (imunitas) selanjutnya dipakai untuk
suatu pengertian yang mengarah pada perlindungan dan kekebalan terhadap suatu
penyakit, dan lebih spesifik penyakit infeksi. Konsep imunitas yang berarti
perlindungan dan kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh manusia sejak jaman
dahulu. Pada saat ilmu imunologi belum berkembang, nenek moyang bangsa Cina
membuat puder dari serpihan kulit penderita cacar untuk melindungi anak-anak
mereka dari penyakit tersebut. Puder tersebut selanjutnya dipaparkan pada anak-
anak dengan cara dihirup. Cara yang mereka lakukan berhasil mencegah penularan
infeksi cacar dan mereka kebal walaupun hidup pada lingkungan yang menjadi
wabah. Saat itu belum ada ilmuwan yang dapat memberikan penjelasan, mengapa
anak-anak yang menghirup puder dari serpihan kulit penderita cacar menjadi imun
(kebal) terhadap penyakit itu.
Imunologi tergolong ilmu yang baru berkembang. Ilmu ini sebenarnya
berawal dari penemuan vaksin oleh Edward Jenner pada tahun 1796. Edward
Jenner dengan ketekunannya telah menemukan vaksin penyakit cacar menular,
smallpox. Pemberian vaksin terhadap individu sehat selanjutnya dikenal dengan
istilah vaksinasi. Pada tahun 1890, Emil von Behring dan Shibasaburo Kitasato
menemukan bahwa individu yang telah diberi vaksin akan menghasilkan antibodi
yang bisa diamati pada serum. Antibodi ini selanjutnya diketahui bersifat sangat
spesifik terhadap antigen.
Pengertian awal immunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan
lebih spesifik lagi perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang
bertanggung jawab atas immunitas disebut sistem imun dan respons komponennya
secara bersama dan terkoordinasi disebut respon imun. Immunologi dalam
2
pengertian modern adalah ilmu eksperimental, dimana penjelasan tentang
fenomena immunologi didasarkan atas observasi eksperimental dan kesimpulan-
kesimpulan yang dihasilkannya. Untuk menilai fungsi imunologik, berbagai
pengujian baik in vivo maupun in vitro telah dikembangkan dan diterapkan. Untuk
dapat memilih jenis pengujian in vitro yang perlu dilakukan dan memilih metoda
yang tepat serta menafsirkan hasilnya, diperlukan suatu pengetahuan dasar
imunologi, pengetahuan mengenai mekanisme respons imun dan imunopatologi
II. SISTEM IMUN
Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen,
misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan
infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat
dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia
memiliki suatu sistem imun yang memberikan respon dan melindungi tubuh
terhadap unsur-unsur patogen tersebut.
Respons imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk
mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan
kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen
bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistem imun
yaitu limfosit yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai
jenis sel. Pengenalan antigen sangat penting dalam fungsi sistem imun normal,
karena limfosit harus mengenal semua antigen pada patogen potensial dan pada
saat yang sama ia harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh sendiri
(toleransi). Unfuk mengatasi hal itu, limfosit pada seorang individu melakukan
diversifikasi selama perkembangannya demikian rupa sehingga populasi limfostt
secara keseluruhan mampu mengenal molekui asing dan membedakannya dari
molekul jaringan atau sel tubuh sendiri. Kemampuan diversifikasi dimiliki oleh
komponen-komponen sistem irnun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler
yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang,
3
kelenjar limfe, limpa, thymus, sistem saluran nafas, saluran cerna dan organ-organ
lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel induk (stem cell)
dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, kemudian
beredar daiam tubuh melalui darah, getah bening serta jaringan limfoid, dan dapat
menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan
fungsinya masing-masing.2 Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila ke
dalam tubuh masuk suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing.
Sistem imun dapat membedakan zat asing (non-self) dan zal yang berasal dari
tubuh sendiri (self). Pada beberapa keadaan patologik, sistem imun tidak dapat
membedakan self dan non-self sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat
anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Zat anti itu disebut autoantibodi
Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua
jenis respons imun yang mungkin terjadi, yaitu: l) respons imun nonspesifik, dan
2) respons imun spesifik. Respons imun nonspesifik umumnya merupakan
imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respons terhadap zat asing
dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut,
sedangkan respons imun spesifik merupakan respons didapat (acquired) yang
timbul terhadap antigen tertentu, terhadap mana tubuh pernah terpapar
sebelumnya. Perbedaan utama antara kedua jenis respons imun itu adaiah : l)
respons imun spesifik menunjukkan diversitas yang sangat besar; 2) sistem imun
spesifik menunjukkan tingkat spesialisasi yang cukup tinggi; ini berarti bahwa
mekanisme respons imun terhadap berbagai jenis antigen tidak sama; 3) sistem
imun spesifik mampu mengenal kembali antigen yang pernah dijumpainya
(memiliki memory), sehingga paparan berikutnya akan meningkatkan efektifitas
mekanisme pertahanan tubuh.3 Sifat-sifat demikian tidak dimiliki oleh sistem imun
bawaan. Namun demikian pengelompokan respons imun ke dalam 2 kelompok
tersebut terlalu disederhanakan karena telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons
di atas saling meningkatkan efektivitas dan bahwa respons imun yang terjadi
sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain
4
yang terdapat di dalam sistem imun. Di antara aktivitas terpadu antara kedua
sistem yang paling penting adalah: 1) respons imun bawaan terhadap rnikroba
merangsang dan mempengaruhi sifat respons sistem imun didapat; 2) sistem imun
didapat menggunakan berbagai mekanisme efektor sistem imun bawaan untuk
menyingkirkan mikroba dan seringkali ia meningkatkan fungsi sistem imun
bawaan. Interaksi tersebut berlangsurig bersama-sama secara terpadu demikian
rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi
seperti sebuah konsep. Pada stadium awal (inisiasi) respons imun, sekelompok sel
fungsional yang disebut antigen presenting cells (APC) menangkap antigen
kemudian menyajikannya kepada limfosit dalam'bentuk yang dapat dikenal oleh
limfosit. Cara penyajian antigen yang berbeda-beda menentukan apakah akan
terjadi respons imun dan jenis respons imun yang mana yang akan terjadi.
Imunitas non-spesifik tidak hanya berfungsi memberikan respons dini terhadap
mikroba tetapi juga memegang peran penting dalam menginduksi respons imun
spes1fik.3 Walaupun berbagai mekanisme yang terjadi tidak dapat dipisahkan satu
dari yang lain, untuk memudahkan pembicaraan, respons nonspesifik dan respons
spesifik akan dibahar secara terpisah
A. Respon imun nonspesifik
Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah Pertahanan fisik
dan kimiawi seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada
permukaan epitel; berbagai jenis protein dalam dalam darah termasuk di
antaranya komponen-komponen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya
dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel pollimorfonuklear dan
makrofag serta sel natural killer (NK). Salah satu upaya tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya antigen bakteri,
adalah menghancurkan bakteri besangkutan secara nonspesifik dengan proses
fagositosis, tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan kecil yang ada di antara
subsransi-substansi asing itu. Dalam hal ini leukosit yang termasuk fagosit
5
memegang peran yang amat penting, khususnya makrofag demikian pula
neutrofil dan monosit. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagosit tersebut
harus berada dalam jarak dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi
bahwa partikel tersebut harus melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai
hal ini maka fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dimungkinkan
berkat dilepaskannya zat atau mediator tertenfu yang disebut faktor leukotaktik
atau kemotaktikyang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh
neutrophil atau makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi bakteri, atau
yang dilepaskan oleh komplemen. Selain faktor kemotaktik yang menarik
fagosit menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis seianjutnya bakteri
perlu mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih
dahulu dilapisi (opsonisasi) oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), agar
supaya lebih mudah ditangkap cleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk
ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom ia
terperangkap dalam kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk kemudian
dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat
keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan
gangguan metabolisme bakteri. 6,7,8
Selain fagositosis, manifestasi respons imun nonspesifik yang lain adalah reaksi
inflamasi. Sel-sel sistem imun tersebar di seluruh tubuh, tetapi bila terjadi
infeksi di satu tempat perlu upaya memusatkan sel-sel sistem imun itu dan
produk-produk yang dihasilkannya ke lokasi infeksi. Selama respons ini
berlangsung, terjadi 3 proses penting, yaitu: peningkatan aliran darah di area
infeksi, peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang
mengakibatkan molekul-molekur besar dapat menembus dinding vaskular,
leukosit dan migrasi ke luar vaskular. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya
mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel misalnya histamin yang
dilepaskan oleh basofil dan mastosit, vasoactive amine yang dilepaskan oleh
trombosit, serta anafilatoksin berasal dari komponen-komponen komplemen
6
yang merangsang pelepasan mediator-mediator oleh mastosit dan basofil
sebagai reaksi umpan balik. Mediator-mediator ini antara lain merangsang
bergeraknya sel-sel polimorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen
serta meningkatkan permeabilitas dinding vaskular yung mengakibatkan
eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut, respons
inflamasi akut.8,10
B. Respons imun spesifik
Ciri utama sistem imun spesifik adalah3:
1) Spesifisitas
Ini berarti bahwa respons yang timbul terhadap antigen, bahkan terhadap
komponen struktural kompleks protein atau polisakarida yang berbeda.
Bagian dari antigen tersebut yang dikenal oleh limfosit disebut determinan
antigen atau epitop. Spesifisitas ini terjadi karena masing-masing limfosit
mengekspresikan reseptor yang mampu membedakan struktur antigen satu
dengan lain walaupun perbedaan itu sangat kecil. Klon limfosit dengan
berbagai spesifisitas terdapat pada individu yang belum tersensitisasi dan
mampu mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing.
2) Diversitas
Jumlah total spesifisitas limfosit terhadap antigen dalam satu individu vang
disebut lymphocyte repertoire, sangat besar. Diduga bahwa sistem imun
mamalia dapat membedakan sedikitnya 109 antigen yang berbeda. Hal ini
dimungkinkan karena limfosit memiliki reseptor terhadap antigen dengan
struktur yang berbeda-beda, tergantung pada antigen yang dikenalnva. Setiap
klon limfosit memiiiki struktur yang berbeda dari klon limfosit yang lain,
sehingga dengan demikian terdapat diversitas repertoire yung sangat besar.
3) Memori
Limfosit memiliki-kemampuan mengingat antigen yang pernah dijumpainya
dan memberikan respons yang lebih efektif pada perjumpaan berikutnya;n
7
Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat dimusnahkan
dan sel-sel sistem imun kemudian mengadakan involusi, namun respons
primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon limfosit atau
kelompok sel yang disebut memory cells yang dapat mengenali antigen
bersangkutan. Apabila antigen yang sama dikemudian hari masuk ke dalam
tubuh, maka klon limfosit tersebut akan berproliferasi dan menimbulkan
respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif
dibandingkan respons primer.
4) Spesialisasi
Sistem imun memberikan respons yang berbeda dan dengan cara yang
berbeda terhadap berbagai mikroba yang berlainan. Imunitas humoral dan
imunitas seluler dapat dibangkitkan oleh berbagai jenis mikroba atau oleh
mikroba yang sama pada berbagai jenis stadium infeksi, dan setiap jenis
respons imun yang dibangkitkannya bersifat protektif terhadap mikroba
bersangkutan. Dalam setiap jenis respons imun, sifat antibodi dan limfosit
yang dibentuk dapat berbeda bergantung pada jenis mikroba yang
merangsangnya.
5) Mernbatasi diri (self limition)
Semua respons imun normal mereda dalam waktu tertentu setelah
rangsangan antigen. Hal ini dimungkinkan karena antigen yang merangsang
telah disingkirkan dan adanya regulasi umpan balik dalam sistem yang
menyebabkan respons imun terhenti
6) Membedakan self dari non-self
Sistem imun menunjukkan toleransi terhadap antigen tubuh sendiri. Hal ini
dimungkinkan karena limfosit-limfosit yang memiliki reseptor terhadap
antigen jaringan tubuh sendiri (limfosit autoreaktif) telah disingkirkan pada
saat perkembangan. Seluruh sifat utama di atas diperlukan apabila sistem
imun berfungsi normal.
8
Dengan uraian di atas dapat dimengerti bahwa limfosit merupakan inti
dalam proses respons imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap
jenis antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular
misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah. Antigen dapat berupa molekul
yang berada pada permukaan unsur patogen atau dapat juga merupakan toksin
yang diproduksi oleh patogen bersangkutan. Sebenarnya ada beberapa
subpopulasi limfosit tetapi secara garis besar lirnfosit digolongkan dalam 2
populasi yaitu limfosit T yang berfungsi dalam respons imun selular dan
limfosit yang berfungsi dalam respons imun humoral.2 Walaupun respons imun
ini merupakan respons imun spesifik, pada hakekatnya respons imun yang
terjadi merupakan interaksi antara limfosit dan fagosit. Respons imun spesifik
dimulai dengan aktivitas makrofag atau antigen presenting cell (APC) yang
memproses antigen demikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi
dengan sel-sel sistem imun spesifik. Dengan rangsangan antigen yang telah
diproses tadi, sel-sel system imun berproliferasi dan berdiferensiasi sehingga
menjadi sel-sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi
dengan antigen. 10,11
Dalam mengenali antigen secara spesifik, ada 3 macam molekul pengikat
antigen (antigen binding molecules) yang terlibat, yaitu reseptor antigen pada
permukaan sel B (imunoglobulin permukaan, sIg), reseptor antigen pada sel T
(TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan II.
Reseptor antigen pada permukaan limfosit sangat polimorfik dan berbeda antara
satu klon dengan klon yang lain; diversitas ini diperoleh saat perkembangan
limfosit. Molekul MHC juga sangat polimorfik dan berbeda antara anggota
populasi satu dengan yang lain tetapi tidak berbeda dalam satu individu.
Fungsinya adalah menyajikan fragmen-fragmen antigen untuk dikenali oleh
limfosit T. MHC kelas I diekspresikan oleh semua sel berinti dan trombosit
sedangkan MHC kelas II diekspresikan secara terbatas. Reseptor sel T dan
9
MHC merupakan molekul-molekul yang saling melengkapi untuk mengenali
antigen yang disajikan oleh atau berasal dari dalam sel lain.2
Walaupun pada hakekatnya respons imun spesifik merupakan interaksi
antara berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama- sama, untuk
memudahkan pembahasannya, respons imun spesifik dibagi dalam 3 golongan,
yaitu:
1. Respons imun selular
Banyak mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak intraselular,
antara lain virus dan mikroba intraseluler seperti M-tuberkulosa yang hidup
dalam makrofag sehingga sulit dijangkau oleh antibodi. Untuk melawan
mikroorganisme intraselular bersangkutan diperlukan respons imun selular
yang merupakan fungsi limfosit T. Ada dua cara untuk menyingkirkan
mikroorganisme intraseluler ini. Sel terinfeksi dapat dibunuh melalui
sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau sel
terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh mikroorganisme yang
menginfeksinya. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan
mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan yang terdapat pada
sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui reseptor TCR dan molekul
MHC kelas-II. Sinyal yang diterima.dari sel terinfeksi ini menginduksi
limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk di antaranya
interferon, yang dapat membantu makrofag menghancurkan
mikroorganisme tersebu1.2,12,13 Subpopulasi limfosit T lain yang disebut sel
T-sitotoksik (Tc) juga berfungsi menghancurkan mikroorganisme
intraseluler yang disajikan melalui atau bersama-sama dengan MHC kelas I
dengan cara kontak langsung antar-sel (cell to cell contact). Selain
menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T sitotoksik juga
menghasilkan γ-interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke
sel-sel yang lain. Respons imun seluler juga merupakan mekanisme utama
dalam pertahanan tubuh terhadap tumor.
10
2. Respons imun humoral
Respons imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya, yaitu
antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler.
Respons ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi
(klon) sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke
dalam darah. Pada respons humoral juga berlaku respons primer yang
membentuk klon sel B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk
memproduksi satu jenis antibodi spesifik terhadap antigen tertentu (clonal
selection). Antibodi ini berikatan dengan antigen membentuk kompleks
antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan
hancurnya antigen tersebut. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan
membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit Th yang atas sinyal yang
diberikan oleh makrofag, merangsang sel B untuk memproduksi antibodi.
Selain oleh sel Th, produksi antibodi juga diatur oleh sel T-supresor,
demikian rupa sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan
yang dibutuhkan.14,15,16
3. Interaksi antara respons imun selular dengan respons imun humoral
Salah satu interaksi antara respons imun seller dengan humoral adalah
interaksi yang disebut antibody dependent cell mediated cytotoxicity
(ADCC). Istilah ini diberikan karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh
antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran
(opsonisasi), sehingga sel NK (Natural Killer) yang mempunyai reseptor
terhadap fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada sel atau antigen
sasaran. Pengikatan sel NK melalui reseptornya pada kompleks antigen-
antibodi mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran.
Penghancuran sel sasaran itu terjadi melalui pelepasan berbagai enzim,
11
sitolisin, reactive oxygen intermediates dan sitokin, langsung pada sel
sasaran. 17
III. Sistem imun dalam kehamilan
Sistem imun dan reproduksi saling berkaitan pada berbagai tingkatan. Mulai dari
saat pembuahan sampai saat laktasi. Peranan utama dari sistem imun adalah
untuk memberikan perlindungan tubuh terhadap pengaruh benda asing dan hasil
toksiknya untuk itu diperlukan kemampuan tubuh dalam membedakan antara
self dan nonself antigen. Dalam ilmu kebidanan, dipandang dari sudut
imunologi, adanya janin dalam tubuh ibu sampai usia kehamilan a term
merupakan suatu keajaiban sehingga pasti ada adaptasi imun selama kehamilan
untuk menyelamatkan janin sementara tubuh ibu sendiri tetap mempunyai
kemampuan untuk melawan infeksi yang mungkin terjadi. Di lain pihak,
beberapa penyakit yang dialami ibu ternyata memberikan kekebalan yang dapat
diteruskan kepada janin selama kehamilan maupun laktasi.
Bab ini akan membicarakan perihal peristiwa imunologi pada ibu hamil,
pengaruh imunologi ibu terhadap janin dan beberapa teori yang dapat
menerangkan peristiwa imunologi dalam kehamilan.
A. Peristiwa imunologi pada masa pembuahan
Spermatozoa telah diketahui mengandung berbagai macam antigen yang
merupakan benda asing bagi fihak wanita. Setiap kali bersetubuh, seorang wanita
akan menerima berjuta-juta sperma dan berbagai macam protein plasma semen.
Pada binatang percobaan telah dibuktikan bahwa respons imun terhadap antigen
sperma dan plasma semen dapat ditimbulkan dan sekaligus akan menurunkan
derajat kesuburan hewan betina tersebut. Pada manusia, sejumlah makrofag dan
sel – sel fagosit lainnya dapat ditemukan di daerah mukosa traktus reproduksi.
Belum ada bukti yang pasti tentang hubungan antara respons imun tubuh, baik
lokal maupun sistemik, dengan status infertilitas wanita. Antibodi imobilisasi
12
sperma, baik di serum maupun di cairan traktus reproduksi, terutama dibawakan
oleh kelas IgG. Seringkali antibodi antisperma ditemukan lebih dahulu di dalam
serum dan kemudian baru terdapat di daerah traktus reproduksi wanita, kemudian
diproses dan di bawa ke daerah kelenjar limfe untuk dipresentasikan kepada
limfosit T maupun B, sehingga terjadi antibodi antisperma, di dalam sirkulasi
darah maupun dalam getah serviks. Adanya antibodi aglutinasi sprema di dalam
serum wanita normal telah dilaporkan dapat menyebabkan wanita tersebut
infertil. Sperma motil akan teraglutinasi dalam berbagai corak / tipe, baik tipe
head to head, tail to tail maupun tail to head agglutination sehingga spermatozoa
tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan ke tuba falopii. Walaupun ada
spermatozoa yang lolos namun tidak akan mampu menembus ovum oleh karena
akrosomnya terhalang antibodi tersebut. Antibodi lain yang menyebabkan
imobilisasi sperma akan mengakibatkan sperma motil tidak lagi bebas bergerak
secara lincah, bahkan bisa diam di tempat /mati. Menarik untuk dipertanyakan
bahwa mengapa masih bisa terjadi kehamilan dan berakhir dengan persalinan
yang selamat. Pada keadaan normal, mungkin sperma tidak cukup untuk
membangkitkan respons imun tubuh, atau mungkin sperma telah difagosit oleh
makrofag sehingga tidak ada lagi antigen yang dapat dipresentasikan kepada sel-
sel limfosit yang matang. Agaknya respons imun di daerah ini baru akan bangkit
apabila terdapat lesi-lesi patologis akibat kuman-kuman penyakit. Pada keadaan
normal, wanita-wanita seharusnya tetap toleran terhadap spermatozoa dan
plasma sperma akibat sifat-sifat imunosupresif plasma sperma itu sendiri.
Disamping itu di dalam plasma sperma ditemukan juga faktor-faktor anti-
komplemen yang dapat menghambat aktivasi sistem komplemen. Dengan
demikian proses imobilisasi sperma oleh antibodi tidak terjadi.
Sejak masuk dalam kanalis servikalis uteri, spermatozoon harus lolos dari
perondaan imunologi yang terdapat pada mukus kanalis servikalis. Spermatozoon
sebagai alo-antigen dapat membangkitkan terjadinya antibodi sehingga pada
keadaan-keadaan tertentu dapat menimbulkan peristiwa-peristiwa berikut :
13
1. Infertilitas karena tingginya titer antibodi terhadap spermatozoon, maupun
kegagalan terjadinya kehamilan setelah rekonstruksi pasca vasektomi
2. Allergi sampai reaksi anafilaksis
3. Syok anafilaksis tidak pernah terjadi pada inseminasi intravaginal akan tetapi
dapat terjadi pada inseminasi intrauterin
Setelah terjadi konsepsi, zigot yang terjadi juga mempunyai HLA yang berbeda
dengan HLA ibu, namun perbedaan tadi tidak terlalu jauh sehingga seperti pada
peristiwa transplantasi jaringan maka komptabilitas antara keduanya masih dapat
diupayakan keberhasilannya. Pada zigot juga bekerja paparan zalir peritoneum,
namun diimbangi dengan pengaruh tingginya hormon progesteron yang dapat
menghambat reaksi imunologi terutama segi respons imun selulernya.
B. Peristiwa imunologi pada masa kehamilan
Janin seringkali disamakan dengan transplantasi antigen asing kepada ibu dan
dapat pula disamakan dengan suatu allograft, meskipun bukan persamaan yang
tepat. Keberhasilan hasil pembuahan mencangkokkan diri pada endometrium
dapat dipandang sebagai keberhasilan suatu cangkok alograft. Pada cangkok
alograft seringkali terjadi peristiwa imunologi berupa penolakan dan reaksi host
versus graft dimana donor mengalami reaksi hebat akibat inkomtabilitas
transplantasi. Janin yang terjadi akibat pertemuan dua gamet yang berlainan, satu
dari fihak ayah dan yang lain dari fihak ibu, sebenarnya benda asing bagi ibunya
sehingga secara imunologis penolakan plasenta dan janin oleh sistem imunitas
ibu merupakan keadaan yang seharusnya terjadi. Atas pengaruh zat limfokin
yang dilepaskan SSLC akan datang berbagai macam sel fagosit, termasuk
makrofag dan leukosit. Daya penolakan ini dapat ditingkatkan lagi pada waktu
sel K, yang termasuk sel-sel limfosit, turut menyerang alograft tersebut.
Ternyata, janin dapat diterima oleh sistem imunitas tubuh wanita, walaupun
antigen-antigen tersebut tidak pernah menimbulkan forbiden clone selama
perkembangan sistem tersebut. Menjadi pertanyaan adalah bagaimana pertumbuhan
14
janin, mampu bertahan dan tumbuh di dalam uterus. Pasti ada adaptasi imun dalam
kehamilan sehingga janin dapat tetap selamat dalam tubuh ibu selama 9 bulan tanpa
terganggu. Adaptasi ini harus mencegah penolakan imun dari janin sementara ibu masih
tetap mempunyai kemampuan untuk melawan infeksi. Kemungkinan besar dalam
keadaan yang istimewa ini, dalam tubuh ibu timbul sesuatu mekanisme immune
depression, yaitu suatu mekanisme tubuh yang menekan sistem imun atau
menahan respons imun yang telah bangkit. Timbul juga pemikiran adanya
mekanisme blocking factor yang disebabkan oleh suatu faktor plasma yang
spesifik. Diduga kalau faktor ini akan memblok antigen paternal pada plasenta
dan janin. Analisis faktor ini lebih lanjut menunjukkan bahwa sistem imunitas
humoral ibu pada kehamilan juga terangsang dan antibodi yang diproduksi ialah
jenis blocking antibody yang termasuk kelas IgG. Oleh karena itu adanya reaksi
antigen-antibodi justru akan melindungi alograf plasenta dari serangan sistem
imunitas selular.
Regulasi respons imun ibu-janin
Walaupun ibu terpajan oleh banyak antigen janin dan plasenta, namun tidak
terjadi sensitisasi atau bila ada, respons yang timbul tidak sampai mengakibatkan
kerusakan pada plasenta.
Blokade respons imun diperkirakan terjadi pada :
1. Fase pengenalan ( aferen )
Kegagalan pengenalan imunologis ibu terhadap plasenta dapat terjadi
melalui 2 cara, yaitu :
a. Plasenta tidak mengekspresikan antigen yang dapat menstimuli respons
imun.
b. Sistem Imun ibu tidak dapat menekan secara spesifik.
Trofoblas mempunyai kemampuan untuk menyembunyikan diri dibelakang
antigen ibu yang ditempatkan pada permukaannya, karena trofoblast ini
15
mempunyai reseptor terhadap Fc bagi Imunoglobulin, uteroglobulin dan
transferrin.
Sifat antigenik asli dari trofoblast ini mungkin merupakan hambatan utama
terhadap timbulnya respons imun ibu. Karena sinsitiotrofoblast sedikit sekali
mengandung antigen MHC dan nonvillous trophoblast tidak
mengekspresikan antigen MHC kelas II, maka tidak ada rangsangan
imunologis langsung terhadap ibu. Belum jelas diketahui apakah ibu
memberikan respons terhadap antigen HLA-G like class I yang ada pada
nonvillous trophoblast, tetapi secara in vivo imunogenitasnya rendah karena
kurangnya HLA-A dan B spesifik.
MHC kelas II ( terdapat pada sel Imunokompeten ) tidak didapati pada
trofoblast selama kehamilan. Keadaan ini mungkin dapat menerangkan
peristiwa abortus habitualis yang dapat diobati dengan sensitisasi lekosit
suami. Demikian juga fungsi limfosit ibu menurun terlihat dari penurunan
transformasi oleh Fitohemaglutinin.
Immunosupresi nonspesifik :
Dari observasi klinis terbukti bahwa wanita yang mengandung tidak
menderita immunocomprimised secara luas. Namun demikian mereka
lebih peka terhadap infeksi tertentu seperti virus hepatitis, herpes simplex dan
virus Epstein-Barr. Penurunan dalam aktivitas sel NK mungkin terjadi dalam
kehamilan normal. Fungsi limfosit T ibu juga tertekan. Dilaporkan pula
bahwa secara invitro terjadi penurunan respons terhadap mikroba dan antigen
virus serta mitogen. Hal ini telah mendasari banyaknya penelitian terhadap
populasi sel imun dari darah wanita hamil.
Sel Natural Killer (NK) :
16
Selama siklus haid, aktivitas NK menurun pada periode periovulatoir, hal ini
lebih disebabkan karena perubahan gonadotropin daripada karena steroid
hormon; LH dan HCG menghambat aktivitas NK invitro, sedangkan estradiol,
progesteron dan testosteron tidak berpengaruh. Aktivitas sel NK menurun
selama kehamilan sejak trimester pertama sampai kehamilan aterm, dan
kembali ke tingkat normal 9 sampai 40 minggu setelah kelahiran. Terdapat
penurunan baik dalam jumlah sel NK maupun kemampuan lisisnya.
Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC)
Berlawanan dengan aktivitas NK, tidak ada perubahan ADCC selama
kehamilan. Karena itu, NK dan ADCC kelihatannya mempunyai peranan yang
terpisah dalam kehamilan. Walaupun masih terdapat kebutuhan untuk
mengatur penurunan aktivitas NK, ADCC masih tersedia untuk menangani
sel-sel yang terinfeksi virus.
Sel -T, Sel-B dan Monosit
Secara umum dijumpai kenaikan monosit dan sedikit perubahan jumlah sel B
selama kehamilan, didapatkan penurunan proporsi sel T helper ( CD4+ve)
yang menyebabkan terjadinya imunosupresi selama kehamilan.
Konsisten dengan ini adalah laporan bahwa sel-sel CD4+ve tidak berkurang
pada ibu dengan berat bayi lahir rendah atau dengan riwayat abortus
berulang. Hal ini mengesankan bahwa kegagalan mekanisme immunosupresif
mengakibatkan janin rentan terhadap serangan immunologik.
Faktor supresi plasenta
Plasenta akan melepaskan faktor yang mensupresi aktivitas limfosit. Aktivitas
supresi mungkin dijumpai sejak awal kehamilan. Faktor supresi dari trofoblast
tersebut sampai saat ini belum jelas, namun laporan terakhir menyatakan
bahwa mungkin berhubungan dengan Transforming Growth Factor β (TGFβ)
Faktor supresi serum
17
Faktor Imunosupresi dari plasenta akan masuk ke dalam sirkulasi ibu,
sehingga serum wanita hamil menunjukkan supresi terhadap respons limfosit
dengan cara nonspesifik. Beberapa penulis menyatakan bahwa hormon
plasenta memegang peranan penting. hCG pada tingkat fisiologis
menghambat mitogen-induced proliferation dari limfosit, berikatan dengan sel
asesori dan melepaskan prostaglandin. Demikian pula progesteron
menghambat respons limfosit. Aktivitas progesteron berkaitan dengan
prostaglandin, yang disintesis oleh plasenta, amniokorion dan desidua.
Limfosit yang dipengaruhi progesteron akan melepaskan faktor yang akan
menghambat produksi PGF2 dimana aktivitas supresi sel NK dan sel T
maternal terpengaruh oleh perubahan produksi IL-2.
Antara mudigah-janin dengan tubuh ibu terdapat pelindung trofoblast.
Trofoblast ini menghasilkan banyak hormon hCG dan estrogen serta
progesteron. Akhir-akhir ini hormon tersebut diketahui mengadakan
imunosupresi yang berefek lokal sehingga jaringan disekitarnya tidak banyak
mengalami tekanan respons imun tubuh. hCG bahkan disebut sebagai “
Hormone of Life, Hormon of Death “ karena kemampuannya melindungi
kehidupan in-utero, akan tetapi juga melindungi jaringan neoplasma dari
respons imun.
Progesteron diduga mempunyai sifat imunosupresif sehingga dianggap
sebagai suatu hormon nidasi baik lokal maupun sistemik. Endometrium yang
sudah berubah menjadi desidua menunjukkan adanya penekanan respons
imun yang terlihat dari penurunan mix lymphocyte reaction ( MLR ) serta
menghambat aktivitas IL-2. Beberapa protein yang berkaitan dengan
kehamilan seperti misalnya PP12, PP14, PAPP-A (Pregnancy Associated
Plasma Protein A) dihasilkan oleh sel epitel kelenjar dan sel stroma desidua
atas pengaruh progesteron mempunyai sifat imunosupresif serta mengurangi
aktivitas sel NK.
18
Hormon progesteron ternyata juga menurunkan respons imun sesuai
dengan dosisnya. Hal ini disokong oleh penemuan yang membuktikan bahwa
hormon-hormon pada kehamilan, seperti hCG dapat menekan proses-proses
transformasi sel limfosit-T yang dirangsang oleh antigen nonspesifik
phytohaem-agglutini (PHA). Pada keadaan yang sebenarnya kadar hCG
selama kehamilan memang tinggi dan mulai menurun di akhir kehamilan,
saat itu sistem imunitas selular mulai bangkit dan persalinan pun terjadi.
Faktor supresi desidua
Faktor supresi yang dilepaskan plasenta secara sistematik menghambat
respons limfosit terhadap sinsitiotrofoblas. Mekanisme lain, mungkin secara
lokal, ikut berperan dalam mencegah pengenalan alloimun dari sitotrofoblas
yang menginvasi desidua. Pada percobaan binatang didapatkan bahwa sel
decidual suppresor sangat penting bagi keberhasilan suatu kehamilan. Dikenal
dua tipe sel yang secara nonspesifik menghambat respons limfosit invitro.
Pertama adalah large cell yang dijumpai pada endometrium awal kehamilan.
Kedua, sel kecil, granulated lymphocyte dengan sedikit T-cell, yang
terlokalisir pada tempat implantasi dan atau dipengaruhi oleh trofoblas. Dari
penelitian ternyata kedua sel ini tidak ditemukan pada penderita dengan
abortus berulang.
2. Fase Generasi (sentral)
Berbeda dengan mekanisme supresi nonspesifik yang berlangsung dengan
menghambat pengenalan antigen atau mencegah proliferasi limfosit,
pengaturan sentral membutuhkan limfosit untuk mengenal antigen dalam
memberikan respons blocking antibody atau sel supresor. Mekanisme
supresor spesifik ini hanya diarahkan kepada antigen yang dituju dan tidak
merusak respons imun yang lain.
19
Blocking antibodies
respons yang ditimbulkan oleh sel dapat dihalangi oleh antibodi yang
mengikat limfosit dari ibu atau antigen yang menstimuli. Produksi antibodi
semacam ini tergantung pengenalan antigen janin.
Serum kehamilan dapat menghalangi respons yang disebabkan oleh sel
dengan cara yang nonspesifik
Antibodi HLA antifetal menghalangi MLR antara sel ibu dengan janin atau
ayah. Antibodi lain yang timbul dalam kehamilan mungkin mempunyai fungsi
pengaturan imunologis. Serum kehamilan mengandung antibodi yang
menghalangi reseptor Fc dari sel B. Serum ini diarahkan pada determinan
HLA yang tak teridentifikasi dan terutama terdapat pada kehamilan triwulan
pertama.
Blocking antibody sangat penting bagi keberhasilan suatu kehamilan. Tapi bila
antibodi tersebut didefinisikan dengan perannya terhadap MLR ibu-janin/ayah
maka antibodi ini hanya terdapat pada separuh dari serum wanita hamil.
Banyak peneliti beranggapan bahwa blocking antibody penting bagi
kehamilan normal dan bahwa ketidakhadirannya akan menyebabkan
keguguran berulang.
Supressor T cells :
Pengaktifan limfosit T tidak hanya menghasilkan T -cell Helper dan
sitotoksik, tetapi juga T sel supresor yang secara spesifik dapat melepaskan
pengaturan respons pada immunizing antigen. T-sel spesifik dari ayah yang
secara total menekan MLR ibu-ayah dapat ditemui pada ibu multiparitas.
Aktifitas sel supressor tidak tampak pada wanita primipara, sehingga
relevansinya terhadap keberhasilan suatu kehamilan tidak jelas
Peranan uterus
20
Uterus dikenal bukan sebagai suatu previleged site karena uterus dipenuhi
dengan vaskularisasi dan drainage limfatik. Uterus sendiri merupakan organ
yang mampu menghasilkan imunoglobulin seperti SpIgA, SpIgM dan SpIgG
namun tetap sangat peka terhadap infeksi. Sedangkan di dalam desidua uterus
ditemukan 20% mengandung makrofag, 10% mengandung limfosit sel T, 40%
sel NK, CD56+ dan TCR.
Yang sangat penting dalam kehamilan, uterus diketahui mengandung sel
limfosit T yaitu T-helper terdiri atas T-helper 1 (Th-1) dan T-helper 2 (Th-2).
Th-1 mengeluarkan sitokin IFN-, IL-2 dan TNF- yang secara normal tidak
mempunyai peran sama selama kehamilan, namun dapat membahayakan bila
beraktivitas. Th-2 sangat potensial untuk menjaga kehamilan meliputi sitokin
IL-4 dan IL-10. Dengan demikian peranan Th-2 lebih dominan daripada Th-1
untuk menjaga kelangsungan kehamilan, namun di sisi lain dengan pasifnya
fungsi Th-1, seorang ibu hamil rentan terhadap infeksi bakteri, virus maupun
toksoplasma karena peran Th-1 sebagai sitokin pro inflamasi sangat rendah.
3. Fase eferen ( efektor )
Pada beberapa kehamilan, sensitasi sel ibu terhadap HLA janin/ayah memang
terjadi. Walau demikian kehamilan tetap berhasil baik. Penjelasan sederhana
terhadap keberhasilan kehamilan adalah adanya fungsi plasenta sebagai barier
antigen antara ibu dan janin. Sel T-cytotoxic tidak dapat melisis sel-sel yang
menpunyai antigen HLA-A atau -B, jadi trofoblas tidak akan menjadi sasaran
yang cocok.
Peranan plasenta :
Plasenta merupakan jaringan yang berfungsi sebagai barier anatomis maupun
imunologis.
Plasenta juga dianggap merupakan suatu privileged tissue sehingga lebih
bertahan pada pencangkokan d tempat biasa yang mempunyai ekspresi FasL
21
berkemampuan memicu apoptosis Fas + (antigen yang diaktifkan oleh sel T
resipien).
Deposisi fibrinoid pada plasenta berperan sebagai barier polisakarid mekanis
transplantasi antigen janin ke ibu maupun limfosit ibu yang akan memasuki
janin.
Plasenta juga memainkan peranan dalam blokade eferen. Hormon plasenta,
kultur supernatan dari sel trofoblas dan mikrovilous dari sinsitiotrofoblas
dapat menghambat aktivitas sitolitik dari sel T- cytotoxic dan sel NK terhadap
limfoblast dan K562. Ini mungkin disebabkan oleh peranan transferin yang
berasal dari sinsitiotrofoblas yang memblokir reseptor transferin yang ada
pada limfosit sitotoksik maupun sasarannya dan dengan demikian
menghalangi interaksi membran di antara sel-sel atau menutupi struktur target
dalam proses pengenalan.
Kemungkinan lain mengapa janin tersebut tidak di tolak pada kehamilan
normal, ialah antigen plasenta dan janin itu kurang bersifat imunogenis
sehingga sistem imun selular ibu tidak bangkit sama sekali. Penelitian tentang
antigen HLA pada sel-sel trofoblas membuktikan keadaan yang sebaliknya;
trofoblas ternyata mengandung antigen yang kompeten.
Terbukti bahwa zat limfokin dapat dilepaskan oleh sel-sel limfosit apabila
dirangsang secara in vitro oleh antigen plasenta. Penemuan ini membuktikan
secara jelas bahwa transformasi sel limfosit tidak dihambat, bahkan dapat
diperlihatkan efek inhibisi zat tersebut terhadap migrasi sel-sel makrofag.
Beberapa penelitian berhasil membuktikan kalau respons imun selular
terhadap antigen plasenta mulai bangkit pada kehamilan trisemester kedua
yang makin lama makin meningkat sesuai dengan usia kehamilan.
22
Sistem imunitas janin :
Sel alloreaktif akan menimbulkan masalah bila menembus batas janin dan
memasuki kompartemen janin. Walau sel ibu belum secara meyakinkan
ditemukan dalam sirkulasi janin, darah tali pusat mengandung antibodi IgM
berasal dari janin yang diarahkan untuk melawan T-sel alloreaktif ibu.
Antibodi-antibodi ini secara khusus menghambat respons MLR ibu dan
limfosit sitotoksik terhadap sel janin. Limfosit darah tali pusat dengan kuat
menekan proliferasi limfosit dewasa dengan cara yang nonspesifik.
Setiap kali seorang ibu hamil, maka di dalam tubuhnya pasti timbul respons imun
terhadap janin yang dikandungnya. Hanya alam, agaknya telah pula
mempersiapkan tubuh ibu untuk mempunyai cara-cara tertentu guna menghindari
terjadinya abortus akibat respons penolakan secara imunologis.
C. Imunitas maternal
Imunisasi pasif pada janin dapat terjadi melalui transfer antibodi atau sel imun
dari ibu yang imun kepada janin atau neonatus. Hal ini dapat terjadi melalui :
a. Imunitas maternal melalui plasenta
Adanya antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif terhadap fetus.
IgG dapat berfungsi antitoksik, antivirus dan antibakteri. Imunisasi aktif dari
ibu akan memberikan proteksi pasif kepada fetus dan bayi.
Selama dalam uterus, mulai umur kehamilan 6 bulan janin baru membuat
antibodi IgM kemudian disusul IgA pada waktu kehamilan genap bulan.
Mulai umur kehamilan 2 bulan IgG ibu sudah masuk ke dalam janin dan
melindunginya.
b. Imunitas maternal melalui kolostrum
Air susu ibu ( ASI ) mengandung berbagai komponen sistem imun. Beberapa
diantaranya berupa enchancement growth factor untuk bakteri yang
diperlukan dalam usus atau faktor yang justru dapat menghambat tumbuhnya
23
kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon, makrofag, sel T, sel B,
granulosit). Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih tinggi dalam
kolostrum. Proteksi antibodi dalam kelenjar susu tergantung dari antigen yang
masuk ke dalam usus ibu dan gerakan sel yang dirangsang antigen dari lamina
propria usus ke payudara. Jadi antibodi terhadap mikroorganisme yang
menempati usus ibu dapat ditemukan dalam kolostrum, sehingga selanjutnya
bayi memperoleh proteksi terhadap mikroorganisme yang masuk saluran
cerna. Adanya antibodi terhadap enteropatogen ( E. coli, S. tiphy murium,
shigella, vurus polio, coscakie) dalam ASI telah dibuktikan. Antibodi terhadap
patogen non saluran cerna seperti antitoksin tetanus, difteri dan hemolisis
antistreptokokus telah pula ditemukan dalam kolostrum. Limfosit yang
tuberculin sensitive dapat juga ditransfer ke bayi melalui kolostrum, tetapi
peranan sel ini dalam transfer Cell mediated immunity (CMI) belum diketahui.
IV. Immunomodulator
Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi
non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan
non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan
dengan penginduksi disebut paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak
atau sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai
mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel
tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor
paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini
dapat bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui sistem
komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim lisosomal)
untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro (Gambar 1). Mekanisme
pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Dalam
hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi, hingga
24
mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek. Aktivitas suatu
senyawa yang dapat merangsang sistem imun tidak tergantung pada ukuran
molekul tertentu. Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan berat
molekul yang kecil maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk
mencari senyawa semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji
imunbiologi saja.Metode pengujian yang dapat dilakukan adalah metode in vitro
dan in vivo, yang akan mengukur pengaruh senyawa kimia terhadap fungsi dan
kemampuan sistem mononuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari
limfosit B dan T.
Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu mitogen. Timidin
bertanda ( 3 H) akan masuk ke dalam asam nukleat limfosit 1. Dengan mengukur
laju permbentukan dapat ditentukan besarnya stimulasi dibandingkan dengan
fitohemaglutinin A (PHA) atau konkanavalin A (Con A). Persyaratan
imunomodulator : Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi
persyaratan berikut:
1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.
2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.
3. Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.
4. Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek
samping farmakologik yang merugikan.
5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.
Dasar fungsional paramunitas:
1. Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasan
mediator.
2. Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik
terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan
aktivitaslimfosit.
3. Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.
25
4. Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.
5. Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya system
komplemen properdin-opsonin).
6. Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atau
aktivator lain.
7. Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.
Immunomodulator membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh atau
menenangkan sistem kekebalan yang over aktif. Namun immonomodulator tidak
meningkatkan sistem kekebalan seperti yang dilakukan oleh immunostimulant
(seperti contohnya Echinacea). Immunomodulator direkomendasikan untuk
orang-orang dengan penyakit autoimun dan secara luas digunakan pada
penyakit-penyakit kronik untuk mengembalikan sistem kekebalan dalam rangka
membantu orang-orang yang mengkonsumsi antibiotik atau terapi anti virus
jangka panjang (termasuk terapi antiretroviral untuk pengobatan HIV).
Immunomodulator bekerja dengan cara menstimulasi sistem pertahanan natural
atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan sitokin yang secara alamiah akan
membantu tubuh dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Golongan sterol
dan sterolin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah immunomodulator yang
sangat baik. Jenis ini bisa dengan mudah didapatkan dalam segala macam buah-
buahan dan sayuran segar. Namun kandungannya akan hilang setelah dimasak.
Ada beberapa nama obat atau produk (seperti Moducare) yang sangat kaya
dengan sterol dan sterolin. Immunomodulator alamiah lainnya termasuk ginseng,
chamomile tea, minuman lemon atau zaitun, ekstrak jamur resihi dan esktrak
daun zaitun. Berbagai obat yang mengandung immunomodulator jenis ini antara
lain Biobran, AHCC, Noxylane-4 dan MGN 3. Pengobatan dengan
immunomodulator sintetis, seperti azathioprine, 6-mercaptopurine, methotrexate,
and mycophenolate mofetil, akan bekerja dengan cara mensupresi sistem imun
dan menurunkan inflamasi di saluranpencernaan pada orang-orang dengan
26
inflammatory bowel disease, ulcerative colitis, dan Crohn’s disease. Tacrolimus
juga dapat digunakan pada Crohn’s disease pada saat penyakit tersebut sudah
tidak efektif lagi terhadap pemberian kortikosteroid. Pada anak-anak,
immunomodulator lebih jarang menimbulkan gagal pertumbuhan (jika
dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid)
Terapi Imunopotensiasi atau Terapi Imunomodulator
Sistem imun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua komponen tersebut
akan bekerja secara serentak manakala tubuh mendapatkan serangan dari
penyakit yang berasal dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh kita sendiri.
Mempertahankan kekebalan tubuh diperlukan agar tubuh senantiasa sehat.
Meningkatkan dengan menjaga pola hidup sehat, yaitu istirahat/tidur yang cukup,
konsumsi makanan bergizi yang mengandung vitamin dan mineral, dan bila
perlu menggunakan imunomodulator. Imunomodulator adalah imunostimulasi
atau imunopotensiasi, yaitu cara memperbaiki fungsi sistem imun tubuh dengan
menggunakan bahan yang merangsang atau meningkatkan kerja sistem tersebut.
Kerja sistem imun tubuh kita secara sederhana terbagi dalam 3 kelompok :
1. Sistem pertahan tubuh awal : contohnya, kulit, rambut di kulit, air mata
2. Sistem pertahanan tubuh non spesifik (alamiah) : adalah sistem yang paling
cepat bereaksi ketika ada serangan virus, bakteri atau mikroba dari luar.
3. Sistem pertahanan spesifik (dapatan) : sistem ini baru bekerja ketika
perlawanan sistem imun alami kita tidak cukup dan bekerja menurut jeniis
serangan virus atau bakteri yang terjadi. Yang bekerja pada sistem ini
adalah Limfosit T & B. Hasil kerja sistem inilah yang berbentuk antibodi
(IgG dan IgM)
27
Sistem imun berkembang sesuai dengan perkembangan tubuh kita, pada waktu
bayi umumya sistem imun masih belum banyak berkembang, beberapa
komponen masih belum dapat bekerja optimal. Dengan bertambahnya usia dari
anak-nak menuju remaja hingga dewasa, sistem imun berkembang untuk bekerja
lebih optimal. Tetapi memasuki usia tua, sistem imun menurun kemballi. Oleh
karena itu, anak-anak dan lansia mudah sekali terkena penyakit.
Pada prinsipnya, orang dengan kondisi sistem imun dalam keadaan prima, tidak
mudah terkena infeksi, akan tetapi jika pada saat tertentu sistem imunterganggu
atau tidak bekerja dengan baik, maka infeksi oleh bakteri, virus atau jamur
mudah masuk ke dalam tubuh. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan sistem
imun terganggu, di antaranya: stress, kurang gizi, terlalu lelah, dsb. Untuk
mengatsinya diperlukan pola hidup sehat, antara lain : cukup istirahat, makan
bergizi seimbang, tidak stress, menghindari lingkungan yang dapat
mengakibatkan sakit dan bila perlu mengkonsusmsi obat atau suplementasi yang
dapat menguatkan sistem imun (daya tahan) tubuh.
V. Terapi imunopotensiasi atau Imunomodulator
Terapi Imunopotensiasi adalah upaya pengobatan untuk memperbaiki fungsi
sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem imun.
Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non
spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan non
spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan dengan
penginduksi disebut paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau
sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai mitogen
yaitu meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah
makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor paramunitas ini bekerja
28
menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung
maupun tak langsung (misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui
produksi interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro
dan makro (Gambar 1). Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik
umumnya saling berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem
pertahanan mungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomodulator,
dalam praktek.
Imunostimulan
Imunostimulan ditunjukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi
imunosupresi. Kelompok obat ini dapat memperngaruhi respon imun seluler
maupun humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya menyeluruh dan tidak
bersifat spesifik untuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu efekumumnya
lemah. Indikasi imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan
terutama yang melibatkan sistem limfatik
Karakteristik imunomodulator dan metode penguji
Aktivitas suatu senyawa yang dapat merangsang sistem imun tidak tergantung
pada ukuran molekul tertentu. Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan
berat molekul yang kecil maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk
mencari senyawa semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji
imunbiologi saja. Metode pengujian yang dapat dilakukan adalah metode in vitro
dan in vivo, yang akan mengukur pengaruh senyawa kimia terhadap fungsi dan
kemampuan sistem mononuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari
limfosit B dan T.
29
Metode uji aktivitas imunomoduator yang dapat digunakan,yaitu:
1. Metode bersihan karbon (“Carbon-Clearance”) Pengukuran secara
spektrofluorometrik laju eliminasi partikel karbon dari daerah hewan. Ini
merupakan ukuran aktivitas fagositosis.
2. Uji granulosit Percobaan in vitro dengan mengukur jumlah sel ragi atau
bakteri yang difagositir oleh fraksi granulosit yang diperoleh dari serum
manusia. Percobaan ini dilakukan di bawah mikroskop.
3. Bioluminisensi radikal Jumlah radikal 02 yang dibebaskan akibat kontak
mitogen dengan granulosit atau makrofag, merupakan ukuran besarnya
stimulasi yang dicapai.
4. Uji transformasi limfosit T Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu
mitogen. Timidin bertanda ( 3 H) akan masuk ke dalam asam nukleat limfosit
1. Dengan mengukur laju permbentukan dapat ditentukan besarnya stimulasi
dibandingkan dengan fitohemaglutinin A (PHA) atau konkanavalin A (Con
A).
Persyaratan imunomodulator menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi
persyaratan berikut:
1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.
2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.
3. Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.
4. Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek
samping farmakologik yang merugikan.
5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.
Dasar fungsional paramunitas
1. Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasan
mediator.
30
2. Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik
terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan aktivitas
limfosit.
3. Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.
4. Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.
5. Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya sistem
komplemen properdin-opsonin).
6. Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atau
aktivator lain.
7. Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.
VI. Penggunaan immunomodulator pada kehamilan
a. Echinacea
Echinacea berasal dari kata Yunani yaitu echinos, yang memiliki arti hedgehog
atau landak (bulu landak) karena bentuk bunganya yang tajam-tajam. Tanaman
echinacea tumbuh terutama di Amerika Utara, Kanada dan dibudidayakan
secara komersial di Jerman sejak tahun 1930an.12,13
Gambar 2. Echinacea puerpura
Dikutip dari Goldhaber-Fiebert S12
Kandungan yang dimiliki oleh echinacea antara lain karbohidrat (polisakarida,
arabinogalactan, xyloglycan, echinacin, inulin), glikosida (caffeic acid dan
31
derivatnya, chicoric acid, echinacoside, cynarin, aquinic acid), alkaloid
(isotussilagine, tussilagin), alkilamid (echinacein), poliasetilen (germacrene
sesquiterpene), asam lemak, minyak esensial (humulene, caryophylene),
phytosterol.12,13
Selama masa kehamilan, echinacea paling banyak digunakan untuk
pencegahan dan pengobatan influenza, melalui kemampuannya menstimulasi
sistim imun. Echinacea mempengaruhi sistim imun terutama sistim imun non
spesifik, dengan meningkatkan respon imun fase awal dan mempercepat
terjadinya respon imun adaptif. Echinacea meningkatkan produksi IL-1, IFN-ß2
dan TNF-α (P<0,05), pada semua konsentrasi yang digunakan. Bagaimana
mekanisme aktivasi sistim imun melalui jalur sitokin ini oleh echinacea belum
diketahui. Disamping itu echinacea juga diketahui dapat mengaktivasi sel
Natural Killer (NK) melalui komponen polisakarida, derivat polar asam kafeat
dan lipofilik alkamida yang terkandung di dalamnya. 12,13
Tabel 2. Beberapa Uji Klinis Echinacea puerpura
Peneliti Parameter N Desain Penelitian HasilSchoeneberger D (1992)
Terapi Influenza
108 Acak, buta ganda, kelompok kontrol
Insidens, durasi dan keparahan lebih sedikit dari kelompok kontrol
Hoheisel (1997) Terapi Influenza
120 Acak, buta ganda, kelompok kontrol
Sembuh 4 hari vs 8 hari
Baetgen D, dkk (1988)
Bronchitis 128 Retrospektif Lebih baik daripada terapi antibiotik
Jawad M, dkk (2012)
Terapi Influenza
717 Acak, buta ganda, kelompok kontrol
Pemakaian lebih dari 4 bulan meningkatkan efek teraupetik yang signifikan
Dikutip dari Goldhaber-Fiebert S12
Echinacea tersedia dalam berbagai bentuk sediaan yang terbuat dari
32
berbagai bagian tanaman dan tiap sediaan mengandung lebih dari satu macam
komponen kimia, sehingga rekomendasi dosis yang tepat sulit untuk dibuat.
Tidak ada dosis yang telah distandar secara umum. Dosis yang
direkomendasikan sangat bervariasi. Sediaan yang tersedia diantaranya
ekstrak cair, tinktur, tablet, kapsul, teh, krim, gel dan sediaan injeksi yang
populer di Jerman. Ekstrak dari echinacea dalam alkohol tinktur paling
banyak digunakan, karena beberapa kandungan tidak larut dalam air.12,13
Dosis untuk berbagai jenis sediaan tersebut adalah:
Tinktur : 1-2 ml diberikan 3x sehari
Ekstrak bubuk kering : 325-650 mg dalam tablet/kapsul diberikan 3x sehari
Expressed juice : 2-3ml diberikan 3xsehari
Injeksi : tidak ada di Amerika, namun sering digunakan di Jerman.
Echinacea walau relatif aman digunakan, dapat menyebabkan reaksi
alergi tetapi tidak menimbulkan kematian. Pada pasien dengan riwayat
asma, atopi, rinitis alergi dan pasien alergi terhadap asteraceae dapat
muncul reaksi alergi berat, meliputi dyspnea dan reaksi anafilaksis. Pada
penggunaan oral dapat muncul rasa tidak enak dan kehilangan rasa di lidah,
dan pada penggunaan parenteral dapat muncul reaksi demam, kelemahan
otot dan menggigil. Pernah dilaporkan muncul efek samping seperti rasa
terbakar dimulut dan tenggorokan, urtikaria, diare, eritema nodosum, mual,
muntah dan nyeri perut.12,13
Toksisitas akut pada penggunaan ekstrak akar echinacea muncul pada
dosis >3.000mg/kg berat badan, sedang untuk expressed juice echinacea
>10.000 mg/kg berat badan. Percobaan oleh Mengs, dkk (1991) serta
Wagner, dkk (1997) untuk menunjukkan mutagenisitas dan karsinogenisitas
dari echinacea memberikan hasil negatif. Pada penelitian Soon, dkk (2001)
terdapat kasus rekuren eritema nodosum kemungkinan terkait penggunaan
echinacea.12,13
33
libgen/scimag/get.php?doi=
VI. Ringkasan
Secara singkat peristiwa adaptasi imunobiologi selama masa kehamilan dapat
digambarkan sebagai berikut :
Adaptasi imun yang mengatur respons imun maternal terhadap janin :
Blokade Aferen
1. Tidak ada sensitasi antigen pada trofoblas
2. Imunosupresi nonspesifik :
Perubahan populasi sel imun
Faktor supresi ( plasenta, serum, desidua)
Blokade sentral
1. Blocking antibody (anti-fetal HLA, anti-Fc reseptor, anti-
idiotiopik}
2. Fetal-specific T-supressor cell
3. Peran Th-2 uterus
Blokade eferen
1. Tidak ada antigen target pada trofoblas
2. Blocking antibodies mask fetal antigens
34
3. Faktor supresi nonspesifik (plasenta, serum, desidua)
4. Antibodi sitotoksik anti-fetal diserap oleh plasenta
5. Faktor supresor janin
DAFTAR PUSTAKA
1.