bahan imunologi

74
Imunitas Non Spesifik Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas non spesifik berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan imunitas spesifik akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik. Komponen imunitas non spesifik Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap infeksi), sel-sel dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein plasma. Barrier epitel Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran pernapasan dilindungi oleh epitel yang berfungsi sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel epitel memproduksi antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel juga mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial dapat mengenali lipid atau struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih belum jelas. Sistem fagosit Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, yaitu sel darah yang dapat datang ke tempat infeksi kemudian mengenali mikroba intraselular dan memakannya (intracellular killing). Sel Natural Killer (NK) Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap mikroba intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag yaitu IFN-γ. Sel NK berjumlah 10% dari total limfosit di darah dan organ limfoid perifer. Sel NK mengandung banyak granula sitoplasma dan

Upload: banyu29

Post on 28-Dec-2015

157 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

imunologi

TRANSCRIPT

Page 1: bahan imunologi

Imunitas Non SpesifikPerbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas non spesifik berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan imunitas spesifik akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.

Komponen imunitas non spesifik

Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap infeksi), sel-sel dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein plasma.

Barrier epitel

Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran pernapasan dilindungi oleh epitel yang berfungsi sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel epitel memproduksi antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel juga mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial dapat mengenali lipid atau struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih belum jelas.

Sistem fagosit

Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, yaitu sel darah yang dapat datang ke tempat infeksi kemudian mengenali mikroba intraselular dan memakannya (intracellular killing).

Sel Natural Killer (NK)

Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap mikroba intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag yaitu IFN-γ. Sel NK berjumlah 10% dari total limfosit di darah dan organ limfoid perifer. Sel NK mengandung banyak granula sitoplasma dan mempunyai penanda permukaan (surface marker) yang khas. Sel ini tidak mengekspresikan imunoglobulin atau reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel pejamu yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme pengenalan ini belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk molekul sel pejamu (host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel NK dan sebagian yang lain menghambatnya. Reseptor pengaktivasi bertugas untuk mengenali molekul di permukaan sel pejamu yang terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang mengandung virus dan bakteri. Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas untuk mengenali molekul permukaan sel pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara teoritis keadaan ini menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal, akan tetapi hal ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor inhibisi yang akan mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi sel NK. Reseptor inhibisi ini spesifik terhadap berbagai alel dari molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.

Page 2: bahan imunologi

Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell immunoglobulin-like receptor (KIR), serta reseptor yang mengandung protein CD94 dan subunit lectin yang disebut NKG2. Reseptor KIR mempunyai struktur yang homolog dengan imunoglobulin. Kedua jenis reseptor inhibisi ini mengandung domains structural motifs di sitoplasmanya yang dinamakan immunoreceptor tyrosine-based inhibitory motif (ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika reseptor berikatan dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut mengaktivasi protein dalam sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase. Fosfatase ini akan menghilangkan fosfat dari residu tirosin dalam molekul sinyal (signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK terhambat. Oleh sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel NK menjadi tidak aktif.

Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC kelas I pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari pemusnahan oleh sel T sitotoksik CD8+. Jika hal ini terjadi, reseptor inhibisi sel NK tidak teraktivasi sehingga sel NK akan membunuh sel yang terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk mengatasi infeksi ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi makrofag, diantaranya interleukin-12 (IL-12). Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari berbagai antibodi IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang telah diselubungi antibodi (antibody-mediated humoral immunity).

Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ) yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut.

Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang ditunjukkan oleh MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan berespons pada keadaan dimana tidak ada MHC. Pihak mana yang lebih unggul akan menentukan hasil akhir dari infeksi.

Sistem komplemen

Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic cascade.

Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik, dan jalur lektin. Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah).

Jalur ini merupakan komponen imunitas non spesifik.

Page 3: bahan imunologi

Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik.

Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas non spesifik.

Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen adalah C3 yang akan dipecah oleh enzim proteolitik pada awal reaksi complement cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi selanjutnya. Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda pada cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.

Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan. Pertama, C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan dengan fagosit (melalui reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan untuk neutrofil dan monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen. Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa pembentukan membrane attack complex (MAC) yaitu kompleks protein polimerik yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu membentuk lubang-lubang sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan kematian mikroba.

Sitokin pada imunitas non spesifik

Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi sitokin untuk memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik. Sitokin merupakan protein yang mudah larut (soluble protein), yang berfungsi untuk komunikasi antar leukosit dan antara leukosit dengan sel lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai interleukin dengan alasan molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada leukosit (namun definisi ini terlalu sederhana karena sitokin juga diproduksi dan bekerja pada sel lainnya). Pada imunitas non spesifik, sumber utama sitokin adalah makrofag yang teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS ke reseptornya di makrofag merupakan rangsangan kuat untuk mensekresi sitokin. Sitokin juga diproduksi pada imunitas selular dengan sumber utamanya adalah sel T helper (TH).

Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus eksternal (misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan reseptor di sel target. Sebagian besar sitokin bekerja pada sel yang memproduksinya (autokrin) atau pada sel di sekitarnya (parakrin). Pada respons imun non spesifik, banyak makrofag akan teraktivasi dan mensekresi sejumlah besar sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat sekresinya (endokrin).

Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi, misalnya TNF, IL-1 dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi. Pada konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan trombosis dan menurunkan tekanan darah sebagai akibat dari kontraktilitas miokardium yang berkurang dan vasodilatasi. Infeksi bakteri Gram negatif yang hebat dan luas dapat menyebabkan syok septik. Manifestasi klinis dan patologis dari syok septik disebabkan oleh kadar TNF yang sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai

Page 4: bahan imunologi

respons terhadap LPS bakteri. Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons terhadap LPS dan mikroba yang difagosit. Peran IL-12 adalah mengaktivasi sel NK yang akan menghasilkan IFN-γ. Pada infeksi virus, makrofag dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I. Interferon ini menghambat replikasi virus dan mencegah penyebaran infeksi ke sel yang belum terkena.

Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik

Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada pertahanan melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma bekerja dengan cara mengenali karbohidrat pada glikoprotein permukaan mikroba dan menyelubungi mikroba untuk mempermudah fagositosis, atau mengaktivasi komplemen melalui jalur lectin. Protein MBL ini termasuk dalam golongan protein collectin yang homolog dengan kolagen serta mempunyai bagian pengikat karbohidrat (lectin). Surfaktan di paru-paru juga tergolong dalam collectin dan berfungsi melindungi saluran napas dari infeksi. C-reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di mikroba dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui reseptor CRP pada makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini akan meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut sebagai respons fase akut (acute phase response).

Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari jenis mikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit, sistem komplemen, dan protein fase akut. Sedangkan pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh fagosit dan sel NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.

Penghindaran mikroba dari imunitas non spesifik

Mikroba patogen dapat mengubah diri menjadi resisten terhadap imunitas non spesifik sehingga dapat memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri intraselular tidak dapat didestruksi di dalam fagosit. Lysteria monocytogenes menghasilkan suatu protein yang membuatnya lepas dari vesikel fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding sel Mycobacterium mengandung suatu lipid yang akan menghambat penggabungan fagosom dengan lisosom. Berbagai mikroba lain mempunyai dinding sel yang tahan terhadap komplemen. Mekanisme ini digunakan juga oleh mikroba untuk melawan mekanisme efektor pada imunitas selular dan humoral.

Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi respons imun spesifik

Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk menstimulasi imunitas spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan suatu molekul yang bersama-sama dengan antigen akan mengaktivasi limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik terhadap suatu antigen membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu sendiri, sedangkan mikroba, respons imun non spesifik terhadap mikroba, dan sel pejamu yang rusak akibat mikroba merupakan sinyal kedua. Adanya “sinyal kedua” ini memastikan bahwa limfosit hanya berespons terhadap agen infeksius, dan tidak berespons terhadap bahan-bahan non mikroba. Pada vaksinasi, respons imun spesifik dapat dirangsang oleh antigen, tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini, pemberian antigen harus disertai dengan bahan tertentu yang disebut adjuvant. Adjuvant akan

Page 5: bahan imunologi

merangsang respons imun non spesifik seperti halnya mikroba. Sebagian besar adjuvant yang poten merupakan produk dari mikroba.

Mikroba dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel dendrit dan makrofag untuk memproduksi 2 jenis “sinyal kedua” pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan makrofag mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor pada imunitas selular .

Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif. Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan dengan mikroba. Pada saat limfosit B mengenali antigen mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali C3d yang terikat pada mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini mengakibatkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam hal ini, produk komplemen berfungsi sebagai “sinyal kedua” pada respons imun humoral.

http://allergycliniconline.com/2012/02/01/imunitas-non-spesifik/

A.    Pengertian

Innate immunity atau kekebalan alami adalah pertahanan paling awal pada manusia untuk

mengeliminasi mikroba patogen bagi tubuh. Innatte immunity merupakan kekebalan non-

spesifik. Artinya semua bentuk mikroba yang masuk akan dieliminasi tanpa memperhatikan jenis

dari mikroba itu. Pada imunitas bawaan ini memiliki dua sistem pertahanan, pertahanan tingkat

pertama dan pertahanan tingkat kedua. Pada pertahanan tingkat pertama tubuh akan dilindungi

dari segala macam mikroba patogen yang menyerang tubuh secara fisik, kimia dan flora normal.

Dan pertahanan kedua yang dilakukan oleh tubuh untuk melawan mikroba patogen meliputi

fagosit, inflamasi demam dan substansi antimikroba. Yang termasuk sel fagosit adalah makrofag,

sel dendrit, neutrofil. Sedangkan Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap sel yang rusak,

repon ini ditandai dengan adanya kemerahan, nyeri, panas, bengkak. Tujuan inflamasi adalah

untuk membatasi invasi oleh mikroba agar tidak menyebar lebih luas lagi, serta memperbaiki

jaringan atau sel yang telah rusak oleh mikroba. Dan jenis pertahanan kedua yang terakhir yaitu

substansi mikroba.

Substansi mikroba yang dimaksud adalah komplemen. Sistem komplemen merupakan

sistem yang penting dalam innate immunity karena fungsinya sebagai opsonisator untuk

Page 6: bahan imunologi

meningkatkan fagositosis sel fagosit dan kemoatrtaktor untuk menarik sel-sel radang yang

menyebabkan inflamasi.

Innate immunity, atau sering disebut imunitas alamiah, merupakan mekanisme pertama

yang akan terjadi saat infeksi berlangsung, terjadi secara cepat terhadap infeksi mikrobia, dan

terjadi antara jam ke-0 sampai jam ke-12 infeksi. Sistem imun turunan terdiri dari berbagai sel

dan mekanisme yang mempertahankan tubuh suatu organisme dari infeksi organisme lain, secara

non-spesifik. Ini berarti sel-sel dari sistem imun turunan mengenali dan merespon patogen dalam

cara yang umum, namun tidak seperti sistem imun adaptif, sistem imun turunan tidak

menyediakan kekebalan yang protektif dan jangka panjang bagi organisme yang memilikinya.

Sistem imun turunan menyediakan pertahanan menengah melawan infeksi, dan dapat ditemukan

pada semua tumbuhan dan hewan.

Sedangkan menurut Sherwood (2001) sistem imun bawaan atau sistem imun nonspesifik

adalah respon pertahanan inheren yang secara nonselektif mempertahankan tubuh dari invasi

benda asing atau abnormal dari jenis apapun, walaupun baru pertama kali terpajan. Respon ini

membentuk lini pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam, termasuk agen

infeksi, iritan kimiawi, dan cedera jaringan yang menyertai trauma mekanis atau luka bakar

termasuk dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Sistem ini disebut nonspesifik

karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu (Baratawidjaya, 2002). Selain itu

sistem imun ini memiliki respon yang cepat terhadap serangan agen patogen atau asing, tidak

memiliki memori immunologik, dan umumnya memiliki durasi yang singkat.

B.     Sifat-sifat Sistem Imun Nonspesifik

Sistem imun nonspesifik memiliki sifat:

1. Resistensi tidak berubah oleh infeksi berulang

2. Umumnya efektif terhadap semua zat asing

3. Terjadi pada awal infeksi untuk menghancurkan virus, mencegah atau mengendalikan

infeksi

4. Eksposur menyebabkan respon maksimal segera, berlangsung cepat

5. Tidak ada memori imunologikal

6. Respon tidak spesifik, umumnya efektif terhadap semua mikroba

C.    Faktor-Faktor Determinan Yang Mempengaruhi Sistem Imun Nonspesifik

Page 7: bahan imunologi

Berbagai faktor yang disebut determinan berpengaruh terhadap sistem imun nonspesifik

sebagai berikut :

1.      Spesies

Perbedaan spesies memiliki perbedaan kerentanan yang jelas terhadap mikroorganisme asing.

Misalnya, tikus sangat resisten, sedang manusia sangat rentan terhadap difteri.

2.      Keturunan dan usia

Peranan heriditer yang menentukan resistensi terhadap infeksi terlihat dari studi tuberkolosis

pada pasangan kembar. Bila satu dari kembar homozigot menderita tuberkolosis, pasangan

lainnya menunjukkan resiko lebih besar untuk juga menderita tuberkolosis dibanding dengan

pasangan kembar yang heterozigot. Infeksi sering terjadi lebih berat pada anak usia balita dan

binatang muda dibanding usia dewasa. Hal tersebut disebabkan karena sistem imun yang belum

matang pada usia muda. Yang berarti:

a.       Peran hereditas menentukan resistensi terhadap infeksi

b.      Usia muda (anak) lebih rentan terkena infeksi karena system imun yang belum matang

c.       Usia lanjut disertai dengan penurunan resistensi terhadap infeksi

3.      Hormon

a.       Sebelum pubertas sistem imun pada pria dan wanita sama

b.      System imun berkembang pada usia dewasa

c.       Hormon estrogen pada wanita membantu meningkatkan system imun bayi

d.      Pada diabetes melitus, hipotiroidisme dan disfungsi adrenal ditemukan resistensi yang menurun

terhadap infeksi. Sebabnya belum diketahui. Steroid yang merupakan antiinflamsi berefek

menurunkan kemampuan fogositosis, tetapi juga menghambat efek tosik endotoksin yang

dihasilkan kuman.

4.      Suhu

Kelangsungan hidup banyak jenis mikroorganisme tergantung pada suhu.

a.       Pada suhu normal beberapa mikroorganisme tidak menginfeksi manusia

b.      Suhu mempengaruhi tingkat infeksi tergantung karakteristik mikroorganismenya

5.      Faktor nutrisi

Nutrisi yang baik dapat meningkatkan system imun, begitu juga sebaliknya.

Page 8: bahan imunologi

6.      Flora normal

Flora normal kulit dapat memproduksi berbagai bahan anti microbial.

7.      Stress

Stress juga dapat mempengaruhi katahanan tubuh menjadi kurang baik.

D.    Macam-macam dan fungsi dari pertahanan humoral dan seluler dari sistem imun

nonspesifik

Sistem imun nonspesifik dibagi menjadi :

1. Pertahanan Fisik/Mekanik

Dalam sistem pertahanan fisik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin,

merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi.  Kulit yang rusak misalnya oleh luka

bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.

2. Pertahanan Biokimia

Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga,

spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara

biokimiawi. Asam HCL dalam cairan lambung, lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air

susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan menghancurkan

dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai

sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.

Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dan hal

tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zan

besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas

3. Pertahanan Humoral

Sistem imun nonspesifik ini menggunakan berbagai molekul larut tertentu yang diproduksi

di tempat infeksi dan berfungsi lokal, misalnya peptida antimikroba (defensin, katelisidin, dan

IFN dengan efek antiviral). Namun juga ada faktor larut lainnya yang diproduksi di tempat yang

lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA

(Protein Fase Akut).

Pertahanan humoral diperankan oleh komplemen, interferon dan CRP (C Reaktif Protein /

protein fase akut), kolektin MBL 9 (Manan Binding Lectin):

Page 9: bahan imunologi

a.       Komplemen

Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit karena:

1)      Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri

2)      Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat bakteri

3)      Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri memudahkan makrofag

untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi).

b.      Interferon

Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang

mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus. Interveron

mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus

sehingga menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan

Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan

perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian

membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.

c.       Reactive Protein (CRP)

Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk oleh

badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau

lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena

dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan

jamur.

d.      Kolektin MBL 9 (Manan Binding Lectin)

Lektin mannose-binding (MBL), juga disebut protein mannose-binding protein atau mannan-

binding (MBP), merupakan lektin yang berperan dalam kekebalan bawaan. MBL milik kelas

collectins dalam tipe C lektin superfamili, yang fungsinya tampaknya pengenalan pola pada baris

pertama pertahanan dalam host pra-imun. MBL mengakui pola karbohidrat, ditemukan pada

permukaan sejumlah besar patogen mikro-organisme, termasuk bakteri, virus, protozoa dan

jamur. Pengikatan MBL ke mikro-organisme hasil di aktivasi jalur lektin dari sistem

komplemen . Fungsi penting lain MBL adalah bahwa molekul ini mengikat pikun dan apoptosis

sel dan meningkatkan terperosok keseluruhan, sel apoptosis utuh, serta puing-puing sel oleh

fagosit.

Page 10: bahan imunologi

4. Pertahanan Selular

Sel-sel sistem imun nonspesifik ini dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Contoh

sel yang dapat ditemukan di sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil. basofil, monosit, sel T, sel B, sel

NK, sel darah merah dan trombosit. Contoh sel yang dapat ditemukan di jaringan adalah

eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma dan sel NK.

Pertahanan selular diperankan oleh sel-sel imun yang terdiri dari oleh fagosit, sel makrofag,

sel dendrik, sel mastosit, sel mast, sel NK (Natural Kiler).

a.       Fagosit

Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang berperaan

dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel

polimorfonuklear seperti neutrofil. Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan

komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt

sebagai berikut: Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.

Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap berbagai factor

sperti produk bakteri dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody

seperti pada halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi).

Antigen yang diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian

dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari

immunoglobulin pada permukaan fagosit. Yang termasuk sel fagosit adalah makrofag, sel

dendrit, dan neutrofil.

1)      Makrofag

Makrofaga berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pemakan sel yang besar”. Makrofaga adalah

leukosit fagositik yang besar, yang mampu bergerak hingga keluar system vaskuler dengan

menyebrang membran sel dari pembuluh kapiler dan memasuki area antara sel yang sedang

diincar oleh patogen. Di jaringan, makrofaga organ-spesifik terdiferensiasi dari sel fagositik yang

ada di darah yang disebut monosit. Makrofaga adalah fagosit yang paling efisien, dan bisa

mencerna sejumlah besar bakteri atau sel lainnya. Pengikatan molekul bakteri ke reseptor

permukaan makrofaga memicu proses penelanan dan penghancuran bakteri melalui "serangan

respiratori", menyebabkan pelepasan bahan oksigen reaktif. Patogen juga menstimulasi

makrofaga untuk menghasilkan kemokin, yang memanggil sel fagosit lain di sekitar wilayah

terinfeksi.

Page 11: bahan imunologi

2)      Neutrofil.

Neutrofil bersama dengan dua tipe sel lainnya: eosinofil dan basofil dikenal dengan nama

granulosit karena keberadaan granula di sitoplasma mereka, atau disebut juga dengan

polymorphonuclear karena bentuk inti sel mereka yang aneh. Granula neutrofil mengandung

berbagai macam substansi beracun yang mampu membunuh atau menghalangi pertumbuhan

bakteri dan jamur. Mirip dengan makrofag, neutrofil menyerang patogen dengan serangan

respiratori. Zat utama yang dihasilkan neutrofil untuk melakukan serangan respiratori adalah

bahan pengoksidasi kuat, termasuk hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.

Neutrofil adalah tipe fagosit yang berjumlah cukup banyak, umumnya mencapai 50-60% total

leukosit yang bersirkulasi, dan biasanya menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di

suatu tempat. Sumsum tulang normal dewasa memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil

sehari, dan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi akut.

3)      Sel dendritik

Sel dendritik adalah sel fagositik yang terdapat pada jaringan yang terhubung dengan lingkungan

eksternal, utamanya adalah kulit (umum disebut sel Langerhans) dan lapisan mukosa dalam dari

hidung, paru-paru, [lambung], dan usus. Mereka dinamai sel dendritik karena dendrit neuronal

mereka, namun mereka tidak berhubungan dengan sistem syaraf. Sel dendritik sangat penting

dalam proses kehadiran antigen dan bekerja sebagai perantara antara sistem imun turunan dan

sistem imun adaptif. Fagositosis dari sel dari organisme yang memilikinya umumnya merupakan

bagian dari pembentukan dan perawatan jaringan biasa. Ketika sel dari organisme tersebut mati,

melalui proses apoptosis ataupun oleh kerusakan akibat infeksi virus atau bakteri, sel fagositik

bertanggung jawab untuk memindahkan mereka dari lokasi kejadian. Dengan membantu

memindahkan sel mati dan mendorong terbentuknya sel baru yang sehat, fagositosis adalah

bagian penting dari proses penyembuhan jaringan yang terluka.

b.      Natural Killer cell (sel NK)

Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel limfoid

dari siitem imun spesifik, maka karena itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel poplasi

ketiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan

interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK. Sel

NK memiliki ukuran yang agak lebih besar dari limfosit T dan limfosit B. Sel ini dinamakan sel

pemusnah karena sel-sel ini membunuh mikroba dan sel-sel kanker tertentu. Istilah alami

Page 12: bahan imunologi

(natural) digunakan karena sel-sel ini siap membunuh sel target segera setelah dibentuk, tanpa

perlu melewati proses pematangan seperti pada limfosit T dan limfosit B. Sel NK juga

menghasilkan beberapa sitokin yang mengatur sebagian fungsi limfosit T, limfosit B dan

makrofag.

http://sofiatussholeha.blogspot.com/2013/06/makalah-imun-non-spesifik.html

Mekanisme Sistem Imun dalam Tubuh19 September 2012 | Fitria Ramdhany Permatasari

Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Imunitas mempunyai tiga fungsi utama :

a)      Perannya dalam pertahanan adalah menghasilkan resistensi terhadap agen penginvasi seperti mikroorganisme.

b)      Perannya dalam surveilans adalah mengindentifikasi dan menghancurkan sel-sel tubuh sendiri yang bermutasi dan berpotensi menjadi neoplasma.

c)      Perannya dalam homeostasis adalah membersihkan sisa-sisa sel dan zat-zat buangan sehingga tipe-tipe sel tetap seragam dan tidak berubah.

Untuk melindungi dirinya, tubuh memerlukan mekanisme yang dapat membedakan sel-sel itu sendiri (Self) dari agen-agen penginvasi (nonself). Pertahanan imun terdiri atas sistim imun alamiah atau nonspesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).

1. 1.      Sistem Imun Non Spesifik

Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung. Disebut sistem non spesifik karena tidak ditujukan terhadap satu mikroorganisme tertentu, telah ada pada tubuh kita dan siap berfungsi sejak lahir. Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Imunitas non spesifik dibedakan menjadi 3 yaitu fisik, larut, dan seluler. Sedang imunitas non spesifik larut terdiri dari biokimia dan Humoral.

a)   Pertahanan Fisik

Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Permukaan tubuh merupakan

Page 13: bahan imunologi

pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan berbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah. Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa.

b)      Pertahanan Biokimia

Pertahanan biokimia terdiri dari lisozim (keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin, dan asam neuraminik. Enzim seperti lisozim dapat merusak dinding sel mikroorganisme.

c)      Pertahanan Humoral

Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan dalam pertahanan humoral. Bahan-bahan tersebut antara lain antibodi, komplemen, interferon dan C-Reactive Protein (CRP).

1) Komplemen memiliki 3 fungsi, antara lain dalam proses lisis, kemotaktik dan opsonisasi bakteri. Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.

2) Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon dapat menginduksi sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK).

3) Protein Fase Akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari Protein Fase Akut. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen

d)  Pertahanan Seluler

Fagosit, makrofag, sel NK berperan dalam sistem imun non spesifik seluler. Meskipun berbagai  sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam dalam pertahana non spesifik adalah sel mononukliear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklier atau granulosit. Morfologi sel NK merupakan limfosit dengan granula besar.

 

1. 2.       Sistem Imun Spesifik

Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang

Page 14: bahan imunologi

diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat. Sel sistem imun spesifik terdiri atas sel B dan sel T yang masing-masing merupakan sekitar 10% dan 70-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Sel B tidak mempunyai subset tetapi sel T terdiri atas beberapa subset: sel Th, Ts, Tc dan Tdh.

Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).

a)      Sistem Imun Spesifik Humoral

Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas IgG,IgM,IgA,IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat mengaglutinasikan kuman/virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker, penolakan transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada imunitas parasit. IgM dibentuk terdahulu pada respons imun primer sehingga kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini. IgM merupakan aglutinator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik) yang poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan sIgA dapat menetralisir toksin, virus, mengagglutinasikan kuman dan mengaktifkan komplemen (jalur alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Peranan IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi makanan dan autoantigen.

b)      Sistem Imun Spesifik Seluler

Peran sel T dapat dibagi menjadi 2 fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T helper (juga dikenal sebagai sel CD4 karena petanda cluster of differentiation di permukaan sel diberi nomor 4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin-sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses-proses imun seperti membantu sel B untuk memproduksi antibodi, pengaktivan sel T lain, dan pengaktivan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (dahulu dikenal sebagai sel T killer; saat ini dikenal sebagai CD8 karena cluster of differentiation diberi nomor 8). Sel-sel CD8 mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor, dan jaringan transplantasi dengan menyuntikan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran asing. Cara ini bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata pada penyerangan virus.

Page 15: bahan imunologi

 

Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi.

Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan berbagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang

Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel.

Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler.

http://blog.ub.ac.id/cdrhfitria/2012/09/19/mekanisme-sistem-imun-dalam-tubuh/

FISIOLOGI IMUN DAN MEKANISME PERTAHANAN

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleksterhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.

Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja sebagai antigen, anti melawan, + genin menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi suatu respon dari tuan rumah, respon ini dapat selular, humoral atau keduanya. Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor

Page 16: bahan imunologi

atau berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada keadaan apa saja spesitas respon imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil dari antigendetenniminan antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan satu spectrum respon humoral dan selular. Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang  bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic yang merangsang pembentukan antibody, antibody disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B. Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model bagi kelas-kelas yang lain.

Adjuvant  àSenyawa yang jika dicampur dengan imunogen à  meningkatkan respon imun terhadap imunogen : BCG,  FCA, LPS, suspensi AL(OH)3

Imunogen   à senyawa yang mampu menginduksi respon imun

Hapten:  Molekul kecil yang tidak mampu menginduksi respon imun dalam keadaan murni, namun bila berkonyugasi dengan protein tertentu (carrier) atau senyawa BM besar à dapat menginduksi respon imun.

Epitop atau Antigenik Determinan :Unit terkecil dari suatu antigen yang mampu berikatan dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit

Mekanisme pertahanan tubuh

1. Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.

2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif  atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.

Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti

Page 17: bahan imunologi

kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit

Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.

Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit

Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.

Komplemen dan makrofag

Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.

Protein fase akut

Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.

Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon

Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.

Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang

Page 18: bahan imunologi

akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.

Limfosit B Limfosit T

Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi(pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang(Bone Marrow)

Dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang pluripotensi(pluripotent stem cells) dan dimatangkan di Timus

Berperan dalam imunitas humoral Berperan dalam imunitas selular

Menyerang antigen yang ada di cairan antar sel Menyerang antigen yang berada di dalam sel

Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :

· Limfosit B plasma, memproduksi antibodi

· Limfosit B pembelah, menghasilkan Limfosit B dalam jumlah banyak dan cepat

· Limfosit B memori, menyimpan mengingat antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh

Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:

· Limfosit T pempantu (Helper T cells), berfungsi mengantur sistem imun dan mengontrol kualitas sistem imun

· Limfosit T pembunuh(Killer T cells) atau Limfosit T Sitotoksik, menyerang sel tubuh yang terinfeksi oleh patogen

· Limfosit T surpressor (Surpressor T cells), berfungsi menurunkan dan menghentikan respon imun jika infeksi berhasil diatasi

Imunitas selular

Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.

Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini

Page 19: bahan imunologi

dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).

Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.

Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.

Pajanan antigen pada sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul besar.

Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.

Limfokin

Page 20: bahan imunologi

Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.

Aktivitas lain untuk eliminasi antigen

Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.

Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.

Imunitas humoral

Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.

Pajanan antigen pada sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.

Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang

Page 21: bahan imunologi

dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi komplemen.

Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.

Jumlah normal sel leukosit.

Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam.

Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil.

Page 22: bahan imunologi

Neutrofil

Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :

- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.

- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan fagositin.

Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glicogenolisis.

EOSINOFIL

Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat.

BASOFIL

Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi

Page 23: bahan imunologi

histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan.

LIMFOSIT

Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.Normal, inti relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.

MONOSIT

Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.

BAB II

RESPON ANTIBODI TERHADAP KANKER DAN VIRUS POLIO

Respon antibodi terhadap tumor.

Tumor ganas/kanker adalah jenis penyakit yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Sehingga identifikasi prilaku pertumbuhan tumor yang imunogenik (dapat menstimulasi respon imun) adalah penting dan perlu dilakukan, terutama untuk tujuan

Page 24: bahan imunologi

imunoterapi. Melalui simulasi dengan metode Runge Kutta Gill dapatlah dianalisis pertumbuhan tumor tersebut. Sistem imun CMI (cell-mediated-immunity) tubuh manusia dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan tumor secara efektif untuk tumor yang masih berada dalam stadium praklinik ( Φ tumor ≤ 1cm = 109 sel ) dalam bentuk immunologic-surveillance. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa respon model sistem CMI yang dilakukan oleh sel-sel efektor imun Tc, NK dan Ma terhadap tumor padat (dengan asumsi tumor tumbuh mulai dari l sel hingga mencapai ukuran maksimum 3.10 ) yang tumbuh secara Gompertz akan dapat menghambat pertumbuhan tumor, tetapi tidak dapat memperkecil ukuran tumor tersebut. Simulasi model respon CMI dalam interval waktu 20 hari pertama, menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor mulai konstan (± 1,94.105 sel) pada hari yang ke delapan. Sedangkan model sistem CMI + ADCC (cell mediated immunity + antibody dependent cell mediated cytotoxicity) sebagai pengembangan dari model sistem CMI, dapat memberikan hasil simulasi yang lebih baik, di mana selain pertumbuhan tumor mulai konstan pada hari yang ke delapan sampai dengan hari yang ke sepuluh (± 2,75.103 sel) juga pertumbuhan tumor tersebut menjadi menurun eksponensial sampai mencapai ukuran ±1,6.103 sel tumor pada hari yang ke lima belas, setelah itu tumor tidak tumbuh lagi (konstan).

Makrofag telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan sel kanker, makrofag (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang akan membunuh sel tumo

Respon Imun Terhadap Infeksi Virus Polio

Respon imun/kekebalan alami memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak menjadi target replikasi untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang distimulasi oleh interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf. Hal ini menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi jaringan non syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock out interferon alfa-beta-nya, titer virus polio di jaringan non syaraf meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar . Respon sistem kekebalan humoral berperan penting dalam perlindungan dan kekebalan jangka panjang. Antibodi yang dihasilkan setelah infeksi polio virus liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral (OPV/oral poliovirus vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio “hidup”) atau IPV (inactivated polio vaccine, atau ada yang menyebutnya vaksin polio “mati”) dapat mencegah terjadinya poliomielitis karena mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada sistem syaraf pusat. Dibandingkan IPV, infeksi virus polio liar atau vaksin polio oral akan menghasilkan produksi IgG sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus. Akibatnya dosis yang dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan mengalami peningkatan. Selain itu, jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja akan menurun. Jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini berperan besar dalam proses penyebaran virus polio. Makin banyak dan makin lama virus polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka resiko penyebarannya akan semakin besar.

Selain respon sistem kekebalan humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan besar dalam menghadapi infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B dalam respon

Page 25: bahan imunologi

kekebalan humoral. Sel T sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses pembersihan virus secara langsung dengan cara melisiskan seln yang terinfeksi virus. Sel T gamma atau delta dan sel NK (yang merupakan bagian dari respon kekebalan alami) mungkin berperan dalam respon kekebalan adaptif sel T. Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya mekanisme sistem kekebalan seluler dalam menghadapi infeksi virus polio masih belum jelas

BAB III

REGULASI RESPONS IMUN

Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.

Regulasi oleh antibodi yang terbentuk

Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.

Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat (lihat Gambar 3-3).

Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk

Page 26: bahan imunologi

mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.

Regulasi idiotip spesifik

Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.

Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang jatuh ke dalam  ir  dan  menimbulkan  gelembung  air  yang  makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).

Regulasi oleh sel T supresor (Ts)

Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons imun yang sedang berlangsung.

Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.

PERKEMBANGAN  LIMFOSlT  DALAM  PROSES  IMMUN

Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit

Page 27: bahan imunologi

ini memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun. Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkemban.didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalutantibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi penuh dengan ribosom bebas.

Terjadinya respon imun dari tubuh.

Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitumerusak jaringan. Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa degranulasi sel dan derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin Eusinohil chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika, urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit. Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE (imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit.

Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah, anemia hemolitika.

Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang

mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein dalam darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum scness, rheumatk arthritis.

Page 28: bahan imunologi

Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.

BAB IV

IMONOPATOGENESIS.

Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988, pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai satu jam setelah berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4 – 8 jam pertama.

1. Tahap Sensitasi

Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan alergan/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc William, 1996) Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC) dan berada dimukosa (dalam dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada permukaan mukosa ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari malergen tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel APC. Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II (mayor histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan dipermukaan sel APC; kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +, dimana Tho), jika selanjutnya tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptide –MHC-II maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibat selanjutnya sel APC akan melepas sitokin Salah satunya Interkulin – I (IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 + (Tho) yang jika sinyal kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai, maka akan terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekulimunoregulator, antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E (IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah dan berada di mukosa atau peredaran darah.

2. Reaksi Alergis

Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik  (mastosit atau sel basofil), sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta dengan allergen spesifiknya maka akan

Page 29: bahan imunologi

terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-mediator alergis. Reaksi alergis yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekul-molekul kemotaktik (penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian (Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan sasaran. Sepanjang RAFL (creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai mediator, antara lain basic protein, leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan melepas histamin, leukotriens dan cytokines.

Disamping itu berbagai sel mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang akan memacu mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi. Sepanjang reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil

kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk 1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199. Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel dkk 1998. Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin, Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5 mempengaruhi sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs yang mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4 mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM (Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel eosinofil, GM=CSF dan IL-3 IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5) Fibronektin Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil. IL-5 IL-3.GM=CSF,IL-8 Lain-lain Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8, RNTES dan GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel endotel dan mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin, leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity meliputi inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan aktivasi suppressor T-lymllocytes ( Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin menggunakan efeknya pada berbagai sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin merupakan vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat, stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White 1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil, eosinofil, neutrofil dan monosit. Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta degranulasi platelet.(trombosit). Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan tubuh dan jaringan

Page 30: bahan imunologi

sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada reaksi inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF diproduksi oleh mastosit, macrofag dan eosinofil.

Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang akumulasi eosinofil ke permukaan endothelium yang merupakan langkah awal pengerahan eosinofil kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein basa yang menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil lainya memasuki jaringan.

Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah sumber dari sitokin multifungsi ( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:

1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4, IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.

2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan oleh IL-1.

3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B

4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan bersama TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE reseptor pada sel-sel APC.

5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur eosinofil.

Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organismo terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya. Sel-sel limfosit ini, mempunyai kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme sendiri) dari yang bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme Semua leukosit berasal dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid lainnya.

KELAINAN SISTEM IMUN: ALERGI

Alergi, kadang disebut hipersensitivitas, disebabkan respon imun terhadap antigen. Antigen yang memicu alergi disebut allergen. Reaksi alregi terbagi atas 2 jenus yaitu:reaksi alergi langsung dan reaksi alergi tertunda. Reaksi alergi langsung disebabkan mekanisme imunitas humoral. Reaksi ini disebabkan oleh prosuksi antibodi IgE berlebihan saat seseorang terkena antigen. Antibodi IgE tertempel pada sel Mast,leukosit yang memiliki senyawa histamin. Sel mAst banyak terdapat pada paru-paru sehingga saat antibodi IgE menempel pada sel Mast, Histamin dikeluarkan dan menyebabkan bersin-bersin dan mata berair. Reaksi alergi tertunda disebabkan

Page 31: bahan imunologi

oleh perantara sel. Contoh yang ekstrim adalah saat makrofag tidak dapat menelan antigen atau menghancurkannya. Akhirnya Limfosit T segera memicu pembengkakan pada jaringan.

KELAINAN SISTEM IMUN: PENOLAKAN ORGAN TRANSPLANTASI

Sistem imun menyerang sesuatu yang dianggap asing di dalam tubuh individu normal, yang diserang adalah organ transplantasi. Saat organ ditransplantasikan, MHC organ donor dikenali sebagai senyawa sing dan kemudian diserang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan mencari donor transplantasi yang MHC punya banyak kesamaan dengan milik si resipien. Resipien organ tranplantasi juga diberi obat untuk menekan sistem imun mereka dan menghindarkan penolakan dari organ transplantasi.

Jika organ tranplantasi mengandung Limfosit T yang berbeda jenisnya dengan Limfosit T milik donor seperti pada cangkok sumsum tulang, Limfosit T dari organ tranplantasi ini bisa saja menyerang organ dan jaringan donor. Unutk mengatasi hal ini, ilmuwan meminimalisir reaksi graft versus host(GVH) dengan cara menghilangkan semua Limfosit T dewasa sebelum dilakukan tranplantasi.

KELAINAN SITEM IMUN: DEFISIENSI IMUN

Salah satu penyakit defisiensi sistem imun yaitu AIDS(Acquired Immune deficiency Syndrome) yang disebabkan oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang Limfosit T pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah. Defisiensi sistem imun dapata terjadi karena radiasi yang menyebabkan turunnya produksi limfosit. Sindrom DiGeorge adalah kelainan sistem imun yang disebabkan karena penderita tidak punya timus dan tidak dapat memproduksi Limfosit T dewasa. Orang dengan kelainan ini hanya bisa mengandalkan imunitas humoralnya secara terbatas dan imunitas diperantarai selnya sangat terbatas. Contoh ekstrim penyakit defisiensi sistem imun yang diturunkan secara genetika adalah Severe Combined Immuno Deficiency(SCIED). Penderita SCID tidak punya Limfosit B dan T maka ia harus diisolasi dari lingkungan luar dan hidup dengan betul-betul steril karena mereka bisa saja mati disebabkan oleh infeksi.

KELAINAN SISTEM IMUN: PENYAKIT AUTOIMUN

Autoimunitas adalah respon imun tubuh yang berbalik menyerang organ dan jaringan sendiri. Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel. Sebagai contoh, penyakit diabetes tipe 1 terjadi karena tubuh membuat antibodi yang menghancurkan insulin sehingga tubuh penderita tidak bisa membuat gula. Pada myasthenia gravis, sistem imun membuat antibodi yang menyerang jaringan normal seperti neuromuscular dan menyebabkan paralisis dan lemah. Pada demam rheumatik, antibodi menyerang jantung dan bisa menyebabkan kerusakan jantung permanen. Pada Lupus Erythematosus sistemik, biasa disebut lupus, antibodi menyerang bebeagai jaringan yang berbeda, menyebabkan gejalan yang menyebar.

Daftar pustaka

Page 32: bahan imunologi

Baratawijaya, karnen,.1996. Immunologi Dasar. Jakarta : gaya baru .

Goodman JW. The Immune Response. In: Stites DP, Terr AI eds. Basic and Clinical Immunology, 8 ed. Connecticut: Prentice Hall Int. Inc, 1994: 40-9

http://pur07.wordpress.com/2009/07/05/fisiologi-imun-dan-mekanisme-pertahanan/

Mekanisme Pertahanan TubuhPosted: Januari 16, 2014 in serambi Ilmu

0

Sistem kekebalan tubuh yang sehat merupakan kekebalan yang dapat membedakan antara bagian tubuh dari sistem itu sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Secara garis besar, sistem imun menurut sel tubuh dibagi menjadi sistem imun humoral dan sistem imun seluler. Sistem imun humoral terdiri atas antibodi dan cairan yang disekresikan organ tubuh tubuh (saliva, air mata, serum, keringat, asam lambung, pepsin, dan lain-lain). Sedangkan sistem imun dalam bentuk seluler berupa makrofag, limfosit, dan neutrofil yang berada di dalam sel.

Tubuh manusia mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang terdiri dari berbagai macam sistem imun yaitu organ limfoid (thymus, lien, sumsum tulang) beserta sistem limfatiknya. Jantung, hati, ginjal, dan paru-paru juga termasuk dalam mekanisme pertahanan tubuh. Sistem limfatik baru akan dikatakan mengalami gangguan jika muncul tonjolan yang membesar dibandingkan keadaan biasanya. Hal ini dikarenakan kelenjar limfe sedang berpasangan melawan kuman yang masuk dalam tubuh. Organ limfoid seperti thymus sendiri mempunyai tanggungjawab dalam pembentukan sel T. Kelenjar thymus sangat penting bagi bayi yang baru lahir, karena bayi yang tidak memiliki kelenjar thymus akan mempunyai sistem imun yang buruk.

Leukosit (sel darah putih) dihasilkan oleh thymus, lien dan sumsum tulang belakang. Leukosit bersirkulasi di dalam tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah, sehingga sistem imun bekerja terkoordinasi baik memonitor tubuh dari kuman maupun substansi lain yang bisa menyebabkan permasalahan dalam tubuh. Leukosit pada umumnya memiliki dua tipe, yaitu fagosit yang bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit yang bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh menghancurkan benda asing tersebut. Sel lainnya adalah netrofil, yang bertugas melawan bakteri. Kadar netrofil bisa dijadikan indikator adanya infeksi dari bakteri.

Limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit B dan Limfosit T. Limfosit dihasilkan oleh sumsum tulang belakang. Limfosit yang berada di dalam sumsum tulang belakang jika matang menjadi limfosit sel B, atau jika meninggalkan sumsum tulang belakang menuju kelenjar thymus menjadi limfosit T.

Limfosit B dan T mempunyai fungsi yang berbeda dimana limfosit B berfungsi untuk mencari target dan mengirimkan “tentara” untuk mengunci keberadaan benda asing. Benda asing yang telah diidentifikasi oleh sel B kemudian akan dihancurkan oleh sel T. Jika terdapat antigen

Page 33: bahan imunologi

(benda asing yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi, maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu sel yang akan memberikan respon. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik. Antibodi sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari berbagai macam organisme, dan juga antibodi bisa mengaktivasi kelompok protein protein yang disebut komplemen yang merupakan bagian dari sistem imun dan membantu menghancurkan bakteri, virus, mikroorganisme patogen, ataupun sel yang terinfeksi.

Sistem Kekebalan Tubuh Pada Manusia

Mekanisme Imunitas terhadap Antigen yang Berbahaya

Beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di lingkungannya yaitu:

1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat dan sebasea (kelenjar berbentuk kantong kecil yang terletak di dermis), sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam lambung serta lisozim dalam air mata.

2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.

3. Innate immunity4. Imunitas spesifik yang didapat.

Respon Imune  Innate

Respon ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik yang mencegah masuk dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity, yaitu :

1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel poli-morfonuklear (PMN) dan makrofag.2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme, selanjutnya terjadi

aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme.5. Produksi interferon alfa (IFN-α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN-β) oleh fibroblast yang

mempunyai efek antivirus.6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan

granula yang mengandung perforin.7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat

merusak membran parasit.

Respon Imunitas Spesifik

Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari imunitas humoral, yaitu produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T

Page 34: bahan imunologi

dependent) dan mekanisme Cell mediated immunity (CMI). Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui produksi sitokin serta jaringan interaksinya dan sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6).

Presentasi Antigen

Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel itu akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel limfosit Th atau T  helper. Sel Th ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen. Sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respon imun dapat bersifat lokal atau sistemik dan akan berhenti bila antigen sudah berhasil dieliminasi melalui mekanisme kontrol.

Peran  Major Histocompatibility Complex (MHC)

Respon imun sebagian besar antigen hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC. Oleh karena itu, sel T hanya mengenal imunogen yang terikat pada protein MHC pada permukaan sel lain. terdapat 2 kelas MHC yaitu:

1. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk presentasi antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel mempresentasikan antigen ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc tersebut. MHC kelas I digunakan ketika merepson infeksi virus.

2. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk presentasi antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini diperlukan untuk respon imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan poros penting dalam mengontrol respon imun tersebut. MHC kelas II digunakan ketika merespon infeksi bakteri.

T Helper 1 (Th1) dan T Helper 2 (Th2)

Sel-sel T berperan sebagai penghantar imunitas yang dimediasi sel dalam respon imun adaptif yang digunakan untuk mengontrol patogen intraseluler serta meregulasi respon sel B, termasuk aktivasi sel imun lainnya dengan pelepasan sitokin (Uzel 2000). Terdapat dua subset utama limfosit yang dibedakan dengan keberadaan molekul (petanda) permukaan CD4 dan CD8. Limfosit T yang mengekspresikan CD4 juga dikenal sebagai sel T helper, penghasil sitokin terbanyak. Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin tipe Th2. Sitokin tipe Th1 cenderung menghasilkan respon proinflamatori yang bertanggung jawab terhadap killing parasit intraseluler dan mengabadikan respon autoimun. Sitokin tipe Th1 terdiri dari interferon gamma, interleukin-2, serta limfotoksin-α yang merangsang imunitas tipe  1, ditandai aktivitas fagositik  yang kuat.

Page 35: bahan imunologi

Respon proinflamatori yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol. Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk menetralkan  aksi mikrobisidal berlebih  yang dimediasi Th1 ini, yaitu dengan respon Th2. Sitokin yang termasuk dalam mekanisme Th2 ini adalah interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan respon eosinofilik dalam atopi, dan juga interleukin-10, dengan respon yang lebih bersifat anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai dengan kadar antibodi tinggi (Berger 2000). Bagi kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif, sedang respon tipe 2 membantu resolusi inflamasi yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat, imunosupresi, atau inokulasi mikrobial yang berlebihan (overwhelming) mengakibatkan sistem imun meningkatkan respon tipe 2 terhadap infeksi  yang seharusnya dikendalikan oleh  imunitas tipe 1 (Spellberg 2001). Kemungkinan prekursor sel-T penolong akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada beberapa faktor, yaitu dilihat dari sudut pandang patogen seperti sifat dan kuantitas patogen, route infeksi, pengaruh komponen imunomodulator dan infeksi bersamaan, serta faktor pejamu termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T yang merespon, kompleks histokompatiliti mayor haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan antigen, serta lingkungan sitokin sel-T selama dan pasca aktivasi (Nahid 1999).

Mekanisme Respon Tubuh terhadap Serangan Mikroba

Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam beberapa jenjang tahapan. Tahapan pertama bersifat nonspesifik atau innate, yaitu berupa respons inflamasi. Tahapan kedua bersifat spesifik dan adaptif, yang diinduksi oleh komponen antigenik mikroba. Tahapan terakhir adalah respon peningkatan dan koordinasi sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik yang diatur oleh berbagai produk komponen respon inflamasi, seperti mediator kimia. Sistem kekebalan adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan dalam tubuh juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen, baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraseluler) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraseluler) sebelum berkembang menjadi penyakit. Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung. Pertahanan awal terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofag dan neutrofil yang siap memfagosit organisme lain pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh antibodi. Pertahanan yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua pertahanan mempunyai fungsi yang sama, terdapat beberapa perbedaan yang nyata, antara lain :

sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem kekebalan turunan

Page 36: bahan imunologi

o sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu, sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.

o sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk “mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan turunan tidak menunjukkan kemampuan immunological memory.

Imunologi Toleransi Terhadap Antigen bakteri

Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis spesifik dalam respon imun terhadap antigen tertentu. Toleransi ke Antigen bakteri tidak melibatkan kegagalan umum dalam respon imun tetapi kekurangan tertentu dalam kaitannya dengan antigen dari bakteri tertentu.  Jika ada respon kekebalan yang tertekan terhadap antigen yang relevan dari parasit, proses infeksi difasilitasi. Toleransi dapat melibatkan baik AMI (Antibody-Mediated Immunity) atau CMI (Cell Mediated Immunity) atau kedua lengan dari respon imunologi. Toleransi terhadap suatu Antigen dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga yang mungkin relevan dengan infeksi bakteri.

1. Paparan Antigen  Janin terpapar Antigen. Jika janin terinfeksi pada tahap tertentu dari perkembangan imunologi, mikroba Antigen dapat dilihat sebagai “diri”, dengan demikian menyebabkan toleransi (kegagalan untuk menjalani respon imunologi) ke Antigen yang dapat bertahan bahkan setelah kelahiran.

2. High persistent doses of circulating Antigen. Toleransi terhadap bakteri atau salah satu produknya mungkin timbul ketika sejumlah besar antigen bakteri yang beredar dalam darah menyebabkan sistem kekebalan menjadi kewalahan.

3. Molecular mimicry. Jika Antigen bakteri sangat mirip dengan “antigen” host normal, respon kebal terhadap Antigen ini mungkin lemah memberikan tingkat toleransi. Kemiripan antara Antigen bakteri dan host Antigen disebut sebagai mimikri molekuler.  Dalam hal ini determinan antigenik dari bakteri sangat erat terkait kimiawi untuk host komponen jaringan yang sel-sel imunologi tidak dapat membedakan antara dua dan respon imunologi tidak dapat ditingkatkan.  Beberapa kapsul bakteri tersusun dari polisakarida (hyaluronic acid, asam sialic) sehingga mirip dengan host polisakarida jaringan yang tidak imunogenik.

Antibodi yang diserap oleh Antigen bakteri Larut

Beberapa bakteri dapat membebaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk yang larut ke dalam cairan jaringan. Antigen ini larut dan dapat menggabungkan dengan “menetralisir” antibodi sebelum mereka mencapai sel-sel bakteri.  Misalnya, sejumlah kecil endotoksin (LPS) dapat dilepaskan ke cairan sekitarnya oleh bakteri Gram-negatif. Otolisis bakteri Gram-negatif atau Gram-positif dapat melepaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk yang larut. Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis diketahui melepaskan polisakarida kapsuler selama pertumbuhan dalam jaringan. Bakteri ini ditemukan dalam serum pasien dengan pneumonia pneumokokus dan dalam cairan serebrospinal pasien dengan meningitis. Komponen-komponen sel bakteri yang larut dalam dinding adalah antigen yang kuat dan melengkapi

Page 37: bahan imunologi

aktivator sehingga mereka berkontribusi dengan cara utama untuk patologi yang diamati pada penderita meningitis dan pneumonia.

Secara umum tahapan sistem kekebalan tubuh terhadap mikroba adalah sebagai berikut:

Tahap pertama

Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang timbul sebagai akibat invasi mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel leukosit (polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast, sel natural killer, serta suatu sistem mediator kimia yang kompleks baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun yang terdapat dalam plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear berfungsi pada proses awal untuk membunuh mikroba, dan mediator kimia dapat meningkatkan fungsi ini. Mediator kimia akan berinteraksi satu dengan lainnya, juga dengan sel radang seperti komponen sistem imun serta fagosit, baik mononuklear maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan melisis mikroba. Mediator tersebut antara lain adalah histamin, kinin/bradikinin, komplemen, prostaglandin, leukotrien dan limfokin. Respons inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi dan menghambat penyebaran mikroba.

Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin  akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran darah dan keluarnya sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada. Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja enzim protease kalikrein pada kininogen. Mediator ini juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya kerusakan pembuluh darah serta endotoksin bakteri gram negatif, juga sel dalam menginduksi mediator kimia lainnya.

Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur alternatif dapat meningkatkan aliran darah, permeabilitas pembuluh darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir aktivasi komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan fosfolipid lainnya yaitu mediator yang merupakan hasil metabolit asam arakidonat dapat menstimulasi motilitas leukosit yang dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi trombosit untuk memperbaiki kerusakan pembuluh darah yang ada. Prostaglandin juga dapat bekerja sebagai pirogen melalui pusat termoregulator di hipotalamus. Dikatakan bahwa panas juga merupakan mekanisme sel tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas tetapi suhu tubuh yang tinggi akan memberikan dampak yang buruk pada pejamu.

Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang mengikat lipopolisakarida, protein amiloid A, transferin dan α1-antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons terhadap inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein α1-antitripsin misalnya akan menghambat protease yang merangsang produksi kinin. Transferin yang mempunyai daya ikat terhadap besi, akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan mikroba. Protein yang mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri Gram negatif.

Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator yang kuat dalam respons inflamasi. Limfokin ini dan sebagian diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan

Page 38: bahan imunologi

meningkatkan permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi prostaglandin dan faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel induk hematopoietik dan meningkatkan pertumbuhan serta diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel endotel. Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan monosit dan makrofag juga akan memfagosit debris pejamu dan patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan enzim neutrofil dan enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi makrofag seperti komponen C3b, interferon γ dan faktor aktivasi makrofag yang disekresi limfosit.

Tahapan kedua

Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi tahapan kedua berupa pertahanan spesifik yang dirangsang oleh antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang dipresentasikan makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas selular.

Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai hasil aktivasi antigen mikroba terhadap limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan mikroba sehingga tidak menjadi toksik lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba sehingga tidak infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin, sehingga memudahkan proses fagositosis mikroba. Antibodi juga berperan dalam proses ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) baik oleh sel Tc maupun sel NK sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas selular yang diperankan oleh limfosit T melalui limfokin yang dilepas sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh sel plasma, fungsi sel fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang dihuni virus (lihat Bab 3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel prekursor Tc serta fungsi sel Tc untuk melisis sel yang dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-γ meningkatkan  imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh untuk terminasi infeksi mikroba intraselular seperti infeksi virus, parasit dan bakteri intraselular.

Tahapan Akhir

Tahapan terakhir ini terdiri atas peningkatan respons imun baik melalui aktivasi komplemen jalur klasik maupun peningkatan kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan limfosit T terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi respons inflamasi melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta merangsang kemotaksis, pemrosesan antigen, pemusnahan intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat teratasi.

Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi, sel makrofag, sel PMN, komplemen dan pertahanan nonspesifik lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit infeksi.

Mekanisme Respon Tubuh terhadap Serangan Virus

Virus berbeda dengan agen penyebab infeksi lainnya dalam hal struktur dan biologi, khususnya reproduksi. Walaupun virus membawa informasi genetik didalam DNA atau RNA, tetapi ada kekurangan sistem sintesis yang diperlukan untuk memproses informasi ini kedalam materi virus baru. Replikasi baru terjadi setelah virus menginfeksi sel inang yang kemudian mengendalikan sel inang untuk melakukan transkripsi dan/atau translasi informasi genetik demi kelangsungan hidup virus. Virus dapat menginfeksi setiap bentuk kehidupan sehingga sering menyebabkan penyakit yang diantaranya berakibat cukup serius. Beberapa virus dapat memasukkan informasi

Page 39: bahan imunologi

genetiknya kedalam genom manusia kemudian menyebabkan kanker. Permukaan luar  partikel virus adalah bagian yang pertamakali mengadakan kontak dengan membran dari sel inang. Hal yang penting untuk diketahui untuk dapat mengerti bagaimana proses virus dapat menginfeksi sel inang adalah dengan mempelajari struktur dan fungsi dari permukaan luar partikel virus. Secara umum, virus yang tidak beramplop (virus yang telanjang) resisten hidup dialam bebas, bahkan mereka tahan terhadap asam empedu saat menginfeksi saluran cerna. Virus yang beramplop lebih rentan terhadap dipengaruhi oleh lingkungan seperti kekeringan, asiditas cairan lambung dan empedu. Perbedaan dalam hal kerentanan ini yang mempengaruhi cara penularan  virus.

Infeksi virus terhadap sel inang melewati beberapa tahap, yaitu virus menyerang sel inang, lalu melakukan penetrasi yang merupakan proses pemasukan materi genetik virus kedalam sel inang dan selanjutnya tahap uncoating yang ditunjukan pada gambar 1.

Siklus hidup yang dialami virus saat menginfeksi sel inang, yaitu sekali virus berada didalam sitoplasma sel inang maka dia tidak infeksius lagi. Setelah terjadi fusi antara virus dan membramn sel inang, atau difagosit dalam bentuk fagosom, maka partikel virus dibawa ke sitoplasma melalui plasma membran. Pada tahap ini amplop dan/atau kapsid akan terkuak nukleus virus akan terurai. Sekarang virus tidak infeksius lagi dan ini disebut eclipse phase. Keadaan ini menetap sampai terbentuk partikel virus baru melalui replikasi. Asam nukleat sendiri yang menentukan bagaimana cara replikasi berlangsung. Pertama-tama virus harus membentuk messenger RNA (mRNA). Virus hanya  mempunyai salah satu asam nukleat yaitu RNA atau DNA dan tidak pernah kedua-duanya. Asam nukleat tampil sebagai single atau double strandad  dalam bentuk linier (DNA dan RNA) atau sirkuler (DNA). Genom dari virus terdapat dalam satu atau beberapa molekul dari asam nukleat. Dengan diversitas ini maka tidak heran bila proses replikasi dari tiap virus berbeda. Pada virus DNA, mRNA dapat dibentuk sendiri oleh virus dengan cara menggunakan RNA polimerase dari sel inang, kemudian langsung mentranskrip kode genetik yang berada pada DNA virus. Sedangkan virus RNA tidak dapat dengan cara ini, karena tidak ada polymerase dari sel inang yang sesuai. Oleh karena itu untuk

Page 40: bahan imunologi

melakukan transkripsi  maka virus harus menyediakan sendiri polimerasenya yang dapat diperoleh dari nukleokapsid atau disintesa setelah infeksi.

Virus RNA memproduksi mRNA dengan beberapa cara yang berbeda. Pada  virus dsRNA, satu strand yang pertama ditranskrip oleh polimerase virus menjadi mRNA. Pada ssRNA terdapat tiga rute yang jelas berbeda dalam pembentukan mRNA yaitu:

1. Bila single strand mempunyai konfigurasi positive sense (misalnya mempunyai sekuen basa yang sama seperti yang dibutuhkan pada saat translasi), maka konfigurasi ini dapat langsung dipergunakan sebagai mRNA.

2. Bila mempunyai konfigurasi negative sense, maka pertama-tama harus diterjemahkan (transcribe) dengan memgunakan polimerase dari virus kedalam positive sense strand yang kemudian bertindak sebagai mRNA.

3. Retrovirus mempunyai pola yang berbeda. Pertama-tama positive sense ssRNA oleh reverse transcriptase (enzim dari virus, terdapat dalam nukleokapsid) diubah menjadi negative sense ssDNA. Setelah terbentuk dsDNA kemudian akan memasuki nukleus dan kemudian berintegrasi dengan genom sel inang dan selanjutnya sel inang membentuk mRNA virus.

Tahapan selanjutnya yaitu, mRNA virus kemudian ditranslasi kedalam sitoplasma sel inang untuk menghasilkan protein yang dibutuhkan virus. Sekali mRNA virus terbentuk maka akan ditanslasi dengan memanfaatkan ribosom  dari sel inang untuk mensintesa protein yang dibutuhkan virus dan ditunjukkan pada Gambar 3. RNA virus biasanya monocistronic (mempunyai single coding region) dapat mengubah mRNA dari ribosom sel inang untuk menghasilkan protein yang lebih ‘disukai’. Pada fase awal diproduksi protein yang diperlukan untuk replikasi asam nukleat virus seperti enzim dan  molekul regulator. Pada fase selanjutnya diproduksi protein yang penting unutk pembentukan kapsid. Virus dengan genom single nucleic acid molecule mentranslasi poli protein yang multifungsi, kemudian akan dipecah secara enzimatik. Sedangkan virus yang genomnya  tersebar didalam beberapa molekul, maka akan terbentuk beberapa macam mRNA yang masing-masing akan membuat protein. Setelah translasi protein dapat diglikosilasi kembali dengan menggunakan enzim sel inang.

Virus juga harus mereplikasi asam nukleatnya untuk pembentukan kapsid baru berarti memerlukan produksi molekul tambahan. Oleh karena itu virus harus mereplikasi asam nukleat sehingga dapat menyediakan materi genetik yang kemudian akan dibungkus oleh kapsid tersebut. Pada virus positive sense ssRNA seperti poliovirus, polimerase yang ditranslasi dari template  mRNA virus menghasilkan negative sense RNA yang selanjutnya ditranskripsi lebih banyak positif ssRNA. Siklus transkripsi ini terus berlangsung menghasilkan strand positif dalam jumlah yang besar, yang kemudian dikemas dengan menggunakan protein yang telah dibentuk sebelumnya dari mRNA untuk membentuk partikel virus yang baru. Untuk virus negative sense ssRNA  (misalnya virus rabies) transkripsi oleh polimerase  virus akan menghasilkan  positive sense ssRNA yang kemudian akan meghasilkan negative sense mRNA yang baru.

Replikasi ini terjadi dalam sitoplasma sel inang, sedangkan pada virus lainnya seperti  campak dan influensa replikasi terjadi di inti sel sehingga sejumlah besar negative sense RNA akan ditranskripsi membentuk partikel baru. Replikasi pada inti sel inang juga terjadi pada  virus dsRNA seperti rotavirus yang kemudian akan memproduksi positive sense RNA seperti diatas. Yang kemudian akan bertindak sebagai template pada partikel subviral untuk memsintesa

Page 41: bahan imunologi

negative sense RNA yang baru guna memperbaiki kondisi double stranded. Replikasi virus DNA  terjadi di inti sel inang kecuali poxvirus yang terjadi di sitoplasma Virus DNA membentuk kompleks dengan histon dari sel inang untuk menghasilkan struktur yang stabil. Pada virus herpes, mRNA ditranslasi dalam sitoplasma  menghasilkan polymerase DNA yang penting untuk sintesa DNA yang baru. Adenovirus menggunakan baik enzim dari sel inang maupun virus untuk  kepentingan ini. Sedangkan retrovirus mensintesa RNA virus baru di inti sel inang. Polimerase RNA sel inang ditranskrip dari DNA virus yang sudah berintegrasi dengan genom sel inang. Virus hepatitis B (suatu virus dsDNA) secara unik menggunakan ssRNA (sebagai perantara) yang kemudian ditranskrip untuk menghasilkan DNA baru. Retrovirus dan virus hepatitis B merupakan virus-virus yang mempunyai aktifitas reverse transkriptase.

Stadium akhir dari replikasi adalah penyusunan dan pelepasan parikel virus baru. Penyusunan virus baru melibatkan gabungan dari asam nukleat yang telah direplikasi dengan kapsomer yang baru disintesa untuk kemudian membentuk nukleokapsid baru. Aktifitas ini terjadi di sitoplasma atau di inti sel inang. Amplop dari virus melalui beberapa tahapan sebelum dilepaskan. Protein amplop dan glikoprotein yang ditranslasi dari mRNA virus didisipkan pada membran sel inang (biasanya membrana plasma). Nukleokapsid yang muda ini bergabung dengan membran secara spesifik melalui glikoprotein dan menbentuk tonjolan. Virus baru memerlukan membran dari sel inang ditambah dengan molekul dari virus untuk membentuk amplop. Enzim dari virus seperti muraminidase pada virus influensa ikut berperan dalam proses ini. Enzim dari sel inang (seperti protease seluler) dapat memecah protein amplop yang besar,  suatu proses yang diperlukan dimana virus muda sangat infeksius. Pada virus herpes terjadi proses yang sama. Pelepasan virus yang sudah beramplop tidak harus disertai dengan kematian sel, jadi sel inang yang sudah terinfeksi dapat terus menghasilkan protein virus dalam waktu yang lama. Insersi molekul virus kedalam membran sel inang membuat sel inang berbeda secara antigenik. Respon imun ekspresi antigen ini yang menjadi dasar perkembangan terapi anti virus.

Pada respon innate terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel yang sudah terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-spesifik, disebut sel 

Page 42: bahan imunologi

natural killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK  mengakibatkan kematian sel yang terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi  menuju apoptosis. Sel NK juga membunuh sel kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme menghancurkan sel sebelum sel berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas) mengandung molekul permukaan yang melindungi terhadap serangan sel NK. Respon antivirus lain dimulai dalam sel yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi interferon-α (IFN-α) yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan terikat  pada permukaan sel yang tidak terinfeksi sehingga kebal terhadap infeksi berikutnya. Cara kerja  interferon ini adalah dengan cara mengaktivasi suatu sinyal transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti translasi faktor elF2. Sel yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus  yang diperlukan untuk replikasi virus.

Respon imun terhadap serangan virus melibatkan interferon. Interferon merupakan sitokin yang mengatur aktivitas semua komponen sistem imun,  merupakan  bagian  dari  sistem  imun  non-spesifik  yang  timbul  pada  tahap awal  infeksi  virus sebelum timbulnya reaksi dari  sistem  imun spesifik. Interferon gamma  (IFN-γ)  dihasilkan  oleh  sel  T  yang  telah  teraktivasi  dan  sel  NK,  sebagai reaksi  terhadap  antigen  (termasuk  antigen  virus  dalam  derajat  rendah)  atau sebagai  akibat  stimulasi  limfosit  oleh  mitogen.  IFN-γ  meningkatkan  ekspresi molekul  MHC-II  pada  Antigen  Presenting  Cell  (APC)  yang  kemudian  akan meningkatkan  presentasi  antigen  pada  sel  T  helper.  IFN-γ  juga  dapat mengaktifkan kemampuan  makrofag untuk  melawan  infeksi  virus (aktivitas virus intrinsik) dan  membunuh  sel  lain  yang telah terinfeksi (aktivitas  virus ekstrinsik) (Ianaro 2000).

Mekanisme Respon Tubuh terhadap Serangan Bakteri

Bakteri adalah kelompok organisme yang tidak memiliki membran inti. Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen penyebab infeksi dan penyakit. Bakteri dapat ditemukan di hampir semua tempat seperti di tanah, air, udara, dalam simbiosis dengan organisme lain maupun sebagai agen parasit (patogen), bahkan dalam tubuh manusia. Respon imun terhadap sebagian besar antigen seperti bakteri ini hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC (Antigen Presenting Cell).

Keberhasilan bakteri masuk ke dalam sitoplasma sel bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon imun. Infeksi bakteri akan berbeda sesuai dengan sistem kerja dari bakteri tersebut. Dimana dalam hal ini dipaparkan infeksi bakteri ekstraseluler dan interaseluler beserta mekanisme pertahanan tubuh manusia (Munasir 2001).

Infeksi bakteri berbeda dengan infeksi virus. Respons imun terhadap bakteri ada dua yaitu, ekstraselular dan intraselular.

1. 1.    Respons imun terhadap bakteri ekstraselular

Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu:

1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi. Sebagai contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat.

Page 43: bahan imunologi

2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktifator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Toksin Clostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas gangren. Respon imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi

efek toksin Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular

Respon imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif  dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respon inflamasi melalui pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain  tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8. Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel

Page 44: bahan imunologi

vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi.

Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai co-stimulator sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan disseminated  intravascular coagulation (DIC) yang progresif serta shock septik atau shock endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang paling berperan pada shock endotoksin ini.

 

 

Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular

Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respon kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig)M spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin. Respon sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah dijelaskan sebelumnya. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan mikrobisid makrofag. Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri, yaitu:

1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3 dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.

2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.

3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.

1. 1.    Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular

Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag.

Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular

Page 45: bahan imunologi

Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.

Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Intraselular

Respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh  cell mediated  immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon-α (IFN-α). Respon imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan sebelumnya bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN-α. Sitokin IFN-α ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya.

Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respon imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respon imun spesifik yang sama.

Page 46: bahan imunologi

Netralisasi toksin

Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.

Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah.

Opsonisasi

Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi. Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri

Page 47: bahan imunologi

yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi. Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.

Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap  neutrofil untuk membantu fagositosis.

Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik. Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah menginfeksi.

Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri tersebut.

Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).

Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding

Page 48: bahan imunologi

bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).

Sistem imun sekretori

Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE.

Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik. Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).

Terminologi Sitokin

            Sitokin merupakan protein-protein kecil yang berfungsi sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. Sitokin disekresikan oleh sel-sel tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal antara sel-sel lokal sehingga memiliki efek pada sel lain. Sitokin dihasilkan sebagai respon terhadap stimulus sistem imun. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik, yang kemudian membawa sinyal ke sel melalui tirosine kinase (second messanger). Sitokina berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur hampir semua proses biologi penting seperti halnya aktivasi, pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, proses inflamasi sel, imunitas, serta pertahanan jaringan ataupun morfogenesis. Sitokina mempunyai berat molekul rendah sekitar 8-40 kilo dalton, di samping kadarnya juga sangat rendah.

Klasifikasi sel Sitokin

Sitokin adalah nama umum dari hasil sekresi sel tertentu, nama yang lain diantaranya limfokin (dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit), kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik), dan interkulin (sitokin yang dihasilkan oleh satu

Page 49: bahan imunologi

leukosit dan bereaksi pada leukosit lain). Sitokina biasanya diproduksi oleh sel sebagai respon terhadap rangsangan. Sitokina yang dibentuk segera dilepas dan tidak disimpan di dalam sel. Satu sitokina dapat bekerja terhadap beberapa jenis sel dan dapat menimbulkan efek melalui berbagai mekanisme. Setiap jenis sitokin dihasilkan oleh sel berbeda dan digunakan pada sel target yang berbeda juga sehingga fungsinya pun akan berbeda.

http://duniahermanto.wordpress.com/2014/01/16/mekanisme-pertahanan-tubuh/