refrat koma
DESCRIPTION
refrat KOMATRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau
keadaan‘unarousable unresponsiveness’, yaitu keadaan dimana dengan semua
rangsangan, penderita tidak dapat dibangunkan 2,6.
Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat daruratan medik yang paling
sering ditemukan/dijumpai. Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan
klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan
penanganan yang cepat dan tepat, dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu pekerja di
bidang medis sangat perlu untuk memahami dan mengetahui setiap tindakan yang perlu
dilakukan dalam penangan koma 1,3,6.
1
BAB II
PEMBAHASAN
\
A. DEFINISI
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang
apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun
reaksi motorik.
Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata,
suara dari telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik lainnya
untuk melengkapi tingkat kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan atau
hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka
sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan dan kesiagaan otak secara tepat. Jika
hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat ringan
atau sama sekali tidak memberikan respon.
Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis, somnolen,
stupor atau spoor, dan koma. Terminology ini bersifat kualitatif. Tetapi penurunan
kesadaran ini juga dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan GCS (Glasgow
Coma Scale).
Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik
dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan
waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata
tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat
menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap
sekitar menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan rangsang
nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya
berupa gerakan mengelak tehadap rangsang nyeri.
2
B. ETIOLOGI
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan keledai
menjadi kalimat “SEMENITE”. Selain itu ada juga beberapa buku yang menggunakan
jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertian yang sama. Dari jembatan
keledai ini kita juga dapat membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma
bihemisferik ataupun koma diensefalik 1,2.
S ; Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)
E ; Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll
M ; Metabolik – akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggu kinerja otak.
(gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).
E ; Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).
N ; Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan penekanan
intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat (papiledema, bradikardi, muntah).
I ; Intoksikasi – keracunan.
T ; Trauma – kecelakaan.
E ; Epilepsi.
C. PATOFISIOLOGI
Kesadaran dibagi dua yaitu kualitas dan derajat kesadaran. Jumlah (kuantitas)
input/rangsangan menentukan derajat kesadaran, sedangkan kualitas kesadaran ditentukan
3
oleh cara pengolahan input yang menghasilkan output SSP. Pada topik koma kita lebih
menitikberatkan kepada derajat dari kesadaran.
Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat bahwa input/rangsangan dibagi dua,
spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang
khas dimana menghasilkan suatu kesadaran yang khas pula. Lintasan yang digunakan
impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada
tubuh dengan suatu titik di daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik
ke titik), yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkan impuls
yang akan diterima oleh sekelompok neuron dititik tertentu daerah reseptif
somatosensorik primer. Setibanya impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu
kesadaran akan suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau
di wajah atau suatu penglihatan, penghiduan atau suatu pendengaran tertentu.
Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferen spesifik yang
disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebih dikenal sebagai “diffuse
ascending reticular system”) yang terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus
(inti intralaminar).
Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan menggalakkan
dan memancarkan impuls yang diterimanya menuju/merangsang/menggiatkan seluruh
korteks secara difuse dan bilateral sehingga timbul kesadaran/kewaspadaan.
Karena itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak
kewaspadaan”, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan
disebut “neuron pengemban kewaspadaan” 2,3,4,5.
Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang
terendah, maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab ‘neuron pengemban
kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik)’ atau oleh sebab
‘neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban
kewaspadaan (koma diensefalik)’ 4.
Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa berdasarkan susunan anatomi,
koma dibagi menjadi 2 yaitu; koma kortikal bihemisferik dan koma diensefalik 1,3,4.
1. Koma kortikal bihemisferik 1,4.
Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda secara struktur,
metabolisme dan fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis.
4
Kedua, untuk metabolismenya neuron hanya menggunakan O2 dan glukosa saja. Sebab
bahan baku seperti protein, lipid, polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan
untuk metabolisme sel tidak dapat masuk ke neuron karena terhalang oleh ‘blood brain
barrier’.
Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka
pemakaian O2 ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit.
Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi, 50% dipakai
untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zat lain yang menyusun infrastruktur
neuron, dan 15% untuk fungsi transmisi.
Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2 dan H2O serta ATP yang
berfungsi mengeluarkan ion Na dari dalam sel dan mempertahankan ion K di dalam sel.
Bila metabolisme neuron tersebut terganggu maka infrastruktur dan fungsi
neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme.
Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai Koma Metabolik.
Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain:
- Hipoventilasi
- Anoksia iskemik.
- Anoksia anemik.
- Hipoksia atau iskemia difus akut.
- Gangguan metabolisme karbohidrat.
- Gangguan keseimbangan asam basa.
- Uremia.
- Koma hepatik
- Defisiensi vitamin B.
2. Koma diensefalik.
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation retikularis di daerah
mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma
diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi
infratentorial.
Lesi supratentorial.
Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak hemisferium kea rah
foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluaruntuk suatu proses desak
didalam ruang tertutup seperti tengkorak. Karena itu batang otak bagian depan
(diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.
5
Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan substansia
retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlah kelumpuhan saraf otak yang
disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius
dan trokhlearismerupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yang sedang
menurun ke fossa posterior serebri. Yang dapat menyababkan lesi supratentorial antara
lain; tumor serebri, abses dan hematoma intrakranial.
Lesi infratentorial.
Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii posterior).
Pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak system retikularis.
Kedua, proses didalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak system
retikularis batang otak.
Proses yang timbul berupa (i).penekanan langsung terhadap tegmentum
mesensefalon (formasio retikularis). (ii) herniasi serebellum dan batang otak ke rostral
melewati tentorium serebelli yang kemudian menekan formation retikularis di
mesensefalon. (iii) herniasi tonsiloserebellum ke bawah melalui foramen magnum dan
sekaligus menekan medulla oblongata. Secara klinis, ketiga proses tadi sukar dibedakan.
Biasanya berbauran dan tidak ada tahapan yang khas.
Penyebab lesi infratentorial biasanya GPDO di batang otak atau serebelum,
neoplasma, abses, atau edema otak.
D. DIAGNOSA
Untuk mendiagnosis koma atau penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang
menjadi masalah adalah apa yang menjadi penyebab koma tadi dan bagaimana situasi
koma yang sedang dihadapinya ( tenang, herniasi otak, atau justru agonia).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus dimulai dengan anamnesia,
dilanjutkan dengan pemeriksaan intern, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan
tambahan sesuai dengan kebutuhan.
1. Anamnesa.
Karena penderita terganggu kesadarannya, maka harus diambil heteroanamnesis dari
orang yang menemukan penderita atau mengetahui kejadiannya. Hal yang harus
diperhatikan antara lain:
- Penyakit penderita sebelum koma.
- Keluhan penderita sebelum tidak sadar
6
- Obat yang digunakan.
- Apa ada sisa obat, muntahan, darah, dsb didekat penderita saat ia ditemukan tidak
sadar.
- Apakah koma terjadi secara mendadak atau perlahan?. Gejala apa saja yang
nampak oleh orang-orang disekitarnya?.
- Apakah ada trauma sebelumnya
- Apakah penderita mengalami inkontinensia urin dan feses.
2. Pemeriksaan intern/fisik.
Tanda-tanda vital.
Bau nafas penderita (amoniak, aseton, alcohol, dll)
Kulit ; turgor (dehidrasi), warna (sianosis - intoksikasi CO, obat-obatan), bekas
injeksi (morfin), luka-luka karena trauma.
Selaput mukosa mulut (adanya darah atau bekas minum racun)
Kepala; *Opistotonus (meningitis), *Miring kanan/kiri (tumor fossa posterior).
*Apakah keluar darah atau cairan dari telinga/hidung?. *Hematom disekitar
mata (Brill hematoma) atau pada mastoid (Battle’s sign). *Apakah ada fraktur
impresi?.
Leher; Apakah ada fraktur? Jika tidak, periksa kaku kuduk.
Thorax; paru & jantung.
Abdomen; Hepar (koma hepatik), ginjal (koma uremik), retensi urin (+/-).
Ekstrimitas; sianosis ujung jari, edema pada tungkai.
3. Pemeriksaan neurologis.
a. Pemeriksaan kesadaran; digunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
b. Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses / lesi.
Observasi umum.
Perhatikan gerakan menguap, menelan, mengunyah, membasahi bibir. Bila
(+), prognosis cukup baik.
Perhatikan gerakan multifokal dan berulang kali (myoclonic jerk).
Disebabkan oleh gangguan metabolik.
Lengan dan tungkai.
( i ).Lengan keadaan flexi (decorticated rigidity) => gangguan di hemisfer,
batang otak masih baik.
7
( ii ). Lengan dan tungkai extensi (deserebrate rigidity) => kerusakan di
batang otak.
Pola pernafasan.
Pernafasan Cheyne-Stokes (Periodic breathing).: Terjadi keadaan apnea,
kemudia timbul pernafasan yang berangsur-angsur bertambah besar
amplitudonya. Setelah mencapai suatu puncak, akan menurun lagi proses
di hemisfer dan/batang otak bagian atas.
Hiperventilasi neurogen sentral (kussmaul) : Pernfasan cepat dan dalam
disebabkan gangguan di tegmentum (antara mesenfalon dan pons). Letak
prosesnya lebih kaudal dari pernafasan cheyne-stokes, prognosisnya juga
lebih jelek.
Pernafasan apneustik : Terdapat suatu inspirasi yang dalam diikuti oleh
poenghentian ekspirasi selama beberapa saat. => Gangguan di pons.
Prognosis lebih jelek daripada hiperventilasi neurogen sentral karena
prosesnya lebih kaudal.
Pernafasan ataksik : Terdiri dari pernafasan yang dangkal, cepat, dan tidak
teratur => Terganggunya formation retikularis di bagian dorsomedial dan
medulla oblongata. Terlihat pada keadaan agonal karenanya sering disebut
sebagai tanda menjelang ajal.
Kelainan pupil.
Untuk menentukan letak kelainan di batang otak, yang harus diperhatikan adalah
(1)besarnya, (2)bentuknya, (3)refleks pupil. Jangan menggunakan midriatikum
karena akan menghilangkan refleks pupil. Kelainan gerakan dan/atau kedudukan
bola mata dapat menunjukkan topical dari lesi :
a) Lesi di hemisfer => Deviation Conjugee (mata melihat kearah hemisfer yang
terganggu), pupil & refleks cahaya normal.
b) Lesi di thalamus => Kedua bola mata melihat kearah hidung. Kadang
hemianestesia (badan, tungkai, wajah). Dystonic posture (lengan dalam
posisi aneh)
c) Lesi di pons => Kedua bola mata di tengah, tidak ada gerakan walau dengan
perubahan posisi (doll’s eye maneuver abnormal), pupil pinpoint, refleks
cahaya (+), kadang ada ocular bobbing.
8
d) Lesi di serebelum => Bola mata ditengah, pupil besar, bentuk normal,
refleks cahaya (+) normal. Sering karena perdarahan yang meningkatkan
TIK, sehingga mengganggu N.VI.
e) Gangguan N.Okulomotorius Pupil anisokor, refleks cahaya negative (pada
pupil yang lebar), sering disertai ptosis. Gangguan pada N.III sering
merupakan tanda pertama akan terjadinya herniasi tentorial. Adanya
perdarahan atau edema di daerah supratentorial akan mendorong lobus
temporalis ke bawah. Desakannya akan menekan N.III, yang bila proses
berlanjut akan menekan batang otak, dan menyebabkan kematian.
Refleks sefalik
a) Refleks pupil ; Terdapat 3 refleks (cahaya, konsensual, konvergensi).
Konvergensi sulit diperiksa pada penderita dengan kesadaran menurun. Oleh
karena itu pada penderita koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan
konsensual. Bila refleks cahaya terganggu => gangguan di mesensefalon.
b) Doll’s eye phenomenon => gangguan di pons (refleks okulo-sefalik
negative).
c) Refleks okulo-vestibular => menggunakan tes kalori. Jika (-) berarti
terdapat gangguan di pons.
d) Refleks kornea => merangsang kornea dengan kapas halus akan
menyebabkan penutupan kelopak mata. Bila negative berarti ada kelainan di
pons.
e) Refleks muntah => sentuhan pada dinding faring belakang. Refleks ini
hilang pada kerusakan di medula oblongata.
Reaksi terhadap rangsangan nyeri.
Tekanan pada supraorbita, jaringan bawah kuku tangan, sternum. Rangsangan
tersebut akan menimbulkan refleks sbb:
a) Abduksi => fungsi hemisfer masih baik (high level function).
b) Menghindar (Flexi dan aduksi) => hanya ada low level function.
c) Flexi => ada gangguan di hemisfer.
d) Extensi kedua lengan dan tungkai => gangguan di batang otak.
Secara garis besarnya, pemeriksaan untuk menentukan letak lesi dapat dilihat pada kolom
dibawah ini, dimana masing-masing lesi memiliki gejala tertentu / gejala yang khas
secara klinis 1,2,3,4,7.
9
Fungsi traktus piramidalis.
Merupakan saluran saraf terpanjang, sehingga apabila terjadi kerusakan struktur
susunan saraf pusat amat sering terganggu. Bila traktus piramidalis tidak
terganggu, kemungkinan besar kelainan disebabkan oleh gangguan metabolisme.
Adanya gangguan pada traktus piramidalis dapat diketahui dengan adanya:
a) Paralisis (kelumpuhan)
b) Refleks tendinei (otot) => bila traktus piramidalis terganggu, akan terdapat
penurunan refleks sisi kontralateral. (penurunan refleks tendon hanya
sementara, pada akhirnya refleksnya meningkat)
c) Refleks patologik (+)positif.
d) Tonus => pada fase akut terjadi penurunan tonus kontralateral. Bila lesi
piramidalis sudah lama, tonus akan meningkat (pada umumnya kita hanya
menemukan peningkatan tonus).
Pemeriksaan laboratorium.
Darah rutin, fungsi ginjal (BUN, serum kreatinin), fungsi hati (LFT, SGOT,
SGPT), elektrolit, glukosa darah. Liquor serebrospinalis harus diperiksa bila
diduga ada infeksi intarakranial (meningitis, meningoensefalitis). Kontraindikasi
LP dalah peningkatan tekanan intracranial. Pada pemeriksaan liquor
serebrospinalis harus diperhatikan:
Warna ; normalnya jernih. Bila ada perdarahan, dihitung jumblah eritrosit.
- < 50/mm kemungkinan suatu emboli.
- 1000/mm kemungkinan perdarahan intraserebral.
10
- 10.000/mm kemungkinan infark haemorhage.
- 25.000/mm kemungkinan perdarahan subarakhnoid.
Jumblah sel ; Normal < 5/m.
- Bila meningkat meningitis/meningoesefalitis.
- Peningkatan mononuclear menunjukkan adanya meningitis serosa,
yang dapat disebabkan oleh TB, virus, atau jamur.
- Peningkatan sel polimorfonuklear meningitis purulenta.
Protein ; Kadar protein liquor normalnya 0,15-0,45 g/l. Meningkat pada
keradangan/perdarahan.
Glukosa ; kadar glukosa liquor normalnya 2/3 kadar glukosa darah. Kadar
glukosa yang menurun => ada infeksi (TBC, bacterial).
Bakteriologi ; Pemeriksaan pengecatan gram dan kultur bila dicurigai adanya
infeksi intracranial.
Pemeriksaan khusus ;
- Keganasan => sitologi
- TB => pengecatan ziehl-nelson
- Neurosifilis => VDRL / TPHA.
-
Pemeriksaan dengan alat.
CT scan – merupakan pemeriksaan yang paling sering atau umum
digunakan
Oftalmoskop : Pada setiap penderita koma, fundus okuli harus diperiksa
untuk melihat adanya (1).papiledema. (2).tanda-tanda arteriosclerosis
pembuluh darah di retina. (3).Tuberkel di koroidea.
Elektroensefalografi (EEG) ; untuk melihat kelainan difus atau fokal. Harus
dibandingkan antara hemisfer kiri dan kanan. Serial EEG diperlukan untuk
evaluasi penderita koma.
Eko-ensefalografi ; menggunakan gelombang ultrasound. Midline echo pada
orang normal menandakan posisi ventrikel III. Yang perlu diperhatikan
adalah dorongan dari midline echo untuk menentukan lateralisasi.
Doppler ( B scan) ; alat untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteria
karotis dan pembuluh darah kolateral (temporalis,orbita). Pemeriksaan ini
penting untuk mengetahui adanya stenosis pada arteri.
11
Arteriografi ; pemeriksaan invasive dengan memasukkan kontras ke dalam
pembuluh darah. Hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan kelainan
pembuluh darah
MRI (magnetic resonance imaging).
E. GAMBARAN KLINIS
Dipandang dari penampilan klinik, penderita koma dapat bersikap tenang seakan
akan tidur pulas atau bersikap gelisah, banyak gerak, dan/atau berteriak. Manifestasi
klinik penurunan kesadaran bervariasi, bergantung pada penyakit yang mendasarinya atau
komplikasi yang muncul setelah terjadinya penurunan kesadaran.
Gejala klinik yang dapat menyertai koma antara lain; demam, gelisah, kejang,
muntah, retensi lendir atau sputum di tenggorokkan, retensi atau inkontinensia urin,
hipertensi, hipotensi, takikardi, bradikardi, takipnea, dispnea, edema fokal atau anasarka,
ikterus, sianosis, pucat, perdarahan subkutis, dan sebagainya. Pada lesi intrakranial dapat
terjadi hemiplegia, defisit nervi kranialis, kaku kuduk, deviasi mata, perubahan diameter
pupil, edema papil. Pada trauma kapitis dapat terjadi braile hematoma, hematoma
belakang telinga (battle sign), perdarahan telinga dan hidung, dan likorea.
Koma kortikal bihemisferik disebut juga “koma metabolik”, dimana pada koma
jenis ini terdapat penyakit primer yang mendasari (penyakit non-saraf) timbulnya koma.
Gejala klinisnya : ‘organic brain syndrome’ dan gangguan neurologist yang bilateral.
Koma diensefalik timbul akibat gangguan fungsi atau lesi struktur formation
retikularis (batang otak) akibat proses desak ruang. Gejala klinisnya : semua manifestasi
gangguan neurologik menunjukkan ciri lateralisasi seperti hemiparese, anisokor, dll 1,3,4,7.
Diagnosis banding koma 2:
1) Afasia global akut – pada keadaan ini penderita tidak mengerti dan tidak dapat
berbicara, tetapi refleks-refleks sefalik lainnya masih baik.
2) Lock in syndrome – pada sindroma ini didapatkan paralysis keempat ekstrimitas,
penderita tidak dapat berbicara, tetapi penderita masih dapat elakukan kedipan
dan gerakan bola mata. Gerakan ini dapat dipakai untuk berkomunikasi.
Sindroma ini dijumpai pada lesi di mesensefalon.
12
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut
prinsip 5 B yaitu 1,2,4,7 :
1) Breathing => Jalan napas harus bebas dari obstruksi. Posisi penderita miring agar
lidah tidak jatuh kebelakang, serta bila muntah tidak terjadi aspirasi. Bila
pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.
2) Blood => Diusahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke
otak. Tekanan darah yang rendah berbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi
kimiawi darah dipertahankan semaksimal mungkin, karena perubahan-perubahan
tersebut akan mengganggu perfusi dan metabolisme otak.
3) Brain => Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul. Bila penderita
kejang sebaiknya diberikan difenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd
200 mg per os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikan intravena
secara perlahan.
4) Bladder => Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan, elektrolit, dan miksi. Kateter
harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.
5) Bowel => Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin. Pada
penderita tua sering terjadi kekurangan albumin yang memperburuk edema otak,
hal ini harus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelan dipasang sonde
hidung. Perhatikan defekasinya dan hindari terjadi obstipasi.
Penatalaksanaan berdasarkan etiologi, secara singkat akan diuraikan
berdasarkan urutan SEMENITE ;2
1) Sirkulasi
a. Perdarahan subaranoidal Asam traneksamat 4 dd 1 gr iv perlahan-lahan
selama 2 minggu, dilanjutkan peroral selama 1 minggu untuk mencegah
kemungkinan rebleeding. Nimodipin (ca blocker) untuk mencegah vasospasme.
Setelah 3 minggu sebaiknya dilakukan arteriografi untuk mencari penyebab
perdarahan, dan bila mungkin diperbaiki dengan jalan operasi.
b. Perdarahan intraserebral. Pengobatan sama seperti diatas. Pembedahan hanya
dilakukan bila perdarahan terjadi di lokasi tertentu, misalnya serebelum.
c. Infark otak, keadaan ini dapat disebabkan oleh karena trombosis maupun emboli.
Pengobatan infark akut dapat dibagi dalam 3 kelompok :
- Pengobatan terhadap edema otak, mis. Dengan mannitol
13
- Pengobatan untuk memperbaiki metabolisme otak, mis. Dengan citicholine /
codergocrine mesylate / piracetam
- Pemberian obat antiagregasi trombosit dan antikoagulan.
Penatalaksanaan secara lebih detil mengenai gangguan sirkulasi dapat dibaca
pada tulisan-tulisan lain mengenai CVA.
2) Ensefalomeningitis.
Meningitis purulenta => antibiotic
Meningitis tuberkulosa => dipakai kombinasi INH, rifampisin, kanamisin, dan
pirazinamide.
3) Metabolisme.
Koma karena gangguan metabolime harus diobati penyakit primernya.
Penatalaksanaannya terletak di bagian penyakit dalam.
4) Elektrolit dan endokrin.
Bagian penyakit dalam. Kalium selain menyebabkan gangguan saraf juga dapat
menyebabkan gangguan jantung.
5) Neoplasm.
Dilakukan oleh ahli bedah saraf.
6) Intoksikasi => penderita koma karena intoksikasi diberikan activator metabolic dan
diuresis paksa untuk mengeluarkan penyabab intoksikasi. Bila memungkinkan
berikan antidotnya.
7) Epilepsi 8.
- Secara umum, pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 x bangkitan dalam
setahun. Tegakkan diagnosis, jelaskan kepada keluarga penderita seputar tujuan
pengobatan dan efek samping.
- Sesuaikan jenis obat dengan jenis serangan epilepsy yang dijumpai, sebaiknya
MONOTERAPI.
- Mulailah dengan dosis rendah yang dinaikkan bertahap sampai tercapai dosis
efektif.
- Bila perlu penggantian obat, obat pertama diturunkan secara bertahap dan
naikkan obat kedua bertahap.
- Jika serangan tetap tidak terkontrol meskipun sudah mendapat monoterapi / terapi
optimal, sebaiknya rujuk ke spesialis saraf.
- Pada status epileptikus :
14
o Bayi dan anak ; dosis 15-20 mg / kgBB i.v, pemberian secara perlahan-
lahan kurang dari 1-3 mg / kgBB / menit.
o Dewasa : dosis 10-15 mg / kgBB perlahan-lahan < 50 mg / menit disusul
dengan dosis rumatan 3-4 x 100 mg / hari, oral / i.v
G. PROGNOSIS
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala seperti di bawah ini lebih dari 3 hari:
1. Adanya gangguan fungsi batang otak, seperti doll’s eye phenomenon negative,
refleks kornea negative, refleks muntah negative.
2. Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya.
3. GCS yang rendah (1-1-1).
15
BAB III
KESIMPULAN
1) Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan klinik tertentu yang
disebabkan oleh berbagai faktor.
2) Kesadaran / kewaspadaan berhubungan dengan impuls non-spesifik.
3) Neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak kewaspadaan”,
sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan disebut “neuron
pengemban kewaspadaan”
4) koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab ‘neuron pengemban kewaspadaan
sama sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik)’ atau oleh sebab ‘neuron
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban
kewaspadaan (koma diensefalik)’.
5) Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat “SEMENITE”.
6) Diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurology, dan
pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laborat dan pemeriksaan dengan alat
(CT-scan, dll).
7) DD koma ; afasia global akut dan lock in syndrome.
8) Penatalaksanaannya berdasarkan 5B dan etiologi.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono (ed.) 2005 buku ajar Neurologis klinis, cetakan ketiga. Penerbit Gajah
Mada University Press.
2. Prof. Dr. dr. B. Chandra, Neurologi Klinik, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf
FK.Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya,.
3. Priguna Sidharta, M. D., Ph. D. , Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi,
Dian Rakyat.
4. Sidharta, Priguna, dan Mardjono, Mahar 2004 Neurologis Klinis Dasar. Penerbit
Dian Rakyat.
5. J.G.Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Diterjemahkan
oleh dr. Andri Hartono, Gadjah Mada University press, cetakan ke empat 1993.
6. Prof.DR.dr. S.M. Lumbantobing (ed. 2005) Neurologi Klinik, pemeriksaan fisik
dan mental, cetakan ketujuh. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
7. Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management
8. Dr. Manfaluthi, SpS, Dr. Nizar Yamani, SpS, Dr. Lina Soertidewi, SpS, dan
kawan-kawan PERPEI (Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia)
cabang jakarta, Buku Panduan / Modul Penanggulangan Epilepsi Mudah Aman
& Sederhana (EMAS), tahun 2004, PERPEI.
17