refrat jiwa
DESCRIPTION
refrat jiwaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas
mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Obat psikotropik dibagi menjadi
beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-
ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif.1
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik
adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Obat
antipsikotik dapat juga disebut sebagai Neuroleptics, major tranquillizers,
ataractics, antipsychotics, atau antipsychotic drugs.2
Obat antipsikotik atau disebut juga Neuropleptik telah digunakan dalam dunia
medis sudah lebih dari 60 tahun. Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean Delay
adalah sekelompok ilmuwan Perancis yang pertama kali menemukan obat
antipsikotik pada awal 1950. Chlorpromazine adalah obat yang pertama kali
ditemukan dan saat itu menjadi pilihan utama dalam pengobatan skizophrenia dan
gangguan psikotik. Karena penggunaan obat antipsikotik pada pengobatan
psikotik berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dibutuhkan waktu
beberapa minggu untuk mengontrol gejala dari skizophrenia dan membutuhkan
terapi dengan dosis maintenance untuk beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu
efek samping dalam penggunaan obat antipsikotik ini tidak dapat dihindarkan.
Salah satu efek samping yang paling sering timbul adalah efek samping gangguan
ekstrapiramidal, yang tidak jarang gangguan ini bersifat ireversibel.3
Hampir semua obat neuroleptik adalah antagonis reseptor dopamin.
Diperkirakan bahwa terjadi peningkatan aktifitas dopaminergik di bagian
mesolimbik dan mesokortikal pada penderita skizophrenia. Hal ini dibuktikan
bahwa amfetamin, suatu zat yang menstimulasi pelepasan dopamin dapat
menyebabkan gejala psikotik pada orang-orang normal yang menggunakannya.
Pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan menggunakan Single Photon
Emission Computed Tomography (SPECT) pada orang dengan skizophrenia
1
ditemukan peningkatan fungsi secara bermakna pada receptor D2, sehingga
menstimulasi pelepasan dopaminergik.3
Obat antipsikotik telah diklasifikasikan ke dalam kelompok tipikal dan atipikal,
obat antipsikotik tipikal adalah antipsikotik yang menghasilkan efek samping
ekstrapiramidal pada dosis klinis efektif pada sebagian pasien. Efek samping
ekstrapiramidal meliputi parkinson, reaksi distonik akut, diskinesia, akatisia
(restlessness), dan tardive dyskinesia. Mereka juga disebut neuroleptik karena
efek penghambatan pada agresivitas. Obat antipsikotik atipikal adalah antipsikotik
dengan kecenderungan secara signifikan lebih rendah untuk menghasilkan efek
samping ekstrapiramidal pada dosis klinis efektif. Mereka kadang-kadang disebut
sebagai obat antipsikotik baru (novel), yang mencerminkan perkembangan
selanjutnya dari sebagian senyawa ini (dengan pengecualian clozapine) atau
dengan farmakologinya, misalnya multireseptor antagonis atau serotonin (5-
hydroxytryptamine) antagonis 2A.2
Semua antipsikotik ini bekerja pada reseptor dopamin-2, tapi kerja antipsikotik
atipikal berbeda daripada antipsikotik tipikal (tipikal) dalam hal reseptor-reseptor.
Selain itu, antipsikotik atipikal juga memblok reseptor serotonin-2. Perbedaan-
perbedaan dalam mengikat reseptor ini merupakan teori yang menjelaskan
mengapa dua klasifikasi antipsikotik sama efektifnya tetapi berbeda dalam efek
samping, terutama pada kecenderungan mereka untuk menyebabkan efek samping
motorik seperti gejala ekstrapiramidal dan tardive dyskinesia.2,4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Obat antipsikotik adalah sekelompok obat yang termasuk psikofarmaka yang
menghilangkan atau mengurangi gejala psikosis. Antipsikotik bekerja secara
selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik.
Selain itu, antipsikosis juga digunakan untuk pengobatan psikosis lainnya dan
agitasi.3
2.1 Farmakokinetik Umum
Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat
memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti
psikotik adalah lipidsoluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap
tapi tidak seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang
signifikan. Oleh karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine
mempunyai availability sistemik 25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih
sedikit, dengan availability sistemik rata-rata 65%. Kebanyakan obat antipsikotik
bergabung secara intensif dengan protein plasma (92 – 99%) sewaktu distribusi
dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga besar, biasanya lebih
dari 7L/kg.5
Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan
mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-
daily dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-
hydroxychloropromazine dan reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak
penting dalam efek kerja obat tersebut. Terdapat satu pengecualian, yaitu
mesoridazine, yang merupakan metabolit utama thioridazin, lebih poten dari
senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat tersebut. Sediaan
dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine, thioridazine
dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.5
3
Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-
obatan tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar.
Waktu paruh eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi, bisa dari
10 sampai 24 jam.5
2.2 Fisiologi
Jalur Dopamin dan Fungsinya
Empat jalur dopamin di otak berperan dalam patofisiologi skizofrenia serta
terapi efek dan efek samping dari agen antipsikotik (Gambar 1). Setiap jalur
memiliki kerja yang unik pada fisik, kognitif, dan psikologis. Sebagai contoh,
hiperaktivitas dopamin pada jalur dopamin mesolimbik diduga menginduksi
psikosis, sehingga mengurangi aktivitas dopamin di jalur tersebut, maka dengan
memblokir reseptor dengan obat antipsikotik, secara teoritis akan mengurangi
gejala psikotik. Meskipun blokade reseptor D2 mungkin memiliki hasil yang
bermanfaat dalam satu jalur, dapat menimbulkan masalah di bagian lain.2,4
4
Gambar 1. Empat jalur dopamin pada otak.2,4
Jalur Dopamin Nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Jalur nigrostriatal dopamin,
sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau
pergerakan. Jalur ini merosot pada penyakit Parkinson, dan blokade reseptor D2 di
jalur ini menyebabkan penyakit drug-induced-movement EPS dan, akhirnya,
tardive dyskinesia. Kekurangan Dopamin serta blokade reseptor dalam jalur ini
juga dapat menyebabkan distonia dan akatisia.2,4
Jalur Dopamin Mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbik. Hiperaktivitas
dalam jalur dopamin mesolimbik diduga menyebabkan psikosis dan gejala positif
skizofrenia seperti halusinasi dan delusi. Jalur ini juga diduga terlibat dalam emosi
dan sensasi kesenangan (pleasure) - stimulan dan kokain meningkatkan kegiatan
dopamin di sini. Bahkan, paranoia dan psikosis yang dapat diinduksi oleh jangka
panjang penyalahgunaan stimulan, hampir tidak bisa dibedakan dari skizofrenia.
Pemblokiran hiperaktivitas pada jalur ini dapat mengurangi atau menghilangkan
gejala positif.2,4
5
Jalur Dopamin Mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks
limbik. Peran jalur dopamin mesokortikal, terutama pada skizofrenia, masih
diperdebatkan. Jalur ini diduga untuk mengontrol fungsi kognitif, dan kekurangan
dopamin dalam jalur ini bertanggung jawab untuk gejala negatif dan kognitif dari
skizofrenia. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena
blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan
memburuknya gejala negatif dan kognitif. Dengan kata lain, agen antipsikotik
harus dapat menurunkan dopamin di jalur mesolimbik untuk mengurangi gejala
positif tetapi meningkatkan dalam jalur mesokortikal untuk mengobati gejala
negatif dan kognitif.2,4
Jalur Dopamin Tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior.
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan
prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga
memungkinkan laktasi. Jika fungsi normal dari jalur ini terganggu, misalnya,
dengan D2-blocking obat, hiperprolaktinemia dapat terjadi, dengan efek samping
seperti galaktorea, amenore, dan disfungsi seksual.2,4
2.3 Mekanisme Kerja
Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang
dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-
dopamine.5
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan
tersebut disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas
fungsional neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis
ini berlandaskan observasi berikut:5
· Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP,
terutama pada sistem mesolimbik-frontal.
· Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa
(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin
(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun
menyebabkan psikosis de novo pada pasien.
6
· Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang
menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita skizofrenia.
· Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada cairan
serebrospinal, plasma, dan urin.
· Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region
tertentu di otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma
Tourette, tic klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan
karena obatobatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan
pasien dan obat-obatan tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih
tinggi untuk reseptor-reseptorselain reseptor D2.5
Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D1 – D5. Setiap
satu reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai
tujuh domain transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen,
nukleus accumbens, kortek serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif
kepada adenyl cyclase. Efek terapi relatif untuk kebanyakan obat-obatan
antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas mereka terhadap reseptor
D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan reseptor D2 dan disfungsi
ekstrapiramidal.5
Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi
terhadap reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat
alfaadrenoseptor mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan
obat baru ini. Inhibisi reseptor serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-
obatan antipsikotik baru ini. Clozapin, satu obat yang mempunyai tindakan
menghambat reseptor D1, D4, 5-HT2, muskarinik dan alfa-adrenergik yang
signifikan, mempunyai afinitas yang rendah terhadap reseptor D2. Kebanyakan
obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin, quetiapin, resperidon dan
serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-HT2A, walaupun
obat-obat tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D2 atau reseptor lainnya.
7
Kebanyakan obat atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang kurang
kalau dibandingkan dengan obat-obatan standar.5
Semua antipsikotik memiliki kerja pada reseptor D2 di otak. Salah satu cara
untuk membedakan antipsikotik atipikal dari antipsikotik tipikal adalah bahwa
atipikal memblokir reseptor 5-HT2A serta reseptor D2 dan memiliki lebih sedikit
efek motorik seperti EPS daripada antipsikotik tipikal pada dosis standar. Satu
antipsikotik atipikal (quetiapine) tidak memiliki EPS dibanding dari placebo.
Selain itu, setidaknya 2 antipsikotik (olanzapine dan risperidone) telah
menunjukkan efikasi yang lebih besar daripada antipsikotik tipikal untuk gejala
negatif, dan 3 (olanzapine, ziprasidone, dan quetiapine) tidak meningkatkan kadar
prolaktin seperti antipsikotik tipikal. Ziprasidone dikaitkan dengan kurangnya
penaikan berat badan dibandingkan dengan antipsikotik tipikal dan antipsikotik
atipikal lainnya.2,4
Serotonin
Antipsikotik atipikal memiliki aksi antipsikotik dengan jauh lebih sedikit atau
bahkan tidak ada efek samping motorik seperti EPS dan tardive dyskinesia. Secara
teoritis, efek ini bisa menjadi akibat dari blokade reseptor 5-HT2A selain reseptor
D2. Serotonin mengatur pelepasan dopamin, kehadiran serotonin dalam beberapa
jalur dopamin, seperti jalur nigrostriatal, menghambat pelepasan dopamin,
sedangkan di jalur dopamin mesolimbik, serotonin memiliki pengaruh yang kecil
bahkan tidak ada sama sekali. Dengan kata lain, ketika 5-HT2A reseptor diblokir,
dopamin dilepaskan dalam jalur dopamin nigrostriatal tapi tidak dikeluarkan di
jalur dopamin mesolimbik.2,4
Dalam jalur nigrostriatal, reaksi ini dapat membalikkan beberapa blokade D2
dengan antipsikotik atipikal melalui sebuah proses yang disebut disinhibisi.
Ketika reseptor serotonin diblokir di jalur ini, dopamin meningkat. Dengan
munculnya dopamin kemudian terjadilah "disinhibited" dan langsung mengisi
reseptor D2, mencegah blokade oleh agen antipsikotik. Dengan kurangnya blokade
D2 di jalur nigrostriatal, efek samping motorik berkurang (Gambar 2).2,4
8
Gambar 2. Blokade reseptor serotonin sehingga pelepasan dopamin melebihi dari blokade reseptor dopamin.4
Namun, disinhibisi dalam jalur nigrostriatal tidak mempengaruhi blokade dari
pengikatan D2 dalam jalur dopamin mesolimbik, dikarenakan sedikitnya reseptor
5-HT2A yang berada di jalur dopamin mesolimbik; sehingga aksi antipsikotik
tertahan. Menurut hipotesis ini, antipsikotik dikatakan atipikal, saat antagonis 5-
HT2A tumpangtindih pada antagonis D2, sehingga mengurangi pengikatan D2
mereka, dimana hal ini cukup untuk menurunkan efek motorik tetapi tidak cukup
untuk menurunkan efek antipsikotik.2,4
Dopamin
Hipotesis lain dari antipsikotik atipical adalah, meskipun semua antipsikotik
memiliki aksi pada reseptor D2, blokade dopamin dengan agen atipikal
berlangsung cukup lama untuk menyebabkan aksi antipsikotik namun tidak cukup
lama untuk menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan agen tipikal.
Secara teoritis, hanya dibutuhkan blokade cepat dari reseptor D2 untuk
menyebabkan aksi antipsikotik, namun cukup lama untuk memunculkan efek
samping motor seperti EPS. Jadi, jika antipsikotik memiliki aksi "hit-and-run",
juga disebut disosiasi cepat (rapid dissociation), hal tersebut berdisosiasi dari
9
reseptor D2 setelah aksi antipsikotik yang terjadi tapi sebelum efek sisi motorik
diinduksi.2,4
Gambar 3. Aksi “hit-and-run” pada reseptor dopamine: Tipikal vs Atipikal.4
Pada Gambar 3, gigi antipsikotik tipikal cocok dengan alur di reseptor,
menghasilkan ikatan yang erat dan blokade yang tahan lama dengan agen tersebut.
Antipsikotik atipikal, walaupun, menduduki reseptor dengan baik, namun dapat
dengan halus kembali keluar, untuk memukul dan kemudian lari (hit-and-run).
Reseptor tersebut kemudian kosong sebentar, untuk secara alami segera
memproduksi dopamin sebelum dosis berikutnya. Menurut hipotesis ini,
kurangnya efek samping motorik berasal dari ikatan D2 yang rendah karena
cepatnya disosiasi. Disosiasi cepat terjadi lebih mudah ketika obat memiliki
potensi rendah, agen-potensi rendah (yaitu, yang memerlukan dosis miligram
yang lebih tinggi seperti clozapine dan quetiapine) memiliki disosiasi lebih cepat
dari reseptor D2 dibandingkan agen-potensi tinggi (yaitu, yang memerlukan dosis
miligram yang lebih rendah seperti risperidone), dengan agen potensi menengah
seperti olanzapine di tengah. Hirarki ini sekitar berkorelasi dengan kecenderungan
obat ini menyebabkan efek sisi motorik dalam kelompok antipsikotik atipikal dan
hal tersebutlah yang membedakannya dari antipsikotik tipikal. Perbedaan antara
rendah dan tinggi-potensi atipikal antipsikotik ini juga mengharuskan untuk hati-
hati dalam penggunaan dosis, terutama dengan agen-potensi tinggi, untuk
memaksimalkan antipsikotik aksi tetapi meminimalkan efek samping seperti
gangguan gerakan.2,4
10
Salah satu konsekuensi dari disosiasi cepat adalah bahwa aksi obat hilang dari
reseptor sampai dosis berikutnya. Dopamin alamiah kemudian dapat menduduki
reseptor untuk sementara sebelum dosis obat selanjutnya. Ada kemungkinan
bahwa adanya sedikit dopamin dalam sistem dopamin nigrostriatal diperlukan
untuk mencegah efek samping motorik. Jika dopamin alami cukup tersedia di
jalur nigrostriatal untuk meminimalkan efek samping, tetapi tidak cukup tersedia
di sistem dopamin mesolimbik untuk mengaktifkan kembali psikosis antara dosis,
maka obat tersebut dikatakan memiliki komponen dari antipsikotik atipikal.2,4
2.4 Klasifikasi Obat Antipsikotik
2.4.1 Antipsikotik Generasi Pertama (APG I)/Antipsikotik Tipikal
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam
dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik
generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja
dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh
karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamine (ARD) atau
antipsikotik konvensional atau tipikal.6
Kerja dari APG I menurunkan hiperaktivitas dopamin di jalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata APG I tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga memblok reseptor D2 di tempat
lain seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular. Apabila
APG I memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal dapat memperberat gejala
negatif dan kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut blokade
reseptor D2 di nigrostriatal secara kronik dengan menggunakan APG I
menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Blokade
reseptor D2 di tuberoinfundibular menyebabkan peningkatan kadar prolaktin
sehingga dapat menyebabkan disfungsi seksual dan peningkatan berat badan.6
APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala positif seperti
halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah penghentian
pemberian APG I. 6
Kerugian pemberian APG I:6
1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
11
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan
Keuntungan pemberian APG I adalah jarang menyebabkan terjadinya Sindrom
Neuroleptik Malignant (SNM) dan cepat menurunkan gejala negatif.
APG I dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia. Pembagian
berdasarkan potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan
pembagian berdasarkan rumus kimia adalah phenotiazine dan non-phenotiazine.6
Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg. APG
I potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine, trifluoperazine dan
thiothixine. Potensi anti dopaminergik tinggi, kemungkinan efek samping tinggi
seperti distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan darah
rendah.6
Potensi sedang bila dosis APG I yang digunakan antara 10- 50 mg. APG I
potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan molindone. Digunakan
untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping APG I potensi tinggi
dan potensi rendah.6
Potensi rendah bila dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg. APG I
potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine, dan mesoridazine.
Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi dan gejala
antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine, pandangan kabur dan
konstipasi.6
Pembagian APG I bedasarkan rumus kimia:6
1. Phenotiazine
· Rantai Aliphatic: Clorpromazine
· Rantai Piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, Fluphenazine.
· Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide
Clorpromazine (Largactil, Promactil, Cepezet)
12
Clorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin.
Derivat fenotiazin lain di dapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti
fenotiazin.6
Farmakodinamik: CPZ berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil
dari kata large action.
Farmakokinetik: pada umumnya semua fenotiazin di absorpsi baik bila
diberikan per oral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan
kadar tertinggi di paru-paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebgaian
fenotiazin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sebagian lagi diubah menjadi
sulfoksid yang kemduian dieksresi bersama feses dan urin. Setelah pemberian
CPZ dosis besar, maka masih ditemukan eksresi CPZ atau metabolitnya selama 6-
12 bulan.6
Indikasi (obat ini dapat di pakai) pada:6
- Skizofrenia dengan gejala agitasi, ansietas, tegang, bingung, insomnia, waham,
halusinasi
- Psikosis manik-depresif
- Gangguan kepribadian
- Psikosis involusional
- Psikosis pada anak
- Dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mual, muntah maupun cegukan
atau gangguan non psikosis dengan gejala agitasi tegang, gelisah, cemas dan
insomnia.
Dosis:
- Dosis permulaan 25-100 mg/hari
- Dosis ditingkatkan sampai 300 mg/hari
- Bila gejala belum hilang dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 600-
900 mg/hari.
Cara pemberian :
- Diberikan per-oral dengan dosis terbagi.
13
- Untuk efek cepat dapat diberikan per injeksi (im) dengan penderita dalam
posisi berbaring (untuk mencegah timbulnya orthostatic hipotension yang
sering terjadi).
Efek samping :
- Lesu dan ngantuk.
- Hipotensi ortostatik.
- Mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi dan amenore pada wanita
Kontra indikasi :
- Klorpromazine tidak boleh diberikan pada keadaan-keadaan :
- Koma.
- Keracunan alkohol, barbiturat dan narkotika.
- Hipersensitif (allergik).
Trifluoperazine (Stelazine, Stelosi)6
Indikasi :
- Skizofrenia.
- Psikosis paranoid (gangguan waham menetap).
- Psikosis manik-depresif.
- gangguan tingkah laku pada Retardasi Mental.
Dosis :
- Dosis awal 2 – 3 x 2,5 mg.
- Dosis pemeliharaan 3 x 5 – 10 mg.
Efek samping :
- Ngantuk, pusing lemas.
- Gangguan ekstra piramidalis.
- Occulogyric crisis.
- Hiperefleksi.
- Kejang-kejang grandmal.
Kontra indikasi :
- Depresi SSP.
- Koma.
14
- Gangguan liver.
- Dyscrasia darah.
- Hipersensitif.
Fluphenazine6
Untuk kasus-kasus akut diberikan Flupenazine HCl (anatensol) dalam bentuk
tablet dan injeksi.
Dosis :
- Awal : 12,5 mg / 2 minggu.
- Bila efek samping ringan/tidak ada, ditingkatkan 25 mg / 3 – 6 minggu.
Efek samping :
- Tersering gangguan estra piramidalis.
- Tardive diskinesia persistent.
- Ngantuk.
- Mimpi aneh.
Kontra indikasi :
- Hipersensitif.
- Depresi SSP berat.
Perphenazine (Trifalon)6
Indikasi :
- Gejala positif Skizofrenia.
- Dalam dosis rendah digunakan untuk nausea, vomitus dan cegukan.
Dosis :
3 x 4 - 8 mg / hari.
Efek samping :
- Sering timbul gangguan ekstra piramidalis.
- Gangguan endokrin, seperti : laktasi meningkat, gnekomasti, menstruasi
terganggu, sukar ejakulasi.
Kontra indikasi :
- Hipersensitif.
15
- Koma.
- Depresi berat.
- Gangguan liver.
- Gangguan darah.
Thioridazine6
Indikasi :
- Gejala positif Skizofrenia.
- Depresi dengan agitasi, ansietas dan afek hipotim.
Dosis :
- Awal (initial) : 3 x 50 – 100 mg / hari.
- Pemeliharaan (maintenance) : 200 – 800 mg / hari.
Efek samping :
- Sedasi, mulut kering, gangguan akomodasi, vertigo, hipotensi ortostatik.
- Jarang timbul ganguan ekstra piramidalis.
Kontra indikasi :
- Koma.
- Depresi SSP berat.
- Diskrasia darah.
- Hipersensitif.
Haloperidol6
Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D2, lebih lemah
antagonis reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak plasma Haloperidol
dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah
pemberian intramuskular. Waktu paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan
cepat melalui urine dan tinja dan berakhir dalam 1 minggu setelah pemberian.6
Secara farmakologi, struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi
butirofenon memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang
normal, efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan
antipsikotik yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik deprsif dan
16
skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif
keran butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga meningkatkan turn over
rate nya.6
Secara farmakokinetik, haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar
puncaknya dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat,
menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai
berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan kira-kira 1% dari dosis yang
diberikan diekskresi melalui empedu. Eksresi haloperidol lambat melalui ginjal,
kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.6
Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan pemberian 2 atau 3
kali per hari, kemudian peningkatan dosis disesuaikan dengan gejala yang belum
terkontrol, beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-
20 mg. Pada pasien dengan efek samping mininal dan belum tercapai respon
terapi, dosis obat dapat ditingkatkan sampai dosis 30-40 mg per hari. Setelah
pemberian awal perlu dilakukan monitoring efikasi klinis, sedasi atau efek
samping lainnya yang mungkin timbul sehingga dapat dilakukan penyesuaian
dosis atau penggantian dengan antipsikotik lain.6
Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat diturunkan dan dapat dimulai
dengan 0,5-1,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari.
Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan dilepas secara
lambat ke dalam pembuluh darah, sehingga pemberiannya tiap 3-4 minggu
perkali, karena waktu paruhnya panjang.6
Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam keadaan koma,
depresi SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain, sindrom parkinson, usia
lanjut dengan Parkinson Like Symptomps, wanita menyusui dan sesitif terhadap
Haloperidol.6
Interaksi Haloperidol akan menghambat metabolisme antidepresan trisiklik,
dapat mengganggu efek antiparkinson dan levodopa, tekanan intra okuler bola
mata dapat terjadi apabila diberikan bersama dengan antikolinergik. Metabolisme
Haloperidol meningkat bila diberikan bersama dengan carbamazepine.6
Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis (EPS) seperti
parkinson like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia, hyperreflexia, rigiditas,
17
opistotonus, dan kadang-kadang krisi okulogirik. Efek samping yang lain adalah
tardive dyskinesia pada pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian
haloperidol tiba-tiba. Efek samping lain yang ringan seperti sedasi dan autonomik.
Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat terjadi peningkatan berat badan
dan penurunan fungsi kognitif.6
Pimozide (Orap)6
Indikasi :
- Gangguan skizofrenia kronik untuk memperbaiki sosialisasi.
Dosis :
2 – 8 mg / hari.
Efek samping :
Jarang timbul gangguan ekstra piramidalis pada dosis terapeutik.
Kontra indikasi :
- Koma.
- Hipersensitif.
- Depresi endogen.
- Penyakit parkinson.
Obat antipsikotik tipikal biasanya menyebabkan gejala ekstrapiramidalis
(Sindrom Parkinsonisme):6
- Tremor (pada ektremitas dan lidah).
- Kaku kuduk.
- Hipersalivasi.
- Rigiditas.
- Jalan seperti robot, karena kaku otot tungkai.
- Ekspresi muka monoton (muka topeng), karena kaku otot wajah.
- Bicara pelo.
Bila terjadi Gangguan ekstra piramidalis (sindroma parkinsonisme), maka
pemberian obat distop dan diganti dengan obat lain atau dosis obat diturunkan.
Bila obat obat pengganti tidak tersedia atau obat tersebut sangat diperlukan, maka
18
untuk menghilangkan sindroma parkinsonisme diberikan obat-obat anti sindroma
parkinsonisme. Obat-obat anti Sindrom Parkinsonisme:6
1. Triheksifenidil
Diberikan per-oral dengan dosis 3 x 2 – 4 mg / hari.
2. Dipenhidramin (benadryl)
Dapat diberikan per-oral atau per-enteral dengan dosis 50 – 100 mg / hari.
3. Sulfas atropin
Dapat diberikan per-oral atau per-enteral tablet 0,5 mg ; 3 x 1 injeksi 0,25
mg/amp. ; 3 x 1 amp.
4. Benzodiazepin.
Obat-obat APG I yang masih sering digunakan adalah Haloperidol,
Fluphenazine, Trifluoperazine dan Clorpromazine. Cara pemberian APG I dapat
secara per oral, injeksi short acting maupun injeksi long acting (depot). Injeksi
shot acting pemberiannya secara intramuscular (IM), biasanya digunakan untuk
pasien yang agitasi atau menolak minum obat.efek klinis cepat diperoleh setelah
pemberian.6
2.4.2 Antipsikotik Generasi Kedua (APG II)/Antipsikotik Atipikal
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamine Antagosist (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi anatar
serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi
gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia.6
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:6
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas dopamin
19
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin
dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas
menang daripada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki. APG II dapat
memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di jalur
mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II
lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan
gejala negatif skizofrenia.6
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin
dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan
serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi
akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.6
4. Nigrostriatal Pathways
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:6
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada
dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
20
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:6
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal dari
APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari
pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki
gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan
ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik.6
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas
hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam
masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek
occupational dysfunction, social dysfunction, instrumental skills deficits, self-
care, dan independent living.6
Clozapine
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya
EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi
peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang
telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal
bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik
yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbikmesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
21
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin).6
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia
baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan
incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat
ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.
Selain itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat rendah, obat ini cocok
untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan antipsikosis
yang lain. Namun, karena clozapin memiliki efek resiko agranulositosis yang
lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yag lain, maka pengunaannya di batasi
hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain.
Pasien yang diberi clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu.6
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada
pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah
pemberian obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%), obat ini
di metabolisme hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja (30%
melaui kantong empedu dan 50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-rata
11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari
clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas
dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Pada
reseptor D4 afinitasnya lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik
lainnya, dimana reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah
srtiatal. Hal ini lah yang membedakan clozapine dengan APG I.6
Dosis :
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan
pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 600 mg / hari.
- Sediaan yang ada di pasaran tablet 25 mg dan 100 mg
Efek samping :
22
- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis,
leukemia.
- Mengantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihata kabur, takikardi, postural hipotensi,
hipertensi.
Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Epilepsi yang tidak terkontrol.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Intoksikasi obat.
- Koma.
- Kolaps sirkulasi.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.
Risperidone6
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and
Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus kimianya
adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi
oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis
tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah
terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga
baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih diizinkan
dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil dihentikan,
misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang
di hubungkan dengan demensia.6
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I
tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat
23
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada
penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.6
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6
menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4.
Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang
setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne
dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini
menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian
bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini
dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah.
Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).
Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg, ditingkatkan
sp 1–2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika
belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
Efek samping:
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea,
disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
24
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
Olanzapine6
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5-6 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 30
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.6
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai
afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c),
Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik
muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor
GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom
P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang
merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine
atau antibiotik ciprofloxacin. Afinitas lemah pada sitokrom P450 hati sehingga
pengaruhnya terhadap metabolisme obat lain rendah dan pengaruh obat lain
minimal terhadap konsentrasi olanzapine.6
Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita usia lanjut.
Cleareance 30% lebih rendah pada wanita dibanding pria, hal ini menyebabkan
terjadinya perbedaan efektivitas dan efek samping anatar wanita dan pria.
Sehingga perlu modifikasi dosis yang lebih rendah pada wanita. Cleareance
olanzapine meningkat sekitar 40% pada perokok dibandingkan yang tidak
merokok, sehingga perlu penyesuaian dosis yang lebih tinggi pada penderita yang
merokok.6
Indikasi :
- Skizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipoler.
Dosis :
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
25
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
Efek samping:
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah
Quetiapine6
Struktur kimia yang mirip dengan clozapine, masuk dalam kelompok
dibenzothiazepine derivates. Absorpsinya berlangsung cepat setelah pemberian
oral, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 1,5 jam setelah pemberian.
Metabolisme terjadi di hati, pada jalur sulfoxidation dan oksidasi menjadi
metabolit tidak aktif dan waktu paruhnya 6 jam.6
Quetiapine merupaka antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),
reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan
α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.6
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat
juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama
tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada
pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk
mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural. Dimulai dengan dosis 50 mg
per hari selama 4 hari, kemudian dinaikkan menjadi 100 mg selama 4 ahri,
kemudian dinaikkan lagi menjadi 300 mg. Sete;ah itu dicari dosis efektif antara
26
300-450 mg/hari. Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi
postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi.6
Ziprasidone6
APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di Indonesia.
Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara reseptor
5HT2A dan D2. Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A,
afinitasnya pada reseptor ini sama atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D2.
Afinitas sedang pada reseptor histamin dan α1. Ziprasidone tidak bekerja pada
muskarinik (M1).6
Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja yang unik
karena menghambat pengambilan kembali (reuptake) neurotransmiter serotonin
dan norepineprine di sinaps. Obat ini efektif digunakan untuk gejala negatif dan
penderita yang refrakter dengan antipsikotik. Obat ini aman diberikan pada
penderita usia lanjut.6
Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi tidak
dipangruhi oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal. Konsentrasi
plasma puncak dicapai dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral denga waktu
paruh obat rata-rata 5-10 jam, sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime
ziprasidone melalui hati, sebagian besar pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian
kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik diperkirakan pro-serotonergik
dan pro-noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja sebagai antidepresan dan
ansiolitik. Efikasi dari ziprasidone terjadi pada dosis 80-160 mg/hari, untuk
pengobatan terhadap gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien skizofrenia.6
Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar 40 mg
perhari. Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan makanan.
Dosis pemeliharaan berkisar antara 40-60 mg per hari.6
Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar
prolaktin. Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah somnolen (14%),
peningkatan berat badan (10%), gangguan pernafasan (8%), EPS (5%), dan
bercak-bercak merah di kulit (4%). Peningkatan berat badan sangat kecil atau
27
dapat dikatan tidak ada, karena bekerja sangat lemah pada reseptor AH1 walaupun
bekerja juga sebagai antagonis pada reseptor 5HT2c. Ziprasidone tidak
menyebabkan gangguan jantung.6
Aripiprazole6
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter
dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter
dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin.6
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan
CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip
dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga
pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi
plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai
keluhan dispepsia, mual dan muntah.6
Indikasi :
Skizofrenia.
Dosis :
10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
28
2.5 Pemilihan Sediaan
Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek
farmakologi yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis
lebih nyata daripada perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka
cukup dipilih salah satu obat dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam
memilih obat secara individual ialah riwayat respon pasien terhadap obat.5
Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis berpotensi
rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi,
misalnya tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.5
Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :5
1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui
sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.
2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh
pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan flufenazin
enantat atau dekanoat.
3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke,
sehingga hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh
pada fenotiazin piperazin, atau haloperidol.
4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.
5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.
6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin.
7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan
antipsikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekuivalennya, dimana profil efek samping belum tentu sama.1,5
29
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya,
dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.1,5
2.6 Interaksi Obat1
a. Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensiasi efek samping obat dan tidak ada
bukti menjadi lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikosis).
Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine = potensiasi efek hipotensif.
b. Antipsikosis + Antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat
(hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit
jantung).
c. Antipsikosis + Anti-anxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjuntive therapy).
d. Antipsikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada
pagi hari sebeum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena
angka morbiditas yang tinggi.
e. Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah
obat anti-psikosis Haloperidol.
f. Antipsikosis + antasida = efektivitas obat anti-psikosis menurun disebabkan
gangguan absorpsi.
2.7 Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:1,6
a. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
a. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
b. Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1 – 2 x perhari)
c. Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien
30
d. Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran, dinaikkan setiap 2 – 3
hari sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaran Sindrom
Psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis
optimal dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi) diturunkan
setiap 2 minggu dosis maintenance dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi drug holiday 1 – 2 hari/minggu) tappering off (dosis
diturunkan tiap 2 – 4 minggu) stop.
2.8 Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang multi episode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian
yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.1,5
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.1,5
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat,
metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis merada sama sekali. Untuk
Psikosis Reaktif Singkat, penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala
dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.1,5
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil
sekali.1,5
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound”:
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan
ini akan mereda dengan pemberian agen antikolinergik (injeksi Sulfas Atropin
0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/hari).1,5
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + anti parkinson,
bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan terlebih
dahulu, kemudian menyusul obat anti parkinson.1,5
31
2.9 Indikasi Umum
a. Indikasi psikiatri
Skizofrenia merupakan indikasi utama dari obat antipsikotik, dimana obat
tersebut masih merupakan pilihan utama dan tidak tergantikan. Sayangnya kerja
obat ini kurang optimal, kebanyakan pasien menunjukkan perbaikan yang
minimal dan hampir tidak menunjukkan respon yang penuh terhadap pengobatan
dengan antipsikotik.3
Antipsikotik juga diindikasikan untuk gangguan skizoafektif dimana terdapat
dua gejala bersamaan yaitu skizofrenia dan gangguan afektif. Beberapa gejala
psikotik yang membutuhkan pengobatan dengan obat antipsikotik dimana juga
dikombinasikan dengan obat lain seperti antidepresan, lithium, dan asam
valproate. Episode manik dari gangguan afektif bipolar juga membutuhkan
pengobatan dengan obat antipsikotik. Penelitian terbaru menunjukkan keampuhan
monoterapi dengan antipsikosis atipikal di fase manik akut dan olanzapine juga
diindikasikan.3
Dewasa ini pengobatan manik dengan obat antipsikotik sudah tidak dianjurkan
meskipun pada pengobatan dengan dosis pemeliharaan, antipsikosis atipikal
masih diperbolehkan. Indikasi lain dari penggunaan obat antipsikosis yaitu
sindrom tourette, gangguan perilaku pada penyakit alzheimer dan dengan
antidepresan, depresi psikotik. Antipsikotik tidak diindikasikan terhadap
pengobatan bermacam-macam withdrawal syndromes, seperti kecanduan opioid.3
b. Indikasi nonpsikiatri
1. Pencegahan mual dan muntah yang hebat
Antipsikosis (umumnya proklorperazin) berguna untuk pengobatan mual akibat
obat. Semua antipsikosis kecuali mesoridazin, molindon, tioridazin, dan klozapin
mempunyai efek antiemetik.5
Domperidon diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah, efek obat ini
secara klinis sangat mirip metoklopramid, yaitu mencegah refluks esofagus
berdasarkan efek peningkatan tonus sfingter bagian bawah.5
2. Penggunaan lain
32
Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah laku
yang agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk pengobatan
cegukan yang menetap yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu.
Prometazin digunakan untuk pengobatan pruritus karena sifat-sifat
antihistaminnya.5
2.10 Efek Merugikan
Sebagian besar dari efek yang tidak diinginkan dari antipsikotik adalah
disebabkan oleh efek farmakologis obat antipsikotik tersebut. Hanya sebagian
kecil yang disebabkan oleh alergi dan reaksi idiosinkrasi.3
1. Efek terhadap perilaku
Sebagian besar obat antipsikosis tipikal dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan. Kebanyakan pasien menghentikan penggunaan karena efek
merugikan dimana dapat dikurangin dengan pemberian dosis yang tidak terlalu
besar. Pseudodepresi karena disebabkan oleh “drug induced akinesia” biasanya
berespon dengan pemberian obat antiparkinson. Sebab lain yaitu karena dosis
yang terlalu besar melebihi dari yang dibutuhkan pada pasien remisi dimana
pengurangan dosis akan diikuti pengurangan gejala. “Toxic-confusional states”
dapat terjadi dengan pemberian dosis besar dari obat tersebut.3
2. Efek neurologis
Gejala ekstrapiramidal timbul akibat blokade reseptor dopamine 2 di basal
ganglia (putamen, nukleus kaudatus, substansia nigra, nukleus subthalamikus, dan
globus palidus). Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan mekanisme dopaminergik
dan kolinergik sehingga sistem ekstrapiramidal terganggu. Paling sering
disebabkan antipsikotik tipikal potensi tinggi.2,3
Gejala ini dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Reaksi Distonia Akut (ADR)
Terjadi spasme atau kontraksi involunter akut dari satu atau lebih kelompok
otot skelet. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher,
lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara,
krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa. Reaksi distonia akut sering
sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan antipsikosis dimulai,
tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira -kira 10% osi, lebih
33
lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang
berpo tensi tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat
menjadi penyebab utama dari ketidakpatuhan pemakaian obat.2
b. Akatisia
Akatisia merupakan gejala ekstrapiramidal yang paling sering terjadi akibat
antipsikotik. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar osi terutama pada populasi
osi lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup, keinginan untuk
tetap bergerak dan sulit tidur . Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Hal ini menjadi salah satu
penyebab ketidakpatuhan pengobatan.2
c. Sindrom Parkinson
Merupakan gejala ekstrapiramidal yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis
pertama antipsikotik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan
bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi gaya berjalan membungkuk, hilangnya
ayunan lengan, akinesia, tremor dan rigiditas. Akinesia menyebabkan penurunan
spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal. Terkadang,
gejala ini dikelirukan dengan gejala negatif skizofrenia.2
d. Tardive Diskinesia
Manifestasi gejala ini berupa gerakan dalam bentuk koreoatetoid abnormal,
gerakan otot abnormal, involunter, mioklonus, balistik, atau seperti tik. Ini
merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan
defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di
putamen kaudatus. Prevalensi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pada
osi yang berobat lama. Sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% osi
memperlihatkan gerakan berat nyata. Faktor predisposisi meliputi umur lanjut,
jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang.2
3. Sistem saraf otonom
Sebagian besar pasien dapat mentoleransi efek antimuskarinik dari obat
antipsikotik. Namun jika terjadi efek samping yang tidak nyaman atau terjadi
retensi urin atau gejala lainnya yang lebih berat dapat diganti dengan preparat
tanpa efek anti muskarinik. Hipotensi ortostatik, gangguan ejakulasi akibat terapi
34
klopromazin atau mesoridazin harus diganti ke obat dengan efek blokade
adrenoreseptor minimal.3
4. Efek metabolisme dan endokrin
Berat badan bertambah sering terjadi pada pengobatan dengan anti psikosis
khususnya klozapin dan olanzapin dan membutuhkan monitor asupan makanan
terutama karbohidrat. Beberapa pasien juga memperlihatkan kadar glukosa darah
yang meningkat.hiperprolaktinemia pada wanita yang dapat mengakibatkan
sindrom amenore-galaktorea dan infertilitas. Pada pria kehilangan libido,
impotensia dan infertilitas dapat terjadi.3
5. Efek alergi dan toksisitas
Agranulositosis, jaundice akibat kolestasis, erupsi kulit jarang terjadi. Klozapin
dapat menyebabkan agranulositosis dalam jumlah kecil kira-kira 1-2%. Karena
resiko agranulositosis tersebut, pasien dengan terapi klozapin harus dilakukan
hitung jenis darah tiap minggu selama 6 bulan pertama dan setiap 3 minggu
setelah 6 bulan.3
6. Efek kardiotoksisitas
Thioridazin dengan dosis harian 300mg dapat menyebabkan abnormalitas
gelombang T yang reversibel. Overdosis thioridazin dapat menyebabkan
ventrikular aritmia, blok konduksi listrik jantung, dan kematian langsung.
Antipsikosis atipikal ziprasidon merupakan obat dengan kemungkinan terbesar
menyebabkan pemanjangan QT interval oleh karena itu jangan dikombinasikan
dengan obat lain seperti thioridazin, pimozid, dan quinidin yang mempunyai efek
serupa.3
7. Efek dismorfogenesis pada kehamilan
Meskipun obat antipsikosis terbilang aman pada kehamilan, namun masih
terdapat resiko minimal untuk efek teratogenik.3
8. Efek sindrom neuroleptik maligna
Neuroleptic malignant adalah suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi
serius dari penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini merupakan reaksi
idiosinkratik yang tidak tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom
tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal antipsikotik (phenotiazine, thioxanthene,
atau neuroleptikal atipikal). Biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama
35
setelah dimulainya pengobatan . SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72
jam setelah pemberian antipsikotik atau perubahan dosis (biasanya karena
peningkatan). Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis
yang luas dari ringan sampai dengan berat. Gejala disregulasi otonom mencakup
demam (biasanya hiperpireksia, >38°C), diaphoresis, tachipnea, takikardi dan
tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas,
disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas
motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma,
mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat
kesadaran.2,3
36
BAB III
KESIMPULAN
1. Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik
adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman.
Obat antipsikotik dapat juga disebut sebagai Neuroleptics, major tranquillizers,
ataractics, antipsychotics, atau antipsychotic drugs.
2. Antipsikotik bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan
mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku serta digunakan
untuk terapi gangguan psikiatrik. Selain itu, antipsikosis juga digunakan untuk
pengobatan psikosis lainnya dan agitasi.
3. Obat antipsikotik telah diklasifikasikan ke dalam kelompok tipikal dan atipikal.
Obat antipsikotik tipikal adalah antipsikotik yang menghasilkan efek samping
ekstrapiramidal pada dosis klinis efektif pada sebagian pasien. Obat
antipsikotik atipikal adalah antipsikotik dengan kecenderungan secara
signifikan lebih rendah untuk menghasilkan efek samping ekstrapiramidal pada
dosis klinis efektif.
4. Semua antipsikotik ini bekerja pada reseptor dopamin-2, tapi kerja antipsikotik
atipikal berbeda daripada antipsikotik tipikal (tipikal) dalam hal reseptor-
reseptor. Selain itu, antipsikotik atipikal juga memblok reseptor serotonin-2.
5. Indikasi obat antipsikotik terbagi dua, yaitu indikasi psikiatri dan indikasi non-
psikiatri.
6. Sebagian besar dari efek yang tidak diinginkan dari antipsikotik adalah
disebabkan oleh efek farmakologis obat antipsikotik tersebut. Hanya sebagian
kecil yang disebabkan oleh alergi dan reaksi idiosinkrasi.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik – Edisi III. Jakarta: 2007.
2. Rasdiana, A. Obat Antipsikotik Atipikal. Fakultas Kedokteran Universitas Hassanuddin, Makassar: 2011.
3. Octavianus S, Setiadi M, Kusuma RW. Efek Samping Ekstrapiramidal Pada Penggunaan Obat Antipsikotik. Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta: 2012.
4. Stahl, SM. Describing an Atypical Antipsychotic: Reseptor Binding and Its Role in Pathophysiology. Primary Care Companion J Clin Psychiatry, 5 Suppl 3, 2003: 9-13.
5. Magdalena AM, Adisti, Pratama FJ. Obat Antipsikotik. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung: 2011.
6. Suryakusumah, L. Antipsikotik. Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Gambut: 2010.
38