refer at

55
BAB I PENDAHULUAN Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan (Latief dkk, 2009). Obat untuk menghilangkan rasa nyeri terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran secara total. Seseorang yang megkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri di bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar. Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, yaitu hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional, yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan. Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun yang 1

Upload: titi-widya-lestari-kyu

Post on 09-Dec-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang

menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian

obat dengan tujuan menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu

kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan

pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan (Latief dkk, 2009).

Obat untuk menghilangkan rasa nyeri terbagi ke dalam dua kelompok,

yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai

hilangnya kesadaran secara total. Seseorang yang megkonsumsi analgetik tetap

berada dalam keadaan sadar. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya

kesadaran sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri di bagian

tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.

Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, yaitu

hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional, yaitu hilangnya rasa pada

bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau

saraf yang berhubungan.

Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar

selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun

yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena

dan gas yang dihirup. Tidur pasien yang mengalami anestesi umum berbeda dari

tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit atau

manipulasi bedah.

Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pasien

dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung.

Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Anestesi umum

diberikan oleh dokter yang terlatih khusus, yang disebut ahli anestesi, ataupun

bisa juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.

1

Page 2: Refer At

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI ANESTESI UMUM

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan berisfat pulih kembali atau reversibel.

Komponen anestesia yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi

otot. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan

yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi

menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan

kenangan yang tidak menyenangkan.

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi

untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan

dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum

mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi

klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.

B. TEORI ANESTESIA UMUM

1. Meyer dan Overton (1899) mengemukakan teori kelarutan lipid (lipid

solubility theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya

berhubungan langsung terhadap kelarutan dalam lemak. Semakin mudah

larut di dalam lemak, semakin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku

pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika

parenteral seperti pentotal.

2. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (the inert gas

effect). Potensi analgesia gas-gas yang lembab dan menguap terbalik

terhadap tekanan gas-gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia.

Jadi tergantung dari konsentrasi molekul-molekul bebas aktif.

3. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikro hidrat (the hidrate

micro-crystal theory). Obat anestetika berpengaruh terutama pada

interaksi molekul-molekul obatnya dengan molekul-molekul di otak.

2

Page 3: Refer At

4. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan

interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu

membran).

Banyak teori telah dikemukakan, tetapi belum ada keterangan yang

memuaskan bagaimana kerja obat anestetika. Obat anestetika yang masuk ke

pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama

terpengaruh oleh obat anestetika ialah jaringan yang kaya pembuluh darah

seperti otak, sehingga kesadaran menurun/hilang, serta hilangnya rasa sakit.

C. TANDA DAN STADIUM ANESTESI

Trias anestesi terdiri dari analgesia, hipnosis, dan arefleksia/relaksasi.

Tetapi tindakan anestesia tidak selalu mencakup ketiga komponen tersebut,

karena bergantung pada jenis pembedahan yang akan dilakukan. Komponen

anestesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari :

(1) Hipnotik, hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,

isofluran, sevofluran).

(2) Analgesia, analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID

tertentu.Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot

(muscle relaxant).

(3) Relaksasi otot, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya

tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi

anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita,

tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai

berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi

menjadi 4 stadium dengan melihat pernapasan, gerakan bola mata, tanda pada

pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi eter.

1. Stadium I

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak

diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi

kecil bisa dilakukan.

3

Page 4: Refer At

2. Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari

hilangnya kesadaran sampai napas teratur. Dalam stadium ini penderita

bisa meronta ronta, pernapasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya

positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi, tonus otot meninggi,

reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang

kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks

menelan dan kelopak mata dan selanjutnya napas menjadi teratur. Stadium

ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini

bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan

psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency

delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi.

3. Stadium III

Disebut juga stadium operasi atau pembedahan. Dimulai dari napas teratur

sampai paralise otot napas. Dibagi menjadi 4 plane:

- Plana I: Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.

Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.

Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),

lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot

menurun.

- Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan

paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume

tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi

napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks

cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin

menurun.

- Plana III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise

seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih

dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil

makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif,

reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.

4

Page 5: Refer At

- Plana IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise

diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernapasan

lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise

diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil

melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.

4. Stadium IV

Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium

over dosis atau stadium paralisis. Ditandai dengan hilangnya semua

refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan

circulatory failure.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM

Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum antara lain:

1. Faktor respirasi

Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam

paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial

tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membran

alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat anestesika, sehingga

tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri

pulmonaris. Hal- hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika

dalam alveolus adalah:

a. Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi

konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam

alveolus.

b. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat

meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada

hipoventilasi.

Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai

tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup maka

tekanan parsialnya semakin tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi

dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila

5

Page 6: Refer At

tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke

dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli

bila tekanan parsial di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila

pemberian obat anestesi dihentikan).

Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat terjadinya difusi.

Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan

sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan

ventilasi alveolus meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun

misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.

2. Faktor sirkulasi

Faktor sirkulasi terdiri atas sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Aliran

darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan

dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat

yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang

menurun. Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat

anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan

keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien

tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya

obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara

alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu

induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

a. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus

dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap

jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Semakin lama jaringan

tersebut menjadi jenuh, sehingga zat anestetika yang kembali ke paru-

paru dan vena lebih banyak. Akibatnya tekanan parsial dalam vena

semakin tinggi dan hal ini akan memengaruhi difusi zat anestetika

melalui membran alveolus

b. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika

dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam

6

Page 7: Refer At

keadaan seimbang. Bila zat anestetika mempunyai koefisien partisi

darah/gas rendah (kurang larut), konsentrasi alveolus akan meningkat

cepat tergantung ventilasi. Karena konsentrasi ini menentukan tekanan

zat anestetika dalam darah arteri, maka tekanan parsial dalam darah

pun naik dengan cepat, anestesia dapat cepat didalamkan dan zat

anestestika ini tergolong kuat (poten). Contoh N2O dan siklopropan.

Karena otak mendapat aliran yang banyak, maka tekanan parsial zat

anestetika dalam otak cepat naik sehingga pasien cepat kehilangan

kesadaran. Demikian pula waktu pulih sadar cepat. Makin tinggi nilai

koefisien partisi darah/gas makin lama diperlukan untuk mencapai

anestesia yang adekuat, masa pulihpun lebih lambat.

c. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak

aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang

diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi

lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

tingkat anestesia yang adekuat.

3. Faktor Jaringan

a. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan

jaringan

b. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesika, kecuali halotan

c. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

i. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal.

Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan

parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ

ini. Otak menerima 14% curah jantung.

ii. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.

iii. Lemak : jaringan lemak

iv. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relatif tidak ada aliran

darah diantaranya ligament dan tendon.

7

Page 8: Refer At

Penggolongan ini penting untuk zat anestetika yang kurang dapat

larut, misalnya N2O yang mula-mula akan memasuki jaringan kaya

pembuluh darah terlebih dahulu dan keseimbangan dalam alveolus dan

jaringan sedikit pembuluh darah ini tercapai dalam 10 menit, setelah itu

masuk kelompok lain.

4. Faktor zat anestesi

Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk

mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal

alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah

konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang

dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra

maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat

anestesi tersebut.

5. Faktor Lain

a. Ventilasi : zat anestetika dengan koefisien partisi darah/gas rendah, efek

ventilasi minimal terhadap kecepatan pendalaman anestesi. Pada

koefisien partisi gas/darah tinggi, makin besar ventilasi makin cepat

meninggi tekanan parsial dalam alveolus dan darah ini mempercepat

dalam anestesia

b. Curah jantung : zat anestetika dengan koefisien partisi gas/darah

rendah, efek terhadap curah jantung minimal. Pada zat anestetika

dengan koefisien partisi darah/gas tinggi, makin tinggi curah jantung,

makin lambat induksi dan kedalaman anestesia demikian sebaliknya.

c. Suhu : makin turun suhu makin banyak larut dalam darah makin banyak

zat anestetika masuk ke dalam darah, sehingga makin cepat dalam

anestesia (Joeneoerham dan Latief, 2004).

E. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI ANESTESI UMUM

Indikasi anestesi umum adalah:

1. Berpotensi gagal dalam mendapatkan kerja sama dengan pasien,

terutama pasien dengan kesulitan belajar.

8

Page 9: Refer At

2. Pasien memiliki fobia, terutama klaustrofobia berat.

3. Anak – anak

4. Pembedahan lama

5. Pembedahannya luas atau ekstensif

6. Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal

7. Pasien yang memilih anestesi umum

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).

Kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110),

DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Tergantung pada efek

farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada pasien dengan

gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat

hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang

mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau

dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang

diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat

yang memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat

yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf

simpatis pada penyakit diabetes karena dapat menyebabkan peningkatan

kadar gula darah.

F. OBAT-OBATAN ANESTESI UMUM

1. Premedikasi

Obat-obatan yang biasa digunakan untuk premedikasi, yaitu:

a. Obat golongan antikolinergik

Atropin diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,

antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan

menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja

setelah 10 – 15 menit.

9

Page 10: Refer At

b. Obat golongan hipnotik – sedatif

Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) diberikan untuk sedasi dan

mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan

secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3-

5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang

dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi

serta jarang menyebabkan mual dan muntah.

c. Obat golongan analgetik narkotik

i. Morfin

Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang

operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian

penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan

bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.

ii. Pethidin

Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk

menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.

Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca

bedah.

d. Obat golongan Transquilizer

Diazepam (Valium) merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian

dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis

premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

2. Induksi

a. Induksi Intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah

terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi

intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,

lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan

antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,

dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi

10

Page 11: Refer At

cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat yang sering

digunakan:

i. Benzodiazepine

Bersifat hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,

pelemas otot ringan, dan cepat melewati barier plasenta. Obat ini

dikontraindikasikan pada porfiria dan kehamilan. Dosis

benzodiazepine yakni Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV,

Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.

ii. Propofol

Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.

Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan

pemberian barbiturat secara intravena, dan waktu pemulihan yang

lebih cepat. Dosis propofol yakni 2 – 2,5 mg/kg IV.

iii. Ketamin

Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.

Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian

jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien

resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2

mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 – 10 mg/kgBB.

iv. Thiopentine Sodium

Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan

dalam air menjadi larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian

thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi

anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.

Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan

napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

b. Induksi Inhalasi

Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi memiliki sifat:

1) Tidak berbau menyengat / merangsang

2) Baunya enak

3) Cepat membuat pasien tertidur

11

Page 12: Refer At

Obat-obat yang sering digunakan untuk induksi inhalasi antara lain:

1) N2O

Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak

berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya

tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja,

tekanan penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai

efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen

efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk

mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% .gas ini sering

digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu

kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi

kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk

mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan

secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses

persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk

anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain.

2) Halotan

Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah

terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan

oksigen.Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium,

aluminium, brom, karet dan plastic.Karet larut dalam halotan,

sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian

obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek

analgesik halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya

baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi

sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %).

Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.

3) Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara

kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.

Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara

12

Page 13: Refer At

yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan napas dan

batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi

dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan

bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk

intubasi. Kemungkinan timbul aritmia amat kecil sebab isofluran

tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap ketokolamin.

Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan

pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg

morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia

diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi

dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran

tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.

Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1

MAC (Minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan

intrakranial.

4) Sevofluran

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling

disukai untuk induksi inhalasi.

5) Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi

napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas

sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

6) Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih

iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat

disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek

relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan

3. Maintenance

Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara

intravena (anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan

13

Page 14: Refer At

campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada

trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia

cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri

dan relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis

tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan

pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan

relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan

opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12

mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan

opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru

digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.

G. TEKNIK-TEKNIK ANESTESI UMUM

a. Teknik anestesi napas spontan dengan sungkup muka

Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka

rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.

Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata

hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan

atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas

bebas dan pernapasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2

L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan

dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3

atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi

dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan

terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia

sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel).

Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap

rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit

sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita

14

Page 15: Refer At

diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi (Latief dkk,

2009).

b. Teknik anestesi napas spontan dengan pipa endotrakea

Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan napas bebas

pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat dilakukan

intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada

kebocoran pada waktu melakukan napas buatan dengan balon napas.

Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk

terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di esofagus. Pipa endotrakea

di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak

tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea

tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor

pada sirkuit napas alat anestesi (Latief dkk, 2009).

c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan napas kendali

Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Napas

dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan

respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan

frekuensi 10/14 per menit. Apabila napas dikendalikan secara manual,

harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris.

Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan

napas spontan dengan membantu usaha “napas sendiri” secara manual.

Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O

dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan

setelah napas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2

diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi (Latief

dkk, 2009).

d. Ekstubasi

Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak

disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan napas,

hipoksia sianosis (Latief dkk, 2009).

15

Page 16: Refer At

e. Pasca Bedah

Pasien harus diobservasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi)

sesudah opersais dan anestesi selelsai sewaktu masih di kamar bedah dan

kamar pulih. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau

karena hipoksia (tekananan darah menuruh, nadi cepat) misalnya karena

hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Bila

kesakitan harus segera diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena,

tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya

dengan menambah cairan elektrolit (ringer laktat), koloid (dekstran) atau

darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar betul. Pasien

hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan

napas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.

H. PROSEDUR ANESTESI UMUM

1. Persiapan pra anestesi umum

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif

maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan

anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi.

Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari

sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih

singkat (Latief dkk, 2009).

Tujuan kunjungan pra anestesi:

a. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan

melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan

pemeriksaan penunjang lainnya.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai

keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang

mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.

c. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,

dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of

Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.

16

Page 17: Refer At

2. Persiapan pasien

a. Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau

melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat

mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.

Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

1) Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan.

2) Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin

dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi,

diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,

pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark

miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan

penyakit ginjal.

3) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin

menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya

kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika

golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,

diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,

bronkodilator.

4) Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu,

berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami

komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif

pasca bedah.

5) Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi

jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,

tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui

apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek

dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan

rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh

17

Page 18: Refer At

dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua

sistem organ tubuh pasien (Latief dkk, 2009).

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan

lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4

gradasi (Latief dkk, 2009):

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior orofaring, pilar

tonsil

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula

Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya

diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

Gambar 1.(a) Klasifikasi Malampati, dan (b) Laringoskopi berdasarkan

Klasifikasi Cormack dan Lehane

18

Page 19: Refer At

c. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang

mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat

untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,

masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien

di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.

Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang

harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik

anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi

tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia.

Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan

dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat

kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan

anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu

pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

d. Kebugaran untuk anestesi

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk

menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi

cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

e. Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko

utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral

(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien

dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4

jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi

19

Page 20: Refer At

anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan

untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1

jam sebelum induksi anesthesia.

f. Klasifikasi status fisik

Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American

Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien

ke dalam 6 kelompok atau kategori sebagai berikut (Latief dkk, 2009):

1) ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

2) ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

3) ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas.

4) ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman kehidupannya setiap saat.

5) ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

6) ASA VI : Pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati

otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk

kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang

membutuhkan

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito)

dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I

E atau II E.

g. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan

bangun dari anesthesia diantaranya (Latief dkk, 2009):

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Memperlancar induksi anesthesia

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik

20

Page 21: Refer At

5. Mengurangi mual muntah pasca bedah

6. Menciptakan amnesia

7. Mengurangi isi cairan lambung

8. Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada

situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat

membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda

kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam

sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat

diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan

pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat

diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600

mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan

premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg

atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz) (Latief dkk, 2009).

3. Persiapan peralatan anestesi

Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan

anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih

berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita member anesthesia yang lancar

dan aman (Latief dkk, 2009).

a. Mesin anestesi

Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau

campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang

kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari

pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari

yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang

aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:

1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat

21

Page 22: Refer At

2. Ruang rugi (dead space) minimal

3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien

4. Bertekanan rendah

5. Kelembaban terjaga dengan baik

6. Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:

1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.

Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin

anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar

biasanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara sentral

untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan,

ruang obstetrik, dll.

2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)

Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas

O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)

3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)

Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi,

sesuai karakteristik mesin anestesi.

4. Meter aliran gas (flowmeter)

Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.

5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)

Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.

6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)

7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)

Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni

sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

22

Page 23: Refer At

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna

khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode

warna internasional yang telah disepakati ialah:

Tabel 1. Kode Warna Internasional

Oksige

n

N2

O

Udara CO2 Halota

n

Enflura

n

Isoflura

n

Desflura

n

Sevoflura

n

Putih Biru Putih-

hitam

kunin

g

Abu

-abu

Merah Jingga Ungu Biru kuning

b. Sirkuit anestesi

Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi

ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan

oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup

membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau

dengan menghisapnya dengan kapur soda.

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:

1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea

2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring

valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)

3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)

Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti

tertekuk

4. Kantong cadang (reservoir bag)

5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).

Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan

gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm

H2O. Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar

(circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan sistem pipa T atau pipa

Y dari Ayre.

23

Page 24: Refer At

c. Sungkup muka

Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen

atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan

sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang

diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam

dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.

Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan

jalan napas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat

berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup

tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar

sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi

dengan gerakan dada minimal dan suara pernapasan menandakan

obstruksi jalan napas.

Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada

badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari

tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi

sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang

dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting

untuk ventilasi pasien.

d. Endotracheal tube (ETT)

ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara

langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol.

Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi

terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga

dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.

Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter

internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter

internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

24

Page 25: Refer At

e. Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)

LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT

saat pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT

pada pasien dengan jalan napas sulit dan membantu ventilasi saat

bronkoskopi.

Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan

dengan insersi jalan napas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien

dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh

seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyaki jalan napas

restriktif.

4. Induksi Anestesi

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar

menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan

pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung

dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan

selesai.

Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan

dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan

gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan

induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:

S : Scope

Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop

untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas serta melihat

daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita suara dan trakea.

Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.

Lampu harus cukup terang. Ada dua jenis laringoskop, yaitu:

a. Blade lengkung (Macintosh). Biasa digunakan pada laringoskopi

dewasa. Paling sering digunakan untuk tindakan intubasi karena kurang

25

Page 26: Refer At

traumatis dan lapangan pandangan luas serta kemungkinan timbul

refleks vagal berkurang.

b. Blade lurus (Miller, Magill). Biasa digunakan oleh ahli THT pada

waktu laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi.

T : Tubes

Pipa trakea. Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung

ke dalam trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan

usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). Laryngeal mask airway (LMA).

Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask

atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien

dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan

dukungan ventilasi mekanik jangka panjang. LMA terdiri dari 2 macam :

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan

pipa tambahan dengan ujung distal yang berhubungan dengan

esophagus

Gambar 2. Laryngeal Mask Airway (LMA)

A : Airway

26

Page 27: Refer At

Pipa mulut-faring (Guedel,oropharygeal airway) dan pipa hidung-

faring (naso-pharyngeal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien

tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

a. Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)

Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding

belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas

spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan

mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT)

(a)

(a) (b)

Gambar 3. (a) Oral pharyngeal airway dan (b) Nasopharyngeal airway

b. Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)

Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan

napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin memasang alat

bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan

cedera berat daerah mulut).

c. Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas

anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas pasien.

T : Tape

Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I : Introducer

Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa

endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mcgill)

digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa

nasogastrik melalui orofaring.

27

Page 28: Refer At

C : Connector

Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction

Penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya

Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,

intramuskular, atau rektal.

a. Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi

sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi

intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,

lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan

antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,

dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi

cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan

kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena

menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan

dewasa muda sehat dosis tinggi.

Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1%

menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering

menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan

lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.

Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca

anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu

sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam

(dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan

darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan

pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.

b. Induksi intramuskular

28

Page 29: Refer At

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan

secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit

pasien tidur.

c. Induksi inhalasi

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau

sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum

terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O

dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran

N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%

sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi

halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi

sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih

disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan

dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan

konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran

(etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena

pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.

d. Induksi per rektal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu

mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

5. Rumatan anestesi (maintenance)

Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena

(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran

intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi

yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,

29

Page 30: Refer At

diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan

relaksasi otot lurik yang cukup (Latief dkk, 2009).

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis

tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien

tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi

pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis

biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.

Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,

pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan

inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1

ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4

vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas

spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled) (Latief dkk,

2009).

I. POST ANESTESI UMUM

Setelah melewati prosedur pembedahan, pasien dirawat di Post

Anesthesia Care Unit (PACU), dan dinilai tingkat pulih-sadarnya untuk

kriteria pemindahan ke ruang perawatan biasa berdasarkan skor Aldrete. Jika

skor Aldrete 9 atau 10 maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan

biasa (Eulianto dkk, 2011).

Tabel 2. Skor Aldrete

30

Page 31: Refer At

Sedangkan pada anak digunakan skor Steward untuk menentukan

dipindahkannya pasien dari PACU ke ruang perawatan biasa. Jika skor

Steward lebih dari 5, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan

biasa.

Tabel 3. Skor Steward

Pergerakan gerak bertujuan

gerak tak bertujuan

tidak bergerak

2

1

0

Pernafasan batuk, menangis

Pertahankan jalan nafas

perlu bantuan

2

1

0

Kesadaran Menangis

Bereaksi terhadap rangsangan

Tidak bereaksi

2

1

0

J. KOMPLIKASI ANESTESI UMUM

1. Komplikasi Anestesi Umum :

31

Page 32: Refer At

a. Selama Induksi :

1) Suntikan keluar dari vena. Cara mengatasinya yaitu dengan

menghentikan suntikan dan cari vena lain.

2) Batuk dan laring spasme. Cara mengatasinya yaitu dengan

menghentikan narkose, beri O2 sampai sianosis hilang dan respirasi

rate normal kembali.

3) Sumbatan jalan napas. Bunyi snoring dapat diatasi dengan menarik

dagu pasien ke depan dan ke belakang.

4) Muntah. Cara mengatasinya yaitu dengan memposisi kepala pasien

menjadi miring, meja dalam posisi Trendelenberg.

b. Selama narkose dan operasi

1) Gangguan Airway (tanda sianosis): depresi pernapasan, sumbatan

jalan napas, pangkal lidah yang jatuh ke belakang, kelainan di dalam

faring, laring spasme, bronchospasme.Tanda-tanda lain : kulit panas,

merah + berkeringat, TD meningkat, takikardi, RR cepat dan dalam,

perdarahan yang difus dari luka operasi

2) Komplikasi sistem kardiovaskular

a. Perubahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi)

b. Perubahan irama denyut jantung (takikardi,bradikardi,aritmia)

3) Komplikasi saluran pencernaan : muntah, regurgitasi, distensi

4) Komplikasi lain : kornea mata luka karena masker/kap/duk operasi;

kelumpuhan ekstremitas; gigi rontok, mulut dan bibir luka; kulit

terbakar karena pemakaian diatermi dan retensi urin.

32

Page 33: Refer At

BAB III

KESIMPULAN

Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesia

yang ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.

Sebelum dilakukan anestesi, perlu dilakukan persiapan pre-anestesi, yaitu

persiapan mental dan fisik pasien yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, selain itu juga perencanaan anastesia, merencanakan

prognosis, serta persiapan pada hari operasi.

Cara pemberian anestesi umum dapat berupa parenteral yaiu melalui

intramuscular atau intravena, per rektal, dan melalui inhalasi. Teknik anestesi ada

bermacam-macam yaitu teknik anestesi spontan dengan sungkup muka, teknik

anestesi spontan dengan pipa endotrakel, serta teknik anestesi pipa endotrakeal

dan napas kendali.

33

Page 34: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologists (ASA), ASA Physical Status Classification

System, diakses dari www.asahq.org pada tanggal 9 Mei 2015.

Dachlan R. Farmakologi Obat-Obat Anestesia Inhalasi. Dalam: Muhiman, M.,

Latief, S.A., Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.

Eulianto, TY, dkk, 2011, Essential Anesthesia: From Science to Practice, Second

Edition, Cambridge: Cambridge University Press.

Joenoerham J., Latief SA. Anestesia Umum. Dalam: Muhiman, M., Latief, S.A.,

Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.

Latief, S.A., Suryadi, K.A., 2009, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mahadevan, SV, dan Garmel, GM, 2005, An Introduction to Clinical Emergency

Medicine, Cambridge: Cambridge University Press.

Muhiman M, Latief SA, Basuki G. 2004, Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.

34

Page 35: Refer At

Satoto, D., Thaib M.R. Obat Anestetika Intravena. Dalam: Muhiman, M., Latief,

S.A., Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.

35