lapkas fix ovi _ intoxikasi organofosfat

Upload: riennovia

Post on 10-Mar-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

lapkas

TRANSCRIPT

I. Pendahuluan

1. Intoksikasi Organofosfat Menurut Taylor, racun (toksik) adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian1.Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktur dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948.Golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan.Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf3,4II. Laporan Kasus1. IdentitasNama

: Tn. IUmur

: 35 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-lakiSuku

: JawaStatus

: SMPAgama

: Islam

Alamat

: Babat, kab. LamonganTanggal Periksa: 3 Oktober 20152. Anamnesa (alloanamnesa)a. Keluhan Utama

Muntah > 5x setelah meminum pembasmi hama sejak 30 menit yang lalub. Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang diantar oleh petugas Puskesmas dan keluarga dengan keluhan Muntah > 5x setelah meminum pestisida sejak 30 menit yang lalu. Muntah berupa makanan bercampur butiran hitam. Muntah tidak disertai dengan adanya darah. Keluarga pasien mengatakan 5 menit setelah muntah pasien menjadi tidak sadar dan keluar ludah terus menerus dari mulutnya. Keluarga Pasien mengatakan pasien sedang memiliki permasalahan keluarga sehingga selama beberapa hari sebelumnya terlihat murung.

Keluarga pasien juga mengatakan bahwa pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Keluarga pasien mengatakan sudah membawa pasien ke puskesmas terdekat sebelum dirujuk ke rumah sakit.

c. Riwayat Penyakit KeluargaDi Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.d. Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. 3. Pemeriksaan Fisika. Status Generalisata Keadaan Umum: Tampak Sakit berat Kesadaran

: Sopor ( GCS E1 Vx Mx ) Vital Sign

Tekanan Darah: 220 / 110 Nadi

: 120 x/m Respirasi

: 30x / menit Suhu

: 36,7 Sp02

: 48 % Kepala

: Mata : CA (-/-) , SI (-/-) , isokor (+/+) Pupil 2Kulit : Teraba dingin, berkeringat (+)4. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin : Hb : 9,6 %

Leukosit : 37.700 /mm3

Trombosit : 808.000 / mm35. Diagnosa BandingIntoksikasi Organofosfat

Intoksikasi insektisida6. Diagnosa KerjaIntoksikasi Organofosfat7. Penatalaksanaana. Stabilisasi Airway : bebaskan jalan nafas ( Suction Saliva)Breathing : O2 via NRM 6-10 lpm

Circulation : IVFD RL Loading 1000ml

b. Dekontaminasi

Bilas Lambung c. Antidotum

Antimuskarinik :

Sulfas Atropin dosis 1-2 mg i.v ( cek pupil dalam 5 menit)

5 menit kedua : Sulfas Atropin dosis 0,5 mg i.v ( perhatikan atropinisasi) 5 menit ketiga dst : sulfas atropine dosis 0,5 mg i.v hingga ada tanda atropinisasi

Jam 12.00 WIB : Pasien mengalami Apneu >> RJP 2 siklus ( denyut nadi lemah Pernapasan (+) )

Jam 12.10 WIB : Pemberian Sulfas Atropin 0,5 mg tiap 5 menit hingga muncul tanda atrpinisasi

Jam 12.55 : pasien mengalami cardiac arrest >> RJP 2 siklus ( Heart Rate (-) , Respirasi (-) , Pupil Midriasis TOTAL ) >>> Pasien meninggal

8. PrognosisQuo ad vitam

: MalamQuo ad functionam: MalamIII. DiskusiA. Definisi

Intoksikasi adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama.

Toksin masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu :

Penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit

Terhisap bersama udara pernafasan ( inhalasi )

Ditelan ( per oral atau digesti )Racun Pestisida dapat digolongkan sebagai berikut :a. Insektisida

Organoklorin : insektisida chlorinated hydrocarbon secara kimia tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif. Racun terhadap susunan saraf baik pada serangga maupun mamalia. Derivate chlorethane : DDT

Derivate cyclodiene : thiodane, endrim, dieldrine, chlordane, aldrin, heptachlor, toxapene

Derivate hexachlorcyclohexan : linden, myrex

Organofosfat : pestisida yang merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik. Pestisida golongan organofosfat makin banyak digunakan karena sifat -sifatnya yang menguntungkan bagi para petani. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resisten pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut dan juga racun pernapasan. Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Oleh karena itu, keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan secara terus - menerus pada saraf. Keracunan ini dapat terjadi melalui mulut, inhalasi dan kulit. Efek memblokade penyaluran impul syaraf dengan cara mengikat enzim asetilkolin esterase. DFP, TEPP, parathion, diazinon, fenthoin, malathion Carbamat : carbaryl, aldicarb, propaxur, mobam

Pyrethroid and pyrethrine : transflutrin

b. Herbisida

c. Fungisida

d. Rodentisida

Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan di rumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga pengganggu lainnya. Di lain pihak, pestisida secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang baik disengaja maupun tidak. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalahgunakan ( bunuh diri ).

Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida banyak digunakan di Negara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan di Negara yang sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida adalah sebagai berikut :

Amerika Serikat 45%

Eropa Barat 25%

Jepang 12%

Negara berkembang lainnya 18%

B. Patofisiologi

Organofosfat menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf. Fungsi normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan cara demikian tidak mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan mekanisme toksisitas memerlukan pengetahuan lebih dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh). Reseptor muskarinik dan nikotinik-asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer.

Asetikolin Asetat + Kholin

Asetilkholinesterase adalah enzim yang berfungsi agar asetilkholin terhidrolisis menjadi asetat dan kholin. Organofosfat mampu berikatan dengan sisi aktif dari enzim ini sehingga kerja enzim ini terhambat. Akibatnya jumlah asetilkholin dalam sipnasis meningkat sehingga menimbulkan stimulasi reseptor possinap yang persisten. Asetilkholin terdapat di seluruh sistem saraf, terutama sekali asetilkholin berperan penting pada sistem saraf autonom. Senyawa ini berperan sebagai neurotransmiter pada ganglia sistem saraf simpatik dan parasimpatik, yang mana senyawa ini berikatan dengan reseptor nikotinik. Inhibisi kholinesterase pada ganglia sistem saraf simpatik dapat menimbulkan midriasis, takikardi, dan hipertensi. Sedangkan, penghambatan kholinesterase pada ganglia sistem saraf parasimpatik menimbulkan efek miosis, bradikardi, dan salivasi.

Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting toksisitas insektisitada organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada dua bentuk AChE yaitu true cholinesterase atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular junction. Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada serum, plasma dan hati.

Insektisida organofosfat menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfugnsi menghidrolisa neurotransmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan ACh pada sinaps- sinaps kolinergik, dan inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan organofosfat.

C. Manifestasi Klinik Keracunan

Tanda dan Gejala

Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten. Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin muskarinik.

Gambaran Klinis :

1. Mata : penglihatan kabur, miosis

2. Sekresi : hyperhidrosis, hipersalivasi, hipersekresi bronkus

3. Pencernaan : mual, muntah, diare, sakit perut

4. Pernafasan : batuk, sesak nafas

5. Kardiovaskular : bradikardi dan hipotensi

6. SSP : sakit kepala, konvulsi, delirium

7. Otot : lemah, fasikulasi

Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan meningkatkan kegagalan pernafasan. Aritmia jantung seperti hearth block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian.

Untuk penegakan diagnosis, maka diperlukan autoanamnesis dan alloanamnesis yang cermat. Selain itu, diperlukan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan berat ringannya gejela klinis terutama jika pasien datang dalam keadaan tidak sadar. Penilaian klinis paling awal dan paling penting adalah status kesadaran. Alat ukur kesadaran yang digunakan adalah menggunakan skor GCS. Apabila pasien tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun maka diagnosis keracunan dapat dilakukan pereksklusionam dari semua penyebab penurunan kesadaran seperti meningoensefalitis, trauma, perdarahan subarachnoid/intracranial, perdarahan subdural atau ekstradural hematom, hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum, uremia dan ensefalopati.

Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi nafas, dan denyut jantung mungkin dapat membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran.

Pemeriksaan penunjangAnalisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin, hal ini selain untuk membantu penegakan diagnosis, juga berguna untuk kepentingan penyelidikan polisi pada kasus kejahatan. Sampel yang dikirim adalah 50 mL urin, 10 mL serum, dan fesees.

Selain itu, pemeriksaan penunjang yang juga diperlukan pada pasien yang dicurigai mengalami keracunan atau intoksikasi adalah :

1. Laboratorium Klinik

Analisis gas darah

Darah lengkap

Serum elektrolit

Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal

Sedimen urin

Pemeriksaan ini berguna untuk melihat dampak keracunan dan dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis penyebab keracunan seperti keracunan obat atau keracunan makanan.

2. EKG

EKG perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti dengan gangguan irama jantung dapat berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, takikardi supraventrikuler, ventrikel takikardi, torsade de pointes, fibrilasi ventrikel dan lainnya.

3. Pemeriksaan Radiologi

Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.

PenatalaksanaanSecara umum penatalaksanaan pada kasus keracunan atau intoksikasi adalah sebagai berikut :1. Stabilisasi

Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dapat dilakukan secara cepat dan tepat berupa:

Pembebasan jalan nafas

Perbaikan fungsi pernafasan ( ventilasi dan oksigenasi )

Perbaikan sistem sirkulasi darah

2. Dekontaminasi

Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena racun yaitu :

Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat nafas, berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu ventilator.

Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun dengan cara posisi kepala ditengadahkan dan miring ke sisi mata yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak mata secara pelahan dan irigasi larutan akuades atau NaCl 0,9% perlahan sampai zat racunnya diperkirakan hilang, selanjutnya tutup mata dengan kassa steril dan konsul dokter spesialis mata.

Dekontaminasi kulit dengan melepaskan semua pakaian dan aksesoris, kemudian cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalirdan disabun minimal 10 menit.

Dekontaminasi gastrointestinal merupakan rute pemaparan paling sering. Tindakan pemberian bahan pengikat ( karbon aktif ), pengenceran atau pengeluaran isi lambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kubah lambung diharapkan dapat mengurangi jumlah paparan zat toksik.

3. Eliminasi

Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah atau dalam saluran GIT setelah lebih dari 4 jam. Apabila masih dalam saluran cerna dapat digunakan pemberian arang aktif yang diberikan 30-50 gram ( 0,5-1 gr/kgBB ) setiap 4 jam peroral/perenteral.

4. Antidotuma)AntimuskarinikAgen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea. Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,02mg yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin. b)OximeOxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (2 g iv load diikuti 1g/jam selama 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator. Dosis yang direkomendasikan WHO, minimal 30mg/kg iv bolus diikuti 8mg/kg/jam dengan infus. Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.Pada kasus keracunan, tujuan utama penanganan adalah segera membuang racun yang belum terserap, mencegah penyerapan lebih lanjut, menetralisir racun yang sudah terlanjur ada di dalam tubuh, membuang racun yang sudah terlanjur beredar di dalam tubuh. Pemakaian karbon (activated charcoal) atau lebih dikenal sebagai Norit, pada kasus keracunan lebih bijaksana dibanding susu. Karbon memiliki sifat sebagai penyerap / adsorbent dengan cara mengikat racun. Namun tidak semua racun dapat diserap oleh karbon. Material korosif, alkohol, kalium, besi, lithium adalah contohnya. Pada kasus overdosis obat-obatan, karbon sangat bermanfaat sebagai pertolongan pertama untuk mencegah penyerapan racun. Pemberian karbon harus hati-hati. Korban harus dipastikan sadar penuh dan mampu menjaga jalan nafas.Karena racun yang telah masuk dalam tubuh bias saja telah terjadi penyerapan, diperlukan observasi lebih lanjut untuk mengetahui apakah telah mengakibatkan gangguan pada organ tubuh atau tidak. Untuk memantau sejauh apa racun telah mengganggu sistem organ, diperlukan pemantauan terhap fungsi hati, ginjal dan jantung. Sehingga diperlukan pemeriksaan darah terhadap fungsi hati dan ginjal. Sedangkan fungsi jantung dapat dilihat dari EKG secara berkala.DAFTAR PUSTAKA1. Munim, Abdul. Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Binarupa Aksara . Jakarta : 1997. Hal 329-46

2. Asti, Yodenca. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. 2008. 3. Joseph Fenton. Insecticides In : Toxicology A case-Oriented Approach. CRC Press. Washington D.C : 2002.

4. Philip Wiliiams, dkk. Properties and Effects of Pesticides In : Priciple of Toxicology. A Wiley Interscience Publication. New York. 2000. Hal. 345-51

5. Sari Lubis, Halinda. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Keracunan Pestisida Golongan Organofosfat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2002.

6. Hodgson Ernest. A Textbook of Modern Toxicology. A John Wiley & Sons, Inc Publication. New Jersey. 2004. Hal. 54-647. Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences.Jakarta. 2008. Hal 35-9

8. Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Munim A Sidhi, Hertian S, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. Hal. 121-8asetilkolinesterase

5