studi biomarker dalam kasus keracunan kronik pestisida organofosfat

22
Makalah Kimia Forensik “Investigasi Berdasarkan Studi Biomarker Dalam Kasus Keracunan Kronik Pestisida Organofosfat” Disusun Oleh : Nia Yonita Yetri 1206216273 Kimia Reguler Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Upload: nia-yonita-yetri

Post on 26-Sep-2015

81 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

forensik science

TRANSCRIPT

Makalah Kimia ForensikInvestigasi Berdasarkan Studi Biomarker Dalam Kasus Keracunan Kronik Pestisida Organofosfat

Disusun Oleh :

Nia Yonita Yetri1206216273

Kimia Reguler

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia

2015

Kata Pengantar

Puji dan syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Dalam makalah ini penulis membahas permasalahan mengenai Investigasi Berdasarkan Studi Biomarker Dalam Kasus Keracunan Kronik Pestisida Organofosfat.

Dalam menyelesaikan makalah ini,penulis tentunya telah dibantu oleh berbagai pihak baik itu berupa bantuan, kritik, dan saran. Oleh karena itu, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen-dosen pengajar mata kuliah Kimia Forensik.

Penulis juga menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap makalah ini dapat berguna untuk berbagai pihak. Namun diharapkan mampu dijadikan sumber referensi dan mendapatkan penilaian yang baik.

Depok, 28 April 2015

Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar

2

Daftar Isi

3

BAB I Pendahuluan

4

1.1 Latar Belakang

4

BAB II

42.1 Ilmu Forensik Science

4BAB III

5

3.1 Deskripsi Mengenai Ilmu forensik

5BAB IV

64.1 Pestisida Organofosfat

6

4.2 Kasus Keracunan Kronik Pestisida Organofosfat

64.3 Efek Keracunan Pestisida Organofosfat8BAB V

85.1 Pentingnya Biomarker dalam Investigasi Keracunan

85.2 Aktivitas Asetilkolinesterase Darah sebagai Biomarker Keracunan Pestisida Organofosfat

95.3 Metode Deteksi Terhadap Keracunan Pestisida Organofosfat

12BAB VI Penutup

136.1 Kesimpulan

136.2 Saran

14Daftar Pustaka

15Investigasi Berdasarkan Studi Biomarker Dalam Kasus Keracunan Kronik Pestisida Organofosfat

BAB IPendahuluan1.1 Latar Belakang

Sekarang ini terdapat banyak kasus yang sulit terungkap, baik kasus pencemaran lingkungan maupun kasus peracunan. Yaitu yang seringkali terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti kasus keracunan di Magelang, kasus kematian Munir, serta kasus peracunan makanan yang seringkali terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Hal yang membuat berbagai kasus tersebut tidak terungkap ialah dengan kurang lengkapnya data yang diperlukan untuk mampu membuktikan apa penyebabnya. Serta kurangnya pemahaman mengenai hal-hal yang diperlukan untuk membuat suatu kesimpulan mengenai kasus terkait peracunan dan pencemaran lingkungan. Seiring dengan adanya perkembangan disiplin ilmu Toksikologi Modern, maka dapat membantu mengungkap kasus-kasus tersebut melalui investigasi berdasarkan pemahaman perilaku zat penyebab keracunan, sumber pencemaran, metode pengambilan sampel dan analisa, interpretasi data terkait dengan efek yang timbul serta bukti- bukti lain yang tersedia.

BAB II2.1 Ilmu Forensik dan Science

Toksikologi berasal dari kata Yunani, yaitu toxicos dan logos. Merupakan studi mengenai perilaku serta dampak yang merugikan dari suatu zat terhadap mahluk hidup. Toksikologi forensik, adalah penerapan Toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran. Toksikologi forensik merupakan ilmu investigasi kasus atau pencarian bukti masalah keracunan dan bagian ilmu Toksikologi Modern dalam mengkaji perilaku zat racun dan keberadaan zat racun dalam sistim mahluk hidup serta perilaku dalam lingkungan.Sedangkan berdasarkan aplikasinya menurut LOOMIS pada tahun 1978, toksikologi dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi forensik. Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang forensik science. Dimana tosikologi forensik memfokuskan pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi dalam kepentingan peradilan.

BAB III

3.1 Deskripsi Berdasarkan llmu ForensikTujuan ilmu forensik untuk mempelajari mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis makhluk hidup, dimana merupakan aplikasi untuk penegakan hukum dan keadilan. Selain itu dengan adanya ilmu forensik, mampu memperoleh dan menginterpretasi data dan bukti-bukti yang ditemukan. Misalnya seperti pemahaman perilaku zat, sumber penyebab keracunan/pencemaran, metode pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait dengan gejala/efek atau dampak yang timbul serta bukti-bukti lainnya yang tersedia.

Peranan utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik fisical evidance dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis. Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara teknis dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana. Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik, fisika forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi forensik, dan entomogoli forensik. Cara untuk membuktikan adanya suatu kasus ialah harus dengan dilakukannya investigasi, sehingga nanti akan adanya catatan mengenai gejala fisik, dan adanya bukti apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kriminal/kejahatan yang dapat mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti botol obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik (bahan kimia) apapun yang ditemukan. Dengan informasi tersebut serta sampel yang akan diteliti, ahli toksikologi forensik harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, dalam konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin terjadi akibat zat toksik tersebut terhadap korban.BAB IV4.1 Pestisida Organofosfat

Pestisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak, memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Berdasarkan jenis bentuk kimianya, pestisida golongan insektisida dapat dikelompokkan menjadi organofosfat, karbamat, organoklorin, dan pyretroid. Pestisida golongan organofosfat merupakan insektisida yang banyak digunakan. Pestisida golongan ini mempunyai sifat-sifat

sebagai berikut:

1) Efektif pada serangga yang resisten terhadap chlorinated hydrocarbon

2) Tidak menimbulkan kontaminasi untuk jangka waktu yang lama pada lingkungan

3) Kurang mempunyai efek yang lama terhadap organisme yang bukan target

4)Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika dibandingkan dengan organoklorin

5) Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim kolinesterase.

Sedangkan pengelompokan pestisida organofosfat dibagi menjadi 3 (tiga)

kelompok yaitu:

Malathion, yang termasuk malathion adalah diklorvos, dimetoat, malathion, neled, trikorifon, dan monokrotofos

Parathion, yang termasuk parathion adalah termofos (abate), feneton (baytek/entek), dan rabon (gardona)

Diazinon, yang termasuk diazinon adalah klorpirifos, koumafos, metamidofos, dan asefat.

4.2 Kasus Keracunan Kronik Pestisida OrganofosfatPeningkatan sektor pertanian sangat dibutuhkan dalam mencukupi kebutuhan akan pangan hingga berperan dalam peningkatan perekonomian nasional melalui hasil ekspornya. Disisi lain peningkatan tersebut memerlukan berbagai sarana yang mendukung agar dapat dicapai hasil yang memuaskan. Salah satu sarana yang mendukung peningkatan hasil di bidang pertanian adalah pestisida yang berfungsi sebagai pengendali jasad penganggu tanaman. Dalam kurun waktu yang cukup lama ternyata pestisida ibarat tombak yang bermata dua. Disatu sisi pestisida mampu membantu meningkatkan kesejahteraan manusia, akan tetapi disisi lain pestisida adalah racun yang merusak manusia dan lingkungan. Peningkatan penggunaan pestisida untuk pertanian terjadi karena dalam keadaan tertentu ternyata pestisida lebih efektif, praktis, dan lebih cepat mengendalikan jasad penganggu sedangkan cara-cara lain tidak selalu mudah dilakukan. Petani sebagai kelompok pekerja yang sering terpapar pestisida kadang-kadang memiliki kebiasaan dalam penggunaan pestisida yang menyalahi aturan baik dalam hal penggunaan dosis yang melebihi takaran ataupun mencampurkan beberapa jenis Pestisida.Pestisida golongan sintetik yang banyak digunakan petani di lndonesia adalah golongan organofosfat yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui alat pencernaan atau digesti, saluran pernafasan atau inhalasi dan melalui permukaan kulit yang tidak terlindungi atau penetrasi.

Pestisida organofosfat dapat mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls sepanjang serabut syaraf. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida organofosfat antara lain umur, jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman ketrampilan, pendidikan, pemakaian Alat Pelindung Diri, status gizi dan praktek penanganan pestisida. Sedangkan fase kritis yang harus diperhatikan adalah penyimpanan pestisida, pencampuran pestisida, pencampuran pestisida, penggunaan pestisida dan pasca penggunaan Pestisida. World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 1-5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian yang sebagian besar (80%) terjadi di negara-negata berkernbang.

Data WHO menunjukkan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat keracunan pestisida dapat sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan hepar. Hingga tahun 2000 banyak penelitian dilakukan terhadap para pekerja atau penduduk yang mewakili riwayat kontak pestisida dimana dari penelitian tersebut diperoleh garnbaran prevalensi keracunan tingkat sedang hingga berat disebabkan pekerjaan, yaitu antara 8,5% sampai 50%.Dengan demikian, dapat diperkirakan prevalensi angka keracunan tingkat sedang pada para petani bisa mencapai angka puluhan juta pada musim penyemprotan. Penelitian yang dilakukan oleh Imelda Gernauli Purba menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko paparan , lama kerja dengan kadar kolinesterase pada perempuan usia subur di Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes. Penelitian lain oleh Teguh Budi Prijanto pada tahun 2009 menyebutkan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan, cara penyimpanan, tempat pencampuran, dan cara penanganan pestisida pasca penyemprotan dengan kejadian keracunan pestisida organofosfat pada istri petani. Sedangkan menurut penelitian Prihadi pada tahun 2007 menunjukan pada hasil ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan, penggunaan APD , pemakaian dosis, arah angin ,praktek penanganan pestisida , waktu penyemprotan dengan kejadian keracunan pestisida.Selain itu, keracunan pestisida organofosfat dan karbamat juga telah diteliti oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1996/1997 menunjukkan 61,8% petani mempunyai aktivitas kolinesterase normal, 1,3% keracunan berat dan 26,9% keracunan ringan. Penelitian yang serupa pada tahun 1997/1998 menunjukkan hasil 65,91% petani mempunyai aktivitas kolinesterase normal, 2,14% keracunan berat, 8,01% keracunan sedang, dan 21,27% keracunan ringan.4.3 Efek Keracunan Pestisida Organofosfat

Efek Keracunan Pestisida Organofosfat terhadap Fungsi Paru Penghambatan AChE oleh pestisida organofosfat menyebabkan akumulasi asetilkolin baik pada reseptor muskarinik dan nikotinik dalam sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Kelebihan asetilkolin awalnya menyebabkan eksitasi, dan kemudian paralisis. Transmisi kolinergik mengakibatkan beberapa atau semua gejala kolinergik, tergantung dari besar dosis, frekuensi paparan, lama paparan, rute paparan, dan faktor-faktor lain yang dikombinasikan dengan bahan kimia lainnya, serta sensitivitas dan kerentanan dari masing-masing individu. Selain itu, terdapat bukti bahwa di otak, dosis rendah pestisida organofosfat yang tidak menghambat AChE, dapat mengubah neurotransmisi kolinergik melalui efek langsung pada fungsi reseptor muskarinik dan nikotinik.36-40 Saraf kolinergik memediasi tonus dan reaktivitas saluran pernapasan. Saraf ini melepaskan asetilkolin ke reseptor M2 muskarinik yang menyebabkan kontraksi dari otot-otot polos saluran pernapasan sehingga terjadi bronkokonstriksi, dan juga pada reseptor M3 muskarinik yang menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi dari kelenjar di saluran pernapasan. Selain itu, saraf kolinergik dapat menyebabkan kelemahan otot bila mengenai reseptor nikotinik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menemukan adanya gangguan respirasi pada petani dengan paparan kronik pestisida organofosfat. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi fungsi paru yang dapat dilihat dari arus puncak ekspirasi.

BAB V5.1 Pentingnya Biomarker dalam investigasi Dalam menetapkan suatu paparan terhadap suatu zat toksik biasa dilakukan analisis jaringan dan cairan tubuh. Hal ini ditujukan untuk mengukur kandungan zat yang terkandung, metabolit- metabolitnya, atau enzim-enzim dan bahan atau respon biologi lainnya sebagai akibat dari pengaruh zat toksik tersebut. Penetapan zat sebagai petanda bio (Biomarker) dengan cara demikian dikenal sebagai biomonitoring, dan dapat memberikan suatu indikasi penyebab/sumber paparan dan dosis internal dari suatu zat toksik. Biomonitoring (pemantauan biologis), merupakan suatu cara deteksi adanya paparan zat beracun dan berbahaya (toksikan). Merupakan kegiatan pemantauan atau kajian terhadap zat di lingkungan atau terhadap biomarker nya baik dalam jaringan (organ sel), sekreta, eksresi, udara pernafasan atau kombinasinya dalam mahluk hidup. Cara pemantauan tersebut pada prinsipnya menggunakan pemahaman (kaidah) toksikologi dan merupan acupan temuan penting dalam investigasi toksikologi. Biomarker dapat didefinisikan sebagai parameter yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi suatu efek beracun dalam organisme. Biomarker merupakan suatu senyawa spesifik yang digunakan sebagai penanda terjadinya paparan bahan-bahan toksik, baik pada tingkat individu, maupun pada populasi masyarakat. Senyawa spesifik tersebut mampu menggambarkan jenis paparan (bahan kimia), status paparan, mekanisme aksi suatu paparan dan perubahan biokimia (biomolekular) atau fisiologis atau perubahan lainnya yang dapat diukur (ditentukan) serta memprediksi risiko dampak/penyakit yang akan muncul. Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolisme) dalam tubuh (dalam darah, urin dan udara pernafasan), Protein-adduct dan DNA-adduct, parameter sitogenetik, atau enzim. Tantangan dalam kaitannya dengan penggunaan biomarker meliputi identifikasi sumber, farmakokinetika, waktu paparan, variasi biologis, respon yang berubah akibat paparan, prosedur pengambilan sampel yang invasive dan masalah etika.5.2 Aktivitas Asetilkolinesterase Darah sebagai Biomarker Keracunan Pestisida Organofosfat Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsnya. Asetilkolin secara normal dihidrolisis oleh enzim tersebut menjadi asetat dan kolin. Saat enzim ini dihambat, jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan pada reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Organofosfat menonaktifkan asetilkolinesterase dengan cara fosforilasi kelompok hidroksil serin yang berada pada sisi aktif asetilkolinesterase yang akan membentuk senyawa kolinesterase terfosforilasi. Kadar aktif dari enzim kolinesterase akan berkurang karena enzim tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Berkurangnya enzim kolinesterase mengakibatkan menurunnya kemampuan menghidrolisis asetilkolin, sehingga asetilkolin lebih lama di reseptor, yang akan memperkuat dan memperpanjang efek rangsang saraf kolinergik pada sebelum dan sesudah ganglion (pre- dan postganglionic). Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma akan kembali normal dalam waktu tiga minggu sedangkan dalam darah merah akan membutuhkan waktu dua minggu.

Studi yang dilakukan oleh S.K. Rastogi tahun 2008 pada penyemprot pestisida di India menunjukkan bahwa terdapat penurunan aktivitas asetilkolinesterase darah yang bermakna dan menyimpulkan bahwa pemeriksaan aktivitas asetilkolinesterase darah merupakan faktor biomonitoring yang baik untuk dilakukan pada petani penyemprot pestisida organofosfat dan dianjurkan untuk dilakukan secara rutin.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh J. Vidyasagar tahun 2004, terdapat penurunan aktivitas asetilkolinesterase sel darah merah dan plasma yang bermakna pada keadaan keracunan organofosfat yang berat dan ditemukan peningkatan aktivitas asetilkolinesterase sel darah merah dan plasma pada pasien keracunan yang sudah diterapi. Penelitian Dhananjayan pada petani yang menggunakan pestisida di India Selatan tahun 2010-2011 menunjukkan adanya penurunan aktivitas enzim asetilkolinesterase yang bermakna (14%) pada subjek yang terpapar pestisida.

Monitoring untuk paparan pestisida organofosfat dilakukan dengan penilaian kadar asetilkolinesterase (acetylcholinesterase, AChE) darah. Pemeriksaan kadar AChE salah satunya dapat diperiksa menggunakan metode Tintometer. Standar nilai penurunan AChE di Indonesia adalah

sebagai berikut:

1) Normal bila kadar AChE > 75%

2) Keracunan ringan bila kadar AChE 75% - 50%

3) Keracunan sedang bila kadar AChE 50% - 25%

4) Keracunan berat bila kadar AChE < 25%

Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan keracunan pestisida adalah gejala dan tanda keracunan umumnya tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai gejala penyakit biasa seperti mual, pusing, dan lemah sehingga oleh masyarakat dianggap sebagai suatu penyakit yang tidak memerlukan terapi khusus. Gejala klinik baru akan timbul bila aktivitas kolinesterase berkurang 50% dari normal atau lebih rendah.Faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan pestisida dapat dibedakan menjadi dua kelompok meliputi:

a. Faktor di luar tubuh yang meliputi:

1. Waktu penyemprotan dan suhu lingkungan

Waktu penyemprotan perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan pestisida. Hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak terutama pada siang hari. Suhu lingkungan yang tinggi akan mempermudah penyerapan pestisida organofosfat ke dalam tubuh melalui kulit dan atau saluran pencernaan. Suhu yang aman yaitu 24oC - 30oC. Suhu melebihi yang ditentukan menyebabkan petani mudah berkeringat sehingga poripori banyak terbuka dan pestisida akan mudah masuk melalui kulit.

2. Arah dan kecepatan angin

Penyemprotan yang baik harus searah dengan arah angin agar kabut semprot tidak tertiup ke arah penyemprot dan sebaiknya dilakukan pada kecepatan angin di bawah 750 meter per menit. Petani yang menyemprot melawan arah angin akan mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar bila dibanding dengan petani yang menyemprot tanaman searah dengan arah angin.

3. Dosis Semua jenis pestisida adalah racun. Dosis semakin besar semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida yang ditentukan dengan lama paparan. Dosis yang dianjurkan 0,5 1,5 kg/ha untuk penyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat.

4. Masa kerja Semakin lama bekerja sebagai petani semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko keracunan pestisida semakin tinggi. 5. Frekuensi penyemprotan dan lama kerja per hari Semakin sering melakukan penyemprotan maka semakin tinggi pula risiko keracunannya. Petani tidak boleh terpapar pestisida lebih dari lima jam per hari atau 30 jam dalam satu minggu.

6. Kebiasaan memakai alat pelindung diri Penggunaan APD dalam melakukan pekerjaan bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan kerja. Racun dalam pestisida umumnya bersifat kontak, oleh sebab itu penggunaan APD pada petani waktu menyemprot pestisida sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida tersebut.

b. Faktor di dalam tubuh

Beberapa faktor di dalam tubuh yang mempengaruhi terjadinya keracunan antara lain:

1) Umur petani

Seseorang dengan bertambahnya usia maka kadar rata-rata kolinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.2) Jenis kelamin

Petani perempuan cenderung memiliki rata-rata kadar kolinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian, tidak dianjurkan perempuan menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar kolinesterase perempuan cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisis asetilkolin berkurang.

3) Status gizi

Petani dengan status gizi yang buruk cenderung berisiko mengalami keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida organofosfat dan karbamat. Enzim kolinesterase terbentuk dari protein dan dalam keadaan gizi yang buruk,protein yang ada di dalam tubuh sangat terbatas, sehingga pembentukan enzim kolinesterase akan terganggu. Dikatakanbahwa orang yang memiliki tingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebih besar.30

4) Kadar hemoglobin (Hb)

Petani yang tidak anemia secara tidak langsung mendapat efek pestisida yang lebih kecil. Petani yang anemia memiliki risiko lebih besar bila bekerja dengan pestisida organofosfat. Petani dengan kadar Hb rendah akan memiliki kadar kolinesterase yang rendah. Sifat organofosfat yang mengikat enzim kolinesterase menyebabkan enzim kolinesterase tidak lagi mampu menghidrolisis asetilkolin.5) Keadaan kesehatan

Umumnya orang yang menderita penyakit hepatitis, sirosis, karsinoma metastatik pada hati, penyakit kuning obstruktif, infark miokardium, dermatomiositis, aklonestesemia genetik mempunyai kadar enzim kolinesterase rendah. Diisopropilfluorofosfat (DFP), fisostigmin, dan prostigmin yang digunakan sebagai pengobatan myasthenia gravis, ileus paralitik, dan glaukoma merupakan obat penghambat kolinesterase yang dapat menurunkan aktivitas kolinesterase.5.3 Metode Deteksi Terhadap Keracunan Pestisida OrganofosfatDi laboratorium, prosedur pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan sampel darah yang ditambah larutan indikator bromothymol blue dan larutan substrat acetylcholine perchlorate, kemudian dibiarkan beberapa menit sesuai dengan waktu pengukuran. Aktivitas enzim cholinesterase dalam darah dapat dijadikan indikasi keberadaan pestisida dalam darah. Dimana analisis tersebut menggunakan instrumen spektrofotometer UV-VIS.

Gambar. Cholinesterase Test Kit InScienPro PEST-100

Terdapat alat uji monitoring Cholinesterase yang sudah banyak diperjualbelikan, misalnya Cholinesterase Test Kit InScienPro PEST-100 adalah alat portable untuk pemeriksaan residu pestisida dalam darah ( cholinesterase test ) pada petani pengguna pestisida, mudah dipelajari dan mudah untuk digunakan dengan hasil akurat. Dimana Cholinesterase Test Kit - InScienPro PEST-100 dapat digunakan untuk sasaran pengukuran pemajanan para pemakai atau pengguna pestisida, yaitu : Petani, Penyemprot hama, Operator pest control, Penjual & pengelola gudang pestisida , Toko/ kios pestisida, Distributor, Perusahaan yg menggunakan pestisida dan masyarakat sekitarnya.BAB VI

Penutup

6.1 Kesimpulan

. Cara untuk membuktikan adanya suatu kasus ialah harus dengan dilakukannya investigasi, sehingga nanti akan adanya catatan mengenai gejala fisik, dan adanya bukti apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kriminal/kejahatan yang dapat mengerucutkan pencarian.Keracunan pestisida organofosfat dan karbamat telah diteliti oleh berbagai macam pihak.

Penetapan zat sebagai petanda bio (Biomarker) dengan cara demikian dikenal sebagai biomonitoring, dan dapat memberikan suatu indikasi penyebab/sumber paparan dan dosis internal dari suatu zat toksik.Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolisme) dalam tubuh (dalam darah, urin dan udara pernafasan), Protein-adduct dan DNA-adduct, parameter sitogenetik, atau enzim.

Organofosfat menonaktifkan asetilkolinesterase dengan cara fosforilasi kelompok hidroksil serin yang berada pada sisi aktif asetilkolinesterase yang akan membentuk senyawa kolinesterase terfosforilasi. Kadar aktif dari enzim kolinesterase akan berkurang karena enzim tersebut tidak dapat berfungsi lagi.Monitoring untuk paparan pestisida organofosfat dilakukan dengan penilaian kadar asetilkolinesterase (acetylcholinesterase, AChE) darah.

Efek Keracunan Pestisida Organofosfat terhadap Fungsi Paru Penghambatan AChE oleh pestisida organofosfat menyebabkan akumulasi asetilkolin baik pada reseptor muskarinik dan nikotinik dalam sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Kelebihan asetilkolin awalnya menyebabkan eksitasi, dan kemudian paralisis.6.2 Saran

Semoga makalah Investigasi Berdasarkan Studi Biomarker Dalam Kasus Keracunan Kronik Pestisida Organofosfat ini mampu dijadikan referensi dalam studi kasus berbasis forensic science. Dengan adanya makalah ini dianjurkan mampu untuk meminimalkan paparan terhadap pestisida organofosfat.

Daftar Pustaka

Dr. rer. nat Budiawan.2008. Peran Toksikologi Forensik Dalam Mengungkap Kasus Keracunan Dan Pencemaran Lingkungan. Depok : Departemen Kimia Universitas Indonesia. (Indonesian Journal of Legal and Forensic Science,2008)

Mahmudah ,Muamilatul dkk. 2012. Kejadian Keracunan Pestisida Pada Istri Petani Bawang Merah di Desa Kedunguter Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes. Universitas Diponegoro (Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 11 / No. 1, April 2012)

Wirasuta,Made dkk. 2006. Toksikologi Umum. Bali : FMIPA Universitas Udayana.

Raini, Mariana. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan Pestisida. Farmasi litbang kesehatan