lapkas bph.doc

47
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. 1 Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada pria yang berusia lanjut. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 50 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. 2 Di Indonesia, BPH menempati urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umum, diperkirakan hampir 50 persen merupakan pria yang berusia di atas 50 tahun. Gejala yang timbul pada BPH berhubungan dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala berkaitan dengan obtruksi yaitu susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% laki- laki mengeluh kekuatan dan pancaran urine berkurang. 3 BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini diakibatkan dari pembesaran

Upload: monicanh

Post on 15-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: lapkas BPH.doc

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah

inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari

dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Bila mengalami

pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan

terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.1

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada pria yang berusia

lanjut. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat

hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna

ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 50 tahun. Angka ini akan meningkat

hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.2 Di Indonesia, BPH menempati urutan

kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umum, diperkirakan

hampir 50 persen merupakan pria yang berusia di atas 50 tahun. Gejala yang timbul

pada BPH berhubungan dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala berkaitan dengan

obtruksi yaitu susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% laki- laki

mengeluh kekuatan dan pancaran urine berkurang.3

BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini

diakibatkan dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE)

yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal

sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang disebabkan oleh pembesaran

kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama

kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal. Keluhan

yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa Lower Urinary Tract Symptom

(LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptom) maupun iritasi (storage

symptom) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi nokturia pancaran miksi

lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi,

dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat

kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak

semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.4

Page 2: lapkas BPH.doc

2

Pada makalah ini penulis membahas mengenai Benign Prostate Hyperplasia

(BPH) dari definisi, gejala klinis, sampai pada penatalaksanaannya. Melalui makalah

ini diharapkan penulis maupun pembaca dapat mengerti lebih dalam mengenai Benign

Prostate Hyperplasia (BPH).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini :

1. Memahami definisi, etiologi, faktor risiko, gambaran klinis, patofisiologi, diagnosis,

komplikasi dan penatalaksanaan dari penyakit BPH.

2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Bedah Umum RSUP

Haji Adam Malik Medan

1.3. Manfaat

Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang terlibat

dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan makalah ini

pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai BPH

sehingga penanganan yang lebih cepat dan tepat dapat dilakukan untuk mengurangi

angka morbiditas pasien.

Page 3: lapkas BPH.doc

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak ganas. BPH

kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada

akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada

penderita.5,6

BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan

cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada

pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE). BPH prostat teraba

membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,

walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan

derajat obstruksi. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu

dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.7,8

2.2. Epidemiologi

Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan

dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama.9

BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu

saluran kemih.1,10 Sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo

ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-

1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama.9

Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat,

diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau

lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah (Lower

Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.7 BPH mempengaruhi kualitas kehidupan

pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur > 50 tahun.8,9

Page 4: lapkas BPH.doc

4

2.3. Anatomi dan Fisiologi

Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang

dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,

antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan

zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,

sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.1,10

Secara umumnya, kalenjar prostat terbentuk dari glandular fibromaskuler dan

juga stroma, di mana, prostat berbentuk piramida, berada di dasar musculofascial pelvis

dimana dan dikelilingi oleh selaput tipis dari jaringan ikat.6,10

Gambar 2.1. Gambaran Anatomi Prostat

Page 5: lapkas BPH.doc

5

Lanjutan dari yang di atas, secara histologinya, prostat dapat dibagi menjadi 3

bagian atau zona yakni perifer, sentral dan transisi. Zona perifer, memenuhi hampir

70% dari bagian kalenjar prostat di mana ia mempunyai duktus yang menyambung

dengan urethra prostat bagian distal. Zona sentral atau bagian tengah pula mengambil

25% ruang prostat dan juga seperti zona perifer tadi, ia juga memiliki duktus akan tetapi

menyambung dengan uretra prostat di bagian tengah, sesuai dengan bagiannya. Zona

transisi, atau bagian yang terakhir dari kalnjar prostat terdiri dari dua lobus, dan juga

seperti dua zona sebelumnya, juga memiliki duktus yang mana duktusnya menyambung

hampir ke daerah sphincter pada urethra prostat dan menempati 5% ruangan prostat.10

Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang masa kanak-kanak dan mulai

tumbuh pada masa pubertas di bawah stimulus testosterone. Kelenjar ini mencapai

ukuran maksimal pada usia sekitar 20 tahun dan tetap dalam ukuran ini sampai usia

mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai

berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosterone oleh testis.11

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifa

alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium, dan koagulasi serta

fibrinolisin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan

berkontraksi bersama dengan kontraksi vas deferens dan cairan dari prostat keluar

bercampur dengan semen yang lainnya.11

2.4. Etiologi

Etiologi dari BPH masih belum dimengerti sepenuhnya, tetapi diduga terdapat

pengaruh dari berbagai faktor dan dikendalikan secara hormonal. Prostat terdiri dari

elemen stroma dan epitel, perubahan pada masing – masing atau kedua elemen tersebut

dapat menimbulkan pembesaran prostat dan gejala yang berhubungan dengan BPH.

Kedua elemen tersebut dapat dijadikan sasaran dalam penatalaksanaan BPH. 12

Berdasarkan observasi dan penelitian klinis pada pria didapati BPH berkembang

dibawah pengaruh hormonal, pembuangan testis didapati mengurangi ukuran prostat

serta memberi perbaikan pada gejala berkemih akibat BPH. Penelitian yang lebih lanjut

juga menunjukkan hubungan positif antara tingkat testosteron bebas dan esterogen

terhadap ukuran/volume dari prostat. Penelitian tersebut menunjukkan faktor usia dan

BPH mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar esterogen.12

Page 6: lapkas BPH.doc

6

2.4.1 Peran Androgen

Meskipun bukan penyebab langsung dari BPH, androgen berperan dalam proses

perkembangan prostat selama masa pubertas dan penambahan usia yang berkaitan

dengan BPH. Seiring bertambahnya usia, kadar dihidrotestosteron (DHT) dan reseptor

androgen (Androgen Receptor/AR) tidak menunjukkan perubahan meskipun kadar

testosterone perifer menurun. Pada penelitian tidak didapati hubungan jelas antara

konsentrasi androgen pada sirkulasi dan ukuran prostat pada pria yang bertambah tua.

Bioavabilitas testoteron berkorelasi negatif dengan ukuran prostat, sedangkan rasio

estradiol dibanding testosterone berkorelasi positif dengan ukuran prostat. 13

Pada otak, otot rangka, dan epitel seminiferous – testosteron secara langsung

merangsang proses yang behubungan dengan androgen. Pada prostat testosteron terlebih

dahulu diubah menjadi dihidrotestotsteron oleh 5α-reduktase – suatu enzim steroid pada

membran inti sel. Sekitar 90% dari androgen total prostat berada dalam bentuk DHT. Di

dalam sel DHT dan testosteron berikatan dengan reseptor androgen yang sama, namun

DHT memiliki afinitas lebih tinggi terhadap reseptor androgen dan bersifat lebih poten

dibanding testosteron. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian berikatan dengan

daerah pengikat DNA spesifik pada inti sel yang berakibat pada peningkatan transkripsi

gen androgen-dependent dan menstimulasi sintesis protein. 13

2.4.2. Peran Reseptor Androgen

Berbeda dengan organ androgen-dependent lain, prostat mempertahankan

kemampuannya merespon terhadap androgen sepanjang hidup. Reseptor androgen pada

penis mengalami penurunan ekspresi secara drastis pada akhir masa pubertas, sehingga

penis kehilangan kemampuan bertumbuh terkait androgen. Pada prostat hiperplasia

didapati peningkatan kadar AR pada inti sel, keadaan ini bersama dengan peningkatan

kadar esterogen pada pria usia lanjut dapat meningkatkan ekspresi AR pada prostat dan

mengakibatkan pertumbuhan yang lebih lanjut. Pertumbuhan ini terjadi meskipun kadar

androgen perifer yang menurun dan kadar DHT prostat yang terkesan normal. 13

2.4.3. Peran DHT dan 5α-reduktase

Page 7: lapkas BPH.doc

7

Pada BPH kadar dihidrotestosteron prostat tidak didapati meningkat, kadar DHT

yang menetap pada prostat pria usia lanjut menunjukkan proses pertumbuhan androgen-

dependent yang bertahan pada usia lanjut. Terdapat dua tipe 5α-reduktase yang telah

ditemukan, keduanya dikode oleh gen yang berbeda. Enzim 5α-reduktase tipe 1

merupakan enzim yang lebih dominan pada jaringan diluar prostat seperti kulit dan

hepar, sindroma defisiensi enzim ini sering dijumpai pada pemakaian inhibitor 5α-

reduktase seperti dutasteride, namun tidak menunjukkan efek signifikan pada pemakian

finasteride. Peran enzim tipe 1 ini pada pertumbuhan prostat normal dan abnormal

masih perlu diteliti, terdapat bukti penelitian bahwa isoform tipe 1 ini lebih berperan

dalam kanker prostat dibanding BPH. 13

Enzim 5α-reduktase tipe 2 merupakan enzim yang dominan dalam jaringan

prostat, enzim ini sensitif terhadap inhibisi oleh dutasteride dan finasteride. Studi

imunohistokimia menunjukkan isoform tipe 2 ini terdapat terutama pada sel stroma. Sel

epitel secara umum tidak memiliki protein tipe 2 tersebut, protein tipe 2 tersebut hanya

ditemui pada beberapa sel basal epitel. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa sel

stroma memegang peranan utama dalam pertumbuhan androgen-dependent prostat. 13

Gambar 2.2. Cara Kerja Testosteron pada Sel Stroma dan Sel Epitel Prostat. 13

Page 8: lapkas BPH.doc

8

Testosteron berdifusi ke dalam sel stroma dan epitel prostat dan dapat berikatan

langsung dengan AR pada membran inti pada sel epitel, testosterone pada sel stroma

terlebih dahulu diubah menjadi DHT oleh enzim 5α-reduktase dalam sitoplasma sel

stroma. DHT yang telah diubah dalam sel stroma tersebut dapat bekerja secara

langsung/autokrin pada sel tersebut atau bekerja secara parakrin berdifusi ke sel epitel

berdekatan. DHT yang dihasilkan pada perifer (kulit dan hepar) juga dapat bekerja

secara endokrin dengan memasuki sirkulasi dan bekerja pada prostat. Pada keadaan

tertentu sel basal epitel yg memiliki enzim 5α-reduktase dapat menjadi sumber DHT. 13

2.4.4. Peran Esterogen

Pada hewan coba didapati hubungan antara esterogen dengan pathogenesis BPH,

namun pada manusia hubungan ini masih belum jelas. Esterogen diduga bekerja dalam

proses induksi AR, esterogen dapat mensensitasi prostat hewan coba yang menua

terhadap efek androgen. Pada prostat hewan coba dijumpai reseptor esterogen afinitas

tinggi dalam jumlah banyak, pemberian esterogen mengakibatkan peningkatan jumlah

kolagen total pada prostat.Terdapat sekurangnya dua bentuk reseptor esterogen

(estrogen receptor/ER), ER-α yang diekspresikan pada sel stroma prostat dan ER-β

yang diekspresikan pada sel epitel prostat. Pada penelitian in-vitro dijumpai

peningkatan kadar fibroblast growth factor (FGF)-2, FGF-7, dan faktor pertumbuhan

lain sejalan upregulation dari ER-α pada sel stroma prostat. 13

2.4.5. Peran Apoptosis dan Faktor Pertumbuhan

Apoptosis merupakan mekanisme fisiologis yang penting dalam

mempertahankan homeostatsis glandular normal. Kondensasi dan fragmentasi sel

mendahului fagositosis dan degradasi dimana sel yang menjalani apoptosis akan

difagosit oleh sel berdekatan dan didegradasi dengan enzim lisosom. Apoptosis

diaktifkan tanpa proses sistem imun, namum membutuhkan RNA dan sintesis protein.

Androgen (testosterone dan DHT) diduga menekan apoptosis pada prostat. Pola

pertumbuhan hiperplastik abnormal seperti pada BPH mungkin diinduksi oleh faktor

pertumbuhan lokal yang meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis. 13

Growth Factor merupakan molekul peptida kecil yang menstimulasi (atau pada

keadaan tertentu menekan) proses pembelahan dan diferensiasi sel. Pada prostat normal,

hiperplastik, maupun neoplastik dapat ditemukan berbagai faktor pertumbuhan seperti

Page 9: lapkas BPH.doc

9

basic fibroblastic growth factor (bFGF)-2, bFGF-1, Int-2, keratinocyte growth factor

(KGF), transforming growth factor (TGF-β), dan epidermal growth factor (EGF). Pada

BPH dijumpai peningkatan aktivitas faktor pertumbuhan yang berkaitan dengan DHT,

sedangkan TGF- β yang berperan dalam menekan pertumbuhan mengalami

downregulation. 13

Gambar 2.3. Skema hiperplasia prostat yang diduga terjadi akibat ketidakseimbangan

pertumbuhan dan kematian sel. 13

2.5.  Patofisiologi

Secara garis besar gejala BPH dapat timbul dari komponen primer obstruktif

dari prostat atau komponen sekunder dari respon kandung kemih terhadap peningkatan

resistensi bladder outlet. Komponen obstruktif dapat dibagi lagi menhadi obstruksi

mekanik dan obstruksi dinamik. Obstruksi mekanis terjadi akibat pembesaran prostat

yang berakibat protrusi prostat ke lumen uretra atau bladder neck yang mengarah ke

peningkatan resistensi bladder outlet. Komponen dinamik dari obstruksi prostat

mengakibatkan perbedaan gejala yang dirasakan pasien, stroma prostat yang kaya akan

otot polos dan kolagen banyak dipersarafi saraf adrenergik sehingga stimulasi otonom

akan mengakibatkan peningkatan tonus pada uretra prostatika. 12

Page 10: lapkas BPH.doc

10

Gambar 2.4. Skema patofisiologi dan manifestasi klinis BPH yang melibatkan interaksi

antara obstruki uretra, kompensasi detrusor, dan produksi urin. 13

Hiperplasia prostat dimulai dari zona transisi prostat, semua nodul BPH

berkembang dari zona transisi atau daerah periuretra. Pada awalnya nodul hipeplastik

terbentuk pada sfingter preprostat, namun seiring berkembangnya penyakit nodul dapat

ditemukan pada hampir seluruh zona transisi prostat. Namun perlu diperhatikan bahwa

zona transisi prostat membesar seiring bertambahnya usia tanpa berhubunga dengan

perkembangan nodul. 13

Salah satu fitur unik dari prostat manusia adalah dijumpainya kapsul prostat,

struktur ini yang memegang peranan penting pada timbulnya lower urinary tract

syndrome (LUTS). Anjing merupakan satu-satunya spesies yang secara alami

mengalami BPH disamping manusia, namun gejala obstruksi jarang terjadi karena

prostat anjing tidak memiliki kapsul. Kapsul prostat diduga menyalurkan tekanan dari

jaringan yang berkembang ke uretra sehingga terjadi peningkatan resistensi uretra, teori

ini didukung oleh bukti klinis dimana insisi kapsul prostat transuretra memberi

perbaikan gejala yang signifikan meskipun ukuran prostat tidak berubah. 13

Page 11: lapkas BPH.doc

11

Kontraksi dari otot polos juga memegang peranan dalam gejala BPH, stimulasi

dari persarafan adrenergic menujukkan peningkatan resistensi uretra sedangkan

hambatan pada reseptor alfa menghilangkan efek tersebut. Namun blokade pada

reseptor alfa tidak menurukan tegangan pasif pada prostat yang juga mengakibatkan

resistensi uretra. Reseptor α1A merupakan subtipe adrenoreseptor yang paling banyak

ditemukan pada prostat, reseptro ini memediasi tegangan aktif pada otot polos prostat

manusia. Aktivitas berlebihan otonom memegang peranan dalam timbulnya gejala

LUTS pada pria penderita BPH. 13

Kandung kemih mengalami respon adaptasi terhadap obstruksi bladder outlet,

namun banyak gejala LUTS pada penderita BHP berhubungan dengan perubahan pada

fungsi kandung kemih akibat adaptasi tersebut – bukan disebabkan oleh obstruksi secara

langsung. Perubahan struktur kandung kemih dapat menimbulkan instabilitas dan

penurunan compliance yang berhubungan dengan gejala frequency dan urgency,

berikutnya perubahan kontraktilitas detrusor berakibat pada perlunya tekanan tambahan,

hesistancy, dan intermittency, serta peningkatan residu urin. 13

2.6.  Manifestasi Klinis

Gejala BPH dapat dibagi menjadi gejala obtruktif dan iritatif, gejala obstruktif

meliputi hesistancy, penurunan aliran dan pancaran, perasaan tidak lampias, perlunya

mengedan atau usaha tambahan, serta urin yang menetes paska buang air kecil. Gejala

iritatif meliputi peningkatan frekuensi, urgency, dan nocturia atau buang air kecil pada

malam hari. Gejala LUTS pada BPH dinilai derajatnya berdasarkan kriteria

international prostate symptom score (I-PSS) dalam bentuk kuisioner untuk

menentukan derajat dan penatalaksanaannya.12

Tanda dari BPH didapat dari pemeriksaan digital rectal examination (DRE) dan

pemeriksaan neurologis pada pasien. Ukuran serta konsistensi prostat perlu dinilai pada

pemeriksaan DRE, meskipun ukuran prostat tidak berhubungan dengan gejala dan

derajat obstruksi. Pada BPH umumnya dijumpai prostat yang kenyal dan elastis,

permukaannya halus, dan tidak disertai nyeri. 12

Page 12: lapkas BPH.doc

12

Tabel 2.1. Tabel Skor IPSS

Page 13: lapkas BPH.doc

13

2.7. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan

pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh

setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang

bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.

2.7.1. Anamnesis

Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara

yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya.

Anamnesis itu meliputi : 14

1. Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu

2. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami

cedera, infeksi, atau pembedahan)

3. Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual

4. Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi

5. Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya

gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom

Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom

score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan

pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki

nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien

dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat

digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut.15

Skor 0-7: bergejala ringan

Skor 8-19: bergejala sedang

Skor 20-35: bergejala berat.

Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan

tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7

kemungkinan jawaban.

Page 14: lapkas BPH.doc

14

2.7.2. Pemeriksaan fisik

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang

penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk

mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat

diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang

merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan

DRE cenderung underestimate daripada pengukuran dengan menggunakan metode lain,

sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang

besar.14

Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-

34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini

dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan

neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas

bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks

bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah

sakral.14

2.7.3. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan radiologis, ada beberapa modalitas yang dapat dipakai untuk

menegakkan diagnosis BPH, yaitu antara lain : 15, 16

1. Foto Rontgen dan IVP

Foto polos berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, dan kadang

kala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang

merupakan tanda dari suatu retensi urine. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan

kemungkinan adanya:

Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis

Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya

indentasi prostat (pendesakan buli – buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di

sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail (Fish Hook Appearance)

Penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau

sakulasi buli–buli. Pemeriksaan IVP sekarang tidak direkomendasikan lagi pada

BPH.

Page 15: lapkas BPH.doc

15

Gambar 2.5.. Tampak Fish Hook appearance (ditandai dengan anak panah)

pada gambar di atas

Gambar 2.6. Tampak defek penekanan pada bagian inferior buli – buli (panah) yang

diakibatkan oleh BPH

Page 16: lapkas BPH.doc

16

2. Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonografi yang sering dilakukan adalah ultrasonografi transrektal

atau TRUS. TRUS bisa mengukur besar atau volume kelenjar prostat, adanya

kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk

melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urine, dan mencari

kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli – buli. Pada BPH gambaran yang

ditemukan adalah daerah hipoechoic terutama sering dijumpai di area transisional

zone (TZ). Pengukuran volume pada prostat dilakukan dengan mengukur prostat

dalam 3 dimensi yang berbeda yaitu dengan mengukur dimensi transversal dan

anteroposterior pada potongan aksial dan dimensi longitudional pada potongan

sagital. Volume prostat dihitung dengan rumus Volume = transversal x

anteroposterior x longitudinal x 0.52.

Gambar 2.7. Tampak ukuran prostat membesar,tampak indentasi kaudal ke buli-buli

Page 17: lapkas BPH.doc

17

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat digunakan sebagai modalitas untuk

menegakkan BPH antara lain : 16

1. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.

BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau

penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antaranya: karsinoma buli-buli in

situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan.

Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter,

pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada

leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.

2. Faal Ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius

bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi

sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko

terjadinya komplikasi pascabedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa

disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien

LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8%

jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar

kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai

petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih

bagian atas.

3. PSA

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer

specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari

BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat

lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih

mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat

diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Makin tinggi kadar PSA makin cepat laju

pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada

kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA

Page 18: lapkas BPH.doc

18

sekitar 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3

mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada

keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada

retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Serum

PSA meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan lahan

menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang

dianggap normal berdasarkan usia adalah :

40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml

50-59 tahun:0-3,5 ng/ml

60-69 tahun:0-4,5 ng/ml

70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi

kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan

PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok

dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia

ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya

karsinoma prostat.

4. Uroflometri

Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara

elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran

kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi

mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave),

waktu yang dibutuhkan untuk mencapaipancaran maksimum, dan lama pancaran.

Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi

gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil

uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran

urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena obstruksi pada

leher buli - buli atau kelemahan otot detrusor.

5. Pemeriksaan Residual Urine

Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang

tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang

Page 19: lapkas BPH.doc

19

normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Pemeriksaan residual urine

dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa

urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu

dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui

kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan

bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih,

hingga terjadi bakteriemia. Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume

residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu

dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak

selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urineatau beratnya obstruksi. Hal

ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume

residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun,

bagaimanapun adanya residu urine menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.

6. Ureterosistoskop

Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli

buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu

buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat

sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya

pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi

perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan

sebagai pemeriksaan rutin pada BPH. Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan

dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP,

TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan

hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu

dalam mencari lesi pada buli – buli.

7. Pemeriksaan Urodinamika

Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai

pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan

Page 20: lapkas BPH.doc

20

uro-dinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah

itu disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi

otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani

pembedahan. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada

evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif,

urodinamika saat ini merupakan pemeriksaanyang paling baik dalam menentukan

derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu

tindakan pembedahan. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas

93%,dan nilai prediksi positif sebesar 95%.3

2.8.   Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.Terapi

yang dilakukan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi

obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah

sebagai berikut ini : 15

1. Watchful waiting

Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi

perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Ini ditujukan

untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak

menggangu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien tidak

mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang

mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan

mengkonsumsi kopiatau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi

makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat),

(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,(4)

jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang

kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan,

IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan

miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi lain.

2. Medikamentosa

Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai tahap

tertentu.Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi

Page 21: lapkas BPH.doc

21

membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa.

Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang

pasienmemerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berartipasien

perlumendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi

medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat

sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai

komponenstatik.Jenis obat yang digunakan adalah:

a. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapatberupa:

preparat non selektif: fenoksibenzamin

preparat selektif masa kerja pendek:prazosin, afluzosin, dan indoramin

preparat selektif dengan masa kerja lama:doksazosin, dan terazosin,

b. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dandutasteride

Tabel 2.2. Klasifikasi Obat – obat untuk BPH

3. Terapi intervensi

Pembedahan

Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu

Page 22: lapkas BPH.doc

22

adalah pembedahan, yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang

menyebabkan obstruksi. Hanya saja pembedahan ini dapat menimbulkan

berbagai macam penyulit pada saat operasi maupun pasca bedah. Indikasi

pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya

adalah:

Retensi urine,

Infeksi saluran kemih berulang

Hematuria makroskopik

Batu buli-buli

Gagal ginjal

Divertikulum buli-buli

Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai

negara, yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi

prostat transuretra (TURP).

Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan

paling efisien diantara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan

gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan

transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan

retropubik yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika hingga saat

ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli

multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka

dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.

Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura

uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan denganTURP

ataupun TUIP.

Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada

pasien BPH. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi di kulit

perut, lama rawatan lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak

berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Komplikasi dini yang terjadi pada saat

operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga

membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang

beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun dan lama reseksi lebih dari

Page 23: lapkas BPH.doc

23

90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%.

Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress, striktura

uretra, kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang

berukuran kecil, dan disfungsi ereksi.2 TUIP atau insisi leher buli-buli

(bladderneck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil

(kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak

diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Dengan TUIP waktu yang

dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan

dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan

meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.

Laser Prostatektomi

Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun

ke tahun mengalami penyempurnaan. Jika dibandingkan dengan pembedahan,

pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan

penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam meningkatkan perbaikan

gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini

membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat

diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi, sering banyak menimbulkan

disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat

miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca

TURP.

2.9. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan

adalah sebagai berikut : 15

Page 24: lapkas BPH.doc

24

Trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat serat detrusor akibat tekanan intra

vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi.

Sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor

Divertikel, bila sakulasi menjadi besar. Komplikasi lain adalah pembentukan

batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga

terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut

diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang

akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.2

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap

individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera

ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi karsinoma

prostat. Menurut penelitian, karsinoma prostat merupakan karsinoma pembunuh nomor

2 pada pria setelah karsinoma paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan

berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.16

BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Page 25: lapkas BPH.doc

25

Nama Pasien : SS

Umur : 69 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Sei Padang No 11

Status : Menikah

Pekerjaan : Tukang becak

Tanggal Masuk : 23 Juni 2015

Anamnesis

Keluhan utama : Tidak bisa buang air kecil

Telaah :

Hal ini telah dialami pasien sejak ± 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sekitar 1

minggu sebelumnya os mengeluh sulit buang air kecil, kencing hanya menetes

sedikit demi sedikit.

Sejak 5 tahun ini pasien juga mengeluhkan sering terbangun malam karena ingin

BAK sekitar 6 – 7 kali/hari. Pasien juga mengeluhkan harus mengedan saat BAK,

pancaran kencing melemah, kencing terputus – putus, dan merasa tidak lampias

setelah BAK.

Riwayat trauma pada saluran kemih dan trauma pada tulang belakang, kencing

berdarah, kencing berpasir, kencing bercabang, infeksi pada saluran kencing, dan

nyeri saat berkemih disangkal oleh pasien. Riwayat tidak bisa kencing sebelumnya

disangkal. Riwayat demam, sesak napas dan mual muntah disangkal oleh pasien. .

RPT : Tidak dijumpai

RPO : Tidak jelas

Status presens

Sensorium : Compos mentis Keadaan Umum : Baik

Tekanan darah: 110/70 mmHg Keadaan Gizi : Baik

Nadi : 84 x/i

Page 26: lapkas BPH.doc

26

Pernafasan : 18 x/i

Suhu : 36,3 K C

Pemeriksaan Fisik

Kepala : - Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Pupil : Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+)

- T/H/M : Tidak dijumpai kelainan.

Leher : - Pembesaran KGB (-)

- Trakea Medial

Toraks : - Inspeksi : Simetris fusiformis

- Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal

- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

- Auskultasi : + Paru : SP vesikuler, ST tidak dijumpai

+ Jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)

Abdomen : - Inspeksi : Simetris, distensi (-)

- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), defens muskular (-)

- Perkusi : Timpani

- Auskultasi : peristaltik (+) normal

Ekstrimitas : - Superior : Pols 84x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat,

CRT <3’’, TD: 110/70 mmHg, Fraktur (-), Edema (-)

- Inferior : Fraktur (-), Edema (-)

Status Urologi

Sudut Costovertebra : - Inspeksi : Bulging (-), jejas (-), kemerahan (-)

- Palpasi : Massa (-), ballotement (-), nyeri tekan (-)

- Perkusi : Nyeri ketok (-)

Suprapubik : - Inspeksi : Bulging (-), jejas (-)

- Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), buli kosong

Genital : - Jenis kelamin laki-laki

DRE : - Perineum biasa, sphincter ani ketat, mukosa licin

Page 27: lapkas BPH.doc

27

- Prostat teraba membesar simetris, permukaan licin,

konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), nodul (-)

- Sarung tangan : feses (-), lendir (-), darah (-)

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (12 Juni 2015)

Darah Lengkap

Hb 13,10 g%

Eritrosit 5,05 x 106/mm3

Leukosit 11,79 x 103/mm3

Hematokrit 40.10 %

Trombosit 283 x 103/mm3

Fungsi Hati

Albumin 4 U/L

Fungsi Ginjal

Ureum 25,1 mg/dL

Kreatinin 1,09 mg/dL

Kgd Ad random 87,4 mg/dl

Elektrolit

Natrium 135 mEq/L

Kalium 4,2 mEq/L

Klorida 99 mEq/L

PSA 100 ng/mL

Page 28: lapkas BPH.doc

28

Hasil Pemeriksaan USG Ginjal, Buli, Prostat (12 Juni 2015)

Kesimpulan

LK : Acoustic shadow (-), Hidronefrosis (-), Parenkim baik

RK : Acoustic shadow (-), Hidronefrosis (-), Parenkim baik

VU : Acoustic shadow (-), Massa (-)

Prostat : Volume 4,6 x 4,9 x 4,7 = 55 gr

Kesan : Hiperplasia prostat

Diagnosis:

- Benign Prostate Hyperplasia susp malignancy

Penatalaksanaan:

-IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit

-Inj. Ceftriakson 1 gr/12 jam

Rencana:

Page 29: lapkas BPH.doc

29

- Biopsi prostat

3.2. Follow up Pasien

Tanggal 23 Juni 2015

S : Nyeri (-)

O : CM, TD 120/80 mmHg, HR 88 x/i, RR 18 x/I

A : BPH susp malignancy

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Tgl 24 Juni 2015

Pasien dilakukan biopsi prostat

BAB 4

Page 30: lapkas BPH.doc

30

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan

cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada

pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE). BPH prostat teraba

membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,

walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan

derajat obstruksi. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu

dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.

Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang

dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,

antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan

zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,

sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

Etiologi dari BPH masih belum dimengerti sepenuhnya, tetapi diduga terdapat

pengaruh dari berbagai faktor dan dikendalikan secara hormonal. Prostat terdiri dari

elemen stroma dan epitel, perubahan pada masing – masing atau kedua elemen tersebut

dapat menimbulkan pembesaran prostat dan gejala yang berhubungan dengan BPH.

Kedua elemen tersebut dapat dijadikan sasaran dalam penatalaksanaan BPH.

Gejala BPH dapat dibagi menjadi gejala obtruktif dan iritatif, gejala obstruktif

meliputi hesistancy, penurunan aliran dan pancaran, perasaan tidak lampias, perlunya

mengedan atau usaha tambahan, serta urin yang menetes paska buang air kecil. Gejala

iritatif meliputi peningkatan frekuensi, urgency, dan nocturia atau buang air kecil pada

malam hari. Gejala LUTS pada BPH dinilai derajatnya berdasarkan kriteria

international prostate symptom score (I-PSS) dalam bentuk kuisioner untuk

menentukan derajat dan penatalaksanaannya

Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal

dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan

oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang

bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.

4.2. Saran

Page 31: lapkas BPH.doc

31

Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam

menghadapi pasien yang datang dengan kejadian BPH. Hal ini penting untuk dapat

mengenali tanda – tanda kegawatdaruratan pada pasien BPH sehingga penanganan dan

penatalaksanaan yang akan dilakukan tidak terlambat. Sebelumnya resusitasi awal dan

perbaikan status hemodinamik harus terlebih dahulu dilakukan sebelum menentukan

pola penanganan yang sesuai dengan kasus.

DAFTAR PUSTAKA

Page 32: lapkas BPH.doc

32

1. Purnomo B. B. 2011, Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. 123-128. Jakarta : Sagung

Seto.

2. Roehborn C. G. 2009. Benign Prostatic Hyperplasia : Etiology Pathophysiology,

Epidemiology and Natural History.

3. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam: Kapita

selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.

4. Barkin J. 2011. Benign Prostate Hyperplasia and Lower Urinary Tract Symptom :

evidence and approaches for the best case management.

5. Roehborn, Calus G, McConnell, John D. Etiology, Pathophysiology, and Natural

History of Benign prostatic hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 8th ed. W.B.

Saunders ; 2002. p. 1297-1330

6. Connell JD Mc. Etiology, Pathophisiology and Diagnosis of Benign Prostatic

Hiperplasia. In : Campbell’s Urology Tenth Ed, W.B. Saunders : 2012

7. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi

Medika. 2002. No 7 tahun ke XXVIII

8. Kirby, Roger S, Christmas, Timothy J. Benign Prostatic Hiperplasia. Second

Edition. Mosby International.1997.

9. Leveillee. Prostate Hyperplasia, Benign. 2006. http://www.emedicine.com. [diakses

29 April 2014]

10. Kim & Belldegrun (eds). Urology Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery, 8th

Edition, Brunicardi et al (eds). USA: Mc Graw-Hill Medical Publishing Division.

2006. 1036-1060

11. Guyton. Buku ajar fisiologi kedokteran bagian III. Jakarta. EGC : 1994.

12. Wein, A.J, et al., 2012. Campbell-Walsh Urology. Edisi 10. USA : Elsevier.

13. Tanagho, E.A., et al., 2008. Smith’s General Urology, Edisi 17. .USA : The

McGraw-Hill Companies.

14. AVA Practice guideline comitte. AVA guideline on management BPH. Chapter 1.

Diagnose and treatment recommendation. J Urol. 170:530-547, 2003.

15. Amela Dull, M.D., Robert W. Reagan, JR., M.D., and Robert R. Bahnson, M.D.

Managing Benign Prostatic Hyperplasia. Ohio State University College of

Medicine and Public Health, Columbus. 2002.

Page 33: lapkas BPH.doc

33

16. Rahardjo, D. Prostat: kelainan-kelainan, diagnosis, penanganan. Jakarta : Asian

medical, 15.1996