3. intoksikasi organofosfat word
DESCRIPTION
medicalTRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Intoksikasi Organofosfat
1. PESTISIDA
1.1 Definisi
Kata Pestisida berasal dari rangkaian kata pest yang berarti hama dan cida atau
sida yang berarti membunuh. Dalam PP No 7 tahun 1973 yang dimaksud dengan
pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk beberapa tujuan berikut: (Depkes, 2000)
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian- bagian tanaman atau hasil- hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4. Mengatur dan merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian- bagian
tanaman (tidak termasuk golongan pupuk).
5. Memberantas atau mencegah hama- hama luar pada hewan piaraan dan
ternak.
6. Memberantas atau mencegah hama- hama air.
7. Memberantas atau mencegah binatang- binatang dan jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan, dan dalam alat- alat pengangkutan.
8. Memberantas atau mencegah binatang- binatang yang bisa menyebabkan
penyakit pada manusia.
1.2 Klasifikasi (Sumirat, 2005; Sartono 2002)
Pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan sifatnya, targetnya/sasaran, cara
kerjanya atau efek keracunan dan berdasarkan stuktur kimianya yaitu:
1.2.1 Berdasarkan atas sifat pestisida dapat digolongkan menjadi: bentuk padat,
bentuk cair, bentuk asap (aerosol), bentuk gas (fumigan).
1.2.2 Berdasarkan organ targetnya/sasarannya dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan serangga
b. Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma
c. Fungisida berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan
d. Algasida berfungsi untuk membunuh alga
e. Rodentisida berfungsi untuk membunuh binatang pengerat
f. Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu
g. Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri
h. Moluskisida berfungsi untuk membunuh siput
1.2.3 Berdasarkan cara kerja atau efek keracunannya dapat digolongkan sebagai
berikut:
a. Racun kontak adalah membunuh sasarannya bila pestisida mengenai kulit
hewan sasarannya.
b. Racun perut adalah membunuh sasarannya bila pestisida tersebut termakan
oleh hewan yang bersangkutan.
c. Fumigan adalah senyawa kimia yang membunuh sasarannya melalui saluran
pernafasan.
d. Racun sistemik adalah pestisida dapat diisap oleh tanaman, tetapi tidak
merugikan tanaman itu sendiri di dalam batas waktu tertentu dapat
membunuh serangga yang menghisap atau memakan tanaman tersebut.
1.2.4 Berdasarkan stuktur kimianya pestisida dapat digolongkan menjadi:
golongan organoklorin, golongan organofosfat, golongan karbamat, golongan
piretroid.
a. Golongan Organoklorin
Merupakan bagian dari kelas yang lebih luas dari halogenated hydrocarbon,
termasuk diantaranya dan terkenal sebagai penyebab masalah yaitu
Polyclorinated biphenyls dan dioxin. Sebagai kelompok, insektisida
organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf (neurotoxins) yang
merangsang sistem saraf baik pada serangga maupun mamalia,
menyebabkan tremor dan kejang-kejang.
b. Golongan Organofosfat
Pestisida golongan organofosfat makin banyak digunakan karena sifat-
sifatnya yang menguntungkan bagi para petani. Cara kerja golongan ini
selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resisten pada
serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut dan juga racun
pernapasan. Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat
aktivitas enzim kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Oleh
karena itu, keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh
asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan secara terus-
menerus pada saraf. Keracunan ini dapat terjadi melalui mulut, inhalasi dan
kulit.
c. Golongan Carbamat
Menurut Sartono (2002) pestisida golongan carbamat merupakan racun
kontak, racun perut dan racun pernapasan. Bekerja sama seperti golongan
organofosfat, yaitu menghambat aktivitas enzim kolinesterase. Jika terjadi
keracunan yang di sebabkan oleh golongan karbamat, gejalanya sama
seperti pada keracunan organofosfat, tetapi lebih mendadak dan tidak lama
karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten.
d. Golongan Piretroid
Insektisida dari kelompok piretroid merupakan analog dari piretrum yang
menunjukkan efikasi yang lebih tinggi terhadap serangga dan pada
umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan
dengan insektisida lainnya. Bekerjanya terutama secara kontak dan tidak
sistemik.
2. ORGANOFOSFAT
Berdasarkan jenis bentuk kimianya, pestisida golongan insektisida dapat
dikelompokkan menjadi organofosfat, karbamat, organoklorin, dan pyretroid.
Pestisida golongan organofosfat merupakan insektisida yang banyak digunakan.
(Sudarmo, 2007)
Pestisida golongan ini mempunyai sifat- sifat sebagai berikut: (Munaf, 1997)
1) Efektif pada serangga yang resisten terhadap chlorinated hydrocarbon.
2) Tidak menimbulkan kontaminasi untuk jangka waktu yang lama pada
lingkungan.
3) Kurang mempunyai efek yang lama terhadap organisme yang bukan target.
4) Lebih toksik terhadap hewan - hewan bertulang belakang jika dibandingkan
dengan organoklorin.
5) Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim kolinesterase.
Pengelompokan pestisida organofosfat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
(Munaf, 1997)
1) Malathion, yang termasuk malathion adalah diklorvos, dimetoat, malathion,
neled, trikorifon dan monokrotofos.
2) Parathion, yang termasuk parathion adalah termofos (abate), feneton dan rabon
(gardona).
3) Diazinon, yang termasuk diazinon adalah klorpirifos, koumafos, metamidofos
dan asefat.
3. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1983 dilaporkan angka mortalitas keracunan pestisida yang
tidak disengaja mencapai 7 per 10 juta laki-laki dan 0,5 per 10 juta wanita.
Biasanya, sekitar 20.000 kasus iintoksikasi organofosfat dilaporkan setiap
tahunnya. Pada tahun 1998, American Association of Poison Control Centers
melaporkan sebanyak 16.392 jiwa terpapar organofosfat dan 11 jiwa diantaranya
mengalami kematian. Anak-anak yang terpapar senyawa ini sepertinya lebih besar
dinegara berkembang karena anak-anak banyak yang bekerja di ladang pertanian
atau disewa sebagai buruh pertanian. Penggunaan organofosfat sebagai agen
bunuh diri ternyata di negara berkembang lebih besar. Bunuh diri dan keracunan
organofosfat menyebabkan 200.000 kematian setiap tahunnya di negara
berkembang. (Munaf, 1997)
Penelitian tentang keracunan pestisida selama satu tahun (1999-2000) di
tujuh rumah sakit di Jawa melaporkan 126 kasus, 100 kasus terjadi pada pria dan
26 kasus terjadi pada wanita. Sebanyak 11% dari kasus terjadi pada orang dewasa
berusia 22-55 tahun. Penyebab keracunan antara lain karena kesengajaan (43%),
pekerjaan (37%) dan kecelakaan (16%). Keracunan tersebut paling banyak
disebabkan oleh pestisida golongan organofosfat. (Sudarmo, 2007)
Menurut WHO, WHO (World Health Organisation) 3 juta orang yang
bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun
pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya.
Penelitian mortalitas di seluruh dunia tingkat kematian berkisar dari 3 – 25 %.
Senyawa yang paling sering ditemukan adalah malathion, diklorfos, triklorfon dan
fenitrothion/malathion (Yurumez, 2007).
4. MEKANISME AKSI
Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan
kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsnya. Asetilkolin secara
normal dihidrolisis oleh enzim tersebut menjadi asetat dan kolin. Saat enzim ini
dihambat, jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan pada reseptor muskarinik
dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan
timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh
(Klaassen, 2007; Krieger, 2001; Sudarmo, 2007)
Organofosfat menonaktifkan asetilkolinesterase dengan cara fosforilasi
kelompok hidroksil serin yang berada pada sisi aktif asetilkolinesterase yang akan
membentuk senyawa kolinesterase terfosforilasi. Kadar aktif dari enzim
kolinesterase akan berkurang karena enzim tersebut tidak dapat berfungsi lagi.
Berkurangnya enzim kolinesterase (AchE) mengakibatkan menurunnya
kemampuan menghidrolisis asetilkolin, sehingga asetilkolin lebih lama di
reseptor, yang akan memperkuat dan memperpanjang efek rangsang saraf
kolinergik pada sebelum dan sesudah ganglion (pre dan post ganglionic).
Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma akan kembali normal dalam
waktu tiga minggu sedangkan dalam darah merah akan membutuhkan waktu dua
minggu (Klaassen, 2007; Krieger, 2001).
Ketika AChE telah teraktivasi, asetilkolin terakumulasi di sistem saraf,
menyebabkan overstimulasi dari reseptor muskarinik dan nikotinik. Gejala klinis
bermanifestasi dari aktivasi sistem saraf otonom dan pusat dan pada reseptor
nikotinik di otot lurik. Ketika organofosfat telah berikatan dengan AChE, enzim
dapat mengalami: (Yurumez, 2007)
Hidrolisa endogen dari enzim terfosforilasi oleh esterase atau paraoxonase
Reaktivasi nukleofil seperti pralidoxime (2-PAM)
Ikatan ireversibel dan inaktivasi enzim secara permanen (aging)
Organofosfat dapat diserap melalui kulit, ditelan, dihirup atau disuntikkan.
Walaupun sebagian besar pasien cepat memberikan gejala, tetapi onset dan
keparahan gejala bergantung pada senyawa spesifik, jumlah, rute paparan dan
kecepatan degradasi metabolik (Yurumez, 2007).
Gambar 1. Mekanime aksi organofosfat ( Reigart, 1999)
Monitoring untuk paparan pestisida organofosfat dilakukan dengan
penilaian kadar asetilkolinesterase (acetylcholinesterase, AChE) darah.
Pemeriksaan kadar AChE salah satunya dapat diperiksa menggunakan metode
Tintometer. Standar nilai penurunan AChE di Indonesia adalah sebagai berikut:
(Depkes RI, 2000)
1) Normal bila kadar AChE > 75%
2) Keracunan ringan bila kadar AChE 75% - 50%
3) Keracunan sedang bila kadar AChE 50% - 25%
4) Keracunan berat bila kadar AChE < 25%
5. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Gejala dari keracunan organofosfat dapat muncul selama atau setelah
paparan, dalam hitungan menit sampai jam, tergantung cara kontak. Paparan
inhalasi memberikan gejala keracunan yang paling cepat diikuti rute melalui
pencernaan dan yang terakhir rute melalui kulit. Semua tanda dan gejala adalah
kolinergik dan mempengaruhi reseptor muskarinik, nikotinik dan sistem saraf
pusat (Sammut, 2009).
5.1 Reseptor di sistem saraf pusat
Gangguan sensoris dan perilaku, gangguan kordinasi, depresi fungsi
motorik, koma dan kemungkinan kejang (Sammut, 2009).
5.2 Reseptor muskarinik di sistem saraf tepi (Sammut, 2009).
Stimulasi sistem saraf parasimpatis yang terus-menerus dimana saraf
berhubungan dengan otot polos dan sel-sel kelenjar akan terangsang
menyebabkan:
Kontraksi otot polos usus dan bronkus: diare, muntah, bronkospasme,
bronkore
Penurunan ukuran pupil: miosis, hilangnya refleks pupil
Peningkatan sekresi semua kelenjar sekretori: lakrimasi, salivasi
Penurunan aktivitas sinus node: bradikardi, gangguan kondukasi
atrioventrikuler, aritmia ventrikuler
5.3 Reseptor nikotinik di ganglia simpatis dan parasimpatis dan di neuromuscular
junction (di lokasi ini saraf-saraf akan terangsang kemudian mengalami
depresi) (Sammut, 2009).
Asetilkolin yang berlebihan akan merangsang (menyebabkan kedutan
saraf) tetapi pada level yang lebih tinggi akan melemahkan dan
menyebabkan paralisa sel dengan depolarisasi motor endplate.
Stimulasi simpatis akan menyebabkan takikardi, hipertensi kemudian
menjadi hipotensi.
Gejala dan tanda yang terjadi akibat rangsangan kolinergik yang berlebihan per
bagian tubuh adalah: (Sammut, 2009).
Sekresi: air mata, saliva, sputum, asam lambung dan keringat.
Gejala pernafasan: wheezing, batuk, shortness of breath, produksi mukus
berlebihan (bronkore), depresi fungsi otot pernafasan.
Gejala neurologis: kejang, koma, delirium, depresi pusat pernafasan, fasikulasi,
ataksia, efek jangka panjang: gejala neuropsikiatri, depresi dan neuropati
perifer.
Gejala pencernaan: diare, muntah, pankreatitis (spasme sphincter Odi, cek
kadar serum amilase).
Gejala kardiovaskuler: peningkatan dan ketidakseimbangan rangsangan
otonom (terutama vagal), takiaritmia dan bradiaritmia, Torsades de Pointes VT,
hipo/hipertensi.
Gambar 2. Tingkatan keparahan keracunan (Sammut, 2009).
6. DIAGNOSA
Diagnosa keracunan organofosfat sering ditegakkan berdasarkan riwayat
paparan yang signifikan dan gejala yang terkait. Jika diduga keracunan
organofosfat, penatalaksanaan langsung sangat dianjurkan tanpa menunggu hasil
laboratorium. Intervensi awal menurunkan risiko efek kolinergik awal dan
lanjutan pada sebagian besar pasien. Pada pasien yang diduga keracunan, sampel
darah harus diambil untuk menilai level pseudocholinesterase plasma dan
asetilkolinesterase (AChE) di sel darah merah. Penurunan jumlah
pseudocholinesterase plasma dan atau aktivitas AChE sel darah merah
menunjukkan adanya absorbsi organofosfat yang berlebihan. Penurunan jumlah
enzim akan terjadi dalam beberapa menit atau jam setelah absobsi sejumlah
organofosfat yang signifikan. Beberapa jenis organofosfat dapat menghambat baik
pseudocholinesterase plasma ataupun AChE sel darah merah. Penurunan jumlah
enzim plasma dapat bertahan selama beberapa hari sampai minggu. Aktivitas
enzim di sel darah merah dapat mencapai level terendah dalam beberapa hari dan
biasanya menetap lebih lama, terkadang sampai 1-3 bulan, sampai enzim baru
terbentuk menggantikan yang telah diinaktivasi oleh organofosfat (Reigart, 1999).
7. PENATALAKSANAAN
7.1 Stabilisasi (Sammut, 2009)
Airway:
Tujuan terapi: perlindungan jalan nafas, pencegahan aspirasi, clearance dari
sekret dan ventilasi yan adekuat.⇒ Jika tidak dapat melindungi jalan nafas intubasi dan ventilasi
Breathing:
Risiko kelemahan atau paralisa otot-otot nafas yang disertai sekret
menyebabkan kegagalan pernafasan. Peningkatan oksigenasi jaringan dengan
pemberian oksigen dan atropin, mengurangi hipoksia akan meminimalisasi
risiko fibrilasi ventrikel.
Circulation: tekanan darah dapat meningkat atau turun⇒ Perhatikan tekanan darah, jika hipotensi dapat dipertimbangkan
Deficits: kejang dapat terjadi
Lanjutkan pemberian atropin disertai benzodiazepines, pasien dapat juga
diberikan barbiturat
7.2 Dekontaminasi (Sammut, 2009; CDC, 2013)
Tindakan yang diambil untuk orang yang terpapar berbeda tergantung cara
pemaparan.
Kulit:
Jika seseorang mengalami kontak melalui kulit, maka pakaiannya harus
dilepas dan diletakkan di kantung plastik dan orang tersebut dibersihkan
dengan sabun dan air.
Kulit – kontaminasi kulit, baju, rambut dan mata
Cuci bahan kimia dari mata dengan larutan NaCl 0.9% steril
Lepas pakaian dan mandikan pasien, keramasi rambut dengan
sabun dan air
Pastikan lipatan kulit dan bagian bawah kuku sudah bersih
Pakaian atau barang-barang yang terkontaminasi harus dilepas dan
diberi label berisi identitas pasien dan diberikan tanda
“Contaminated Personal Belongings”.
Sabun yang mengandung chlorhexidine dan alkohol membantu
membersihkan senyawa lipofilik.
Tertelan:
Jangan merangsang muntah. Jika pasien masih sadar dan asimptomatik,
berikan karbon aktif jika belum diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB (bayi,
anak, dosis dewasa) (CDC, 2014).
Kumbah lambung dapat berguna dalam beberapa kondisi untuk
membersihkan material toksik. Pertimbangan melakukan kumbah lambung
adalah jika (1) jumlah yang tertelan cukup besar; (2) kondisi pasien dievaluasi
dalam 20 menit; (3) pasien mengalami lesi di mulut atau ketidaknyamanan di
esofagus dan (4) kumbah lambung dapat dilakukan dalam 1 jam setelah
paparan (CDC, 2014).
7.3 Antidotum
1. Atropin
Atropin menghambat efek asetilkolin secara kompetitif (Sammut, 2009; Yurumez,
2007; Munaf, 1997).
Dosis: 1- 2mg IV pada keracunan sedang; 2- 5mg IV pada keracunan berat atau
sebagai infus dengan dosis 10- 20mg/jam.
Saat memulai terapi, naikkan dosis dua kali lipat tiap 3-5 menit sampai efek
muskarinik berkurang (berkeringat, salivasi dan bronkore).
Jika sejak awal akses intravena susah didapat, mulai atropinisasi dengan
atropin secara intramuskuler pada dosis 2 mg. Naikkan dosis seperti diatas.
Kemudian mulai infus: atropin 60 mg dalam 50 mL syringe.
Titrasi dari 100 mikrogram/jam (0.1mL/jam) sampai 10-20mg (8.5 to 17mL)
/jam berdasarkan kebutuhan awal.
Takikardi bukan kontraindikasi terapi (ini bisa terjadi karena hipoksia atau
stimulasi simpatis). Dilatasi pupil bukan tanda terapi yang adekuat.
Atropin tidak efektif terhadap efek nikotinik (sehingga depresi nafas dan
kelemahan otot tetap terjadi meskipun dengan pemberian atropin).
Jika dengan auskultasi terdengar crackles atau terjadi perbaikan terhadap
miosis, bradikardi atau berkeringat, atropinisasi telah tercapai.
Pengobatan maintenance dilanjutkan sesuai keadaan klinis penderita,atropin
diteruskan selama 24 jam kemudian diturunkan secara bertahap.
2. Pralidoksim (Pralidoxime)
Pralidoksim merangsang pembentukan asetilkolin dan bekerja secara
sinergis dengan atropin. Pralidoksim harus diberikan seawal mungkin pada kasus
keracunan karena efektivitasnya dapat berkurang jika diberikan lebih dari 24-36
jam setelah paparan. Dosis untuk dewasa adalah 1 gram; anak-anak adalah 25- 50
mg/kg. Obat ini harus diberikan secara intravena selama 30-60 menit, tapi dalam
keadaan mengancam nyawa, setengah dari dosis total dapat diberikan per menit
dengan pemberian total selama 2 menit. Pemberian secara cepat dapat
menyebabkan takikardi, spasme laring, kaku otot dan hambatan neuromuskuler
sementara (Sammut, 2009; Yurumez, 2007; CDC, 2014).
Terapi dapat mulai memberikan efek dalam 40 menit dengan
berkurangnya gejala dan jumlah atropin yang digunakan untuk mengontrol sekresi
bronkus. Dosis awal dapat diulang dalam 1 jam dan tiap 8-12 jam sampai keadaan
klinis pasien baik dan tidak membutuhkan atropin. Jika akses intravena susah
didapat, pralidoksim daat diberikan secara intramuskuler. Pralidoksim
dimetabolisme di hepar dan diekskresi oleh ginjal Tidak mempengaruhi fungsi
SSP karena tidak dapat melewati blood brain barrier. (Sammut, 2009; Yurumez,
2007; CDC, 2014).
7.4 Pengobatan suportif (Yurumez, 2007; Reigart, 1999)
Tujuan: mempertahankan homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi
lengkap
Hipoglikemia : glukosa 0,5 - 1g /kg BB IV
Kejang : diazepam 0,2 - 0,3 mg/kgBB IV
Analgesik (parasetamol dan non-opiat) untuk meredakan nyeri otot.
7.5 Monitoring dan observasi: (Sammut, 2009)
Observasi meliputi EKG kontinyu, tekanan darah dan saturasi O2
Pasien dapat membutuhkan observasi tekana darah intraarterial dan tekanan
vena sentral pada kasus berat.
Observasi pemburukan setelah penurunan dosis obat, auskultasi basis paru
untuk mendengar crackles.
Monitoring secara terus-menerus diperlukan selama 72 jam atau lebih.
8. PENCEGAHAN
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah atau meminimalisasi
terjadinya keracunan organofosfat: (Reigart, 1999)
Penggunaan alat proteksi diri saat bekerja
Penggunaan alat proteksi diri pada petugas kesehatan yang melakukan
dekontaminasi
Kurangi atau eliminasi penggunaan pestisida organofosfat di area rumah
dan sekitarnya
Pastikan penyimpanan yang aman dan pemberian label pestisida
Jangan menyimpan pestisida di dalam rumah
Buang atau cuci tempat atau alat yang terkontaminasi pestisida
Cuci pakaian kerja yang berpotensi terkontaminasi dengan pakaian rumah
Lepas pakaian kerja yang berpotensi terkontaminasi sebelum beraktivitas
selanjutnya
Cuci buah dan produk segar lainnya, mulai konsumsi makanan organik
Jika pestisida digunakan di dalam rumah:
Jangan menggunakan pestisida melebihi anjuran
Gunakan sarung tangan proteksi, lengan panjang dan baju proteksi
Jangan masuk ke area yang baru diaplikasikan pestisida sampai waktu
yang telah ditentukan
9. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya baik, bila pengobatan belum terlambat.
Beberapa kesalahan penatalaksanaan yang sering terjadi: (Reigart, 1999)
Resusitasi kurang baik dikerjakan
Eliminasi racun kurang baik
Dosis atropin kurang adekuat atau terlalu cepat dihentikan.
Tingkat kematian bergantung pada tipe senyawa yang digunakan, jumlah,
keadaan kesehatan pasien, adanya hambatan penemuan kejadian dan transpor,
penatalaksanaan pernafasan kurang baik, intubasi yang terlambat dan kegagalan
bantuan ventilasi. Komplikasi meliputi bronkore parah, kejang, kelemahan dan
neuropati. Kegagalan pernafasan adalah penyebab kematian paling sering
(Yurumez, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Nerve Agent and
Organophosphate Pesticide Poisoning.
http://emergency.cdc.gov/agent/nerve/tsd.asp
2. Centers for Disease Control and Prevention. Agency for Toxic Substances
and Disease Registry. 2014. Medical Management Guidelines for
Malathion. http://www.atsdr.cdc.gov/MMG/MMG.asp?id=517&tid=92
3. Departemen Kesehatan RI. 2000. Pengenalan pestisida. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
4. Klaassen C. Casarett & Doull's Toxicology: The Basic Science of Poisons,
Seventh Edition. New York: Mcgraw-hill, 2007.
5. Krieger RI. Handbook of Pesticide Toxicology. San Diego, CA: Academic
Press, 2001.
6. Munaf, S., 1997, Keracunan Akut Pestisida Teknik Diagnosis, Pertolongan
Pertama Pengobatan dan Pencegahannya, Widya Medika, Cetakan
Pertama, Jakarta.
7. Reigart JR, Roberts, J.R. Recognition and mangement of pesticide
poisonings, Fifth Edition, 1999.
8. Sammut, John. 2009. Organophosphate Poisoning: Emergency
Department Management of Organophosphate Poisoning. Sydney South
West Area Health Service. P: 1-9
9. Sartono, 2002. Racun dan Keracunan, Penerbit Widya Medika, Jakarta
10. Sudarmo S. Pestisida. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
11. Sumirat J, 2005. Toksikologi Lingkungan, Penerbit Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
12. Yurumez Y, Durukan P, Yavuz Y, et al. Acute organophosphate poisoning
in university hospital emergency room patients. Intern Med. 2007.
46(13):965-9.