landasan pendidikan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan sebagai kegiatan pembelajaran, memilki keragaman sesuai
dengan ragam komunitas manusia. Itulah sebabnnya pendidikan hanya ditemukan
unsur universalnya saja. Keragaman pendeididikan tersebut disebabkan karena
perbedaan cara memberikan makna atau arti daripada pendidikan itu sendiri
sebagai gejala sosial.
Dalam masyarakat liberal, pendidikan dipandang sebagai investasi yang
mana pada penyelenggaraanya umumnya bersifat mahal. Sedangkan mayarakat
lain memandang pendidikan sebaggai proses civilisasi yaitu prosees untuk
menjadikan anak didik sebagi warganegara yang baik. Di indonesia pendidikan
merupakan proses yang multi tujuan yang bertujuan yaitu untuk penyiapan tenaga
kerja, kepentingan politik maupun untuk karakter building.
Perbedaan corak pendidikan di masing-masing negara berbeda.
Penyebabnya adalah karena konsep dan pandangan tentang pendidikan itu sendiri
berlainan antara satu komunitas dengan komunitas lain. Di Indonesia lebih
ditekankan penguasaan landasan dengan terbentuknya masyarakat meriktokratik
artinya memberikan waktu atau jam pelajaran yang luas dalam penguasaan mapel
tertentu, hal ini bukan menjadi masalah karena masing-masing negara memiliki
pemahaman sendiri tentang pendidikan. Di indonesia bannyak dijumpai berbagai
penekanan materi seperti :
1. ilmu humanioral sebagai proses humanisasi
2. penguasaan tekhnologi sebagai transfer ilmu dan tekhnologi
3. alat rekayasa pembangunan bangsa
4. mengutamakan aspek politis sebagai sarana menjadikan anak didik
warga negara yang baik
1
Pendidikan sendiri tidak boleh stagnan namun harus selalu mengikuti
sarana kemajuan misalnya pendidikan juga harus diperbaharui dan direkonstruksi
terus menerus agar relevansi tercapai.
Wujud pendidikan yang ada bercorak simbiosis yaitu menyatu dengan
irama hidup dan interaksi diantara orang dewasa dan anak anak.
Kartini kartono (1992 : 1) memandang bahwa masyarakat merupakan
sekolah besar. Kompleksitas antara material pengetahuan yang ditransferkan
dengan empirika pendidikan kehidupan berbaur menjadi satu sehingga pemilihan
mana kurikulum sejauh mana progress pembelajaran menjadi sangat kabur.
Ditinjau dari aspek fungsional memang jauh lebih fungsional sebab apa yang
dilakukan anak adalah sesuatu pengetahuan yang sangat berguna dan langsung
dapat dimanfaatkan.
Ide muatan pembelajaran frungsional dan memiliki tingkat utilitas tinggi
inilah kelak dalam alam pendidikan modern diadopsi menjadi prinsip fungsional
pendidikan. Dalam pendidikan di perguruan tinggi sekarang ini prinsip tersebut
dikembangkan menjadi orientasi user, yaitu pemaketan materi berdasarkan
kebutuhan yang memang diperlukan oleh pengguna sehingga tidak terjadi
pemubadiran dan pengangguran pendidikan.
Pendidikan merupakan proses pencetakan tenaga kerja sehingga semasa
tidak terjadi pengangguran selain itu juga karena mental lulusan pendidikan
indonesia berjiwa seeker job (pencari kerja) bukan creator job (pencipta kerja) dan
lagi kalau pandangan pendidikan itu bercorak, bahwa pendidikan itu adalah proses
humanisasi dimana pendidikan diabdikan pada kemuliaan manusia.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak
dari sejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan
dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama
terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Landasan
pendidikan tersebut memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan
tujuan pendidikan. Diantara landasan-landasan pendidikan tersebut, yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah landasan filosofis dan Sosiologis Pendidikan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Filosofis
I. Pengertian Landasan Filosofis
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam filsafat
pendidikan, meyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang
sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik
dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme,
Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan
Ekstensialisme.
1. Esensialisme
Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik
(liberal arts) atau bahan ajar esensial.
2. Perenialisme
Perensialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan
(perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal.
3. Pragmatisme dan Progresifme
Prakmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai
kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang
menentang pendidikan tradisional.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan
sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
II. Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional
3
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. sedangkan Ketetapan MPR RI No.
II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan Pancasila adalah jiwa rakyat Indonesia,
kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar
negara Indonesia. Atas dasar filsafat atau pandangan hidupnya, pancasila bangsa
Indonesia memiliki filsafat pendidikan tersendiri antara lain sebagai berikut :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara (pasal 1 UU RI NO 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional)
Tujuan pendidikan, untuk mngembangkan potensi peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha ESA, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, berkreatif, mandiri dan menjadi warga negara yanng
demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 UU RI NO. 20 tahun 2003 tentang
sisitem pendidikan nasional).
Kurikulum pendidikan, disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka negara kesatuan republik Indonesia dengan memperhatikan:
1. Peningkatan iman dan taqwa
2. Peningkatan akhlak mulia
3. Peningkatan potensi kecerdasan dan minat peserta didik
4. Keragaman potensi daerah dan lingkungan
5. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
6. Tuntutan dunia kerja
7. Perkembangan ilmu pengetahuan tekhnologi dan seni
8. Agama
9. Dinamika perkembangan global
10. Persatuan nasional dan nilai nilai kebangsaan.
4
Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud
diatas diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (pasal 36 UU RI No 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional)
Metode pendidikan. Berbagai metode pendidikan yang ada merupakan
alternatif untuk diaplikasikan. Sebab tidak ada satu metode mengajar pun yang
terbaik dibandingkan metode lainnya dalam segala konteks pendidikan. Dalam
praktik pendidikan pemilihan dan aplikasi metode pendidikan diharapkan
mengacu pada prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dan sebaliknya bersifat
multi metode.
Peran pendidik dan peserta didik, Ada berbagai peranan pendidik dan
peserta, namun pada dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat dan tersirat
dalam semboyan ”ing ngarso sung tulodho” artinya pendidik harus memberikan
atau menjadi teladan bagi peserta didiknya. ”ing madya mangun karsa” artinya
pendidik harus mampu membangun karsa pada diri peserta didiknya dan ”tut wuri
handayani” artinya bahwa sepanjang tidak berbahaya pendidik harus memberi
kebebasan atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri.
Landasan filosofis ini bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat
manusia dan hakikat anak. Dalam pandangan pendekatan ini anak berbeda dengan
orang dewasa. Dalam pandangan tentang pendidikan menegaskan bahwa
pendidikan tidak boleh didesign dengan ukuran dan titik tolak orang dewasa.
Pendidikan harus disajikan dengan pola pikir alam anak, sebab nilai dan alur pikir
orang dewasa tidak sama dengan alur nasional anak-anak. Landasan ini mengakui
adanya norma-norma anak sehingga hakikat pendidikan adalah pelayanan
educational yang iramanya sesuai dengan perkembangan irama anak, bukan irama
orang dewasa yang diperuntukan anak-anak. Pendidikan sebatas membantu anak
anak menuju kedewasaannya sehingga anak dibiarkan mengambil keputusan
sendiri atas kepentingannya, pendidikan akan berakhir ketika siswa sudah mampu
bertanggungjawab.
5
B. Landasan Sosiologis
Sosiologi lahir di Eropa pada abad ke-19 oleh seorang sosiologis yang
bernama August Comte pada tahun 1839, kemudian diikuti oleh negara-negara
lain. Sosiologi sebagai ilmu empiris merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang masyarakat, mempelajari berbagai tindakan sosial yang
menjelma dalam realitas sosial. Sosiologis pendidikan bertolak dari perjuangan
untuk memperbaiki masyarakat melalui pendidikan, kemudian berkembang ke
arah kajian akademik dan perbaikan praksis pendidikan. Landasan sosiologi
mengandung norma dasar yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat
yang dianut oleh suatu bangsa.
I. Pengertian Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan dan
karakteristik masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang
proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan.
Lembaga pendidikan harus diberdayakan bersama dengan lembaga sosial.
dalam hal ini, pendidikan disejajarkan dengan lembaga ekonomi, politik sebagai
pranata kemasyarakatan, pembudayaan masyarakat belajar (society learning)
harus dijadikan sarana rekonstruksi sosial. Apabila perencanaan pendidikan yang
melibatkan masyarakat bisa tercapai, maka patologi sosial setidaknya dapat
terkurangi. Hasrat masyarakat belajar sampai saat ini masih rendah. Hal ini
ditandai dengan rendahnya angka partisipasi masyarakat dalam sekolah, terutama
dalam membangun masyarakat belajar.
Sistem pendidikan nasional tidak mungkin selalu bertumpu pada
Pemerintah, sebab dengan adanya krisis, Pemerintah semakin tidak mampu untuk
membiayai pendidikan, demikian pula apabila pendidikan hanya terarah pada
tujuan penbelajaran yang murni pada aspek kognitif, afektif, tanpa mengaitkan
dengan kepentingan sosial, politik dan upaya pemecahan problema bangsa maka
6
pendidikan tidak akan mampu dijadikan sebagai sarana rekonstruksi sosial. Dalam
kaitannya dengan perluasan fungsi pendidikan lebih jauh, maka diperlukan
pengembangan sistem pendidikan nasional yang didasarkan atas kesadaran
kolektif bangsa dalam rangka ikut memecahkan berbagai kesulitan soisial.
Pendidikan nasional yang berlandaskan sosiologis dalam
penyelenggaraannya harus memperhatikan aspek yang berhubungan dengan sosial
baik problemanya maupun demografis. Masalah yang kini sedang dihadapi
bangsa adalah masalah disparitas sosial ekonomi sehingga pendidikan dirancang
untuk mengurangi beban disparitas tersebut. Aspek sosial lainnya seperti
ketidaksamaan mengakses informasi yang konsekuensinya akan mempertajam
kesenjangan sosial dapat dieliminir melalui pendidikan.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua
individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda
memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga
sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada
pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada
kegiatan pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
II. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan
masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda.
Para pendukung politik etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya
keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah
jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui
edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu
amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis
sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat
itu antara lain: Van Deventer, R.A. Kartini, dan R. Dewi Sartika.
7
III. Landasan Sosiologis Pendidikan
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk
memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan
perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat
tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai,
terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma
sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-
masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang
dianut oleh pengikutnya, yaitu:
1. Paham individualisme
dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-
masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu
keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang
lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam
masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota
masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan
dampak yang kuat.
2. Paham kolektivisme
memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan
anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi
masyarakatnya.
3. Paham integralistik
dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling
berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat.
Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis
melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan
8
relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan
kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham
integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat:
1. kekeluargaan dan gotong royong,
2. kebersamaan,
3. musyawarah untuk mufakat,
4. kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat,
5. negara melindungi warga negaranya,
6. selaras, serasi, seimbang antara hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan
kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur
masyarakatnya.
IV. Ruang Lingkup dan Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan
namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational
Sociology) adalah cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh
professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan)
dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan
adanya empat pokok bahasan berikut:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain atau system
sosial lain.
2. Hubungan kemanusiaan, hubungan sekolah dengan komunitas sekitar.
3. Pengaruh sekolah pada perilaku anak didiknya/anggotanya.
9
4. Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah
dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya (hubungan
antarmanusia dalam suatu sistem pendidikan).
Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi
mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses
pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut
kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang
sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata
pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan
komunitas sekitar, interaksi sosial antara orang-orang dalam satu unit pendidikan,
dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik.
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan
dituntut melakukan tiga fungsi pokok:
1. fungsi eksplanasi
yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk
ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan konsep-konsep,
proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi empirik sampai dalil
dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai hasil penelitian
lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari lingkungan lain,
serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan informasi
yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan
yang baik dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang dihadapi secara
akurat. Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui berbagai media
komunikasi.
2. fungsi prediksi
yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang diperkirakan akan
muncul pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu, tuntutan masyarakat
akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan
eksternal yang masuk ke dalam masyarakat melalui berbagai media komunikasi.
10
Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam perencanaan pengembangan
pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.
3. fungsi utilisasi
yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial,
kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, dan
masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan
fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan
utilisasi), melalui pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena sosial dan
pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional
dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha
untuk menghimpun data dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-
orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik,
tentang hubungan antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan
tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain.
V. Masyarakat Indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem
Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar
sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi
bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan ada kalanya
mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama.
Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam
arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya
masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau
suku. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain:
1. Ada interaksi antara warga-warganya,
11
2. Pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat, norma-norma,
hukum, dan aturan-aturan khas,
3. Ada rasa identitas kuat yang mengikat para warganya,
4. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas
terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai
patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial.
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari
dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai
masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui
perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu
kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat
ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni:
1. Secara horizontal, ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial atau
komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan
kedaerahan
2. Secara vertikal, ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara
lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah
Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol
adalah:
1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan sosial
jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi
3. Seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan
konsensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar
4. Di antara kelompok relatif seringkali mengalami konflik
5. Terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi
12
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok
sosial yang lain
7. Secara relatif integrasi sosial sukar dapat tumbuh.
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman
pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat
majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun
secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat
dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang
kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai
bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin
mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun
jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang
semakin kokoh.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan
tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin
mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan
lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan lokal
di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia
lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan
dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa
nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam,
sosial, dan budaya) di sekitarnya.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam filsafat
pendidikan, meyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang
sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik
dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme,
Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan
Ekstensialisme.
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. sedangkan Ketetapan MPR RI No.
II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh
rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa
Indonesia, dan dasar negara Indonesia.
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk
memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan
perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat
tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai,
terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma
sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-
masing anggota masyarakat.
Landasan sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan, dan
karakteristik masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisa ilmiah tentang
proses sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh
sosiologi pendidikan meliputi empat bidang:
hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain
hubungan sekolah dengan komunitas sekitar
14
hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah
mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar,
mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan kompleks.
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan
dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan
ke-Bhineka tunggal ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur
pendidikan luar sekolah.
15
Daftar Pustaka
Suparyo, ypssy.2005.Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional.Yogyakarta: Media Abadi.
http://fatamorghana.wordpress.com/profil-hartoto/
http://meetabied.wordpress.com/
http://yuvitarbog.blogspot.com/
16