paper landasan pendidikan

40
LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN (PHILOSOPICAL ROOTS OF EDUCATION) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pedagogik yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’i, M. Pd. Oleh: Siti Kustini (1402505) Ani Fiani (1402263)

Upload: dewinurdiyanti

Post on 27-Jan-2016

102 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

kumpulan makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Landasan Pendidikan

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

(PHILOSOPICAL ROOTS OF EDUCATION)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pedagogik

yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’i, M. Pd.

Oleh:

Siti Kustini (1402505)

Ani Fiani (1402263)

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris

Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

2015

Page 2: Paper Landasan Pendidikan

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena

dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul Landasan Filsafat dan Teori Pendidikan. Kami berterima

kasih kepada Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’i, M. Pd. selaku dosen mata

kuliah Landasan Pedagogik yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Secara garis besar, karya ilmiah ini memaparkan lima landasan filsafat

pendidikan yang meliputi idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme dan

postmodernisme; serta empat teori pendidikan yaitu esensialisme, perenialisme,

progresivisme dan teori kritis. Besar harapan kami, karya ilmiah ini akan

memberikan kontribusi kerangka konseptual tentang landasan filsafat dan teori

pendidikan terhadap para pendidik dan calon pendidik sehingga mereka dapat

mengembangkan dan mengkonstruksi filsafat pendidikan mereka sendiri.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi

pembaca. Kami menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna sehingga

kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

penyempurnaan makalah ini.

i

Page 3: Paper Landasan Pendidikan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... i

BAB I..................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B. Sistematika Laporan....................................................................................................1

BAB II................................................................................................................................................ 2

KAJIAN TEORI............................................................................................................................. 2

A. Landasan Filsafat Pendidikan...................................................................................2

1. Idealisme.....................................................................................................................2

2. Realisme......................................................................................................................4

3. Pragmatisme (experimentalisme).......................................................................5

4. Eksistensialisme.......................................................................................................6

B. Teori-Teori Pendidikan..............................................................................................7

1. Esensialisme.............................................................................................................. 8

2. Perenialisme...............................................................................................................9

3. Progresivisme.........................................................................................................10

4. Teori Kritis..............................................................................................................11

BAB III............................................................................................................................................14

PEMBAHASAN..........................................................................................................................14

A. Filsafat Pendidikan di Indonesia..................................................................................14

B. Perbandingan Filsafat dan Teori Pendidkan di Amerika Serikat dan Indonesia....................................................................................................................................17

BAB IV........................................................................................................................................... 19

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI......................................................19

A. Simpulan.......................................................................................................................19

B. Implikasi....................................................................................................................... 19

C. Rekomendasi...............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

ii

Page 4: Paper Landasan Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah

Landasan Pedagogik yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’i, M.

Pd. yang berlangsung pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Mata kuliah

Landasan Pedagogik ini merupakan mata kuliah yang wajib ditempuh oleh

seluruh mahasiswa pasca sarjana baik jenjang magister (S2) maupun jenjang

doktor (S3) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berdasarkan pertimbangan

kebermanfaatan dari mata kuliah ini. Mata kuliah ini memberikan bekal ilmu

pengetahuan dan pemahaman tentang perspektif pedagogik terhadap

permasalahan pendidikan baik yang bersifat filosofis, ilmiah maupun praksis

pendidikan di lapangan. Dengan ketiadaan mata kuliah ini, para pendidik dan

calon pendidik diragukan akan mampu memiliki keterampilan olah pikir, olah

rasa, olah raga dan olah karsa yang secara akomodatif mampu mengambil

keputusan-keputusan pemikiran dan praktek pendidikan dalam perspektif

antropologis praktis dan normatif yang berlandaskan pandangan religius, filsafah,

ilmiah, yuridis, kontesktual dan situasional.

Penugasan pembuatan makalah ini secara umum bertujuan untuk melatih

mahasiswa menyusun laporan karya ilmiah yang sesuai dengan buku pedoman

penulisan karya ilmiah dan secara khusus membantu memberikan pemahaman

terhadap konsep landasan pendidikan terutama pembahasan tentang landasan

sejarah dan filosofi pendidikan yang nantinya diharapkan akan mampu

menganalisis dan mengkomparasi pengetahuan tersebut dengan konteks yang ada

di Indonesia.

B. Sistematika Laporan

Laporan ini secara sistematis akan membahas tentang Landasan Filsafat

Pendidikan (Chapter 6: Philosophical Roots of Education) yang merupakan

bagian dari pembahasan Landasan Sejarah dan Filosofi Pendidikan (Part Two:

1

Page 5: Paper Landasan Pendidikan

Historical and Philosophical Foundations) yang disajikan dalam buku

Foundations of Education (Ornstein, Levine, Gutek: 2011, hal. 165-202).

Laporan ini terbagi dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang

memberikan informasi tentang status tugas dan tujuan penugasan. Bab II akan

membahas secara singkat tentang landasan filsafat pendidikan yang mencakup

lima landasan filsafat pendidikan yaitu idealisme, realisme, pragmatisme,

eksistensialisme, dan postmodernime; dan empat teori pendidikan yaitu

esensialisme, perenialisme, progresivisme dan teori kritis. Bab III akan memuat

perbandingan antara filsafat dan teori pendidikan yang digunakan di Amerika dan

filasafat dan teori pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Bab IV merupakan

bab kesimpulan dari seluruh pembahasan dan implikasi serta rekomendasi yang

akan diberikan oleh penyusun berkaitan dengan landasan filsafat dan teori

pendidikan dalam praktek kependidikan.

2

Page 6: Paper Landasan Pendidikan

2

Page 7: Paper Landasan Pendidikan

BAB II

KAJIAN TEORI

Bab ini akan memaparkan kerangka konseptual landasan filosofis dan teoritis

dalam ranah kependidikan yang diterapkan di Amerika Serikat. Landasan filsafat

pendidikan yang akan dibahas mencakup lima landasan yaitu idealisme, realisme,

pragmatisme, esensialisme, dan postmodernisme, sedangkan teori pendidikan

yang dikaji mencakup esensialisme, perenialisme, progresivisme dan teori kritis.

A. Landasan Filsafat Pendidikan

Bagian bab ini akan membicarakan lima landasan filsafat pendidikan yang

secara umum digunakan sebagai kerangka konseptual yang dibutuhkan oleh para

pendidik yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme dan

postmodernisme. Lima landasan filosofi pendidikan ini membahas empat kajian

pokok yakni metafisika (hakikat sesuatu), epistemologi (pengetahuan), aksiologi

(nilai) dan logika (cara berfikir) serta implikasinya terhadap dunia pendidikan.

Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipaparkan secara sistematis dan

komprehensif tentang lima landasan filsafat pendidikan, yaitu:

1. Idealisme

Idealisme merupakan salah satu filsafat barat yang tertua, dimulai oleh Plato

yang mengajarkan filsafatnya di Yunani. Pada abad ke-19, Goerg W.F. Hegel

(1770-1831) seorang berkebangsaan Jerman, mengajarkan filsafat sejarah

manusia. Selain itu di Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson (1803-1882) dan

Henry David Thoreau (1817-1862) mengembangkan idealisme versi Amerika

yang disebut trancendentalism – menemukan kebenaran di alam serta Friedrich

Froebel yang mengembangkan TK (taman kanak-kanak).

Kaum idealisme meyakini bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah

spiritual dan rohaniah (non materi). Seperti contoh, dunia merupakan ciptaan/hasil

suatu pemikiran universal, fikiran mutlak yang berasal dari Tuhan seperti

kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang sama dimanapun didunia ini. Kaum ini

3

Page 8: Paper Landasan Pendidikan

4

memandang pengetahuan sebagai pemanggilan kembali ide-ide yang sudah ada

dalam fikiran manusia (a priori ideas) melalui berpikir. Oleh karena itu,

kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari

pandangan tentang kenyataan atau metafisika. Serta logika berfikirnya

menggunakan logika deduktif.

Implikasi idealisme terhadap pendidik secara umum terlihat jelas dalam dua

aspek seperti kurikulum dan metode pendidikan. Pada kurikulum, pengembangan

kemampuan berpikir melalui pendidikan umum (liberal arts) dan pendidikan

praktis. Serta pada aspek metode pendidikan, metode yang disusun adalah metode

Socratis – pendidik merangsang kesadaran ide peserta didik dengan menanyakan

pertanyaan-pertanyaan penyelidikan. Serta pendidik dituntut untuk memiliki

ekspektasi intelektual yang tinggi terhadap siswa dan menuntut peserta didik

untuk berjuang dan berusaha keras untuk mencapai intelektual tersebut.

2. RealismeRealisme dikembangkan oleh Aristotle (384-322 SM), seorang filosof Yunani

yang menegaskan bahwa realita itu bersifat objektif atau diluar fikiran manusia.

Pada abad pertengahan, paham ini dikembangkan oleh Thomas Aquinas (1224-

1274) yang menyatakan bahwa realita tidak bergantung pada pengetahuan

manusia atau tidak dibuat oleh manusia tetapi manusia dapat mengetahuinya

melalui metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara terbaik untuk memperoleh

deskripsi yang akurat tentang apa itu dunia dan bagaimana dunia ini bekerja.

Kaum realis meyakini bahwa dunia materi bersifat independen dan tidak

terikat dalam fikiran manusia. Berdasarkan pandangan filsafat ini, pengetahuan

meliputi dua langkah: sensasi dan abstraksi. Pertama, sensasi melihat suatu benda

dan menyimpannya dalam fikiran serta memilah seperti warna, ukuran, berat, bau

dan suara. Hal ini berkaitan dengan kualiatas suatu objek. Kedua, abstraksi

meringkas suatu konsep dan mengenalinya seperti memiliki suatu kelas tertentu.

Dengan kata lain, pengetahuan dapat diperoleh melalui pengindraan atau

kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya

dengan fakta. Nilai bersifat absolut dan hakiki berdasarkan hukum alam universal

atau tingkah laku mansuia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui

Page 9: Paper Landasan Pendidikan

5

ilmu. Serta logika berpikir yang digunakan adalah logika berpikir deduktif dan

induktif.

Implikasi realisme pada perspektif pendidik terlihat pada kurikulum yang

menekankan disiplin ilmiah dan humanis, ruang kelas merupakan tempat belajar

bukan terapi. Selain itu, para pendidik mengajarkan keterampilan (membaca,

menulis) dan ilmu pengetahuan dasar (seperti sejarah, matematika, ilmu

pengetahuan alam) yang berdasarkan pengetahuan para ahli sehingga jelas bahwa

mereka fokus pada pembelajaran kognitif dan penguasaan isi (mata pelajaran).

3. Pragmatisme (experimentalisme)Pragmatisme menekankan kebutuhan untuk menguji kebenaran ide manusia

dengan tindakan. Beberapa pendiri kaum pragmatis yaitu Charles S. Peirce (1839-

1914) menekankan penggunaan metode ilmiah untuk memvalidasi ide secara

empiris, William James (1842-1910) yang mengaplikasikan filsafat pragmatik

pada psikologi, George Herbert Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa

anak-anak berkembang dan belajar melalui pengalaman, dan John Dewey (1859-

1952) yang mengembangkan experimentalisme dalam pendidikan yaitu berfikir

dan belajar merupakan pemecahan masalah.

Pragmatisme menolak metafisika (spekulasi yang tidak dapat diverifikasi

secara empiris) dan fokus pada epistimologi, bagaimana kita membangun

pengetahuan kita, dalam dunia yang selalu berubah. Konsep kunci dalam

pragmatisme yaitu pengalaman, interaksi setiap orang dengan lingkungan (sosial,

budaya dan alam). pengetahuan berasal dari suatu proses antara peserta didik dan

lingkungan. Pengetahuan bersifat relatif dan terus berkembang. Oleh karena itu,

ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental

dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolut

sehingga apapun yang berkontribusi terhadap perkembangan perseorangan dan

sosial itu bernilai dan logika eksperimentalisme yang digunakan adalah logika

induktif.

Implikasi pragmatisme dalam pendidikan dapat terlihat dalam beberapa

aspek. Pertama, ilmu pengetahuan dasar sebagai instrumen sehingga pendidik

fokus terhadap proses pemecahan masalah dari pada mentransfer ilmu

Page 10: Paper Landasan Pendidikan

6

pengetahuan dasar tersebut terhadap siswa. Kedua, peserta didik diharapkan dapat

mengaplikasikan metode pemecahan masalah sehingga mereka dapat

menghubungkan situasi sekolah dengan masyarakat. Ketiga, ruang kelas sebagai

komunitas. Dengan kata lain, guru merubah kelas menjadi komunitas

pembelajaran kolaboratif dengan mendorong siswa untuk berperan aktif dan

berbagi pengalaman seperti masalah dan minat mereka. Sehingga aspek yang

terakhir adalah guru sebagai pengambil resiko yang melihat pendidikan sebagai

sesuatu yang terbuka dan proses yang tidak menentu.

4. Eksistensialisme Eksistensialisme lebih pada suatu proses berfilsafat. Seorang filosofnya

adalah Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang menyatakan eksistensi mendahului

esensi. Dia menekankan peranan imaginasi manusia sebagai suatu cara untuk

mengetahui dan merasa. Manusia diciptakan kedunia tidak memiliki pilihan untuk

menjadi apa tetapi manusia memiliki kekuatan diri dan keinginan untuk memilih

dan mengkreasikan tujuan mereka sendiri. Aliran ini meyakini bahwa alam

semesta tidak berbeda terhadap harapan, hasrat dan rencana manusia. Sehingga

manusia harus membuat pilihan yang bermakna seperti kebebasan, cinta dan

benci, damai dan perang, serta keadilan atau ketidak adilan.

Para eksistensialis menganggap aksiologi paling penting karena manusia

mengkreasikan nilai mereka sendiri melalui pilihan mereka. Pengetahuan

seseorang tentang kondisi manusia dan pilihan pribadi yang manusia buat itu

krusial.

Implikasinya dapat terlihat pada pendidik dikelas. Pendidik harus mendorong

kesadaran peserta didik untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan dan

definisi diri mereka sendiri. Untuk melakukan hal ini, guru harus mendorong

peserta didik untuk menentukan institusi, kekuatan dan kondisi yang membatasi

kebebasan memilih. Mereka juga menentang tes berstandar untuk mengukur

kesuksesan akademik karena institusi yang berdasarkan standar di setiap kelas

mengurangi keunikan setiap latar pendidikan.

5. Posmodernisme

Postmodernisme merupakan periode sejarah modern yang telah berakhir dan

sekarang manusia hidup pada era postmodern. Aliran ini dikembangkan oleh

Page 11: Paper Landasan Pendidikan

7

filosof Jerman seperti Friedrich Nietzche (1844-1900) dan Martin Heidegger

(1899-1976). Neitzche menolak klaim metafisik tentang kebenaran universal dan

Heidegger menegaskan bahwa manusia mengkonstruk kebenaran subjektifitas

mereka sendiri. Setelah itu, post modern dikembangkan oleh Michel Foucault dan

Jacques Derrida. Foucault menentang para ahli pada era modern seperti pendidik

yang mengklaim bahwa kebenaran itu sama, objektif, dan tidak bias. Derrida

mengembangkan dekonstruksi yang merupakan sebuah metode untuk menyimpan

keaslian dan makna teks.

Posmodern memunculkan beberapa pertanyaan tentang siapa yang mengatur

tujuan pendidikan dan menentukan bagaimana kurikulum dibuat, teks apa yang

merepresentasikan pengetahuan yang diakui dalam kurikulum, teks dan

pengalaman apa yang dimasukkan dan tidak, bagaimana orang-orang

menginterpretasikan teks untuk membangun dan mempertahankan hubungan

kekuasaan antar kelompok yang berbeda.

Implikasi posmodernisme terhadap pendidik. Pendidik harus memberdayakan

diri mereka sendiri menjadi pendidik profesional. Mereka berhak

mendekonstruksi tujuan sekolah, kurikulum dan organisasi serta peranan dan misi

pendidik. Selain itu, proses pemberdayaan pendidik dan terdidik dimulai dari

sekolah dan komunitas dimana mereka bekerja dan hidup. Oleh sebab itu,

pendidik bisa mengkreasikan filsafat pendidikan mereka sendiri berdasarkan

situasi dan kondisi mereka sendiri.

B. Teori-Teori PendidikanBagian ini akan membahas empat teori pendidikan yang mencakup antara lain

esensialisme, perenialisme, progresivisme, dan teori kritis. Teori pendidikan ini

mengkaji peran dan fungsi sekolah, kurikulum, pengajaran, dan pembelajaran.

Beberapa teori pendidikan yang dikemukakan dalam bab ini berasal dari ranah

filosofi, dan beberapa yang lain berasal dari ranah praktik pendidikan.

Pembahasan akan dimulai dari tradisional teori esensialisme dan perenialisme,

yang berakar pada idelisme dan realism, dan menggunakan pendekatan ilmu

pengetahuan dasar dalam belajar dan pembelajaran. Kemudian pembahasan

dilanjutkan dengan teori progresivisme, yang banyak diwarnai dengan teori

pragmatisme, dan teori kritis yang bersumber dari eksistensialisme dan

Page 12: Paper Landasan Pendidikan

8

postmodernisme, yang menghubungkan proses pembelajaran dengan perubahan

sosial.

1. Esensialisme

Esensialisme berupaya memberdayakan fungsi utama sekolah untuk

mencapai adanya peradaban manusia dengan cara mengajarkan kepada siswa

berbagai ketrampilan dan ilmu pengetahuan dasar dalam kurikulum yang tersusun

secara sistematis. William C. Bagley (1872-1946), profesor penganut aliran

esensialisme yang ternama, berpendapat bahwa sekolah harus mengajarkan

ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk hidup dalam

masyarakat yang demokratis. Kegagalan sekolah dalam memberikan bekal

ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang mendasar ini akan memberikan dampak

negatif yang siknifikan dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan dasar ini

mencakup ketrampilan literasi (membaca dan menulis) dan komputasi (aritmetika)

dan ilmu sejarah, matematika, sains, bahasa, dan sastra. Karena begitu banyaknya

hal yang harus dipejari sedangkan waktu yang tersedia untuk mempelajarinya

amatlah terbatas, kurikulum perlu menekankan pada pengetahuan dasar dan

pengajaran harus dijalankan secara efisien. Untuk pembelajaran yang efektif,

kurikulum perlu dibuat secara berurutan dan kumulatif. Dikatakan berurutan jika

disusun dari tingkat ketrampilan rendah ke tingkat ketrampilam yang lebih

kompleks. Dikatakan kumulatif jika apa yang dipelajari pada tingkat rendah

menuju kepada dan pengetahuan semakin bertambah pada tingkat selanjutnya.

Para penganut esentialisme berpendapat bahwa metode-metode pengajaran

inovatif dan populer yang mengabaikan pembelajaran yang sistematis dimana

guru berperan sebagai pengatur dan pengarah dalam pengajaran membaca,

menulis, dan berhitung akan menyebabkan kemunduran prestasi akademis siswa.

Mereka juga berpendapat bahwa sekolah dan guru harus bertanggungjawab dan

berkomitmen dalam misi utama akademis mereka dan tidak dibenarkan mengubah

misi pokok tersebut pada hal-hal yang bersifat non akademis. Tugas utama

sekolah adalah mendidik siswanya untuk memiliki ketrampilan dasar yang dapat

menjadi bekal agar dapat berdayaguna secara efektif dan efisien dalam

masyarakat yang demokratis.

Page 13: Paper Landasan Pendidikan

9

Para penganut esensialisme mendukung kurikulum berbasis ilmu

pengetahuan dasar yang membedakan dan mengatur ilmu tersebut sesuai dengan

logika internal atau prinsip-prinsip kronologis. Ketrampilan dan ilmu

pengetahuan harus dijabarkan secara komprehensif di dalam kurikulum yang

berkenaan dengan cakupan dan urutan penyajian yang bersifat kumulatif dan

menyiapkan siswa untuk belajar dimasa yang akan datang. Mereka tidak

mendukung adanya pendekatan pembelajaran yang inovatif dan berbasis proses,

seperti pendekatan konstruktivisme dimana siswa mengkonstruksi pengetahuan

mereka dengan cara kolaboratif, dan penilaian otentik dimana siswa mengevaluasi

perkembangan mereka sendiri.

Bagi para penganut esensialisme, tujuan pendidikan adalah menstransmisi

dan mempertahankan budaya manusia. Sekolah memiliki misi khusus

mentransmisikan ketrampilan dasar kepada generasi muda. Sebagai pendidik

profesional, guru harus (1) menjalankan secara efektif kurikulum yang telah

disusun; (2) mengajarkan pendidikan Barat tradisional dan nilai-nilai patriotisme,

kerja keras, usaha, disiplin, saling menghormati dan menghargai; (3) mengelola

kelas secara efisien, efektif, dan adil bijaksana; (4) mempromosikan siswa atas

dasar prestasi, bukan berdasar pertimbangan sosial.

2. Perenialisme

Perenialisme memiliki kesamaan dengan prinsip esensialisme dimana aliran

ini juga menggunakan ilmu pengetahuan dasar untuk menstransmisi warisan

budaya pada siswa. Perenialisme menyatakan bahwa pendidikan bersifat

universal dan otentik dalam setiap periode sejarah dan di setiap tempat dan

budaya. Tujuan utama pendidikan adalah membawa tiap generasi mengenal

kebenaran dengan cara melatih dan menumbuhkan rasionalitas pada tiap orang.

Perenialisme berakar dari realisme dan idealisme. Namun, tokoh perenialime

seperti Jacques Maritain, Robert Hutchins, dan Mortimer Adler mendasarkan teori

pendidikan mereka pada teori realisme Aristoteles. Menurut pendapat mereka,

peran sekolah adalah mengembangkan intelektual siswa. Mereka menentang

adanya pendidikan vokasi karena mereka berpendapat perusahaan akan

Page 14: Paper Landasan Pendidikan

10

memberikan pelatihan ketrampilan dan kompetensi vokasional yang lebih efektif

daripada sekolah.

Perenialisme berpendapat bahwa dalam kehidupan demokrasi siswa memiliki

hak untuk mendapatkan pendidikan yang menumbuhkan daya intelektualitas

mereka. Perenialisme sangat menentang relativisme kultural pragmatisme dan

postmodernisme, yang berpendapat bahwa ‘kebenaran’ merupakan pernyataan

sementara yang didasarkan pada penanganan keadaaan yang berubah.

Bagi para penganut perenialisme, peran utama sekolah adalah

mengembangkan kemampuan mengemukakan pendapat. Untuk mencapai tujuan

ini, guru dalam masa pendidikan mereka perlu diajarkan ilmu pengetahuan umum

(liberal arts) dan sains serta perlu membaca dan mendiskusikan buku-buku

adiluhung. Sebagai seorang pendidik profesional, guru perlu memiliki

kemampuan akademis yang unggul agar mampu menjadi mentor intelektual dan

model bagi para siswanya.

3. Progresivisme

Progresivisme berasal dari gerakan perubahan di masyarakat Amerika dan

kehidupan politik pada akhir abad kesembilanbelas dan awal abad duapuluh.

Meskipun para penganut progresivisme ini menentang pedidikan tradisional dan

mengiginkan reformasi dibidang pendidikan, namun mereka tidak memiliki

kesepakatan tentang bagaimana perubahan tersebut akan dilakukan. Beberapa

tokoh aliran progresivisme antara lain Marrieta Johnson, William H. Kilpatrick,

dan G. Standley Hall menentang metode pengajaran menghafal dalam belajar dan

manajemen kelas yang otoriter.

Asosiasi Pendidikan Progresivisme (The Progressive Education Association)

menentang (1) guru yang otoriter, (2) pengajaran berbasis teks, (3) memorisasi

pasif dari informasi faktual, (4) pemisahan sekolah dari kehidupan masyarakat,

dan (5) penggunaan tindakan kekerasan baik fisik maupun psikologis dalam

mengelola kelas. Para penganut progresivisme ini menyarankan bahwa (1) siswa

harus diberikan kebebasan untuk berkembang secara alami, (2) minat, yang

didukung oleh pengalaman langsung, merupakan stimulus terbaik dalam belajar,

(3) guru harus menjadi fasilatator dalam belajar, (4) hubungan antara kehidupan

Page 15: Paper Landasan Pendidikan

11

sekolah dan lingkugan rumah harus direkatkan, dan (5) sekolah yang progresif

harus menjadi wadah bagi siswa untuk bereksperimentasi.

Bagi para penganut aliran progresivisme, pengetahuan merupakan sarana/alat

yang melakukan sesuatu atau menciptakan sesuatu. Walaupun pengetahuan

berasal dari berbagai sumber—dari buku, pengalaman, para ahli, perpustakaan,

dan internet—pengetahuan tersebut menjadi bermakna pada saat digunakan

sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Progresivisme berpendapat bahwa

kesiapan dan minat siswa menjadi pertimbangan dalam pengembangan kurikulum

dan pengajaran. Guru menggunakan kegiatan-kegiatan belajar seperti problem

solving, field trips, creative artistic expression, dan projects.

The West Tennesse Holocaust Project, yang dirancang oleh guru dan siswa di

Whitwell Midle School di Whitwell, Tennesse, merupakan contoh dari metode

penugasan yang perlu diadopsi. Tujuan penugasan tersebut adalah mengajarkan

karakter saling menghormati antar budaya dan menanamkan dampak negatif dari

adanya sikap yang tidak toleran. The Whitwell Holocaust project ini

menggambarkan metode penugasan yang berbasis keterbukaan. Kegiatan

penugasan ini melibatkan sekolah dan masyarakat, melibatkan siswa dan orang-

orang disekitar untuk bekerjasama secara kolaboratif.

4. Teori Kritis

Teori kritis merupakan teori yang memilki pengaruh besar dalam dunia

pendidikan saat ini. Teori ini mengemukakan bahwa sekolah dan masyarakat

harus mengajarkan siswanya bagaimana mengkritik lingkungan disekitarnya

untuk menentang ketidakadilan dan eksploitasi kekuasaan sehingga sikap ini akan

membawa pada persamaan derajat dan keadilan sosial. Asumsi-asumsi teori kritis

ini berasal dari filsafat postmodernisme dan eksisensialisme, neo-marxisme,

feminisme, dan toeri multikultural dan Pedagogi kritis dari Paulo Freire.

Berakar pada postmodernisme dan existensialisme, para pakar teori kritis

ingin membangkitkan kesadaran tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan

dengan pengetahuan, pendidikan, sekolah, dan pembelajaran. Menurut mereka,

pengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah kekuasaan dan kontrol sosial,

politik, ekonomi, dan pendidikan. Secara khusus, para penganut teori kritis ini

Page 16: Paper Landasan Pendidikan

12

ingin membangkitkan kesadaran manusia yang dimarjinalkan dan ditekan

disebabkan karena ras, etnis, bahasa, strata sosial dan gender.

Penganut paham teori kritis ini berpendapat bahwa kalangan masyarakat atas

yang secara ekonomi, politik dan sosial unggul menguasai dan memanfaatkan

sekolah untuk mereproduksi dan mempertahankan posisi sosial dan ekonomi

mereka. Masyarakan kalangan atas tersebut akan mengirim anak-anak mereka ke

sekolah-sekolah yang bekualitas yang akan mempersiapkan mereka untuk

mendapatkan pekerjaan bergengsi dalam bidang bisnis, industri dan pemerintahan.

Sedangkan masyarakat yang tertindas, mereka diindoktrinasi untuk menerima

keadaan sehingga melumpuhkan potensi-potensi mereka untuk dapat mengambil

peran dalam kehidupan masyarakat.

Penganut aliran teori kritis ini membagi kurikulum menjadi dua yaitu

kurikulum formal dan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kurikulum

formal ini disusun oleh negara dan pemerintah daerah yang mengharuskan guru

mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dan mata pelajaran tertentu kepada siswa.

Kurikulum tersembunyi memuat perilaku-perilaku dan sikap siswa dalam

lingkungan sekolah. Kurikulum tersembunyi ini merupakan unsur utama dalam

pengawasan sosial berbasis sekolah. Disebut “hidden” karena kurikulum tersebut

secara implisit tidak dipublikasikan oleh negara maupun kebijakan sekolah lokal.

Para penganut teori kritis berpendapat bahwa siswa harus mengkonstruksi

pengetahuan mereka dan mengasosiasikannya dengan konteks lokal, situasi yang

sedang terjadi, dan masyarakat dimana mereka tinggal dan sekolah dimana

mereka mencari ilmu. Guru membangun kesadaran siswa dengan cara mengamati

dan mengkaji kondisi lingkungan sekitar.

Bagi teori ini, guru harus memfokuskan praktik pembelajarannya pada isu-isu

kekuasaaan dan kontrol di lingkungan sekolah dan masyarakat. Guru disarankan

untuk (1) mengetahui siapa teman sejati mereka dalam memperjuangkan kontrol

di sekolah; (2) mempelajari karakteristik siswa mereka dengan cara membantu

siswa tersebut mengeksplorasi identitas diri mereka; (3) berkolaborasi dengan

masyarakat lokal dan dan perbaikan komunitas; (4) berabng dengan guru-guru

yang memiliki kesamaan visi untuk mereformasi pendidikan; dan (5) berperan

Page 17: Paper Landasan Pendidikan

13

serta dalam dialog kritis yang berkenaan dengan masalah-masalah politik, sosial,

ekonomi, dan pendidikan.

Page 18: Paper Landasan Pendidikan

BAB III

PEMBAHASAN

Bagian ini memberikan informasi tentang perbandingan filsafat pendidikan yang

digunakan di Amerika Serikat dengan filsafat pendidikan yang digunakan di

Indonesia. Filsafat pendidikan yang digunakan di Amerika Serikat telah dijelaskan

secara sistematis pada bab II dari laporan ini, sedangkan filsafat pendidikan yang

digunakan di Indonesaia adalah filsafat pendidikan Pancasila. Dengan mengetahui

perbandingan antara filsafat pedidikan ini akan terlihat secara jelas persamaan dan

perbedaan landasan filsafat pendidikan yang digunakan.

A. Filsafat Pendidikan di Indonesia1. Filsafat Pendidikan Pancasila

a. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa

Pancasila secara umum merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia. Hal ini

terlihat dalam ketetapan MPR Nomor 11/MPR/1978, pancasila adalah jiwa dan

seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa indonesia, pandangan bangsa

indonesia dan dasar negara. Sehingga sangatlah wajar jika Pancasila dikatakan

sebagai filsafat hidup bangsa karena, menurut Syam (1983:346) nilai-nilai dasar

dalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya

dan nilai-nilai ini telah berabad lamanya mengakar pada kehidupan bangsa

indonesia:

Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana.

Kesadaran kekeluargaan, di mana cinta dan keluarga sebagai dasar dan

kodrat terbentuknya masyarakat dan sinambungnya generasi.

Kesadaran musyaawarah mufakat dalam menetapkan kehendak bersama.

Kesadaran gotong royong, tolong-menolong.

Kesadaran tenggang rasa, atau tepo seliro, sebagai semangat kekeluargaan

dan kebersamaan, hormat demi keutuhan, kerukunan dan kekeluargaan

dalam kebersamaan

14

Page 19: Paper Landasan Pendidikan

15

b. Pancasila sebagai Filsafat Pendidikan Nasional

Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi

bangsa yang dianut (Jalaludin dan Idi, 2007:169), karenanya sistem

pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari, dan mencerminkan

identitas Pancasila. Sedangkan perwujudan jiwa dan nilai pancasila

tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai cita dan karsa bangsa

indonesia, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat indonesia. Cita dan

karsa ini dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu

dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup pancasila. Oleh karena

itu filsafat pendidikan pancasila merupakan tuntutan nasional dan

subsistem dari sistem negara Pancasila.

Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa sistem pendidikan

nasional tidak mungkin dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan

yang selain pancasila. Hal ini terlihat dalam tujuan pendidikan nasional

yang termuat dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan

mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,

yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan

jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab

kemasyarakatan.

c. Pancasila sebagai dasar filsafat pendidikan di Indonesia

Meskipun tidak secara eksplisit pancasila ditetapkan sebagai filsafat

pendidikan di Indonesia, namun dalam kenyataannya pancasila telah

ditetapkan sebagai landasan berfikir pendidikan, baik dalam bentuk

undang-undang maupun dalam praktik penyelenggarannya. Hal ini telah

diterapkan dalam penetapan hukum yang menyangkut pendidikan

misalnya:

Dalam UU No. 4 Tahun 1950 tentang sistem pendidikan nasional antara

lain disebutkan bahwa pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

Page 20: Paper Landasan Pendidikan

16

Dalam Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1969 ditetapkan bahwa system

pendidikan nasional Indonesia disebut Sistem Pendidikan Nasional

Pancasila.

Ketetapan MPRS No. 27 tahun 1966 menyebutkan bahwa tujuan

pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati.

Dalam UU No.2 Tahun 1989 maupun dalam UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sitem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Dasar Pendidikan

Nasional adalah Pancasila dan UUD 1945. 

d. Hubungan Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia di mana fungsi utamanya

sebagai pandangan hidup dan kepribadian bangsa (Dardodiharjo,

1988:17). Pancasila juga berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa,

kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, sumber dari segala sumber

hukum serta sumber ilmu pengetahuan di indonesia (Azis, 1984:70).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat terlihat jelas bahwa pancasila

merupakan dasar negara bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain

sehingga sangat penting untuk terus dikembangkan.

Filsafat dapat diartikan berpikir secara mendalam dan sungguh-

sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan

merupakan pemikiran yang mendalam tentang kependidikan (Jalaludin

dan Idi, 2007:171). Fungsi pendidikan dihubungkan dengan sistem

pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan dapat dijabarkan bahwa

pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang menjiwai sila-silanya

dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menerapkan sila-silanya

diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bagaimana nilai-

nilai pancasila itu dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, tentunya

pendidikanlah yang berperan utama.

e. Filsafat Pendidikan Pancasila dalam Tinjauan Trilogi Ilmu Pengetahuan (Jalaludin

dan Idi, 2007: 172-181)

1) Ontologi (metafisika)

Ontologi (metafisika) merupakan filsafat yang menyelidiki tentang hakikat

sesuatu, pokok persoalannya adalah tentang apakah kenyataan atau realita itu.

Hakikat ada dapat berarti segala sesuatu yang ada, menunujuk kepada hal

Page 21: Paper Landasan Pendidikan

17

umum (abstrak umum universal). Dalam kenyataanya, Pancasila dapat dilihat

dari penghayatan dan pengamalan kehidupan sehari-hari.

2) Epistemologi

Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan (adanya) benda-benda.

Epistemologi yang diartikan sebagai filsafat yang menyelidiki sumber, syarat,

proses terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas dan hakikat ilmu

pengetahuan. Dengan filsafat, kita dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan

dicapai demi peningkatan ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan

berwarga negara. Untuk itu, bangsa Indonesia telah menemukan filsafat

Pancasila.

3) Aksiologi

Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki aspek nilai (value).

Nilai tidak akan timbul karena manusia mempunyai bahasa yang digunakan

dalam pergaulan sehari-hari. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya

nilai.Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna, benar (logis), bermoral dan

etis.Dengan demikian, dapat pula dibedakan nilai materiil dan spiritual.

Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memiliki nilai-nilai:

Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai ideal,

materiil, spiritual dan nilai positif dan juga nilai logis, estetika, etis, sosial dan

religius. Dengan demikian Pancasila syarat akan nilai.

B. Perbandingan Filsafat dan Teori Pendidkan di Amerika Serikat dan Indonesia

Lima landasan filsafat pendidikan (idealisme, realisme,

pragmatisme, eksistensialisme dan postmodernisme), sebagaimana telah

dijelaskan di bab 2, merupakan landasan filsafat pendidikan yang telah

diadopsi dan digunakan di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia,

landasan filsafat pendidikan yang telah digunakan adalah filsafat

pendidikan Pancasila. Sebagaimana telah dijelaskan diawal, meskipun

Pancasila tidak secara eksplisit ditetapkan sebagai filsafat pendidikan di

Indonesia, namun pada kenyataannya pancasila telah ditetapkan sebagai

Page 22: Paper Landasan Pendidikan

18

landasan berfikir pendidikan, baik dalam bentuk undang-undang maupun

dalam praktik penyelenggarannya sehingga sangat tidak mungkin landasan

filsafat pendidikan yang digunakan di indonesia mengadopsi filsafat

pendidikan seperti yang telah diadopsi dan digunakan oleh Amerika

Serikat.

Dunia pendidikan di Indonesia sering keli mendapat kritikan dari

berbagai pihak. Diantarnya karena pendidikan di Indonesia belum

menemukan sebuah paradigma dan patokan yang subtansial baik dalam

tataran teoritis dan filosofis maupun operasionalnya, sehingga terkesan

pendidikan hanya sebagai ajang percobaan. Hal ini cukup kuat dijadikan

alasan karena penampilan pendidikan itu sendiri masih abstrak dan masih

belum menyentuh realitas budaya Indonesia.

Page 23: Paper Landasan Pendidikan

BAB IV

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Bab ini berisi simpulan, implikasi dan rekomendasi, yang menyajikan penafsiran

dan pemaknaan penulis terhadap hasil kajian teori tentang landasan filsafat dan

teori pendidikan sekaligus mengajukan hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan

dari kajian teori ini.

A. Simpulan

Makalah ini telah membahas tentang landasan filsafat dan teori

pendidikan yang diterapkan di Amerika Serikat serta perbandingannya

dengan landasan filsafat dan teori yang digunakan di Indonesia. Landasan

filsafat dan teori pendidikan ini dapat memberikan kerangka konseptual

bagi para pendidik untuk mengembangkan dan mengkonstruksi filsafat

pendidikan yang akan mereka terapkan dalam kegiatan belajar

pembelajaran. Selain itu, dengan mengetahui landasan filsafat dan teori

pendidikan ini akan membantu mereka untuk mempertimbangkan

landasan filsafat kurikulum yang tepat untuk pelaksanaan praktek

kependidikan.

B. Implikasi

1. Implikasi bagi guru/pendidik

Filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak dalam

upaya peningkatan kinerja guru sebagai seorang yang profesional. Hal ini

berarti bahwa sebagai pekerja profesional, seorang guru dalam

menunaikan tugas yang berkaitan dengan perumusan tujuan-tujuan

pendidikan, baik tujuan-tujuan operasional maupun tujuan-tujuan abstrak,

keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional harus

selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan dengan

berlandaskan pada landasan filsafat dan teori pendidikan yang jelas.

2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

19

Page 24: Paper Landasan Pendidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia belum

19

Page 25: Paper Landasan Pendidikan

20

memiliki teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini bisa

terlihat dari kualitas lulusan yang rata-rata belum memahami akan filsafat dan

teori pendidikan yang mereka anut dalam kegiatan belajar mengajar. Seyogyanya

pendidikan guru dirancang sedemikan rupa sehingga memberikan rambu-rambu

yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat pendidikan dan teori

pendidikan yang akan mereka adopsi sehingga lulusannya mampu melaksanakan

tugas-tugas keguruan di dalam konteks pendidikan dengan profesional. Rambu-

rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang

diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil

penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut

masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah

interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan di dalam bagian uraian

dimuka, dirumuskan ke dalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi

yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang

dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan

batu ujian di dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun di

dalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan

ataupun dari serangan-serangan konseptual.

C. Rekomendasi Berkenaan dengan pembahasan tentang landasan filsafat dan teori

pendidikan ini, penyusun memberikan rekomendasi untuk dua hal yang

utama yaitu:

- Dalam ranah pendidikan, pendidik harus memiliki pengetahuan tentang

landasan filsafat dan teori pendidikan karena hal ini merupakan hal pokok

yang akan menentukan kegiatan pembelajaran yang berlangsung

disekolah.

- Dalam ranah pengembangan kurikulum, para pengembang kurikulum dan

pendidik dalam mengkonstruksi kurikulum pedidikan harus

mencantumkan dengan jelas landasan filosofi serta teori pendidikan yang

digunakan sehingga keefektifan kegiatan pembelajaran yang akan

dilaksanakan dapat tercapai.

Page 26: Paper Landasan Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, D. Dkk. 1988. Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.

Jalaludin & Idi, A. 2009. Filsafat pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Ornstein, Levine, and Gutek. (2011). Foundation of education. California:

Wardsworth Cengage Learning

Syam, M. N. 1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila. Surabaya:

Usaha Nasional.