ardialmathor.files.wordpress.com file · web viewbagaimana karakteristik landasan filosfofis...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Landasan filosofi pendidikan adalah seperangkat asumsi tentang
pendidikan yang diedukasi dari filsafat umum yang dianut seseorang.
Landasan pendidikan berfungsi sebagai titik tolak praktek pendidikan, sebab
landasan filosofis pendidikan yang dianut akan turut menentukan praktek
pendidikannya. Didalam khasanah teori pendidikan terdapat berbagai aliran
filsafat pendidikan namun kita memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri
yaitu Pancasila.
Di samping akar budaya dan historis bangsa Indonesia, maka filosofis
pendidikan nasional memperhatikan pula kehidupan bangsa-bangsa lain di
dunia, sehingga pendidikan di Indonesia pun dapat dimengerti, dipahami dan
memiliki kualitas yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Hasil dari
pendidikan kita diharapkan dapat diterima dan dikembangkan menjadi warga
dunia dan menjadi manusia yang dapat diterima dengan baik.
Demikian, nilai-nilai moral yang terkandung dalam pendidikan
nasional, yaitu nilai moral Pancasila, sehingga dapat berinteraksi dengan nilai
moral yang berlaku universal di seluruh penjuru dunia. Sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai pancasila kita dapat mengambil hikmah dari
berbagai filsafat lain, dalam rangka memperkokoh filosofis pendidikan kita.
Dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep tentang
pendidikan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan dalam praktek
pendidikan.
Dengan keadaan landasan filosofis yang berlaku di indonesia yakni
pancasila kita sebagai warga negara indonesia yang baik harus mampu
mengerti dan memahani filsafat pendidikan nasional, Apalagi dengan keadaan
sekarang ini yakni Globalisasi, masyarakat harus benar-benar mengerti filosofi
pendidikan di Indonesia.Jangan sampai tercampur aduk dengan landasan
filosofi yang lain, maka dari itu kelompok kami mengkaji landasan filosofi
1
pendidikan khususunya landasan filosofis pendidikan idealisme, realisme,
pragmatisme, scholastisisme, konstruktivisme dan pendidikan nasional
(pancasila).
B. Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut rumusan masalahnya:
1. Apa itu pengertian landasan filosofi pendidikan?
2. Bagaimana karakteristik landasan filosfofis pendidikan?
3. Apakah landasan filosofis pendidikan memiliki kegunaan?
4. Landasan apa saja yang mencakup dalam dunia pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian landasanfilosofis pendidikan.
2. Untuk mengetahui karakteristik pada landasan filosofis pendidikan.
3. Untuk mengetahui fungsi landasan filosofis pendidikan
4. Untuk mengathui macam-macam landasan filosofis pendidikan
D. Manfaat
1. Dapat mengerti dan memahami pengertian dari landasan filsofi
pendidikan.
2. Dapat mengerti dan memahami karakteristik pada landasan filosofis
pendidikan.
3. Dapat mengerti dan memahami fungsi landasan filosofis pendidikan.
4. Dapat mengerti dan memahami macam-macam landasan filosofis
pendidikan.
.
2
BAB II
PEMBAHASAN
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
1. Pengertian
Landasan atau fondasi adalah suatu alas atau dasar pijakan dari
suatu hal, suatu titik tumpu atau titik titik tolak dari sesuatu hal atau suatu
fondasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Landasan berdasarkan sifat wujudnya, yaitu landasan bersifat
material dan landasan bersifat konseptual. Landasan material adalah
landasan yang berbentuk. Sedangkan landasan konseptual adalah landasan
yang bersifat abstrak yang identik dengan asumsi, gagasan yang dianggap
benar.
Kata filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini
berasal dari kata Philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari
kata philos yang berarti cinta, senang, suka, dan kata sophia berarti
pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan ( Ali, 1986:7).
Hasan Shadily (1984:9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal
katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu
pengertian bahwa filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau
kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang
berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan,
ahli hikmah dan bijaksana.
Sedangkan pengertian pendidikan sudah termaktub dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
3
Jadi, Landasan filosofi pendidikan adalah asumsi-asumsi yang
bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Ada
berbagai aliran filsafat, antara lain: Idealisme, Realisme, Pragmatisme,
Pancasila, dan lain sebagainya. Landasan filosofis pendidikan tidaklah
satu, melainkan beragam.
2. Karakteristik Landasan Filosofis Pendidikan
Berisi tentang gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang bersifat
normative atau perspektif. Dikatakan normative atau perspektif sebab
landasan filosofis pendidikan tidak berisi tentang konsep-konseo tentang
pendidikan apa adanya, melainkan berisi tentang konsep pendidikan yang
seharusnya atau yang dicita-citakan.
3. Fungsi Landasan Filosofis Pendidikan
Suatu gedung dapat berdiri tegak dan kuat apabila dinding-dindingnya,
atapnya, dsb. Didirikan dengan bertumpu pada suatu landasan (pondasi)
yang kokoh. Apabila landasanya tidak kokoh, apalagi jika gedung itu
didirikan dengan tidak bertumpu pada pondasi atau landasan yang
semestinya, maka gedung tersebut tidak akan kuat untuk dapat berdiri
tegak. Mungkin gedung itu miring dan retak-retak, sehingga akhirnya
runtuh dan berantakan. Demikian pula pendidikan, pendidikan yang
diselenggarakan dengan suatu landasan yang kokoh, maka prakteknya
akan mantap, benar dan baik, relatif tidak akan terjadi kesalahan-kesalahan
yang dapat merugikan, sehingga praktek pendidikan menjadi efisien,
efektif dan relevan dengan kebutuhan individu, masyarakat dan
pembangunan.
Contoh : Dalam praktek pendidikan, para guru antara lain dituntut
agar melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani". Untuk
itu, para guru idealnya memahami dan meyakini asumsi-asumsi dan
semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya guru tertentu
terbuat “seperti” melaksanakan peranan sesuai semboyan tut wuri
handayani bagi para siswanya. Bahkan kemungkinan perbuatan guru
tersebut akan lebih sering bertentangan dengan semboyan tersebut.
4
Misalnya : guru kurang menghargai bakat masing-masing siswanya;
semua siswa dipandang sama, tidak memiliki perbedaan individual; guru
lebih sering mengatur apa yang harus diperbuat siswa dalam rangka
belajar, guru tidak menghargai kebebasan siswa; dll. Guru berperan
sebagai penentu perkembangan pribadi siswa, guru berperan sebagai
pembentuk prestasi siswa, guru berperan sebagai pembentuk untuk
menjadi siapa para siswanya dikemudian hari. Dalam contoh ini,
semboyan tinggal hanya sebagai semboyan. Sekalipun guru hafal betul
semboyan tersebut, tetapi jika asumsi-asumsinya tidak dipahami dan tidak
diyakini, maka perbuatan dalam praktek pendidikanya tetap tidak bertitik
tolak pada semboyan tadi, tidak mantap, terjadi kesalahan, sehingga tidak
efisien dan tidak efektif.
Sebaliknya, jika guru memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari
semboyan tut wuri handayani (yaitu: kodrat alam dan kebebasan siswa),
maka ia akan dengan sadar dan mantap melaksanakan peranannya. Dalam
hal ini ia akan relatif tidak melakukan kesalahan. Misalnya: guru akan
menghargai dan mempertimbangkan bakat setiap siswa dalam rangka
belajar, sekalipun para siswa memiliki kesamaan, tetapi guru juga
menghargai individualitas setiap siswa. Guru akan memberikan kesempatan
kepada para siswa untuk mengatur diri mereka sendiri dalam rangka belajar,
guru menghargai kebebasan siswa. Guru membimbing para siswa dalam
rangka belajar sesuai dengan kecepatan dan kapasitas belajarnya masing-
masing. Pendek kata, dengan bertitik tolak pada asumsi kodrat alam dan
kebebasan yang dimiliki setiap siswa, maka perbuatan guru dalam praktek
atau kecepatan dalam kapasitas belajar masing-masing siswa; bukan untuk
membentuk siswa agar menjadi siapa mereka nantinya sesuai kehendak guru
belaka; melainkan membimbing para siswa dalam belajar sehingga
mencapai prestasi optimal sesuai dengan bakat, minat, kecepatan dan
kapasitas belajarnya masing-masing; memberikan kesempatan/kebebasan
kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan kodrat alamnya
masing-masing melalui interaksi dengan lingkungannya, dan berdasarkan
5
sistem nilai tertentu demi terwujudnya tertib hidupnya sendiri dan tertibnya
hidup bersama. Guru hanya akan “mengatur” atau mengarahkan siswa
ketika siswa melakukan kesalahan atau salah arah dalam rangka belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan
pendidikan akan berfungsi sebagai titik tolak atau tumpuan bagi para guru
dalam melaksanakan praktek pendidikan.
4. Macam-macam Landasan Filosofis Pendidikan
a. Landasan filosofis pendidikan idealisme
Metafisika :Hakekat realitas,Dalam semesta terdapatberbagai hal.
Segala hal yang ada di alam semesta disebut realitas (reality). Parafilsuf
idealisme mengklaim bahwa hakekat realitas bersifat spiritual daripada
fisik, bersifat mental daripada bersifat material segala sesuatu dan kita
(manusia) merupakan bagian kecil dari pikiran atau roh tak terbatas
(Callahan and Clark, 1983)
Hakikat manusia. Sejalan dengan gagasan tersebut, para filosuf
idealisme menganggap bahwa manusia hakikatnya bersifat spiritual atau
kejiwaan. Pribadi manusia digambarkan dengan kemampuan kejiwaannya,
seperti: kemampuan berpikir, kemampuan memilih, dsb. Manusia hidup
dalam dunia dengan suatu aturan moral yang jelas, yang diturunkan
dariYang Absolut. Karena manusia merupakan bagian dari alam semesta
yang bertujuan, maka manusia merupakan makhluk yang cerdas dan
bertujuan. Selain itu, karena “pikiran manusia diberkahi kemampuan
rasional, maka ia mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan, ia
adalah makhluk yang bebas”. (Edward J. Power, 1982).
Hakikat manusia bersifat spiritual atau kejiwaan. Mengartikan
bahwa manusia memiliki bakat kemampuan masing-masing yang
mengimplikasikan status atau kedudukan dan peranannya di dalam
masyarakat/negara.Contoh dari teori Plato tentang 3 bagian jiwa (Plato’s
tripartite theory of the soul) bahwa setiap manusia memiliki 3 bagian jiwa
yaitu: nous (akal, pikiran) merupakan bagian dari rasional, thumos
(semangat atau keberanian) dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau
6
nafsu). Pada setiap orang ketiga bagian jiwa tersebut akan muncul salah
satunya yang dominan. Pertama, ada orang yang dominan bakat
kemampuan berpikirnya. Kedua, ada yang dominan keberaniannya dan
ketiga ada yang dominan keinginannya/nafsunya.
Atas dasar di atas Plato mengklasifikasi manusia di dalam negara
berdasarkan bakat kemampuannya tersebut. Pertama, kelas conselors
(kelas penasihat/pembimbing/pemimpin), yaitu para cendekiawan atau
para filsuf. Kedua, kelas the state-asisstants/guardians (kelas
pembantu/penjaga) yaitu kelompok militer dan ketiga, kelas money makers
(kelas karya/penghasil) yaitu para petani, pengusaha, industrialis, dsb.
Apabila seseorang dari kelas tertentu, misalnya: dari kelas karya-
ternyata memiliki bakat dalam kelas penjaga atau pembimbing, maka ia
harus segera pindah ke kelas sesuai dengan bakat bakatnya itu, demikian
pula sebaliknya. Selain itu, Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa
manusia dengan keempat kebijakan pokok (cardinal virtues) sebagai
moralitas jiwa (soul’s morality yaitu: kebijaksanaan/kearifan ,
keperkasaan, pengendalian diri dan keadilan. Pikiran/akal dihubungkan
dengan kebijaksanaan/kearifan yang harus menjadi moralitas jiwa kelas
counselor/pembimbing/pemimpin; keberanian dihubungkan dengan
keperkasaan yang harus menjadi moralitas jiwa kelas militer/penjaga
(guardians), nafsu dihubungkan dengan pengendalian diri yang harus
menjadi moralitas jiwa kelas karya/penghasil. Adapun keadilan harus
harus menjadi moralitas jiwa semua orang dari kelas manapun agar
keselarasan dan keseimbangan tetap terpelihara dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia
bukanlah badanya, melainkan jiwa/spiritnya, manusia adalah makhluk
berpikir, mampu memilih/bebas, hidup dengan suatu aturan moral yang
jelas dan bertujuan. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah hidup sesuai
bakatnya serta nilai dan norma moral yang diturunkan oleh Yang Absolut.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Proses mengetahui terjadi
dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir.
7
Disamping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan melalui
berpikir. Di samping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan
melalui intuisi. Beberapa filsuf idealisme percaya bahwa pengetahuan
diperoleh dengan cara mengingat kembali (semua pengetahuan adalah
sesuatu yang diingat kembali). Plato menyimpulkan berdasrkan asumsi
bahwa spirit/jiwa manusia bersifat abadi, yang mana pengetahuan sudah
ada di dalam spirit/jiwa sejak manusia dilahirkan.
Aksiologi:Hakikat Nilai. Para filsuf idelisme sepakat bahwa nilai-
nilai bersifat abadi. Menurut penganut Idelisme Theistik nilai-nilai abadi
berada pada Tuhan. Baik dan jahat, indah dan jelek diketahui setingkat
dengan ide baik dan ide indah konsisten dengan baik dan indah yang
adsolut dalam Tuhan. Penganut Idealisme Pantheistik mengidentikan
Tuhan dengan alam. Nilai- nilai adalah absolut dan tidak berubah (abadi),
sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan yang sudah
ditentukan alam (Callahan and Clark, 1983). Sebab itu dapat disimpulkan
bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral imperatif dan abadi yang
bersumber dari Realitas Yang Absolut.
1) Implikasi terhadap Pendidikan
Konsep filsafat umum Idealisme (hakikat: realitas, manusia,
pengetahuan, dan nilai). Tujuan Pendidikan, adalah untuk membantu
perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa. Sebab itu, sekolah
hendaknya menekankan aktivitas-aktivitas intelektual, pertimbangan-
pertimbangan moral, estetis, realisasi diri, kebebasan, tanggungjawab,
dan pengendalian diri demi mencapai perkembangan pikiran dan diri
pribadi (Callahan and Clark, 1983). Singkatnya, “pendidikan bertujuan
untuk membantu pengembangan karakter serta mengembangkan bakat
manusia dan kebijakan sosial” (Edward J. Power, 1982).
Dengan demikian maka pendidikan yang diberikan kepada setiap
orang harus sesuai dengan bakatnya masing-masing sehingga
kedudukan, jabatan, fungsi dan tanggungjawab setiap orang di dalam
masyarakat/negara menjadi teratur sesuai asas “the right man on the
8
right place”, dan lebih jauh dari itu agar manusia hidup sesuai nilai dan
norma yang diturunkan dari Yang Absolut.
Kurikulum Pendidikan Idealisme berisi Pendidikan liberal dan
pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk
pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral.
Sedangkan pendidikan vokasional pengembangan kemampuan suatu
kehidupan/pekerjaan. Kurikulumnya diorganisasi berdasarkan mata
pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered).
Karena masyarakat dan Yang Absolut mempunyai peranan
menentukan bagaimana individu hidup, maka isi kurikulum harus
merupakan nilai-nilai kebudayaan yang esensial dalam segala zaman.
Dengan demikian Callahan dan Clark (1983) menyatakan bahwa
orientasi pendidikan Idealisme adalah Essensialisme.
Metode Pendidikan. Metode mengajar hendaknya mendorong
siswa memperluas cakrawala, mendorong berpikir reflektif,
mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan
berpikir logis dan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk
masalah moral dan sosial, meningkatkan minat terhadap isi mata
pelajaran, serta mendorong siswa untuk menerima nilai peradaban
manusia (Callahan and Clark, 1983).
Peranan Guru dan Siswa, tidak ada satu unsur pun yang lebih
penting di dalam sistem sekolah selain guru. Guru harus unggul dalam
pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan serta kemampuan-
kemampuan para siswa dan harus mendemonstrasikan keunggulan
moral dalam keyakinan dan tingkah lakunya. Guru juga melatih
bepikir kreatif dalam mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa
untuk menemukan, menganalisis, memadukan, mensintesa dan
menciptakan aplikasi-aplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat
(Callahan and Clark, 1983). Karena itu guru hendaknya bekerjasama
dengan alam dalam proses mengembangkan manusia,
bertanggungjawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para
9
siswa. Adapun siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan
bakat-bakatnya (Edward J. Power, 1982)
b. Landasan Filosofis Pendidikan Realisme (Realisme Objektif)
1) Konsep filsafat umuM
Metafisika.Hakikat Realitas. Menurut para filsuf Realisme bahwa
dunia terbuat dari sesuatu yang nyata, substansial dan material yang
hadir dengan sendirinya. Dalam alam terdapat hukum alam yang
menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan
sendirinya dari alam itu sendiri (Callahan and Clark, 1983).
Realitas hakikatnya bersifat objektif, artinya realitas berdiri sendiri,
tidak tergantung atau tidak bersandar kepada pikiran/jiwa/spirit/roh.
Tetapi tetap mengakui keterbukaan raelitas terhadap pikiran untuk dapat
mengetahuinya. Hanya saja realitas atau dunia itu bukan atau berbeda
dengan pikiran/keinginan manusia.
Hakikat manusia. Hakikat manusia didefinisikan sesuai dengan
apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran (jiwa) merupakan suatu
organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Meskipun manusia
mampu berpikir ia bisa bebas atau tidak bebas (Edward J. Power, 1982.
Epistemologi;Hakikat Pengetahuan. Ketika lahir, jiwa atau pikiran
manusia adalah kosong. Saat dilahirkan manusia tidak membawa
pengetahuan atau ide-ide bawaan, John Locke mengibaratkan
pikiran/jiwa manusia sebagai tabula rasa (meja lilin/kertas putih yang
belum ditulisi). Manusia dapat menggunakan pengetahuannya dalam
berpikir untuk menemukan objek-objek serta hubungan-hubungannya
yang tidak ia persepsi (Callahan and Clark, 1983).
Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara
orang yang mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya,
para filsuf Realisme menganut prinsip indenpendensi yang menyatakan
bahwa pengetahuan manusia tentang relaitas tidak dapat mengubah
substansi atau esensi realitas. Karena realitas bersifat material dan nyata,
10
maka kebenaran pengetahuan diuji dalam kesesuaiannya dengan fakta
di dalam dunia material atau pengalaman.
Aksiologi; Hakikat Nilai. Manusia adalah bagian dari alam, ia pun
harus tunduk kepada hukum-hukum alam, demikian pula
masyarakat.sebagaimana yangdikemukaan oleh Edward J. Power (1982)
bahwa “Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam dan pada tingkat
yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan dan adat
istiadat di dalam masyarakat.”
2) Implikasi terhadap pendidikan
Tujuan pendidikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan agar siswa
dapat bertahan hidup di dunia yang besifat alamiah, memperoleh
keamanan dan hidup bahagia.Kurikulum pendidikan. Kurikulum
sebaiknya meliputi sains/ipa dan matematika, ilmu-ilmu kemanusiaaan
dan ilmu-ilmu sosial dan lain sebagainya.
Sains dan matematika sangat penting,diprtimbangkan sebagai
lingkupyang sangat pentimg dalam belajar. Sebab pengetahuan tentang
alam memungkinkan umat manusia dapat menyesueikan diri dan
berkembang dalam lingkungannya.
Ilmu kemanusiaan tidak sepenting sains dan matematika namun
ilmu kemanusiaan tidak bisa diabaikan. Sebab ilmu tersebut diperlukan
setiap individu untuk menyesueikan diri dengan lingkungan sosilnya.
Metode Pendidikan. Metode yang disarankan para filosuf Realisme
bersifat Otoriter. Guru mewajibkan para siswauntukdapat menghafal,
menjelaskan, membandingkan fakta-fakta, menginterprestasi hubungan-
hubungan dan mengambil kesimpulan berbagai makna baru. Evalusi
merupakan aspek terpenting dalam mengajar. Guru harus menggunakan
metode objektif. Dengan mengevaluai dan memberikan jenis-jenis tes
yang memungkinkan dapat mengukur secara tepat.
Peranan Guru dan Siswa. Guru mengelola kelas dalam belajar
mengajar, penentu materi dan membuat mata pelajaransebagai
sesuatuyang konkret yang dialami siswa. Orientasi pendidikan Realisme
11
memiliki kesamaan dengan orientasi pendidikan Idealisme, yaitu
Essensialisme. Keduanya menekankan memberikan pengetahuan dan
nilai-nilai esensial bagi para siswa. Perbedannya pada konsep filsafat
umum meliputi realitas, manusia, pengetahuan, dan lain sebagainya.
c. Landasan Filosofis Pendidikan Pragmatisme
1) Konsep Filsafat Umum
Metafisika :Hakikat Realitas Pragmatisme dikenal pula dengan
sebutan Eksperimentalisme dan Instrumentalisme. Menurut penganut
aliran ini hakikat realitas adalah sesuatu yang dialami manusia
(pengalaman), bersifat plural (pluralistic), dan terus menerus berubah.
Mereka beragumentasi bahwa realitas adalah sebagaimana dialami melalui
pengalaman setiap individu (Callahan and Clark, 1983). Hal ini
sebagaimana dikemukakan Wiliam James bahwa:”Dunia nyata adalah
dunia pengalaman menurut” (S.E Frost Jr., 1957). Mengingat realitas ini
berubah, maka realitas tak pernahselesai. Sebab itu, tujuan akhir realitas
pun berada bersama perubahan tersebut. Jadi menurut penganut
Pragmatisme,” hanya realitas fisik yang ada, teori umum tentang realitas
tidak mungkinkah dan tidak diperlukan” (Edward J. Power. 1982).
Hakikat Manusia. Kepribadian/manusia tidak terpisah dari realitas
pada umumnya, sebab manusia adalah bagian daripadanya dan terus
menerus bersamanya. Karena realitas terus berubah, manusiapun
merupakan bagian dari perubahan tersebut. Beradanya manusia di dunia
adalah suatu kreasi dari suatu proses yang bersifat evolusi (S.E.Frost
Jr.,1957 ). “ Manusia laki-laki dan perempuan adalah hasil evolusi
biologis, psikologis, dan social” (Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan
perubahan yang terus-menerus terjadi tentunya akan muncul berbagai
permasalahan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Sebab itu,
manusia yang ideal adalah manusia yang mampu memecahkam masalah
baru baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.
12
Epistemologi : Hakikat Pengetahuan. Filsuf Pragmatisme menolak
dualism antara subjek (manusia) yang mempersepsi dengan objek yang
dipersepsi. Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang dipersepsinya
dan dari dunia yang ia persepsi. Segala suatu dapat diketahui melalui
pengalaman, adapun cara-cara memperoleh pengetahuan yang diandalkan
adalah metode ilmiah atau metode sains sebagai mana disarankan oleh
John Dewey. Pengalaman tentang fenomena menentukan pengetahuan.
Karena fenomena terus-menerus berubah, maka pengetahuan dan
kebenaran tentang fenomena itu pun mungkin berubah. Bagaimanapun,
kebenaran pada hari ini harus juga dipertimbangkan mungkin berubah
esok hari (Callahan and Clark, 1983).
Menurut filsafat Pragmatisme, suatu pengetahuan hendaknya dapat
divertifikasi dan diaplikasikan dalam pengetahuan. Adapun criteria
kebenarannya adalah workability, satisfaction, and result, Pengetahuan
dinyatakan benar apabila dapat dipraktekkan, memberikan hasil dan
memuaskan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
“pengetahuan bersifatrelatif, pengetahuan dikatakan bermakna apabila
dapat diaplikasikan. Sebab itu Pragamatisme dikenal pula sebagai
instrumentalisme”(Edward J. Power, 1982).
Aksiologi : Hakikat Nilai. Nilai-nilai diturunkan dari kondisi
manusia. Nilai tidak bersifat ekslusif, tidak berdiri sendiri, melainkan ada
dalam suatu proses, yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia itu sendiri.
Karena manusia (individual) merupakan bagian dari masyarakatnya, baik
atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai berdasarkan hasil-hasilnya
didalam masyarakat. Jika akibat yang terjadi berguna bagi dirinya dan
masyarakat, maka tindakan tersebut adalah baik. Nilai etika dan estetika
tergantung pada keadaan relatif dari situasi yang terjadi. Nila-nilai akhir
(ultimate values) tidaklah ada, benar itu selalu relative dan tergantung pada
kondisi yang ada (conditional). Pertimbangan-pertimbangan nilai adalah
berguna jika bermakna untuk kehidupan yang intelegen, yaitu hidup yang
13
sukses, produktif, dan bahagia (Callahan and Clark, 1983). Karena itu
aliran ini dikenal sebagai Pragmatisme atau Eksperimentalisme.
2) Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus mengajarkan seseorang
bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang
terjadi didalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan mengembangkan
pengalaman-pengalam tersebut yang akan memungkinkan seseorang
terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan tersebut meliputi :
Kesehatan yang baik.
1. Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan).
2. Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
3. Prsiapan untuk menjadi orang tua.
4. Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-
masalah sosial( mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara
efektif).
Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai tambahan tujuan di atas,
bahwa pendidikan harus meliputi penanaman tentang pentingnya
demokrasi. Pemerintah yang demokratis memungkinkan setiap warga
negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan
tempat bersama dengan warga negara yang lainnya. Pendididkan harus
membentu siswa menjadi warga negara yang unggul dalam demokrasi atau
menjadi earga Negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983).
Karena itu menurut Pragmatisme hendaknya bertujuan menydiakan
pengalaman untuk menenmukan/memecahkan hal-hal baru dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Kurikulum Pendidikan. Menurut para filsuf Pragmatisme, tradisi
demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting
tradition). Implikasinya warisan-warisan sosial budaya darimasa lalu tidak
menjadi focus perhatian pendidikan. Melainkan pendidikan terfokus
14
kepada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan
dating. Standar kebaikan sosial diuji secara terus-menerusdan diverifikasi
melalui pengalaman-pengalaman yang berubah. Pendidikan harus
dilaksanakan untuk memelihara demokrasi. Sebab hakikat demokrasi
adalah dinamika dan perubahan sebagai hasil rekonstruksi pengalaman
yang terus- menerus berlangsung. Namun demikian rekonstruksi ini tidak
menuntut atau tidak meliputi perubahan secara menyeluruh. Hanya
masalah-masalah sosial yang serius dalam masyarakat yang diuji ulang
agar diperoleh solusi-solusi baru.
Dalam pandangan Pragmatisme, kurikulum sekolah harusnya tidak
terpisahkan dari keadaan-keadaan masyarakat. Dalam pendidikan, materi
pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah individual dan
siswa secara perorangan ditingkatan atau direkonstruksi, dan secara
bersamaan masyarakat dikembangkan. Karena itu masalah-masalah
masyarakat demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum dan makna
pemecahan ulang masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat
dalam kurikulum.
Karena itu kurikulum harus menjadi :
1. Berbasis pada masyarakat.
2. Lahan praktek cita-cita demokratis.
3. Perencanaan demokratis pada setiap tingkat pendidikan.
4. Kelompok batasan tujuan-tujuan masyarakat.
5. Bermakna kreatif untuk pengembangan keterampilan-keterampilan
baru.
Kurikulum berpusat pada siswa (pupil/child centrered) dan berpusat
pada aktifitas (activity centered) . Selain itu perlu dicatat bahwa kurikulum
pendidikan Pragmatisme diorganisasi secara interdisipliner, dengan kata
lain kurikulum bersifat terpadu, tidak merukan mata pelajaran- mata
pelajaran yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan uraian diatas, Edward J. Power ( 1982 ) menyimpulkan
bahwa kurikulum pendidikan Pragmatisme”berisi pengalaman-pengalaman
15
yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kenutuhan siswa. Adapun
kurikulum tersebut mungkin berubah”.
Metode Pendidikan. Sebagaiman dikemukakan Callahan and Clark
(1983), penganut Eksperimenalisme atau Pragmatisme mengutamakan
penggunaan metode pemecahan masalah (Problem Method Solving) serta
metode penyelidikan dan penemuan (Inquiri dan Discovery Method).
Dalam prakteknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang
memiliki sifat sebagai berikut: permissive (pemberi kesempatan), friendly
(bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan
terbuka), enthusiastic (bersifat antusias), creative (kreatif), Socialy aware
(sadar bermasyarakat), alert (siap siaga), cooperative and sincere
(bekerjasama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh).
Peranan guru dan Siswa. Dalam Pragmatisme, belajar selalu
dipertimbangkan untuk menjadi individu. Dalam pembelajaran peranan
guru bukan”menuangkan” pengetahuan kepada siswa, sebab ini
merupakan upaya tak berubah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat, dan masalah-masalah
pribadinya. Dengankata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya
sendiri, melainkan bermakna untuk suatu tujuan. Dengan demikian siswa
yang menghadapi suatu permasalahan akan mungkin untuk
merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang
dirasakannya.
d. Landasan Filosofis Pendidikan Scholastisisme
1) Konsep Filsafat Umum
Filsafat St.Thomas Aquinas adalah filsafat resmi Gereja Katolik
Roma. Filsafat ini disebut Scholastisisme. Scholastisime bangkit selama
abab pertengahan yang mencerminkan suatu sintesis dari Filsafat
Aristoteles dan Doktrin Gereja Abad Pertengahan. Dalam pemikiran
sebagian scholastic, filsafat diberi peranan lebih rendah (subordinate)
dari teologi. Hal ini tercermin dalam ungkapan “I belive in order that I
16
may know” (saya percaya agar saya dapat mengetahui). Ungkapan ini
mencerminkan karakteristik hubungan antara filsafat dan teologi.
Metafisika: Hakikat Realitas. Menurut filsuf Scholastisime bahwa
alam semesta (universe) atau realitas adalah ciptaan Tuhan.
Scholastisisme menganut prinsip hylemorphe sebgaiman diajarkan
Aristoteles (hyle) berarti materi, morphe berarti bentuk). Prinsip ini
menyatakan bahwa segala sesuatu kecuali Allah dan malaikat
merupakan kesatuan dari materi dan bentuk. Prinsip ini memungkinkan
kita memahami terjadinya perubahan. Misal jika pada sesuatu meterinya
tetap tetapi bentuknya berubah maka terjadi perubahan. Prinsip ini pun
memungkinkan kita memahami adanya individuasi (artinya bahwa
sesuatu benda merupakan sesuatu yang individual). Misal kursi ini
bukanlah bukan kursi itu. Individuasi ini dimungkinkan oleh materi
yang berbeda, sekalipun bentuknya sama. Selain itu, Scholastisisme juga
menganut prinsip essential (hakikat) – eksistentia (adanya). Prinsip ini
menyatakan bahwa segala realitas kecuali Allah memiliki struktur esensi
dan eksistensi. Malaikat tidak mempunyai struktir materi dan bentuk,
tetapi ia memiliki struktur esensi dan eksistensi.
Hakikat Manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Manusia
merupakan kesatuan badan-jiwa. Karena hubungan antara badan dan
jiwa sebagai bentuk dan materi atau sebagai aktus dan potensi, maka
jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri seperti dalam ajaran Plato.
Namun demikian Thomas Aquinas menyakinkan bahwa jiwa tidak dapat
binasa bersamaan dengan tubuh, jiwa tidak dapat mati. Thomas Aquinas
juga mengajarkan bahwa segenap perbuatan manusia adalah perbuatan
segenap pribadi manusia. Pernyataan otakku berpikir atau kaki,
melainkan aku. Demikianlah jiwa dalah satu dengan tubuh dan menjiwai
tubuh.
Thoma Aquinas mengakui jaran Aristoteles bahwa manusia adalah
makhluk alamiah (natural being), makhluk berpikir/penalar (rational
being), makhluk bermasyrakat (soon politicion), namun lebih jauh dari
17
itu bahwa manusia adalah makhluk spiritual (spiritual being). Berbagai
tingkat keberadaan manusia itu berpangkal pada Tuhan sebagai Pencipta
dan Sumber Kebenaran Sejati.
Sebab hal di atas, hakikat manusia di manapun adalah sama dengan
arena hakikat spiritualnya, takdir manusia adalah abadi (jiwa tidak mati).
Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan agar manusia mencapai
tujuannya yaitu kebahagiaan. Adapun seseorang dapat mencapai
kebahagiaan yang sempurna/abadi hanya melalui hidup sesuai petunjuk
Tuhan sebagaimana didefinisikan oleh Gereja Katolik (Callahan and
Clark, 1983).
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Menurut para Scolaric bahwa
kebenaran absolute dapat diperoleh manusia berdasarkan keimanan
(faith). Tetapi manusia pun dapat memperoleh kebenaran tentang benda-
benda melalui rasio atau akal dengan cara berpikit induktif. Manusia
dapet memperoleh kebenaran melalui akalnya, walaupun terbatas,
karena tertutup oleh dosa Adam. Kedua jenis pengetahuan/kebenaran di
atas tidaklah bertentangan satu dengan lainnya, sebab
keimanan/kepercayaan harus menjadi sandaran utama apabila akal
mencapai batas kemampuannya. Hal ini sebagaiman tersurat dalam
ungkapan” saya percaya agar saya dapat mengertahui.” Selain itu,
manusia juga dapat mengetahui atau memperoleh kebenaran melalui
intuisi. Intuisi merupakan sumber pengetahuan dengan disertai tidak
berfungsinya organ tubuh. Intuisi berada pada fakultas/daya tertinggi
dari jiwa.
Aksiologi: Hakikat Nilai. Untuk menjadi baik/dapat berbuat baik,
pertama-tama manusia harus mengetahui kebaikan dalam aturan-aturan.
Meskipun setiap manusia memiliki kecenderungan ke arah yang baik
(kepada kebaikan), pertimbangannnya mungkin saja mengarahkannya
kepada kejahatan. Kekurangan pengetahuan memungkinkan manusia
memilih yang jahat kerena kesalahan dugaan bahwa hal itu adalah baik.
Dalam pengertian ini jahat adalah saalah atau keliru. Sebab itu, manusia
18
harus membangun kebiasaan berbuat baik supaya ia mau konsisten
memilih yang baik dalam perbutan-perbuatan etisnya. Karena Tuhan
adalah kebaikan terakhit atau Tuhan adalah tujuan akhir manusia, maka
manusia harus hidup lulus dari ujian kebajikan dengan penuh tanggung
jawab moral atas dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap
kemanusiaan dan terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip bahwa wahyu
Tuhan dan keimanan lebih tinggi disbanding dengan filsafat dan
kemampuan rasional manusia untuk memperoleh kebenaran dan nilai.
Maka bagi penganut Scholastisisme pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, absolute, universal dan abadi dalam kebudayaan
masa lampau dipandang sebagai kebudayaan ideal.
2) Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus bertujuan untuk
mengembangkan potensialitas manusia secara penuh menurut doktrin
Scholatic. Karena manusia adalah rational being/animal rational,
keseluruhan potensialnya meliputi potensi intelektual, fisikal, volisonal
(kemauan), dan vocasional. Kosekuensinya sekolah harus menyediakan
kesempatan-kesempatan bagi setiap siswa untuk mengembangkan
akal/pikirannya dan memperkuat kemauannya. Pendidikan tujuannya
memuat eksistensi umat islam di masa depandalam surga dan juga
eksistensi lahiriah di muka bumi. Perlindungan jiwa dan nasib abadi
umat manusia sangat penting daripada apa yang terjadi dengan badan
selama ia tinggal di bumi yang hanya sebentar.
Kurikulum Pendidikan. Isi pendidikan harus meliputi agama dan
ilmu kemanusiaan (humanities). Disiplin matematika, logika, bahasa,
dan retorika juga dipandang penting. Dalam konteks ini isi
pendidikannya meliputi pendidikan liberal yang mencakup
pengembangan mata pelajaran fundamental yang berkenaan dengan
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan kemampuan –kemampuan
intelektual. Adapun bagi orang-orang tertentu diberikan pula studi mata
pelajaran instrument yang dibutuhkan untuk hidup. Isi kurikulum
19
bersumber dari buku-buku besar dan doktrin-doktrin yang dipandang
memuat pengetahuan dan nila-nilai yang universal dan abadi.
Metode Pendidikan. Metode pendidikan yang diutamakan adalah
metode mendisiplinkan pikiran, latihan formal, dan persiapan jiwa.
Peranan Guru dan Siswa. Guru harus menjadi teladan yang baik
bagi para siswanya. Guru mempunyai wewenang untuk mengatur kelas
(pengelolaan kelas berpusat pada guru), dalam hal ini struktur pelajaran
yang dirancang guru hendaknya diarahkan untuk membantu
pengembangan pengetahuan, keterampilan berpikir, dan untuk berbuat
kebajikan.
Orientasi pendidikan Scholatisisme adalah Perennialisme (Callhan
and Clark, 1983). Hal ini dapat dipahami karena pendidikan
Scholastisisme menenkankan pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran
yang bersifat universal, absolute, menetap atau pribadi, serta prinsipnya
yang religius (agama oriented). Dikatakan demikian sebab sekalipun
terhadap Perennialist yang secular, namun mereka hanya merupakan
minoritas dalam Perennialisme. Perennialisme memandang tugas
pendidikan adalh untuk memberikan pengetahuantentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, universal, absolutedan abadi atau menetap
tersebut di atas yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang
diakuinya sebagai kebudayaan yang ideal.
e. Landasan Filosofis Pendidikan Konstruktivisme
1) Konsep filsafat umum
Tema utama filsafat Konstruktivisme yaitu berkenaan dengan
hakikat pengetahuan. Gagasan pokok cikal bakal Konstruktivisme
sesungguhnya sudah dimulaioleh Giambatista Vico, seorang epistem
olog dari italia. Menurut Vico, hanya Tuhan yang dapat mengerti alam
raya ini, sebab hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari
apa Ia membuatnya. Sedangkan manusia hanya dapat mengetahui
sesuatu yang telah dikonstruksikannya.
20
Metafisika. Hakikat Realitas: Menurut Konstruktivisme, manusia
tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara
ontologis. Konstruktivisme memang tidak bertujuan mengerti realitas,
tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu.
Konstruktivisme menolak prinsip independensi dan objektivisme
dari Realisme/ Empirisme, yang menyatakan bahwa keberadaan realitas
berdiri sendiri terlepas dari subjek pengamat, namun terbuka untuk
dapat diketahui melalui pengalaman empiris. Konstruktivisme hanya
mementingkan berlakunya suatu konsep atau dapat digunakannya suatu
konsep.
2) Implikasi terhadap Pendidikan
Bagi konstruktivisme mengajar bukan kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Jadi
mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencourt,1989).
Mengajar, dalam konteks ini adalah membantu seseorang berpikir secara
benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von Glaserfeld, 1989).
Mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan
teknik, melainkan juga sebuah intuisi (Paul Suparno, 1997).
Tujuan pendidikan konstruktivisme lebih menekankan pada
perkembangan konsep dan pengertian (pengetahuan) yang mendalam
sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar. Menurut Konstruktivisme,
seseorang tidak akan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara
aktif, meskipun ia berumur tua, pengetahuannya akan tetap tidak akan
berkembang (Paul Suparno,1997).
Driver dan Oldham ( Matthews, 1994) menyatakan bahwa perencana
kurikulum konstruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum
standart yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara
menstransfer pengetahuan dari guru kepada murid. Kurikulum bukan
sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan ketrampilan (skill),melainkan
lebih sebagai program aktivitas di mana pengetahuan dan ketrampilan
21
dapat dikontruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan yang sudah
ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu
persoalan (permasalahan) yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk
lebih mengerti ( Paul Suparno, 1997).
Untuk metode setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk
mengerti, karena itu mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat
untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini maka tidak ada satu
metode mengajar yang tepat, satu metode mengajar saja tidak akan
banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin
untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang
membantu pelajar belajar. (Paul Suparno, 1997).
Menurut Tobin,dkk, (1994)” bagi siswa, guru sebagai mediator,
pemandu, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1997). Dalam
artian ini, guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang
bersama-sama membangun pengetahuannya. Adapun peserta didik
dituntut aktif belajar dalam rangka mengkonstruksi pengetahuannya, dan
karena itu peserta didik sendirilah yang harus bertanggung jawab atas
hasil belajarnya.
f. Landasan Filosofis Pendidikan Nasional: Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang
dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya termaktub dalam
“Pembukaan” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena Pancasila adalah dasar Negara
Indonesia, implikasinya adalah dasar pendidikan nasional. Sejalan
dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang “
Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa: “ Pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pancasila berisi
22
gagasan-gagasan dasar bernegara atau falsafah kenegaraan, karena itu,
Pancasila juga adalah falsafah pendidikan nasional atau landasan idiil
pendidikan nasional.
Sehubungan dengan hal di atas, bangsa Indonesia memiliki
landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam sistem pendidikan
nasionalnya, yaitu Pancasila. Walaupun seperti itu, landasan filosofis
pendidikan dari berbagai aliran lainny tetap perlu kita kaji dengan tujuan
untuk memahaminya, memilih dan memilah gagasan-gagasannya yang
positif yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pncasila untuk diambil
hikmahnya demi pengembangan dan memperkaya kebudayaan
(pendidikan) kita.
1) Konsep Filsafat Umum
Hakekat Realitas. Termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa hakikat bangsa
Indonesia adalah berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangn
yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi
kemerdekaan. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa realitas
juga tidak bersifat given (terberi) dan final, melainkan juga “mewujud”
sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta
berpartisipasi “mewujudkannya”.
Hakikat Manusia. Manusia adalah mahluk Tuham YME. Pancasila
mengajarkan bahwa eksisitensi manusia bersifat monopluralis tetapi
bersifat integral, artinya bahwa manusia yang serba dimensi itu
hakikatnya adalah satu kesatuan utuh. Pancasila menganut asas
Ketuhanan Yang Maha Esa: manusia diyakini sebagai mahluk Tuhan
YME, mendapat panggilan tugas dariNya, dan harus
mempertanggungjawabkan segala amal pelaksanaan tugasnya terhadap
Tuhan YME (aspek religius).
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan. Segala pengetahuan
hakikatnya bersumber dari Sumber Pertama yaitu Tuhan YME. Tuhan
telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusan-nya (berupa wahyu)
23
maupun melalui berbagai hal yang digelarkanNya di alam semesta
termasuk hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.
Aksiologi: Hakikat Nilai. Sumber Pertama segala nilai hakikatnya
adalah Tuhan YME. Karena menusia adalah mahluk Tuhan,
pribadi/individual dan sekaligus insan sosial, maka hakikat nilai
diturunkan dari Tuhan YME, masyarakat dan individu.
2) Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Pandangan pancasila tentang hakikat realitas,
manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa
pendidikan seyogyanya bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri,dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawa. Hal ini sebagaimana sitegaskan dalam Pasal 3 UU RI No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan
tersebut hendaknya kita sadari betul, sehingga pendidikan yang kita
selenggarakan bukan hanya untuk mengembangkan salah satu potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu saja, bukan hanya
untuk terampil bekerja saja, melainkan demi berkembangnya seluruh
potensi peserta didik dalam konteks keseluruhan dimensi kehidupannya
secara integral.
Kurikulum Pendidikan. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan:
a) Peningkatan iman dan takwa
b) Peningkatan akhlak mulia
c) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik
d) Keragaman potensi daerah dan lingkungan.
e) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
f) Tuntutan dunia kerja
g) Perkembangan ilmu pengetahua,teknologi, dan seni
24
h) Agama
i) Dinamika perkembangan global
j) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana
dimaksudkan di atas di atur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
(Pasal 36 UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Metode Pendidikan. Berbagai metode pendidikan yang ada
merupakan alternatif untuk diaplikasikan. Sebab, tidak ada satu
metode mengajar pun yang terbaik dibanding metode lainnya dalam
segala konteks pendidikan.
Peranan Pendidik dan Peserta Didik. Ada berbagai peranan
pendidik dan peserta didik yang harus dilaksanakannya, namun pada
dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat dan tersirat dalam
semboyan :”ing madya mangun karso”,artinya pendidik harus mampu
membangun karsa pada diri peserta didiknya; “ tut wuri handayani”
artinya bahwa sepanjang tidak berbahaya pendidik harus memberi
kebebasan atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
mandiri.
Orientasi Pendidikan. Pendidikan memiliki dua fungsi utama, yaitu
fungsi konservasi dan fungsi kreasi. Fungsi konservasi dilandasi
asumsi bahwa terdapat nilai-nilai, pengetahuan, norma, kebiasaan-
kebiasaan, yang dijunjung tinggi dan dipandang berharga untuk tetap
dipertahankan. Adapun fungsi kreasi dilandasi asumsi bahwa realitas
tidaklah bersifat terberi (given) dan telah selesai sabagaimana
diajarkan oleh sains modern. Dalam hal ini hakikat pendidikan
seyogyanya diletakkan pada upaya-upaya untuk menggali dan
mengembangkan potensi para pelajar agar mereka tidak saja mampu
memahami perubahan tetapi mampu berperan sebagai agen peubahan
atau perajut realitas (A.Mappadjantji Amien,2005).
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Landasan Filosofis pendidikan adalah perangkat asumsi tentang
pendidikan yang dideduksi dari filsafat umum yang dianut seseorang.
Karakteristik Landasan Filosofis Pendidikan Berisi tentang gagasan
atau konsep-konsep yang bersifat normative atau presfektif. Dikata
bersifat normative atau presfektive, sebab landasan filosofis pendidikan
tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa adanya, melainkan
berisi tentang konsep-konsep pendidikan yang seharusnya atau yang
dicita-citakan
Fungsi Landasan Filosofis Pendidikan Sebagai titik tolak atau
tumpuan bagi para guru dalam melaksanakan praktek pendidikan. Macam-
macam landasan Filosofi spendidikan
a. Landasan filosofis Pendidikan Idealisme
b. Landasanfilosofis Pendidikan Realisme
c. Landasanfilosofis Pendidikan Pragmatisme
d. Landasanfilosofis Pendidikan Scholatisisme
e. Landasanfilosofis Pendidikan Konstruktivisme
f. Landasanfilosofis Pendidikan Nasional (Pancasila)
B. Saran
Dengan adanya makalah ini semoga pembaca lebih memahami dan
mengerti akan landasan filosofis pendidikan, apalagi kita sebagai warga
Negara Indonesia khususnya yang akan menjadi guru harus dapat
menerapkannya jika akan menjadi pendidik. Serta tidak lupa juga bahwa
walaupun kita memiliki landasan filosofi pendidikan nasional kita harus
tetap mempelajari dan memahami landasan filosofis yang lain demi
mengembangkan dan memperbaiki Negara Indonesia
26
LAMPIRAN ARTIKEL
PHILOSOPHY OF EDUCATION FOUNDATION
Philosophy plays an important role in curriculum development . Just as in the Philosophy of Education , we are introduced to the various schools of philosophy , such as : idealism , realism , materialism , pragmatism , existentialism , progressivism , perenialisme , essentialism , eksistesialisme , and rekonstruktivisme . In curriculum development was always grounded in the flow - the flow of a particular philosophy , so it will color the concept and implementation of the curriculum developed . Education is always an interesting topic to be studied and developed , both theoretically and practically and philosophically . Theory and practice in education have evolved along with the increasing of human civilization . If the first education can take place through interaction between people , in this modern age of education can take place through interaction with technology . In this case , as time and space are no longer a barrier in the interaction between humans including in education .
Speaking about the philosophical foundations of education means in respect of a philosophical goal as a science education practice . Therefore , studies that can be done to understand the philosophical foundations of education is to use the philosophy of science approach that covers three areas of study , namely ontology , and axiology epistimologi . According Tirtarahardja and La Sulo ( 2005 ) , a philosophical foundation derived from the views in the philosophy of education , concerning faith in human nature , beliefs about the source of value , the nature of knowledge , and of a better life is run .
Terjemahanya :
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, eksistensialisme, progresivisme, perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan.
27
Pendidikan merupakan topik yang senantiasa menarik untuk dikaji
dan dikembangkan, baik secara teoritis dan praktis maupun secara
filosofis. Teori dan praktik dalam dunia pendidikan mengalami
perkembangan seiring dengan semakin meningkatnya peradaban manusia.
Kalau dahulu pendidikan dapat berlangsung melalui interaksi antara
manusia, di zaman modern ini pendidikan dapat berlangsung melalui
interaksi dengan teknologi. Dalam hal ini, ruang dan waktu seolah tidak
lagi menjadi pembatas dalam interaksi antara manusia termasuk dalam
dunia pendidikan.
Berbicara tentang landasan filosofis pendidikan berarti berkenaan
dengan tujuan filosofis suatu praktik pendidikan sebagai sebuah ilmu.
Oleh karena itu, kajian yang dapat dilakukan untuk memahami landasan
filosofis pendidikan adalah dengan menggunakan pendekatan filsafat ilmu
yang meliputi tiga bidang kajian yaitu ontologi, epistimologi dan
aksiologi. Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005), landasan filosofis
bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan,
menyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang
sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik
dijalankan.
28
DAFTAR PUSTAKA
Jensen eric.2010.Super Teaching.Jakarta : PT Indeks ; 23-30
Syarifudin, tatang dan Nuraini. 2006.LandasanPendidikan. Bandung :Upi Press.
Jalaludin,H dan Abdullah Idi. 1997.Fisafat Pendidikan (Manusia,Filsafat, pendidikan). Jakarta: Gaya Media Pratama
http://lucha.pbworks.com/.../Landasanfilosofispendidikan yang diunduh pada tanggal 18 Maret2014 pukul 15:23
Scholl, R. (2014). "Inside-out Pedagogy": Theorising Pedagogical Transformation through Teaching Philosophy.Australian Journal of Teacher Education, 39(6). Retrieved from http://ro.ecu.edu.au/ajte/vol39/iss6/7
Rasyidin,(2005), Rekonstruksi Filsafat Pendidikan” sebagai Pengantar untuk Wacana Filsafat Pendidikan Indonesia, Jurnal Analytica Islamica, Vol 7, No1, Tahun 2005.
Titus, Smith Nolan, (1984), Living Issues in Philosophy ( terj) Rasyidi: Persoalan- persoalan Filsafat,Jakarta: Grafindo
Nadirin. (2008). Landasan Aliran Pendidikan. Tersedia
http://nadhirin.blogspot.com/2008/07/landasan-aliran-pendidikan.html
Diunduh tanggal 26 Maret 2014
Mahmuddin. (2009). Landasan Filosofi Pendidikan. Tersedia
http://mahmuddin.wordpress.com/2009/10/19/landasan-filosofi-
pendidikan-pengantar/
Diunduh tanggal 26 Maret 2014
29