jbptunpaspp gdl redimaulan 2679 1 redimau 4
DESCRIPTION
GampangTRANSCRIPT
PENGARUH INVESTASI, TENAGA KERJA
DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi
Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan
Bandung, Juli 2013
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
(Hj. Lella N Irwan, SE., MSi.)
Dekan Fakultas Ekonomi Ketua Program Studi
(Dr. H. R. Abdul Maqin, SE., MP.) (Dr. H. Tete Saepudin, SE., MSi.)
ABSTRAKSI
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 hingga 2011, pertumbuhan ekonomi
sekitar 5,9 persen, pertumbuhan ekonomi tersebut di pengaruhi oleh banyak faktor
diantara dari sekian banyak faktor, faktor tersebut adalah jumlah investasi, jumlah
tenaga kerja dan tingkat pendidikan. Kontribusi investasi dalam pembentukan
tingkat pertumbuhan ekonomi sangat besar, selain itu investasi juga memberikan
peluang untuk dibukanya lapangan kerja yang baru, sehingga jumlah
pengangguran dapat berkurang. Selain itu pendidikan juga berperan dalam
pembentukan SDM yang akan dipakai dalam lapangan kerja yang tersedia.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh investasi, tenaga kerja
dan tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Model
analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel
digunakan analisis data panel. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode analisis deskriptif kuantitatif melalui data sekunder dengan data
26 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat serta data runtun waktu dari tahun
2007 sampai dengan tahun 2011.
Berdasarkan hasil estimasi, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat
dipengaruhi positif secara signifikan oleh investasi dan tingkat pendidikan,
sedangkan tenaga kerja hanya berpengaruh positif. Semakin tinggi jumlah
investasi, tenaga kerja dan tingkat pendidikan yang terjadi di tingkat kabupaten
dan kota maka akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Jawa Barat.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahi rabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, dengan segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “PENGARUH INVESTASI, TENAGA KERJA DAN
TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
JAWA BARAT”. Tidak lupa shalawat serta salam kepada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dipenuhi oleh
mahasiswa yang telah memenuhi kurikulum akademis pada Jurusan Ekonomi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universita Pasundan, Bandung.
Skripsi ini adalah sebagai sebuah karya tulis ilmiah, penulis menyadari
bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi
penulisan, maupun dari segi pembahasan. Oleh Karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun agar pada penelitian selanjutnya dapat
lebih baik lagi. Besar harapan penulis mudah-mudahan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi mereka yang membutuhkannya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak
terhingga teruntuk kedua orang tuaku Bapa dan Mamah serta Teteh, atas do’a
yang tak henti-hentinya, kasih sayang, kesabaran, dan pengorbanan yang tak
terhingga yang telah diberikan kepada penulis baik moril maupun materil.
Karya tulis ini tidak mungkin terselesaikan pula tanpa adanya arahan dari
Ibu Hj. Lella N Irwan, SE., MSi. selaku dosen pembimbing, dan dengan segala
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
beliau yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya untuk penyusunan
skripsi ini.
Pada kesempatan ini pula, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dikdik Kusdiana, SE., MT. selaku Dosen Wali.
2. Bapak Dr. H. R. Abdul Maqin, SE., MSi. selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pasundan Bandung beserta jajarannya.
3. Bapak Dr. H. Tete Saepudin, SE., MSi. selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan
Bandung.
4. Bapak Dr. Heri Hermawan, SE., MP. selaku Sekretaris Program Studi
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan
Bandung.
5. Bapak H. Subarna Tirtakusumah, SE., MM. Sebagai Dosen Penguji pada
Sidang Akhir.
6. Bapak DRS. H. Anwar Jusuf, Dipl., RID. Terima kasih atas begitu
banyaknya saran dan masukan yang telah penulis dapatkan, juga kisah-
kisah hidup yang sangat menginspirasi.
7. Bapak Tendi selaku Staff Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.
8. Seluruh Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Pasundan Bandung.
9. Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha di lingkungan Fakultas Ekonomi
Universitas Pasundan Bandung.
10. Seluruh teman-teman angkatan 2007 ekonomi pembangunan. Semoga tali
persaudaraan kita terikat kencang sampai akhir masa.
11. Keluarga besar Ekonomi Pembangunan angkatan 2004, 2005, 2006, 2008,
2009, 2010, 2011 dan 2012 serta keluarga besar HIMASPA Fakultas
Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.
12. Bapak/Ibu Staff BPS Provinsi Jawa Barat.
13. Bapak/Ibu Staff BKPPMD Provinsi Jawa Barat.
14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya, aamiin yaa robal’alamiin.
Wassaalamu’alaikum Wr.Wb
Bandung, Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO
ABSTRAKSI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
1.2. Identifikasi Masalah .................................................................... 10
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................... 11
BAB II : KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka ............................................................................ 12
2.1.1. Investasi........................................................................... 12
2.1.1.1. Definisi Investasi ............................................ 12
2.1.1.2. Jenis-jenis Investasi ........................................ 14
2.1.2. Tenaga Kerja ................................................................... 16
2.1.2.1. Definisi Tenaga Kerja ..................................... 16
2.1.2.2. Teori Ketenagakerjaan .................................... 18
2.1.3. Tingkat Pendidikan ......................................................... 19
2.1.3.1. Pengertian Modal Manusia ............................. 19
2.1.3.2. Pendidikan ...................................................... 21
2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi .................................................... 22
2.1.4.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ................. 22
2.1.4.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi.......................... 28
2.1.4.2.1. Teori Pertumbuhan Klasik ............. 29
2.1.4.2.2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar 31
2.1.4.2.3. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik ..... 33
2.1.5. Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi .............................. 35
2.1.6 Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi ...................... 36
2.1.7. Tingkat Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi............. 37
2.2. Tinjauan Penelitian Sebelumnya................................................. 38
2.2.1. Penelitian Deddy Rustiono, SE ....................................... 38
2.2.2. Penelitian Dwi Suryanto ................................................. 39
2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ............................................. 40
Halaman
BAB III : OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian .......................................................................... 45
3.1.1. Provinsi Jawa Barat ......................................................... 45
3.1.2. Investasi di Jawa Barat .................................................... 46
3.1.3. Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Barat ......................... 48
3.1.4. Tingkat Pendidikan di Jawa Barat................................... 50
3.1.5. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat ..................... 58
3.2. Metode Penelitian ....................................................................... 60
3.2.1. Jenis dan Sumber Data .................................................... 61
3.2.2. Definisi Operasionalisasi Variabel .................................. 61
3.2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi ................................... 62
3.2.2.2. Investasi .......................................................... 62
3.2.2.3. Tenaga Kerja ................................................... 63
3.2.2.4. Tingkat Pendidikan ......................................... 63
3.2.3. Model Penelitian ............................................................. 64
3.2.4. Metode Estimasi Data Panel ........................................... 65
3.2.5. Uji Metode Estimasi Data Panel ..................................... 66
3.2.6. Uji Statistik ..................................................................... 67
3.2.6.1. Uji Koefisien Determinasi ( ) ...................... 67
3.2.6.2. Uji Parsial (t-stat)............................................ 68
3.2.6.3. Uji Simultan (F-stat) ....................................... 69
3.2.6.4. Uji Autokolerasi ............................................. 70
3.2.7. Analisis Tipologi Klassen ............................................... 71
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Uji Estimasi Model ..................................................................... 73
4.2. Hasil Estimasi Model .................................................................. 74
4.3. Analisis Efek Individu Kabupaten dan Kota .............................. 75
4.4. Analisis Statistik ......................................................................... 77
4.4.1. Uji Koefisien Determinasi ( ) ....................................... 77
4.4.2. Uji Parsial (t-stat) ............................................................ 77
4.4.3. Uji Simultan (F-stat) ....................................................... 78
4.4.4. Uji Autokolerasi .............................................................. 79
4.5. Pola Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat .................. 80
4.6. Analisis Ekonomi ........................................................................ 80
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 85
5.2. Saran ........................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. viii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Enam Provinsi di Pulau Jawa
Tahun 2007-2011 (dalam persen) ............................................... 3
1.2. Peringkat Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten
dan Kota di Provinsi Jawa Barat Periode Tahun 2007-2011 ...... 5
1.3. Perkembangan Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Jawa
Barat Periode 2007-2011 ............................................................ 7
1.4. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kegiatan Utama
Seminggu yang Lalu di Jawa Barat Tahun 2007-2011 .............. 8
3.1. Realisasi Investasi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat
Tahun 2007-2011 ........................................................................ 47
3.2. Jumlah Tenaga Kerja menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2007-2011 ..................................................... 49
3.3. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011 ....................................... 51
3.4. Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2007-2011 ..................................................... 53
3.5. Indeks Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah .......... 56
3.6. Indeks Pendidikan ....................................................................... 57
3.7. Laju Perumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011 ....................................... 59
3.8. Matrik Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi
Klassen ........................................................................................ 72
4.1. Hasil Uji Chow ........................................................................... 73
4.2. Hasil Uji Hausman ...................................................................... 74
4.3. Nilai Intersep Setiap individu Kabupaten dan Kota di
Provinsi Jawa Barat..................................................................... 76
4.4. Uji Signifikansi t (α = 0,05) ........................................................ 78
4.5. Daerah Batas Autokolerasi ......................................................... 79
4.6. Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen .. 80
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.1. Perkembangan Rata-rata Laju Pertumbuhan
Ekonomi Menurut Kabupaten dan Kota Provinsi
Jawa Barat Periode 2007-2011 ................................................... 4
1.2. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Jawa Barat
Tahun 2009-2011 ........................................................................ 9
3.1. Daerah kritis dan penerimaan suatu hipotesis ............................. 68
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan
pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan, karena
penghalang utama bagi pembangunan negara sedang berkembang salah satunya
adalah terjadinya kekurangan modal. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah
perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi
mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke
periode berikutnya. Menurut Sukirni (2004) dalam analisis makro, tingkat
pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh suatu negara diukur dari
perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik menyatakan pertumbuhan
ekonomi (di daerah diukur dengan pertumbuhan PDRB) bergantung pada
perkembangan faktor-faktor produksi yaitu ; modal, tenaga kerja dan teknologi
(Sukirno, 1994:456).
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan
sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi
dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju
masyarakat madani yang bebas kolusi, korupsi dan nepotisme. Penerapan
ekonomi daerah mulai tahun 2004 sampai sekarang pada dasarnya bertujuan untuk
mengefisienkan segala kebijakan yang berkaitan tentang urusan daerah, dengan
harapan agar kebijakan yang diambil dapat lebih tepat sasaran dan mampu
menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi masing-masing daerah, sehingga
mampu mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
Diharapkan dengan penerapan otonomi daerah pertumbuhan ekonomi lebih baik
dari masa sebelumnya.
Pembangunan ekonomi kabupaten/kota yang berlangsung di Indonesia
berjalan terus menerus dalam upaya untuk memajukan daerahnya. Hal ini
berkaitan dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah semenjak
diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Pusat pertumbuhan ekonomi
merupakan salah satu alternatif untuk menggerakan dan memacu pembangunan
guna meningkatkan pendapatan masyarakat.
Provinsi Jawa Barat memiliki latar belakang perbedaan antar wilayah.
Perbedaan ini berupa perbedaan karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber
daya alam yang penyebarannya berbeda di setiap wilayah. Perbedaan tersebut
menjadi hambatan dalam pemerataan pembangunan ekonomi dikarenakan
terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya
pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah yang memiliki sumber daya alam
yang melimpah. Kekayaan alam yang dimiliki seharusnya dapat menjadikan nilai
tambah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi. Kelebihan yang dimiliki
tersebut diharapkan memberikan dampak menyebar (trickle down effect ).
Pembangunan di Provinsi Jawa Barat yang berlangsung sacara menyeluruh
dan berkesinanbungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Pencapaian
hasil-hasil pembangunan yang dirasakan masyarakat merupakan agregat
pembangunan dari 26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang tidak terlepas dari
usaha keras bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Namun di sisi lain
berbagai kendala dalam memaksimalkan potensi sumber daya manusia dan
sumber modal masih dihadapi oleh penentu kebijakan di tingkat provinsi maupun
di kabupaten/kota.
Dalam perbandingan dengan enam provinsi yang terdapat di Pulau Jawa,
laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat pada periode 2007-2011
cenderung berada di atas laju pertumbuhan nasional hanya pada tahun 2009 laju
pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat berada di bawah laju pertumbuhan
ekonomi nasional, hal itu dapat disebabkan dari dampak terjadinya krisis ekonomi
global yang terjadi pada tahun 2008. Berikut tabel perbandingan laju pertumbuhan
ekonomi enam provinsi yang berada di Pulau Jawa.
Tabel 1.1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Enam Provinsi
di Pulau Jawa Tahun 2007-2011 (dalam persen)
No Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
1 DKI Jakarta 6,44 6,23 5,02 6,5 6,71 6,18
2 Jawa Barat 6,48 6,21 4,19 6,2 6,48 5,912
3 Jawa Tengah 5,59 5,61 5,14 5,84 6,01 5,638
4 DI Yogyakarta 4,31 5,03 4,43 4,88 5,16 4,762
5 Jawa Timur 6,11 5,94 5,01 6,68 7,22 6,192
6 Banten 6,04 5,77 4,71 6,08 6,43 5,806
7 Nasional 5,67 5,74 4,77 6,13 6,32 5,726
Dalam diagram batang berikut ini menunjukan perkembangan rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Barat periode tahun 2007-
2011:
Gambar 1.1.
Perkembangan Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Periode 2007-2011
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat
yakni pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 secara umum mengalami
pertumbuhan positif. Pelaksanaan pembangunan ekonomi di semua kabupaten dan
5,10 5,79
5,06 6,52
5,89 5,32
8,39 6,24
6,08 5,60
5,94 8,33
5,27 4,52
3,60 4,60 4,69
5,07 4,66
5,01 4,22
5,17 5,48
4,28 3,97
5,36
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00
Kota BanjarKota Tasikmalaya
Kota CimahiKota DepokKota Bekasi
Kota CirebonKota Bandung
Kota SukabumiKota Bogor
Kab. Bandung BaratKab. Bekasi
Kab. KarawangKab.Purwakarta
Kab. SubangKab. IndramayuKab. Sumedang
Kab. MajalengkaKab. Cirebon
Kab. KuninganKab. Ciamis
Kab. TasikmalayaKab. Garut
Kab. BandungKab. Cianjur
Kab. SukabumiKab. Bogor
persen
kota Provinsi Jawa Barat memberi efek peningkatan pertumbuhan ekonomi yang
signifikan, yaitu dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi masing-masing
kabupaten dan kota antara 3,60 persen sampai 8,39 persen. Adapun peringkat
daerah yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dari yang terbesar
sampai daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi terkecil di jabarkan di tabel di
bawah ini:
Tabel 1.2.
Peringkat Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Periode Tahun 2007-2011
Kabupaten/Kota Rata-
Rangking rata-
Kota Bandung 8,39 1
Kab. Karawang 8,33 2
Kota Depok 6,52 3
Kota Sukabumi 6,24 4
Kota Bogor 6,08 5
Kab. Bekasi 5,94 6
Kota Bekasi 5,89 7
Kota Tasikmalaya 5,79 8
Kab. Bandung Barat 5,6 9
Kab. Bandung 5,48 10
Kab. Bogor 5,36 11
Kota Cirebon 5,32 12
Kab. Purwakarta 5,27 13
Kab. Garut 5,17 14
Kota Banjar 5,1 15
Kab. Cirebon 5,07 16
Kota Cimahi 5,06 17
Kab.Ciamis 5,01 18
Kab. Majalengka 4,69 19
Kab. Kuningan 4,66 20
Kab. Sumedang 4,6 21
Kab. Subang 4,57 22
Kab. Cianjur 4,28 23
Kab. Tasikmalaya 4,22 24
Kab. Sukabumi 3,97 25
Kab. Indramayu 3,6 26 Sumber: BPS Jawa Barat
Pertumbuhan ekonomi daerah yang dicerminkan oleh laju laju pertumbuhan
ekonomi menunjukan bahwa kabupaten dan kota yang memiliki rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi terbesar adalah Kota Bandung yaitu sebesar 8,39 persen,
dan yang terendah adalah Kab. Indramayu yaitu sebesar 3,6 persen.
Laju pertumbuhan ekonomi, sebagai tolok ukur pertumbuhan suatu
ekonomi regional juga tidak lepas dari peran adanya investasi. Dengan
dilaksanakannya desentralisasi fiskal maka pemerintah daerah diberikan
pelimpahan kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah.
Setiap daerah otonom memiliki keleluasaan untuk mengembangkan potensi dan
aset-aset yang dimiliki, terutama potensi sumber daya alam daerah yang dapat
dijadikan sebagai andalan dalam pengembangan ekonomi daerah secara umum.
Dalam pengembangan aset sumber daya alam di daerah, diperlukan adanya
anggaran atau dana dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, agar
pengembangannya dapat berjalan sesuai dengan rencana pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
Untuk mendorong pembangunan ekonomi tersebut, salah satu usaha yang
dapat dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah dengan mendorong
para investor baik investor lokal maupun investor asing untuk melakukan
investasi di Provinsi Jawa Barat, dan diharapkan dapat memberikan peningkatan
pendapatan bagi daerah Jawa Barat. Perkembangan realisasi PMA dan PMDN di
Provinsi Jawa Barat selama periode 2007-2011 dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 1.3.
Perkembangan Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Jawa Barat
Periode 2007-2011
Tahun PMA (Juta RP) PMDN (Juta Rp)
2007 12.197.398 11.347.889
2008 25.526.575 4.075.170
2009 26.045.415 4.167.417
2010 27.942.072 18.660.542
2011 41.445.630 7.305.546
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan tabel di atas, penanaman modal asing maupun modal dalam
negeri mengalami fluktuasi. Penanaman modal asing mengalami kenaikan
pertahunnya dimulai pada tahun 2007 yakni sebesar 12.197.398 (juta Rp) dan
terbesar pada tahun 2011 sebesar 41.445.630 (juta Rp). Sedangkan penanaman
modal dalam negeri mengalami kenaikan dan penurunan tiap tahunnya, tahun
2008 adalah tahun paling kecil jumlah penanaman modal dalam negeri dalam
kurun waktu tahun 2007-2011 yakni sebesar 4.075.170 (juta Rp).
Salah satu indikator penting lainnya dalam pertumbuhan ekonomi adalah
sumber daya manusia yang ada di suatu wilayah. Penduduk bertambah dari waktu
ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat dalam pertumbuhan
ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja dan
penambahan tersebut memungkinkan suatu daerah untuk menambah produksi.
Namun disisi lain, akibat buruk dari penambahan penduduk yang tidak diimbangi
oleh kesempatan kerja akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak sejalan
dengan peningkatan kesejahteraan. Tabel 1.3 berikut menunjukan jumlah
angkatan kerja menurut kabupaten/kota di Jawa Barat :
Tabel 1.4.
Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kegiatan Utama
Seminggu Yang Lalu di Jawa Barat Tahun 2007-2011
Jenis Kegiatan 2007 2008 2009 2010 2011
Bekerja 15.853.822 16.480.395 16.901.430 16.942.444 17.454.781
Peng.Terbka 2.386.214 2.263.584 2.079.830 1.951.391 1.901.843
Jumlah 18.240.036 18.743.979 18.981.260 18.893.835 19.356.624 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
Dalam tabel 1.4 ditunjukan bahwa jumlah orang yang bekerja mengalami
kenaikan dari tahun ke tahun, tahun 2007 menunjukan jumlah orang yang bekerja
sebanyak 15.853.822 orang dan tertinggi di tahun 2011 sebanyak 17.454.781
orang. Sedangkan pengangguran terbuka berlaku sebaliknya mengalami
penurunan dari tahun ke tahun, di tahun 2007 jumlah pengangguran terbuka
mencapai 2.386.214 orang terus menurun sampai dengan tahun 2011 berjumlah
1.901.843 orang. Hal ini menunjukan ketersediaan lapangan pekerjaan baru tiap
tahunnya sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja baru.
Indikator penting lainnya dalam pertumbuhan ekonomi adalah tingkat
pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu modal dasar manusia yang harus
dipenuhi, untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Sektor
pendidikan memainkan peran utama untuk membentuk kemampuan sebuah
negara untuk menyerap teknologi modern dan mengembangkan kapasitas
produksi serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro,2006). Penduduk yang
berpendidikan tamatan SMA (tamatan SMA dan Perguruan tinggi) diasumsikan
mempunyai keterampilan dan pengetahuan tinggi, sehingga dapat menyerap
teknologi modern dan meningkatkan kapasitas produksi.
Rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat dapat ditunjukan dalam
gambar diagram berikut ini:
Gambar 1.2.
Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Jawa Barat Tahun 2009-2010
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
Dari gambar di atas menunjukan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk di
Provinsi Jawa Barat masih relatif rendah, di bawah asumsi penduduk bertamatan
minimal SMA yang memiliki keterampilan dan pengetahuan tinggi. Tahun 2009
rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat berkisar 7,72 tahun atau setingkat
siswa kelas dua SMP, tahun 2010 rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat
7,72
8,02
7,55
7,6
7,65
7,7
7,75
7,8
7,85
7,9
7,95
8
8,05
2009 2010
Rata-rata lama sekolah
berkisar 8,02 tahun atau setingkat kelas tiga SMP. Dari data di atas dapat
disimpulkan bahwa penyerapan siswa di bawah tingkat SMA masih lemah. Hal ini
bisa disebabkan oleh banyak hal bisa berupa kemampuan ekonomi siswa yang
lemah, fasilitas pendidikan yang masih belum memadai, dan tidak meratanya
infrastruktur bidang pendidikan yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Di lihat dari perkembangan indikator-indikator ekonomi tersebut selama
pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, masih harus diteliti dampak
pertumbuhan investasi, tenaga kerja dan tingkat pendidikan dalam pengaruhnya
terhadap perkembangan kondisi perekonomian di daerah Jawa Barat yaitu,
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, sehingga proses pembangunan daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dan dirasakan oleh
seluruh rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul “Pengaruh
Investasi, Tenaga Kerja dan Tingkat Pendidikan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Jawa Barat”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada Latar Belakang Masalah di atas, agar lebih terarahnya
pembahasan pada penelitian ini, maka ditetapkan identifikasi masalah, yaitu:
1. Bagaimana pengaruh Investasi, Tenaga Kerja dan Tingkat Pendidikan
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat ?
2. Bagaimana pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi pada masing-
masing daerah di Provinsi Jawa Barat menurut Tipologi Klassen ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan Identifikasi Masalah yang akan dibahas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh Investasi, Tenaga Kerja dan Tingkat Pendidikan
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
2. Mengetahui pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi pada masing-
masing daerah di Provinsi Jawa Barat menurut Tipologi Klassen.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi yang dapat dimanfaatkan
oleh pihak-pihak berkepentingan, diataranya:
1. Bagi kepentingan akademis, diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
berharga terhadap perkembangan ilmu ekonomi pembangunan;
2. Secara praktis, diharapkan dapat membantu pihak terkait yang
berkepentingan dalam penelitian di atas;
3. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan tentang masalah
yang diteliti sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas
mengenai keselarasan antara fakta dan dasar teori yang digunakan di dalam
penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
Dalam menganalisis pengaruh investasi, tenaga kerja dan tingkat pendidikan
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, penelitian ini mendasarkan pada
teori-teori yang relevan sehingga mendukung bagi tercapainya hasil penelitian
yang ilmiah.
2.1.1. Investasi
2.1.1.1. Definisi Investasi
Dalam perekonomian dikenal istilah investasi dan setiap pelaku usaha akan
mencari peluang-peluang untuk mendapatkan keuntungan, investasi merupakan
bagian dari suatu usaha.
Investasi merupakan faktor yang paling penting untuk mencapai target
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Investasi itu
sendiri tidak lain dari sumber-sumber uang yang semula untuk tujuan konsumtif
diarahkan untuk tujuan produktif. Selain itu penanaman modal merupakan
langkah awal pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal
mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak
lesunya pembangunan.
Menurut Nurkse, pembentukan modal ialah bahwa masyarakat tidak
mempergunakan seluruh aktifitas produktifnya saat ini untuk kebutuhan dan
keinginan konsumsi, tapi menggunakan sebagian saja untuk pembuatan barang
modal, seperti: perkakas; alat-alat mesin; fasilitas angkutan; pabrik dan segala
macam bentuk modal nyata yang dapat dengan cepat meningkatkan manfaat
upaya produktif. Definisi diatas menyatakan pemupukan modal material dan
mengabaikan modal manusia (M.L. Jhingan, 1994: 419).
Investasi menurut Samuelson dan Nordhaus (1989: 173), perusahaan-
perusahaan mengadakan investasi agar memperoleh laba dan keuntungan. Karena
barang-barang modal berumur lebih dari sekedar satu tahun, maka keputusan
investasi tergantung pada:
a. Tingkat permintaan atas output yang dihasilkan oleh investor baru;
b. Tingkat suku bunga dan pajak yang mempengaruhi biaya investasi;
c. Harapan dan pemikiran kalangan usahawan atas situasi ekonomi di masa
depan.
Investasi juga merupakan wahana tempat dana disimpan dengan harapan-
harapan dapat memelihara/menaikan nilai dan atau memberikan hasil (return)
yang positif (Sentanoe Kertonegoro, 1995:3).
Sedangkan menurut E.A.Koetin (1995:3), investasi dilakukan karena adanya
dorongan mencari keuntungan, atau tidak mau dirugikan karena daya beli yang
semakin menurun apabila memegang uang tunai. Investasi diartikan sebagai
pengeluaran sumber dana yang ada sekarang dengan mengharapkan keutungan di
masa yang akan datang.
Dapat dikatakan investasi adalah usaha untuk meningkatkan modal sendiri
baik melalui investasi berwujud atau tak berwujud untuk memperoleh keuntungan
di masa yang akan datang.
Menurut Nopirin (1987:133), kedudukan investasi dalam pertumbuhan
ekonomi, yaitu kedudukan penanaman modal (investasi), dalam GDP merupakan
total dari produksi nasional dalam jangka panjang waktu tertentu, biasanya satu
tahun. Sedangkan total produksi sangat dipengaruhi oleh kemampuan suatu
negara dalam melaksanakan aktivitas penanaman modal (investasi).
Dalam konteks pembangunan terutama di negara-negara yang sedang
berkembang, investasi merupakan sasaran utama yang kontribusinya sangat
diandalkan dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat
terutama dalam mengembangkan tingkat pertumbuhan PDB. Disamping itu
kenaikan dalam investasi suatu negara tidak terlepas dari invetasi asing.
2.1.1.2. Jenis-jenis Investasi
Berdasarkan jenisnya investasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu : Pertama
investasi pemerintah, adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Pada umumnya investasi yang dilakukan oleh
pemerintah tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; Kedua investasi
swasta, adalah investasi yang dilakukan oleh sektor swasta nasional yaitu
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ataupun investasi yang dilakukan oleh
swasta asing atau disebut Penanaman Modal Asing (PMA). Investasi yang
dilakukan swasta bertujuan untuk mencari keuntungan dan memperoleh
pendapatan serta didorong oleh adanya pertambahan pendapatan. Jika pendapatan
bertambah konsumsi pun bertambah dan bertambah pula effective demand.
Investasi timbul diakibatkan oleh bertambahnya permintaan yang sumbernya
terletak pada penambahan pendapatan disebut induced investment.
Dana investasi menurut asalnya terdiri dari dua 2 macam, yaitu: PMA
(Penanaman Modal Asing), jenis investasi yang sumber modalnya berasal dari
luar negeri, sedangkan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) ialah jenis
investasi yang sumber modalnya berasal dari dalam negeri.
Penggolongan investasi berdasarkan pembentukan modal terdiri dari 2 jenis
investasi yaitu: investasi bruto, adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah
yang belum dikurangi depresiasi. Dan investasi neto adalah investasi bruto
dikurangi depresiasi (jumlah perkiraan sejauh mana barang modal telah digunakan
dalam periode yang bersangkutan).
Investasi berdasarkan timbulnya: (1) investasi otonomi berarti pembentukan
modal yang tidak dipengaruhi pendapatan nasional; (2) investasi terpengaruh
(induced investment) investasi yang dipengaruhi oleh pendapatan nasional.
Menurut Sadono Sukirno (2003:5) investasi secara luas bahwa dalam
perhitungan pendapatan nasional, pengertian investasi meliputi: (1) seluruh nilai
pembelian para pengusaha atas barang-barang dan modal dalam pembelanjaan
untuk mendirikan industri-industri; (2) pengeluaran masyarakat untuk mendirikan
rumah tempat tinggal dan (3) pertumbuhan dalam nilai stok barang perusahaan
berupa bahan mentah, barang yang belum selesai diproses dan barang jadi.
2.1.2. Tenaga Kerja
2.1.2.1. Definisi Tenaga Kerja
Menurut Todaro (2000) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan
kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu
pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan
menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar
berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Meski demikian hal tersebut masih
dipertanyakan apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar
akan memberikan dampak positif atau negatif kepada pembangunan ekonominya.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis, angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa
bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan
dalam jumlah terbatas. Dalam keadaan demikian panawaran tenaga kerja
mengandung elastisitas yang tinggi. Meningkatnnya permintaan atas tenaga kerja
(dari sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan
demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap ekonomi adalah tenaga
kerja.
Setiap kegiatan produksi yang akan dilaksanakan pasti akan memerlukan
tenaga kerja. Tenaga kerja bukan saja berati buruh yang terdapat dalam
perekonomian. Arti tenaga kerja meliputi juga keahlian dan keterampilan yang
mereka miliki. Dari segi keahlian dan pendidikannya tenaga kerja dibedakan
kepada tiga golongan:
1. Tenaga kerja kasar, yaitu tenaga kerja yang tidak berpendidikan atau
berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian dalam suatu bidang
pekerjaan;
2. Tenaga kerja terampil, yaitu tenaga kerja yang mempunyai keahlian dari
pendidikan atau pengalaman kerja;
3. Tenaga kerja terdidik, yaitu tenaga kerja yang mempunyai pendidikan
yang tinggi dan ahli dalam bidang-bidang tertentu.
Menurut Payaman J. Simanjuntak (1995:75) faktor produksi tenaga kerja
merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses
produksi, bukan hanya dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi kualitas dan
macam tenaga kerja. Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan
produktivitas. Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala besar yang
selanjutnya membantu perkembangan industri, pembagian kerja menghasilkan
pembagian kemampuan produksi para pekerja, setiap pekerja menjadi lebih
efisien daripada sebelumnya. Akhirnya produksi meningkatkan berbagai hal, jika
produksi naik, pada akhirnya laju pertumbuhan ekonomi juga akan naik.
Menurut BPS penduduk berumur 10 tahun ke atas terbagi sebagai Angkatan
Kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka
melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 (satu) jam
secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak
bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut menganggur (Budi Santosa,
2001).
Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari
lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia maka akan menyebabkan semakin meningkatkan total produksi di suatu
daerah.
2.1.2.2. Teori Ketenagakerjaan
Ada beberapa teori penting yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan
diantaranya adalah teori Lewis (1959) yang mengemukakan bahwa kelebihan
pekerja merupakan kesempatan dan bukan merupakan suatu masalah. Kelebihan
pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan
penyediaan pekerja di sektor lain. Kemudian menurut teori Fei-Ranis (1961) yang
berkaitan dengan negara berkembang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
kelebihan buruh; sumber daya alamnya belum dapat diolah; sebagian
penduduknya bergerak di sektor pertanian; banyak pengangguran; dan tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut Fei-Ranis ada tiga tahap dalam
kondisi kelebihan buruh. Pertama, dimana pengangguran semu dialihkan ke sektor
industri dengan upah institusional yang sama. Kedua, tahap dimana pekerjaan
pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih dari upah institusional yang
mereka peroleh dialihkan pula ke sektor industri. Ketiga, dimana tahap ditandai
awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output
lebih daripada perolehan upah konstitusional.
Sedangkan menurut Mankiw (1992), membedakan tenaga kerja (labour)
menjadi dua yaitu tenaga kerja berpendidikan (educated) dan tidak berpendidikan
(uneducated). Disini tenaga kerja berpendidikan (educated labour) diindikasikan
dengan proporsi angkatan kerja yang memiliki tingkat pendidikan lanjutan
(proportion of the labour force with secondary education).
Salah satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja adalah
ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja (demand for labour) dan
penawaran tenaga kerja (supply for labour), pada suatu tingkat upah
(Kusumosuwidho, 1981). Ketidakseimbangan tersebut dapat berupa lebih
banyaknya penawaran permintaan terhadap tenaga kerja (adanya excess of labour)
atau lebih banyaknya permintaan di banding penawaran tenaga kerja (adanya
excess demand for labour).
2.1.3. Tingkat Pendidikan
2.1.3.1. Pengertian Modal Manusia
Menurut Romer (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan
keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu
meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang,
diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi.
Efek limpahan ilmu pengetahuan adalah kondisi peningkatan produktivitas
dalam suatu konsentrasi spasial industri sebagai akibat adanya tranfer ilmu
pengetahuan dan teknologi dari perusahaan lain di sekitarnya. Efek ini dapat
terjadi dalam bentuk eksternalitas modal manusia, atau disebut juga sebagai
limpahan modal manusia.
Efek limpahan ilmu pengetahuan dapat terjadi dalam bentuk efek limpahan
modal manusia. Karena itu ilmu pengetahuan dapat melimpah, baik melalui
interaksi formal maupun non-formal antar pekerja akibat kedekatan secara
geografis. Keberadaan akumulasi ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seluruh
modal manusia dalam suatu area mengakibatkan efek eksternal terhadap
peningkatan produktivitas.
Menurut Dr. Nazili Shaleh Ahmad (1982:4), “Pendidikan itu merupakan
kegiatan proses belajar mengajar yang sistem pendidikannya senantiasa berbeda
dan berubah-ubah, dari masyarakat yang satu kepada masyarakat yang lain”.
Pendapat lain tentang pengertian pendidikan dikemukakan oleh John S.
Brubacher yang dikutip Sumitro (1998:17) menyatakan bahwa; “Pendidikan
adalah proses potensi-potensi, kemampuan-kemampuan, kapasitas-kapasitas
manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dengan alat (media) yang disusun
sedemikian rupa, dan digunakan oleh manusia untuk menolong orang lain atau
dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan”. Pengertian
pendidikan bila dikaitkan dengan penyiapan tenaga kerja menurut Umar
Tirtarahardja dan La Sulo (1994:37), “Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja
diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal
dasar untuk bekerja”. Sebagaimana dikemukakan oleh Soedarmayanti (2001:32)
bahwa melalui pendidikan, seseorang dipersiapkan untuk memiliki bekal agar siap
tahu, mengenal dan mengembangkan metode berpikir secara sistematik agar dapat
memecahkan masalah yang akan dihadapi dalam kehidupan dikemudian hari.
Menurut Azwani Kartoyo (1992,7) pada hakekatnya pendidikan merupakan
usaha dasar manusia untuk mengembangkan kepribadian dan meningkatkan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Secara
ekonomi pendidikan merupakan suatu usaha investasi di dalam modal manusia.
Dikatakan demikian karena investasi adalah konsumsi yang ditandai waktunya
tapi tidak untuk masa lain akan tetapi untuk masa yang akan datang konsumsi
tersebut dapat dirasakan.
2.1.3.2. Pendidikan
Keberhasilan pembangunan dilihat dari indikator kinerja sektor pendidikan
adalah adanya kesempatan bagi masyarakat usia didik untuk mendapatkan
pendidikan yang layak secara kualitas dan kuantitas. Dari sisi kualitas, indikator
ini secara operasional dapat dilihat dari rasio masyarakat usia didik yang
mendapatkan pendidikan dan masyarakat usia didik yang tidak mendapatkan
pendidikan. Rasio ini secara teoritis berkorelasi positif dengan daya serap murid
terhadap meteri ajaran yang diberikan. Artinya, makin tinggi rasio guru terhadap
murid, makin baik daya serap murid terhadap materi yang diajarkan, sehingga
makin tinggi kualitas pendidikan yang didapat (BPS IPM Kabupaten Bandung
Barat Tahun 2008).
2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi
2.1.4.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan target yang ingin dicapai oleh
perekonomian dalam jangka panjang, dan semaksimal mungkin konsisten dengan
pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Pertumbuhan ekonomi dapat menerangkan
dan sekaligus dapat mengukur prestasi perkembangan suatu perekonomian.
Dalam aktivitas ekonomi secara aktual, pertumbuhan ekonomi (economic growth)
berarti terjadinya perkembangan ekonomi secara fiskal yang terjadi di suatu
negara, seperti : (1) pertambahan jumlah dan produksi barang industri; (2)
perkembangan infrastruktur; dan (3) pertambahan produksi hasil dari kegiatan-
kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam satu periode tertentu, misalnya satu
satu tahun (Dumairy, 2000: 144).
Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi mempunyai arti yang
sedikit berbeda, meskipun keduanya sering dianalogikan sama. Keduanya
menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku atau secara aktual
terjadi. Tetapi sebenarnya penggunaan kedua istilah tesebut dapat dilakukan
dalam konteks yang berbeda. Pertumbuhan digunakan sebagai suatu ungkapan
yang umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara atau
daerah, yang diukur melalui pertumbuhan (% pertumbuhan output agregat,
seperti: PDB) dari pendapatan nasional riil. Nilai tersebut dapat dikonstankan
berdasarkan tahun dasar tertentu, terutama untuk melihat adanya faktor kenaikan
harga-harga atau inflasi (Sadono Sukirno, 1995:415).
Dari sejumlah literatur ekonomi, penggunaan istilah pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan ekonomi sering dilakukan secara bersamaan. Istilah
pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menyatakan perkembangan ekonomi di
negara-negara maju sedangkan pembangunan ekonomi digunakan untuk
menyatakan perkembangan ekonomi di negara berkembang. Berikut adalah
beberapa definisi mengenai pertumbuhan ekonomi menurut pendapat para ahli.
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian
yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat bertambah,
sehingga kemakmuran masyarakat meningkat (Sadono Sukirno, 199: 79).
Pertumbuhan ekonomi dalam arti luas adalah proses peningkatan produksi
barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, pertumbuhan menyangkut
perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil
produksi dan pendapatan. Dalam pertumbuhan ditelaah proses produksi yang
melibatkan sejumlah jenis produksi dengan menggunakan sejumlah sarana
produksi tertentu. Pertumbuhan ekonomi dalam arti terbatas yaitu peningkatan
produksi dan pendapatan, bisa saja berlangsung tanpa terwujudnya pembangunan
misalnya pada jaman penjajahan (Irawan dan M. Suparmoko, 1993: 79).
Pertumbuhan ekonomi adalah menelaah faktor-faktor tertentu dari
pertumbuhan output jangka menengah dan jangka panjang, faktor-faktor penentu
pertumbuhan adalah tenaga kerja penuh, teknologi tinggi, akumulasi modal yang
cepat, dan tabungan sebagai investasi yang tergantung pada besarnya pendapatan
masyarakat (Rudiger Dornbusch dan Stanley Fischer. 1996: 603).
Pertumbuhan ekonomi menurut Simon Kuznet (M.L. Jhingan, 1993:72)
adalah kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyaknya jenis
barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai
dengan kemajuan ekonomi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang
diperlukan. Definisi di atas memiliki tiga komponen pengertian: Pertama,
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus
menerus persediaan barang. Kedua, teknologi maju merupakan faktor utama
dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan dalam
penyediaan aneka macam barang kepada penduduk. Ketiga, penggunaan teknologi
secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembangaan
dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat
manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.
Sementara itu, menurut beberapa ahli ekonomi, pengertian pertumbuhan
ekonomi adalah kenaikan dalam nilai PDB tanpa memandang apakah kenaikan itu
lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk. Dalam
penggunaan yang lebih umum, istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan
untuk menyatakan kegiatan di negara maju (Sadono Sukirno, 2000:14).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan
merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena
penduduk bertambah terus dan berarti kebutuhan ekonomi juga bertambah terus,
maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Hal ini hanya bisa didapat
lewat peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau Produk Domestik Bruto
(PDB) setiap tahun (Tulus Tambunan, 2001:2).
Pengertian PDB adalah suatu indeks harga yang mengukur tingkat harga
dari sejumlah barang yang dihasilkan di dalam sebuah perekonomian yang dibeli
oleh rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan luar negeri (Muana Nanga,
2005:28).
PDB juga merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam negara
dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk negara
tersebut dan penduduk/perusahaan negara lain (Sadono Sukirno, 2000:35).
Pegertian PDB menurut BPS, yaitu penjumlahan nilai tambah bruto (gross
value added) dari seluruh sektor perekonomian di dalam suatu daerah/wilayah
dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Yang dimaksud dengan nilai tambah
adalah selisih nilai produksi (output) dengan biaya antara (intermediate input).
Nilai tambah yang dihasilkan akan sama dengan balas jasa faktor produksi yang
ikut serta dalam proses produksi.
PDB dapat dihitung dengan dua cara, yaitu atas harga dasar berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
pada tahun yang bersangkutan, sedangkan PDB atas harga konstan
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa tersebut berdasarkan harga pada
suatu tahun tertentu (tahun dasar) (BPS, 2001).
Lebih lanjut pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan tingkat kegiatan
ekonomi yang berlaku dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, untuk mengetahui
tingkat pertumbuhan ekonomi harus diperbandingkan pendapatan nasional yang
merujuk pada PDB dari tahun ke tahun. Dalam membandingkannya, perlu
disadari bahwa perubahan nilai pendapatan nasional PDB dipengaruhi oleh faktor
perubahan harga-harga. Rumusan perhitungan pertumbuhan ekonomi adalah:
(Sadono Sukirno 2002:19)
( )
Dimana:
Δ PDB = pertumbuhan ekonomi atas dasar perubahan PDB (%)
= nilai PDB tahun t
= nilai PDB tahun sebelumnya
Perlu diperhatikan, untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi, data
PDB yang digunakan adalah data PDB atas dasar harga konstan. Dengan
menggunakan data atas harga konstan, maka pertumbuhan PDB semata-mata
hanya mencerminkan pertumbuhan output yang dihasilkan perekonomian pada
periode tertentu. Sebab dengan menggunakan data PDB atas dasar harga konstan
pengaruh perubahan harga terhadap nilai PDB (atas dasar harga berlaku), telah
dihilangkan.
Pengamatan terhadap perubahan beberapa variabel atau indikator ekonomi
makro seperti PDB, dipercaya bisa membantu investor dalam meramalkan apa
yang akan terjadi pada perubahan pasar modal (Eduardus Tendelilin, 2001:216).
PDB sebagai indikator ekonomi dapat dimanfaatkan untuk memberikan
gambaran situasi ekonomi suatu wilayah, diantaranya:
1. PDB atas dasar harga berlaku nominal menunjukan kemampuan sumber daya
ekonomi yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Nilai PDB yang besar
menunjukan sumber daya ekonomi yang besar;
2. PDB harga berlaku menunjukan pendapatan yang memungkinkan dapat
dinikmati oleh penduduk suatu wilayah;
3. PDB atas dasar harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukan laju
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke
tahun;
4. Distribusi PDB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukan struktur
perekonomian yang menggambarkan peranan sektor ekonomi dalam suatu
wilayah. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran yang besar
menunjukan basis perekonomian yang mendominasi wilayah tersebut;
5. PDB perkapita atas dasar harga konstan berguna untuk memenuhi
pertumbuhan nyata ekonomi perkapita.
Indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi di suatu
daerah/provinsi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan pertumbuhan PDRB dan
bukan indikator lainnya seperti misalnya, pertumbuhan Produk Nasional Bruto
(PNB) sebagai indikator pertumbuhan. Alasan-alasan tersebut adalah:
1. PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas
produksi di dalam perekonomian dalam suatu daerah/provinsi. Hal ini
berarti peningkatan PDRB juga mencerminkan peningkatan balas jasa
kepada faktor produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi tersebut.
2. PDRB dihitung atas dasar konsep aliran (flow concept), artinya perhitungan
PDRB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu periode
tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang dihasilkan pada
periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep aliran guna menghitung PDRB,
memungkinkan kita untuk membandingkan jumlah output yang dihasilkan
pada tahun ini dengan tahun sebelunnya.
3. Batas wilayah perhitungan PDRB adalah suatu provinsi. Hal ini
memungkinkan kita untuk mengukur sejauh mana kebijaksanaan-
kebijaksanaan ekonomi yang diterapkan pemerintah daerah mampu
mendorong aktivitas perekonomian domestik.
2.1.4.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Dalam bukunya The Theory of Economic Developtment, Schumpeter
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi secara terus-menerus
tetapi mengalami keadaan dimana adakalanya berkembang dan pada seketika lain
mengalami kemunduran. Konjungtur tersebut disebabkan oleh kegiatan para
pengusaha (enterpreneur) melakukan inovasi dan pembaharuan dalam kegiatan
mereka menghasilkan barang dan jasa. Untuk mewujudkan inovasi yang seperti
ini investasi akan dilakukan, dan penambahan investasi akan meningkatkan
kegiatan ekonomi (Sadono Sukirno, 2000:449).
Berikut ini adalah teori-teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh beberapa
pakar ekonomi:
1. Teori Pertumbuhan Klasik
2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
3. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
2.1.4.2.1. Teori Pertumbuhan Klasik
Teori ini muncul di masa revolusi industri (akhir abad ke-18) dan awal
permulaan abad ke-19 dimana sistem liberal mendominasi dalam perekonomian.
1. Adam Smith
2. David Ricardo
3. Thomas Robert Malthus
1. Adam Smith
Menurut Smith pertumbuhan bersifat kumulatif, artinya jika ada pasar yang
cukup dan akumulasi kapital, akan ada pembagian kerja dengan produktivitas
tenaga kerja menaik. Kenaikan ini menyebabkan pendapatan nasional naik untuk
kemudian memperbesar jumlah penduduk dan memperluas pasar. Perkembangan
berhenti oleh karena sumber alam terbatas jumlahnya, disamping berlakunya
hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (The Law Of Diminishing
Return).
Adam Smith menolak campur tangan pemerintah dalam pengelolaan sistem
perekonomian. Pengelolaan sistem perekonomian hendaknya diserahkan
sepenuhnya kepada masyarakat (para pelaku ekonomi) dengan mekanisme
pasarnya, dimana masyarakat (konsumen dan produsen) dapat menentukan harga
pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran (hukum ekonomi pasar)
(Riyadi dan Deddy Supriady, 2004:51).
2. David Ricardo
Menurut Ricardo masyarakat ekonomi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
golongan kapitalis, dan golongan buruh, dan golongan tuan tanah. Sesuai dengan
penggolongan di atas maka pendapatan nasional dibagi menjadi tiga, yaitu: upah,
sewa dan keuntungan.
3. Thomas Robert Malthus
Menurutnya, kenaikan jumlah penduduk akan menimbulkan permintaan,
dan hal ini merupakan unsur penting yang perlu diperhatikan. Disamping itu, juga
harus diikuti dengan kemajuan faktor perkembangan lainnya. Untuk mendukung
perkembangan ekonomi dibutuhkan kenaikan kapital untuk investasi, dimana
kapital tersebut didapat dari tabungan. Tetapi investasi ini dihambat oleh
kurangnya permintaan efektif yang disebabkan oleh pertambahan penduduk yang
menekan upah.
Selain itu pendapat yang diterima ada yang ditabungkan karena tidak
dikonsumsi seluruhnya. Oleh karena itu, Malthus merasa pesimis terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2.1.4.2.2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Menurutnya setiap upaya untuk tinggal landas mengharuskan adanya
mobilisasi tabungan dan luar negeri dengan maksud untuk menciptakan investasi
yang cukup, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Teori Harrod-Domar mengingatkan kita bahwa sebagai akibat investasi
yang dilakukan tersebut pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal
dalam perekonomian akan bertambah (Sadono Sukirno, 2000:450).
Menurut Harrod-Domar (Sadono Sukirno, 1985:286) pada hakekatnya
investasi berusaha untuk menunjukan syarat yang diperlukan agar terjadi
pertumbuhan yang mantap atau Steady Growth yang dapat didefinisikan sebagai
pertumbuhan yang akan selalu menciptakan penggunaan sepenuhnya alat-alat
modal yang akan selalu berlaku dalam perekonomian.
Inti dari pertumbuhan Harrod-Domar adalah suatu realisasi jangka pendek
antara peningkatan investasi (pembentukan kapital) dan pertumbuhan ekonomi.
Dua variabel fundamental dari model ini adalah pembentukan kapital (investasi)
dan ICOR (incremental capital output ratio). Jika Y=output, K=stok kapital, dan
I=investasi, maka ICOR adalah (ΔK/ΔY), penambahan kapital dibagi
pertumbuhan output, sama seperti (I/ΔY), sejak ΔK=I dalam definisi.
Model Harrod-Domar ini adalah suatu modifikasi yang didasari pada model
masing-masing dari Domar dan Harrod. Model Domar lebih memfokuskan pada
laju pertumbuhan investasi (ΔI/I). Di dalam modelnya, investasi (I) ditetapkan
harus tumbuh atas suatu persentase yang konstan, sejak marginal propensity to
save, yakni rasio dari pertumbuhan tabungan (S) terhadap peningkatan pendapatan
(Y), dan ICOR keduanya konstan.
Teori Harrod-Domar memperlihatkan kedua fungsi dari pembentukan modal
dalam kegiatan ekonomi. Dalam teorinya pembentukan modal dipandang sebagai
pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk
menghasilkan barang, maupun sebagai pengeluaran yang akan menambah
permintaan efektif seluruh masyarakat. Artinya apabila pada suatu masa tertentu
dilakukan sejumlah pembentukan modal, maka pada masa berikutnya
perekonomian tersebut mempunyai kesanggupan yang lebih besar untuk
menghasilkan barang-barang, disamping itu Harrod-Domaar menganggap pula
bahwa pertambahan dalam kesanggupan memproduksi itu tidak secara sendirinya
akan menciptakan pertambahan produksi dan kenaikan pendapatan nasional.
Dengan demikian, walaupun kapasitas memproduksi bertambah, pendapatan
nasional baru akan bertambah dan pertumbuhan ekonomi akan tercipta, apabila
pengeluaran masyarakat mengalami kenaikan kalau dibandingkan dengan masa
sebelumnya.
Dalam teorinya Harrod-Domar menggunakan beberapa pemisalan berikut:
1. Pada tahap permulaan perekonomian telah mencapai tingkat kesempatan
kerja penuh dan alat-alat modal yang tersedia dalam masyarakat
sepenuhnya dipergunakan;
2. Perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor rumah tangga dan sektor
perusahaan, berarti pemerintahan dan perdagangan luar negeri tidak
termasuk;
3. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsionil dengan pendapatan
nasional, dan keadaan ini berarti bahwa fungsi tabungan dinilai dari titik
nol;
4. Kecondongan menabung batas besarnya tetap, dan begitu juga
perbandingan diantara modal degan jumlah produksi yang lazim disebut
rasio modal produksi (Capital Output Ratio) dan perbandingan diantara
pertambahan modal dengan jumlah pertambahan produksi yang lazim
disebut rasio pertambahan modal produksi (Incremental Capital Outout
Ratio).
Pokok penjelasan dari teori tersebut bahwa penanaman modal yang
dilakukan masyarakat dalam waktu tertentu digunakan untuk dua tujuan. Pertama
untuk mengganti alat-alat modal yang tidak dapat digunakan lagi. Kedua untuk
memperbesar jumlah alat-alat modal yang tersedia dalam masyarakat.
2.1.4.2.3. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori ini menyatakan perlunya teknologi dalam rangka mencapai
pertumbuhan ekonomi. Unsur ini diyakini akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Menurut kaum neo-klasik, laju pertumbuhan
ekonomi ditentukan oleh pertambahan dalam penawaran faktor-faktor produksi
dan tingkat kemajuan teknologi. Pendapat ini sepenuhnya berpangkal pada
pemikiran aliran klasik yang menyatakan bahwa perekonomian akan tetap
mengalami tingkat kesempatan kerja penuh dan kapasitas alat-alat modal akan
tetap sepenuhnya digunakan dari masa ke masa.
Dalam teori ini, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia
untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang
terbuka, semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat
dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan ekonomi semua negara di
dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang (Kartasasmita,
1997:12).
Robert Solow dan Trevor Swan secara sendiri-sendiri mengembangkan
model pertumbuhan ekonomi yang sekarang dikenal dengan model pertumbuhan
Neo-Klasik. Asumsi yang melandasi model Neo-Klasik adalah:
1. Tenaga kerja tumbuh dengan laju pertumbuhan tertentu, misal P per
tahun;
2. Adanya fungsi produksi yang berlaku pada setiap periode;
3. Ada kecenderungan menabung oleh masyarakat yang dinyatakan sebagai
proporsi (S) tertentu dari Output (Q). Tabungan masyarakat (S=SQ) bila
Q naik S juga naik, S turun bila Q turun;
4. Semua tabungan masyarakat diinvestasikan, sehingga S=I=K. Dengan
demikian proses pertumbuhan dalam model Neo-Klasik memenuhi syarat
Waranted rate of Growth, adanya keseimbangan di pasar barang.
Proses pertumbuhan ekonomi akan tergantung dalam pertambahan penyedia
faktor produksi (penduduk, tenaga kerja dan akumulasi modal serta tingkat
kemajuan teknologi). Pandangan ini didasari oleh anggapan klasik, bahwa
perekonomian akan tetap mengalami tingkat pekerjaan penuh (full employment),
dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu.
2.1.5. Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Investasi bagian dari pendapatan nasional akan mempengaruhi besar
kecilnya pendapatan nasional, dimana investasi yang dilakukan dengan cara
membuka sektor-sektor usaha baru yang mengakibatkan meningkatnya output dan
kesempatan kerja. Hubungan kenaikan investasi dengan peningkatan pendapatan
nasional oleh Keynes disebut multiplier. Hubungan tersebut dapat dilihat dari alur
berikut ini
Multiplier memperlihatkan hubungan antar investasi, konsumsi dan
pendapatan terhadap kecenderungan konsumsi. Ini berarti kalau investasi agregat
meningkat maka pendapatan akan naik sebesar (K) kali kenaikan investasi.
Dimisalkan model perekonomian yang dipakai adalah model perekonomian dua
sektor, maka penjelasannya sebagai berikut:
ΔY = Perubahan Pendapatan yang disebabkan adanya perubahan investasi
= multiplier effect
b = MPC ( Marginal Propensity to Consume =
)
ΔI = Perubahan Investasi
ΔY
b ΔI
2.1.6. Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Todaro (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan tenaga kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor
positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar
berarti akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang
lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Meski demikian hal
tersebut masih dipertanyakan apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang
cepat benar-benar akan memberikan dampak positif atau negatif dari
pembangunan ekonominya. Selanjutnya dikatakan bahwa pengaruh positif atau
negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem
perekonomian daerah tersebut dalam menyerap dan secara produktif
memanfaatkan pertambahan tenaga kerja tersebut.
Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal
dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan
administrasi. Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada
umumnya pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat
homogen. Menurut Lewis (1945) dalam Todaro (2004) angkatan kerja yang
homogen dan tidak terampil dianggap bisa bergerak dan beralih dari sektor
tradisional ke sektor modern secara lancar dan dalam jumlah terbatas. Keadaan
demikian, penawaran tenaga kerja mengandung elastisitas yang tinggi.
Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja (dari sektor tradisional) bersumber
pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan demikian salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja.
2.1.7. Tingkat Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Sadono sukirno (2004) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan satu
investasi yang sangat berguna untuk pertumbuhan ekonomi. Di satu pihak untuk
memperoleh pendidikan diperlukan waktu dan uang. Pada masa selanjutnya
setelah pendidikan diperoleh, masyarakat dan individu akan memperoleh manfaat.
Individu yang memperoleh pendidikan tinggi cenderung memperoleh pendapatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak berpendidikan tinggi.
Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh.
Peningkatan dalam pendidikan memberi beberapa manfaat dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi yaitu manajemen perusahaan-perusahaan
modern yang dikembangkan semakin efisien, penggunaan teknologi modern
dalam kegiatan ekonomi dapat lebih cepat berkembang, pendidikan yang lebih
tinggi meningkatkan daya pemikiran masyarakat.
Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah
terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital)
dalam rangka mendorong dan meningkatkan produktifitas, dimana pertumbuhan
produktifitas tersebut pada gilirannya merupakan motor penggerak pertumbuhan.
Modal manusia dalam terminologi ekonomi digunakan untuk bidang pendidikan
dan berbagai kapasitas manusia lainnya, yang ketika bertambah dapat
meningkatkan produktivitas. Pendidikan memainkan kunci dalam kemajuan
perekonomian di suatu negara. Pendidikan merupakan alat untuk mengadopsi
teknologi modern, sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi dalam
perekonomian. Pendidikan juga dapat dilihat sebagai komponen vital dalam
pertumbuhan dan pembangunan sebagai input bagi fungsi produksi agregat
(Todaro,2002).
Samuelson dan Nordhaus (2001) menyebutkan bahwa input tenaga kerja
terdiri dari kuantitas dan keterampilan tenaga kerja. Banyak ekonom percaya
bahwa kualitas input tenaga kerja yakni keterampilan, pengetahuan dan disiplin
tenaga kerja, merupakan elemen paling penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Suatu negara yang mampu membeli berbagai peralatan canggih tapi tidak
mempekerjakan tenaga kerja terampil dan terlatih tidak akan dapat memanfaatkan
barang-barang modal tersebut secara efektif. Peningkatan melek huruf dan disiplin
serta kemampuan menggunakan komputer sangat meningkatkan produktivitas
tenaga kerja.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia
merupakan hubungan dua arah yang kuat. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi
menyediakan sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya perkembangan
secara berkelanjutan dalam pembangunan manusia. Sementara sisi lain
pengembangan dalam kualitas modal manusia merupakan kontributor penting
bagi pertumbuhan ekonomi.
2.2. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
2.2.1. Penelitian Deddy Rustiono, SE
Deddy Rustiono, SE melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja, Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh PMA, PMDN, jumlah angkatan kerja dan jumlah
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah.
Penelitiannya dilakukan dengan data time series selama 12 tahun dari tahun 1985
sampai tahun 2006. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk
menjelaskan keadaan dan temuan-temuan di lapangan. Selain analisis deskriptif
beberapa item yang dapat memperkuat analisis kualitatif dilakukan analisis
dengan menggunakan alat statistik yang sesuai.
Hasil dari penelitian ini yaitu : (1) pengaruh PMA, PMDN, angkatan kerja
dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa
Tengah menunjukan hubungan yang signifikan; (2) adanya krisis ekonomi tahun
1997 menyebabkan perbedaan yang nyata antara keadaan sebelum dan sesudah
terjadinya krisis ekonomi dan memberikan dampak yang negatif atau
menyebabkan penurunan kapasitas output.
2.2.2. Penelitian Dwi Suryanto
Dwi Suryanto melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh
Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan, dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Di Subosukawonosraten Tahun 2004-2008”. Penelitiannya
bertujuan untuk menganalisis pengaruh tenaga kerja, tingkat pendidikan dan
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Subosukawonosraten
tahun 2004-2008. Penelitian ini menggunakan data time series selama 5 tahun dari
tahun 2004-2008 dan data cross-section sebanyak 7 data mewakili kawasan
Subosukawonosraten yang menghasilkan 35 observasi. Penelitian ini
menggunakan salah satu asumsi FEM yaitu koefisien slope konstan tetapi
intersepnya bervariasi antar individu, sehingga bentuk modelnya fixed effect.
Model fixed effect harus memasukan variabel dummy, hai ini untuk menyatakan
perbedaan intersep.
Hasil penelitian ini adalah variabel tenaga kerja, tingkat pendidikan dan
pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi di kawasan Subosukawonosraten.
2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Pertumbuhan ekonomi merupakan target yang ingin dicapai oleh
perekonomian suatu negara/daerah dalam jangka panjang, dan semaksimal
mungkin konsisten dengan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tujuannya tidak
lain untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Pertumbuhan ekonomi berarti terjadinya perkembangan ekonomi yang
berkelanjutan di suatu negara, seperti pertambahan produksi hasil dari kegiatan
ekonomi yang berlangsung dalam satu periode tertentu. Laju pertumbuhan
ekonomi ditentukan faktor-faktor tertentu dari pertumbuhan output jangka
menengah dan jangka panjang, faktor-faktor penentu pertumbuhan adalah tenaga
kerja penuh, teknologi tinggi, akumulasi modal yang cepat, dan tabungan sebagai
investasi yang tergantung pada besarnya pendapatan masyarakat (Rudiger
Dornbusch dan Stanley Fischer. 1996: 603).
Setiap upaya pembangunan ekonomi baik ditingkat nasional maupun
regional, mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang
kerja bagi masyarakat. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan
masyarakatnya harus mengambil inisiatif dalam pembangunan wilayahnya. Oleh
karena itu, pemerintah dengan partisipasi masyarakatnya harus mampu menaksir
potensi-potensi sumber daya yang diperlukan dalam merancang dan membangun
perekonomian khususnya di tingkat regional atau daerah.
Namun demikian potensi ekonomi yang dimiliki oleh setiap daerah pada
umumnya tidak merata dan tidak seragam, oleh karena itu pertumbuhannya pun
berbeda. Untuk dapat tumbuh secara cepat, suatu daerah perlu memilih satu
kawasan atau lebih pusat-pusat pertumbuhan regional yang memiliki potensi
paling kuat. Sebagai kawasan yang memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh
dibandingkan daerah lainnya dalam suatu provinsi, berarti suatu pusat
pertumbuhan memiliki faktor-faktor kelebihan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhannya.
Variabel terikat yang akan diteliti adalah pertumbuhan ekonomi dengan
indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi untuk mengukur tingkat pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Variabel-variabel bebas yang diambil adalah
investasi, jumlah tenaga kerja dan tingkat pendidikan masyarakat, yang
sebelumnya telah ditentukan serta dengan teori-teori yang ada.
Nilai investasi diambil dari penjumlah realisasi penanaman modal dalam
negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) di kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Jawa Barat. Lalu, jumlah tenaga kerja yang nilainya diambil
menyesuaikan pada teori Smith (Subri, 2002) bahwa manusia merupakan salah
satu faktor produksi yang menentukan kemakmuran bangsa-bangsa. Alam (tanah)
tidak akan ada artinya jika tidak ada sumber daya manusia yang pandai
mengelolanya, sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Serta variabel bebas lainya
adalah tingkat pendidikan masyarakat, seperti pendapat Romer (1991) modal
manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang.
Pendidikan adalah satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya.
Sedangkan pendidikan bila dikaitkan tenaga kerja menurut Umar Tirtarahardja
dan La Sulo (1994:3) pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja sebagai kegiatan
membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja.
Hubungan pertumbuhan ekonomi (terikat) dengan variabel-variabel
bebasnya, yaitu investasi, jumlah tenaga kerja dan tingkat pendidikan masyarakat,
adalah sebagai berikut:
Kenaikan investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal ini didukung oleh Samuelson (1995:108), kenaikan inveatasi
menyebabkan kenaikan pendapatan nasional, akibatnya akan timbul
peningkatan konsumsi yang pada gilirannya menyebabkan kenaikan
berikutnya pada pendapatan. Proses ini cenderung bersifat kumulatif
akibatnya kenaikan tertentu pada investasi menyebabkan kenaikan yang
berlipat pada pendapatan melalui kecenderungan untuk mengkonsumsi.
Oleh karena itu investasi merupakan faktor yang paling penting untuk
mencapai target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara
atau wilayah.
Tenaga kerja terserap berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini didukung oleh Todaro (2000) menyebutkan
bahwa tenaga kerja terserap secara tradisional dianggap sebagai salah satu
faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja terserap
berarti akan menambah tingkat produksi. Kemampuan tersebut
dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input
dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.
Menurut Lewis (1945) dalam Todaro (2004) angkatan kerja yang
homogen dan tidak terampil dianggap bisa bergerak dan beralih dari sektor
tradisional ke sektor modern secara lancar dan dalam jumlah terbatas.
Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja (dari sektor tradisional)
bersumber pada ekspansi kegiatan modern. Dengan demikian salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah tenaga
kerja.
Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan dalam pendidikan memberikan beberapa manfaat dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pentingnya peranan pendidikan
dalam menciptakan modal manusia (human capital) dalam mendorong dan
meningkatkan produktifitas yang selanjutnya menjadi motor penggerak
pertumbuhan.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis hubungan antara
investasi, tenaga kerja dan tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: “Diduga terdapat hubungan yang
signifikan dan pengaruh yang positif dari investasi, tenaga kerja dan tingkat
pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat”.
BAB III
OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah Provinsi Jawa Barat yang
terdiri dari 26 kabupaten dan kota, masing-masing dari tahun 2007-2011. Ada
beberapa variabel atau faktor-faktor yang harus dikaji untuk lebih memperjelas
penelitian ini, hal tersebut akan diuraikan seperti di bawah ini.
3.1.1. Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50’ - 7°50’ Lintang
Selatan dan 104°48’ - 108°48’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya
sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta, sebelah
timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, sebelah selatan berbatasan
dengan Samudra Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten.
Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah 37.116,54 km² dengan kepadatan
penduduk 1.181 orang/km (BPS Jawa Barat 2011).
Secara administratif, Provinsi Jawa Barat terdiri atas 17 Kabupaten
( Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Bandung, Kab. Garut,
Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis, Kab. Kuningan, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka,
Kab. Sumedang, Kab. Indramayu, Kab. Subang, Kab. Purwakarta,
Kab. Karawang, Kab. Bekasi, Kab. Bandung Barat ) dan 9 Kota ( Bogor,
Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya, Banjar ).
3.1.2. Investasi di Jawa Barat
Investasi adalah usaha untuk meningkatkan modal sendiri baik melalui
investasi berwujud atau tak berwujud untuk memperoleh keuntungan di masa
yang akan datang. Berdasarkan jenisnya investasi terbagi menjadi dua yaitu
investasi pemerintah yang dilakukan untuk menyediakan prasarana dan sarana,
tetapi tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Lalu ada investasi
swasta yang dilakukan oleh sektor swasta nasional dan sektor swasta luar negeri
yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Dalam tabel 3.1 berikut ini
menunjukan realisasi investasi yang berasal dari investasi swasta yaitu
penjumlahan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman
Modal Asing (PMA) berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode
tahun 2007-2011:
Tabel 3.1.
Realisasi Investasi di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
No
Kabupaten/
Kota 2007 2008 2009 2010 2011
Kabupaten
1 Bogor 1.378.573.235.650 1.745.878.980.827 4.347.831.681.596 2.791.253.129.336 4.113.606.919.002
2 Sukabumi 108.502.571.560 898.748.687.408 627.438.332.500 128.948.617.709 372.232.787.078
3 Cianjur 36.101.500.000 12.769.040.274 0 54.418.000 150.400.000.000
4 Bandung 333.436.598.404 774.634.367.862 299.998.888.870 1.019.064.394.148 544.196.570.929
5 Garut 0 0 0 27.209.000 200.000.000
6 Tasikmalaya 0 750.000.000 0 1.500.000.000 0
7 Ciamis 0 3.000.000.000 0 0 0
8 Kuningan 0 0 0 54.418.000 3.069.000.000
9 Cirebon 495.440.437.011 13.000.000.000 2.293.887.280.000 4.109.877.471.753 7.000.878.242.381
10 Majalengka 69.699.386.810 0 20.026.928.000 259.225.631.753 16.308.598.805
11 Sumedang 77.095.500.000 1.534.409.819.904 95.524.750.000 47.916.000.000 6.400.941.456
12 Indramayu 0 190.312.000.000 0 259.225.631.753 21.062.469.759
13 Subang 138.397.644.000 36.995.855.223 340.349.802.335 405.171.188.182 103.416.014.914
14 Purwakarta 467.986.978.000 333.556.450.000 7.035.800.596.397 2.385.161.331.241 1.267.366.180.661
15 Karawang 12.437.686.191.081 4.995.736.715.163 3.685.156.904.739 4.540.232.920.889 5.332.612.866.941
16 Bekasi 7.206.998.702.266 11.300.600.246.017 9.369.096.198.030 13.598.905.976.748 13.205.148.021.251
17 Bdg. Barat 0 0 16.500.000.000 1.636.935.466.229 544.887.808.600
Kota
18 Bogor 7.730.250.000 215.036.939.185 25.008.167.200 167.375.209.000 304.318.852.400
19 Sukabumi 0 0 0 5.626.920.000 0
20 Bandung 352.660.986.723 2.692.183.118.446 428.562.248.330 14.160.098.771.952 9.531.387.066.057
21 Cirebon 0 0 0 62.500.000.000 283.253.920.691
22 Bekasi 83.844.920.185 2.100.507.996.338 546.634.487.500 133.627.104.208 869.554.864.102
23 Depok 304.829.321.653 2.625.853.698.724 388.198.459.865 844.332.007.600 4.647.097.146.960
24 Cimahi 46.303.922.432 117.995.430.108 692.818.172.569 45.501.345.658 426.570.530.188
25 Tasikmalaya 0 9.776.001.514 0 0 0
26 Banjar 0 0 0 0 7.207.807.525
Jawa Barat 23.545.288.145.775 29.601.745.346.993 30.212.832.897.931 46.602.615.163.159 48.751.176.609.700
Sumber: BPS Jawa Barat
Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa investasi di Provinsi Jawa Barat mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Angka peningkatan jumlah investasi berturut-turut
dari tahun 2007 sampai 2011 yaitu Rp.23.545.288.145.775 –
Rp.29.601.745.346.514 – Rp.30.212.832.897.931 – Rp 46.602.615.163.159 –
Rp 48.751.176.609.700.
Dari Tabel 3.1 juga dideskripsikan bahwa daerah yang memiliki rata-rata
investasi terbesar selama kurun waktu tahun 2007 sampai 2011 adalah Kabupaten
Bekasi dengan rata-rata investasi sebesar Rp 10.936.149.828.862. Sedangkan
daerah yang memiliki rata-rata investasi paling kecil adalah Kabupaten Garut
sebesar Rp 45.441.800.
3.1.3. Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Barat
Tenaga kerja merupakan salah satu bagian penting dalam pertumbuhan
ekonomi. Tenaga kerja merupakan salah satu input dalam mendorong
produktivitas pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Tenaga kerja dalam penelitian
ini merupakan bagian dari angkatan kerja yang aktif bekerja. Data tentang tenaga
kerja di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat ditunjukan pada tabel 3.2
berikut ini:
Tabel 3.2.
Jumlah Tenaga Kerja
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
No Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Rata
rata
Kabupaten
1 Bogor 1.392.910 1.470.487 1.534.379 1.722.345 1.852.165 1.594.457,20
2 Sukabumi 897.200 900.258 896.379 858.133 925.205 895.435,00
3 Cianjur 860.828 847.542 865.097 833.036 863.044 853.909,40
4 Bandung 1.544.241 1.182.854 1.235.760 1.278.933 1.248.267 1.298.011,00
5 Garut 784.859 806.044 810.019 829.818 904.607 827.069,40
6 Tasikmalaya 808.334 763.367 799.912 756.064 677.453 761.026,00
7 Ciamis 783.173 757.136 727.984 723.004 648.480 727.955,40
8 Kuningan 454.770 465.539 468.620 417.310 425.718 446.391,40
9 Cirebon 783.498 811.856 804.514 747.544 828.506 795.183,60
10 Majalengka 576.147 516.818 565.427 537.671 489.817 537.176,00
11 Sumedang 507.674 494.095 470.557 483.406 457.222 482.590,80
12 Indramayu 700.973 661.242 710.363 678.476 702.670 690.744,80
13 Subang 647.108 649.879 636.612 618.117 623.501 635.043,40
14 Purwakarta 320.090 321.647 339.394 346.526 340.411 333.613,60
15 Karawang 732.948 795.700 815.854 808.590 880.087 806.635,80
16 Bekasi 774.633 854.404 911.715 1.143.817 1.074.899 951.893,60
17 Bandung Barat - 527.311 561.020 509.565 597.633 548.882,25
Kota
18 Bogor 308.277 377.388 385.488 346.727 391.221 361.820,20
19 Sukabumi 109.367 118.349 125.173 90.771 119.803 112.692,60
20 Bandung 915.047 952.752 998.227 948.124 1.012.946 965.419,20
21 Cirebon 113.531 127.531 131.133 113.750 120.967 121.382,40
22 Bekasi 768.520 901.041 911.122 892.876 990.630 892.837,80
23 Depok 570.303 657.050 653.171 714.891 728.675 664.818,00
24 Cimahi 207.748 219.634 233.255 213.970 225.801 220.081,60
25 Tasikmalaya 225.757 234.054 243.345 261.023 253.713 243.578,40
26 Banjar 64.886 66.417 66.910 67.957 71.340 67.502,00
Standar Deviasi 367,013 338.965 350.419 383.791 400.613
Sumber: BPS Jawa Barat
Dari Tabel 3.2 dapat dijelaskan bahwa jumlah tenaga kerja yang dapat
diserap di masing-masing Kabupaten/Kota mengalami fluktuasi pada beberapa
tahun tertentu. Pada tahun 2007 ke tahun 2008, Kabupaten/Kota di provinsi Jawa
Barat mengalami penurunan jumlah tenaga kerja (dapat dilihat dari standar deviasi
tahun 2007-2008, yaitu 367,013 – 338.965), tetapi pada tahun 2008 jumlah tenaga
kerja mengalami kenaikan yang terus berlanjut sampai tahun 2011 (dapat dilihat
dari standar deviasi tahun 2008 berturut-turut sampai tahun 2011 yaitu 338.965 -
350.965 – 383.791 – 400.613). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan tenaga kerja di masing-masing kabupaten dan kota cukup stabil.
Dari Tabel 3.2 juga dideskripsikan bahwa daerah yang memiliki jumlah
tenaga kerja tertinggi adalah Kabupaten Bogor dengan rata-rata jumlah tenaga
kerja sebanyak 1.594.457 orang, yang kedua adalah Kabupaten Bandung dengan
rata-rata jumlah tenaga kerja sebanyak 1.298.011 orang, dan yang ketiga adalah
Kota Bandung dengan rata-rata jumlah tenaga kerja sebanyak 965.419 orang,
sedangkan daerah yang memiliki jumlah tenaga kerja tersedikit adalah Kota
Banjar dengan rata-rata jumlah tenaga kerja sebanyak 67.502 orang.
3.1.4. Tingkat Pendidikan di Jawa Barat
Pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia. Semakin tinggi
pendidikan yang dienyam seseorang maka kualitas modal manusianya akan
semakin baik. Tenaga kerja yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung
akan memiliki upah/penghasilan yang tinggi jika dibandingkan dengan tenaga
kerja yang berpendidikan rendah. Data mengenai tingkat pendidikan didapatkan
dari perhitungan dua komponen penyusun data tersebut yaitu Rata-rata Lama
Sekolah dan Angka Melek Huruf. Data tentang Rata-rata Lama Sekolah penduduk
menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat di tunjukan dalam tabel 3.3
berikut ini:
Tabel 3.3.
Rata-rata Lama Sekolah
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
No Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Rata
rata
Kabupaten
1 Bogor 7,20 7,20 7,54 7,98 7,99 7,58
2 Sukabumi 6,39 6,39 6,54 6,88 6,90 6,62
3 Cianjur 6,40 6,42 6,63 6,82 6,85 6,62
4 Bandung 8,20 8,20 8,37 8,37 8,46 8,32
5 Garut 7,10 7,10 7,29 7,34 7,37 7,24
6 Tasikmalaya 6,80 6,80 6,98 6,99 7,33 6,98
7 Ciamis 6,90 6,90 7,09 7,19 7,47 7,11
8 Kuningan 6,80 6,80 6,87 6,95 7,22 6,93
9 Cirebon 6,42 6,42 6,87 6,85 6,87 6,69
10 Majalengka 6,70 6,70 6,83 6,84 7,17 6,85
11 Sumedang 7,65 7,65 7,91 7,93 7,94 7,82
12 Indramayu 5,50 5,50 5,64 5,73 5,95 5,66
13 Subang 6,60 6,60 6,91 6,92 6,94 6,79
14 Purwakarta 7,00 7,00 7,24 7,42 7,44 7,22
15 Karawang 6,68 6,68 6,83 6,95 7,02 6,83
16 Bekasi 8,10 8,10 8,21 8,33 8,60 8,27
17 Bandung Barat 8,00 8,00 8,04 8,07 8,11 8,04
Kota
18 Bogor 9,60 9,60 9,77 9,79 9,80 9,71
19 Sukabumi 9,00 9,00 9,21 9,32 9,35 9,18
20 Bandung 10,10 10,10 10,22 10,44 10,45 10,26
21 Cirebon 9,20 9,20 9,46 9,47 9,75 9,42
22 Bekasi 10,19 10,19 10,52 10,53 10,58 10,40
23 Depok 10,50 10,50 10,77 10,94 10,97 10,74
24 Cimahi 10,26 10,26 10,42 10,50 10,61 10,41
25 Tasikmalaya 8,40 8,40 8,59 8,83 8,85 8,61
26 Banjar 7,80 7,80 7,97 8,01 8,12 7,94
Standar Deviasi 1,43 1,43 1,43 1,43 1,40
Sumber: BPS Jawa Barat
Dari Tabel 3.3 dapat dijelaskan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat mengalami fluktuasi dalam tahun tertentu.
Pada tahun 2007-2010 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tidak mengalami
peningkatan ataupun penurunan rata-rata lama sekolah (dapat dilihat dari standar
deviasi tahun 2007-2010 yang tetap di angka 1,43), tetapi pada tahun 2010-2011
rata–rata lama sekolah penduduk mengalami penurunan (dapat dilihat dari standar
deviasi tahun 2010-2011 dari 1,43 ke 1,40).
Pada Tabel 3.3 juga dideskripsikan bahwa daerah yang memiliki rata-rata
lama sekolah tertinggi adalah Kota Depok yaitu sebesar 10,74 tahun, yang kedua
adalah Kota Cimahi dengan jumlah rata-rata sebesar 10,41 tahun, dan yang ketiga
adalah Kota Bekasi dengan jumlah rata-rata sebesar 10,40 tahun. Sedangkan
daerah yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah adalah Kabupaten
Indramayu dengan jumlah rata-rata sebesar 5,66 tahun.
Selain rata-rata lama sekolah masih ada komponen lain yang dipakai untuk
mengukur tingkat pendidikan, komponen itu adalah angka melek huruf. Berikut
adalah angka melek huruf menurut kabupaten kota di Jawa Barat:
Tabel 3.4.
Angka Melek Huruf
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
No Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Rata
rata
Kabupaten
1 Bogor 93,95 93,95 94,29 95,02 95,09 94,46
2 Sukabumi 96,59 96,59 97,33 97,33 97,35 97,04
3 Cianjur 97,09 97,21 97,45 97,55 97,64 97,39
4 Bandung 98,37 98,59 98,72 98,72 98,75 98,63
5 Garut 98,89 98,89 98,93 98,94 98,96 98,92
6 Tasikmalaya 98,81 98,81 98,88 98,80 98,92 98,84
7 Ciamis 96,68 96,68 97,01 97,59 97,93 97,18
8 Kuningan 93,64 93,86 94,28 95,45 96,99 94,84
9 Cirebon 90,66 90,66 91,55 92,33 92,41 91,52
10 Majalengka 94,81 94,81 95,03 95,09 95,11 94,97
11 Sumedang 97,51 97,51 97,58 97,73 97,75 97,62
12 Indramayu 85,58 85,58 85,60 85,65 85,66 85,61
13 Subang 92,38 92,38 92,40 92,45 92,47 92,42
14 Purwakarta 95,59 95,59 95,65 95,71 96,07 95,72
15 Karawang 93,06 93,06 93,09 93,21 93,22 93,13
16 Bekasi 93,67 93,67 93,69 94,03 94,14 93,84
17 Bandung Barat 98,00 98,00 98,04 98,51 99,11 98,33
Kota
18 Bogor 98,70 98,70 98,75 98,77 98,79 98,74
19 Sukabumi 99,64 99,64 99,66 99,66 99,67 99,65
20 Bandung 99,58 99,64 99,60 99,67 99,70 99,64
21 Cirebon 97,00 97,00 97,02 97,05 97,06 97,03
22 Bekasi 98,46 98,46 98,49 98,51 98,56 98,50
23 Depok 98,90 98,90 98,93 98,94 98,96 98,93
24 Cimahi 99,63 99,63 99,64 99,65 99,74 99,66
25 Tasikmalaya 99,20 99,42 99,45 99,55 99,57 99,44
26 Banjar 96,43 96,65 97,16 97,26 97,30 96,96
Standar deviasi 3,33 3,34 3,27 3,19 3,19
Sumber: BPS Jawa Barat
Dari tabel 3.4 diatas dapat dijelaskan bahwa angka melek huruf di Provinsi
Jawa Barat mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2007-2008 angka
melek huruf di Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan (dapat dilihat dari
standar deviasi tahun 2007-2008, yaitu 3,33 menjadi 3,34), tetapi pada tahun
2008-2010 angka melek huruf yang dicapai mengalami penurunan setiap
tahunnya (dapat dilihat dari standar deviasi yang bergerak berturut-turut dari
tahun 2008-2010 yaitu 3,34-3,27-3,19), sedangkan untuk tahun 2010-2011 tingkat
angka melek huruf tidak mengalami perubahan (dapat dilihat dari standar deviasi
yang tetap di angka 3,19).
Pada tabel 3.4 juga dideskripsikan bahwa daerah yang memiliki rata-rata
angka melek huruf terbesar adalah Kota Cimahi dengan jumlah angka melek
huruf sebesar 99,66 persen, diikuti oleh Kota Sukabumi sebesar 99,65 persen dan
Kota Bandung menduduki peringkat tiga terbesar dengan rata-rata angka melek
husuf sebesar 99,64 persen. Sedangkan daerah yang memiliki jumlah angka melek
huruf terkecil adalah Kabupaten Indramayu dengan rata-rata angka melek huruf
sebesar 85,61 persen.
Pada proses perhitungannya, kedua komponen tersebut (Rata-rata lama
sekolah dan Angka Melek Huruf) digabung setelah masing-masing diberikan
bobot sesuai dengan standar yang telah ditetapkan UNDP pada perhitungan
komponen pendidikan dalam penyusunan IPM. Rata-rata lama sekolah diberi
bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Sebelum
perhitungan tersebut, harus dihitung indeks dari masing-masing komponen
pembentuk tersebut sebelum penggabungan kedua komponen tersebut untuk
mendapatkan indeks pendidikan. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
( ) ( ( ) ( ))
( ( ) ( ))
( ) = Komponen ke-i dari daerah j
( ) = Nilai minimum dari komponen ke-i
( ) = Nilai maksimum dari komponen ke-i
Berikut ini adalah hasil perhitungan indeks dari komponen pendidikan
tersebut ( Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah):
Tabel 3.5.
Indeks Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011
AMH RLS AMH RLS AMH RLS AMH RLS AMH RLS
Kabupaten
Bogor 93,59 48,00 93,59 48,00 94,29 50,27 95,02 53,20 95,09 53,27
Sukabumi 96,59 42,60 96,59 42,60 97,33 43,60 97,33 45,87 97,35 46,00
Cianjur 97,09 42,67 97,21 42,80 97,45 44,20 97,55 45,47 97,64 45,67
Bandung 98,37 54,67 98,59 54,67 98,72 55,80 98,72 55,80 98,75 56,40
Garut 98,89 47,33 98,89 47,33 98,93 48,60 98,94 48,93 98,96 49,13
Tasikmalaya 98,81 45,33 98,81 45,33 98,88 46,53 98,80 46,60 98,92 48,87
Ciamis 96,68 46,00 96,68 46,00 97,01 47,27 97,59 47,93 97,93 49,80
Kuningan 93,64 45,33 93,86 45,33 94,28 45,80 95,45 46,33 96,99 48,13
Cirebon 90,66 42,80 90,66 42,80 91,55 45,80 92,33 45,67 92,41 45,80
Majalengka 94,81 44,67 94,81 44,67 95,03 45,53 95,09 45,60 95,11 47,80
Sumedang 97,51 51,00 97,51 51,00 97,58 52,73 97,73 52,87 97,75 52,93
Indramayu 85,58 36,67 85,58 36,67 85,60 37,60 85,65 38,20 85,66 39,67
Subang 92,38 44,00 92,38 44,00 92,40 46,07 92,45 46,13 92,47 46,27
Purwakarta 95,59 46,67 95,59 46,67 95,65 48,27 95,71 49,47 96,07 49,60
Karawang 93,06 44,53 93,06 44,53 93,09 45,53 93,21 46,33 93,22 46,80
Bekasi 93,67 54,00 93,67 54,00 93,69 54,73 94,03 55,53 94,14 57,33
Bandung Barat 98,00 53,33 98,00 53,33 98,04 53,60 98,51 53,80 99,11 54,07
Kota
Bogor 98,70 64,00 98,70 64,00 98,75 65,13 98,77 65,27 98,79 65,33
Sukabumi 99,64 60,00 99,64 60,00 99,66 61,40 99,66 62,13 99,67 62,33
Bandung 99,58 67,33 99,64 67,33 99,60 68,13 99,67 69,60 99,70 69,67
Cirebon 97,00 61,33 97,00 61,33 97,02 63,07 97,05 63,13 97,06 65,00
Bekasi 98,46 67,93 98,46 67,93 98,49 70,13 98,51 70,20 98,56 70,53
Depok 98,90 70,00 98,90 70,00 98,93 71,80 98,94 72,93 98,96 73,13
Cimahi 99,63 68,40 99,63 68,40 99,64 69,47 99,65 70,00 99,74 70,73
Tasikmalaya 99,20 56,00 99,42 56,00 99,45 57,27 99,55 58,87 99,57 59,00
Banjar 96,43 52,00 96,65 52,00 97,16 53,13 97,26 53,40 97,30 54,13
AMH : Angka Melek Huruf
RLM :Rata-rata Lama Sekolah
Data olahan
Berdasarkan data dari tabel 3.5 selanjutnya dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan indeks pendidikan. Dalam perhitungannya kedua komponen tersebut
yaitu Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah akan digabung setelah
masing masing diberikan bobot. Rata-rata Lama Sekolah diberi bobot sepertiga
dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Hasil dari perhitungan
penggabungan dua komponen pembentuk indeks pendidikan itu dapat dilihat
dalam tabel 3.6 berikut ini:
Tabel 3.6.
Indeks Pendidikan
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Rata
rata
Kab.Bogor 78,39 63,20 78,39 63,43 79,62 72,61
Kab.Sukabumi 78,59 60,60 78,59 60,84 79,42 71,61
Kab.Cianjur 78,95 60,85 79,07 61,02 79,70 71,92
Kab.Bandung 83,80 69,31 83,95 69,35 84,41 78,16
Kab.Garut 81,70 64,52 81,70 64,53 82,15 74,92
Kab.Tasikmalaya 80,98 63,16 80,98 63,18 81,43 73,95
Kab.Ciamis 79,79 62,89 79,79 63,00 80,43 73,18
Kab.Kuningan 77,54 61,51 77,68 61,65 78,12 71,30
Kab.Cirebon 74,71 58,75 74,71 59,05 76,30 68,70
Kab.Majalengka 78,10 61,38 78,10 61,45 78,53 71,51
Kab.Sumedang 82,01 66,50 82,01 66,53 82,63 75,93
Kab.Indramayu 69,28 52,97 69,28 52,98 69,60 62,82
Kab.Subang 76,25 60,13 76,25 60,13 76,96 69,94
Kab.Purwakarta 79,28 62,97 79,28 62,99 79,86 72,88
Kab.Karawang 76,88 60,71 76,88 60,72 77,24 70,49
Kab.Bekasi 80,45 67,22 80,45 67,23 80,70 75,21
Kab.Bandung Barat 83,11 68,22 83,11 68,24 83,23 77,18
Kota Bogor 87,13 75,57 87,13 75,58 87,54 82,59
Kota Sukabumi 86,43 73,21 86,43 73,22 86,91 81,24
Kota Bandung 88,83 78,10 88,87 78,09 89,11 84,60
Kota Cirebon 85,11 73,22 85,11 73,23 85,70 80,48
Kota Bekasi 88,28 78,11 88,28 78,12 89,04 84,37
Kota Depok 89,27 79,63 89,27 79,64 89,89 85,54
Kota Cimahi 89,22 78,81 89,22 78,81 89,58 85,13
Kota Tasikmalaya 84,80 70,47 84,95 70,48 85,39 79,22
Kota Banjar 81,62 66,88 81,77 67,05 82,48 75,96
Standar Deviasi 4,95 7,14 4,95 7,10 4,88
Data olahan
Berdasarkan tabel 3.6 terlihat bahwa angka indeks pendidikan seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat selama lima tahun tersebut cenderung
mengalami fluktuasi setiap tahunnya, terlihat dari standar deviasi setiap tahunnya
yang mengalami kenaikan dan penurunan (standar deviasi 2007 berturut turut
sampai 2011: 0,05-0,07-0,05-0,07-0,05). Adapun wilayah dengan rata-rata angka
Indeks Pendidikan tertinggi adalah Kota Depok dengan angka indeks 0,855
persen. Sedangkan wilayah dengan rata-rata angka indeks terendah adalah
Kabupaten Indramayu dengan angka indeks 0,628 persen.
3.1.5. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat
Kemampuan memproduksi dari sektor-sektor ekonomi yang ada di Provinsi
Jawa Barat dilihat melalui besaran PDRB tanpa memperhitungkan dari mana asal
faktor produksi yang digunakan dalam proses produksinya. Untuk melihat
pertumbuhan produksi secara riil, PDRB yang digunakan yaitu PDRB
berdasarkan harga konstan tahun 2000, nilai tambah yang diciptakan oleh sektor-
sektor ekonomi kemudian diperhitungkan untuk melihat pertumbuhan produksi
yang riil. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh harga pada
besaran yang tercipta.
Kondisi laju pertumbuhan ekonomi 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat dalam penelitian ini di jelaskan oleh tabel 3.7 berikut ini:
Tabel 3.7.
Laju Pertumbuhan Ekonomi
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
No Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Rata
rata
Kabupaten
1 Bogor 6,05 5,58 4,14 5,09 5,96 5,36
2 Sukabumi 4,19 3,90 3,65 4,02 4,07 3,97
3 Cianjur 4,18 4,04 3,93 4,53 4,74 4,28
4 Bandung 5,92 5,30 4,34 5,88 5,94 5,48
5 Garut 4,76 4,69 5,57 5,34 5,48 5,17
6 Tasikmalaya 4,33 4,02 4,15 4,27 4,32 4,22
7 Ciamis 5,01 4,95 4,92 5,07 5,11 5,01
8 Kuningan 4,22 4,28 4,39 4,99 5,43 4,66
9 Cirebon 5,35 4,91 5,08 4,96 5,03 5,07
10 Majalengka 4,87 4,57 4,73 4,59 4,67 4,69
11 Sumedang 4,64 4,58 4,76 4,22 4,82 4,60
12 Indramayu 2,65 4,55 1,87 4,03 4,89 3,60
13 Subang 4,85 4,33 4,63 4,34 4,45 4,52
14 Purwakarta 4,02 4,87 5,28 5,77 6,40 5,27
15 Karawang 6,36 10,84 7,40 9,65 7,39 8,33
16 Bekasi 6,14 6,07 5,04 6,18 6,26 5,94
17 Bandung Barat 5,17 6,95 4,64 5,47 5,75 5,60
Kota
18 Bogor 6,09 5,98 6,02 6,14 6,19 6,08
19 Sukabumi 6,51 6,11 6,14 6,11 6,31 6,24
20 Bandung 8,24 8,17 8,34 8,45 8,73 8,39
21 Cirebon 6,17 5,64 5,05 3,81 5,93 5,32
22 Bekasi 6,44 5,94 4,13 5,84 7,08 5,89
23 Depok 7,04 6,42 6,22 6,36 6,58 6,52
24 Cimahi 5,03 4,77 4,63 5,30 5,56 5,06
25 Tasikmalaya 5,98 5,70 5,72 5,73 5,81 5,79
26 Banjar 4,93 4,82 5,13 5,28 5,35 5,10
Jawa Barat 5,57 5,93 5,06 5,53 6,48 5,71
Standar Deviasi 1,16 1,48 1,23 1,31 1,04 1,24
Sumber: BPS Jawa Barat
Berdasarkan tabel 3.7 terlihat bahwa secara umum laju pertumbuhan
ekonomi 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang
positif, yaitu dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi masing-masing
kabupaten/kota antara 3,60 persen sampai dengan 8,39 persen, tetapi laju
pertumbuhan ekonomi daerah ini mengalami fluktuasi tiap tahunnya, yaitu dapat
dilihat dari standar deviasi yang meningkat pada tahun 2007-2008 yaitu 1,16-1,48
persen, tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan yaitu dari angka 1,48 persen
ke angka 1,23 persen, tahun 2010 kembali mengalami kenaikan dari 1,23 persen
ke angka 1,31 persen, lalu mengalami penurunan kembali di tahun 2011 dari 1,31
persen ke angka 1,04 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan ekonomi,
menunjukan bahwa kabupaten/kota yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan
ekonomi terbesar adalah Kota Bandung yaitu sebesar 8,39 persen, dan yang
terendah adalah Kabupaten Indramayu yaitu sebesar 3,60 persen.
3.2. Metode Penelitian
Penelitian pada skripsi ini menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif.
Analisis deskriptif disusun berdasarkan data sekunder, jurnal, artikel, dan hasil-
hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan. Menurut Samuelson,
dalam Damodar Gurajati (2005) didefinisikan sebagai analisis kuantitatif dari
fenomena ekonomi yang sebenarnya (aktual) yang didasarkan pada
pengembangan yang bersamaan dari teori pengamatan, dihubungakan dengan
metode inferensi yang sesuai. Ekonometrika merupakan campuran dari teori
ekonomi, ekonomi matematis, statistika ekonomi, dan statistika matematis. Untuk
analisis kuantitatif penulis menggunakan model ekonometrika dengan bantuan
program Eviews 7.0 dan Microsoft Excel.
3.2.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data panel (pooling
data) atau data longitudinal. Data panel adalah sekelompok data individu yang
diteliti selama rentang waktu tertentu.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data
yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah disusun dan dipublikasikan oleh
intansi tertentu.
Penelitian ini dilakukan secara sensus dengan data sekunder berbentuk time
series dari tahun 2007 sampai dengan 2011, dan data cross section yang terdiri
atas 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Data diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) dan intansi terkait lainnya.
3.2.2. Definisi Operasionalisasi Variabel
Variabel diartikan sebagai objek pengamatan penelitian atau faktor-faktor
yang berperan dalam peristiwa dan fenomena-fenomena yang akan diteliti.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Variabel terikat (dependent), yaitu: Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE).
Variabel bebas (independent), yaitu: Investasi (I), Tenaga Kerja (TK), dan
Tingkat Pendidikan (TP).
3.2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi, berarti perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi oleh
masyarakat dan kemakmuran masyarakat meningkat. Laju Pertumbuhan ekonomi
wilayah diukur melalui logaritma natural Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB) kabupaten/kota, dengan tujuan untuk menangkap perubahan relatif
dibandingkan tahun sebelumnya. PDRB yang digunakan dalam penelitian ini
adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Satuan dari variabel
pertumbuhan ekonomi adalah persen.
3.2.2.2. Investasi
Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang
dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan
keuntungan di masa-masa yang akan datang. Investasi dalam penelitian ini adalah
investasi yang berasal dari sektor swasta yaitu penjumlahan dari Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Satuan dari
variabel investasi ini adalah satuan mata uang indonesia atau biasa disebut Rupiah
(Rp).
3.2.2.3. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dalam penelitian ini adalah bagian dari angkatan kerja yang
siap bekerja atau penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan,
dengan maksud memperoleh upah atau membantu memperoleh pendapatan atau
keuntungan, dengan lama bekerja paling sedikit satu jam secara berkelanjutan
dalam seminggu yang lalu saat pendataan dilakukan, di masing-masing
kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dalam satuan orang. Usia kerja yang
dimaksud berusia antara 15-65 tahun. Satuan dari tenaga kerja ini adalah jumlah
orang.
3.2.2.4. Tingkat Pendidikan
Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi pengetahuan didapat
dari perhitungan dua komponen pembentuk indeks pendidikan. Komponen
tersebut adalah rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.
Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh
penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Batas maksimum untuk rata-rata
lama sekolah adalah 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun. Batas
maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan maksimum yang
ditargetkan adalah setara lulus Diploma III.
Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk yang dapat
membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Batas maksimum untuk
angka melek huruf adalah 100 sedangkan batas minimum 0. Hal ini
menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan
menulis, dan nilai nol mencerminkan kondisi sebaliknya. Dalam perhitungannya
kedua komponen tersebut akan digabung sehingga menghasilkan indeks
pendidikan.
3.2.3. Model Penelitian
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan indikator-
indikator ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Jawa Barat, maka model penelitian yang akan diestimasi
adalah:
( )
Untuk memudahkan estimasi, maka fungsi dari persamaan di atas
ditransformasikan ke dalam persamaan regresi, sehingga didapat persamaan
sebagai berikut:
Keterangan:
LPE = Laju Pertumbuhan Ekonomi
I = Investasi
TK = Tenaga Kerja
TP = Tingkat Pendidikan
α = Intercept
β = Nilai koefisien variabel
i = Unit cross section kabupaten/kota
ԑ = Error term
3.2.4. Metode Estimasi Data Panel
Ada 3 metode yang bisa digunakan untuk bekerja dengan data panel
(Shocchrul R.Ajja, 2011), yaitu:
1. Pooled Least Square (PLS)
Metode ini mengestimasi data panel dengan metode Ordinary Least
Square (OLS). Pendekatan PLS ini secara sederhana menggabungkan
(pooled) seluruh data runtun waktu dan antar ruang, serta berasumsi bahwa
baik intercept dan slope dianggap sama untuk tiap waktu dan individu.
2. Fixed Effect (FE)
Metode ini menambahkan model dummy pada data panel. Pendekatan
Fixed Effect ini memperhitungkan kemungkinan bahwa peneliti
menghadapi masalah omitted-variabels, yang mungkin membawa
perubahan pada intercept runtun waktu atau antar ruang. Model dengan
Fixed Effect menambahkan variabel dummy untuk mengizinkan adanya
perubahan intercept ini.
3. Random Effect (RE)
Metode ini memperhitungkan error dari data panel dengan metode least
square. Pendekatan Random Effect memperbaiki efisiensi proses least
square dengan memperhitungkan error dari antar ruang dan runtun waktu.
Model Random Effect adalah variasi dari estimasi Generalized Least
Square (GLS).
3.2.5. Uji Metode Estimasi Data Panel
Sebelum menentukan metode estimasi data panel yang akan digunakan
dalam penelitian ini, maka harus dilakukan beberapa pengujian. Untuk
menentukan apakah model panel data dapat diregresi dengan metode Pooled Least
Square (PLS), metode Fixed Effect (FE) atau metode Random Effect (RE), maka
dilakukan uji-uji sebagai berikut:
1. Uji Chow
Uji Chow dapat digunakan untuk memilih teknik dengan metode
pendekatan Pooled Least Square (PLS) atau metode Fixed Effet (FE). Prosedur
Uji Chow adalah sebagai berikut:
a. Buat hipotesis dari Uji Chow
= model pooled least square
= model Fixed Effect
b. Menentukan kriteria uji
Apabila nilai F statistik > F tabel, maka hipotesis ditolak yang
artinya kita harus memilih teknik FE.
Apabila nilai F statistik < F tabel, maka hipotesis diterima yang
artinya kita harus memilih teknik PLS.
2. Uji Hausman
Uji Hausman digunakan untuk memilih antara metode pendekatan Fixed
Effect (FE) atau Random Effect (RE). Prosedur Uji Hausman adalah sebagai
berikut:
a. Buat hipotesis dari Uji Hausman: =random effect dan =fixed effect.
b. Menentukan kriteria uji: apabila Chi-square statistik > Chi-square tabel
dan p-value signifikan, maka hipotesis ditolak, sehingga metode FE
lebih tepat untuk digunakan. Dan apabila Chi-square statistik < Chi-
square tabel dan p-value signifikan, maka hipotesis diterima, sehingga
metode RE lebih tepat untuk digunakan.
3.2.6. Uji Statistik
3.2.6.1. Uji Koefisien Determinasi ( )
Koefisien determinasi ( ) mempunyai kegunaan, yaitu sebagai ukuran
ketetapan suatu garis regresi yang diterapkan terhadap suatu kelompok data hasil
observasi (a measure of the goodness of fit). Makin besar nilai , maka semakin
tepat atau cocok garis regresi, sebaliknya apabila nilai semakin kecil, maka
semakin tidak tepat garis regresi tersebut untuk mewakili data hasil observasi.
Nilai antara 0 dan 1.
3.2.6.2. Uji Parsial (t-stat)
Uji statistik digunakan untuk menguji pengaruh signifikan variabel
independen terhadap variabel dependen lain dalam persamaan secara parsial. Bila
signifikan berarti secara statistik hal ini manunjukan bahwa variabel independen
mempunyai pengaruh secara parsial terhadap variabel dependen. Uji-t dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Jika > , maka ditolak dan diterima, artinya ada
pengaruh parsial tiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas
Jika < , maka diterima dan ditolak, artinya tidak
ada pengaruh parsial tiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas.
Gambar 3.1.
Daerah kritis dan penerimaan suatu hipotesis
-tα/2,df tα/2,df
f(t)
Daerah penerimaan
0
H0 ditolak H0 ditolak
Dalam gambar diatas terlihat bahwa hipotesis nol diterima bila berada
dalam daerah selang keyakinan ( < < ) yang berarti variabel
independen tidak signifikan dalam mempengaruhi variabel dependen, dan begitu
pula sebaliknya.
3.2.6.3. Uji Simultan (F-stat)
Uji F-statistik digunakan untuk menguji variabel secara bersama-sama. Bila
signifikan berarti tinjauan statistik menunjukan bahwa variabel independen
tersebut mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependennya. Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya yaitu dengan
membandingkan nilai F statistik dengan F tabel dengan derajat kepercayaan
tertentu. Uji F dapat dirumuskan sebagai berikut:
Jika > maka ditolak dan diterima, artinya ada
pengaruh dari seluruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap
variabel terikat.
Jika < , maka diterima dan ditolak, artinya tidak
ada pengaruh dari seluruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap
variabel terikat.
3.2.6.4. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada
korelasi antara anggota serangkaian observasi runtut waktu atau ruang. Salah satu
cara untuk mendeteksi gejala autokorelasi digunakan uji Durbin Watson (DW-
test). Hipotesisnya adalah:
:Tidak ada autokorelasi positif
:Tidak ada autokorelasi negatif
Kriteria Pengujiannya adalah sebagai berikut:
1. Bila nilai DW-stat terletak antara 0 < D < , yang menyatakan tidak
ada autokorelasi positif ditolak.
2. Bila nilai DW-stat terletak antara (4 - ) < D < 4, yang menyatakan
tidak ada autokorelasi negatif ditolak.
3. Bila nilai DW-stat terletak antara < D ˂ (4 - ), yang menyatakan
tidak ada autokorelasi positif maupun yang menyatakan tidak ada
autokorelasi negatif diterima.
4. Ragu-ragu tidak ada autokorelasi positif bila ≤ D ≤ .
5. Ragu-ragu tidak ada autokorelasi negatif bila (4 - ) ≤ D ≤ (4 - ).
3.2.7. Analisis Tipologi Klassen
Tipologi klassen merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional, yaitu
alat analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan
struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pada pengertian ini, Tipologi
Klassen dilakukan dengan membandingkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB
perkapita daerah yang akan di analisis dengan laju pertumbuhan ekonomi dan
PDRB per kapita daerah yang yang menjadi acuan atau nasional . Adapun tujuan
dan manfaat dari analisis Tipologi Klassen ini adalah sebagai berikut:
Analisis Tipologi Klassen dapat digunakan untuk tujuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi posisi perekonomian suatu daerah dengan
memperhatikan perekonomian daerah yang diacunya.
2. Mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha, atau komoditi unggulan suatu
daerah.
Berdasarkan tujuan tersebut, penggunaan analisis Tipologi Klassen akan
mendapatkan manfaat sebaga berikut:
1. Dapat membuat prioritas kebijakan daerah berdasarkan keunggulan sektor,
subsektor, usaha, atau komoditi daerah yang merupakan hasil analisis
Tipologi Klassen.
2. Dapat menentukan prioritas kebijakan suatu daerah bardasarkan posisi
perekonomian yang dimiliki terhadap perekonomian nasional maupun
daerah yang diacunya.
3. Dapat menilai suatu daerah baik dari segi daerah maupun sektoral.
Analisis Tipologi Klassen dapat digunakan melalui dua pendekatan, yaitu
sektoral maupun daerah. Dalam penelitian ini penulis memilih analisis tipologi
klassen berdasarkan daerah karena keeratan kaitannya dengan pembahasan yang
di bahas dalam penelitian ini, dengan menggunakan daerah kabupaten dan kota
sebagai daerah yang dianalisis dan Jawa Barat sebagai daerah acuan. Pendekatan
analisis tipologi klassen dengan pendekatan daerah seperti yang diutarakan oleh
Sjafrizal (1997). Pendekatan ini menggunakan data laju pertumbuhan ekonomi
dan PDRB per kapita.
Tabel. 3.8.
Matrik Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen
PDRB per kapita (y) yi ˂ y yi ˃ y
laju pertumbuhan ( r )
ri ˃ r Daerah berkembang cepat Daerah cepat maju dan
cepat berkembang
ri ˂ r Daerah relatif berkembang Daerah maju tapi tertekan
Keterangan : ri = laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Jawa Barat
r = laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
yi = PDRB perkapita kabupaten/kota Jawa Barat
y = PDRB perkapita Jawa Barat
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Uji Estimasi Model
Untuk menentukan metode panel yang akan digunakan dalam penelitian ini,
maka harus dilakukan beberapa pengujian. Uji Chow dan Uji Hausman
merupakan pengujian yang dapat digunakan dalam menentukan apakah model
panel data dapat diregresi dengan metode Pooled Least Square (PLS), metode
Fixed Effect (FE), atau metode Random Effect (RE). Untuk menentukan apakah
model panel data diregresi dengan metode Pooled Least Square atau dengan
metode Fixed Effect, dilakukan pengujian Chow. Apabila dari hasil uji tersebut
ditentukan bahwa metode Pooled Least Square yang digunkan, maka tidak perlu
diuji kembali dangan pengujuan Hausman. Namun apabila dari hasil uji tersebut
ditentukan bahwa metode Fixed Effect yang digunakan, maka harus ada uji
lanjutan dengan pengujian Hausman untuk lebih memilih antara motode Fixed
Effect atau Random Effect yang akan digunakan.
Tabel 4.1.
Hasil Uji Chow
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 59.316215 (25,101) 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan
Berdasarkan hasil Uji Chow menunjukan bahwa F satistik ˃ F tabel atau
59,316215 ˃ 2.68, maka ditolak dan diterima serta p-value signifikan, yaitu
0.0000 (kurang dari 5%), sehingga metode yang digunakan adalah metode Fixed
Effect. Oleh karena itu, harus dilakukan uji lanjutan untuk menentukan metode
mana yang paling tepat digunakan, apakah metode Fixed Effect atau metode
Random Effect, yaitu dengan melakukan Uji Hausman.
Tabel 4.2.
Hasil Uji Hausman
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 9.157379 3 0.0273
Sumber: Hasil Pengolahan
Berdasarkan hasil Uji Hausman menunjukan bahwa Chi-square statistik ˃
Chi-square tabel atau 9,157379 ˃ 7.81473, maka ditolak dan diterima, serta
p-value signifikan, yaitu 0.0273 (kurang dari 5%), sehingga metode yang akan
digunakan adalah metode Fixed Effect.
4.2. Hasil Estimasi Model
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan indikator
ekonomi regional di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat, maka model penelitian yang akan diestimasi adalah:
LPE = f (INV, TK, TP)
Model pada penelitian tersebut akan diestimasi menggunakan lima tahun
waktu observasi, yaitu dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Model estimasi yang
digunakan adalah data panel dengan menggunakan metode Fixed Effect (FE).
Penggunaan pendekatan Fixed Effect didasarkan pada hasil Uji Chow dan Uji
Hausman yang menunjukan bahwa metode Fixed Effect lebih tepat digunakan
dalam penelitian ini. Hasil estimasi dengan menggunakan perangkat lunak Eviews
7.0 diperoleh persamaan hasil regresi sebagai berikut:
= + 1,6334 + 1,2164 + 0,07429 +
t-stat (2,1121) (0,8256) (2,8061)
= 0,952400
F-stat = 72,17317
DW stat = 2,121291
4.3. Analisis Efek Individu Kabupaten dan Kota
Dari hasil estimasi model dengan menggunakan metode Fixed Effect, maka
dapat dilihat nilai intersep dari masing-masing daerah tampak terlihat nilai
koefisien intersep laju pertumbuhan ekonomi dari setiap kabupaten dan kota di
Provinsi Jawa Barat memiliki nilai koefisien intersep yang berbeda-beda. Adanya
perbedaan nilai koefisien intersep tersebut dimungkinkan karena daerah yang
diteliti memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Dari 26 kabupaten dan
kota di Provinsi Jawa Barat, terdapat 10 daerah yang memiliki koefisien intersep
positif, terdiri dari 4 kabupaten dan 6 kota, yaitu : Kabupaten Bandung,
Karawang, Bekasi dan Bandung Barat, serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung,
Bekasi, Depok dan Tasikmalaya. Sedangkan daerah yang memiliki koefisien
intersep negatif terdapat di sebanyak 16 daerah, terdiri dari 13 kabupaten dan 3
kota, yaitu: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis,
Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang dan Purwakarta,
serta Kota Cirebon, Cimahi dan Banjar.
Tabel 4.3.
Nilai Intersep Setiap Individu
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat
Koefisien Intersep Positif Koefisien Intersep Negatif
Daerah Nilai Daerah Nilai
Kabupaten Bandung 6,177528 Kabupaten Bogor -1,457244
Kabupaten Karawang 298,6925 Kabupaten Sukabumi -140,0615
Kabupaten Bekasi 56,01795 Kabupaten Cianjur -108,8530
Kabupaten Bandung Barat 23,73865 Kabupaten Garut -24,25574
Kota Bogor 61,25650 Kabupaten Tasikmalaya -117,9839
Kota Sukabumi 80,66681 Kabupaten Ciamis -36,33258
Kota Bandung 293,7747 Kabupaten Kuningan -72,36289
Kota Bekasi 43,74515 Kabupaten Cirebon -26,64334
Kota Depok 109,2942 Kabupaten Majalengka -67,25126
Kota Tasikmalaya 38,71629 Kabupaten Sumedang -81,93197
Kabupaten Indramayu -166,8603
Kabupaten Subang -82,21869
Kabupate Purwakarta -9,194438
Kota Cirebon -7,924417
Kota Cimahi -40,11629
Kota Banjar -28,63636
Sumber : Hasil Pengolahan
4.4. Analisis Statistik
4.4.1. Uji Koefisien Determinasi ( )
Nilai koefisien determinasi ( ) menggambarkan kemampuan model
regresi menjelaskan variabel dependennya, sedangkan nilai di luar koefisien
determinasi (1- ) dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Dari hasil estimasi,
besarnya yang diperoleh untuk LPE adalah sebesar 0,952400. Artinya variabel
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dalam model sebesar 95,2400 persen dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam model yaitu Investasi
(INV), Tenaga Kerja (TK), dan Tingkat Pendidikan (TP). Sementara 4,76 persen
sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model ini
dan faktor-faktor lainnya. Sehingga dapat disimpulkan model ini baik dan dapat
menjelaskan permasalahan dari penelitian ini.
4.4.2. Uji Parsial (t-stat)
Uji signifikansi parsial bermaksud untuk melihat signifikansi pengaruh
variabel independen secara parsial (individu) terhadap variabel dependen.
Parameter yang digunakan adalah suatu variabel independen dikatakan secara
signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen bila nilai t-stat lebih besar dari
nilai t-tabel atau juga dapat diketahui dari nilai probabilitas t-stat yang lebih kecil
dari nilai alpha (α) 1 persen, 5 persen, atau 10 persen.
Tabel 4.4.
Uji Signifikansi t (α = 0,05)
variabel t-stat t-tabel kesimpulan
INV 2,112154 1,65704 Signifikan
TK 0,825675 1,65704 Tidak Signifikan
TP 2,806149 1,65704 Signifikan Sumber : Hasil Pengolahan
Dari tabel 4.4 dapat dijelaskan signifikansi masing-masing variabel yang
mempengaruhi terhadap variabel terikatnya. Dari hasil pengujian dengan tingkat
probabilitas 5% maka diperoleh hasil bahwa terdapat satu variabel independen
yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependennya yaitu variabel Tenaga
Kerja dan terdapat dua variabel independen yang signifikan mempengaruhi
variabel dependennya yaitu variabel Investasi dan Tingkat Pendidikan.
4.4.3. Uji Simultan (F-stat)
Uji signifikansi parameter atau uji F dilakukan dengan tujuan untuk
melihat pengaruh dari variabel-variabel independen secara bersama-sama atau
keseluruhan. Parameternya adalah bila nilai F-stat lebih besar dibandingkan nilai
F-tabel atau nilai probabilitas F-stat lebih kecil dari nilai alpha (α) 1 persen, 5
persen atau 10 persen, maka dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan variabel-
variabel independen dalam model berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependennya.
F-stat yang dihasilkan pada persamaan sebelumnya memiliki nilai F-stat
sebesar 72,17317 dan nilai F-tabel dengan nilai probabilitas 5% sebesar 2,68.
Artinya nilai F-stat ˃ F-tabel atau 72,17317 ˃ 2,68. Maka, variabel Investasi
(INV), Tenaga Kerja (TK), Tingkat Pendidikan (TP) secara bersama-sama
mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE).
4.4.4. Uji Autokolerasi
Uji autokolerasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik autokolerasi yaitu kolerasi yang terjadi antara
residual pada suatu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi.
Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokolerasi dalam model
regresi. Metode pengujian yang digunakan adalah dengan uji Durbin-Watson (Uji
DW). Hasil dari pengujian Durbin Watson dalam model yang digunakan, dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.5.
Daerah Batas Autokolerasi
D DL DU 4-DU 4-DL Keterangan
2,121291 1,6667 1,7610 2,239 2,3333 Tidak Ada Autokolerasi
Sumber : Hasil Olahan
Tabel 4.5 menunjukan bahwa nilai DW-stat adalah 2,121291 dan berada
diantara ˂ D ˂ 4 - , maka yang menyatakan tidak ada autololerasi positif
maupun yang menyatakan tidak ada autokolerasi tidak ada autokolerasi negatif
diterima. Dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat masalah autokolerasi
dalam persamaan yang diuji, dan hasil pengujian statistik dapat diterima dan tidak
bias.
4.5. Pola Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan pengklasifikasian pola pertumbuhan ekonomi menggunakan
tipologi klassen dengan pendekatan wilayah, maka dalam tabel berikut ini dapat
diketahui pola pertumbuhan ekonomi dari masing-masing kabupaten dan kota di
Provinsi Jawa Barat.
Tabel 4.6.
Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen
Daerah Berkembang Cepat Daerah Cepat Maju dan Cepat
Tumbuh
Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bekasi, Kota Depok dan
Kota Tasikmalaya
Kab. Karawang,Kab. Bekasi dan Kota Bandung
Daerah Relatif Tertinggal Daerah Maju Tapi Tertekan
Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Bandung,
Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab, Ciamis,
Kab. Kuningan, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka,
Kab. Sumedang, Kab. Subang, Kab.Bdg Barat dan
Kota Banjar
Kab. Indramayu, Kab. Purwakarta, Kota Cirebon dan Kota Cimahi
4.6. Analisis Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi pengaruh investasi terhadap laju pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Jawa Barat, diketahui selama periode 2007 hingga 2011 nilai
t-statistik untuk investasi yaitu 2,112154 dan t-tabel 1,65704, sehingga t-statistik
˃ t-tabel serta memiliki probabilitas 0,0371 di bawah 5% , artinya variabel
investasi signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Setelah diestimasi
variabel investasi memiliki koefisien 1,6334, yang berarti jika jumlah investasi
naik sebesar satu persen maka laju pertumbuhan ekonomi akan mengalami
kenaikan 1,6334 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap atau konstan
Berdasarkan hasil estimasi menunjukan bahwa investasi berpengaruh
positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Hasil ini sejalan dengan pendapat
para ekonom pada umumnya yang menyatakan bahwa investasi berkolerasi positif
dengan pertumbuhan ekonomi. Terlebih untuk negara berkembang seperti
Indonesia, salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat
dominan adalah faktor investasi, di samping faktor konsumsi. Kontribusi investasi
terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi permintaan
dan penawaran. Dari sisi permintaan, peningkatan investasi akan menjadi stimulus
pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan pertumbuhan yang efektif. Sedangkan
dari sisi penawaran, pertumbuhan investasi akan merangsang pertumbuhan
ekonomi dengan menciptakan lebih banyak cadangan modal yang kemudian
berkembang dalam peningkatan kapasitan produksi. Sehubungan dengan hal itu,
maka sudah sewajarnya pemerintah melakukan kebijakan yang bertujuan untuk
meningkatkan masuknya investasi, baik investasi asing maupun domestik.
Berdasarkan hasil estimasi pengaruh tenaga kerja terhadap laju
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa selama periode
2007 hingga 2011 nilai t-statistik untuk tenaga kerja yaitu 0,825675 dan t-tabel
1,65704, sehingga t-statistik ˂ t-tabel serta probabilitas 0,4109 diatas 5%, artinya
variabel tenaga kerja tidak signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.
Setelah diestimasi variabel tenaga kerja berpengaruh positif terhadap laju
pertumbuhan ekonomi dengan nilai koefisien regresi sebesar 1,2164, yang berarti
jika jumlah tenaga kerja naik sebesar satu persen maka akan mengakibatkan laju
pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1,2164 persen dengan asumsi variabel lainnya
konstan atau tetap.
Pengaruh tingkat tenaga kerja yang tidak signifikan terhadap laju
pertumbuhan ekonomi salah satu sebabnya bisa di sebabkan oleh kualitas dari
tenaga kerja yang dimiliki, walaupun jumlah tenaga kerja berlimpah tidak
memungkiri akan berdampak pada berkurangnya kualitas dan kuantitas barang
atau jasa yang nantinya akan dihasilkan jika kualitas tenaga kerja yang digunakan
tidak memadai. Tenaga kerja tidak saja penting dari segi kuantitas, tetapi yang
tidak kalah penting adalah kualitasnya. Peningkatan kualitas tenaga kerja dapat
dilakukan melalui pendidikan formal maupun non formal, dan dapat saja
diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh swasta. Hasil regresi yang
menunjukan koefisien elastisitas yang positif dari tenaga kerja dalam
mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat seyogyanya tidak di-
interprestasikan secara matematis, karena mskipun ada peningkatan jumlah tenaga
kerja dari tahun ke tahun tetapi tenaga kerja tersebut kualitasnya masih belum
memadai untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi.
Berdasarkan hasil estimasi pengaruh tingkat pendidikan terhadap laju
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa selama periode
2007 hingga 2011 nilai t-statistik untuk tingkat pendidikan yaitu 2,806149 dan t-
tabel yaitu 1,65704, sehingga t-statistik ˃ t-tabel serta probabilitas 0,0060 di
bawah 5%. Artinya variabel tingkat pendidikan signifikan mempengaruhi
permintaan laju pertumbuhan ekonomi. Setelah diestimasi variabel tingkat
pendidikan berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi dengan nilai
koefisien 0,0742, yang berarti jika tingkat pendidikan naik sebesar satu persen
maka akan mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi naik sebesar 0,0742 persen
dengan asumsi variabel lainnya konstan atau tetap.
Hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan laju pertumbuhan
ekonomi, sesuai dengan indikasi yang dikemukakan penulis dalam subbab
kerangka pemikiran. Pendidikan merupakan satu investasi yang sangat berguna
bagi pertumbuhan ekonomi. Masyarakat atau individu yang memperoleh
pendidikan tinggi cenderung memperoleh pendapatan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Hal
tersebut dikarenakan individu yang memiliki pendidikan tinggi banyak di
tempatkan pada sektor formal yang cenderung memiliki upah yang lebih layak
jika dibandingkan dengan pekerja di sektor non-formal. Peningkatan dalam
pendidikan memberikan beberapa manfaat dalam mempercepat pertumbuhan
ekonomi yaitu manajemen perusahaan-perusahaan modern yang dikembangkan
semakin efisien, penggunaan teknologi modern dalam kegiatan ekonomi dapat
lebih cepat berkembang.
Berdasarkan hasil pengklasifikasian menggunakan menggunakan analisis
Tipologi Klassen, maka dapat diketahui pola pertumbuhan ekonomi dari masing-
masing kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat
Terdapat dua kabupaten dan satu kota yang termasuk ke dalam daerah cepat
maju dan cepat berkembang, antara lain: Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi
dan Kota Bandung.
Terdapat lima kota yang termasuk ke dalam daerah berkembang cepat,
antara lain: Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota
Tasikmalaya.
Terdapat dua kabupaten dan dua kota yang termasu ke dalam daerah maju
tapi tertekan, antara lain: Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta,Kota
Cirebon dan Kota Cimahi.
Terdapat tiga belas kabupaten dan satu kota yang termasuk ke dalam daerah
relatif tertinggal, antara lain: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya,
Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung
Barat dan Kota Banjar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis studi dan pembahasan tentang Pengaruh
Investasi, Tenaga Kerja dan Tingkat Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Jawa Barat, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat dipengaruhi positif secara
signifikan oleh investasi dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi jumlah
investasi dan indeks pendidikan yang ada di Provinsi Jawa Barat maka akan
semakin mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan
jumlah tenaga kerja berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Kenaikan jumlah tenaga kerja di Jawa
Barat tidak begitu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Hal ini
bisa disebabkan penyerapan tenaga kerja yang terjadi tidak diimbangi dengan
kualitas dari tenaga kerja tersebut. Jumlah tenaga kerja yang tercatat lebih
banyak terdapat pada industri yang memperkerjakan pekerja di sektor
nonformal, sehingga kualitas barang atau jasa yang diproduksi kalah bersaing
dengan produk dari daerah atau negara lain. Maka dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari
investasi dan tingkat pendidikan, dan pengaruh positif dari tenaga kerja
terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat.
2. Pengklasifikasian kabupaten dan kota berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi
dan PDRB perkapita di Provinsi Jawa Barat dengan memakai alat analisis
Tipologi Klassen dengan pendekatan wilayah ternyata menunjukan banyak
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2007-2011 yang termasuk
ke dalam daerah relatif tertinggal. Dari 26 kabupaten dan kota yang ada di
Provinsi Jawa Barat sebanyak 13 kabupaten dan satu kota masuk ke dalam
klasifikasi daerah relatif tertinggal dan hanya tiga daerah yang masuk
klasifikasi daerah cepat maju dan cepat berkembang.
5.2. Saran
Adapun saran yang akan diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Meskipun secara kuantitas jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan tiap
tahunnya tapi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Jawa Barat. Seyogyannya kenaikan jumlah tenaga kerja disertai
dengan peningkatan kualitas dari tenaga kerja tersebut oleh pemerintah
daerah, misalnya dengan memperbanyak pendidikan kewirausahaan melalui
jalur non formal.
2. Kondisi investasi sedang berlangsung harus dipacu dengan peningkatan
situasi kondusif berinvestasi, pembuatan peta potensi daerah dan
pembentukan unit pelayanan terpadu di daerah untuk mempermudah
pelayanan pembuatan ijin usaha dan investasi.
3. Peningkatan kualitas pendidikan oleh pemerintah daerah, dengan
mengalokasikan dana yang cukup untuk seluruh kabupaten dan kota yang ada
di Provinsi Jawa Barat.
4. Pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi hendaknya
lebih memperhatikan aspek pemerataan distribusi pendapatan. Tingginya
disparitas pendapatan antar wilayah cenderung disebabkan penumpukan
distribusi pendapatan di daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Maka dari itu
pemerintah daerah harus lebih serius untuk menangani disparitas pendapatan
dengan kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pada daerah yang
relatif tertinggal tanpa mengabaikan daerah yang sudah maju sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
A, Sudjana M, (2002), Metoda Statistika, PT.Tarsito, Bandung.
Badan Koordinasi Promosi Dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Barat,
Berbagai Tahun Terbitan, Realisasi PMA-PMDN Berdasarkan Lokasi,
Badan Koordinasi Promosi Dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa
Barat.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Berbagai Tahun Terbitan, Jawa Barat
Dalam Angka, BPS Provinsi Jawa Barat.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun Terbitan, Indeks Pembangunan Manusia,
Badan Pusat Statistik.
Boediono, (1981), Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE Yogyakarta.
Ginanjar, Rah Adi Fahmi, (2012), Pengaruh Desentralisasi Fiskal Dan
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten
Dan Kota Di Provinsi Jawa Barat, 54-60.
Gujarati, Damodar N, (2005), Basic Econometrics, New York : McGraw-Hill.
Jhingan, M.L, (2001), Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, P.T. Raja
Grifindo Persada, Jakarta.
Rustino, Deddy, (2008), Analisis Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja, Dan
Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi
Jawa Tengah.1-2.
Syafrizal, (1997), Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah
Indoesia Bagian Barat, Majalah Prisma . No.3 Maret 1997, hal 27-38,
LP3ES.
Sukirno, Sadono, (2000), Ekonomi Pembangunan: Problematika dan pendekatan,
Penerbit Salemba Empay Edisi Pertama, 2000.
Sugiyanto, (2010), Analisis Pengembangan Pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten Lamandau, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen, Vol.1,
No.2, 202-203.
Wicaksono, Cholif Prasetio, (2010), Analisis Disparitas Pendapatan Antar
Kabupaten/kota dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2003-2007. Nim. C2B 605 121.
Winarno, Wing Wahyu, (2011), Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan
Eviews, Ed. 3, UPP STIM YKPN, Yogyakarta.