hiperbilirubinemia tinjauan pustaka

29
HIPERBILIRUBINEMIA Pengertian Ikterus Neonatorum Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebab yang sering terjadi adalah belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel darah merah sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati. Saat lahir, hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan pewarnaan kuning pada bayi. Metabolisme Bilirubin

Upload: wawan-eko-wahyudi

Post on 03-Dec-2015

315 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tinjauan pustaka ikterus

TRANSCRIPT

HIPERBILIRUBINEMIA

Pengertian Ikterus Neonatorum

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah

pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar

bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL atau

disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau

ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi

dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi

bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi

karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi

kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi berat lahir rendah

(BBLR). Penyebab yang sering terjadi adalah belum matangnya fungsi hati bayi untuk

memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel darah merah sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya,

eritrosit harus diproses oleh hati. Saat lahir, hati bayi belum cukup baik untuk melakukan

tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan

pewarnaan kuning pada bayi.

Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.

Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi (20%)

dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan

proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang

mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam

lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran

biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin tersebut kemudian bersenyawa dengan

albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin

terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel

hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain yang

membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.

Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian

menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar

tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini

diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi

urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi

kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari

pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.

Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang

lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini

terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun

kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi

cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan, pada keadaan ini peninggian

bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul

apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga

terakumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan

kerusakan sel tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian

hari.

Etiologi Ikterus Neonatorum

Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :

a. Meningkatnya kadar bilirubin

Hemolisis disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan umur lebih pendek.

b. Penurunan eksresi bilirubin

Hal ini dapat terjadi karena :

- Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan dalam hati dan

penurunan konjugasi oleh hati

- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih berfungsinya

enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus, dan penurunan bakteri flora

normal.

Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering dan bayi

dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk

terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan

bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan

dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah

pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering

terjadi ikterus fisiologis.

Gambar Etiologi Ikterus neonatorum fisiologis

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early yang

berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk early onset

diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi

oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi bilirubin. Faktor

spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan asam lemak unsaturated yang

menghambat proses konjugasi atau adanya beta glukorunidase yang menyebabkan peningkatan

jalur enterohepatik.

Gambar Distribusi level maksimal bilirubin selama 1 minggu pertama pada bayi yang mendapat

ASI dan susu formula

Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah :

a. Faktor maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu

Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI

b. Faktor perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

Infeksi (bakteri, virus)

c. Faktor neonatus

Prematuritas

Faktor genetik

Polisitemia

Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan ASI

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

Klasifikasi Ikterus Neonatorum

Ada 2 macam ikterus neonatorum :

1. Ikterus fisiologis

a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga

b. Tidak mempuyai dasar patologis

c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak berpotensi menjadi kern

ikterus

d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi

e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari kesepuluh

2. Ikterus patologik

Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;

a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam

c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau

sepsis)

d. Ikterus yang disertai oleh :

Berat lahir kurang dari 2000 gram

Masa gestasi 36 minggu

Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN)

Infeksi

Trauma lahir pada kepala

Hipoglikemia, hiperkarbia

Hiperosmolaritas darah

e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus cukup

bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan

Penegakan Diagnosis

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan

yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat

memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah

menggunakan saat timbulnya ikterus.

a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain

infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)

defisiensi G6PD

b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir

Biasanya ikterus fisiologis

Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau gol lain

Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya

melebihi 5 mg% per 24 jam

Defisiensi enzim G6PD

Polisitemia

Hemolisis perdarahan tertutup

Hipoksia

Sferositosis, elipsitosis

Dehidrasi asidosis

Defisiensi enzim eritrosit lainnya

c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama

Biasanya karena infeksi (sepsis)

Dehidrasi asidosis

Defisiensi enzim G6PD

Pengaruh obat

Sindrom Crigler-Najjar

Sindrom Gilbert

d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

Biasanya karena obstruksi

Hipotiroidisme

Breast milk jaundice

Infeksi

Neonatal hepatitis

Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :

Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek

Pemeriksaan darah tepi

Pemeriksaan penyaring G6PD

Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Gambar Pendekatan Skematis untuk Mendiagnosis Neonatal Jaundice

Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak menunjukkan

dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern ikterus.

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum

serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan

invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.3 Umumnya yang diperiksa

adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar

bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih 2 minggu.

Gambar Pembagian ikterus menurut Kramer

Tabel Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer

Daerah

ikterusPenjelasan

Kadar bilirubin (mg/dl)

Prematur Aterm

1 Kepala dan leher 4-8 4-8

2 Dada sampai pusat 5-12 5-12

3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16

4Lutut sampai pergelangan kaki dan

bahu sampai pergelangan tangan9-18 11-18

5Kaki dan tangan termasuk telapak kaki

dan telapak tangan>10 >15

Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif,

minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kern ikterus

sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut :

Minum ASI dini dan sering

Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih

cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan sebagai faktor

prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya.

Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang

cukup besar.

Tatalaksana awal ikterus neonatorum :

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat

Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram, lahir

sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan

darah bayi dan lakukan tes Coombs

Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar

Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan

terapi sinar

Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila

ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan

Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang dapat

dilakukan antara lain :

Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja

sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini

tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang

berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum

melahirkan bayi.

Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah

pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan

plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dilakukan

karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler

sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar.

Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan

kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses

hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi

terapi sinar adalah :

- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar alb lebih dari 10 mg/dl

- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat

diberikan dosis kedua selama 24 jam.

Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :

- Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl

- Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl

- Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl

Tabel Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin

Bilirubi

n serum

(mg/dl)

< 24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500

<5 Tidak perlu terapi – observasi

5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar Terapi sinar

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar

>20 Transfusi tukar

Terapi suportif, antara lain :

Minum ASI atau pemberian ASI perah

Infus cairan dengan dosis rumatan

Monitoring yang dilakukan antara lain :

Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat

digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat

terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila

sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS

Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :

a. Pencegahan primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari untuk

beberapa hari pertama

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang

mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi

b. Pencegahan sekunder

Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta penyaringan

serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa

Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan

menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa

tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam

Terapi Sinar

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak

teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa

terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang

berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan

bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh

hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan

bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat

dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi

sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-

bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran.

Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan

sesudah transfusi dikerjakan.

Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang

diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar bayi mendapatkan

energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian

bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet

yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah

penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator

dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali

sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.

Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya,

yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar

bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak

perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi dipantau secara

berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 μmol/L). Lamanya

penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran

juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar.

Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia,

dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya

bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang

menyertainya diperbaiki.

Transfusi Tukar

Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat

bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah

terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi

tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu

di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria

melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin

terhadap albumin.

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan

diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang terjadi

disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah

golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,

sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak

memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal

inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah.

Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.

Macam Transfusi Tukar:

‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat mengganti

kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb bayi.

‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti 65 %

Hb bayi.

‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus polisitemia

atau darah pada anemia.

Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati bilirubin

adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin

tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang otak. Patogenesis kern ikterus

bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh

albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan

suseptibilitas saraf terhadap cedera. Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan

permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.

Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari 30

mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi

dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.

Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :

a. Bentuk akut

Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang

Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus, retrocollis, demam

Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni

b. Bentuk kronis

Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes,

keterampilan motorik yang lambat

Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor), gangguan

pendengaran

Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut

sebagai berikut :

Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan

Penilaian berkala pendengaran

Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa

PEMBAHASAN (TOLONG DIPILAH PILIH LAGI YA TIK)1. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar

deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan. Manifestasi klinisnya adalah ikterus. Ikterus

secara klinis akan mulai tampak pada neonatus bila kadar bilirubin darah lebih dari 5 mg/dl.

Pada pasien ini nampak kekuningan dari daerah wajah, dada, perut, sampai umbilicus.

Ekstremitas atas mapun bawah, dan bagian telapak tangan dan kakitampak normal.

Pemeriksaan fisik secara khusus yaitu dengan metode Kramer. Pasien ini didapatkan sesuai

dengan pembagian derajat Kramer IV.

Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama

kehidupannya berkaitan dengan: (1) meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis) (2),

kurangnya albumin sebagai alat pengangkut (3) penurunan uptake oleh hati, (4) penurunan

konjugasi bilirubin oleh hati, (5) penurunan ekskresi bilirubin, dan (6) peningkatan sirkulasi

enterohepatik.

Pada pasien ini hiperbilirubunemia kemungkinan disebabkan oleh pemecahan eritrosit

meningkat disebabkan oleh umur eritrosit yang lebih pendek, atau dengan penyebab lain.

Pada pasien ini BBLR dan prematuritas juga menjadi penyebab hiperbilirubinemia.

Hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar, kurangnya enzym glukorinil

transferase sehingga konyugasi billirubin indirek menjadi billirubin direk belum sempurna

dan kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi billirubin dari jaringan ke hepar

kurang.

Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong

nonpatologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai

hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin

terhadap usia neonatus > 95 menurut Normogram Bhutani.

Pada pasien ini termasuk di high risk zone dengan kadar bilirubin diatas 15 mg/dl

pada umur 168 jam.

Untuk mengantisipasi kompilkasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah

letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia yang

berat.

Nomogram penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu,

Faktor resiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan > 35 mg dibagi menjadi :

a. Faktor resiko mayor

- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah resiko tinggi

- Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan

- Inkompabilitas golongan darah atau penyakit hemolitik lainnya

- Umur kehamilan 35-36 minggu

- Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi

- Sefalhematom atau memar yang bermakna

- ASI ekslusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang

berlebihan

- Ras Asia Timur

b. Faktor resiko minor

- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah resiko sedang

- Umur kehamilan 37-38 minggu

- Sebelum pulang, bayi tampak kuning

- Bayi makrosomia dari ibu DM

- Umur ibu ≥ 25 tahun

- Jenis kelamin laki-laki

c. Faktor resiko kurang (besar resiko sesuai dengan urutan yang tertulis, makin ke bawah

resiko makin rendah)

- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah resiko rendah

- Umur kehamilan ≥ 41 minggu

- Bayi mendapat susu formula penuh

- Kulit hitam

- Bayi dipulangkan setelah 72 jam

Pada pasien ini, didapatkan kadar bilirubin sebesar 15,78 pada usia 5 hari dengan

umur kehamilan 36 minggu. Berdasarkan hal tersebut, maka pada bayi ini memiliki resiko

mayor.

Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan

hiperbilirubinemia indirek, strategi tersebut meliputi pencegahan, farmakoterapi, fototerapi,

dan transfusi tukar. Pada pasien ini dilakukan fototerapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan R, et al. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Info Medika Jakarta: Jakarta.

2. Rohsiswatmo R, et al. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Badan Penerbit IDAI: Jakarta.

3. Kosim MS, et al. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Badan Penerbit IDAI: Jakarta.

4. Winkjosastro H. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirahardjo: Jakarta.

5. William W, et al. 2006. Curent Diagnosis and Treatment Pediatrics 18th Ed. Mc Graw Hill

Companies.

6. Richard E, et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. WB Saunders Company:

Philadelpia.

7. KemenKes. 2010. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial: Pedoman Teknis

Pelayanan Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.

8. Etika, Risa. Et al. Hiperbilirubinemia pada Neonatus.Divisi Neonatologi Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2012. P1-14

9. Damanik, Sylviati M. Hiperbilirubinemia. Available from www.pediatrik.com Accessed

September 5, 2012.

10. Rohsiswatmo, Rinawati. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning. Available

from www.idai.com Accessed September 5, 2012.

11. Sukadi, Abdulrahman. Hiperbilirubinemia dalam Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. P 147-69

12. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And Midwives.

Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World Organization Health.

13. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of

Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics

114:297-316