blok 27 daeli
DESCRIPTION
blok 27 ukridaTRANSCRIPT
Bentuk Pelanggaran di Bidang Kedokteran ditinjau dari Aspek Etika, Disiplin Medik, dan
Hukum
Julisman Daeli
102012245 / F
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510.Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
Pendahuluan
Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan.
Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental
bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan
menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang
lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter
terhadapnya.
Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan
yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan sesuatu yang
dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis atau tidak
sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan etika itu. Di dalam
dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran.
Kasus Skenario
Dr. P adalah seorang dokter spesialis obsgyn yang berpengalaman. Beliau baru saja akan
menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika seorang wanita muda datang
dengan ditemani ibunya untuk berobat. Si pasien lalu menceritakan keluhannya yaitu mengalami
perdarahan pervaginam dan sangat kesakitan. Dr. P kemudian melakukan pemeriksaan dan
menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi.
Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan
1
kepada keluarga pasien apakah dia bersedia diopname di RS sampai keadaannya benera-benar
baik. Tidak lama kemudian dr. Q datang untuk menggantikan dr. P, yang langsung pulang tanpa
berbicara kepada pasien.
Etika Kedokteran
Etik (ethics) berasal dari kata yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak,
perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut kamus umum bahasa Indonesia, etika adalah
ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika adalah:1
1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
2. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak
3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masayarakat
Menurut Kamus Kedokteran (Ramali dan Pamuncak, 1987), etika adalah pengetahuan
tentang perilaku yang benar dalam suatu profesi.
Istilah etika dan etik sering dipertukarkan pemakaiannya dan tidak jelas perbedaan antara
keduanya. Dalam buku ini, yang dimaksud dengan etika adalah ilmu yang mempelajari asaz
akhlak, sedangkan etik adalah seperangkat asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak seperti
dalam kode etik. Istilah etis biasanya digunakan untuk menyakatan sesuatu sikap atau pandangan
yang secara etis dapat diterima (ethically acceptable) atau tidak dapat diterima (ethically
unacceptable, tidak etis).1
Pekerjaan profesi (profession berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang memerlukan
pendidikan dan latihan tertentu, memliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seperti ahli
hokum (hakim, pengacara), wartawan, dosen, dokter, dokter gigi, dan apoteker.1
Pekerjaan profesi umumnya memiliki cirri-ciri sebagai berikut.
1. Pendidikan sesuai standar nasional
2. Mengutamakan panggilan kemanusiaan
3. Berlandaskan etik profesi, mengikat seumur hidup
4. Legal melalui perizinan
2
5. Belajar sepanjang hayat
6. Anggota bergabung dalam suatu organisasi profesi
Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan pelayanan
kepada public. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku anggota profesi dalam hubungannya
dengan orang lain. Pengalaman etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral.1
Ciri-ciri etik profesi adalah sebagai berikut.
1. Berlaku untuk lingkungan profesi
2. Disusun oleh organisasi profesi bersangkutan
3. Mengandung kewajiban dan larangan
4. Menggugah sikap manusiawi
Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang mulia
karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seorang yaitu masalah
kesehatan dan kehidupan.1,2
Menurut pasal 1 butir 11 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayanai masyarakat.1,3
Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (calling), untuk
mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip
kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian sesame dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih
saying (compassion), dan ikut merasakan penderitaan orang lain yang kurang beruntung. Dengan
demikian, seorang dokter tidaklah boleh egois melainkan harus mgnutamakan kepentingan orang
lain, membantu mengobati orang sakit (altruism). Seorang dokter harus memiliki Intelectual
Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) yang tinggi dan
berimbang.1,2,4
Tujuan pendidikan etika dalam pendidikan dokter adalah untuk menjadikan calon dokter
lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual dan emosional. Para pendidik masa
lalu melihat perlu tersedia berbagai pedoman agar anggotanya dapat menjalankan profesinya
3
dengan benar dan baik. Para pendidik di bidang kesehatan masa lalu melihat adanya peluang
yang diharapkan tidak akan terjadi sehingga merasa perlu membuat rambu-rambu yang akan
mengingatkan pedoman yang membatasi mereka untuk berbuat yang tidak layak.1,5
Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi
dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja.
Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-sama
pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan
telah memiliki Kode Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode
Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI).1
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)1
Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insane
yaitu manusia penyembuh dan pasien. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut transaksi atau
kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini dilakukan secara konfidensial, dalam
suasana saling percaya mempercayai, dan hormat menghormati.
Sejak terwujudnya praktik kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui adanya
beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan
bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan
moral yang tidak diragukan.
Imhotep dari Mesir, Hippokrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma, merupakan
beberapa pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi awal
terbinanya suatu tradisi kedokteran yang luhur dan mulia. Tokoh-tokoh ilmuwan kedokteran
Internasional yang tampil kemudian seperti Ibnu Sina (Avicena) dokter Islam dari Persi dan lain-
lain, menyusun dasar-dasar disiplin kedokteran tersebut atas suatu kode etika kedokteran
internasional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di Indonesia, kode etika
kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma yang mengatur hubungan antar
manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD
1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan
dan keluhuran ilmu kedokteran, para dokter baik yang tergabung dalam perhimpunan profesi
4
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan,
pendidikan, dan penelitian telah menerima Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Ada 2 versi KODEKI, yaitu yang sesuai dengan Surat Keputusan Menkes RI No.
434/Menkes/SK/X/1983 dan yang sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI No. 221/PB/A-
4/04/2002. Keduanya serupa tetapi tidak sama dari segi substansial dan urutannya. Oleh karena
salah sartu ciri kode etik profesi adalah disusun oleh organisasi profesi bersangkutan, kita
berpedoman pada KODEKI yang diputuskan PB IDI yang telah menyesuaikan KODEKI dengan
situasi kondisi yang berkembang seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran serta dinamika global yang ada. KODEKI tersebut berbunyi sebagai
berikut.
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
5
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
6
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban Dokter terhadap Pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan prosedur yang etis.
7
Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.
Hubungan dokter dengan pasien
Dahulu hubungan dokter pasien bersifat partenalistik. Di mana pada model ini dokter
bagaikan orang tua dan pasien sebagai anak sehingga apa yang dikatakan dokter adalah mutlak
dan tidak ada kebebasan bagi pasien dalam memilih terapai dan tindakan medis. Sifat hubungan
ini dianggap kurang tepat sehingga muncullah model hubungan sosial kontrak dimana pada
model hubungan ini dikatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang
meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan tetapi saling menghargai.
Model hubungan sosial kontrak ini mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi
sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang bagi pasien untuk
menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Model hubungan ini dianggap terlalu
menyerdahanakan nilai hubungan dokter dan pasien, sehingga dicetuskan suatu model
hubungan dokter pasien yang berdasarkan virtue dianggap paling cocok sebagai model
hubungan dokter pasien.1,2,4
Pada model hubungan virtue baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk
menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan
pasien. Dalam melakukan komunikasinya dokter diharuskan menanamkan prinsip-prinsip moral,
termasuk informed consent yang bearasal dari prinsip otonomi pasien.1,2,4
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran. Terdapat
kewajiban sebagai rambu-rambu dalam proses hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang
dalam prinsip-prinsip moral profesi yang dicetuskan oleh Beauchamp dan Childress ,yaitu:2
8
1. Prinsip otonomi
Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat
setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran
rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti bahwa si
pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak secara sadar dan
intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa
menghilangkan kebebasannya.
2. Prinsip beneficence
Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan,
benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan
menghilangkan kecederaan dari pasien.
3. Prinsip non-maleficence
Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau
cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan
(omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang
memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain.
Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal
yang diinginkan masyarakat secara common sense.
4. Prinsip justice
Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak
bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan
bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak
terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya.
Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan
9
yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.1,6
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan etis
individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik
dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk
membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.1,6
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan
tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak
pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan,
dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.1,3,6
Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain
yang berperan serta dalam pengobatan pasien.6
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit
tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam
pemberian inform consent adalah: 6
Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa
yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan
tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya
pengobatan.
Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana
orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah
10
yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada
salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting,
penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.
Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau
keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan. Secara garis besar dalam
melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu :6
a. Diagnosis
b. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of
medical procedure)
c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan
pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah
agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed
decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien
juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang
merawatnya.6
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada
dasarnya pasien sendiri, jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal
45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat,
antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
11
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan.
Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan
penjelasan dan dibuat persetujuan. 6
Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :3,6
1. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat. Dalam
bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis dengan
risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara
tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi
dari pihak keluarga.6
Displin Dokter dan Dokter Gigi1
Dalam UUPK terdapat pemisahan yang jelas antara pelanggaran etik profesi dan disiplin
dokter dan dokter gigi. Pelanggaran etik profesi adalah pelanggaran terhadap Kode Etik
kedokkteran dan Kdeokteran gigi yang disusun oleh IDI dan PDGI, sedangkan pelanggaran
displin adalah penyimpangan terhadap standar profesi yang ditentukan oleh organisasi profesi
dan prosedur standar operasional yang ditentukan oleh organisasi sarana pelayanan kesehatan
setempat. Untuk menegakkan disiplin dokter dan daokter gigi dalam UUPK dibentuk Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Ini adalah lembaga yang akan berwenang
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. MKDKI ini merupakan lembaga
otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat independen dan berkedudukan di Ibu
Kota. Hanya bila diperlukan atas usul KKI bias juga dibentuk di tingkat provinsi. Lembaga ini
12
mempunyai tugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
serta menyusun pedoman dan tatacara penanganan kasus pelanggaran disiplin.
Sebelum UUPK ada, bila ada pengaduan dari masyarakat dalam pelayanan kesehatan
tidak jelas masyarakat mengadu ke mana, langsung ke Polisi Penyidik atau ke IDI (MKEK).
Masyarakat curiga kalau pengaduan dialamatkan ke IDI (MKEK) karena diduga para dokter
saling melindungi koleganya. Dengan demikian, keadilan dalam menanggapi pengaduan dapat
lebih ditingkatkan.
Anggota dalam MKDKI terdiri 3 (tiga) dokter, 3 (tiga) dokter gigi, seorang dokter dan
seorang dokter gigi dari asosiasi RS dan 3 (tiga) Sarjana Hukum.
Bagaimana dengan Majelis kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang ada selama ini?
Keduanya tidak sama sebab basisnya MKEK ada dalam IDI, sedang MKDKI berada dalam
Konsil.
Keputusan MKDKI melalui siding pengadilan disiplin dapat menyatakan bahwa yang
diadukan tidak bersalah atau bersalah dengan pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin bias
berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan tanda registrasi/izin praktik atau kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan. Bagian ini adalah baru sama sekali
karena siding dilakukan oleh hakim adhoc. Perlu pula dipahami bahwa dalam UUPK tentang
pengaduan dijelaskan bahwa pengaduan tertulis yang dibuat oleh pengadu ke MKDKI, tidak
menutup hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak
berwenang dan atau menggugat kerugian ke pengadilan. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan
pelanggaran etika, MKDKI meneruskan ke organisasi profesi, yaitu IDI/MKEK.
Bentuk Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi
Berikut 28 bentuk pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi, yang
dipaparkan oleh Dosen Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadja Mada (UGM),
Muhammad Luthfie Hakim SH, MH., dalam acara Seminar & Workshop in Aesthetic Medicine
(SWAM) 2013:
13
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi yang
sesuai
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal
penggantian tersebut
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik atau mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien
6. Tidak melakukan tindakan atau asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang
dapat membahayakan pasien
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan atau asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat, wali, atau pengampunya.
10. Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau
teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktis kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai
subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clerance) dari lembaga
yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
14
16. Menolak atau menghentikan tindakan atau asuhan medis atau tindakan pengobatan
terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
17. Membuka rahasia kedokteran.
18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam pembuatan yang termasuk tindakan penyiksaan atau eksekusi hukuman
mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan terhadap
pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta, pemeriksaan, atau memberikan
resep obat atau alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan atau pelayanan atau kelebihan kemampuan pelayanan yang
dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya
26. Bepraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau
sertifikat kompetensi yang tidak sah atay berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
27. Tidak jujur dalam menentukan jasa medis.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperkulan
MKDKI/MKDKI-P, untuk pemeriksaan atas pengaduan dengan pelanggaran Disiplin
profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Hukum Kesehatan
Definisi hukum tidak dapat memuaskan semua pihak karena banyak seginya, dan
demikian luasnya sehingga sulit disatukan dalam satu urusan. Untuk praktisnya, yang dimaksud
15
dengan hukum adalah peraturan perundangan, seperti yang terdapat dalam hukum pidana, hukum
perdata, hukum tata negara, dan hukum administrasi negara.1
Dalam lebih dari dua decade terakhir terasa sekali disiplin hukum memasuki wilayah
kedokteran atau bisa juga dikatakan kalangan kesehatan makin akrab dengan bidang dan
pengetahuan hukum. Dua disiplin tertua di dunia itu, pada awalnya berkembang dalam
wilayahnya masing-masing, yang satu dalam mengatasi masalah kesehatan yang timbul pada
anggota masyarakat, yang satu lagi mengatur tentang ketertiban dan ketentraman hidup
bermasyarakat. Keduanya diperlukan untuk kesejahteraan dan kedamain masyarakat. Dalam
perkembangan kedua disiplin ini untuk mencapai tujuan yang dimaksud, ternyata disiplin yang
satu diperlukan oleh disiplin lain dalam cabang ilmunya. Dalam proses penegakan hukum, peran
ilmu dan bantuan dokter diperlukan oleh jajaran penegak hukum yang dikenal sebagai Ilmu
Kedokteran Forensik, yaitu cabang ilmu kedokteran yang sejak awal berkembnagnya telah
mendekatkan ilmu kedeokteran dan ilmu hukum. Sebaliknya, dalam perkembangan dan
peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan diperlukan pula pengetahuan dan
aturan hukum dan ini berada dalam cabang ilmu hukum yang kemudian hadir sebagai Hukum
Kesehatan.1
Pada waktu ini, tidak mungkin lagi para dokter tidak mengetahui dan memahami hukum
kesehatan, apalagi setelah terbitnya Undang-undang Kesehatan (1992) dan Undang-undang
Praktek Kedokteran (2004), yaitu aturan hukum atau ketentuan hukum yang mengatur tentang
pelayanan kedokteran/kesehatan.1
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan
maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun
sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek, organisasi, sarana,
pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-
sumber hukum lain. Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu yang
menyangkut pelayanan kedokteran (medical care/service).1
16
Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perkembangannya
dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia pada tahun 1967 dan diteruskan
secara periodic untuk beberapa lama. Di Indonesia, perkembangan Hukum Kesehatan dimulai
sejak terbentuknya kelompok Studi untuk Hukum Kedokteran UI/RS Ciptomangukusumo di
Jakarta pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI),
terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKI) pada Kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987. PERHUKI
Wilayah Sumatera Utara terbentuk pada tanggal 14 April 1986 di Medan.1
Hukum kesehatan mencakup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan
satu dengan yang lain, yaitu hukum Kedokteran/Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum
Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan
Lingkungan, dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).
Di atas telah diuraikan pengertian etik dan hukum. Persamaan dan perbedaan antara
keduanya adalah sebagai berikut.1
Persamaan etik dan hukum.
1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.
Perbedaan etik dan hukum
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun oleh badan
pemerintah
3. Etik tidak seluruhnya tertulis, hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-
undang dan lembaran/berita negara
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan, sanksi terhadap pelanggaran hukum
berupa tuntutan
17
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan atau oleh Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), pelanggaran hukum diselesaikan oleh Pengadilan
6. Penyelesain pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, penyelesaian pelanggaran
hukum memerlukan bukti fisik
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etik merupakan seperangkat perilaku yang
benar dan baik dalam suatu profesi. Etika kedokteran adalah pengetahuan tentang perilaku
professional para dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pekerjaannya sebagaimana
tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik masing-masing yang telah disusun oleh organisasi
profesinya bersama-sama pemerintah.1,5
Hukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan.
Hukum kesehatan merupakan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pelayanan
kesehatan baik untuk penyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan.1,5
Pelanggaran etika kedokteran tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu pula
sebaliknya pelanggaran hukum belum tentu berarti pelanggaran etika kedokteran. Pelanggaran
etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK IDI, sedangkan pelanggaran hukum
diselesaikan melalui pengadilan.1,5
Hukum Kedokteran1,3,5
Hukum kedokteran memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset.
Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi
kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat
dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau
tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah
menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa
tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
18
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang
siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.Sedangkan pada masalah hukum
pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu
adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai
tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter harus menghormatinya.
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal
351 KUHP.
Malpraktek Medis1
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian
disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-
hatu melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan
melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.
19
Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3
aspek/hal:
1. Intensional Professional Misconduct : Bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan
bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja.
Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak
sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan.
Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien
ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal).
2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang
karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien.
Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik,
namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat
dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis
kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya
melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu
tapi tidak sempurna.
3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi
diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler
melakukan operasi tulang.
Kelalaian Medik1
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang
memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa
pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat
profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
20
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.
1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak
(unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai (pilihan tindakan medis sudah improper).
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes,
slips, and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam
hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan
kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan
dampak buruk.
Kesimpulan
Setiap tenaga kesehatan mempunyai kode etik dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap
pelanggaran etik yang dilakukan dapat dikenakan sanksi berupa tuntutan. Dan dalam setiap
tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat, bidan maupun dokter harus
mencari tahu terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sehingga kita sebagai tenaga kesehatan
tidak gegabah dalam melakukan tindakan yang akan di lakukan sehingga tidak membuat
kesalahan.
Pada kasus ini, diperlukan keahlian dan pengetahuan kita dalam memberitahukan hasil
dari pemeriksaan. Karena hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak
atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi
(informed consent). Sehingga dapat disimpulkan pada kasus ini dr.P melanggar etika dan hukum
kedokteran.
21
Daftar Pustaka
1. Hanafiah MJ., Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC;
2009. Hal. 1-40
2. Chang, William. Bioetika sebuah pengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16
3. Transmedia Pustaka. Undang-undang republik Indonesia nomer 23 tahun 1992 tentang
kesehatan dan undang-undang republik Indonesia nomer 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran. Jakarta: Visimedia; 2007.
4. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2001.h. 45- 6
5. Jacobalis, Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta:
Sagung Seto; 2005. Hal 228-40.
6. Guwandi J . Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-7
22