blok 27 daeli

34
Bentuk Pelanggaran di Bidang Kedokteran ditinjau dari Aspek Etika, Disiplin Medik, dan Hukum Julisman Daeli 102012245 / F Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510.Telephone : (021) 5694- 2061, fax : (021) 563-1731 [email protected] Pendahuluan Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya. Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam 1

Upload: julisman

Post on 06-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

blok 27 ukrida

TRANSCRIPT

Page 1: Blok 27 Daeli

Bentuk Pelanggaran di Bidang Kedokteran ditinjau dari Aspek Etika, Disiplin Medik, dan

Hukum

Julisman Daeli

102012245 / F

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510.Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731

[email protected]

Pendahuluan

Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan.

Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental

bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan

menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang

lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter

terhadapnya.

Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan

yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan sesuatu yang

dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis atau tidak

sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan etika itu. Di dalam

dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran.

Kasus Skenario

Dr. P adalah seorang dokter spesialis obsgyn yang berpengalaman. Beliau baru saja akan

menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika seorang wanita muda datang

dengan ditemani ibunya untuk berobat. Si pasien lalu menceritakan keluhannya yaitu mengalami

perdarahan pervaginam dan sangat kesakitan. Dr. P kemudian melakukan pemeriksaan dan

menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi.

Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan

1

Page 2: Blok 27 Daeli

kepada keluarga pasien apakah dia bersedia diopname di RS sampai keadaannya benera-benar

baik. Tidak lama kemudian dr. Q datang untuk menggantikan dr. P, yang langsung pulang tanpa

berbicara kepada pasien.

Etika Kedokteran

Etik (ethics) berasal dari kata yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak,

perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut kamus umum bahasa Indonesia, etika adalah

ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa dari

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika adalah:1

1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

2. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak

3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masayarakat

Menurut Kamus Kedokteran (Ramali dan Pamuncak, 1987), etika adalah pengetahuan

tentang perilaku yang benar dalam suatu profesi.

Istilah etika dan etik sering dipertukarkan pemakaiannya dan tidak jelas perbedaan antara

keduanya. Dalam buku ini, yang dimaksud dengan etika adalah ilmu yang mempelajari asaz

akhlak, sedangkan etik adalah seperangkat asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak seperti

dalam kode etik. Istilah etis biasanya digunakan untuk menyakatan sesuatu sikap atau pandangan

yang secara etis dapat diterima (ethically acceptable) atau tidak dapat diterima (ethically

unacceptable, tidak etis).1

Pekerjaan profesi (profession berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang memerlukan

pendidikan dan latihan tertentu, memliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seperti ahli

hokum (hakim, pengacara), wartawan, dosen, dokter, dokter gigi, dan apoteker.1

Pekerjaan profesi umumnya memiliki cirri-ciri sebagai berikut.

1. Pendidikan sesuai standar nasional

2. Mengutamakan panggilan kemanusiaan

3. Berlandaskan etik profesi, mengikat seumur hidup

4. Legal melalui perizinan

2

Page 3: Blok 27 Daeli

5. Belajar sepanjang hayat

6. Anggota bergabung dalam suatu organisasi profesi

Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan pelayanan

kepada public. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku anggota profesi dalam hubungannya

dengan orang lain. Pengalaman etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral.1

Ciri-ciri etik profesi adalah sebagai berikut.

1. Berlaku untuk lingkungan profesi

2. Disusun oleh organisasi profesi bersangkutan

3. Mengandung kewajiban dan larangan

4. Menggugah sikap manusiawi

Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang mulia

karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seorang yaitu masalah

kesehatan dan kehidupan.1,2

Menurut pasal 1 butir 11 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau

kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh

melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayanai masyarakat.1,3

Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (calling), untuk

mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip

kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian sesame dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih

saying (compassion), dan ikut merasakan penderitaan orang lain yang kurang beruntung. Dengan

demikian, seorang dokter tidaklah boleh egois melainkan harus mgnutamakan kepentingan orang

lain, membantu mengobati orang sakit (altruism). Seorang dokter harus memiliki Intelectual

Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) yang tinggi dan

berimbang.1,2,4

Tujuan pendidikan etika dalam pendidikan dokter adalah untuk menjadikan calon dokter

lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual dan emosional. Para pendidik masa

lalu melihat perlu tersedia berbagai pedoman agar anggotanya dapat menjalankan profesinya

3

Page 4: Blok 27 Daeli

dengan benar dan baik. Para pendidik di bidang kesehatan masa lalu melihat adanya peluang

yang diharapkan tidak akan terjadi sehingga merasa perlu membuat rambu-rambu yang akan

mengingatkan pedoman yang membatasi mereka untuk berbuat yang tidak layak.1,5

Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi

dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja.

Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-sama

pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan

telah memiliki Kode Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode

Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI).1

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)1

Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insane

yaitu manusia penyembuh dan pasien. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut transaksi atau

kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini dilakukan secara konfidensial, dalam

suasana saling percaya mempercayai, dan hormat menghormati.

Sejak terwujudnya praktik kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui adanya

beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan

bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan

moral yang tidak diragukan.

Imhotep dari Mesir, Hippokrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma, merupakan

beberapa pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi awal

terbinanya suatu tradisi kedokteran yang luhur dan mulia. Tokoh-tokoh ilmuwan kedokteran

Internasional yang tampil kemudian seperti Ibnu Sina (Avicena) dokter Islam dari Persi dan lain-

lain, menyusun dasar-dasar disiplin kedokteran tersebut atas suatu kode etika kedokteran

internasional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di Indonesia, kode etika

kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma yang mengatur hubungan antar

manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD

1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan

dan keluhuran ilmu kedokteran, para dokter baik yang tergabung dalam perhimpunan profesi

4

Page 5: Blok 27 Daeli

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan,

pendidikan, dan penelitian telah menerima Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Ada 2 versi KODEKI, yaitu yang sesuai dengan Surat Keputusan Menkes RI No.

434/Menkes/SK/X/1983 dan yang sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI No. 221/PB/A-

4/04/2002. Keduanya serupa tetapi tidak sama dari segi substansial dan urutannya. Oleh karena

salah sartu ciri kode etik profesi adalah disusun oleh organisasi profesi bersangkutan, kita

berpedoman pada KODEKI yang diputuskan PB IDI yang telah menyesuaikan KODEKI dengan

situasi kondisi yang berkembang seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran serta dinamika global yang ada. KODEKI tersebut berbunyi sebagai

berikut.

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar

profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu

yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya

diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

5

Page 6: Blok 27 Daeli

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap

penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat

menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri

kebenarannya.

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang

kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang

(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan

berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter

atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga

kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat

dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan

pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

6

Page 7: Blok 27 Daeli

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya

serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter terhadap Pasien

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya

untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang

mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan

dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan

atau berdasarkan prosedur yang etis.

7

Page 8: Blok 27 Daeli

Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran/kesehatan.

Hubungan dokter dengan pasien

Dahulu hubungan dokter pasien bersifat partenalistik. Di mana pada model ini dokter

bagaikan orang tua dan pasien sebagai anak sehingga apa yang dikatakan dokter adalah mutlak

dan tidak ada kebebasan bagi pasien dalam memilih terapai dan tindakan medis. Sifat hubungan

ini dianggap kurang tepat sehingga muncullah model hubungan sosial kontrak dimana pada

model hubungan ini dikatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang

meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan tetapi saling menghargai.

Model hubungan sosial kontrak ini mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi

sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang bagi pasien untuk

menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Model hubungan ini dianggap terlalu

menyerdahanakan nilai hubungan dokter dan pasien, sehingga dicetuskan suatu model

hubungan  dokter pasien yang berdasarkan virtue dianggap paling cocok sebagai model

hubungan dokter pasien.1,2,4

            Pada model hubungan virtue baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk

menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan

pasien. Dalam melakukan komunikasinya dokter diharuskan menanamkan prinsip-prinsip moral,

termasuk informed consent yang bearasal dari prinsip otonomi pasien.1,2,4

            Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran. Terdapat

kewajiban sebagai rambu-rambu dalam proses hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang

dalam prinsip-prinsip moral profesi yang dicetuskan oleh Beauchamp dan Childress ,yaitu:2

8

Page 9: Blok 27 Daeli

1. Prinsip otonomi

Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat

setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran

rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti bahwa si

pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak secara sadar dan

intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa

menghilangkan kebebasannya.

2. Prinsip beneficence

Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan,

benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan

menghilangkan kecederaan dari pasien.

3. Prinsip non-maleficence

Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau

cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan

(omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang

memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain.

Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal

yang diinginkan masyarakat secara common sense.

4. Prinsip justice

Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak

bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan

bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak

terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya.

Informed Consent

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat

penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi

izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah

mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan

9

Page 10: Blok 27 Daeli

yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis

yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.1,6

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu

memberikan informed consent  kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan etis

individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik

dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk

membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.1,6

Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga

Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan

tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak

pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan,

dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.1,3,6

Ruang Lingkup Informed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis

pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain

yang berperan serta dalam pengobatan pasien.6

Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit

tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam

pemberian inform consent adalah: 6

Hak atas informasi

Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa

yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan

tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya

pengobatan.

Hak atas persetujuan (Consent)

Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh

seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana

orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah

10

Page 11: Blok 27 Daeli

yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada

salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting,

penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.

Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik

dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau

keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan. Secara garis besar dalam

melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu :6

a. Diagnosis

b. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of

medical procedure)

c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical

procedure)

d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative

medical procedure and risk)

f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan

Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan

pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada

kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah

cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan

pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah

agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed

decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien

juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang

merawatnya.6

Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada

dasarnya pasien sendiri, jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal

45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah

pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat,

antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.

11

Page 12: Blok 27 Daeli

Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan.

Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan

penjelasan dan dibuat persetujuan. 6

Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :3,6

1. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah

kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.

3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien

setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat. Dalam

bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis dengan

risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara

tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi

dari pihak keluarga.6

Displin Dokter dan Dokter Gigi1

Dalam UUPK terdapat pemisahan yang jelas antara pelanggaran etik profesi dan disiplin

dokter dan dokter gigi. Pelanggaran etik profesi adalah pelanggaran terhadap Kode Etik

kedokkteran dan Kdeokteran gigi yang disusun oleh IDI dan PDGI, sedangkan pelanggaran

displin adalah penyimpangan terhadap standar profesi yang ditentukan oleh organisasi profesi

dan prosedur standar operasional yang ditentukan oleh organisasi sarana pelayanan kesehatan

setempat. Untuk menegakkan disiplin dokter dan daokter gigi dalam UUPK dibentuk Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Ini adalah lembaga yang akan berwenang

untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam

penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. MKDKI ini merupakan lembaga

otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat independen dan berkedudukan di Ibu

Kota. Hanya bila diperlukan atas usul KKI bias juga dibentuk di tingkat provinsi. Lembaga ini

12

Page 13: Blok 27 Daeli

mempunyai tugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin

serta menyusun pedoman dan tatacara penanganan kasus pelanggaran disiplin.

Sebelum UUPK ada, bila ada pengaduan dari masyarakat dalam pelayanan kesehatan

tidak jelas masyarakat mengadu ke mana, langsung ke Polisi Penyidik atau ke IDI (MKEK).

Masyarakat curiga kalau pengaduan dialamatkan ke IDI (MKEK) karena diduga para dokter

saling melindungi koleganya. Dengan demikian, keadilan dalam menanggapi pengaduan dapat

lebih ditingkatkan.

Anggota dalam MKDKI terdiri 3 (tiga) dokter, 3 (tiga) dokter gigi, seorang dokter dan

seorang dokter gigi dari asosiasi RS dan 3 (tiga) Sarjana Hukum.

Bagaimana dengan Majelis kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang ada selama ini?

Keduanya tidak sama sebab basisnya MKEK ada dalam IDI, sedang MKDKI berada dalam

Konsil.

Keputusan MKDKI melalui siding pengadilan disiplin dapat menyatakan bahwa yang

diadukan tidak bersalah atau bersalah dengan pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin bias

berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan tanda registrasi/izin praktik atau kewajiban

mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan. Bagian ini adalah baru sama sekali

karena siding dilakukan oleh hakim adhoc. Perlu pula dipahami bahwa dalam UUPK tentang

pengaduan dijelaskan bahwa pengaduan tertulis yang dibuat oleh pengadu ke MKDKI, tidak

menutup hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak

berwenang dan atau menggugat kerugian ke pengadilan. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan

pelanggaran etika, MKDKI meneruskan ke organisasi profesi, yaitu IDI/MKEK.

Bentuk Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi

Berikut 28 bentuk pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi, yang

dipaparkan oleh Dosen Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadja Mada (UGM),

Muhammad Luthfie Hakim SH, MH., dalam acara Seminar & Workshop in Aesthetic Medicine

(SWAM) 2013:

13

Page 14: Blok 27 Daeli

1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten

2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi yang

sesuai

3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki

kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut

4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki

kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal

penggantian tersebut

5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik atau mental

sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien

6. Tidak melakukan tindakan atau asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang

dapat membahayakan pasien

7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

pasien

8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information)

kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.

9. Melakukan tindakan atau asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau

keluarga dekat, wali, atau pengampunya.

10. Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja.

11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri

atau keluarganya.

13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau

teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktis kedokteran yang layak.

14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai

subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clerance) dari lembaga

yang diakui pemerintah.

15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak

membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya.

14

Page 15: Blok 27 Daeli

16. Menolak atau menghentikan tindakan atau asuhan medis atau tindakan pengobatan

terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi

atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

17. Membuka rahasia kedokteran.

18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang

diketahuinya secara benar dan patut.

19. Turut serta dalam pembuatan yang termasuk tindakan penyiksaan atau eksekusi hukuman

mati.

20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan terhadap

pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.

22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.

23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta, pemeriksaan, atau memberikan

resep obat atau alat kesehatan.

24. Mengiklankan kemampuan atau pelayanan atau kelebihan kemampuan pelayanan yang

dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan.

25. Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya

26. Bepraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau

sertifikat kompetensi yang tidak sah atay berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

27. Tidak jujur dalam menentukan jasa medis.

28. Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperkulan

MKDKI/MKDKI-P, untuk pemeriksaan atas pengaduan dengan pelanggaran Disiplin

profesional Dokter dan Dokter Gigi.

Hukum Kesehatan

Definisi hukum tidak dapat memuaskan semua pihak karena banyak seginya, dan

demikian luasnya sehingga sulit disatukan dalam satu urusan. Untuk praktisnya, yang dimaksud

15

Page 16: Blok 27 Daeli

dengan hukum adalah peraturan perundangan, seperti yang terdapat dalam hukum pidana, hukum

perdata, hukum tata negara, dan hukum administrasi negara.1

Dalam lebih dari dua decade terakhir terasa sekali disiplin hukum memasuki wilayah

kedokteran atau bisa juga dikatakan kalangan kesehatan makin akrab dengan bidang dan

pengetahuan hukum. Dua disiplin tertua di dunia itu, pada awalnya berkembang dalam

wilayahnya masing-masing, yang satu dalam mengatasi masalah kesehatan yang timbul pada

anggota masyarakat, yang satu lagi mengatur tentang ketertiban dan ketentraman hidup

bermasyarakat. Keduanya diperlukan untuk kesejahteraan dan kedamain masyarakat. Dalam

perkembangan kedua disiplin ini untuk mencapai tujuan yang dimaksud, ternyata disiplin yang

satu diperlukan oleh disiplin lain dalam cabang ilmunya. Dalam proses penegakan hukum, peran

ilmu dan bantuan dokter diperlukan oleh jajaran penegak hukum yang dikenal sebagai Ilmu

Kedokteran Forensik, yaitu cabang ilmu kedokteran yang sejak awal berkembnagnya telah

mendekatkan ilmu kedeokteran dan ilmu hukum. Sebaliknya, dalam perkembangan dan

peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan diperlukan pula pengetahuan dan

aturan hukum dan ini berada dalam cabang ilmu hukum yang kemudian hadir sebagai Hukum

Kesehatan.1

Pada waktu ini, tidak mungkin lagi para dokter tidak mengetahui dan memahami hukum

kesehatan, apalagi setelah terbitnya Undang-undang Kesehatan (1992) dan Undang-undang

Praktek Kedokteran (2004), yaitu aturan hukum atau ketentuan hukum yang mengatur tentang

pelayanan kedokteran/kesehatan.1

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia

(PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan

pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan

maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun

sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek, organisasi, sarana,

pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-

sumber hukum lain. Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu yang

menyangkut pelayanan kedokteran (medical care/service).1

16

Page 17: Blok 27 Daeli

Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perkembangannya

dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia pada tahun 1967 dan diteruskan

secara periodic untuk beberapa lama. Di Indonesia, perkembangan Hukum Kesehatan dimulai

sejak terbentuknya kelompok Studi untuk Hukum Kedokteran UI/RS Ciptomangukusumo di

Jakarta pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI),

terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan

Indonesia (PERHUKI) pada Kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987. PERHUKI

Wilayah Sumatera Utara terbentuk pada tanggal 14 April 1986 di Medan.1

Hukum kesehatan mencakup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan

satu dengan yang lain, yaitu hukum Kedokteran/Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum

Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan

Lingkungan, dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Di atas telah diuraikan pengertian etik dan hukum. Persamaan dan perbedaan antara

keduanya adalah sebagai berikut.1

Persamaan etik dan hukum.

1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat

2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia

3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan

4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi

5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.

Perbedaan etik dan hukum

1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum

2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun oleh badan

pemerintah

3. Etik tidak seluruhnya tertulis, hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-

undang dan lembaran/berita negara

4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan, sanksi terhadap pelanggaran hukum

berupa tuntutan

17

Page 18: Blok 27 Daeli

5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

(MKDKI) yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan atau oleh Majelis

Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia

(IDI), pelanggaran hukum diselesaikan oleh Pengadilan

6. Penyelesain pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, penyelesaian pelanggaran

hukum memerlukan bukti fisik

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etik merupakan seperangkat perilaku yang

benar dan baik dalam suatu profesi. Etika kedokteran adalah pengetahuan tentang perilaku

professional para dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pekerjaannya sebagaimana

tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik masing-masing yang telah disusun oleh organisasi

profesinya bersama-sama pemerintah.1,5

Hukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan.

Hukum kesehatan merupakan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pelayanan

kesehatan baik untuk penyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan.1,5

Pelanggaran etika kedokteran tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu pula

sebaliknya pelanggaran hukum belum tentu berarti pelanggaran etika kedokteran. Pelanggaran

etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK IDI, sedangkan pelanggaran hukum

diselesaikan melalui pengadilan.1,5

Hukum Kedokteran1,3,5

Hukum kedokteran memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset.

Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi

kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat

dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau

tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah

menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa

tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,

juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana

maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

18

Page 19: Blok 27 Daeli

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang

digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam

tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya

secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang

siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.Sedangkan pada masalah hukum

pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu

adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai

tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa

tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis

(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,

maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan

suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,

sehingga dokter harus menghormatinya.

Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive

(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan

medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut

telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal

351 KUHP.

Malpraktek Medis1

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat

keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau

orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian

disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-

hatu melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap

hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan

melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.

19

Page 20: Blok 27 Daeli

Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh

dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3

aspek/hal:

1. Intensional Professional Misconduct : Bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan

bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan

pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja.

Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak

sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan.

Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien

ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal).

2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang

karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien.

Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan

sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik,

namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat

dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis

kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya

melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu

tapi tidak sempurna.

3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi

diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler

melakukan operasi tulang.

Kelalaian Medik1

Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya

tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang

memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa

pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang

dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat

profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

20

Page 21: Blok 27 Daeli

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.

1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak

(unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang

memadai (pilihan tindakan medis sudah improper).

2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan

dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis

dengan menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban

baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes,

slips, and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam

hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan

kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan

dampak buruk.

Kesimpulan

Setiap tenaga kesehatan mempunyai kode etik dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap

pelanggaran etik yang dilakukan dapat dikenakan sanksi berupa tuntutan. Dan dalam setiap

tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat, bidan maupun dokter harus

mencari tahu terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sehingga kita sebagai tenaga kesehatan

tidak gegabah dalam melakukan tindakan yang akan di lakukan sehingga tidak membuat

kesalahan.

Pada kasus ini, diperlukan keahlian dan pengetahuan kita dalam memberitahukan hasil

dari pemeriksaan. Karena hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak

atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi

(informed consent). Sehingga dapat disimpulkan pada kasus ini dr.P melanggar etika dan hukum

kedokteran.

21

Page 22: Blok 27 Daeli

Daftar Pustaka

1. Hanafiah MJ., Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC;

2009. Hal. 1-40

2. Chang, William. Bioetika sebuah pengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16

3. Transmedia Pustaka. Undang-undang republik Indonesia nomer 23 tahun 1992 tentang

kesehatan dan undang-undang republik Indonesia nomer 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran. Jakarta: Visimedia; 2007.

4. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2001.h. 45- 6

5. Jacobalis, Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta:

Sagung Seto; 2005. Hal 228-40.

6. Guwandi J . Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-7

22