bab ii tinjauan pustaka 2.1 industri kecil dan...

22
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Kecil dan Menengah Industri Kecil dan Menengah (IKM) merupakan suatu sektor dalam dunia usaha yang ada dilingkungan masyarakat dan menjadi sebuah sumber kekuatan bagi suatu negara untuk dapat mencapai kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang perekonomian. Pengertian industri sendiri menurut UU No. 3 tahun 2014 adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengelola bahan baku dan atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi. Pengertian industri kecil dan menengah beserta kriterianya sangat beragam. Keberagaman tersebut terjadi karena masing-masing pihak atau lembaga pemerintahan merumuskan sendiri pengertian dan kriteria dari industri kecil menengah. Perbedaan tersebut misalnya pada pendefinisan dan kriteria yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian Republik Indonesia yang mengukur industri kecil dan menengah berdasarkan jumlah asset, kemudian Badan Pusat Statistika (BPS) yang mengukur kriteria industri kecil dan menengah berdasarkan jumlah pekerja. Menurut Perat9uran Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 13/M-IND/PER/2/2013 Tentang Petunjuk Teknis Program Restrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan Industri Kecil Menengah Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) yang menyebutkan :

Upload: others

Post on 26-Dec-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kecil dan Menengah

Industri Kecil dan Menengah (IKM) merupakan suatu sektor dalam

dunia usaha yang ada dilingkungan masyarakat dan menjadi sebuah sumber

kekuatan bagi suatu negara untuk dapat mencapai kesejahteraan masyarakat

khususnya dalam bidang perekonomian. Pengertian industri sendiri menurut

UU No. 3 tahun 2014 adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang

mengelola bahan baku dan atau memanfaatkan sumber daya industri

sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat

lebih tinggi.

Pengertian industri kecil dan menengah beserta kriterianya sangat

beragam. Keberagaman tersebut terjadi karena masing-masing pihak atau

lembaga pemerintahan merumuskan sendiri pengertian dan kriteria dari

industri kecil menengah. Perbedaan tersebut misalnya pada pendefinisan

dan kriteria yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian Republik

Indonesia yang mengukur industri kecil dan menengah berdasarkan jumlah

asset, kemudian Badan Pusat Statistika (BPS) yang mengukur kriteria

industri kecil dan menengah berdasarkan jumlah pekerja.

Menurut Perat9uran Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Nomor: 13/M-IND/PER/2/2013 Tentang Petunjuk Teknis Program

Restrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan Industri Kecil Menengah Pasal 1

ayat (1), (2), dan (3) yang menyebutkan :

9

1) Industri Kecil dan Menengah (IKM) adalah perusahaan industri kecil

dan perusahaan industri menengah.

2) Perusahaan Industri Kecil (IK) adalah perusahaan industri dengan

nilai investasi seluruhnya sampai dengan Rp. 500.000.000 (lima

ratus juta rupiah), dengan tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha.

3) Perusahaan Industri Menengah (IM) adalah perusahaan industri

dengan nilai investasi seluruhnya lebih besar dari Rp. 500.000.000

(lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak

10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha.

Sementara Menurut Badan Pusat Statistik (2016) industri

pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan

mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan

sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi, dan atau barang yang

kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya

lebih dekat kepada pemakai akhir. Perusahaan industri pengolahan dibagi

dalam 4 golongan yaitu :

1. Industri Besar yaitu banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih.

2. Industri Sedang yaitu banyaknya tenaga kerja 20-99 orang.

3. Industri Kecil yaitu banyaknya tenaga kerja 5-19 orang.

4. Industri Rumah Tangga yaitu banyaknya tenaga kerja 1-4 orang.

2.2 Usaha Kecil dan Menengah

Terdapat satu istilah lain dalam sebuah kegiatan ekonomi kecil yang

sering digunakan oleh masyarakat yaitu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

10

(UMKM) atau juga Usaha Kecil dan Menengah (UKM). UMKM memiliki

berbagai macam definisi dan konsep di masing-masing negara dan di

Indonesia sendiri hal ini pun telah diatur sesuai dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan

Menengah, UMKM.

Pada pasal satu dari UU tersebut mendefinisikan bahwa usaha mikro

adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha

perorangan yang memiliki kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam

UU tersebut. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri

sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang buka

merupakan anak perusahan atau bukan anak cabang yang dimiliki, dikuasai

atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung, dari usaha

menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil

sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Usaha menengah adalah usaha

ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau

badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang

perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung

maupun tidak langsung, dari usaha mikro, usaha kecil atau usaha besar yang

memenuhi kriteria usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam UU

tersebut.

Dalam Undang-undang tersebut, kriteria yang digunakan untuk

mendefinisikan UMKM seperti yang tercantum dalam Pasal 6 adalah nilai

kekayaan bersih atau nilai aset tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha, atau hasil penjualan tahunan dengan kriteria sebagai berikut :

11

1. Usaha mikro adalah unit usaha yang memiliki aset paling banyak

Rp.50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dengan

hasil penjualan tahunan paling besar Rp.300 juta.

2. Usaha kecil dengan nilai aset lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan

paling banyak Rp.500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300

juta hingga maksimum Rp.2.500.000, dan.

3. Usaha menengah adalah perusahaan dengan milai kekayaan bersih

lebih dari Rp.500 juta hingga paling banyak Rp.100 milyar hasil

penjualan tahunan di atas Rp.2,5 milyar sampai paling tinggi Rp.50

milyar.

UKM merupakan istilah yang digunakan oleh Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sedangkan Industri Kecil dan

Menegah (IKM) ialah istilah yang sering digunakan oleh Kementerian

Perindustrian. Menurut Asosiasi UKM dan IKM Seluruh Indonesia (AUSI)

tahun 2016 UKM adalah sebuah usaha yang melakukan aktivitas dalam

bentuk menjual kembali berbagai aneka jenis produk yang di hasilkan oleh

IKM atau Industri besar. Contohnya mulai dari warung kecil hingga warung

besar, selain itu juga UKM melakukan aktivitas dalam bidang jasa seperti :

laundry, perbaikan alat elektronik ,mesin dan lain sebagai nya. IKM adalah

sebuah usaha yang memproduksi berbagai macam jenis produk yang di

gunakan dalam berbagai keperluan aktivitas mahluk hidup ataupun yang

lain nya. Namun apabila seseorang memiliki aktivitas produksi dan

pemasaran secara langsung, maka dapat di sebut sebagai UKM dan IKM.

Pada penelitian ini istilah yang cederung akan digunakan ialah IKM karena

12

bentuk kegiatan yang dilakukan oleh objek penelitian tidak hanya sebatas

jual beli namun mereka yang memiliki aktivitas produksi untuk

menghasilkan barang jadi yang lebih berharga dan bernilai dari sebelumnya.

2.3 Permasalahan yang dihadapi

Adapun permasalahan yang dihadapi UMKM diambil dari berbagai

hasil survey dan penelitian yang telah dilakukan di lapangan adalah sebagai

berikut. Diantaranya ialah beberapa kendala hambatan yang sering muncul

dalam UMKM menurut (Erwin Rijanto & Sarwono, 2015) :

2.2.1 Internal

1. Modal

• Sekitar 60-70% UMKM belum mendapat akses atau pembiayaan

perbankan.

• Hambatan geografis. Belum banyak perbankan mampu menjangkau

hingga ke daerah pelosok dan terpencil. Selanjutnya kendala

administratif, manajemen bisnis UMKM masih dikelola secara

manual dan tradisional, terutama manajemen keuangan. Pengelola

belum dapat memisahkan antara uang untuk operasional rumah

tangga dan usaha.

2. Sumber Daya Manusia (SDM)

• Kurangnya pengetahuan mengenai teknologi produksi terbaru dan

cara menjalankan quality control terhadap produk.

• Kemampuan membaca kebutuhan pasar masih belum tajam,

sehingga nnbelum mampu menangkap dengan cermat kebutuhan

yang diinginkan pasar.

13

• Pemasaran produk masih mengandalkan cara sederhana mouth to

mouth marketing (pemasaran dari mulut ke mulut). Belum

menjadikan media sosial atau jaringan internet sebagai alat

pemasaran.

• Dari sisi kuantitas, belum dapat melibatkan lebih banyak tenaga

kerja karena keterbatasan kemampuan menggaji.

• Karena pemilik UMKM masih sering terlibat dalam persoalan

teknis, sehingga kurang memikirkan tujuan atau rencana strategis

jangka panjang usahanya.

3. Hukum

Pada umumnya pelaku usaha UMKM masih berbadan hukum

perorangan.

4. Akuntabilitas

Belum mempunyai sistem administrasi keuangan dan manajemen

yang baik.

2.2.2 Eksternal

1. Iklim usaha masih belum kondusif.

• Koordinasi antar stakeholder UMKM masih belum padu. Lembaga

pemerintah, institusi pendidikan, lembaga keuangan,

dan asosiasi usaha lebih sering berjalan masing-masing.

• Belum tuntasnya penanganan aspek legalitas badan usaha dan

kelancaran prosedur perizinan, penataan lokasi usaha, biaya

transaksi/usaha tinggi, infrastruktur, kebijakan dalam aspek

pendanaan untuk UMKM.

14

2. Infrastruktur

• Terbatasnya sarana dan prasarana usaha terutama berhubungan

nndengan alat-alat teknologi.

• Kebanyakan UMKM menggunakan teknologi yang masih

sederhana.

3. Akses

• Keterbatasan akses terhadap bahan baku, sehingga seringkali

UMKM mendapatkan bahan baku yang berkualitas rendah.

• Akses terhadap teknologi, terutama bila pasar dikuasai oleh

perusahaan/grup bisnis tertentu.

• Belum mampu mengimbangi selera konsumen yang cepat berubah,

nnterutama bagi UMKM yang sudah mampu menembus pasar

ekspor, sehingga sering terlibas dengan perusahaan yang bermodal

lebih besar.

2.4 Lean Manufacturing

Menurut Gasperz dan Fontana (2011), Lean manufacturing adalah

suatu upaya terus menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) yang

terjadi disuatu perusahaan industri dan meningkatkan nilai tambah (value

added) produk (barang dan/atau jasa) agar memberikan nilai kepada

pelanggan (customer value). Tujuan lean adalah meningkatkan terus-

menerus customer value melalui peningkatan terus-menerus rasio antara

nilai tambah terhadap waste (the value to waste ratio).

Terdapat lima prinsip dasar Lean (Vincent & Fontana, 2011) :

15

1. Mengidentifikasi nilai produk (barang dan/atau jasa) berdasarkan

perspektif pelanggan, di mana pelanggan menginginkan produk

(barang dan/atau jasa) berkualitas superior, dengan harga yang

kompetitif dan penyerahaan tepat waktu.

2. Mengidentifikasi value stream procces mapping (penentuan proses

pada value stream) untuk setiap produk (barang dan/atau jasa).

3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua

aktivitas sepanjang proses value stream itu.

4. Mengorganisasikan agar material, informasi, dan produk itu mengalir

secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan

sistem tarik (pull system).

5. Terus-menerus mencapai berbagai teknik dan alat peningkatan

(impovement tools and techniques) untuk mencapai keunggulan dan

peningkatan terus-menerus.

2.4.1 Metode Penerapan Lean Manufacturing

Beberapa contoh metode yang sering diterapkan dalam konsep lean

manufacturing ialah sebagai berikut :

1. Kaizen

Kaizen adalah suatu istilah dalam bahasa Jepang yang dapat

diartikan sebagai perbaikan secara terus – menerus (continuous

improvement) (Vincent Gaspersz, 2003). Kaizen pada setiap

perusahaan, baik perusahaan manufaktur atau bukan, harus dimulai

dengan tiga kegiatan ini : standardisasi, 5R dan penghapusan

pemborosan.

16

2. Poka Yoke

Poka yoke merupakan salah satu metode pencegahan terjadinya

kesalahan dalam suatu proses produksi. Tujuan membuat aktivitas

preventif agar proses tidak mengalami kesalahan atau bahkan ketika

terjadi kesalahan bisa dilakukan perbaikan secepatnya (Shingo, 1986).

Pada dasarnya fungsi dasar Poka yoke itu ada 3 diantaranya yaitu :

1. Control : Mengontrol proses agar tidak menimbulkan defect

produk.

2. Shutdown : Berhenti melakukan proses produksi ketika menyadari

telah melakukan defect.

3. Warning : Pemberian peringatan ketika terjadi potensi muncul

produk defect.

3. Jidoka

Jidoka merupakan sebuah konsep yang ditemukan pertama kali

oleh Sakichi Toyoda dan dikembangkan secara lebih lanjut oleh

Shingeo Shingo. Jidoka merupakan sebuah langkah penting jika ingin

mendapatkan kualitas terbaik dengan biaya terendah, serta waktu yang

paling cepat. Konsep Jidoka merupakan sebuah prinsip dalam

manajemen untuk meyakinkan bahwa proses yang dilakukan tidak

menghasilkan produk cacat.

Alasan utama Jidoka merupakan sebuah hal yang penting

dikarenakan, dengan penggunaan Jidoka dalam perusahaan dapat

mengurangi tingkat cacat yang ada di dalam perusahaan. Tingginya

tingkat produk cacat yang dihasilkan dapat mengakibatkan lini produksi

terhenti dan aliran sistem tarik dapat berhenti. Selain itu, sistem kanban

17

dapat rusak jika tejadinya pengiriman komponen yang cacat (Dennis,

2007).

4. Kanban

Kanban berasal dari bahasa Jepang, yang berarti kartu. Sistem

kanban diperkenalkan pertama kali oleh Taiichi Ohno dan menjadi

standar operasi di pabrik-pabtrik Toyota di seluruh dunia. Menurut

Yasuhiro Monden (2001), sistem kanban adalah suatu sistem informasi

yang secara serasi mengendalikan produksi barang yang diperlukan

dalam jumlah yang diperlukan pada waktu diperlukan dalam setiap

proses pabrik dan juga diantara perusahaan.

5. TQM

Total Quality Management adalah sebuah sistem perbaikan

yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan berbagai unsur

termasuk sumber daya manusia serta modal yang memadai (Vincent

Gaspersz, 2003).

6. Standarisasi Kerja

Standarisasi kerja atau proses merupakan salah satu bentuk

sistem lean dimana proses produksi dalam suatu perusahaan haruslah

SOP yang jelas. Dengan adanya standarisasi proses maka dapat dengan

mudah melakukan proses perbaikan (Dennis, 2007). Diibaratkan

standarisasi proses merupakan sebuah langkah untuk memastikan

bahwa perusahaan tidak mundur dan terus melakukan perbaikan.

Standarisasi kerja mencakup 3 elemen, elemen-elemen itu adalah :

1. Takt time

2. Urutan proses

18

3. In-process stock

7. 5S

5S merupakan pendekatan sistematik untuk meningkatkan

lingkungan kerja, proses proses dan produk dengan melibatkan

karyawan di lantai pabrik atau lini produksi (production line) maupun di

kantor (Vincent & Fontana, 2011). 5S adalah program peningkatan terus

menerus yang memiliki akronim sebagai berikut:

a. Seiri (Sort) : Menghilangkan item yang tidak dibutuhkan dari tempat

kerja.

b. Seiton (Stabilize) : Menyimpan item ditempat yang tepat.

c. Seiso (Shine) : Mempertahankan area kerja agar tetap bersih dan

rapih.

d. Seiketsu (Standardize) : Melakukan standarisasi terhadap praktek

(Seiri, Seiton, Seiso).

e. Shitsuke (Sustain) : Membuat kedisiplinan menjadi kebiasaan

melalui prosedur prosedur.

8. Six Sigma

Six Sigma didefinisikan sebagai sebuah sistem yang luas dan

komprehensif untuk membangun dan menopang kinerja, sukses, dan

kepemimpinan bisnis (Pande et al., 2002).

9. Value Stream Mapping (VSM)

Menurut Liker (2004) Value stream mapping adalah teknik

untuk menunjukkan dengan jelas aliran bahan baku dan aliran informasi

saat ini yang dibutuhkan untuk membawa produk atau jasa sampai ke

tangan konsumen dalam bentuk diagram. Beberapa parameter yang

19

perlu diperhatikan dalam penyusunan Value Stream Mapping (Rother &

Shook, 2009) antara lain; waktu suatu barang mengendap atau

menunggu untuk diproses dalam proses selanjutnya (Inventory lead

time), semua sumber daya yang digunakan pada suatu proses

(Resource), waktu siklus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan produk

satu hingga produk kedua terselesaikan (Cycle time), waktu yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu proses secara keseluruhan dari

awal kegiatan unloading material sampai loading produk jadi (Lead

time), waktu yang terbuang untuk menunggu sebelum suatu aktivitas

dapat dilakukan (Waiting time), serta waktu yang dibutuhkan dalam

melakukan proses perpindahan dari tempat satu ketempa tlainnya

(Transportation time).

10. Heijunka

Heijunka produksi sangat tepat diaplikasikan untuk memproduksi

produk-produk yang berlainan jenis/model campuran dalam suatu lini

produksi. Menurut (Suzaki, 1991) heijunka berarti sistem produksi yang

memproduksi barang bermacam-macam (campur) dalam satu lini

produksi, yang berarti produksi dilakukan secara bergilir dalam setiap

hari, tiap jam bahkan tiap menit sehingga tingkat persediaan dalam

proses menjadi lebih rendah.

11. Just In Time

Just in time merupakan serangkaian prinsip, alat dan teknik yang

memungkinkan suatu perusahaan dapat memproduksi dan mengirim

produk mereka dalam jumlah kecil, dengan lead time yang singkat untuk

memenuhi keinginan pelanggan spesifik. Just in time menyediakan

20

barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat

(Liker, 2004). Salah satu dari pedoman ini ialah tidak adanya

pemborosan-pemborosan dalam lini produksi, misalnya tidak boleh

adanya cacat atau harus zero defect, tidak boleh ada barang di gudang

atau zero inventory dan berbagai bentuk waste lainnya.

Masih banyak berbagai metode lean manufacturing lainnya selain

dari sebelas itu seperti PDCA, Root Cause Analysis, Six Big Losses, Takt

Time, Smart Goals, Hoshin Kanri, Gemba, dan Andon. Masing-masing

memiliki fungsi dan penerapan yang berbeda-beda tergantung dari

permasalahan apa yang dihadapi perusahaan sehingga dari sekian banyak

metode yang terdapat pada lean manufacturing diharapkan mampu untuk

dapat juga menyelesaikan permasalahan yang ada di IKM.

2.4.2 Macam-macam Pemborosan Manufaktur

Dalam buku “The Toyota Way” (Liker, 2004), waste didefiniskan

sebagai segala aktivitas pemakaian sumber daya (resources) yang tidak

memberikan nilai tambah (value added) pada produk. Fokus utama dari

Lean adalah menghilangkan waste dalam proses, maka dalam konsepnya

terdapat 8 macam waste (aktivitas tanpa nilai tambah dari kacamata

pelanggan) yang umumnya terjadi dan harus dihilangkan. Pada dasarnya

semua waste yang terjadi berhubungan erat dengan dimensi waktu. 8 macam

waste tersebut antara lain adalah sebagai berikut;

1. Produksi berlebihan (over production)

Memproduksi lebih banyak dari yang permintaan, atau

memproduksi sebelum diinginkan. Hal ini terlihat pada simpanan

material. Ini adalah akibat dari produksi berdasarkan permintaan

21

spekulatif. Produksi berlebihan juga berarti membuat lebih banyak dari

yang dibutuhkan oleh proses berikutnya, membuat sebelum diinginkan

oleh proses berikutnya, atau membuat lebih cepat dari yang dibutuhkan

oleh proses berikutnya. Penyebab over produksi : Logika just-in-case

(untuk jaga-jaga), Penggunaan otomatisasi yang salah, Proses setup

yang lama, Penjadwalan yang salah, Ketidakseimbangan beban kerja,

Rekayasa berlebihan, Inspeksi berlebihan dan sebagainya.

2. Menunggu (Waiting)

Waktu menunggu dalam proses harus dihilangkan. Prinsipnya

adalah memaksimalkan penggunaan / efisiensi pekerja dari pada

memaksimalkan penggunaan mesin-mesin. Penyebab menunggu

termasuk: Ketidakseimbangan beban kerja, Pemeliharaan yang tidak

terencana, Waktu setup yang lama, Penggunaan otomatisasi yang salah,

Masalah kualitas yang tidak selesai, Penjadwalan yang salah, dll.

3. Transportasi (transportation)

Dari pada memperbaiki transportasi, akan lebih baik bila

dikurangi atau dihilangkan. Beberapa penyebab transportasi tinggi :

Tata letak pabrik yang buruk, Pemahaman yang buruk terhadap aliran

proses produksi, jumlah lot besar, lead time besar, dan area

penyimpanan yang besar.

4. Memproses secara keliru/berlebihan (Inefficient Process)

Harus dihilangkan dengan cara bertanya mengapa sebuah proses

diperlukan dan mengapa sebuah produk diproduksi. Semua langkah

proses yang tidak diperlukan harus dihilangkan. Beberapa penyebabnya:

Perubahan produk tanpa perubahan proses, Logika just-in-case,

22

Keinginan konsumen yang sebenarnya tidak jelas, Proses berlebihan

untuk menutupi downtime, Kurang komunikasi.

5. Work In Process (WIP)

Material antar operasi yang timbul karena lot produksi yang

besar atau proses-proses dengan waktu siklus yang panjang. Penyebab

inventory berlebihan: Melindungi perusahaan dari inefisiensi dan

masalah-masalah tak terduga, Kompleksitas produk, Penjadwalan yang

salah, Peramalan pasar yang buruk, Beban kerja tidak seimbang,

Supplier yang tidak bisa diandalkan, Kesalahan komunikasi.

6. Gerakan yang tidak perlu (unnecessary motion)

Gerakan-gerakan tubuh yang tidak perlu, seperti mencari,

meraih, memutar akan membuat proses memakan waktu lebih lama.

Operasionalnya sendiri yang seharusnya diperbaiki daripada melakukan

otomatisasi terhadap gerakan sia-sia. Penyebabnya antara lain:

efektifitas manusia/mesin yang buruk, metode kerja yang tidak

konsisten, layout fasilitas yang buruk, pemeliharaan dan organisasi

tempat kerja yang buruk, gerakan tambahan saat menunggu.

7. Produk cacat (defective product)

Memproduksi barang cacat, sehingga membutuhkan pengerjaan

ulang atau bahkan dibuang karena tidak bisa diperbaiki. Jelas ini

merupakan pemborosan pemakaian bahan, waktu, tenaga kerja, dan

sumber daya yang lain. Aktivitas ini merupakan kesia-siaan yang

sempurna. Mencegah timbulnya cacat lebih baik daripada mencari dan

memperbaiki cacat. Penyebabnya antara lain: kontrol proses yang

lemah, Kualitas buruk, tingkat inventory tidak seimbang, perencanaan

23

maintenance yang buruk, kurangnya pendidikan / training / instruksi

kerja, desain produk, keinginan konsumen tidak dimengerti.

8. Kreativitas karyawan yang tidak dimanfaatkan (Underutilizing People)

Kehilangan waktu, gagasan, keterampilan, peningkatan, dan

kesempatan belajar karena tidak melibatkan atau mendengarkan

karyawan. Penyebabnya antara lain: Budaya bisnis, politik, perekrutan

yang buruk, rendah / tidak adanya investasi untuk training, strategi upah

rendah, dan turnover tinggi. Semua jenis waste ini sering terjadi tanpa

disadari, karena telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan umum,

padahal sesungguhnya sangat merugikan, khususnya sering

menyebabkan pertambahan biaya operasional (cost) yang seharusnya

bisa dihindari. Karena itu, penerapan Lean dapat membantu organisasi

memotong biaya yang tidak perlu, sekaligus meningkatkan revenue.

2.5 Model Konseptual

Iskandar (2009), mengemukakan bahwa dalam penelitian

kuantitatif, kerangka konseptual merupakan suatu kesatuan kerangka

pemikiran yang utuh dalam rangka mencari jawaban-jawaban ilmiah

terhadap masalah-masalah penelitian yang menjelaskan tentang variabel-

variabel, hubungan antara variabel-variabel secara teoritis yang

berhubungan dengan hasil penelitian yang terdahulu yang kebenarannya

dapat diuji secara empiris.

Karakteristik Model Konseptual menurut Jan Jonker, dkk (2011)

antara lain :

24

1. Model Konseptual merupakan konstruksi verbal atau visual yang

membantu untuk membedakan antara apa yang penting dan apa yang

tidak.

2. Sebuah model menawarkan kerangka kerja yang menggambarkan

(secara logis) hubungan kausal antara faktor-faktor yang berkaitan.

Model konseptual dapat mempromosikan hal yang masuk akal atau

makna dalam situasi tertentu.

3. Model konseptual menciptakan realitas dalam arti pemahaman

kolektif. Karena model konseptual didasarkan pada bahasa yang

berasal dari pengertian teoritis.

Model konseptual dibangun berdasarkan teori atau setidaknya

pengertian teoritis, tanpa masukan teoritis, maka mustahil untuk membuat

konstruksi yang berfokus dari sebuah realitas yang terjadi. Teori

memberitahu kepada kita dimana harus mencari, apa yang harus dicari, dan

bagaimana melihat suatu masalah.

Fungsi model konseptual menurut Jonker et al. (2011) antara lain

yang pertama ialah model Konseptual sangat erat hubungannya dengan teori

referensi/litelatur yang digunakan. Dengan bantuan model konseptual,

peneliti dapat menunjukkan bagaimana melihat fenomena yang

diketengahkan dalam penelitiannya. Konsep-konsep teoritis yang

digunakan untuk membangun model konseptual memberikan persfektif atau

sebuah cara untuk melihat fenomena empiris. Kedua adalah pembangunan

model dapat membantu dalam penataan masalah, mengidentifikasi faktor-

faktor relevan, dan kemudian memberikan koneksi yang membuatnya lebih

mudah untuk memetakan bingkai masalahnya. Jika dipetakan dengan benar,

25

maka model konseptual dapat menjadi representasi yang benar dari

fenomena yang sedang dipelajari. Selanjutnya model tersebut akan

membantu menyederhanakan masalah dengan mengurangi jumalh properti

yang harus disertakan, sehingga lebih mudah berfokus untuk hal-hal yang

hakiki. Terakhir menghubungkannya ke dalam sistem teori.

Kerangka konseptual yang baik sebagaimana yang dikutip oleh

Sugiyono dalam Iskandar (2009) sebagai berikut:

1. Variabel-variabel penelitian yang akan diteliti harus jelas.

2. Kerangka konseptual haruslah menjelaskan hubungan antara

variabel-variabel yang akan diteliti, dan ada teori yang melandasi.

3. Kerangka konseptual tersebut lebih selanjutnya perlu dinyatakan

dalam bentuk diagram, sehingga masalah penelitian yang akan

dicari jawabannya mudah dipahami.

2.6 Soft System Methodology (SSM)

Pertama kali diperkenalkan di Inggris oleh Tim akademisi dari

Universitas Lancaster yang dipimpin oleh Prof Gwilym Jenkins pada tahun

1966. SSM awalnya digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah

yang begitu kompleks dan melibatkan banyak stakeholder di dalam bidang

manajeman. Pendekatan ini digunakan ketika pendekatan teknikal tidak

mampu menjelaskan berbagai fenomena yang dihadapi secara utuh dan

akurat. SSM dikembangan oleh para teknisi manajeman di Universitas

Lancaster untuk membantu menyelesaikan masalah terkait dengan efisiensi

dan efektifitas yang melibatkan teknologi modern dengan kompleksitas tinggi

dalam organisasi manusia. Sejak dikembangkan, SSM baru mendapat tempat

yang semestinya ketika Peter Checkland bergabung dengan tim Lancaster

26

pada tahun 1969, bahkan dikemudian hari, Checkland dianggap sebagai

bapak dari metodologi ini (Hidayatullah, 2011).

Soft Systems Methodology (SSM) adalah sebuah pendekatan holistik

di dalam melihat aspek-aspek riil dan konseptual di masyarakat. SSM melihat

setiap yang terjadi sebagai Human Activity System, karena serangkaian

aktivitas manusia dapat disebut sebagai sebuah sistem, yaitu setiap aktivitas-

aktivitas tersebut saling berhubungan dan membentuk suatu ikatan.

Pendekatan soft systems dianggap sebagai metodologi yang sangat produktif

untuk mempelajari setiap aktivitas manusia yang terorganisir di dalam

mencapai tujuan-tujuan tertentu (Patel, 1995).

Gambar 2. Tujuh Tahapan Model Soft System Methodology

Menurut Checkland & Poulter (2006) terdapat 7 Tahapan dalam Soft

Systems Methodology SSM, atau disebut juga SSM Classic.

1. Mengidentifikasi permasalahan atau situasi yang tidak terstruktur, yaitu

menyatakan suatu masalah yang membutuhkan analisis, dengan

27

membiarkan anggapan-anggapan yang beredar tanpa membatasi dan

langsung menyimpulkan.

2. Meneliti situasi atau keadaan dan menyusun permasalahan, dilakukan

dengan menganalisa unsur unsurnya (dengan metode rich picture seperti

pada gambar 3). Hal ini dilakukan untuk menangkap struktur

permasalahan, proses yang terlibat, dan keterhubungan antara struktur dan

proses.

Gambar 3. Contoh Rich Picture Permasalahan SDM dalam Menghadapi MEA

(Fadhil, 2017)

Membuat Rich Picture berguna untuk mengekspresikan secara grafis atau

gambar, mengartikan hubungan yang kompleks antara entitas yang

berbeda terkait dengan masalah yang ada. Gambar ini didapatkan dari hasil

analisa dokumen, wawancara dan diskusi antar aktor yang terkait. Pada

28

akhirnya, diharapkan rich picture dapat memberikan gambaran yang

menyeluruh atau holistik tentang situasi yang dihadapi sesuai tahapan Soft

Sytem Methodology (SSM).

3. Memilih perspektif dan mendefinisikan sistem yang relevan, dilakukan

dengan menyusun root definition, yaitu melakukan identifikasi elemen

situasi dan pihak yang terlibat dengan menggunakan CATWOE. Elemen

analisis dalam CATWOE mencakup:

a) Customers, menyatakan pihak yang terkena dampak/diuntungkan dari

aktivitas yang dilakukan.

b) Actors, menyatakan pihak yang terlibat dalam aktivitas.

c) Transformation process, menyatakan aktivitas yang bertujuan

mengubah input menjadi output.

d) Weltanschauung, merupakan cara pandang yang menyeluruh

sehingga root definition memiliki arti dalam konteksnya.

e) Owners, menyatakan pihak yang dapat menghentikan aktivitas.

f) Environmental constraints, merupakan batasan yang dapat

mempengaruhi situasi.

Root definition merupakan pernyataan singkat yang tidak ambigu,

dengan menspesifikasikan owners (O), transformation process (T) dari

sistem yang ingin dicapai oleh actors (A), pemilik world

view/weltanschauung (W) yang menjadikan transformasi sebagai proses

yang berarti, customer (C), dan environmental constraints (E) pada

transformasi sistem, sesuai dengan batasan yang dipilih.

29

4. Mengembangkan model konseptual sistem sesuai dengan definisi, yang

dibangun dengan mendeskripsikan aktivitas-aktivitas yang harus ada

untuk menjalankan target yang dinyatakan dalam root definition.

5. Membandingkan model dengan dunia nyata, yaitu membandingkan

konsep konseptual dengan kenyataan. Dimana model konseptual

dianggap sebagai bentuk ideal yang memberikan inspirasi, bukan sebagai

kritik atau ancaman.

6. Mendefinisikan perubahan yang akan diimplementasikan secara

sistematis, yaitu mendefinisikan dan menyeleksi pilihan-pilihan untuk

mencapai kondisi ideal. Jika diperlukan untuk mengubah sistem yang

berjalan, maka perlu diidentifikasi perubahan yang dapat dilakukan.

7. Mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi problem, yaitu

mendesain program tindakan, dimana outcome dari tahap ini berupa

persetujuan mengenai tindakan yang akan dilakukan. Tahap ini mencakup

implementasi dari perubahan yang diharapkan dan juga perubahan yang

memang selayaknya dilakukan.