bahan thesis

17
TEKNO-EKONOMI MINERAL DAN BATUBARA PELUANG PEMANFAATAN BATUBARA KUALITAS RENDAH UNTUK PLTU MULUT TAMBANG DILIHAT DARI ASPEK EKONOMI DAN KEBIJAKSANAAN BATUBARA NASIONAL Latar Belakang Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup masyarakat dan pembangunan, penggunaan energi listrik secara nasional terus meningkat, yang dip sekitar 10% pertahun. Dengan meningkatnya penggunaan energi listrik tersebut di atas, tentunya berdamp terhadap jumlah kebutuhan bahan bakar untuk berbagai pembangkit listrik tersebut perkembangannya, pemakaian bahan bakar minyak cenderung menurun, namun pemakaian batubara justru sebaliknya, yang memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal ter antara lain disebabkan berkembangnya pembangunan dan pemanfaatan unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, yang mencapai 20,02 juta atau 68,42% dari kebutuhan domestik pada tahun 2002 (Direktorat Pengusahaan Mine Batubara, 2004). Peningkatan pemakaian batubara untuk PLTU disebabkan oleh biaya produksi listrik ekonomis dibanding dengan sumber energi lainnya terlebih dengan bahan bakar miny samping itu potensi batubara di Indonesia cukup besar, yaitu ± 57,8 milyar ton ( 2003). Dari jumlah tersebut ±60% merupakan batubara jenis kualitas rendah. Tujuan Penelitian Tujuannya ingin mengetahui prospek pemanfaatan bahan bakar batubara kualitas ren PLTU mulut tambang di Indonesia. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah men kebijakan pemerintah dalam pengembangan pemanfaatan batubara kualitas rendah seb bahan bakar pada PLTU mulut tambang melalui kebijakan pengusahaan batubara di Indonesia. Metodologi Penelitian Untuk mengetahui peluang pemanfaatan batubara kualitas rendah untuk bahan bakar PLTU mulut tambang, maka metode yang digunakan adalah kajian langsung terhadap k pengusahaan batubara di Indonesia, dengan ruang lingkup kegiatan meliputi : Identifikasi perkembangan energi listrik nasional Identifikasi peranan PLTU berbahan bakar batubara dalam perkembangan energ listrik nasional Identifikasi perkembangan tingkat kebutuhan batubara kualitas rendah sebag bakar pada PLTU nasional. Identifikasi sumber pemasok bahan bakar batubara kualitas rendah. Penentuan standar kebutuhan batubara untuk menghasilkan energi listrik. Kajian terhadap peraturan pemerintah tentang pengusahaan batubara di Indon

Upload: fajargumilang

Post on 21-Jul-2015

158 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEKNO-EKONOMI MINERAL DAN BATUBARA PELUANG PEMANFAATAN BATUBARA KUALITAS RENDAH UNTUK PLTU MULUT TAMBANG DILIHAT DARI ASPEK EKONOMI DAN KEBIJAKSANAAN BATUBARA NASIONAL

Latar Belakang Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup masyarakat dan laju pembangunan, penggunaan energi listrik secara nasional terus meningkat, yang diperkirakan sekitar 10% pertahun. Dengan meningkatnya penggunaan energi listrik tersebut di atas, tentunya berdampak terhadap jumlah kebutuhan bahan bakar untuk berbagai pembangkit listrik tersebut. Dalam perkembangannya, pemakaian bahan bakar minyak cenderung menurun, namun pemakaian batubara justru sebaliknya, yang memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal tersebut antara lain disebabkan berkembangnya pembangunan dan pemanfaatan unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, yang mencapai 20,02 juta ton atau 68,42% dari kebutuhan domestik pada tahun 2002 (Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2004). Peningkatan pemakaian batubara untuk PLTU disebabkan oleh biaya produksi listrik relatif ekonomis dibanding dengan sumber energi lainnya terlebih dengan bahan bakar minyak. Di samping itu potensi batubara di Indonesia cukup besar, yaitu 57,8 milyar ton (DIM,tahun 2003). Dari jumlah tersebut 60% merupakan batubara jenis kualitas rendah. Tujuan Penelitian Tujuannya ingin mengetahui prospek pemanfaatan bahan bakar batubara kualitas rendah pada PLTU mulut tambang di Indonesia. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah mendukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan pemanfaatan batubara kualitas rendah sebagai bahan bakar pada PLTU mulut tambang melalui kebijakan pengusahaan batubara di Indonesia. Metodologi Penelitian Untuk mengetahui peluang pemanfaatan batubara kualitas rendah untuk bahan bakar pada PLTU mulut tambang, maka metode yang digunakan adalah kajian langsung terhadap kondisi pengusahaan batubara di Indonesia, dengan ruang lingkup kegiatan meliputi :

Identifikasi perkembangan energi listrik nasional Identifikasi peranan PLTU berbahan bakar batubara dalam perkembangan energi listrik nasional Identifikasi perkembangan tingkat kebutuhan batubara kualitas rendah sebagai bahan bakar pada PLTU nasional. Identifikasi sumber pemasok bahan bakar batubara kualitas rendah. Penentuan standar kebutuhan batubara untuk menghasilkan energi listrik. Kajian terhadap peraturan pemerintah tentang pengusahaan batubara di Indonesia.

Kajian model insentif untuk pengusahaan dan pemanfaatan batubara kualitas rendah sebagai bahan bakar pada PLTU mulut tambang.

Hasil Dari jumlah energi yang diproduksi PLTU yang ada tercatat 29.312,62 GWh atau 32,83% dari produksi listrik PLN dihasilkan oleh 17 PLTU berbahan bakar batubara yang mempunyai kapasitas terpasang 4.790 MW dan daya mampu 5.910,97 MW. Kondisi tersebut menempatkan PLTU berbahan bakar batubara mempunyai kontribusi tertinggi pada produk listrik PLN, sedangkan peringkat berikutnya berturut-turut ditempati oleh pembangkit listrik berbahan bakar minyak, gas alam, air, dan panas bumi. Sesuai dengan kebijakan energi nasional tahun 2003-2020, yaitu kebijakan energi yang terpadu untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka untuk menarik minat perusahaan tambang untuk mengusahakan batubara kualitas rendah diperlukan suatu insentif, sehingga batubara kualitas rendah dapat bersaing dengan batubara kualitas baik/tinggi di dalam pemanfaatannya. Nilai insentif yang dapat diberikan kepada pola investasi KP adalah dengan menurunkan tarif royalti untuk batubara peringkat rendah, sedangkan untuk pola investasi PKP2B adalah dengan mengurangi nilai bagi hasil. Dari pemikiran tersebut, maka nilai kompensasi dapat diberikan kepada produsen batubara (PKP2B), atau nilai kompensasi diberikan kepada pemakai batubara, dalam hal ini PLTU mulut tambang. Nilai kompensasi yang diberikan kepada perusahaan tambang NBH = P x Q x (13,5% - NK) . . . . . . . . . . (1) Nilai kompensasi yang diberikan kepada PLTU mulut tambang NBH = P x ( Q KL ) x 13,5% . . . . . . . . . . . (2) Dengan : NBH = Nilai Bagi Hasil P = Harga jual batubara Q = Produksi batubara NK = Nilai Kompensasi KL = Kebutuhan batubara untuk listrik (PLTU Mulut Tambang) sebagai nilai kompensasi hulu batubara Kesimpulan Peluang pemanfaatan batubara kualitas rendah untuk PLTU mulut tambang cukup besar dan terbuka, bila melihat peningkatan jumlah kebutuhan energi listrik nasional sebesar 15,53% pertahun, sedangkan jumlah pemasokan energi listrik baru mencapai 3,04% per tahun. Di sisi lain semakin berkurangnya cadangan minyak bumi Indonesia. Oleh karena itu, sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional dan Kebijakan Batubara Nasional, Pemerintah perlu memberikan kebijaksanaan berupa pengurangan tarif royalti untuk KP dan

nilai bagi hasil untuk PKP2B untuk pengusahaan batubara kualitas rendah. (Rochman Saefudin, dkk)

Pemerintah Disarankan Terapkan Tarif Listrik ProgresifIESR Indonesia | Jan 10, 2012 | Comments 1 JAKARTA (IFT) Pemerintah disarankan menerapkan sistem tarif listrik progresif bagi pelanggan rumah tangga untuk menurunkan subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Herman Daniel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional, menjelaskan skema tarif seperti ini sudah diterapkan di sejumlah negara, seperti Thailand, Vietnam, dan Korea Selatan. Dengan menggunakan skema tarif listrik progresif, pelanggan yang memakai listrik lebih banyak atau boros akan dikenakan tarif listrik yang lebih mahal. Herman mencontohkan di Thailand, untuk pelanggan yang mengonsumsi listrik rata-rata 0-150 per kilowatt hour per bulan, tarif listriknya sekitar 1,8 bath per kilowatt hour atau setara Rp 526 per kilowatt hour. Sedangkan untuk konsumsi listrik 151-400 per kilowatt hour per bulan, tarifnya 2,78 bath per kilowatt hour atau setara Rp 812 per kilowatt hour dan untuk konsumsi di atas 400 per

kilowatt hour per bulan, pelanggan membayar 2,98 bath per kilowatt hour atau Rp 871 per kilowatt hour. Kebijakan ini hanya untuk pelanggan rumah tangga, namun mereka tidak dikenakan biaya beban, kata Herman, Kamis. Untuk pelanggan industri, Herman melanjutkan sistem tarif progresif diterapkan agar bisa berkompetisi dengan negara lain. Tarif industri di Indonesia relatif mahal sehingga perlu ditata dengan memperhatikan tingkat kompetitif terhadap negara tetangga, ujar dia. Asumsi Makro Anggaran 2012 sub-sektor ketenagalistrikan memproyeksikan tarif tenaga listrik rata-rata tahun ini sekitar Rp 729 per kilowatt hour, sama seperti tarif dalam Anggaran Perubahan 2011. Besaran tarif ini dengan asumsi tidak ada kenaikan tarif tenaga listrik selama 2012. Apabila memasukkan skenario kenaikan tarif listrik sebesar 10% untuk pelanggan di luar 450 volt ampere sebesar 10% mulai 1 April 2012, tarif tenaga listrik diproyeksikan Rp 796 per kilowatt hour. Sedangkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun ini diproyeksikan turun menjadi Rp 947 per kilowatt hour dibandingkan Anggaran 2011 sebesar Rp 920 per kilowatt hour dan Anggaran Perubahan 2011 sebesar Rp 1.060 per kilowatt hour. Total biaya penyediaan tenaga listrik tahun ini, dengan asumsi tarif tenaga listrik tetap maupun naik 10% per 1 April, sebesar Rp 164,5 triliun. Proyeksi penyediaan tenaga listrik tahun ini turun tipis dibanding proyeksi dalam Anggaran Perubahan 2011 sebesar Rp 166,8 triliun.

Perlu Kajian Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mendukung usulan penerapan tarif listrik progresif. Namun sebelum kebijakan tersebut

diterapkan, pemerintah dan PT PLN (Persero) perlu mengkaji berapa rata-rata volume konsumsi listrik yang ideal untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Misalnya sekitar 60 kilowatt hour per bulan itu tarif listriknya masih disubsidi. Jika konsumsi di atas 60 per kilowatt hour, itu bisa saja langsung dikenakan tarif keekonomian, ujarnya. Namun untuk besaran tarif keekonomian harus direvisi setiap tahun, menurut Fabby, dapat disesuaikan dengan rata-rata biaya pokok produksi listrik PLN. Dalam perhitungan tarif listrik keekonomian, lanjut Fabby, komponen biaya investasi PLN juga dimasukkan agar perseroan dapat membangun infrastruktur kelistrikan untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi listrik di masyarakat. Penerapan sistem tarif progresif ini sebaiknya hanya diterapkan pada pelanggan rumah tangga karena saat ini pelanggan rumah tangga merupakan pengguna 75% dana subsidi listrik. Kalau pelanggan industri tidak perlu dikenakan. Khusus industri, mereka dikenakan tarif yang flat (tetap), ujar dia. Menurut Fabby, penerapan kebijakan ini dapat membantu pemerintah menurunkan subsidi listrik di Anggaran serta dia berharap dapat mengubah perilaku konsumsi listrik pada masyarakat. Namun, perubahan perilaku ini bergantung pada kemampuan bayar dari pelanggan. Jika pelanggan sanggup membayar tarif keekonomian maka tidak ada perubahan perilaku secara drastis. Kalau peningkatan biayanya terlalu tinggi, saya yakin akan ada pengurangan konsumsi, katanya. Murtaqi Syamsuddin, Direktur Perencanaan dan Manajemen Bisnis PLN, saat dikonfirmasi mengatakan penerapan sistem tarif progesif dapat membuat penyaluran subsidi listrik menjadi lebih tepat sasaran. Dengan tarif yang ada sekarang, sebenarnya alokasi subsidi listrik masih belum tepat sasaran. Falsafah subsidi itu seharusnya hanya untuk pelanggan yang kurang mampu, namun sampai sekarang banyak pelanggan mampu yang masih menikmati subsidi, kata dia. Menurut Murtaqi, penentuan skema tarif listrik bukan wewenang PLN sehingga perseroan melaksanakan apapun kebijakan pemerintah terkait hal tersebut. Kalau pemerintah akan menerapkan kebijakan tarif progresif, PLN siap melakukan exercises mengenai dampak dan mekanisme penerapannya, ujar dia. Satya W Yudha, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan penerapan sistem tarif progresif dapat membuat pelanggan listrik lebih mengatur pemakaian listrik. Juga dapat membuat pemberian subsidi listrik menjadi lebih tepat sasaran. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini, menurut Satya, pemerintah dan PLN perlu menyederhanakan sistem penggolongan tarif listrik. Saat ini ada 21 klasifikasi tarif dan itu dia nilai terlalu banyak. Kami belum bisa memberikan dukungan politik terhadap penerapan kebijakan ini sebelum pemerintah mengusulkannya ke Dewan, kata dia. Sumber : IFT Popularity: 2% [?]

Tarif Dasar Listrik 2000 Komitmen Pemerintah untuk tetap memberikan pasokan tenaga listrik bagi masyarakat ditunjukkan dengan tetap menganggarkan subsidi listrik sebesar Rp. 3,9 triliun pada RAPBN 2000. Di lain pihak, krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997 sangat mempengaruhi kinerja keuangan PT PLN.

Lemahnya kinerja keuangan PT PLN ini antara lain disebabkan oleh penurunan permintaan pelanggan yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan, dan kenaikan kurs valuta asing yang mengakibatkan meningkatnya biaya operasi, biaya bunga dan cicilan hutang. Untuk memperbaiki kinerja keuangan PLN ini, telah dilaksanakan program peningkatan efisiensi internal PLN, efisiensi pembelian bahan bakar dan program renegosiasi listrik swasta. Sedangkan untuk memperbaiki sisi pendapatan PLN, selain menyediakan subsidi listrik yang dibatasi oleh kemampuan anggaran Pemerintah, Pemerintah juga mempertimbangkan untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kenaikan Tarif Dasar Listrik ini diperlukan karena biaya produksi listrik per kWh PLN jauh lebih tinggi dari harga jual listrik per kWh. Kenaikan TDL secara sederhana dimaksudkan untuk menjaga agar PLN tetap dapat beroperasi melayani pelanggan dan agar PLN mempunyai dana kas cukup untuk operasional. Dalam melakukan kajian dan perhitungan kenaikan TDL, PLN beserta Pemerintah tidak memasukkan perhitungan pembelian listrik swasta sistem Jawa-Bali dan kewajiban membayar sebagian hutang lainnya. Usulan tarif listrik baru ini selanjutnya disebut Tarif Dasar Listrik 2000 (TDL 2000), dan diharapkan dapat diberlakukan mulai April 2000. Penentuan waktu pelaksaan TDL 2000 dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada bulan April 2000 telah diperoleh angka-angka pasti APBN 2000. Dasar Hukum TDL 2000UU Kelistrikan No. 15 Tahun 1985 pasal 16 menyatakan bahwa, Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik (tarif listrik). Selanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 pasal 32 menyebutkan bahwa harga jual tenaga listrik ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. Dalam mengusulkan harga jual listrik ini, Menteri harus memperhatikan : Kepentingan rakyat dan kemampuan dari masyarakat; Kaidah industri dan niaga yang sehat; Biaya produksi; Efesiensi pengusahaan; Kelangkaan sumber energi primer; Skala pengusahaan dan sistem interkoneksi; dan Tersedianya sumber dana untuk investasi. Secara operasional, hal-hal tersebut di atas dapat diterjemahkan dalam beberapa kriteria untuk penetapan tarif listrik yaitu : besar penyesuaian tarif listrik tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat; tarif listrik yang ditetapkan memberikan signal yang tepat tentang nilai keekonomiannya dan tingkat efisiensi yang ingin dicapai; penetapan golongan tarif tidak menyebabkan adanya distorsi; penetapan tarif dapat memberikan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif untuk kegiatan konsumtif; dan memperhatikan asas keadilan. Keppres Nomor 67 Tahun 1994 tentang Harga Jual Tenaga Listrik PT PLN, pelanggan dibagi menjadi 24 golongan tarif dengan struktur sebagai berikut: Badan Sosial (5 golongan tarif); Rumah Tangga (4 golongan tarif); Usaha (4 golongan tarif); Hotel (3 golongan tarif); Industri (5 golongan tarif); Gedung/Kantor Pemerintah (2 golongan tarif); dan Penerangan Jalan Umum (1 golongan tarif). Selanjutnya, Keppres Nomor 68 Tahun 1994 tentang Penetapan Harga Jual Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), ditentukan bahwa harga jual tenaga listrik terdiri dari : Tarif Dasar Listrik (TDL) yang ditetapkan oleh Presiden, dan Tarif Tenaga Listrik Berkala (TTLB) yang ditetapkan oleh Menteri. TTLB bertujuan untuk mempertahankan agar

nilai riil TDL tetap sama selang waktu dua penyesuaian TDL. Besarnya TTLB ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi setiap 3 bulan, apabila terjadi perubahan terhadap harga bahan bakar, harga pembelian tenaga listrik oleh PKUK (PLN), tingkat inflasi, dan nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah

Pada tahun 1998, pemerintah menetapkan harga jual listrik baru berdasarkan pada Keppres Nomor 70 Tahun 1998 tentang Harga Jual Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PLN. TDL 1998 ini lebih sederhana yaitu terdiri dari 17 golongan tarif: Badan Sosial (3 golongan tarif); Rumah Tangga (3 golongan tarif); Bisnis (4 golongan tarif); Industri (4 golongan tarif); dan Gedung/Kantor Pemerintah (3 golongan tarif). Pada pembentukan TDL 1998, Pemerintah berencana untuk melaksanakan tiga tahap kenaikan tarif terhadap TDL 1994: Tahap I naik 20% mulai 5 Mei s/d 31 Juli 1998; Tahap II naik 20% mulai 1 Agustus s/d 31 Oktober 998; Tahap III naik 20% mulai 1 November 1998. Namun demikian, menimbang situasi sosial, politik, dan ekonomi yang masih belum menentu, Pemerintah melakukan perubahan melalui Keppres Nomor 79 Tahun 1998 tentang Perubahan Harga Jual Tenaga Listrik Yang Disediakan PLN, Pemerintah mengubah tingkat kenaikan tarif dari 20% menjadi 18%. Lebih jauh, pada Keppres Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penundaan Harga Jual Tenaga Listrik Yang Disediakan PLN, Pemerintah menunda pemberlakuan TDL 1998 kecuali untuk tarif Rumah Tangga Besar (R-3). TDL 2000 diharapkan dapat diberlakukan mulai April 2000 dan diatur dengan Surat Keputusan Presiden tentang Harga Jual Listrik yang baru. Mekanisme Usulan Tarif Dasar Listrik 2000 Untuk mencapai kesepakatan menyeluruh dengan berbagai pihak terkait, dalam penyusunan TDL 2000, Pemerintah berkoordinasi dengan PLN, DPR, dan konsumen. Dalam pengembangannya usulan Tarif Dasar Listrik 2000 telah mengalami berbagai perbaikan untuk mengakomodasikan hasil diskusi dan saran yang diberikan oleh pihak-pihak terkait. Pihak Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, khususnya Direktorat Jendral Listrik dan Pengembangan Energi (DJLPE), sedangkan untuk mendapatkan aspirasi masyarakat, dibentuklah sebuah Tim Kecil Kelompok Kerja Partisipasi yang terdiri dari unsur-unsur LSM, lembaga konsumen, perguruan tinggi, PLN, dan DJLPE. Tim Kecil ini kemudian memberikan saran-saran kepada Pemerintah dan PLN, dan juga melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan DPR Komisi VIII. Secara resmi pihak Pemerintah beserta PLN juga melaksanakan Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI, yang hasil dan sarannya antara lain menjadi bahan pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan TDL 2000. Tahap-tahap akhir penyusunan TDL dilakukan dengan penerbitan Keputusan Presiden tentang Harga Jual Listrik 2000, dengan petunjuk pelaksanaan diatur dalam Keputusan Menteri. Direksi PLN, dengan disetujui DJLPE, selanjutnya akan mengeluarkan Keputusan Direksi untuk mulai menerapkan Tarif Dasar Listrik 2000 yang baru. Pola Perhitungan Tarif ListrikProses perhitungan TDL 2000, mengacu pada kaidah umum industri kelistrikan, dimulai dengan menghitung Allowable Cost PLN untuk menentukan biaya-biaya yang efisien dan wajar dalam penetapan harga jual listrik kepada pelanggan. Allowable Cost adalah biaya-biaya langsung dan tidak langsung yang disepakati sebagai unsur utama dalam proses produksi penyediaan tenaga listrik yang secara wajar dan adil dibebankan kepada pelanggan. Konsep Allowable Cost ini hanya digunakan untuk perhitungan harga jual tenaga listrik, dan bukan merupakan gambaran dari hasil usaha PLN

sebagaimana umumnya tercermin dalam Laporan Laba/Rugi perusahaan. Dengan menggunakan konsep Allowable Cost sebagai dasar perhitungan tarif listrik, maka para pelanggan hanya akan membayar/menanggung biaya-biaya yang berkaitan dengan proses produksi listrik yang dikonsumsinya, mereka tidak harus turut menanggung biaya-biaya PLN yang tidak produktif. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh bahwa allowable cost PLN untuk tahun 2000 sebesar Rp. 27,439 triliun. Disisi lain, harus dihitung juga Revenue Requirement PLN. Revenue Requirement adalah total pendapatan yang dibutuhkan oleh PLN untuk dapat menutupi semua pengeluaran dan agar PLN dapat memperoleh rate of return yang wajar dari investasi usahanya. Namun prioritas TDL 2000 bukanlah agar PLN dapat menutup semua pengeluarannya, apalagi memperoleh keuntungan. Oleh karena itu Revenue Requirement tidak mendasari pertimbangan pembentukan TDL 2000. Revenue Requirment tetap dihitung untuk memperoleh gambaran atau prediksi rugi laba PLN untuk tahun bahasan.

Merujuk kepada uraian kebijakan TDL 2000, pemerintah akan mensubsidi listrik sebesar Rp. 3,9 triliun, untuk alokasi kenaikan tarif listrik menurut golongan pelanggan. Alokasi kenaikan tarif listrik ini diusahakan sedemikan rupa sehingga perbandingan harga jual listrik terhadap allowable cost/unit kWh mendekati satu. Tentu saja dalam menyesuaikan tarif listrik yang baru ini Pemerintah juga mempertimbangkan aspirasi pelanggan kecil. Faktor-faktor Penyusunan TDL 2000Penyusunan tarif dasar listrik baru selalu menjadi isu politik dan mengundang polemik dari pemerhati ekonomi dan sosial. Tuntutan masyarakat berpendapatan rendah dan pengusaha kecil untuk memperoleh keadilan dan lingkungan usaha yang kondusif seringkali berbenturan dengan kepentingan PLN untuk mengurangi kerugian dan untuk paling tidak menjaga kelancaran arus kas. Keinginan pemerintah adalah bahwa tarif dasar listrik yang baru ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan pelanggan. Untuk itu, tarif dasar listrik yang baru ini disusun dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: TDL 2000 harus bersifat sederhana dan mudah dikomunikasikan dengan masyarakat; Penyusunan TDL 2000 harus melibatkan masyarakat luas (LSM, YLKI, dan DPR); Adanya insentif bagi pengguna listrik untuk kegiatan produktif, dan disinsentif bagi pengguna listrik untuk kegiatan yang konsumtif; Mendorong upaya penghematan pemakaian listrik; Mendorong usaha kecil (membantu korban PHK, pemberdayaan ekonomi rakyat) melalui tarif yang relatif rendah untuk bisnis kecil dan industri kecil; Dapat mengakomodasikan kepentingan usaha yang bersifat musiman, pembelian listrik secara grosir, pembelian listrik secara sementara, dan jual beli timbalbalik; Adanya unsur flexibilitas seperti dimungkinkannya cuti daya bagi industri besar yang sedang mengalami penurunan kapasitas, pengenaan tarif flat untuk industri tertentu (orientasi ekspor); Mendorong agar PLN lebih meningkatkan pemasaran, maka biaya beban dan biaya pemasangan dalam TDL 2000 diserahkan pada PLN, sedangkan Pemerintah hanya menetapkan patokan harga tertinggi.

Alokasi Kenaikan Tarif pada TDL 2000 Pada TDL 2000, hampir semua golongan tarif diupayakan secara bertahap menutup biaya produksi (mendekati harga pokok produksi atau rasio tarif rata-rata terhadap harga pokok produksi mendekati 1). Karena itu, pada prinsipnya, tarif dinaikkan untuk semua golongan pelanggan, kecuali pada golongan pelanggan :

Badan Sosial dengan tegangan sampai dengan 900 VA Rumah Tangga dengan tegangan 900 VA; Bisnis dengan tegangan 900 VA; Industri dengan tegangan 900 VA.

Usulan kenaikan tarif pada TDL 2000 hanya diberlakukan untuk biaya pemakaian kWh, sedangkan biaya beban tidak dinaikkan (tetap sama dengan TDL 1998). Sementara itu kenaikan biaya pemakaian untuk tiap golongan tarif bervariasi dengan mempertimbangkan : Jenis tegangan yang tersambung (TR, TM, TT), sehingga prinsip keadilan tetap dipertahankan; Kemampuan bayar pelanggan, dimana tarif rata-rata untuk tiap golongan lebih rendah dari kemampuan bayar pelanggan; Penyesuaian sistem blok tarif dan faktor pembebanan yang optimal untuk mendorong effisiensi pemanfaatan listrik; Penyediaan pelayanan yang mempunyai nilai tambah untuk pelanggan seperti cuti daya dan tarif khusus untuk waktu penggunaan tertentu.

Kebijakan TDL 2000 Kebijakan Tarif Dasar Listrik 2000 ditetapkan dengan melakukan kajian-kajian secara mendalam tentang sistem tarif dasar listrik dan memperhatikan masukan-masukan dari DPR pada Rapat Kerja tanggal 5 Januari 2000, serta memperhatikan pula APBN 2000. Kebijakan yang mendasari penyusunan tarif baru ini adalah sebagai berikut: Kenaikan tarif listrik berkaitan langsung dengan penggunaan listrik, sehingga tidak terdapat kenaikan biaya beban pada semua jenis golongan tarif, kecuali golongan Rumah Tangga R-1 900 VA dan Badan Sosial S-2 900 VA. Untuk golongan tarif yang lain tetap menggunakan TDL 1998 tahap I kecuali golongan Rumah Tangga dan Badan Sosial s/d daya tersambung 900 VA menggunakan TDL 1994 dan golongan R3 menggunakan TDL 1998 tahap III. Pelanggan kecil (untuk setiap jenis golongan pelanggan dengan daya terpasang sampai dengan 450 VA) untuk segala macam penggunaan tidak mengalami kenaikan tarif listrik. Dengan rincian: Untuk golongan Rumah Tangga dan Badan Sosial menggunakan TDL 1994 dengan TTLB 15% dan untuk golongan Industri dan Bisnis menggunakan TDL 1998 tahap I Mempertahankan keberadaan golongan tarif badan sosial (S1, S2, dan S3). Ditambahkannya golongan tarif baru, untuk lebih mencerminkan keadilan dan kewajaran. Golongan pelanggan yang menikmati subsidi, golongan tarifnya akan dipisahkan tersendiri. Untuk mendorong penggunaan yang lebih hemat oleh pelanggan, maka dibentuk sistem blokblok tarif sehingga pelanggan yang berhemat akan membayar tarif yang lebih murah. Mempersiapkan upaya-upaya membangun pengertian dan pemahaman masyarakat tentang TDL 2000, baik melalui media cetak, elektronik, dan pooling, yang akan dilaksanakan pada bulan Maret 2000. Menentukan tingkat subsidi listrik yang tepat dan wajar dengan Departement teknis lainnya (Keuangan, Perhubungan, dan Perindustrian). Bahwa dengan tingkat subsidi sebesar Rp. 3,9 triliun (APBN 2000) selama 9 bulan dari April sampai dengan Desember, kenaikan tarif yang direncanakan dengan TDL 2000 ini belum

membuat PT PLN (Persero) mampu mencapai Break Even Point. Disadari bahwa kenaikan tarif ini pada dasarnya sekedar agar PLN dapat mempertahankan cash flow sehingga tetap mampu beroperasi melakukan penyediaan tenaga listrik. Kenaikan maksimum pendapatan PLN secara rata-rata tertimbang adalah 35%. Tarif rata-rata untuk tiap golongan lebih rendah dari kemampuan bayar (affordable tariff) Pada golongan tarif yang sama, golongan pelanggan dengan daya tersambung yang lebih besar akan mengalami kenaikan tarif sedemikian sehingga rasio tarif terhadap Harga Pokok Produksi (HPP) PLN mendekati satu atau sama dengan satu. Dalam menghitung HPP, didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut: Tidak memasukkan biaya pembelian listrik dari IPP bermasalah; Kewajiban terhadap pemerintah (cicilan dan bunga) tetap dibayarkan secara penuh; Kas PLN tidak mengalami defisit dan posisi kas pada akhir tahun 2000 diharapkan sejumlah Rp. 1,2 triliun; Komposisi perkiraan penjualan per golongan tarif sesuai dengan Rencana Kerja dan Aanggaran Perusahaan PLN tahun 2000; Upaya efisiensi PLN perlu ditunjukkan nilainya. Subtansi pengaturan tarif adalah: Keppres: Mengatur golongan tarif, struktur dan besaran, hal-hal yang perlu penjabaran lebih lanjut, dan pemberian kewenangan; Kepmen: kewenangan, penjabaran, dan operasional pengawasan; dan Kepdirjen: Penjabaran operasional, pedoman, dan sistem pengawasan. Perbandingan Usulan TDL 2000 dengan TDL 1998 Jumlah dan sistem pengolongan pelanggan TDL 2000 tetap sama dengan TDL 1998, demikian juga dengan biaya beban untuk semua golongan pelanggan yang dipertahankan tetap kecuali golongan Rumah Tangga R-1 900 VA dan Badan Sosial S-2 900 VA yang masing-masing mengalami kenaikan 48,81% dan 24,38%. Biaya pemakaian untuk golongan pelanggan dengan daya terpasang 450 VA juga tidak berubah dari TDL 1998, kecuali untuk golongan Pemerintah P-1 450 VA mengalami kenaikan sebesar 20,58%. Untuk golongan pelanggan Badan Sosial (S-2 diatas 450 VA) dan Rumah Tangga (R-1 diatas 450 VA), biaya pemakaiannya tetap menggunakan sistem blok tarif yang progresif, namun berubah dari 2 blok tarif menjadi 3 blok tarif. Biaya pemakaian untuk blok pertama dan blok kedua pada TDL 2000 menjadi lebih murah, tetapi diterapkan blok baru (blok ketiga, yaitu untuk pemakaian diatas 60 kWh) yang lebih mahal dari 2 blok pertama. Untuk golongan pelanggan Badan Usaha (B-1, B-2) dan Industri (I-1), sistem tarif dengan 2 blok diskon tetap dipertahankan, namun biaya pemakaian untuk tiap blok mengalami kenaikan. Penerapan sistem tarif dengan blok diskon tetap dipertahankan untuk memberikan insentif bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif. Untuk golongan pelanggan Sosial S-3, Badan Usaha B-4, Industri I-2 dan I-3, dan Pemerintah P-2, sistem tarif dengan diskriminasi waktu pemakaian tetap dipertahankan, yaitu biaya pemakaian pada Waktu Beban Punack (WBP) yang lebih mahal dari biaya pemakaian pada Luar Waktu Beban Puncak (LWBP). Dibanding TDL 1998, biaya WBP dan LWBP pada TDL 2000 mengalami kenaikan.

Sedangkan untuk golongan lainnya, seperti Rumah Tangga R-2 dan R-3, Badan Usaha B-4, Industri I-4, dan Pemerintah (kecuali P-2) sistem tarif yang digunakan tetap flat, namun mengalami kenaikan. Dampak Kenaikan TDL 2000 Berikut ini adalah hasil analisis dampak perubahan tarif listrik terhadap kegiatan ekonomi berdasarkan model Computable General Equilibrium (CGE), salah satu metodologi yang digunakan untuk analisis dampak secara menyeluruh karena adanya suatu perubahan kebijakan misalnya perubahan tarif. Model CGE ini menggunakan data Input-Output dari BPS. Kenaikan tarif listrik PLN mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Setiap 1 % kenaikan tarif listrik PLN menyebabkan GDP riil turun sebesar 0.002 % pada kondisi short run, dan turun sebesar 0.04 % pada kondisi long-run. Untuk setiap 1 % kenaikan tarif listrik akan menyebabkan total investasi riil akan turun sebesar 0.01 % pada kondisi short-run dan turun sebesar 0.03 % pada kondisi long-run. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif listrik tidak membawa dampak yang cukup signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi short-run, kenaikan tarif listrik pengaruhnya relatif kecil (0.004%) terhadap penurunan penggunaan tenaga kerja karena pada kondisi ini penggunaan kapital dan tenaga kerja relatif saling melengkapi (komplemen). Pada kondisi long-run, setiap 1 % kenaikan tarif listrik mengakibatkan penurunan penggunaan tenaga kerja sebesar 0.065 % (angka ini juga relatif kecil dan tidak signifikan). Pada kondisi short-run, analisa komparatif statis dari model CGE menunjukkan bahwa pada sektor industri kenaikan 1 % tarif listrik PLN menyebabkan harga input utama (primary input prices) naik antara 0.001 % s/d 0.06 % dan menurunnya kegiatan produksi yang diindikasikan oleh penurunan penggunaan tenaga kerja antara 0.001 s/d 0.03 % dan penurunan ekspor 0.001 % s/d 0.08 %. Pada sektor komersial (perdagangan, hotel dan restoran), dampak kenaikan 1 % tarif listrik PLN menyebabkan kenaikan harga input utama 0.01 % untuk sub sektor perdagangan dan 0.09 % untuk sub sektor hotel dan restoran. Pada sektor industri, kesimpulan analisa berdasarkan metoda CGE sejalan dengan kesimpulan analisa berdasarkan perhitungan kontribusi kenaikan tarif listrik terhadap kenaikan biaya produksi yaitu sekitar rata-rata 0.066 % untuk setiap 1 % kenaikan tarif listrik. Pada kondisi long-run, kesimpulan yang diperoleh tentang dampak kenaikan tarif listrik tidak jauh berbeda dari kesimpulan yang diperoleh pada kondisi short-run. Dari paparan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan tarif listrik dampaknya relatif baik terhadap kinerja sektor industri dan komersial, maupun terhadap kinerja perekonomian secara nasional. Dengan menggunakan data BPS yaitu Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 1993 dan 1996, Potensi Desa tahun 1990 dan 1993, Data Outside Java Load Characteristics Survey (PT. Hagler Bailly Indonesia), dan dengan menerapkan teknik Tobit Maximum Likelihood diperoleh gambaran bahwa :

estimasi elastisitas permintaan harga listrik bertanda negatif dan tidak elastik (besaran dalam nilai absolut lebih kecil dari satu) yang berarti bahwa kenaikan tarif listrik (ceteris paribus) dapat menurunkan jumlah kWh yang dikonsumsi, tetapi dengan besar penurunan lebih kecil dibanding persentase kenaikannya; dan estimasi kehilangan atau penurunan konsumen surplus yaitu jumlah Rupiah yang harus konsumen tambahkan untuk mengkonsumsi pada tingkat yang sama sebagai akibat dari

naiknya harga. Kesimpulannya adalah bahwa untuk kelompok rumah tangga berpendapatan rendah tidak sensitif terhadap perubahan tarif listrik. Ketidaksensitifan kelompok ini diduga karena tidak ada lagi ruang gerak untuk melakukan penghematan atau penurunan konsumsi. Oleh karena itu, adanya kenaikan tarif ada kemungkinan akan dirasakan oleh kelompok rumah tangga berpendapatan rendah ini. Kenaikan tarif listrik di atas 60 % menyebabkan tingkat konsumsi (kWh/bulan) dari kelompok berpendapatan rendah turun sampai dibawah 20 kWh/bulan. Jumlah ini dirasa terlalu rendah karena jumlah konsumsi kurang dari 1 kWh/hari.

(Sumber: Laporan Akhir Pengkajian Tekno Ekonomi Ketenagalistrikan Bidang Harga Jual Tenagalistrik, Proyek Induk Sarana Pengujian dan Penunjang Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, Jakarta) Keekonomian Listrik dan Konservasi Energi Saturday, 02 April 2011

Tarif dasar listrik (TDL) yang selama ini digunakan adalah TDL yang berlaku sejak 2003. Sejak itu, tidak ada kenaikan lagi sampai TDL dalam Perpres No 8/2011 diluncurkan. TDL dalam Perpres itu pun sama dengan TDL tahun 2003,terdiri dari pelanggan rumah tangga, sosial, bisnis, industri, pemerintah, keperluan traksi, curah dan khusus. TDL untuk pengguna 450 VA dan 900 VA tidak berubah. Perubahan baru terlihat untuk pelanggan di atas 1300 VA dan besarannya sangat bervariasi. Di negara maju seperti Jerman, sejak liberalisasi pasar energi tahun 1998,TDL sektor rumah tangga terdiri dari 60% biaya pokok produksi listrik dan 40% pajak. Sebesar 40% pajak itu sendiri merupakan pajak penghasilan dan belanja, pajak lingkungan, subsidi untuk energi terbarukan dan combined heat and power (CHP), serta pembangunan jalan. Adapun di Indonesia,TDL masih lebih rendah dari biaya pokok produksi listrik sehingga pemerintah masih perlu memberikan subsidi untuk menutupi biaya pokok produksi listrik. Sumber energi primer produksi listrik di Indonesia sangat bervariasi sehingga menghasilkan biaya pokok produksi listrik yang beragam pula. Indonesia saat ini memiliki kurang lebih 5.200-an unit pembangkit. Dari jumlah itu,22% di antaranya menggunakan gas alam, 6070% menggunakan batu bara,

dan sisanya menggunakan air, panas bumi, dan minyak bumi.Biaya pokok produksi listriknya (BPP) didasarkan pada peraturan menteri yang menyebutkan bahwa BPP listrik dibagi dalam 13 sistem wilayah dan 21 subsistem. Untuk BPP sistem Jawa- Madura-Bali bagi tegangan menengah (TM) bervariasi antara Rp849 hingga Rp859 per kwh, tergantung wilayahnya, dan tegangan rendah (TR) Rp1.0111.030 per kwh. BPP listrik paling murah ada di Sumatera bagian selatan-Sumatera Barat-Riau untuk tegangan tinggi (TT) Rp565 per kwh, TM Rp6671.164 per kwh dan TR Rp8601.433 per kwh. Sementara BPP listrik termahal ada di sistem Kalimantan Barat, yakni Rp2.312 per kwh untuk TT, Rp2.546 per kwh untuk TM,dan Rp3.143 per kwh untuk TR. Subsidi pemerintah untuk menutupi kekurangan biaya pokok produksi listrik tahun 2009 kurang lebih sebesar Rp4,6 triliun. Subsidi ini harus dibayarkan pemerintah ke PT Perusahaan Listrik Negara (persero) pada 2011.Bila saja tidak ada subsidi dan keekonomian listrik di Indonesia sudah tercapai,kekurangan subsidi yang seharusnya dibayarkan untuk menutupi biaya produksi tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan kebutuhan investasi pembangunan pembangkit listrik baru. Sebagai perbandingan, jumlah itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan investasi PLTU 2x100 megawatt (MW) di Kawasan Industri Tenayan,Pekanbaru, yang memakan biaya Rp2 triliun atau membayar hampir sepertiga kebutuhan investasi PLTU 2x600 MW Mulut Tambang Muara Enim 2x600MW yang diperkirakan mencapai Rp 16,6 triliun. Konsumen dan Keekonomian Listrik Kapasitas tenaga listrik terpasang saat ini 29.750 MW meliputi pembangkit milik PLN 24.925 MW (83,91%), pembangkit terintegrasi 796 MW (2,68%),dan pembangkit swasta 3.984 MW (13,41%).Konsumen listrik terbesar adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Tangerang, dan Banten yang mencapai kurang lebih 52% dari pasokan listrik nasional. Di sisi lain, pertumbuhan pelanggan PLN rata-rata di Jawa-Madura-Bali (Jamali) terus meningkat 10% per tahun. Di luar Jamali, pertumbuhan konsumen mencapai 15% per tahun. Khusus di Jakarta, pertumbuhan alami mencapai 12,5% per tahun. Dengan rasio elektrifikasi saat ini yang hanya 55% (kurang lebih 19 juta rumah tangga belum terjangkau listrik) penyediaan listrik dan tarif listrik yang sesuai keekonomian menjadi penting untuk pembangunan jangka panjang. Untuk mengejar kekurangan rasio elektrifikasi dan jaminan ketersediaan listrik di masa mendatang, PLN telah mencanangkan proyek 10.000 MW tahap kesatu dan 10.000 MW tahap kedua dari dana pinjaman. Proyek 10.000 MW kesatu ini menargetkan mampu menyelesaikan pembangunan pembangkit sebanyak 4.300 MW (tersebar di 5 lokasi di Jawa dan 12 lokasi di luar Jawa) pada 2012. Adapun proyek 10.000 MW tahap kedua berada di 78 lokasi dengan total daya 9.706 MW (5.685 MW di Pulau Jawa dan 4.021 MW di luar Jawa).Namun, berbeda dengan tahap kesatu yang seluruhnya PLTU berbahan bakar batu bara, proyek 10.000 MW tahap kedua PLTU berbahanbakarbatubarahanya sebesar 4.196 MW, sisanya berasal dari pembangkit berbahan bakar panas bumi 2.896 MW,gas 1.440 MW,dan air 1.174 MW. Dengan diversifikasi bahan bakarinidiharapkanpenurunan BPP listrik akan lebih signifikan

karena ketergantungan akan bahan bakar fosil yang selama ini menempati porsi 70% pembiayaan akan berkurang dan subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah tidak terlalu tinggi. Selain itu, diversifikasi juga akan mengurangi emisi karbon yang disebabkan operasi PLTU berbahan bakar batu bara Pentingnya Konservasi Energi Karena upaya menekan subsidi melalui kenaikan keekonomian listrik urung dilakukan, perlu upaya-upaya untuk konservasi energi listrik di wilayah-wilayah yang permintaan listriknya tinggi. Salah satunya penghematan listrik di lingkungan rumah tangga, perkantoran dan industri dengan memaksimalkan pencahayaan alami, sistem sirkulasi udara yang baik, serta ruang terbuka hijau. Di sektor bangunan gedung, konservasi energi pada sisi pem a n f a a t a n s aya n g nya menjadi tidak terlalu menarik bila nilai subsidi listrik masih sangat tinggi karena nilai keekonomian yang didapat tidak terlalu signifikan.Menurut skyscraperpage, di Jakarta ada kurang lebih 159 gedung highrise(gedung dengan tinggi minimal 35 meter dan jumlah lantai minimal 12 lantai). Bisa dibayangkan, bila konservasi energi di bangunan gedung menjadi tantangan program lingkungan bagi pemilik atau pengelola gedung. Rata-rata konsumsi energi listrik gedung highrise sebesar 240 kwh/m2 dengan rata-rata luas bangunan 2.500 m2.Apabila dilakukan penghematan 20% dalam setahun saja,emisi karbon yang bisa ditekan untuk keseluruhan 159 bangunan gedung highrise di Jakarta kurang lebih sama dengan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan oleh PLTU berbahan bakar batu bara 2 MW yang bekerja selama setahun lamanya. Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh,Pennsylvania, September 2009,pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 26% dari level business as usual pada 2020. Dengan minimnya program konservasi energi, apakah komitmen itu masih bisa dicapai? ANKY PADMADINATA Peneliti BPPT, Green Building Council Indonesia, MSc dari Fachhuchschulen Aachen University, Jerman

Peraturan Ketenagalistrikan 2011Law Librarian's Notes Tagged electricity regulation in Indonesia, Investing in Power Sector in Indonesia, peraturan listrik, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang nomor 30 tahun 2009 April 13th, 2011

Kumpulan Peraturan Ketenagalistrikan 2011 merupakan kumpulan peraturan yang saya persiapkan untuk koleksi perpustakaan. Hampir seluruh peraturan yang saya tampilkan di bawah, saya tautkan dengan koleksi peraturan yang terdapat dalam website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kumpulan peraturan ini terdiri dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Peraturan Menteri Perindutrian. Dengan mempertimbangkan kapasitas penjilidan, Ketentuan ketenagalistrikan yang diatur melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tidak termasuk dalam kumpulan ini. Berbagai ketentuan yang mengatur tentang kompetensi dasar dalam bidang ketenagalistrikan termasuk kelompok peraturan yang dikecualikan. ____________________ Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah1. Undang Undang Nomor 30 tahun 2009 | Tentang Ketenagalistrikan 2. Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 1995 | Tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik 3. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1989 | Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. 4. Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2005 |Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Tenaga Listrik 5. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2006 | Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Tenaga Listrik

Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden1. Peraturan Presiden RI No.9 Tahun 2011 | Tentang Penugasan Kepada Pusat Investasi Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman dengan Persyaratan Lunak Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2. Peraturan Presiden RI No.8 Tahun 2011 | Tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara

3. Peraturan Presiden RI No.6 Tahun 2010 | Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2006 Tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 4. Peraturan Presiden RI No.4 Tahun 2010 | Tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara Dan Gas 5. Peraturan Presiden RI No.59 Tahun 2009 | Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 Tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara 6. Peraturan Presiden RI No.77 Tahun 2008 | Tentang Pengesahan Memorandum Of Understanding On The ASEAN Power Grid (Memorandum Saling Pengertian Mengenai Jaringan Tenaga Listrik ASEAN) 7. Peraturan Presiden RI No.91 Tahun 2007 | Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 Tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara 8. Peraturan Presiden RI No.86 Tahun 2006 | Tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Yang Menggunakan Batubara 9. Peraturan Presiden RI No.72 Tahun 2006 | Tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10. Peraturan Presiden RI No.71 Tahun 2006 | Tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara 11. Keputusan Presiden RI No.104 Tahun 2003 | Harga jual tenaga listrik tahun 2004 yang disediakan oleh perusahaan perseroan (persero) PT Perusahaan Listrik Negara

Peraturan Menteri ESDM 2010 - 20111. Peraturan Menteri ESDM No.9 Tahun 2011 | Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara 2. Peraturan Menteri ESDM No.2 Tahun 2011 | Tentang Penugasan Kepada PT PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Pembelian Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi 3. Peraturan Menteri ESDM No.15 Tahun 2010 | Tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Baru Terbarukkan, Batubara Dan Gas Serta Transmisi Terkait 4. Peraturan Menteri ESDM No.07 Tahun 2010 | Tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disdiakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara 5. Peraturan Menteri ESDM No.02 Tahun 2010 Tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembanguan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan, Batubara, Dan Gas Serta Transmisi Terkait

Peraturan Menteri ESDM Tahun 2008 - 20091. Peraturan Menteri ESDM No.31 Tahun 2009 | Tentang Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Listrik Yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan Skala Kecil Dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik 2. Peraturan Menteri ESDM No.5 Tahun 2009 | Tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Koperasi Atau Badan Usaha Lain 3. Peraturan Menteri ESDM No.04 Tahun 2009 | Tentang Aturan Distribusi Tenaga Listrik

4. Peraturan Menteri ESDM No.33 Tahun 2008 Tentang Harga Jual Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT Pelayanan Listrik Nasional Batam 5. Peraturan Menteri ESDM No.26 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penetapan Daerah Usaha Bagi Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Menteri ESDM 2005 - 20071. Peraturan Menteri ESDM No.04 Tahun 2007 | Perubahaan Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik Dan Atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum 2. Peraturan Menteri ESDM No. 046 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 0045 Tahun 2005 Tentang Instalasi Ketenagalistrikan 3. Peraturan Menteri ESDM No. 02 Tahun 2006 | Tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah 4. Peraturan Menteri ESDM No. 01 Tahun 2006 | Tentang Pembelian Tenaga Listrik dan / atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum 5. Peraturan Menteri ESDM No. 0045 Tahun 2005 | Tentang Instalasi Ketenagalistrikan 6. Peraturan Menteri ESDM No. 0010 Tahun 2005 | Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan Untuk Lintas Provinsi Atau Yang Terhubung Dengan Jaringan Transmisi Nasional

Peraturan Lainnya1. Peraturan Menperin No. 48/M-IND/PER/4/2010 | Pedoman Penggunan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenaga Listrikan 2. Peraturan Menkeu Nomor 77/PMK.01/2011 | tentang Pedoman Pelaksanaan Penjaminan Kelayakan Usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Dan/Atau Transmisi Dengan Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, Dan Gas Yang Dilakukan Melalui Kerjasama Dengan Pengembang Listrik Swasta.