bab ii-2
DESCRIPTION
neurologiTRANSCRIPT
Gambar 2.3. Struktur Molekul Katekolamin Endogen
(Murray RK, Granner DK, Rodwell VW, 2006)
2.3.1. Sintesis, Penyimpanan dan Sekresi
Sintesis dan penyimpanan norepinefrin terletak di ujung serabut
postganglion saraf simpatis. Senyawa ini juga disintesis di medula
adrenal dan merupakan prekursor kimia dari epinefrin. Pada awalnya,
sintesis norepinefrin dimulai di aksoplasma terminal ujung serabut saraf
adrenergik. Epinefrin tersimpan terutama di sel kromafin medula
adrenal, dan persentasenya mencakup 80 – 85% konten katekolamin-nya
(15 – 20% sisanya merupakan norepinefrin) (Barash P, Cullen B,
Stoelting R, et al, 2013). Gambar 2.4 merupakan reaksi dasar sintesis
kedua neurotransmiter tersebut.
Gambar 2.4. Sintesis Norepinefrin
(Guyton & Hall, 2006)
Struktur Dasar
TRANSPORT DOPAMIN MENUJU VESIKEL
Di dalam medula adrenal, berlangsung 1 lagi reaksi kimia yang
dibutuhkan untuk merubah sekitar 80% dari norepinefrin menjadi
epinefrin, yakni sebagai berikut:
Gambar 2.5. Sintesis Epinefrin
(Guyton dan Hall, 2011)
Adapun mekanisme sekresi dari epinefrin maupun norepinefrin
adalah serupa dengan substansi neurotransmitter lainnya, yang secara
sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut: saat potensial aksi mengalir
di sepanjang terminal serabut saraf, akan terjadi proses depolarisasi yang
meningkatkan permeabilitas dari membrannya terhadap ion calsium
(Ca2+). Hal ini memungkinkan ion tersebut berdifusi ke dalam terminal
maupun varicositasnya. Pada saatnya, ion calsium ini akan membuat
terminal atau varicositas neuron mengeluarkan kontennya dan dengan
demikian, substansi neurotransmitter pun disekresikan (Sinski M,
Lewandowski J, Abramczyk P, et al, 2006).
2.3.2. Inaktivasi dan Durasi Aksi
Setelah NE/EPI disekresikan oleh terminal ujung saraf,
neurotransmiter tersebut dieliminasi dari situs sekresinya melalui 3 cara:
1. Reuptake ke dalam ujung saraf adrenergik postganglion melalui
proses transport aktif (mencakup 50-80% dari norepinefrin/epinefrin
yang disekresikan). Mekanisme ini merupakan rute inaktivasi utama
untuk katekolamin endogen yang dapat dihambat oleh antidepresan
trisiklik serta kokain (Guyton dan Hall, 2011; Barash P, Cullen B,
Stoelting R, et al, 2013).
2. Uptake oleh sel jaringan efektor dan ekstraneuronal di mana NE/EPI
(dalam jumlah yang sangat kecil) dimetabolisme oleh 2 enzim
utama, yakni monoamin oksidase (MAO) yang ditemukan di ujung
serabut saraf, dan catechol-O-methyl transferase (COMT), yang
muncul secara difus di semua jaringan. Kedua enzim ini akan
merubah NE menjadi Vanillylmandelic Acid (VMA) (Guyton dan
Hall, 2011; Barash P, Cullen B, Stoelting R, et al, 2013).
3. Sejumlah kecil NE/EPI yang berhasil lolos dari kedua tahap
inaktivasi ini akan berdifusi menjauh dari ujung serabut saraf menuju
cairan tubuh sekitar, lalu ke dalam darah di mana keduanya
dimetabolisme di hepar dan renal oleh enzim yang sama – mencakup
sebagian besar dari NE/EPI yang tersisa, predominan untuk
katekolamin eksogen. Gambar 2.6 memperlihatkan skema
metabolisme sekuensial dari NE/EPI (Guyton dan Hall, 2011; Barash
P, Cullen B, Stoelting R, et al, 2013).
EPI maupun NE, saat dilepaskan ke dalam sirkulasi diklasifikasikan
sebagai hormon dalam perihal sintesis, penyimpanan, serta sekresi dari
medula adrenal untuk bekerja di suatu organ. Saat keduanya
disekresikan ke dalam darah, “hormon” ini tetap aktif selama 10 – 30
detik; namun aktivitasnya benar-benar menghilang setelah 1 sampai
beberapa menit. EPI memiliki efek metabolik yang lebih besar dibanding
NE, dimana “hormon” ini dapat meningkatkan metabolisme tubuh
hingga 100%. EPI juga meningkatkan glikogenolisis di hati dan otot
dengan pelepasan glukosa ke dalam darah. Fungsi ini sangatlah penting
bagi tubuh untuk mempersiapkan mekanisme “fight or flight” (Barash P,
Cullen B, Stoelting R, et al, 2013).
Gambar 2.6. Metabolisme sekuensial norepinefrin dan epinefrin.
Keterangan: Monoamin Oxidase (MAO) dan Catechol-O-metiltransferase (COMT)
menghasilkan produk akhir yang paling umum ditemukan dalam tubuh, yakni
vanillylmandelic acid (VMA)
(Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013)
Sebelum EPI atau NE yang disekresikan di ujung serabut saraf
simpatis dapat menstimulasi suatu organ efektor, pertama-tama kedua
neurotransmiter ini harus berikatan dengan reseptor spesifik
(adrenoreseptor) pada sel efektor tersebut. Reseptor ini umumnya
terletak di permukaan membran sel, dalam bentuk prostetik dan
berikatan dengan molekul protein yang menembus hingga ke dalam
membran sel (Guyton dan Hall, 2011).
2.4. Adrenoreseptor dan Respon Fisiologis Aktivasinya
Reseptor adrenergik dapat dibagi menjadi 2 kategori general: α dan β.
Baik reseptor α maupun β dapat dibagi lagi menjadi sedikitnya 2 subtipe: α1
dan α2, β1, β2 dan β3. Lebih jauh, reseptor α telah dibagi lagi menggunakan
teknik kloning molekular menjadi α1A, α1B, α1D, α2A, α2B, dan α2C (Glick DB,
2010).
Tiap subtipe adrenoreseptor memiliki hubungan dengan protein G
spesifik, masing-masing dengan efektor yang unik, namun semuanya
menggunakan guanosin trifosfat (GTP) sebagai kofaktor-nya. Alfa 1 (α1)
berhubungan dengan protein Gq yang mengaktivasi posfolipase; α2
berhubungan dengan protein Gi yang menginhibisi adenilat siklase, dan
sebaliknya, adenoreseptor β terhubung dengan Gs, yang mengaktivasi
adenilat siklase (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).
Distribusi reseptor adrenergik di organ dan jaringan tubuh tidaklah sama,
dan fungsinya berbeda tidak hanya berdasarkan lokasinya namun juga
jumlah dan/atau distribusinya. Adrenoreseptor dapat ditemukan di dua lokus
sympathetic neuroeffector junction, baik di area presinapsis (prejunctional),
post-sinaptik (postjunctional) maupun ekstrasinapsis (Butterworth JF,
Mackey DC, Wasnick JD, 2013; Sinski M, Lewandowski J, Abramczyk P,
et al ,2006). Gambar 2.8 memperlihatkan inervasi organ, tipe reseptor serta
respon yang muncul terhadap stimulasinya.
Gambar 2.7. Distribusi Adrenoreseptor dan Respon Fisiologisnya
(Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013)
2.4.1. Reseptor α Adrenergik
Sebagai tambahan informasi, klasifikasi dari reseptor α-adrenergik
menjadi α1 dan α2 sebenarnya didasarkan pada respon terhadap antagonis
adrenergik α, yakni yohimbine dan prazosin, di mana prazosin
merupakan antagonis adrenergik yang lebih poten terhadap reseptor α1,
sedangkan α2 lebih sensitif terhadap yohimbine (Barash P, Cullen B,
Stoelting R, et al, 2013).