bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/2....

67
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena tanpa kesehatan manusia tidak dapat beraktivitas dengan normal, bahkan ada kata-kata bijak bahwa kekayaan tidak berarti tanpa kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Dalam rangka peningkatan derajat kesehataan tersebut perlu adanya hukum kesehatan yaitu rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medis dan sarana medis. Berkaitan dengan hal tersebut jaminan akan kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang Nomor No 23 tahun 1992. Dalam Undang- Undang Kesehatan yang baru tersebut terdapat perubahan paradigma upaya

Upload: vongoc

Post on 28-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan

hidup manusia karena tanpa kesehatan manusia tidak dapat beraktivitas

dengan normal, bahkan ada kata-kata bijak bahwa kekayaan tidak berarti

tanpa kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakan

upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu

rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di

antaranya pembangunan kesehatan. Dalam rangka peningkatan derajat

kesehataan tersebut perlu adanya hukum kesehatan yaitu rangkaian peraturan

perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medis

dan sarana medis.

Berkaitan dengan hal tersebut jaminan akan kesehatan diatur dalam

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

menggantikan Undang-Undang Nomor No 23 tahun 1992. Dalam Undang-

Undang Kesehatan yang baru tersebut terdapat perubahan paradigma upaya

2

pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental pada

Undang-Undang Kesehatan sebelumnya bergeser menjadi paradigma sehat

yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif

tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.

Usaha pelayanan kesehatan dapat ditempuh dengan cara ilmiah yaitu

melalui pengobatan kedokteran modern maupun pengobatan tradisional yang

bersumber dari berbagai latar belakang, seperti tradisional, keagamaan,

kepercayaan, atau berbagai cara yang belum terbukti secara ilmiah dengan

berbagai teknik dan perangkat pengobatan. Pengobatan tradisional tersebut

masih banyak yang belum memiliki dasar ilmiah, sehingga sulit untuk

menentukan parameter yang objektif dan penilaiannya. Dengan banyaknya

tenaga pengobatan tradisional yang tidak memiliki standar kompetensi dalam

menangani pasien dimungkinkan akan merugikan masyarakat.

Kontroversi pengobatan tradisional yang akhir-akhir ini sedang marak,

yaitu munculnya Ponari yang menarik perhatian ribuan pasien yang berobat.

Pengelola pengobatan Ponari ini dilakukan sejak 11 Januari 2009. Selama ini

pro dan kontra bermunculan dimana orang-orang yang bisa berfikir rasional

menginginkan aparat bertindak tegas menutup pengelola pengobatan dengan

media batu itu. Apalagi pengelola itu secara langsung maupun tidak langsung

telah mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan tidak sedikit dari

mereka yang berobat justru penyakitnya bertambah parah. Disisi lain banyak

juga elemen masyarakat yang menginginkan pengelola pengobatan Ponari

3

tidak ditutup, karena dipercaya bahwa Ponari mampu menyembuhkan keluhan

penyakit yang diderita pasien. Berdasar pada pertimbangan kerugian yang

diderita oleh masyarakat akibat pengobatan tradisional tersebut Muspida dan

Kapolres baru Jombang, AKBP Tomsi Tohir mengambil tidakan tegas

menutup secara resmi pengelola pengobatan tradisional Ponari.

(http://gugling.com/praktek-ponari-ditutup-selamanya. html).

Standar kompetensi dalam melayani kesehatan masyarakat merupakan

hal yang harus dipenuhi bagi penyelenggara pelayanan kesehatan sebagaimana

diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 yang menyatakan

bahwa “Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan

masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat

yang dibutuhkan.”

Pada pengobatan kedokteran modern, telah dilakukan pengaturan,

standarisasi, dan pengawasan oleh pemerintah melalui Pasal 182 Undang-

Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Menteri

melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara

kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan

upaya kesehatan“. Sedangkan pada pengobatan tradisional belum banyak

pengaturan dan standarisasi yang diatur dalam perundang-undangan.

Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah hanya sebatas pada

pendaftaran saja.

4

Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas

tanggal 25 Juni 2009 terlihat masih banyak sarana atau tenaga pengobatan

tradisional yang tidak terdaftar di Dinas Kesehatan yakni sejumlah 27

pengobatan tradisional (Wawancara dengan staff Dinas Kesehatan Kabupaten

Banyumas).

Dengan tidak adanya pengaturan standarisasi, dan pengawasan yang

memadai dari Pemerintah terhadap pengelola pengobatan tradisional

menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para

penggunanya jika terdapat penyimpangan.

Pada dasarnya hukum diadakan berfungsi untuk menertibkan dan

mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah

yang timbul. Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana penunjang

perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dapat

dilakukan dengan cara :

1. Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional.

2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya

masing-masing.

3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.

4. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para

penguasa dan para pejabat pemerintahan ke arah penegak hukum, keadilan

terhadap perlindungan harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta

kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. (C.S.T

Kansil,1986:547).

5

Bertolak dari langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka fungsi

hukum sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan

pembangunan yang menyeluruh khususnya pada poin ke empat di atas, maka

dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan

kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya

bagi pengelola pengobatan tradisional. Tingkat kesadaran hukum pengelola

pengobatan tradisional akan mempengaruhi penyelenggaraan pelayanan

kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukumnya maka akan semakin

baik pula pemberian pelayanan kepada pasien. Sehingga di dalam pelayanan

yang baik akan terdapat jaminan perlindungan hukum bagi pasien.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa tujuan pembangunan

kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat

masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan

sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Selanjutnya

dalam Penjelasan Pasal tersebut diuraiakan bahwa mewujudkan derajat

kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan

yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta

kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan

harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat

6

yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara

sosial dan ekonomis.

Di dalam undang-undang kesehatan tersebut juga mengatur tentang

kewajiban bagi siapapun untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Dinyatakan bahwa “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,

mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan,

upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.”

Peningkatan kesehatan masyarakat tidak lepas dari peranan hukum,

karena hukum mengatur tata cara dalam palayanan kesehatan. Di dalam

hukum sendiri terdapat kesadaran hukum yang merupakan kesadaran atau

nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia yang ada atau tentang hukum

yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang

fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian

yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan (Soerjono Soekanto,

1977:152). Ada 4 (empat) indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan

hukum, pemahaman hukum, perilaku hukum, dan sikap hukum.

Masalah kesadaran hukum masyarakat berkaitan dengan berfungsinya

hukum itu dalam masyarakat. Oleh karena itu di dalam pelaksanaan hukum

tersebut masyarakat dituntut untuk sadar terhadap hukum, sehingga dapat

diketahui efektivitas hukum itu bagi masyarakat.

7

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam

masalah tersebut dan merumuskan dalam judul “Pengobatan Tradisional

(Studi Tentang Kesadaran Hukum Pengelola Pengobatan Tradisional

Terhadap Standarisasi Pelayanan Kesehatan Di Kabupaten Banyumas)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan

masalah yang akan dikaji adalah :

1. Bagaimana tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional

terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas?

2. Mengapa kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di

Kabupaten Banyumas diperlukan standarisasi pelayanan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum Pengelola pengobatan

tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas.

2. Untuk menjelaskan kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di

Kabupaten Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan tingkat kesadaran

hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi

pelayanan.

8

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian

sejenis yang akan datang sekaligus sebagai pembanding terhadap

penelitian-penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan-bahan

pertimbangan dalam rangka pemupukan kesadaran hukum pada

Pengelola pengobatan khususnya yang berkaitan dengan Pengelola

pengobatan tradisional.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

pada instansi yang berwenang dalam rangka pembinaan dan

pengawasan Pengelola pengobatan tradisional.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum

1. Definisi Hukum

Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian

sengketa, tetapi juga mengatur kehidupan manusia secara luas. Baik dalam

lapangan yang sifatnya individual (privat) maupun yang sifatnya

komunal/umum (public). Hukum adalah seperangkat aturan/norma yang

memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh

Negara/aparat penyelenggara Negara. Hukum berisi seperangkat aturan

yang mengatur kehidupan manusia. Hukum diciptakan untuk melindungi

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah

nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan

kemerdekaan.

Hal ini akan berdampak pada semangat dan kesadaran masyarakat

untuk mentaati hukum. Tanpa adanya kesadaran masyarakat, maka hukum

hanya akan menjadi aturan semata dan tidak akan berfungsi sempurna

dalam masyarakat. Permasalahan mengenai berfungsi tidaknya hukum

dalam masyarakatat adalah permasalahan mengenai kesadaran hukum

masyarakat.

10

Hukum diartikan oleh Aristoteles adalah particular law is that

which each community lays down and aplies to its own member. Universal

law is the law of nature. Sedangkan Grotius mengartikan hukum sebagai

Law of moral action obliging to that which is right (CST Kansil, 1989 :

14).

Menurut Leon Duguit: “hukum ialah aturan tingkah laku para

anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu di

indahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan kepentingan bersama dan

yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang

melakukan pelanggaran itu”. Sedangkan menurut Prof. Mr. E. M Meyers

dalam bukunya “De Algemene Bgrippen van het Burgerlijk Recht”

memberikan definisi hukum sebagai berikut “hukum ialah semua aturan

yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku

manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-

penguasa negara dalam melakukan tugasnya”. (C. S.T Kansil, 1986:36).

Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki

kekuatan sanksi yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh negara/aparat

penyelenggara negara. Hukum berisi seperangkat aturan yang mengatur

sebagian besar kehidupan manusia. Hukum terdiri dari hukum tertulis dan

hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dituangkan dalam bentuk pasal-pasal,

dalam undang-undang yang disusun secara sistematis dalam lembaran

negara, sedangkan hukum tidak tertulis bersandarkan pada nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat.

11

Hukum diciptakan untuk melindungi nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan

atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan kemerdekaan. Kegiatan manusia

amat banyak dan hukum itu sendiri sudah dipastikan tidak mampu untuk

mengakomodir atau melindungi dan mengatur seluruh kegiatan manusia

ini. Menurut Max Weber untuk berlakunya suatu hukum harus terdapat

alat pemaksa dalam hukum karena alat pemaksa menentukan bagi adanya

hukum.

Prof. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah

mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, hukum menghendaki

perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum

dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu,

kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang

merugikannya. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan

kepentingan golongan-golongan manusia, pertentangan kepentingan ini

dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjadi peperangan, seandainya

hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan

perdamaian. (C. S. T Kansil, 1986:42).

Kusumadi Pudjosewojo menggambarkan bahwa hukum pertalian

dengan adanya manusia dan manusia merupakan kesatuan yang melakukan

tindakan-tindakan untuk memenuhi segala apa yang berharga bagi

hidupnya karena dorongan batin. Menurut Lon Fuller menyatakan bahwa

12

hukum itu sebagai usaha untuk tujuan tertentu. Penekanan disini adalah

pada usaha, maka dengan sendirinya mereka mengandung resiko

kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan,

intelegensi, dan kejujuran dari mereka yang harus menjalankan hukum itu

(Raharjo, 1986 : 22).

2. Fungsi hukum

Salah satu fungsi hukum adalah sebagai sarana pembaharuan

masyarakat. Di samping itu maka hukum sebagai tata kaidah dapat

berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan

warga-warga masyarakat ketujuan yang dikehendaki oleh perubahan yang

terencana tersebut. Dari hal tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa

hukum sebagai alat perubahan masyarakat (a tool of sosial engineering).

Dari pendapat tersebut juga dapat disimpulkan bahwa hukum adalah

pengendali utama kegiatan masyarakat dalam suatu negara hukum.

Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya

tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah

disifatkan sebagai kaedah, yaitu pedoman perilaku, yang menyiratkan

perilaku yang seyogiannya atau diharapakan diwujudkan oleh masyarakat

apabila warga masyarakat melakukan sesuatu kegiatan yang diatur oleh

hukum (Ishaq, 2007:11).

13

Fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:

1. Pengawasan/pengendalian sosial (social control)

2. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)

3. Rekayasa sosial (social engineering)

Thoe Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum ialah

memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak

manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Peters sebagaimana

dikutip oleh Ronny Hanityo Soemitro, bahwa fungsi hukum itu terdapat

tiga perspektif, yaitu:

a. Perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tujuan ini disebut tujuan

dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the policemen

view of the law).

b. Perspektif sosial engineering merupakan tinjauan yang dipergunakan

oleh para pejabat (the officials perspective of the law) dan karena

pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh pejabat/penguasa

dengan hukum.

c. Perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini

merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s up view

of the law).

14

Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas,

dapat disusun fungsi-fungsi hukum sebagai berikut:

1. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk

berperilaku.

2. pengawasan atau pengendalian sosial (social control).

3. penyelesaian sengketa (dispute setllement).

4. rekayasa sosial (social engineering). (Ishaq, 2002:11).

Pengendalian sosial dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan

suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga

masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, dari

sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat

preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk

mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedang represif bertujuan

untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.

Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Persengketaan atau

perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat antara keluarga yang dapat

meretakkan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan

bersama, yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa dapat mengenai

perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya.

Sengketa atau perselisihan itu perlu diselesaikan, adapun cara penyelesaian

sengketa dalam suatu masyarakat ada yang diselesaikan melalui lembaga

formal yang disebut pengadilan dan ada juga yang diselesaiakan sendiri

15

oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan orang yang

ada di sekitarnya.

Hukum sebagai sarana rekayasa sosial. Menurut Satjipto

Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan

dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk

mengerahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan

yang dipandang tidak sesuai lagi menciptakan pola-pola kelakuan baru dan

sebagainya. Dengan demikian hukum dijadikan sebagai sarana untuk

melakukan perubahan masyarakat. (Ishaq, 2002:12).

3. Kesadaran Hukum

Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga-

warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya

hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses

penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses

tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar

sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran

warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak

ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang

dicita-citakan atau dikehendaki bahwa ada keserasian proporsional antara

pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan

kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis (Soerjono Soekanto,

1977:145).

16

Masalah yang sama juga terungkapkan oleh ajaran-ajaran yang

berpendapat pokok, bahwa sahnya hukum ditentukan oleh kesadaran

kelompok sosial. Apa yang penting adalah kesungguhan daripada tekanan-

tekanan sosial yang ada di belakang peraturan-peraturan, hal mana

menyebabkan timbulnya faktor ketaatan terhadapnya. Bahkan kemudian

dinyatakan, bahwa pembentukan hukum harus didasarkan pada tata

kelakuan yang ada dan agar pembentukan hukum mempunyai kekuatan,

maka proses tersebut harus konsisten dengan tata kelakuan tersebut.

Apabila pembentuk hukum menerbitkan peraturan-peraturan yang tidak

cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka diharapkan akan

timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar

pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit

untuk menerapkannya.

Menurut Soerjono Soekanto, kesadaran hukum adalah konsepsi

abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dengan

ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Soerjono Soekanto,

1982:159).

Indikator kesadaran hukum meliputi :

a. Pengetahuan Hukum

Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai

beberapa perilaku yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut

berkaitan dengan perilaku yang dilarang maupun perilaku yang

17

diperbolehkan oleh hukum sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat

bahwa seseorang mengetahui membunuh, mencuri, dan seterusnya

dilarang oleh hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan

asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan

manakala peraturan tersebut di undangkan (Otje Salman, 1993:40).

b. Pemahaman Hukum

Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sebanyak informasi

yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum

tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum merupakan suatu

pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu

hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi

pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut (Otje Salman,

1993:41).

Kebanyakan warga masyarakat tidak mengetahui adanya suatu

peraturan, akan tetapi mengetahui isinya dengan sistem nilai-nilai yang

berlaku halmana disebabkan karena adanya proses internalisasi.

Di dalam hal ini seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh

karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan, yang

hasilnya adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi

secara intrinsik yang pusat kekuatannya terletak pada kepercayaan

warga masyarakat terhadap tujuan kaedah-kaedah hukum bersangkutan

(Soerjono Soekanto, 1977:241).

18

c. Perilaku Hukum

Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran

hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturaan berlaku atau

tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh

kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum

dalam masyarakat (Otje Salman, 1993:42).

Perikelakuan hukum merupakan setiap perikelakuan teratur

yang bertujuan untuk mencapai keserasian antara ketertiban dengan

kebebasan. Dapat diduga bahwa setiap perikelakuan yang sesuai dengan

hukum merupakan salah satu kriteria akan adanya kepatuhan atau

ketaatan hukum yang cukup tinggi, sehingga pola perikelakuan hukum

merupakan hal yang identik dengan kepatuhan hukum. Pola

perikelakuan hukum merupakan kriterium kepatuhan apabila warga

masyarakat berperikelakuan demikian, oleh karena proses internalisasi

di mana hukum ternyata sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh para

warga masyarakat tersebut (Soerjono Soekanto, 1977:247).

d. Sikap Hukum

Suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya

suatu penghargaan terhadap hukum sebagai seseuatu yang bermanfaat

atau menguntungkan jika hukum ditaati. Sebagaimana terlihat disini

bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di

masyarakat (Otje Salman, 1993:42).

19

Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran

hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturaan berlaku atau

tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh

kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum

dalam masyarakat (Otje Salman, 1993:42).

B. Pengobatan Tradisional

1. Definisi Pengobatan Tradisional

Sehat menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan baik

seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari rasa sakit); waras.

Menurut World Health Organization (WHO) definisi sehat adalah

a state of completely physical, mental, and social well being and not merly

the absent of disease or infirmity (Suatu keadaan yang sempurna baik

fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan)

(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081223210437AAnxc

70).

Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang

dapat meningkatkan konsep sehat yang positif :

1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.

2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan

eksternal.

3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.

(http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-

sakit)

20

Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945

bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan dan kemampuan hidup sehat setiap warga Negara dan bahwa

kesehatan merupakan hak asasi manusia maka pembangunan bidang

kesehatan harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup

masyarakat terutama taraf kesehatannya. Pengobatan tradisional tidak

lepas dari peranan dalam meningkatkan taraf kesehatan.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

terdapat 3 (tiga) pasal yang mengatur Pelayanan Tentang Kesehatan

Tradisional, yaitu :

Pasal 59

1. Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional

terbagi menjadi :

a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan;

dan

b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.

2. Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan

manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma

agama.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan

kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

21

Pasal 60

1. Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang

menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga

kesehatan yang berwenang.

2. Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta

tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.

Pasal 61

1. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk

mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan

kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan

keamanannya.

2. Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada

keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.

Untuk mencapai pengobatan tradisional yang memiliki kualitas

maka perlu diadakannya standarisasi. Standarisasi tersebut meliputi

standar pemberian pelayanan, standar tenaga medis dan perizinan.

22

2. Mutu Pelayanan Kesehatan

Dalam menyelenggarakan program pelayanan kesehatan perlu

dipahami apa yang dimaksud mutu pelayanan kesehatan. Untuk ini banyak

batasan yang dikenal. Beberapa diantaranya yang dipandang cukup

penting adalah sebagai berikut:

a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang

diamati.

b. Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program.

c. Mutu adalah totalitas dan wujud serta ciri suatu barang atau jasa yang

didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau

pemenuhan kebutuhan para pengguna.

d. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (YPB

Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 21).

Dari keempat batasan ini, untuk pelayanan kesehatan hanya dapat

diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian. Dalam praktek

sehari-hari melakukan penilaian ini tidaklah mudah. Penyebab utamanya

adalah karena mutu pelayanan kesehatan tersebut bersifat multi

dimensional. Tiap orang, tergantung latar belakang dan kepentingan

masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dan dimensi yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Prevost telah berhasil

membuktikan adanya perbedaan dimensi tersebut:

a. Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan

23

lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan

pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keperihatinan

serta keramahtamahan petugas dalam melayani pasien, dan atau

kesembuhan penyakit yang sedang diderita oleh pasien.

b. Bagi penyelenggara kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait

pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang diselenggarakan

dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi

profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan pasien (YPB Sarwono Prawirohardjo. 2002:21).

Mengatasi perbedaan dimensi ini telah diperoleh kesepakatan

bahwa dalam membicarakan mutu pelayanan kesehatan, pedoman yang

dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggarakannya pelayanan kesehatan

tersebut. Untuk ini mudah dipahami bahwa hakekat dasar yang dimaksud

tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan para

pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang apabila berhasil dipenuhi akan

menimbulkan rasa puas terhadap pelayanan kesehatan yang

diselenggarakan. Dengan kesepakatan ini, disebutkan dengan mutu

pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan

pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pasien.

Semakin sempurna kepuasan tersebut, semakin baik pula mutu pelayanan

kesehatan.

24

Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepuasan telah

diterima secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang

diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan

tersebut hanya bersifat subyektif. Tiap orang, tergantung dan latar

belakang yang dimiliki dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang

berbeda-beda. Disamping itu sering pula ditemukan pelayanan kesehatan

yang telah memuaskan pasien, namun karena penyelenggaraanya tidak

sesuai dengan standar sulit disebut sebagai pelayanan kesehatan yang

bermutu.

Mengatasi masalah ini, telah disepakati bahwa pembahasan tentang

kepuasan pasien yang diakitkan dengan mutu pelayanan kesehatan,

bukanlah pembahasan yang bersifat luas melainkan mengenal dua

pembatasan:

a. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien.

Untuk menghindari subyektifitas ditetapkanlah bahwa yang dimaksud

kepuasan disini, sekalipun orientasinya tetap individual, tetapi ukuran

yang dipakai adalah kepuasan rata-rata penduduk. Dalam perkataan

lain, suatu pelayanan kesehatan dinilai bermutu apabila pelayanan

kesehatan tersebut memuaskan pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata

penduduk.

b. Pembatasan pada upaya yang dilakukan.

Untuk melindungi kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan yang

25

pada umumnya awam terhadap tindakan kedokteran, dilakukanlah

upaya untuk menimbulkan kepuasan tersebut harus sesuai dengan

standar pelayanan kesehatan. Suatu pelayanan kesehatan, sekalipun

dapat memuaskan pasien, tetapi apabila diselenggarakannya tidak

sesuai dengan standar pelayanan, bukanlah pelayanan kesehatan

bermutu.

Bertitik tolak dari adanya dua pembatasan ini, dapatlah dirumuskan

apa yang disebut mutu pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan

menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu

pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan

tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain tata cara

penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan yang telah

ditetapkan.

3. Standarisasi Kesehatan

Telah disebutkan bahwa masalah mutu akan muncul apabila

ditemukan penyimpangan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan.

Dengan demikian untuk dapat melaksanakan mutu pelayanan kesehatan

yang baik perlu dipahami lebih lanjut mengenai standar tersebut. Untuk

mencapai pengobatan tradisional yang memiliki kualitas maka perlu

diadakannya standarisasi.

Pengertian mengenai sandarisasi kesehatan diatur dalam Pasal 55

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang

26

menyatakan bahwa standarisasi kesehatan adalah batasan-batasan yang

harus dipenuhi untuk mencapai penyelenggaraan kesehatan yang optimal.

Standarisasi tersebut meliputi standar pemberian pelayanan, standar tenaga

medis dan perizinan.

Yang dimaksud dengan standar adalah :

a. Keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang

dipergunakan sebagai batas penerimaan.

b. Kisaran variasi yang masih dapat diterima.

c. Spesifikasi dan fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu

sarana pelayanan kesehatan agar pemakai jasa pelayanan kesehatan

dapat memperoleh keuntungan yang maksimal dari pelayanan

kesehatan yang diselenggarakan.

d. Rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu

dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan (YPB

Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 22).

Jika diperhatikan keempat batasan ini sekalipun rumusannya

berbeda, namun pengertian yang terkandung didalamnnya adalah sama.

Standar menunjuk pada tingkat ideal tercapai yang diinginkan. Lazimnya

ukuran tingkat ideal tercapai tersebut tidaklah disusun terlalu kaku,

melainkan dalam bentuk maksimal atau minimal (range). Penyimpangan

yang terjadi, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan disebut

dengan nama toleransi.

27

Memandu para pelaksana pelayanan kesehatan agar tetap

berpedoman pada standar yang telah ditetapkan, disusunlah protokol.

Protokol (pedoman, petunjuk pelaksanaan) adalah suatu pernyataan tertulis

yang disusun secara sistematis dan yang dipakai sebagai pedoman pada

waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Semakin dipatuhi protokol

tersebut, semakin tercapai standar yang telah ditetapkan. Untuk mengukur

tercapai atau tidaknya standar, dipergunakanlah indikator. Indikator (tolok

ukur) menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah

ditetapkan. Semakin sesuai sesuatu yang diukur dengan indikator, semakin

sesuai pula keadaannya dengan standar yang telah ditetapkan (Sarwono

Prawirohardjo, 2002 : 23).

4. Ketentuan Pidana

Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam

rangka menunjang peningkatan kesehatan yang cukup aman, bermutu,

perlu adanya sanksi tegas yang mengatur pengelola pengobatan

tradisional. Salah satu pasal yang mengatur mengenai praktek pengelolaan

pengobatan tradisional yaitu Pasal 191 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan : ”Setiap orang yang tanpa izin melakukan

pengelola pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan

teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga

mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif kualitatif dengan

pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian hukum sosiologis mengikuti

penelitian ilmu-ilmu sosial yang lain berusaha melakukan “theory building”,

yaitu menemukan “middle range theories” dan membangun “grand theories”.

Penelitian hukum sosiologis memberikan arti penting pada langkah-langkah

observasi dan analisis yang bersifat empiris kuantitatif (Ronny Hanitijo

Soemitro, 1988 : 35).

Pendekatan kuantitatif antara aktifitas pengumpulan data dengan

aktifitas analisis benar-benar dituntut pilahnya secara jelas. Pada pendekatan

ini dilakukan pembakuan instrument, sehingga pemisahan subyek peneliti

dengan subyek responden merupakan keharusan (Noeng Muhadjir, 1996 : 29).

Pada pendekatan kualitatif data yang disajikan dalam bentuk kata

verbal bukan dalam bentuk angka. Data dalam kata verbal sering muncul

dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama atau sebaliknya. Data

kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan

sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawancara,

atau rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan (Noeng

Muhadjir, 1996 : 32).

29

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yang berusaha untuk

menggambarkan secara rinci fenomena sosial melalui perhitungan secara

statistik. Deskripsi disini bukan dalam arti sempit karena akan memberi

gambaran tentang fenomena yang ada yang dilakukan sesuai dengan metode

penelitian dan fakta-fakta yang ada digambarkan dengan suatu interpretasi,

evaluasi, dan pengetahuan karena fakta tidak akan mempunyai arti tanpa

interpretasi, evaluasi, dan pengetahuan umum.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Pengelola pengobatan tradisional yang

ada di Kabupaten Banyumas.

D. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua data agar tercapai

kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara

langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan objek penelitian.

Dalam penelitian ini data primer berasal dari informasi yang diperoleh

dari penyelenggara Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten

Banyumas melalui angket dan wawancara.

30

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan

hukum primer. Bahan ini diperlukan untuk melengkapi bahan hukum

primer, adalah :

1. Rancangan peraturan perundang-undangan

2. Hasil karya ilmiah para sarjana

3. Hasil-hasil penelitian

Data sekunder ini terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki suatu otoritas

mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar,

peraturan perundangan, catatan resmi lembar Negara penjelasan,

putusan hakim dan yurisprudensi. Pada penelitian ini digunakan bahan

hukum yang berkaitan yaitu Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari studi pustaka dan

hasil penelitian di bidang ilmu hukum, literatur-literatur, surat edaran,

dan sumber lain yang akan diteliti.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Ronny

Hanitijo Soemitro, 1988 : 12).

31

E. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan

Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode sebagai berikut:

a. Data primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode angket dan

wawancara. Angket berupa blanko daftar pertanyaan yang berkaitan

dengan pokok permasalahan. Untuk melengkapi data dilakukan

wawancara secara mendalam (depth interview) terhadap informan.

a. Data sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap

bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang berhubungan dengan objek

yang diteliti.

F. Metode Pengambilan Sampel

Sampel diambil menggunakan metode Probability Sampling dengan

metode Simple Random Sampling yaitu bahwa semua elemen dalam populasi

mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Burhan Ashofa,

2004:80). Dalam penelitian ini sampel dipilih dari pengelola pengobatan

alternatif yang terdapat di kabupaten Banyumas sebanyak 50 buah. Dari

jumlah tersebut kemudian diambil sampel sabanyak 30 responden.

Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah

dipenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang

merupakan ciri-ciri utama populasi

32

b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek

yang paling banyak mengandung cirri-ciri yang terdapat pada populasi

c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi

pendahuluan (Ronny Hanitijo Soemitro, 1988 : 51).

G. Metode Pengolahan Data

Dalam penelitian ini akan digunakan metode pengolahan data dengan

tekhnik sebagai berikut :

1. Editing artinya memerilsa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk

menjamin apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan.

2. Coding artinya mengkategorikan data dengan cara memberikan kode-kode

atau simbol-simbol menurut kriteria yang diperlukan.

3. Tabulasi artunya memindahkan data dari daftar pertanyaan ke dalam tabel-

tabel yang telah dipersiapkan.

H. Metode Penyajian Data

Dalam penelitian ini diajukan beberapa pertanyaan kesadaran hukum,

pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, perilaku hukum. Dari

setiap pertanyaan diberikan nilai 1-3 berdasarkan jawaban yang diperoleh

responden, kemudian setelah diketahui nilai masing-masing indikator

kesadaran hukum maka dicarilah interval kelas dengan menggunakan rumus

sebagai berikut (Nazir, 2005 : 23) :

K

RI =

33

I = besarnya interval kelas

R = range (nilai tertinggi – nilai terendah)

K = jumlah kelas yang dikehendaki

Sedangkan pada data kuantitatif atas karakteristik datanya yang kata

verbal menjadi memerlukan olahan mulai dari mengedit sampai menyajikan

dalam keadaan ringkas, dan dikerjakan di lapangan. Dalam hal ini data

kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi sederhana untuk menampilkan

tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap

standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas, adapun penyajian data

kualitatif berbentuk tabel matrik guna menguraikan alasan dari pengelola

pengobatan tradisional menggunakan standarisasi pelayanan yang sesuai.

Kedua data yang diperoleh akan disajikan secara sistematis dan

terperinci, sehingga dapat menggambarkan secara jelas pokok penelitian

secara utuh dan menyeluruh.

I. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif kualitatif melalui

proses analisis yang meliputi :

1. Reduksi data atau ringkasan data, yaitu proses pemilihan penyederhanaan

kemudian pengambilan inti dari data kasar yang muncul dari catatan di

lapangan.

2. Sajian data, yaitu penyajian data secara tertulis berdasarkan data-data yang

berhasil dikumpulkan dari penelitian dalam bentuk teks naratif untuk

34

menjadi informasi yang bermakna dan disajikan dalam bentuk uraian-

uraian yang sistematis, logis, rasional sesuai dengan alur permasalahan

yang diteliti.

3. Menarik kesimpulan atau verifikasi

Penarikan kesimpulan atas pola keteraturan yang ada, dibuat prediksi-

prediksi atas kemungkinan pengembangan selanjutnya.

35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat Kesadaran Hukum Pengelola pengobatan Tradisional Terhadap

Standarisasi Pelayanan di Kabupaten Banyumas.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah

konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara

ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Soerjono

Soekanto, 1982:159). Tingkat kesadaran hukum seseorang menurut Soerjono

Soekanto dapat dilihat dari empat indikator, indikator dari kesadaran hukum

tersebut adalah ( Soerjono Soekanto, 1982:2 29) :

1. Pengetahuan hukum, artinya bahwa seseorang mengetahui perilaku

tertentu diatur oleh hukum.

2. Pemahaman hukum, artinya bahwa seseorang mempunyai

pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu,

terutama mengenai isinya.

3. Sikap hukum, artinya bahwa seseorang mempunyai kecenderungan

untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum.

4. Perilaku hukum, artinya bahwa seseorang berprilaku sesuai dengan

hukum yang berlaku.

Tingkat kesadaran hukum manusia dalam kehidupannya dapat

dicontohkan dalam standarisasi pelayanan kesehatan. Kebanyakan masyarakat

Indonesia sering mengabaikan standarisasi pelayanan kesehatan yang telah diatur

oleh undang-undang. Banyak kasus yang terjadi karena tidak standarnya

pelayanan kesehatan maka menimbulkan permasalahan seperti mal praktek dan

masalah lainnya. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 36 Tahun

36

2009 Tentang Kesehatan bahwa pengobatan tradisional perlu adanya pembinaan

pengawasan untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau perawatan

cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan

keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk digunakan dalam

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat sehingga

diharapkan dengan adanya pembinaan dan pengawasan yang memadai maka

pengobatan tradisional tidak akan merugikan masyarakat.

Dalam penelitian ini untuk mengetahuai tingkat kesadaran hukum

penyedia Pengelola pengobatan tradisional (responden) terhadap standarisasi

pelayanan di Kabupaten Banyumas dapat diketahui dengan mengetahui tingkat

masing-masing indikator kesadaran hukum yaitu:

1. Pengetahuan hukum responden terhadap peraturan kesehatan, terutama

pengetahuan mengenai kualifikasi tenaga medis, penggunaan obat tradisional,

dan pengetahuan mengenai tanggung jawab tenaga kesehatan yang terdapat

dalam ketentuan tentang standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub

dalam Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan

hal tersebut akan diketahui tingkat pengetahuan hukum responden yang

didasarkan pada jawaban responden.

2. Pemahaman hukum responden terhadap peraturan kesehatan, terutama

pemahaman mengenai kualifikasi tenaga medis, penggunaan obat tradisional,

dan pemahaman mengenai tanggung jawab tenaga kesehatan yang terdapat

37

dalam ketentuan standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam

Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal

tersebut akan diketahui tingkat pemahaman hukum responden yang

didasarkan pada jawaban responden.

3. Sikap hukum responden terhadap peraturan kesehatan terutama sikap

terhadap adanya peraturan yang mengatur mengenai standarisasi pelayanan

kesehatan, sikap terhadap pengenaan sanksi pada pelanggaran peraturan

kesehatan, sikap terhadap ketentuan-ketentuan penggunaan alat dan obat

tradisional, dan sikap terhadap ketentuan izin praktek yang terdapat dalam

ketentuan tentang standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam

Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal

tersebut akan diketahui tingkat sikap hukum responden yang didasarkan pada

jawaban responden.

4. Perilaku hukum terhadap peraturan kesehatan terutama kesesuaian perilaku

dengan ketentuan yang mengatur tentang standarisasi kesehatan, kesesuaian

perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang penggunaan alat dan obat

tradisional, kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang

perizinan praktek dan kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur

tentang tanggung jawab pelaku medis terhadap pasien yang terdapat dalam

Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal

tersebut akan diketahui tingkat perilaku hukum responden yang didasarkan

pada jawaban responden.

38

Tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum tersebut dapat

diketahui dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh responden. Adapun

pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 40 pertanyaan tentang

kesadaran hukum yang terdiri dari unsur pengetahuan hukum sebanyak 10

pertanyaan, unsur pemahaman hukum sebanyak 10 pertanyaan, unsur sikap

hukum sebanyak 10 pertanyaan dan unsur perilaku hukum sebanyak 10

pertanyaan. Dari setiap pertanyaan akan diberikan nilai antara 1-3 berdasarkan

jawaban yang diberikan oleh responden. Nilai dari masing-masing indikator

kesadaran hukum dan nilai kesadaran hukum dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

39

Tabel 1. Distribusi Nilai Masing-masing Indikator Kesadaran Hukum dan

Nilai Kesadaran Hukum

No Pengetahuan

Hukum

Pemahaman

Hukum

Sikap Hukum Perilaku

Hukum

Kesadaran

Hukum

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

12

13

11

15

11

11

15

14

15

10

15

14

14

15

14

15

11

14

15

22

27

20

27

25

25

27

26

27

28

27

27

25

27

26

30

25

26

26

28

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

28

30

30

30

30

27

27

29

28

30

29

29

29

29

29

27

29

30

29

29

28

30

29

29

29

89

99

89

102

95

95

101

99

101

95

101

101

93

99

98

105

95

99

97

40

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

14

14

14

13

9

13

14

10

13

14

12

25

25

25

28

21

28

20

27

25

26

21

30

30

25

30

30

23

30

28

30

30

28

30

29

25

29

17

26

27

29

28

27

22

99

98

89

100

77

90

91

94

96

97

83

Sumber : Data primer yang diolah

Setelah diketahui nilai masing-masing indikator kesadaran hukum dan

nilai kesadaran hukum, maka tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum

dan tingkat kesadaran hukum dapat diketahui dengan terlebih dahulu menentukan

interval klas.

K

RI =

I = Besarnya interval klas

R = Range (nilai tertinggi – nilai terendah )

K = Jumlah klas yang dikehendaki

Tabel 1 kolom 1 di atas memperlihatkan dalam unsur pengetahuan hukum

dalam Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan

41

responden, nilai tertinggi yang diperoleh responden adalah 15 dan yang terendah

adalah 9. Apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu

pengetahuan hukum responden dalam Pengelola pengobatan tradisional terhadap

standarisasi pelayanan tinggi, pengetahuan hukum responden Pengelola

pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan sedang, dan pengetahuan

hukum responden dalam standarisasi pelayanan dalam peraktek pengobatan

tradisional rendah, maka interval klasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut

diatas sebagai berikut :

15 -9

i =

3

i = 2

Dengan demikian besarnya interval klas tingkat pengetahuan hukum

responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah

2, sehingga dapat dikategorikan unsur pengetahuan hukum sebagai berikut:

1. Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional rendah, intervalnya antara nilai 9 – 11.

2. Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional sedang, intervalnya antara nilai 12 – 14.

3. Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional tinggi, intervalnya adalah >15.

Tabel 1 kolom 2 di atas memperlihatkan dalam unsur pemahaman hukum

responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, nilai

tertinggi di peroleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh

42

responden adalah 20. Apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat,

yaitu pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional tinggi, pemahaman hukum responden dalam standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, dan pemahaman hukum

responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah,

maka interval kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai

berikut:

30 - 20

i =

3

i = 3,33 dibulatkan menjadi 3

Dengan demikian besarnya interval klas tingkat pemahaman hukum

responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah

3, sehingga dapat dikategorikan unsur pemahaman hukum responden dalam

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sebagai berikut:

1. Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional rendah, interval antara nilai 20 – 23

2. Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional sedang, interval antara nilai 24 – 27

3. Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional tinggi, interval antara nilai 28 – 30

Tabel 1 kolom 3 di atas memperlihatkan dalam unsur sikap hukum

responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, nilai

43

tertinggi yang di peroleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh

responden adalah 23. Apabila jumlah kelas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat

yaitu sikap setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, sikap kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional, dan sikap tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional, maka interval klasnya dapat dihitung dengan

rumus diatas sebagai berikut:

30 - 23

i =

3

i= 2,33 dibulatkan menjadi 2

Dengan demikian besarnya interval klas tingkat sikap hukum responden

terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 2,

sehingga dapat dikategorikan unsur sikap hukum responden terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah sebagai berikut:

1. Sikap tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, interval antara nilai 23 – 25

2. Sikap kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, interval antara nilai 26 – 28

3. Sikap setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, interval antara nilai 29 – 30

Tabel 1 kolom 4 di atas memperlihatkan dalam unsur perilaku hukum

responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional nilai

44

tertinggi yang diperoleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh

responden adalah 17. Apabila jumlah kelas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat,

yaitu perilaku hukum sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional, perilaku hukum kurang sesuai terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan perilaku hukum tidak sesuai

terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, maka kelasnya

dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai berikut:

30 - 17

i =

3

i= 4,33 dibulatkan menjadi 4

Dengan demikian besarnya interval kelas tingkat perilaku responden

terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 4,

sehingga dapat dikategorikan unsur perilaku hukum sebagai berikut:

1. Perilaku hukum responden yang tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 17 – 21

2. Perilaku hukum responden yang kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 22 – 26

3. Perilaku hukum responden yang sesuai terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 27 – 30

Data nilai kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional yang terdapat pada tabel 1 kolom 5 diperoleh

dengan menjumlahkan seluruh nilai indikator-indikator kesadaran hukum

45

responden terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional yaitu meliputi pengetahuan hukum responden terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, pemahaman hukum responden

terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap hukum

responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan

perilaku hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional.

Tabel 1 kolom 5 di atas memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang

diperoleh responden adalah 105 dan nilai terendah yang diperoleh responden

adalah 77, apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu

kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional pelayanan tinggi, kesadaran hukum responden terhadap

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, dan kesadaran

hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional rendah, maka interval kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut

diatas sebagai berikut:

105 - 77

i =

3

i = 9,33 dibulatkan menjadi 9

Dengan demikian interval klas tingkat kesadaran hukum responden

terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 9,

sehingga dapat dikategorikan kesadaran hukum sebagai berikut:

46

1. Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional rendah, interval antara nilai 77 – 86

2. Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional sedang, interval antara nilai 87 – 96

3. Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional, interval antara nilai 97 – 105

Setelah diketahui nilai dan interval klas dari kesadaran hukum, maka

tingkat kesadaran hukum dapat diketahui dalam tabel distribusi frekuensi sebagai

berikut:

Tabel 2. Kesadaran Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan

Pengelola Pengobatan Tradisional

Kesadaran

Hukum

Interval

Klas

Frekwensi

(F)

Persentase

%

Rendah

Sedang

Tinggi

77-86

87-96

97-105

2

12

16

6,66

40,00

53,34

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel 2 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30

orang, sejumlah 2 (6,66%) responden mempunyai tingkat kesadaran hukum yang

relatif rendah terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, sejumlah 12 orang (40,00%) responden mempunyai tingkat kesadaran

hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, dan sejumlah 16 orang (53,34%) responden mempunyai tingkat

47

kesadaran hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sementara

bahwa sebagian besar sampel yang terdiri dari beraneka ragam pengelola

pengobatan tradisional seperti juru pijat, dukun bayi (dukun beranak), tabib dan

lainnya memiliki kesadaran hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil

kuisioner yang diisi oleh responden dengan hasil tertinggi (53,34%). Hal ini

menunjukan para pengelola pengobatan tradisional telah mengikuti aturan,

anjuran dan arahan pemerintah Kabupaten Banyumas.

Membuktikan tingkat kesadaran hukum seperti yang terdapat pada Tabel 2

di atas, maka dapat dilihat dari masing-masing indikator kesadaran hukum yaitu

pengetahuan hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional, pemahaman hukum responden terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap hukum responden terhadap

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional dan perilaku hukum

responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Dan

tingkat dari indikator kesadaran hukum tersebut dapat dilihat dari tabel distribusi

frekuensi sebagai berikut :

48

Tabel 3. Pengetahuan Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan

Pengelola Pengobatan Tradisional

Pengetahuan

Hukum

Interval

Klas

Frekwensi

( F )

Persentase

%

Rendah

Sedang

Tinggi

9-11

12-14

>15

7

16

7

23,33

53,34

23,33

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30

orang, sejumlah 7 orang (23,33%) responden mempunyai tingkat pengetahuan

hukum yang relatif rendah terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional, sejumlah 16 orang (53,34%) responden mempunyai

tingkat pengetahuan hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional, dan sejumlah 7 orang (23,33%) responden

mempunyai tingkat pengetahuan hukum yang relatif tinggi terhadap peraturan

standarisasi pelayanan kesehatan.

Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa

sebagian besar pengelola pengobatan tradisional memiliki tingkat pengetahuan

hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang diisi oleh responden

dengan hasil tertinggi (53,34%). Hal ini menunjukkan sedangnya tingkat

pengetahuan hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, oleh karena itu mungkin perlunya

49

sosialisasi tentang standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional

kepada pengelola pengobatan tradisional agar pengetahuan pengelola pengobatan

tradisional terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional di

Kabupaten Banyumas lebih tinggi.

Tabel 4 . Pemahaman Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan

Pengelola Pengobatan Tradisional

Pemahaman

Hukum

Interval

Klas

Frekwensi

(F)

Persentase

%

Rendah

Sedang

Tinggi

20-23

24-27

28-30

5

21

4

16,67

70,00

13,33

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel 4 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30

orang, sejumlah 5 orang (16,67%) responden mempunyai pemahaman hukum

yang relatif rendah terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, sejumlah 21 orang (70,00%) responden mempunyai tingkat

pemahaman hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional, dan sejumlah 4 orang (13,33%) responden mempunyai

tingkat pemahaman hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sementara

bahwa sebagian besar pengelola pengobatan tradisional memiliki tingkat

pemahaman hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

50

pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang di isi oleh

responden dengan hasil tertinggi (70,00%). Dari data tersebut diatas menunjukan

bahwa sedangnya tingkat pemahaman hukum pengelola pengobatan tradisional

terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, oleh karena itu

mungkin perlunya adanya sosialisasi tentang peraturan standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional kepada para pengelola Pengelola pengobatan

tradisional yang dilakukan oleh institusi kesehatan atau instansi lainnya yang

terkait agar pemahaman terhadap peraturan terhadap standarisasi pelayanan

Pengelola pengobatan tradisional kepada para pelaku usaha Pengelola pengobatan

tradisional lebih tinggi lagi.

Tabel 5. Sikap Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan

Pengelola Pengobatan Tradisional

Sikap

Hukum

Interval

Klas

Frekwensi

(F)

Persentase

%

Tidak Setuju

Kurang Setuju

Setuju

23-25

26-28

29-30

2

5

23

6,66

16,67

76,67

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel 5 diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30

orang, sejumlah 2 orang (6,66%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif

tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional,

sejumlah 5 orang (16,67%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif

kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional,

51

dan sejumlah 23 orang (76,67%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif

setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional.

Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa

sebagian besar responden mempunyai sikap hukum yang setuju terhadap

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional hal ini dibuktikan dengan

hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (76,67%). Hal ini

menujukan betapa pentingnya standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional untuk diterapkan bagi para pelaku usaha Pengelola pengobatan

tradisional di Kabupaten Banyumas.

Tabel 6. Kesesuaian Perilaku Responden Dengan Peraturan Standarisasi

Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional

Perilaku

Hukum

Interval

Klas

Frekwensi

(F)

Persentase

%

Tidak Sesuai

Kurang Sesuai

Sesuai

17-21

22-26

27-30

1

3

26

3,33

10,00

86,67

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel 6 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30

orang, sejumlah 1 orang (3,33%) responden mempunyai perilaku hukum yang

relatif tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, sejumlah 3 orang (10,00%) responden mempunyai perilaku hukum

yang relatif kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional, dan sejumlah 26 orang (86,67%) responden mempunyai perilaku

52

hukum yang relatif sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan

tradisional.

Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa

sebagian besar responden mempunyai perilaku hukum yang relatif sesuai terhadap

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional hal ini dibuktikan dengan

hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (76,67%).

Apabila fakta tersebut diatas didialogkan dengan teori kesadaran hukum

yang di kemukakan oleh Soerjono Soekanto, maka dapat di interpretasikan

bahwa teori tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam menentukan tingkat

kesadaran hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi

pelayanan di Kabupaten Banyumas.

B. Perlunya Standarisasi Pelayanan Terhadap Kesadaran Hukum Pengelola

Pengobatan Tradisional di Kabupaten Banyumas

Berjalannya suatu hukum tak lepas dari suatu sistem yang dinyatakan

Lawrence M Friedman bahwa dalam berjalannya sistem hukum dipengaruhi

oleh 3 aspek yaitu Struktur, Substansi, dan Kultur. (Achmad Ali, 2008 : 54)

Menurut Friedman, struktur merupakan rangka yang memberikan

semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan implementasi hal tersebut

dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia maka mencakup pada unsur

struktur adalah struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan.

53

Menurut Friedman yang dimaksud dengan substansi adalah aturan,

norma, dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada pada sistem hidup.

Substansi disini termasuk pula The Living Law (Hukum yang hidup) dan tidak

hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau Law in The Book

(Achmad Ali, 2002 : 22).

Kultur hukum merupakan bagian yang menentukan jalannya penegakan

hukum. Hal ini menyangkut kesadaran hukum masyarakat. Tingkat kesadaran

hukum masyarakatlah yang menunjukan bagaimana kualitas suatu regulasi yang

diterapkan pemerintah. Kultur masyarakat tentunya dipengaruhi oleh segala aspek

atau konstruksi sosial yang berpengaruh disekitarnya. Paham kesadaran hukum

sebenarnya berkisar pada diri warga masyarakat yang merupakan faktor yang

menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul

dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka

tersebut timbul masalah oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar syahnya

hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga

masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya)

hukum positif tertulis tersebut (Soerjono Soekanto, 1989 : 23).

Berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat, menurut Soerjono

Soekarto setiap masyarakat sebenarnya memiliki kesadaran hukum. Oleh karena

itu tidak ada masyarakat yang tidak ingin hidup dalam keadaan teratur (Soekamto,

1989 : 24). Kemudian menurut Otje Salman kesadaran hukum berkaitan dengan

nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan

54

demikian masyarakat mentaati nilai bukan karena keterpaksaan melainkan karena

hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Otje Salman,

1993 : 66).

Keinginan untuk hidup teratur membuat manusia mentaati segala peraturan

yang dibuat masyarakat yang diwakili dewan dan pemerintah. Standarisasi

pelayanan merupakan upaya pemerintah untuk melindungi konsumen kesehatan

yang membutuhkan kesehatan. Dalam penelitian ini penulis mencoba

menguraikan secara rinci faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum.

Hasil wawancara dengan 30 responden disusun secara sistematis melalui

matriks hasil penelitian. Matriks tersebut dimaksudkan untuk menafsirkan,

menganalisis dan mencari makna dari hasil wawancara yang dilakukan penulis.

Hasil penelitian dapat dilihat dalam matriks dibawah ini :

Matriks 1. Kesadaran Hukum Pengelola pengobatan Tradisional Terhadap

Standarisasi Pelayanan di Kabupaten Banyumas

No Kode

responden

Substansi Makna

1 DKB/1 Ya menurut saya faktor

kesadaran hukumnya itu

mas pendidikan lah

mas…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor Pendidikan/pengetahuan

2 DKB/2 Ya kalo kita sih sadar

hukum tapi mau

bagaimana lagi kadang

keterbatasan biaya

operasional juga...

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor ekonomi

3 DKB/3 Ya kalo ditanya

kesadaran hukum … itu

tergantung

pengetahuannnya…

sehingga latarbelakang

pendidikan menunjang….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pendidikan/pengetahuan

55

4 DKB/4 Kalo menurut saya

kesadaran hukum

standarisasi Pengelola

pengobatan tradisional

itu harus dijelaskan

lagi…karena pemerintah

sendiri belum jelaskan

mas….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan dan informasi

5 DKB/5 Ya bingung mas…. Tidak tau

6 TB/1 Kalo kita sihh sadar mas

terhadap aturan

pemerintah tapi mau

bagaimana lagi,

perizinan, sarana kan

butuh uang …padahal

kami ya pengobartan

sederhana..

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor ekonomi

7 TB/2 Kurang tau mas… Kurang tau

8 TB/3 Kalo menurutsaya

pendidikan

berpengaruh…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pendidikan

9 TB/4 Kalo saya sih harus tau

dulu aturrannya…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan

10 TB/5 Kesadaranhukum itu

terletak pada beberapa

aspek seperti tau

peraturannya dan

menjalankan

peraturanntaya… tapi

kembali lagi bagaimana

penegalkan hukumnnya

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan dan

penegakan hukum

11 JP/1 Ya dipengaruhi budaya

masyarakat..mas….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor budaya masyarakat

12 JP/2 Dipengaruhi latar

belakang pendidikan

individu itu sendiri….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pendidikan

13 JP/3 Ya dipengaruhi budaya

masyarakat mas….kalo

budayanya jelek ya

percuma hukum sebagus

apapun…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor budaya masyarakat

14 JP/4 Terhadap standarisasi

pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan, pemahaman

hokum

56

kalo kita sih sudah

menerapkannya…hal ini

didukung tenaga

kesehatan kami yang

cukup kompeten baik

dalam segi ilmu ataupun

segi pemahaman

hukumnnya.

15 JP/5 Ya dipengaruhi budaya.... Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor budaya masyarakat

16 PA/1 Kurang tau mas….. Kurang tau

17 PA/2 Pendidikannya mas… Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pendidikan

18 PA/3 Ya….. tergantung

sosialisasi nya…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan

19 PA/4 Jelas itu sangat

tergantung

pengetahuannya…kalo

nda tau ya ga sadar-

sadar

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan

20 PA/5 Kalo standarisasi

pelayanan sih pernah

dengar…tapi untuk

menjalankannya kan

membutuhkan berbagai

sarana…nah kita sebagai

pelaku usaha sedang

menuju kearah sana…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor sarana (ekonomi)

21 DKH/1 Ya sangat dipengaruhi

latarbelakang

pendidikannya mas…

Kesadaran hokum dipengaruhi

faktor pendidikan

22 DKH/2 Biasanya dipengaruhi

individu itu sendiri,

factor lingkungan lah

yang dominn membentuk

perilaku individu tersebut

dalam kesadaran hukum.

Kesadaran hokum dipengaruhi

faktor budaya dan lingkungan

sosial

23 DKH/3 Standarisasi pelayanan

telah kita laksanakan, hal

ini didasarkan pada

motivasi yang besar

pelaku usaha dalam

menciptakn pengobatan

yang berkualitas….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor motivasi

57

24 DKH/4 Wah kurang tau mas… Kurang tau

25 DKH/5 Ya…sudah dilaksanakan

standarisasi

pelayanannya…hal

tersebut karena

sosialisasi pemerintah

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan (informasi)

26 DK/1 Pengetahuan sangat

berperan penting mas….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan

27 DK/2 Ya..kami sedang menuju

kea rah standarisasi

pelayanan tapi…banyak

hambatan seperti

ekonomi, sarana dan

lainnya.

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor ekonomi dan sarana

28 DK/3 Pengetahuan cukup

berpengaruh mas…

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor pengetahuan

29 DK/4 Budaya dan lingkungan

yang membentuk watak

dan kesadaran hukum

seseorang.

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor lingkungan dan budaya

masyarakat

30 DK/5 Ya tergantung

sanksinya…kadang

manusia itu baru sadar

hukum kalo sanksinya

besar mas….

Kesadaran hukum dipengaruhi

faktor sanksi peraturan (substansi

Peraturan)

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat diketahui bahwa

kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

memerlukan standarisasi pelayanan dengan alasan :

1. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

dipengaruhi faktor pendidikan/ pengetahuan/ pemahaman;

2. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

dipengaruhi faktor ekonomi ;

3. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

dipengaruhi faktor penegakan hukum;

58

4. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

dipengaruhi faktor budaya dan lingkungan social ;

5. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

dipengaruhi faktor motivasi.

Pendidikan merupakan suatu faktor yang dominan dalam kesadaran

hukum. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada

responden. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan dapat mengubah pola pikir individu maupun masyarakat baik

masyarakat yang bersifat homogen maupun heterogen. Kesadaran hukum

tentunya tidak didapat begitu saja tetai ada pola-pola tertentu dengan mengetahui

undang-undang atau aturan, kemudian memahaminya dalam sebuah serangkaian

norma dan nilai yang pada akhirnya akan terbentuk peneilaian dan jiga aksi atau

perbuatan.

Proses tersebut tentunya memerlukan serangkaian ilmu yang menunjang,

baik yang didapatkan pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah

tingkat atas maupun perguruan tinggi. Untuk menangkap suatu stimulan bahwa

hukum perlu taati maka haruslah terbentuk pola pikir nilai manfaat suatu hukum

sehingga akan menghasilkan kesadar hukum.

59

Jika fakta tersebut didialogkan dengan hasil penelitian Abdul Syani dkk

(1993 :271) yang menyatakan bahwa:

”Latar belakang pendidikan dan mobilitas sosial dapat mendorong

perubahan-perubahan pada dasar pemikiran dan pola-pola perilaku sosial

dari nilai-nilai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.

Perkembangan pendidikan secara formal dapat mempercepat perubahan-

perubahan pola perilaku suatu sistem tertentu. Faktor pendidikan dianggap

sebagai unsur utama yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan

kesejahteraan hidupnya. Pengaruh-pengaruh tersebut cenderung dapat

menggeser peran-peran individu atau kelompok dalam tata kehidupan

sosial.

Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

seseorang turut mempengaruhi pola pikir seseorang menilai standarisasi

pelayanan pengelola pengobatan tradisional, hal tersebut juga akan turut

mengubah pola perilaku individu ataupun masyarakat terhadap perilaku sadar

hukum mengenai standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional.

Perkembangan pendidikan secara formal dapat mempercepat perubahan-

perubahan pola perilaku suatu sistem tertentu termasuk juga kesadaran hukum

standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional.

Faktor lain adalah perekonomian suatu individu yang turut mengubah pola

pikir serta pola perilaku seseorang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola

pengobatan tradisional. Jika kita analisis lebih jauh ekonomi berasal dari dua

padanan kata yaitu oikos dan nomos yang memiliki arti rumah tangga. Dalam

rumah tangga timbulah perputaran kebutuhan dengan pemasukan, hal tersebut

merupakan sesuatu yang saling melengkapi.

60

Ketika ada pola yang tidak seimbang maka akan terjadi penurunan dalam

suatu pekerjaan. Dapat kita contohkan bagaimana pelayanan kesehatan dapat

maksimal jika sarana dan prasarana tidak lengkap. Sarana dan prasarana tentunya

dihasilkan dari biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha Pengelola pengobatan

tradisional. Dari beberapa preposisi di atas diketahui bahwa adanya hubungan

kausal antara ekonomi dengan standarisasi pelayanan.

Faktor lain yang mempengaruhi kesadaran hukum responden terhadap

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan traisional adalah faktor penegakan

hukum. Penegakan hukum adalah bekerjanya berbagai organisasi yang mewakili

pola kepentingan dan kontelasi nilai-nilai dominan untuk menciptakan keamanan

dan ketertiban sesuai dengan ideologi hukum berkuasa. Mencermati hal tersebut,

hukum dapat berlaku secara baik jika memenuhi tiga unsur yang meliputi

pemberlakuan hukum yang sifatnya Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis. Bila

ketiganya dilihat dari salah satu sudut saja maka akan timbul masalah-masalah.

(Soerjono Soekanto, 1987:9)

Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

fungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu:

1. Kaedah hukum/peraturan sendiri.

2. Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan.

3. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah hukum.

4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. (Soerjono

Soekanto, 1987:9)

61

Makna penegakan hukum sebagai suatu proses selain penyelenggaraan

hukum juga sebagai penerapan hukum yang pada hakekatnya merupakan

penerapan diskresi menyangkut keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh

kaidah peraturan hukum, melainkan sebagai tindakan yang sah dengan unsur

penilaian yang berada diantara hukum dan etika. Penegakan hukum bukan

semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, dan dipengaruhi oleh lima

faktor yaitu: hukumnya, penegak hukum, masyarakat, sarana fasilitas, dan

kebudayaan. (Bambang Purnomo, 1993:282).

Pernyataan di atas bermakna bahwa kebijakan kriminal, kebijakan sosial

dan kebijakan penegakan hukum harus sejalan oleh masing-masing petugas yang

bersangkutan dan harus menuju pada satu kebijakan yang rasional untuk

menanggulangi kejahatan. Penegakan hukum pidana dengan pelaksanaanya

menjadi bagian dari kebijakan penanggulangan kriminal dalam rangka untuk

kebijakan perlindungan sosial dan menjadi bagian yang integral dari kebijakan

sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam menyelesaikan masalah-

masalah sosial. (Bambang Purnomo, 1993:107)

Jika pendapat tersebut dikaitkan pada fakta maka ada dua poin penting

yang berkaitan yaitu penegakan hukum dengan budaya masyarakat dimana hal

tersebut saling berkaitan. Penegakan hukum berkaitan dengan bekerjanya hukum

didalam masyarakat, standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional

adalah upaya pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tetapi

kadang niat baik terebut terhambat dengan pola pikir bahwa perizinan itu sulit,

62

lebih percaya dengan pengobatan tradisional yang diluar logika (klenik dan

lainnya).

Faktor lain yang mempengaruhi kesadaran hukum adalah faktor motivasi

individu itu sendiri. Standarisasi pelayanan akan terjadi dengan sendirinya jika

ada motivasi positif yang kiat untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat.

Motivasi yang ada dalam setiap individu untuk melksanakan program standarisasi

pelayanan Pengelola pengobatan tradisional tentunya sangat beragam.

William G.Scott mengatakan bahwa motivasi adalah sebagai rangkaian

pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan guna mencapai

tujuan yang diinginkan. Dengan demikian masalah motivasi itu dianggap

sederhana dan dapat pula menjadi masalah yang komplek. Dianggap sederhana

karena pada dasarnya manusia mudah untuk dimotivasi, dengan memberikan apa

yang menjadi keinginannya, akan tetapi menjadi sulit untuk menentukan imbalan

apa yang dianggap penting bagi seseorang, karena sesuatu dianggap penting bagi

orang tertentu dan bagi yang lainnya tidak bermanfaat (Fred N.Kerlinger dan

Elazer J.Pedazur, 1987:161).

Atkinson, memandang kekuatan motivasi ini dalam bentuk persamaan

motivasi dengan fungsi. Kekuatan dari motivasi dalam melakukan beberapa

kegiatan adalah suatu fungsi dari:

1. Kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu keadaan dimana di

dalam diri setiap orang, tingkat alasan atau motive-motive yang

63

mengemukakan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu

kepentingan.

2. Harapan atau exspectancy adalah dimana kemungkinan/keyakinan perbuatan

akan mencapai tujuan.

3. Nilai dari incentive dimana ganjaran-ganjaran demi terciptanya tujuan.

Jika pendapat tersebut dikaitkan dengan motivasi pelaku usaha Pengelola

pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas

didapatkan hasil bahwa ada kaitan yang erat antara motivasi dengan pelaksanaan

standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas

dengan logika ada tujuan yang didapat pelaku usaha Pengelola pengobatan

tradisional di Kabupaten Banyumas baik finansial, rasa aman keamanan dan

sosial.

64

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Tingkat kesadaran hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten

Banyumas terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional

relatif tinggi, hal tersebut dapat dibuktikan dengan indikator-indikator sebagai

berikut:

a. Sedangnya tingkat pengetahuan hukum pelaku usaha pengobatan

tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap standarisasi pelayanan

pengelola pengobatan tradisional.

b. Sedangnya tingkat pemahaman hukum pelaku usaha pengobatan

tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap peraturan standarisasi

pelayanan pengelola pengobatan tradisional.

c. Positifnya sikap hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten

Banyumas terhadap peraturan standarisasi pelayanan pengelola

pengobatan tradisional.

d. Sesuainya perilaku pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten

Banyumas dalam standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional.

65

2. Kesadaran hukum pengelola pelayanan pengobatan tradisional di Kabupaten

Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan. Kesadaran hukum tersebut

dipengaruhi oleh faktor Pendidikan / Pengetahuan / Pemahaman, faktor

Ekonomi, faktor Penegakan Hukum, faktor Budaya dan Lingkungan Sosial,

serta faktor Motivasi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, tingkat kesadaran

hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap

standarisasi pelayanan pengobatan tradisional relatif tinggi. Namun demikian

untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat maka Dinas Kesehatan

Kabupaten Banyumas perlu meningkatkan pengaturan dan pengawasan terhadap

pengelola pengobatan tradisional dan diharapkan agar pengelola pengobatan

tradisional lebih meningkatkan lagi tingkat pelayanannya sesuai dengan

standarisasi pelayanan. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas juga perlu

melakukan sosialisasi berkaitan diberlakukannya Undang-undang Kesehatan yang

baru kepada pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas untuk

menjamin keamanan, kepentingan dan perlindungan masyarakat.

66

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Ishaq. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika. Jakarta.

Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka. Jakarta.

Kerlinger, Fred N. 1987. Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur Cahaya.

Jakarta.

Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian, Gahalia Indonesia. Jakarta.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin.

Yogyakarta.

YPB Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal, JNPKKR POGI. Jakarta.

Purnomo, Bambang. 1993. Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Raharjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat, Angkasa. Jakarta.

Salman, Otje. 1993. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,

Alumni. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, CV. Rajawali. Jakarta.

-------. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali. Jakarta.

-------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta.

-------. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,

PT Citra Aditya Bhakti. Bandung.

-------. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia.

Jakarta.

Syani, Abdul. 1993. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru.

Jakarta.

67

Perundang-Undangan

UUD Amandemen 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Perubahan atas Undang-Undang nomor

23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Internet

htpp://gugling.com/praktek-ponari-ditutup-selamanya.html

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081223210437AAnxc70

http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit