bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bab 1...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terdapat berbagai alat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, salah
satunya adalah norma hukum. Perbedaan norma hukum dari norma yang lain
adalah bahwa hukum memiliki alat perlengkapan dan kewenangan agar hukum
dapat berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Bambang Poernomo sebagai berikut:
Hukum adalah alat untuk mengatur manusia, meskipun hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur manusia dalam masyarakat. Sebagai salah satu alat untuk mengatur masyarakat, di belakang hukum terdapat alat perlengkapan yang diberi wewenang oleh masyarakat agar supaya hukum dapat berlaku dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Hal ini membedakan ciri norma hukum dibandingkan dengan norma yang lain.1
Norma hukum memberikan batasan-batasan mengenai suatu perbuatan
adalah tindak pidana atau bukan. Tindak pidana adalah suatu kejahatan yang
semuanya itu telah diatur dalam undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Salah satu bentuk tindak pidana adalah tindak pidana penganiayaan.
Tindak pidana penganiayaan sudah lama dikenal oleh Hukum Nasional melalui
KUHP. Bab XX KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh manusia yang bisa disebut
juga sebagai penganiayaan, yaitu apabila dilihat dari segi perbuatan dan
akibatnya, meliputi:
1Bambang Poernomo. 1988. Pola Dasar dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Liberty.
Yogyakarta. hal. 9.
2
1. Penganiayaan biasa
2. Penganiayaan ringan
3. Penganiayaan berencana
4. Penganiayaan berat2
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh manusia dalam KUHP disebut
“penganiayaan”. Makmum Anshory berpendapat bahwa:
Mengenai arti dan makna kata penganiayaan banyak perbedaan diantara
para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
(pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain.3
Dari segi tata bahasa pengertian penganiayaan, dalam Kamus Bahasa
Indonesia, adalah:
Penganiayaan adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar ""aniaya" yang mendapat awalan "pe" dan akhiran "an", sedangkan penganiaya itu sendiri berasal dari kata benda yang berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu. Penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang (penyiksaa, penindasan, dan sebagainya).4
KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan istilah penganiayaan (mishandelling) selain hanya menyebut
penganiayaan saja. Menurut R. Soesilo:
Undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan ”penganiayaan” (mishandelling) itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan ”penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak
2 R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. hal. 245-246 3 Makmum Anshory. 2008. Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://makmum-
anshory.blogspot.com/2008/06/pidana-penganiayaan.html. pada tanggal 5 September 2011 4 W.J.S Poerwadarminta. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka.
Jakarta. hal. 48
3
enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Masuk pula dalam pengertian penganiayaan adalah sengaja merusak kesehatan orang. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke sungai sehingga basah, atau menyuruh orang berdiri di terik matahari. Rasa sakit misalnya menendang, memukul dsb. Menyebabkan luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dll. Merusak kesehatan misalnya orang yang sedang tidur, dibuka jendelanya, sehingga orang itu masuk angin. Semuanya itu dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.5
Syahruddin memberikan pendapatnya mengenai pengertian penganiayaan
yang terdapat dalam beberapa yurisprudensi, yaitu:
1. Arrest Hoge Raad tanggal 10 desember 1902 merumuskan bahwa penganiayaan adalah dengan sengaja melukai tubuh manusia atau menyebabkan perasaan sakit sebagai tujuan, bukan sebagai cara untuk mencapai suatu maksud yang diperbolehkan, seperti memukul anak dalam batas-batas yang dianggap perlu yang dilakukan oleh orang tua anak itu sendiri atau gurunya.
2. Arrest Hoge Raad tanggal 20 April 1925 menyatakan bahwa penganiayaan adalah dengan sengaja melukai tubuh manusia. Tidak dianggap penganiayaan jika maksudnya hendak mencapai justru tujuan lain dan dalam menggunakan akal ia tak sadar bahwa ia telah melewati batas-batas yang tidak wajar.
3. Arrest Hoge Raad tanggal Februari 1929 menyatakan bahwa penganiayaan bukan saja menyebabkan perasaan sakit, tetapi juga menimbulkan penderitaan lain pada tubuh.
Jadi beberapa pengertian dan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai kesengajaan (Opzetelijk) untuk: 1. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain 2. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain 3. Merugikan kesehatan orang lain Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan, maka orang itu harus mempunyai kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang lain. Jadi unsur delik penganiayaan adalah kesengajaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain dan melawan hukum.6
5 R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 245. 6Syahruddin. 2009. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan. Diakses melalui
http://balance04.blogspot.com/2011/01/pengertian-tindak-pidana-penganiayaan.html pada tanggal. 20 September 2011
4
Kejahatan yang dilakukan terhadap tubuh manusia dalam segala perbuatan-
perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan
sampai menimbulkan kematian, bila dilihat dari unsur kesalahannya dan
kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang
dimuat dalam BAB XX Buku II, Pasal 351 s/d Pasal 358.
Penganiayaan seringkali terjadi dengan korban anak-anak, merupakan salah
satu tindak pidana yang menempati urutan teratas dalam kasus kekerasan
terhadap anak di seluruh dunia, termasuk juga Indonesia. Salah satu kasus yang
terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kebumen adalah tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2010, oleh DA (18
tahun/lahir 19 Juli 1992), CMS (19 tahun/lahir 26 Maret 1991), dan JR (16
tahun/lahir 27 Septermber 1994) yang mengakibatkan korban mati, yaitu
NANANG SUBEKTI (16 tahun). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan
Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm. Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
berjudul: ”TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN
PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK YANG MENGAKIBATKAN
KEMATIAN (Studi Penerapan Pasal 80 Ayat (3) Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Pengadilan Negeri Kebumen).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun
2002 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm ?
2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm ?
5
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor
369/Pid. B/2010/PN. Kbm.
2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi teori
ilmu hukum, khususnya Hukum Pidana Materiil, yaitu dapat dijadikan
sebagai bahan pembanding terhadap kajian-kajian di bidang Hukum Pidana
Materiil.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
aparat penegak hukum yaitu Penyidik, Penuntut Umum dan juga Hakim.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian dan istilah tindak pidana
Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan “Strafbaarfeit”
yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda
yang kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada
masa penjajahan Belanda, yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini
dengan beberapa perubahan. Mengenai istilah ini, para sarjana menggunakan
istilah yang berlainan. Moeljatno menerjemahkan strafbaar feit dengan
istilah perbuatan pidana dan merumuskan sebagai berikut:
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Di mana larangan tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan.7
Apabila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka orang
tersebut dapat diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno:
Untuk menyatakan hubungan yang erat itu ia menggunakan istilah
“perbuatan pidana”, dan istilah ini mempunyai pengertian yang abstrak
dan menunjuk pada dua konflik yaitu adanya kejadian atau perbuatan
tertentu dan adanya orang yang melakukan perbuatan tersebut.8
7 Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta
hal. 54. 8 ibid
7
Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa:
Apabila strafbaar feit menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah kurang tepat, sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada kejadian tertentu saja sedangkan perkataan tindak adalah menunjukan kepada kelakuan atau sikap jasmani seseorang, jadi menyatakan keadaan yang konkret pula.9
Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel,
sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:
Menurut Simons strafbaar feit diartikan sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Berbeda pula pendapat Van Hamel yang mengartikan strafbaar feit sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardich) dan dilakukan dengan kesalahan.10
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka terdapat beberapa pokok
mengenai pengertian tindak pidana, yaitu:
a. Bahwa feit dalam strafbaar feit bearti handeling (kelakuan atau tingkah laku);
b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.11
Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan peristiwa pidana, karena
istilah itu meliputi suatu perbuatan (handeling atau doen positif) maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melainkan
itu). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Utrecht peristiwa pidana sebagai suatu
peristiwa hukum yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa
akibat yang diatur oleh hukum12.
9 Ibid . hal. 55 10 Sudarto. 2001. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto.
hal..5. 11 Moeljatno. 1987. Op. Cit, hal..56. 12 Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta. hal..251.
8
Sudarto menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak
pidana, alasanya pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal
asal diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi dari
pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak pidana seperti
yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, istilah ini sudah dapat
diterima masyarakat, jadi mempunyai sosilogishie gelding.13
2. Unsur-unsur tindak pidana
Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP,
karena pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur
tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:
Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.14
Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif
dan unsur-unsur objektif sebagai berikut:
Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.15
Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua
pandangan sebagai berikut:
13 Sudarto. 2001. Op. Cit, hal..35. 14P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya
Bakti. Bandung. hal. 193. 15 Ibid . hal. 193
9
a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.
b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).16
Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam
pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai
berikut:
Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah: a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan); b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig); d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar
persoon). Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan), b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif), c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang, d. Diancam dengan pidana. J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility (pertanggungjawaban pidana).17
16 Sudarto. Op. Cit, 1991,hal..24. 17 Ibid hal.. 24-25.
10
Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan
unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:
Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan b. Bersifat melawan hukum c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana. Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia); b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).18
Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak
ada perbedaan yang prinsipiil, sebab jika seseorang menganut pendirian salah
satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan
konsukuen, agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa
kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-
syarat tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana
harus lengkap adanya.19
Dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila
perbuatan itu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:
a. Memenuhi rumusan undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan:
d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab
e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)
18 Ibid hal.. 25-26. 19 Ibid hal..26.
11
Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan
undang-undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan, pembentuk undang-undang
menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum
dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka
perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut
memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.20
Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana
adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin
yaitu nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa
ada peraturan lebih dulu).
Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar
belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-
wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga
pengertian, yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.21
20Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya.
Aksara Baru. Jakarta hal. 1. 21 Ibid hal.. 40.
12
Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum, yang
dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa
dinamakan juga “Wederrechtelijkheid”. Menurut Roeslan Saleh mengenai
unsur sifat melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat
dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia
memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk
selanjutnya dipandang seperti demikian22
Menurut Pompe, melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan
pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan
pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum
bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang
menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya
pidana.23
Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari
kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini
sesuai dengan penjelasan dari Sudarto sendiri bahwa, untuk memungkinkan
adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian dari Moeljatno,
maka tidak cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka.
Di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan
bertanggung jawab.24
Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons, sebagaimana
dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
22 Ibid hal. 1. 23 Ibid hal. 5. 24 Sudarto. 2001. Op. Cit, hal. 39.
13
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: a. Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatanya bertentangan dengan hukum; b. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.25
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan unsur atau bersifat melawan
hukum, meskipun perbuatanya telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan namun hal tersebut memenuhi syarat
untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut
orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan
pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine
culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan26
Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi
dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.27
Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu:
a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya.
b. Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa: 1) Kesengajaan (dolus). 2) Kealpaan (culpa).
c. Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. 28
25 Ibid hal.39. 26 Ibid hal.39. 27 Ibid hal..41. 28 Ibid hal..45.
14
Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi rumusan
undang-undang, sifat melawan hukum, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si
pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam
KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan.
3. Tindak pidana secara bersama-sama
Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama berarti terdapat unsur
ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak pidana atau turut serta
melakukan tindak pidana artinya bersepakat dengan orang lain membuat rencana
untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama
melaksanakannya (kerjasama). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP
yang menentukan sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan tindak pidana itu; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya .
Unsur turut serta juga tercakup dalam pengertian “membantu melakukan
tindak pidana”, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan
sebagai berikut:
Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu
dilakukan; 2. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan itu.
15
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHP tersebut, maka dapat dijelaskan
bahwa sebagai pembantu melakukan tindan pidana:
a. Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan.
b. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.29
4. Pidana dan pemidanaan
a. Pidana
1) Pengertian pidana
Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa
Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence. Digunakan
istilah pidana disini (bukan digunakan istilah “hukuman”) adalah
ditujukan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana
tersebut. Sudarto mengemukakan ketidaksetujuannya dalam penggunaan
kata hukuman untuk kata straf, karena:
Kata strafrecht bila menggunakan hukuman sebagai terjemahan dari straf maka akan terjadi kerancuan dimana strafrecht akan diterjemahkan menjadi hukum hukuman. Pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.30
Selain pendapat yang dikemukakan diatas ada beberapa pendapat
yang diberikan oleh para pemikir hukum lain tentang pengertian dari
pidana itu sendiri, antara lain dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang
berpendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud
suatu nestapa atau penderitaan yang dengan sengaja ditimpakan negara
kepada pembuat delik tersebut.31
29 Pembunuhan Berencana. diakses melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana pada tanggal 10 Januari 2012 30 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru.
Bandung. hal. 7. 31 Roeslan Saleh. 1980. Op. Cit. hal. 41.
16
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang memiliki
kekuasaan (oleh yang berwenang);
c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana
menurut Undang-undang.
2) Jenis-jenis pidana
Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana positif di Indonesia, jenis-jenis pidana
yang berlaku di Indonesia sesuai dengan rumusan Pasal 10 KUHP adalah:
Pidana terdiri atas: a. pidana pokok:
1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3 pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan;
b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3 pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Dijelaskan
lebih lanjut oleh P.A.F. Lamintang sebagai berikut:
Hukuman pidana mati selalu dicantumkan secara alternatif dengan pidana-pidana pokok lain, yakni pada umumnya dengan pidana seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Urutan kedua dari pidana pokok adalah pidana penjara. Pengertian pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.
17
Sama halnya dengan penjara pidana kurungan juga berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana. Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa yang telah melakukan pelanggaran. Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok atau juga sebagai ganti pidana denda. Pidana denda telah diatur dalam KUHP sebagai pidana pokok maupun alternatif baik dengan pidana penjara atau kurungan atau keduanya secara bersama-sama. Pidana tutupan merupakan jenis pidana pokok baru yang dimasukan kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanggal 31 Oktober 1964 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II nomor 24 halaman 287 dan 288. Pidana tutupan dijatuhkan untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. KUHP tidak mengenal adanya komulasi dari pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu, khususnya pidana penjara dengan pidana denda, atau pidana kurungan dengan pidana denda. Ada beberapa ketentuan pidana yang mengandung ancaman pidana yang terdiri dari lebih satu pidana pokok. Dimana dalam ketentuan tersebut hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan bersama-sama pidana denda atau ia dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan tanpa menjatuhkan pidana denda. Pidana tambahan selalu dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pidana pokok. Menurut hukum pemidanaan kita, penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif. Artinya, hakim tidak selalu menjatuhkan suatu pidana tambahan, yaitu pada waktu ia menjatuhkan suatu pidana pokok bagi seorang terdakwa. Dapat disimpulkan bahwa dalam menjatuhkan pidana tambahan diserahkan sepenuhnya pada pertimbangan hakim apakah dirasa perlu atau tidak.32
b. Pemidanaan
1) Pengertian pemidanaan
Awalnya istilah pidana dan pemidanaan merupakan dua istilah yang
mempunyai arti sama, namun sekarang para ahli hukum sepakat memisahkan arti
pidana dan pemidanaan. Permasalahan tentang pengertian pemidanaan di
kalangan para sarjana hukum Indonesia masih ada beberapa kesalahpahaman.
Untuk pengertian pemidanaan itu sendiri menurut pendapat Lamintang adalah
sinonim dengan perkataan penghukuman.33
32 P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 69. 33 P.A.F Lamintang. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung. hal. 48
18
Berdasarkan pengertian bahwa pemidanaan merupakan sinonim dari kata
penghukuman, maka Lamintang lebih lanjut mengemukakan pendapatnya bahwa:
Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechsten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.34
Roeslan Saleh, berkaitan dengan pengertian pemidanaan, berpendapat bahwa:
Walaupun harus diakui bahwa pemidanaan merupakan alat pertahanan
terakhir. Dia merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya
yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti
yang diharapkan masyarakat.35
Menurut Utrecht, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dan Siti Rahayu:
Hak memidana merupakan atribut pemerintah, hanya yang mempunyai hak
memerintah yang dapat memaksakan atau memberlakukan kehendaknya
yang mempunyai hak memidana. Pemidanaan merupakan pemberian suatu
nestapa bagi yang melanggar hukum. 36
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para sarjana hukum
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemidanaan itu merupakan sinonim dari
penghukuman atau penjatuhan pidana, dan mempunyai suatu pengertian yaitu
penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan hukum pidana. Selain itu pemidanaan juga dapat diartikan sebagai
akhir atau puncak dari keseluruhan sistem upaya-upaya agar manusia melakukan
tingkah laku seperti yang diharapkan masyarakat.
34 Ibid. hal. 49. 35 Roeslan Saleh. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. hal. 1. 36Andi Hamzah dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang Sistem Pemidanaan
di Indonesia. Gramedia. Jakarta. hal.22.
19
Alasan dijatuhkannya pidana terhadap orang yang melanggar hukum sangat
bermacam-macam, oleh karena itu muncul teori-teori yang menyatakan alasan
memidana seseorang, yaitu:
a) Teori Absolut (Mutlak) Menurut teori ini, seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Merupakan pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang telah dilakukan. Pembalasan merupakan alasan memidana suatu kejahatan.
b) Teori Relatif (Nisbi) Menurut teori ini, suatu kejahatan tidaklah harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaat dari pemidanaan baik bagi penjahat itu sendiri maupun masyarakat. Teori ini disebut juga sebagai teori tujuan, karena dalam penjatuhan pidana diperlukan adanya suatu tujuan. Tujuan adanya pemidanaan menurut teori tujuan adalah sebagai prevensi yaitu pencegahan agar kejahatan yang telah dilakukan tidak terulang kembali dan mempunyai tujuan agar si penjahat dapat menjadi orang yang baik sehingga tidak melakukan kejahatan lagi.
c) Teori Gabungan Penjatuhan pidana menurut teori gabungan adalah merupakan suatu pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang melanggar hukum. Akan tetapi dalam memidana harus diperhatikan unsur kemanfaatannya.37
2) Tujuan pemidanaan
Terhadap permasalahan tentang apa yang menjadi tujuan dari pemidanaan,
telah banyak pendapat yang dikemukakan dan dari para pendapat tersebut
ternyata tidak terdapat satu kesamaan pendapat diantara para pemikir dan ahli
hukum. Roeslan Saleh membedakan tujuan pemidanaan menjadi tiga tipe tujuan
pemidanaan, yaitu tujuan instrumental, tujuan intrinsik, dan tujuan menurut
organisasi.38 Berdasarkan tiga tipe tersebut, Roeslan Saleh memberikan
pengertian sebagai berikut:
a) Tujuan instrumental Yang dimaksud dengan perkataan instrumental disini adalah bahwa tujuan ini bagi hukum pidana merupakan instrumen (alat) untuk tujuan yang bersifat umum, yaitu pengaturan kehidupan bersama di dalam sektor tertentu dan reduksi atau regulasi kriminalitas.
37 Ibid., hal. 25-28. 38 Roeslan Saleh. 1987. Op. Cit., hal. 28.
20
b) Tujuan intrinsik Alat-alat hukum pidana sebenarnya bukan pula tidak dapat dihindarkan pada waktu atau dalam mencapai tujuan-tujuan instrumentalnya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang tersangka dan terdakwa tidak boleh dipidana bilamana belum ditetapkan dengan teliti sekali mengenai kesalahan terdakwa sendiri (intrinsik). Dengan kata lain tujuan intrinsik bisa juga dikatakan perlindungan atas justisiabel.
c) Tujuan menurut organisasi Tujuan-tujuan instrumental dan intrinsik yang telah ditetapkan terwujud dalam suatu konteks organisasi, yang mendapat bentuk nyata didalam dan dengan organisasi. 39
P.A.F. Lamintang memberikan pendapatnya tentang tujuan pemidanaan,
adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tetang tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, yaitu: a) untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri; b) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan; c) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mempu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.”40
Selain pendapat tersebut, ada beberapa pandangan tentang tujuan
pemidanaan yang disampaikan oleh beberapa pemikir atau ahli hukum, yaitu:
a) Stahl Ia berpendapat bahwa dengan suatu pemidanaan itu orang dapat mencapai tiga tujuan, yakni untuk melindungi tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan kejahatan, dan untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.
b) Simons Hingga abad ke 18 (delapan belas), praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.41
39 Ibid., hal. 39. 40 P.A.F Lamintang. 1994. Op. Cit., hal. 23. 41 Ibid. hal. 23
21
B. Kejahatan Terhadap Tubuh Manusia
1. Pengertian kejahatan terhadap tubuh manusia
Tindak pidana kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP disebut dengan
“penganiayaan”, namun secara definitif dalam KUHP tidak disebutkan arti
dari penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam kamus umum Bahasa
Indonesia diartikan sebagai perlakuan yang sewenang-wenang, penyikasaan
dan lain-lain. Sedangkan menurut yurisprudensi, arti penganiyaan adalah
perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau
luka. Selanjutnya dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP masuk dalam pengertian
penganiayaan adalah perbuatan sengaja merusak kesehatan orang.42
Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP,
namun dapat dilihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana,
doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman. Mudhofar dalam hal ini
menjelaskan sebagai berikut:
Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.” Berdasarkan doktrin tersebut bahwa setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana.
42 Syifaul Qulub 2008 Kejahatan Terhadap Tubuh. Fakultas Syari’ah. Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Diakses melalui http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/05/kejahatan-terhadap-tubuh.html pada tanggal 2 Mei 2012.
22
Sedangkan menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain: Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain. Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi Pasal 451 dimuat antara lain sebagai berikut: “Perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan sosiologi”. Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang pengertian penganiayaan, menyangkutkan pada perkembangan dunia kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia, bukan dikaitkan dengan penganiayaan.43
Berdasarkan pengertian penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan
memuat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan. c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu:
1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) Luka tubuh 3) Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.44
Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana disebutkan
di atas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut, yaitu
sebagai berikut:45
a. Unsur kesengajaan
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara
luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian
dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur
43Mudhofar. 2011. Tindak Pidana Penganiayaan. Diakses melalui
http://ofanklahut.blogspot.com/2011/04/tindak-pidana-penganiayaan.html pada tanggal 5 Mei 2012.
44 Ibid 45 Ibid
23
kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan
sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka seorang baru dikatakan melakukan
tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan
akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang
itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.
Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan
harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal
tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai
kesengajaan sebagai kemungkinan. Namun demikian penganiayaan itu bisa
ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran
tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap
akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu
kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan
kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya.
Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada tujuan pelaku.
b. Unsur perbuatan
Perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya
perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia
dengan menggunakan (sebagaian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun
perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana
penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai
bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan
sebagainya.
24
c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh
Unsur ”rasa sakit” dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai
terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, atau tidak enak penderiataan.
Sementara yang dimaksud dengan ”luka” adalah adanya perubahan dari tubuh,
atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi berbeda dari
keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya
lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh
dan sebagainya.
Unsur akibat, baik berupa rasa sakit atau luka, dengan unsur perbuatan harus
ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa
rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan dengan akibat
ini, maka tidak akan dapat dibuktikan dengan adanya tindak pidana
penganiayaan.
Sedangkan unsur ”akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya”
mengandung pengertian bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa
rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari
pelaku. Artinya memang pelaku menghendaki timbulya rasa sakit atau luka dari
perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan
harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari
pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan
dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut,
maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.
25
2. Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh manusia dilihat dari segi perbuatan dan
akibatnya
Kejahatan terhadap tubuh manusia atau penganiayaan adalah tindak pidana yang
menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat
ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum
yang berupa tubuh manusia. Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh manusia atau
penganiayaan berdasarkan KUHP dimuat dalam BAB XX II, Pasal 351 s/d Pasal 355
yaitu sebagai beriku:
a. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP) b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP) c. Panganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP) d. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP) e. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP) f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu (Pasal 356 KUHP)
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana tersebut,
dibawah ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut sebagai berikut:
a. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP)
Tindak pidana penganiayaan biasa ini diatur dalam ketentuan Pasal 351
KUHP. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini
adalah tindak pidana penganiayaan dalam bentuk pokok. Pasal 351 KUHP yang
menegaskan sebagai berikut:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. (5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
26
Berdasarkan rumusan ketentuan pasal 351 KUHP diatas terlihat bahwa
rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang
dimaksudnya. Ketentuan Pasal 351 KUHP tersebut hanya merumuskan
kualifikasinya saja dan pidana yang diancamkan. Tindak pidana dalam 351
KUHP dikualifikasikan sebagai penganiayaan.
Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan menteri kehakiman diatas
sebenarnya cukup memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksud
penganiayaan oleh karena dalam rumusan tersebut sudah memuat unsur-unsur
perbuatan maupun akibat. Namun oleh karena sebagaian parlemen menganggap
istilah rasa sakit atau penderitaan tubuh memuat pengertian yang sangat bias atau
kabur, maka parlemen mengajukan keberatan atas rumusan tersebut. Sehingga
perumusan Pasal 351 ayat (1) hanya menyebut kualifikasinya saja, yaitu
penganiayaan didasarkan atas pertimbangan, bahwa semua orang dianggap sudah
mengerti apa yang dimaksud dengan penganiayaan. Adapun unsur-unsur dari
penganiayaaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah sama
dengan unsur-unsur penganiayaan pada umumnya yaitu:
1) Unsur kesengajaan 2) Unsur perbuatan 3) Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka
tubuh, namun dalam pasal 351 ayat (1) KUHP tidak mempersyaratkan adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan tersebut.
4) Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.46
Pasal 351 ayat (2) mengatur tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat. Merujuk pada pengertian penganiayaan diatas, maka apabila dirinci maka
unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) adalah:
46 Mudhofar. 2011. Ibid.
27
1) Unsur kesengajaan
2) Unsur Perbuatan
3) Unsur akibat, yang berupa rasa sakit atau luka berat.47
Apabila dilihat unsur-unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) di atas
maka terlihat unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (2) hampir sama dengan pasal
351 ayat (1) KUHP. Perbedaan penganiayaan tersebut terletak pada akibatnya.
Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal
351 ayat (2) KUHP bukanlah merupaka tujuan dari pelaku. Tujuan yang dituju
oleh pelaku adalah rasa sakit atau luka tubuh saja. Jadi, dalam konteks
penganiayaan biasa yang menimbulkan luka berat harus dibuktikan bahwa luka
berat tersebut bukanlah menjadi tujuan dari pelaku. Sebab apabila luka berat itu
menjadi tujuan dari pelaku atau merupakan akibat yang dimaksud oleh pelaku,
maka yang terjadi bukan lagi penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat,
tetapi yang terjadi adalah penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
353 KUHP.
Pasal 351 ayat (4) mengatur tentang penganiayaan yang berupa perbuatan
sengaja merusak kesehatan. Penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP
merupakan penganiayaan yang mana akibat dari penganiayaan tersebut berupa
rusaknya kesehatan dari korban merupakan akibat yang dikehendaki dari
pelakunya. Apabila dikaitkan dengan teori kehendak dan teori pengetahuan,
maka penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) mempersyaratkan, bahwa pada saat
melakukan perbuatannya (penganiayaan) pelaku memang menghendaki
dilakukannya perbuatan tersebut serta ia mengetahui bahwa perbuatan yang
dilakukan itu akan menimbulkan rusaknya kesehatan. Unsur rusaknya kesehatan
yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP berbeda dengan unsur rasa sakit
47 Ibid.
28
dan luka tubuh yang menjadi penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1)
KUHP. Sekalipun secara logika sangat mungkin terjadinya rasa sakit atau luka
tubuh itu sekaligus merupakan perbuatan yang merusak kesehatan, namun
merusak kesehatan yang dimaksud dalam pasal 351 ayat (4) mempunyai makna
lain dari makna dua unsur tersebut yang bersifat memperluas unsur rasa sakit
atau luka tubuh.48
b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)
Penganiayaan ringan diatur pada Pasal 352 KHUP. Disebut penganiayaan
ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak
menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Pasal
352 KHUP yang menentukan sebagai berikut:
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, diancam karena penganiayaan ringan,dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Berbeda dengan penganiayaan lain yang diberlakukan di Indonesia
berdasarkan asas konkordasi. Jenis tindak pidana ini dalam Wetboek van
Straftrecht (WvS) tidak dikenal. Dibuatnya ketentuan tentang penganiayaan
ringan pada umumnya didalam KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah
atas dasar adanya perbedaan kewenangan mengadili dari polisi dan Pengadilan
Negeri yang sengaja dibentuk oleh pemerintah Kolonial di Indonesia. Pengadilan
polisi berwenang mengadili perkara-perkara ringan sedangkan Pengadilan Negeri
untuk perkara-perkara yang lain.
48 Ibid
29
Berdasarkan ketentuan Pasal 352 KUHP di atas, tersimpul bahwa yang
dimaksud dengan penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk dalam:
1) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP 2) Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu
sebagaimana diatur dalam pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap:Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya. Pegawai Negeri yang sedang atau karena menjalankan tuganya yang sah.
3) Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan atau dimakan atau diminum.
4) Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.49
Secara implisit ketentuan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP mengandung
pemahaman, bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-
orang-orang yang tidak mempunyai kualitas tertentu sebagaimana diatur dalam
Pasal 356 bukanlah merupakan penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1),
tetapi termasuk penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat
(1) KUHP.
c. Panganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP)
Penganiyaan berencana diatur pada Pasal 353 KUHP
yang merumuskan sebagai berikut:
(1) Penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 90.)
(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
M.H. Tiirtamidjaja menyatakan arti direncanakan lebih dahulu adalah
bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.50
49 Ibid. 50 M.H. Tirtaamidjaja. 1995. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Fasco. Jakarta hal. 42
30
Apabila dipahami tentang arti dari direncanakan di atas, bermaksud sebelum
melakukan penganiayaan tersebut telah direncanakan terlebih dahulu, oleh sebab
terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum
perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah
berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat
pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si
pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berpikir dengan
batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik
bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk
melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi
keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak
dikuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau
terpaksa dan lain sebagainya.
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan di atas dan telah diatur dalam
Pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa
faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana
apabila menimbulkan luka berat yang dikehendaki sesuai dengan ayat 2 bukan
disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal
355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian
(ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan
berencana (Pasal 340 KUHP).
Berdasarkan rumusan Pasal 353 KUHP diatas tersimpul pendapat bahwa
penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk penganiayaan, yaitu:
31
1) Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan akibat-akibat luka berat atau kematian yaitu, diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP. Apabila dikaitkan dengan pasal sebelumnya khususnya Pasal 351 ayat (1) KUHP yang mengatur penganiayaan biasa, maka penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan luka berat atau kematian tersebut berupa penganiayaan biasa yang direncanakan terlebih dahulu. Dengan demikian jenis penganiayaan dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP berupa penganiayaan biasa berencana. Jenis penganiayaan adalah penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh yang dilakukan secara berencana. Luka tubuh dalam konteks Pasal 353 ayat (1) adalah luka tubuh yang tidak termasuk Pasal 90 KUHP dan tidak termasuk dalam pengertian menurut ketentuan Pasal 352 ayat (2) KUHP.
2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat yang diatur dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP.
3) Penganiayaan berencana yang menge\akibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP.51
Persamaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana adalah
sama-sama tidak mengakibatkan luka berat atau kematian. Memiliki kesengajaan
yang sama baik terhadap perbuatan maupun akibatnya. Bila penganiayaan
tersebut mengakibatkan luka, maka luka tersebut harus luka yang tidak termasuk
luka berat sebagaimana diatur dalam pasal 90 KUHP. Adapun perbedaan
penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana, dapat dilihat pada tabel
berikut ini: 52
Penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) Penganiayaan biasa pasal 353 ayat (1) PERBEDAAN
1. Tidak ada unsur lebih dahulu 1. Ada unsur lebih dahulu 2. Dapat terjadi pada penganiayaan
ringan, yaitu dalam hal tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringan, sebab pasal 353 disebut sebagai pengecualian dari penganiayaan ringan.
3. Merupakan penganiayaan dalam bentuk pokok
3. Merupakan penganiayaan yang di kualifikasi
4. Percobaannya tidak dipidana 4. Percobaannya dipidana
51Mudhofar. 2011. Ibid. 52 Ibid.
32
d. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP)
Penganiayaan berat diatur pada Pasal 354 KUHP. Penganiayaan berat yang
dirumuskan dalam Pasal 354 sebgai berikut:
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 354 KUHP tersebut, maka tindak pidana
penganiayaan berat ini terdiri dari dua macam yaitu:
1) Tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) diatur dalam pasal 354 ayat (1).
2) Tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, diatur dalam pasal 354 ayat (2).53
Apabila diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat yang
diatur dalam Pasal 354 ayat (1) memuat unsur-unsur sebagai berikut:
1) Unsur kesalahan, berupa kesengajaan.
2) Unsur melukai berat (perbuatan).
3) Unsur tubuh orang lain.
4) Unsur akibat yang berupa luka berat.54
Dalam Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan
dari si pelaku yaitu bahwa si pelaku memang menghendaki terjadinya luka berat
pada korban. Berbeda dengan penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka
berat, dimana luka berat bukanlah akibat yang dimasuk oleh sipelaku.
53 Ibid. 54 Ibid.
33
Dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, kematian
bukanlah merupakan akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya
menghendaki timbulnya luka berat. Dalam tindak pidana ini harus dapat
dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kesengajaan menimbulkan kematian,
baik kesengajaan sebagai maksud, sebagai kemungkinan atau sebagai kepastian.
Perbuatan penganiayaan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada
tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus
mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat
yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu dan bahwa perbuatan itu
melanggar hukum.
Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur
dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang
telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan
pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari
perbuatan pidana.
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus
sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan
pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat disini
bersifat abstrak, bagaimana bentuknya luka berat, hanya dapat dirumuskan luka
berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:
Luka berat berarti: - jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh
secara sempuma, atau yang menimbulkan bahaya maut; - untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
yang merupakan mata pencaharian; - kehilangan salah satu pancaindera; - mendapat cacat berat; - menderita sakit lumpuh; - terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu; - gugumya atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.
34
Berdasarkan Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang
bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan
berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan
faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.
e. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP)
Jenis penganiayaan berat berencana diatur dalam pasal 355 KUHP.
Penganiayaan ini pada dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana. Jenis penganiayaan ini merupakan gabungan antara
penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana, dalam Pasal 355 KUHP,
maka niat pelaku atau kesengajaan pelaku tidak cukup bila ditujukan terhadap
perbuatannya dan terhadap luka beratnya, tetapi kesengajaan itu harus ditujukan
terhadap unsur berencananya. Rumusan Pasal 355 KUHP adalah sebagai berikut:
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Berdasarkan rumusan pasal 355 KUHP diatas terlihat bahwa penganiayaan
berat berencana terdiri atas dua macam, yaitu:
1) Penganiayaan berat berencana yang tidak menimbulakan kematian. Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana biasa. Dalam penganiayaan ini luka berat harus benar-benar terjadi yang juga harus dibuktikan, bahwa luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh sipelaku sekaligus direncanakan.
2) Penganiayaan berat berencana mengakibatkan kematian. Namun matinya korban dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh sipelaku. Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan. Sebab apabila kematian merupakan akibat yang dituju maka yang terjadi bukanlah penganiayaan melainkan pembunuhan (Pasal 338 KUHP).55
55 Ibid.
35
f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu (Pasal 356 KUHP)
Jenis penganiayaan ini diatur dalam ketentuan dalam Pasal 356 KUHP yang
menyatakan:
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga: 1. bila kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, ayahnya yang sah, istrinya atau
anaknya. 2. bila kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah. 3. bila kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Apabila dicermati, maka Pasal 356 merupakan ketentuan yang memperberat
berbagai penganiayaan. Berdasarkan pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal yang
memberatkan berbagai penganiayaan yaitu:
1) Kulitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkualitas sebagai ibu, bapak, istri anak serta Pegawai Negeri yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
2) Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu dilakukannya dengan cara member bahan untuk dimakan atau untuk diminum.56
g. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian
Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak
pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul bukanlah
merupakan tujuan si pelaku. Tindak pidana ini diatur dalam beberapa pasal dalam
KUHP yaitu:
1) Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian
Apabila dilihat unsur-unsurnya, maka penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dalam penganiayaan dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 (1) KUHP.
56 Ibid.
36
Secara substansial, perbedaan antara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dengan penganiayaan biasa yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) adalah terletak pada akibat yang terjadi. Pada penganiayaan biasa Pasal 351 ayat (1) akibat yang timbul hanyalah rasa sakit atau luka pada tubuh. Sementara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP akibat yang timbul adalah kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu bukanlah merupakan akibat yang dituju oleh pelaku.
Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh saja.
2) Pasal 353 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian
Apabila diperhatikan maka penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian seperti yang dimaksud dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP.
Jadi penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian sebagaiman diatur Pasal 353 ayat (3) merupakan tindak pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian seperti yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.
3) Pasal 354 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian
Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan berat dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP. Namun dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian akibat yang ditimbulkan adalah matinya orang, akan tetapi kematian bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat.
4) Pasal 355 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian.
Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 355 ayat (2) KUHP sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana yang diperberat. Faktor pemberatnya adalah timbulnya kematian. Namun kematian bukanlah akibat yang dikendaki pelaku. Kematian dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan.57
57 Ibid.
37
C. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak
1. Pengertian anak
Pembahasan terhadap anak, maka diperlukan suatu perumusan yang
dimaksud dengan anak, termasuk mengenai batasan umur. Sampai saat ini
ternyata masih terdapat perbedaan dan pendapat mengenai pengertian anak.
Di Indonesia sendiri pengertian anak beserta umurnya diatur menurut bidang
hukum masing-masing dan juga terdapat dalam penggunaan berdasarkan
kebutuhan. Dalam hal ini dapat dilihat pengertian anak beserta batasan umur
menurut ketentuan hukum terdapat perbedaan tolok ukur. Batasan usia
dewasa merupakan hal penting untuk menentukan ada tidaknya tanggung
jawab seseorang. Dalam melakukan suatu perbuatan. Kenyataannya, dewasa
ini batasan usia masih merupakan permasalahan yang belum mendapat
pemecahan final.
Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari beberapa peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Menurut KUHPerdata batas kedewasaan anak diatur dalam Buku I
Bab Kelima Belas Bagaian Ke Satu yang terdapat dalam Pasal 330 yang
menyatakan bahwa:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik penjelasan
bahwa anak menurut KUH Perdata yaitu seseorang yang usianya belum
mencapai dua pulu satu tahun atau belum pernah kawin sebelum
mencapai usia dua puluh satu tahun. Dengan demikian dapat dikatakan
38
bahwa seseorang yang telah kawin meskipun belum berusia dua puluh
satu tahun dan kemudian perkawinannya itu bubar sebelum usianya
mencapai satu tahun pula, maka ia tidak dapat kembali pada satu “anak”.
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP, batasan usia anak adalah sebelum berumur
enam belas tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang
berbunyi:
Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 519, 526, 531, 532,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu.
Memberikan batasan umur anak dalam Pasal 45 pokok isinya adalah
sebagai berikut:
1) Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun.
2) Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada
pemerintah.
3) Menghukum si pelaku pidana.
Sedangkan di dalam pasal-pasal lain diterangkan sebagai berikut:
1) Pasal 283 angka 1 KUHP
Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar
39
kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah diketahuinya.
2) Pasal 287 angka 1 KUHP Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sebilan tahun.
3) Pasal 290 angka 2 KUHP Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang
yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia
belum berumur enam belas tahun, atau seseorang dikatakan melakukan
tindak pidana anak apabila saat melakukan tindak pidana ia belum
berumur enam belas tahun.
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
memberikan definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua
pasal yang dapat dianalisis untuk mencari batasan mengenai anak yaitu
Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 mengemukakan:
Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan:
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
40
Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur
dua puluh satu tahun masih dikatakan sebagai anak karena masih
membutuhkan izin orangtua ketika akan melaksanakan perkawinan (Pasal
6 ayat 2). Secara lebih khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak
antara pria dan wanita, yaitu untuk pria batasan anak adalah seseorang
yang berumur kurang dari sembilan belas tahun sedangkan untuk. Wanita
batasan anak adalah seseorang yang belum kurang dari enam belas tahun
(Pasal 7 ayat (1)).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat
batasan yang berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan
“anak” untuk pria yaitu seseorang yang berumur kurang dari sembilan
belas tahun. Sedangkan batasan “anak” untuk wanita yaitu seseorang
yang berumur kurang dari enam belas tahun.
d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, merumuskan
batasan usia anak sebagai berikut:
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 tersebut, maka dapat
dijelaskan bahwa batasan usia untuk anak adalah belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah menikah.
41
e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan
tindak pidana. Sehubungan masalah umur, dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan sebagai berikut:
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Berdasarkan rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tersebut di atas, jelas bahwa batas umur minimum anak nakal untuk dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah 8 (delapan) tahun dengan batas
maksimum 18 (delapan belas) tahun. Dalam hal anak melakukan tindak
pidana, maka tetap diajukan ke Sidang Anak, meskipun usianya telah
melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahu, jika pada saat melakukan perbuatan tindak
pidana tersebut masih di bawah umur dan belum pernah menikah.
f. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi
Manusia
Batasan usia ”anak” berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia diatur pada Pasal 1 angka 5:
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
42
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa batasan
untuk dapat disebut anak adalah berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah menikah.
g. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. menyatakan bahwa:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orang tua mengasuh dan
mendidik anak-anaknya sampai dengan mereka berusia 18 tahun. Setelah
usia tersebut diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga
tidak lagi menjadi tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan
psikis seringkali masih bergantung pada orangtuanya karena
kedewasaaannya belum matang.
2. Tindak Pidana Anak
Tindak pidana menurut Simon, sebagaimana dikutip oleh Sudarto,
adalah:
Suatu perbuatan manusia baik itu berbuat atau tidak berbuat/membiarkan, dilakukan dengan melawan hukum dan dilakukan dengan adanya kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana. Unsur objektifnya yaitu perbuatan dari orang itu, sedangkan unsur subjektifnya adalah orangnya mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan/perbuatan harus dilakukan dengan adanya kesalahan.58
Tindak pidana anak juga dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut:
58 Sudarto. 2001. Op. Cit. hal. 24
43
Tindak pidana anak adalah tindak pidana sama seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, hanya yang membedakan adanya sanksi pidana yang sifatnya lebih ringan daripada sanksi pidana orang dewasa. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depanya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, Bangsa dan Negara.59
Suatu tindak pidana tidak hanya dapat menimpa orang dewasa sebagai
korban, akan tetapi dapat juga terjadi pada seorang anak. Ancaman hukuman
bagi pelaku tindak pidana penganiayaan dengan korban anak berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur
pada Pasal 80 yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
3. Sanksi Hukum Pidana Terhadap Anak
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu:
59 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
44
Bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan umur 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak nakal yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) tahun sampai dengan umur 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.60
Penjatuhan sanksi pidana pada anak menurut Pasal 23 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997, ditegaskan sebagai berikut:
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan mengenai sanksi tindakan yang dapat diberikan terhadap
anak diatur dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
60 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
45
Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan terhadap anak nakal
berbeda dengan penjatuhan pidana terhadap orang yang sudah dewasa. Hal
ini menjadi hal yang sudah sewajarnya. Karena anak-anak tentu masih
mempunyai masa depan yang panjang untuk dijalaninya. Rincian bentuk-
bentuk pokok dan pidana tambahan terhadap anak nakal yakni:
a. Pidana penjara
Ketentuan mengenai pidana penjara terhadap anak nakal diatur
dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, sebagai berikut:
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
b. Pidana kurungan
Pidana kurungan diatur pada Pasal 27 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 yang menegaskan sebagai berikut:
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
46
c. Pidana denda
Pidana denda diatur pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997, yaitu:
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
d. Pidana pengawasan
Pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan terhadap
anak, yakni yang dilakukan oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam
kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan
yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan di mana anak tersebut
dibimbing.61
Mengenai lamanya pidana pengawasan diatur pada Pasal 30 ayat (1)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menegaskan sebagai berikut:
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
Mengenai pidana tambahan tidak ada pengaturan yang lebih khusus
dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ini, sehingga sudah cukup
jelas seperti yang sudah dijelaskan di atas, yaitu diatur pada Pasal 23 ayat
(3) dan ayat(4).
61Yazid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. 2006. Diktat Hukum Penitensier
Indonesia. Fakultas Hukum UNSOED. Purwokerto . hal. 48
47
Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas)
tahun selain dapat dikenakan sanksi pidana juga dapat dikenakan sanksi
tindakan. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 22 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu:
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Kemudian, untuk anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur
hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan
menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 26 ayat (3) Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4. Tujuan Pemidanaan Terhadap Anak
Pertanggungjawaban anak-anak menurut hukum pidana tujuan yang
terpenting adalah masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka
bukan pada masalah pemidanaan bagi mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh P.A.F. Lamintang, bahwa:
Sejak tahun 1901, yakni sejak dikeluarkanya Undang-undang tanggal 12 Februari 1901, Staatblad No. 63 yang mengatur masalah pertanggungjawaban anak-anak menurut hukum pidana di Negeri Belanda. Pemikiran-pemikiran seperti tersebut di atas sama sekali telah ditinggalkan oleh pembentuk Undang-undang, dimana mengenai anak-anak menurut pembentuk Undang-undang yang penting untuk memperhatikan bukanlah masalah pemidanaan bagi mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.62
62 P.A.F. Lamintang. 1994. Op. Cit. hal. 158
48
Yazid Effendi dan Kuat Puji Prayitno di pihak lain mengemukakan
pendapatnya bahwa:
Perlakuan dan ancaman antara anak dan orang dewasa dimaksudkan untuk lebih mengayomi anak tersebut dapat menyongsong masa depanya yang masih panjang. Di samping itu, bahwa perbedaan itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa.63
Tujuan dari pemidanaan terhadap anak yaitu bukan untuk pembalasan
semata terhadap perbuatan yang sudah dilakukanya, tetapi lebih diutamakan
sebagai sarana perbaikan atau pendidikan yang bertujuan untuk membimbing
anak tersebut untuk menjadi anak yang berguna bagi keluarga, bangsa dan
negaranya.
Tujuan penghukuman atau pemberian pidana pada anak yang di
kemukakan oleh Lela B. Costin, sebagaimana dikutip oleh Shanty Dellyana,
adalah sebagai berikut:
Pada permulaanya peradilan anak mempunyai tujuan yang tinggi, dikombinasikan dengan tanggung jawab yang berat. Tujuanya digambarkan sebagai melindungi dan merehabilitasi anak sebagai pengganti dari melancarkan dan menjatuhkan hukuman. Hal ini didasarkan pada falsafah peradilan secara individual yang menitikberatkan, yang didasarkan pada keyakinan akan pentingnya anak secara individual serta kebutuhan-kebutuhannya dari pada atas tindakan pelanggaran dan penghukumanya. Dengan kata lain titik beratnya tidak didasarkan atas tindakan yang dilakukan oleh anak, tetapi fakta dan hal-hal yang berhubungan menyebabkan anak dihadapkan ke pengadilan. Tujuan proses peradilan pidana bukanlah pada penghukuman, tetapi pada perbaikan kondisi, pemeliharaan, dan perlindungan anak serta pencegahan pengulangan tindakanya melalui tindakan pengadilan yang konstruktif.64
63Yazid dan Kuat. 2006. Op. Cit. hal. 50 64Shanty Dellyana. 1988. Anak-anak dan Wanita dimata Hukum. Liberty. Jogjakarta
hal. 57
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro memberikan pengertian
mengenai pendekatan yuridis normatif sebagai berikut:
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari sistem sosial lainnya.65
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari objek atau
masalah yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan
yang bersifat umum, khususnya untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim
dalam memutus perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder berupa
putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.,
digunakan pula data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-
undangan, buku-buku literatur, dokumen, yurisprudensi.
65 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Ibid. hal. 13
50
D. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundang-
undangan, buku-buku literatur, dokumen dan putusan pengadilan atau
yurisprudensi yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian.
E. Metode Penyajian Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk
uraian secara sistematis.
F. Analisis Data
Data akan dianalisis secara normatif kualitatif yaitu penelaahan dan
penjabaran data berdasarkan norma hukum guna menjawab pokok masalah dan
tujuan penelitian.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian
Tindak pidana kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP disebut dengan
penganiayaan. Penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain. Setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada
orang lain. Berdasarkan pengertian penganiayaan tersebut, maka rumusan
penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan. c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu:
1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) Luka tubuh
d Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku. Disebut unsur luka tersebut di atas sebagai alternatif dari rasa sakit, dirasa berlebihan, oleh karena menjadikan luka pada tubuh, menurut akal pikiran dan dalam kebiasaan yang wajar berlaku dalam masyarakat sudah dengan sendirinya menimbulakan rasa sakit pada tubuh. Unsur a dan d adalah bersifat subyektif. Sedangkan unsur b dan c bersifat obyektif. Walaupun unsur-unsur itu tidak ada dalam rumusan Pasal 351, akan tetapi harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam persidangan.66
Berdasarkan KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai
perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.
Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh manusia atau penganiayaan berdasarkan
KUHP dimuat dalam BAB XX II, Pasal 351 s/d Pasal 356 yaitu sebagai
berikut:
66 Adami Chazawi. 2002. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta. hal. 8-12
52
a. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP)
b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)
c. Panganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP)
d. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP)
e. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP)
f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu (Pasal 356
KUHP)67
Tindak pidana penganiayaan dapat saja menyebabkan kematian pada
korban. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah
tindak pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul
bukanlah merupakan tujuan si pelaku. Tindak pidana ini diatur dalam
beberapa pasal dalam KUHP yaitu:
a. Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan biasa yang
mengakibatkan kematian
Tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan kematian,
diatur pada Pasal 351 ayat (3) KUHP sebagai berikut:
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Apabila dilihat unsur-unsurnya, maka penganiayaan biasa yang
mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP
mempunyai unsur-unsur yang sama dalam penganiayaan dalam bentuk
pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 (1) KUHP.
Secara substansial, perbedaan antara penganiayaan biasa yang
mengakibatkan kematian dengan penganiayaan biasa yang diatur dalam
Pasal 351 ayat (1) adalah terletak pada akibat yang terjadi. Pada
67 Ibid. hal. 7-8.
53
penganiayaan biasa Pasal 351 ayat (1) akibat yang timbul hanyalah rasa
sakit atau luka pada tubuh. Sementara penganiayaan biasa yang
mengakibatkan kematian dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP akibat yang
timbul adalah kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu
bukanlah merupakan akibat yang dituju oleh pelaku.
Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian,
harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk
menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa
pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh
saja.
b. Pasal 353 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan berencana yang
mengakibatkan kematian
Tindak pidana penganiayaan berencana yang mengakibatkan
kematian ditegaskan dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP sebagai berikut:
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Apabila diperhatikan maka penganiayaan berencana yang
mengakibatkan kematian seperti yang dimaksud dalam Pasal 353 ayat (3)
KUHP tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana penganiayaan biasa
yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351
ayat (3) KUHP.
Jadi penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian
sebagaiman diatur Pasal 353 ayat (3) merupakan tindak pidana
penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian seperti yang diatur
dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP yang dilakukan dengan direncanakan
terlebih dahulu.
54
c. Pasal 354 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat yang
mengakibatkan kematian
Tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian
berdasarkan KUHP diatur pada Pasal 354 ayat (2) yang menegaskan
bahwa:
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam
Pasal 354 ayat (2) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan
penganiayaan berat dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal
354 ayat (1) KUHP. Namun dalam penganiayaan berat yang
mengakibatkan kematian akibat yang ditimbulkan adalah matinya orang,
akan tetapi kematian bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku
hanya menghendaki timbulnya luka berat.
d. Pasal 355 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang
mengakibatkan kematian
Pasal 355 ayat (2) KUHP mengatur tindak pidana penganiayaan
berat berencana yang mengakibatkan kematian sebagai berikut:
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian yang
diatur dalam Pasal 355 ayat (2) KUHP sering disebut sebagai
penganiayaan berat berencana yang diperberat. Faktor pemberatnya
adalah timbulnya kematian. Namun kematian bukanlah akibat yang
dikendaki pelaku. Kematian dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan
akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan.
55
Suatu tindak pidana dapat terjadi dilakukan secara oleh dua orang atau
lebih. Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama berarti terdapat
unsur ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak pidana atau turut
serta melakukan tindak pidana artinya bersepakat dengan orang lain membuat
rencana untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama
melaksanakannya (kerjasama). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 55
KUHP yang menentukan sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan tindak pidana itu; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya .
Unsur turut serta juga tercakup dalam pengertian “membantu melakukan
tindak pidana”, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan
sebagai berikut:
Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu
dilakukan; 2. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHP tersebut, maka dapat dijelaskan
bahwa sebagai pembantu melakukan tindan pidana:
a. Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan.
b. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
56
2. Anak sebagai pelaku dan korban tindak pidana
Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menegaskan tentang tindak pidana anak sebagai berikut:
Tindak pidana anak adalah tindak pidana sama seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, hanya yang membedakan adanya sanksi pidana yang sifatnya lebih ringan daripada sanksi pidana orang dewasa. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depanya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, Bangsa dan Negara.
Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak
pidana. Penentuan umur pada saat tindak pidana dilakukan ini akan
menentukan persidangan bagi pelaku, apakah dalam peradilan umum atau
Sidang Anak. Sehubungan masalah umur, dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan sebagai berikut:
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Berdasarkan rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa batas umur minimum anak
nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak adalah 8 (delapan) tahun dengan
batas maksimum 18 (delapan belas) tahun. Dalam hal anak melakukan tindak
pidana, maka tetap diajukan ke Sidang Anak, meskipun usianya telah
57
melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun jika pada saat melakukan perbuatan tindak pidana
tersebut masih di bawah umur dan belum pernah menikah.
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak menentukan mengenai sanksi terhadap anak, yaitu
berdasarkan perbedaan umur anak, sebagai berikut:
Bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan umur 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak nakal yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) tahun sampai dengan umur 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Pasal 23 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 mengatur tentang
penjatuhan sanksi pidana pada anak sebagai berikut:
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan terhadap anak nakal
berbeda dengan penjatuhan pidana terhadap orang yang sudah dewasa. Hal
ini menjadi hal yang sudah sewajarnya, karena anak-anak tentu masih
mempunyai masa depan yang panjang untuk dijalaninya. Rincian bentuk-
bentuk pokok dan pidana tambahan terhadap anak nakal yakni:
58
a. Pidana penjara
Ketentuan mengenai pidana penjara terhadap anak nakal diatur
dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, sebagai berikut:
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
b. Pidana kurungan
Pidana kurungan diatur pada Pasal 27 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 yang menegaskan sebagai berikut:
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
c. Pidana denda
Pidana denda diatur pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997, yaitu:
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
59
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
d. Pidana pengawasan
Mengenai lamanya pidana pengawasan diatur pada Pasal 30 ayat (1)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menegaskan sebagai berikut:
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
Mengenai pidana tambahan tidak ada pengaturan yang lebih khusus
dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ini, sehingga sudah cukup
jelas seperti yang sudah dijelaskan di atas, yaitu diatur pada Pasal 23 ayat
(3) dan ayat(4).
Suatu tindak pidana tidak hanya dapat menimpa orang dewasa
sebagai korban, akan tetapi dapat juga terjadi pada seorang anak.
Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan dengan
korban anak berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak diatur pada Pasal 80 yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancama7n kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
60
3. Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid.
B/2010/PN. Kbm dijelaskan bahwa telah terjadi tindak pidana “melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap
anak yang mengakibatkan korban mati” sebagaimana dimaksud dalam
dakwaan melanggar Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, oleh terdakwa DA (18
tahun), terdakwa CMS (19 tahun), dan terdakwa JR (16 tahun) yang
mengakibatkan korban mati, yaitu NANANG SUBEKTI (16 tahun), dengan
cara melakukan pemukulan.
Para terdakwa dituntut atas tuduhan tindak pidana secara bersama-sama
melakukan penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan kematian. Para
terdakwa ditahan berdasarkan Surat Perintah/Penetapan Penahanan sebagai
berikut:
a. Penyidik sejak tanggal 19 Oktober 2010 sampai dengan tanggal 07 November 2010.
b. Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 08 November 2010 sampai dengan tanggal 17 Desember 2010.
c. Penuntut Umum sejak tanggal 16 November 2010 sampai dengan tanggal 28 Desember 2010.
d. Hakim Pengadilan Negeri Kebumen sejak tanggal 15 Desember 2010 sampai dengan tanggal 13 Januari 2011.
e. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri Kebumen sejak tanggal 14 Januari 2011 sampai dengan tanggal 14 Maret 2011.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid.
B/2010/PN. Kbm., diperoleh data sebagai berikut:
61
a. Keterangan Saksi-saksi
Saksi MUSRIYATI binti DULAH UMAR Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan maupun
pekerjaan 2) Saksi kenal dengan Nanang Subekti karena saksi adalah ibu kandung Nanang
Subekti. 3) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 17.00 WIB, saksi
diberitahu oleh Nanang Subekti kalau dirinya baru saja mendapat ancaman dari saksi Rico Aristanto yang isinya saksi Rico Aristanto meminta lagu dan kalau tidak diputar, nanti malam Nanang Subekti akan dihabisi.
4) Kemudian pada pukul 20.00 WIB, Nanang Subekti ditelepon oleh terdakwa CMS yang menyuruh Nanang Subekti untuk datang ke Studio Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen di Jl. Arumbinang Kebumen.
5) Kemudian pada sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang ke Studio Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen di Jl. Arumbinang Kebumen dan pulan pada sekitar pukul 24.00 WIB dengan naik sepeda kayuh dan sesampainya di rumah langsung tiduran dan mengeluh perutnya sakit karena baru saja dipukuli oleh teman-temannya.
6) Pada saat itu saksi melihat di bawah leher di atas dada Nanang Subekti terdapat luka lecet seperti kena kuku, kedua pipinya memar dan mengeluh perutnya sakit, kemudian Nanang Subekti meminta perutnya diberi balsem dan setelah diberi balsem, Nanang Subekti muntah-muntah, selanjutnya saksi mengantarkan Nanang Subekti berobat ke RSUD Kebumen, kemudian pada hari Minggu tanggal 17 Oktober 2010 sekitar pukul 15.00 WIB, Nanang Subekti dirujuk ke RSU Banyumas dan pada hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 sekitar pukul 08.55 WIB, Nanang Subekti meninggal dunia di RSU Banyumas.
7) Pada saat dirawat di Rumah Sakit, saksi melihat perut Nanang Subekti kelihat merah membengkak dan menurut dokter perutnya luka dalam.
8) Nanang Subekti, setiap saksi tanya perihal keadaannya hanya mengatakan kalau dipukuli orang di sekitar stadion namun tidak menyebutkan para terdakwa.
9) Sebelum meninggal, Nanang Subekti mengatakan kalau dia tidak terima dengan perlakuan yang memukul dan harus diselesaikan.
10) Setelah saksi kedatangan guru dari SMK Maarif Kebumen saat melayat, saksi mendapatkan informasi bahwa Nanang Subekti ternyata dipukuli dengan dikeroyok oleh temannya di SMK Ma’arif 4 Kebumen.
11) Atas kejadian tersebut, keluarga saksi melaporkan ke Polres Kebumen guna pengusutan lebih lanjut untuk diproses secara hukum.
12) Nanang Subekti sebelum dianiaya dengan cara dikeroyok dalam keadaan sehat dan tidak punya penyakit.
13) Saksi sebagai orang tua secara manusiawi memaafkan para terdakwa akan tetapi menghendaki proses hukum tetap dilaksanakan dan saksi tidak mau bersalaman dengan para terdakwa.
62
14) Saksi telah menerima uang santunan dari keluarga para terdakwa sebesar Rp 4.800.0000.
15) Saksi dan suami saksi yaitu Subekti telah menandatangani Surat Pernyataan dan Berita Acara Silaturahmi sebagaimana ditunjukkan dalam persidangan, dan saat menandatangani tidak dalam keadaan terpaksa atau tertekan atau ditekan oleh siapapun.
Saksi AGUS MULYONO bin SLAMET Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Saksi masih ada hubungan keluarga dengan korban Nanang Subekti karena
korban adalah keponakan saksi. 3) Pada hari Minggu tanggal 17 Oktober 2010 sekitar pukul 00.30 WIB, saksi
dipanggil oleh ayah korban dan kemudian menyuruh saksi untuk membawa korban Nanang Subekti ke RSUD kebumen
4) Pada waktu saksi membawa korban Nanang Subekti ke RSUD Kebumen, saksi melihat pipi kiri korban Nanang Subekti memar, kelopak mata sebelah kanan memar, selain itu korban Nanang Subekti muntah-muntah dan mengeluh perut sebelah kanan sakit.
5) Pada saat dibawa ke RS, korban Nanang Subekti dalam keadaan setengah sadar, kemudian pada hari Minggu tanggal 17 Oktober 2010 sekitar pukul 16.00 WIB, Nanang Subekti dirujuk ke RSU Banyumas hingga akhirnya pada hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 sekitar pukul 09.30 WIB meninggal dunia di RSU Banyumas.
6) Saksi mengetahui kalau Nanang Subekti dipukul dari saksi Musriyati yang menelepon saksi.
7) Ketika jenazah Nanang Subekti dimandikan, saksi melihat pada badan jenazah membengkak, pada bagian perut sebelah kiri membiru, bagian wajah lebam dan membengkak serta ada luka di dada.
Saksi AHMAD ROMADHON bin MUH. YUSUP Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB bertempat di
SMK Ma’arif 4 ruang kelas I TMOB telah terjadi pemukulan terhadap Nanang Subekti.
3) Bahwa yang telah melakukan pemukulan terhadap Nanang Subekti adalah 7 orang yaitu saksi Rico Aristanto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil Fajar Junianto (dituntut dalam berkas terpisah), serta terdakwa CMS, terdakwa DA dan terdakwa JR.
4) Saksi pada saat itu sedang berada di Mushola kemudian saksi melihat kelas 1 TMO B ramai, kemudian saksi mendekat dan berdiri di dekat pintu, pada waktu itu korban Nanang Subekti sudah ada di ruangan.
63
5) Saksi melihat Nanang Subekti duduk di kursi, tak lama kemudian saksi Mohammad Amirul wildan langsung menendang kursi yang diduduki oleh Nanang Subekti dari arah samping kanan dengan menggunakan kaki kanannya hingga Nanang Subekti terjatuh di lantai.
6) Kemudian Nanang Subekti berdiri dan dipisahkan oleh terdakwa JR, namun saksi Mohammad Amirul Wildan tetap memukul Nanang Subekti dengan menggunakan tangan kanannya yang mengepal mengenai pundak sebelah kiri, lalu saksi Mohammad Amirul Wildan memukul laki mengenai rahang kiri, setelah itu saksi Rico Aristanto memukul Nanang Subekti dengan menggunakan tangan kanannya yang mengepal sebanyak 5 kali dan mengenai muka yaitu pipi kiri.
7) Setelah itu saksi Ihwan Rosyadi memukul menggunakan tangan kanannya yang mengepal mengenai muka yaitu pipi kiri sebanyak 3 kali, setelah itu terdakwa JR memukul menggunakan tangan kanannya yang mengepal mengenai muka yaitu pipi kiri sebanyak 3 kali, kemudian Nanang Subekti dipukul secara bersama-sama oleh para terdakwa hingga Nanang Subekti terjatuh ke meja, selanjutnya terdakwa DA menarik kaki Nanang Subekti hingga terjatuh ke lantai dan kepalanya membentur lantai.
8) Pada saat kejadian, saksi melihat saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kiri Nanang Subekti sebanyak 1 kali dimana pada saat itu Nanang Subekti sedang bersandar di meja, kemudian para terdakwa memarahi Nanang Subekti, setelah itu saksi Ismangil Fajar Junianto langsung menampar pipi kiri Nanang Subekti sebanyak 1 kali diikuti para terdakwa lainnya.
9) Kemudian Nanang Subekti ditarik ke depan ruang kelas, kemudian terdakwa DA menginjak punggung Nanang Subekti, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut, kemudian terdakwa DA menginjakkan kaki kanannya mengenai perut, kemudian Rico Aristanto menendangkan kaki kanannya mengenai perut/paha, setelah itu Nanang Subekti pergi meninggalkan stasiun radio dan pulang ke rumahnya dengan naik sepeda kayuh.
10) Saksi melihat kejadian tersebut pada jarak kurang lebih 4 meter di dalam ruang Kelas TMO B dan saksi melihat dengan jelas karena ada lampu listrik yang menerangi ruangan kelas yang menggantung di eternit.
11) Pada saat dilakukan pemukulan oleh para terdakwa, Nanang Subekti tidak melakukan perlawanan dan akibat pemukulan oleh para terdakwa, Nanang Subekti mengalami luka di bagian bawah leher dan mengeluarkan darah, pipi kanan dan kiri mengalami luka lebam dan bengkak.
Atas keterangan saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan.
Saksi SOLEHAN bin NARTO HUDIN Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB bertempat di
ruang kelas I TMOB, telah terjadi tindak pidana pemukulan terhadap Nanang Subekti.
64
3) Bahwa yang telah melakukan pemukulan terhadap Nanang Subekti adalah 7 orang yaitu saksi Rico Aristanto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil Fajar Junianto (dituntut dalam berkas terpisah), serta terdakwa CMS, terdakwa DA dan terdakwa JR.
4) Kejadiannya bermula ketika saksi Rico Aristanto dan saksi Ihwan Rosyadi datang ke kost saksi, saat itu saksi sedang ngobrol dengan terdakwa DA kemudian saksi diajak oleh Rico Aristanto untuk main di SMK Ma'arif.
5) Dengan mengendarai sepeda motor, saksi berboncengan dengan terdakwa DA sedangkan saksi Rico Aristanto berboncengan dengan saksi Ihwan Rosyadi menuju SMK Ma'arif.
6) Selanjutnya saksi Rico Aristanto menuju ke ruang studio lantai 2, ketika itu saksi Rico Aristanto melewati mushola, di sana sudah ada terdakwa JR, terdakwa CMS, saksi Ihwan Rosyadi saksi Imangil, terdakwa DA, kemudian saksi Rico Aristanto mengajak ke ruang TMO B.
7) Setelah di dalam kelas, Rico Aristanto bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa CMS menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico Aristanto kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico Aristanto meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa CMS menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang.
8) Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang lalu duduk di kursi, tak lama kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan langsung menendang kursi yang diduduki Nanang Subekti dari arah samping kanan dengan menggunakan kaki kanannya hingga Nanang Subekti terjatuh ke lantai.
9) Kemudian Nanang Subekti berdiri dan dipisahkan oleh terdakwa JR, namun saksi Mohammad Amirul Wildan tetap memukul Nanang Subekti dengan menggunakan tangan kanannya yang mengepal mengenai pundak sebelah kiri, lalu saksi Mohammad Amirul Wildan memukul laki mengenai rahang kiri, setelah itu saksi Rico Aristanto memukul Nanang Subekti dengan menggunakan tangan kanannya yang mengepal sebanyak 5 kali dan mengenai muka yaitu pipi kiri.
10) Setelah itu saksi Ihwan Rosyadi memukul menggunakan tangan kanannya yang mengepal mengenai muka yaitu pipi kiri sebanyak 3 kali, setelah itu terdakwa JR memukul menggunakan tangan kanannya yang mengepal mengenai muka yaitu pipi kiri sebanyak 3 kali, kemudian Nanang Subekti dipukul secara bersama-sama oleh para terdakwa hingga Nanang Subekti terjatuh ke meja, selanjutnya terdakwa DA menarik kaki Nanang Subekti hingga terjatuh ke lantai dan kepalanya membentur lantai.
11) Saksi melihat saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kiri Nanang Subekti sebanyak 1 kali dimana pada saat itu Nanang Subekti sedang bersandar di meja.
12) Kemudian terdakwa DA menarik Nanang Subekti dibawa ke depan, ketika Nanang Subekti terduduk di lantau lalu diinjak punggungnya oleh terdakwa DA, lalu saksi Mohammad Amirul Wildan dan terdakwa DA menendang perutu kiri korban dengan menggunakan kaki kanan, masing-masing sebanyak 1 kali.
65
Setelah itu korban berdiri bersandar di meja dan oleh saksi Rico Aristanto serta terdakwa CAM korban kembali ditendang masing-masing sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kanan. Selanjutnya para terdakwa dan saksi Rico Aristanto, saksi Wildan, Ismangil dan Ihwan Rosyadi spontan bersama-sama mengatakan “uwis..uwis…” sehingga mereka berhenti memukul lalu terdakwa JD membawa korban ke luar ruangan.
13) Saksi melihat kejadian tersebut pada jarak kurang lebih 4 meter di dalam ruang Kelas TMO B bersama dengan saksi Moh. Romadhon dan saksi tidak memisah karena takut..
14) Pada saat dilakukan pemukulan oleh para terdakwa, Nanang Subekti tidak melakukan perlawanan dan akibat pemukulan oleh para terdakwa, Nanang Subekti mengalami luka di bagian bawah leher dan mengeluarkan darah, pipi kanan dan kiri mengalami luka lebam dan membengkak.
Atas keterangan saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan.
Saksi RICO ARISTANTO bin ATANG MARYANTORO Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober sekitar pukul 21.00 WIB di ruang Kelas I
TMO B SMK Ma'arif Kebumen, saksi bersama dengan para terdakwa, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto dan saksi Ihwan Rosyadi telah melakukan pemukulan terhadap korban Nanang Subekti.
3) Kejadiannya bermula ketika pada hari Sabtu sekitar pukul 11.00 WIB saksi akan menyetel lagi di ruang siaran radio, dan di sana telah ada korban Nanang Subekti bersama seorang murid yang sedang siaran, lalu korban keluar ruangan selanjutnya masuk lagi sambil menyerahkan HP nya kepada saksi, lalu saksi menerima, ternyata telepon dari Billy yaitu DJ senior yang mengatakan “yang bukan crew radio tidak boleh menyetel lagu”, lalu saksi menyerahkan HP kembali ke korban Nanang Subekti.
4) Sekitar pukul 18.00 WIB, saksi datang ke kost saksi Solehan dan di sana sudah ada terdakwa DA, lalu saksi mengajak mereka ke SMK untuk menanyakan siapa yang menepol saksi padahal saksi sudah mengetahui yang menelpon adalah Billy.
5) Setelah mendapat telpon dari Billy saksi menjadi sakit hati karena saksi merasa korban telah melaporkan ke Billy.
6) Kemudian bertiga mereka menuju ke SMK dan mengumpulkan seluruh crew radio, yaitu saksi Mohammad Amirul Wildan, terdakwa JR, saksi Ihwan Rosyadi terdakwa CMS dan saksi Ismangil Fajar Junianto.
7) Lalu saksi pura-pura menanyakan kepada mereka siapa yang telah menelepon saksi tadi siang, namun tidak ada yang mengetahui karena yang siaran tadi siang adalah Nanang Subekti, selanjutnya saksi menyuruh Ismangil Fajar Junianto untuk menelpon korban agar datang ke SMK.
8) Sebelum korban Nanang Subekti datang, saksi sudah mengatakan pada terdakwa, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Ihwan Rosyadi agar kalau saksi memukul, mereka ikut memukul.
66
9) Sekitar pukul 21.00 WIB, korban datang menuju ke ruang kelas I TMO B, lalu korban disuruh duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
10) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
11) Kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
12) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban.
13) Ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
14) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
15) Ketika korban bersandar di meja, saksi menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri.
16) Kemudian saksi, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
17) Setelah itu saksi pergi untuk melihat pasar malam di alun-alun dan saksi mengetahui kalau korban meninggal dunia dari terdakwa CM.
Atas keterangan saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan
67
Saksi ISMANGIL FAJAR YUNIANTO Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 pukul 21.00 WIB di ruang Kelas I
TMO B SMK Ma'arif Kebumen, saksi bersama dengan saksi Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa telah memukul korban.
3) Kejadiannya bermula ketika pada hari Sabtu sekitar pukul 21.00 WIB, saksi dihubungi oleh Rico Aristanto agar seluruh crew radio berkumpul di SMK, lalu saksi Rico Aristanto menanyakan kepada seluruh crew siapa yang telah menelpon saksi Rico Aristanto, kemudian tidak ada yang mengetahui karena korban yang ada di studio pada waktu itu, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh saksi untuk menelpon korban, kemudian saksi menelpon korban dan menyuruhnya segera ke SMK.
4) Kemudian korban datang ke ruang kelas I TMO B dan disuruh duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi Rico Aristanto menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
5) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
6) Kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
7) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban Nanang Subekti.
8) Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
9) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
68
10) Ketika korban bersandar di meja, saksi menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri korban.
11) Kemudian saksi, saksi Rico Aristanto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
12) Saksi melakukan perbuatan tersebut karena dipaksa oleh saksi Rico Aristanto dan saksi takut karena bapaknya saksi Rico Aristanto adalah preman.
13) Saksi belum pernah diancam oleh saksi Rico Aristanto sebelumnya. 14) Saksi juga tidak memiliki permasalahan sebelumnya dengan korban Nanang
Subekti. 15) Saksi mengetahui kalau korban Nanang Subekti meninggal dunia dari pengurus
OSIS. Atas keterangan saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan
Saksi MOHAMMAD AMIRUL WILDAN bin MOH. NURUL HUDA Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 pukul 21.00 WIB di ruang Kelas I
TMO B SMK Ma'arif Kebumen, saksi bersama dengan saksi bersama dengan Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa telah memukul korban.
3) Kejadiannya bermula ketika saksi Rico Aristanto menyuruh seluruh crew radio berkumpul di ruang Kelas I TMO B SMK Ma'arif Kebumen, lalu saksi Rico Aristanto menanyakan kepada seluruh crew siapa yang telah menelpon saksi Rico Aristanto, kemudian tidak ada yang mengetahui karena korban yang ada di studio pada waktu itu, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh saksi Ismangil Fajar Junianto untuk menelpon korban, kemudian saksi menelpon korban dan menyuruhnya segera ke SMK.
4) Kemudian korban datang ke ruang kelas I TMO B dan disuruh duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi Rico Aristanto menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
69
5) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama saksi, terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
6) Kemudian saksi menarik korban dan membawa ke depan meja guru. 7) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi
Rico Aristanto mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi juga menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban Nanang Subekti.
8) Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
9) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi menendang dengan kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
10) Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico Aristanto menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri korban.
11) Kemudian saksi, saksi Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
12) Akibat kejadian tersebut, korban pada bagian wajahnya mengalami luka memar serta bagian leher terdapat luka lecet.
13) Saksi melakukan perbuatan tersebut karena dipaksa oleh saksi Rico Aristanto dan saksi takut karena bapaknya saksi Rico Aristanto adalah preman.
13) Saksi belum pernah diancam oleh saksi Rico Aristanto sebelumnya. 14) Saksi juga tidak memiliki permasalahan sebelumnya dengan korban Nanang
Subekti. 15) Saksi mengetahui kalau korban Nanang Subekti meninggal dunia dari pengurus
OSIS. Atas keterangan saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan
Saksi IHWAN ROSYADI bin SLAMET JAENAL Menerangkan: 1) Saksi kenal dengan para terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga maupun
pekerjaan. 2) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 pukul 21.00 WIB di ruang Kelas I
TMO B SMK Ma'arif Kebumen, saksi bersama dengan saksi bersama dengan Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildandan para terdakwa telah memukul korban.
3) Kejadiannya bermula ketika saksi Rico Aristanto menyuruh seluruh crew radio berkumpul di ruang Kelas I TMO B SMK Ma'arif Kebumen, lalu saksi Rico Aristanto menanyakan kepada seluruh crew siapa yang telah menelpon saksi
70
Rico Aristanto, kemudian tidak ada yang mengetahui karena korban yang ada di studio pada waktu itu, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh saksi Ismangil Fajar Junianto untuk menelpon korban, kemudian saksi menelpon korban dan menyuruhnya segera ke SMK.
4) Kemudian korban datang ke ruang kelas I TMO B dan disuruh duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi Rico Aristanto menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan me'narik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
5) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama saksi, terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
6) Kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
7) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi Rico Aristanto mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi juga menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban Nanang Subekti.
8) Ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
9) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi menendang dengan kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
10) Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico Aristanto menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri korban.
11) Kemudian saksi, saksi Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
12) Akibat kejadian tersebut, korban pada bagian wajahnya mengalami luka memar serta bagian leher terdapat luka lecet.
13) Saksi melakukan perbuatan tersebut karena dipaksa oleh saksi Rico Aristanto dan saksi takut karena bapaknya saksi Rico Aristanto adalah preman.
71
13) Saksi belum pernah diancam oleh saksi Rico Aristanto sebelumnya. 14) Saksi juga tidak memiliki permasalahan sebelumnya dengan korban Nanang
Subekti. 15) Saksi mengetahui kalau korban Nanang Subekti meninggal dunia dari
pengurus OSIS.
b. Keterangan Terdakwa
Terdakwa DA bin DULMANGIN Menerangkan: 1) Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB
bertempat di ruang kelas TMO B Ma'arif 4 Kebumen, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap Nanang Subekti.
2) Kejadiannya bermula ketika saksi Rico Aristanto dan saksi Ihwan Rosyadi datang ke kost Solehan, saat itu saksi Solehan sedang ngobrol dengan terdakwa kemudian diajak oleh saksi Rico Aristanto untuk main di SMK Ma'arif.
3) Dengan mengendarai sepeda motor, saksi Solehan berboncengan dengan terdakwa, sedangkan saksi Rico Aristanto berboncengan dengan saksi Ihwan Rosyadi menuju SMK Ma'arif.
4) Selanjutnya saksi Rico Aristanto menuju ke ruang studio lantai 2, ketika itu saksi Rico Aristanto melewati mushola, di sana sudah ada terdakwa JR, terdakwa CMS, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Imangil, terdakwa. Kemudian saksi Rico Aristanto mengajak ke ruang TMO B.
5) Setelah di dalam kelas, Rico Aristanto bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa CMS menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico Aristanto kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico Aristanto meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa CMS menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang.
6) Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang di Ruang Kelas 1 TMO B, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh korban duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi Rico Aristanto menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi Rico Aristanto tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit. lalu saksi Mohammad A.W. menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad A.W. menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi Rico Aristanto ikut memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
72
7) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
8) Selanjutnya saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
9) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban.
10) Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
11) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
12) Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico Aristanto menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri.
13) Kemudian saksi Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
14) Setelah itu terdakwa DA pulang dan baru mengetahui kalau korban meninggal dunia setelah diberitahu oleh saksi Ihwan Rosyadi.
Terdakwa CMS bin MISKUN Menerangkan: 1) Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB
bertempat di ruang kelas TMO B Ma'arif 4 Kebumen, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap Nanang Subekti.
2) Kejadiannya bermula ketika terdakwa bertemu dengan saksi Rico Aristanto di Mushola dan di sana sudah ada terdakwa JR, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil Fajar Junianto dan terdakwa DA, kemudian saksi Rico Aristanto mengajak ke ruang TMO B untuk ngobrol-ngobrol.
3) Setelah di dalam kelas, Rico Aristanto bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico Aristanto kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico Aristanto meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang.
73
4) Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang di Ruang Kelas 1 TMO B, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh korban duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi Rico Aristanto menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi Rico Aristanto tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit. lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi Rico Aristanto ikut memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
5) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
6) Selanjutnya saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
7) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban.
8) Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
9) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
10) Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico Aristanto menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa juga menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri.
11) Kemudian saksi Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
12) Setelah itu terdakwa CMS pulang dan baru mengetahui kalau korban meninggal dunia setelah diberitahu oleh saksi Ihwan Rosyadi
74
Terdakwa JR bin SUJAROH Menerangkan: 1) Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB
bertempat di ruang kelas TMO B Ma'arif 4 Kebumen, terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap Nanang Subekti.
2) Kejadiannya bermula ketika terdakwa bertemu dengan saksi Rico Aristanto di Mushola dan di sana sudah ada terdakwa CMS, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil Fajar Junianto dan terdakwa DA, kemudian saksi Rico Aristanto mengajak ke ruang TMO B untuk ngobrol-ngobrol.
3) Setelah di dalam kelas, Rico Aristanto bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa CMS menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico Aristanto kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico Aristanto meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa CMS menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang.
4) Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang di Ruang Kelas 1 TMO B, lalu saksi Rico Aristanto menyuruh korban duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi Rico Aristanto menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi Rico Aristanto tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit. lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi Rico Aristanto ikut memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
5) Korban kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa, terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
6) Selanjutnya saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
7) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban.
8) Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
75
9) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
10) Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico Aristanto menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS juga menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri.
11) Kemudian saksi Rico Aristanto, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka.
12) Setelah itu terdakwa JR pulang dan baru mengetahui kalau korban meninggal dunia setelah diberitahu oleh saksi Ihwan Rosyadi
c. Hasil Visum et Repertum
1) Visum et Repertum yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Andika Dwi Cahya, Dokter pada RSUD Kebumen pada tanggal 11 November 2010 No. 441.6/72/X/2010 pada kesimpulannya menerangkan bahwa pada tanggal 17 Oktober 2010 telah memeriksa seorang korban yang bernama Nanang Subekti, umur 16 tahun, jenis kelamin laki-laki dengan kesimpulan pasien datang dalam keadaan sadar, terdapat luka memar pada pipi kiri ukuran diameter 4 cm, terdapat luka lecet pada leher ukuran 2 cm x 1 cm, sebab luka karena tumbukan dengan benda tumpul, selama perawatan keadaan menurun dan curiga terdapat luka dalam organ perut.
2) Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Priyo Sapto Utomo, Dokter pada RSUD Banyumas pada tanggal 28 Oktober 2010 No. 445/1287/2010 pada kesimpulannya menerangkan bahwa pada tanggal 17 Oktober 2010 telah memeriksa seorang korban bernama Nanang Subekti, umur 16 tahun, jenis kelamin laki-laki dengan hasil pemeriksaan nyeri pada perut, curiga pendarahan Intra Abdomen dengan kesimpulan luka-luka dan lain tersebut di atas disebabkan karena kena benda tumpul, oleh karena kejadian-kejadian itu jiwanya dalam bahaya (lavensgeraar), orang tersebut di atas pada tanggal 18 Oktober 2010 telah dikeluarkan dari RSU Banyumas dalam keadaan meninggal dunia.
Atas pembacaan Visum et Repertum tersebut, para terdakwa menyatakan tidak keberatan.
d. Fakta hukum
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sebagaimana
diuraikan di atas, dihubungkan dengan barang bukti, ternyata mempunyai
hubungan yang erat dan saling bersesuaian, sehingga dengan demikian Hakim
76
memperoleh kenyataan yang dapat ditetapkan sebagai fakta hukum dalam
perkara ini, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1) Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober sekitar pukul 21.00 WIB di ruang Kelas I TMO B SMK Ma'arif Kebumen, terdakwa DA bin Dulmingun, terdakwa CMS bin Miskun dan terdakwa JR bin Sujaroh secara bersama-sama telah melakukan pemukulan terhadap korban Nanang Subekti.
2) Bahwa kejadiannya bermula pada hari sebelumnya, saksi Rico datang di Studio Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen, pada saat itu korban Nanang Subekti sedang siaran, kemudian saksi masuk Rico masuk dan menyetel lagu untuk disiarkan, sedangkan korban Nanang Subekti ke luar, tidak lama kemudian Nanang Subekti masuk dan memberikan Hpnya ke saksi Rico sambil berkata bahwa ada telepon dari Billy, penyiar senior Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen, dan pada saat itu Billy melarang saksi Rico yang bukan penyiar radio untuk memutar lagu di studio.
3) Bahwa atas kejadian tersebut saksi Rico merasa sakit hati kemudian saksi Rico bersama dengan saksi Ikhwan Rosyadi datang ke kost saksi Solehan dan di sana sudah ada terdakwa DA, lalu saksi Rico mengajak semuanya untuk main ke SMK Ma’arif 4, dengan berboncengan mereka berangkat ke SMK, kemudian saksi Rico menuju ke Kelas 1 TMO B dan ketika melewati mushola di sana sudahada terdakwa JR terdakwa CMS, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil. Kemudian saksi Rico mengajak ke ruang TMO B untuk ngobrol-ngobrol.
4) Setelah di dalam kelas, saksi Rico bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa CMS menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa CMS menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang.
5) Kemudian Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang ke ruang kelas I TMO B, lalu saksi Rico menyuruh korban duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi Rico memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri.
77
6) Korban Nanang Subekti kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai.
7) Selanjutnya saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru.
8) Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi Rico mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban.
9) Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri.
10) Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA juga menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya.
11) Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS juga menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri.
12) Kemudian saksi Rico, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi Rico menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka, lalu korban Nanang Subekti pulang.
13) Akibat perbuatan para terdakwa, korban Nanang Subekti meninggal dunia pada tanggal 18 Oktober 2010, setelah dirawat di RS Banyumas atas rujukan RSUD Kebumen.
14) Para terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya yang telah mengeroyok Nanang Subekti.
e. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka
perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi unsur dari pasal yang didakwakan
kepadanya. Dalam hal ini, para terdakwa oleh Penuntut Umum telah didakwa
dengan dakwaan alternatif, yaitu:
78
Kesatu : Melanggar Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atau
Kedua : Melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP
Atau
Ketiga : Melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
B. Pembahasan
Penegakan hukum adalah suatu kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap
dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup baik merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun
tindakan pemberantasan (represif).68
Dalam upaya penegakan hukum, selain kesadaran akan hak dan kewajiban,
juga tidak kurang pentingnya akan kesadaran penggunaan kewenangan-
kewenangan aparat penegak hukum, karena penyalahgunaan kewenangan-
kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan dapat merugikan keuangan
negara juga dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran atau ketakutan jika
berhadapan dengan aparat penegak hukum.
68 Nurul Ratna Afiah. 1988. Barang Bukti Dalam Proses Pidana.Sinar Grafika. Jakarta.
hal. 13.
79
Suatu kewajiban bersama untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran
pada diri setiap warga negara untuk ikut berperan serta menegakkan kebenaran
dan keadilan. Karena tegaknya kebenaran dan keadilan dalam masyarakat adalah
untuk kepentingan bersama. Kesadaran pada setiap warga dapat tercermin dari
adanya warga negara yang melihat suatu peristiwa atau mengetahui peristiwa
tidak akan menghindarkan diri dari kewajiban sebagai saksi bahkan dengan suka
rela dan ikhlas mengajukan diri sebagai saksi.
Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah
menerima laporan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya
tindak pidana, atau bisa juga tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh penuntut
umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaan penuntut umum
terhadap terdakwa terbukti atau tidak.
Salah satu tindak pidana yang sering terjadi adalah tindak pidana
penganiayaan. Penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Unsur-unsur
dari penganiayaan adalah:
1. Unsur kesengajaan. 2. Unsur perbuatan. 3. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu:
a. Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; b. Luka tubuh
4. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.69
Pada beberapa kasus tindak pidana penganiayaan, tidak jarang
mengakibatkan kematian pada diri korban. Berdasarkan KUHP, tindak pidana
penganiayaan yang mengakibatkan kematian korban diatur pada pasal-pasal
sebagai berikut:
69 Adami Chazawi. 2002. Op. Cit. Hal. 7-8
80
1) Penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian diatur pada Pasal 351 ayat (3) KUHP
2) Penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian diatur pada Pasal 353 ayat (3) KUHP
3) Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian diatur pada Pasal 354 ayat (2) KUHP
4) Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian diatur pada Pasal 355 ayat (2) KUHP.70
Salah satu kasus tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian
korban yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kebumen adalah tindak
pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh terdakwa DA (18
tahun), CMS (19 tahun), dan JR (16 tahun) yang mengakibatkan korban mati,
yaitu Nanang Subekti (16 tahun). Atas tindak pidana penganiayaan yang
menyebabkan korban mati tersebut, Pengadilan telah memutuskan bersalah
kepada para terdakwa dengan Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor
369/Pid. B/2010/PN. Kbm.
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen
Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.
Pada kasus tindak pidana penganiayaan terhadap korban Nanang
Subekti, berdasarkan hasil pemeriksaan di Pengadilan terhadap alat-alat bukti
yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan visum et
repertum, maka didapat analisis yuridis peristiwa penganiayaan tersebut
sebagai berikut:
a. Saksi Ahmad Romadhon bin Muh. Yusup, Saksi Solehan bin Narto
Hudin, saksi Rico Aristanto bin Atang Maryantoro, saksi Ismangil Fajar
Yunianto, saksi Mohammad Amirul Wildan bin Moh. Nurul Huda, dan
Saksi Ihwan Rosyadi bin Slamet Jaenal menerangkan bahwa pada hari
70 Ibid. tanpa halaman
81
Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB di ruang Kelas I
TMO B SMK Ma'arif Kebumen, terdakwa DA bin Dulmingun, terdakwa
CMS bin Miskun dan terdakwa JR bin Sujaroh secara bersama-sama telah
melakukan pemukulan terhadap korban Nanang Subekti.
Atas keterangan saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak
keberatan
b. Akibat perbuatan para terdakwa, korban Nanang Subekti meninggal dunia
pada tanggal 18 Oktober 2010, setelah dirawat di RSU Banyumas atas
rujukan RSUD Kebumen.
c. Hasil Visum et Repertum No. 441.6/72/X/2010 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. Andika Dwi Cahya pada kesimpulannya
menerangkan bahwa pasien datang dalam keadaan sadar, terdapat luka
memar pada pipi kiri ukuran diameter 4 cm, terdapat luka lecet pada leher
ukuran 2 cm x 1 cm, sebab luka karena tumbukan dengan benda tumpul,
selama perawatan keadaan menurun dan curiga terdapat luka dalam organ
perut.
d. Hasil Visum et Repertum No. 445/1287/2010 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. Priyo Sapto Utomo, pada kesimpulannya
menerangkan bahwa korban bernama Nanang Subekti nyeri pada perut,
curiga pendarahan Intra Abdomen dengan kesimpulan luka-luka dan lain
tersebut di atas disebabkan karena kena benda tumpul, oleh karena
kejadian-kejadian itu jiwanya dalam bahaya (lavensgeraar), orang
tersebut di atas pada tanggal 18 Oktober 2010 telah dikeluarkan dari RSU
Banyumas dalam keadaan meninggal dunia.
Atas pembacaan Visum et Repertum tersebut, para terdakwa menyatakan
tidak keberatan.
82
Terhadap peristiwa tindak pidana penganiayaan secara bersama-sama
yang dilakukan oleh para terdakwa dan berakibat korban mati tersebut,
Penuntut Umum mengajukan dakwaan alternatif, yaitu:
Kesatu : Melanggar Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atau
Kedua : Melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP
Atau
Ketiga : Melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP
Karena dakwaan disusun secara alternatif, maka Hakim membuktikan
dakwaan yang paling cocok sesuai dengan fakta di persidangan, dimana
korban yang meninggal dalam perkara ini Nanang Subekti, yang lahir tanggal
14 Desember 1994, sehingga pada saat tindak pidana ini terjadi pada tanggal
16 Oktober 2010, korban masih berumur kurang lebih 16 tahun, sehingga
berlaku ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena itu Hakim langsung membuktikan dakwaan ke satu melanggar
Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketentuan Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
83
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Dengan demikian, unsur-unsur dari Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun
2002 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah sebagai berikut:
a. Setiap orang
b. Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak
c. Mengakibatkan anak tersebut mati
d. Turut serta melakukan
Penerapan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen
Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm. tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur setiap orang
Setiap orang adalah subjek hukum yang mampu bertanggung jawab
atas perbuatannya yang identitasnya sebagaimana dalam dakwaan
Penuntut Umum, yaitu bahwa:
1) Terdakwa I, DA bin DULMUNGIN, terdakwa II, CMS bin MISKUN dan terdakwa III, JR bin SUJAROH selama persidangan telah dapat menerangkan dengan jelas dan terang segala sesuatu yang berhubungan dengan dakwaan yang diajukan kepadanya dan identitas para terdakwa tidak disangkal kebenarannya oleh para terdakwa sendiri maupun oleh saksi-saksi sehingga tidak ada error in persona, demikian juga keadaan para terdakwa sendiri dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani.
2) Terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan akan dibuktikan dalam mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
84
Unsur “setiap orang” adalah siapa saja yang menjadi subyek hukum
dan perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan dalam pemeriksaan
telah diajukan pertanyaan kepadanya dan dapat membantah maupun
membenarkannya. Setiap orang adalah siapa saja yang menjadi pelaku
dalam tindak pidana tersebut. Dengan demikian unsur “setiap orang”
telah terpenuhi, yaitu orang yang dimaksud sebagai pelaku dalam tindak
pidana penganiayaan ini dikuatkan dengan keterangan saksi-saksi dan
terdakwa, yaitu:
1) Nama : DA bin DULMUNGIN Umur/tanggal lahir : 18 tahun/19 Juli 1992 Tempat lahir : Kebumen Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Alamat : Desa Kemangguan RT 01 RW 03 Kec. Alian
Kabupaten Kebumen Pendidikan : SMK Ma’rif 4 Kebumen
2) Nama : CMS bin MISKUN Umur/tanggal lahir : 19 tahun/26 Maret 1991 Tempat lahir : Kebumen Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Alamat : Kelurahan Kebumen RT 02. RW 02
Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Pendidikan : SMK Ma’rif 4 Kebumen
3) Nama : JR bin SUJAROH Umur/tanggal lahir : 16 tahun/27 Maret 1994 Tempat lahir : Kebumen Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Alamat : Desa Jatisari RT 02. RW 01 Kecamatan
Kebumen Kabupaten Kebumen Pendidikan : SMK Ma’rif 4 Kebumen
85
b. Unsur melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan
atau penganiayaan terhadap anak
Dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terpenuhi tidaknya
“unsur melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak” adalah sebagai berikut:
1) Pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 adalah: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2) Kekejaman adalah termasuk tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan.
3) Kekerasan adalah dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misal memukul dengan tangan dan sebagainya, sedangkan ancaman kekerasan adalah ucapan seseorang dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa ancaman itu dapat mengekang kebebasan pribadinya.
4) Pengertian penganiayaan adalah kesengajaan untuk menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain.
5) Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB, bertempat di ruang kelas I TMO B SMK Ma’arif 4 Kebumen Jl. Arumbinang Kec. Kebumen, Kab. Kebumen, para terdakwa bersama dengan saksi Rico, Saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ikhwan Rosyadi dan saksi Ismangil telah melakukan pemukulan terhadap korban Nanang Subekti.
6) Kejadiannya bermula pada hari sebelumnya, saksi Rico datang di Studio Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen, pada saat itu korban Nanang Subekti sedang siaran, kemudian saksi masuk Rico masuk dan menyetel lagu untuk disiarkan, sedangkan korban Nanang Subekti ke luar, tidak lama kemudian Nanang Subekti masuk dan memberikan Hpnya ke saksi Rico sambil berkata bahwa ada telepon dari Billy, penyiar senior Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen, dan pada saat itu Billy melarang saksi Rico yang bukan penyiar radio untuk memutar lagu di studio. Atas kejadian tersebut saksi Rico merasa sakit hati kemudian saksi Rico bersama dengan saksi Ikhwan Rosyadi datang ke kost saksi Solehan dan di sana sudah ada terdakwa DA, lalu saksi Rico mengajak semuanya untuk main ke SMK Ma’arif 4, dengan berboncengan mereka berangkat ke SMK, kemudian saksi Rico menuju ke Kelas 1 TMO B dan ketika melewati mushola di sana sudahada terdakwa JR terdakwa CMS, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil. Kemudian saksi Rico mengajak ke ruang TMO B untuk
86
ngobrol-ngobrol. Setelah di dalam kelas, saksi Rico bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa CMS menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa CMS menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang. Kemudian Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang ke ruang kelas I TMO B, lalu saksi Rico menyuruh korban duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi Rico memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri. Korban Nanang Subekti kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai. Selanjutnya saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru. Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi Rico mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban. Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri. Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA juga menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya. Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS juga menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri. Kemudian saksi Rico, saksi Ismangil
87
Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi Rico menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka, lalu korban Nanang Subekti pulang ke rumahnya dengan menggunakan sepeda kayuh.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, tindakan para terdakwa telah
memenuhi unsur melakukan kekejaman, kekerasan dan
penganiayaan terhadap anak, dimana pada waktu tindak pidana
kekejaman, kekerasan dan penganiayaan tersebut terjadi, korban Nanang
Subekti masih berusia 16 tahun atau lahir tanggal 14 Desember 1994.
c. Unsur mengakibatkan anak tersebut mati
Unsur mengakibatkan anak mati didasarkan pada unsur-unsur
sebagai berikut:
1) Keterangan saksi Musriyati binti Dulah Umar, saksi Agus Muluono bin Slamet yang keterangannya saling bersesuaian, bahwa pada hari Minggu tanggal 17 Oktober 2010 sekitar pukul 00.30 WIB, korban Nanang Subekti dibawa ke RSUD kebumen, karena korban muntah-muntah dan mengeluh perut sebelah kanan sakit. Selanjutnya setelah dirawat selama satu hari di RSUD Kebumen, pada hari Minggu tanggal 17 Oktober 2010 sekitar pukul 16.00 WIB, Nanang Subekti dirujuk ke RSU Banyumas hingga akhirnya pada hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 sekitar pukul 09.30 WIB meninggal dunia di RSU Banyumas.
2) Hasil Visum et Repertum yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Andika Dwi Cahya, Dokter pada RSUD Kebumen pada tanggal 11 November 2010 No. 441.6/72/X/2010 pada kesimpulannya menerangkan bahwa pada tanggal 17 Oktober 2010 telah memeriksa seorang korban yang bernama Nanang Subekti, umur 16 tahun, jenis kelamin laki-laki dengan kesimpulan pasien datang dalam keadaan sadar, terdapat luka memar pada pipi kiri ukuran diameter 4 cm, terdapat luka lecet pada leher ukuran 2 cm x 1 cm, sebab luka karena tumbukan dengan benda tumpul, selama perawatan keadaan menurun dan curiga terdapat luka dalam organ perut. Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Priyo Sapto Utomo, Dokter pada RSUD Banyumas pada tanggal 28 Oktober 2010 No. 445/1287/2010 pada kesimpulannya menerangkan bahwa pada tanggal 17 Oktober
88
2010 telah memeriksa seorang korban bernama Nanang Subekti, umur 16 tahun, jenis kelamin laki-laki dengan hasil pemeriksaan nyeri pada perut, curiga pendarahan Intra Abdomen dengan kesimpulan luka-luka dan lain tersebut di atas disebabkan karena kena benda tumpul, oleh karena kejadian-kejadian itu jiwanya dalam bahaya (lavensgeraar), orang tersebut di atas pada tanggal 18 Oktober 2010 telah dikeluarkan dari RSU Banyumas dalam keadaan meninggal dunia.
3) Keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan hasil Visum et Repertum tersebut saling bersesuaian, sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian korban Nanang Subekti akibat adanya luka-luka pada bagian dalam perut dimana luka-luka tersebut akibat dianiaya oleh para terdakwa.
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, yaitu keterangan saksi
Musriyati binti Dulah Umar, saksi Agus Muluono bin Slamet tentang
meninggalnya korban Nanang Subekti, hasil Visum et Repertum curiga
pendarahan Intra Abdomen disebabkan karena kekerasan benda tumpul
yang menjadi sebab kematian korban, maka keterangan saksi, keterangan
terdakwa, dan hasil Visum et Repertum tersebut saling bersesuaian.
Dengan demikian, unsur mengakibatkan anak tersebut mati telah
terpenuhi oleh tindakan para terdakwa.
d. Unsur turut serta melakukan suatu perbuatan
Unsur ini disebut juga medeplegen yaitu orang yang bersama-sama
melakukan suatu tindakan dan untuk disebut medeplegen, disyaratkan:
1) Kerjasama sadar, berarti bahwa setiap pelaku peserta saling mengetahui dan menyadari tindakan dari pelaku peserta lainnya. Tidak dipersyaratkan apakah telah ada kesepakatan jauh sebelumnya. Walaupun kesepakatan itu baru terjadi dekat sebelum atau bahkan pada saat tindak pidana itu dilakukan, namun sudah termasuk kerjasama secara sadar.
2) Kerjasama secara langsung, berarti bahwa perwujudan dari tindak pidana itu secara langsung sebagai akibat dari tindakan para pelaku peserta itu, dan bukan cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 KUHP.
89
Berdasarkan keterangan saksi-saksi serta keterangan para terdakwa
di persidangan, terungkap bahwa:
1) Pada hari Sabtu tanggal 16 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB, bertempat di ruang kelas I TMO B SMK Ma’arif 4 Kebumen Jl. Arumbinang Kec. Kebumen, Kab. Kebumen, para terdakwa bersama dengan saksi Rico, Saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ikhwan Rosyadi dan saksi Ismangil telah melakukan pemukulan terhadap korban Nanang Subekti.
2) Kejadiannya bermula ketika saksi Rico datang di Studio Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen, pada saat itu korban Nanang Subekti sedang siaran, kemudian saksi masuk Rico masuk dan menyetel lagu untuk disiarkan, sedangkan korban Nanang Subekti ke luar, tidak lama kemudian Nanang Subekti masuk dan memberikan Hpnya ke saksi Rico sambil berkata bahwa ada telepon dari Billy, penyiar senior Radio SMK Ma’arif 4 Kebumen, dan pada saat itu Billy melarang saksi Rico yang bukan penyiar radio untuk memutar lagu di studio. Atas kejadian tersebut saksi Rico merasa sakit hati kemudian saksi Rico bersama dengan saksi Ikhwan Rosyadi datang ke kost saksi Solehan dan di sana sudah ada terdakwa DA, lalu saksi Rico mengajak semuanya untuk main ke SMK Ma’arif 4, dengan berboncengan mereka berangkat ke SMK, kemudian saksi Rico menuju ke Kelas 1 TMO B dan ketika melewati mushola di sana sudahada terdakwa JR terdakwa CMS, saksi Ihwan Rosyadi, saksi Ismangil. Kemudian saksi Rico mengajak ke ruang TMO B untuk ngobrol-ngobrol. Setelah di dalam kelas, saksi Rico bertanya, “Siapa yang menelpon saya tadi sore?” lalu terdakwa CMS menjawab “tidak tahu”, selanjutnya saksi Rico kembali bertanya “siapa saja yang ada di studio tadi sore?” dijawab “ Ismangel, Jaenur Rohman, Billy dan Nanang”. Lalu saksi Rico meminta melalui telepon agar Billy datang ke SMK, namun Billy tidak bisa karena sedang kerja. Selanjutnya Rico Aristanto menyuruh Ismangil menelpon Nanang Subekti namun Nanang Subekti tidak bisa, kemudian terdakwa CMS menelpon lagi dan kemudian Nanang Subekti datang. Kemudian Sekitar pukul 21.00 WIB, Nanang Subekti datang ke ruang kelas I TMO B, lalu saksi Rico menyuruh korban duduk di kursi yang diletakkan di depan kelas, kemudian saksi menanyakan “ Nang, tadi apa betul yang menelpon Billy duluan ?” Korban mengatakan “Ya” namun setelah saksi tanya lagi, korban menjawabnya berbelit-belit lalu saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kursi korban dari samping sehingga terjatuh, kemudian saksi Mohammad Amirul Wildan menarik tangan korban untuk berdiri, lalu korban didudukkan di atas meja, kemudian saksi Ihwan Rosyadi memukul bagian muka korban sebanyak 1 kali dengan menggunakan tangan kanan yang mengepal, diikuti oleh saksi Mohammad Amirul Wildan yang memukul di bagian muka sebelah
90
kiri dengan tangan mengepal sebanyak 1 kali, terdakwa CMS juga ikut memukul mengenai rahang kiri sebanyak 1 kali, kemudian saksi Rico memukul korban dengan tangan kanan mengepal sebanyak 5 kali mengenai kepala bagian samping kiri. Korban Nanang Subekti kemudian menuju ke meja dan bersandar di atas meja, selanjutnya secara bersama-sama terdakwa DA, terdakwa CMS dan saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ismangil Fajar Junianto memukuli korban di bagian muka, lalu terdakwa DA menarik kaki korban sehingga terjatuh ke lantai. Selanjutnya saksi Mohammad Amirul Wildan menarik korban dan membawa ke depan meja guru. Karena terdakwa JR dan saksi Ismangil Fajar Junianto tidak memukul, lalu saksi Rico mengatakan “crew radio sudah difitnah seperti ini masa kalian terima ?” selanjutnya terdakwa JR menampar pipi kiri sebanyak 1 kali dengan tangan kiri, sedang saksi Ismangil Fajar Junianto menampar pipi kanan dengan tangan kanan namun bisa ditangkis korban. Selanjutnya ketika korban duduk di atas meja, saksi Ihwan Rosyadi memukul korban dengan tangan kanan sebanyak 1 kali mengenai rahang kiri. Ketika korban terjatuh di lantai, kemudian terdakwa DA menginjak pundak korban menggunakan kaki kanan, saksi Mohammad Amirul Wildan menendang kaki kanannya mengenai perut kiri, lalu terdakwa DA juga menendang perut kiri yang masih dalam posisi di lantai dengan kaki kanannya. Ketika korban bersandar di meja, saksi Rico menendang korban dengan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian bawah dan terdakwa CMS juga menendang menggunakan kaki kanan sebanyak 1 kali mengenai perut bagian kiri. Kemudian saksi Rico, saksi Ismangil Fajar Junianto, saksi Mohammad Amirul Wildan, saksi Ihwan Rosyadi dan para terdakwa mengatakan “uwis….uwis…”, lalu saksi Rico menyuruh korban untuk minta maaf, kemudian semuanya bersalaman, selanjutnya korban dibawa ke luar ruangan oleh terdakwa JR untuk cuci muka, lalu korban Nanang Subekti pulang ke rumahnya dengan menggunakan sepeda kayuh.
3) Hasil Visum et Repertum yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Andika Dwi Cahya, Dokter pada RSUD Kebumen pada tanggal 11 November 2010 No. 441.6/72/X/2010 pada kesimpulannya menerangkan bahwa pada tanggal 17 Oktober 2010 telah memeriksa seorang korban yang bernama Nanang Subekti, umur 16 tahun, jenis kelamin laki-laki dengan kesimpulan pasien datang dalam keadaan sadar, terdapat luka memar pada pipi kiri ukuran diameter 4 cm, terdapat luka lecet pada leher ukuran 2 cm x 1 cm, sebab luka karena tumbukan dengan benda tumpul, selama perawatan keadaan menurun dan curiga terdapat luka dalam organ perut. Hasil Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Priyo Sapto Utomo, Dokter pada RSUD Banyumas pada tanggal 28 Oktober 2010 No. 445/1287/2010 pada kesimpulannya menerangkan bahwa pada tanggal 17 Oktober 2010 telah memeriksa seorang korban bernama
91
Nanang Subekti, umur 16 tahun, jenis kelamin laki-laki dengan hasil pemeriksaan nyeri pada perut, curiga pendarahan Intra Abdomen dengan kesimpulan luka-luka dan lain tersebut di atas disebabkan karena kena benda tumpul, oleh karena kejadian-kejadian itu jiwanya dalam bahaya (lavensgeraar), orang tersebut di atas pada tanggal 18 Oktober 2010 telah dikeluarkan dari RSU Banyumas dalam keadaan meninggal dunia.
Tindak pidana bisa saja melibatkan lebih dari 1 (satu) orang, yang
berarti terdapat unsur ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak
pidana atau turut serta melakukan tindak pidana artinya bersepakat
dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu perbuatan
pidana dan secara bersama-sama melaksanakannya (kerjasama). Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP yang menentukan sebagai
berikut:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan tindak pidana itu; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya .
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tersebut dapat
dijelaskan bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1) mereka yang melakukan perbuatan pidana.
2) mereka yang menyuruh melakukan perbuatan pidana
3) mereka yang turut serta melakukan perbuatan pidana.
4) mereka yang membujuk supaya dilakukan perbuatan pidana.71
71Pembunuhan Berencana.diakses melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana pada tanggal 10 April 2012.
92
Dalam proses penegakkan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP yang lazim digunakan dalam penanganan suatu
tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam
kajian hukum pidana terkait pasal 55 KUHP itu secara teoritik dikenal
dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks
ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang
pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan
tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.72
Dalam bentuk delneming selalu terdapat seseorang pelaku dan
sesorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang
dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk delneming ini juga sering di sebut
Mendedderschap (turut melakukan). Dengan demikian, maka
Medeplegen itu di samping merupakan bentuk delneming, maka ia juga
merupakan suatu bentuk daderschap (pelaku dan keturutsertaan).
Menurut Simons, orang dapat membagi apa yang disebut daders
tersebut ke dalam:
Allen-dades, yakni pelaku-pelaku yang dengan seorang diri telah melakukan tindak pidana, middellijke, yakni pelaku-pelaku yang tidak melakukan sendiri tindak pidananya melainkan menyuruh orang lain, mededaders, yakni pelaku yang turut serta melakukan suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang lain. Uitlokkers, yakni orang-orang yang dengan suatu cara yang ditentukan di dalam undan-undang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Medeplichtiqen, yakni orang-orang yang telah memberikan bantuan pada waktu suatu trindak pidana itu sedang dilakukan oleh orang lain ataupun sebelum tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang lain.73
72 Boy Yendra Tamin. 2012. Deelneming (Penyertaan) Dalam Peristiwa Pidana:
Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP dan Penerapannya. Diakses melalui http://www.osserem.me/2012/03/deelneming-penyertaan-dalam-peristiwa.html pada tanggal 9 Mei 2012
73 Johan Febriansyah. 2011. Pengertian Medeplegen Atau Turut Melakukan.. Diakses melalui http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2241945-pengertian-medeplegen-atau-turut-melakukan/ pada tanggal 9 Mei 2012
93
Telah dikatakan bahwa medeplegen itu juga merupakan suatu
daderschap, apabila seorang tersebut melakukan suatu tindak pidana,
maka biasanya disebut sebagai seorang daders/seorang pelaku. Apabila
secara bersama-sama melakukan ssuatu tindak pidana itu dipandang
sebagai seorang mededader dari peserta-peserta yang lain. Di dalam
praktek kenyataannya adalah tidak demikian mudah untuk menyebutkan
mana orang yang harus dipandang sebagai pelaku dan mana yang dapat
dipandang sebagaai mededader/pelaku peserta. Misalnya tiga orang
bersama-sama melakukan pelanggaran dengan bersepeda berjejer di atas
jalan umum yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu pelanggaran dan diancam dengan hukuman. Dalam
putusannya, hakim itu wajib menyatakan bentuk keikutsertaan yang mana
telah dilakukan oleh seorang tertuduh. Sangat sulit bagi hakim untuk
memastikan, yaitu orang yang mana sebenarnya pelakunya dan orang
yang mana yang seharusnya sebagai mededader/pelaku peserta.
Opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut serta
melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, hal ini berarti
bahwa suatu kesengajaan untuk turut serta melakukan. Orang yang
membunuh korban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud
semata-mata menganiaya korban itu kedua-duanya harus dipersalahkan
telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan
kematian orang lain. Medeplegen yang dapat dihukum adalah turut
melakukan kejahatan maupun pelanggaran, sedangkan pada
medeplichitigheld itu dapat dihukum hanyalah mambantu malakukan
kejahatan saja.74
74 Ibid.
94
Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak
pidana terdapat dalam Pasal 55 KUHP sebagaimana telah disebutkan di
atas. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan
bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan
tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana. Van Hamel,
sebagaimana dikutip oleh Lamintang, mengemukakan ajaran mengenai
penyertaan itu adalah:
Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material”.75
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2
(dua) pembagian besar, yaitu:
1) Pembuat atau Dader Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan.76 Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari: a) Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud
dengan Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum.77
75 P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 594. 76 Ibid., hal. 585. 77 Ibid, hal. 599.
95
b) Yang menyuruhlakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor intellectualis.78 Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu. Menurut Simons, syarat-syarat tersebut antara lain: - Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu
adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
c) Yang turut serta (medepleger). Menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya
78 Ibid, hal. 610 – 611.
96
sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.
d) Penganjur (uitlokker) adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
2) Pembantu atau medeplichtige Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu: a) Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana
pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada: - Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau
menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
- Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
- Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
- Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.
b) Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian:
97
a) Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana: - Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4)
KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
- Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
- Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP). b) Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal
melakukan tindak pidana: - Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231
ayat (3) KUHP). - Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349
KUHP). 79
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dikaitkan dengan kasus
tindak pidana secara bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap
anak yang mengakibatkan kematian, atau turut melakukan tindak pidana
(medeplegen) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, maka
dapat disimpulkan bahwa perbuatan para terdakwa yaitu Terdakwa I, DA
bin DULMUNGIN, terdakwa II, CMS bin MISKUN dan terdakwa III, JR
bin SUJAROH yang turut serta melakukan perbuatan atau melakukan
pemukulan secara bersama-sama terhadap korban Nanang Subekti yang
mengakibatkan meninggalnya korban, memenuhi unsur dalam Pasal 55
(1) ke-1 KUHP. Dengan demikian unsur turut serta melakukan
perbuatan telah terpenuhi oleh tindakan para terdakwa.
2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.
Dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus suatu perkara, maka
dalam menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan dasar mengadili,
memutus dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dasar
mengadili diatur dalam Pasal 84 KUHAP yang merumuskan bahwa:
79 Ibid, hal. 610 – 611.
98
(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
Dasar memutus suatu perkara adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah dan dari alat bukti tersebutlah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar dilakukan oleh terdakwa, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 183 KUHAP sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dasar memutus suatu perkara pidana harus memuat pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan disertai dengan keadaan
yang memberatkan dan meringankan. Pasal 197 (1) huruf f KUHAP dirumuskan
bahwa:
Surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa
Dasar memutus suatu perkara harus memuat alasan dan dasar putusan serta
pasal tertentu dari peraturan perundangan yang dijadikan dasar untuk mengadili, hal
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang merumuskan:
99
(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Apabila terdakwa masih berusia anak-anak, maka pidana penjara yang dapat
dijatuhkan adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa. Pasal 26 ayat (1) UU No. No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak merumuskan:
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm. Diketahui
bahwa tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terjadi di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Kebumen, maka berdasarkan Pasal 84 KUHAP Pengadilan
Negeri Kebumen yang berwenang mengadili dan memutus perkara tersebut.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, dasar memutus suatu perkara adalah
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dalam perkara ini alat bukti yang sah
adalah:
a. Keterangan para saksi
b. Keterangan para terdakwa
c. Hasil Visum et Repertum
Berdasarkan Pasal 197 (1) huruf f KUHAP dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pemidanaan adalah Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
100
Materi pembelaan Penasihat Hukum para terdakwa, pada pokoknya
mendalilkan sebagai berikut:
a. Kendati unsur setiap orang telah terpenuhi, namun menghilangkan nyawa anak tidak terpenuhi, karena korban Nanang Subekti masih dalam keadaan sadar dan sempat pulang ke rumahnya dengan menaiki sepeda kayuh.
b. Pada terdakwa melakukan perbuatan tersebut atas dasar tekanan, sehingga para terdakwa merasa terancam dan bukan atas dasar kemauan dan kehendak dari para terdakwa.
c. Para terdakwa mengakui kesalahannya dan telah meminta maaf kepada pihak keluarga, sehingga memohon hukuman yang seringan-ringannya.
Terhadap materi pembelaan Penasihat Hukum pada terdakwa tersebut, Majelis
Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Terhadap pembelaan point pertama, menurut Hakim adalah tidak berdasar dan harus dikesampingkan oleh karena tidak disertai pembuktian yang memadai, hanya didasarkan asumsi dan penilaian Penasihat Hukum terhadap keterangan saksi-saksi dan terdakwa yang menyatakan kalau korban Nanang Subekti setelah dilakukan pemukulan oleh para terdakwa masih bisa pulang ke rumah dengan naik sepeda kayuhnya. Pada dasarnya Penasihat Hukum para terdakwa tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, di lain pihak dari hasil Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter yang menangani, jelas dapat disimpulkan bahwa kematian korban karena adanya perlukaan pada inter abdomen, yang disebabkan trauma benda tumpul, sehingga dalil pembelaan Penasihat Hukum para terdakwa tersebut dikesampingkan.
b. Terhadap pembelaan point kedua, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa di dalam M.v.T (Memorie van Tpelichting) yaitu daya paksa adalah suatu kekuatan (kracht), dorongan (drang) atau paksaan (dwang) yang tidak dapat dilawan/dielakkan, sehingga materi pembelaan point kedua tersebut sangatlah tidak beralasan, karena berdasarkan keterangan saksi dan para terdakwa sendiri, ancaman atau tekanan yang dimaksud yaitu berupa omongan dari saksi Rico dan para terdakwa sendiri mengakui bahwa saksi Rico belum pernah mengancam dan belum pernah membuktikan ancamannya tersebut, bahkan saksi Rico juga tidak pernah mengarahkan para terdakwa ketika melakukan pemukulan. Di persidangan juga telah nyata bahwa para terdakwa berjumlah 6 orang dengan hanya saksi Rico yang mengancam, sehingga sebenarnya para terdakwa bisa memilih pilihan dengan mudah untuk menolak dan mengelak ketika saksi Rico menyuruh untuk melakukan pemukulan terhadap korban Nanang Subekti, sehingga materi pembelaan Penasihat Hukum para terdakwa sangatlah tidak beralasan dan harus dikesampingkan.
c. Terhadap materi pembelaan para terdakwa yang pada pokoknya para terdakwa mengakui kesalahannya dan memohon maaf kepada pihak keluarga, selanjutnya mohon hukuman yang seringan-ringannya, akan dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman.
101
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka semua unsur
dari Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 telah terpenuhi dan para terdakwa lah
yang melakukan tindak pidana penganiayaan, maka Hakim berpendapat bahwa
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “secara
bersama-sama melakukan kekejaman, kekerasan dan penganiayaan terhadap
anak sehingga anak mati”.
Ketentuan dalam Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002, selain mengatur
ancaman pidana penjara, juga mengatur ancaman denda secara komulatif alternatif,
sehingga terhadap para terdakwa dikenakan pidana denda yang besarnya ditentukan
dengan melihat kemampuan keluarga para terdakwa.
Sebelum menjatuhkan pidana terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah:
a. Perbuatan para terdakwa menyebabkan derita yang berkepanjangan bagi keluarga korban.
b. Para terdakwa telah tega melakukan tindakan tersebut terhadap teman sekolahnya sendiri.
Adapun hal-hal yang meringankan adalah:
a. Para terdakwa masih anak-anak dan berstatus sebagai pelajar, sehingga diharapkan dapat memperbaiki perilakunya.
b. Para terdakwa belum pernah dihukum dan menyesali perbuatannya c. Pihak keluarga korban telah memaafkan tindakan para terdakwa, walaupun tetap
menghendaki para terdakwa dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Perbuatan yang dilakukan oleh anak sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat
(3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sangat dicela oleh
masyarakat. Sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum yang materiil, perbuatan ini
termasuk dalam kategori anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ke 2 UU No.
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Mengingat Pasal 80 ayat (3) UU No. 23
Tahun 2002, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
serta peraturan-peraturan hukum lain yang bersangkutan, maka Hakim memutuskan:
102
a. Menyatakan Terdakwa I, DA bin DULMUNGIN, terdakwa II, CMS bin MISKUN dan terdakwa III, JR bin SUJAROH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan kekejaman, kekerasan dan penganiayaan anak sehingga anak mati”.
b. Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu terhadap Terdakwa I selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan, Terdakwa II selama 3 (tiga) tahun dan 3 (tiga) bulan, Terdakwa III selama 3 (tiga) tahun.
c. Menjatuhkan pula terhadap Para Terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.
d. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
e. Memerintahkan agar Para Terdakwa tetap berada dalam tahanan. f. Membebankan kepada Para Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
perkara ini, masing-masing sebesar Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).
Ancaman pidana berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun
2002 adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU
No. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa apabila
terdakwa masih berusia anak-anak, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan
adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa.
Putusan pidana bagi para terdakwa dalam Perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN.
Kbm. diputus bervariasi yaitu Terdakwa I selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan,
Terdakwa II selama 3 (tiga) tahun dan 3 (tiga) bulan, Terdakwa III selama 3 (tiga)
tahun, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU No. No. 3 Tahun
1997, yaitu pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama 1/2 (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Masa penahanan yang telah dijalani oleh para terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal
33 KUHP yang merumuskan:
103
(1) Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada dalam tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian di potong dari pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang dijatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda dengan memakai ukuran menurut pasal 31 ayat 3.
(2) Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika pemotongan itu dinyatakan khusus dalam putusan hakim.
(3) Ketentuan pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut bareng karena melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara.
Pengadilan menjatuhkan pula terhadap Para Terdakwa dengan pidana denda
masing-masing sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah). Namun demikian,
disayangkan besarnya pidana denda sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) tersebut
tidak diterimakan kepada ahli waris korban/keluarga korban.
Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada
umumnya pasal-pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:
Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke
dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam
unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.80
Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan
unsur-unsur objektif sebagai berikut:
Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.81
80P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Bandung. hal. 193. 81 Ibid . hal. 193
104
Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan:
a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.
b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).82
Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam
pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut:
Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah: a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan); b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig); d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon). Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ; c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana. J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility (pertanggungjawaban pidana).83
Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-
unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:
82 Sudarto. Op. Cit, 1991,hal..24. 83 Ibid hal.. 24-25.
105
Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan b. Bersifat melawan hukum c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana. Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia); b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).84
Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada
perbedaan yang prinsipiil, sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu
diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak
ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa
untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat yang
diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.85
Berdasarkan putusan pidana bagi para terdakwa dalam Perkara Nomor
369/Pid. B/2010/PN. Kbm. diketahui bahwa selama persidangan, Hakim tidak
menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban
pidana, baik berdasarkan alasan pembenar maupun alasan pemaaf, oleh karena itu
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya. Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu
tindak pidana adalah:
a. Memenuhi rumusan undang-undang b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Kesalahan
1) mampu bertanggung jawab; 2) tidak ada alasan pemaaf.
Dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan
itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:
84 Ibid hal.. 25-26. 85 Ibid hal..26.
106
a. Memenuhi rumusan undang-undang; b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan: d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut
mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Memenuhi rumusan undang-undang
Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-
undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan, pembentuk undang-undang menyatakan
dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu
peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat
dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.86
Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah
norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu nullum delictum
poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa ada peraturan lebih dulu).
Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar
belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-
wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian:
86Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya. Aksara
Baru. Jakarta hal. 1.
107
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.87
Bahwa perbuatan pidana penganiayaan dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm dilakukan atau terjadi setelah
ditetapkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
b. Bersifat melawan hukum
Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum, yang dalam
Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan
juga “Wederrechtelijkheid”. Menurut Roeslan Saleh mengenai unsur sifat
melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka
pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu
sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti
demikian88
Menurut Pompe, melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan
pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan
pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan
unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur
melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.89
Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo,
mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:
87 Ibid hal.. 40. 88 Ibid hal. 1. 89 Ibid hal. 5.
108
1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. 2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang
lain. 3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. 5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan
hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.. f) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena
dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.90
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil)
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang
menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini,
rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela
kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan
delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas
dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu
perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:
1) Perbuatan tersebut melawan hukum;
2) Harus ada kesalahan pada pelaku;
3) Harus ada kerugian.91
90 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hal. 31-32. 91 Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta. hal. 73.
109
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-
undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum
yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor
negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak
mendapat untung.
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam
hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat
melawan hukum yang formal dan materiil.
1) Ajaran sifat melawan hukum formal Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang
undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
2) Ajaran sifat melawan hukum materiil Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum
yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.92
Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur
rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui
alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan
pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D.
Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy, pengertian melawan hukum itu
ada 4 kelompok yaitu:
92 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op.,cit.hal. 34-35.
110
1) Sifat melawan hukum secara umum Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam
rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.
2) Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan
“melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.
3) Sifat melawan hukum secara materil Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga
perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
4) Sifat melawan hukum secara formil. Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan,
dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.93
Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan
pandangan yang materiil, yaitu:
1) Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);
2) Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.94
Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan
terdapat dua ukuran, yaitu:
Sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya
93 D. Schaffmeister, et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Cet.
Kedua. Liberty. Yogyakarta. hal. 39. 94 Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 134.
111
paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.95
Bahwa perbuatan pidana penganiayaan dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm merupakan perbuatan pidana yang
bersifat melawan hukum, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 80 ayat (3)
UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
c. Kesalahan
Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari
kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini
sesuai dengan penjelasan dari Sudarto sendiri bahwa, untuk memungkinkan
adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak cukup apabila seseorang telah
melakukan tindak pidana belaka. Di samping itu pada orang tersebut harus ada
kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.96
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk
itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Sudarto, bahwa:
95 Bambang Poernomo. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 115.
96 Sudarto. 2001. Op. Cit, hal. 39.
112
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan97
Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.98 Kemudian
Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu:
1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya.
2) Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa: a) Kesengajaan (dolus). b) Kealpaan (culpa).
3) Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. 99
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dalam hal
kesalahan berlaku apa yang di sebut atas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine
strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld) atau nulla poena sine culpa
(“culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Berdasarkan hal tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa kesalah terdiri atas beberapa unsur ialah:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana.100
97 Ibid hal.39. 98 Ibid hal..41. 99 Ibid hal..45. 100 Ibid hal..91
113
Unsur mampu bertanggung jawab dan tidak ada alasan pemaaf dan
pembenar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Mampu bertanggung jawab
Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada
jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana
serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya
itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan
yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons sebagaimana
dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: a) Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya
bertentangan dengan hukum; b) Ia dapat menetukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.101
Menurut Djoko Prakoso, dalam pengertian perbuatan pidana tidak
termasuk pertanggungjawaban. Djoko Prakoso mengatakan:
Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai
kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas
yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada
kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.102
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada
waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan
demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua
hal, yaitu:
101 Ibid hal.39. 102 Djoko Prakoso. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama. Liberty
Yogyakarta. Yogyakarta. hal.75
114
1) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan
2) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.103
Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua
alasan mengenai hakikat kejahatan, yakni:
1) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya.
2) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.104
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini
mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan.
Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai
perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi
dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan
kegoncangan sosial di masyarakat.
Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan
batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah
kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk
menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang
melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat
dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat
mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik
oleh masyarakat.105
103 Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 31 104 J.E. Sahetapy. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar Harapan. Jakarta.
hal.41-42 105 Andi Hamzah. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia. Jakarta. hal. 78
115
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka
ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk
diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan
Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.
3) Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.106
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara
terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa
pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang
yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat:
1) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan 2) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam
pergaulan masyarakat 3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan
tadi.107
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya
perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Untuk
adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu:
1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara
106 R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. hal. 60-61 107 Andi Hamzah. 1986. Op.cit, hal.79
116
perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.108
Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dengan alasan pelaku
pidana masih muda usia, Roeslan Saleh, mengatakan bahwa:
Ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam pasal-pasal 44, 48, 49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.109
Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa:
Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk dianggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah didasarkan pada Pasal 44 KUHP, jadi sama dengan orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di idana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak dipidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak dipidana.110
Bahwa para terdakwa pada perbuatan pidana penganiayaan dalam
Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm
merupakan perbuatan pidana yang dipandang mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya, karena mereka dalam kondisi normal dan sehat sebagaimana
tertuang dalam BAP bahwa ketika diperiksa mereka menyatakan sehat, sadar,
tidak dalam keadaan terpaksa atau tertekan atau ditekan oleh siapapun.
108 Ibid. hlm 83 109 Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. hal. 83 110 Ibid. hal.84
117
2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar
Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang dapat
dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal itu bukan suatu peristiwa
pidana meskipun perbuatan itu sesuai dengan yang dilarang oleh undang-
undang.
Dalam ketentuan Umum KUHPidana alasan penghapus pidana ini
dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu
KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51.
Sedangkan pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah dicabut
berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No. 3Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak.
a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya)
Pasal 44 KUHPidana berbunyi:
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.
3. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Dalam pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk undang-
undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa atau kurang
sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan. R. Soesilo dalam hal
ini menjelaskan:
118
Berdasarkan ayat (3) dari pasal ini kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut. Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.111
b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)
Pasal 48 berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat di hindarkan, tidak boleh di hukum.
Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di maksudkan
dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut memorie van
toelechting, maka yang di maksud dengan paksan itu adalah “ee kracht,
een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (suatu
kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat di lawan tidak
dapat di tahan).112
Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat di jadikan alasan
penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benar-benar tidak
dapat di lawan atau di elakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab
adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak pidana. Paksaan mana ; biasa
di kenal dengan istilah pakasaan yang absolute, misalnya seseorang yang
di paksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam
keadaan tangannya yang di pegang oleh orang lain yang lebih kuat.
111 R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61 112 Utrecht. 1986. Op. Cit. hal. 350
119
c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk mebela diri)
Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.
Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan
alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela /tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain.
2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan perbuatan yang di ujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir.
3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut. Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional /seimbang. Dengan demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.113
Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang melampaui
batas) berbunyi:
Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.
Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan apakah
benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang
mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu
113 Soesilo. 2001. Op.cit. hlm 64-65
120
pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya
merupakan tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan
perbuatan yang melawan hukum , akan tetapi pelakunya di nyatakan tidak
bersalah, keselahan nya di hapuskan.114
d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan)
Pasal 50 berbunyi:
Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh di hukum.
Dalam penjelasan pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang
melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan
tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si
pelaku tidak boleh di hukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan
untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi pelaku.
Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan undang-undang
tersebut, dan apakah juga termasuk perturan perundang-undangan yang
sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang
diatasnya (secara hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan
perintah undang-udnag ini harus dilakukan secara proporsional /seimbang
misalnya seorang Polisi yang menembak seorang penjahat (kambuhan)
dapat di benarkan dari pada ia menembak seorang yang hanya untuk
mengehentikan orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang
melarikan diri.115
114 Ibid. hal. 64-65 115 Ibid. hal. 66
121
e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah)
Pasal 51 ayat (1) berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh di hukum.
Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang yang
berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang berwenang) dan yang di
perintah melaksanakanya karena sesuai dengan atau berhubungan dengan
pekerjaanya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal
melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan asas
keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari
batas keputusan dari orang yang memerintah.116
Pasal 51 ayat (2) (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di
anggap syah) berbunyi:
Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi.
Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan kesalahnnya
(kesalahan yang di bebankan kepada orang yang memberi perintah).
Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan perintah yang tidak sah,
dapat di hapuskan pidananya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
116 Ibid. hal. 66-67
122
1. Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah 2. Dilakukan dengan itikad baik 3. Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang biasanya ia
lakukan). Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang atasan haruslah waspada dan teliti.117
Dalam bagian kedua, terdapat juga bagian khusus yang terdapat dalam
buku kedua (Tentang Pengaturan Khusus) secara keseluruhan membahas
tentang adanya alasan penghapusan pidana yaitu alasan pembenar, yaitu
sebagai berikut:
a) Pasal 166
Pasal 166 berbunyi:
Ketentuan pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya penuntutan bagi dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat kedua atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi suaminya (isterinya ) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi orang lain, yang kalau di tuntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberi keterangan sebagai saksi, berhubung dengan jabatan atau pekerjaanya.
Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan pasal 165 yang
memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun
mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan tertentu yang sangat
sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu
tindak-tindak pidana itu masih dapat di hindarkan atau di cegah. Sanksi
pidana ini baru dapat di jatuhkan apabila kemudian ternyata tidak pidana
yang bersangkutan benar-benar terjadi.
117 Ibid. hal. 67
123
Jadi menurut paal 166, kedua pasal tersebut (pasal 164 dan 165 )
tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-tindak pidana itu untuk
menghindarkan dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau
terhadap sanak keluarga dalam keturunan lurus dan kesamping samai
derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang
yang dalam perkaranya ia dapat di bebaskan dari kewajiban memberi
kesaksian di muka sidang pengadilan.118
b) Pasal 186 ayat (1)
Pasal 186 ayat (1) berbunyi:
Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu tidak dapat di hukum.
Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini di atur dalam Bab VI
KUHPidana kita, yaitu tentang “ perkelahian satu lawan satu,” yang
terdapat dalam pasal-pasal 182 sampai dengan pasal 186. Akan tetapi
saksi-saksi atau medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang
tanding ini (misalnya dalam olah raga tinju, karate, dan lain sebagainya)
tidak boleh di hukum berdasarkan pasal 186 ayat (1) ini.119
c) Pasal 314 ayat (1)
Pasal 314 ayat (1) berbunyi:
Kalau orang yang di hinakan, dengan keputusan hakim yang sudah tetap, telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka tidak boleh dijatuhkan hukuman karena memfitnah.
118 Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia.
Refika Aditama. Bandung. Hal. 224-225 119 Ibid. hal.168-169
124
Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan
hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan (yang
di tuduhkan/di hinakan) kepada orang itu, terbukti benar sesuai dengan
keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan
kata lain orang yang di hinakan/di cemarkan nama baiknya ini telah di
jatuhi pidana terhadap perbuatan yang di hinakan/ dituduhkan kepadanya.
Oleh karena itu sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghina atu
pencemar nama baik tersebut di hapuskan (hilang).120
d) Pasal 352 ayat (2)
Pasal 352 ayat (2) berbunyi:
Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum
Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan ringan”
pasal 352 ayat (1), yang pelaku di ancam dengan pidana. Akan tetapi
dengan adanya ayat (2) pasal ini, maka percobaan melakukan
penganiayaan ringan tidak dapat di pidana; merupakan alasan penghapus
pidana. seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu Pasal 53 tentang
percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga
harus di pidana. Akan tetapi sanyangnya pembuat undang-undang tidak
merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak
dapat di pidana.121
120 M. Hamdan. 2008. Jurnal Hukum: Pembaharuan Hukum Tentang Alasan
Penghapusan Pidana. Fakultas Hukum USU. Medan Desember. 2008. hal. 56-57 121 Ibid, hlm.57
125
Bahwa para terdakwa pada perbuatan pidana penganiayaan dalam
Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm
merupakan perbuatan pidana yang tidak ada alasan pembenar maupun alasan
pemaaf yang dapat membebaskannya dari sifat melawan hukum perbuatan
itu. Selama persidangan, Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat
melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik berdasarkan
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, oleh karena itu terdakwa harus
dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.
Perbuatan para terdakwa tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar,
karena para terdakwa melakukan tindakan penganiayaan tersebut:
a) Dalam keadaan sehat dan tidak sakit/terganggu jiwanya (Pasal 44 KUHP)
b) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa (Pasal 48 KUHP)
c) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka untuk mebela diri (Pasal 49
ayat (1) KUHP)
d) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melaksankan peraturan
perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
e) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melakukan perintah jabatan
yang syah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi rumusan
undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si
pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam
KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
126
lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan. Dalam hal hakim
menjatuhkan pidana setelah semua unsur-unsur tindak pidana terpenuhi, maka
penjatuhan pidana tersebut harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai
berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan Pasal 197
KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
127
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan nama panitera; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l
pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang
ini.
Ketiga unsur tindak pidana, dalam kasus tindak pidana penganiayaan
sebagaimana termaktup dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid.
B/2010/PN. Kbm, yaitu memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan
hukum, serta unsur kesalahan telah terpenuhi, maka hakim memutuskan bersalah
kepada para terdakwa dengan alat alat bukti yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 184 KUHAP, yaitu:
1. Keterangan para saksi, dimana atas keterangan para saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan.
2. Keterangan para terdakwa, dimana para terdakwa mengakui kesalahannya dan telah meminta maaf kepada pihak keluarga, sehingga memohon hukuman yang seringan-ringannya.
3. Hasil Visum et Repertum, dimana atas pembacaan Visum et Repertum tersebut, para terdakwa menyatakan tidak keberatan
Antara keterangan para saksi, keterangan para terdakwa dan hasil Visum et
Repertum mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kematian korban Nanang Subekti akibat adanya luka-luka pada
bagian dalam perut dimana luka-luka tersebut akibat dianiaya oleh para terdakwa.
Meskipun para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana “secara bersama-sama melakukan kekejaman, kekerasan dan
penganiayaan terhadap anak sehingga anak mati”, sebagaimana telah ditetapkan
128
dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.,
namun demikian, terdapat ketidaktepatan dalam pengajuan para Terdakwa dalam
persidangan di Peradilan Umum, mengingat bahwa para Terdakwa belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, seharusnya tetap diajukan ke Sidang Anak. Hal ini
didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang
menegaskan sebagai berikut:
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Berdasarkan rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut
di atas, jelas bahwa batas umur minimum anak nakal untuk dapat diajukan ke Sidang
Anak adalah 8 (delapan) tahun dengan batas maksimum 18 (delapan belas) tahun.
Dalam hal anak melakukan tindak pidana, maka tetap diajukan ke Sidang Anak,
meskipun usianya telah melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahu, jika pada saat melakukan perbuatan
tindak pidana tersebut masih di bawah umur dan belum pernah menikah. Sedangkan
usia para Terdakwa pada waktu tindak pidana “secara bersama-sama melakukan
kekejaman, kekerasan dan penganiayaan terhadap anak sehingga anak mati”,
adalah:
1. Terdakwa I DA bin DULMANGIN (18 tahun/lahir 19 Juli 1992).
2. Terdakwa II CMS bin MISKUN (19 tahun/lahir 26 Maret 1991)
3. Terdakwa III JR bin SUJAROH (16 tahun/lahir 27 Septermber 1994)
129
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tindak pidana
secara bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap anak yang
mengakibatkan kematian, sebagaimana telah ditetapkan dalam Putusan
Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Para pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dimana perbuatan
dilakukan lebih dari satu orang.
2. Telah memenuhi perbuatan dan pelakunya serta pasal-pasal yang terkait
dengan masalah dasar dalam mengadili dan memutus perkara.
B. Saran
Hakim dalam memutus perkara diharapkan memperhatikan pidana yang
terbaik bagi anak supaya tetap tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kepribadian sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
130
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks:
Afiah, Nurul Ratna. 1988. Barang Bukti Dalam Proses Pidana.Sinar Grafika. Jakarta
Chazawi. Adami. 2002. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dellyana, Shanty. 1988. Anak-anak dan Wanita dimata Hukum. Liberty. Jogjakarta
Effendi, Yazid dan Kuat Puji Prayitno. 2006. Diktat Hukum Penitensier Indonesia. Fakultas Hukum UNSOED. Purwokerto .
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang Sistem Pemidanaan di Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung.
. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung
Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta
Poernomo, Bambang. 1988. Pola Dasar dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Liberty. Yogyakarta.
. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta.
Prakoso, Djoko. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
131
Sahetapy, J.E. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar Harapan. Jakarta.
Saleh, Roeslan. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya. Aksara Baru. Jakarta
. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta.
. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta.
Schaffmeister, D. et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Cet. Kedua. Liberty. Yogyakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung
. 2001. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum UNSOED. Purwokerto.
Tirtaamidjaja, M.H. 1995. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Fasco. Jakarta
Tuanakotta, Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta.
Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
132
Website dan Sumber Lain:
Anshory, Makmum. 2008. Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://makmum-anshory.blogspot.com/2008/06/pidana-penganiayaan.html. pada tanggal 5 September 2011
Diakses melalui http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2241945-pengertian-medeplegen-atau-turut-melakukan/ pada tanggal 9 Mei 2012
Febriansyah, Johan . 2011 Pengertian Medeplegen Atau Turut Melakukan. Diakses melalui http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2241945-pengertian-medeplegen-atau-turut-melakukan. pada tanggal 5 Mei 2012.
Febriansyah, Johan . 2011. Pengertian Medeplegen Atau Turut Melakukan
Mudhofar. 2011. Tindak Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://ofanklahut.blogspot.com/2011/04/tindak-pidana-penganiayaan.html pada tanggal 5 Mei 2012.
M. Hamdan. 2008. Jurnal Hukum: Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana. Fakultas Hukum USU. Medan Desember. 2008.
Pembunuhan Berencana.diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana pada tanggal 10 April 2012.
Qulub, Syifaul. 2008 Kejahatan Terhadap Tubuh. Fakultas Syari’ah. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Diakses melalui http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/05/kejahatan-terhadap-tubuh.html pada tanggal 2 Mei 2012.
Syahruddin. 2009. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://balance04.blogspot.com/2011/01/pengertian-tindak-pidana-penganiayaan.html pada tanggal. 20 September 2011
Tamin, Boy Yendra. 2012. Deelneming (Penyertaan) Dalam Peristiwa Pidana: Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP dan Penerapannya. Diakses melalui http://www.osserem.me/2012/03/deelneming-penyertaan-dalam-peristiwa.html pada tanggal 9 Mei 2012