bab i- pendahuluan a. latar belakang...

81
1 BAB I- PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini dimana ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan pesat dan teknologi semakin maju membuat segala sesuatu pekerjaan bisa dilakukan melalui alat-alat berteknologi. Namun pekerjaan yang dilakukan menggunakan alat-alat berteknologi yang dilakukan pelaku usaha seringkali membuat konsumen tidak mengetahui dengan apa yang ditentukan oleh pelaku usaha. Konsumen dipaksa menerima tanpa mengetahui informasi yang sebesar-besarnya mengenai produk yang dikonsumsinya. Pelaku usaha juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam memberikan inovasi-inovasi baru terhadap produknya untuk mengimbangi persaingan dengan pelaku usaha lainnya, disamping itu juga untuk meningkatkan keuntungan. Namun selama ini pelaku usaha kurang memperhatikan kepentingan konsumen sehingga muncul ketidakpuasan dari konsumen karena barang dan/atau jasa yang mereka nikmati tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan sehingga munimbulkan kerugian kepada konsumen. Pelaku usaha seharusnya menyadari bahwa salah satu unsur penting dalam usaha adalah konsumen, hal ini dikarenakan sasaran utama dalam pemasaran barang dan/atau jasa tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Tenaga listrik merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik sangat

Upload: duongkien

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I-

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini dimana ilmu pengetahuan

semakin berkembang dengan pesat dan teknologi semakin maju membuat segala

sesuatu pekerjaan bisa dilakukan melalui alat-alat berteknologi. Namun pekerjaan

yang dilakukan menggunakan alat-alat berteknologi yang dilakukan pelaku usaha

seringkali membuat konsumen tidak mengetahui dengan apa yang ditentukan oleh

pelaku usaha. Konsumen dipaksa menerima tanpa mengetahui informasi yang

sebesar-besarnya mengenai produk yang dikonsumsinya. Pelaku usaha juga

dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam memberikan inovasi-inovasi baru

terhadap produknya untuk mengimbangi persaingan dengan pelaku usaha lainnya,

disamping itu juga untuk meningkatkan keuntungan. Namun selama ini pelaku

usaha kurang memperhatikan kepentingan konsumen sehingga muncul

ketidakpuasan dari konsumen karena barang dan/atau jasa yang mereka nikmati

tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan sehingga munimbulkan kerugian

kepada konsumen. Pelaku usaha seharusnya menyadari bahwa salah satu unsur

penting dalam usaha adalah konsumen, hal ini dikarenakan sasaran utama dalam

pemasaran barang dan/atau jasa tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan

konsumen.

Tenaga listrik merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan

manusia, oleh karena itu penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik sangat

2

dibutuhkan manusia. Agar masyarakat dapat terus menikmati aliran tenaga listrik

dari PT. PLN, maka masyarakat harus melaksanakan kewajibannya untuk

membayar biaya atas jasa yang didapatkan sebagaimana yang tercantum dalam

rekening tagihan listrik. Jumlah yang harus dibayarkan konsumen dalam rekening

tagihan listrik adalah sebagaimana yang diperjanjikan oleh para pihak, yaitu

masyarakat selaku konsumen dan PLN selaku pelaku usaha penyedia tenaga

listrik.

Masyarakat dalam membayar rekening tagihan listrik dapat melalui loket-

loket khusus yang ditunjuk oleh PT. PLN maupun membayar secara online

melalui bank, kantor pos maupun pihak lain yang ditunjuk. Pembayaran rekening

listrik secara online melalui kantor pos diadakan karena sebelumnya terjadi

penumpukan pelanggan PT. PLN yang ingin melakukan pembayaran rekening

listrik secara langsung melalui loket kantor PT. PLN, sehingga PT. PLN

mengadakan kerjasama dengan beberapa bank dan kantor pos untuk melayani

masyarakat yang ingin melakukan pembayaran listrik. Pembayaran rekening

listrik melalui PT. Pos Indonesia ini merupakan hal yang baru bagi PT. Pos

Indonesia, dan pembayaran secara online ini disebut dengan sistem online

payment point (SOPP). Pembayaran rekening listrik secara online ini dikenakan

biaya tambahan yaitu berupa biaya administrasi yang harus dibayarkan nasabah

PT. PLN yang membayar rekening listrik secara online. Penarikan biaya

administrasi yang dilakukan oleh pihak PT. Pos Indonesia dalam pembayaran

rekening listrik ini.

3

PT. Pos Indonesia melaksanakan kerjasama dengan pihak PLN, dimana di

sana terjadi pembagian keuntungan di antara para pihak. Dalam materi perjanjian

antara PLN dengan PT. Pos Indonesia, kewajiban untuk membayar segala biaya

yang dikeluarkan oleh PT. Pos dalam pelaksanaan pembayaran rekening listrik

secara online ditanggung oleh pihak pelaksana dalam hal ini adalah PT. Pos

Indonesia. PT. PLN selaku pemegang hak atas biaya pembayaran rekening listrik

yang dibayarkan oleh pelanggan PT. PLN berhak menerima uang yang dibayarkan

oleh pelanggan PT. PLN yang disetorkan melalui PT. Pos Indonesia, namu tidak

selalu hak tersebut berjalan dengan lancer, ada kalanya pelaku usaha membuat

kesalahan yang akhirnya merugikan konsumen. Hak dasar dalam Guidelines for

Consumer Protection of 1985 yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

menyatakan:

Konsumen dimanapun mereka berada dan segala bangsa memiliki hak-hak dasar sosialnya, yang dimaksud hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, jujur, hak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan & papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik & bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar.1

Menyikapi permasalahan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak

terlepas dari adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK), dimana dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa

keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah dimaksudkan

1 A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Tiagra

Utama, 2002, hal 7

4

sebagai landasan perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan

pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Idealnya antara hak dan kewajiban berjalan secara paralel, dimana PT.

PLN membayar imbalan jasa yang diberikan dengan tepat waktu dan sesuai apa

yang diperjanjikan dan begitu pula pihak PT. Pos Indonesia melaksanakan

kewajiban yang diberikan PT. PLN dengan sebaik-baiknya dan menyetorkan

segala biaya hasil penerimaan pembayaran rekening listrik sesuai dengan apa

yang di perjanjikan. Namun hal tersebut tidaklah sepenuhnya terjadi, terlebih jika

pihak pelaku usaha hanya memikirkan kepentingan mereka saja tanpa memikirkan

kepentingan pihak konsumen yang merasa dirugikan.

“Kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta perjanjian standar yang merugikan konsumen.”2

Perlindungan konsumen diperlukan adanya keseimbangan antara

konsumen dan pelaku usaha yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dari

pelaku usaha dan konsumen sehingga secara umum antara konsumen dan

produsen memiliki kedudukan yang sejajar. Dengan adanya kedudukan yang

sejajar maka tidak ada salah satu pihak yang merasa lebih tinggi dan pihak lain

merasa lebih rendah.

Konsumen harus tetap mendapatkan perlindungan hukum karena hal

tersebut merupakan salah satu sifat dan tujuan hukum. Konsumen perlu

mengetahui kondisi barang dan/atau jasa yang akan digunakan atau

2 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, 2000, hal.12.

5

dikonsumsinya. Pembayaran rekening listrik adalah sesuatu kewajiban yang harus

dipenuhi oleh pelanggan tenaga listrik karena jika tidak melaksanakan kewajiban

tersebut, masyarakat selaku nasabah PT. PLN tidak akan mendapatkan pasokan

tenaga listrik dari pihak PLN. Selain itu terlebih jika nasabah PT. PLN sudah

membayar tetapi ternyata pembayaran tersebut tidak sampai ke pihak PLN

sehingga keamanan dalam membayar rekening listrik tersebut tidak terpenuhi dan

hak PT. PLN untuk medapatkan uang setoran atas hasil pembayarang rekening

listrik dari pelanggan PT. PLN menjadi tidak terpenuhi, seperti yang terjadi di

Makasar, dimana sebanyak 20 pelanggan PT. PLN harus dinyatakan dicabut

kilometer dengan alasan tidak pernah melakukan pembayaran, padahal para

pelanggan tersebut telah membayar kepada salah satu partner PT. PLN dalam

pembayaran rekening listrik secara online yaitu CV Aria Prima, yang ternyata

oleh CV Aria Prima tidak dibayarkan kepada pihak PLN, sehingga masyarakat

melakukan protes terhadap PT. PLN yang secara nyata tidak mengetahui bahwa

pelanggan PT. PLN tersebut telah melakukan pembayaran rekening listrik, dan

pihak PT. PLN pun menjadi dirugikan dengan adanya hal tersebut karena seolah-

olah PT. PLN lah yang melakukan kesalahan tersebut sehingga merugikan

masyarakat. Dalam kasus diatas jelas keamanan dan kenyamanan pelanggan

terganggu, padahal dalam Pasal 4 huruf a UUPK menyebutkan bahwa konsumen

berhak atas kenyaman, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa. Dengan adanya hal tersebut maka tentu saja berpotensi

menimbulkan kerugian terhadap PT. PLN selaku konsumen atas jasa yang

dilakukan oleh PT. Pos Indonesia. Sesuai dengan Pasal 4 huruf h UUPK

6

menyebutkan bahwa konsumen berhak mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau

penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti masalah

tersebut untuk dijadikan bahan kajian berbentuk skripsi mengenai Perlindungan

hukum terhadap konsumen pengguna jasa PT. Pos Indonesia dalam pembayaran

rekening listrik secara online berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas maka dapat ditarik

perumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa

PT. Pos Indonesia dalam pembayaran rekening listrik secara online khususnya

yang berkaitan dengan hak yang diatur oleh Pasal 4 huruf (a) dan (h) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen

pengguna jasa layanan PT. Pos Indonesia dalam pembayaran lsitrik secara

online melalui PT. Pos Indonesia jika ditinjau dari Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

7

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Penelitian secara Teoritis.

Memberikan informasi yang berguna dan memberikan masukan bagi

pengembangan disiplin ilmu hukum dagang pada umumnya dan hukum pada

perlindungan konsumen pada khususnya.

2. Kegunaan Penelitian secara Praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah

wawasan yang berguna bagi mayarakat pada umumnya dan mahasiswa pada

khususnya terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen

penggunna tenaga listrik.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

a) Perlindungan Hukum

Hukum tercipta karena adanya kumpulan manusia yang disebut

masyarakat dalam suatu komunitas tertentu, setiap individu dalam masyarakat

tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan semuanya berusaha

untuk memenuhi kepentingannya. Hukum mempunyai peranan besar yaitu

sebagai kaidah untuk mengatur tingkah laku manusia dalam memenuhi

kepentingannya, dengan adanya hukum diharapkan tidak akan terjadi

bentrokan kepentingan antara individu yang satu dengan yang lain.

Menurut Surojo Wignojodipuro, hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Hubungan tersebut harus dilakukan menurut norma atau kaidah hukum yang berlaku. Adanya kaidah hukum itu bertujuan mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat sehingga dapat dihindarkan kekacauan dalam masyarakat.3

Beberapa sarjana hukum di Indonesia mendefinisikan hukum sebagai

berikut:

a. S.M Amin Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia.

3 Surojo Wignojodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung:Alumni,1974) hal 1

9

b. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukkan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.

c. M.H Tirtaatmadja Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam semua tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekannya, didenda dan sebagainya. 4

Dari berbagai macam pengertian hukum dari para sarjana tersebut

hukum terdiri dari beberapa unsur yaitu:

a) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan

masyarakat;

b) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;

c) Peraturan itu bersifat memaksa;

d) Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas.

Pengertian perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan

untuk memberikan rasa aman.5

Dari pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa

perlindungan hukum adalah segala upaya untuk memberikan rasa aman bagi

seseorang dengan membatasi hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat

berdasarkan sekumpulan peraturan yang mengatur tata tertib bertingkah laku

dalam masyarakat.

4 CST. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia Cetakan ke 6, Jakarta, Balai Pustaka, 1997, hal

38 5 Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Purwokerto, UNSOED, 2004, hal 40

10

Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian

perlindungan hukum sebagai berikut:

Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat baik di Undang-Undang, Ratifikasi maupun Konvensi Internasional.6

Perlindungan hukum merupakan salah satu upaya agar tujuan hukum

dapat tercapai, tujuan hukum yang dimaksud yaitu terpeliharanya keamanan

dan ketertiban sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.

b. Pengertian Hukum Perlindungan konsumen

Menurut AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun Hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.7

Hukum Perlindungan Konsumen sebagai keseluruhan peraturan-

peraturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan

dengan konsumen dan pelaku usaha yang dusertai sanksi bagi

pelanggarannya.8

Hukum konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum.

Masalah konsumen merupakan titik fokus dari hukum konsumen yang

kemudian dilakukan pembagian kepada hukum konsumen.

Menurut Munir Fuady, pembagian hukum konsumen terdiri dari:

6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,

hal 20. 7 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, 1995, hal 64-65 8 Suyadi, Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas

Jenderal soedirman, Purwokerto, 2007, hal.5

11

1. Hukum konsumen formil, titik fokusnya akan tertuju kepada antara lain: a. Tanggung jawab mutlak (strict liability): b. Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast); c. Subyek yang bertanggung jawab; d. Polisi-polisi khusus; e. Tindak pidana ekonomi; f. Badan peradilan khusus; g. Consumer ombudsman; h. Gugatan kelompok (small claims court); i. Badan pendamai; dan j. Organisasi konsumen (consumer organization). Semacam

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 2. Hukum konsumen materil, antara lain hal-hal yang berkenaan

dengan: a. Hak konsumen b. Pranata-pranata masyarakat yang dapat dipergunakan sebagai

yang dapat menyebabkan terhambatnya hak-hak konsumen seperti: 1. Hak milik perindustrian (industrial property right); 2. Perjanjian baku (standard contract); 3. Servis purna jual; 4. Berbagai versi jual beli; 5. Persaingan curang; 6. Perantara dalam perdagangan; 7. Iklan yang tidak layak (unjust advertising, false advertising,

bait advertising); c. Tanggung jawab produksi (product safety and liability), seperti

masalah: 1. Mutu barang, makanan, minuman dan obat 2. Standar mutu/ standar industri

d. Masalah harga yang pantas e. Ukuran, takaran dan timbangan yang tepat.9

c. Tujuan Perlindungan Konsumen

Pasal 3 UUPK menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen bertujuan:

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

9 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

1999, hal 163

12

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barabg dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

2. Konsumen

1) Pengertian Konsumen

Konsumen berasal dari bahasa Belanda dari kata “konsument” yang

oleh para ahli diartikan sebagai pemakai terakhir barang dan jasa yang

diserahkan kepada mereka oleh para pengusaha, baik pengusaha itu sebagai

produsen maupun sebagai pedagang perantara. Konsumen (sebagai alih

bahasa Inggris dari Consumer), konsumen dari bahasa Belanda secara

harfiah berarti setiap orang yang membeli barang atau menggunakan jasa

seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau

menggunakan jasa tertentu, juga sesuatu atau seseorang yang menggunakan

suatu persediaan atau sejumlah barang.10 Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Tujuan daripada

konsumen barang atau jasa itu nanti akan menentukan termasuk konsumen

kelompok yang mana konsumen tersebut.

Di Amerika serikat pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan memperoleh

10 A.Z. Nasution, 1995, op.cit, hal 69

13

perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi Negara MEE dalam menyusun ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen.11

Menurut Munir Fuadi, konsumen adalah pengguna akhir (end user)

dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.12 Dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi

yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 1 angka (2) Undang-

Undang tersebut menyatakan :

Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Dari sejumlah cacatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi

konsumen dalam Pasal 1 angka (2) UUPK yaitu:13

a. Setiap orang

Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus

sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen tidak hanya

pada orang perseorangan namun juga mencakup badan hukum.

11 Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya, Makalah,

Elips Project, Ujungpandang, 1996, hlm. 13. 12 Munir Fuadi, S.H, M.H, LL.M, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modren di

Era Pasar Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 227. 13 ibid

14

b. Pemakai

Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata pemakai menekankan,

konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai

dalam hal ini tepat dipakai dalam ketentuan tersebut sekaligus

menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak selalu harus

memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh

barang dan/atau jasa itu.

c. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti

teminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah

berkonotasi barang dan/atau jasa.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah tersedia

dipasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat

itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain dan mahkluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi

itu mencoba untuk memperluas pengertian konsumen.

f. Barang dan /atau jasa itu tidak diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen

akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan

konsumen diberbagai Negara.

15

Hal yang perlu ditekankan dalam pengertian konsumen ini adalah

bahwa syarat untuk tidak diperdagangkan yang menunjukan sebagai

“konsumen akhir” (end consumer) yaitu konsumen sebagai pengguna dan

pemanfaat akhir suatu produk.

Menurut A.Z Nasution, berbagai studi yang dilakukan berkaitan

dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan mengenai

konsumen akhir, antara lain:

a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan sendiri atau

orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan.

b. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi

keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk

diperdagangkan kembali.

c. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan

tidak untuk diperdagangkan. 14

2) Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan

hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek

hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar

fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak. 15

14 A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:Daya Widya, 1999. 15 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, 2004, hal

1.

16

Konsumen sebagai pemakai barang dan atau jasa, memiliki sejumlah

hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting

agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.

Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya,

ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa

bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain,

konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-

haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Hak-hak konsumen merupakan hal yang sudah mendapatkan jaminan

perlindungan oleh hukum, tidak saja oleh hukum nasional tetapi juga hukum

internasional. Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy,

mengemukakan empat hak dasar konsumen, yang kemudian oleh Bob

Widyaharmoko dijelaskan lebih lanjut yang meliputi :

1. the right to safe products (Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan); Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang dan atau jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatan. Artinya, produk makan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.

2. the right to be informed about products (Hak untuk memperoleh informasi); setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan konprehensif tentang suatu produk barang dan/atau jasa yang dibeli (dikonsumsi). Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bias mengetahui bagaimana kondisi barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi. Jika suatu saat ada resiko negatif dari produk dan/atau jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah mengetahuinya sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari mengkonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label atau kemasan prosuk.

17

3. the right to definite choices in selecting products (Hak untuk memilih); Setiap konsumen berhak memilih produk barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bias merugikan hak-haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi.

4. the right to be heard regarding consumer interest (Hak untuk didengarkan). Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak konsumen. 16

Pengaturan mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen pada

umumnya dapat dilihat dalam Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen. Hak-hak konsumen tersebut terdapat dalam Pasal 4 UUPK,

yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara ketat;

f. Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian

apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

16 Bob Widyahartono MA, Telaah Hak-Hak Dasar Konsumen Perlu Sosialisasi

Berkesinambunga, dikutip dari <http://www.antaranews.com/view/?i=1198874856&c=ART&spada tanggal 18 Juni 2011.

18

Selain hak-hak Konsumen yang terdapat dalam UUPK dan Deklarasi

Hak Konsumen (John F. Kennedy), Hak-hak yang dapat melindungi

konsumen juga diperjuangkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) yang dikenal sebagai Panca Hak Konsumen yang terdiri atas:

1. Hak untuk mendapatkan keamanan dan Keselamatan Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa tertentu apabila terjadi suatu hal yang dapat membahayakan kesehatan dan keamanan tubuh serta kesehatan jiwanya;

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur serta lengkap dari suatu produk barang dan/atau jasa. Hak ini merupakan perlindungan bagi konsumen terhadap informasi yang mengelabui, menyesatkan atau menipu;

3. Hak untuk memilih barang atau jasa yang dibutuhkan Konsumen memiliki hak untuk memilih barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, namun konsumen tetap mendapatkan jaminan mutu dan pelayanan yang memuaskan. Dengan pemenuhan hak ini diharapkan konsumen terhindar dari kerugian.

4. Hak untuk didengar pendapatnya. Konsumen berhak untuk menyampaikan pendapat dan masalahnya secara pribadi atau bersama-sama, baik mengenai hal-hal yang merugikan mereka maupun hak-hak yang dianggap dapat menimbulkan kerugian bagi diri mereka.

Di samping hak-hak konsumen, juga diatur kewajiban konsumen.

Menurut Imam Buchari Abdullah, kewajiban konsumen yaitu:

a. Bersikap kritis; b. Berani Bertindak; c. Memiliki kepedulian sosial; d. Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup; e. Memiliki rasa setia kawan.17

17 Imam Buchari dkk, Menggugat Hak panduan Konsumen Bila Dirugikan, YLKI, Jakarta,

1990, hal 2.

19

Kewajiban-kewajiban Konseumen menurut UUPK yaitu sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 5 UUPK yaitu:

a. Membaca dam mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar

selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan

dagang. Dengan mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum

tersebut diatas, setidaknya konsumen dapat memperhatikan hak dan

kewajiban tersebut diatas dan menerapkannya dalam melakukan tindakan

hukum sebagai konsumen sehingga dapat terlindungi dari kemungkinan-

kemungkinan masalah yang akan dialaminya. Untuk itulah, perhatian

terhadap kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap hak-haknya

sebagai konsumen.

3) Kepentingan Konsumen

Menurut A.Z. Nasution ada beberapa bentuk kepentingan konsumen,

yaitu :

1. Kepentingan Fisik

Kepentingan Fisik adalah kepentingan badan konsumen yang

berhubungan dengan keamanan dan kesehatan tubuh dan atau jiwa

mereka dalam penggunaan barang atau jasa konsumen.

20

2. Kepentingan Sosial Ekonomi

Kepentingan ini menghendaki agar konsumen dapat memperoleh

hasil optimal dari konsumen dan sumber-sumber ekonomi mereka

dalam mendapatkan barang dan atau jasa kebutuhan hidup mereka.

Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/284 Tahun 1985

Tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines For Consumer

Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen

yang perlu dilindungi meliputi:

a) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b) Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c) Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka memberikan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d) Pendidikan konsumen; e) Tersedianya ganti rugi yang efektif; f) Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau

organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.18

3. Pelaku Usaha

1) Pengertian Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 1 butir 3 UUPK, pengertian Pelaku Usaha adalah :

“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

18 A.Z. Nasution, op.cit., hal 80

21

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (3) UUPK dijelaskan

bahwa yang termasuk pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi,

BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Menurut A.Z. Nasution, pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 angka

(3) UUPK terdiri dari:

1. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi

sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan

konsumen.

2. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada

konsumen.

3. Pengusaha jasa.19

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

juga memberikan pengertian pelaku usaha, yaitu:

Pengusaha adalah:

a) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan yang bukan miliknya;

19 A.Z. Nasution, op.cit, hal 10

22

c) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana

dimaksud dalam angka (1) dan (2) yang berkedudukan di luar

wilayah Indonesia

2) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha kepada pelaku usaha dan

sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, pelaku

usaha juga memiliki hak. Hak-hak pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6

UUPK antara lain :

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaaan sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan merupakan hal yang lumrah. Hal ini berkaitan dengan

kewajiban konsumen untuk membayar sesuai dengan nilai produk barang

dan/atau jasa yang telah diterima konsumen dari produsen. Pelaku usaha

tidak dapat menuntut hal yang lebih kepada konumen mengenai pembayaran

suatu produk barang dan/atau jasa bila barang dan/atau jasa yang diberikan

23

konsumen tidak sesuai dengan apa yang diminta konsumen. Menurut Ahmadi

Miru dan Sutarman Yodho, hak pelaku usaha dalam Pasal 6 huruf b, c, dan d

merupakan hak pelaku usaha yang berhubungan dengan pihak aparat

pemerintah atau badan penyelesaian sengketa konsumen atau pengadilan.20

Sebagai konsekuensi adanya hak pelaku usaha, pelaku usaha juga

mempunyai kewajiban. Kewajiban Pelaku Usaha terdapat dalam Pasal 7

UUPK yang harus dilakukan pelaku usaha antara lain :

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3) Memeperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho, kewajiban untuk

beritikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha:

“Dalam Undang-undang perlindungan konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap purna jual, sebaliknya

20 Ibid, Hal 51.

24

konsumen hanya diwajibkan untuk beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.”21 Kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar,

jelas dan jujur mengenai jaminan kondisi barang dan/atau jasa serta member

penjelasan penggunaan perbaikan, dan pemeliharaan, merupakan hal yang

penting bagi konsumen karena dengan adanya informasi yang benar, jelas

dan jujur tersebut, konsumen dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai

dengan kebutuhan konsumen. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho,

informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu dari

jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan

konsumen.22

3) Larangan Bagi Pelaku Usaha

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 UUPK dapat

kita bagi dalam dua larangan pokok, yaitu :

1) Larangan mengenai kelayakan produk itu sendiri, yang tidak

memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau

dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan

tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.23

Larangan bagi pelaku usaha menurut Pasal 8 UUPK dirumuskan

sebagai berikut:

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

21 Ibid, hal 54. 22 Ibid, hal 55

23 Ibid , hal 39

25

a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c) tidak sesuai dengan ukuran takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g) tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan, pemanfaatan yang paling baik atas barang terseut;

h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih/netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembutan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara benar dan lengkap atas informasi yang dimaksud;

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa informasi secara lengkap dan benar;

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Menurut Gunawan Widjaja, secara garis besar larangan yang

dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu:

26

1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memnuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.24

Larangan lain bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 10 UUPK

adalah :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau memuat pernyataan yang tidak benar atau

menyesatkan:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu

barang dan/atau jasa;

d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.

Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung

jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Untuk tujuan

itulah, maka dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan

sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab

pelaku usaha. Adanya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha,

diharapkan konsumen dan pelaku usaha saling menghargai dan menjalankan

fungsinya masing-masing dalam perekonomian sehingga kegiatan

perekonomian dapat berjalan dengan baik.

24 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, ibid, hal 39

27

Mengingat peran konsumen yang sangat penting dalam perekonomian

sebagai pembeli hasil produksi maka pelaku usaha bertanggung jawab

memproduksi barang dan/atau jasa dengan memperhatikan kepentingan

konsumen yang berkaitan dengan hak konsumen atas hak akan informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa.

4) Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Berbicara tentang perlindungan Kosumen sama halnya dengan

membicarakan tentang tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab

pelaku usaha menurut W. J. S. Poerwadarminta yaitu

“Suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada

sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan

sebagainya).”25

Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat pengerian tanggung jawab

adalah:

“Suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Penanggung jawab merupakan pihak yang bertanggung jawab. Sedangkan pertanggungjawaban sendiri memiliki arti perbuatan (hal tersebut) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipertanggung jawabkan.” 26 Tanggung jawab pelaku usaha menurut Pasal 19 UUPK disebutkan:

1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana yang disebut ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara

25 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 1014 26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal. 899.

28

nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santuanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) UUPK dapat diketahui

bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

1. Tanggung jawab ganti rugi atas kerusakan;

2. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran; dan

3. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang

cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku

usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala

kerugian yang dialami konsumen.

Kelemahan yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen

adalah ketentuan Pasal 19 ayat (3) yang menentukan bahwa pemberian ganti

rugi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila

ketentuan ini dipertahankan maka konsumen yang mengkonsumsi barang

dan/atau jasa di hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan

ganti rugi dari pelaku usaha walaupun secara nyata konsumen yang

bersangkutan menderita kerugian. Oleh karena itu, agar UUPK ini dapat

memberikan perlindungan yang maksimal tanpa mengabaikan kepentingan

pelaku usaha, maka seharusnya Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa

29

tenggang waktu pemberian ganti rugi kepada konsumen adalah 7 (tujuh)

hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7 (tujuh) hari setelah transaksi

seperti rumusan yang ada sekarang.

Secara umum, tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh

konsumen sebagai akibat penggunaan produk barang dan/atau jasa baik

yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada

beberapa ketentuan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori,

yaitu tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti rugi

berdasarkan perbuatan melanggar hukum.

Tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi maka terlebih dahulu

penggugat dan tergugat (produsen dan konsumen) terikat suatu perjanjian,

dengan demikian pihak ketiga (bukan pihak dalam perjanjian) yang

dirugikan tidak dapat menuntut ganti rugi dengan alasan wanprestasi. Ganti

rugi ini diperoleh karena merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban

utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama

atau kewajiban jaminan/ garansi dalan perjanjian. Berbeda dengan tuntutan

ganti rugi yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian,

tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum tidak perlu

didahului dengan perjanjian antara produsen dan konsumen.

Berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha menurut Pasal 24

UUPK lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

30

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Berkaitan dengan beban pembuktian unsur kesalahan sudah diatur

dalam pasal 28 UUPK yakni:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan

ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23,

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”

Berdasarkan ketentuan pasal 28 UUPK di atas, bahwa beban

pembuktian unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian merupakan

beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini memberikan konsekuensi

hukum bahwa pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kerugian yang

timbul bukan merupakan kesalahannya, terbebas dari tanggung jawab untuk

memberi ganti rugi.

4. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK disebutkan :

”Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

Penjelasan Pasal 2 UUPK dalam rangka mewujudkan membangun manusia

seutuhnya, diselenggarakan berdasarkan 5 asas yang relevan dengan

31

pembangunan nasional. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha

bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional,

yaitu :

a) Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan agar konsumen diberikan manfaat sebesar-

besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan. Asas ini tersirat dalam Pasal 3 huruf a, Pasal 3 huruf b, Pasal

3 huruf e Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

b) Asas keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar seluruh masyarakyat dalam

berpartisipasi dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan

kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh

haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil. Asas keadilan terdapat

dalam Bab III Undang – Undang Perlindungan Konsumen tentang hak dan

kewajiban.

c) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

meteriil maupun spirituil. Asas keseimbangan ini tersirat dalam bagian

menimbang huruf f Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen bermaksud untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

32

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan. Asas ini tertuang dalam Pasal 3 huruf f

Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

e) Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan pelaku usaha maupun konsumen

mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Asas ini

terdapat dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 3 huruf d Undang – Undang

Perlindungan Konsumen.

Kelima asas diatas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. Asas kepatian hukum.

Asas keseimbangan yang dikelompokan kedalam asas keadilan, mengingat

hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan

masing–masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan

transaksi dagang secara langsung menyerta pelaku usaha dan konsumen.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang

dikelompokan kedalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan

33

konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat perlindungan yang diberikan

kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara menyeluruh.27

5. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen

Selain di dalam UUPK, hukum perlindungan konsumen dapat ditemukan

dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan

Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) UUPK disebutkan:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”

Pasal 64 UUPK ditujukan untuk menghindari kemungkinan adanya

kekosongan hukum, dalam arti ketentuan yang ada di luar Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tetap dapat dijadikan dasar

yang digunakan sebagai upaya memberikan perlindungan hukum kepada

konsumen.

Beberapa peraturan yang dijadikan sumber hukum perlindungan konsumen

diantaranya sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar 1945

1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.”

Penjelasan dari pasal ini bahwa ketentuan ini mengenai hak warga

negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ini adalah hak

27 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hal.26-28

34

warga Negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai

manusia seutuhnya, bukan hanya hak yang bersifat fisik, material,

tetapi hak bersifat psikis seperti hak mendapatkan pengetahuan yang

benar tentang segala barang dan jasa yang ditawarkan.

2. Pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa, pasal ini mengenai

kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia

untuk membangun Negara yang bersifat demokratis dan hendak

menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Berbagai hak

yang dimiliki konsumen telah masuk dalam kedua pasal tersebut,

sehingga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 merupakan suatu sumber

hukum bagi perlindungan konsumen karena hak konsumen terdapat di

dalamnya.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam Buku III tentang Perikatan antara lain:

1) Pasal 1238 KUHPerdata, berbunyi:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Pasal ini menentukkan tentang waktu yang dinyatakan debitur lalai,

yaitu jika hingga lewatnya waktu yang ditetapkan, debitur belum

melaksanakan perikatan/prestasi yang telah ditentukan.

35

2) Pasal 1267 KUHPerdata, berbunyi:

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal tersebut masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”

Pasal ini memberikan pilihan kepada debitur untuk menunjuk pihak debitur karena perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih tuntutan sebagai berikut: a. pemenuhan perjanjian; b. pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c. pembatalan perjanjian; d. pembatalan disertai ganti rugi.28

3) Pasal 1365 KUHPerdata, berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Pasal ini mengatur tentang ganti rugi yang diakibatkan perbuatan

melawan hukum, maka pasal ini juga dapat digunakan untuk melindungi

hak konsumen, apabila seseorang dalam hal ini konsumen merasa

dirugikan oleh pelaku usaha.

4) Pasal 1320 KUHPerdata, berbunyi:

“Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu adanya: a. persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian. b. kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian. c. suatu hal tertentu. d. suatu sebab yang halal.”

Perjanjian tersebut menjadi bukti adanya hubungan atau transaksi

antara konsumen dan produsen sebagai dasar pemenuhan hak dan

28 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1991, hal 53.

36

kewajiban diantara mereka. Jika syarat 1 dan 2 tidak terpenuhi maka

akibatnya adalah dapat dibatalkan dan apabila syarat 3 dan 4 tidak

terpenuhi maka akibatnya adalah batal demi hukum.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dalam Buku III tentang Pelanggaran antar lain Pasal 204, 205, 393

KUHP.

Berbagai peraturan perudang-undangan lainnya, diantaranya:

1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; 2) Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib daftar

Perusahaan; 4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; 5) Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; 6) Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan

Industri; 7) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 8) Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Agreement

Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);

9) Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; 10) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan; 11) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup; 12) Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; 13) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; 14) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 15) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; 16) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; 17) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 18) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah; 19) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas; 20) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun

1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang.

37

6. Pihak-pihak dalam Perlindungan Konsumen

Konsep perlindungan konsumen pada hakikatnya memberikan perlindungan

terhadap konsumen, akan tetapi perlindungan konsumen bukanlah masalah

konsumen sendiri. Setiap usaha atau upaya yang bertujuan untuk menjamin

adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya selalu melibatkan berbagai pihak.

UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen, oleh karena itu tidak

hanya melibatkan satu pihak saja.

Keterlibatan berbagai pihak yang saling terkait di dalam praktik perlindungan

konsumen, antara lain sebagai berikut:

1. Konsumen

Semua manusia pada kodratnya adalah konsumen. Konsumen merupakan

pihak dalam perlindungan konsumen yang memiliki bargaining power, nilai

tawar maupun kedudukan yang baik secara pendidikan maupun secara

ekonomi cenderung lemah. Untuk itu, perlu jaminan untuk memperoleh

perlindungan secara hukum. Konsumen diartikan sebagai sebagai konsumen

akhir, yaitu orang yang menggunakan barang dan/atau jasa yang tersedia di

dalam masyarakat baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak ntuk diperdagangkan.

Disini konsumen akhir dibedakan dengan pembeli akhir, pengertian

konsumen akhir lebih luas daripada pembeli akhir. Konsumen akhir tidak

harus berperan sebagai pembeli, namun dapat berkedudukan sebagai

konsumen karena menerima barang pemberian orang lain.

38

2. Pelaku Usaha

Menurut UUPK, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.

Berdasarkan pengertian diatas, pelaku usaha diartikan cukup luas tanpa

membedakan apakah perorangan maupun badan usaha, berbentuk badan

hukum maupun bukan berbentuk badan hukum, sendiri maupun bersama-

sama kesemuanya tidak menjadi masalah asalkan melakukan kegiatan usaha

di bidang ekonomi demi memperoleh keuntungan yang komersial.

3. Pemerintah

Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat

peraturan atau kebijaksanaan, melaksanakan dan menjalankan pelaksanaan

peraturan yang dibuatnya agar ditaati oleh para pihak (para pihak yang

dimaksud adalah pelaku usaha dan konsumen), yang ada dalam daerah

pemerintahannya. Pemerintah disini bertugas untuk mengawasi berjalannya

peraturan dengan baik.

Diantara Pihak-pihak yang disebutkan di atas, juga melibatkan beberapa

pihak yang saling terkait satu dengan yang lainnya, antara lain sebagai

berikut:

39

a) Departemen atau instansi pemerintah yang terkait dengan produk yang

dihasilkan oleh pelaku usaha.

Yang dimaksud departemen atau instansi terkait adalah departemen

atau instansi yang berwenang menangani, antara lain mengenai

masalah perizinan, penentuan standar mutu dan sebagainya dari

produk yang bersangkutan.

b) Organisasi Pelaku Usaha

Merupakan organisasi yang secara khusus memberikan perlindungan

maupun secara khusus mengatur tentang kegiatan pelaku usaha yang

bersangkutan.

c) Organisasi Konsumen

Merupakan organisasi yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk

melindungi hak-hak konsumen, mewakili konsumen jika ada

permasalahan dengan pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan

dibentuknya Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia

(YLKI) sejak tahun 1973.

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang

merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi serta

mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga

konsumen tidak dirugikan.

40

B. PT. Pos Indonesia

a. Pengertian Pos

PT. Pos Indonesia merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara

(BUMN). Pos sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos:

“adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan

paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan dan layanan keagenan

pos untuk kepentingan umum.”

Seperti kita ketahui sebelumnya, masyarakat mengetahui kantor pos

hanya tempat untuk mengirimkan barang atau jasa, namun sekarang kantor

pos juga melayani pembayaran rekening listrik secara online. Pembayaran

rekening listrik yang dilakukan kantor pos merupakan salah satu hal yang

baru bagi kantor pos, tetapi jika kita melihat pengertian pos sebagaimana

tersebut diatas, disana disebutkan bahwa salah satu layanan dalam pos yaitu

layanan transaksi keuangan, karena pembayaran rekening listrik secara

online melalui kantor pos merupakan pembayaran tagihan rekening listrik

dari masyarakat kepada pihak PT. Pos Indonesia, dimana disini ada kegiatan

transaksi keuangan dari masyarakat kepada PT. Pos Indonesia, dan dana

yang didapat PT. Pos Indonesia dalam pembayaran rekening listrik secara

online kepada PT. PLN, sehingga disini terjadi kegiatan pelayanan jasa yang

dilakukan PT. Pos Indonesia kepada PT. PLN oleh karena itu kegiatan

tersebut merupakan layanan transaksi keuangan.

41

Menurut Pasal 1 angka (3) UU No. 38 Tahun 2009, Penyelenggara Pos

adalah keseluruhan kegiatan dan penatausahaan layanan pos. Dalam

melakukan kegiatan usahanya, berhak menetukan tarif yang besarnya

dituntukan oleh penyelenggara pos yang dihitung berdasarkan formula

perhitungan berbasis biaya.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 disebutkan

bahwa tugas Pos:

a. Layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik;

b. Layanan paket;

c. Layanan Logistik;

d. Layanan transaksi keuangan; dan

e. Layanan keagenan pos.

Asas-asas Pos sebagaimana disebutkan Pasal 2 Undang-undang Nomor

38 Tahun 2009 yaitu:

a. Kemanfaatan; b. Keadilan; c. Kepastian Hukum; d. Persatuaan; e. Kebangsaan; f. Keamanan dan Keselamatan; g. Kerahasiaan; h. Perlindungan; i. Kemandirian; dan j. Kemitraan.

Tujuan dari pos itu sendiri adalah:

a. Meningkatkan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan hubungan antarbangsa dan antarnegara;

b. Membuka peluang usaha, memperlancar perekonomian nasioanl, dan mendukung kegiatan pemerintahan;

42

c. Menjamin kualitas layanan komunikasi tertulis dan surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos; dan

d. Menjamin terselenggaranya layanan pos yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Sejarah PT. Pos Indonesia

PT. Pos Indonesia merupakan salah satu badan usaha yang

menyelenggarakan pos. Bentuk usaha pos indonesia ini berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1995. Peraturan Pemerintah tersebut

berisi tentang pengalihan bentuk awal pos yang tadinya perusahaan umum

(Perum) menjadi perusahaan (Persero). Dalam melaksanakan pelayanan pos

Indonesia, Pos Indonesia membagi wilayah pelayanan menjadi sebelas

wilayah atau regional, salah satunya wilayah VI cabang semarang yang

meliputi seluruh wilayah Jawa Tengah.

PT. Pos Indonesia dalam menjalankan perusahaannya menetapkan visi

dan misi yang dijadikan pedoman dalam mencapai sasaran dan tujuan dari

kegiatan pos yang bersangkutan. Visi PT. Pos Indonesia yaitu:

1. 2009-2010: integrated mail, logistik & financial services

infranstructures.

2. 2010-2011: indonesia’s leader the mail, logistik & financial

services.

3. 2014- 2018: ASEAN champions of Postal Industries.29

Misi PT. Pos Indonesia yaitu “Pos Indonesia menyediakan solusi handal

dalam mail, logistik dan jasa keuangan dengan menggunakan jaringan bisnis

29 Anonim, Katalog Produk Indonesia, (Bandung, Mitraagung advertising, 2009). Hal 13

43

dan infrastruktur terluas dan terpadu serta mengembangkan hubungan

kolaboratif.30

c. Jasa Layanan Pos

Jasa layanan pos merupakan jasa sebuah perusahaan pos yang melayani

layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan

logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk

kepentingan umum. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, menyebutkan:

Layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik merupakan

pengumpulan, pemrosesan, pengangkutan dan penyampaian

informasi berupa surat, warkat pos, kartu pos, barang dokumen,

cetakan dan/atau sekogram.

Layanan paket berupa layanan kegiatan pengambian, pengantaran,

dan/atau penerimaan barang.

Layanan logistik berupa kegiatan perencanaan, penanganan, dan

pengendalian terhadap pengiriman dan penyimpanan barang,

termasuk informasi dan jasa pengurusan, dan administrasi terkait

yang dilaksanakan oleh penyelenggara pos.

Layanan transaksi keuangan berupa kegiatan penyetoran,

penyimpanan, dan pemindahbukuan, pendistribusian, dan

pemindahan uang dari dan/atau untuk pengguna jasa sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

30 ibid

44

Layanan keagenan pos berupa penyediaan sarana dan prasaran

untuk layanan pos.

Pembayaran rekening listrik yang dilakukan oleh pos merupakan salah

satu layanan pos yang merupakan layanan keagenan pos karena merupakan

penyetoran kepada pengguna jasa lain yaitu pihak PLN. Dalam melaksanakan

kegiatannya tersebut, penyelenggaraan pos harus dilaksanakan dengan prima

dann berpedoman pada standar pelayanan sebagaimana yang disebutkan

Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 tahun 2009 menyebutkan

bahwa:

“Penyelenggaraan Pos dilakukan dengan pelayanan prima dan

berpedoman pada standar pelayanan”

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 menyebutkan

bahwa:

“Penyelenggaraan Pos harus menggunakan perangkat yang

memenuhi standar teknis yang berlaku nasional dan/atau

internasional.”

Pasal 28 UU No. 38 Tahun 2009 Tentang Pos menyebutkan pengguna

layanan pos berhak mendapatkan ganti rugi apabila terjadi:

a. Kehilangan kiriman;

b. Kerusakan isi paket;

c. Keterlambatan kiriman; atau

d. Ketidaksesuaian barang yang dikirim dan yang diterima.

45

Hak-hak Penyelenggara pos seperti yang disebutkan dalam Pasal 29 UU

No. 38 Tahun 2009 Tentang Pos yaitu:

1) Penyelenggara pos berhak mendapatkan informasi yang benar dari pengguna layanan pos tentang kiriman yang dinyatakan pada dokumen pengiriman;

2) Penyelenggara pos berhak membuka dan/atau memeriksa kiriman dihadapan pengguna layanan pos untuk mencocokan kebenaran informasi kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

3) Penyelenggara pos tidak dapat dituntut apabila terbukti isi kiriman tidak sesuai dengan yang dinyatakan secara tertulis oleh pengguna layanan pos pada dokumen pengiriman dan tidak dibuka oleh penyelenggara layanan pos;

4) Penyelenggara pos sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dituntut apabila terbukti mengetahui isi kiriman dan tetap mengirim barang yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain hak-hak penyelenggara pos sebagaimana disebutkan Pasal 29 UU

No. 38 Tahun 2009 Tentang Pos, sebagai penyeimbang penyelenggara pos

juga mempunyai kewajiban. Kewajiban Penyelenggara Pos terdapat dalam

Pasal 30 dan 31 UU No. 38 Tahun 2009 Tentang Pos. Pasal 30 UU No. 38

Tahun 2009 Tentang Pos menyebutkan bahwa:

“penyelenggara Pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan

keselamatan kiriman.”

Pasal 31 UU No. 31 Tahun 2009 Tentang Pos menyebutkan kewajiban

penyelenggara pos yaitu:

1. Penyelenggara pos wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh pengguna layanan pos akibat kelalaian dan/atau kesalahan penyelenggara pos;

2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika kehilangan atau kerusakan karena bencana alam, keadaan darurat, atau hal lain diluar kemampuan manusia;

3. Ganti rugi sebagaimana disebutkan ayat (1) diberikan oleh penyelenggara pos sesuai kesepakatan antara pengguna layanan dan penyelenggara layanan pos;

46

4. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanggung oleh penyelenggara pos apabila:

a. Kerusakan terjadi karena sifat atau keadaan barang yang dikirim, atau

b. Kerusakan terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengguna layanan pos.

5. Tenggang waktu dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna layanan pos dengan penyelenggara pos;

6. Barang yang hilang dan ditemukan kembali diselesaikan berdasarkan kesepakatan penyelenggara pos dan pengguna layanan pos.

Pengguna layanan pos berhak mendapatkan informasi yang benar

mengenai layanan yang digunakannya. Dalam Pasal 7 UUPK disebutkan

bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban:

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3) Memeperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

47

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan Yuridis Normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan

konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang. Konsep ini

juga memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom dan

terlepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari.31

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi

penelitian deskriptif. Menurut Soerjono:

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.32

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, dan dilakukan pada lembaga/instansi yang terkait

yaitu PT. Pos Indonesia Cabang Purbalingga.

31 Ronny hanitijo soemitro, Metode Penelitian hukum dan Jurimetri, PT. Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 11. 32 Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1981, hal 10

48

4. Sumber Data

1. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pokok atau utama yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, maupun surat-surat

resmi yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Menurut Soerjono

dan Sri Mamudji, data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya

mengikat. Terdiri dari : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen,Undang-Undang Nomor 38

Tahun 2009 Tentang Pos, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No. 37 tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Pos, dan

peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang merupakan

penjelasan dari bahan hukum primer, yang diperoleh di luar

bahan hukum primer melalui dokumen dari kantor PT. Pos

Indonesia Cabang Purbalingga.

3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang merupakan

penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder. Terdiri dari:

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia,

Kamus Hukum dan Kamus Ilmiah Populer. 33

33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal 14-15.

49

2. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperolah secara langsung dari objek

penelitian yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau

wawancara dengan salah satu pihak terkait dengan objek penelitian

sebagai pelengkap data sekunder.

5. Metode Pengumpulan Data

1. Data Sekunder

Data yang diperoleh dengan cara studi pustaka yaitu mengumpulkan

bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan,

literatur dan dokumen yang ada relevansinya dengan permasalahan yang

diteliti yang dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Data Primer

Data yang diperoleh dari interview atau wawancara dengan pihak yang

bidang kerjanya terkait dengan masalah yang diteliti di PT. PLN (Persero)

dan PT. Pos Indonesia Cabang Purbalingga.

6. Metode Penyajian Data

Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini akan disajikan dalam

bentuk uraian secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan

data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan

dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu

50

kesatuan yang utuh didasarkan pada norma hukum atau kaidah-kaidah hukum

serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.

7. Metode Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan

menggunakan metode normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini

bertitik tolak dari peraturan-peraturan hukum yang ada sehingga merupakan

norma hukum positif. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara

kualitatif sehingga tidak menggunakan rumus-rumus atau angka-angka.

51

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian dengan cara studi pustaka yang dilakukan di pusat

informasi ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan PT. Pos

Indonesia (Persero) Purbalingga, maka diperoleh data-data sebagai berikut:

1. Data Sekunder

1.1. Pengertian

Menurut Pasal 1 PKS 18/DIRTEKJASKUG/0210 Tentang Perjanjian

Pembayaran Tagihan Listrik dan Tagihan Lainnya secara Terpusat

menyatakan bahwa:

1.1.1. Para pihak terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai

berikut:

1.1.1.1.Bahwa PT. PLN adalah BUMN yang bergerak dalam

bidang penyediaan tenaga listrik di seluruh Wilayah Negara

Republik Indonesia.

1.1.1.2.Bahwa PT. Pos Indonesia adalah BUMN yang bergerak

dalam bidang pelayanan jasa pos dan jasa lainnya didalam

Wilayah Negara Republik Indonesia dengan mendapatkan

upah.

1.1.2. Tagihan Listrik terdiri dari:

52

1.1.2.1. Post paid adalah tagihan listrik yang wajib dilunasi oleh

setiap pelanggan yang dihitung oleh PT. PLN setelah

pelanggan menikmati listrik berkenaan dengan jual beli

tenaga listrik.

1.1.2.2. Prepaid adalah bentuk pelayanan PT. PLN dalam menjual

energi listrik dengan pelanggan membayar terlebih dahulu

sejumlah tertentu energi listrik sesuai dengan yang

dibutuhkan atau dikehendaki sebelum menggunakan listrik

dari PT. PLN.

1.1.3. Sistem pengelolaan dan pengawasan arus pendapatan secara

terpusat (Sistem P2APST) adalah suatu sistem pembayaran

tagihan listrik dan tagihan lainnya melaui bank dan/atau selain

bank secara terpusat dengan sistem online realtime payment

transaksi dan setiap pelimpahan dana dilakukan dari account

bank ke accunt PT. PLN.

1.1.4. Switching company adalah perusahaan berbentuk badan hukum

sebagai jasa yang mempunyai hubungan hak dan kewajiban

dengan PT. PLN maupun PT. Pos Indonesia yang diatur dalam

perjanjian tersendiri dan bertindak sebagai:

- Penyedia dan penyelenggara jaringan komunikasi data/ transfer

menghubungkan (switching/ routing) transaksi pembayaran

tagihan listrik dan tagihan lainnya secara terpusat dalam sistem

online PT. PLN melalui PT. Pos Indonesia dan/atau mitra pos.

53

- Pihak yang bekerja sama dengan PT. Pos Indonesia dalam

melakukan monitoring serta controlling atas segala kegiatan

transaksi penerimaan pembayaran tagihan listrik dan tagihan

lainnya yang dilakukan oleh mitra pos maupun layanan PT. Pos

Indonesia lainnya.

1.1.5. Pelanggan adalah setiap orang atau badan usaha atau badan/

lembaga lainnya yang memakai tenaga listrik dari instalasi PT.

PLN berdasarkan atas hak yang sah.

1.1.6. Nasabah adalah seseorang atau badan hukum atau badan usaha/

lembaga lainnya yang menggunakan jasa PT. Pos Indonesia.

1.1.7. Mitra Pos adalah setiap orang atau badan hukum atau badan

usaha / lembaga lainnya yang menyelenggarakan penerimaan

pembayaran tagihan listrik atau tagihan lainnya secara terpusat

dalam sistem online yang telah melakukan kerjasama dengan

PT. Pos Indonesia.

1.1.8. Bukti pembayaran adalah bukti pelunasan tagihan listrik atau

tagihan lainnya secara terpusat dalam sistem online yang

diberikan oleh PT. Pos Indonesia dan dinyatakan sah oleh PT.

PLN dengan nomor identifikasi referensi.

1.1.9. Nomor referensi adalah nomor unique yang dihasilkan oleh

switching company sebagai pengaman untuk keabsahan bukti

pembayaran setiap transaksi.

54

1.1.10. Dana adalah uang hasil seluruh transaksi berhasil yang diterima

oleh PT. Pos Indonesia sampai dengan batas waktu yang

disepakati para pihak.

1.1.11. Imbalan jasa adalah imbalan yang disepakati para pihak

menjadi hak PT. Pos Indonesia yang diberikan oleh PT. PLN

atas transaksi yang dilakukan oleh pelanggan melalui layanan

PT. Pos Indonesia.

1.1.12. Host adalah pusat komputer berupa perangkat keras dan

perangkat lunak untuk keperluan pembayaran tagihan listrik

dan tagihan lainnya secara terpusat yang berada di lokasi PT.

PLN maupun PT. Pos Indonesia.

1.1.13. Host PT. PLN adalah host PT. PLN yang berada di kantor PLN

yang berfungsi menyediakan data tagihan listrik dan tagihan

lainnya secara terpusat sebagai dasar bagi pelanggan untuk

melakukan pembayaran listrik dan tagihan lainnya secara

terpusat.

1.1.14. Host PT. Pos Indonesia adalah Host PT. Pos Indonesia yang

berfungsi untuk menerima dan memproses pembayaran tagihan

listrik dan tagihan lainnya milik PT. PLN yang dilakukan oleh

pelanggan.

1.1.15. Host to Host adalah sistem hubungan realtime payment PT.

PLN dengan PT. Pos Indonesia untuk pelayanan transaksi

pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya.

55

1.1.16. Gapura adalah adalah perangkat yang terdiri atas perangkat

keras dan sistem aplikasi yang digunakan sebagai interface

antara sistem pada host switching dengan sistem pada PT.

PLN.

1.1.17. Jaringan komunikasi data adalah jaringan penghubung milik

switching company sebagai media penghubung antara host PT.

PLN denga host PT. Pos Indonesia.

1.1.18. Jaringan penghubung adalah jaringan elektronik yang

menghubungkan host PT. PLN dengan PT. Pos Indonesia, yang

disediakan oleh switching company yang telah setuju untuk

menyediakan jaringan penghubung kepada PT. Pos Indonesia

berdasarkan perjanjian kerjasama antara switching company

de3ngan PT. Pos Indonesia.

1.1.19. Transaksi adalah penerimaan pembayaran tagihan listrik dan

tagihan lainnya secara terpusat dari pelanggan.

1.1.20. Transaksi berhasil adalah transaksi yang tercatat sukses di PT.

PLN yang disampaikan kepada switching company untuk

diteruskan kepada PT. Pos Indonesia sebagai dasar

rekonsilisasi.

1.1.21. Transaksi suspect adalah transaksi yang berisikan satu atau

lebih informasi tidak sah dan/atau tidak lengkap.

1.1.22. Laporan transaksi adalah data transaksi yang diterbitkan oleh

PT. PLN yang berisikan transaksi berhasil yang merupakan

56

data acuan bagi PT. PLN, PT. Pos Indonesia, switching

company dalam proses rekonsiliasi masing-masing pihak.

1.1.23. Laporan final adalah laporan transaksi dari transaksi suspect

yang telah dilakukan rekonsiliasi dan telah disepakati oleh PT.

PLN, PT. Pos Indonesia, dan Switching company yang

merupakan data sebagai acuan bagi PT. Pos Indonesia untuk

melakukan penyetoran dana.

1.1.24. Koreksi adalah tindakan pembetulan yang dilakukan oleh PT.

PLN terhadap perbedaan angka kWh yaitu antara angka kWh

yang tertera di kWh meter milik PT. PLN yang terpasang di

bangunan/ persil pelanggan dengan angka kWh yang ada di

data tagihan listrik dan tagihan lainnya.

1.1.25. Restitusi adalah bentuk pembayaran kembali dari PT. PLN

kepada pelanggan dalam kaitan pelunasan tagihan listrik dan

tagihan lainnya secara terpusat yang pelaksanaannya diatur

dalam ketentuan yang berlaku di PT. PLN.

1.1.26. Standar prosedur pengoperasian adalah petunjuk pengoperasian

sistem online realtime payment, baik pengoperasian secara

teknis maupun non teknis sebagai pedoman pelaksanaan,

penyelenggaraan online realtime payment tagihan listrik dan

tagihan lainnya secara terpusat yang dibuat oleh para pihak.

57

1.1.27. Hari kerja adalah hari senin sampai hari sabtu PT. Pos

Indonesia diluar hari libur resmi nasional lainnya yang

ditetapkan oleh pemerintah.

1.1.28. Hari libur adalah meliputi hari raya dan hari libur resmi lainnya

yang ditetapkan oleh pemerintah dan hari dimana bank tidak

buka untuk umum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

1.1.29. Biaya keterlambatan adalah biaya yang ditetapkan oleh PT.

PLN kepada pelanggan atas keterlambatan pembayaran tagihan

listrik dan tagihan lainnya secara terpusat.

1.1.30. Collecting agent adalah badan hukum atau badan uasaha /

lembaga lainnya yang tugas utamanya sebagai koordinator

mitra pos, menempatkan deposit di PT. Pos Indonesia dan

melakukan pengambilan atau pengumpulan pembayaran

tagihan listrik dan tagihan lainnya secara terpusat dari mitra pos

untuk disetorkan kepada PT. Pos Indonesia.

1.1.31. Periode pembayaran adalah periode waktu pembayaran tagihan

listrik dan tagihan lainnya secara terpusat oleh pelanggan

kepada PT. PLN yang belum terkena denda keterlambatan yaitu

dimulai dari tanggal 1 (satu) sampai tanggal 20 (duapuluh)

setiap bulannya.

1.1.32. Layanan PT. Pos Indonesia adalah layanan yang diberikan oleh

PT. Pos Indonesia kepada PT. PLN.

58

1.1.33. Unit PT. PLN adalah unit bisnis atau satuan usaha satu tingkat

dibawah kantor pusat PT. PLN yang meliputi kantor distribusi

dan wilayah.

1.2. Kerjasama PT. Pos Indonesia (Persero) dan PT. PLN (Persero)

sebagaimana disebutkan dalam PKS 18/DIRTEKJASKUG/0210

Tentang Perjanjian Pembayaran Tagihan Listrik dan Tagihan Lainnya

Secara Terpusat menyatakan:

1.2.1. Bahwa antara unit PLN dan PT. Pos Indonesia telah

mengadakan perjanjian pembayaran tagihan listrik dan tagihan

lainnya secara online.

1.2.2. Tagihan lainnya sebagaimana dimaksud Pada data sekunder

nomor 1.2.1. adalah tagihan selain tagihan listrik antara lain

seperti biaya keterlambatan, angsuran-angsuran, pajak

penerangan jalan, pajak penghasilan atas tagihan listrik, biaya

materai serta penerimaan pembayaran lainnya yang tidak

termasuk dalam transaksi penerimaan tagihan listrik.

1.2.3. Pasal 2 PKS 18/DIRTEKJASKUG/0210 Tentang Perjanjian

Pembayaran Tagihan Listrik dan Tagihan Lainnya Secara

Terpusat menyebutkan bahwa:

1.2.3.1. Para pihak sepakat melakukan kerjasama penerimaan

pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya

secara terpusat dalam sistem online dengan

menggunakan jaringan penghubung, yang meliputi

59

transaksi/ penerimaan pembayaran tagihan listrik dan

tagihan lainnya pihak Pihak Pertama (PT. PLN)

secara online melalui pihak Kedua (PT. Pos

Indonesia) yang selanjutnya dilaksanakan penyetoran

ke rekening Pihak Pertama.

1.2.3.2. Layanan Pihak PT. Pos Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:

a. Transaksi/ penerimaan pembayaran tagihan

listrik dan tagihan lainnya secara terpusat dalam

sistem online melalui Pihak Kedua.

b. Layanan secara elektronik antara lain meliputi

ATM, autodebet, Electronic data Capture

(EDC), internet banking, mobile banking, dan

sebagainya.

c. Layanan lainnya yang diselengarakan oleh

Piahak Kedua pada saat ini maupun dikemudian

hari, yang dapat digunakan oleh pelanggan untuk

melakukan transaksi pembayaran rekening listrik

sesuai dengan ketentuan perjanjian ini.

d. Untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, para pihak akan

mempergunakan “jaringan penghubung”. Oleh

karena itu, Pihak Kedua wajib menghubungkan

60

sistemnya dengan host Pihak Pertama melalui

jaringan penghubung.

1.2.4. Kewajiban PT. Pos Indonesia sebagaimana tercantum dalam

PKS 18/DIRTIKJASKUG/0210 Tentang Perjanjian

Pembayaran Tagihan Listrik dan Tagihan Lainnya Secara

Terpusat yaitu:

1.2.4.1. PT. Pos Indonesia wajib menyediakan back up

jaringan komunikasi data.

1.2.4.2. PT. Pos Indonesia menjamin segala layanan-layanan

yang telah disepakati dengan PT. PLN sebagai

berikut:

- Menjamin kebenaran dan keakuratan data hasil

transaksi yang dilakukan melalui jaringan

penghubung berdasarkan pada data transaksi yang

diterima dari switching company.

- Khusus untuk transaksi elektronik, PT. Pos

menjamin pendebetan rekening milik nasabah.

1.2.4.3. PT. Pos Indonesia menjamin akan menerbitkan bukti

pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya

secara terpusat kepada pelanggan sebagai tanda telah

terjadinya transaksi melalui PT. Pos Indonesia, yang

mencantumkan informasi sesuai format bukti

pembayaran tagihan listrik.

61

1.2.4.4. PT. Pos Indonesia menjamin akan menyetorkan hasil

penerimaan pembayaran tagihan listrik dan tagihan

lainnya secara terpusat ke rekening PT. PLN.

1.2.4.5. PT. Pos Indonesia wajib menyetorkan seluruh hasil

penerimaan pembayaran tagihan listrik dan tagihan

lainnya dalam sitem online kepada PT. PLN

selambat-lambatnya pukul 13.30 pada hari kerja

Pertama setelah tanggal transaksi online sistem

pembayaran tagihan listrik.

1.2.4.6. PT. Pos Indonesia wajib menyimpan laporan

transaksi dan/atau bukti pembayaran dalam bentuk

apapun untuk jangka waktu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.2.4.7. PT. Pos Indonesia mewajibkan agar mitra pos untuk

memberikan pelayanan yang terbaik kepada

pelanggan PT. PLN dalam hal penerimaan

pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya

secara terpusat.

1.2.4.8. PT. Pos Indoensia wajib menjaga dan memelihara

keandalan dan pelayanan PT. Pos Indonesia.

1.2.4.9. Berdasarkan pemberitahuan kepada PT. Pos

Indonesia, PT. PLN berhak melakukan inspeksi

terhadap seluruh transaksi penerimaan tagihan listrik

62

dan tagihan lainnya secara terpusat dalam sistem

online PT. Pos Indonesia maupun mitra pos. untuk

mengetahui kebenaran transaksi pembayaran yang

dilakukan oleh pelanggan PT. PLN.

1.2.5. Dalam SE 18C/DIRBISKUG/0306 Tanggal 8 Maret 2006

disebutkan bahwa sebelum PT. Pos menyetorkan dana dan

data-data kepada PT. PLN, PT. Pos melakukan rekonsiliasi

data yang telah diterima dengan switching company untuk

mengecek kesesuaian laporan yang diterima PT. Pos Indonesia

dan PT. PLN.

1.3. Ketentuan Pembayaran

1.3.1. PT. Pos Indonesia harus melampirkan faktur pajak pada setiap

penagihan imbalan jasa kepada PT. PLN untuk pembayaran

PPN 10% dan apabila dikemudian hari timbul tuntutan atau

gugatan sehubungan PT. Pos Indonesia tidak melampirkan

faktur pajak, maka hal tersebut menjadi beban dan tanggung

jawab PT. Pos Indonesia.

1.3.2. PT. Pos Indonesia berdasarkan informasi dari switching

company akan memberitahukan secara tertulis kepada PT. PLN

jumlah dan alamat mitra pos maupun loket yang merupakan

mitra pos, dan melaporkan setiap ada perubahan baik

pengurangan maupun penambahan.

63

1.4. Tanggung Jawab

1.4.1. Tanggung jawab sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 PKS

18/DIRTIKJASKUG/0210 Tentang Perjanjian Pembayaran

Tagihan Listrik dan Tagihan Lainnya Secara Terpusat adalah

sebagai berikut:

1.4.1.1. PT. PLN dengan ini menyatakan untuk menjamin dan

membebaskan PT. Pos Indonesia dari segala

pengaduan pelanggan sehubungan dengan penerimaan

pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya secara

terpusat dalam sistem online, kecuali karena kesalahan

dan kelalaian PT. Pos Indonesia dalam melaksanakan

perjanjian dengan PT. PLN.

1.4.1.2. PT. Pos Indonesia dengan ini menyatakan untuk

menjamin dan membebaskan PT. PLN dari segala

pengaduan pelanggan sehubungan dengan

penyelenggaraan layanan Pihak Kedua, kecuali karena

kelalaian Pihak Pertama.

1.4.2. Pasal 11 ayat (3) PKS 18/DIRTIKJASKUG/0210 Tentang

Perjanjian Pembayaran Tagihan Listrik dan Tagihan Lainnya

Secara Terpusat menyebutkan bahwa segala kegiatan yang

berhubungan dengan transaksi penerimaan tagihan listrik dan

tagihan lainnya secara terpusat dalam sistem online yang terjadi

64

di mitra pos menjadi beban dan tanggung jawab PT. Pos

Indonesia.

1.4.3. Apabila terjadi sengketa antara PT. Pos Indonesia dengan PT.

PLN maka akan diselesaikan secara musyawarah mufakat.

1.4.4. Apabila cara musyawarah untuk mencapai mufakat tersebut

tidak tercapai, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan

segala perselisihan yang timbul melalui pengadilan negeri

Jakarta Selatan.

1.5. Ganti Rugi

1.5.1. Apabila pembayaran rekening listrik tidak sampai kepada pihak

penerima maka PT. Pos Indonsia (Persero) akan memberikan

ganti rugi sesuai dengan kerugian, hal ini berdasarkan SE

18C/DIRBISKUG/0306 Tanggal 8 Maret 2006.

1.5.2. Apabila Pihak Kedua terlambat melakukan penyetoran

sebagaimana ayat (2) Pasal ini Pihak Kedua bersedia dikenakan

sanksi/ denda dengan rumuan:

Nominal Rp. Tagihan x hari telat x suku bunga 20% sebulan

360

2. Data Primer

Berdasarkan data primer yang diperoleh secara langsung dari Bapak Agus

Haryoto selaku bagian Pelayanan di PT. Pos Indonesia (Persero)

Purbalingga, diperoleh data sebagai berikut:

65

2.1. Bahwa dalam hal ganti rugi yang diberikan kepada konsumen

apabila terjadi kesalahan dalam pembayaran rekening listrik secara

online adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

peraturan pemerintah yang berlaku tentang Pos.

2.2. Bahwa PT. Pos Indonesia (Persero) menyelenggarakan pelayanan

sebagai berikut:

a. Layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, seperti:

surat menyurat dan e-mail.

b. Layanan Paket, seperti: Paket kilat

c. Layanan logistik, seperti: Paket pos.

d. Layanan Transaksi keuangan, seperti: wesel pos dan giro.

e. Layanan Keagenan Pos, seperti: Pembayaran rekening listrik,

telepon, pembayaran cicilan motor.

2.3. Kasus hasil pembayaran rekening listrik yang tidak sampai pada

pihak penerima, dalam hal ini PT. PLN (Persero) sangat jarang

terjadi, karena dalam hal ini PT. Pos Indonesia (Persero) mempunyai

pusat rekonsiliasi data yang dilakukan setiap hari, dan jika terjadi

perbedaan data yang ada di PT. Pos Indonesia (Persero) dengan PT.

PLN (Persero) maka akan dilakukan cetak ulang.

2.4. PT. Pos Indonesia (Persero) memberikan pelayanan informasi dan

menindaklanjuti apabila ada keterlambatan maupun apabila dalam

perkembangannya ada kehilangan bukti penerimaan pembayaran

rekening listrik yang telah dibayarkan.

66

B. PEMBAHASAN

Pengertian perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk

memberikan rasa aman.34

Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian

perlindungan hukum sebagai berikut:

Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat baik di Undang-Undang, Ratifikasi maupun Konvensi Internasional.35 Dari pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa perlindungan

hukum adalah segala upaya untuk memberikan rasa aman bagi seseorang dengan

membatasi hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat berdasarkan

sekumpulan peraturan yang mengatur tata tertib bertingkah laku dalam

masyarakat.

Menurut AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan

bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas

kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah anatara pihak satu sama lain

berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.36

Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

34 Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Purwokerto, UNSOED, 2004, hal 40 35 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,

hal 20. 36 36 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, 1995, hal 64-65

67

Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun mahluk hidup lain dan tdak untuk diperdagangkan.

A. Z. Nasution memberikan rumusan pengertian tentang konsumen

sebagai berikut:

Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu.37

Berdasarkan data nomor 1.1.6. tentang pengertian nasabah, jika dikaitkan

dengan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, serta pendapat A.Z. Nasution mengenai konsumen maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen merupakan seseorang atau badan

hukum atau badan usaha/ lembaga lainnya yang mendapatkan pelayanan jasa

penerimaan pembayaran tagihan listrik secara online yang dilakukan oleh PT. Pos

Indonesia yang dalam hal ini dapat dideskripsikan yaitu PT. PLN (Persero).

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan didalam Pasal 1

angka (3) yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:

Setiap orang perorangan yang berbentuk badan hukum maupun bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik diri sendiri

37 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit

Media, 2006, hal 26

68

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam pengertian tersebut adalah

perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), importer, pedagang,

distributor, dan lain-lain.

Menurut A. Z. Nasution, pelaku usaha terdiri dari:

a. Pelaku usaha sebagai pencipta/ pembuat barang yang menjadi

sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan

konsumen.

b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada

konsumen.

c. Pengusaha jasa.38 (pelaku usaha yang member pelayanan dan/atau

menjual sebuah prestasi kepada konsumen).

Berdasarkan data nomor 1.1.1.2. Tentang Pengertian Pos Indonesia, serta

data nomor 1.1.31. Tentang layanan Pos, jika dihubungkan dengan Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, serta

pendapat A.Z. Nasution tentang pengertian pelaku usaha maka dapat disimpulkan

bahwa pelaku usaha adalah Setiap orang atau badan usaha atau badan hukum yang

38 A.Z. Nasution, Op Cit, Hal 10

69

menyelenggarakan pembayaran tagihan rekening listrik secara online yang dalam

hal ini adalah PT. Pos Indonesia.

Mengenai resiko-resiko yang timbul dan juga untuk memperjelas pihak-

pihak mana yang akan bertanggung jawab maka diperlukan suatu perangkat

hukum baik berupa peraturan perundang-undangan atau lembaga pengawas yang

dapat melindungi kepentingan konsumen dalam menggunakan jasa layanan pos.

Perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Pos Indonesia (Persero)

sebagai pelaku usaha kepada pengguna jasa layanan PT. Pos Indonesia, yang

dalam hal ini adalah PT. PLN sebagai konsumen jasa layanan penerimaan

pembayaran tagihan listrik secara online harus berpedoman pada ketentuan

perlindungan konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Perlindungan hukum ini berkaitan dengan hak-

hak konsumen yang harus dilindungi dan sebagai konsekuensinya menimbulkan

kewajiban pada pihak PT. Pos Indonesia (Persero) untuk memberikan

Perlindungan kepada konsumennya.

Tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Pasal 19 yaitu:

1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana yang disebut ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santuanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

70

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Tanggung jawab PT. Pos Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 38

Tahun 2009 Tentang Pos terdapat dalam Pasal 31 yang menyebutkan:

1. Penyelenggara pos wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang

dialami oleh pengguna layanan pos akibat kelalaian dan/atau

kesalahan penyelenggara pos;

2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku jika kehilangan atau kerusakan karena bencana alam, keadaan

darurat, atau hal lain diluar kemampuan manusia;

3. Ganti rugi sebagaimana disebutkan ayat (1) diberikan oleh

penyelenggara pos sesuai kesepakatan antara pengguna layanan dan

penyelenggara layanan pos;

4. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanggung oleh

penyelenggara pos apabila:

a. Kerusakan terjadi karena sifat atau keadaan barang yang dikirim,

atau

b. Kerusakan terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengguna

layanan pos.

71

5. Tenggang waktu dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk

memperoleh ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna layanan pos

dengan penyelenggara pos;

6. Barang yang hilang dan ditemukan kembali diselesaikan berdasarkan

kesepakatan penyelenggara pos dan pengguna layanan pos.

Terkait hubungan hukum diantara para pihak yaitu PT. Pos Indonesia

selaku Pelaku usaha dengan PT. PLN selaku konsumen yaitu adalah hubungan

hukum pelayanan jasa. Perjanjian pelayanan jasa ini berdasarkan dengan Pasal

1601 KUHPerdata dimana menurut Prof. Subekti, perjanjian untuk melakukan

jasa-jasa tertentu maksudnya suatu pihak menghendaki pihak lawannya untuk

dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia

bersedia membayar upah, sedangkan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan

tersebut sama sekali terserah pihak lawannya itu.39 Penerimaan pembayaran

tagihan listrik ini dimasukan ke dalam perjanjian pemborongan pekerjaan, seperti

yang disebutkan dalam Pasal 1601b KUHPerdata, perjanjian pemborongan

pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong

mengikatkan diri menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain yang

memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Menurut Subekti,

perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang yang

bertindak sebagai orang yang memberikan pekerjaan dengan pihak lain yang

memborongkan pekerjaan, dimana pihak pertama menghendaki suatu hasil

39 Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan 7, Alumni, Bandung, 1985, Hal. 63.

72

pekerjaan yang disanggupi dengan pihak lawan dengan membayar sejumlah uang

tertentu sebagai harga pemborongan.40 Penerimaan pembayaran rekening listrik

yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia merupakan kegiatan pelayanan jasa karena

dalam kegiatan penerimaan pembayaran rekening listrik yang dilakukan oleh PT.

Pos Indonesia merupakan kegiatan pelayanan jasa untuk menerima pembayaran

tagihan listrik yang dilakukan masyarakat selaku nasabah PT. PLN kepada PT.

Pos Indonesia yang selanjutnya PT. Pos menyetorkan dana hasil penerimaan

pembayaran tagihan listrik kepada PT. PLN, dan PT. Pos Indonesia mendapatkan

imbalan atas jasa yang telah dilakukan tersebut sebesar yang telah ditentukan

dalam perjanjian antara PT. Pos Indonesia dengan PT. PLN.

Berdasarkan pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Pasal

1601b KHUPerdata, serta pendapat prof. Subekti tentang pengertian pemborongan

pekerjaan, jika dihubungkan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenai tanggung jawab pelaku usaha,

serta Pasal 31 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos mengenai

kewajiban Penyelenggara Pos, maka dapat dideskripsikan bahwa PT. Pos

merupakan pelaku usaha dalam perjanjian pemborongan pekerjaan penerimaan

pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya secara terpusat yang bertanggung

jawab untuk memberikan ganti rugi apabila ada kesalahan dalam pelaksanaan

perjanjian penerimaan pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya secara

terpusat.

40 ibid

73

Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur tentang hak-hak

konsumen sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 4 yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang

dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara ketat;

f. Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian

apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian dan atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Terkait dengan pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud dari

perlindungan terhadap konsumen maka penulis hanya meneliti dan membahas

74

pemenuhan hak konsumen yang berkaitan dengan hak yang diatur dalam Pasal 4

huruf a dan huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

Ketiga hak tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Salah satu hak konsumen adalah konsumen berhak mendapatkan

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian.

Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun

2009 Tentang Pos, menyatakan bahwa:

Penyelenggaraan pos dilakukan dengan pelayanan prima dan

berpedoman pada standar pelayanan.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho berpendapat tentang hak

keselamatan dan keamanan, yaitu:

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.41

Menurut Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menyatakan bahwa:

41 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho, Op Cit, Hal. 41.

75

Dari sembilan hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah keamanan, kenyamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam hal perlindungan konsumen barang dan jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat.

Berdasarkan pada data sekunder nomor. 1.1.9. tentang

pengertian nomor referensi, 1.2.4.1. tentang kewajiban untuk

menjamin menyediakan back up jaringan komunikasi data, data nomor

1.2.4.2. tentang jaminan atas segala layanan yang disepakati, data

nomor 1.2.4.4. tentang jaminan akan menyetorkan hasil penerimaan,

data nomor 1.2.4.8 tentang kewajiban memelihara keandalan dan

pelayanan, data nomor 1.2.5 tentang rekonsiliasi data, pada data primer

nomor 2.1.4. tentang PT. Pos menindaklanjuti apabila ada

keterlambatan maupun kehilangan bukti penerimaan pembayaran

rekening listrik, jika dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos, Pendapat Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodho, dan pendapat Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani,

serta data sekunder dan data data primer yang disebutkan diatas, maka

dapat dideskripsikan bahwa PT. Pos Indonesia memberikan keamanan,

kenyamanan dan keselmatan kepada PT. PLN (Persero) selaku

konsumen dalam penerimaan pembayaran rekening listrik secara

online.

76

b. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Sebagai konsekuensinya pelaku usaha dibebani kewajiban untuk

memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

dengan perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 7 huruf f Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa:

Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti

rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian, dan pemanfaatan suatu barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

Pasal 19 angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

tentang tanggung jawab pelaku usaha juga menentukan bahwa:

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

Pasal 19 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa:

77

Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perwatan kesehatan dan/atau

pemberian santuanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 19 angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa:

Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7

(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

Menurut Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun

2009 mengenai ganti rugi menyatakan bahwa:

Penyelenggara pos wajib memberikan ganti rugi atas kerugian

yang dialami oleh pengguna layanan pos akibat kelalaian

dan/atau kesalahan penyelenggara pos.

Sidharta menyatakan bahwa:

Jika konsumen merasa kuantitas dan kualitas barang dan/atau

jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya, ia berhak mendapat ganti kerugian yang pantas.42

42 Sidharta, Op Cit, Hal. 28

78

Menurut Gunawan Widjaya danAhmad Yani, pemberian ganti

kerugian merupakan suatu pembuktian yang dilakukan oleh konsumen

yaitu sebagai berikut:

1) Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian

2) Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak.

3) Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu.

4) Konsumen tidak berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung atas kerugian yang dideritanya. 43

Berdasarkan data sekunder nomor 1.5.1. tentang pemberian

ganti rugi sesuai dengan kerugian, data nomor 15.2. tentang jumlah

sanksi apabila terjadi keterlambatan penyetoran, data primer nomor

2.1. tentang ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, apabila dihubungkan dengan Pasal 4 huruf h mengenai

hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian sebagaimana mestinya, pasal 7 huruf f dan Pasal 19 angka

(1), (2), (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang

tanggung jawab pelaku usaha, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 38

Tahun 2009 mengenai ganti rugi, pendapat Sidharta mengenai hak

mendapatkan ganti kerugian yang pantas, pendapat Gunawan Widjaya

dan Ahmad Yani mengenai Pemberian ganti kerugian memerlukan

43 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op Cit, Hal 68-69.

79

suatu pembuktian yang dilakukan oleh konsumen, maka dapat

dideskripsikan bahwa PT. Pos Indonesia (Persero) Purbalingga akan

memberikan ganti kerugian kepada PT. PLN (Persero) sebagai

pengguna jasa layanan penerimaan pembayaran rekening listrik secara

online melalui PT. Pos Indonesia (Persero) yang mengalami kerugian

serta dapat membuktikannya, bahwa kesalahan tersebut merupakan

kesalahan dari pihak PT. Pos Indonesia (Persero).

80

BAB V

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan data, maka dapat ditarik

simpulan sebagai berikut:

Bahwa PT. Pos Indonesia dalam melaksanakan kegiatan usahanya

dibidang pelayanan jasa pos, berkaitan dengan hak konsumen untuk mendapatkan

kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau

jasa sebagaimana termuat dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen, telah terpenuhi melalui PKS

18/DIRTEKJASKUG/0210 dalam Pasal 1 ayat (8) yang mengatakan nomor

referensi merupakan nomor unique sebagai pengaman bukti keabsahan

pembayaran setiap transaksi, Pasal 4 ayat (5) dimana PT. Pos Indonesia wajib

menyediakan back up jaringan komunikasi data, Pasal 5 ayat (1) yang mengatakan

bahwa Pos akan menjamin segala layanan-layanan yang telah disepakati dengan

PT. PLN, Pasal 5 ayat (3) yang mengatakan bahwa PT. Pos menjamin akan

menyetorkan hasil penerimaan pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya

secara terpusat ke rekening PT. PLN, Pasal 11 ayat (9) yang mengatakan bahwa

PT. Pos berkewajiban untuk menjaga keandalan dan pelayanan PT. Pos Indonesia,

SE 18C/DIRBISKUG/0306 Tanggal 8 Maret 2006 disebutkan bahwa sebelum PT.

Pos menyetorkan dana dan data-data kepada PT. PLN, PT. Pos melakukan

81

rekonsiliasi data yang telah diterima dengan switching company untuk mengecek

kesesuaian laporan yang diterima PT. Pos Indonesia dan PT. PLN, serta data

primer yang mengatakan PT. Pos akan menindaklanjuti apabila ada keterlambatan

maupun kehilangan bukti penerimaan pembayaran rekening listrik.

Berkaitan dengan hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti

rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya sebagaimana termuat dalam

Pasal 4 huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, hal ini juga telah terpenuhi melalui PKS 18/DIRTEKJASKUG/0210

Pasal 7 ayat (7) yang mengatakan bahwa PT. Pos akan dikenai denda apabila

terjadi keterlambatan dalam menyetorkan hasil pembayaran tagihan listrik dan

tagihan lainnya secara terpusat sesuai dengan lama keterlambatan, dalam SE

18C/DIRBISKUG/0306 Tanggal 8 Maret 2006 yang menyebutkan PT. Pos akan

mengganti kerugian apabila pembayaran tagihan Listrik tidak sampai kepada

pihak PT. PLN, data primer yang mengatakan bahwa ganti rugi sesuai dengan

perundang undangan yang berlaku.